venelupie

melihat gadis berdress putih, perlahan Reluna membalik badan karena enggan untuk bertemu Putri. namun takdir tak berpihak padanya, belum sempat ia berbalik ternyata putri sudah menyadari keberadaannya. “Reluna.”

terukirlah seulas senyum kikuk.  dibalik senyuman manisnya tersirat banyak sumpah serapah yang menggunung. mengapa pagi ini sial sudah datang bertamu . “hai. ternyata lo beneran tinggal disini ya?”

Putri membalas senyumnya dan mengangguk.

“kamu kok keluar dari unitnya pak Abrisam?”

kalimat tanya yang keluar dari belah bibir plum milik Putri berhasil menciptakan kepanikan dalam diri Reluna, kepanikan yang berpengaruh pada jantungnya yang kian berdetak semakin cepat.

“hah?”

“iya. itu unitnya pak Abrisam. yang didepannya unit aku.”

ah, ternyata unit putri berada tepat didepan unit miliknya dan suami. kalau seperti ini, dia akan sering bertemu dan berinteraksi dengan Putri.

“eh... itu. liftnya udah kebuka.”

“eh iya. ayok.”

bersyukurlah Reluna karena lift terbuka, dan mengalihkan topik pembicaraan mereka. didalam sana sejenak tidak banyak pembicaraan yang tercipta, hingga Putri teringat akan pernikahan pak Abrisam.

“eh tapi. bukannya kemaren itu ada istri barunya pak Abrisam ya? baru pindah ke apart itu? denger denger istrinya seumuran sama kita-” Tiba-tiba Putri berhenti bicara.

matanya langsung tertuju pada Reluna, menatapnya intens. membuat Reluna sedikit tidak nyaman.

“kenapa liatin gue kek gitu?”

“jangan bilang kamu...” Reluna terdiam, menunggu wanita ini menyelesaikan kalimatnya, sebab masih terdengar menggantung

“Reluna kamu istrinya pak Abrisam?” lanjutnya sedikit berbisik.

sungguh ia sangat benci keadaan seperti ini. keadaan dimana dia tidak tau harus apa, keadaan dimana otaknya kesulitan mencari sebuah jawaban. pada akhirnya hanya sebuah anggukan kepala dan hembusan nafas lelah yang bisa ia keluarkan.

“Putri please. jangan kasih tau siapa-siapa soal ini ya? termasuk Lucky. karena gue masih belum putus sama dia,” ucapnya sembari merapatkan kedua telapak tangan sebagai tanda memohon.

“tapi kok bisa nikah sih?”

“karena ada accident yang bikin gue harus nikah sama dia.”

hanya dengan sebuah kalimat dan raut wajah Reluna, Putri dapat menangkap apa maksud dari Reluna. untuk memastikan tangan lentiknya bergerak mengelus perut rata milik Reluna yang terbungkus dalam dress hijau yang ia kenakan, lengkap dengan alis yang terangkat keatas –seolah mempertanyakan tentang kehamilannya.

“iya,” cicit Reluna. lantas kepalanya yang dihiasi rambut hitam panjang itu tertunduk malu.

“oh oke oke.”

“mobil aku disitu tuh. yuk?”

Reluna menggeleng, tidak mengikuti langkah putri yang ingin membawanya menuju mobil yang dimaksudkan.

“ga usah deh. gue naik ojek aja.”

alasannya jelas, karena kejadian tadi. Reluna akan merasa canggung sekaligus tidak enak dengan Putri, setelah pengakuan yang ia ungkapkan di lift tadi. Putri tersenyum, dan beralih menggenggam tangan Reluna. dengan sedikit tarikan yang terkesan memaksa, gadis itu berhasil membawanya hingga masuk kedalam mobil.

disepanjang jalan Reluna hanya diam memandang keluar jendela mobil, memperhatikan apapun yang terlewat dalam pandangannya. ini adalah sebuah usaha dirinya untuk mengalihkan pikiran yang berkecamuk dalam diri.

“kamu khawatir aku bakal bocorin rahasia kamu?” seketika Reluna menolehkan kepala, untuk memastikan kalau putri sedang bicara padanya.

“kamu ga usah khawatir. aku janji ga bakal bocorin ini sama siapapun, termasuk Lucky. aku handal dalam menyimpan rahasia, pokoknya dijamin deh, ini mulut rapet gak ada minusnya.” Reluna hanya bisa tersenyum kecil.

“asal...”

sudah ia duga. seorang Putri tidak akan bisa melakukan sesuatu tanpa pamrih, ia pasti menginginkan sesuatu untuk tutup mulut.

“asal?”

“asalkan kamu mau temenan sama aku lagi, seperti sebelum kesalahpahaman diantara kita terjadi.”

Reluna terperangah dengan permintaan Putri yang satu ini, tak disangka. dia kira Putri akan meminta dirinya untuk melepaskan Lucky, agar dia bisa lebih dekat dengan lelaki itu.

“gimana?”

“iya.”

terpaksa Reluna mengiyakan ajakan pertemanan dari Putri.

AKHIR CERITA

malam ini bintang menyingkir jauh, seolah takut akan seringai bulan sabit. perasaan tak enak memenuhi diri, sudah sejak tadi, seakan ada sesuatu yang akan terjadi. namun, Reluna menganggap itu hanyalah hormon ibu hamil.

dengan membawa beberapa buku juga laptop ia susah payah membuka pintu, hingga pintu itu terbuka dengan sendiri, memperlihatkan perawakan dari sang suami.

“udah saya bilang jangan bawa yang berat-berat.”

Abrisam mengambil alih barang-barang itu dari tangan, menciptakan sebuah raut senang. Reluna meraih tangan kosong milik Abrisam, dan mendaratkan sebuah kecupan manis yang juga dibalas dengan hal yang sama oleh Abrisam.

“pinternya istri saya.”

tanpa sadar di sudut lorong seorang pria amat terkejut dengan adegan yang tercipta didepan mata. hingga tak sadar sebuah bungkusan terjatuh dari tangan, menyita atensi kedua insan yang dilihatnya.

“Lucky?”

Reluna terkejut akan kehadiran sang kekasih, membuat wajahnya jadi pucat pasih. orang bilang bangkai yang disimpan lama-lama akan tercium juga baunya. akankah hari ini menjadi hari yang tepat untuknya berpisah dengan Lucky? akankah seringai bulan ini menjadi pertanda berakhirnya hubungan ini?

langkah tegas yang terkesan terburu-buru menggema, membuat Reluna dan Abrisam terdiam tak bisa berbuat apa-apa.

“yang. kok lo keluar dari apartnya pak Abrisam?” tanyanya, memperhatikan raut kedua manusia didepannya.

“gue ga salah liat nih tadi? lo cium tangan dia? ga. ini sebenarnya ada apa sih? lo... sama pak Abrisam?”

Reluna tertunduk menahan malu, tak bisa berkata-kata sebab lidahnya kelu.

“lo selingkuh? apa gue yang diselingkuhin?” tanyanya lagi, dengan tatapan tak percaya dengan apa yang terjadi.

“dia bukan wanita seperti itu,” jawab sang suami, yang tak terima dengan tuduhan Lucky pada sang istri.

“gue ga ngomong sama lo.” amarah dan rasa cemburu bercampur menjadi satu, rasa hormatnya pada sang dosen pun luruh.

“Reluna. hei, jawab yang.” tangannya tergerak menegakkan rahang sang wanita, yang ternyata air matanya sudah tumpah ruah.

“maaf.” hanya itu. hanya itu yang bisa terucap dari bibir mungilnya.

“sejak kapan? lo selingkuh atau gue selingkuhan lo? ohh... lo udah nikah sama dia, berarti gue selingkuhan lo dong ya?”

Reluna terperangah dengan ucapan sang kekasih, seakan waktunya selama 4 tahun tiada arti.

“gue ga selingkuh dari lo, gue juga ga jadiin lo selingkuhan Lucky. gue ga pernah punya pikiran buat mendua, jangankan kepikiran, pengen punya pikiran begitu aja gue ga bisa ky.”

“terus ini apa?! cincin di jari manis lo, dia manggil lo 'istri saya',  lo cium tangan dia, dia cium tangan lo. itu apa?!”

“gue punya situasi yang sulit! yang membuat gue harus nikah sama dia!”

“kenapa ga cerita? kenapa ga bilang kalo lo mau nikah sama dia? atau setidaknya, lo putusin gue dulu rel. gue bisa terima kok. kalo kayak gini, sakit hati gue double.”

oksigen disekitar kian menipis, membuat dadanya kembang kempis. Reluna berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin, sebab mengungkapkan yang sebenarnya sangat sakit.

“gue tau gue salah but I don't want to lose you, I don't want to break up with you... but this baby also needs his father.”

“are you pregnant?” tak mampu mengucap, Reluna hanya mengangguk mantap. membuat Lucky terdiam ditempat, hatinya sakit akibat belati pengkhianatan yang tertancap.

“maaf... gue minta maaf.” tangisnya semakin tumpah kala Lucky berbalik pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

dia pergi dengan tatapan sedih, dia pergi dengan kepingan patah hati, dia pergi dengan segala kecewa, dia pergi dengan runtuhan cintanya.

segala waktu yang terlewatkan, segala momen yang tercipta, segala runtutan cerita yang menghiasi hubungannya,

akankah semuanya akan tinggal jadi kenangan? beginikah akhir dari segala cerita tentang 'kita'? mungkinkah akhir yang bahagia hanya jadi angan yang terbawa angin?

Rahasia besar

5 jam penuh diisi dengan musik yang memekakkan telinga, lagu galau karya penyanyi Indonesia. dia masih tak percaya kalau lembar terakhir dari kisahnya sudah hadir, lembaran terakhir yang ia kira bagian paling indah pada kisah ini, ternyata menjadi bagian paling sakit.

malam kelam menjadi saksi bisu akan keterpurukannya malam ini, tapi rasa lapar mengganggu kegiatannya saat ini. dengan berat hati ia beranjak keluar kamar, mencari sesuatu yang dapat memuaskan rasa lapar.

sambil mencecap semangkuk sup, ia duduk termangu, mengingat kenangan dulu, yang membuat tangisnya semakin pilu. ingatan tentang Lucky datang remang-remang, sepertinya ingatan ini akan lekat pada ingatan.

Reluna terkejut kala merasakan sebuah tangan bergerak mengelus surai hitamnya, begitu dia mendongak yang terlihat bukanlah manusia, melainkan sesosok arwah. arwah yang selama ini diceritakan Alula.

kali ini sosok itu hadir lebih berani, dengan tampilan lusuh, dia tersenyum lesu. walau susah mengidentifikasi, tapi senyum itu sudah memberikan definisi, tentang siapa sosok ini.

“omah?” binar kesedihan pada netranya terganti dengan binar rindu, rindu akan sosok yang selalu membelanya saat mamah papah melimpahkan kesalahan padanya.

“jangan sedih, kamu ga punya waktu untuk bersedih.” suara parau yang terdengar menenangkan itu berhasil menyelimuti hatinya dengan kehangatan.

“ada alasan kenapa keahlian omah bisa menurun ke kamu.”

Reluna menyernyit, berusaha mencerna ucapan sang omah.

“apa omah?”

“ada rahasia besar yang harus kamu ungkap. gunakan kelebihan kamu, untuk mengungkapkan kebenaran ini, ini menyangkut tentang kehidupan seseorang.”

“terus omah ngapain disini?”

“omah ga tenang, karena rahasia ini belum terbongkar, keadilan belum ditegakkan. bantu dia Reluna, bantu omah dan Alula pergi ke tempat yang lebih baik.”

“Alula? omah kenal Alula? apa hubungan omah sama Alula.”

belum sempat omah menjawab, sosoknya menghilang sekejap mata, membuat rasa penasaran menggerogoti jiwa.

“omah! omah jangan ngilang dulu dong, omah belom jawab pertanyaan Relu!”

sepasang mata yang memperhatikan sedari tadi juga dibuat bingung. istrinya bicara dengan siapa?

“Reluna.” suara tegas itu menyita perhatiannya.

“akang belom tidur? apa kebangun karena suara aku?” tidak menjawab, Abrisam memilih untuk duduk dengan bersedekap dada, menjadikan sikunya sebagai penopang badan.

“kamu beneran indigo?” tanyanya dengan raut penasaran, yang ditanya malah bereaksi tak percaya.

“selama ini akang ga percaya kalo aku indigo?”

“engga,” jawabnya seraya menggeleng gemas.

“saya kira cuma ngelantur.”

“cih.” Reluna mendecih, berbarengan dengan kedua bola matanya yang memutar.

“disini banyak ga hantunya?”

sembari menyantap supnya kembali, Reluna mengangguk menanggapi. setelah tertelan tak tersisa, barulah ia lanjut bicara.

“eum. banyak banget. ada yang rese, ada yang menyedihkan, ada yang menjijikan, ada yang suka jail, ada juga yang kurang ajar. 11, 12 lah... sama manusia.”

pria dihadapannya hanya berdehem sambil mengangguk. rasa keingintahuannya semakin memuncak, membuat banyak list pertanyaan dalam otak muncul mencak-mencak. karena baru kali ini ia mendengar cerita dari seorang indigo, begini ternyata rasanya menikah dengan seorang Indigo.

“hmm... kamu beneran temenan sama Alula?” nadanya terdengar hati-hati, takut salah arti.

“bener.”

“Alula gimana kabarnya?”

“cantik.”

“saya tanya kabarnya bukan bentuk wajahnya, kalo soal dia cantik saya udah tau.”

“ohh udah tau.”

entah mengapa, pernyataan dari sang suami, justru membuat gerah hati. rasa kesal hadir memenuhi diri, membuat nada bicaranya terdengar sedikit meninggi.

“kamu kenapa bisa temenan sama dia?”

“pertama kali ketemu itu pas aku masih umur 18 tahun, ketemunya di makam. dia keliatan sedih sambil pegangin perutnya terus, aku bingung sih karena dia hantu pertama yang aku liat. terus dia cerita kalau dia udah meninggal, dia ga tau harus gimana, harus kemana, ya udah aku ajak ke rumah,” katanya sambil memandang langit-langit atap, berusaha mengingat momen tersebut dan merangkai kata-kata yang pas.

“kamu indigo baru?”

“bisa dibilang gitu. aku dapat keahlian ini, tepat setelah omahku meninggal, jadi sepertinya keahlian ini nurun dari omah aku.”

“terus tadi kamu ngobrol sama siapa?”

seakan muak dengan segala pertanyaan, Reluna menghela nafas malas, dengan tegas menaruh sendok di atas meja.

“akang banyak tanya kayak wartawan. intinya tuh, arwah omah sama arwah Alula ga tenang karena masih ada masalah dunia yang masih belum terselesaikan. tapi, aku ga tau apa rahasia besar yang dimaksud omah. kita berdua harus cari tau.”

keduanya saling tatap, seolah dua pasang iris itu sedang berinteraksi hingga keduanya saling mengangguk, sebagai tanda kesepakatan. mungkin ini bisa menjadi caranya menutup segala cinta, ia berencana menuntaskan rasa yang pernah mengisi hatinya.

sosok bajingan

Jeo dan Putri melarangnya untuk membantu, berjaga-jaga, takut terjadi sesuatu. dengan segala kebosanan diri, Reluna hanya bisa duduk sendiri. memperhatikan dua atma yang sibuk melempar canda pada konversasi yang mereka lakukan.

sesekali ia mendesis geli, kala tutur kata manis mengalun pada kedua belah bibir Jeo —memuji Putri. adiknya yang satu ini tenggelam di dalam asmaraloka yang ia ciptakan sendiri, tanpa tahu apa yang di rasakan Putri.

“kak Putri tau kepanjangan dari Cikapayang?”

“engga. emang apa?”

“Cikapayang itu... cinta kamu pisan sayang.”

“astaga bisa-bisanya,” balas Putri tertawa kecil. pipi chubby kembar itu memerah, tapi tawanya terdengar semu pada gendang telinga Reluna. ia yakin kalau Putri merasa canggung dengan semua gombalan Jeo.

suntuk yang melanda berangsur berubah jadi kantuk. lantas ia pamit pada Putri dan Jeo —ingin menikmati anila di taman depan parkiran.

“gue pamit cari angin dulu ya. eneg denger gombalan Jeo,” ucapnya dengan menyematkan sedikit candaan diakhir kalimat.

“yeu... dasar!” balas Jeo dengan bibir yang mencebik kedepan.

melangkah pelan Reluna berjalan sembari membuat ritme helaan nafas ringan. bukan tanpa alasan ia menghela nafas terus-menerus. kini berat badannya meningkat hampir dua kali lipat. belum lagi, kedua kakinya yang mulai membengkak, efek kehamilannya.

dengan segala kekuatan yang ada, Reluna berhasil sampai di taman bunga yang mengarah langsung ke tempat parkir. dalam naungan pohon besar Reluna memejamkan mata. menikmati alunan serayu. angin yang menerjang menciptakan decitan ranting yang saling bersahutan.

keadaan di sana cukup sepi, hanya ada beberapa hal yang menemani. parkiran terlihat luas lapang, sebab hanya beberapa kendaraan yang nampak berjejer.

sesuatu yang ditangkap oleh sang netra mengganggu pikirannya, merasa tak asing dengan susunan acak nomer kendaraan.

“lho. itu kan...”

mobil itu. mobil yang menabrak sang omah. bagaimana bisa mobil itu terparkir disini? padahal dengan jelas, joshua berkata kalau mobil itu raip ditelan bumi.

tanpa rasa curiga menuruti rasa penasaran, Reluna beranjak mendekati rakitan besi hitam itu. memperhatikan detail mobil, untuk mengkonfirmasi bahwa ia tidak salah lihat.

“bener nih! ini mobil yang nabrak omah.”

tangan cantik dengan hiasan kuku lentiknya mengambil ponsel yang berada di saku celana, memposisikan kamera, dan memotretnya dengan sangat apik. selesai memotret, Reluna beralih melihat-lihat isi mobil, berharap menemukan sang pemilik.

“cari gue ya...” sebuah suara berat masuk menusuk gendang telinga, tanpa aba-aba. —membuat Reluna terkejut bukan main.

kesan misterius melekat padanya. seorang pria berpakaian aneh dengan topi dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Reluna hanya bisa melihat iris hitam legamnya.

tangan kekar yang dipenuhi urat-urat menonjol itu merogoh saku dalam jas, mengeluarkan sebilah pisau tajam yang siap menghunus segala isi tubuh Reluna. sambil memainkan pisau itu, dia berjalan mendekat.

“gue punya misi hidup. gue mau buat Abrisam hancur sehancur hancurnya. gue mau buat dia hidup didalam kesengsaraan, tersiksa karena rasa bersalah, sendirian terkurung didalam gelap yang pekat tanpa sekat.”

merasa terancam, alarm dalam tubuh Reluna berbunyi. memerintahkan sang kaki untuk memundurkan diri, sembari sang mata memperhatikan gerak tangan si pria misterius. tapi, otak lupa memerintahkan pada kaki untuk melangkah dengan hati-hati. alhasil, Reluna terjatuh duduk didepan pria yang berdiri tinggi didepannya.

“jadi, gue selalu menghancurkan apapun yang menjadi milik dia, siapapun yang menjadi orang yang paling berharga baginya. contohnya, Alula. dan sekarang lo.” dari balik masker yang menutupi, dia ia tampilkan senyum penuh arti.

sedetik. hanya butuh satu detik baginya untuk menghunuskan pisau itu ke arah perut buntal Reluna. beruntung, kedua tangannya dengan sigap menahan pisau tajam itu. tak peduli dengan rasa sakit yang menghujam kedua telapak indahnya. Reluna hanya peduli akan keselamatan sang bayi.

mata pisau itu dengan mudah membelah kulit Reluna. membuat darah bersimbah membasahi pakaian. saat darah semakin bersimbah diatas perutnya dan rasa sakit semakin kejam menyiksa, Reluna dengan sekuat tenaga berusaha berteriak meminta pertolongan.

“tolong!!!”

“disini sepi... gue ga yakin bakal ada yang nolongin lo,” lirih pria itu sambil terus berusaha menusuk semakin dalam.

keadaan yang sepi tak berpenghuni, membuat Reluna berserah diri. bermunajat pada yang maha esa, meminta keselamatan bagi sang jabang bayi. sambil ia berikhtiar untuk menendang pria ini, walau tenaganya sudah terkuras habis.

“siapapun tolong!!!”

“kalo lo ga mau mati, seenggaknya anak ini aja. gue mau Abrisam merasakan kehilangan yang gue rasakan selama ini!”

“Abrisam salah apa!?”

“lo gak tau apa apa! lo gak tau dosa apa yang dia perbuat sama keluarga gue! lo gak tau!” kesedihan yang mendalam terasa pada getaran suara sang pria. pilu menggebu hadir pada rintik air mata yang membendung.

“AKKHHH!! TOLONG!!!”

“WOY ANJING!!” sebuah tangan menarik paksa tubuh besar sang pria, memperdalam sayatan pada kedua telapak Reluna.

syukur ia panjatkan, karena Lucky datang menyelamatkan. sekarang dengan liar kedua pria itu terlibat dalam pergumulan hebat. saling melempar pukulan, tendangan, juga sumpah serapah.

niat hati ingin menghilangkan frustasi lewat asap gulungan nikotin, justru Lucky disuguhkan pemandangan sangat melukai hatinya. wanita yang masih ia cintai terancam nyawanya, berusaha melawan sosok bajingan ini seorang diri.

karena sakit yang mendera juga lelah yang dirasa, Reluna hanya bisa meracau sembari menidurkan pelipisnya pada tubuh mobil, kesadarannya sudah hampir terambil. Abrisam yang tak sengaja keluar untuk membeli kopi terkejut bukan main —melihat kondisi sang istri yang lemah dan bersimbah darah. tanpa pikir panjang ia melempar laptop mahalnya —berlari menghampiri Reluna.

“Relu!! kamu kenapa sayang?” kekalutan yang berkecamuk membuatnya tanpa sadar menyebutkan panggilan sayang.

“aku- sakit kang...” rengek Reluna merasakan sakit pada tangannya, seperti anak kecil.

dengan hati-hati Abrisam mengikat luka sayatan yang dalam itu dengan kemeja yang membalut kaos putihnya, mencoba menghentikan pendarahan yang terjadi. tak peduli dengan kedua orang yang masih terlibat perkelahian liar, Abrisam pergi mengamankan sang istri.

dalam pikirannya Abrisam menanamkan satu nama yang mampu berbuat sekejam ini. orang yang memang memiliki dendam kesumat terhadapnya. orang yang tak peduli dengan nyawa orang lain, asal yang dendamnya bisa terbalaskan.

“Dilan Dewangsa. saya gak akan biarkan kamu memisahkan saya dengan Reluna. sudah cukup saya kehilangan Alula, saya tidak akan kehilangan siapapun lagi kali ini.”

PILU MALAM KELABU

tw // bullying, violence, mentione of death

Kata dokter perban yang menggulung tangan Reluna harus diganti, agar tidak menimbulkan infeksi. Maka, di sinilah mereka, saling berhadapan tidak saling menatap ataupun bertukar ucap. Abrisam asyik membuka perban Reluna dengan hati-hati. Sedangkan Reluna diam mengamati.

Sesekali Abrisam melirik sang istri, untuk memastikan Reluna tidak merasa sakit. Kekesalan Reluna masih setia melekat pada wajahnya. Otak pintar Abrisam langsung bisa menangkap faktor kekesalan sang istri, pasti tentang perdebatan yang tadi.

“Masih marah?” Tanya Abrisam sembari pelan — pelan mengolesi obat racikan tangan dokter, pada kedua telapak tangan Reluna.

Tak menjawab Reluna hanya mengalihkan pandangan, enggan untuk membalas pertanyaan. Sebab dia pikir, sudah tau kenapa masih bertanya? Dia hanya menunggu Abrisam mau mulai terbuka dan menceritakan segalanya.

Tidak mendapat Respon yang baik, Abrisam menghela nafas panjang. Meniupkan sisa-sisa karbondioksida yang dihasilkan paru-parunya ke arah luka Reluna, agar tidak terlalu terasa sakit.

“Segitu mau taunya kamu tentang Dilan,” monolog Abrisam. Sembari terus mengolesi obat.

“Dulu saya itu yatim-piatu, saya terbiasa tinggal di panti asuhan sejak kecil. Tinggal satu atap lengkap dengan kedua orang tua itu bagi saya cuma mimpi. Suatu hari, ada sepasang pasutri yang pengen adopsi saya, awalnya saya takut mereka jahat, atau anak mereka yang tidak setuju akan kehadiran saya.

“Ternyata mereka baru aja kehilangan anaknya, anaknya diculik, sudah 2 tahun sejak anaknya itu diculik dan mereka masih belum bisa menemukan anaknya. Saya akhirnya diurus sama mereka. Mereka sayang banget sama saya, saya juga sayang banget sama mereka. Sebuah keluarga bahagia dengan satu anak laki-laki yang ceria pada saat itu. Tapi ada satu malam yang membuat keluarga itu seketika hancur. Satu malam yang membuat saya merasa tidak seharusnya ada didalam keluarga itu.”

Disini tangan Reluna yang terluka, namun sakitnya justru termaktub pada tatapan teduh seorang Abrisam. Dirinya fokus menggulung perban baru pada telapak tangan sang istri, namun pikirannya berkelana menelusuri bilik-bilik memori. Reluna hanya diam. Memaku tatap pada wajah Abrisam.

Abrisam sangat ingat malam itu hujan turun dengan lebat, datang bersama kilat. Pintu kayu jati itu diketuk berkali-kali bersamaan dengan suara sayu anak lelaki yang menggemakan nama sang Mamah. Dilan datang dengan wajah lelahnya. Abrisam juga masih mengingat tatapan penuh tanya yang tersirat dalam iris legam Dilan.

“Anak itu kembali. Dilan kembali dalam keadaan tidak baik, setelah dia sadar dia marah besar saat tahu kalau Mamah Papahnya mengadopsi saya, dia merasa kalau posisinya tergantikan. Sejak saat itu, dia tidak pernah ramah, tidak pernah bicara, ataupun menatap saya. Baik didalam rumah maupun diluar, kita seperti orang asing. Tentunya saya bisa mengerti perasaan dia. 3 tahun di SMA saya jadi korban pelampiasan amarahnya Dilan. Setiap Dilan frustasi, dia dan teman-temannya selalu bully saya. Bagi dia saya itu samsak hidup.”

Napasnya sempat tercekat. Mengingat perlakuan buruk Dilan waktu itu. Mengingat sakit yang mencetak sekujur tubuh. Berteriak susah, berontak pun juga tak bisa. Pada akhirnya Abrisam hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada, memaklumi apa yang ada.

“Saya semakin merasa tidak pantas untuk berada di rumah itu, saya memutuskan untuk pergi. Tapi justru, kepergian saya malah membuat amarahnya Dilan memuncak. Mamah sama Papah berusaha untuk cari saya, tapi mereka kecelakaan yang menyebabkan Mamah meninggal dan Papah mengalami amnesia. Dan anehnya, papah sama sekali tidak mengingat Dilan sebagai anaknya, justru dia malah mengingat saya sebagai putranya. Dilan semakin menyalahkan saya atas semua yang terjadi, dia menyalahkan saya atas segala rasa sakit hati yang dideritanya.”

Rasa bersalah yang menggunung datang menghantam dada. Seketika napasnya tidak beraturan, detak jantungnya berantakan, air mata pun tak tertahankan. Tetes air mata yang terjun segera ia seka, tak mau terlihat lemah didepan sang wanita.

Sedang Reluna tetap setia mendengar kata perkata yang memasuki rungunya. Hatinya terasa dicengkeram, saat mendengar perundungan yang diterima Abrisam, menurutnya perlakuan yang diterima sang suami terlampau kejam.

“Dia ga ngizinin saya untuk datang ke rumah terakhir mamah, dia bahkan usir saya dari rumah. Saya kembali menjadi anak sebatang kara tapi papah tetep menghubungi saya, memberi saya tempat tinggal, bahkan masih menafkahi saya.”

Satu helaan napas panjang pun ia keluarkan, berharap dapat meredam sesak yang dia rasakan. Mengulum bibir sebentar sebelum melanjutkan apa yang masih terdengar menggantung.

“Lama tidak bertemu Dilan saya tidak tahu bagaimana kabarnya, bagaimana keadaannya, apa saja yang sudah dilewatinya. Ketemu dia lagi saat saya ingin menikah dengan Alula. Saya kasih dia undangan tanpa tahu kalau Alula adalah mantan pacarnya. Dendam lama bertambah saat dia tahu hal itu.

“Dia semakin berusaha untuk menghancurkan saya, dia tidak akan membiarkan ada satu orangpun yang menemani saya. Dan saya tahu betul kalau Alula meninggal karena Dilan tapi saya ga bisa apa-apa... saya ga bisa hukum Dilan karena dia saudara saya, karena luka yang dia terima sudah terlalu banyak. Saya takut saat papah pulih, papah murka karena tau apa yang sudah anaknya lakukan.”

Sudah. Ia sudah tidak bisa berlagak kuat saat rasa sakit semakin menggenggam hatinya erat. Air mata yang tertahan di ujung pertahanan, kini tumpah ruah membasahi wajah, mengguyur hatinya. Luka lama yang ia kira sudah lama kering ternyata masih belum terobati. Rasa sakit dan bersalah pada Alula tiba-tiba mengerubungi hati, Abrisam merasa tidak berguna sebagai seorang suami saat hal yang sama terjadi juga pada Reluna.

“Saya juga tahu kalau kamu akan jadi korbannya juga. Maaf... maaf karena saya kamu jadi korban. Maaf karena saya kamu akan selalu dalam bahaya. Maafin saya karena ga bisa jadi suami yang baik, saya ga bisa jagain kamu, saya ga berguna.” Rasa pening yang membebani membuat tangannya bergerak memukuli kepalanya.

Reluna yang melihat itu segera berusaha menahan tangan Abrisam. Membawa punggung bergetar itu ke dalam dekapan, membiarkan Abrisam menumpahkan seluruh tangis pada bahunya yang tegap. Tangan Reluna yang terlilit perban bergerak mengelus kepala Abrisam, mungkin dengan sedikit bumbu kehangatan hati yang tulus, Abrisam bisa sedikit lebih tenang.

“Akang ga salah. Ini bukan salah akang. Aku yang minta maaf karena maksa akang buka luka lama.” Selanjutnya, yang tersisa hanyalah isak tangis Abrisam. Dingin yang menusuk kalbu menjadi saksi bisu akan keterpurukan seorang Abrisam.

Reluna tak menyangka malam ini dia bisa melihat sisi lain dari seorang Abrisam yang terkenal galak.

Sosok paling sabar yang selalu terlihat kuat, kini tumbang dengan tangisan pilu yang melekat.

Sosok paling tegar yang tak pernah gentar, kini dibasahi hujan air mata yang menggelegar.

Tubuh tinggi yang selalu terlihat tegap, kini renta, hingga harus bertopang pada bahu sang wanita.

Senyum yang selalu tercetak diwajahnya tidak berarti apa-apa, hanya sebuah usaha mengubur nestapa.

Tawa yang dia buat hanya kedok untuk menyembunyikan nelangsa.

Hari ini luka yang ia pendam tergores untuk yang kedua kalinya, menciptakan sakit yang tak teredam.

Tolong bisikkan pada angin agar dia menyampaikan pilu berlumur luka milik Abrisam ini pada bulan.

Mungkin setidaknya sakit yang diderita bisa sedikit mereda.

Sungguh, dia tidak ingin terus menerus tenggelam didalam keterpurukan, jatuh didalam kenangan yang kelam.

Sementara itu, biar malam yang membelai air matanya, meninabobokan jiwanya yang sedang tidak baik-baik saja.

©Venelupie

bell istirahat bergema di seluruh sekolah, membuat para siswa berbondong-bondong keluar untuk berburu makanan, sebab lapar yg mengganjal sudah tak tertahankan.

sedangkan Zara berjalan menuju ruang 6, tempat kekasihnya melaksanakan ujian. Zara berjalan sambil memikirkan wajah rupawan Arya yang selalu bisa mengganggu waktu tidurnya, tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya tentang Ariano yang melarang dirinya datang untuk menghampiri Arya.

satu langkah. hanya tersisa satu langkah lagi Zara berhasil memijakkan kaki pada marmer putih yang setia menghiasi lantai ruang 6. namun, langkahnya terhenti ketika melihat Arya yang sedang tertidur di atas meja.

wajah lelah Arya terlihat tenang, merasa nyaman karena tangan lembut Jihan membelainya dengan penuh perhatian. merasa sesak perlahan mulai meremas dada, Zara sadar bahwa seharusnya tidak disini dirinya berada.