sosok bajingan

Jeo dan Putri melarangnya untuk membantu, berjaga-jaga, takut terjadi sesuatu. dengan segala kebosanan diri, Reluna hanya bisa duduk sendiri. memperhatikan dua atma yang sibuk melempar canda pada konversasi yang mereka lakukan.

sesekali ia mendesis geli, kala tutur kata manis mengalun pada kedua belah bibir Jeo —memuji Putri. adiknya yang satu ini tenggelam di dalam asmaraloka yang ia ciptakan sendiri, tanpa tahu apa yang di rasakan Putri.

“kak Putri tau kepanjangan dari Cikapayang?”

“engga. emang apa?”

“Cikapayang itu... cinta kamu pisan sayang.”

“astaga bisa-bisanya,” balas Putri tertawa kecil. pipi chubby kembar itu memerah, tapi tawanya terdengar semu pada gendang telinga Reluna. ia yakin kalau Putri merasa canggung dengan semua gombalan Jeo.

suntuk yang melanda berangsur berubah jadi kantuk. lantas ia pamit pada Putri dan Jeo —ingin menikmati anila di taman depan parkiran.

“gue pamit cari angin dulu ya. eneg denger gombalan Jeo,” ucapnya dengan menyematkan sedikit candaan diakhir kalimat.

“yeu... dasar!” balas Jeo dengan bibir yang mencebik kedepan.

melangkah pelan Reluna berjalan sembari membuat ritme helaan nafas ringan. bukan tanpa alasan ia menghela nafas terus-menerus. kini berat badannya meningkat hampir dua kali lipat. belum lagi, kedua kakinya yang mulai membengkak, efek kehamilannya.

dengan segala kekuatan yang ada, Reluna berhasil sampai di taman bunga yang mengarah langsung ke tempat parkir. dalam naungan pohon besar Reluna memejamkan mata. menikmati alunan serayu. angin yang menerjang menciptakan decitan ranting yang saling bersahutan.

keadaan di sana cukup sepi, hanya ada beberapa hal yang menemani. parkiran terlihat luas lapang, sebab hanya beberapa kendaraan yang nampak berjejer.

sesuatu yang ditangkap oleh sang netra mengganggu pikirannya, merasa tak asing dengan susunan acak nomer kendaraan.

“lho. itu kan...”

mobil itu. mobil yang menabrak sang omah. bagaimana bisa mobil itu terparkir disini? padahal dengan jelas, joshua berkata kalau mobil itu raip ditelan bumi.

tanpa rasa curiga menuruti rasa penasaran, Reluna beranjak mendekati rakitan besi hitam itu. memperhatikan detail mobil, untuk mengkonfirmasi bahwa ia tidak salah lihat.

“bener nih! ini mobil yang nabrak omah.”

tangan cantik dengan hiasan kuku lentiknya mengambil ponsel yang berada di saku celana, memposisikan kamera, dan memotretnya dengan sangat apik. selesai memotret, Reluna beralih melihat-lihat isi mobil, berharap menemukan sang pemilik.

“cari gue ya...” sebuah suara berat masuk menusuk gendang telinga, tanpa aba-aba. —membuat Reluna terkejut bukan main.

kesan misterius melekat padanya. seorang pria berpakaian aneh dengan topi dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Reluna hanya bisa melihat iris hitam legamnya.

tangan kekar yang dipenuhi urat-urat menonjol itu merogoh saku dalam jas, mengeluarkan sebilah pisau tajam yang siap menghunus segala isi tubuh Reluna. sambil memainkan pisau itu, dia berjalan mendekat.

“gue punya misi hidup. gue mau buat Abrisam hancur sehancur hancurnya. gue mau buat dia hidup didalam kesengsaraan, tersiksa karena rasa bersalah, sendirian terkurung didalam gelap yang pekat tanpa sekat.”

merasa terancam, alarm dalam tubuh Reluna berbunyi. memerintahkan sang kaki untuk memundurkan diri, sembari sang mata memperhatikan gerak tangan si pria misterius. tapi, otak lupa memerintahkan pada kaki untuk melangkah dengan hati-hati. alhasil, Reluna terjatuh duduk didepan pria yang berdiri tinggi didepannya.

“jadi, gue selalu menghancurkan apapun yang menjadi milik dia, siapapun yang menjadi orang yang paling berharga baginya. contohnya, Alula. dan sekarang lo.” dari balik masker yang menutupi, dia ia tampilkan senyum penuh arti.

sedetik. hanya butuh satu detik baginya untuk menghunuskan pisau itu ke arah perut buntal Reluna. beruntung, kedua tangannya dengan sigap menahan pisau tajam itu. tak peduli dengan rasa sakit yang menghujam kedua telapak indahnya. Reluna hanya peduli akan keselamatan sang bayi.

mata pisau itu dengan mudah membelah kulit Reluna. membuat darah bersimbah membasahi pakaian. saat darah semakin bersimbah diatas perutnya dan rasa sakit semakin kejam menyiksa, Reluna dengan sekuat tenaga berusaha berteriak meminta pertolongan.

“tolong!!!”

“disini sepi... gue ga yakin bakal ada yang nolongin lo,” lirih pria itu sambil terus berusaha menusuk semakin dalam.

keadaan yang sepi tak berpenghuni, membuat Reluna berserah diri. bermunajat pada yang maha esa, meminta keselamatan bagi sang jabang bayi. sambil ia berikhtiar untuk menendang pria ini, walau tenaganya sudah terkuras habis.

“siapapun tolong!!!”

“kalo lo ga mau mati, seenggaknya anak ini aja. gue mau Abrisam merasakan kehilangan yang gue rasakan selama ini!”

“Abrisam salah apa!?”

“lo gak tau apa apa! lo gak tau dosa apa yang dia perbuat sama keluarga gue! lo gak tau!” kesedihan yang mendalam terasa pada getaran suara sang pria. pilu menggebu hadir pada rintik air mata yang membendung.

“AKKHHH!! TOLONG!!!”

“WOY ANJING!!” sebuah tangan menarik paksa tubuh besar sang pria, memperdalam sayatan pada kedua telapak Reluna.

syukur ia panjatkan, karena Lucky datang menyelamatkan. sekarang dengan liar kedua pria itu terlibat dalam pergumulan hebat. saling melempar pukulan, tendangan, juga sumpah serapah.

niat hati ingin menghilangkan frustasi lewat asap gulungan nikotin, justru Lucky disuguhkan pemandangan sangat melukai hatinya. wanita yang masih ia cintai terancam nyawanya, berusaha melawan sosok bajingan ini seorang diri.

karena sakit yang mendera juga lelah yang dirasa, Reluna hanya bisa meracau sembari menidurkan pelipisnya pada tubuh mobil, kesadarannya sudah hampir terambil. Abrisam yang tak sengaja keluar untuk membeli kopi terkejut bukan main —melihat kondisi sang istri yang lemah dan bersimbah darah. tanpa pikir panjang ia melempar laptop mahalnya —berlari menghampiri Reluna.

“Relu!! kamu kenapa sayang?” kekalutan yang berkecamuk membuatnya tanpa sadar menyebutkan panggilan sayang.

“aku- sakit kang...” rengek Reluna merasakan sakit pada tangannya, seperti anak kecil.

dengan hati-hati Abrisam mengikat luka sayatan yang dalam itu dengan kemeja yang membalut kaos putihnya, mencoba menghentikan pendarahan yang terjadi. tak peduli dengan kedua orang yang masih terlibat perkelahian liar, Abrisam pergi mengamankan sang istri.

dalam pikirannya Abrisam menanamkan satu nama yang mampu berbuat sekejam ini. orang yang memang memiliki dendam kesumat terhadapnya. orang yang tak peduli dengan nyawa orang lain, asal yang dendamnya bisa terbalaskan.

“Dilan Dewangsa. saya gak akan biarkan kamu memisahkan saya dengan Reluna. sudah cukup saya kehilangan Alula, saya tidak akan kehilangan siapapun lagi kali ini.”