halfhumanhalfchocolate

First Day of Work

Renjun belum pernah se-nervous ini sebelumnya.

Lontaran kalimat penenang dari mamanya sejak dia membuka mata jam lima pagi di hari Senin tadi seolah tidak berarti dan tidak berefek apapun padanya. Meskipun boleh dibilang bahwa Renjun sudah jauh lebih tenang dibandingkan dini hari tadi saat dia hampir muntah karena memikirkan hal-hal jelek yang mungkin saja terjadi di hari pertama bekerja.

Mamanya sudah mempersiapkan setelan formal terbaik buat Renjun. Katanya sih hadiah, dan pemacu supaya Renjun bisa menghasilkan uang lebih dari apa yang sudah mamanya keluarkan setelah ini. Padahal kalau dipikir-pikir, tetap nggak masuk akal karena harga sepasang kemeja dan celana kain ini harganya setara dua kali lipat gaji di kantor konsultan tempatnya bekerja sekarang.

Kembali ke realita Senin pagi, di mana Renjun datang ke kantor bersama Mama dan supir pribadinya. Saat langit berpolusi Jakarta menyamarkan warna asli langit dan membuat hari Senin itu terasa cukup gloomy, menurunkan semangat.

Jam masuk kantor dijadwalkan pukul delapan lewat tiga puluh menit, dan mereka cukup well-prepared dengan berangkat satu jam sebelum 8.30.

“Perlu mama anterin naik?”

Jujur pertanyaannya kedengar konyol untuk Renjun. Dia sebenarnya malu diantar kerja begini, seperti nggak seharusnya. Tapi di sisi lain juga dia nggak cukup berani untuk naik kendaraan umum sejauh itu dari rumah.

“Nggak usah, Mama. I'm okay, kemarin kan udah pernah ke sana juga.” kata Renjun berusaha menolak halus tawaran sang mama.

Setelah mencium kedua pipi mama, berpamitan ke supir sepuluh tahunnya, dan menggendong tas punggung serta sekotak bekal serba kuning, Renjun melangkah masuk ke gedung tinggi yang akan menjadi tempat belajarnya selama enam bulan ke depan.

Ada banyak hal yang cukup asing dan mengejutkan untuk Renjun, salah satunya ya orang-orang yang terkesan buru-buru padahal sekarang baru jam delapan lewat sepuluh. Yang akhirnya ikut membuat Renjun buru-buru menukar kartu identitasnya dengan kartu akses gedung, sebelum naik ke lantai 32 tempatnya bekerja.

“Hai, Renjun!” seorang perempuan yang seminggu lalu menyambutnya datang ke sini, datang menyambut lagi hari ini.

Perempuan yang sedikit lebih pendek dari Renjun itupun membawa Renjun masuk ke lobby dengan logo yang sama dengan kop surat kontrak yang akan ia tandatangani hari ini.

“Kamu boleh baca dulu ya, Renjun. Please let me know kalau kamu ada yang belum ngerti dari pasal-pasal kontrak internnya. Okay?” suara ceria Yeri—iya namanya Yeri, tadi Renjun kenalan—ditanggapi dengan anggukan antusias Renjun yang duduk santai di sofa lobby.

Renjun meneruskan membaca surat kontrak di tangan, sementara Yeri sibuk menghubungi seseorang di handphonenya. Hingga Yeri kembali angkat bicara, “kayaknya bos kamu sedikit telat ya Renjun, jadi kamu santai aja dulu. Nanti kita tandatangan kalau udah ada dia ya?”

Renjun lagi-lagi mengangguk tanpa bertanya semakin jauh soal alasan si bos datang telat.

Bermenit-menit Renjun menunggu dan menanggapi pertanyaan Yeri seadanya, tiba-tiba seorang laki-laki tinggi, berjas hitam, dasi abu-abu di atas kemeja putih, rambut berbelah tengah dengan poni jatuh menutupi sebagian alis wajah, datang di depan Yeri dan Renjun yang sedang memfokuskan pandangan ke kertas kontrak.

“Hai Pak Jen, udah dateng juga akhirnya.” Yeri buru-buru berdiri, diikuti Renjun yang juga otomatis langsung membungkukkan badan—entah kenapa, cuma refleks seperti yang diajarkan mama selama ini.

“Hai, guys, sorry hari ini traffic kacau banget.”

Sosok Pak Jen itu bicara dengan nada yang terdengar cukup kesal di telinga Renjun, yang sebenarnya wajar-wajar aja.

I guess we're ready ya, Yer? Buat sign kontraknya. I hope bisa selesai sebelum jam 10, karena gue mau ada meeting sama Bu Jessica.” Laki-laki itu mengambil satu copy lain dari surat kontrak di meja dan membaca sekilas, membalik-balik kertas, membaca, lalu membalik lagi, oh God, keliatan way too attractive buat Renjun yang malah bengong liatin 'Pak Jen' dibanding membaca surat kontraknya.

“Oke, poin-poinnya udah tercover semua. Kamu Renjun kan? Gimana? Udah dibaca? Ada poin yang memberatkan buat kamu?”

Renjun dibuat kaget karena tiba-tiba Jeno nanya sesuatu ke dia while he's zoning out.

No, not at all, I'm cool.” Akhirnya dia cuma bisa jawab begitu.

Alright, kalau gitu, tanda tangan ya Yer?” dia nanya lagi ke Yeri sambil keluarin bolpoin dari saku jasnya.

“Eh, Pak Jen, Renjun dulu yang tanda tangan.” Yeri mencegah Jeno yang sudah ambil posisi akan tanda tangan di kolom atas namanya. Oh wait, Renjun bahkan baru sadar kalau ada nama 'Lee Jeno' di kolom sebelah namanya.

“Oke.”

Renjun buru-buru membuka tasnya karena sadar mungkin Jeno sudah sangat buru-buru dan menunggu.

Tapi nihil, dia nggak menemukan sama sekali bolpoin ada di sana. Padahal seingatnya tadi, dia sudah memasukkan satu buah ke kantong di sisi tas ranselnya.

Here, pake ini aja.” Pak Jeno kelewat peka, dia sodorin bolpoin mahal berat berwarna merah marun milik dia untuk dipakai Renjun.

“Thanks, Pak.” Renjun bergumam lirih sebelum mulai membubuhkan tanda tangannya dua kali di lembar kontrak yang berbeda, diikuti Jeno setelahnya.

“Okey, ini surat kontraknya gue simpen dulu, gue mintain tanda tangan ke Bu Irene, paling lambat besok sore aku kirim ke Renjun satu copy, dan satu copy lagi kita simpen sebagai arsip. Oke, Renjun?” Yeri tersenyum manis ke Renjun seusai ngomong panjang lebar.

“Okay, thank you.”

“Iya, sama-sama ya, Renjun. Have a great ... first day of work hehehe, nanti kamu akan proses on-boarding langsung bareng Pak Jeno.”

Renjun cuma senyum dan ketawa kecil sebelum berterima kasih dan salaman sama Yeri, sebelum akhirnya Yeri pamitan dari hadapan mereka.

Okay, c'mere. I'll give you a short tour to our team.” Kata-kata Jeno otomatis jadi perintah buat Renjun ngikutin laki-laki itu jalan ke workspace mereka–yang dia asumsikan sebagai timnya itu—sembari sedikit memberi penjelasan soal ruangan-ruangan di sebelah koridor yang mereka lewati.

Mereka akhirnya sampai di sebuah open workspace dengan jumlah orang sekitar belasan yang duduk acak dengan laptop dan PC di depan mereka masing-masing.

Lantai berlapis karpet mungkin tidak bisa serta merta menyadarkan mereka yang lagi serius kerja di depan laptop, sampai akhirnya Jeno harus clap his hands untuk mengambil atensi semua orang.

Teams, attention please?” Dan semua orang immediately turned their devices down dan menghadap ke Jeno—dengan Renjun di belakangnya berdiri nervous menggenggam tali tas bekal kuningnya.

“Hari ini saya mau introduce anak intern baru ke kalian. Namanya Renjun, dia dari ... apa nama college kamu?”

“Rowan College,” bisik Renjun lirih.

“Ya, Rowan College, somewhere in NJ. Nah, di tim kita, dia akan bantuin Julian untuk handle special project. Dan dia akan ada di sini sampe enam bulan ke depan.”

Renjun bisa dengar small claps and the 'woah' dari calon teman-teman timnya setelah Jeno menyelesaikan perkenalannya.

So Renjun, they're your teammates. This is Jennifer, dia di sini responsible untuk lead compliance team yang ada kaitannya sama economic and national regulations, as you know kita di sini handle client dari berbagai ventures yang tetap harus perhatian sama regulasi dari pemerintah. Di tim Jennifer, ada temen-temen yang lain yang duduk di sebelah sana—” Pak Jeno nunjuk sekelompok anak-anak perempuan yang duduk di depan Bu Jennifer yang melambaikan tangan ke Renjun, “nanti kamu kenalan sendiri ya.”

Okay, next, this is Cynthia. She's the OG of IT di sini. Dia jagonya IT governance, ITSM, lean process, six sigma, whatever lah soal IT and business process compliance, dia jagonya. You can learn a lot from her kalau memang berubah pikiran mau switch ke ICT business. Dia baru—berapa tahun Tia kamu di sini?”

3 years, Pak.”

“3 tahun tapi she can excel on everything, termasuk handle client asing yang banyak mau ya, Tia?”

Tia keliatan ketawa ngakak atas sedikitt jokes Jeno pagi ini, Renjun ketawa juga pake business laugh dia yang kayaknya perlu diasah lagi sebelum nyapa satu-satu timnya Cynthia yang terdiri dari empat orang—lima termasuk Cynthia.

“Oke lanjut ya, so Jaemin supposed to sit here. Dia assistant manager—oh do you remember him? His face? The guy yang interview kamu last Wednesday?” Jeno mengambil sebuah frame foto dengan wajah lawak Jaemin bersama tiga bulu-bulu kehidupannya di dekat komputer.

Renjun otomatis langsung merecall wajah seseorang yang kemarin ia temui di hari Rabu. Dan Renjun baru ingat juga kalau namanya Jaemin.

Yes, I do ... remember him,” iya, bohong dikit nggak ngaruh.

“Iya, that's Jaemin, he sat here regularly. Cuma hari ini lagi ada urusan. Mereka bertiga ini timnya Jaemin, termasuk Andy Park, dia anak intern juga. I guess, you can ask him anything haha.”

Perkenalan dengan anak intern yang sepertinya akan jadi teman Renjun sudah berakhir, “and now, calon mentor kamu. Here he is, Julian. Masternya finance and accounting di sini. You surely can rely on him kalau mau belajar soal accounting dan finance, buat mendukung portfolio dan reference ke Princeton.”

Wait, oh iya, Renjun baru inget kalau saking nervousnya kemarin dia sampe bawa-bawa soal Princeton ke wawancara. Jelas aja tiba-tiba dia di-assign ke tim ini padahal dia nggak suka berhitung.

“Julian belum punya anggota tetap, jadinya kalian berdua yang akan tandem ngadepin client. Don't worry, akan ada bala bantuan dari tempat lain but most of the time, kita posisinya akan jadi orang yang mengarahkan setiap project mau dibawa ke mana, while eksekutornya dari tempat lain.”

Renjun dan that-Julian-guy akhirnya salaman, dan Renjun bisa merasakan intimidasi Julian di sana. Iya, he can see how it will end as it begins.

“Laptopnya udah, Jul?”

“Belum, Mas. Dari IT sih infonya emang di pool lagi kosong karena kemaren ada gerombolan yang intern di tim analyst.”

Jeno ngangguk-angguk sembari mikir.

“Renjun duduk di sebelah Julian sini ya, supaya gampang ngobrolnya. Hari ini ... hm ... kamu pake laptop saya dulu aja.”

What??!

Bukan cuma Renjun, Julian juga kaget atas omongan Jeno yang nawarin laptopnya buat dipakai anak intern.

“Kira-kira sampe kapan sih Jul laptop baru available?”

Julian menggigit bibir sebelum jawab, “gue belum bisa mastiin sih, Mas. Cuma info dari IT, nanti laptopnya udah ready, bakal diinfo ke gue lagi. Lo mau liat emailnya Pak Mikha ke gue kemaren?”

“Coba-coba liat,” Jeno mencondongkan dirinya ke arah komputer desktop Julian, Renjun yang merasa dipersilakan duduk akhirnya mengambil posisi di kubikel sebelah Julian.

“Hmm, nggak ada pilihan kalo gitu, bentar gue ambilin dulu laptopnya Renjun.”

Jeno buru-buru pergi dari mereka, and as he enters his room, Julian tiba-tiba bilang, “lo ke sana, kan yang butuh pake laptopnya elo, ambil dong.”

Yang otomatis bikin Renjun kaget dan langsung berdiri dan jalan buru-buru ke ruangan Jeno yang nggak ditutup.

Sumpah, Julian ini nggak ada lembut-lembutnya sama anak baru.

“Eh? Renjun?”

“Eh ... s-saya aja yang membawa laptopnya, Pak.”

“Ah, okay okay, duduk dulu ya. Saya lagi cek ada yang bahaya nggak nih di sini.”

Renjun cuma ngangguk kecil dan ambil duduk di sofa warna abu muda yang melingkar di dekat meja kerja Jeno. Mungkin sebagai tempat terima tamu.

Mereka hening selama bermenit-menit, cuma kedenger suara mesin laptop dan sesekali keyboard ditekan cepet sama Jeno.

“Sini, kamu login di akun intern kamu deh coba, ini saya barusan dapet email. Hold on, saya ambil iPad dulu.”

Renjun buru-buru mendekat ke meja Jeno, memperhatikan laptop milik Jeno yang lagi berada di sign in screen sembari memperhatikan Jeno membongkar tas dan mengeluarkan iPad miliknya.

Renjun dibuat kaget bukan main saat Jeno tiba-tiba menaruh iPad di meja di sisi laptop, menggeser layar dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya ada, bersandar, di sandaran kursi yang diduduki Renjun.

Intinya, posisi mereka sangat dekat sampe-sampe Renjun bisa mencium bau parfum Jeno yang cukup familiar buat dia itu.

“Oke, ini coba kamu masukin email kamu sesuai ini, dan passwordnya, very random, just ... type it.” Jeno mengakhiri perintahnya dengan tawa kecil yang makin bikin jantung Renjun keteteran memompa darah.

Saat screen lagi loading, bahkan Jeno nggak beranjak dari posisinya, bikin Renjun bisa melihat tangan kanannya yang ada di atas keyboard—cuma berjarak sekian senti dari tangan Jeno yang diistirahatkan di meja—lagi bergetar dan tremor kecil.

“Oh lama banget ya—” belum sempat Jeno mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba screen udah berubah dan menandakan bahwa login berhasil.

“Ahh, it's always like that, setup processnya selalu takes time.” Jeno ketawa renyah atas suatu hal yang nggak terdengar lucu untuk Renjun.

Ya untuk menunjukkan rasa sopan, akhirnya mau nggak mau Renjun ikutan ketawa meskipun deep down dia masih deg-degan karena Jeno belum beranjak juga dari posisinya.

Tapi tiba-tiba, Renjun bisa mendengar ketukan pintu dan kemunculan seseorang yang membuat Jeno langsung mengubah posisi untuk berdiri tegak.

“Hyuck?”

We need to talk. Now.” Kata laki-laki itu, bernada perintah.

Renjun masih mencerna apa yang barusan terjadi, lebih-lebih saat Jeno melirik jam tangannya tapi tiba-tiba laki-laki berambut coklat yang masuk tadi seakan tidak memberi ampun dan malah berkata, “I don't have time either, let's make it easy. Jangan seolah lagi sibuk, cause ... I've been standing there for minutes long and saw both of you were having fun,

Jeno hendak membantah, tapi belum selesai dia menyusun alasan, laki-laki itu berkata lagi, “ada alasan yang make sense? Nggak kan? Jadi jangan sok sibuk and let's settle this down.

Dia tiba-tiba keluar dari ruangan dan diikuti Jeno di belakang tanpa ngomong apapun ke Renjun yang masih sangat-sangat kaget dan clueless.

Dia hanya bisa zoning out liatin laptopnya karena merasa terlalu overwhelmed atas hal yang baru aja kejadian ke dia.

“Renjun? Mau dibantu set-up laptopnya? Sini...” itu Jennifer, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan ajakan dan senyum lembutnya setelah kepergian Pak Jeno.

Jeno dan Masalah Kecil

Coffee break di ujung sore selalu jadi alasan Jaemin juga Jeno kabur dari segala jeratan masalah yang makin dikerjain makin beranak pinak itu.

Menjelang pukul lima, biasanya mereka malah turun ke lantai dasar untuk keluar area kantor dan jalan sedikit ke gedung sebelah dan menikmati segelas kopi mid-tier ditemani suara klakson jalan raya di seberang mereka.

“Dia tuh cerita, katanya background dia emang bukan math atau statistic atau apalah, tapi dia pengen ngambil major itu pas nanti di Amrik. Ya gua nggak bisa bereaksi apa-apa dong, meskipun otak gua ngelag dikit nggak habis pikir sama dia.”

Jaemin menyeruput kopi dinginnya setelah menjawab pertanyaan Jeno soal impresi awal rekan timnya itu pada kandidat intern pertama mereka.

“Berat sih. Even kerjaan kita nggak ngitung, kalo ntar dia jadi sama Julian, kan tetep aja bakal ada chance dia ketemu sama client dari venture yang emang finance basicnya.” Jeno menimpali keluh kesah Jaemin.

Sejenak dia berpikir, apa untungnya ya hire anak ini kalau pada akhirnya akan nambah kerjaan orang-orang di tim buat ngajarin satu per satu?

Tapi langsung dia hempas begitu saja waktu ingat dulu dia juga berawal dari anak intern polos yang nggak tau apa-apa. Intinya, menurut dia, justru kesempatan belajar terbanyak ya ada pas intern gini.

“Cuma gua mikir sih, Jen. Kayaknya anak ini cocok kalo sama Julian. Julian kan backgroundnya emang accounting. Ya siapa tau dengan bergaul sama Julian 6 bulan, bisa tumbuh tuh bibit-bibit dan modal dia buat survive sekolah finance.”

Jeno dalam hati membenarkan ucapan Jaemin. Ada benarnya juga memasangkan anak baru ini sama Julian. Knowledge-wise, bisa dibilang Julian ini paling mateng di antara mereka, meskipun umurnya di bawah mereka.

“Kalo personality?”

“Ya kayak gitu tadi, masih jauh lah dari standar. Jawab pertanyaan gua aja suaranya lirih banget, kayak nggak percaya diri gitu. Attitude dan manner juga dia kayaknya belum ngerti-ngerti amat bocahnya. Itu elo yang harus moles.”

PR lagi kan buat Jeno, dia harus reshape anak ini buat jadi bagus di kemudian hari. Bukan cuma soal ilmu, tapi juga tingkah laku.

“Terus menurut lo gue harus report apa Jaem ke Bu Jess?”

Jaemin terlihat menggaruk pelipisnya dengan telunjuk. Anak rambutnya ikutan bergoyang-goyang terkena tiupan angin sore.

“Apa ya? Gua jujur nggak sreg sih, cuma kata lo tadi, apapun itu kita nggak bisa nolak permintaan Bu Jess kan? Kalo udah special request gitu berarti mau nggak mau, bagus nggak bagus, ya kita tetep harus nerima kan?”

Jeno hanya berkali-kali menganggukkan kepalanya. Kemudian meneguk kopi panasnya yang sudah mendingin, diikuti Jaemin kemudian.

“Ada CV dia nggak di HP lo?” Keheningan di antara dua lelaki dewasa itu pecah setelah bermenit-menit mereka cuma tenggelam, menyelami pikiran masing-masing yang isinya nggak jauh-jauh dari tumpukan berkas fisik atau non-fisik yang sejenak mereka lupakan di lantai atas sana.

“Ada nih, lo mau liat?”

Jeno mengiyakan pertanyaan Jaemin dengan mendekati laki-laki yang lebih muda 4 bulan di bawahnya itu. Ikut mengamati bagaimana Jaemin membuka kotak masuk emailnya dan mencari sebuah file resume seseorang.

“There you go.”

Tidak ada yang spesial, seperti kata Jaemin.

Nama yang cukup unik, baru pertama Jeno dengar. Namanya Renjun.

Lucu. Saking polosnya dia menulis alamat lengkap dan tanggal lahir di bawah nama.

Sekolah? Dari sekolah mahal, of course hipotesis bahwa dia datang dari keluarga kelewat kaya ternyata benar.

Current education? Oke. Ada di community college di east coast. Jelas anak orang kaya, tapi Jeno tidak bisa memastikan reputasi sekolahnya karena baru pertama dengar namanya.

Skill? So-so. Layaknya anak SMA baru lulus, cuma bisa dasar, mungkin butuh banyak belajar.

Well, apa ya nilai plusnya? Nothing.

Udahlah, langit udah mulai gelap, tandanya mereka harus naik lagi dan mengejar pekerjaan yang bisa dituntaskan hari ini.

Toh besok juga masih ada waktu buat diskusi lagi.

Jeno dan Jaemin masuk kembali ke gedung kantor mereka, melewati beberapa orang berseragam formal seperti mereka sudah bersiap pulang. Jadi rutinitas untuk mereka ketawa-ketawa, meratapi nasib kenapa saat semua orang pulang, justru mereka baru akan kembali bekerja.

Saat hendak membuka gate otomatis untuk ke koridor lift, Jeno terkejut saat mendapati kartu akses sekaligus tangan kanannya penuh glitter warna keemasan.

Oh, iya, dia baru ingat kejadian sore tadi.

Huh ... lucu juga. Anak tadi sore benar-benar seharusnya tidak berkeliaran di kantor yang jadi playground orang dewasa begini. Masa tap kartu aja dia bingung? Untung kartu akses Jeno udah naik level jadi kartu serba bisa, jadi bantuin anak kecil tadi buka pintu seakan jadi obat buat kekesalan yang bercokol di diri Jeno sejak siang.

Glitternya ini ... pasti datang dari tangan kecil dan halus punya anak itu.

Entah kenapa Jeno jadi senyum-senyum sendiri ketika ingat tas besar di gendongan anak itu yang penuh pin dan gantungan, mirip punya Russell si anak pramuka teladan, belum lagi topi berbulu yang sangat nggak cocok dipakai di sore sepanas itu.

Lucu. Keanehan ini menurut Jeno lucu. Baru ketemu sekali masa udah bikin senyum-senyum selebar ini?

Lima: Epilog

Butuh waktu dua jam untuk Renjun akhirnya sampe di gedung apartemen yang lumayan fancy di sisi barat ibukota ini. Bener kata Jeno, kalo dia yang jemput Renjun ke apartemennya dan baru jalan berdua bareng sama cem-cemannya itu setelahnya, kayaknya mereka baru akan mulai ngedate sejam sebelum mall tutup.

Tua di jalan adalah ungkapan yang paling bener dan paling merepresentasikan betapa lamanya Renjun jalan dari apartemennya ke apartemen temen Jeno ini—technically temen satu sekolahnya juga.

Lebih-lebih, pas Jeno jemput Renjun di lobby dan terlihat pake tongkat penopang buat bantu kakinya yang agak pincang itu buat tetep jalan dengan normal. Renjun lebih miris lagi pas liat wajah Jeno yang dihiasi perban di sana-sini.

Aduh, bisa-bisanya dia setega itu sama Jeno kemaren?

Mereka lalu jalan ke lantai 8—ke unit Jaemin, temen Jeno—dan waktu di dalem lift, Renjun ngerasa bodoh banget karena cuma bawa dua bungkus ramen instan dan satu kotak spam. Emang cukup buat berdua?

“Ati-ati, Ncip.” Renjun nuntun Jeno jalan ke kamarnya setelah pintu lift terbuka, bikin yang lebih muda satu bulan ketawa geli.

“Kamu nih, aku tadi dinihari dateng sendirian bawa tas ransel seberat dosa dan nyampe dengan selamat, loh. Sekarang kamu nuntun aku udah kayak kakek-kakek aja.”

Renjun udah pengen nyubit pinggang Jeno waktu sadar kalo cowok di sebelahnya ini rasa-rasanya nggak bersyukur banget udah diperhatiin sama dia sebegitunya.

“Ya beda cerita!”

“Kalo kemaren kamu nggak marah, pasti kamu lebih syok lagi liat aku kayak begini di depan pintu apart kamu, Ciw.” Jeno bicara santai banget, seolah emang lagi ngedumel aja tanpa ada presensi Renjun di sana. Yang merasa ((diomelin)) justru ngerasa bersalah luar biasa.

“Tapi nggak papa, semua ada hikmahnya. Jadi bisa ngajakin kamu sleepover di rumah Jaemin, deh.” kata Jeno sembari buka pintu unit 8013 lebih lebar lagi.

Renjun cukup kaget pas liat kondisi apartemen yang ditinggali Jeno semalaman ini.

Luas unitnya sih mungkin dua sampe tiga kali lebih luas dibandingkan unit punya Renjun. Dan kayaknya di sini ada lebih dari satu kamar tidur. Plus ruangan buat dapur cukup lebar, alat-alat masaknya lumayan banyak juga.

“Jaemin itu dulu Mamanya punya catering di Jakarta dan Solo, sekarang semua udah pindah ke Solo.”

Ya, make sense sih kenapa apartemennya punya alat masak lengkap. Renjun membatin gitu ketika Jeno kayak ngerti banget apa yang dia pikirin waktu dia cengo liatin barang-barang di dapur punya Jaemin.

“Bawa apa, Ciw?”

“Eh iya—sampe lupa. Bawa mie doang sih, sama kornet. Makan itu aja ya?” Renjun coba konfirmasi ke Jeno yang lagi ngelepas sweaternya di sofa bed ruang tengah.

“Iya boleh, daripada keluar lagi cari makan ya, Ciw.”

Renjun setuju, sekaligus seneng, karena akhirnya bisa ngasih rehat badannya yang abis dipake berpetualang di jalanan, padahal dia cuma duduk manis di kursi taksi selama dua jam.

Renjun masak, Jeno lagi ngerjain sesuatu di laptopnya. Sesekali mereka ngobrol-ngobrol kecil soal kegiatan yang nggak mereka update ke satu sama lain selama beberapa hari berhenti kontakan.

Tapi di kepala Renjun sebenernya juga ada skenario ruwet soal: 'gimana ya cara ngomongnya...?'

Padahal dia cuma mau confess dan bilang ke Jeno kalo dia butuh kepastian soal hubungan mereka. Ya intinya sih, dia nggak pengen digantung kelamaan.

Emangnya dia jemuran basah?

“Jen?”

Di dalam hati kecil Jeno, dia kaget bukan main, langsung overthinking, dan langsung pengen belaga pura-pura budeg.

Karena selama ini udah kebiasa sama panggilan silly berupa 'Ncip' yang sangat bukan Jeno, tiba-tiba dipanggil pake nama oleh Renjun. Haduh, kayaknya sih ini serius.

“Huh? Gimana?”

Setelah susah payah menelan ramen instan ke kerongkongan, Jeno ngalihin pandang untuk akhirnya ketemu sama wajah Renjun yang keliatan penuh keraguan, hidungnya yang agak merah akibat efek ramen pedes yang lagi mereka makan, dan bibir yang memerah dan berkilau kena kuah merah dan berminyak ramen mereka.

Sebelum jawab, Renjun ngerucutin bibirnya lucu, terus hembusin nafasnya keras-keras, bikin Jeno refleks naro kedua sumpitnya ke sisi mangkok ramen dia.

“Kamu keberatan nggak kalo kita ...” belum selesai omongannya, Renjun malah lagi-lagi hembusin nafasnya dalam-dalam, “kalo kita PDKT-nya agak serius abis ini?”

Pertanyaan Renjun punya dua efek laten ke diri Jeno: 1. Kaget 2. Kaget tapi warna pink alias sama aja.

Iya, intinya dia kaget, dan nggak nyangka.

“I-ini, m-maksudnya kita harus ... serius tuh ... gimana sih?”

Kata Mamanya, Jeno bakal jadi bego kalo udah berurusan sama orang yang dia suuukaaaaaa banget. Dan hal itu kebukti saat ini, waktu dia tiba-tiba blank di depan Renjun.

Padahal implikasinya udah jelas, loh. Mau serius artinya yaudah, Renjun maunya mereka punya hubungan yang beneran bisa dipegang komitmennya. Bukan hubungan yang seakan-akan nunjukin kalo mereka berdua cuma bisa play around kayak gini.

“Ya, misalkan kita jadi saling mengenal dengan lebih baik? Kamu cerita soal masa lalu kamu, aku juga. Kamu cerita soal keluarga kamu, kesukaan kamu, preferensi makanan kamu, apapun itu. Nanti aku juga bakal gitu.”

Bentar-bentar? Bukannya selama ini mereka udah begitu ya?

Tapi belom sempet jawab, Renjun udah motong lagi, “atau mungkin kita saling mengenal buat siap-siap nikah di tahun depan, gitu?”

Demi Neptunus! Sejauh ini, ini yang paling jauh.

Jeno nggak nyangka Renjun bakal bawa-bawa narasi pernikahan di tengah hubungan mereka.

Belum abis kecengoan dan kebegoan Jeno yang tiba-tiba muncul itu, Renjun malah ngomong, “kayaknya aku mau mengakui sesuatu deh, Jen.” Renjun ngomong kalimat itu sambil nyingkirin piringnya yang udah kosong.

Jeno ngelirik punya dia, anjir, masih ada sedikit. Ini kalo dia izin ke Renjun buat ngabisin dulu sebelum kena ulti, Renjun bakal marah nggak ya?

“Renjun,”

Sekarang gantian Renjun yang melongo karena tiba-tiba Jeno manggil nama dia dan ngangkat tangan kanannya.

“Ya?”

“Bentar, aku boleh abisin mie aku dulu nggak?”

Muka Renjun langsung berubah gini: -_-

Tapi dia harus maklum sih, orang seganteng Jeno pasti juga punya flaws. Mungkin ini salah satunya.

Renjun sabar banget nungguin Jeno nyelesaiin makan mie seperempat mangkok punya dia. Dan dia sempet-sempetnya juga minum air putih setengah gelas buat meredakan pedes.

“Oke, sekarang kamu boleh lanjutin.”

Renjun cuma ketawa tanpa suara sambil geleng-geleng kepala liat tingkah Jeno.

Sebelum dia lanjut bicara, “kamu inget surat yang diselipin sama seseorang di seragam futsal kamu sebelum perpisahan pas kita SMP nggak?”

Oh, gila aja. Tentu Jeno inget. Surat yang bikin dia akhirnya bela-belain ikut kelas Mandarin sampe tolol, yang ujung-ujungnya sukses sih, karena dia bisa artiin surat itu di bulan ke sembilan dia belajar Mandarin.

Jeno refleks ngangguk-angguk untuk mengiyakan pertanyaan Renjun.

“Kamu tau isinya? Ngerti apa yang ditulis di situ?”

“Secara kontekstual sih kayaknya yang nulis surat itu lagi confess ke seseorang, ngungkapin apa yang dia rasain ke orang itu. Tapi detailnya aku nggak inget sih, cuma kata guru Mandarin aku, dia pake banyak peribahasa tua gitu. Yang bagian itu aku susah ngertinya.”

Renjun neguk ludah dia dengan susah payah, nggak nyangka ternyata orang yang dia kirimin surat belasan tahun lalu itu bela-belain ngambil kelas Mandarin buat ngartiin surat dari dia.

“Kamu ngambil les Mandarin demi ngartiin surat itu?”

Jeno mengiyakan dengan mantap, sambil ngelanjutin perkataannya dengan, “selain itu juga aku butuh, soalnya crush aku dulu jago banget Bahasa Mandarin.”

Pikiran Renjun langsung traveling ke mana-mana. Otomatis dia langsung ngabsenin siapa anak-anak yang bisa Mandarin di masa SMP mereka—dan yaa, jawabannya pasti nggak jauh-jauh dari anak-anak ekskul yang dia kenal sih.

“Kamu pernah ngecrushin orang waktu SMP?”

Si bego Renjun, ya jelas iya lah jawabannya. Semua orang normal juga pasti gitu selama sekolah.

Dan sesuai dugaan, Jeno mengiyakan.

“Kamu penasaran nggak sama siapa yang kirim surat ke kamu waktu itu?”

Jeno keliatan mikir, tapi sebenernya otak dia kosong sih.

Kayak ... dia nggak terlalu kenal anak ekskul Mandarin. Dan dia juga nggak terlalu sering in-touch sama mereka, jadi kemungkinan orang-orang itu bisa suka sama Jeno juga bisa jadi kecil.

Plus kayaknya, nggak semua orang tau nomor loker Jeno kecuali orang itu pernah atau punya hubungan deket sama anak-anak futsal yang terkenal lumayan sombong.

Eh tapi bentar, kenapa Renjun nanyain soal surat itu ke Jeno ya?

Kalau itu nggak ada hubungannya sama dia, seharusnya dia nggak perlu peduli juga nggak sih? Dan lagi, nggak mungkin banget seorang secret admirer akan woro-woro ke banyak orang—even temen deketnya sekalipun—kalo dia nyimpen surat buat crushnya di loker?

Jeno keinget satu hari di mana Renjun tiba-tiba teriak-teriak di koridor deket ruangan futsal pas dia mau ngambil baju ganti di lokernya. Nggak lama kemudian, kedenger suara Han Jisung yang ketawa-ketawa kenceng sambil godain Renjun dengan kalimat, 'cari aja sendiri, cari aja sendiri, wle wlee'—yang bikin Jeno geleng-geleng tapi maklum juga mengingat kelakuan Han yang super nggak masuk akal itu.

Terus abis itu, Renjun masuk ke ruangan loker futsal sambil mukanya merah—kayaknya nahan nangis—dan nyingkap semua tumpukan barang-barang di ruangan dengan sangat bar-bar. Jeno asumsiin itu adalah barang yang berharga buat dia.

“Han sumpah ya, lima belas menit lagi mau ada kelas Miss Jane, jangan giniin gue dong.” suara Renjun yang agak bergetar bikin Jeno khawatir—apalagi saat itu dia udah ngecrushin Renjun ya.

“Nyari apa sih, dek?” suara bariton kakak kelas mereka tiba-tiba kedengeran setelah dia keluar dari ruang ganti.

“Buku tugas Bahasa Inggris, sampulnya warna emas.” dia jawabnya judes banget, padahal semua orang akan bertaruh nyawa demi diajakin ngomong sama kakak kelas satu ini.

“Bantu cari, guys. Miss Jane killer banget loh. Han, jangan bercanda sama temennya. Bercandanya nggak lucu, loh.”

Jeno bisa liat dari ekor matanya, Han ngasih gestur buat Jeno buka pintu lokernya.

Jeno bingung, ngapain jadi dia yang kena?

Sampe akhirnya pas dia buka loker, ketahuan itu buku ada di situ.

“Ini bukan?” dia ngacungin buku itu ke udara dan langsung bikin Renjun nyamber buku itu, ngomong 'terima kasih' yang keciiill banget, terus lari keluar dari ruangan ekskul futsal.

Well, alasan itu cukup masuk akal buat bikin Jeno berpikir satu nama atas jawaban Renjun.

“Jun, jawaban dari siapa orang yang namanya pertama kali terlintas di otak aku waktu kamu nanya pertanyaan tadi tuh sama kayak nama seseorang yang udah jadi crush aku semasa SMP.”

“Hah?” as expected, Renjun pasti bingung.

Jeno dengan wajah jahilnya nyondongin kepalanya buat deket ke Renjun yang ada di seberang dia, sampe-sampe dia bisa ngerasain aroma sabun Renjun yang kayaknya perpaduan aroma kelapa, buah-buahan tropis, dan ada kesan powdery juga di sana.

Belum selesai bikin Renjun kaget, Jeno makin totalitas bikin pupil Renjun melebar setelah megang kedua pipi halusnya dengan kedua telapak tangan yang sedikit dihiasi perban itu.

“Kamu.” kata Jeno sambil kasih kecupan suuuuperrrrr ringan di bibir merah Renjun.

Gimana kabar Renjun? Nggak tahu, kayaknya raganya ada di sini, tapi nyawanya udah ilang nggak tau ke mana.

Otak dia susah banget memproses fakta yang barusan dia denger dari mulut Jeno.

Apa tadi katanya?

Si pengirim surat dan crush dia kemungkinan adalah orang yang sama.

Dan jawabannya, kamu. Alias Renjun. Alias dirinya sendiri.

Pengirim suratnya bener sih dia, tapi crush Jeno pas SMP?

Dia juga?

Hah?

Dia?

Juga?

Hahhh? Jadi Jeno pernah suka sama dia pas SMP?

Anjir, terus ngapain dong Renjun tiga belas tahun galau kayak orang gila?

Anjir, sia-sia dong You Belong With Me jam 2 pagi yang bikin dia hampir diusir sama tetangganya selama ini?

Empat: Jeno

Hampir jam dua belas malem, tapi Jeno masih mondar-mandir pake hoodie dan celana pendek di depan hotel yang dia tempatin buat tidur (sekaligus nampung semua bapak-bapak late 40s to early 50s yang lagi bUSiNeSs tRiP ke Madrid), nungguin pujaan hatinya yang hilang sejak sebelas tahun lalu dateng.

Tadi sore, dia baru pulang dari acara tur rombongannya di Madrid. Baru aja nyentuh air dan makanan, eh tiba-tiba dia baca chat dari Arini yang ternyata bikin jiwa-jiwa pemberaninya berontak.

Renjun is in the town and needs his help.

Tanpa banyak mikir panjang kayak sebelum-sebelumnya, Jeno langsung ngajakin Renjun buat tidur sama dia, di tempatnya, di hotel ini.

Tidur di sini beneran artinya merem dan menyelami alam mimpi sampe pagi, ya. Bukan aneh-aneh. Kalo bonus peluk doang sih boleh.

The moment rokok mahal pemberian ketua geng bapak-bapak liga tarkam Solo Raya yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuk Jeno udah abis, tiba-tiba ada taksi yang berhenti di deket lobby hotel dan nurunin Renjun yang keliatan udah capek banget. Meskipun to his liking, Renjun tetep keliatan tampan dan berani.

Jeno buru-buru nyamperin Renjun dan greets him a single 'hi' terus bantu nurunin koper dia dari bagasi. Setelah Renjun selesaiin transaksi sama supir taksinya dengan bahasa Spanyol yang lumayan oke (TMI, Jeno ngerasa keseksian Renjun naik drastis banget pas denger pujaan hatinya itu bisa ngomong Spanish), Jeno langsung ngajakin Renjun buat masuk ke dalem hotel.

“Duh aku jadi ganggu waktu istirahat kamu, nih.” Renjun sandaran di sisi lift sambil nyilangin kakinya di samping koper—nunggu lift sampe di lantai 18.

Jeno ketawa kecil, hatinya dia sih isinya bunga-bunga sama lope-lope warna merah, tapi ya dia nggak mungkin ngereog di depan Renjun dan bilang kalo dia nggak merasa direpotin karena akhirnya bisa dengan mudah ngajakin Renjun ke tempat dia.

It's okay, aku nggak merasa diganggu dan direpotin kok.” Jeno berusaha sestenang mungkin buat jawab.

Lift terbuka tepat di lantai 18, nampilin koridor sepi yang lumayan remang-remang.

Jeno nuntun Renjun buat jalan ke kamar di ujung right wing, kamarnya.

Selepas kamar terbuka, Renjun ngeluarin nafas besar yang bikin Jeno nanya, “kenapa?”

“Aku nggak tahu mau ngapain tadi kalo aku masih di bandara dan nggak kamu bantuin. Mungkin aku udah jadi korban perampokan kali ya?”

Jeno ketawa lagi, kedenger biasa buat Jeno, tapi buat Renjun, itu jadi salah satu faktor kenapa dia sesuka itu sama Jeno sejak dulu. Ketawa dia bikin mleyot.

“Kamu mau mandi dulu? Biar aku bersihin toiletnya, tadi aku buru-buru soalnya.”

Renjun melongok sedikit ke kamar mandi dan liat sebenernya nggak ada yang aneh kecuali beberapa baju yang ditumpuk gitu aja di cabinet bawah wastafel dan beberapa handuk yang tergeletak di lantai. Sisanya masih oke, kok.

Cuma ya dia ngeiyain aja tawaran Jeno buat bersihin kamar mandi, sementara dia unpack kopernya tipis-tipis supaya besok nggak ribet waktu mau pergi.

Setelah Jeno selesai berkutat sama kamar mandi, Renjun udah siap juga bawa _track pants _selutut warna abu-abu plus kaos item buat tidur, juga peralatan mandinya.

Jeno mempersilakan dia buat mandi.

Selama nungguin Renjun mandi, Jeno udah berupaya buat ngeset tempat tidurnya untuk ditidurin berdua sama Renjun.

Ah gila banget, mimpi apa coba Jeno semalem? Bisa-bisanya dia akhirnya tidur berdua sama crushnya dari SMP?!

Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, Jeno nggak melihat ada tanda-tanda Renjun keluar dari kamar mandi. Meanwhile mata dia udah ngantuk banget karena seharian tenaga dan otaknya diperas buat melayani ketantruman bapak-bapak rombongan tournya. Plus, ini juga udah hampir jam sebelas. Jam tidur manusia normal yang besok pagi harus bangun lebih pagi dan kembali memimpin tur.

Jeno awalnya duduk di sofa, membiarkan televisi nyala dengan volume rendah. Sayup-sayup dia denger suara pengering rambut di kamar mandi, mungkin Renjun udah hampir selesai mandi.

Ngebayangin soal Renjun—dan tidur berdua malam ini—bikin Jeno senyum-senyum sendiri.

Well, nggak mau munafik, Jeno itu cowok sehat dengan sex drive yang normal.

Di usia belasan, dia pernah mimpi basah. Apalagi pas SMP waktu inget pernah nggak sengaja lihat cowok-cowok kelas Han Jisung—termasuk Renjun—lagi ganti baju bareng di kelas sebelum olahraga.

Saat matanya fokus ke game konsol di depan, sedikit-sedikit bisa dia inget gimana sebiji keringat dingin nurunin punggung dia saat matanya nangkep paha mulus Renjun yang cuma ketutup kemeja pendek putih SMP-nya terekspos saat mau make celana olahraga. Bisa dia inget gimana bokong yang cukup berisi itu memantul kecil waktu Renjun narik karet celana olahraga ke atas untuk ngepasin pinggang kecilnya.

Konsentrasi Jeno ke game juga langsung buyar pas Jeno nggak sengaja perhatiin punggung kurus dan mulus Renjun yang terbuka setelah nyopot kemeja putih untuk diganti pake kaos olahraga warna biru—yang sangat akrab sama dia.

Malemnya, Jeno mimpi kalo Renjun ada di kamarnya, duduk di kursi belajar, munggungin dia—cuma pake celana dalam dan kaos kaki.

Berikutnya, dia cuma inget gimana dia berkali-kali orgasme waktu Renjun yang badannya lebih kecil dari dia itu pegang-pegang alat kelaminnya dengan sensual untuk ukuran ABG.

Waktu dia udah nyamanin posisi buat tidur di sofa sembari nunggu Renjun selesai mandi—means Jeno sebenernya udah mau ketiduran—tiba-tiba dia denger pintu kamar mandi kebuka pelaaannnn banget. Terus dia yang agak ngantuk-ngantuk bisa liat Renjun jalan jinjit ke arah dia, langkahnya keredam karpet kamar, terus duduk di pinggiran kasur yang ada di sisi lain, yang jauh dari sofa tempat dia tidur.

Seinget dia, tadi Renjun udah bawa baju buat tidur, tapi kenapa sekarang dia malah cuma pake bathrobe doang ya?

Belum sempet rasa penasaran dia kejawab, dia bisa liat Renjun nyibak bathrobenya sampe nampakin pundak mulus dia di mata Jeno.

Sayang, dia liatnya dari belakang.

Setelah itu, Renjun ngolesin sesuatu di sana, kayaknya lotion, atau minyak esensial, atau apalah itu, yang jelas baunya enak karena kayak perpaduan bau apel dan vanilla.

Jeno nungguin kelanjutan pergerakan Renjun tapi ternyata dia cuma bolak-balik ngolesin sesuatu ke muka dan lehernya, terus tangan, sampe ke kaki. Mungkin dia lagi pake skincare.

Selesai ngepack lagi semua barangnya, Renjun jalan ke arah Jeno, terus ngayun-ayunin telapak tangan kanan dia di depan muka Jeno sambil berbisik lirih 'Jeno, Jeno'—untuk bangunin temennya dari sofa.

Jeno sadar kok, kayaknya Renjun mau minta dia buat pindah ke kasur, tapi Jeno udah kepalang ngantuk buat pindah. Akhirnya dia geleng-geleng kepala, mengisyaratkan kalo dia nggak mau pindah.

Jeno nggak inget dia bergumam apa, tapi berikutnya dia inget Renjun berbisik di kupingnya, ngucapin 'good night', matiin lampu utama dan nyisain lampu meja doang, terus naik ke tempat tidur.

Beberapa menit kemudian—rasanya sih menit ya, tapi Jeno nggak tau pasti—tiba-tiba dia denger Renjun manggil-manggil dia dari atas kasur. Pake suara kecil yang kurang kedengeran di telinga Jeno.

“Kamu ... mau tidur sama aku nggak?”

Muka Renjun pas ngomong gitu bener-bener ngasih liat sisi inosen dia ke Jeno. Bikin Jeno senyum-senyum sendiri dan beranjak dari sofa buat bergabung di samping Renjun.

“Jeno, emangnya kamu mau sampe besok cuma tidur doang?”

Otak Jeno langsung balik seger, gimana gimana? Tidur doang? Tidur doang? Tidur doang??!

What else they can do?

Sebelum sempet jawab, Renjun udah ngubah posisi untuk nahan seluruh badannya pake tangan kanan yang ditumpuin ke kasur dan dijadiin tumpuan kepalanya.

Jeno cuma bisa neguk ludah pas mata sayu Renjun bersirobok sama bola matanya.

Ugh, kalian harus lihat gimana seksinya Renjun dengan rambut sedikit awut-awutan kena bantal, bibir yang basah dan berkilau kena lipbalm, plus tulang selangka dan hampir separuh dada kanannya yang terekspos karena bathrobe dia turun.

Jeno bisa ngintip ada kalung berbandul bulat kecil ngegantung di leher dia. Oh, jangan-jangan dari pacarnya?

Jeno yang udah hampir baper akhirnya pull himself to go back to his sense ketika inget Renjun udah punya pacar. Ini salah banget.

Tapi kesalahkaprahan pemikiran itu seakan diinvalidasi sama Renjun yang tiba-tiba ngelus dada Jeno yang ketutup kaos tipis pake tangan kirinya.

Semakin naik elusannya ke rahang Jeno dan berakhir mereka ciuman.

Renjun yang inisiasi ciuman amatir mereka—eh, tapi menurut Jeno, Renjun ini lebih berpengalaman kayaknya dibandingkan dia, soalnya dia bisa tahu gimana teknik terbaik buat bikin Jeno ngerasain enak padahal cuma dari ciuman.

Elusan tangan halusnya di pipi dan rahang Jeno, remasan-remasan kecil di belakang kepalanya, sampe kemampuan lidahnya buat ngabsenin gigi Jeno satu-satu bikin kepala Jeno rasanya mau pecah.

Belum selesai di situ, makin jauh Renjun ngajak Jeno tersesat di labirin yang mereka bikin sendiri saat cowok yang lebih kecil itu gigit-gigit kecil leher Jeno—ih bakal ninggalin bekas nantinya, dan sangat mungkin akan jadi bahan bulan-bulanan rombongannya. Tapi yaudah, yang penting enak dulu sekarang, soal itu dipikirin besok.

Lenguhan demi lenguhan Jeno berbaur sama suara kecupan Renjun di tiap inci leher dan dada Jeno yang masih ketutup kaos. Jeno yang udah gerah rasanya pengen aja langsung lepas kaosnya buat kasih kebebasan ke Renjun mengeksplorasi badan dia. Tapi dia urungkan niat itu karena ngerasa sentuhan dan kecupan Renjun yang terhalang kain katun itu bikin semuanya justru bertambah enak.

Jeno dibikin terlalu nggak berdaya di bawah kungkungan Renjun, termasuk saat mereka beranjak buat gesekin kedua alat kelamin mereka di atas kasur.

Renjun nyingkap bathrobenya—yang ternyata nggak ada celana dalam di sana—buat bisa langsung bersentuhan sama permukaan celana pendek Jeno—yang udah forming tent dari waktu mereka ciuman tadi.

Renjun gerak sensual di atas Jeno, memastikan supaya dia sama Jeno bisa saling terpuaskan dengan upaya yang kayaknya ... agak amatiran ini. Udah sejauh ini dan mereka kepikiran buat udahan karena khawatir akan ada apa-apa di antara mereka setelah ini.

Semakin brutal Renjun mastiin kelamin Jeno bisa bergesekan sama lubang anal dan kelaminnya sendiri, makin sakit kepala Jeno. Kepala yang atas—juga yang bawah—soalnya ini terlalu enak, dan terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Renjun juga masih terus-terusan ngedesah dengan suara lirih, nutup bibirnya juga seolah nggak mau ada orang lain yang denger kegiatan mereka sekarang, ah ... jujur yang kayak gini bikin Jeno lebih horny.

Puncaknya, Jeno ngerasain celananya basah karena air maninya sendiri. Ditambah pula precum Renjun yang basahin celana dia di bawahnya.

Belum selesai dia berdamai sama orgasme pertamanya malam ini, Renjun narik tangan Jeno yang sedari tadi ada di pinggangnya buat ngelingkupin batang kejantanan dia di balik bathrobe yang licin banget akibat precum.

“Kocokin aku, dong. Aku juga pengen keluar banyak kayak kamu.”

Anjinggggg. Jeno makin pening, wajah memelas Renjun dengan mata berkilauan memohon di depan dia bikin punya dia jadi keras lagi. Ah padahal dia masih ada tanggungan bikin Renjun keluar.

Baru aja Jeno nyentuh punya Renjun, yang punya organ langsung ngeluarin desahan tertahan dan air mata. Aduh, Renjun ini ngeri banget, bisa-bisanya dia nangis kalo keenakan.

The moment Jeno ngusap pucuk kelamin Renjun pake jempolnya yang dingin, badan kecil cowok di atasnya itu melengkung ke belakang sambil ngeluarin desahan tertahan yang kenceng banget.

Renjun orgasme cuma dengan disentuh tangan Jeno kurang dari tiga menit.

Setelah masih terengah-engah (plus ngantuk dan takut menghadapi kenyataan esok hari), Jeno bermaksud untuk nyingkirin badan Renjun yang udah lemes berbaring beralas dadanya itu ke samping.

Tapi alih-alih pindah untuk balik tidur, Renjun malah nyingkap total bathrobenya dan ngasih pemandangan pantat dia yang nggak ketutup apapun ke muka Jeno. Sebelum akhirnya—entah gimana cara dia ngeluarin punya Jeno dari celana—ada peraduan tidak senonoh di bawah sana.

“Kamu nikmatin aja, ya.” kata Renjun—lebih tepatnya berbisik, diakhiri desahan—di telinga kanan Jeno.

Jeno udah ngantuk berat, berasa dihipnotis juga, karena setelah denger Renjun bilang gitu di telinganya, mendesah, dan ngecup daun telinga dia, Jeno cuma ngerasain batang dia keluar masuk lubang anal Renjun sampe entah berapa lama.

Yang dia rasain kemudian—setelah orgasme heboh keduanya—, Renjun turun dari badannya dan ikut berbaring di sebelah Jeno sampe pagi sebelum benerin selimut Jeno di pagi buta terus pergi ngejar kereta.

Jeno emang udah gila, bisa-bisanya dia begini sama pacar orang.

Tapi Renjun lebih gila lagi, bisa-bisanya dia yang udah punya pacar, malah godain Jeno sampe bikin Jeno keluar dua kali dalam semalem?

Eh, tapi salah Jeno nggak sih? Kok dia mau-mau aja digodain cowok orang?

Hm ... siapa coba yang salah kalo gini?

Tiga: Renjun

Kata Maminya, Renjun itu wataknya keras. Keraaasssssss banget kayak daging semur warung tegal yang nggak laku-laku terus akhirnya digoreng beratus-ratus kali. Atau sekeras batu-batu yang dipakai untuk construct Candi Borobudur di Magelang (ingat, Magelang itu Jawa Tengah, bukan Jogja!) yang berabad-abad masih kokoh banget meskipun kena angin kena hujan kena panas matahari.

Makanya, pas Renjun mulai menunjukkan kecenderungan dia nggak suka untuk jadi selayaknya anak laki-laki yang panas-panasan, ikutin aktivitas outdoor, dan mau keringetan, Mami Huang nggak banyak komentar. Dan sebisa mungkin juga minta suaminya untuk nggak intervene preferensi dan keinginan Renjun.

Pokoknya prinsip Mami mah, asalkan Renjun masih mau sekolah dan bisa tetep berprestasi aja, Maminya nggak akan menuntut macem-macem.

Selama SD, Renjun nggak terlalu sering bergaul sama temen-temen cowoknya di kompleks. Palingan ya ikut sih main-main sore tipis-tipis di lapangan tenis kompleks. Liatin abang-abang yang lebih tua main tenis atau futsal, termasuk Abang Doyoung di dalamnya.

Sepedaan juga seperlunya, kalo dia udah capek dan kepanasan ya dia bakal pulang lagi ke rumah.

Intinya, nggak ada ceritanya Mami Huang harus pusing nyariin anak satu-satunya dia itu keliling kompleks hanya karena Renjun terlalu betah main di luar.

Waktu masuk ke jenjang SMP, Renjun makin jarang ikut main di luar. Dia lebih milih buat berkutat sama sketch book dan gambar-gambar random. Mami Huang di satu sisi seneng sih, karena akhirnya Renjun nggak cuma duduk bengong liatin ikan koi di kolam samping rumah tiap abis pulang bimbel. Intinya dia seneng lah anaknya nemu kegiatan yang dia sukain.

Tapi nih ... kayaknya kebencian Renjun terhadap aktivitas outdoor dan aktivitas yang lekat stereotype-nya dengan “cowok” banget tuh baru kelihatan waktu dia ada di sekolah.

Di kelas tujuh, Renjun ada di kelas di mana hampir tujuh puluh persennya berisi laki-laki. Untuk anak yang lagi bertransisi dari masa anak SD ingusan jadi remaja muda yang suka coba-coba, itu nyebelin banget.

Temen-temen di kelas Renjun bakal playfully ngejekin Renjun yang nggak suka gabung main basket atau main bola bareng mereka di lapangan. Atau kadang—kalo bercandanya lagi kelewatan—bakal lempar-lempar kaos olahraga bekas keringat ke meja Renjun knowing that Renjun benci banget sama bau keringat cowok yang super busuk itu.

Untung aja Renjun punya emosi menggelegar yang bakalan bikin temen-temennya berasa dimarahin guru BK kalo mereka udah mulai macem-macem ke Renjun. Cuma ya ... anak-anak ini tetep aja sih suka gituin Renjun, soalnya menurut mereka nih, godain Renjun tuh seru banget. Respon yang dia keluarin seringnya sesuai sama harapan temen-temennya itu.

Fortunately, pas kelas delapan, Renjun udah nggak harus sekelas sama anak-anak nggak jelas itu.

Pas tahun ajaran baru, dia kebagian ada di kelas orang-orang yang agak 'waras', meskipun ada sisa-sisa manusia kayak Han Jisung yang lumayan bikin kepalanya mendidih.

Untungnya pas kelas delapan, Renjun udah masuk ke tim ekskul Mandarin, jadinya dia bisa habisin waktu istirahat di ruang ekskul bareng Yangyang ketimbang harus ngeladenin Han yang suka kibas-kibasin keteknya di depan dia tiap abis selesai latihan futsal.

Ngomong-ngomong soal futsal—dan pilihan hidup Renjun untuk membenci aktivitas outdoor—, sebenernya he was putting an eye on someone dari tim futsal.

Sebenernya udah dari lama sih, dari kelas tujuh di minggu-minggu ujian. Waktu dia liat Han punya temen baru yang baru kali itu dia liat.

Di pekan kedua kelas delapan, seperti biasa, pelajaran belum begitu sering ada jam sih. Makanya anak-anak di kelasnya akan beraktivitas sesuka mereka.

Cewek-cewek nontonin korea di pojokan, ada juga yang lagi asik gosipin kakel ganteng di koridor depan. Sementara kubu cowok-cowok main game pake laptopnya si ketua kelas, dan sebagian lain main di lapangan gabung sama kelas lainnya.

Renjun ngapain? Baca buku mandarin yang dibeliin Papinya minggu lalu pas Papinya lagi ada kerjaan ke Nanjing.

Renjun langsung buru-buru make maskernya pas denger suara Han Jisung yang menggelegar bercandain cewek-cewek di luar kedengeran makin deket. Dia malesssss banget kalo harus adu mulut sama Han perkara dia yang sengaja jahilin Renjun pake bau keteknya. Semoga aja itu anak punya rasa iba sama Renjun yang pake masker ini.

“Waduuhhh. Sakit, Pak?” kan bener. Renjun muter bola matanya males pas Han tiba-tiba nyamperin dia di tempat duduknya, lengkap dengan jersey olahraga nomor '14' yang udah belel itu.

“Hm.” Renjun jawab singkat sambil melengos dari Han.

Eh tapi bentar? Tadi ... Han kayaknya nggak sendirian.

Dan bener ternyata, di belakang Han ada cowok yang pake jersey tim futsal sekolah mereka.

“Ututu, cepet sembuh ya, Dek. Semoga nggak pilek, karena kalo kamu pilek, bau ketekku yang surgawi ini nggak bisa tercium sama hidungmu.” Han ngasih senyuman jahilnya ke Renjun, bikin Renjun pengen nampol dia pake buku mandarin bersampul biru ini.

“Ck, udah pergi sono lu.” Renjun buru-buru ngusir Han sebelum anak itu bertindak lebih jauh. Dia lagi nggak punya tenaga.

Bagusnya sih, Han langsung berlalu dari bangku Renjun dan ngajak temen yang dia bawa untuk gabung main game ke meja belakang punya ketua kelas.

Beberapa detik kemudian, dia baru sadar kalo cowok itu adalah ... iya, cowok yang sedikiiittttt menarik perhatian dia.

Karena Renjun terlalu gengsi buat cari tau siapa cowok itu (plus denial), makanya sejak hari itu dia ngasih julukan “Si Nomor 23” buat cowok ini. Refer ke nomor punggung yang dia pakai di jersey futsal dia.

Berhari-hari ada di kelas delapan, Renjun makin disibukkan sama hal-hal semacem lomba, kegiatan ekskul, bimbel, sampe ulangan harian yang terlalu sulit buat diterima otak mungilnya.

Tapi di waktu yang sama, dia juga seneng karena akhirnya dia ngerasain rasa meletup-letup di dadanya tiap kali papasan sama si cowok nomor 23 yang kemaren.

Kadang-kadang, dia bakal liat cowok itu duduk di kursi Han Jisung waktu pagi. Masih pake hoodie yang suka diganti-ganti tiap harinya, megang stik PS yang kesambung ke laptop ketua kelas buat main game bertiga sama Han Jisung juga.

Kadang, dia sengaja baca buku di pinggir lapangan dengan excuse nyari udara segar dan nyari inspirasi buat cerpen Mandarinnya, padahal motif utama dia ada di situ nggak lain ya buat nontonin si nomor 23 latihan futsal.

Sampe puncaknya, waktu di akhir ajaran baru, tiba-tiba dia denger kabar kalo sekolah mereka akan tanding di semifinal pertandingan futsal antar SMP. Dan kebetulan ... lokasi sekolah mereka nggak jauh sih dari Gelanggang Olah Raga yang bisa dipake buat pertandingan.

“Gimana? Lo ngajak gue nonton futsal?” itu respon pertama Yangyang waktu denger permintaan Renjun buat pergi sama dia di hari Jumat sore untuk nonton futsal.

“Toh besoknya libur. Masa iya lo masih ada les?” Renjun berusaha stir up their conversation supaya seolah dia nonton futsal karena 'emang lagi gabut aja' bukan karena alasan lain seperti pengen nontonin si gebetan main dengan ganteng di sana.

“Ya nggak ada les sih, les terakhir gue di minggu ini cuma nanti sore les violin.”

Then, what's stopping you? Nanti kita juga bakal ketemu yang lain juga kan di lapangan. Nggak bakal kayak orang ilang, kok.”

“Tapi ya, Jun, kenapa lo jadi tertarik sama olah raga? Kan lo benci banget bau keringet,” mampus, pasti Renjun tadi kedenger terlalu excited pas lagi ngomong.

“Y-ya ... gue bosen aja. Toh banyak temen-temen kelas 7 gue yang main, itung-itung ngasi support lah.”

Yangyang cuma diem, tapi tiba-tiba natap Renjun intens banget sambil grinning dan nampilin senyum yang ... err ... penuh selidik?

“Atau ... jangan-jangan lo mau liat crush lo main ya?”

Mampus! Nggak mungkin kan Yangyang tau soal si nomer 23??!! Oh iya, Renjun udah tau namanya, namanya Jeno.

“Si Jisung.”

Ekspresi takut Renjun langsung berubah jadi kekecewaan dan amarah yang dia lampiasin dengan mukul punggung Yangyang pake lipatan kertas skrip pidato Mandarin mereka.

“Dasar!”

“Aduh-aduh ampun!” Yangyang mohon ampun karena Renjun makin kenceng aja mukulnya.

“Ya kali gue naksir dia! Orang gila kayak gitu!!!”

Yangyang ketawa ngakak setelah itu, “heh awas aja ya. Jodoh lu ntar si Han Jisung tau rasa lu!”

Ya tentu aja dong Renjun bales sama ucapan 'amit-amit yang kenceng.

Saat matchday, Renjun nggak berhasil ngajakin Yangyang buat ikut pergi nonton futsal. Alasannya, dia ada treatment buat benerin retainer jam 2 siang, padahal harusnya kalo mau mah, abis itu dia bisa langsung pergi. Toh futsalnya baru mulai jam 3 sore.

Tapi yaudah, mau apa lagi. Terpaksa aja deh Renjun ke tempat futsal sendirian.

Dia nyampe waktu semua kursi di tribun udah hampir terisi penuh sama penonton. Untungnya aja dia bisa langsung nemuin temen-temen sekelasnya yang jor-joran dukung Han Jisung sebagai salah satu perwakilan kelas. Tapi ya, Renjun ujung-ujungnya duduk terpisah dari mereka sih karena nggak mau diceng-cengin.

Sisi tribun sebelah selatan terdiri dari 15 undakan ke atas.

Masing-masing tingkat udah penuh sama penonton.

Ada orang-orang hits sekolahnya di barisan paling depan, nggak ngerti juga mau dukung siapa.

Di barisan ketiga hingga empat, ada para orang tua dan guru-guru yang kebetulan ikut nonton karena ini semifinal.

Di barisan lima sampai dua belas, isinya anak kelas delapan yang diwajibkan buat dateng nonton dukung tim futsal. Ya sebagian ada juga sih kelas tujuh.

Nah baru deh, di baris ke tiga belas sampe paling atas, isinya orang-orang iseng yang kebetulan aja nonton. Kayak Renjun.

Meskipun sebenernya Renjun nggak iseng-iseng amat sih, dia kan mau lihat Mas Crush main.

Selama pertandingan, sebenernya Renjun nggak bisa terlalu menikmati. Mungkin kalo dia ngajak Papi, semuanya akan lebih meriah soalnya Papinya pasti ikutan teriak-teriak gemes.

Rasa bingung dan lack of enjoyment ini makin diperparah sama sebelnya dia ketika tau cewek-cewek di barisan bawah bawa papan penyemangat buat Jeno.

Iya. Ternyata bukan cuma dia yang ngefans sama (atau ngecrushin?) Jeno, ada sekitar dua lusin cewek cowok yang juga punya excitement yang sama pas liat Jeno lari-lari ngejar bola di lapangan.

Duh, dia tuh mau sebel dan marah sebenernya. Tapi nggak ada tenaga. Soalnya dia sendirian.

Dan kikuk.

Dan goblok.

Dan nggak jelas.

Cuma nih ya, seenggaknya upaya dia jauh-jauh dari rumah ke venue acara hari ini terbayar sih. Jeno nyetak gol ketiga buat tim, meskipun selebrasinya cukup bikin dia ketar-ketir karena buka-buka kaos di depan temen-temen dan fans-fans dia.

Dalam hati, Renjun pengen ngatain beliau satu ini caper. Tapi kok ganteng :)

Sayangnya, acara nonton pertandingan mas crush harus berakhir pedih karena Renjun kudu ngeliat Jeno dikerubutin anak-anak hits yang kebetulan ngefans sama dia.

And just like rubbing the salt to the wound, Renjun harus liat pake mata kepalanya sendiri, ada orang lain yang disenyumin manis banget sama Jeno waktu abis ngasih bunga mawar setangkai, air minum, dan bahkan ngelapin pelipis Jeno yang basah kuyup kena keringat.

Sialan emang, soalnya orang itu bukan dia, dan Jeno sama sekali nggak nolak perlakuan orang itu. Well, Renjun jadi mengasumsikan kalo mungkin aja Jeno emang suka sama dia. Tau dah, dia sebel.

Sejak hari itu, Renjun mengubah semua kekagumannya ke Jeno jadi amarah yang sebenernya mengandung sedikiiittt desperation.

Tiap kali Han Jisung mulai ngoceh ngeledekin Renjun di bangkunya dan ada Jeno di sana, Renjun bales dengan omelan yang nggak kalah nyebelin. Nggak semata-mata dia tujukan buat Han, sih, tapi juga buat Jeno.

Huh-hah ... Renjun somehow juga jadi sebel sama presensi orang-orang kayak Jeno yang sepopuler itu.

Jadi pemain futsal, punya banyak fans, dan lagi pas naik kelas sembilan, Jeno dapet kesempatan buat jadi ambassador sekaolah.

Dahlah, semakin jongkok aja Renjun kalo dibandingkan sama Jeno. Di bawah tanah udah.

Dia jadi sering passive-agressive kalo ada orang yang ngebaik-baikin atau muji-muji Jeno di depannya. Dan akhirnya jadi rumor kalo Renjun itu sebel sama Jeno. Padahal ada persaingan di antara mereka aja juga kaga.

Puncaknya, saking desperate-nya Renjun atas rasa cintanya ke Jeno yang nggak mungkin diucapin (or else, semua orang bakal gila ketika tahu Renjun sebel sama Jeno karena tertolak bahkan sebelum berperang), dia sampe nyelipin secarik surat cinta buat Jeno di lokernya. Tepat di hari terakhir ujian nasional kelulusan.

Tapi ... pake Bahasa Mandarin. Hehe.

Renjun terlalu coward untuk bener-bener confess pake bahasa yang bisa dimengerti Jeno.

Gatau deh, capek Renjun bayanginnya. Toh kayaknya Jeno juga nggak nyariin dia setelah itu, padahal Renjun udah ngasih ID Friendster dia, berharap Jeno ngirim pesan ke dia. Tapi bahkan sampe Friendster bubar, Jeno nggak ada keliatan batang hidungnya.

Hidup lagi capek-capeknya flashback, Renjun malah harus dihadapkan sama keberadaan Jeno yang unexpectedly ketemu dia terus.

Pertama, dia yang harus pura-pura bertingkah bloon nggak kenal Jeno di hari kepergian dia dari Solo ke Jakarta. Padahal keringet dingin udah turun di punggung dia sampe mungkin cukup kalo mau ditampung di baskom, dimasak, terus dijadiin kuah bakso.

All of you: “Jijik sumpah.”

Kedua, Renjun lagi struggling ngantre buat check in pesawat, di jam yang udah hampir mepet batas waktu, tiba-tiba harus liat Jeno antre di counter check in yang sama dengan dia.

Ketiga, dia yang udah menyiapkan rencana suuuperrr matang buat melakukan siasat pura-pura bego part dua di boarding room nanti in case ketemu Jeno, harus dihadapkan sama kejadian luar biasa.

Tapi sianjing malah mempermalukan dirinya sendiri di depan crush tiga belas tahunnya.

Awalnya sih penyamaran Renjun pake masker dan bucket hat cukup mulus. Dia duduk di sisian boarding room sambil liatin pesawat.

Eh, pas dia mau minum air, dari jarak sekian meter Jeno tiba-tiba nyamperin dan duduk di sampingnya sambil ngomong, “Hai” tanpa rasa dosa. Ya emang dia nggak berdosa juga, sih.

Renjun hampir aja keselek air minum pas liat muka Jeno udah sumringah banget pas akhirnya ketemu Renjun.

Cowok itu cuma bawa tas punggungnya yang (maaf) agak belel itu. Tas yang tadi dia pangku selama tujuh jam di kereta.

“Hai, Jeno...” Renjun rada tergagap pas ngomong gitu, soalnya untuk ukuran manusia yang mungkin belum mandi dari tadi sore, Jeno lumayan decent sih penampilannya. Tetep keliatan seger, tetep bikin deg-deg-ser.

“Mau naik JAL juga?”

Renjun celingak-celinguk liat sekitarnya. Kayaknya bandara lagi sepi, soalnya di gate sebelah sama sekali nggak ada tanda-tanda pesawat mau boarding. Bahkan di gate seberang cuma ada pesawat domestik yang kayaknya baru landing.

“Iya nih, hehe.” Renjun mungkin suatu saat bakal menyesali itu karena takutnya ini kesempatan terakhir dia ketemu Jeno sebelum cowok itu nikah tahun depan. Misalnya.

“Eh, kamu udah makan belom? Tadi aku beli macaroon di luar, tapi rada manis jadi aku perlu temen buat abisin.”

Jeno ngomong gitu sambil nyodorin satu strip macaroon yang berisi empat buah. Dia asumsiin isi awalnya lima biji, tapi Jeno udah makan satu.

Dia yang agak hesitant buat ngambil, akhirnya diduluin Jeno buat ngambil satu macaroon juga.

“Ini enak sih, tapi ya itu tadi, manis banget.”

Entah cuma perasaan Renjun aja atau gimana, tapi dia ngerasanya Jeno itu addressing kata 'manis' ke dia, bukan ke macaroon-nya.

Tauk deh, emang si Renjun itu tukang halu.

Selanjutnya, kisah kentut Renjun gara-gara makan mie goreng udah denger kan?

Itu gara-gara perut dia masih bunyi padahal udah nyemil tiga biji macaroon. Akhirnya Jeno dengan senyum gantengnya berbaik hati nyariin cemilan mie goreng buat Renjun, soalnya dia cerita kalo biasanya servis makan dari JAL buat overnight flight gini cuma ada buat sarapan. Meskipun Renjun bisa aja request snack juga, sih.

Eh gara-gara makan itu, sakit deh perut Renjun. Jadinya dia kentut di depan Jeno. Sebenernya bakal manusiawi aja kalo cuma kentut, yang jadi masalah kan kentutnya ampe bau.

Sampe-sampe bikin Jeno yang lagi ceritain soal Jepang tuh berhenti ngomong dan berubah raut wajahnya gitu.

Renjun yang udah kepalang malu akhirnya lari aja tuh tanpa banyak bacot ke toilet terdekat. Sambil bawa mie goreng.

Setelah sesi curhat dan meratapi nasib selama bermenit-menit, dia keluar dari kamar mandi dan langsung disuguhi muka khawatir Jeno.

“Kamu nggak apa-apa? Mie gorengnya kepedesan ya? Kalo sakit perut, sini biar aku aja yang makan.”

Padahal mie gorengnya sebenernya nggak berasa pedes sama sekali.

Setelah sesi tarik ulur, akhirnya Jeno habisin mie goreng itu dalam dua suapan. Sambil berdiri di depan toilet.

“Yuk, kita boarding. Soalnya yang lain udah pada masuk. Ini aku bawain koper sama tas kamu ya, maaf lancang.”

Duh, Renjun makin kesengsem kalo gini caranya...

Akhirnya mereka jalan ke pesawat, dan tiba-tiba, kebetulan keempat terjadi.

“Kamu duduk di nomer berapa, Renjun?” Jeno ujug-ujug nanya waktu mereka udah hampir deket ke meja boarding.

“Um ... aku dapet di 23D sih.”

“Hah? 23? Serius? Aku juga 23. 23 ... E.”

Yes, keempat. Mereka lagi-lagi duduk sebelahan, dan ...

“Wait, berarti Mark yang pesen itu ... wait wait, kamu beli tiket di Balu Tour Travel bukan kemaren?”

Renjun kaget dong, kok Jeno tahu? Ini orang stalker?

Duh bego, sampe tau nama Mark, loh. Akal bulus dia kemaren yang ngaku-ngaku udah punya pacar sangat mungkin ketauan dong?

Renjun ragu-ragu jawab iya, dan sebelum dia sempet nanya gimana caranya Jeno tahu soal itu, Jeno langsung nepok jidatnya dan raut wajahnya berubah jadi super fucked up.

Untung aja mereka tiba-tiba diminta maju sama petugas yang akan ngecek boarding pass, sebelum mereka jalan ke pesawat dalam diam. Karena Jeno tiba-tiba kayak lagi kena mental breakdown.

Juga terjadi ke Renjun karena hari ini udah banyak banget kejadian yang mengguncang mentalnya.

Padahal kebetulan di antara mereka masih satu lagi, yakni Renjun yang nggak sengaja 'nempatin' kursi yang supposedly ditempatin sama Mbak Vania.

Well, kalo kalian pikir kebetulannya cuma sampe sini, kalian salah.

Setelah perjalanan panjang tujuh jam diselingi awkward small talks di antara mereka, diselingi tidur ayam yang sering kebangun gara-gara tangisan toddler di bangku depan mereka, sampe adegan super sweet yang bikin Renjun super shy karena Jeno hampir dua jam tidur bersandar di pundak dia, plus sarapan pagi penuh tawa, akhirnya mereka sampe juga di Jepang.

Waktu mereka keluar dari pesawat, Renjun langsung nyalain portable WiFi-nya untuk segera terhubung sama Shotaro yang kayaknya udah jemput dia. Meski kalo enggakpun, Renjun kayaknya bakal bisa-bisa aja jalan sendiri ke downtown naik kereta.

Nggak tahu aja dia, orang yang lagi jalan di sebelahnya ini udah hafal banget kalo soal Jepang doang.

“Jeno, em ... sorry, bukan maksud aku mau ninggalin kamu, tapi aku udah dijemput sama temenku. Kamu naik apa ke Tokyo?” Renjun—setelah berkontemplasi cukup lama—akhirnya berani menginterupsi Jeno yang lagi sibuk ngirim pesan ke seseorang lewat HP.

“Eh? Udah ada yang jemput? Aku pikir kamu bakal ke Tokyo sendirian, kalo sendirian kan kita bisa pergi bareng.”

Anjir, ini kok kedenger manis ya di kuping Renjun?

“Aku dijemput sih sama temenku, kamu gimana?”

“Aku naik kereta sih ke Tokyo, kebetulan aku nginep di Akihabara. Kalo kamu? Aman?”

“Yes, aman. Temenku udah book apartemen di Shinjuku.”

Alright, have fun ya di Jepang. Semoga nanti kita ketemu lagi kapan-kapan.”

And with that, Renjun bids him farewell. Karena ternyata Taro udah nunggu dia di deket information desk.

Sekali lagi sebelum pergi, kayak di film-film, Renjun muter kepalanya untuk liat Jeno di tengah keramaian yang masih fixated juga ke dia. In slow-motion.

God, rasanya kayak harus pisah untuk kali kedua sama seseorang yang pernah lo suka.

Tanpa dia tau, kalo masih ada kebadutan lain yang menyambut dia esok hari.

Kebetulan ke sekian, mereka ketemu lagi di venue konser.

Tanpa disengaja juga. Karena bahkan mereka nggak tukeran nomor ataupun kontak apapun selama di pesawat.

Jeno ngira Renjun udah lupa dan bahkan nggak peduli sama presensi dia semasa SMP, sementara Renjun ngira Jeno terlalu famous untuk tau dia siapa, makanya dia nggak pengen SKSD.

Seru banget ngeliatin orang stupid jatuh cinta.

Oh iya, bukan cuma ketemu, sih. Bahkan seat mereka sebelahan. Bikin Renjun rasanya pengen nuker seatnya sama Shotaro tapi nggak mau juga kehilangan momen seru nonton konser seseorang yang dia tahu di masa SMP, bareng sama crush SMP-nya juga.

Karena imajinasi Renjun sangat tinggi, selama konser, dia cuma mikirin skenario-skenario acak 'gimana kalo dulu dia cukup berani buat confess ke Jeno ya?'.

Tapi mau apa lagi? Toh sekarang Jeno udah ada yang punya, kesempatan dia udah ketutup.

Ya, anggep aja duduk nonton penyanyi favorit di sebelah crush adalah bonus dia sebelum nanti nangis-nangis pas Jeno udah nikah sama Vania Muljadi. Semoga aja dia kuat, deh.

Dua: Jeno

Koper? Check.

Tas punggung? Check.

Paspor? Check.

Harusnya semua udah lengkap, sih. Lagian juga semalem sebelum tidur, Jeno udah ngecek barang bawaan yang mau dia ajak berpetualang sendirian ke Jepang.

Jeno turun dari lantai dua ruko ukuran sedang yang udah dia tinggalin selama enam tahun terakhir ini, dan ketemu sama Ayahnya yang lagi duduk-duduk di akses masuk samping ruko. Baca koran pagi.

“Yah, pamit dulu.” Jeno ngeraih tangan keriput Ayahnya buat disalamin.

“Ati-ati. Selalu kabarin kalo ada apa-apa, meskipun kamu kalo di Jepang mungkin bisa jalan dengan mata ketutup juga kan?” Ayahnya emang hobi bercanda, tapi sayang banget nggak nurun ke dia yang hampir sembilan puluh persen hidupnya selalu diseriusin.

Jeno cuma geleng-geleng kepala sambil jalan lagi ke dalem ruko lewat pintu depan, buat ketemu sama anak-anak kantor shift pagi yang baru aja dateng.

Dia nyapa sekilas anak-anak baru sampe anak magang, basa-basi dan nitip pesen buat tetep semangat kerja while he's not around.

“Bro, gue cabut dulu.” Jeno nepuk-nepuk pipi Donghyuk yang lagi ketiduran di sofa bed ruangan mereka. Meskipun ini terlalu kejam soalnya dia tahu Donghyuk baru balik dari Jogja semalem jam 3 pagi.

“Hmmh, naik apa?” Donghyuk nanya dengan suara bergumam teredam bantal penguin hadiah dari Jaemin setahun lalu itu. Meleng-meleng gini, ternyata dia tetep peduli ya sama sahabatnya.

“Naik gojek, dikit lagi abangnya nyampe.”

Jeno jalan ke meja kerjanya buat ngambil sekotak rokok sisa yang sering banget dia umpetin di laci atau meja pribadi kantornya. Biar nggak ketahuan Ayah kalo dia selama ini ternyata ngerokok di belakang beliau.

Jeno nggak denger jawaban apa-apa lagi dari Donghyuk, bikin dia lanjut bicara, “Ntar jangan lupa lu harus meeting progress sama Yuke dan calon suaminya, buat project foto prewed mereka ke Melbourne. Gue bakal gabung kalo udah nemu tempat enak di Gambir buat meeting. Jam 4, ya.”

Titah Jeno itu jadi pembicaraan (satu arah) terakhirnya sama Donghyuk, karena setelah itu dia harus nerima telfon dari abang gojek yang udah nungguin dia di depan ruko.

Dan bener aja, tepat sesuai perkiraan, jam tujuh lewat empat puluh, dia bisa berangkat tepat waktu ke stasiun.

Jalanan pagi ini agaknya lumayan tenang untuk ukuran hari libur. Padahal biasanya akan banyak orang-orang tiba-tiba gowes pagi atau jogging pagi di sekitaran kota.

Tapi ya ... Jeno bersyukur sih, seenggaknya perjalanan dia ke stasiun hari ini berpotensi bisa lebih cepat dari biasanya yang perlu waktu dua puluh lima menit.

Sekian menit berselang, ternyata dia sampe juga di plataran stasiun. Dia nyerahin helm ke driver gojek yang udah mau berbaik hati nyimpen tas punggung di antara kakinya sementara Jeno megangin koper kabinnya di belakang.

Setelah ngomong terima kasih, dia bawa kakinya buat masuk ke stasiun yang udah jutaan kali dia datengin selama hidupnya sejak pindah ke Solo sekitar tujuh tahun lalu itu.

Check-in counter lumayan sepi, makanya waktu kereta udah siap di peron padahal baru jam delapan lewat lima belas, Jeno masih bisa santai nikmatin kopi paginya sambil duduk-duduk di boarding room dekat peron. Sambil menikmati sibuknya pagi di stasiun.

Hal-hal kecil kayak gini kadang harus disyukuri, jadi titik pemberat juga buat Jeno tetep stay di pekerjaan ini meskipun banyak orang bilang kalo ngejar passion nggak akan bikin lo cepet kaya.

Bodo amat, dari dulu emang dia suka traveling. Masalah duit urusan belakangan kalo menurut dia, soalnya dia percaya nggak ada satu manusiapun di dunia yang akan mati sia-sia gara-gara nggak punya uang. Asalkan mereka mau usaha aja, sih. Bakal tetep ada jalannya kok.

Ngelamun-ngelamun-ngelamun, panggilan dari pengeras suara stasiun bikin Jeno akhirnya nyeruput kopi hitam di tangannya untuk yang terakhir. Sebelum jalan ke gerbong empat dan nyari nomor kursi yang tertera di tiket keretanya.

Dia lumayan happy waktu sadar tempat duduk di sebelahnya masih kosong, padahal ini udah lima menit menjelang keberangkatan dan gerbong eksekutif nomor empat ini udah hampir penuh.

Jeno ambil duduk di deket jendela, sesuai sama apa yang tertera di tiketnya. Masih merayakan kebahagiaan kecil karena kursi di sebelahnya kosong. Lumayan buat pindah-pindah kalo bosen.

Satu menit berlalu, dua menit, tiga menit ... well, ini hari keberuntungan Jeno, udah dua menit menjelang berangkat dan kursi di sebelahnya masih—

“Misi,”

What?

Jeno kaget bukan main.

Satu, kebahagiaan kecil dia terancam 'direnggut' sama si penumpang ini.

Kedua, anjiiirrrrr ini kan orang yang dia kenal???!

The moment mereka ketemu pandang, Jeno cuma bisa melongo. Sementara si lawan cuma natap Jeno bingung—setelah sebelumnya juga ikut kaget—terus ambil duduk di sebelah Jeno dengan badan tegang. Banget.

Peluit panjang, semboyan 41, dibunyikan sama petugas. Kereta jalan pelan-pelan meninggalkan Solo Balapan setelahnya.

Dan di sinilah Jeno, harus menghadapi takdir yang nggak masuk akal dari rentetan takdir-takdir yang terjadi seumur hidupnya.

Imajinasinya melayang ke belasan tahun lalu, di masa-masa Jeno si entrepreneur muda masih jadi school jock (kata orang-orang).

Jadi anak cowok dengan muka yang bisa dibilang lumayan ganteng di ibukota tentu sebuah privilege. Orang-orang banyak yang deketin dia, tawaran jadi ambassador sekolah, sampe sorakan-sorakan semua orang buat lo menggema di lapangan saat lo nyetak gol meskipun nggak bagus-bagus amat.

Tapi dari semua memori indah soal masa SMP-nya di Jakarta, Jeno cuma keinget satu nama yang bahkan sampe kapanpun masih akan tetep berefek sama ke perutnya.

Bikin perutnya tiba-tiba penuh, gives him the whole damn butterflies, dan otomatis memantik serangan tiba-tiba ke jantungnya.

Dia, Huang Renjun.

Satu jam pertama, Jeno bener-bener cuma bisa ngelirik sesekali cowok berambut abu-abu muda di sampingnya ini. Bener-bener nggak berani kalo harus noleh lebih dari empat puluh lima derajat, takut disangka weird.

Berkali-kali juga dia gigit bibirnya cemas, sapa-enggak-sapa-enggak-sapa-enggak.

Duh, mau gila rasanya!

Jeno sebenernya mau-mau aja nyapa Renjun, karena dia yakin seribu juta ratus milyar persen kalo itu Renjun. The legendary Huang Renjun dari ekskul Mandarin yang selalu bikin dia nervous tiap kali papasan doang selama SMP.

The legendary Huang Renjun yang bikin dia tiba-tiba minta dibeliin buku saku cepat berbahasa Mandarin waktu kelas delapan. Yang tentunya nggak berakhir baik karena dia nggak sebegitu punya passion di bidang linguistik.

Intinya, ini Renjun. R-E-N-J-U-N

Manusia yang bikin dunianya jungkir balik bertahun-tahun sebelum ketemu Vania. Meskipun dia nggak pernah tahu atau bertatap muka sama Renjun, karena cowok ini lebih cocok disebut cowok misterius yang nggak keliatan dari dunia. Cepet banget geraknya, cepet banget ilangnya.

Dan sekarang ... setelah ceritanya sama Vania selesai, Renjun tiba-tiba menampakkan diri di depan Jeno–like ... ke mana aja anjir bertahun-tahun ini?!

Selama tujuh jam, Jeno nggak sanggup mau nyapa Renjun. Dia ngerasa kayak upik abu yang lagi duduk di sebelah pangeran. Nggak pantes banget dia sok kenal sok dekat sama Renjun.

Belum lagi, kalo Renjun ternyata nggak ngenalin dia. Aduh, bisa malu tujuh turunan si Jeno.

Makanya ya Jeno cuma berani curi-curi pandang sesekali aja, sambil mastiin kalau dia nggak bertingkah weird dan bikin Renjun illfeel di pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya.

Begitu kereta udah lepas stasiun Cirebon, Jeno bisa bernafas lega soalnya Renjun pergi dari tempat duduknya. Mungkin ke kamar mandi atau ke kereta makan, karena sejak tadi dia cuma duduk-tidur-buka laptop-kerja-tidur lagi-minum air putih doang-tidur lagi.

Nggak sih, itu nggak cuma.

Jeno jadinya juga skip makan siang karena nggak enak sama Renjun. Lebih nggak enak lagi kalo dia tiba-tiba beliin Renjun makan buat berdua.

Imajinasi Jeno lumayan liar sih, mohon dimaafin.

Jeno langsung buru-buru ngetik pesan ke Donghyuk, dengan pertanyaan yang semoga Donghyuk nggak paham apa implikasinya. Biar nggak diceng-cengin sampe Saturnus.

'Menurut lo, kalo ketemu sama temen lama tapi dia nggak inget muka lo, kita harus tetep nyapa apa gimana, ya?'

Jeno deg-degan abis ngirim pesan itu. Bukan takut diroasting Hyuck karena udah biasa, tapi takut kalo Renjun tiba-tiba balik padahal pesan dia belum kebales.

'Sapa aja, tapi lo yakin itu temen lo? Ntar salah orang lagi.'

Persis, concern Jeno juga awalnya begitu. Tapi setelah hampir enam jam duduk sebelahan, Jeno yakin kok kalo itu Renjun.

'Enggak, gue inget banget itu temen gue.'

Donghyuk langsung bales pesan Jeno itu.

'Yaudah, sapa aja sih kalo emang yakin.'

And with that, Jeno udah bertekad buat nyapa Renjun ketika dia balik nanti.

Tapi ironisnya, realitanya, bahkan sampe semua orang udah siap-siap turun selepas berhenti bermenit-menit di Jatinegara, Jeno masih aja ciut nyalinya.

Iye. Dia belum berhasil nyapa Renjun meski cuma sepatah kata 'hai' doang. Emang kayak tai benyek nih mentalnya Jeno. Lembek!

Lima menit kemudian, semua orang udah berdiri. Jeno masih duduk di kursinya nunggu semua akumulasi keberanian dia dateng, cuma buat nyapa Renjun.

Ini semesta lagi berbaik hati sama dia, sih. Karena pas Renjun lagi berusaha ngambil koper kuning punya dia di atas, ternyata kopernya nyangkut sama punya Jeno. Dan menurut penglihatan Jeno, kayaknya Renjun ini (maaf) badannya terlalu kecil buat narik koper di atas sana. Mungkin dia juga takut kejatuhan koper. Makanya dia dengan sungkan langsung ngomong ke Jeno.

“Mas, sorry, ini kopernya Mas, ya?”

Jeno sebenernya udah mengantisipasi itu semua, dan udah siap sigap buat bantuin Renjun, tapi apa coba?

Yang keluar cuma 'hoh?' 'huh?' 'heh?' (inaudible) karena terlalu mesmerized sama penampilan Renjun setelah belasan tahun mereka nggak ketemu.

Renjun terlalu sempurna.

Setelah sekian detik jadi bego, Jeno langsung berdiri dan berusaha ngelepasin zipper kopernya yang nyangkut sama luggage tag punya Renjun.

Dan keberuntungan dia semakin besar ketika liat ada tulisan nama “Huang Renjun” di luggage tag itu. Kesempatan emas buat Jeno bisa basa-basi ke Renjun.

Thank you ya, Mas.”

Renjun bilang gitu ke Jeno ketika koper kuning dia berhasil diturunin.

“Ah ... iya, sama-sama.” Jeno keliatan ngusap kepala belakangnya kayak orang bego.

“Ehm ... Eh ... Kamu .. Huang Renjun, kan?” Jeno langsung nelen (lebih tepatnya keselek) ludahnya sendiri bulet-bulet setelah selesai bicara.

“Renjun ... SMP 23 ... kan?” Jeno udah nyengir, makin kikuk soalnya Renjun bener-bener nggak menampakkan ekspresi mengenali dia.

“Iya, aku Renjun SMP 23. K-ka ... mu ... siapa ya?”

Mampus Jen, Jen. Mampuuuusss kata gue!

Setan yang lagi duduk nangkring di pundak kiri Jeno seolah bilang gitu ke Jeno.

“Lee Jeno, mantan anak futsal. Em ... kayaknya kamu nggak tau ya hehehe,” sumpah ini perkenalan paling bodoh dan kikuk yang pernah dilakuin sama Jeno seumur hidup.

Bisa-bisanya dia kemudian nambahin, “Aku sering lihat kamu, suka ke kelas 8C buat nyamperin Liu Yangyang. Kalian satu ekskul kan? Mandarin, mandarin.”

Jeno tanpa sadar makin maju-majuin badan dia ke badan Renjun. Ini weird banget kalo dilihat sama orang lain.

“Eh ...? Iya aku kenal Yangyang, tapi ... maaf kayaknya aku susah inget kamu siapa. Maaf ya, Mas Je ...?”

“Jeno! Aku Jeno. Kenalin, Jeno.”

Jeno udah gila, soalnya dia udah nyodorin tangan dia ke arah Renjun buat disalamin. Ngebet banget, sampe Renjun ketakutan dan megang erat pegangan kopernya.

“Jeno, Mas Jeno.” dia kayak rada ogah-ogahan nyalamin Jeno, tapi demi kesopanan, yaudah lah dia salamin aja.

“Um, saya duluan ya Jeno? Ini ... udah berhenti keretanya dari tadi. Hehe,” senyum apologetic Renjun jadi perintah buat Jeno segera beresin barang-barangnya yang masih berantakan di kursi, termasuk koper yang masih ada di atas.

“Bentar-bentar, kita bareng aja ya. Tunggu bentar.” Jeno panik banget dan langsung masukin semua benda milik dia ke dalem tas punggung, sementara Renjun keliatan gigitin bibir sambil nungguin Jeno yang maksa ditungguin.

Dia sempet beberapa kali ngeliat ada Polsuska di bordes gerbong belakang ngeliatin mereka berkali-kali, mungkin heran kenapa dua orang ini nggak turun-turun padahal kereta udah berhenti dari sepuluh menit lalu.

Duh, semoga Jeno nggak disangkain lagi jahatin Renjun aja deh. Dia kan justru mau melindungi Renjun dari kejahatan.

“Yuk! Kamu emang masih tinggal di Jakarta ya?”

Jeno ini aneh banget, buka topik obrolan malah jadi kayak SKSD banget gini. Semoga aja sih Renjun nggak illfeel.

“Eh ... Iya, tinggal di ... Kuningan.”

“Oh, terus dari Solo kemaren ngapain? Liburan ya?” tanya Jeno sambil nurunin both koper dia dan koper Renjun dari body kereta yang agak tinggi ke lantai peron stasiun.

“Em ... ada kerjaan sih.”

“Oh gitu, kamu kerja apa sekarang Renjun?”

Renjun masih sabar aja jawabin follow up questions dari Jeno, “Kerja di bank, kantornya di WTC 1 situ.”

Jeno ngangguk-angguk dan langsung sigap nawarin buat bawa turun koper Renjun saat mereka lewat tangga besar stasiun yang agaknya luamayan ikonik itu.

“Nggak usah, Jeno. Aku bisa bawa sendiri.”

Renjun jelas nolak, lah. Karena mungkin nggak mau ngerepotin Jeno di pertemuan pertama mereka padahal dia udah agak lupa sama temen SMP yang satu itu.

Berakhir mereka tarik-tarikan koper sampe akhirnya Renjun bawa kopernya sendiri sampe bawah.

“Ini kamu pulang ke apartemen sama siapa? Naik umum apa naik taksi apa dijemput?”

“Dijemput sama ... “

“Eh ...”

“Pacar?” sebenernya hati Jeno kratak-kratak waktu ngomong gini. Soalnya dia seolah nggak sanggup aja berimajinasi bahwa Renjun udah punya pacar.

Yang artinya, kesempatan dia buat deketin Renjun properly kali ini hangus bahkan di kesempatan pertama mereka ketemu.

“Iya, pacarku udah nungguin sih katanya.”

Tapi ya, sebenernya Jeno nggak khawatir-khawatir amat sih, toh pacarnya Renjun belum tentu lebih baik dari dia kan?

Jeno pede aja sih, dia cakep kok.

Saat mereka nyampe di area penjemputan, Renjun lambaiin tangan ke cowok seumuuran mereka yang pake baju item dengan logo NASA (jelek menurut Jeno), berambut item (bagusan juga rambu coklat Jeno), dan bercelana cargo pendek warna khaki (Jeno percaya diri kalo badan dia lebih keker dari orang ini dan lebih cocok bercelana pendek).

“Itu pacar aku. Aku duluan ya Jeno, see you.”

Bahkan belum sempet Jeno jawab, Renjun udah ngibrit lari ke paccarnya dan langsung gandeng cowok itu menjauh dari pandangan Jeno.

Huh ... at the end of the day, emang bener kata orang-orang, cowok tulus kayak Jeno akan kalah sama cowok bermobil. Apalagi kalo mobilnya merek Eropa.

Satu: Renjun

Ini sudah menginjak minggu kedua Desember. Hampir dua bulan lagi, Renjun bisa bernafas lega karena bucket list dia bisa dicoret satu nomor: nonton konser Taylor Swift. Yang sebenernya baru-baru beberapa tahun terakhir aja muncul, sebelumnya juga dia nggak sebegitu tertarik denger lagu beliau. Dia dulu masih embrace identitas sebagai emo boy yang milih denger lagu-lagu karya Avril Lavigne.

Renjun sekarang lagi makan malem sama Mark. Di hari Jumat yang agak mendung bekas hujan tadi siang.

Mereka makan santai sedari jam tujuh tadi, sepulang dari kantor tapi ngerasa too early untuk pulang ke rumah.

“Ini steak gue tender banget, dah. Nih mangap,” Mark sodorin potongan daging yang ditusuk pake garpu, Renjun menerima dengan senang hati.

Buat orang yang nggak biasa, mungkin ngira mereka pacaran. Padahal emang udah defaultnya aja kayak gitu selama jadi rekan kerja empat tahun terakhir.

“Hum ... rasanya ... kayak ... hmmm ... kayak ada rasa truffle gitu deh?” Renjun coba mendeskripsikan rasa jamur mahal yang tiba-tiba kerasa aja gitu di lidahnya, padahal seinget dia, tadi Mark cuma mesen steak biasa yang nggak dibumbuin sama jamur. Karena Mark emang nggak terlalu suka jamur.

“Ngaco lu. Steak segini masa pake truffle.” Mark gantian menyuap potongan daging lagi ke mulutnya, kemudian menyeka bibir sebelum mengambil mocktail milik Renjun yang kelihatan lebih hidup warnanya ketimbang punya dia.

Tukeran makanan adalah love language mereka.

“Besok gue ada date sama orang di Tinder.”

Mark keselek mocktail.

“Lagi?” ekspresinya bener-bener udah menunjukkan kalo dia jengah sama cerita Tinder date Renjun yang most of the time, nggak berakhir baik.

Renjun menipiskan bibir, sebelum lanjut menjawab, “Ya abisnya, gabut banget semingguan ini. Gue coba main Tinder, eh banyakan dapetnya expat yang lagi visit ke Indo.”

Prinsip hidup keluarga Renjun yang chinese tulen bener-bener bikin cara pilih dia soal pasangan ya cuma terbatas pada kalangan orang-orang yang serumpun sama dia.

Alasannya masuk akal sih sebetulnya, biar pasangan dia nantinya nggak kaget kalo harus berhadapan sama protokoler tradisi yang seeeebanyaaakk itu. Renjun juga nggak harus repot-repot kompromi kalo nantinya pasangan dia keberatan soal tradisi-tradisi itu.

“Lo ada niatan buat settle down nggak sih?” tanya Mark setelah menandaskan tomahawk di piringnya.

Pertanyaan retoris sih sebetulnya, karena dia jelas tau siapa yang bener-bener disukain sama Renjun.

“Ya ada ... tapi belum nemu yang cocok aja.” Renjun keliatan bete karena jadi ngaduk-ngaduk doang cream spinach di hadapan dia.

“Yang cocok tuh maksudnya yang anak futsal atletis gitu? Punya eye smile? Dan sok dingin gitu?”

Sial banget kepala Renjun langsung bisa recognise dengan cepat muka seseorang—ralat—bener-bener diri seorang cowok yang dia temuin di SMP belasan tahun lalu.

Emang Mark ini temen paling anjing.

“Udah, ah. Bawa-bawa dia mulu, males gue!”

Renjun makin grumpy, bikin Mark ketawa ngakak sampe tetangga meja mereka ngelirik heran. Tapi karena Mark nggak punya malu, dia makin kenceng aja ngetawain Renjun.

“Lo tau kan kalo dia udah punya pacar?”

Renjun cuma ngelirik sinis, nggak berniat menjawab juga.

“Heh! 13 tahun, nyet. 13 tahun! By now, lu harusnya udah kawin, udah punya anak 3 biji, kerjaan lo tiap pagi bukan cuma mesenin gue nasi uduk buat sarapan, tapi lari-lari telat dari parkiran abis nganter anak lo ke TK.”

Renjun makin sinting rasanya. Mark ngoceh sepanjang lebar dan se-personal itu dengan suara yang tinggi banget. Sumpah, deh, Renjun khawatir diketawain orang gara-gara kisah hidup dia yang luar biasa ngenes itu.

“Sayang aja lo memilih buat terjebak masa lalu. Mending apa?”

Move on, iye ... gue tau. Udah hafal juga. Tapi kan itu susah bego!”

Renjun jawab sinis sambil masukin sepotong garlic bread ke mulut, utuh.

“Kayaknya gue ngerti sih kenapa lo susah move on.”

Mark natap Renjun pake ekspresi sok detektif dia, sok-sokan banget paling ngerti soal cinta, padahal terakhir pacaran juga pas dia masih SMA.

“Lo butuh closure, lo harus ngobrol sama dia. Kalo lo tau situasi dia sekarang, pasti lo bakal pelan-pelan bisa move on, knowing that he's already in love with someone.

Renjun cuma menghela nafas. Udah hafal saran-saran dari orang di sekitarnya buat confess, buat ngasih closure ke longing crush dia yang nggak berbalas itu.

Tapi ... yakali dia tiba-tiba, out of nowhere, kirim DM ke Jeno buat nemuin dia? Terus dia confess gitu? Yang bener aja!

Belum lagi ... emang Jeno tau dia hidup? Selama SMP aja dia cuma berani liatin Jeno dari pinggir lapangan sambil sok sinis karena takut ketauan suka sama si cowok populer.

“Ah, orang gila. Males gue sama ide lo. Mending gue jomblo selamanya.”

“Eh gue aminin, nih?”

“Aminin aja, yang penting gue masih punya duit buat hidup.”

Boong, deng. Jauh di lubuk hatinya, Renjun masih tetep kepengen nikah dan honeymoon romantis di Iceland.

... sama Jeno.

Setelah mereka kelar makan, Mark nganterin Renjun balik ke apartemennya dan mampir sebentar buat ngambil peralatan gym dia yang dia tinggalin di apartemen Renjun sejak seminggu lalu.

“Mark, gue tuh belum mesen tiket pesawat buat ke Tokyo.” Renjun ngomong ke Mark waktu mereka lagi duduk sebelahan di bar stool dapur apartemen Renjun, sambil makan semangka potong yang dibawa Mamanya Renjun dari rumah kemaren sore.

“Hah? Sisa 2 bulan, nih. Kalo abis lo mau ke sana naik apaan? Renang?”

Renjun udah pengen noyor muka Mark pake mangkok yang tiba-tiba udah kosong aja ini.

“Orang masih mahal! One way harganya delapan juta tuh yang bener aja kali? Bisa bangkrut gue.”

“Yaelah, toh lo di sana juga tinggal bareng Shotaro kan? Masih bisa lah 16 juta buat tiket pesawat.”

Asal ngomong banget sih Mark ini, padahal kan Shotaro juga masih harus mesen apartemen karena dia selama ini tinggalnya di Osaka bukan Tokyo.

“Nggak bisa, Taro kan nggak ada rumah di Tokyo. Kita harus tetep split buat sewa apartemen.”

Mark keliatan berpikir, sembari ngunyah suapan semangka terakhir.

“Terus apa rencana lo?” tanya Mark.

“Tadi Taro kirim kontak travel agent gitu sih, tapi keliatannya nggak meyakinkan.”

Alis camar punya Mark bertaut, kayaknya nggak mungkin sih Taro ngirim kontak abal-abal. Kan dia ngerti banget Renjun itu orangnya gimana.

“Coba sini liat.”

Mark nyondongin badan buat liat layar HP Renjun yang sekarang lagi buka Instagram.

Di layarnya sih ada profil sebuah tour and travel yang udah punya belasan ribu followers. Tapi Mark akhirnya ngerti kenapa Renjun ragu, postingan akun itu cuma ada sebelas. Highlights story juga cuma dikit, nggak sampe sepuluh bahkan. Asumsi pribadi Mark sih, perusahaan itu baru buka awal tahun ini makanya masih sepi gitu sosial medianya. Atau udah buka lama, tapi dijalanin dengan konvensional.

“Lo udah buka tuh linktree?”

“Udah, tadi gue udah buka. Kesambung ke TikTok, Whatsapp, sama Facebook.”

Dude? Siapa coba pake Facebook hari gini?

“Oh sama ada Google Maps, deng.” kata Renjun waktu ternyata ada satu tambahan informasi berupa button yang akan ngarahin mereka ke GMaps page punya tour travel bernama “Balu” itu.

“Lah? Di Solo, nih.”

“Jauh amat yak. Cari yang deket aja kali ya Mark?”

Renjun agak sangsi sih, kalo deket kan sebenernya dia bisa langsung datengin kantornya kalo misal butuh informasi tambahan. Tapi kalo Solo ... kayaknya bakal jadi opsi ke sekian Renjun, deh.

“Iya sih. Lagian kenapa sih nggak cari di Traveloka atau apaan gitu?”

Mark kesel, wajar sih ya, ini kan udah dunia moderen, ngapain Renjun masih ngandelin tour and travel buat nyariin dia tiket pesawat? Kayak nggak punya internet aja.

“Udah, Mark Lee sayang. Ma-hal. M-A-H-A-L.”

Tuh, kan. Renjun kehilangan kesabaran.

“Apa bedanya ama tour travel? Kalo individual gini tetep aja mahal, kali.”

“Sotoy, lu. Kata Taro lebih murah, kata nyokap gue juga gitu.”

Hm, apa iya ya? Mark juga nggak tau sih sebenernya.

Dia ngedikkin bahu sambil berdiri, terus jalan ke wastafel buat nyuci mangkok dan dua garpu bekas mereka makan semangka.

“Yaudah, lo coba cari yang deket sini aja. Biar kalo nggak legit, bisa kita datengin langsung dan bakar kantornya.”

Frasa terakhir, Mark cuma bercanda. Suwer.

Malem itu, Renjun akhirnya scrolling travel app sampe ketiduran. Tapi hasilnya nihil, dia belom dapet sebiji pun tiket pesawat.

Hangat East Side Malam Itu

Malam itu, aku harus waxing dadakan.

Mengingat Aeri bilang kalo seseorang secakep Renjun ngajakin ketemu, tujuannya palingan juga buat having sex, aku langsung kepikiran kayaknya it would be nice kalo aku well-prepared di depan dia. Termasuk bikin badanku mulus, biar nggak malu-maluin kalo dia sentuh-sentuh badan aku.

Ih merinding banget >,<

Jam sembilan lewat dua belas menit, Renjun telfon aku.

Telfon pertama sejak beberapa minggu kita ngobrol lewat WhatsApp.

Suara dia berat banget, manly, renyah banget. Kebayang betapa seksinya dia kalo nanti dia pake suara itu buat ngomong sama aku waktu dia masukin aku.

Eh, kejauhan banget ya ngomongnya?

Oke, oke, kita kembali.

Yang jemput aku dari apartemen obviously bukan Renjun, tapi Uber yang dipesen sama Renjun. Lumayan, perjalanan hampir sejam dari Brooklyn ke Manhattan, nggak perlu pake drama ketemu orang freak, dililit uler peliharaan di stasiun, atau nginjek tai manusia di subway.

Begitu sampe di tempat janjian, ternyata masih sepi. Of course karena ini bahkan belum jam sepuluh, bahkan anak-anak kuliah baru pada balik dari kampus jalan kaki. Ada juga bapak-bapak berjas yang kayaknya baru selesai hangout bareng business partner mereka di daerah sini.

Aku dengan gampang bisa nemuin Renjun, karena dia ada di pojok deket jendela. Lagi mainan HP. Masih dengan gaya andalan dia pake snapback kebalik ala-ala Austin Mahone circa 2012. Kali ini snapback dia warna merah. Duh, ganteeeenggg banget.

Dia nawarin aku makan, tapi aku tolak dengan halus soalnya aku nggak mau perutku buncit. Gila ya, abis ini aku masih ada PR buat ngebentuk otot di sekitar punggung supaya bagus pas pake backless top di edisi foto-foto baru punya Maria Jones bulan depan.

Duduk bareng sama Renjun buat ngobrolin kerjaan aku bener-bener refreshing, soalnya baru kali ini aku bisa ngerasain cerita dengan leluasa selain ke Aeri. Renjun tuh ... bener-bener atentif ke aku.

Segala keluh kesah soal apa yang aku rasain selama beberapa hari terakhir, beberapa bulan terakhir, sampe ke keputusan aku buat kembali berkarir setelah insiden dua tahun lalu dia dengerin dengan antusias. Sesekali juga dia ngasih masukan buat aku supaya berkembang lebih baik lagi. Nggak sungkan juga dia negur aku, lebih-lebih soal aku yang selama ini menurut dia terlampau jadi 'people pleaser' dan 'maksa' supaya orang lain suka sama aku dengan cara 'gaslight' mereka.

Padahal, huft, bener kata Renjun, cycle ini nggak akan ada habisnya.

Renjun asik, pengetahuannya juga luas banget. Dia bahkan tahu siapa aja desainer-desainer 'rookie' yang beberapa bulan ke depan ini bakal sibuk buat siapin penampilan perdana mereka di NYFW.

Dia juga janji ke aku kalo dia bakal dateng September nanti waktu aku jalan bareng koleksinya Maria.

Hampir jam 12 dan kita baru hop-in ke hiruk pikuk bar yang sering banget dipake hangout artis-artis hollywood ini.

Yang paling berbahaya sebenernya bukan soal nggak cukup sober buat pulang ya, tapi lebih ke ... aku yang nggak siap mati muda karena terlalu baper digandeng sama Renjun.

Iya, friends, Renjun gandeng tanganku sejak dari restoran di luar tadi ke dalem bar. Nggak dia lepasin sama sekali.

Duh, help, anybody?

Pas di dalem bar, dia ternyata udah cukup sohib sama beberapa staf di balik bar counter. Dia bantu aku juga buat mesen Cosmopolitan karena kebetulan mereka serve minuman itu. Kebetulan juga lagi pengen yang seger-seger.

Renjun kuat minum, aku akuin. Soalnya dia udah minta serve lagi segelas mojito sebelum his second glass of martini di jam 2 pagi, dan nggak keliatan bakal tumbang sama sekali.

Tapi his grand gestures buat usap-usap pipiku atau ngusap lutut sampe paha mentang-mentang aku duduk di depannya beneran alarming. Aku kayak ... takut aja kalo kejauhan.

Jujur aku masih ragu, belum kenal dia sepenuhnya. Meskipun selama ini aku keliatan cukup vokal ngejar-ngejar dia.

Aku tarik lagi deh ucapanku tadi. Bodoh banget, bisa-bisanya kepikiran waxing tadi siang.

Masa lalu kenalan sama orang nggak bener yang akhirnya ngejebak aku beneran bikin aku cukup jera.

Di umur delapan belas, aku kenal sama perempuan cantik yang umurnya dua tahun di atasku. Aku ngiranya dia baik karena bantu aku buat unveil potensi berkarir di modeling. Aku pikir saat itu 'pamrih' dia cuma pengen pacaran sama aku, ternyata dia psycho dan hypersex.

Haha, perlu empat tahun buat lepas dari dia. Nggak lagi-lagi deh.

Setahun berikutnya, kenalan lagi sama seorang cowok yang umurnya sebelas tahun lebih tua. Means, umurnya udah masuk kepala tiga. Duda. Duitnya banyak.

Orang bilang, aku pacaran sama dia buat securing my seat di karir modeling yang baru aku rintis ini. Udah bukan rahasia umum kalo aku sama dia sering banget PDA. Dan orang-orang ngerasa kalo aku ini pecun kelas kakap. Soalnya bisa dapetin hati dan harta dia.

Sampe suatu ketika, anaknya yang masih duduk di bangku SMP nyamperin aku pas aku lagi asik-asik makan siang bareng Aeri di mall.

Dia siram aku pake jus buah naga di kursi restoran. Marah-marah ke aku dengan alasan aku ngerebut Papanya dari dia. Well, aku bahkan nggak tahu dia anaknya pacarku saat itu?

Untung aja aku sama Aeri cukup bijak buat diem dan nggak bales apapun pas anak itu marah-marah.

Later on, baru ketahuan kalo ternyata anak itu adalah anak tirinya pacarku dari pernikahan pertamanya. Batal deh orang-orang ngatain aku pelakor. Soalnya sebelum sama aku, dia memang udah cerai dari istrinya alias ibu dari si anak ini.

Jangan kira ujiannya berhenti di situ. Setelah aku mutusin dia karena mau fokus ke karirku tanpa embel-embel kontroversi kayak gitu, tiba-tiba ada skandal lain.

Sex tape kita kesebar di sosial media.

Aku akuin, emang aku agak teledor karena membiarkan dia ngerekam semua aktivitas seksual kita selama pacaran hampir dua tahun. Dan waktu kita putus, aku juga nggak repot-repot untuk minta semuanya di-disburse sebagaimana seharusnya.

Nggak ada yang tau siapa yang nyebar dan gimana enam belas sex tapes itu bisa kesebar dalam waktu seminggu. Tapi kata Aeri, pelakunya pasti mantanku. Dengan alasan dia nggak terima diputusin sama anak kecil kayak aku.

Orang gila kan?

Tentu karirku hancur. Banyak yang langsung mandang aku skeptis, bahkan ngaruh juga ke rekan-rekan yang satu profesi sama aku. Mereka dapet cap buruk karena dianggap punya tingkah laku yang mirip kayak aku.

Nah, di titik terendah itu, aku ketemu sama seorang produser musik. Namanya Mark Lee.

Di awal kita deket, nggak ada gelagat mencurigakan yang bisa aku tangkep dari dia. Orangnya ganteng, santun, bertanggung jawab, pekerja keras, penyayang. Ah, pokoknya green flag banget lah!

Sampe suatu ketika, muncul temen SD ku—Lee Haechan yang nangis-nangis di depan rumah Mommy, mohon-mohon supaya aku jauhin Mark Lee.

Mommy marah besar ke aku kala itu. Bukan cuma Mommy sih, seluruh keluarga besar bahkan.

Mereka bilang, aku ini malu-maluin. Kelakuanku udah di luar batas. Bahkan sampe sebut kalo perangai burukku ini bawaan dari mendiang Ibu yang jiwanya liar.

Posisi terendahku ya saat itu.

Keluargaku sampe udah nggak mau peduli lagi sama aku. Gara-gara malu anaknya menjalin hubungan—yang bahkan belum bisa dibilang pacaran juga—sama Mark Lee, tunangan Lee Haechan yang ternyata nggak jujur ke aku saat itu. Atau mungkin, bahkan aku yang salah nangkep semua sinyal dia? Nggak tahu. Mau sebanyak apapun aku bela diri, tetep nggak masuk akal di telinga semua orang. Tetep aku yang harus salah.

Itu kejadian sekitar satu setengah tahun lalu.

Setelahnya, aku belum pernah buka hati buat siapapun.

Banyak yang deketin, banyak juga yang nggak serius, lebih banyak lagi yang terang-terangan bilang mereka pengen sewa aku.

Temenku pun satu per satu mulai jauhin. Takut kena citra buruk katanya.

Sedih ya?

Makanya pas sadar kalo Renjun beneran sebaik ini sama aku ... aku bingung harus gimana. Di satu sisi, aku yakin dia tulus. Tapi di sisi lain, mungkin dia tulus, tapi sinyal dari dia kan belum tentu menyiratkan kalo dia suka sama aku?

Selama sisa malam itu sampe jam tiga pagi, Renjun berusaha semakin deket sama aku secara literal. Semakin intens elus-elus badanku, tanganku, pahaku, semua yang bisa dia jangkau.

Aku bukan merasa terancam, tapi aku cuma merasa kalo ini nggak seharusnya. Tidak ketika dia masih pacarnya adikku.

Ya, mungkin kalian nggak percaya soalnya track recordku kayak gitu. Tapi kalo buat seks, beneran, aku nggak sampai hati kalo harus ngelakuin itu sama pacarnya adik tiriku sendiri.

Aku nemenin Renjun tidur malem itu, meluk dia, selalu ada di samping dia semaleman sementara dia ngeracau setengah mabuk. Tapi udah, cuma itu, aku nggak pengen bikin dia merasa menyesal udah mengkhianati pacarnya besok pagi.

Tapi, pagi itu, aku akhirnya sadar kalo nggak ada yang lebih sedih ketimbang mencintai sesuatu yang bukan punya kita sendiri.

Jam sembilan, Renjun pergi buru-buru. Ninggalin aku sendirian di kamar hotel yang semalem dia pesen dengan setengah sadar.

Buat nemuin Jisung yang tiba-tiba dateng ke New York tanpa ngasih prior notice.

Aku somehow bisa ngerti, Renjun pasti panik banget.

Meskipun aku sama dia semalem nggak ngapa-ngapain, tapi berhubungan deket sama kakak dari pacarnya tetep bakal kedenger salah nggak sih?

Renjun Si Racun Dunia

Jadi gini, friends.

Aku tuh suka sebel kalo liat orang pergi ke luar rumah tanpa outfit check dulu. Termasuk pake baju asal-asalan yang penting menutup aurora.

Belum lagi, kalo mereka mau datengin sesuatu yang penting kayak mau ketemu sama calon mertua, mau jalan sama pacar, atau mau mejeng cantik buat menarik perhatian cowok cakep.

Tapi idealismeku harus dikorbankan hari ini. Soalnya kalo Pak Warto harus nungguin aku dandan cakep, bisa-bisa Renjun dan Jisung yang lagi makan di G keburu pergi.

Jadinya, aku harus cukup berpuas diri ke G's Kitchen pake see-through turtleneck shirt warna putih, sama jaket abu-abu yang barusan aku beli di Milan beberapa bulan lalu.

Kata Aeri, bajuku kayak bukan aku banget pas pertama kali dia samperin aku di mobil. Waktu jam nunjukin delapan lewat tiga puluh, di plataran parkir G's Kitchen.

“So, apa rencana kamu? Jangan bilang kamu mau bikin drama, di dalem lagi ada anak-anak gengnya kakakku, aku malu kalau harus terlibat di drama aneh-aneh yang kamu bikin.”

Muka Aeri memelas, kayaknya dia udah capek punya temen kayak aku.

Ya aku juga nggak bodoh sih, instead of bikin drama murahan, aku lebih memilih buat menarik perhatian Renjun pakai drama kolosal yang kayaknya udah cocok ditampilin di Broadway.

“Kamu tenang aja, pokoknya tugas kamu adalah bawa Jisung ke Dokter Chang buat ketemu Oma dan Momi. Ngerti kan?”

“Loh? Kenapa jadi aku? Kenapa bukan supir kamu aja?”

Aeri ini, aduh ... kalau melibatkan Pak Warto, bisa-bisa rencananya gagal soalnya pasti Pak Warto bocorin rahasia kalau aku nggak bener-bener abis liat Oma, tapi sengaja aja pergi ke G's dari rumah.

Akhirnya aku jelasin isi otakku ke Aeri, pakai suara pelan supaya Pak Warto nggak denger.

“Oh .. gitu ya? Yaudah, aku nunggu di mana nih?”

“Kita masuk berdua aja, biar seolah-olah kamu yang nganterin aku ke sini.”

Aeri untungnya nggak banyak tanya lagi, jadinya kita bisa langsung masuk ke dining area dan jalan ke meja Jisung.

Sumpah ya, friends. Aku tuh meleleh banget pas lihat Renjun pakai kemeja biru tua yang digulung sampe siku, rambutnya warna silver lagi. Rasanya aku mau meninggal tapi baru inget kalau aku belum pernah ciuman sama Renjun. Nggak jadi, deh. Soalnya aku nggak mau mati sia-sia.

Tapi miris juga sih, Jisung tuh kayak nggak bisa menghargai pasangannya banget gitu loh? Bisa-bisanya dia cuma pake celana item jeleknya itu sama pake jaket jins untuk datengin acara makan malem.

Besok-besok, aku mau bisikin Kak Gianni biar nggak ngebolehin orang yang underdressed masuk ke restonya.

“Jisung!”

Sukurin. Dia kaget.

Mukanya langsung berubah merah padam. Aku nggak ngerti sih, kayaknya either dia ketakutan gara-gara keluar rumah tanpa izinku, atau kaget aku tiba-tiba di sini.

“Kamu nih ya, Oma dibawa ke dokter dari tadi sore, eh kamunya malah asik-asikan pacaran di sini.”

“Hah?”

Wah seru banget, muka dia makin kaget. Pasti dia khawatir banget. Duh nggak sabar nunggu dia cepet-cepet pergi tanpa pamit ke Renjun.

Emang gitu sih, Oma itu adalah titik lemahnya Jisung.

“K-kok kakak tahu aku di sini?”

“Itu tuh nggak penting, Jisung. Justru aku yang harusnya nanya, kamu ngapain bisa di sini tanpa izin aku?”

Dia udah mau protes dan ngeluarin jawaban, tapi buru-buru aku potong, “gara-gara kamu keluar rumah nggak izin, Oma jadi dibawa ke dokter kan.”

Dia makin panik. Aku seneng banget, soalnya kayaknya dia udah malu karena aku marah-marahin di depan Renjun.

“Y-yaudah, aku samperin Oma dulu.”

“Iya, as you should. Kamu tuh harusnya tau, kalo Oma lagi sakit, pasti yang dicariin tuh kamu.”

Dia lagi panik beres-beres barangnya waktu Renjun tiba-tiba angkat suara.

“Sayang, aku anterin yuk? Di mana tempat dokternya Oma?”

Aduh, andaikan aku yang dipanggil sayang...

“E-eh, Jisung pergi sama gue. Tempat Oma ini private!”

SUMPAHH AERI!!!! Besok ingetin aku buat traktir Aeri makan yang enak! Dia beneran penyelamat banget. Dia pinter banget aktingnya!

Jisung kayaknya mau protes, tapi mungkin dia inget lagi omongan Papi beberapa bulan lalu setelah Oma dipindahin untuk konsul di rumah pribadi Dokter Chang gara-gara keseringan kena ekspos media. Jadi ... alasan Aeri barusan bener-bener masuk akal di telinga semua orang, termasuk Jisung.

“Oke ... tapi kamu bisa saya percaya kan?”

Gila! Renjun ini protektif banget, beneran Jeno butuh satu yang kayak gini ya Tuhan...

“Bisa lah, gue temen deketnya Jeno. Jangan sembarangan lo.”

Aku cuma bisa mengulum senyum. Gini nih, judesnya Aeri beneran membantu di saat-saat kayak gini.

Akhirnya tanpa perlu bersusah payah, Jisung dibawa pulang sama Aeri naik mobilnya. Nyisain Renjun yang berdiri di ambang pintu buat mastiin Jisung masuk dengan selamat ke mobil Aeri, dan aku yang berdiri di samping Renjun sambil mikir ... now ... what?

“Ehm,” perhatian Renjun ke mobil biru punya Aeri yang udah berbelok keluar parkiran akhirnya pindah ke aku yang lagi berdiri chantique-ly di sebelahnya.

“Eh, sorry ya, tadi Jisung belum izin ke lo ya? Maaf, gue yang salah, harusnya gue yang minta izin. Tapi tadi—”

“Gapapa kok, Renjun.”

Aku potong aja deh omongan Renjun, soalnya aku sebel denger dia belain Jisung terus. Padahal itu kan akal-akalan aku aja biar aku bisa ngobrol sama Renjun.

“Eh? Oh ... okay.”

Duh, jujur ya, dibanding deg-degan, aku lebih cocok dibilang mesmerized sih sama Renjun yang tiba-tiba sedeket ini sama aku.

“Hmm, Jisung tuh emang gitu, padahal dia disayang banget sama Oma, tapi bisa-bisanya dia lupa kalau akhir-akhir ini Oma lagi kurang sehat.”

Kayaknya Renjun bingung mau jawab apa, makanya dia cuma bergumam, 'ah, i see' di sebelahku.

“Agak careless dia tuh, heran aku.” Buat nambah kesan dramatis, aku geleng-geleng kepala doang sambil ngelipet tangan di depan dada.

“Uhm, by the way, Renjun mau langsung balik?”

“Eh ... iya, gue abis balik kantor langsung ke sini soalnya. Jadi, ya langsung balik.”

Wah bagus! Ini jackpot buat aku.

Sejujurnya aku bingung, aku harus buru-buru pura-pura mabok di depan dia, atau aku bakal jadi polos dulu ya biar dia berempati?

Sebenernya bajuku udah cukup proper sih buat tiba-tiba pole dance di tengah ruangan bar punya Kak Gie ini, tapi kan ... ada temen-temen kakaknya Aeri.

Yaudahlah, aku bakal jadi anak baik-baik dulu aja malem ini. Yang penting kan, pulang dianterin Renjun. Hehehe.

“Aku ... boleh nebeng gak?”

“Hm?”

Aduh cakep banget!!!!! Mata dia melebar, rambutnya tiba-tiba ketiup angin. Sumpah, lututku lemes...

“Iya, tadi aku soalnya ke sini bareng Aeri, tapi kayaknya aku nggak dibutuhin deh di tempat dokter, soalnya udah ada Jisung.”

Ini nggak sepenuhnya bohong dan aku lakuin cuma buat menarik perhatian Renjun sih, soalnya emang bener, kalo udah ada Jisung, ya aku cuma jadi patung doang.

Ih, tapi untungnya, Renjun langsung berempati dan ngebolehin aku buat nebeng ke mobilnya.

Huft ... aku sebenernya udah sering sih pacaran sama cowok ganteng yang kaya raya.

Tapi sumpah, pas masuk ke mobil Renjun, rasanya beda banget.

Mobilnya rapi, wanginya nggak kayak cowok-cowok kebanyakan, dan elegan banget interiornya.

Apalagi ada snacks yang ditata rapi di antara kursi kemudi dan kursi penumpang. Kayaknya Renjun bakal bisa jadi ayah yang baik buat anak-anak kita di masa depan.

Ih apasih Jeno, baru jam sembilan udah halu aja!

Sepanjang perjalanan ke apartemenku—aku nggak pulang ke rumah ya, males kalo harus diomelin gara-gara boong ke Jisung—Renjun nggak banyak ngobrol sama aku, dia cuma sesekali jawabin pertanyaan basic dari aku seputar 'dulu sekolah di mana?', 'sekarang kerja apa?', atau pertanyaan receh soal kesibukan dia akhir-akhir ini.

Satu hal yang bikin aku makin tertarik sama Renjun, yakni dia yang suaranya ternyata bagus. Padahal cuma humming ke lagu-lagunya Chet Baker di audio mobil.

Seksi banget sumpah!

Waktu mobil Renjun udah hampir sampai di deket apartemen, aku kepikiran ... kayaknya nggak bisa deh kalau mau ketemu sama Renjun pake cara receh-receh.

Jadinya aku harus merelakan deodoranku aku jatuhin di bawah jok penumpang yang lagi aku dudukin sebelum aku turun. Sambil berrharap semoga besok masih ada di sana. Soalnya harganya agak mahal sih, kan sayang ya kalo ilang...

“Makasih ya Renjun tumpangannya, kayaknya aku ngerepotin kamu banget deh?”

“Oh ... it's okay, lagian juga searah kok.”

Sumpah??! Aku baru tau sih?? Emang jodoh nggak sih kalo rumahnya udah searah gini?!

“Oh ... searah ya? Hehe, jadi boleh dong kapan-kapan aku nebeng lagi?”

“Hm?”

Muka kaget Renjun kayaknya udah jadi candu buat aku, soalnya dia beribu-ribu kali makin ganteng. Apalagi 'hm' dia itu loh, canduuuu banget!

“Bercanda, ganteng. Kapan-kapan aku bawa mobil sendiri aja biar nggak repotin kamu. By the way, sorry juga ya buat Jisung, besok-besok aku akan bantu dia mastiin supaya dia nggak dicari sama Oma waktu jalan sama kamu.”

Aku senyum manis ke Renjun, siapatau dia tiba-tiba tersentuh hatinya.

“Sekali lagi, maaf ya udah ganggu dinner kamu. Dan makasih udah dianterin.”

Renjun senyum juga akhirnya.

Terus pamitan ke aku, sebelum pergi dari lobby apartemenku.

Duh, malem ini udah tiga kali disenyumin manis sama Renjun. Bakal kebayang terus kayaknya.

Aih ... tidur malemku nanti pasti nyenyak, nggak perlu minum sleeping pills lagi deh!

Finale Script

Ucapan terakhir Renjun ke Jeno lewat teks kemarin benar-benar punya efek nyata untuk hubungan mereka.

Kalau biasanya Jeno akan setidaknya menyapa Renjun dengan sapaan 'morning' plus senyuman ganteng di pagi hari waktu mereka berpapasan di ruang makan, maka hari Sabtu pagi ini, Jeno memilih buat menutup rapat-rapat mulutnya waktu Renjun mondar-mandir di dapur.

Mereka seakan punya dunia sendiri-sendiri. Jeno sibuk dengan protein shakenya, sementara Renjun juga sibuk dengan jus sayur dan sarapannya di pagi hari.

Jeno menepati janjinya, tidak mengintervensi kehidupan Renjun lagi setelah diperingatkan kemarin pagi.

Menurut Jeno, omongan Renjun buat dia sakit hati. Terlalu kasar, mungkin? Tapi masuk akal juga, karena dia tahu Renjun sudah lama berusaha buat move-on.

Dia pun sebenarnya juga sama, tapi memang dia ini tipe-tipe yang nggak suka ambil pusing. Nggak melulu harus memaksakan bisa cepet move-on, toh dari seusai mereka bercerai pun, dia nggak ingin segera menikah lagi.

Tapi mungkin lain cerita dengan Renjun, dia sudah punya target membuka hati buat orang baru? Atau mungkin memang dia ingin jadi pribadi yang lebih baik aja dan bisa lepas dari bayang-bayang Jeno yang sudah hidup sama dia hampir dua puluh lima tahun lamanya. Yang mana itu tidak mudah.

Jeno berniat untuk membersihkan kolam renang di samping rumah setelah menenggak habis protein shakenya.

Baru saja dia mau mencuci botol bekas protein shake, dia dengar Renjun berjengit kaget dan rasa kaget itu berubah jadi rasa khawatir waktu dia lihat ada banyak darah di tangan Renjun.

Tanpa perlu banyak bicara, Jeno langsung bawa ibu jari kiri Renjun ke mulutnya.

Wah, jangan tanya apa yang Renjun rasa. Dia udah marah banget. Oh ... bukan marah ya mungkin? Kaget dan malu? Atau bahkan ... udah jengah? Karena lagi-lagi, saat dia sedang berada di titik paling buruk, Jeno datang buat dia.

Jeno kemudian meludah ke wastafel, sambil pelan-pelan mencuci jari tangan Renjun di bawah air mengalir.

Dia narik nafas berat, kemudian bicara ke Renjun, “kamu cuci dulu sampai bersih ya? Bisa kan? Aku cari perban dulu.”

Renjun menuruti apa kata Jeno. Sambil berusaha mati-matian supaya air mata tidak tiba-tiba keluar.

Tapi sia-sia, karena ketika Jeno kembali datang ke Renjun membawa perban, menuntun Renjun duduk di kursi terdekat dari posisi mereka, dan tiba-tiba dia berlutut untuk masang perban di jarinya, Renjun akhirnya menangis.

Bukan sakit yang datang dari irisan pisau ke tangannya, tapi rasa marah dan kecewa ke dirinya sendiri karena sampai sejauh ini bahkan dia belum bisa benar-benar tidak bergantung ke Jeno.

Jeno awalnya mau kaget, bahkan takut waktu melihat Renjun tiba-tiba menangis tersedu di depan dia. Apa memang sesakit itu lukanya? Atau jangan-jangan dalam banget? Apa memang perlu dibawa ke dokter ya?

Tapi dia tiba-tiba langsung mendengus waktu ingat kalau mantan suaminya itu terlalu sensitif soal apapun.

Dia tutup kotak perbannya pelan-pelan, lalu dia hapus air mata Renjun dengan jari-jari tangannya, meskipun awalnya mendapat sedikit gestur penolakan dari Renjun yang sedang dikuasai gengsi.

Jeno looks up with a grin on his face.

“I ... sense an urgent need for a hug in you.” Renjun bursts out his laugh in return.

“So, want me to hold you?”

Dan ... begitulah awalnya hingga Renjun si mantan suami dramatis akhirnya mau kembali ke pelukan Jeno—secara literal.

Sabtu pagi sebelum kepulangan anak-anak jadi lebih ceria—dan sedikit panas—karena sepasang orang tua yang pernah berpisah itu akhirnya punya sesi intim mereka sendirian.

Dari pelukan ringan sekitar pukul delapan, berubah jadi sesi ciuman penuh gelak tawa di sofa ruang keluarga. Sambil mengingat apa-apa saja yang pernah terjadi di sana waktu dulu jauh sebelum mereka akhirnya berpisah rumah dan seolah tidak pernah kenal.

Renjun mungkin akan menyesali pilihannya ketika besok ia sudah kembali ke rumah dan tidak ingat kalau hari ini dia mau-mau saja menerima ciuman panas Jeno. Tapi ya ... itu kan bisa dipikirkan nanti saja, yang penting sekarang dia rasanya kembali jadi muda.

Belum lagi ekskalasi tingkat keintiman mereka tiba-tiba jadi lebih bikin gila. Dan bahkan tanpa jeda. Karena Jeno tiba-tiba membawa Renjun untuk merasakan banyak hal yang sudah lama mereka tinggalkan.

Ini jadi pengalaman yang terasa baru untuk Renjun. Padahal secara harfiah, ia cuma mengulang pengalaman lama, dengan orang yang sama, di tempat yang nyaris sama.

Susah untuk menentukan apakah yang mereka lakukan hari ini benar atau salah. Bingung.

Rasa bingungnya semakin besar setelah ia punya cukup kewarasan untuk grasps everything that just happened in time.

Dia punya banyak kekhawatiran.

Bagaimana kalau setelah ini Jeno kembali pergi dari hidupnya?

Bagaimana kalau setelah ini dia harus sendiri lagi sama Jeremy dan nggak punya siapa-siapa yang akan peluk dia waktu dia kecewa sama dunia?

Bagaimana kalau setelah ini Calvin punya sosok pengganti dia di hidupnya? Orang lain yang akan dia panggil Papa?

Dan kemungkinan terburuk ... bagaimana kalau semua ini sebenarnya cuma mimpi?

Cup.

Jeno kembali bikin dia kaget setelah mencium pucuk pundaknya yang telanjang.

Golden hour bikin kamu tambah cakep, aku sebenarnya masih ingin liha kamu ngelamun cantik kayak gitu. Tapi kita harus siap-siap dan mandi, Calvin dan Jeremy akan landing in 3 hours, sayang. Aku pergi mandi dulu ya?”

Seluruh tubuh Renjun rasanya merinding.

Ternyata semuanya nyata.

Pelukan Jeno tadi pagi, ciuman-ciuman kecil mereka di sofa, bahkan pergumulan panas mereka di kamar utama yang pernah jadi miliknya, itu juga nyata.

Tapi ... setelah ini ... apa? Dia mau apa setelah ini?

Kembali ke Jeno? Nggak mungkin.

Jeno nggak pantas untuk dapat sosok pasangan yang seburuk Renjun. Meskipun berkali-kali, semua orang di sekitar mereka berusaha mati-matian meyakinkan Renjun kalau dia itu cukup. Tetap nggak bisa.

Jeno terlalu sempurna, bahkan bikin Renjun mati-matian harus mencari alasan untuk benci Jeno. Untuk memberi sugesti bahwa tingkah absurd dan tingkah random Jeno ke dia itu ... bener-bener nggak sopan dan nggak cocok kalau harus disandingkan dengan dinamika rumah tangga pada umumnya.

Tapi usaha Renjun semuanya sia-sia, Jeno terus-terusan menunjukkan kalau dia itu benar-benar a good fit untuk Renjun. Apapun yang terjadi.

Dalam perjalanan menuju bandara untuk menjemput anak-anak mereka, Renjun akhirnya sampai di suatu kesimpulan bahwa: dia masih mencintai Jeno. Serius, dia masih cinta, dan dia akan coba kesempatan kedua ini.

Tapi syaratnya cuma satu,

“Jangan sampai anak-anak dan yang lain tahu, ya?”

Yang bikin Jeno tersenyum miring waktu mencium punggung tangan kanan Renjun sembari mengemudi.

Well, loads of fun ahead!