O8. Berakhir
Setelah selesai dengan jam kuliahnya Arial mau langsung kembali ke kosannya, tapi sebelum berjalan ke parkiran, dia mau mampir ke kantin dulu. Mau beli gorengan yang Ari titip buat makan sore, karena kosan yang di tempati Arial itu memang di isi sama cowok-cowok.
Gak heran kalau penghuni di sana sering banget makan seadanya, kalau kata Ari yang penting mah kenyang, dapur juga cuma di pakai buat masak makanan instan aja macam mie atau sarden. Belum sempat ia memesan gorengan yang ada di dekat tenant nasi goreng, Arial malah berjalan ke meja yang berada di depan tenant bakso dan mie ayam.
Di sana ada Gita yang lagi duduk sendirian sambil minum es, Arial tersenyum niatnya mau ngagetin Gita dari belakang namun rencananya itu gagal karena Gita keburu menoleh ke arahnya, Gita tadinya mau ngambil tas nya dan akan hendak pergi dari sana. Siapa sangka justru ia malah melihat Arial yang sedang mengendap-endap di belakangnya.
“Mau ngagetin gue yah lo?!” hardik Gita tiba-tiba, apalagi waktu ia dapati cengiran dari wajah Arial yang selalu kelihatan menyebalkan di matanya.
“Suudzon tuh gak baik. Orang gue mau numpang duduk juga,” alibi Arial, dia duduk di sebelah Gita dan menyambar minuman yang tadi sedang Gita minum.
“Lo tuh emang punya kebiasaan minum, minuman bekas orang yah, Ril?”
“Enggak, punya lo doang yang gue minum.” jawab Arial enteng. “Lo mau balik apa gimana? Tumben sendirian, biasanya sama siapa temen lo itu yang sering bareng lo?”
“Nola?”
“Nah iya Nola, kok gak bareng sama dia?”
“Nola balik bareng Dean. Lo juga ngapain disini?”
“Gue mau beli gorengan, Ari nitip ke gue.”
“Yaudah sana beli, ngapain malah nyamperin gue terus duduk disini?” Gita jadi sewot sendiri, dia tadi lagi nungguin Chaka. Mau balik sama cowok itu tapi ternyata Chaka mengabarinya jika ia masih ada kelas sampai jam 7, alhasil Gita cuma gabut di kantin sampai gak di sangka-sangka Arial datang.
“Rame, masih antre. Eh lo bareng gue aja baliknya, gue juga udah mau balik kok.” maksud Arial biar sekalian aja, toh kosan mereka kan bersebelahan. Lagi pula kalau Gita enggak sama Arial kadang Arial suka kepikiran gadis itu akan pulang sama siapa.
Apalagi sejak kejadian Agnes dan teman-temannya yang memukuli Gita dan menguncinya di gudang, sejak itu Arial jadi selalu ingin memastikan jika Gita baik-baik aja. Tapi sayangnya, sejak kejadian Agnes itu justru Gita agak menjauh darinya. Padahal Agnes dan teman-temannya pun sudah di keluarkan dari kampus. Bahkan yang Arial dengar, nama Agnes dan teman-temannya itu di blacklist dari perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta.
“Gausah gue bisa balik sendiri.”
“Bareng gue aja sekali—” belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja ponsel Arial berdering. Ada panggilan dari Julian.
“Bentar, Git. Gue angkat telfon dulu, jangan kemana-mana!”
Gita tidak mengiyakan ucapan Arial itu, namun gadis itu tetap menunggu Arial mengangkat telfon yang entah dari siapa itu. Tidak lama kemudian, Arial kembali dengan wajah yang panik dan setitik keringat di pelipisnya. Membuat Gita jadi khawatir ada kabar apa sebenarnya.
“Kenapa, Ril?” tanya Gita.
“Ara masuk rumah sakit, Git. Asma nya kambuh.”
“Rumah sakit? Dia bukannya lagi di Bogor?”
Arial mengangguk, “iya, pagi ini Julian yang bawa dia ke rumah sakit gara-gara Ara pingsan. Dadanya sesak banget katanya, gue mau nyusul dia ke Bogor.”
“Yaudah, Ril. Susul.”
Arial menarik nafasnya pelan, entah dari mana keberanian itu datang. Tapi Arial menggandeng tangan Gita dan mengajaknya sedikit berlari menuju parkiran mobilnya berada, sedangkan Gita. Gadis itu juga justru menurut saja, ia samai langkahnya dengan kaki panjang Arial meski itu membuatnya sedikit kesulitan.
Sore itu keduanya pergi menyusul Ara dan Julian ke Bogor, di perjalanan Gita menenangkan Arial yang tampak gelisah memikirkan Adiknya itu. Gita juga membantu cowok itu untuk mengabari kedua orang tua Ara.
Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung menuju ruang rawat. Hanya ada Julian dan Sharen di depan ruang rawat Ara, namun begitu melihat Arial dan Gita datang. Sharen pamit kembali ke vila oleh Julian. Sedangkan Julian menjelaskan kenapa asma Ara bisa kembali kambuh hingga masuk rumah sakit.
“Sebenarnya ada apa sih, Jul? Kemarin Ara masih baik-baik aja loh, apa vila nya kotor banget? Atau dia kecapekan?” cecar Arial.
Sebelum menjelaskan ada apa dengan Ara, Julian melirik Gita sebentar. Dia mau ceritain penyebab asma Ara kambuh tapi ada rasa sungkan dengan Gita, pasalnya ini menyangkut Kakak sepupunya Gita itu.
Gita yang paham dengan gerak gerik Julian itu akhirnya memutuskan untuk menjenguk Ara lebih dulu, Gita cuma mikir mungkin hal yang ingin Julian bicarakan benar-benar hal yang privacy tentang Ara.
“Ril, Jul. Gue masuk lihat Ara dulu yah, kalian ngobrol dulu aja.” ucap Gita yang di beri anggukan kecil oleh Arial.
Belum sempat menutup pintu ruang rawat Ara dengan rapat, samar-samar Gita mendengar obrolan antara Julian dan Arial di depan pintu sana.
“Sebenarnya asma nya Ara kambuh bukan karena kecapekan, Mas. Malamnya Ara nangis, dia kelihatan tertekan banget. Ini salah satu pemicunya menurut Dokter, Ara stress banget makanya asma nya bisa kambuh,” jelas Julian.
“Bentar, nangis? Kenapa?” tanya Arial heran.
“Ara putus sama pacarnya, Bang. Gue juga gak paham kenapa bisa sampai putus, dia cuma bilang kalau dia putus. Gue udah berusaha tenangin dan temenin dia, cuma kayanya Ara benar-benar sedih makanya asma nya bisa sampe kambuh.”
Arial mengepal tangannya kencang, jadi Yuno adalah penyebab Adiknya bisa sampai masuk rumah sakit. Jika Yuno berada di Indonesia sekarang, mungkin Arial sudah menghampiri cowok itu dan menghajarnya sebagai hukuman karena berani menyakiti Adiknya.
Sementara itu Gita yang mendengar percakapan dua laki-laki itu. Jadi kepikiran sama Kakaknya itu, ponsel Yuno sudah aktif. Namun cowok itu belum menghubungi Gita sama sekali, mungkin setelah kembali dari rumah sakit. Gita akan segera mengabari Yuno dan menanyakan apa benar yang di katakan Julian.
“Makan sedikit yah, Kak?”
Makan malam Ara sudah datang sejak 1 jam yang lalu, namun gadis itu urung makan juga. Ara bilang perutnya tidak lapar dan mulutnya terasa pahit, gadis itu masih melamun dan sesekali memeriksa ponselnya.
Berharap Yuno menghubunginya, meminta maaf dan mengatakan jika cowok itu tidak ingin berpisah dengannya. Yah, Ara harap itu akan terjadi. Namun nyatanya cowok itu tidak mengirimkan pesan apapun padanya.
“Bunda bawain abon sapi kesukaan Kakak. Makan sedikit aja yah?” ucap Bunda sekali lagi.
“Atau mau Mas Iyal beliin nasi padang?” sambar Arial yang duduk di sofa ruang rawat Ara.
Julian sudah kembali ke vila untuk mengambil barang-barang miliknya dan juga Ara, setelah itu ia akan kembali ke rumah sakit. Julian enggak ikut kembali ke Bandung bersama anak HIMA yang lain. Dia bilang mau kembali ke Bandung bersama Arial saja.
Ara yang masih kesal lihat Arial itu cuma melirik Kakak sepupunya saja dengan sinis, kemudian membalikkan badannya menghadap ke arah jendela.
“Kakak mau makan apa sih, Kak?” tanya Bunda, wanita itu mengusap punggung putrinya itu penuh kasih sayang. Sudah lama rasanya Ara tidak merajuk seperti ini waktu sakit, ini untuk pertama kalinya lagi Ara di rawat karena asma nya sejak terakhir kali gadis itu masuk rumah sakit.
Sudah lama sekali, waktu itu Ara masih SD. 10 hari gadis itu di rawat karena asma yang di deritanya kambuh akibat Ara mengikuti perkemahan. Sejak itu, Asma nya enggak pernah kambuh lagi. Bunda sempat berpikir jika Ara sudah sembuh. Namun nyatanya asma nya kembali kambuh saat gadis itu berada di bangku kuliah.
“Bun?”
“Ya, Kak?”
“Papa kemana?” tanya Ara.
“Papa di rumah, Nak. Papa nemenin Reno soalnya Reno kan lagi ujian, sayang.”
Setelah itu tidak ada sahutan lagi dari bibir Ara, gadis itu malah tertidur dengan membelakangi Bunda dan juga Arial. Melihat Ara sudah tertidur pulas, akhirnya Bunda dan Arial bicara mengenai Ara di luar ruang rawat gadis itu.
Sejak Bunda datang, Arial belum cerita apa-apa kenapa Ara sampai bisa masuk rumah sakit. Arial juga sempat mengantar Gita kembali ke kosan, sampai akhirnya Arial kembali lagi ke Bogor.
“Sebenarnya ada apa sih, Ril?” tanya Bunda pada Arial.
“Iyal juga bingung, Bun. Ara emang izin kalau mau ada acara sama anak-anak HIMA di Bogor. Waktu pergi juga kelihatan baik-baik aja, walau waktu itu sempat kambuh. Iyal awalnya ragu mau izinin Ara pergi, tapi Ara ngotot karna dia bilang acara HIMA ini penting banget buat dia,” jelas Arial.
Bunda mengangguk, masih berusaha mendengarkan penjelasan Arial di sebelahnya. Bunda lega Arial benar-benar menjaga Adik sepupunya itu.
“Terus, kemarin tiba-tiba Ijul telfon Iyal dan bilang Ara di rawat karna asma nya kambuh.”
“Mungkin Ara kecapekan yah, Yal. Dia masih kaget ikut organisasi dan masih beradaptasi sama hectic nya kuliah.”
“Mungkin juga karena itu, Bun. Tapi sebenarnya ada faktor lain juga.” Arial ragu ingin mengatakan hal ini pada Bunda, apalagi kalau sampai Bunda nanya-nanya ke Ara soal Yuno. Arial pasti bisa semakin di amuk sama Ara.
“Bun, sebenarnya. Ada hal lain juga, tapi Iyal takut Ara marah kalau Iyal bilang ini ke Bunda.”
“Ada apa sih, Yal?” Bunda mengerutkan keningnya bingung.
Arial menghela nafasnya pelan, berusaha meyakinkan diri jika pilihannya untuk bercerita mengenai hubungan Ara dan Yuno pada Bunda adalah yang terbaik. Toh Arial yakin, Bunda bukan tipikal orang tua yang kolot yang akan melabrak anak orang lain perkara hal ini.
“Ara sama Yuno putus, Bun. Mungkin Ara jadi stress sampai asma nya kambuh karena ini juga,” ucap Iyal pada akhirnya.
“Mereka putus?”
Arial mengangguk, “Ara juga belum cerita kenapa, Iyal tau ini juga dari Ijul. Tapi Bunda gak usah tanya-tanya hal ini ke Ara yah, Bun.”
Bunda mengangguk pelan, “iya, Yal. Bunda gak tanya-tanya hal ini kalau Ara enggak cerita.”
Arial lega dengarnya, cowok itu tersenyum. Meski rasanya ia geram dan ingin menghubungi Yuno setelah ini. selama ini Arial sudah percaya jika Yuno tidak akan menyakiti adiknya itu. Tapi nyatanya kepercayaan yang Arial berikan pada Yuno itu justru Yuno patahkan begitu saja.
Walau jauh, Arial akan tetap buat perhitungan dengan cowok itu.
“Yal?” panggil Bunda memecahkan keheningan.
“Ya, Bun?”
“Kamu masih komunikasi sama Mama, nak?” tanya Bunda yang membuat Arial terdiam. Mama nya, wanita yang selama ini selalu mengabaikan Arial, Mama yang lebih mementingkan karir dan pekerjaan nya ketimbang anaknya sendiri.
“Mama masih suka telfon Iyal, Bun. Tapi kadang gak Iyal angkat,” ucap Arial jujur. Dia masih marah karena terakhir kali Mama ingkar janji pada Arial untuk datang sewaktu acara wisuda Arial di SMA. Waktu itu Arial ingin sekali Mama datang dan tahu jika Arial adalah murid dengan nilai ujian nasional terbaik di sekolah.
“Kenapa, Nak?” tanya Bunda.
“Gapapa, Bun. Bingung juga mau ngobrol apa sama Mama.”
“Dua hari yang lalu, Mama datang ke rumah Bunda. Nanyain kabarmu, Mama bilang kalau kamu pulang ke Jakarta. Tolong kabari Mama, Yal.”
“Pulang kemana, Bun? Iyal aja gak ngerasa punya rumah sungguhan di Jakarta,” ucap Arial meringis.
Sejak menjadi hal yang selalu di perebutkan oleh Mama dan Papa nya, Bunda dan Papa nya Ara memutuskan untuk menyuruh Arial tinggal di rumah mereka. Mereka gak ingin Arial tertekan karena terus merasa di perebutkan, sejak itu Arial enggak merasa punya rumah lagi.
Walau kedua orang tua Ara bisa menjadi peran orang tua baginya, tapi tetap saja Arial masih merasa haus kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya.