Tujuh—Rayuan

Ujian Nasional tinggal terhitung sepuluh hari lagi, dan selama itu juga Ara benar-benar sibuk dengan segala macam bentuk latihan soal, test, belajar untuk masuk perguruan tinggi negeri dan juga les tambahan yang Bunda daftarkan untuknya.

Kadang saking sibuknya Ara tak jarang mengabaikan pesan singkat yang Yuno kirimkan padanya, Ara bukan benar-benar mengabaikanya kok. Hanya saja dia suka telat membalas pesannya, mereka juga jadi jarang melakukan panggilan video. Dan Yuno bisa paham atas semua kesibukan gadisnya, toh ia juga sibuk dengan test terakhir untuk sekolah bahasanya.

Siapa sangka jika masuk sekolah bahasa Yuno enggak sampai satu tahun, hanya hitungan bulan saja Yuno sudah mengantongi sertifikat B2. Itu artinya Yuno sudah bisa pindah ke Heidelberg dan mulai hidup barunya sebagai mahasiswa kedokteran.

Saat ini Ara tengah duduk di ruang tamu, ada Papa dan Bunda yang tengah menikmati secangkir teh, di temani oleh kue kering yang kemarin di antarkan oleh tetangga sebelah rumah mereka. Rencana nya pagi ini Ara akan kembali merayu Papa perihal kampus di luar kota yang akan ia ambil, ini kesempatan terakhirnya sebelum ia harus fokus untuk Ujian Nasional minggu depan.

“Pah, Bun?” panggil Ara, ia mengulum bibirnya sendiri menahan segala buncahan di hatinya. Takut-takut Papa tetap pada pendiriannya, melarang Ara untuk memilih kampus di luar kota.

“Kenapa, Kak?” tanya Bunda.

“Soal kampus Kakak..”

Papa mengangguk, “sudah dapat pilihan kampus di Jakarta atau kisaran Jabodetabek, Kak?”

Ara menggeleng, dia gak pernah sekalipun nyari tahu soal kampus di Jakarta yang membuatnya tertarik. “Kakak mau masuk jurusan psikologi di kampus yang ada di Malang, Pah.”

“Kak..” Papa menghela nafasnya, Ara ini memang keras kepala, walau Yuda juga agak sedikit keras kepala tapi setidaknya Yuda akhirnya pasrah pada ucapan Papa nya untuk tetap berkuliah di Jakarta, ya walau separuh dendam karena Yuda memilih kampus yang biayanya melejit.

please, Pah. Kakak janji gak aneh-aneh, Kakak juga bakalan belajar yang bener, IPK Kakak juga gak akan bikin Papa sama Bunda kecewa, Kakak cuma mau mandiri, Pah, Bun.”

Bunda hanya bisa melirik Papa, Bunda juga memiliki pendapat yang sama kaya Papa. Terlebih Bunda sangat mengkhawatirkan Ara, pernah dulu sekali Ara kecapekan saat mengikuti lomba paduan suara di sekolahnya. Alhasil asma yang dari kecil di derita Ara itu kambuh.

Dan yang membuat Bunda khawatir salah satunya adalah hal itu, siapa yang akan merawat putri sematawangnya itu jika sakitnya sudah kambuh? Apalagi Ara akan sangat berubah jadi sangat manja ketika sakit.

“Papa tuh paham, Kak. Anak seusia kamu nih lagi nyari jati diri. Tapi Papa juga paham jadi anak rantau di kota yang jauh itu gak mudah, kalau kamu enggak percaya, coba tanya pacarmu. Gimana dia di Jerman sekarang, gampang gak beradaptasi disana?”

“Kakak tau gak gampang, Pah. Tapi Kakak tuh kepengen eksplore—”

Belum sempat selesai menjelaskan, Papa sudah menggeleng dan mengibaskan tangannya.

“Gak ada gak ada, eksplore-eksplore emangnya kamu Dora The Explorer.”

“Aaaahhhh Papa....” kalau udah begini, kepala Papa sudah mulai pening. Pasalnya rengekan Ara ini melebihi anak kecil minta mainan, Ara bahkan gak perduli saat ini Reno menertawai nya dari meja makan. Kadang Papa ngerasa si bungsu Reno tampak lebih mudah di atur dan enggak neko-neko ketimbang Ara dan Yuda.

“Gak, Kak. Kamu nih mau nyari apa sih di Malang? Kalau buat liburan Papa kasih kalau buat tinggal. Enggak, Mas Yuda loh laki-laki aja gak Papa kasih, apalagi kamu.”

Karena Papa ingin berjalan ke teras untuk memandikan burungnya, jadi Ara langsung sigap berdiri dan memeluk lengan Papa nya itu demi menahannya agar tetap duduk di sofa.

“Aaahhh Pah, please Ara turutin deh maunya Papa, Kakak janji deh Kakak yang cuci mobil, nyikat WC, gak minta belanja-belanja lagi, bantuin Bunda masak sama mandiin Bejo tapi please bolehin Ara milih kampus di luar Jakarta, Pah...”

Urat malu Ara udah putus kayanya, bahkan Reno merekam dia dengan ponselnya sambil di tertawakan saja dia udah gak perduli. Yang penting bagi Ara sekarang gimana caranya Papa bisa luluh.

“Enggak, Papa bilang enggak. Kamu mau bangun jalan dari Jakarta sampe Panarukan atau bikin Candi kurang dari 24 jam buat ngerayu Papa juga gak akan mempan, Kak.”

“Emangnya Papa Roro Jonggrang, aaahhhh Pah please sekali ini aja, gapapa deh Papa kasih uang jajan nya dikit.” kedua mata Ara udah berlinang air mata aja, Papa sama sekali enggak membentak Ara. Tapi nada bicaranya menyebalkan sama kaya Mas Yuda.

“Lepas ah, Papa mau mandiin Bejo.”

“Gamau!!” alih-alih melepas tangan Papa nya Ara justru semakin kencang memeganginya. Seolah-olah ia lengah sedikit saja, Papa bisa menghilang entah kemana.

Papa akhirnya menghela nafasnya berat, kemudian menatap wajah putri satu-satunya itu. Sebenarnya Papa enggak tega, tapi melepas gadis yang selalu kecil di matanya itu juga enggak mudah. Papa akan selalu menganggap anak-anaknya masih kecil, meskipun mereka sudah beranjak dewasa sekarang.

“Papa gak larang kamu buat ambil kampus di luar kota, kalau kamu keterima.”

“BENER PAH?!!” pekik Ara girang.

“Papa belum selesai ngomong Arumi Naura Shalika.”

“Ayay, siap captain!”

“Tapi, ada tapi nya yah. Kalau kamu gak keterima di kampus-kampus pilihan kamu. Kamu harus ikutin kampus mana yang Papa pilih.”

“Tapi tetap di luar kota kan, Pah?”

“Kamu tuh mau kuliah atau mau bebas dari pengawasan Papa dan Bunda sih?” Papa jadi curiga kalau sudah begini, jangan-jangan Ara memilih kampus di luar kota hanya karena ingin hidup bebas dari kedua orang tua nya alih-alih mandiri.

“Ih gak gitu, Pah. Ara tuh mau ngerasain jadi anak kost yang mandiri, masak sendiri, nyuci baju sendiri, terus juga banyak ngenal tempat baru. Emangnya Papa sama Bunda mau Ara manja-manja terus?”

“Ya kamu masak sendiri aja di rumah, nyuci sendiri, anggap saja ngekost.”

“Beda ih, Papa mah.”

“Kalau kamu gak dapat perguruan tinggi negeri dan tetap pada pendirian kamu buat kuliah di luar Jakarta, pilihan kamu cuma satu.”

Bukan hanya Ara yang deg-deg an menunggu ucapan Papa selanjutnya, tapi ada Bunda dan juga Reno yang menunggu Papa melanjutkan ucapannya. Bunda bahkan gak nyangka Papa akhirnya menyetujui keinginan Ara untuk kuliah di luar kota.

“Apa, Pah?” tanya Ara kepalang penasaran.

“Kamu masuk universitas yang sama kaya Mas Arial di Bandung, kalau di Bandung Papa akan setuju. Toh ada Arial yang bisa jagain kamu kan,” jelas Papa.

“Ihhh Papa, masa di Bandung gara-gara ada Mas Iyal? Emang Mas Iyal baby sitter aku?”

“Yasudah kalau gitu kamu masuk di kampus nya Mas Yuda aja, di sana juga ada jurusan psikologi kan.”

Ara cemberut, menurutnya saat ini Papa benar-benar menyebalkan. Apalagi cengirannya, Ara jadi tau sekarang dari mana asal cengiran menyebalkan Mas Yuda berasal.

“Papa nyebelinnn,” rajuknya, karena sudah kepalang kesal akhirnya Ara masuk ke dalam kamarnya. Menyisakan Papa yang santai bersiul sembari memandikan burungnya di teras.

“Si Kakak ngambek loh, Pah.” ucap Bunda.

“Biarin lah, Bun. Kaya Ara gak pernah ngambek aja. Anakmu itu kan emang kerjaanya ngambek.”


Malamnya Ara baru sempat melakukan panggilan video dengan Yuno, matanya masih sembab akibat menangis karena kesal dengan Papa nya. Di sebrang sana, Yuno tengah mengemasi beberapa barangnya yang akan ia bawa ke Heidelberg. Mungkin sisa nya nanti akan ia jual dengan tetangga apartemennya yang lain, karna akan repot sekali membawa semua nya.

kok matanya sembab?” tanya Yuno di sebrang telfon sana.

“Kak Yuno lagi beres-beres mau pindahan?”

Yuno mengangguk, mengarahkan laptop miliknya ke penjuru ruangan di apartemennya. “minggu depan aku pindah, sayang. Makanya nyicil beres-beres sekarang.

Ara tidak menyahut, ia hanya mengangguk sambil sesekali menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Ia tidak ingin membuat Yuno khawatir karna melihat wajahnya yang sembab.

kamu kenapa? Pertanyaan aku kok gak di jawab?

“Gapapa, habis bangun tidur.”

udah belajar sayang? 10 hari lagi UN kan?

“Capek, aku mau istirahat aja hari ini.”

Yuno menggeleng, bukan dia enggak tahu kalau Ara mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dua tahun berkencan dengan gadis itu, Yuno sudah hafal sekali wajah Ara ketika sedang marah, bad mood dan juga sedih.

mau aku pijitin gak?” sembari melakban satu persatu kerdus, sesekali Yuno melirik ke arah laptopnya yang menampakan wajah cantik kesayangannya itu.

“Emangnya bisa? Emangnya tangan kamu sampai kamar aku apa?” cicit Ara malu-malu.

aku pesan tiket pulang ke Jakarta aja apa yah sekarang? Biar bisa mijitin kamu, habis itu balik lagi ke Jerman?

Ara yang mendengar itu jadi tersenyum malu-malu, “kak Yuno?”

yes princess?

“Aku lagi kesal sama Papa.” nada bicara Ara persis sekali seperti anak kecil yang tengah mengadu.

kenapa, sayang? Masih soal kampus yah?” tebak Yuno.

Ara mengangguk, ia mengubah posisinya yang tadinya tengkurap di atas ranjang. Menjadi duduk, Ara juga mengikat rambut panjangnya asal.

“Papa setuju aku ambil pilihan kampus di luar Jakarta kalau aku benar-benar keterima, tapi kalau aku enggak dapat PTN dan pilihan aku tetap buat gak kuliah di Jakarta, masa Papa mau daftarin aku di kampus nya Mas Iyal.”

Kampusnya Arial? Narawangsa University bukan sih?” Arial dan Yuno cukup dekat walau tidak sedekat itu, mereka hanya pernah berbicara beberapa kali saja sewaktu Yuno main ke rumah Ara.

“Iya kampus itu.”

Narawangsa juga univeritas bagus loh sayang. Kenapa emangnya hm?

“Masalahnya alasan Papa nyebelin, katanya kalau aku di Narawangsa dan aku kost di Bandung. Aku kan tetap ada yang ngawasin, Mas Iyal bisa jagain aku katanya. Emangnya Papa kira aku bocah ingusan apa yang harus di jagain terus.”

Yuno menahan tawanya, alasan Papa nya Ara bisa Yuno terima. Toh itu bukan alasan yang konyol menurutnya, tapi nada bicara Ara yang terdengar sangat lucu di telinganya yang membuat Yuno harus menahan tawanya mati-matian.

Papa itu khawatir banget sama kamu loh, Sayang. Menurut aku alasanya masih bisa di terima kok, toh Gita juga cerita ke aku. Kalo Papa nya sama-sama khawatir kaya Papa kamu waktu Gita milih buat kost di Bandung.

Mendengar nama Gita di sebut, Ara jadi mengerutkan keningnya. Apalagi Yuno bilang tadi kalau Gita juga akan kost di Bandung.

“Loh, Gita kost di Bandung? Dia kuliah di Bandung, Kak?”

baru rencana, dia bilang gak tau mau ke mana. Kemungkinan juga mau ambil kampus yang sama kaya Kevin walau beda fakultas,” jelas Yuno.

“Kevin? Kevin udah milih kampus?”

kamu tanya sendiri sama Gita gih, siapa tau Gita sama Kevin di Narawangsa juga. Kan kalian bisa cari kosan bareng nanti.

Ara mengulum bibirnya, kalau yang di bilang Kak Yuno benar. Bukankah itu adalah kabar baik? Jadi Ara kan gak pusing nyari teman baru. Tapi tetap kok, Ara akan mengusahakan dirinya tetap masuk di kampus pilihanya yang ada di Malang. Narawangsa dan Bandung hanya opsi kedua saja baginya.