The Stealer
Ps: semua percakapan Yuno sama temannya, anggap aja mereka ngomong pakai bahasa Jerman ya.
Siang itu Yuno tampak begitu lesu menenteng jas lab yang ia sampirkan di pundak kanannya, sudah 3 hari ia memilih untuk merefleksikan dirinya dari masalahnya dengan Ara. Yuno enggak menghindar kok, dia cuma mau menelah apa ini benar-benar semua salahnya.
Semalaman Yuno kurang tidur, selain harus belajar dan mengerjakan tugasnya. Tugas barunya sebagai seorang asisten dosen juga ternyata cukup menyita jam tidur dan istirahatnya, bahkan Yuno sampai lupa mengisi daya ponselnya saking banyak yang harus ia kerjakan.
Sembari menunggu mahasiswa lainnya, Yuno bersandar di depan ruang tunggu lab. Masih ada 2 mahasiswa di sana, yang enggak begitu akrab dengan Yuno. Menghela nafasnya berkali-kali, ia memijat keningnya dan mencoba untuk mengalah. Memberi kabar pada Ara lebih dulu.
Ia lihat arloji di tangannya yang kini sudah menunjukkan pukul 2 siang waktu Jerman. Itu artinya Ara mungkin sudah selesai dengan kuliahnya, yah semoga saja gadis itu bisa langsung membaca pesannya dan membalasnya.
Yuno ketikan sesuatu di sana, berharap Ara akan membacanya. Yuno cuma bilang dia minta maaf soal perdebatan mereka yang kemarin, Yuno juga mengakui jika ia salah. Ia terlalu sering membuat Ara menunggu dan memohon hanya untuk sekedar face time saja.
“Yuno!!” pekik seorang gadis di ujung lorong sana. Gadis berambut kecoklatan dengan wajah khas Eropa itu, menghampiri Yuno bersama 2 orang laki-laki yang berperawakan sama dengannya.
Itu tiga teman Yuno, mereka orang Jerman asli. Gadis berambut kecoklatan itu namanya Gabriela sedangkan laki-laki yang lebih tinggi dari Yuno dengan mata berwarna hazel itu bernama Jacob, dan di sebelahnya lagi ada Lois.
“murung banget muka lo? Kenapa? Sakit? Atau di samperin sama mahasiswa semester akhir lagi?” tanya Lois penasaran, Lois ini memang yang paling pandai dalam membaca raut wajah orang lain. Gak heran cowok dengan sejuta ambisi itu berniat ingin menjadi dokter forensik setelah lulus dari fakultas kedokteran nanti.
“gapapa, kecapekan aja kayanya gue sih. Lagi kepikiran buat mundur jadi asisten Pak Chris,” jawab Yuno sekena nya.
“serius? Kenapa? Sayang banget lo nyia-nyiain kesempatan kaya gini. Pak Chris bukan dosen yang mudah nerima mahasiswa buat jadi asistennya,” sambung Gabriela.
“mungkin serius, tapi gue masih mikir-mikir. Gue gak mau ambil keputusan pas lagi pusing kaya gini.“
“apa jangan-jangan Pak Chris terlalu tegas sama lo? Makanya enggak tahan? Atau karena tekanan dari senior?” Jacob pernah membantu Yuno sekali saat Yuno kembali di maki-maki oleh senior yang enggak suka sama dia, oh bukan cuma karena Yuno yang menjadi asisten dosen terpilih. Alasan mereka enggak suka sama Yuno selain itu adalah Yuno berasal dari Asia.
Yup, rasisme di mana-mana itu pasti ada. Dan Yuno masih sanggup menangani hal ini selama mereka enggak memperlakukan Yuno lebih buruk dari sekedar ucapan menyakitkan saja, Yuno sih gak ambil pusing soal itu. Toh tinggal masuk kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri.
“gue ngerasa belum bisa bagi waktu aja, Jac.“
“serius?“
Yuno mengangguk, ia pikir itu yang terbaik. Ia tidak ingin hubunganya dan Ara kembali memburuk karena ia yang tidak bisa membagi waktu dan malah mengabaikan Ara, Yuno sadar dia gak bisa menggenggam semuanya.
Di dalam lab Yuno dan mahasiswa lainnya berkonsentrasi memperhatikan sepasang lensa okuler dengan sebuah preparat malaria terpasang di bawah lensa objektif dengan pembesaran seratus kali.
“Pengenalan leukosit sama eritrosit doang,” gumam Yuno. Ia berkali-kali menghela nafasnya.
Jemarinya itu memutar mikrometer dan makrometer di mikroskop miliknya, boleh Yuno katakan jika ia benci menggunakan mikroskop? Karena tiap kali menggunakan benda itu, matanya akan terasa pedih karena bekerja lebih keras.
Sesekali Yuno melirik ke arah arloji nya, ia merasa waktu berjalan lambat. Ia ingin mata kuliah nya hari ini segera berakhir dan memeriksa ponselnya untuk memastikan Ara sudah membalas pesan darinya.
“Aryuno?” panggilan dari dosen nya di depan sana, membuat atensi Yuno berpindah. Ia yang tadi masih memperhatikan preparat miliknya itu kini menoleh ke sumber suara.
“saya, Prof.” ucapnya.
“bisa kamu simpulkan perbedaan Vivax dan Falcifarum?“
Yuno menelan saliva nya susah payah, penjelasan materi sebelum memulai praktiknya itu sedikit Yuno lupa. Otaknya terasa penuh hanya karena memikirkan satu nama, Yuno memejamkan matanya. Berusaha untuk setidaknya mengingat materi yang 45 menit lalu di jelaskan.
“Plasmodium Vivax memiliki bentuk bulat atau oval. Sedangkan Plasmodium Falcifarum memilik bentuk mirip bulan sabit atau sosis.” jelas Yuno dengan peluh yang hampir saja menetes di pelipisnya.
Dosen dengan umur sekitar 55 tahun itu mengangguk, wajahnya yang selalu dingin itu kini menatap Yuno tajam. Dalam hati Yuno bertanya-tanya, apa tadi jawabannya salah?
“masa inkubasi?“
“Masa inkubasi untuk Vivax 10 hingga 17 hari kadang-kadang hingga satu tahun ketika tetap tidak aktif di dalam tubuh. Sedangkan falciparum paling pendek, 11 hari yang dapat berkisar antara 9 hingga 30 hari,” jelas Yuno.
Sungguh kakinya gemetar, untung saja ingatannya cukup bagus. Enggak sia-sia Yuno belajar dari malam hingga pagi sampai mimisan. Setelah selesai di kelas terakhirnya, Yuno buru-buru memeriksa ponselnya. Ia pikir Ara sudah membalas pesannya, namun nyatanya tidak ada pesan lain di sana selain pesan dari Gita yang menanyakan kabarnya.
“Kang Ian, kenalin nih. Gue bawa jagoan baru buat Black Box.” begitu datang Jonas langsung mengenalkan Julian sama Kang Ian.
Laki-laki berperawakan besar dan tatto di sekitaran lengan kanan dan kirinya itu menatap Julian dari ujung kepala hingga kaki, menelisik proporsi tubuh laki-laki muda di depannya. Sebut saja Kang Ian, laki-laki gondrong yang menghisap roko Djarum Super itu adalah pemilik sekaligus pelatih Black Box.
Area tinju ilegal berkedok pusat kebugaran, Jonas sudah lebih dulu bergabung dengan komunitas yang di bentuk Kang Ian itu. Dia juga salah satu petarung kesayangan Kang Ian, dan hari ini Jonas mengajak Julian bergabung karena Julian bilang dia butuh pekerjaan sampingan demi mendapat uang jajan lebih.
Julian bukan enggak bersyukur sama uang yang selalu Ibu kirim setiap awal bulan itu, dia cuma gak mau bikin repot Ibu nya. Ibu nya Julian itu janda, Bapak sudah lama meninggalkan Julian, Ibu serta Adik laki-laki nya karena sebuah kecelakaan.
Julian belum bisa partime karena kesibukkanya yang baru bergabung dengan HIMA, lagi pula ia belum banyak kenalan di Bandung. Mungkin bisa di bilang bergabung dengan Black Box hanya menjadi batu loncatannya saja.
“Asli Bandung? Siapa namanya?” tanya Kang Ian. Sudah sering Julian di kira orang Bandung, kalau kata Sharen muka Julian mirip 'Aa Bandung.'
Julian menggeleng. “Dari Jakarta, Kang. Merantau makanya butuh uang jajan lebih. Nama gue Julian, Julian Devandra.”
Laki-laki itu mengangguk, “proporsi badannya boleh. Tapi lo yakin bisa di andelin dia nih?” Kang Ian menoleh ke arah Jonas, seolah meminta pembuktian akan kata-katanya.
“Serius gue, Kang. Emang masih basic cuma bisa di adu lah. Dia juga belajar dengan cepat kalau elu latih.”
Kang Ian hanya mengangguk, padahal tampang dan penampilan Julian enggak kelihatan seperti anak yang kekurangan uang. Lalu kenapa ia juga mau bergabung ke dalam tinju ilegal? Yang menurut Kang Ian uangnya itu enggak seberapa, Apalagi usia nya masih sangat muda. Tapi enggak bisa Ian pungkiri jika ia memang mendambakan petarung muda yang memiliki stamina bagus.
“Oke deh, lo boleh gabung mulai hari ini. Tapi sebelumnya Jonas udah jelasin ke elu belum soal bayaran lu berapa persen?”
Julian mengangguk, di perjalanan Jonas sudah menjelaskan semuanya. Dan Juliam setuju. “Udah, Kang. Gapapa, gue juga masih nyari partime kok. Disini buat sambilan aja.”
“Bagus nih, gue demen orang pekerja keras begini.”
Jonas senyum-senyum aja, gak sembarangan Kang Ian nerima orang baru seperti ini. “Hari ini bisa, Kang?”
“Boleh, ajak dah. Kasih tau dimana lokernya.”
Sembari menghisap rokok milik Kang Ian yang Jonas ambil, di perjalanan Jonas bersiul sembari menyapa satu persatu senior nya yang kebetulan lewat.
“Lo udah lama join disini, Jon?” tanya Julian, sesekali dia menepis asap rokok yang berasa dari bibir cowok di sebelahnya itu. Julian emang enggak ngerokok, malahan anti banget.
“Udah sekitar 4 bulan, habis selesai UN gue langsung cabut ke Bandung. Terus pas lagi nganter sepupu gue bikin tatto ketemu deh sama Kang Ian.”
“Kang Ian tukang tatto?” pekik Julian.
“Tatto artist jir, kampungan amat lo nyebutnya tukang tattoo.”
“Ye sorry gue lupa.”
“Doi boss, punya studio tatto artist. Dia mah mainnya udah sama kelas penyanyi yang emang mau bikin tatto. Tinju begini hobi dia yang gak kesampean aja.”
Julian berdecap kagum, dia pikir Kang Ian memang melakoni bidang ini saja. “Serius?”
“Kapan-kapan gue ajak deh ke studio nya.”
Setelah berganti baju Julian di latih basic tinju bagi pemula dulu, cowok itu lakuin pemanasan dulu sebelumnya. Habis itu lakuin lompat tali biasa sebelum akhirnya kang Ian mengajarinya Shadowboxing.
Bagai bertemu harta karun Kang Ian puas banget sama kemampuanya Julian, laki-laki itu tidak ada hentinya Muji kemampuan Julian hari ini. Walau beberapa kali Julian di tegur karna memukul dengan emosi yang meluap-luap, seperti tengah melampiaskan kekesalannya.
Anggap saja begitu, selain bertujuan untuk menambah uang jajan. Julian juga nambah kegiatan kaya gini supaya dia bisa nyembuhin hatinya dan belajar lebih legowo lagi soal perasaanya pada Ara.
“Kayanya lo bakalan jadi petarung kesayangan Kang Ian dah, Tot.” bisik Jonas begitu Kang Ian selesai melatih Julian. Jonas emang suka manggil Julian pakai sebutan Gatot Kaca, ya apalagi kalau bukan badan Julian yang tinggi, berisi dan terlihat macho itu.
“Halah.”
“Serius gue, bahkan Kang Barom yang senior aja jarang dia puji.”
Setelah latihan bersama, Julian sama Jonas malah istirahat dulu di ruang loker. Julian sih cuma diem aja sambil liatin foto-foto Ara yang dia ambil kemarin dari festival musik, dia masih mikirin gadis itu.
Hari ini setelah rapat HIMA, Ara pulang bareng Arial. Makanya Julian akhirnya memilih untuk bersama Jonas dan sampai lah mereka pada akhirnya di Black Box.
“Udeh jangan galauin cewek orang mulu.” Jonas menutup ponsel Julian dengan handuk miliknya.
“Dia kemarin habis cerita ke gue, Jon. Lagi berantem sama cowoknya dia bilang.”
“Serius?”
Julian mengangguk.
“Doain aja semoga besok putus.”
“Gue malah ngasih saran buat perbaikin hubungan mereka,” jawab Julian mengawang.
“Tolol itu namanya elu lagi nyiksa diri.”
“Gue gak bisa jahat-jahat ke Ara, Jon. Apalagi doain dia putus sama cowoknya. Gue mau dia bahagia aja udah cukup kayanya, bukanya sayang itu gak harus memiliki?” Julian natap Jonas, walau agak bergedik geli Jonas sebenarnya kasian liat Julian.
“Halah klise amat. Kalo sayang mah kudu di perjuangin.”