Satu—Airport

“Mas Yuda!! Mas Yuda!” pekik Ara, gadis itu turun dari lantai dua tempat kamarnya berada, Ara sudah rapih dan tengah mencari Yuda untuk meminta di antarkan ke rumah Yuno hari ini.

Di meja makan, gadis itu hanya mencomot pastel yang tadi pagi Papa nya beli di pasar sewaktu mengantar Bunda belanja. Papa sedang minum kopi di meja makan sembari menonton siaran ulang bola semalam melalui ponselnya.

Karena Yuda tidak kunjung keluar dari kamarnya, akhirnya Ara berinsiatif untuk memakai sepatunya dulu. Biar setelah Yuda keluar dari kamarnya mereka bisa langsung jalan.

“Pelan-pelan, Kak. Makan dulu baru di pakai sepatunya,” ucap Papa yang mulai risih liat Ara keribetan sendiri.

“Duh, Pah. Udah telat ini, Kak Yuno sama Bunda Lastri udah siap.” Ara menghela nafasnya, kemudian menghabisi pastel isi telur dan bihun itu dalam sekali suapan.

“Mas Yuda kemana sih, Pah?” Tanya Ara pada akhirnya karna Yuda tidak kunjung keluar juga.

“Di kamarnya, sana kamu panggil aja.”

“Ck.”

Ara yang sudah tidak sabaran akhirnya berjalan ke kamar Yuda, dan benar saja cowok itu masih sibuk menyisir. Rambut Mas Yuda memang sudah gondrong, dia enggak mau cukur, katanya masih betah dengan rambut panjangnya.

Dan perlu Ara akui jika rambut gondrong Mas Yuda memang cocok untuk dirinya, walau terlihat semakin sangar tapi Mas Yuda justru bertambah maskulin dengan tatanan rambut yang selalu ia ikat itu.

“Mas Yuda!!! Ihhh lama, buruan nanti aku di tinggalin!” Pekik Ara.

“Sabarrrrrrr!!”

“Ngaca mulu ih kaya ikan cupang, buruan, aku tunggu di depan.”

Akhirnya Ara masuk ke dalam mobil lebih dulu, di mobil ia menghela nafasnya dengan berat. Hari ini adalah hari keberangkatan Yuno ke Jerman untuk studi nya, Yuno sudah terdaftar menjadi mahasiswa di sebuah universitas bergengsi di Berlin.

Sebenarnya berat bagi Ara harus menjalani hubungan dengan jarak jauh seperti ini, bukan hanya soal perbedaan waktu yang cukup jauh, tapi juga keberadaan Yuno yang selalu bersamanya, Membuat Ara akan merasakan kehilangan, namun apa daya, dia sendiri gak bisa melarang Yuno untuk meraih apa yang cowok itu impikan.

Sedang asik melamun sembari mengusap liontin dari kalung yang Yuno belikan, tidak lama kemudian Mas Yuda datang. Cowok itu langsung masuk ke dalam mobil sembari bersiul, namun saat melihat raut wajah Ara yang sedikit mendung, Yuda mengerutkan keningnya.

“Dih, nangis lu yah?” tanya Yuda, lengkap dengan nada paling menyebalkan di telinga Ara.

“Berisik ah, udah jalan aja buru.”

“Yeeealah, Dek. Baru di tinggal ke Jerman ama Yuno aja nangis, liburan juga dia bakal balik.”

Ara diam saja, Mas Yuda memang suka menganggap sepele. Pantas saja setiap kali menjalin hubungan dengan perempuan, hubungan itu tidak akan bertahan lama. Ara sih enggak heran, karena yang sudah-sudah mantan kekasih Mas Yuda selalu bercerita betapa Yuda cuek dan masih nyaman dengan dunia nya sendiri.

Seperti Yuda sering lupa membalas pesan singkat, tidak ada waktu untuk sekedar jalan berdua atau terkadang Yuda yang terlalu friendly dengan teman-teman perempuannya yang lain.

“Takut Yuno selingkuh yah?” tebak Yuda, cowok itu melirik Ara sesekali dan kemudian kembali fokus menyetir. Untungnya pagi itu jalanan tidak terlalu padat, jadi Ara bisa pastikan tidak akan terlambat untuk sampai ke rumah Yuno.

“Apaan sih, Kak Yuno tuh gak gitu.”

“Terus kenapa mewek?”

Ara menghela nafasnya pelan, ia memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela dan melihat jalanan di luar sana.

“Takut kangen aja.”

“Yaelah, Dek. Dangdut amat, sekarang kan jamannya udah canggih, udah bisa video call.”

“Tapi video call sama ketemu langsung tuh beda Mas Yuda.” Ara melipat tangannya di depan dada. “Gini nih, pantes aja pacar-pacar Mas Yuda minta putus, orang cowoknya aja cuek kaya begini.”

“Dih, enak aja. Mas tuh bukannya cuek, tapi mencoba memprioritaskan apa yang lebih penting dulu. Lagian masih pacar juga.” Yuda memang seperti itu, ia akan memprioritaskan apa yang menurutnya penting ketimbang sibuk berkencan dan mengabaikan urusan kampusnya.

Yuda itu aktif dalam organisasi di kampusnya, selain itu, Yuda juga masih suka bermain futsal, menemani Reno bermain basket atau sepedaan dan tentunya aktif dalam kegiatan menyuarakan aspirasi.

Bisa di bayangkan betapa sibuknya Yuda, kan. Dan dia kadang suka lupa kalau dia punya pacar yang menunggu kabar darinya, waktu di putusin pun Yuda gak pernah menyangkal kalau ia memang suka sibuk sendirian. Makanya kali ini Yuda enggak mau punya hubungan apa-apa sama perempuan, ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lagi karena sikap cueknya itu.

“Terserah Mas Yuda aja lah.” percuma juga berdebat dengan Yuda, isi kepala nya dan Yuda sangat berbeda.

Tidak lama kemudian mobil yang di kendarai Yuda sampai juga di depan rumah Yuno, sudah ada mobil Bunda Lastri terparkir di depannya tapi Ara enggak melihat ada mobil Papa nya Yuno di sana.

“Heh, nanti pulangnya Mas Yuda gak bisa jemput, kamu naik ojol aja yah.” biasanya Ara memang suka meminta di jemput Yuda, yah walau kadang Yuda sendiri agak sedikit ngaret menjemputnya.

“Aku pulang sama Bunda Lastri.”

Setelah mengatakan itu, Ara langsung menutup pintu mobil nya dan masuk ke dalam rumah Yuno. Di sana Yuno sudah siap dengan koper besarnya dan backpacker yang ia bawa, sebagian barang Yuno yang lain sudah di kirim duluan ke apartemen yang akan Yuno tempati di Berlin.

Dan tidak membutuhkan waktu lama, mereka pun segera menuju ke Bandara. Di perjalanan Bunda banyak bercerita bagaimana kondisi kampus Yuno di Berlin, apartemen dan juga sekolah bahasa yang akan Yuno jalankan dalam setahun ini sebelum nantinya ia akan resmi menjadi mahasiswa kedokteran.

Ara sesekali menanggapi, walau terkadang ia harus menahan mati-matian perasaan tidak nyamannya. Di dalam mobil, Ara duduk di belakang bersama Bunda Lastri, sementara Yuno duduk di sebelah Pak Mamat, supir keluarga Yuno.

“Oh iya, Bun. Kok Papa gak ikut?” Ara dari tadi enggak lihat Papa nya Yuno, setahunya Papa sudah berjanji untuk mengantar Yuno juga.

“Papa ada jadwal operasi, sayang. Jadi terpaksa deh gak bisa antar Yuno, pagi-pagi sekali sudah pergi.”

Ara mengangguk, saat ia hendak melihat ke arah jendela matanya justru bertemu dengan mata Yuno yang tengah melihatnya dari rear view mirror. Yuno tersenyum, dan itu juga membuat Ara ikut tersenyum.

Begitu sampai di Bandara, Bunda Lastri menyingkir sebentar untuk menerima telfon dari rumah sakit. Dan kesempatan itu di pakai Yuno dan Ara untuk berbicara berdua sebelum Yuno boarding.

“Semalam aku mikirin banyak hal, Setelah telponan sama kamu,” ucap Yuno yang membuat Ara bingung. Matanya memandangi pautan tangan mereka, kemudian menoleh ke melihat wajah cantik yang nantinya akan sangat ia rindukan itu.

“Mikirin apa?”

“Kalo aku harus secepat mungkin selesain studi kedokteran aku, biar bisa pulang.”

Ara terkekeh, ia pikir Yuno mikirin apa. “Harus! Tapi juga Kak Yuno harus jaga kesehatan di sana, jangan telat makan, jangan terlalu forsir diri.”

“Sama jangan lupa mikirin kamu gak?” Yuno tersenyum, dan itu membuat Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Apa sih, gombal.”

Melihat pipi kekasihnya yang semakin merona itu, Yuno hanya bisa terkekeh dan mengusap pucuk kepala Ara. Ia akan selalu merindukan suara gadis itu, rajukkanya dan pelukannya yang selalu membuat Yuno nyaman. Ah, jangan lupa cerita keseharian Ara dan teman-temannya itu.

Tidak lama kemudian tibalah waktu Yuno harus segera boarding Bunda Lastri sempat memeluk putra satu-satunya itu, dan memberikan nasihat-nasihat untuk Yuno. Sementara Ara berdiri di belakangnya, ia menahan segala gejolak kesedihan di sana, sungguh. Ara tidak ingin menangis.

Ia juga sudah berjanji pada Yuno bahwa saat akan mengantarnya ia tidak akan menangis, maka dari itu ia memilin ujung bajunya sendiri dan mati-matian mengigit bibir terdalamnya.

“Bunda duluan yah, Ra. Bunda tunggu di mobil,” ucap Bunda sembari menepuk bahu Ara, Bunda Lastri memberikan waktu bagi Yuno untuk mengucapkan salam perpisahan sebelum jarak memisahkan keduanya.

Saat Bunda sudah pergi barulah Yuno merentangkan tangannya, memberi isyarat pada Ara untuk segera memeluknya. Dan di saat itulah tangis Ara pecah, dalam pelukan cowok itu. Ia banyak-banyak menghirup aroma tubuh Yuno yang nantinya akan sangat ia rindukan.

“Kalo liburan aku pasti pulang, atau kalau kamu libur, Kamu aja yang ke Berlin gimana, hm?” Yuno berusaha untuk menghibur Ara, ia juga berat di tangisi seperti ini. Dulu, waktu Yuno mengatakan jika ia akan kuliah di Jerman. Mereka sempat bertengkar, Ara bilang dia enggak akan kuat untuk berhubungan jarak jauh dengan Yuno, Namun Yuno berhasil meyakinkannya.

Yuno sangat paham, terkadang Ara memang belum dewasa sepenuhnya. Dan Yuno menerima sifat kekanakan kekasihnya itu, menurutnya ada banyak keistimewaan Ara yang membuat Yuno tetap memilihnya alih-alih sifat kekanakannya.

“Tapi pasti lama kan?” ucap Ara di sela-sela isak nya.

“Kan bisa video call kalau kangen, yang berubah dari kita cuma banyak menunda buat ketemu. Kamu masih bisa cerita ke aku, aku masih bisa ngajarin kamu, aku masih bisa milihin kutek mana yang mau kamu pakai, masih bisa nyanyiin kamu.”

Karena tidak ingin semakin memberatkan Yuno, Ara mengurai pelukan mereka, menatap wajah tampan yang sebentar lagi akan pergi ke benua lain meninggalkannya. Yuno tersenyum, tidak ada bolongan indah di pipinya, namun senyum itu masih tetap menawan di mata Ara.

Kedua ibu jari cowok itu mengusap pipi Ara, kemudian terulur mengusap bahu kecilnya. Berharap isak gadis itu segera reda.

“Kak Yuno janji jangan lupa makan lagi?”

“Um,” Yuno mengangguk.

“Pakai jaket yang aku beliin kalau pergi pas winter.

“Siap.”

“Jangan genit-genit sama bule di sana.”

“Pacar aku secantik ini buat apa genit sama bule di sana?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, ia mengangguk pelan.

“Aku berangkat yah.”

Ara masih menunduk, ia tidak ingin menatap Yuno dan berakhir menangis lagi. Namun siapa sangka jika Yuno justru menangkup wajahnya dan melayangkan satu kecupan di bibir ranumnya, membuat kedua mata Ara membulat dan waktu terasa berhenti berputar sejenak.

Yuno sedikit melumat bibir mungil itu, memangutnya dengan sangat hati-hati meski gadisnya tidak membalas ciuman itu, Ara memang masih kaku. Ia hanya memejamkan matanya menikmati setiap kecupan itu, saat di rasa sudah cukup meluruhkan segala gumpalan ketidaknyamanan di hatinya, Yuno melepaskan pautan itu.

Dan kakinya melangkah pergi meninggalkan Ara, ia tidak ingin menoleh ke belakang lagi yang nantinya akan semakin membuat langkahnya semakin berat.