O5. Cemburu

Keesokan paginya Arial pulang dari rumah sakit ke kosan subuh-subuh, orang tuanya Gita baru sampai tadi makanya Arial baru bisa pulang subuh ini. Ada Kevin juga yang menemani Arial di sana, meski sudah di suruh pulang sama Kevin tapi Arial memilih untuk tetap menunggu Gita.

Dia ngerasa bersalah sama Gita karena Gita menjadi seperti itu karena dirinya, Agness dan teman-temannya menyerang Gita karena tidak suka Gita dekat dengan Arial. Sampai hari ini pun Arial masih memikirkan rencana untuk membuat perhitungan pada gadis-gadis gila di fakultasnya itu.

Tadinya Arial mau langsung pulang ke kosannya, tapi dia ingat kalau Julian bilang asma yang di derita Ara sempat kambuh. Maka dari itu, Arial berinisiatif untuk menjenguk Adiknya dulu. Tapi baru saja Arial membuka pintu kosan Abah, dari arah dapur sudah ada Julian yang tengah sibuk bergulat di dapur.

“Baru balik, Mas?” tanya Julian. Arial mengangguk, sedikit bingung kenapa Julian memasak sepagi ini. Lagi pula, cowok itu enggak pernah masak di dapur selain bikin mie instan atau roti panggang.

“Lo ngapain, Jul?”

Arial menghampiri Julian, cowok itu juga ambil gelas dan menuangkan air mineral. Arial haus sekali, agak sedikit ngantuk karena dia belum tidur. Tapi perasaanya gak tenang kalau belum mastiin kondisi Adiknya itu.

“Bikin bubur buat Ara, Mas.”

“Ah, iya. Gimana keadaan Adik gue? Kok bisa asma nya kambuh sih, Jul? Dokter klinik bilang apaan?” cecar Arial.

Julian yang masih berkutat dengan bubur dan aneka toping yang sudah dia tata di atas nampan itu, akhirnya mengecilkan api kompornya dulu. Berbekal resep yang ia dapat di internet, Julian percaya diri aja kalau bubur buatannya enak.

“Katanya asam lambungnya Ara kumat, Mas. Dia sering skip makan, kurang istirahat juga makanya asma nya bisa kambuh,” jelas Julian.

“HIMA lagi sibuk-sibuknya sih yah.” Arial mengangguk-angguk. “Gue bener-bener ngerasa bersalah banget karna gak ada pas Ara sakit, tapi Gita juga jadi tanggung jawab gue, Jul. Dia di kerjain sama anak fakultas gara-gara gue.”

Arial jelasin kaya gini ke Julian supaya Julian gak mikir yang macam-macam soal Arial, padahal Julian juga gak pernah mikir buruk soal Arial kok, dia juga gak masalah harus jagain Ara dan bawa gadis itu ke klinik.

“Gapapa, Mas. Anu.. Mas Ril tapi kayanya Ara ngambek.”

“Ngambek?”

Julian mengangguk. “Semalem dia nangis, Mas. Gara-gara tau Mas Ril jagain Gita di rumah sakit dan gak angkat telfon dari gue.”

Arial berdecak, kalau sudah begini Arial juga yang repot. Pasalnya Ara kalau ngambek itu susah banget buat di bujuk.

“Duh.”

“Tapi coba bujuk aja, Mas. Lo mau anter sarapan dia gak? Nanti bilang aja Mas Ril yang masak. Kayanya dia udah bangun juga, soalnya tadi sempat telfon gue nanyain inhaler nya di taruh mana.”

Arial mengangguk. “Yaudah, gue aja yang anterin sarapan buat dia, Jul.”

“Oke, bentar Mas. Gue siapin dulu.”

Julian nyiapin bubur dan teh tawar hangat buat Ara, dia taruh itu semua di atas nampan lengkap dengan obat yang dokternya resepkan untuk Ara. Julian berharap dengan begitu Ara gak akan marah lagi sama Arial.

Arial naik ke lantai 2 tempat kamar Ara berada, dia ketuk dulu pintu kamarnya. Takut-takut Ara lagi ganti baju atau apapun itu yang menganggu privacy nya.

“Dek?” panggil Arial.

Namun Ara enggan menjawab, di dalam kamarnya Ara masih bergulat di atas ranjangnya. Dengan hidung memerah khas habis menangis, mata sembab dan wajah bengkak sehabis bangun tidur.

Semalam, Ara terbangun. Dia kangen banget sama Yuno dan mencoba untuk menelfon cowok itu. Ara gak ada niat buat ngasih tau Yuno kalau asma nya kambuh karena dia gak ingin Yuno khawatir, Ara hanya benar-benar merindukan Yuno dan ingin mengadu kalau Arial lebih sayang dengan Gita saat ini ketimbang dirinya.

Namun sayangnya ponsel Yuno tidak aktif, Ara pikir saat ia bangun dari tidurnya nanti Yuno akan meneleponnya kembali atau minimal membalas pesan-pesannya. Namun apa yang dia dapat tak sesuai dengan harapan, pesannya ke Yuno bahkan belum terkirim sama sekali.

Hari itu rasanya Ara benar-benar kecewa, seperti dia berpikir hanya Julian saja yang benar-benar perhatian dan perduli padanya. Katakan Ara berlebihan, tapi dia ngerasa dunia sedang tidak berpihak padannya.

“Dek?” panggil Arial sekali lagi.

Karena masih kesal dengan Arial, akhirnya Ara menelfon Julian. Dia minta tolong Julian buat usir Arial dari depan kamarnya, dia masih gak mau lihat Arial, rasanya masih dongkol dan kesal.

kenapa, Ra?” jawab Julian dari ponsel milik Ara.

“Jul, di depan kamar gue ada Mas Iyal. Tolong usir, Jul.”

Hah? Kok di usir?

“Usir aja! Gue masih kesel sama dia, ngapain juga dia nengokin gue? Kenapa gak jagain aja terus si Gita? Sok perduli.”

Ra.. Mas Ril tuh—

“Usir dia Jul!! Gue tuh lagi kesel.” Ara mulai merajuk, suaranya yang serak jadi membuat Julian berpikir jika gadis itu sedang menangis lagi.

iya yaudah, gue suruh Mas Ril balik. Bentar yah, gue ke atas dulu.

Julian matiin sambungan telfonnya dan langsung ke atas, dan benar saja Arial masih setia di depan kamar Ara sembari membawa nampan berisi bubur, teh dan obat untuk Adiknya itu.

“Mas Ril, kayanya Ara belum mau ketemu lo, Mas.” ucap Julian bisik-bisik.

“Maksudnya, Jul?”

“Dia tadi telfon gue, katanya belum mau ketemu lo dulu. Nanti biar gue coba bujuk dia deh, gue bantu jelasin. Dia lagi sakit juga Mas, mungkin karna itu juga makanya perasaanya jadi sensitif banget.”

Arial menghela nafasnya sebentar, dia paham Ara pasti kecewa. Tapi Julian benar, mungkin karena Adiknya itu sedang sakit perasaanya jadi lebih sensitif dari biasanya. Akhirnya Arial mengangguk, dia ngasih nampan yang dia bawa itu ke Julian.

“Tolong yah, Jul. Dia pasti salah paham sama gue.”

Julian mengangguk, “iya, Mas. Santai aja. Mendingan lo balik Mas, istirahat. Ara ada gue disini sama anak-anak. Banyak yang jagain kok.”

Arial mengangguk, dia nepuk bahu Julian sebelum akhirnya melangkah dengan gontai untuk menuruni anak tangga. Namun belum sempat ia menuruni tangga menuju lantai 1, Julian sudah memanggilnya kembali.

“Mas Ril?” Arial menoleh dengan wajah bingungnya. “Gue izin masuk ke kamar Ara buat anterin bubur ini sama mastiin dia sarapan, boleh Mas?”

Kalau boleh jujur, Arial salut sama Julian. Walau kadang cowok itu kelihatan lamban tapi Julian itu sopan banget. Julian juga bisa di bilang enggak banyak tingkah walau kelakuannya kadang suka enggak jelas. Yah kaya kemarin aja, dia lagi-lagi salah ambil jemuran dan dia pakai lagi sampai bikin Januar mencak-mencak karena kaos Nirvana nya di pakai.

“Buka pintunya yah, Jul. Jangan di tutup rapat.”

“Oke, Mas.”

Begitu Arial pulang, Ara langsung membukakan pintu kamarnya buat Julian. Pagi itu, keduanya duduk di karpet bulu kamar Ara. Julian juga inisiatif buat buka jendela kamar gadis itu biar udara pagi yang segar itu masuk ke kamar Ara.

Ara yang sedang makan dengan ogah-ogahan itu cuma bisa lihatin Julian aja yang jadi sibuk sendiri beresin kamarnya.

“Buburnya enak walau keasinan, lo yang bikin sendiri, Jul?” tanya Ara.

Julian menoleh, cowok itu tersenyum kikuk. “Asin banget? Kalo asin jangan di makan. Nanti lo darah tinggi lagi.”

“Gak kok, agak asin tapi enak kok.”

“Serius?”

Ara mengangguk, “maaf yah repotin lo terus.”

Jujur aja Ara ngerasa enggak enak sama Julian, dia ngerasa udah terlalu sering ngerepotin Julian. Walau Julian sering bilang kalau dia enggak merasa di repotin sama sekali.

“Apaan sih, lo ngomong kaya gitu sekali lagi. Gue bakalan marah beneran sama lo nih,” ancam Julian.

Ara terkekeh, namun sedetik kemudian dia terdiam. Di saat-saat seperti ini. Orang yang paling dia sayangi dan dia butuhkan gak ada, rasanya kaya Julian yang menggantikan peran itu semua. Menemaninya, menjaga, mendengarkan semua ceritanya sehari-hari. Bahkan Julian jugalah yang merawatnya saat Ara sakit seperti ini.

Dulu, waktu asma nya kambuh. Yuno yang menjaganya di rumah sakit, bahkan cowok itu sampai menginap menggantikan Mas Yuda dan kedua orang tua Ara yang harus pulang untuk beristirahat dulu. Tapi saat ini, Yuno bahkan enggak ada dan gak tahu kalau di sakit.

Julian yang lihat perubahan di raut wajah Ara itu jadi agak sedikit bingung, dia duduk di sebelah Ara. “Lo kenapa? Kok tiba-tiba diem? Gak kesambet kan, Ra?”

“Cih, emangnya gue Kevin.”

“Terus kenapa?”

“Gue cuma sedih aja.”

“Karena Mas Ril?” tebak Julian, dan Ara hanya menggeleng pelan. “Terus?”

“Biasanya kalau gue sakit, Kak Yuno jadi yang paling khawatir melebihi Bunda sama Papa gue, Jul. Dia juga yang jagain gue kaya lo jagain gue gini.”

Mendengar nama laki-laki itu di sebut, rasanya seperti ada cubitan halus di dada Julian yang membuatnya tersenyum nyeri.

“Ya, sekarang dia kan jauh. Kalau dekat juga gue yakin dia yang bakalan jagain lo, bukan gue.”

“Dia bahkan gak tau gue sakit, Jul. Gue telfon dan ngechat aja HP nya gak aktif. Gue kangen banget padahal, gue juga khawatir kalau dia tiba-tiba ngilang kaya gini.”

“Ra, gue tau lo khawatir sama cowok lo. Tapi sekarang pikirin kesehatan lo dulu aja yah, mungkin cowok lo juga lagi sibuk. Lo sendiri kan yang bilang ke gue, kalo dia di Jerman. Zona waktu kita sama mereka aja beda 5-6 jam.”

“Tapi gue butuh dia, Jul. Gue kangen banget sama dia,” suara Ara bergetar. Bersiap untuk kembali menangis lagi.

Rasanya, setiap kali Ara menangis dan kecewa karena pacarnya. Ada sisi di diri Julian yang kesal dan mengutuk laki-laki itu habis-habisan, kalau ingin menjadi egois, rasanya Julian ingin sekali merebut Ara dari laki-laki bernama Yuno itu.

Julian ingin Ara lebih banyak bahagia dari pada menangis seperti ini, karena tidak tega melihat Ara menangis seperti itu. Julian membawa kepala gadis itu ke bahu nya, sembari ia tepuk-tepuk punggung tangan gadis itu.

Enggak ada kata-kata yang keluar lagi dari bibir keduanya, hanya ada isakan tangis Ara dan suara burung yang berasal dari luar jendela kamar.