Tidak Mau Lagi

Setelah mendapatkan telfon dari Ara yang bilang kalau dia pendarahan, Julian langsung pergi ke klinik tempat Ara bekerja. Dia sempat menghubungi Niken dulu untuk meminta bantuan wanita itu, tapi sayangnya telfon darinya tidak Niken angkat. Niken memang sedang ada klien, Ara langsung di bawa ke rumah sakit. Sayangnya ada kabar buruk yang harus Julian telan sore itu.

Ara keguguran, Istrinya itu harus segera di kuretase untuk membersihkan sisa-sisa janin nya. Dokter bilang penyebab Ara keguguran itu salah satunya adalah faktor setress dan juga anemia, waktu tau hal ini dunia yang mulai Julian bangun benar-benar runtuh.

Saking linglung nya bahkan Julian enggak sempat mengabari keluarganya dan juga keluarga Ara di Jakarta, dia cuma mengabari Arial saja. Setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, Julian berjalan dengan gontai menuju ruang rawat Istrinya itu. Sebelum masuk, Julian yakinkan dulu kalau dia harus kuat.

Dia harus menjadi yang paling tegar di saat-saat seperti ini, Julian yakin Ara pasti sangat terpukul mendengar kabar ini. Waktu Julian masuk, Ara lagi di temenin sama Gita dan Arial yang lebih dulu datang. Julian sengaja gak meminta Gita dan Arial mengabari teman-teman mereka yang lain dulu, entahlah. Rasanya sangat sulit memberi tahu kabar ini pada yang lainnya, lidah Julian rasanya terasa kaku.

“Ada Julian, Mas sama Gita di luar dulu yah, Ra.” Arial bangun, dia ngusap pucuk kepala Adiknya itu sebentar.

Tadi Gita dan Arial sedang menemani Ara ngobrol walau Ara sendiri cuma jawab seperlunya saja, waktu ngelewatin Julian Arial nepuk bahu laki-laki itu demi menguatkan Julian. Arial pernah mengalami hal ini dulu, dan dia mengerti bagaimana perasaan bersalahnya.

“Gue sama Mas Arial di depan yah, Jul. Kalo butuh apa-apa panggil aja,” ucap Gita sebelum ia melangkah keluar dari ruang rawat Ara bersama Arial. Julian yang di bilang seperti itu hanya mengangguk saja.

Waktu Gita sama Arial sudah keluar, Julian duduk di kursi samping ranjang Ara. Istrinya itu masih terlihat pucat dan lemas, dan yang membuat Julian lemah adalah. Saat tatapan Ara tidak lagi hangat melihatnya, ah enggak. Wanitanya malah membuang pandanganya ke arah lain. Julian juga bingung kenapa Ara harus bersikap seperti ini.

“Bun—”

“Aku mau sendiri, Jul.” Cicit Ara pelan, dia sengaja tidak melihat ke arah Julian. Ara bukan hanya kecewa dengan Julian saja yang tidak bercerita soal Liliana padanya, Ara juga kecewa dengan dirinya sendiri dan juga semesta yang terasa seperti mempermainkannya.

“Aku mau nemenin kamu.”

“Aku mau sendiri Julian, tolong..”

Julian bisa mendengar suara parau itu seperti memohon padanya untuk di tinggalkan, tapi Julian mana tega? Dia mau ada buat Ara di saat-saat seperti ini. Dia mau saling menguatkan. Alih-alih keluar, Julian hanya diam. Dia gak lagi ngajak Ara bicara karna menurutnya mungkin Ara memang sedang tidak ingin di ajak bicara tentang apapun.

Tapi tidak lama kemudian Istrinya itu menoleh ke arahnya, matanya memerah seperti bersiap akan menangis. Namun air wajahnya menunjukan kekecewaan saat kedua mata mereka bertemu.

“Kamu denger gak sih aku suruh keluar? Budek kamu?!” sebtak Ara, tapi setelah dia sadar dia udah bentak Julian, air matanya justru mengalir begitu saja tanpa bisa ia tahan. Ara merasa bersalah. “Tinggalin aku, Jul.”

“Aku mau disini, Sayang. Ini bukan salah kamu, dokter bilang—”

“Aku gak mau dengar apa-apa, Jul.”

“Sayang..” Kedua bahu Julian merosot. “Aku sama sekali enggak marah, yang aku khawatirin itu cuma kamu.”

“Aku gak mau punya anak.” Ara mengusap wajahnya dan menatap Julian. “Aku gak mau hamil lagi.”

apa dia bilang?

Julian berusaha mencerna kata-kata Ara barusan, rasanya seperti ada orang yang mendorongnya ke dasar jurang saat ia tengah berdiri di tepinya. Julian diam saja dan menatap Ara dengan nanar.

“Kenapa, Ra? Dokter bahkan bilang kalau kamu masih bisa hamil. Kita masih bisa punya anak.” Dokter yang menangani Ara memang bilang, rahim Ara mungkin lemah. Tapi wanita itu masih tetap bisa hamil dan melahirkan dengan normal. Ara hanya perlu banyak istirahat dan mengurangi aktifitas nya saja saat sedang hamil.

“Kamu bisa gak sih Jul hargain keputusan aku? Kamu pikir ini gampang buat aku?” dia ngerasa Julian enggak menghargai keputusannya aja. Buat Ara ini juga berat, dia sangat mengidamkan seorang anak bersama Julian. Tapi saat merasakan kehilangan seperti ini rasanya harapan itu pupus, yang ada di kepalanya Ara cuma ngerasa semesta gak mengizinkannya untuk menjadi seorang Ibu.

“Kamu pikir ini gampang buat aku, Ra?” Julian mengusap wajahnya gusar. “Ini juga susah buat aku, Ra. Aku bukan gak mau menghargai keputusan kamu—”

“Aku bukan mesin pembuat bayi, Julian!!” Ara teriak, tangis nya semakin menyesakan. Dia natap Julian dengan kesal walau hatinya terasa seperti di remas dari dalam. Ia bukan hanya sedang menyakiti Suaminya tapi juga dirinya sendiri.

“Waktu aku kena miom yang kita pikirin cuma gimana caranya aku bisa hamil, waktu aku sembuh terus hamil dan sekarang keguguran yang kita pikirin cuma gimana caranya aku bisa hamil lagi—”

“Siapa yang mikirin begitu?!”

“AKU BELUM SELESAI NGOMONG JULIAN!!”

Julian memejamkan matanya, jujur aja rasanya sedih banget dengar Ara bicara seperti itu. Bahkan yang Julian pikirkan saat ini bukan bagaimana Istrinya itu bisa hamil lagi, melainkan hanya kesehatan Ara saja, keselamatan Istrinya dan mentalnya tentu saja. Bahkan sekalipun Ara tidak bisa hamil lagi, Julian sama sekali tidak keberatan. Ia hanya ingin bersama wanita itu dan hidup bahagia itu saja.

“Kamu gak ngerti rasanya kehilangan anak, Jul. Ini gak mudah buat aku, aku gak mau kehilangan lagi. Jadi stop berharap aku mau ngandung anak kamu lagi, nyusuin dan punya bayi. Aku gak mau itu lagi Jul aku gak mau..” Ara terisak, dia menutupi wajahnya sendiri.

Julian yang melihat Istrinya seperti itu juga menangis, dia beringsut bangun dari kursinya dan memeluk Ara. Untuk saat ini Julian mengerti apa yang Ara rasakan sampai ia berpikir tidak ingin hamil lagi, walau berat Julian menghargai keputusan Istrinya itu. Yang terpenting baginya adalah Ara pulih saja itu sudah cukup.

“Iya sayang iya... Maafin aku gak bisa jagain kamu ya,” ucap Julian.


“Ara bilang begitu, Jul?” tanya Bunda nya Ara sama Julian.

Hari ini kedua orang tua nya Ara datang ke Bandung setelah Julian ngabarin keduanya, Julian juga cerita soal kondisinya Ara ke orang tua nya. Sejauh ini Ara juga masih belum mau banyak bicara, dia lebih banyak tidur dan terkadang pun cuma dengarin lagu dari earphone nya. Ara kaya enggak mau di ajak ngobrol siapa-siapa bahkan sama Julian sekalipun.

Julian mengangguk, “iya, Bun. Tapi Ijul paham kok Ara lagi terpukul. Yang terpenting sekarang Ara pulih dulu aja buat Julian itu udah cukup.”

Mertua nya itu mengusap punggung Julian, Bunda paham Ara keras kepala terkadang. “Maafin Ara yah, Jul.”

“Ara gak salah, Bun. Justru ini salahnya Ijul karna gabisa jagain dia.”

“Kamu tuh kalau ada apa-apa berdua cerita Jul. Bunda bahkan baru tau Ara sempat operasi miom sekarang ini, kenapa di pendam berdua aja hm?” oiya, Bunda baru tau soal Ara pernah kena miom sebelum hamil. Julian yang cerita juga, Ara enggak mau di tanya apapun soalnya.

“Ijul sama Ara cuma gak mau ngerepotin dan bikin Bunda sama Papa kepikiran. Maafin yah, Bun.”

Bunda menghela nafasnya pelan. “Waktu kamu sama Ara menikah, Bunda sama Papa sudah pernah bilang kan kalau kamu juga anak kami. Jangan susah berduaan aja, Jul. Kami orang tua kamu dan Ara. Ngadu kalau ada masalah dan datang kalau lagi kesusahan ya, jangan di simpan berduaan lagi.”

Mendengar ucapan dari mertua nya itu bikin perasaan Julian jadi tenang, Bunda benar mereka adalah keluarga. Selama ini Julian selalu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, sepeninggalan Bapak, Julian berusaha untuk menjadi anak laki-laki yang kuat dan dewasa, Julian jarang banget cerita ke Ibu dan Andra kesusahannya. Kalau pun ada masalah dia bakalan cerita masalah itu kalau sudah selesai, dia hanya memiliki Ibu yang harus dia jaga dan membahagiakan Ibu nya sudah menjadi sebuah keharusan bagi Julian.

Dan tanpa dia sadari hal itu terus berlanjut sampai ia berumah tangga, bahkan Ara juga melakukan hal yang sama dengannya. Ara anak perempuan satu-satunya di rumah, dia anak tengah yang menurut Julian enggak neko-neko. Ara juga bilang selama ini dia gak mau buat kedua orang tua nya susah karena Mas Yuda dan Reno pun tampaknya sudah sering membuat kedua orang tua nya banyak pikiran. Makanya sejak merantau ke Bandung tiap ada masalah pun, Ara akan bercerita setelah masalah itu selesai agar kedua orang tua nya tidak kepikiran.