Sebelas— Tempat Yang Kamu Tinggali

Pagi itu setelah sarapan selesai, Yuno menepati janji mengajak Ara berkeliling Heidelberg. Seperti kebanyakan turis, Yuno mengajak Ara terlebih dulu ke Heidelberg Altstadt. Kota tertua yang ada di Heidelberg.

Hari ini Ara mengenakan Midi Dress dengan motif bunga di padu dengan Balero Monokrom dan Sneakers putih yang Yuno belikan sebagai hadiah ulang tahun Ara ke 16 tahun, Rambut panjang gadis itu tergerai cantik dengan jepit rambut berbentuk paw kucing di sisi kanan dan kirinya.

Ara jarang sekali mengenakan Midi Dress, tapi hari itu ia mengenakannya. Di perjalanan menuju Heidelberg Alstadt, Yuno sesekali memotret gadisnya itu. Ara benar-benar indah hari itu, lebih indah dari pada sungai Neckar di musim semi.

Begitu sampai di Heidelberg Altstadt, Ara banyak memotret kota itu. Sesekali ia juga bertanya pada Yuno setiap ada hal yang menarik perhatiannya. Tadinya ia ingin membuat mini vlog, tapi ia takut tidak menikmati perjalananya. Jadi ia urungkan niat itu.

“Di sini ternyata banyak turis ya, Kak. Banyak orang Asia juga.” Ara melihat ke sekelilingnya yang hari itu cukup ramai, banyak turis yang berjalan-jalan atau antre makanan di kedai-kedai yang ada di sana.

“Apalagi kalo summer lebih ramai lagi, kalau natal juga lebih ramai lagi. Bahkan ada pasar natal loh.”

“Iya? Apa kalau natal aku ke sini lagi aja?”

Yuno mengangguk kecil, jika di tanya ingin egois. Ia ingin sekali menahan Ara untuk tetap disini bersamanya, ia ingin menikmati kota ini bersama dengan gadis yang itu setiap harinya.

“Ini gelato yang paling ramai, kamu mau cobain gak?” mereka berhenti di sebuah kedai gelato yang pagi itu sudah ramai antrean hingga keluar kedai nya.

“Enak banget kali ya, Kak?” tanya Ara, ia menoleh ke arah Yuno.

“Mungkin, aku belum pernah cobain. Tapi 2 kali ke sini, kedainya selalu ramai. Mau coba?”

Ara mengangguk, mereka akhirnya sepakat untuk mengantre di depan kedai itu. Walau antreannya cukup panjang, 15 belas menit kemudian mereka sudah mendapati 2 gelato dengan rasa pistacio dan Stracciatella, Yuno bertanya katanya dua rasa itu paling laris.

Sembari jalan memperhatikan sekitarnya Ara menikmati gelato di tangan kirinya, sementara tangan kanan Yuno genggam dengan erat. Hari itu Heidelberg Alstadt begitu ramai Yuno takut Ara tertinggal atau tertabrak orang lain yang tubuhnya lebih besar dari gadis itu.

“Itu Kastil bukan sih, Kak?” Ara menunjuk sebuah Kastil di ujung sana yang tampak usang namun tetap memikat karena tampak indah, Kastil itu berdiri kokoh di atas gunung.

“Kastil Heidelberg, mau ke sana, sayang? Itu Kastil tertua loh.”

“Jalan yah?”

“Kalau mau jalan bisa, tapi aku gak yakin kamu kuat. Karena lumayan jauh, naik Bergbahn aja ya?”

Bergbahn?” Ara mengerutkan keningnya bingung.

“Itu kereta buat naik ke atas sana.”

“MAU!!!” pekik Ara.

Saking senangnya, saat berjalan menuju stasiun Ara sempat bersenandung kecil. Saat kedua mata mereka bertemu, keduanya saling tersenyum. Rasanya sudah lama sekali Yuno tidak merasakan sensasi menyenangkan seperti ini.

“Keretanya lucu ya, Kak. Bentuknya miring-miring gitu,” ucap Ara, jari telunjuknya terulur di udara seolah-olah ia sedang menggambar mengikuti likuk pola kereta gunung yang bentuknya sangat unik itu.

“Waktu pertama kali lihat aku juga mikir gitu, bentuknya lucu. Tapi setelah aku tau fungsi dari bentuknya yang gak biasa itu aku jadi sadar, kalau kereta ini di desain supaya penumpangnya lebih nyaman waktu kereta nya nanjak. Gak ada tuh kita jadi maju-maju ke depan karena keretanya lagi nanjak, penumpangnya bakalan berdiri atau duduk tetap stabil di dalam,” jelas Yuno.

“Ahhhh,” Ara mengangguk-angguk.

Bentuk keretanya memang unik, semakin ke belakang akan semakin tinggi dengan bentuk menyerupai zig zag. Ara belum pernah melihat bentuk kereta yang seperti ini, ah. Lagi pula ini perjalanan keluar negeri pertamanya, jadi wajar saja kan kalau banyak hal yang tidak ia ketahui.

Begitu sampai di atas Kastil, Ara melepaskan gandengan tangan Yuno. Gadis itu berlari kecil untuk bisa berada di sisi Kastil demi bisa melihat pemandangan kota Heidelberg dari atas Kastil.

Dari atas sana Ara bisa melihat jalanan yang ramai, pemukiman warga, sungai Neckar, gereja dan juga bangunan-bangunan yang tampak rapih.

“Kak Yuno ini bagus banget tau, keren!! Aku rasanya kaya jadi ratu.”

Yuno terkekeh, gak tahan dengar celotehan Ara yang kadang mirip anak kecil itu. “Kastil nya emang pernah jadi tempat tinggal Raja jaman dulu. Umurnya juga udah tua banget walau pernah beberapa kali di lakuin renovasi.”

“Di dirikan pada tahun 1214 dengan gaya Gothic-Renaissance,” lanjut Ara yang membuat Yuno terpukau.

“Kok pinter pacar aku?”

“Di kereta tadi aku sempat baca dari Google. Habisnya semua petunjuk disini pakai bahasa Jerman.”

Yuno terkekeh, ia kemudian berdiri di samping Ara yang tengah menikmati pemandangan kota dari atas Kastil itu. Rambut panjangnya berterbangan, membuat Yuno berdecap kagum dalam hati karena 2 keindahan yang disuguhkan di depannya.

“Itu,” Ara menunjuk sebuah bangunan yang ada di tengah sana. “Gereja Heiliggeistkirche yang kita lewatin tadi waktu ke Marketplaz kan, Kak?”

“Um,” Yuno mengangguk, “terus yang di sana itu namannya Alte Brücke, jembatan tua yang ada di atas sungai Neckar. Sebelum ke kampus aku, mau ke sana dulu gak?”

“Tapi ramai banget, Kak.”

“Tapi di sana ada patung monyet.”

“Hah?” Ara menoleh, menatap wajah Yuno dengan kening berkerutnya. “Patung monyet?”

Yuno mengangguk, “ada kepercayaan penduduk sini yang bilang, kalau kita pegang dan ngusap tangan monyetnya. Maka kita akan di bawa kembali ke Heidelberg, tapi kalau kita ngusap kaca yang di bawa sama patung monyetnya, katanya kita bakalan di beri keberuntungan.”

“Serius, Kak?”

Yuno menggedikkan kedua bahunya, “gak tau yah benar atau enggak, tapi udah jadi kepercayaan penduduk disini.”

“Aku mau coba kalau gitu! Aku mau—” ucapan Ara tertahan, ia tersenyum jahil membuat Yuno menaikan satu alisnya karena penasaran apa yang akan Ara ucapkan selanjutnya.

“Mau apa?”

Dengan gerakan yang sangat cepat, Ara berjinjit dan menarik kerah baju Yuno. Ia layangkan satu kecupan di pipi cowok itu, kemudian berlari. Membuat Yuno tersenyum cerah dan mengejar gadis yang sudah mencuri ciumannya itu.

“Awas ya kamu, heh Ara siapa yang ngajarin kamu nyuri ciuman kaya gitu?” ucap Yuno setengah berteriak.

“Kak Yuno yang ngajarin aku!!”

Yuno setengah berlari mengejar Ara, gadis itu sudah tidak berlari, ia hanya berjalan agak cepat menghindari Yuno.

“Kamu mau apa tadi?” tanya Yuno.

“Mau megang kaca di patung monyet nya, terus megang tanganya juga biar bisa balik ke sini lagi. Biar bisa nemenin Kak Yuno lagi disini.”


Begitu sampai di kampus Yuno, Ara tidak ada hentinya terpukau pada bangunan besar itu. Ara sempat mencari tahu tentang sejarah dari kampus kekasihnya itu, ternyata Ruprecht Karls University Heidelberg menjadi kampus tertua di Jerman sekaligus kampus terbaik se Eropa.

Ara gak heran kalau Yuno di terima di kampus itu karena cowok itu memang sangat pintar, walau kadang Ara suka merasa Yuno kurang percaya diri dan di tuntut untuk tidak cepat puas dengan apa yang ia dapatkan.

“Bagus banget, Kak. Jadi nanti Kak Yuno bakalan belajar disini?”

Yuno mengangguk, “di sini juga ada fakultas psikiatri dan psikologi, kamu gak mau kuliah di sini aja sama aku?

Ara tersenyum, Ara memang enggak bodoh di sekolahnya ia juga bukan termasuk deretan murid dengan segudang prestasi. Ara hanya murid biasa-biasa saja dengan nilai yang selalu stabil, ia sendiri bahkan enggak yakin bisa masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Walau Yuno kadang suka marah jika Ara selalu memikirkan kemungkinan terburuk dan meremehkan dirinya. Tapi tetap saja Ara susah untuk menepis pikiran buruk itu, semakin dewasa ia hanya tidak ingin berekspektasi berlebihan pada hidupnya. Ara tidak ingin kecewa dan membuatnya sakit, itu saja. Ia hanya berusaha menjadi gadis yang realistis.

“Aku aja gak yakin bisa masuk PTN di Indo, Kak. Apalagi masuk kampus kamu,” cicitnya. Ia duduk di taman kampus itu sembari menikmati semilir angin musim semi dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar taman.

Kalau sudah begini, kadang Yuno jadi jengkel sendiri. Ia benci Ara meragukan dirinya sendiri, padahal selama ini Ara yang selalu meyakinkannya jika Yuno bisa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

“Kenapa? Kan aku bisa bantu kamu.” Yuno duduk di sebelah gadis itu, menatap Ara yang masih terpukau pada gedung di depan mereka.

“Aku kan juga harus berbagi sama Mas Yuda sama Reno juga.” Meski terbilang keluarga yang berkecukupan, Ara tahu seberapa Papa bekerja keras demi bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Kantor agency advertising yang di dirikan Papa pernah mengalami titik terendah dimana Papa harus mengurangi jumlah pegawainya, bahkan Papa juga harus menggadaikan surat rumah yang di tempati dulu demi menyelamatkan perusahaanya yang nyaris gulung tikar itu. Kehidupan Ara berubah drastis, bahkan Ara terpaksa harus pindah ke sekolah biasa di Jakarta karena Papa tidak sanggup membiayai Ara di sekolah lamanya.

Yuno paham yang Ara bicarakan, Ara juga sudah pernah bercerita tentang pasang surut ekonomi keluarganya itu padanya.

“Aku bantu supaya kamu bisa dapat PTN di kampus yang kamu mau ya?”

“Beneran?”

“Nanti malam kita belajar?”

Kedua bahu Ara itu merosot, niatnya kan ke Jerman hanya ingin berlibur dan berkencan dengan Yuno. Tapi cowok itu justru mengajaknya untuk belajar.

“Kak....”

“Apa sayang?”

“Masa belajar sih?”

“Kamu mau dapat PTN gak?”

Ara mengangguk, wajahnya itu cemberut dengan sebal. “Tapi, Kak...”

“Kalau bisa ngerjain soal yang aku kasih nanti ada hadiahnya.”

“Apa apa?” Ara mengedipkan kedua matanya dengan penasaran.

“Rahasia lah.”

“Cium ya?”

“Ara...”

“Kan kamu yang ngajarin aku ciuman.”