Lima Bulan Kemudian
Selama lima bulan terakhir ini, sejak kejadian Bella memanggil Julian dengan sebutan Papa. Liliana berusaha sebisa mungkin menghindari interaksi dengan Julian jika tidak ada pekerjaan yang mendesak, hari-hari berjalan selalu membosankan baginya.
Ia akan datang ke kantor, makan siang di meja nya sembari bekerja, kemudian pulang menunggu hingga kemacetan mereda. Begitu terus, tidak ada satu hari pun spesial di harinya, ngomong-ngomong soal Bella. Bocah itu udah enggak marah lagi sama dia, Bella udah seperti biasanya meski sering kali Bella selalu bertanya kapan Papa nya akan datang ke rumah.
Jika Bella sudah bertanya seperti itu, Liliana hanya bisa mengalihkan pikiran bocah itu dengan bermain. Untungnya Bella itu gampang di alihkan.
Sedang sibuk berkutat dengan pekerjaannya, Monika yang duduk di sebelah Liliana itu menyentuh punyak Liliana. Liliana memang memakai earphone, dia ngerasa bisa lebih fokus bekerja jika sambil mendengarkan lagu.
“Ya?” tanya Liliana.
Monik memberikan kotak berisi 4 cup cakes untuk Liliana, bentuknya cantik karna di hias dengan pita berwarna merah muda dan juga ada kartu ucapan di selipkan di antara pita nya. Bentuk cupcakes nya pun cantik dan lucu-lucu menurut Liliana.
“Buat lo,” jawab Monik.
“Makasih yah.”
“Bukan dari gue, Li.”
Liliana mengerutkan keningnya bingung, “dari siapa?”
“Dari Mas Ijul, semua anak-anak kantor dapet.”
Liliana mengangguk, mengambil kotak berisi cupcakes itu dan menaruhnya di meja. “Ulang tahun?” tebaknya.
“Istrinya hamil,” bisik Monik. “Akhirnya yah, Mas Ijul seneng banget tuh makanya sampe bagi-bagi cupcakes buat anak-anak, Gue juga dengarnya senang.”
Liliana menelan saliva nya, setelah menjenguk Ara terakhir kali lima bulan yang lalu. Ia memang enggak bertukar kabar apa-apa lagi pada Ara meski wanita itu sering menanyakan kabarnya lewat pesan singkat, Liliana gak pernah menjawab pesan itu.
“Um.”
Liliana bukan enggak senang mendengar kabar bahagia itu, dia senang. Hanya saja dia enggak tahu harus bereaksi seperti apa, lagi pula rasanya ia masih merasa bersalah pada Julian meski keesokannya ia sempat meminta maaf.
Setelah jam pulang kantor tiba, Liliana enggak langsung pulang seperti karyawan yang lain. Ia masih duduk mengerjakan pekerjaannya sembari menghitung tabungannya dari gaji nya sendiri, kalau di hitung-hitung dia sudah bisa membawa Bella ke psikolog anak untuk dapat terapi agar sikap Bella bisa lebih terarah dan fokus pada pelajaran di sekolahnya.
Liliana senyum, menurutnya enggak sia-sia dia selama ini hidup hemat dengan membawa bekal makanan ke kantor dan enggak ikut hangout bersama teman-teman kantor nya ketika di ajak, meski Liliana akui jika hidupnya memang agak membosankan.
“Belum pulang, Li?” tanya Ferdy.
“Ah,” Liliana buru-buru melepas earphone nya dan berdiri. Ada atasannya ternyata, tapi Ferdy enggak datang sendiri di belakangnya ada Julian yang menatap Liliana tanpa ekspresi sedikit pun. “Se..bentar lagi, Pak.”
“Lembur?”
Liliana menggeleng, “enggak, lagi nunggu sampai enggak macet aja.”
“Oalah kirain lembur, yaudah saya duluan ya.”
Setelah mengatakan itu, Ferdy dan Julian pergi lebih dulu meninggalkan ruangan itu. Lampu-lampu gedung juga mulai di redupkan oleh security yang berjaga, kalau sudah begini Liliana mulai membereskan barang bawaannya dan mulai merapihkan meja nya sendiri.
Melihat ekspresi wajah Julian yang datar, Liliana sadar jika Julian tidak seramah dulu dia kecewa akan sikap nya terakhir kali yang di rasa kurang pantas. Ya meski Julian sendiri bersikap profesional, jika mereka sedang mendiskusikan perihal pekerjaan sikapnya akan seperti biasanya.
Di dalam bus yang membawanya menuju ke rumahnya, Liliana melamun sembari memperhatikan cupcakes yang berada di pangkuannya. Ia memikirkan Bella yang pasti akan senang melihatnya pulang membawa makanan manis yang bentuknya cantik ini, namun tidak lama kemudian bus yang di tumpangi Liliana berhenti. Dan pramuniaga nya membuka pintu bagian depan dan belakang bus, sepertinya terjadi sesuatu? Pikir Liliana.
“Maaf sebelumnya, bus mengalami pecah ban. Jadi terpaksa kami harus menurunkan penumpang di halte ini sampai bus selanjutnya datang,” ucap pramuniaga itu yang kemudian mendapat sorakan dari beberapa penumpang lainnya.
Mau enggak mau Liliana harus turun dan menunggu di halte, meski tidak lama kemudian bus yang menuju ke rumahnya datang. Namun sayangnya bus itu penuh dan Liliana terpaksa harus menunggu bus selanjutnya, kalau Liliana lihat dari aplikasi bus di ponselnya sih sekitar 20-30 menit lagi. Cukup lama menurutnya, namun tidak apa. Liliana sedang tidak buru-buru, dari pada dia harus pesan ojek online dan memakan biaya lebih dari pengeluaran harian yang sudah di tentukannya hari ini.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 berwarna silver berhenti tepat di depannya. Liliana sempat mengerutkan keningnya sampai akhirnya kaca mobil itu turun dan memperlihatkan siapa orang di dalamnya.
“Pak Julian?” gumam Liliana.
“Ngapain disitu, Li?”
“Nunggu bus, Pak.”
Julian sempat melihat arloji miliknya, sudah jam 8 malam ternyata. “Bus ke arah rumah kamu masih 30 menit lagi, bareng sama saya aja rumah kita searah.”
Liliana tampak bingung namun pada akhirnya ia mengangguk dan masuk ke dalam mobil seniornya itu, Liliana anggap ini bentuk menghilangkan perasaan bersalahnya. Dan memperbaiki hubungannya dengan Julian, Liliana enggak mau hubungan dengan rekan kerjanya canggung.
“Makasih yah, Pak.”
“Sama-sama, Li.”
Di dalam mobil Liliana sempat canggung, ia hanya mendengarkan radio dari mobil sambil sesekali memikirkan pertanyaan basa basi yang harus ia lontarkan, ya setidaknya dia harus yang memulai lebih dulu.
“Ngomong-ngomong, selamat atas berita baiknya ya, Pak. Saya dengar Mbak Ara hamil ya?” Liliana bernapas lega, dia akhirnya kepikiran hal ini juga untuk memecahkan hening di antara mereka.
“Makasih yah, Li. Iya Istri saya hamil, senang banget saya. Oiya, dia nanyain kamu terus.”
Liliana mengangguk, “kapan-kapan saya hubungin Mbak Ara, Pak. Terima kasih juga cup cakes nya.”
“Loh boleh dong, kapanpun juga gapapa. Dia tuh orangnya asik, Li. Jadi jangan sungkan ya.”
“Saya cuma malu aja, Pak. Enggak sih lebih ke apa yah grogi? Karna saya susah banget beradaptasi sama orang baru apalagi Mbak Ara orang terkenal, jadi kaya ngerasa enggak pantas aja bergaul sama dia.”
Liliana itu emang berubah drastis sejak ia di usir dari keluarganya dan berseteru dengan keluarga Suaminya. Liliana jadi lebih pendiam, menarik diri dari banyak orang dan jadi sering merasa rendah diri. Liliana yang dulu itu sebenarnya gadis yang ceria, mudah bergaul dan banyak di sukai orang lain karna cara bicaranya pintar.
“Kenapa emangnya? Dia juga orang biasa, Li. Ara itu enggak pernah milih-milih teman. Dia juga kelihatan nyaman banget ngobrol sama kamu, jadi jangan sungkan juga dia malah senang banget kalau bisa temanan sama kamu.”
Liliana mengangguk, mungkin kali ini dia bisa berubah. Bisa menemukan dirinya yang dulu dan mulai keluar dari zona nyamannya, Liliana juga ingin bahagia seperti memiliki teman dekat misalnya. dulu, Liliana punya teman dekat. tapi sejak ia menikah dan sibuk mengurus Bella entah kenapa perlahan teman-temannya menjauh.
Obrolan yang lumayan panjang itu membuat keduanya tidak sadar jika akhirnya sudah sampai depan rumah Liliana saja.
“Sampai sini aja, Pak. Terima kasih sekali lagi.”
“Sama-sama, Li. Ah iya, Li. Bella gimana kabarnya?” Julian jadi kepikiran Bella kalau ingat depan rumah Liliana, Bella yang di seret oleh Bu Ijah seperti yang terakhir dia lihat.
“Baik, Pak. Mari Pak.” Liliana turun, kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dia gak mau Bella melihat Julian atau ada tetangga nya yang melihatnya pulang di antar oleh Julian, dia benar-benar menghindari hal-hal seperti itu.
“Cobain ini juga deh, Ra. Ini enak gue yang masak!” Elara memberikan sosis bakar dan menyuapinya ke mulut Ara yang masih agak penuh dengan makanan itu.
“Udah aahh sumpah ini gue dari tadi di suruh makan mulu, udah kenyang please.” protes Ara.
Hari ini anak-anak kosan Abah kumpul di kosan Abah yang dulu mereka tinggali. Teman-temannya membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan berita baik yang di bawa Julian sama Ara, ya sekaligus berkumpul bersama toh ini weekend kan.
di lantai satu dekat kolam renang, Januar dan Elara sibuk membakar sosis, ikan, bakso dan ada beberapa kepiting yang di bawa oleh Kevin dan Yves. oiya ini juga untuk merayakan hari ulang tahun Chaka meski sudah lewat.
laki-laki di sana itu sedang asik mengobrol di pinggir kolam, ada Januar dan Kevin juga yang sedang merokok. dan yang perempuan sedang duduk di ruang TV sembari menikmati makanan dan sedikit ngobrol-ngobrol.
“Nanti lo baliknya bawa ini lauk ya, Ra. Ada menu baru juga dari cafe Mama nya Mas Ril, sekalian lo cobain juga.” Gita nata kotak makan berisi lauk-lauk buatannya dan juga cake dengan rasa klepon, menu baru di cafe Tante Riani. ah semua teman-temannya dapat kok, enggak cuma Ara saja.
“Git, banyak banget siapa yang mau makan? Gue cuma berdua sama Mas Ijul.”
“Ya lo sama Juleha lah, biar lo gak usah masak lagi, angetin aja di microwave. Trimester pertama tuh lagi mabuk-mabuknya, Ra. Lo gak boleh kecapekan oke? Kalau perlu Juleha suruh belajar masak.” Gita ini jadi strict banget ke Ara semenjak tahu Ara hamil, ya Gita cuma mikir kalau Ara ini jadi agak ringkih semenjak operasi.
“Ih dia bisa masak tau,” Ara membela Julian, Julian bisa masak kok walau yah menu nya itu itu aja. Oseng-oseng kangkung, ayam goreng dan sup tahu.
“Menu yang lain jangan masak kangkung mulu! elu bukan kambing.” pekik Gita, yang membuat Ara terkekeh.
“Eh tapi, Ra. Kamu sama Julian tuh ada kepengen jenis kelamin anak kalian apa gitu?” tanya Teh Niken tiba-tiba, biasanya kan pasangan yang baru menikah atau hamil anak pertama tuh suka mengidam-idamkan jenis kelamin anak mereka, seperti ingin punya anak pertama laki-laki supaya bisa melindunginya adik-adiknya. Pokoknya gitu deh,
Yah Teh Niken penasaran aja. walau belum menikah sama Chaka dia tuh udah merencanakan kalau kelk ingin memiliki anak perempuan untuk anak pertama mereka.
Ara menggeleng, “enggak ada sih, Teh. Apa aja, sedikasihnya aja.”
“Gue juga dulu kaya gitu, Ra. Tapi Janu tuh kepengen punya anak cowok pokoknya harus cowok kalo pertama, Katanya kalo cewek dia takut.”
“Soalnya Bapaknya begajulan dulu sih yah,” gumam Gita.
“Kevin juga gitu, tapi yah akhirnya dia pasrah aja. Mau anaknya cewek atau cowok yang penting sehat katanya,” samber Yves.
“Lagian yah, bisa-bisa nya mereka yang brengsek mereka juga yang overthinking kalo apa yang mereka perbuat ke mantan-mantan mereka dulu anak mereka yang bakalan nanggung karma nya, mana ada yang begitu.” menurut Elara kata-kata orang lain soal hal itu enggak masuk akal aja baginya, bagaimana bisa anak mereka yang menanggung karma buruk dari Ayahnya?
“Iya aku juga gak percaya kaya gitu sih, El. Karma emang ada, tapi masa iya anak yang gak tau apa yang di perbuat orang tua nya yang nanggung sih.”
Elara menjentikkan jarinya ke Niken, “ya kan, Teh.”
“Terus, soal Budhe nya Juleha yang nyinyir itu gimana, Ra? Reaksi dia pas tau?” tanya Gita, Ara sempat cerita ke Gita kalau dia pernah dapat ucapan enggak enak dari Budhe nya Julian.
“Ya dia ikut senang kok, Git. Terus gue di kasih nasihat-nasihat gitu. Sama pantangan-pantangan apalah, tapi ya yang baik-baik gue dengerin kok.”
“Syukur deh, pokoknya lo harus jaga kesehatan yah. Kalo butuh apa-apa, atau mau nanya apa-apa. Gue sama yang lain siap bantu kok.”
“Makasih yah, Git.”