Tidak Harus Aku
Orang bilang kunci dari langgengnya hubungan itu ada di komunikasi yang baik dan rasa saling percaya, Ara pernah mendengar kalau Echa bilang rasa jenuh pada hubungan yang berlangsung lama itu wajar. Benarkah? Lalu apakah saat ini ia sedang di fase itu?
Ara sadar sudah beberapa minggu ini hubunganya dan Yuno semakin renggang, gak jarang mereka tidak bertukar kabar sama sekali. Ah, tidak. Lebih tepatnya Yuno yang jarang mengabarinya. Ara sebisa mungkin membangun komunikasi yang baik dengan Yuno dengan selalu memberinya kabar.
Namun cowok itu justru sebaliknya, Yuno hanya memberi kabar seperlunya saja. Enggak seperti awal-awal saat ia baru saja pindah ke Jerman, Awalnya Ara mencoba untuk tetap berpikir positif. Yuno dan perkuliahanya memang sangat padat, lagi pula. Dalam hidup Yuno enggak harus selalu tentang dirinya kan? Ya, seperti itulah Ara mendoktrin dirinya sendiri.
Seperti biasanya, Ara mencoba mencari banyak kesibukan sampai ia tidak memiliki waktu luang untuk memikirkan Yuno. Anggap saja begitu, ia bukan tidak ingin memikirkan Yuno sebenarnya. Lebih tepatnya Ara ingin menepis segala pemikiran buruknya tentang cowok itu.
Namun siapa sangka jika kesibukkanya itu justru menjadikanya hal yang biasa jika Yuno tak memberi kabar lagi padanya, singkatnya Ara terbiasa dengan ke alpha an cowok itu.
Seperti saat ini, Yuno menghubungi Ara lebih dulu setelah 2 hari Yuno menghilang. Cowok itu melakukan panggilan video denganya, kali ini Yuno yang mengalah. Merelakan sedikit jam tidurnya demi bisa menghubungi gadis yang sangat ia rindukan itu.
“kok muka nya kaya gitu?” tanya Yuno, begitu di layar MacBook nya muncul wajah Ara. Wajah gadis itu masam, dengan rambut panjang yang ia ikat asal-asalan hingga menyisakan beberapa anak rambut terjuntai di bahu nya.
“Gapapa, Kak.”
“lagi apa, sayang?“
“Habis sholat subuh, mau lari pagi hari ini. Tapi kayanya enggak jadi, soalnya malas.” semenjak di Bandung, Ara jadi memiliki kebiasaan baru untuk lari pagi dan makan-makanan sehat. Ia benar-benar menepati janjinya pada kedua orang tua nya untuk menjadi mandiri dan lebih baik.
“Jangan males gitu ah, sambil aku temenin lari pagi nya?“
Ara hanya menggeleng, memperhatikan Yuno yang tengah tiduran di atas ranjangnya. Di Jerman sekarang sudah jam 1 malam.
“Aku lari pagi terus kamu rebahan gitu yah?”
Yuno terkekeh pelan, “apa aku lari juga yah di sekitaran komplek?“
“Ih ngaco, lari jam 1 malam yang ada nanti kamu di sangka orang setress lagi.”
Kemudian hening, karna akhir-akhir ini keduanya jarang berkomunikasi. Tak jarang keduanya jadi sedikit bingung ingin membicarakan apa saat melakukan panggilan video seperti ini, di sebrang sana. Yuno sibuk melihat Ara dari MacBook nya, sementara Ara sibuk menyisir rambutnya dan memakai skincare pagi nya.
“sayang? Sarapan gih, kamu biasanya sarapan apa di Bandung?” karena tidak tahu mau membicarakan apa, akhirnya Yuno menyuruh Ara untuk sarapan saja.
“Aku biasanya suka masak sama Gita dan Echa. Tapi kalo minggu gini, biasanya Janu suka beli bubur Mang Bisma di depan komplek.”
“oh ya? Enak gak?“
“Apanya?”
“buburnya.“
Ara meringis, ia paham kalau Yuno tengah membangun topik obrolan dengannya dan ia menghargai itu. “Iya, enak.”
“ngekost rame-rame kaya gitu, pasti seru banget yah?“
Waktu awal-awal Ara pindah ke Bandung, gadis itu suka pamer bagaimana seru nya ngekost di kosan Abah. Gadis itu juga suka mengirimkan video kalau anak-anak kost suka bikin makanan bareng da makan bersama-sama, tapi itu dulu. Sekarang Ara gak pernah lagi bikin video singkat seperti itu. Karena terakhir kali Ara membuatnya, Yuno enggak melihat video yang sudah ia rekam.
Waktu itu Yuno malah menanyakan hal lain dan kemudian menghilang 2 hari, Yuno sama sekali enggak membahas video terakhir yang Ara kirimkan.
“Seru banget, aku sama anak-anak kosan udah kaya keluarga.”
“hm,” Yuno mengangguk, ia jadi teringat 3 hari yang lalu Januar pernah mengunggah foto Ara yang sedang boncengan dengan seorang laki-laki. Waktu Yuno tanya ke Januar, Janu hanya bilang bahwa itu anak kosan yang satu fakultas dengan Ara. “kalau sama Julian?“
“Julian?” Ara mengerutkan keningnya, agak kaget mendengar Yuno menyebut nama Julian. Ara kan enggak pernah cerita soal Julian pada cowok itu, ah. Tidak, lebih tepatnya Ara belum sempat bercerita karena Yuno selalu sibuk.
“iya, yang suka nebengin kamu ke kampus, aku gak sengaja lihat Insta Story nya Januar.“
“Ohhhh, Julian emang satu fakultas sama aku, dia juga ngekost disini. Jadi aku sering bareng sama dia, ngirit ongkos, Kak.”
Yuno mengangguk, meski membuatnya sedikit enggak nyaman tapi alasan Ara masih bisa ia terima. Dia juga yakin Ara enggak akan macam-macam di belakangnya.
“Sayang, kita kok jadi canggung gini?” karena sudah tidak tahan dan enggak tahu mau ngomong apa lagi, akhirnya Yuno mengutarakan apa yang ia rasakan. Ia ingin meluruskan semuanya, dia gak mau menjadi canggung seperti dua orang asing seperti ini.
“Karna jarang ngobrol mungkin?”
Yuno mengangguk setuju, “*maaf yah. Aku sibuk banget sampai kadang gak sempet buat ngabarin kamu karna udah kecapekan. Aku juga gak mau kamu jadi ngalah mulu gak tidur karna harus telfonan sama aku.”
Ara mendengus, pernah sekali Ara enggak sengaja melihat unggahan dari sosial media milik teman Yuno di kampusnya, yang ia dapat dari hasil memeriksa satu persatu following di Instagram milik Yuno, Waktu itu ada Yuno yang kebetulan sedang bersama nya, waktu itu Yuno sedang berada di sebuah pesta. Yang Ara sendiri enggak tahu itu pesta apa, tapi di foto itu Yuno tampak seperti sedikit mabuk.
Terlihat dari bagaimana mata cowok itu sedikit sayu dan kedua pipi nya yang memerah. Apa ini sibuk yang Yuno maksud? Sejak hari itu, Ara enggak pernah bisa berpikir jernih kalau Yuno tiba-tiba menghilang.
Enggak jarang Ara juga suka memeriksa apa saja yang Ann upload di sosial media miliknya, tapi sampai hari ini pun Ann gak memposting sesuatu yang membuatnya curiga.
“Ya gapapa, aku juga udah mulai terbiasa tanpa kabar dari kamu, Kak.”
“Ra, kok ngomong gitu?”
“Ya emang bener kan? Coba kapan terakhir kali kita video call kaya gini tanpa aku harus mohon-mohon dulu?”
“Ra, kayanya kita udah bahas soal ini ya, kamu juga bilang kan kalo kamu paham kalo aku mulai sibuk, kamu juga yang bilang kalo hidup aku gak harus selalu tentang kamu, tapi kok sekarang kamu ngomong gini?”
Yuno dan Ara memang sudah membahas hal ini, sekitar seminggu yang lalu. Melalui pesan singkat, waktu itu Ara memang bilang dia enggak keberatan. Tapi siapa sangka jika hatinya juga mulai lelah menjadi pihak yang selalu menunggu, seperti hanya Ara yang mengharapkan kabar dari Yuno sementara Yuno tidak.
“Aku capek, Kak. Capek selalu jadi yang paling sabar nunggu kabar dari kamu. Kamu sadar gak sih kamu tuh banyak berubah? Kamu sering ngilang gak jelas, sering gak cerita tentang keseharian kamu ke aku, sering izin pamit tidur duluan.”
“Bukannya kamu ya? Sikap kamu juga ke aku dingin, tiap aku ajak kamu ngobrol kamu juga selalu jawab ogah-ogahan. Dan tadi apa kamu bilang?” Yuno menahan nafasnya sebentar, karena lelah emosinya jadi sedikit kepancing. Hari itu Ara benar-benar kekanakan menurutnya.
“Aku sering ngilang gak jelas? Ra, aku disini bukan main, bukan liburan. Aku kuliah, kamu tahu kan aku juga ikut organisasi di kampus“
“sorry aku, kamu bilang? Aku yang berubah? Gak salah?”
Yuno mengangguk, ia yang tadinya sedang tiduran di ranjang itu jadi memilih untuk duduk. “iya kamu, aku berusaha bangun topik obrolan aja kamu juga jawab sekedarnya aja. Jadi kaya lagi tanya jawab tau gak ngomong dama kamu.“
apa dia bilang?
Ara mendengus, “tanya jawab? Yaudah kalau gitu gausah ngomong aja sama aku sekalian.”
Yuno memejamkan matanya, dia kelepasan dan sadar kalau sudah salah bicara. Malam itu ia juga sedikit lelah karena tugas nya yang semakin hari semakin menumpuk, dan sekarang dia harus di hadapkan dengan Ara yang sedikit kekanakan seperti ini.
“maksud aku bukan gitu, Ra—“
“Kak Yuno tidur aja, udah malam juga kan? Aku mau sarapan dulu.”
Yuno menarik nafasnya pelan, Ara benar. Ia juga lelah, dan gak baik membicarakan hal ini di saat keduanya sedang dalam emosi yang meluap, lebih baik Yuno beri waktu untuk ia dan Ara saling instropeksi diri.
“yaudah, aku tidur yah. Kamu sarapan yah, nanti aku telfon lagi.“
Setelah selesai melakukan panggilan video dengan Yuno, Ara justru mengusap wajahnya gusar. Hatinya enggak tenang dan rasanya dadanya sesak dengan kepala yang terasa penuh. Ini untuk pertama kalinya Ara dan Yuno bertengkar, tanpa ada pembicaraan dan penyelesaian.
“Ra?” panggil Julian dari depan pintu kamarnya.
Ara bangun dari kursi meja belajarnya, melihat sejenak fotonya bersama Yuno yang ia taruh di atas meja belajarnya. Kenapa rasanya melihat wajah Yuno bisa sesakit ini? Jadi, Ara simpan foto itu di laci tempatnya menaruh stok pulpen.
Dengan langkah gontai dan wajah masamnya, ia buka pintu kamarnya itu. Ada julian di sana yang tersenyum sembari menenteng bubur ayam dan satu bungkusan di tanganya yang entah apa itu isinya.
“Bubur ayam Kang Bisma, enggak pakai kacang sama seledri? Sama risol mayo nya Teh Amel.”
“Ihhh kok tau gue lagi kepengen risol mayo Teh Amel?” Ara keluar dari kamarnya, mengambil dua bungkusan itu dan mengajak Julian untuk duduk di ruang TV lantai 2.
“Di bilang, gue itu bisa baca pikiran.” Julian menepuk dada nya dengan bangga.
“Apasih, enggak jelas. Eh lo udah sarapan? Masa gue makan sendiri.” Ara membuka bungkusan berisi bubur itu, menaruh sambal dan kuah kuningnya di atas buburnya.
“Gue udah sarapan duluan. Lo gak turun-turun sih, makanya gue bawa ke atas aja makananya.” sebenarnya Julian sudah berada di depan kamar Ara sejak Ara melakukan panggilan video dengan Yuno, cowok itu ingin memanggil Ara waktu itu.
Namun siapa sangka kalau ia justru mendengar Ara sedang berdebat dengan pacarnya, akhirnya Julian mengurungkan niatnya dan mengatakan pada yang lain kalau Ara belum bangun.
“Iya, tadi gue lagi telfonan, eh Jul. Makasih yah bubur sama risol mayo nya. Ngerepotin elo mulu nih gue jadi enak,” Ara terkekeh, dengan mulut penuh mengunyah bubur.
“Lebay ah, oh iya. Sore nanti gue sama Jonas mau nonton ke Soora Music Festival. Ikut yuk? Dari pada gabut di kosan, malam minggu gini. Anak kosan yang lain juga kayanya udah ada acara sendiri-sendiri.”
“Boleh,” Ara mengangguk, masih menikmati makanan di tanganya. “Dimana tuh?”
“Di Tritan Point, Deket kok.”
“Oke, nanti gue siap-siap deh kalo udah Ashar.”
Julian mengangguk, dia tahu kalau Ara mungkin sedang dalam kondisi mood yang tidak baik karena tengah bertengkar dengan pacarnya. Hari itu, enggak ada niat lain selain hanya ingin menghibur Ara. Setiap kali dekat gadis itu, Julian berkali-kali mengingatkan dirinya untuk tidak berharap berlebihan. Ia hanya ingin menjadi teman yang baik saja, enggak lebih.