Lima Belas- Bertemu Kembali

Pagi itu karena merasa sedikit bosan di rumah, Ara akhrinya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, awalnya ia hanya makan di cafe milik Jordan, Kakaknya Echa namun lama kelamaan Ara bosan juga, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke toko buku lagi, kebetulan novel-novel yang ia beli sebelum UN sudah selesai ia baca semua, jadi Ara memutuskan untuk melihat-lihat koleksi novel di toko buku langgananya, siapa tahu ada yang membuatnya tertarik.

Lorong demi lorong Ara lalui sembari sesekali ia melihat novel-novel yang di pajang membentuk sebuah piramida disana, novel kesukaan Ara itu dengan genre thriler dan romance, tapi kali ini pilihanya justru jatuh pada novel thriler yang di pajang di rak buku dengan tulisan Best Seller itu.

Sedang asik membaca sinopsis dari novel yang ada di tanganya, tiba-tiba saja pundaknya di sentuh oleh seseorang, membuat Ara jadi menoleh ke sampingnya. di sebelahnya ada seorang cowok yang ia kenal, cowok yang waktu itu sempat bertemunya di toko buku ini, kemudian di aquarium.

“Julian?” sapa Ara, Julian tersenyum.

“Sendirian aja?” tanyanya.

Ara mengangguk kecil, “iya nih, lo juga sendirian?”

“Iya, tadinya mau nyari titipan buat Adek gue, eh malah nyasar ke lorong novel. by the way lo suka novel thriler juga?” tanya Julian, setelah ia melirik tas PVC dari toko buku untuk menaruh belanjaan yang Ara bawa.

Gadis itu mengangguk, mengeluarkan dua novel best seller yang sudah ia kantongi untuk segera ia bayar, “iya, suka banget malahan, lo juga suka baca novel?”

“Ya gak suka-suka banget, tapi kalo jalan ceritanya bagus gue pasti bakalan baca kok.”

Julian memang suka baca, tapi kalo untuk membaca novel ia masih pilih-pilih, enggak semua novel masuk ke dalam selera nya, Julian lebih suka membaca buku-buku yang mengangkat isu-isu sosial di dalam negeri. menurutnya itu bisa menambah wawasanya, dan mengetahui apa saja yang tengah terjadi.

“Mau gue rekomendasiin beberapa novel thriler yang udah pernah gue baca dan menurut gue bagus, gak? ya kali aja lo suka juga kan.”

Julian yang tadinya sudah lupa akan rasa ketertarikanya dengan Ara itu kembali goyah, ia akhirnya mengangguk dan mengikuti langkah kaki kecil dari gadis yang berjalan lebih dulu di depannya itu. mereka berjalan di lorong sebelah saat mereka bertemu tadi, mata Ara berpendar mencari novel yang sebelum ujian nasional itu sempat ia lihat di lorong sekitar sana.

“NAH INI DIA!” pekiknya, ia mengambil novel itu dan memberikanya ke Julian.

“Yang ini juga bagus, Jul. gue udah pernah baca ini.” Ara memberikan sebuah novel dengan cover berwarna pink, karya Gillian Flynn di atasnya ada tulisan penulis best-seller Gone Girl.

“Bagusnya?” Julian menaikan satu alisnya.

“Lo punya triggering sesuatu gak?” tanya Ara sebelum ia menjelaskan novel itu pada Julian, Dan Julian hanya menggeleng.

“Menurut gue, Sharp Objects agak triggering sih di beberapa bagian karna si protagonis penyitas self harm. kalau lo suka sama genre thriler misteri kaya gini, ini bagus banget.” Ara menjelaskanya dengan sangat excited.

Julian hanya manggut-manggut saja, ia percaya pada pilihan Ara. meski hanya tahu sebagian tentang gadis itu hanya bermodalkan dari sosial media miliknya, tapi Julian yakin bacaan gadis itu enggak perlu di ragukan lagi, buktinya saja ia berani merekomendasikan novel karya penulis yang cukup terkenal.

Kalau enggak salah ingat, teman sekelas Julian dulu pernah membicarakan tentang novel ini juga. Jadi sudah jelas selera bacaan gadis itu bagus kan? jadi langsung saja Julian masukan novel itu ke dalam kantung belanja nya.

Julian ingin membaca buku-buku yang Ara baca, ia ingin banyak berbicara dengan gadis di sebelahnya itu. Ingin tahu tentang apa yang ia suka dan tidak suka, seingin itu Julian untuk dekat dengan Ara.

“Ada novel lain yang lo suka, Ra?”

Mereka kembali mengitari rak, memilah novel-novel yang berjajar rapih di sana, sembari sesekali Julian curi-curi pandang dengan gadis yang berjalan di depannya itu. Ia mati-matian menahan senyum konyol yang bisa saja muncul di wajahnya. Julian enggak pernah menyangka, toko buku yang semula biasa saja. Bisa menjadi tempat yang membahagiakannya sekarang ini.

“Ada, gue suka sama karya nya Keigo Higashino.”

“Malice?” tebak Julian.

“Kok tahu?” tanyanya, apa Julian pernah membaca novel itu juga? pikirnya.

“pernah liat temen sekelas bawa, cuma ya gak baca cuma liat aja, tapi bagus?”

Ara mengangguk, “bagus kok.”

Keduanya masih mengitari rak-rak novel di sana, sedang ada jumpa penulis juga dari novel terbitan sebuah plat form. Ara bisa menebak kalau novelnya bergenre romansa, yah tipikal novel-novel yang di sukai remaja dengan bahasa ringan, kisah roman picisan anak SMA.

“Satu-satunya thriller yang pernah gue lanjut baca itu cuma Holy Mother, itu juga awalnya iseng sih, ada gak novel yang mirip-mirip kaya gitu juga, Ra?” ucap Julian tiba-tiba.

“Ahhh.” Ara mengangguk, ia juga pernah baca novel itu, sudah lama sekali namun ia masih mengingat isinya. “Kalau gitu lo harus baca Kelab Dalam Swalayan atau....”

Ara menggantungkan kalimatnya, mencoba mengingat-ingat novel thriller yang pernah ia baca. Yang menurutnya setipe dengan Holy Mother dan di sebelah nya Julian hanya tersenyum samar-samar, menahan rasa gemas karena melihat bibir Ara yang mengerucut itu. dia gak nyangka kalau Ara asik banget buat di ajak ngobrol banyak hal.

“Ahhh, sama Confenssion sama-sama bahas tentang hubungan Ibu dan anak, kalau enggak salah gue masih ada novelnya, mau pinjam?”

“Boleh, berarti kita harus ketemu lagi kalau gitu.”

Ara mengangguk, setelah membayar buku-buku yang ada di tas belanja nya. Julian sempat mengajaknya untuk makan siang bersama, kebetulan Ara juga sudah sedikit lapar. jadi keduanya memutuskan untuk mampir ke restoran yang ada di dekat toko buku.

By the way lo udah punya pilihan kampus yang lo mau?” tanya Julian di sela-sela makan siang mereka.

Ara mengangguk, “udah kok, gue ambil kampus di daerah Malang, lo gimana?”

“Gue dapat beasiswa dari sekolah di Universitas Swasta yang ada di Bandung,” jelasnya.

“Oh ya? hebat banget, Univ mana tuh?”

“Narawangsa, tau gak?”

“Tau kok, Mas Iyal juga kuliah di sana, berarti lo jadi adik tingkatnya nanti dong.”

“Bang Arial kuliah di sana? di fakultas apa?”

Julian sempat berhenti sebentar, dia juga gak nyangka kalau akan satu kampus dengan sepupu dari Ara itu. selama ini Julian gak pernah nyari tahu Arial berkuliah dimana setelah lulus SMA, toh mereka juga tidak saling dekat, Julian hanya tahu Arial saja.

“Mas Iyal anak FISIP.”

“Kalo gitu enggak satu fakultas sama gue,” jawab Julian.

“emangnya lo ambil jurusan apa, Jul?”

“gue ambil Psikologi.”

begitu mendengar jawaban Julian, kedua mata Ara membulat. karena mereka mengambil jurusan yang sama. “gue juga!!”

“Oh ya?” Julian tersenyum, entah ini sebuah kebetulan atau bukan, tapi Julian jadi agak sedikit ke ge'eran.

Ara mengangguk, “iya, serius. ngomong-ngomong ya, Narawangsa itu jadi opsi kedua gue kalo gue enggak dapat perguruan tinggi negeri yang gue mau.”

katakan Julian sedikit egois, tapi dalam hati ia berharap agar Ara bisa satu kampus denganya, dia enggak ada niat untuk mendekati Ara sebagai gadis yang ia sukai kok, apalagi berpikiran untuk merebut Ara dari pacarnya, Julian hanya ingin berteman saja dengan gadis itu.


Setelah sampai rumah, Ara baru sempat memeriksa ponselnya, ternyata Yuno menghubunginya beberapa kali dan membalas pesan darinya juga. Ara sempat terdiam beberapa saat di ranjangnya, membaca sederet pesan yang Yuno kirimkan untuknya. Yuno menjelaskan kenapa semalam cowok itu enggak menghubunginya lagi, dan dalam hati Ara sedikit memakluminya.

Alih-alih menelfon balik Yuno, Ara justru hanya membalas pesan singkat dari cowok itu saja. kemudian mencari kesibukan lain dengan membaca novel-novel yang ia beli barusan, Ara ngerasa dia harus mulai terbiasa sekarang untuk tidak selalu menunggu kabar dari Yuno. Ara gak mau jadi ketergantungan sama cowok itu, apalagi mengingat Yuno akan semakin sibuk dengan kuliahnya.

baru setengah novel yang ia baca, tiba-tiba saja ponselnya bergetar, menampakan nama Yuno di sana.

“Hallo, Kak?”

Sayang, lagi apa?

“Lagi baca novel aja, Kak. Kamu udah enggak sibuk?”

Di tempatnya Yuno menahan nafasnya, nada bicara Ara terdengar biasa saja. Hanya pertanyaan sederhana namun itu seperti mencubit hatinya, membuat Yuno merasa bersalah karena seperti mengabaikan Ara yang malam itu menunggunya.

Sayang, aku minta maaf soal semalam ya.” di seberang sana, Ara bisa mendengar nada bicara Yuno yang penuh penyesalan.

“Iya gapapa kok, aku bisa ngerti, lagi pula semalam aku juga langsung tidur.” Ara bohong begini supaya Yuno enggak merasa bersalah lagi.

Beneran? kamu marah gak? kok tadi telfon aku enggak di angkat?

Ara mengulum bibirnya sendiri, jujur saja. Ara tahu kalau Yuno menelfonya, tapi memang sengaja Ara tidak mengangkatnya karena ia sedikit kesal. “Iya, gak kedengeran, Kak. tadi aku habis pergi.”

Pergi kemana sayang?

“Toko bu-”

“Sayang, nanti aku telfon lagi yah, aku harus lanjut kelas.”

Belum sempat membalas ucapan dari Yuno itu, tapi di seberang sana Yuno sudah mematikan sambungan telfonya secara sepihak. membuat Ara sedikit meringis dan hanya bisa memandangi ponselnya saja, padahal ada banyak cerita yang ingin Ara bagi dengan cowok itu.

Telat Ara sadari namun akhir-akhir ini semenjak Yuno sudah aktif di kampusnya, cowok itu jadi jarang sekali berbagi cerita kesehariannya, kalau Ara cerita tentang keseharianya pun kadang Yuno hanya menanggapinya seperlunya saja. Setelah itu, Yuno akan berpamitan untuk tidur atau ada hal yang harus ia kerjakan.