First Day of Work
Renjun belum pernah se-nervous ini sebelumnya.
Lontaran kalimat penenang dari mamanya sejak dia membuka mata jam lima pagi di hari Senin tadi seolah tidak berarti dan tidak berefek apapun padanya. Meskipun boleh dibilang bahwa Renjun sudah jauh lebih tenang dibandingkan dini hari tadi saat dia hampir muntah karena memikirkan hal-hal jelek yang mungkin saja terjadi di hari pertama bekerja.
Mamanya sudah mempersiapkan setelan formal terbaik buat Renjun. Katanya sih hadiah, dan pemacu supaya Renjun bisa menghasilkan uang lebih dari apa yang sudah mamanya keluarkan setelah ini. Padahal kalau dipikir-pikir, tetap nggak masuk akal karena harga sepasang kemeja dan celana kain ini harganya setara dua kali lipat gaji di kantor konsultan tempatnya bekerja sekarang.
Kembali ke realita Senin pagi, di mana Renjun datang ke kantor bersama Mama dan supir pribadinya. Saat langit berpolusi Jakarta menyamarkan warna asli langit dan membuat hari Senin itu terasa cukup gloomy, menurunkan semangat.
Jam masuk kantor dijadwalkan pukul delapan lewat tiga puluh menit, dan mereka cukup well-prepared dengan berangkat satu jam sebelum 8.30.
“Perlu mama anterin naik?”
Jujur pertanyaannya kedengar konyol untuk Renjun. Dia sebenarnya malu diantar kerja begini, seperti nggak seharusnya. Tapi di sisi lain juga dia nggak cukup berani untuk naik kendaraan umum sejauh itu dari rumah.
“Nggak usah, Mama. I'm okay, kemarin kan udah pernah ke sana juga.” kata Renjun berusaha menolak halus tawaran sang mama.
Setelah mencium kedua pipi mama, berpamitan ke supir sepuluh tahunnya, dan menggendong tas punggung serta sekotak bekal serba kuning, Renjun melangkah masuk ke gedung tinggi yang akan menjadi tempat belajarnya selama enam bulan ke depan.
Ada banyak hal yang cukup asing dan mengejutkan untuk Renjun, salah satunya ya orang-orang yang terkesan buru-buru padahal sekarang baru jam delapan lewat sepuluh. Yang akhirnya ikut membuat Renjun buru-buru menukar kartu identitasnya dengan kartu akses gedung, sebelum naik ke lantai 32 tempatnya bekerja.
“Hai, Renjun!” seorang perempuan yang seminggu lalu menyambutnya datang ke sini, datang menyambut lagi hari ini.
Perempuan yang sedikit lebih pendek dari Renjun itupun membawa Renjun masuk ke lobby dengan logo yang sama dengan kop surat kontrak yang akan ia tandatangani hari ini.
“Kamu boleh baca dulu ya, Renjun. Please let me know kalau kamu ada yang belum ngerti dari pasal-pasal kontrak internnya. Okay?” suara ceria Yeri—iya namanya Yeri, tadi Renjun kenalan—ditanggapi dengan anggukan antusias Renjun yang duduk santai di sofa lobby.
Renjun meneruskan membaca surat kontrak di tangan, sementara Yeri sibuk menghubungi seseorang di handphonenya. Hingga Yeri kembali angkat bicara, “kayaknya bos kamu sedikit telat ya Renjun, jadi kamu santai aja dulu. Nanti kita tandatangan kalau udah ada dia ya?”
Renjun lagi-lagi mengangguk tanpa bertanya semakin jauh soal alasan si bos datang telat.
Bermenit-menit Renjun menunggu dan menanggapi pertanyaan Yeri seadanya, tiba-tiba seorang laki-laki tinggi, berjas hitam, dasi abu-abu di atas kemeja putih, rambut berbelah tengah dengan poni jatuh menutupi sebagian alis wajah, datang di depan Yeri dan Renjun yang sedang memfokuskan pandangan ke kertas kontrak.
“Hai Pak Jen, udah dateng juga akhirnya.” Yeri buru-buru berdiri, diikuti Renjun yang juga otomatis langsung membungkukkan badan—entah kenapa, cuma refleks seperti yang diajarkan mama selama ini.
“Hai, guys, sorry hari ini traffic kacau banget.”
Sosok Pak Jen itu bicara dengan nada yang terdengar cukup kesal di telinga Renjun, yang sebenarnya wajar-wajar aja.
“I guess we're ready ya, Yer? Buat sign kontraknya. I hope bisa selesai sebelum jam 10, karena gue mau ada meeting sama Bu Jessica.” Laki-laki itu mengambil satu copy lain dari surat kontrak di meja dan membaca sekilas, membalik-balik kertas, membaca, lalu membalik lagi, oh God, keliatan way too attractive buat Renjun yang malah bengong liatin 'Pak Jen' dibanding membaca surat kontraknya.
“Oke, poin-poinnya udah tercover semua. Kamu Renjun kan? Gimana? Udah dibaca? Ada poin yang memberatkan buat kamu?”
Renjun dibuat kaget karena tiba-tiba Jeno nanya sesuatu ke dia while he's zoning out.
“No, not at all, I'm cool.” Akhirnya dia cuma bisa jawab begitu.
“Alright, kalau gitu, tanda tangan ya Yer?” dia nanya lagi ke Yeri sambil keluarin bolpoin dari saku jasnya.
“Eh, Pak Jen, Renjun dulu yang tanda tangan.” Yeri mencegah Jeno yang sudah ambil posisi akan tanda tangan di kolom atas namanya. Oh wait, Renjun bahkan baru sadar kalau ada nama 'Lee Jeno' di kolom sebelah namanya.
“Oke.”
Renjun buru-buru membuka tasnya karena sadar mungkin Jeno sudah sangat buru-buru dan menunggu.
Tapi nihil, dia nggak menemukan sama sekali bolpoin ada di sana. Padahal seingatnya tadi, dia sudah memasukkan satu buah ke kantong di sisi tas ranselnya.
“Here, pake ini aja.” Pak Jeno kelewat peka, dia sodorin bolpoin mahal berat berwarna merah marun milik dia untuk dipakai Renjun.
“Thanks, Pak.” Renjun bergumam lirih sebelum mulai membubuhkan tanda tangannya dua kali di lembar kontrak yang berbeda, diikuti Jeno setelahnya.
“Okey, ini surat kontraknya gue simpen dulu, gue mintain tanda tangan ke Bu Irene, paling lambat besok sore aku kirim ke Renjun satu copy, dan satu copy lagi kita simpen sebagai arsip. Oke, Renjun?” Yeri tersenyum manis ke Renjun seusai ngomong panjang lebar.
“Okay, thank you.”
“Iya, sama-sama ya, Renjun. Have a great ... first day of work hehehe, nanti kamu akan proses on-boarding langsung bareng Pak Jeno.”
Renjun cuma senyum dan ketawa kecil sebelum berterima kasih dan salaman sama Yeri, sebelum akhirnya Yeri pamitan dari hadapan mereka.
“Okay, c'mere. I'll give you a short tour to our team.” Kata-kata Jeno otomatis jadi perintah buat Renjun ngikutin laki-laki itu jalan ke workspace mereka–yang dia asumsikan sebagai timnya itu—sembari sedikit memberi penjelasan soal ruangan-ruangan di sebelah koridor yang mereka lewati.
Mereka akhirnya sampai di sebuah open workspace dengan jumlah orang sekitar belasan yang duduk acak dengan laptop dan PC di depan mereka masing-masing.
Lantai berlapis karpet mungkin tidak bisa serta merta menyadarkan mereka yang lagi serius kerja di depan laptop, sampai akhirnya Jeno harus clap his hands untuk mengambil atensi semua orang.
“Teams, attention please?” Dan semua orang immediately turned their devices down dan menghadap ke Jeno—dengan Renjun di belakangnya berdiri nervous menggenggam tali tas bekal kuningnya.
“Hari ini saya mau introduce anak intern baru ke kalian. Namanya Renjun, dia dari ... apa nama college kamu?”
“Rowan College,” bisik Renjun lirih.
“Ya, Rowan College, somewhere in NJ. Nah, di tim kita, dia akan bantuin Julian untuk handle special project. Dan dia akan ada di sini sampe enam bulan ke depan.”
Renjun bisa dengar small claps and the 'woah' dari calon teman-teman timnya setelah Jeno menyelesaikan perkenalannya.
“So Renjun, they're your teammates. This is Jennifer, dia di sini responsible untuk lead compliance team yang ada kaitannya sama economic and national regulations, as you know kita di sini handle client dari berbagai ventures yang tetap harus perhatian sama regulasi dari pemerintah. Di tim Jennifer, ada temen-temen yang lain yang duduk di sebelah sana—” Pak Jeno nunjuk sekelompok anak-anak perempuan yang duduk di depan Bu Jennifer yang melambaikan tangan ke Renjun, “nanti kamu kenalan sendiri ya.”
“Okay, next, this is Cynthia. She's the OG of IT di sini. Dia jagonya IT governance, ITSM, lean process, six sigma, whatever lah soal IT and business process compliance, dia jagonya. You can learn a lot from her kalau memang berubah pikiran mau switch ke ICT business. Dia baru—berapa tahun Tia kamu di sini?”
“3 years, Pak.”
“3 tahun tapi she can excel on everything, termasuk handle client asing yang banyak mau ya, Tia?”
Tia keliatan ketawa ngakak atas sedikitt jokes Jeno pagi ini, Renjun ketawa juga pake business laugh dia yang kayaknya perlu diasah lagi sebelum nyapa satu-satu timnya Cynthia yang terdiri dari empat orang—lima termasuk Cynthia.
“Oke lanjut ya, so Jaemin supposed to sit here. Dia assistant manager—oh do you remember him? His face? The guy yang interview kamu last Wednesday?” Jeno mengambil sebuah frame foto dengan wajah lawak Jaemin bersama tiga bulu-bulu kehidupannya di dekat komputer.
Renjun otomatis langsung merecall wajah seseorang yang kemarin ia temui di hari Rabu. Dan Renjun baru ingat juga kalau namanya Jaemin.
“Yes, I do ... remember him,” iya, bohong dikit nggak ngaruh.
“Iya, that's Jaemin, he sat here regularly. Cuma hari ini lagi ada urusan. Mereka bertiga ini timnya Jaemin, termasuk Andy Park, dia anak intern juga. I guess, you can ask him anything haha.”
Perkenalan dengan anak intern yang sepertinya akan jadi teman Renjun sudah berakhir, “and now, calon mentor kamu. Here he is, Julian. Masternya finance and accounting di sini. You surely can rely on him kalau mau belajar soal accounting dan finance, buat mendukung portfolio dan reference ke Princeton.”
Wait, oh iya, Renjun baru inget kalau saking nervousnya kemarin dia sampe bawa-bawa soal Princeton ke wawancara. Jelas aja tiba-tiba dia di-assign ke tim ini padahal dia nggak suka berhitung.
“Julian belum punya anggota tetap, jadinya kalian berdua yang akan tandem ngadepin client. Don't worry, akan ada bala bantuan dari tempat lain but most of the time, kita posisinya akan jadi orang yang mengarahkan setiap project mau dibawa ke mana, while eksekutornya dari tempat lain.”
Renjun dan that-Julian-guy akhirnya salaman, dan Renjun bisa merasakan intimidasi Julian di sana. Iya, he can see how it will end as it begins.
“Laptopnya udah, Jul?”
“Belum, Mas. Dari IT sih infonya emang di pool lagi kosong karena kemaren ada gerombolan yang intern di tim analyst.”
Jeno ngangguk-angguk sembari mikir.
“Renjun duduk di sebelah Julian sini ya, supaya gampang ngobrolnya. Hari ini ... hm ... kamu pake laptop saya dulu aja.”
What??!
Bukan cuma Renjun, Julian juga kaget atas omongan Jeno yang nawarin laptopnya buat dipakai anak intern.
“Kira-kira sampe kapan sih Jul laptop baru available?”
Julian menggigit bibir sebelum jawab, “gue belum bisa mastiin sih, Mas. Cuma info dari IT, nanti laptopnya udah ready, bakal diinfo ke gue lagi. Lo mau liat emailnya Pak Mikha ke gue kemaren?”
“Coba-coba liat,” Jeno mencondongkan dirinya ke arah komputer desktop Julian, Renjun yang merasa dipersilakan duduk akhirnya mengambil posisi di kubikel sebelah Julian.
“Hmm, nggak ada pilihan kalo gitu, bentar gue ambilin dulu laptopnya Renjun.”
Jeno buru-buru pergi dari mereka, and as he enters his room, Julian tiba-tiba bilang, “lo ke sana, kan yang butuh pake laptopnya elo, ambil dong.”
Yang otomatis bikin Renjun kaget dan langsung berdiri dan jalan buru-buru ke ruangan Jeno yang nggak ditutup.
Sumpah, Julian ini nggak ada lembut-lembutnya sama anak baru.
“Eh? Renjun?”
“Eh ... s-saya aja yang membawa laptopnya, Pak.”
“Ah, okay okay, duduk dulu ya. Saya lagi cek ada yang bahaya nggak nih di sini.”
Renjun cuma ngangguk kecil dan ambil duduk di sofa warna abu muda yang melingkar di dekat meja kerja Jeno. Mungkin sebagai tempat terima tamu.
Mereka hening selama bermenit-menit, cuma kedenger suara mesin laptop dan sesekali keyboard ditekan cepet sama Jeno.
“Sini, kamu login di akun intern kamu deh coba, ini saya barusan dapet email. Hold on, saya ambil iPad dulu.”
Renjun buru-buru mendekat ke meja Jeno, memperhatikan laptop milik Jeno yang lagi berada di sign in screen sembari memperhatikan Jeno membongkar tas dan mengeluarkan iPad miliknya.
Renjun dibuat kaget bukan main saat Jeno tiba-tiba menaruh iPad di meja di sisi laptop, menggeser layar dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya ada, bersandar, di sandaran kursi yang diduduki Renjun.
Intinya, posisi mereka sangat dekat sampe-sampe Renjun bisa mencium bau parfum Jeno yang cukup familiar buat dia itu.
“Oke, ini coba kamu masukin email kamu sesuai ini, dan passwordnya, very random, just ... type it.” Jeno mengakhiri perintahnya dengan tawa kecil yang makin bikin jantung Renjun keteteran memompa darah.
Saat screen lagi loading, bahkan Jeno nggak beranjak dari posisinya, bikin Renjun bisa melihat tangan kanannya yang ada di atas keyboard—cuma berjarak sekian senti dari tangan Jeno yang diistirahatkan di meja—lagi bergetar dan tremor kecil.
“Oh lama banget ya—” belum sempat Jeno mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba screen udah berubah dan menandakan bahwa login berhasil.
“Ahh, it's always like that, setup processnya selalu takes time.” Jeno ketawa renyah atas suatu hal yang nggak terdengar lucu untuk Renjun.
Ya untuk menunjukkan rasa sopan, akhirnya mau nggak mau Renjun ikutan ketawa meskipun deep down dia masih deg-degan karena Jeno belum beranjak juga dari posisinya.
Tapi tiba-tiba, Renjun bisa mendengar ketukan pintu dan kemunculan seseorang yang membuat Jeno langsung mengubah posisi untuk berdiri tegak.
“Hyuck?”
“We need to talk. Now.” Kata laki-laki itu, bernada perintah.
Renjun masih mencerna apa yang barusan terjadi, lebih-lebih saat Jeno melirik jam tangannya tapi tiba-tiba laki-laki berambut coklat yang masuk tadi seakan tidak memberi ampun dan malah berkata, “I don't have time either, let's make it easy. Jangan seolah lagi sibuk, cause ... I've been standing there for minutes long and saw both of you were having fun,“
Jeno hendak membantah, tapi belum selesai dia menyusun alasan, laki-laki itu berkata lagi, “ada alasan yang make sense? Nggak kan? Jadi jangan sok sibuk and let's settle this down.“
Dia tiba-tiba keluar dari ruangan dan diikuti Jeno di belakang tanpa ngomong apapun ke Renjun yang masih sangat-sangat kaget dan clueless.
Dia hanya bisa zoning out liatin laptopnya karena merasa terlalu overwhelmed atas hal yang baru aja kejadian ke dia.
“Renjun? Mau dibantu set-up laptopnya? Sini...” itu Jennifer, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan ajakan dan senyum lembutnya setelah kepergian Pak Jeno.