Tujuh Belas— Sorry

sorry ya, Ann. Gue jadi ngerepotin elo gini.” Yuno meringis waktu Ann mengantarnya pulang ke apartemennya.

Sudah 3 hari ini Yuno jatuh sakit sampai harus di opname, dokter bilang Yuno kena tifus dan butuh istirahat full untuk beberapa hari ke depan. Tapi Yuno enggak benar-benar istirahat, selama di rawat saja dia masih sempat-sempatnya mencuri waktu untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Yuno sengaja gak mengabari kedua orang tua nya atau pun Ara, dia gak mau mereka khawatir. Meskipun rasanya ia selalu di liputi perasaan bersalah, tapi dalam hati Yuno merasa bersyukur karna Ann sudah bersedia membantu menjadi wali nya.

Ann tahu Yuno sakit karena waktu Yuno pingsan di kampusnya, Nomer Ann lah yang menjadi nomer terakhir Yuno hubungi, alhasil pihak rumah sakit menelfon Ann dan mengabari gadis itu.

“Santai aja, No. Kaya sama siapa aja, udah tiduran aja. Lo masih lemes gitu juga.” Ann membantu Yuno duduk di sofa yang ada di ruang tamu nya, sementara Ann menaruh tas berisi baju-baju Yuno selama di rumah sakit di ruang laundry.

“Lo gak ngampus, Ann?” tanya Yuno, dari kemarin Ann yang menjaganya, Yuno jadi kepikiran apa jangan-jangan Ann juga bolos kuliah hanya demi menjaganya?

“Gue emang lagi enggak ada kelas, Prof nya cuma ngasih tugas presentasi aja.”

“Serius? Gue enggak enak kalo lo sampe gak masuk kelas demi gue.”

Ann terkekeh, “gue gak senekat itu yah, lagi pula bela-belain bolos demi jagain lo, emang nya lo cowok gue,” alibinya.

Yuno hanya tersenyum, sudah beberapa hari ini dia gak memeriksa ponselnya. Jadi ia nyalakan ponsel itu, kalau sedang sakit gini ia jadi merindukan Ara yang biasanya selalu mengkhawatirkannya. Ia juga merindukan bubur abalone buatan gadis itu.

Begitu ponselnya menyala, 25 panggilan tidak terjawab dan lebih dari 30 pesan dari Ara itu muncul di layar ponselnya. Jadi, Yuno buka dulu pesan-pesan itu, namun tiba-tiba saja ada sekelebatan ingatan muncul ketika ia melihat tanggal hari ini.

Kalau tidak salah, kemarin adalah pengumuman seleksi masuk universitas. Apa gadisnya itu berhasil masuk ke kampus yang ia impikan? Mengabaikan rasa lemas di tubuhnya, Yuno langsung menekan nomer Ara dan berjalan keluar ke balkon untuk menelfon gadis itu.

Ann sedang di dapur, entah sedang membuat apa. Yang Yuno pikirkan hari ini hanyalah gadisnya yang jauh, apalagi saat membaca pesan terakhir dari Ara yang mengatakan jika gadis itu butuh dirinya.

Biasanya, Ara akan selalu cepat menjawab panggilan darinnya. Namun sudah 3 kali Yuno menelfonnya gadis itu tidak kunjung menjawab panggilannya.

“Kamu kemana, Ra..” gumam Yuno.

Yuno enggak lantas menyerah gitu aja, dia masih mencoba menelfon Ara ke ponsel gadis itu, bahkan Yuno juga mengirimi gadis itu pesan meski enggak mendapatkan jawaban.

“No, makan dulu yuk gue udah angetin sup—” ucapan Ann menggantung, ketika Yuno berbalik badan dan tampak terlihat panik sembari terus memegang ponselnya yang ia selipkan di telinga.

“Kenapa, No?” tanya Ann.

“Ara kayanya marah banget sama gue, Ann. Dia gak angkat telfon gue sama sekali.”

“Ara? Dia tau lo sakit kan?”

Yuno menggeleng, “gue gak bilang karna gak mau bikin dia khawatir, gue gak ngabarin dia juga dari kemarin. Gue sibuk sama dunia gue sendiri sampe gue lupa kalau kemarin hari pengumuman seleksi masuk universitas.”

Di tempatnya Ann hanya terdiam, dia enggak menanggapi ucapan Yuno lagi. Cowok itu juga sibuk dengan ponselnya, terlihat bagaimana ia seperti mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah pucat frustasinya itu.

“Cha, ini Kak Yuno. Ara gimana ya? Soalnya tadi Kak Yuno telfon gak di angkat-angkat sama dia.”

Karena menelfon Yuda dan Reno juga tidak mendapatkan balasan, akhirnya Yuno menelfon Echa. Ia bahkan mengabaikan perbedaan waktu antara Jakarta dan Heidelberg yang mana bisa saja Yuno salah jam untuk menelfon Echa, persetan itu semua karena Yuno benar-benar sudah panik.

Kak, Ara tuh lagi down banget. Dia gak di terima di kampus yang dia mau. Dari kemarin juga enggak keluar kamar, gak mau makan juga. Echa pikir Kak Yuno tau soal ini.

“Gak ke terima?” pekik Yuno.

Ia mengusap wajahnya gusar dan memejamkan matanya, itu artinya Ara benar-benar membutuhkanya saat ini.

loh, Echa pikir Kak Yuno tau?

Yuno menunduk, perasaanya benar-benar tidak enak. Jika Heidelberg dan Jakarta bisa di tempuh dengan menggunakan kereta saja, mungkin Yuno sudah pergi saat ini ke Jakarta dan menenangkan gadis itu.

“Kak Yuno emang belum ngabarin Ara lagi, Cha. Karena lagi hectic banget di kampus. Cha, Kali aja telfon dari kamu dia angkat, tolong bilang ke Ara buat angkat telfon Kak Yuno sebentar aja.”

um, iya, Kak. Nanti coba Echa telfon Ara ya.

Thank you ya, Cha.”

Setelah menelfon Echa, Yuno hanya bisa terdiam di balkon. Menatap layar ponselnya yang menampakan pesan terakhir dari gadisnya itu, hatinya belum kunjung tenang jika ia belum mendapat kabar dari gadis itu sendiri.


“Dek? Keluar sebentar, Mas Iyal bawain nasi padang kesukaan kamu nih.”

Ara mengerjapkan matanya begitu ia mendengar suara Arial dari depan kamarnya, Ara bukan enggak keluar sama sekali dari kamar kok, dia keluar sebentar saat di rasa rumah sepi dan tidak ada orang. Ia akan mengambil beberapa makanan dan air kemudian masuk kembali ke kamarnya.

Dia cuma tidak ingin di tanya-tanya soal kuliahnya aja, makanya dia menghindar dari orang saat ini. Meraba ponselnya, Ara melihat ada sederet panggilan tak terjawab dari Yuno dan juga pesan dari cowok itu.

Tanpa berniat membalas, Ara mengabaikan ponselnya begitu saja dan berjalan gontai membukakan pintu untuk Arial. Begitu pintu nya terbuka, Arial datang dengan senyuman dan juga sebungkus nasi padang lengkap dengan es jeruk di tangannya.

“Mau Mas Iyal suapin gak?” tanya cowok itu.

Ara hanya menggeleng, kemudian mengambil bungkusan itu dan berjalan ke karpet bulu di kamarnya. Sementara itu Arial masuk dan ikut bergabung duduk di sana, Arial baru saja sampai dari Bandung. Ia sudah tau soal Ara yang tidak di terima di kampus impiannya, namun Arial memilih untuk tidak membahas hal-hal berkaitan dengan kuliah saat ini dengan Ara.

Arial tahu itu akan menjadi topik sensitif untuknya, terlebih saat ini Ara seperti sedang nafsu sekali makan begitu ia membawakan nasi pada kesukaanya.

“Pelan-pelan aja makannya, nanti kalo keselek gimana?” ucap Arial.

“Mas Iyal kok pulang?”

“Emang gak boleh?”

“Boleh,” cicit Ara.

“Mau jalan-jalan gak habis ini?”

“Kemana?”

“Kamu mau ke mana? Mas Iyal turutin deh.”

Ara hanya mengangkat kedua bahunya, fokusnya kembali lagi pada nasi padang yang tampak lebih menarik itu dari pada tawaran dari Arial untuk jalan-jalan.

“Kamu mandi gak sih, dek?” Ara enggak biasanya kelihatan kucel dengan rambut berantakan yang ia ikat asal-asalan, biasanya meski di rumah saja Ara selalu tampak rapih dengan jepit rambut atau bando kuping kucing kesukaanya, makannya Arial heran sekali dengan penampilan Adik sepupunya itu.

“Udah tiga hari gak mandi, males.”

“Ck ck ck ck.” Arial menggeleng, gak nyangka kalau Ara akan sefrustasi ini. “Ini kalo Yuno liat apa gak kaget dia.”

“Jangan ngomongin Kak Yuno, nanti nafsu makan aku hilang.”

“Kenapa sih? Lagi berantem?”

“Gak tau.”

“Yuno nyakitin kamu ya? Mas telfon sekarang nih dia.”

“Ck, apaan sih Mas Iyal orang enggak juga. Aku lagi males aja.” Ara natap Arial dengan wajah cemberutnya itu.

“Yaudah-yaudah, tapi habis ini mandi ya. Mas mau ajak kamu keluar sebentar.”

Ara hanya menggeleng pelan, ia benar-benar tidak seingin itu keluar dari kamarnya.

“Kenapa?”

“Mas Iyal, aku malu karena enggak keterima di kampus yang aku mau. Aku udah ambis banget belajar, dan bilang ke tetangga-tetangga kalo aku mau kuliah di Malang,” dan tangis Ara pun kembali pecah, walau sambil makan nasi padangnya. Tapi gadis itu sempat-sempatnya menangis ketika mengingat kalau ia tidak di terima di kampus incarannya.

“Dek, gak ada yang salah sama itu semua. Masih banyak kampus lain yang lebih bagus, udah jangan nangis gitu ah.” Arial beringsut memeluk Ara, namun gadis itu mendorong dada nya.

“Jangan peluk-peluk aku lagi makan!!”

“Tapi jangan sambil nangis juga, habisin dulu makannya nanti baru nangis lagi.” ucap Arial, ia mengusap wajah Adik sepupunya itu dengan tissue yang ia ambil di meja rias Ara.