Sepuluh—Bertemu

Pesawat yang di tumpangi Ara sudah sampai di Bandara Frankfurt, tidak jauh dari Heidelberg tempat tinggal Yuno berada. Menggunakan kereta hanya menempuh jarak 1 jam 30 menit saja, lebih cepat di banding Ara harus landing di Berlin.

Yuno menunggu Ara di waiting room gadis itu bilang dia masih berada di imigrasi bandara. Siang ini, Yuno gak ada hentinya tersenyum, ia benar-benar bahagia karena sebentar lagi bisa bertemu dengan gadis yang sangat ia rindukan itu.

Mereka enggak ada rencana kemana-kemana hari ini, Yuno tahu Ara pasti akan lelah karena penerbangan panjang pertamanya. Jadi Yuno sudah menyiapkan beberapa hal yang akan mereka lakukan siang ini hingga malam nanti.

Begitu ponselnya bergetar halus di saku, buru-buru Yuno periksa. Dan benar saja, Ara mengiriminya pesan, bertanya keberadaan Yuno di mana karena ia sudah selesai melewati imigrasi bandara. Yuno berdiri, dan tidak lama kemudian ekor matanya itu mendapati Ara di ujung sana. Menyeret koper berwarna pink dan tas punggung yang senada dengan koper miliknya.

Gadis itu juga melihatnya, dan tanpa memperdulikan koper besar miliknya. Ara berlari ke arah Yuno, matanya bersinar cerah seperti ia tengah menemukan harta karun yang selama ini ia cari. Maka dari itu, Yuno merentangkan tangannya. Bersiap menangkap tubuh mungil itu untuk ia bawa pada dekap nya.

“Kak Yuno!!!” pekik Ara, tubuh mungilnya di tangkap oleh Yuno dengan gemas. Kaki nya itu bahkan nyari tidak menapak pada lantai karena Yuno sedikit mengangkat tubuh kekasihnya itu.

“Kangen,” ucap Yuno.

Ara memeluknya erat, menghirup aroma tubuh Yuno dengan rakus. Ia benar-benar merindukan cowok itu, Yuno enggak banyak berubah. Kulitnya masih putih pucat, hanya saja rambut cowok itu agak sedikit panjang dari yang terakhir Ara lihat.

“Sayang, kok nangis?” tanya Yuno, ia baru sadar jika bahu kecil Ara bergetar.

“Kangen, aku udah lama gak meluk Kak Yuno, nyium bau kamu, makan masakan kamu, di ajarin kamu. Pokoknya kangen, aku mau memonopoli kamu hari ini sampai besok dan seterusnya!”

Yuno mengurai pelukan itu, menangkup wajah gadisnya dan mengusap pucuk kepala nya itu. Ada sedikit air mata di ujung mata Ara yang ia usap dengan jarinya sendiri.

“Aku juga mau memonooli kamu, sayang, Jauh banget yah?”

Ara mengangguk, “Banget.”

“Capek gak hm?”

“Enggak, kok.” gadis itu tersenyum, matanya masih lekat menatap kedua netra legam di depannya itu.

“Kita pulang? Masih kuat naik kereta kan? Atau mau aku gendong aja?” Yuno menaikan satu alisnya, menggoda Ara hingga kedua pipi gadis itu merona.

“Apa sih, masih kuat tau aku. Tapi Kak Yuno bawain kopernya yah?”

“Tanpa kamu suruh, aku pasti bawain, yuk?” Yuno menggenggam tangan Ara, kemudian menggandengnya untuk keluar dari bandara.

Di perjalanan menuju Heidelberg, Ara banyak bercerita tentang perjalanan panjangnya. Dia bilang, dia bangga bisa berpergian sendiri seperti ini. Katanya sudah merasa seperti orang dewasa, walau di perjalanan Papa dan Bunda nya enggak ada henti-hentinya bertanya Ara sudah sampai di mana.

“Di dekat stasiun terakhir nanti, ada toko roti. Mau beli roti dulu gak?” Tanya Yuno waktu mereka hampir sampai.

“Mau!!”

Yuno tersenyum, “kamu udah kabarin Bunda sama Papa?”

“Udah kok, mereka lega banget waktu tau aku udah sampai.”

“Nanti sampai di apart, aku telfon Bunda kamu juga ya.”

Ara mengerutkan keningnya bingung, “buat apa? Kan Bunda udah tau aku sama kamu.”

“Ya buat ngasih tau kalo aku bakalan jagain kamu terus selama di sini, orang tua kamu pasti khawatir, makanya aku mau meyakinkan mereka kalo kamu aman sama aku, sayang.”

Ucapan Yuno barusan, berhasil membuat Ara mengulum senyumnya. Ia membuang pandanganya ke arah lain demi menahan senyum konyolnya, meski sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih. Ara masih mudah sekali tersipu karena kata-kata atau tindakan kecil yang Yuno lakukan untuknya.

“Di sini Kak Yuno udah punya teman belum?” tanya Ara tiba-tiba.

Yuno hanya menggeleng, ia baru beberapa hari pindah ke Heidelberg. Yuno belum mengenal banyak orang di sini, ia hanya baru berkenalan dengan tetangga sebelah apartemen nya saja karena mereka berkuliah di kampus yang sama.

“Cuma baru punya 1 kenalan, dia kakak tingkat aku di kampus.”

“Cewek?” tebak Ara.

“Cowok, sayang.”

Ara mengangguk-angguk. “Tapi Jerman baik-baik aja kan, Kak? Lebih betah di Jakarta atau di sini?”

“Kalau di sini, aku bisa sedikit bebas karena gak selalu di awasi Papa. Tapi kalo di Jakarta ada kamu.”

“Jadi?”

“Aku pilih yang ada kamu nya.”

“Ih gombal!!” pekik Ara.

Apartemen Yuno sudah rapih sekarang ini, cowok itu ngebut semalaman untuk merapihkan apartemen nya. Di tempat tinggalnya yang sekarang ini memiliki 2 kamar tidur, kamar Yuno tentunya lebih besar dari pada kamar tamu.

Di ruang tamu yang sekaligus ruang TV, Yuno memajang pigura foto dirinya sekaligus kedua orang tua nya. Sedangkan di meja dekat TV dan rak buku, ia taruh fotonya berdua dengan Ara serta foto kelulusan SMA nya.

Yuno juga menaruh tanaman hias serta vinyl koleksi Yuno yang ia beli di toko musik beberapa bulan yang lalu, Yuno itu suka sekali mengoleksi vinyl. Bahkan ia juga membeli Gramofon untuk sesekali ia putar vinyl itu jika sedang bosan.

Selama di Jerman, Yuno merasakan bisa menjadi dirinya sendiri yang mencintai musik. Berbeda jika di Jakarta dan tinggal dengan orang tua nya, Papa akan membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan musik. Entah apa yang membuat Papa begitu membenci musik.

Sembari menyiapkan cemilan dan teh untuk Ara, sesekali Yuno melirik gadisnya itu yang sibuk berkeliling melihat apartemen Yuno yang baru.

“Kak Yuno beli vinyl juga di sini?” tanya Ara, sampailah gadis itu di rak vinyl koleksi Yuno itu.

“Iya, masih sedikit tapi. Kamu mau dengerin?”

“Boleh, aku pilih sendiri boleh?”

“Boleh sayang.”

Ara nampak begitu tertarik dengan koleksi vinyl milik Yuno, ia lihat satu persatu. Setelah selesai membuat cemilan untuk Ara, di taruh nya cemilan dan teh itu di meja ruang TV dan Yuno hampiri Ara yang masih nampak bingung di depan rak vinyl koleksinya.

“Baby, I'm for Real, I Like It, They long to be, Close to You, Close To You,” gumam Ara, membuat Yuno di sebelahnya tersenyum kecil. “Kak Yuno suka yang mana? Aku belum pernah dengar lagu-lagu ini sebelumnya.”

“Baby, I'm For Real,” jawab Yuno, ia juga mengambil vinyl nya kemudian memasangnya di Gramofon.

Begitu lagunya di putar, Ara memejamkan matanya. Menikmati alunan lagu itu sembari sesekali ia bergumam, ia seperti pernah mendengar lagu ini sebelumnya.

“Suka gak?” sebelumnya Yuno belum pernah melakukan ini, menyelipkan rambut panjang gadis nya ke belakang telinga, agar tidak menghalanginya melihat wajah cantik kesayangannya itu.

Dan perlakuan kecil Yuno itu berhasil membuat Ara membuka kedua matanya, degup jantungnya menjadi semakin menggila ketika kedua netra legam itu kini menatapnya lekat, seolah-olah jika Yuno berkedip sedetik saja Ara akan hilang dari pandanganya.

“Kak Yuno?”

“Hm?”

Ara mengulum bibirnya, sejujurnya ada hal yang sangat ingin Ara lakukan jika sudah bertemu dengan Yuno. Ah tidak, lebih tepatnya hal yang ingin Ara dululah yang memulainya. Jadi, biarkan kali ini ia mengalahkan akal sehatnya sendiri. Dengan mengubah posisinya menjadi menghadap Yuno.

Kedua anak manusia itu saling tersenyum, alunan musik yang masih berputar itu seakan mengantarkan mereka pada dunia mereka berdua. Dunia yang seolah-olah hanya mereka lah yang tinggal di sana.

Telat Ara menyadari jika tangan Yuno sudah berada di pinggangnya, memeluk pinggang ramping itu untuk semakin dekat dengannya. Mengabaikan degup jantungnya yang semakin menggila, Ara memberanikan diri untuk membawa tengkuk Yuno semakin dekat dengan wajahnya. Hingga saat ini bibir keduanya bertemu.

Jujur saja, Yuno sedikit terkejut. Ara terlalu lugu untuk memimpin kecupan-demi kecupan ini, namun Yuno tetap membiarkan gadis nya itu memimpin. Jadi, ia pejamkan matanya dan ia balas kecupan itu perlahan-lahan.

Ara sempat berhenti sebentar, keduanya tersenyum sampai akhirnya Yuno lah yang bergantian menciumi bibir mungil itu duluan. Melalui lumatan kecil itu, Yuno hanya ingin mengutarakan kerinduannya, kasih sayang dan cintanya pada gadisnya itu.

Ara yang masih terlalu gamang untuk menyeimbangi itu hanya meremas kemeja yang Yuno pakai, namun perlahan tangannya naik mengusap pundak Yuno dan mengigit bibir cowok itu dengan gemas.

Decapan demi decapan mendominasi ruangan itu, sebelum semuanya semakin jauh. Yuno sudahi kecupan itu, membiarkan gadisnya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Jujur saja, 2 tahun berkencan dengan Ara. Baru hari ini mereka berciuman selama itu dan Ara yang memulainya.

“Kak?”

“Hm?” Yuno mengangkat satu alisnya.

“Ak..ku mau ganti baju dulu.”

Yuno tersenyum, ia kemudian mengangguk kecil. Ia tahu Ara malu, terlihat dari bagaimana semburat kemerahan itu muncul di kedua pipinya. Begitu sampai di dalam kamarnya, Ara langsung membanting dirinya ke atas ranjang dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

Dia gak ada hentinya meruntuki dirinya sendiri yang dengan beraninya mencium Yuno seperti tadi, bahkan sekelebatan bayangan tentang bagaimana ia mencium cowok itu terus berputar di kepalanya.

“Aaaaahhhh stupid..” pekiknya tertahan, Ara malu setengah mati. Bagaimana jika setelah ini Yuno jadi berpikir jika ia adalah gadis yang agresif.