Menjelang
Selesai melakukan meeting pagi hari ini, Julian dan karyawan-karyawan lainnya keluar dari ruang meeting. Di jalan menuju ruangannya Liliana mengangguk kecil pada Julian, ada beberapa hal yang mau dia sampaikan serta memberikan beberapa berkas yang di titipkan oleh divisi marketing padanya.
“Pak, Jul.” Liliana tersenyum, di tangannya ia membawa map berisi berkas-berkas.
“Kenapa, Li?” tanya Julian.
“Desaign yang kemarin Bu Cassandra minta udah saya kirim ke email yah, Pak. Sekalian sama ini titipan dari Pak Mike.” Liliana memberikan map itu pada Julian.
“Oiya, makasih yah, Li.”
“Sama-sama, Pak.”
Sebelum Liliana kembali ke mejanya Julian sempat kepikiran ingin menanyakan kabar kesehatan anaknya Liliana. Julian tuh emang gitu, bukan cuma ke Liliana saja bahkan waktu tau anaknya Ferdy sakit juga Julian nanya perkembangan kesehatannya. Dia tuh emang selalu perduli sama teman-temannya.
“Oiya, Li.” suara Julian itu menahan Liliana untuk tidak membungkuk pamit dan berbalik badan meninggalkan lorong itu.
“Ya, Pak?”
“Kondisi anak kamu gimana? Udah mendingan?”
Liliana mengangguk kecil, dia tersenyum karena merasa senang seseorang memperdulikan Bella. Selama ini Bella jarang di perhatikan oleh orang lain, jarang ada orang yang menyukai Bella bahkan teman-teman Liliana sekalipun.
Cap anak nakal, enggak bisa diam dan hiperaktif itu udah di sematkan di kening Bella. Orang-orang udah terlanjur malas melihat tingkah Bella yang enggak bisa diam, makanya kalau ada orang lain yang perhatian sama Bella tuh rasanya Liliana bersyukur sekali.
“Baik, Pak. Udah mendingan kok, kayanya dia emang kecapekan aja,” jelas Liliana.
“Syukur deh, salam buat dia ya. Nama nya siapa, Li?” seingat Julian, waktu acara gathering kantor ke daerah Bogor. Liliana tuh enggak ngajak Bella, dia sendiri enggak tahu alasannya apa karena waktu itu Liliana sangat pendiam karna dia masih termasuk karyawan yang baru banget gabung di perusahaan.
“Namanya Anabella Kusuma Putri, Pak.”
Julian senyum, namanya bagus menurut Julian. Walau agak sedikit mengingatkan dia sama film horor dan boneka milik Chaka yang sering banget pindah-pindah tempat di kosan. “Namanya bagus, umur berapa, Li? Kamu kayanya enggak pernah ajak dia ke acara kantor yah?”
Liliana mengangguk kecil, dia enggak nyangka akan melakukan obrolan yang lumayan panjang dengan senior nya itu. Biasanya Julian dan Liliana hanya berbicara soal pekerjaan saja, enggak ada tuh ngobrol-ngobrol hal personal seperti ini.
“Makasih, Pak. Umur nya 4 tahun, Pak. Saya emang ngajak Bella ke acara kantor, Pak.” Liliana meringis, agak merasa bersalah karena selama ini dia rasanya kaya menyembunyikan Bella. Padahal maksud Liliana enggak gitu, dia cuma enggak mau Bella di anggap anak yang aneh dan di benci banyak orang hanya karena sifat nya yang enggak bisa diam itu. Bella sudah cukup menanggung kebencian dari keluarganya dan juga keluarga Suaminya.
“Kenapa, Li? Ajak lah sesekali kalau enggak salah bulan depan itu kita ada acara makan siang bersama kan di hari ulang tahun nya Bu Cassandra. Ajak aja yah, Pak Ferdy juga ajak anaknya kok. Anaknya juga perempuan. Beda setahun sama Bella kok. Mereka pasti bisa cepat akrab.”
“Bella itu beda, Pak. Dari anak-anak kebanyakan,” ucap Liliana lirih. Dia gak mau jujur soal ini sama siapapun, tapi entah kenapa ia bisa lugas saat bercerita tentang Bella pada Julian.
“Maksudnya, Li?” Julian mengerutkan keningnya bingung.
“Bella itu anak yang termasuk golongan ADHD, Pak. Attention Deficit Hyperactivity Disorder dia lebih aktif dari anak pada umumnya.” Liliana tersenyum.
“Ahh.” Julian mengangguk-angguk. Udah bukan hal yang aneh baginya dengan istilah itu, Julian pernah mendapatkan materi soal perilaku ini meski ia bukan berasal dari psikologi klinis. “Gapapa, Li. Ajak aja. Kebetulan Istri saya itu psikolog klinis. Mungkin Bella bisa terapi sama istri saya, biar Bella lebih terarah dan bisa fokus sama hal yang dia lakuin. maybe bisa lebih tenang juga.”
Bella itu memang sempat beberapa kali terapi dan mengikuti kelas kepribadian, tapi semuanya enggak berlangsung lama karena biaya yang Liliana keluarkan cukup besar. Kebutuhan hidup mereka yang lain bisa terancam, pada akhirnya Liliana hanya menyekolahkan Liliana di sekolahan khusus saja. Itu pun Liliana harus menekan pengeluaran lain agar enggak menganggu biaya sekolah Bella.
“Saya enggak enak, Pak. Lagi pula Bella sudah saya sekolahkan di sekolah khusus kok. Walau enggak ada perubahan yang banyak juga, tapi dia jauh lebih bisa mengendalikan diri.” Liliana cuma enggak enak aja, dia belum kenal dekat sama Istri seniornya itu dan lagi pula ia gak yakin akan sanggup membayar biaya terapinya.
“Yaudah, tapi kalau kamu butuh konsultasi kamu bisa bilang saya ya, Li. Istri saya pasti mau bantu kok.”
“Makasih banyak, Pak.”
Setelah obrolan itu berakhir, Liliana hanya bisa memandang punggung Julian dari jauh sampai menghilang masuk ke dalam ruangannya. Hatinya sedikit lega bercampur dengan buncahan kebahagiaan yang merasuki dada dan perutnya. Tapi dengan cepat ia tepis itu semua, Liliana harus sadar dia siapa. Itu milik orang lain dan dia enggak mau merusak kebahagiaan wanita lain.
“Sadar, Li. Sadar!!” Liliana mengingatkan dirinya sendiri.
“Berarti buat dapat surat izin praktik psikolog klinis lo harus dapat tempat praktik dulu, Ra?” ucap Gita, yang di balas anggukan sama Ara.
Siang ini Gita sama Teh Niken lagi main ke rumahnya Ara, ada si kembar juga kok tapi mereka lagi tidur siang di kamar tamu Ara, sementara Gita, Teh Niken sama Ara lagi santai di depan ruang TV sambil ngemil gelato sama tiramisu yang Teh Niken sama Gita bawa.
“Iya, Git. Lo ada kenalan gitu sama orang properti? Gue gak masalah sih kalo harus sharing gedung. Yang penting lokasinya strategis sama sirkulasi udaranya bagus, point utama biar surat izin praktik gue itu.” Ara agak frustasi banget waktu lagi ngurus dokumen dan baca persyaratan-persyaratan yang harus dia penuhi buat dapat surat izin praktiknya.
“Gue gak ada sih, tapi kayanya Mas Arial punya kenalan deh nanti gue tanya sama dia ya, tapi lo udah nanya sama Janu belum? Kenalan dia kan banyak. Apalagi dia lagi nyiapin juga kan buat punya firma arsitektur sendiri, kali aja gitu dia kenal agen properti?” Gita menaikan satu alisnya sembari menyuap satu sendok gelato rasa pistachio ke dalam mulutnya.
“Belum sih, nanti gue coba nanya deh.”
“Nanti aku bantu juga sekalian yah, Ra. Kalo aku nemu nanti aku kabarin kamu.” oiya Teh Niken ini memang praktik tapi dia kerja di klinik orang lain. Teh Niken ini juga lebih ke konselor pernikahan.
“Makasih yah, Teh.” Ara senyum, dia beruntung banget punya teman-teman yang perhatian sama dia.
“Tapi yah, Ra. Untung miom lo tuh ketahuannya sekarang i mean mungkin pas belum terlalu besar, jadi masih bisa di lakuin tindakan cepat,” celetuk Gita. Dia cuma mikir kalau miom nya Ara terlambat terdeteksi tuh kemungkinan besar bisa fatal juga. Bahkan kalau Ara hamil pun bisa mengalami pendarahan hebat dan anemia defisiensi besi.
“Iya, Git. Gue mikirnya juga gitu, pantes aja selama ini gue suka sakit banget kalau datang bulan.”
“Sakit nya melebihi kaya kita datang bulan, Ra?” tanya Teh Niken.
Ara mengangguk, “iya Teh, terus juga durasinya bisa lama banget sampai aku pernah sekali pingsan akibat anemia.”
Teh Niken bergedik ngeri, ngilu banget dengar cerita Ara. “Ya ampun, Ra.”
“Tapi orang tua lo sama mertua lo tau kan, Ra?” tanya Gita, dia tuh tau banget Ara sama Julian kalau punya masalah kalau masih bisa di selesaikan berdua pasti mereka enggan cerita sama orang tua mereka.
“Gue enggak cerita sama orang tua gue atau pun Ibu nya Ijul, Git. Bunda lagi sibuk banget ngurus buat lamarannya Reno sama Karin. Kalo Ibu nya Ijul juga gue gak kepengen beliau kepikiran, Ibu nya punya darah tinggi.”
Tuh kan apa dugaan Gita, wanita itu menghela nafasnya sebentar tapi setidaknya Ara mau bercerita sama anak-anak kosan. Itu jauh lebih baik dari pada Julian sama Ara menghadapi situasi ini berduaan kaya enggak punya siapa-siapa.
“Yaudah, yang penting ada kita. Oiya, gue sama Mas Ril baru bisa datang after lo operasi. Gapapa kan? Julian ngantor jam berapa?” Gita sama Arial baru bisa jengukin Ara setelah jam makan siang selesai, mungkin Arial akan mengambil waktu setengah hari bekerja demi bisa jengukin adiknya itu.
“Gapapa, Git. Datang pas weekend juga gapapa, Ijul udah dapat izin kok dari atasannya. Dia bisa jagain gue.” Ara cuma enggak enak aja kalau terlalu banyak repotin Kakak sepupu dan Istrinya itu, biar bagaimana pun Arial sama Gita itu sama-sama sibuk. Belum lagi mereka repot ngurus si kembar yang lagi aktif-aktif nya.
“Aku sama Chaka bisa kok, Git. Nanti aku datang sama Chaka sebelum kamu masuk kamar operasi ya, Ra. Chaka besok kosong, terus aku juga cuma ada janjian sama klien jam 4 sore,” jelas Teh Niken.
Ara mengangguk kecil, hari ini dia gelisah banget karna mau operasi dan untungnya Gita sama Teh Niken bisa menjadi pelipur kegelisahannya itu.