Ketujuh—Bergabung
“Sekali lagi selamat bergabung yah Ara di klinik kami, semoga betah bekerja disini,” Buk Halimah menjabat tangan Ara, wanita itu lega akhirnya bisa menemukan orang untuk mengisi posisi psikolog anak si kliniknya.
“Sama-sama, Buk. Saya juga senang bisa di kasih kesempatan buat bergabung di klinik ini.”
Julian akhirnya memberi izin Ara untuk bekerja di klinik setelah memikirkan beberapa pertimbangan, yang membuat Julian akhirnya mengizinkan Istrinya itu buat bekerja di klinik. ya, apalagi kalo peluang ini bagus buat menambah pengalaman Ara sebagai seorang psikolog, yang mana nantinya akan membantunya untuk mendapatkan izin membuka klinik sendiri, selain itu jam kerja nya juga Julian rasa enggak akan menyita waktu Ara karena dia enggak tiap hari ke klinik.
Makanya hari ini Ara datang ke klinik tempat Niken bekerja untuk menyerahkan berkas-berkas miliknya dan melakukan sesi wawancara, dan hasilnya pun Buk Halimah sangat cocok pada kepribadian Ara dan juga reputasinya. Wanita itu enggak nyangka kalau orang yang di rekomendasikan oleh Niken adalah Arumi Naura Shalika, konten kreator yang suka berbagi ilmu seputar kesehatan mental.
Setelah berpamitan dengan Buk Halimah, Ara keluar dari ruangan wanita itu. Di depan ruangan Buk Halimah sudah ada Niken yang menunggu Ara, dia kebetulan memang sedang praktik.
“Gimana, Ra?” tanya Niken begitu Ara keluar dari ruangan Buk Halimah.
Ara mengangguk dan menyunggingkan senyum nya, “Buk Halimah terima aku, Teh. Besok aku udah bisa mulai praktik!” pekik Ara, tidak lama kemudian dia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan setelah sadar suaranya lumayan menyita perhatian orang-orang di sekitarnya.
Niken yang mendengar itu membulatkan matanya dan langsung menghampiri Ara, dia meluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia. “Syukur deh, seneng banget aku tuh kalau Buk Halimah cocok sama kamu, Ra. Ya gak mungkin gak cocok juga sih, beliau tuh selalu ngikutin konten-konten kamu loh.”
“Masa sih, Teh?”
Kedua wanita itu memilih untuk duduk di salah satu kursi yang ada di sana, sebelum Ara pulang Niken mau ngobrol sebentar sama Ara mengenai Buk Halimah dan klinik. Ya biar bagaimana pun sekarang Niken sudah menjadi seniornya di klinik kan.
“Iya serius, beliau tuh pernah tanya ke aku tau kalo aku satu kampus sama kamu, terus nanya-nanya tentang kamu gitu. Tapi pas aku bilang aku punya kenalan buat ngisi posisi ini, aku gak bilang itu kamu.” Niken emang enggak bilang kalau ia merekomendasikan Ara, ya itu supaya Buk Halimah bisa mempertimbangkannya secara objektif bukan menilai Ara secara bias karena beliau memang mengidolakannya.
“Pantesan tadi waktu wawancara beliau sempat nyinggung soal konten-konten aku.” Ara manggut-manggut, dia sendiri gak nyangka kalau konten yang berawal karena iseng dan niatnya hanya ingin membagi sedikit ilmunya tentang kesehatan mental. Bisa menjadi jembatan bagi banyak orang untuk perduli lagi pada kesehatan mental, dia gak nyangka nama nya akan sebesar ini.
“Dengan kamu gabung disini tuh pasti bawa banyak klien juga buat Buk Halimah, Ra. Gak mungkin dia gak terima kamu.”
Niken mikirnya gitu, reputasi Ara sebagai seorang influencer kesehatan mental dan dirinya sebagai seorang psikolog itu baik banget. Ara bahkan pernah di undang ke seminar waktu hari kesehatan mental, dan menjadi pembicara di kampus-kampus. Orang-orang pasti akan mudah melirik klinik Buk Halimah karena mempekerjakan orang dengan reputasi yang baik. Ini menambah citra baik juga untuk kliniknya juga.
“Syukur deh, Teh. Aku juga senang banget bisa kerja lagi. Julian juga setuju aku kerja disini karena jam kerjanya gak menyita banyak waktu aku.”
“Syukur deh. oiya, kamu ke sini sendiri?”
Ara mengangguk, dia memang membawa mobilnya sendiri. Julian masih kerja, Ara tuh bukan tipe cewek yang selalu bergantung sama Suaminya. Kalau dia masih bisa lakuin banyak hal sendiri, dia bakalan lakuin hal itu sendiri kok. Ya walau gak bisa di pungkiri kalau sama Julian dia tuh manja banget, soalnya Julian sendiri senang banget manjain Istrinya.
“Iya, Teh. Ijul mah masih kerja jam segini.”
Tidak lama kemudian resepsionis yang ada di klinik itu memanggil Niken, setelah menerima telfon barusan. “Mbak, Niken. Ada klien, udah nunggu di ruangan.”
“Oh iya, sebentar lagi saya ke sana,” jawab Niken pada wanita yang menjadi resepsionis di kliniknya itu. “Ra, aku balik lagi yah. Kamu pulangnya hati-hati.”
Niken genggam tangan Ara, dia beneran senang banget Ara bisa bekerja di klinik yang sama dengannya. Walau jam praktik mereka berbeda setidaknya kan, mereka bakalan sering ketemu nantinya.
“Iya, Teh. Aku juga udah mau balik, Teteh semangat yahhh.”
Setelah selesai dari klinik Sunshine, Ara langsung ke stasiun buat jemput Karina sama Reno yang mau main ke Bandung. Mereka sengaja gak naik mobil sendiri karena mau nyobain kereta cepat Jakarta-Bandung gitu. Ara juga belum pernah nyobain sih, mungkin kalau ada waktu nanti dia mau cobain sama Julian.
Ara nyuruh Reno sama Karina buat nunggu dia di pinggir jalan gitu, Ara malas kalau harus jemput-jemput mereka masuk ke stasiun. Akhir-akhir ini dia gampang banget pusing kalau kena panas kelamaan dan liat kerumunan orang gitu, gatau kenapa deh padahal dulu tuh Ara enggak kaya gini.
“Haaa... Gerah banget,” ucap Reno begitu dia masuk ke dalam mobil Ara.
“Bandung lagi terik-teriknya kalau siang, sorean dikit juga hujan,” jawab Ara. Dia noleh ke kursi belakang. Reno sama Karina naruh travel bag mereka di sana.
“Kak Ara, apa kabar?” Karina milih duduk di kursi depan biar bisa ngobrol sama Ara, begitu masuk dia langsung meluk calon Kakak iparnya itu.
“Cantik... Baik dong, kamu gimana?”
“Baik juga, Kak. Kangen banget sama Kak Ara astaga.”
“Aku juga, makanya waktu Reno bilang kalian mau ke bandung aku excited banget.” Ara mulai kendarai mobilnya menuju rumahnya, untungnya jalanan siang itu tidak begitu padat.
“Kapan lagi kan liburan, Kak. Mumpung aku dapat cuti.” Karina tuh kerja di perusahaan marketplace gitu sebagai tim marketingnya, kalau Reno sendiri ikut Papa mengolah kantor advertising. Cowok itu masih belajar buat nantinya siap menggantikan Papa di kantor.
Habis kalau bukan Reno harus siapa lagi coba? Ara sendiri memilih psikolog sebagai jalur karir nya, sementara Mas Yuda pun memilih menjadi arsitektur sebagai karirnya. Papa dan Bunda enggak pernah memaksakan anak-anak mereka harus mengelola bisnis keluarga, Papa dan Bunda memberikan kebebasan dalam menentukan karir anak-anaknya. Dan beruntungnya Reno memang berniat untuk melanjutkan usaha yang di rintis oleh Papa nya itu.
“Terus Kulocino gimana? Tutup dong?” Tanya Ara, oiya, Kulacino itu toko cake punyanya Karina sama Reno, mereka benar-benar mengelola nya berdua saja.
Ada beberapa karyawan yang membantu tapi itu hanya untuk urusan pesanan dan packing saja, untuk urusan dapur itu sendiri semua yang mengerjakan Karina di bantu oleh Reno.
“Iya kak tutup dulu deh, aku sama Karina kuwalahan banget abis ngerjain100 pics brownies, Kak. Gila banget kan, sampe rasanya mau tipes,” keluh Reno.
“Serius?” Pekik Ara kaget.
Karina mengangguk, dia ngubah posisi duduknya jadi sedikit miring menghadap ke Ara. “Serius, Kak. Impact di promosiin gratis sama Mas Chaka kemarin. Kan Reno sempat ngasih brownies nya ke Mas Chaka waktu dia balik ke Jakarta, terus sama dia di posting di instagram story nya. Langsung gila banget deh pesananya, itu pun ada beberapa yang aku sama Reno tolak, Kak.”
Ara senyum, dia bangga banget sama Reno dan Karina. Kulacino tuh tadinya usaha kecil-kecilan keduanya saja yang di lakukan hanya untuk mengisi waktu luang dan menambah budget mereka untuk liburan ke Jepang, tapi siapa sangka kalau Karina sama Reno justru menekuni usaha itu.
“Padahal kalau kalian mau bikin cafe sendiri pun Kakak sama Mas Ijul dukung lo, Ren, Rin. Terus tambah karyawan deh biar kalian berdua tuh gak kuwalahan terus tiap ngerjain orderan.”
“Belum kepikiran, Kak.” Kedua bahu Karina merosot, walau sebenarnya punya toko kue dan cafe juga termasuk impiannya dari dulu. Karina cuma perlu di yakinkan saja, lagi pula ia dan Reno ada rencana menikah tahun depan. Mungkin mereka harus fokua pada hal itu dahulu.
“Reno sama Karina kayanya mau fokus sama nikah dulu, Kak. Nanti di pikirin lagi setelah kami udah nikah, doain ya, Kak.” ucap Reno dari kursi belakang.
“Kakak selalu doain kalian kok.”
Malam nya Ara ngotot ingin masak makan malam untuk Suami dan Adiknya Itu padahal sewaktu baru sampai rumah siang tadi Ara itu sempat ngeluh sakit kepala gara-gara pengharum ruangan yang ada di ruang tamunya, padahal itu pengharum ruangan dengan rasa kopi yang Ara pilih sendiri tapi sekarang dia malah ngerasa mual sama aroma nya, untung saja dia mau di bantu sama Karina. jadi Julian enggak khawatir Ara bakalan kecapekan. Malam itu Ara masak bola-bola daging giling pedas manis, sup ayam, sama ada bakwan udang buatan Karina.
“Wihhhh wangi nya sampe ke taman depan, Bun.” Julian meluk Ara dari belakang waktu Istrinya itu lagi nata makanan yang sudah di masak di atas meja. Ara kan jadi malu sekaligus enggak enak sama Karina, jadi dia sikut perut Julian sampai Suaminya itu mundur dan lepasin pelukannya.
“Ada Karin ih meluk-meluk mulu!!” pekik Ara memperingati.
“Gapapa sih, Kak. Namanya juga Suami Istri. Karin juga udah dewasa tau,” Karina malah senang-senang aja liat hubungan calon Kakak iparnya itu yang harmonis, bahkan Reno sama Karina menjadikan Julian dan Ara sebagai role model hubungan mereka. Kalau Mas Yuda sama Mbak Ola tuh jarang kelihatan mesra depan orang.
Menurut Reno, hubungan Julian dan Ara itu dewasa dan setara. Selain dalam bentuk financial, cinta keduanya juga setara. Reno selalu kagum dari bagaimana Kakak iparnya itu memperlakukan Kakaknya, bahkan Julian enggak pernah keberatan sama sifat manja Kakaknya itu. Makanya kalau lagi ngobrol berduaan sama Julian tuh Reno suka tukar pikiran.
Mengingat tahun depan ia ingin menikah dengan Karina, ia ingin belajar banyak dari Julian. Kalau Mas Yuda sih, bisa saja sebenarnya tapi sama Mas Yuda tuh lebih banyak bercanda nya. Makanya Reno lebih milih sering curhat ke Julian atau ke Arial saja.
“Tuh Karina aja gapapa.” Julian cemberut, dia narik kursi meja makannya dan bantuin Ara sama Karina nuangin air ke gelas-gelas yang akan mereka pakai untuk minum.
“Akunya malu..” cicit Ara pelan.
“Malu apa? Emangnya kamu lagi nukang.”
Ara cuma menggeleng pelan aja, “oiya, Rin. Panggil Reno gih, kita makan malam sekarang.”
“Oke bentar ya, Kak.” Karina langsung pergi dari sana dan memanggil Reno yang masih di dalam kamar tamu. Kalau enggak salah Reno lagi ngerapihin baju-baju mereka.
“Sayang?” panggil Julian.
Dia kepikiran sama kerjaan Ara yang sekarang ini, kaya gimana kalau misalnya tiba-tiba saja Istrinya itu positif hamil dalam waktu dekat, Julian mau Ara lebih banyak istirahat sebenarnya di trimester pertama. Agak nyesal juga sih bagi Julian dengan mudah mengizinkan istrinya itu kembali kerja, tapi dia pikir ini bagus untuk jenjang karir nya Ara sebagai seorang psikolog. Ya semoga ini hanya perasaan Julian yang terlalu paranoid aja.
“Kenapa, Bang?”
“Kamu yakin besok udah mulai kerja?”
Ara yang lagi ngambilin nasi buat Julian itu berhenti, dia jadi natap Suaminya itu bingung. “Kamu masih khawatir aku kenapa-kenapa?”
Julian mengangguk, “masih kepikiran terus.”
“Ada yang kamu khawatirin ya?” Tebak Ara, muka Julian kalau lagi nyembunyiin sesuatu tuh kelihatan banget.
“Gapapa, kayanya cuma aku aja yang terlalu paranoid, jangan kecapekan ya, kalo di rasa kamu capek buat masak. Aku gak masalah kita beli makanan di luar lagi kok.”
Ara senyum, dia sendiri sudah memperhitungkan semuanya jika ia kembali bekerja. Ara yakin, pekerjaanya di klinik Sunshine tuh gak akan menyita banyak waktunya.
“Aku tuh udah perhitungin semuanya tau, Bang. Aku yakin kerjaan aku di klinik gak akan menyita banyak waktu aku, gapapa ya? Kamu tuh khawatir aku bakal kecapekan ya?”
Julian mengangguk kecil, “maaf ya, aku benar-benar khawatir.”
“Gapapa kok, aku paham. Makasih udah perhatian banget sama aku ya.” Ara mendekat ke kursi Julian dan meluk Suaminya itu dari samping.
Bersambung...