Menerka-Nerka

Karena ucapan Chaka barusan, Gita jadi berpikir bagaimana hubungan Ara sama Yuno sebenarnya. Gita sama sekali gak ada niat ikut campur sama hubungan keduanya kok, dia cuma tiba-tiba kepikiran aja gimana kalo seandainya Yuno tahu Julian meluk Ara?

Gita tahu banget Yuno bukan tipekal cowok macam-macam dan genit, dia kenal sekali Kakak sepupunya itu. Maka dari itu Gita enggak ingin Yuno sakit hati. Entah lah, ini perasaanya saja atau memang ada sesuatu di antara Julian dan Ara. Keduanya memang dekat, tapi Gita pikir Ara hanya menganggap Julian temannya dan tidak lebih. Lalu, untuk apa Julian memeluk Ara?

“Hon?” panggil Kevin, keduanya dari tadi di depan TV lantai 1. Kevin dari tadi bicara soal film yang sedang mereka tonton puluhan kali itu namun tampaknya Gita sedang memikirkan hal lain sampai tidak menyimak ucapannya.

“Hon?” panggil Kevin sekali lagi, dan panggilan itu berhasil membuyarkan lamunannya.

“Ngagetin gue aja lo.”

“Lo mikirin apaan? Dari tadi gue ngomong juga malah ngalamun sendiri.”

“Gapapa, pikiran gue aja yang lagi ngelantur kayanya.” Gita pikir dia gak perlu cerita ke siapa-siapa dulu soal pikirannya ini, Gita mau nyari tahu dari Yuno dulu tentang hubungan keduanya.

“Dih, rahasia-rahasiaan sama gue nih?” Kevin menaikan sebelah alisnya, merasa Gita sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

Tapi sekali lagi Gita mikir, dia butuh sudut pandang lain juga soal kenapa Julian bisa meluk Ara? Ini baru dugaan Gita aja, tapi kayanya Julian memang menyukai Ara. Terlihat dari bagaimana cowok itu pertama kali datang ke kosan Abah. Cara menatap Julian ke Ara dengan ke Echa dan juga dirinya sendiri itu berbeda, atau ini hanya perasaanya saja?

“Kalo menurut lo nih yah, Kev. Ijul ngapain meluk-meluk Ara?” tanya Gita pada akhirnya, toh ini Kevin. Dia gak akan ngember kaya Januar kok, Gita percaya itu.

“Lo curiga sama Ara?”

“Ck,” Gita berdecak. “Jawab dulu aja.”

“Hhmm,” Kevin bergumam, seraya mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya itu. Dia gak lihat langsung, lagi pula peluk itu kan bisa menyiratkan banyak makna bukan?

“Kalo tadi Chaka bilang Ara nangis terus Julian meluk, bisa jadi sih ada sesuatu yang gak baik. Bisa jadi Julian cuma nenangin Ara aja? who knows,” Kevin menggedikan bahunya.

“Bisa jadi sih, tapi lo suka mikir gak sih kalau Ijul tuh ngasih perlakuan ke Ara beda?”

“Maksudnya?”

“Ya beda aja, kaya perhatian banget gitu.”

“Naksir maksud lo?”

Gita menaikan kedua bahunya, ya dia mikirnya gitu. Tapi Gita kan mau lihat pendapat Kevin juga.

“Yah kalo naksir itu hak dia gak sih? Lagian Ara juga kelihatan biasa aja ke Ijul.” jawab Kevin sekena nya, dia sendiri saja sudah pusing sama hubungannya. Boro-boro harus memperhatikan hubungan orang lain.

“Gue ngerasa hubungan Ara sama Kak Yuno kok kaya ada yang enggak beres yah?”

“Lo tuh kebanyakan overthinking, Hon.”

“Gue serius, Kev.”

Kevin menatap Gita, kali ini wajah gadis itu sedang mendadak serius. “Yaudah, coba lo tanya langsung aja ke Bang Yuno. Yah basa basi nanyain kabarnya kek, minggu ini juga lo belum telfon dia kan?”

Gita mengangguk, Kevin ada benarnya juga. Biasanya kalau Gita sibuk dan lupa mengabari Yuno, Yuno lah yang suka menelponnya duluan. Atau terkadang kalau sedang face time dengan Ara, Yuno suka minta di panggilkan Gita. Tapi akhir-akhir ini sepertinya Ara jarang melakukan face time dengan Yuno.

Gita akhirnya mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Yuno ke ponsel cowok itu. Namun ponselnya tidak aktif, beberapa kali dia mencoba melakukannya namun masih sama. Bahkan Gita juga mengirimi cowok itu pesan singkat untuk menelepon balik ketika sudah tidak sibuk.

“Kak Yuno HP nya gak aktif,” gumam Gita, dan itu menambah keresahan dirinya tentang apa yang sebenarnya terjadi.


Malam itu di atas motor Julian dengan terpaan angin yang menerpa wajahnya, Ara berusaha melupakan kesedihannya akan Yuno. Untuk kelanjutan hubungannya, Ara masih bimbang mau dia bawa kemana. Toh sampai saat ini Yuno masih belum menghubunginya lagi.

Sejak sore Ara dan Julian keliling Bandung, kemudian makan jagung bakar di dekat Ranca Upas. Lalu melanjutkan perjalanan lagi mengitari Bandung mencari makanan berat untuk mereka makan malam.

Julian sudah mengajak Ara untuk pulang, namun gadis itu masih enggan untuk pulang rasanya. Kalau masuk ke dalam kamar, dan sendiri dia takut teringat akan Yuno lagi.

“Ra?” Julian melirik Ara dari kaca spion nya yang tampak sedang melamun itu.

“Ra?” panggilnya sekali lagi, kali ini Julian sedikit menoleh. Dan mata keduanya bertemu.

“Mau kemana lagi kita, Buk?” tanya Julian.

“Gak tau, Pak. Kemana aja yang penting enggak pulang,” jawab Ara mengawang. Hidungnya sudah memerah karena dingin, tapi rasanya masih enggan untuk pulang. kepalanya akan berisik jika di tempat sepi.

“Kenapa sih gak mau pulang?”

“Gapapa, lagi bosen aja.”

“Masih sedih?”

Julian lagi-lagi melirik dari kaca spion, dan Ara hanya terdiam menunduk. Dan ia anggap itu sebagai jawaban. “Mau ke tempat gue biasa latihan gak?”

“Kemana?”

“Ikut aja yah.”

Karena sudah enggak tahu mau ngajak Ara kemana lagi, akhirnya Julian mengajak gadis itu ke Black Box. Yup, tempat tanding tinju ilegal. Dari Black Box akhirnya Julian bisa memperbaiki motornya tanpa harus meminta uang ke Ibu.

Dia juga bisa punya tabungan sendiri, bahkan Julian bilang ke Ibu kalau Ibu gak perlu mengiriminya uang lagi. Ya tapi walau begitu, Ibu tetap mengirimi Julian uang saku untuknya sehari-hari.

Motor yang Julian kendarai itu berhenti di sebuah minimarket, cowok itu membantu Ara melepaskan helm miliknya dan mengajaknya masuk ke dalam gang sempit, becek dan berpenerangan minim itu.

“Kita mau kemana sih, Jul?” tanya Ara, dia megangin kaus lengan panjang yang Julian pakai agar tidak terpeleset, jalananya agak licin.

“Ikut aja.”

“Lo gak ngajak gue ke tempat aneh-aneh kan?” walau dia tahu Julian gak mungkin aneh-aneh, tapi tetap aja Julian itu cowok. Wajar kan Ara mikir yang negatif kalau di ajak ke tempat sepi dan berada di gang sempit seperti ini? Ini instingnya sebagai perempuan.

“Emang muka gue tuh muka cowok mesum apa? Gue emang pernah ngambil celana tidur lo, tapi gue gak mesum yah.” ucap Julian tidak terima, dan Ara hanya terkekeh saja. Julian lucu kalau lagi marah.

Dan sampailah keduanya di Black Box, malam itu gedung tua itu agak sedikit sepi. Hanya ada beberapa petarung saja di sana yang sedang berlatih, bahkan Kang Ian saja sudah pulang dari sana.

Setelah menyuruh Ara menunggunya di bawah ring, Julian berganti baju sebentar kemudian kembali lagi. Dia akan melakukan latihan sebentar, seminggu lagi ia akan ada pertandingan dan bayaran nya bisa di bilang lumayan. Karena kali ini Julian minta 80% dari bayarannya jika biasanya ia hanya dapat setengahnya.

“Jul, lo tinju?” pekik Ara begitu melihat Julian di atas ring. Cowok itu hanya mengangguk saja.

Ara yang di buat kaget itu justru gak bisa berkata-kata lagi, gak nyangka muka Julian yang kalem kaya gitu ternyata bisa tinju juga. Dan saat cowok itu latihan, Ara semakin terperangah karena dimatanya Julian sangat keren.

Beberapa kali juga Julian di bantu oleh petinju lainnya untuk berlatih, dan mendapatkan pujian atas pukulannya. Setelah latihannya sudah selesai, cowok jangkung itu turun san menghampiri Ara yang masih terperangah di bawah ring.

“Jul?”

“Hm?” Julian yang lagi minum sembari menyeka keringatnya dengan handuk kecil itu melirik ke arah Ara.

“Ini tuh ilegal yah?”

Mendengar itu Julian menelan saliva nya mati-matian. Namun pada akhirnya cowok itu mengangguk, yah mau di sembunyikan pun rasanya Ara enggak sebodoh itu buat menafsirkan kalau gedung tua ini adalah area tinju ilegal.

“Gue enggak akan lama disini kok, sampai gue dapat part time aja.”

“Jadi ini alasan lo kadang suka memar-memar yah?” tebak Ara.

“Gue belum pernah kena tonjok di muka.”

Ara menunjuk tangan Julian, yup. Tangan cowok itu kerap kali memerah bahkan membiru yang dulu Ara pikir tanpa sebab, dan sekarang gadis itu tahu apa sebabnya.

“Iya, tapi gapapa lah.”

“Lo kan bisa nyari kerjaan lain, Jul.”

“Kepepet, Ra. Kemarin gue lagi butuh duit buat benerin motor.”

“Awas yah kalo gue liat setelah dapet part time lo masih tinju lagi.” ancam Ara, Julian temannya. Dia enggak ingin Julian kenapa-kenapa apalagi sampai kena cidera.

Julian yang mendengar itu hanya terkekeh pelan, “enggak akan.”

“Gak boleh sombong!”

Julian hanya menggeleng, dari samping dia memperhatikan wajah Ara yang sudah sedikit lebih cerah. Yah walau agak sedikit cemberut karena sepertinya Ara enggak setuju Julian ikut tinju ilegal.

“Masih sedih gak? Kita mau pulang?” tanya Julian.

“Udah enggak terlalu sih.”

“Pulang yah? Gue ganti baju dulu habis ini.”

“Jul?”

“Hm?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, kepalanya menunduk dengan tatapan mengarah pada sandal pink bergambar Patrick di ujungnya.

“Gue harus gimana sama hubungan gue yah, Jul?” kini Ara menatapnya lagi dengan pandangan nanar.

Julian yang di tanya begitu hanya bisa membuang nafasnya kasar, dia sadar bukan penasihat yang baik di dalam hubungan seseorang. Julian pun belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun.

“Lo masih sayang sama dia, Ra?”

Ara mengangguk, Ara masih sayang sekali dengan Yuno. Meski sudah di kecewakan dia sendiri bingung kenapa rasa sayangnya sama sekali enggak berkurang. “tapi rasanya kenapa lebih banyak gue yang sakit dan nunggu.”

“Sekarang gue tanya balik, apa lo masih kuat? Pertahanin kalo lo masih kuat, tapi sebaliknya, Ra. Kalo cuma ngerasa lebih banyak sakit lepasin. Jangan ngorbanin diri lo sendiri.”

Mendengar pertanyaan itu, Ara malah terdiam. Matanya menatap netra legam milik Julian yang kini juga tengah menatapnya dengan teduh, Ara berusaha mencari jawaban di kepalanya. Namun sekali lagi dia bertanya kepada dirinya sendiri, apa ia masih kuat jika Yuno masih terus seperti ini?