permintaan

Malam ini Ara sama Julian lagi nonton TV di ruang tengah, mereka baru saja selesai makan malam. Sebenarnya sejak makan tadi sembari mengobrol banyak hal pada Julian ada pertanyaan yang ingin sekali Ara tanyakan pada Suaminya itu, namun ia urung bertanya karena bingung harus memulainya dari mana.

TV yang menayangkan drama Korea kesukaan Ara itu rasanya enggak menarik lagi, pikirannya penuh menuntut akan jawaban dari siapa perempuan yang Kamila maksud. Di sebelah Julian, Ara melirik Suaminya itu hati-hati. Julian sedang fokus menonton, drama nya memang bergenre thriller makanya Julian mau nontonnya, kalau romantis sih dia biasanya ogah. Kata nya Julian ga tahan dengar Ara muji-muji aktor nya.

“Bang?” panggil Ara hati-hati.

“Hm?” Julian masih fokus menonton, dia enggak menatap wajah Istrinya itu.

Di tempatnya Ara mengulum bibirnya sendiri, kepalanya sibuk menata kata yang tepat agar tidak nampak sedang mencurigakan Julian. “Besok kamu gapapa datang sendiri ke ulang tahunnya Bella kan?”

Ya, mungkin Ara bisa mulai bertanya dari hal itu dulu. Baru nanti dia akan bertanya hal lain pada Julian, oiya besok Ara gak bisa nemenin Julian ke acara ulang tahun Bella anaknya Liliana. Besok Reno dan Karina akan ke Bandung mau jenguk Ara sekalian bawain titipan Bunda buat Ara sama Julian, makanya enggak enak kalau Reno sama Karina justru Ara tinggal.

“Gapapa, Bun. Kan ada anak-anak yang lain juga, oiya. Kadonya udah kamu bungkus kan?”

Ara mengangguk, “udah kok, ada di laci.”

Ara memejamkan matanya sebentar, rasanya dia bingung banget harus memulai dari mana. Julian ngerasa ada yg Ara tutup-tutupi darinya, ia menebak-nebak kenapa sifat Ara malam ini agak berbeda. Lebih banyak diam dan melamun.

“Bun? Kenapa sih?” tanya Julian.

“Apanya?”

“Ya kamu, aneh banget. Banyak diem, lagi ada yang di pikirin?” Julian mengubah posisi nya, ia menegapkan sedikit badannya karena agak sedikit pegal di senderin Ara melulu dari tadi.

“Gapapa,” Ara nunduk. Rasanya dia belum siap kalau nantinya Julian bohong, tapi hati kecilnya juga mengatakan dia percaya sama Suaminya itu. Julian enggak mungkin macam-macam.

“Gerak gerik kamu tuh aneh tau gak? Kenapa sih?” Julian membalikan badan Ara jadi menghadap ke arahnya, dia jadi bisa melihat jelas ada raut kebingungan di wajah Istrinya itu. “Ada apa?”

“Bang?”

“Ya, sayang?”

“Kamu akhir-akhir ini sempat main ke rumah siapa gitu?”

“Maksudnya?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

“Iya, kemarin waktu aku habis dari klinik. Aku sempat ketemu Kamila, dia cerita ke aku dia sempat liat kamu di daerah rumah temannya. Kamu main ke rumah tetangga temannya itu, cewek?” Ara memelankan suaranya. “Ke rumah siapa, Bang?”

“Cewek?” Julian tampak berpikir sebentar, tapi tidak lama kemudian dia tersenyum. Dia ingat dia habis berkunjung ke rumah Kevin dan Yves. “Oh, itu aku abis main ke rumahnya Kevin sama Yves, kenapa emangnya? Kok Kamila gak manggil aku sih.”

Mendengar jawaban dari bibir Julian itu bikin perasaan Ara bukannya lega justru tambah enggak karuan, jawaban Julian dan cerita dari Kamila sama sekali enggak sinkron. Yves bukan seorang single parents dan lagi pula anaknya laki-laki bukan perempuan.

“Hmm..” Ara mengangguk-angguk, Ara masih mencoba berpikiran positif. Bisa saja Julian lupa, lagi pula Kamila bilang kan kalau dia melihatnya sudah lama.

“Kevin waktu itu nyuruh aku mampir, sayang. Ngambil oleh-oleh yang dia bawa dari Jepang, kan dia habis liburan sama Yves sama anaknya juga tuh. Kebetulan kan kantor aku sama rumahnya searah, emang sih Kevin nya lagi enggak ada. Tapi aku gak masuk ke dalam rumahnya kok, aku duduk di teras. Itu juga enggak lama,” jelas Julian.

“Iya, Bang.” Ara senyum kecil, biarlah nanti dia yang akan mencari tahu sendiri.

“Kita tidur yuk? Udah jam setengah sebelas, udah ngantuk belum kamu?”

Ara hanya mengangguk, rasanya pikirannya masih mengawang.

“Yuk, aku kunci pagar sama pintu depan dulu. Nanti aku nyusul,” Julian berdiri kemudian mengusap pucuk kepala Ara sebelum berjalan keluar untuk mengunci pagar rumah mereka.


Mobil yang Julian kendarai berhenti di depan pekarangan rumah Liliana, dia nampak agak sedikit bingung karena seperti tidak ada sebuah pesta di sana. Maksudnya, Liliana kan mengundang teman-teman di divisi nya. Masa iya tidak ada motor atau bahkan mobil mereka yang terparkir di depan rumah Liliana? Pikir Julian.

Sebelum turun, Julian sempat meriksa arlojinya dulu. Dia datang pun agak sedikit telat, lalu kenapa rasanya dia yang datang duluan?

“Mungkin pada ngaret kali ya?” gumam nya pada diri sendiri, Julian akhirnya melepas seat belt nya dan mengambil paper bag berisi hadiah untuk Bella di kursi sebelahnya dan beranjak turun dari sana.

Pintu rumah Liliana terbuka, di bagian depannya di hias dengan balon serta pernak pernik khas ulang tahun anak-anak. Sepi, menurut Julian untuk seukuran pesta ulang tahun anak-anak. Tidak ada teman-teman Bella yang di undang juga.

assalamualaikum?” karena pintu rumah Liliana enggak di tutup, Julian langsung mengucapkan salam.

Ternyata ada Bella yang sedang duduk di depan meja yang di atasnya berisi kue ulang tahun, minuman serta makanan-makanan. Begitu melihat Julian datang pun wajah anak itu cerah, dia langsung berlari menghampiri Julian dan memeluknya.

“PAPAAAAAA...” teriak Bella, bocah itu memeluk kaki Julian. Bella senang bukan main.

“Hai, Bella?” Julian jongkok, dia memeluk Bella sebentar sebelum akhirnya ia urai pelukan itu. “happy birthday ya, ini Paman bawain hadiah untuk Bella.”

Julian ngasih paper bag berisi hadiah untuk Bella, bocah itu langsung senyum sumringah dan sedetik kemudian memeluk leher Julian. “Makasih yah, Pah. Bella suka hadiahnya, Bella senang Papa datang, buat Bella, Papa itu udah jadi hadiah untuk ulang tahunnya Bella.”

Mendengar ucapan lirih dari bibir anak berumur 5 tahun itu, membuat hati Julian seakan di remas dari dalam. Tangannya tadi tidak membalas pelukan Bella, namun pada akhirnya Julian membalas pelukan Bella.

“Iya, sama-sama.”

Tidak lama kemudian, Liliana keluar dari dapur dan agak sedikit terkejut melihat seniornya itu sudah datang. Julian tengah memeluk Bella di depan pintu sana.

“Bella..” Liliana buru-buru menghampiri Bella dan menarik anaknya itu agar melepaskan pelukannya dari Julian. “Jangan kaya gitu, sayang.”

“Kenapa sih, Mah? Bella cuma mau peluk Papa.” Bella melihat ke arah Ibu nya itu, wajahnya sendu, waktu Liliana menariknya menjauh dari laki-laki yang ia yakini adalah Ayahnya.

“Bella masalahnya Paman Julian itu bukan—”

“Kita duduk di sana yuk? Ini pestanya belum di mulai ya? Kok baru saya aja yang datang, Li?” Julian mengalihkan pembicaraan, dia cuma gak mau membuat Bella sedih di hari ulang tahunnya. Biar lah Bella memanggilnya dengan sebutan Papa, Julian enggak keberatan sama sekali.

Mendengar pertanyaan dari Julian, Liliana jadi salah tingkah sendiri. Ia memang tidak mengundang siapa-siapa lagi selain Julian. Seperti permintaan Bella, dia hanya ingin ulang tahunnya di rayakan oleh Mama dan laki-laki yang ia yakini adalah Papa nya.

“Pak, kita bisa bicara sebentar di depan?” Liliana pikir dia harus jujur, dia butuh bantuan Julian untuk bersandiwara. Dia ingin Bella bahagia untuk hari ini saja.

Julian nampak bingung, namun pada akhirnya dia mengangguk.

“Bella, Mama butuh bicara dulu sama Paman ya, Bella tunggu disini sebentar.”

“Papa, Mah. Bukan Paman.” Bella mengoreksi.

“Iya, Papa.”

Setelah Bella duduk di sofa ruang tamu, Liliana menarik tangan Julian ke arah taman di belakang rumahnya. Dia enggak mau Bella mendengar rencana sandiwara nya dengan Julian.

“Pak, sebelumnya saya minta maaf sekali karena bikin Bapak bingung.” Liliana menunduk, ah iya, kalau boleh jujur dia agak sedikit senang mengetahui Julian datang sendirian. Sepertinya dewi fortuna memang sedang berpihak padanya di hari ulang tahun Bella ini.

“Maksudnya apa sih, Li? Kenapa yang lain belum pada datang?” tanya Julian.

“Pertama-tama, maaf saya bohong. Saya memang cuma mengundang Bapak aja, saya gak mengundang siapa-siapa lagi.”

Julian menghela nafasnya berat, “kenapa?”

“Itu karena keinginan Bella, Pak. Bella bilang ke saya kalau dia cuma ingin hari ulang tahunnya di rayakan sama saya dan Bapak aja, dia masih mempercayai kalau Pak Julian adalah Papa nya,” jelas Liliana.

Julian mengusap wajahnya gusar, pantas saja sudah hampir jam setengah delapan malam pun masih sepi. Tidak ada tamu lain yang datang selain dirinya. “Kenapa kamu harus bohongin saya, Li?”

“Maaf, Pak. Maaf sekali lagi, sejujurnya saya mau minta bantuan Pak Julian. Anggap lah ini semua bantuan yang terakhir kalinya saya minta dari Bapak.”

“Bantuan apa?”

“Tolong jadi Papa untuk Bella hari ini saja, Pak. Saya cuma mau Bella bahagia dan rasain sosok Papa di hidupnya.”