O2. Tidak Harus Aku
ps: anggap aja semua percakapan Yuno sama temannya di sini pakai bahasa Jerman
Setelah menyelesaikan kelas nya hari ini, Yuno di minta salah satu dosennya untuk bertemu, kemarin dosen yang mengajar di kelasnya sudah menghubungi Yuno dengan maksud menawarkan Yuno untuk menjadi asisten nya sementara.
Yuno benar-benar kaget dengan itu meski ia sendiri senang, ini suatu kehormatan baginnya karena bisa menjadi asisten dosennya. Menurut Yuno ini langkah awal yang bagus sebagai mahasiswa baru.
Sangat jarang sekali mahasiswa semester awal di minta menjadi asisten dosen seperti ini, ya meski tugasnya sebagai seorang asisten enggak banyak. Yuno enggak minta untuk mengajar di kelas menggantikan dosennya, ia hanya di minta membantu mengurus kegiatan administrasi dan mengatur schedule dosen nya saja.
Hanya tugas ringan namun Yuno senang bukan main, baru saja derap langkah Yuno menuju lab itu terhenti. 3 orang laki-laki dengan perawakan kaukasiaan itu menjegal jalannya, ketiganya senior Yuno di kampus.
“Enggak lihat ada senior di sini?” ucap salah satu dari mereka.
Yuno hanya menatap ketiganya bingung, setahunya, Merekalah yang menjegal jalan Yuno, bukannya harusnya mereka yang menyingkir?
“bukannya kalian yang menghalangi jalan gue?” ucap Yuno santai.
“dia ini Aryuno, mahasiswa awal yang di tunjuk Pak Chris untuk jadi asistennya,” laki-laki berbadan lebih tinggi dari Yuno itu menelisik Yuno dari atas hingga bawah, seperti tengah menilai kemampuan Yuno.
“oh ya? Kok bisa Pak Chris nunjuk mahasiswa semester awal buat jadi asistennya?“
Yuno membuang nafasnya berat, Jerman memang sedikit lebih baik dari pada di Jakarta. karena ia bisa lebih bebas dari Papa nya, Tapi enggak bisa memungkiri juga jika ada beberapa mahasiswa di kampus ini yang masih melakukan senioritas, assholes does exist.
“kalian bukannya mahasiswa semester akhir? Kenapa repot-repot ngurusin ginian? Kenapa kalian enggak sibuk belajar untuk Staatsexamen?” tanya Yuno mengalihkan pembicaraan mereka.
Di Jerman khususnya mahasiswa kedokteran tidak lagi mengusut skripsi untuk mahasiswa semester akhir, Staatsexamen adalah ujian negara yang di selenggarakan dalam 3 tahap untuk bisa lulus dan mendapatkan gelar Sarjana.
Ke tiganya tertawa mendengar ucapan Yuno, namun Yuno juga tertawa mengikuti mereka dengan seringaian mengerikan di bibirnya. Tawa hambar itu untuk ketiga senior nya, ah tidak, lebih tepatnya orang bodoh.
Orang bodoh yang hanya mementikan iri dari pada mengencangkan usaha agar bisa mendapatkan apa yang mereka mau.
“kayanya bocah ini memang bodoh,” ucap laki-laki yang berada di sebelah kanan Yuno.
Yuno menggeleng pelan, ia malas untuk menghiraukan ucapan ketiganya. Jadi dengan penuh keyakinan ia menyingkir dari sana, menghirukan ketiganya yang menyumpah serapahi Yuno dari belakang kepalanya.
Demi meredakan perasaan kesalnya, sembari menunggu dosennya selesai mengajar, Yuno duduk di bawah pohon rindang, mendengarkan lagu dari ponselnya sembari membaca buku miliknya.
Sebenarnya, di kampus Yuno ini di sediakan lounge belajar yang cukup nyaman dengan fasilitas yang tentunya membuat Yuno betah berlama-lama belajar di sana ketimbang di apartemen miliknya. Namun Yuno hanya ingin mencari suasana baru sembari menghirup udara segar, lagi pula cuacanya cukup cerah meski agak sedikit dingin.
Ada banyak burung berterbangan di sekitar kampus Yuno, di taman ini juga ada banyak mahasiswa yang sedang duduk-duduk saja atau membaca buku.
Besok juga kebetulan ia ada ujian untuk mata kuliah Scientific Enquiry And Evidence-Based Medicine, sedang asik membaca bukunya. Tiba-tiba saja ada cairan merah menetes ke buku milik Yuno, tangannya itu reflek memegang hidungnya dan benar saja asal cairan merah itu berasal dari hidungnya.
Yuno lagi-lagi mimisan untuk yang kesekian kalinya, setiap kali ia belajar dengan keras dan banyak mengikuti kegiatan cairan merah yang Yuno benci itu pasti akan menetes dari hidungnya.
“Sial!!” gumam Yuno, ia buru-buru mengambil tissue yang selalu ia bawah di tas nya.
Menyumpal hidungnya itu dengan tissue, dan kembali membaca bukunya lagi. Tiba-tiba saja getaran halus yang berasal dari saku nya itu mengintrupsi Yuno. Ia rogoh saku miliknya dan mengeluarkan ponselnya, Ara menghubunginya. Tapi Yuno enggak mungkin mengangkat panggilan itu dengan kondisi hidung tersumpal tissue dan noda darah begini kan?
Jadi terpaksa Yuno abaikan panggilan itu, biar nanti Yuno saja yang menghubungi Ara jika ia sudah sampai apartemen nya. Akhir-akhir ini Yuno memang banyak melakukan kegiatan di kampus, selain itu jadwal kuliahnya yang lumayan padat dan organisasi yang ia ikuti membuatnya terkadang sedikit mengabaikan Ara.
Yuno paham akan hal itu, terkadang saat keduanya sedang melakukan panggilan video di malam hari saat di Jerman. Yuno lebih sering izin pamit tidur duluan, meski mengatakan bahwa Ara baik-baik saja dengan hal itu. Tetap saja Yuno merasa tidak enak.
“Maaf yah, Ra.” gumam Yuno sembari memandangi fotonya dan Ara yang berada di ponselnya.
Yuno sudah bertekad untuk segera pulang akhir tahun ini, agar ia bisa setidaknya menggantikan hari-hari saat ia dan Ara tidak banyak bicara. Meski hanya pulang sebentar, ia berharap itu dapat mengobati kerinduan gadisnya itu.
Hari ini adalah hari kedua Ara PKKMB di kampusnya, hari ini OSPEK jurusan yang membuat seluruh mahasiswa baru di jurusan Psikologi harus berkumpul di lapangan. Ada pemeriksaan atribut dan kedisiplinan mahasiswa baru oleh senior mereka.
Selama masa PKKMB Ara selalu berangkat ke kampusnya bersama Julian, mereka juga sudah bertemu dengan teman baru yang langsung akrab begitu saja. Seorang laki-laki yang tingginya tidak jauh dari Julian, namanya Jonas. Dan perempuan yang duduk di sebelah Ara itu namanya Sharen.
Mereka selalu bersama selama masa PKKMB, terkadang saat istirahat keempatnya juga sering ngomongin kelakuan senior mereka. Anggap saja merumpi, karena memang enggak bisa di pungkiri kalau ada beberapa kakak tingkat yang memperlakukan mahasiswa baru semena-mena.
“Dimana ikat pinggang kamu?” tanya seorang laki-laki beralmamater biru muda itu, namanya Alinson. Dia adalah komandan lapangan hari ini.
“Maaf, ketinggalan, Kang.” ucap Julian, ia menelan saliva nya susah payah, bersiap menghadapi hukuman.
Ikat pinggang Julian enggak ketinggalan, justru ia memberikan ikat pinggang miliknya untuk Ara pakai karena gadis itu lupa membawa ikat pinggang miliknya. Di tempatnya berdiri, Ara jadi ngerasa enggak enak sama Julian. Ia mengigit bibir terdalamnya, ragu-ragu untuk membela Julian dan mengembalikan ikat pinggang itu agar Julian terbebas dari hukuman.
cari mati namanya, ia bisa di ledeki habis-habisan oleh kakak tingkatnya dan mahasiswa lain, dan ia jamin jika ia tetap nekat melakukan itu. Kejadian itu akan terus di kenang selama ia masih berkuliah di Narawangsa.
“Mana mentor kelompok 3?”
“Saya, Kang.” seorang laki-laki menyahut dari belakang barisan, laki-laki bernama Dika dengan perawakan yang mirip orang Arab itu melangkah maju ke depan menghadap sang komandan.
Ara, Julian, Sharen dan Jonas itu satu kelompok. Makanya enggak heran mereka dekat banget dan selalu kemana-mana berempat, apalagi kalau sedang istirahat.
“Bawa dia nih ke lapangan eksekutor, biar kita kasih hukuman dia.”
“Baik, Kang.”
Julian dan beberapa mahasiswa baru yang tidak melengkapi atributnya di giring ke lapangan yang lain, saat melewati barisan Ara. Julian hanya tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya, memberi isyarat pada gadis itu jika ia tidak masalah dengan hukuman ini.
Namun tetap saja Ara merasa tidak enak, ia harus membalas kebaikan Julian hari ini. Dari hari pertama pun Julian sudah banyak membantunya, terutama dengan tumpangan motornya dan sarapan ringan yang Julian beli sebelum mereka berangkat.
Julian bilang, kalau Ara enggak sarapan. Julian cuma khawatir Ara enggak kuat kalau harus berdiri lama di lapangan mendengarkan pemaparan.
“Kasian Gatot Kaca di hukum,” samber Jonas.
“Julian tuh cowok lu yah, Ra?” tanya Sharen tiba-tiba.
“Ih, bukan. Dia cuma sekosan sama gue.”
“Lo kumpul kebo sama Julian?” samber Jonas yang bikin Ara geram sendiri, andai tidak ada Kakak tingkatnya di depan sana. Ara pasti udah jitak kepala Jonas yang bisa-bisa nya ngomong ngasal kaya gitu.
“Ya bukan lah gila! Gue sama Julian ada di kosan yang sama, bukan berarti kumpul kebo. Ini tuh kosan campuran, cuma beda lantai maksud gue,” jelas Ara yang di beri anggukan oleh Jonas.
“Yang lain, fokus! Kita akan pindah ke aula buat pemaparan HIMA PSI. Dengarin kalau Kakaknya lagi bicara, jangan ada yang sibuk sendiri, paham?”
“Paham Kak.” teriak mahasiswa serempak.
“Lemes amat kaya bencong, udah pada capek? Kalian enak datang enggak pagi-pagi banget, kami disini datang dari subuh.”
“Mulai deh adu nasib,” cicit Jonas. Sementara Ara dan Sharen hanya terkekeh pelan.
“Paham gak?!” teriak Alinson.
“PAHAM KAK!!”
“Jangan teriak-teriak saya enggak budeg!” ucap Alinson yang membuat Jonas lagi-lagi mengucapkan celetukan asalnya.
“Orang setress, elu yang teriak duluan. Kocakk!”
“Sstt!” menahan tawanya, Ara menyuruh Jonas untuk diam. Dari pada ada senior yang dengar dan berujung Jonas kena hukuman juga.
Ara dan seluruh mahasiswa baru akhirnya menuju ke aula, di sana Julian sudah memberikan kursi untuk Ara agar ia bisa duduk di samping gadis itu. Sementara Jonas dan Sharen duduk di depan mereka.
Setelah selesai menjalankan hukuman yang di berikan, Julian di perbolehkan ke aula lebih dulu.
“Jul, sorry yah.” Ara meringis, dia ngerasa bersalah banget sama Julian yang jadi di hukum gara-gara kesalahannya.
“Santai aja, Ra. Gue gak di apa-apain kok, cuma suruh mungutin sampah doang.” Julian benar-benar enggak masalah sama hukuman yang dia jalani, baginya yang terpenting bukan Ara yang kena hukuman.
“Lo tuh harusnya gak usah ngasih ikat pinggang lo ke gue.”
“Harusnya gue simpan aja ikat pinggangnya di tas gue yah, biar kita di hukumnya berdua gitu?”
“Ck,” Ara bedecak dengan wajah cemberut, sedikit kesal dengan Julian yang malah menganggap remeh hal itu. “Apasih, gak gitu dong.”
“Udah ah, tuh. Anak-anak HIMA udah masuk, mendingan kita dengerin pemaparan mereka biar tertarik join di HIMA.” Julian mengalihkan pembicaraan, ia tidak lagi menatap Ara. Pandanganya beralih ke depan sana dan fokus mendengarkan pemaparan dari HIMA di fakultasnya.
Para pengurus inti himpunan memperkenalkan diri mereka mulai dari ujung kiri hingga ke kanan, mereka juga jelasin devisi apa saja yang ada di Hima Psi mulai dari Divisi PSDM, Divisi Keilmuan dan Penalaran, Divisi Humas, Divisi Menfokom, Divisi Kerohanian, Divisi Pemikat, dan Divisi Ekobis, Divisi keuangan.
Sekarang ini mereka lagi dengerin jobdesc dan jobspec apa aja yang ada di masing-masing divisi, hingga program kerja departemen.
Masing-masing divisi memiliki karakter dan cara kerja mereka sendiri, karakter itu bisa tumbuh seiring berjalanya program kerja dan tim yang ada di dalamnya. Kemudian di kembangkan menjadi culture dari semua anggota yang ada di dalam divisi.
Semua mahasiswa akrif bertanya mengenai tugas masing-masing divisi, sementara Ara di kursinya sedikit mengantuk. Jujur saja, semalam ia kurang tidur karena melakukan panggilan video dengan Yuno. Ia menemani cowok itu mengerjakan tugasnya di lounge belajar kampusnya.
“Ra, lo udah kepikiran mau join HIMA gak?” tanya Julian.
“Hm?” Ara yang enggak dalam konsentrasi penuh itu menoleh ke arah Julian dengan wajah bingungnya. “Kenapa, Jul?”
“Lo ngantuk?”
Ara mengangguk, “sedikit, gak. Tadi lo ngomong apa?”
“Tadi gue nanya,” Ara mengangguk. “Lo udah kepikiran buat join HIMA apa belum?”
“Oh,” Ara tersenyum, tentu saja ia sudah berniat. Ara sudah menyusun plaining untuk masa perkuliahannya, ia ingin aktif di organisasi kampus. “Udah lah, gue mau join kok.”
“Bareng yah, gue juga mau join HIMA,” ucap Julian, yang di beri jawaban anggukan kecil oleh Ara.
Kegiatan PKKMB hari itu berjalan lumayan panjang, hingga menunjukkan jam 4 sore. Baru lah mahasiswa baru di perbolehkan pulang, sedang menunggu Julian mengeluarkan motornya di parkiran. Ara mencoba untuk menelfon Yuno, ia ingin bercerita tentang keinginanya untuk bergabung ke HIMA.
Kalau tidak salah, Yuno bilang ia sudah menyelesaikan kelas nya dan tengah menunggu dosen nya. Namun hingga dering ke 3 di ponselnya Yuno urung menjawab panggilannya juga.
Namun tidak lama kemudian, pesan singkat masuk ke ponsel Ara. Itu dari Yuno, cowok itu bilang. Ia akan menghubungi Ara jika sudah berada di apartemen nya nanti.
“Ra?” panggil seseorang yang membuat Ara menoleh, itu ternyata Julian. Ia memberi helm milik Ara itu. “Nelfon siapa?”
Ara hanya menghela nafasnya pelan, “gapapa.”
“Kenapa tuh muka di tekuk kaya gitu?” julian merhatiin muka Ara yang lagi masang helm. Mukanya sedikit masam, padahal sebelum keluar dari aula tadi raut wajah Ara tidak seperti ini.
“Lagi capek aja, Jul.”
“Mau nyari makan dulu gak? Gue tau tempat pecel lele enak di deket sini.”
Karena perutnya juga sedikit lapar dan Ara juga sudah lelah untuk memasak makanan, akhirnya ia mengangguk dan langsung naik ke atas motor Julian.