Rayuan

Pagi ini Ara bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan dia bangun sebelum subuh dan langsung buru-buru ke dapur yang ada di lantai 1. Semalam setelah menyelesaikan tugasnya, Ara sibuk nyari resep pancake pisang yang enak di internet. Berbekal keberanian, akhirnya gadis itu langsung membuatnya pagi ini untuk sarapan.

Sembari bersenandung gadis itu mencampur berbagai bahan untuk membuat pancake nya ke wadan, kemudian menghaluskan pisang sembari sesekali ia memeriksa pan yang tadinya sudah ia olesi dengan butter.

Ara tersenyum, ia memang membuat pancake ini awalnya untuk Gita saja. Hingga hari ini Ara masih berusaha untuk merayu Gita agar memaafkannya, ya walau dia sendiri belum secara gamblang minta maaf langsung ke Gita sih. Tapi setidaknya dia mau mencairkan suasana dulu.

Sedang asik dengan adonan pancake nya yang hampir tandas, tiba-tiba aja ada suara derap kaki melangkah dari lantai dua. Ara sempat mengecilkan kompornya dulu untuk melihat siapa yang turun dari lantai dua, namun ternyata tidak ia dapati seseorang di sana.

“Gue gak salah denger kan? Tadi tuh beneran ada yang turun deh,” gumam nya.

Ara mengusap bahu hingga tengkuk nya, bulu kuduknya itu agak sedikit merinding. Namun ia halau pikiran buruk itu dan kembali melanjutkan masakannya pagi ini, hingga adzan subuh berkumandang. Ara masih sibuk berkutat di dapur, ia bukan hanya membuat pancake saja. Tapi Ara juga membuat roti bakar untuk bekal yang akan ia bawa.

“Bikin apaan lo, Ra? Kok pagi banget bangunnya?”

Ara tersentak kaget, pasalnya tidak ada derap kaki sama sekali namun tiba-tiba Echa sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu sampai harus mengusap-usap dada nya karena degup jantungnya menggila.

“Cha, sumpah yah. Lo bikin kaget gue tau gak!” hardik Ara.

“Ih padahal gue jalan juga gak mengendap-endap loh.”

“Ck!” Ara berdecak, ia kembali memanggang rotinya lagi yang sebentar lagi selesai itu. “Gue lagi bikin sarapan buat anak-anak, lo dari mana? Kok gue gak denger lo turun dari atas?”

Echa duduk di kursi yang ada di dapur, kemudian mencomot strawberry yang Ara hias di atas pancake itu. Tenang aja, Echa ngambil strawberry di piring miliknya kok. Ara memang sudah membagi pancake itu untuk penghuni kosan dan menaruhnya di piring mereka masing-masing.

“Gue gak dari atas,” jawab Echa enteng di sela-sela kunyahannya.

“Hah? Tidur dimana lo semalem?”

“Di kamar Jan—” kedua mata Echa membulat nyaris saja ia keceplosan kalau semalam ia tidur di kamar Janu, namun buru-buru ia ralat ucapan itu sebelum Ara menyadarinya. “Gue.. Ketiduran di ruang tamu bawah, abis ngerjain tugas terus ketiduran.”

“Hah? Masa sih? Kok gue gak liat?”

“Gue.. Tadi sempet mandi dulu di kamar mandi bawah, nih lo gak liat gue habis keramas?” Echa menunjukan rambut panjangnya itu yang masih terbalut oleh handuk.

Ara yang melihat handuk di kepala Echa itu justru mengerutkan keningnya bingung, handuknya sangat familiar seperti Ara pernah melihat cowok kosan memakai handuk itu tapi siapa?

“Tunggu deh, kaya nya gue kenal sama handuknya.” Ara berusaha mengingat-ingat, kalau tidak salah itu handuk milik Janu kan? Handuk biru itu pernah tidak sengaja terbawa ke keranjang jemuran Julian dan Janu mengambilnya di kamar Julian sambil misuh-misuh minggu lalu.

“Ini handuknya Janu gak sih?” tebak Ara.

Echa mengibaskan tangannya salah tingkah, “ngaco loh, mana ada handuknya Janu. Eh udah ah, kok jadi ngalor ngidul gini sih ngomongnya.”

Ara menghela nafasnya pelan, ia menyelesaikan masakannya kemudian menatanya di meja makan. Echa pun turut mengekori gadis itu sembari ia sarapan pagi lebih dulu.

“Itu buat siapa, Ra?” Echa menunjuk kotak bekal yang Ara taruh di dekat piring miliknya.

“Ohh, ini?” Ara menunjuk kotak bekal yang ada di sebelahnya. “Ini buat Julian, hari ini dia ada raker sama Divisi keuangan di HIMA makanya gue bawain bekal.”

Echa ngerasa gak nyaman dengar ucapan Ara itu, namun sebisa mungkin ia menjaga air wajahnya dan hanya mengangguk sekena nya. “Lo deket banget sama Julian semenjak putus sama Kak Yuno deh.”

Ara berhenti sebentar untuk menuangkan susu ke gelas-gelas teman-temannya itu waktu Echa dengan sengaja menyebutkan nama Yuno. Usahanya untuk setidaknya mengalihkan pikirannya dari Yuno itu seperti sia-sia ketika seseorang kembali mengingatkan nya dengan cowok itu.

“Em..ang iya yah? Perasaan gue deket sama Julian dari dulu deh.”

“Emang Kak Yuno gak cemburu apa? Bahkan lo lebih kelihatan kaya pacaran sama Julian dari pada sama Kak Yuno,” ucap Echa santai.

Ara menarik nafasnya berat, benarkah? Apa selama ini ia terlihat seperti itu? Lalu apa dia harus menjauhi Julian? Tapi kenapa? Julian baik padannya, dan ia hanya menganggap Julian sebagai sahabatnya tanpa ada perasaan lebih.

Echa yang tadinya duduk itu agak sedikit bangun dan membungkuk, melihat wajah Ara yang mendadak mendung karena ia menyebutkan nama Yuno barusan.

“Hati-hati nanti naksir sama Julian,” bisik Echa. “Eh tapi jangan cepet-cepet juga naksirnya, lo juga kan baru putus sama Kak Yuno masa secepat itu sih udah suka sama cowok lain.”

Ara hanya diam, matanya sedikit memanas. Hatinya sakit waktu Echa bicara seperti itu padanya, padahal jauh dari yang Echa ucapkan. Ara justru masih sering merindukan Yuno bahkan di setiap malam sebelum ia tidur. Echa gak tahu bagaimana ia berjuang mengalihkan pikirannya dari Yuno.

Dan dengan entengnya cewek itu bilang seolah Ara adalah gadis yang mudah jatuh cinta bahkan kurang dari sebulan setelah ia putus.

“Apaan sih lo, Cha.” Jawab Ara.

Echa tertawa, ia kembali duduk di kursinya lagi. “Gue bercanda lagi, Ra. Gitu aja baper. Lagian mana mungkin lo naksir Julian gak sih? Tipe lo aja yang kaya Kak Yuno gitu.”

Karena ngerasa enggak nyaman, Ara buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan langsung melesat ke lantai dua masuk ke dalam kamarnya. Kebetulan hari ini dia juga ada kelas pagi, namun bukannya buru-buru bersiap ke kampus. Ara justru menangis dulu di ranjangnya, memeluk boneka pemberian Yuno itu lagi.


Motor yang Julian kendarai itu berhenti di parkiran mahasiswa, ia membiarkan Ara turun lebih dulu dan membukakan helm milik gadis itu. Kaitannya agak sedikit keras, makanya Ara enggak bisa buka sendiri.

Bukan Julian enggak sadar kalau sedari tadi sejak sarapan Ara agak sedikit diam, wajahnya juga tampak murung dengan mata yang agak sedikit memerah. Julian sudah tanya kenapa mata gadis itu memerah, namun Ara hanya menjawab kalau ini akibat kering karena semalam Ara pakai softlens untuk belajar.

“Kenapa sih? Cemberut gitu muka lo,” tanya Julian waktu dia sudah berhasil melepaskan helm di kepala Ara.

“Gapapa, Jul.”

“Lo tuh gak biasanya kaya gitu tau.”

“Emang biasanya gue gimana?” Ara menaikan sebelah alisnya. Dia sadar kok kalau pagi ini dia memang lebih diam, apalagi wajahnya yang cemberut itu enggak bisa Ara sembunyikan. Biasanya kalau pergi ke kampus sama Julian, keduanya suka membicarakan hal-hal random sampai tidak sadar sudah sampai di parkiran kampus.

“Biasanya lo tuh bawel, di jalan ada aja yang lo ceritain.”

Keduanya berjalan menuju ruang kelas mereka di gedung A fakultas Psikologi. Ruang kelasnya ada di lantai 5, kebetulan juga mereka datang 30 menit sebelum kelas akan di mulai.

“Gapapa, lagi capek aja kayanya,” jawab Ara sekena nya.

“Kalau capek, lo gak mungkin bikin sarapan buat anak-anak sekalian.”

Ara mengulum bibirnya sendiri, sejujurnya enggak enak diamin Julian kaya gini. Julian enggak salah, cowok itu selama ini udah baik banget ke Ara. Justru bukannya aneh kalau Ara harus jaga jarak dengan Julian hanya karena ucapan Echa barusan? Pikirnya.

“Lo udah minta maaf ke Gita?” tanya Julian.

Ara memang sempat cerita kalau ia menyesali perbuatannya kemarin yang udah kasar ke Gita. Dan Julian dukung Ara buat minta maaf ke Gita karena Julian juga merasa kalau Ara yang salah, karena sudah memakai kekerasan lebih dulu, menurutnya Ara hanya salah paham. Biarpun suka dan sayang banget ke Ara, Julian enggak pernah menilainya secara objektif hanya karena di landasi perasaan sukanya saja.

Kalau menurutnya salah yah tetap saja salah, dan Julian enggak menyangkal hal itu apalagi harus membela nya.

“Belum, mungkin nanti. Pagi ini gue lagi gak mood.” tanpa Ara sadari ia jadi mengungkapkan perasaanya yang sedang tidak karuan itu, memang susah untuk menyembunyikan banyak hal dari Julian. Sejak di Bandung, Julian lebih sering jadi tempat Ara bercerita ketimbang Echa.

“Tuh, kan. Kenapa sih?” tanya Julian.

Keduanya menunggu lift terbuka, bersamaan dengan banyaknya mahasiswa lain yang juga ingin menuju ke lantai atas. Bahkan Julian juga sedikit menggeser tubuh Ara yang kurus itu menjadi lebih dekat dengannya agar tidak tertabrak mahasiswa lain.

“Nanti aja yah ceritanya, Jul. Pas mau balik aja.”

Julian mengangguk, keduanya pun masuk ke dalam lift yang pagi itu agak sedikit padat. Seperti biasanya, Julian selalu menempatkan Ara di belakangnya dan menggandeng cewek itu. Namun, Julian sedikit kaget ketika pautan tangannya di tangan gadis itu dengan sengaja Ara lepas.

Julian bahkan sampai menoleh ke belakang, namun saat ia menoleh. Ara hanya tertunduk dan mengulum bibirnya sendiri, sampai lift terbuka di lantai tempat kelas mereka berada. Ara tetap bungkam walau gadis itu mengekori Julian.

“Jul, sebentar.” Ara merogoh saku kemeja miliknya, Arial menelponnya. Tumben sekali, ada apa? Pikir Ara. “Hallo, Mas Iyal kenapa?”

dek, Papa nya Gita kecelakaan. Beliau meninggal dunia, sekarang anak-anak kosan mau bareng-bareng ke Jakarta buat nganterin Gita. Kamu gimana?

“APA?!” pekik Ara yang membuat Julian ikut kaget dan penasaran. “Yaudah, kalau gitu aku sama Julian pulang sekarang, Mas.”

Ara memutus panggilan itu dengan wajah paniknya. “Jul kita pulang sekarang yah.”

“Kenapa, Ra? Kelasnya bentar lagi mulai—”

“Papa nya Gita meninggal karena kecelakaan. Anak-anak yang lain mau anter Gita ke Jakarta, ayo Jul kita pulang kasian Gita...”