Sisi Gelap Dunia Malam
Keesokan pagi nya Ara mengerjapkan matanya beberapa kali setelah merasakan sinar matahari menelisik masuk ke dalam kamarnya, kepalanya pening bukan main. Seperti habis di hajar benda keras hingga ia pingsan, gadis itu mesih terbaring di ranjangnya, mengucak matanya beberapa kali kemudian berusaha bangkit dari tidurnya.
Ia sudah berada di dalam kamarnya, entah bagaimana caranya semalam. Karna seingatnya ia benar-benar mabuk. Dan lagi, Ara menyadari sesuatu ketika ia meraba tubuhnya. Seingatnya semalam ia masih mengenakan dress selutut dengan tali spaghetti, lalu kenapa pagi ini dia sudah mengenakan baju tidurnya.
Seketika rasa panik menyerangnya, ia mengambil ponsel miliknya yang masih ia taruh di tas yang ia bawa. Mengetikan nomer seseorang disana sembari mengigit kuku jarinya, sudah 5 nada sambung panggilan namun sang pemilik ponsel urung menjawab panggilannya.
“Sharen sialan, ini gue balik sama siapa semalem?” gumam Ara panik.
Ia mencoba mengingat-ingat lagi kejadian semalam, kalau tidak salah terakhir ia berkenalan dengan seorang Kakak tingkat bernama Saddam. Cowok itu memang memberinya alkohol dan mereka mengobrol banyak hal, lalu kejadian berikutnya yang Ara ingat hanya ia yang menyandarkan kepalanya di meja bartender ketika ada ribut-ribut di club. Yah, itu keributan dan Ara enggak tahu apa yang terjadi semalam.
“Oke tenang.. Tenang kita inget-inget, fiuhhh.” Ara menghembuskan nafasnya, ia duduk kembali di ranjang dan menaruh ponselnya. Sharen enggak menjawab panggilannya, mungkin juga gadis itu belum bangun.
“Jadi gue semalem teler, terus ada ribut-ribut. Habis itu ada cowok yang bawa gue keluar dari tempat sialan itu..” kedua mata Ara menyipit, ia tidak ingat betul wajah cowok yang membopongnya keluar.
Sampai tiba-tiba netra nya itu melihat ada kemeja putih yang di taruh di atas ranjangnya, di ambilnya kemeja itu. Ara seperti tidak asing dengan wangi dan kemejanya, setelah sadar itu kemeja milik siapa. Kedua mata Ara membulat, ia lempar kemeja itu hingga ke depan pintu dan ia tutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan.
“Kak Yuno!!” pekik Ara tertahan.
Lalu tiba-tiba saja ingatan semalam tentang betapa gila dirinya mendambakan sentuhan itu terputar, Ara ingat waktu bagaimana ia bergelayut manja di pundak Yuno, menarik bajunya kemudian mencium bibir cowok itu dengan semangat, apalagi saat ia merangkak naik duduk di atas pangkuan Yuno dan merengek ketika Yuno menolak nya.
“AAAAAAHHHHHHHH GILAAAA!!” tidak sadar Ara kelepasan, ia memukuli kepalanya sendiri. Berharap ia bisa amnesia dan tidak akan pernah mengingat kejadian menjijikan itu lagi.
“Ra? Lo udah bangun?” panggil Gita dari depan pintu kamarnya.
“Belum!!”
“Kok nyautin?”
Lagi-lagi Ara memejamkan matanya, memukul bibirnya sendiri yang lagi-lagi keceplosan. Pagi itu tidak ada henti-hentinya Ara meruntuki dirinya sendiri, karena sudah kepalang ketahuan kalau ia sudah bangun. Akhirnya ia buka kecil pintu kamarnya, sepertinya ia harus bertanya pada temannya yang lain tentang kejadian semalam. Ah, terutama dengan siapa ia di gantikan baju. Gak mungkin sama Yuno kan? Iya kan..
“Git,” panggil Ara dengan suara kecil.
“Ngapain lo kaya gitu?”
“Di depan ada siapa?”
“Depan mana? Depan komplek?”
“Bukan ih,” Hardiknya. “Di bawah.”
“Rame lah,” jawab Gita acuh, tapi dalam hati dia mau ketawa liat kelakuan konyol Ara semalam dan hingga pagi ini. Ya meskipun ia juga ikut kesal waktu Yuno menjelaskan apa yang terjadi pada Ara malam itu.
“Ih, rame tuh ada siapa aja?”
“Kenapa sih emang?”
Ara mengulum bibirnya sendiri, “gue malu.”
“Telanjang lo makanya malu? Udah buruan turun, Arial mau ngomong sama lo tuh di bawah. Udah ngoceh terus dia kaya burung Beo belum di kasih makan.”
Sejak pagi tadi Arial memang sudah ngomel-ngomel di kosan, cowok itu memang selalu menumpang sarapan di kosan Abah. Bahkan Arial lebih suka tidur sembarangan di kosan Abah di banding di kamar kost nya sendiri, Gita juga bingung kenapa. Apa lagi waktu Yuno bilang mau tinggal sementara di kosan dan mengubah gudang menjadi kamarnya.
Arial ngedumel bukan main, wajahnya sampai di tekuk seharian karena ia merasa kalah cepat dengan Yuno. Arial memang beberapa kali bilang ingin pindah kosan, yah apalagi kalau bukan untuk menjaga Adiknya. Itu sih alasannya, enggak tahu kalau ada maksud terselubung.
“Eh, Git. Sini deh.” Ara masih membuka pintunya kecil, namun saat Gita menghampirinya ia membuka pintu itu dan menarik tangan Gita untuk masuk ke kamarnya, setelah itu ia tutup lagi bahkan ia kunci.
“Dih apaan sih, kenapa lo?” kata Gita ketus.
“Gue semalam kan mabuk ya.”
“Baru sadar?”
“Ihhh dengerin dulu.” Ara mengibaskan tangannya, kesel juga karena dari tadi Gita kaya sensi banget ke dia. “Terus gue pulang sama Kak Yuno?”
Gita mengangguk, ia melipat kedua tangannya di dada. Membiarkan Ara mengingat semua kejadian semalam.
“Habis itu yang gantiin baju gue siapa, Git?”
Setan dan malaikat di kanan dan kiri Gita saling berdebat, sebelah kiri menyuruhnya untuk mengerjai Ara agar gadis itu enggak asal main ke club dan menerima minuman dari orang lain, yah semacam memberinya pelajaran, sementara sebelah kanan nya menyuruhnya untuk jujur saja karena Ara pasti sudah kepalang malu.
“Kenapa emangnya?” Gita menaikan sebelah alisnya menggoda.
“Gak mungkin Kak Yuno kan?” cicitnya malu setengah mati.
“Kayanya emang dia sendiri yang gantiin baju lo deh, Ra. Soalnya semalam anak-anak udah pada tidur. Gue aja baru tau pas Kak Yuno cerita.”
Mata Ara membulat, degupan jantung nya menggila hanya bagaimana ia mendengar ucapan Gita dan membayangkan Yuno mengganti bajunya, Ini gila banget.
“Bohong!!” pekik Ara.
“Yaaa.. Tanya aja sama Kak Yuno sendiri kalo berani, udah ah. Sarapan lo, gue sama Echa masakin sup di bawah. Sekalian abis ini siap-siap lo di sidang sama Komdis galak dan rese itu.”
Gita melenggang keluar dari kamar Ara, ia sempat terkekeh di depan kamar gadis itu apalagi saat mendengar Ara mengerang karena malu setengah mati.
Siangnya Ara belum berani keluar kamar juga, meski perutnya beberapa kali sudah menjerit karena lapar. Ia hanya makan cemilan coklat yang terbuat dari Oat, Quinoa dan Whole Wheat saja. Itu pun hanya mampu menahan laparnya selama 2 jam karena di jam selanjutnya perutnya kembali lapar.
Namun, tiba-tiba saja nama Julian terlintas di pikirannya. Cowok itu pasti mau menolongnya mengambilkan makanan, jadi buru-buru Ara ambil ponselnya dan memanggil Julian. Beruntungnya cowok itu langsung mengangkat telfonnya.
“kenapa, Ra?“
“Jul!! Lo di kosan kan?”
“iyalah, kenapa emang?“
“Boleh minta tolong gak?” Ara mengigit bibir bawahnya.
“boleh, kenapa?“
“Jul, ambilin makanan dong di bawah kayanya gue sakit deh. Kepala gue pusing.”
“gue ambilin, tapi makan di rooftop aja yah. Gue temenin.“
“Ihhh, Jul. Kok di rooftop sih?” itu artinya sama saja kan? Ia juga harus keluar kamar, kalau ada yang lihat bagaimana? Kalau ia bertemu Yuno bagaimana?
“Jangan makan di kamar, gue mau ngomong sama lo.“
“Ini kan lagi ngomong.”
“gak di telfon, Ra. Langsung. Udah yah, gue ambilin makanan nih, lo naik ke atas nanti gue nyusul.” tanpa menunggu jawaban Ara, Julian mematikan sambungannya dan membuat Ara mendesah putus asa.
Dari pada ia terus merasa kelaparan dan berujung asam lambung nya kambuh, akhirnya mau enggak mau Ara menuruti apa kata Julian. Toh di rooftop rasanya lebih aman, anak-anak kosan gak akan ada yang ke rooftop kalo enggak angkat jemuran. Yah paling Kevin sih, tapi Kevin kalo nongkrong di rooftop juga kalau malam sambil gitaran dan ngerokok. Kalau siang gini sih panas, Kevin juga ogah nangkring disana.
Dengan langkah perlahan-lahan ia membuka pintu kamarnya, terlampau pelan sampai tidak terdengar kalau pintu kamarnya terbuka, sebelum keluar dari kamar. Ara memastikan tidak ada seorang pun di ruang TV lantai 2 ataupun di laundry room, setelah memastikan semuanya aman. Akhirnya ia lari dan buru-buru naik ke rooftop, persis seperti maling yang sedang melancarkan aksinya.
Dan beruntungnya di rooftop benar-benar sepi, tidak ada orang. Dan Ara bisa bernafas lega, tidak lama kemudian pun Julian datang. Membawa nampan berisi makanan untuk Ara dan tidak lupa cemilan yang cowok itu beli di minimarket kemarin.
Begitu melihat Ara mengeluarkan cengiran konyolnya, Julian hanya menggeleng. Kemudian duduk di depan gadis itu dan menaruh nampan berisi makanannya, tidak membutuhkan waktu lama Ara langsung menyantap makanan itu, ia benar-benar lapar.
“Gue udah dengar semuanya dari Bang Yuno,” ucap Julian di sela-sela kunyahan makanan Ara, gadis itu nyaris saja tersedak waktu Julian mengucapkan nama Yuno.
“Pelan-pelan makannya bisa gak sih?” Julian mengambilkan minum dan memberikannya ke Ara.
Setelah meminum, Ara berhenti makan sebentar. Kayanya Julian mau ngomongin hal semalam, dan ia yakin Julian tahu sesuatu.
“Dia cerita apa?”
“Lo mabuk semalam di club sama cowok?”
Ara menunduk, ia mengulum bibirnya dan mengangguk. Julian gak terlihat marah, nada bicaranya juga halus seperti biasanya. Namun dari tatapan matanya itu terlihat banyak makna seperti cowok itu sedih, kecewa dan marah menjadi satu.
“Lo marah sama gue yah, Jul?” cicitnya.
“Bukan sama lo, tapi sama diri gue sendiri?” mendengar ucapan itu, Ara mendongakkan kepalanya dan menatap Julian bingung.
“Kenapa?”
“Karena gue biarin lo pergi sendirian ke sana, harusnya gue ikut sama lo. Atau seharusnya gue gak biarin lo dateng berdua aja sama Sharen.”
“Jul..”
“Ra,” Julian memejamkan matanya. “Gue enggak tau kalau semalam Bang Yuno gak datang nolongin lo, kaya apa kejadiannya sekarang. Gue marah banget waktu dia cerita.”
“Jul, bukan salah lo kok. Ini gue aja yang bego mau-mau aja di kasih minuman sama cowok yang baru gue kenal.”
“Saddam kan?”
Ara mengangguk.“Saddam, FEB—”
“Saddam Badjrie FEB'14. Gue tau orangnya, biar gue kasih pelajaran dia besok.”
“Jul..”
“Ra, dia ngerjain lo.”
“Jul, iya gue tau dia ngerjain gue. Gue juga marah banget, tapi gue juga malu banget. Udah yah, yang penting sekarang gue enggak kenapa-kenapa.”
“Dia udah kurang ajar sama lo, Ra.”
“Jul, Bapaknya dia itu donatur di Narawangsa. Gue gak mau lo kenapa-kenapa. please..” Ara mengatupkan kedua tangannya memohon.
Julian hanya diam, ia memperhatikan wajah Ara dan akhirnya mengangguk. Meski begitu, Julian akan tetap memberikan cowok itu pelajaran tanpa sepengetahuan Ara.
“Janji?” Ara memberikan jari kelingkingnya.
“Gak mau.”
“Ihhh kok gak mau?”
“Lo yang harusnya janji sama gue gak akan ketempat kaya gituan lagi.”
Ara terkekeh, ia akhirnya mengangguk. Membawa tangan Julian dan menautkan jari kelingking mereka. “Janji.”