Sembilan— selangkah
Pagi ini sebelum Ann bangun, Yuno sudah sibuk di dapurnya untuk membuat sarapan mereka berdua. Semalam Ann bercerita sehabis sarapan Ann ingin mengajaknya keluar sebentar, berjalan-jalan di sekitar apartemen Yuno yang di kelilingi banyak kuil. Heidelberg memang terkenal dengan kuilnya.
Setelah itu, mungkin Yuno akan mengantar Ann pulang ke Berlin. Yuno juga masih harus membereskan beberapa barang di apartemen lamanya yang harus dia bawa ke apartemen barunya.
Sedang asik membuat Bake Mashed Potato Crumb untuk sarapan, tiba-tiba saja ponsel milik Yuno berdering. Membuatnya harus segera mengangkat panggilan itu karena berasal dari Mama nya, jadi Yuno nyalakan pengeras suara agar ia masih bisa berbicara dengan Mama dan tetap menyelesaikan masakannya.
“Halo, Mah?”
“sayang, Kata Papa kamu sudah mulai pindah sejak kemarin?” tanya Mama di sebrang sana. to the point sekali, pikir Yuno.
Yuno memang sempat mengabari Papa nya dan bercerita kalau ia sudah mulai pindah sejak kemarin, waktu itu Papa sempat menyuruh Yuno untuk menyewa jasa truk saja demi bisa mengangkut barang-barang Yuno.
Tapi Yuno menolaknya, Yuno sudah tahu harga truk yang di sewa untuk pindahan harganya cukup mahal, meski terbilang berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yuno tidak ingin hidupnya bergantung pada kedua orang tuannya. Selama Yuno masih bisa melakukannya sendiri, ia tidak akan pernah meminta bantuan orang tuannya.
“Iya, Mah. Urusan di Berlin udah selesai semua, makanya Yuno mutusin buat pindah secepatnya.”
“tapi nyaman apart nya, No?“
Setelah mengeluarkan Mashed Potato nya dari oven, Yuno menata makanan itu dan minuman di atas meja pantry. Kemudian membenahi peralatan bekas memasaknya. Biarpun seorang laki-laki dan ia tinggal sendiri, Yuno itu orang yang sangat bersih dan rapih. Dia gak bisa melihat rumah yang di tinggalkannya berantakan dan kotor.
“Nyaman kok, Mah. Cukup besar juga. Lebih nyaman dari pada yang di Berlin.”
“syukurlah kalau begitu. Yuno?“
“Yah, Mah?”
“minggu ini Ara menyusul kamu ya? Mama ada titipan makanan untuk kamu dan Ara, di makanan nanti yah.“
Yuno mengerutkan keningnya, namun sedetik kemudian ia tersenyum. Selain Ara, masakan Mama juga termasuk yang Yuno rindukan.
“Ara ngomong ke Mama?” tanya Yuno, terakhir kali Ara bercerita sebelum Ujian Nasional, gadisnya itu sempat mengunjungi Mama dan kedua nya memutuskan untuk makan siang bersama. Yuno senang Mama dan Ara sangat dekat, bahkan kadang Yuno merasa Mama lebih sayang dengan Ara di banding dengan Yuno. Tapi tidak apa, Yuno justru merasa senang. Karena dua wanita yang ia sayangi juga saling menyayangi satu sama lain.
“Ara tuh rajin cerita ke Mama, apalagi kalau lagi kangen kamu. Dia pasti nanya Mama di mana, terus tau-tau nyamperin Mama. Pacarmu tuh lagi hobi masak yah? Mama di bawain makanan buatan dia terus loh, No.“
Ara memang sedang gemar memasak, gadis itu bilang jika ia ke Jerman nanti ia ingin memasak sesuatu untuk Yuno. Dan Yuno semakin tidak sabar menantikannya, ia ingin mencicipi masakan gadisnya itu.
Dari kamar tamu, Ann keluar. Gadis itu sudah rapih dengan baju dan coat yang tidak terlalu tebal itu. Meski sudah melewati musim dingin, Jerman tetap dingin di waktu musim semi. Suhu nya masih berkisar 8-18° dan kadang malah bisa tiba-tiba hujan. Makanya Yuno masih sulit beradaptasi dengan cuaca yang tiba-tiba berubah drastis ini.
Karena tahu Yuno sedang menelfon, Ann hanya berbicara dengan Yuno melalui gerakan tangannya saja. Seperti bertanya apakah makanan yang Yuno masak untuk sarapan mereka berdua dengan menunjuk piringnya dan Yuno hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Ara malah enggak cerita kalau tiba-tiba suka nyamperin Mama. Curang yah dia, awas aja kalau nanti sampai sini, tapi iya, Mah. Ara emang lagi suka banget masak, katanya kalau ke Jerman mau masakin sesuatu buat Yuno.”
“Yuno?“
“Ya, Mah?”
“jemput Ara nanti di bandara yah, Mama percaya kalian berdua bisa menjaga diri. Jaga kepercayaan kedua orang tua nya Ara juga yang sudah mengizinkan Ara untuk mengunjungi kamu. Jangan buat mereka kecewa, ngerti kan maksud Mama?“
Yuno tersenyum, Yuno sangat paham maksud Mama. “Paham, Mah.”
“ya sudah, sarapan sana. Jaga kesehatan yah, nanti Mama kabari lagi.“
Setelah sambungan telfon dari Mama terputus, Yuno duduk di kursi meja pantry. Berhadapan dengan Ann yang sedari tadi sudah sarapan, bahkan makanannya sudah habis separuhnya.
“sorry ya, Ann. Cuma ada sisa daging sama kentang doang di kulkas gue. Belum sempet belanja bahan makanan lagi,” ucap Yuno memecahkan keheningan di antara mereka.
“Gapapa, No. Ini juga enak banget kok, masakan lo tuh gak pernah gagal.” Ann tersenyum, walau agak sedikit canggung.
Ann mendengar obrolan Yuno dengan orang tua nya, Ann tidak menyangka jika gadis bernama Ara itu juga sangat dekat dengan orang tua Yuno hubungan keduanya sudah sejauh itu ternyata. Terlebih, Mama nya Yuno sepertinya sangat menyayangi Ara. Ann jadi penasaran, seperti apa gadis bernama Ara itu.
“No?” panggil Ann, membuat Yuno yang tadinya sedang makan itu jadi menoleh ke arahnya.
“Hm?”
“she want to stay here?” tanya Ann hati-hati, suaranya bahkan memelan.
Yuno yang sempat bingung itu mengerutkan keningnya, namun tidak lama kemudian ia mengangguk paham.
“Ara?”
“Um,” Ann mengangguk. “sorry gue gak sengaja dengar obrolan lo sama nyokap lo.”
“Santai aja, Ann.” Yuno tersenyum. “Cewek gue cuma liburan kok, habis selesai UN. Hampir setahun juga kita belum ketemu lagi, yah mungkin sekitar 10 harian dia disini.”
Ann meringis, Ann masih terlalu gamang pada perasaanya dengan Yuno. Bingung menyebutnya seperti apa, ia nyaman berada di dekat Yuno, kagum dengan apa yang cowok itu lakukan. Tapi tidakah terlalu cepat menyebutnya jika ia menyukai Yuno? Tapi melihat Yuno tersenyum hanya dengan seseorang menyebut nama Ara, dan bagaimana ia menceritakan tentang gadis itu.
Membuat hati Ann terasa di remas dari dalam. Ia bukan membenci Ara, ia hanya tidak nyaman saja. Namun di sisi lain, Ann tetap penasaran seperti apa gadis yang Yuno cintai itu.
“Dia baru lulus SMA?”
“Dia adik kelas gue, Ann. Nanti gue kenalin yah.”
Ann hanya mengangguk.
Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional, dan setelah ujian berakhir. Janu mengajak Echa, Ara, Gita, Kevin, dan Chaka untuk bermain bersama. Merayakan hari bebas mereka, belum bisa di bilang hari kelulusan. Karena pengumuman kelulusan masih agak lama.
Hari ini mereka berkumpul di rumah Janu, enggak di jalan atau bahkan di taman kota. Karena dari SMA kedua nya sudah di himbau untuk tidak melakukan iring-iringan kendaraan atau bahkan mencoret-coret seragam sekolah sebagai bentuk tamatnya masa putih abu-abu mereka.
Kedua orang tua Janu sudah menyiapkan banyak makanan dan juga cemilan untuk mereka, beruntung teras rumah Januar cukup luas dan nyaman, banyak semilir angin yang membuat siang hari itu nampak lebih sejuk meski di luar begitu terik.
Gita yang duduk di dekat Ara itu tersenyum, matanya enggak sengaja melihat Ara yang sedang membalas pesan singkat dari Yuno. Gadis di sebelahnya itu memberi tahu kalau ia sedang di rumah Janu bersama dengan yang lainnya.
“Lo flight ke Jerman kapan, Ra?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Chaka dan Kevin menoleh ke arah keduanya.
“Ara mau ke Jerman? Nyusul Bang Yuno?” tebak Chaka.
Ara yang di tanya begitu mengangguk, ia kemudian tersenyum. “Lusa gue berangkat, Git. Besok mau ke rumah Bunda Lastri dulu, Karena Bunda nitip makanan buat Kak Yuno.”
“Asik banget, gue jadi kepengen ikut. Kangen juga sama Kak Yuno.”
“Ikut yuk! Biar gue enggak sendiri.”
Gita mendecap, “gue udah ada acara, Ra. Tuh sama Kevin.”
“Ah,” Ara mengangguk-angguk. “by the way kalian udah dapat kosan di Bandung?”
“Udah, Ra. Tapi belum survey, mungkin bulan depan kali,” jawab Kevin.
“Kalian udah ada rencana kuliah dimana belum sih? Kok kayanya gue gak ada tujuan banget.” Chaka memang masih bingung mau ke kampus mana, selain itu dia juga masih gamang untuk memilih jurusan apa. Berbeda dengan Kevin, Gita dan Januar yang sudah mantap dengan pilihan mereka.
“Gue sih mau usaha di Jakarta dulu yah, gue juga udah bulat ambil teknik.” Echa sudah mantap akan mengambil fakultas teknik di kampus yang ada di Jakarta, ya itu jika ia keterima tapi jika tidak. Ia akan tetap mantap pada jurusan tehnik dan akan mengambil kampus yang sama dengan Janu. Echa sempat mencari tahu tentang fakultas teknik di Narawangsa, dan fakultas teknik di sana menjadi salah satu fakultas terbaik di sana.
“Gue udah mantap mau ambil jurusan psikologi, tapi di kampus yang di Malang. Tapi kalau gak keterima gue mungkin ambil kampus yang sama kaya Mas Arial.”
“Arial?” mendengar nama Arial di sebut, membuat Gita memekik.
Ara mengangguk. “Um, Mas Iyal, Git. Kenapa?”
Gita menarik nafasnya pelan, namun kemudian ia menggeleng. “Gapapa, emangnya Ari— Mas Arial di kampus mana?”
“Narawangsa, dia anak Fisip.”
“Fisip?!” pekikan Gita sekali lagi berhasil membuat yang lainnya menoleh ke arah gadis itu.
“Kenapa sih, Hon? Kok kaya kaget banget?” tanya Kevin yang penasaran.