PILU MALAM KELABU
tw // bullying, violence, mentione of death
Kata dokter perban yang menggulung tangan Reluna harus diganti, agar tidak menimbulkan infeksi. Maka, di sinilah mereka, saling berhadapan tidak saling menatap ataupun bertukar ucap. Abrisam asyik membuka perban Reluna dengan hati-hati. Sedangkan Reluna diam mengamati.
Sesekali Abrisam melirik sang istri, untuk memastikan Reluna tidak merasa sakit. Kekesalan Reluna masih setia melekat pada wajahnya. Otak pintar Abrisam langsung bisa menangkap faktor kekesalan sang istri, pasti tentang perdebatan yang tadi.
“Masih marah?” Tanya Abrisam sembari pelan — pelan mengolesi obat racikan tangan dokter, pada kedua telapak tangan Reluna.
Tak menjawab Reluna hanya mengalihkan pandangan, enggan untuk membalas pertanyaan. Sebab dia pikir, sudah tau kenapa masih bertanya? Dia hanya menunggu Abrisam mau mulai terbuka dan menceritakan segalanya.
Tidak mendapat Respon yang baik, Abrisam menghela nafas panjang. Meniupkan sisa-sisa karbondioksida yang dihasilkan paru-parunya ke arah luka Reluna, agar tidak terlalu terasa sakit.
“Segitu mau taunya kamu tentang Dilan,” monolog Abrisam. Sembari terus mengolesi obat.
“Dulu saya itu yatim-piatu, saya terbiasa tinggal di panti asuhan sejak kecil. Tinggal satu atap lengkap dengan kedua orang tua itu bagi saya cuma mimpi. Suatu hari, ada sepasang pasutri yang pengen adopsi saya, awalnya saya takut mereka jahat, atau anak mereka yang tidak setuju akan kehadiran saya.
“Ternyata mereka baru aja kehilangan anaknya, anaknya diculik, sudah 2 tahun sejak anaknya itu diculik dan mereka masih belum bisa menemukan anaknya. Saya akhirnya diurus sama mereka. Mereka sayang banget sama saya, saya juga sayang banget sama mereka. Sebuah keluarga bahagia dengan satu anak laki-laki yang ceria pada saat itu. Tapi ada satu malam yang membuat keluarga itu seketika hancur. Satu malam yang membuat saya merasa tidak seharusnya ada didalam keluarga itu.”
Disini tangan Reluna yang terluka, namun sakitnya justru termaktub pada tatapan teduh seorang Abrisam. Dirinya fokus menggulung perban baru pada telapak tangan sang istri, namun pikirannya berkelana menelusuri bilik-bilik memori. Reluna hanya diam. Memaku tatap pada wajah Abrisam.
Abrisam sangat ingat malam itu hujan turun dengan lebat, datang bersama kilat. Pintu kayu jati itu diketuk berkali-kali bersamaan dengan suara sayu anak lelaki yang menggemakan nama sang Mamah. Dilan datang dengan wajah lelahnya. Abrisam juga masih mengingat tatapan penuh tanya yang tersirat dalam iris legam Dilan.
“Anak itu kembali. Dilan kembali dalam keadaan tidak baik, setelah dia sadar dia marah besar saat tahu kalau Mamah Papahnya mengadopsi saya, dia merasa kalau posisinya tergantikan. Sejak saat itu, dia tidak pernah ramah, tidak pernah bicara, ataupun menatap saya. Baik didalam rumah maupun diluar, kita seperti orang asing. Tentunya saya bisa mengerti perasaan dia. 3 tahun di SMA saya jadi korban pelampiasan amarahnya Dilan. Setiap Dilan frustasi, dia dan teman-temannya selalu bully saya. Bagi dia saya itu samsak hidup.”
Napasnya sempat tercekat. Mengingat perlakuan buruk Dilan waktu itu. Mengingat sakit yang mencetak sekujur tubuh. Berteriak susah, berontak pun juga tak bisa. Pada akhirnya Abrisam hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada, memaklumi apa yang ada.
“Saya semakin merasa tidak pantas untuk berada di rumah itu, saya memutuskan untuk pergi. Tapi justru, kepergian saya malah membuat amarahnya Dilan memuncak. Mamah sama Papah berusaha untuk cari saya, tapi mereka kecelakaan yang menyebabkan Mamah meninggal dan Papah mengalami amnesia. Dan anehnya, papah sama sekali tidak mengingat Dilan sebagai anaknya, justru dia malah mengingat saya sebagai putranya. Dilan semakin menyalahkan saya atas semua yang terjadi, dia menyalahkan saya atas segala rasa sakit hati yang dideritanya.”
Rasa bersalah yang menggunung datang menghantam dada. Seketika napasnya tidak beraturan, detak jantungnya berantakan, air mata pun tak tertahankan. Tetes air mata yang terjun segera ia seka, tak mau terlihat lemah didepan sang wanita.
Sedang Reluna tetap setia mendengar kata perkata yang memasuki rungunya. Hatinya terasa dicengkeram, saat mendengar perundungan yang diterima Abrisam, menurutnya perlakuan yang diterima sang suami terlampau kejam.
“Dia ga ngizinin saya untuk datang ke rumah terakhir mamah, dia bahkan usir saya dari rumah. Saya kembali menjadi anak sebatang kara tapi papah tetep menghubungi saya, memberi saya tempat tinggal, bahkan masih menafkahi saya.”
Satu helaan napas panjang pun ia keluarkan, berharap dapat meredam sesak yang dia rasakan. Mengulum bibir sebentar sebelum melanjutkan apa yang masih terdengar menggantung.
“Lama tidak bertemu Dilan saya tidak tahu bagaimana kabarnya, bagaimana keadaannya, apa saja yang sudah dilewatinya. Ketemu dia lagi saat saya ingin menikah dengan Alula. Saya kasih dia undangan tanpa tahu kalau Alula adalah mantan pacarnya. Dendam lama bertambah saat dia tahu hal itu.
“Dia semakin berusaha untuk menghancurkan saya, dia tidak akan membiarkan ada satu orangpun yang menemani saya. Dan saya tahu betul kalau Alula meninggal karena Dilan tapi saya ga bisa apa-apa... saya ga bisa hukum Dilan karena dia saudara saya, karena luka yang dia terima sudah terlalu banyak. Saya takut saat papah pulih, papah murka karena tau apa yang sudah anaknya lakukan.”
Sudah. Ia sudah tidak bisa berlagak kuat saat rasa sakit semakin menggenggam hatinya erat. Air mata yang tertahan di ujung pertahanan, kini tumpah ruah membasahi wajah, mengguyur hatinya. Luka lama yang ia kira sudah lama kering ternyata masih belum terobati. Rasa sakit dan bersalah pada Alula tiba-tiba mengerubungi hati, Abrisam merasa tidak berguna sebagai seorang suami saat hal yang sama terjadi juga pada Reluna.
“Saya juga tahu kalau kamu akan jadi korbannya juga. Maaf... maaf karena saya kamu jadi korban. Maaf karena saya kamu akan selalu dalam bahaya. Maafin saya karena ga bisa jadi suami yang baik, saya ga bisa jagain kamu, saya ga berguna.” Rasa pening yang membebani membuat tangannya bergerak memukuli kepalanya.
Reluna yang melihat itu segera berusaha menahan tangan Abrisam. Membawa punggung bergetar itu ke dalam dekapan, membiarkan Abrisam menumpahkan seluruh tangis pada bahunya yang tegap. Tangan Reluna yang terlilit perban bergerak mengelus kepala Abrisam, mungkin dengan sedikit bumbu kehangatan hati yang tulus, Abrisam bisa sedikit lebih tenang.
“Akang ga salah. Ini bukan salah akang. Aku yang minta maaf karena maksa akang buka luka lama.” Selanjutnya, yang tersisa hanyalah isak tangis Abrisam. Dingin yang menusuk kalbu menjadi saksi bisu akan keterpurukan seorang Abrisam.
Reluna tak menyangka malam ini dia bisa melihat sisi lain dari seorang Abrisam yang terkenal galak.
Sosok paling sabar yang selalu terlihat kuat, kini tumbang dengan tangisan pilu yang melekat.
Sosok paling tegar yang tak pernah gentar, kini dibasahi hujan air mata yang menggelegar.
Tubuh tinggi yang selalu terlihat tegap, kini renta, hingga harus bertopang pada bahu sang wanita.
Senyum yang selalu tercetak diwajahnya tidak berarti apa-apa, hanya sebuah usaha mengubur nestapa.
Tawa yang dia buat hanya kedok untuk menyembunyikan nelangsa.
Hari ini luka yang ia pendam tergores untuk yang kedua kalinya, menciptakan sakit yang tak teredam.
Tolong bisikkan pada angin agar dia menyampaikan pilu berlumur luka milik Abrisam ini pada bulan.
Mungkin setidaknya sakit yang diderita bisa sedikit mereda.
Sungguh, dia tidak ingin terus menerus tenggelam didalam keterpurukan, jatuh didalam kenangan yang kelam.
Sementara itu, biar malam yang membelai air matanya, meninabobokan jiwanya yang sedang tidak baik-baik saja.
©Venelupie