Pertama Kali
Julian memberhentikan motornya, kembali membaca alamat yang tertera di ponselnya kemudian mencocokkanya dengan rumah besar yang berada di depannya. Mata pemuda itu menyipit, agak sedikit tidak yakin dengan alamat yang di berikan oleh Ibu nya. Takut-takut Ibu salah memberikan alamat, tapi nyatanya benar.
Cowok jangkung itu menurunkan standar motornya, kemudian melangkah lebih maju untuk memencet bel yang ada di depan pagar rumah besar itu. Berharap ada seseorang keluar dari dalamnya, dan tidak lama kemudian. Benar saja ada orang yang keluar dari sana.
Cowok kurus yang tingginya kira-kira hanya sepundaknya saja, tersenyum ke arah Julian hingga bolongan di pipinya itu terlihat. Ia memakai sendal rumahanya itu kemudian beranjak membukakan pagar untuk Julian.
“Atas nama Chaka ya, Mas?” tanyanya penuh antusias ketika pagar itu terbuka.
Julian melongok, bingung kenapa cowok di depannya itu menyebutkan nama seseorang. “Hah?”
Namun sedetik kemudian ia tersadar jika cowok di depannya itu mungkin mengiranya adalah kurir. “oh, saya bukan ojol, Mas. mau nanya ini bener kosan Abah Mujidin?” Julian menyodorkan alamat rumah yang ada di ponselnya ke arah cowok itu.
“Bener,” ia mengangguk. “Mas cari siapa?”
“Ah, kenalin. Saya Julian, ini saya anak baru kosan. Baru mulai pindah hari ini.” Julian menunjuk motor miliknya dengan beberapa dus dan tas besar yang ia ikat di jok belakangnya.
“OHHHHHH PENGHUNI BARU? NGOMONG KEK MAS DARI TADI, GUE KIRA ELU KURIR ANJIR.” cowok itu menepuk pundak Julian agak keras, tidak sakit namun berhasil membuat Julian meringis karena kaget.
“Yaudah, bawa masuk dah. Nanti di tunjukin kamarnya.”
Cowok bernama Chaka itu membuka pagar kosan lebih lebar lagi agar cowok bernama Julian tadi bisa memasukan motornya ke carport. Motor bergaya klasik itu ia bawa masuk, di parkiran sejajar dengan motor-motor lain yang juga berada di sana. Julian tebak, ini pasti motor penghuni kosan yang lain.
“CHAKA MANE MAKANANYA ANJIR LAMA BANG—” ucapan Janu mengayun di udara, ia tersenyum kikuk ketika melihat cowok jangkung yang wajahnya tak asing tengah berdiri di samping Chaka, sembari membuka tali pada dus-dus besar yang ia bawa di motornya.
“Makanan-makanan, gak ada makanan. Ini bantuin Mas Julian anjir. Dia penghuni baru kosan yang kamarnya samping kamar gue,” jelas Chaka.
“Ngapain panggil Mas dah? Dia seumuran kita. Dia itu temennya Echa.”
“Hah?!” pekik Chaka, wajahnya menoleh ke arah Julian. “Elu MABA juga?”
Julian hanya mengangguk kecil, agak sedikit bingung. Memang mukanya se boros apa sih sampai-sampai banyak yang mengira ia bukan MABA? Pikir Julian.
Setelah membantu Julian membawakan barang-barangnya ke dalam kosan, Janu membukakan pintu kamar Julian yang berada di sebelah kamar Chaka persis. Kamar berwarna cream itu memiliki fasilitas yang sama dengan kamar yang lainnya, kamar mandi yang berada di dalam, ranjang tidur, kasur, meja belajar, kursi dan nakas di samping ranjang.
“Kayanya ranjang punya lu tuh kayu nya agak bunyi deh, Jul. Nanti minta ganti aja sama Abah, di gudang ada ranjang gak kepake kayanya lebih bagus,” jelas Januar.
“Gak usah, nanti gue benerin aja, Nu. Udah biasa gue benerin kaya ginian di rumah.”
Januar mengangguk, “yaudah, bawa masuk dah barang-barang lu. Kalo mau bersihin kamar mandinya, alat-alatnya ada di gudang yah yang gue tunjukin tadi.”
“Sip, thanks, Nu.”
Julian sempat membersihkan kamar kosannya dulu, menata beberapa barang bawaan yang ia bawa dari Jakarta. Kemudian memasang seprei di kasur ranjangnya dan menyemprotkan pengharum ruangan.
Barang milik Julian enggak banyak, dia malas bawa barang-barang banyak. Biar nanti ia bisa mencicil beli barang lain yang akan ia butuhkan, setelah memastikan keadaan kamarnya sudah rapih. Julian keluar dari kamarnya, sudah siang ia ingin membuat mie instan dan sekalian menyapa penghuni lainnya.
Begitu Julian keluar, di meja makan ada 4 cowok di sana. 2 orang yang mukanya sudah sangat familiar di mata Julian, cowok yang duduk di sebelah Januar itu adalah Arial, Kakak sepupunya Ara. Apa dia ngekost di sini juga? Pikir Julian.
“Baru pindahan, Bang?” tanya cowok yang tengah menyantap ayam goreng itu, cowok kurus dengan air wajah mirip seekor kucing dengan bibir tipis menyapa Julian.
“Iya, baru banget pagi tadi.”
“Makan sini, Bang. Anak-anak abis delivery ayam goreng.” cowok itu menarik kursi di sebelahnya, ia menyuruh Julian untuk duduk di sana.
Walau dalam keadaan canggung, Julian iyakan ajakan itu. Ia duduk di sana dan mengangguk ke penghuni lainnya.
“Heh, dia itu temennya cewek gue. Seumuran kita MABA Narawangsa juga, ngapain lo panggil Abang, Kocakkkk!” hardik Janu pada Kevin.
“Lah, serius?” Kevin menoleh ke arah Julian.
“Muka gue tua banget apa yah?” Julian berkedip polos, dia enggak tersinggung cuma sedikit bingung saja.
“Agak boros sih, badan lu juga gede banget, Jul. Makannya pada ngira lo tuh bukan MABA,” samber Chaka di sebrang sana.
“Lo MABA Narawangsa juga? Fakultas apa?” tanya Arial di sela-sela gigitan ayam goreng miliknya.
“FPSI, Bang.”
Arial mengangguk-angguk, “Psikologi? Lah, barengan sama Adek gue dong?”
“Ara?” ucap Julian yang berhasil membuat Arial melotot, dia kaget banget pas tahu kalau Julian tahu nama Adiknya itu.
“Kok lo tau?”
“Gue kenal Ara, Bang. Dia emang ngekost dimana sekarang?”
“Lah, Ara ngekost disini juga, Jul. Ada Echa juga di lantai 2 kamar cewek-cewek,” samber Janu.
benarkah?
apakah lagi-lagi ini hanya sebuah kebetulan? Kalau iya, kenapa begitu banyak kebetulan?
“Wahh.” Julian menggelengkan kepalanya, dia gak tahu kalau kosan ini bukan hanya kosan untuk laki-laki saja.
Dan tidak lama kemudian derap langkah kaki dari seseorang yang sepertinya turun dari tangga itu, mengintrupsi Julian. Matanya otomatis melirik ke arah tangga itu, dan betapa terkejutnya ia ketika gadis yang baru mereka bicarakan itu turun dari lantai 2.
Di ikuti oleh Echa dan satu gadis lagi yang Julian enggak kenal, namun ia merasa pernah melihat gadis itu waktu bertemu dengan Ara di Jakarta Aquarium.
“JULIAN?!” pekik Echa, gadis itu langsung jalan dengan cepat dan mengarah ke Julian. “Elu kost disini juga? Kok gak bilang sama gue?!”
“Gue juga mendadak nyarinya, mepet banget ini juga. Makanya enggak sempet cerita ke lo.” ekor mata Julian melirik ke arah Ara yang berdiri tepat di belakang Echa, gadis itu tersenyum manis ke arahnya. Membuat jutaan kupu-kupu di perut Julian kembali menggila.
“Hai?” sapa Julian.
“Ketemu lagi, Jul.” Ara tersenyum.
Sementara Gita yang berada di belakang Ara hanya melirik temannya itu bingung, dia gak tau kalau Ara sudah mengenal Julian.
Malamnya penghuni lantai 2 sibuk dengan segala macam atribut untuk PKKMB yang akan di adakan lusa, Gita sibuk dengan name tag nya dan Echa sibuk karena kemeja putih miliknya tidak sengaja kelunturan baju miliknya waktu ia cuci.
“Gue harus beli kemeja lagi ini sih, ini gak bisa hilang,” keluh Echa. Meratapi kemeja putih itu yang berada di pangkuannya.
“Pake punya gue dulu aja, Cha. Gue ada 3 kok,” ucap Gita.
“Iya bisa sih, Git. Tapi punya lo bakal muat gak di gue?” Echa itu paling tinggi di antara mereka, sedangkan Gita sebaliknya. Echa cuma takut kemeja milik Gita itu kependekan jika dia kenakan.
“Iya juga yah,” gumam Gita.
“Pake punya gue dulu aja, Cha. Gue ada dua kok. Bisa gue cuci setelah pakai, kosan juga ada pengering kan. Bisa lah, lagian PKKMB nya juga cuma 3 hari kan,” ucap Ara.
“Boleh gue liat dulu gak, Ra?”
Ara mengangguk, “tunggu sebentar.”
Ara kembali masuk ke dalam kamarnya, mereka itu tadi sedang berkumpul di ruang TV lantai 2 dengan segala perlengkapan PKKMB. Saat Ara sedang mengambil kemeja miliknya, tiba-tiba saja Arial naik ke lantai 2. Cowok tinggi itu duduk di sofa yang ada di sana sembari memperhatikan Echa dan Gita yang masih berada di sana, kedua gadis itu duduk di karpet bulu tebal.
Gita yang melihat Arial itu jengah sendiri, dia masih dongkol liat cowok itu. Apalagi saat mengingat pertemuan pertama mereka di puncak dulu, kalau di suruh milih untuk melihat kecoak atau Arial kayanya Gita lebih milih buat liat kecoak aja deh.
“name bag punya FISIP itu di tulis pakai spidol hitam bukan biru ngikutin kaya lanyard kita,” ucap Arial tanpa aba-aba begitu ia melihat Gita tengah menulis name bag untuk keperluan PKKMB besok.
Gita yang mendengar itu mengehela nafasnya pelan, dia memejamkan matanya sembari meremas spidol di tangan kanannya.
“Itu juga, ukuran kertas HVS nya 15cm bukan 17cm.”
“Lo siapa sih?!” pekik Gita, ia menoleh ke arah Arial.
“Gue komdis nya, gue kasih tau lo biar lo gak kena hukuman besok, bukannya terima kasih malah nyolot.”
“Arial!! Di kosan lo tuh bukan komdis!”
“Ya emang bukan, tapi gue ngasih tau. Terserah kalo lo mau di hukum besok, palingan gue ketawain.”
Echa yang melihat air muka Gita udah kesel banget setengah mati itu cuma bisa menggaruk kepala belakangnya dengan salah tingkah, berharap Ara segera kembali ke ruang TV untuk melerai Gita dan Arial yang setiap ketemu selalu ada ribut-ribut kecil.
“LO!!” Gita menunjuk hidung Arial, namun setelahnya ia menarik nafasnya pelan dan kembali mengambil kertas HVS yang lain.
Di kursinya Arial cuma terkekeh aja, seneng banget dia liat Gita kesel kaya gitu. Namun saat gadis itu terlihat bingung karena tidak menemukan spidol berwarna hitam, ia ulurkan tanganya untuk memberikan spidol hitam yang ia bawa itu untuk Gita pakai.
“Nih, pake dulu aja. Gausah di kembaliin,” ucapnya.
Namun karena Gita enggan mengambil spidol itu, Arial malah melemparnya ke depan Gita. Membuat Gita meremas kertas HVS di depannya, dan melayangkan jari tengahnya ketika Arial berbalik badan dan pergi begitu saja.
“Sabar, Git. Sabar..” Echa mengusap-usap pundak Gita.
“Kalo aja dia bukan sepupunya Ara, udah gue tendang kayanya!!” ucap Gita menggebu-gebu.