melihat gadis berdress putih, perlahan Reluna membalik badan karena enggan untuk bertemu Putri. namun takdir tak berpihak padanya, belum sempat ia berbalik ternyata putri sudah menyadari keberadaannya. “Reluna.”

terukirlah seulas senyum kikuk.  dibalik senyuman manisnya tersirat banyak sumpah serapah yang menggunung. mengapa pagi ini sial sudah datang bertamu . “hai. ternyata lo beneran tinggal disini ya?”

Putri membalas senyumnya dan mengangguk.

“kamu kok keluar dari unitnya pak Abrisam?”

kalimat tanya yang keluar dari belah bibir plum milik Putri berhasil menciptakan kepanikan dalam diri Reluna, kepanikan yang berpengaruh pada jantungnya yang kian berdetak semakin cepat.

“hah?”

“iya. itu unitnya pak Abrisam. yang didepannya unit aku.”

ah, ternyata unit putri berada tepat didepan unit miliknya dan suami. kalau seperti ini, dia akan sering bertemu dan berinteraksi dengan Putri.

“eh... itu. liftnya udah kebuka.”

“eh iya. ayok.”

bersyukurlah Reluna karena lift terbuka, dan mengalihkan topik pembicaraan mereka. didalam sana sejenak tidak banyak pembicaraan yang tercipta, hingga Putri teringat akan pernikahan pak Abrisam.

“eh tapi. bukannya kemaren itu ada istri barunya pak Abrisam ya? baru pindah ke apart itu? denger denger istrinya seumuran sama kita-” Tiba-tiba Putri berhenti bicara.

matanya langsung tertuju pada Reluna, menatapnya intens. membuat Reluna sedikit tidak nyaman.

“kenapa liatin gue kek gitu?”

“jangan bilang kamu...” Reluna terdiam, menunggu wanita ini menyelesaikan kalimatnya, sebab masih terdengar menggantung

“Reluna kamu istrinya pak Abrisam?” lanjutnya sedikit berbisik.

sungguh ia sangat benci keadaan seperti ini. keadaan dimana dia tidak tau harus apa, keadaan dimana otaknya kesulitan mencari sebuah jawaban. pada akhirnya hanya sebuah anggukan kepala dan hembusan nafas lelah yang bisa ia keluarkan.

“Putri please. jangan kasih tau siapa-siapa soal ini ya? termasuk Lucky. karena gue masih belum putus sama dia,” ucapnya sembari merapatkan kedua telapak tangan sebagai tanda memohon.

“tapi kok bisa nikah sih?”

“karena ada accident yang bikin gue harus nikah sama dia.”

hanya dengan sebuah kalimat dan raut wajah Reluna, Putri dapat menangkap apa maksud dari Reluna. untuk memastikan tangan lentiknya bergerak mengelus perut rata milik Reluna yang terbungkus dalam dress hijau yang ia kenakan, lengkap dengan alis yang terangkat keatas –seolah mempertanyakan tentang kehamilannya.

“iya,” cicit Reluna. lantas kepalanya yang dihiasi rambut hitam panjang itu tertunduk malu.

“oh oke oke.”

“mobil aku disitu tuh. yuk?”

Reluna menggeleng, tidak mengikuti langkah putri yang ingin membawanya menuju mobil yang dimaksudkan.

“ga usah deh. gue naik ojek aja.”

alasannya jelas, karena kejadian tadi. Reluna akan merasa canggung sekaligus tidak enak dengan Putri, setelah pengakuan yang ia ungkapkan di lift tadi. Putri tersenyum, dan beralih menggenggam tangan Reluna. dengan sedikit tarikan yang terkesan memaksa, gadis itu berhasil membawanya hingga masuk kedalam mobil.

disepanjang jalan Reluna hanya diam memandang keluar jendela mobil, memperhatikan apapun yang terlewat dalam pandangannya. ini adalah sebuah usaha dirinya untuk mengalihkan pikiran yang berkecamuk dalam diri.

“kamu khawatir aku bakal bocorin rahasia kamu?” seketika Reluna menolehkan kepala, untuk memastikan kalau putri sedang bicara padanya.

“kamu ga usah khawatir. aku janji ga bakal bocorin ini sama siapapun, termasuk Lucky. aku handal dalam menyimpan rahasia, pokoknya dijamin deh, ini mulut rapet gak ada minusnya.” Reluna hanya bisa tersenyum kecil.

“asal...”

sudah ia duga. seorang Putri tidak akan bisa melakukan sesuatu tanpa pamrih, ia pasti menginginkan sesuatu untuk tutup mulut.

“asal?”

“asalkan kamu mau temenan sama aku lagi, seperti sebelum kesalahpahaman diantara kita terjadi.”

Reluna terperangah dengan permintaan Putri yang satu ini, tak disangka. dia kira Putri akan meminta dirinya untuk melepaskan Lucky, agar dia bisa lebih dekat dengan lelaki itu.

“gimana?”

“iya.”

terpaksa Reluna mengiyakan ajakan pertemanan dari Putri.