Meaning Of Love ☑️

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon

Pagi itu karena merasa sedikit bosan di rumah, Ara akhrinya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, awalnya ia hanya makan di cafe milik Jordan, Kakaknya Echa namun lama kelamaan Ara bosan juga, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke toko buku lagi, kebetulan novel-novel yang ia beli sebelum UN sudah selesai ia baca semua, jadi Ara memutuskan untuk melihat-lihat koleksi novel di toko buku langgananya, siapa tahu ada yang membuatnya tertarik.

Lorong demi lorong Ara lalui sembari sesekali ia melihat novel-novel yang di pajang membentuk sebuah piramida disana, novel kesukaan Ara itu dengan genre thriler dan romance, tapi kali ini pilihanya justru jatuh pada novel thriler yang di pajang di rak buku dengan tulisan Best Seller itu.

Sedang asik membaca sinopsis dari novel yang ada di tanganya, tiba-tiba saja pundaknya di sentuh oleh seseorang, membuat Ara jadi menoleh ke sampingnya. di sebelahnya ada seorang cowok yang ia kenal, cowok yang waktu itu sempat bertemunya di toko buku ini, kemudian di aquarium.

“Julian?” sapa Ara, Julian tersenyum.

“Sendirian aja?” tanyanya.

Ara mengangguk kecil, “iya nih, lo juga sendirian?”

“Iya, tadinya mau nyari titipan buat Adek gue, eh malah nyasar ke lorong novel. by the way lo suka novel thriler juga?” tanya Julian, setelah ia melirik tas PVC dari toko buku untuk menaruh belanjaan yang Ara bawa.

Gadis itu mengangguk, mengeluarkan dua novel best seller yang sudah ia kantongi untuk segera ia bayar, “iya, suka banget malahan, lo juga suka baca novel?”

“Ya gak suka-suka banget, tapi kalo jalan ceritanya bagus gue pasti bakalan baca kok.”

Julian memang suka baca, tapi kalo untuk membaca novel ia masih pilih-pilih, enggak semua novel masuk ke dalam selera nya, Julian lebih suka membaca buku-buku yang mengangkat isu-isu sosial di dalam negeri. menurutnya itu bisa menambah wawasanya, dan mengetahui apa saja yang tengah terjadi.

“Mau gue rekomendasiin beberapa novel thriler yang udah pernah gue baca dan menurut gue bagus, gak? ya kali aja lo suka juga kan.”

Julian yang tadinya sudah lupa akan rasa ketertarikanya dengan Ara itu kembali goyah, ia akhirnya mengangguk dan mengikuti langkah kaki kecil dari gadis yang berjalan lebih dulu di depannya itu. mereka berjalan di lorong sebelah saat mereka bertemu tadi, mata Ara berpendar mencari novel yang sebelum ujian nasional itu sempat ia lihat di lorong sekitar sana.

“NAH INI DIA!” pekiknya, ia mengambil novel itu dan memberikanya ke Julian.

“Yang ini juga bagus, Jul. gue udah pernah baca ini.” Ara memberikan sebuah novel dengan cover berwarna pink, karya Gillian Flynn di atasnya ada tulisan penulis best-seller Gone Girl.

“Bagusnya?” Julian menaikan satu alisnya.

“Lo punya triggering sesuatu gak?” tanya Ara sebelum ia menjelaskan novel itu pada Julian, Dan Julian hanya menggeleng.

“Menurut gue, Sharp Objects agak triggering sih di beberapa bagian karna si protagonis penyitas self harm. kalau lo suka sama genre thriler misteri kaya gini, ini bagus banget.” Ara menjelaskanya dengan sangat excited.

Julian hanya manggut-manggut saja, ia percaya pada pilihan Ara. meski hanya tahu sebagian tentang gadis itu hanya bermodalkan dari sosial media miliknya, tapi Julian yakin bacaan gadis itu enggak perlu di ragukan lagi, buktinya saja ia berani merekomendasikan novel karya penulis yang cukup terkenal.

Kalau enggak salah ingat, teman sekelas Julian dulu pernah membicarakan tentang novel ini juga. Jadi sudah jelas selera bacaan gadis itu bagus kan? jadi langsung saja Julian masukan novel itu ke dalam kantung belanja nya.

Julian ingin membaca buku-buku yang Ara baca, ia ingin banyak berbicara dengan gadis di sebelahnya itu. Ingin tahu tentang apa yang ia suka dan tidak suka, seingin itu Julian untuk dekat dengan Ara.

“Ada novel lain yang lo suka, Ra?”

Mereka kembali mengitari rak, memilah novel-novel yang berjajar rapih di sana, sembari sesekali Julian curi-curi pandang dengan gadis yang berjalan di depannya itu. Ia mati-matian menahan senyum konyol yang bisa saja muncul di wajahnya. Julian enggak pernah menyangka, toko buku yang semula biasa saja. Bisa menjadi tempat yang membahagiakannya sekarang ini.

“Ada, gue suka sama karya nya Keigo Higashino.”

“Malice?” tebak Julian.

“Kok tahu?” tanyanya, apa Julian pernah membaca novel itu juga? pikirnya.

“pernah liat temen sekelas bawa, cuma ya gak baca cuma liat aja, tapi bagus?”

Ara mengangguk, “bagus kok.”

Keduanya masih mengitari rak-rak novel di sana, sedang ada jumpa penulis juga dari novel terbitan sebuah plat form. Ara bisa menebak kalau novelnya bergenre romansa, yah tipikal novel-novel yang di sukai remaja dengan bahasa ringan, kisah roman picisan anak SMA.

“Satu-satunya thriller yang pernah gue lanjut baca itu cuma Holy Mother, itu juga awalnya iseng sih, ada gak novel yang mirip-mirip kaya gitu juga, Ra?” ucap Julian tiba-tiba.

“Ahhh.” Ara mengangguk, ia juga pernah baca novel itu, sudah lama sekali namun ia masih mengingat isinya. “Kalau gitu lo harus baca Kelab Dalam Swalayan atau....”

Ara menggantungkan kalimatnya, mencoba mengingat-ingat novel thriller yang pernah ia baca. Yang menurutnya setipe dengan Holy Mother dan di sebelah nya Julian hanya tersenyum samar-samar, menahan rasa gemas karena melihat bibir Ara yang mengerucut itu. dia gak nyangka kalau Ara asik banget buat di ajak ngobrol banyak hal.

“Ahhh, sama Confenssion sama-sama bahas tentang hubungan Ibu dan anak, kalau enggak salah gue masih ada novelnya, mau pinjam?”

“Boleh, berarti kita harus ketemu lagi kalau gitu.”

Ara mengangguk, setelah membayar buku-buku yang ada di tas belanja nya. Julian sempat mengajaknya untuk makan siang bersama, kebetulan Ara juga sudah sedikit lapar. jadi keduanya memutuskan untuk mampir ke restoran yang ada di dekat toko buku.

By the way lo udah punya pilihan kampus yang lo mau?” tanya Julian di sela-sela makan siang mereka.

Ara mengangguk, “udah kok, gue ambil kampus di daerah Malang, lo gimana?”

“Gue dapat beasiswa dari sekolah di Universitas Swasta yang ada di Bandung,” jelasnya.

“Oh ya? hebat banget, Univ mana tuh?”

“Narawangsa, tau gak?”

“Tau kok, Mas Iyal juga kuliah di sana, berarti lo jadi adik tingkatnya nanti dong.”

“Bang Arial kuliah di sana? di fakultas apa?”

Julian sempat berhenti sebentar, dia juga gak nyangka kalau akan satu kampus dengan sepupu dari Ara itu. selama ini Julian gak pernah nyari tahu Arial berkuliah dimana setelah lulus SMA, toh mereka juga tidak saling dekat, Julian hanya tahu Arial saja.

“Mas Iyal anak FISIP.”

“Kalo gitu enggak satu fakultas sama gue,” jawab Julian.

“emangnya lo ambil jurusan apa, Jul?”

“gue ambil Psikologi.”

begitu mendengar jawaban Julian, kedua mata Ara membulat. karena mereka mengambil jurusan yang sama. “gue juga!!”

“Oh ya?” Julian tersenyum, entah ini sebuah kebetulan atau bukan, tapi Julian jadi agak sedikit ke ge'eran.

Ara mengangguk, “iya, serius. ngomong-ngomong ya, Narawangsa itu jadi opsi kedua gue kalo gue enggak dapat perguruan tinggi negeri yang gue mau.”

katakan Julian sedikit egois, tapi dalam hati ia berharap agar Ara bisa satu kampus denganya, dia enggak ada niat untuk mendekati Ara sebagai gadis yang ia sukai kok, apalagi berpikiran untuk merebut Ara dari pacarnya, Julian hanya ingin berteman saja dengan gadis itu.


Setelah sampai rumah, Ara baru sempat memeriksa ponselnya, ternyata Yuno menghubunginya beberapa kali dan membalas pesan darinya juga. Ara sempat terdiam beberapa saat di ranjangnya, membaca sederet pesan yang Yuno kirimkan untuknya. Yuno menjelaskan kenapa semalam cowok itu enggak menghubunginya lagi, dan dalam hati Ara sedikit memakluminya.

Alih-alih menelfon balik Yuno, Ara justru hanya membalas pesan singkat dari cowok itu saja. kemudian mencari kesibukan lain dengan membaca novel-novel yang ia beli barusan, Ara ngerasa dia harus mulai terbiasa sekarang untuk tidak selalu menunggu kabar dari Yuno. Ara gak mau jadi ketergantungan sama cowok itu, apalagi mengingat Yuno akan semakin sibuk dengan kuliahnya.

baru setengah novel yang ia baca, tiba-tiba saja ponselnya bergetar, menampakan nama Yuno di sana.

“Hallo, Kak?”

Sayang, lagi apa?

“Lagi baca novel aja, Kak. Kamu udah enggak sibuk?”

Di tempatnya Yuno menahan nafasnya, nada bicara Ara terdengar biasa saja. Hanya pertanyaan sederhana namun itu seperti mencubit hatinya, membuat Yuno merasa bersalah karena seperti mengabaikan Ara yang malam itu menunggunya.

Sayang, aku minta maaf soal semalam ya.” di seberang sana, Ara bisa mendengar nada bicara Yuno yang penuh penyesalan.

“Iya gapapa kok, aku bisa ngerti, lagi pula semalam aku juga langsung tidur.” Ara bohong begini supaya Yuno enggak merasa bersalah lagi.

Beneran? kamu marah gak? kok tadi telfon aku enggak di angkat?

Ara mengulum bibirnya sendiri, jujur saja. Ara tahu kalau Yuno menelfonya, tapi memang sengaja Ara tidak mengangkatnya karena ia sedikit kesal. “Iya, gak kedengeran, Kak. tadi aku habis pergi.”

Pergi kemana sayang?

“Toko bu-”

“Sayang, nanti aku telfon lagi yah, aku harus lanjut kelas.”

Belum sempat membalas ucapan dari Yuno itu, tapi di seberang sana Yuno sudah mematikan sambungan telfonya secara sepihak. membuat Ara sedikit meringis dan hanya bisa memandangi ponselnya saja, padahal ada banyak cerita yang ingin Ara bagi dengan cowok itu.

Telat Ara sadari namun akhir-akhir ini semenjak Yuno sudah aktif di kampusnya, cowok itu jadi jarang sekali berbagi cerita kesehariannya, kalau Ara cerita tentang keseharianya pun kadang Yuno hanya menanggapinya seperlunya saja. Setelah itu, Yuno akan berpamitan untuk tidur atau ada hal yang harus ia kerjakan.

Ara sudah kembali ke Jakarta, Ia harus menyiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi, kemarin, Ara baru saja selesai untuk melakukan test masuk universitas yang menjadi tujuannya. Dia hanya tinggal menunggu pengumuman seleksinya saja, sembari sesekali menyiapkan data dirinya.

alhasil komunikasinya dengan Yuno juga berkurang, apalagi Yuno juga sudah mulai masuk kuliah, otomatis cowok itu juga semakin sibuk. Ara cukup mengerti awalnya, walau terkadang ia suka merasa uring-uringan karena lagi-lagi ia harus menjadi pihak yang menunggu.

belum lagi, ia harus bertarung melawan isi kepalanya sendiri. sejak ia mengetahui jika Yuno megajak gadis lain lebih dulu ke apartemen nya, jujur saja rasa kepercayaan Ara dengan cowok itu sedikit berkurang.

seperti sekarang ini, setelah selesai membersihkan kamarnya, tadi siang Yuno berjanji untuk melakukan panggilan video dengan Ara jika gadis itu sudah selesai membersihkan kamarnya, namun nyatanya sudah satu jam ia menunggu kabar dari cowok itu, namun Yuno tak kunjung mengabarinya.

Ara menghela nafasnya pelan, akhrinya ia mencoba menelfon Echa. ia pikir ia harus bercerita tentang hal-hal yang menganggunya akhir-akhir ini, mungkin saja ia butuh sudut pandang lain untuk ia mintai pendapat, baru tiga kali nada sambung terdengar di ponselnya, tidak lama kemudian Ara mendengar suara Echa di sebrang sana.

hallo, Ra?

“Cha, lagi sibuk gak?”

enggak nih, lagi nyantai aja gue, kenapa?

Ara bangun dari kursi meja belajarnya, ia berpindah ke atas ranjangnya dan duduk di atas sana sembari memeluk boneka berbentuk kucing dari Kak Yuno itu, “gue mau cerita aja.”

kenapa sih? soal Bokap lo lagi yang masih mempertimbangkan lo bakalan ngekost?” tebak Echa, kemarin-kemarin Ara memang sering bercerita soal Papa nya yang masih kurang setuju jika Ara harus menjadi anak kost.

“bukan, Cha. ini soal Kak Yuno.”

di sebrang sana Ara bisa mendengar suara helaan nafas Echa, “kenapa lagi sama cowok lo? kangen?” tebak Echa.

Biasanya Ara kalau lagi kangen sama Yuno dan gak bisa menghubungi cowok itu karena perbedaan waktu, atau karena Yuno sedang sibuk, maka Echa lah yang menjadi tempat pelampiasan Ara dengan segala rengekan gadis itu. Echa sih udah biasa, toh kalau sedang bertengkar dengan Janu, ia juga suka merengek pada Ara.

“kalo kangen mah jangan di tanya, selama LDR gue selalu kangen sama Kak Yuno.” memang benar kan, selama menjalin hubungan jarak jauh dengan Yuno. Ara lebih sering merindukan cowok itu apalagi jika ia mendatangi tempat-tempat yang pernah ia datangi dulu bersama Yuno dan kini ia harus datang sendirian.

terus?

“Cha, waktu gue ke Heidelberg nyusul Kak Yuno ada hal yang bikin gue kepikiran, apa aja yang dia lakuin waktu gak sama gue.” Ara mengigit bibirnya sendiri, walau menganggu pikiranya ia sedikit ragu untuk menceritakan hal ini sama Echa, ia gak mau Echa beranggapan kalau ia terlalu posesif sama Yuno.

aneh gimana? ih, lo tuh ya, kalo cerita jangan setengah-setengah kenapa sih,” keluh Echa di seberang sana.

“iya, jadi apartemen Kak Yuno kan ada dua kamar nah gue kan tidur di kamar tamu apartemen Kak Yuno ya, terus waktu gue mau tidur gue gak sengaja nendang jepit rambut, Cha. Yang ada di dekat ranjang gue tidur.”

hah? maksudnya?

“iya, ada jepit rambut cewek di kamar tamu nya Kak Yuno.”

terus-terus?

“waktu mau gue tidur, gue juga baru sadar kalo di bantal yang gue pake ada rambut yang jatuh ke atas bantalnya, gue pikir itu rambut cewek karena sepanjang itu, Cha. warna nya bloonde.” Ara gak mungkin salah mengira, selain ucapan dari Ann waktu itu, Ara sendiri sudah memastikan jika rambut itu benar-benar milik Ann.

tunggu-tunggu, jangan bilang lo overthinking dan mikir kalo Kak Yuno bawa cewek lain ke apartemen nya terus tidur di kamar itu?” tebak Echa, yang dalam hati Ara ia benarkan ucapan itu.

“gue tuh bukan cuma overthing dan mikir kaya gitu, Cha. gue bahkan udah mastiin sendiri dan tau itu rambut siapa.”

rambut siapa?

Kali ini Echa yang di buat penasaran, jujur saja Echa gak pernah kepikiran Yuno bisa menjadi cowok brengsek yang bisa menyakiti temannya itu. toh, selama ini meski banyak yang menyukai, Yuno tetap setia dengan Ara kan? yah, tapi Echa tidak tahu jika Jerman dan kehidupan penuh kebebasan di sana bisa merubahnya.

Bukankah, sejatinya kita tidak pernah tahu isi hati seseorang? Kerap kali kita sering menilai orang baik, namun nyatanya kata baik jauh dari orang yang kita nilai itu.

“hari ke empat gue di sana, Kak Yuno ngenalin temen-temenya di sana ke gue. dia bawa temen-temennya ke rumah, sampai gue kenal sama satu cewek yang gue curigain kalo dia yang punya jepit rambut itu, apalagi rambutnya sama persis kaya yang gue temuin di bantal. tapi, Cha.”

Awalnya Ara memang hanya merasa curiga saja, sampai akhirnya Ann sendiri lah yang bilang secara tidak langsung jika rambut dan jepit rambut itu memang benar miliknya.

“kecurigaan gue terbukti. si cewek itu yang bilang sendiri ke gue kalo dia sempet main ke apartemen Kak Yuno sebelum gue datang. dia bilang kalo dia sama Kak Yuno juga sempet ke Altstadt,” jelas Ara.

Yuno memang cerita kalau itu bukan pertama kalinya ia datang ke Altstadt, Yuno sudah pernah ke Altstadt dengan seorang temannya, tapi waktu itu Ara berpikir jika teman yang Yuno maksud mungkin Josep atau teman pria lainnya, namun siapa sangka jika Yuno pergi bersama Ann ke sana.

Ra, lo gak nanya langsung sama itu cewek atau sama Kak Yuno langsung aja, dia ngapain ke apartemen Kak Yuno dan soal jepit rambut itu apa beneran punya dia?

Ara menghela nafasnya pelan, sayangnya ia tidak berani bertanya soal hal itu dengan Ann maupun Yuno. Ara belum siap menelan kekecewaan nantinya, lagi pula ia sudah terlanjur sedih karena Kak Yuno gak cerita soal hal ini dengannya. Padahal, setiap hal yang Ara lakukan bersama teman-temannya. Ara selalu bercerita dengan Yuno, termasuk saat ia pernah bertemu Genta dan di antar pulang oleh cowok itu, Ara hanya mau menjaga kepercayaan Yuno saja.

“enggak, Cha. gue gak nanya apa-apa sama mereka, gue udah terlanjur sakit aja pas tau kalo Kak Yuno ngajak cewek lain ke apart nya dan pergi sama dia.”

Ra, itu tuh salahnya lo. lo tuh kebanyakan mendam sendirian tau gak, padahal lo kan bisa nanya langsung ke Kak Yuno, kalo lo nanya terus Kak Yuno jelasin. lo jadi gak perlu overthinking kaya gini kan. Ra, pengalaman gue pacaran emang gak banyak, gue juga gak pernah LDR kaya lo. tapi menurut gue kunci dari hubungan yang sehat itu ada di komunikasi, lo gak bisa jalanin hubungan satu arah aja, Ra.

di tempat tidurnya Ara melamun mendengarkan semua nasihat dari sahabatnya itu, Echa benar, selama berkencan dengan Yuno mereka enggak pernah benar-benar saling terbuka satu sama lain.

Ara pikir ini adalah cara dewasa dengan tetap menjaga hal-hal yang kemungkinan bisa membuat mereka bertengkar, tapi kini Ara jadi bertanya-tanya, apa tidak adanya pertengkaran di antara ia dan Yuno hubungan mereka bisa di katakan baik-baik saja?

Padahal, ada banyak hal yang menurutnya kini Yuno perlu tahu, seperti soal Ara yang pernah di rundung karna berpacaran dengannya, bahkan kini soal Yuno yang mengajak Ann ke apartemen nya.

Setelah menelfon Echa. Ara juga gak langsung tidur, padahal biasanya selepas jam delapan malam matanya sudah mulai mengantuk. jadi, demi mengalihkan pikirannya, akhirnya Ara menonton film dari laptopnya walau sesekali matanya melirik ke ponselnya, berharap Yuno mengabarinya.

Namun hingga jam dua belas malam pun tidak ada kabar dari Yuno, Ara akhirnya mencoba untuk memejamkan matanya. ia sudah lelah menunggu kabar dari cowok itu, sembari mendengarkan lagu yang ia putar dari ponselnya Ara berharap jika ia bangun besok pagi, akan ada kabar dari Yuno.


Bunyi alarm yang berada di ponsel Yuno itu berhasil membangunkannya, Yuno meraba ponselnya yang seingatnya ia taruh di nakas samping ranjang tidurnya berada, ketika menemukan benda persegi panjang itu, Yuno langsung mematikannya alarm nya.

Ini sudah jam 9 pagi waktu Jerman, semalam Yuno ketiduran setelah pulang dari acara yang ada fakultasnya, jujur saja Yuno memang agak sedikit mabuk dan ia tidak ingat siapa yang mengantarnya pulang ke rumah.

Karena masih ada kelas siang nanti, mau gak mau Yuno harus bangun untuk mandi dan membersihkan rumahnya yang agak sedikit berantakan karena Yuno belum sempat merapihkannya karena sibuk kuliah, setelah ia mencuci mukanya sebentar.

Yuno memeriksa ponselnya yang sudah di penuhi oleh pesan singkat dari Ara, ia baru ingat kalau kemarin ia berjanji untuk melakukan panggilan video dengan gadis itu, namun siapa sangka jika kemarin ada acara di fakultasnya hingga ia pulang sedikit larut. karena merasa bersalah pada Ara akhirnya Yuno memutuskan untuk menghubungi gadis itu dahulu, namun sayangnya Ara tidak menjawab panggilan darinya.

“Apa jangan-jangan Ara marah sama gue?” gumam Yuno.

Sembari membuat sarapan Yuno mencoba menghubungi Ara sekali lagi, siapa tahu gadis itu mengangkat telfon darinya. “Kamu kemana, Ra.”

Karena khawatir Ara marah dengannya, akhirnya Yuno mencoba menghubungi Reno. dan pada nada sambung ketiga akhirnya Reno mengangkat telfon darinya.

Halo, Mas Yuno? kenapa telfon Reno?” tanya Reno di seberang telfon sana.

“Ren, lagi dimana?”

Masih di sekolah, Mas. ada apa?

Yuno memejamkan matanya, ia baru ingat kalo Reno masih di sekolahanya. “Gapapa, Ren. tadi Mas cuma mau tanya ada Kakak apa enggak di rumah, tapi Mas lupa lihat jam gak sadar kalau di Indo anak sekolah belum pulang.”

Kakak dari pagi udah keluar, Mas. Mungkin lagi di jalan kali makanya telfon dari Mas Yuno gak di angkat,” ucap Reno mencoba menenangkan Yuno.

Kening Yuno mengkerut, seingatnya kemarin Ara bilang akan istirahat di rumah karena sudah semingguan ini gadis itu sibuk sekali untuk mengerus keperluan kuliahnya, biasanya pun kalau Ara akan keluar rumah. Gadis itu akan bilang padannya.

“Keluar? sama siapa, Ren?”

“*Sendiri sih, Mas. bilangnya mau jalan-jalan aja karena bosen di rumah terus.”

“Yaudah deh kalau gitu, nanti Mas coba telfon lagi aja, makasih yah, Ren.”

Setelah menelfon Reno, Yuno sempat terdiam dulu sebentar sembari memperhatikan makananya yang sudah siap di atas meja pantry, nafsu makanya sudah mengilang digantikan dengan rasa khawatir jika Ara benar-benar marah denganya.

Yuno merasa bersalah dengan gadis itu, ia tidak ingin Ara salah paham. Sembari makan perlahan-lahan, Yuno memutar otaknya untuk setidaknya jika Ara marah padannya, Yuno bisa meredamnya.

“Apa beliin hadiah aja yah? Biar enggak marah lagi?” gumamnya sendiri.

Sudah dua jam Yuno dan Ara belajar, lebih tepatnya Ara yang belajar karena Yuno hanya memantau dan mengoreksi soal-soal yang ia anggap salah, kemudian mengajari gadis itu hingga Ara paham. Dengan sabar Yuno mengajarkan satu persatu soal, walau terkadang konsentrasi Ara suka buyar dan sering mengalihkan konsentrasinya juga.

Seperti saat ini, saat Yuno sedang menjelaskan letak kesalahannya pada soal matematika, alih-alih memperhatikan buku serta penjelasan Yuno. Gadis itu justru lebih tertarik memperhatikan wajah kekasihnya itu.

“Sayang..” tegur Yuno, namun Ara malah tersenyum sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya itu.

“Ini aku merhatiin tau,” sangkalnya.

“Yang kamu perhatiin muka aku, bukan soalnya. Ayo dong serius, katanya mau dapat kampus yang kamu mau.”

“Tapi aku udah ngerjain 50 soal, kan capek, Kak. Gak kasian apa aku tuh minggu kemarin baru selesai UN.” Ara mengulum bibirnya, mengedipkan kedua matanya layaknya seekor anak kucing yang ingin meminta di pungut.

Yuno menghela nafasnya pelan, gak tega juga lihat wajah Ara yang sudah memelas. Dari tadi memang Yuno sudah memberikan soal-soal yang kemungkinan keluar di ujian untuk masuk perguruan tinggi.

“Yaudah, kamu istirahat dulu, aku mau periksa soal-soal yang kamu kerjain tadi.” Yuno akhirnya luluh juga.

“Yeayyyyy makasih sayangku.”

Ara memanfaatkan waktu yang Yuno berikan dengan memakan cemilan yang tadi ia siapkan sebelum belajar, mereka belajar di ruang TV yang bersebrangan langsung dengan balkon apartemen, jadi Ara bisa melihat cuaca di luar sana, ini sudah jam 8 malam namun di luar sana masih sangat terang.

Waktu terang di Jerman pada akhir musim semi bisa sampai jam 9 malam, dan Ara masih suka kaget akan hal itu. Sedang asik melamun sembari memakan satu persatu cemilan di depannya tiba-tiba saja Yuno senyum-senyum sendiri, membuat Ara menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

“Kok senyum-senyum?” tanya Ara.

Yuno menggeleng pelan, mengingat bagaimana malam itu ia melihat Ara tertidur.

“Gapapa, lucu aja,” jawab Yuno, ia berusaha melihat ke arah lain supaya Ara enggak salah tingkah.

“Ihh Kak Yuno! Kenapa gak?”

“Kamu tuh kalo tidur mendengkur yah?”

“Hah?!” pekik Ara kaget, seingatnya sih enggak. Kalau ngiler mungkin iya, Kak Yuno ini bercanda atau serius sih? “Emang iya?”

Yuno mengangguk. “Kenceng banget, tapi lucu.”

Wajah Ara benar-benar memerah, dia malu setengah mati. Gimana kalau setelah ini Kak Yuno ilfeel? Walau kelihatan biasa-biasa aja, tetap aja Ara malu setengah mati.

“Kak, serius?”

“Iya, ngapain aku bohong? Tapi gapapa, lucu soalnya.” Yuno masih tertawa, dia gak ada rasa ilfeel sama sekali. Malah menurut Yuno itu lucu, dan ia pikir mendengkur saat tidur itu manusiawi. apalagi Ara sempat jetlag kemarin dan pastinya kelelahan. Ia masih memaklumi itu, toh ia juga mendengkur saat tidur.

“KAK YUNO JANGAN KETAWAAAAAA!!” rengek Ara, dia malu setengah mati.

“Habisnya lucu masa aku gak boleh ketawa sih?”

“Tapi kan aku malu.”

Yuno terkekeh, ia menaruh pena yang terselip di jemarinya kemudian merangkul Ara. Dan gadis itu memeluknya dari samping dengan penuh posesif.

“Aku gak ilfeel, malahan lucu lagi. Aku juga enggak sengaja liatnya, aku pikir kamu belum tidur karna pintunya enggak kamu kunci. Ternyata udah tidur.”

“Emangnya kamu mau ngapain tadinya masuk kamar aku?”

“Mau ngasih teh.”

Ara tersenyum kecil, Ara sedikit merasa kalau suasana seperti ini terasa seperti ia dan Yuno sudah menikah. Kadang menikirkan suatu hari ia bisa menikah dengan Yuno membuat kupu-kupu di perutnya berterbangan.

“Kak?”

“Hm?”

“Kalau aku gak berhasil masuk ke kampus impian aku, Kak Yuno marah gak?” tanyanya, jujur saja liburan kali ini terasa menyenangkan karena ia bisa bersama Yuno. Tapi Ara belum selega itu, ia masih di hantui perasaan tidak nyaman karena takut tidak berhasil masuk ke kampus yang ia idamkan.

“Kenapa harus marah?” Yuno menatap Ara bingung, jemarinya mengusap pucuk kepala gadisnya itu penuh kasih sayang.

“Gapapa, Kak Yuno tau gak?”

“Apa?”

“Aku belajar mati-matian supaya nilai UN aku bagus, aku juga bakalan berusaha sekuat tenaga biar bisa masuk kampus yang aku mau. Supaya bisa bikin kamu bangga punya aku.”

Yuno memang banyak sekali memotivasi Ara dalam hal belajar, ia bukan gadis yang ambisius. Namun bersama Yuno menjadikanya banyak bekerja keras, ia tidak ingin membuat Yuno malu jika gadis yang di pacarinya bodoh.

“Kenapa buat aku? Harusnya kamu lakuin itu semua, untuk diri kamu sendiri. Sayang?”

“Um?”

“Kamu mau kuliah di kampus manapun, aku akan selalu dukung kamu. Kalau kamu gagal, aku gak akan marah, kamu udah kerja keras, kamu udah berusaha. Aku udah cukup bangga punya kamu yang selalu ngertiin aku, nemenin aku, ngedukung aku. Dan aku mau lakuin hal yang sama dengan apa yang kamu lakukan ke aku.”

Ara menunduk, kemudian menatap kembali wajah Yuno yang kini juga tengah menatapnya. Matanya sedikit terpejam ketika jemari milik Yuno itu membelai wajah tirusnya.

“Kamu gak pernah menghakimi aku ketika aku gagal, dunia kamu gak akan selesai gitu aja cuma karena kamu gak masuk kampus yang kamu mau.”

“Kak...” kata-kata Yuno barusan berhasil membuat hati Ara tersentuh, ia berhambur ke pelukan Yuno dan menyembunyikan wajahnya di dada cowok itu. Ara menangis di sana, Yuno selalu bisa menengkannya.

Dulu, saat Ara sakit hingga suaranya serak sampai tidak bisa ikut lomba paduan suara ke luar kota. Yuno juga orang yang bisa menengkannya, membuat Ara berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Kadang ia merasa, Yuno seperti air di hidupnya yang mengisi kekosongan di hidupnya. Ah tidak, mereka saling mengisi. Bagi Yuno pun Ara berperan mengisi kekosongan di hidupnya.

Karena hari sudah semakin gelap, Ara berpamitan untuk tidur lebih dulu. Saat sudah selesai memakai skincare malamnya, ia tidak sengaja melihat ada jepit rambut di kolong tempat tidurnya, itu pun tidak sengaja karena tertendang kakinya.

Ara menunduk, mengambil jepit rambut berbentuk bunga lily itu, keningnya mengkerut mempertanyakan milik siapa jepit rambut itu, gak mungkin itu punya Yuno kan? Rambut Yuno memang sedikit panjang, tapi seingat Ara, Yuno hanya mengenakan bando alih-alih jepit rambut seperti ini.

“Mungkin punya pemilik apartemen yang lama kali ya?” gumamnya, Ara menaruh jepit itu di nakas sebelah ranjangnya dan naik ke atas kasur.

Namun ada hal lain yang membuatnya sedikit terkejut, di bantal yang ia pakai. Ada sehelai rambut berwarna bloonde yang lumayan panjang, ini rambut milik seorang gadis. Enggak mungkin rambut sepanjang itu milik seorang laki-laki kan? Ara menahan nafasnya, pikirannya jadi semakin kalut memikirkan siapa gerangan pemilik rambut bloonde dan jepit rambut yang ada di kamar tamu Yuno? Apa Yuno sempat membawa gadis lain ke apartemennya? Pikir Ara.

Pagi ini Ara bangun lebih dulu dari pada Yuno, ah tidak, sejujurnya tidur gadis itu enggak cukup pulas dari hari-hari kemarin. Ia masih bertanya-tanya siapa pemilik rambut bloonde dan jepitan bunga lily yang ada di kamar tamu Yuno.

Ara enggak mau menanyakan hal ini langsung ke Yuno, ia lebih memilih memendamnya dan berharap Yuno akan jujur soal hal yang mengganggunya itu, Gita pernah menasihati Ara dulu sewaktu ia bercerita menyembunyikan hal menganggu tentang hubungannya dan Yuno dulu.

Gita bilang, Ara dan Yuno kurang terbuka. Keduanya seperti suka menyembunyikan hal-hal yang seharusnya bisa mereka tanyakan dan bicarakan langsung, namun keduanya lebih memilih memendamnya. Ara tahu ini enggak baik, tapi dia hanya bingung dari mana ia harus memulai membicarakan hal ini dengan Yuno.

Ia takut bertengkar, lagi pula selama ini ia dan Yuno tidak pernah bertengkar hebat. Hubungannya terlalu mulus, bahkan Echa sempat mempertanyakan apakah hubungan yang tanpa ada pertengkaran di dalamnya itu adalah hubungan yang baik-baik saja?

Sedang sibuk membuat pancake di dapur Yuno, tiba-tiba saja pintu kamar cowok itu terbuka. Menampakan Yuno dengan rambut berantakan khas bangun tidur dan mata sayu nya, cowok itu tersenyum manis ketika mendapati Ara sedang membuat pancake di dapurnya.

“Pagi,” sapa Ara sewaktu Yuno duduk di meja pantry sembari meminum oat milk yang Ara sudah siapkan di sana.

morning too, sayangku.”

“Aku bikin banana pancake pakai resep nya Bunda Lastri. want to try it?

sure.

Ara tersenyum, ia mengambil satu pancake dan menyusunya di piring. Ia juga menambahkan irisan pisang dan madu di atasnya. Kemudian membawanya ke meja pantry, duduk di sana sembari menunggu Yuno mencicipi pancake buatannya.

“Aku cobain yah?” ucap Yuno, ia memotong pancake itu dengan garpu di sana kemudian mencicipinya.

Di kursinya, Ara memperhatikan Yuno mencicipi masakannya. Sesekali ia menelan saliva nya sendiri, Ara pernah berpikir jika Yuno cocok sekali membawakan acara wisata kuliner. Cowok pintu pandai membuat orang lain tergiur untuk mencicipi makanan yang ia makan, selain itu Yuno juga pandai menilai makanan dan menjelaskan seperti apa rasanya.

“Enak,” jawabnya kemudian, kedua mata kecilnya itu berkedip lamban seperti seekor kucing. Yuno menikmati sekali makanan yang tengah ia makan saat ini.

Pada suapan kedua, ia berdeham. Kemudian kembali tersenyum saat kedua matanya menatap mata sang gadis yang duduk di depannya.

“Karna pakai resep Mama, udah pasti enak. Tapi punya kamu punya ciri khas nya sendiri,” lanjutnya.

“Apa?”

“Punya Mama itu agak sedikit basah, sedangkan punya kamu agak kering. Ada aroma smoky nya juga dan gak terlalu manis, aku suka. Luar nya agak crispy tapi dalamnya soft. enak kok, kamu cobain dong. Masa aku makan sendiri, mana belum sikat gigi lagi.”

Ara terkekeh, ia juga lupa mengingatkan Yuno untuk mencuci muka dan menyikat giginya dulu sebelum sarapan. Ia terlalu excited untuk menyuruh cowok itu mencicipi masakannya.

“Dasar jorok!” ledek Ara.

Keduanya akhirnya makan bersama pagi itu. Walau sesekali Ara masih kepikiran tentang rambut yang ada di kamarnya, sembari makan, Sesekali ia memperhatikan Yuno yang tampak khidmat saat menikmati makanannya.

“Kak?”

“Sayang?”

Ara menarik nafasnya, “kamu duluan.”

“Kamu mau ngomong apa tadi? Kamu duluan aja.”

“Kamu aja, aku lupa mau ngomong apa,” Ara meringis. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya mengenai rambut dan jepitan itu.

“Sore nanti teman aku mau ke sini, aku udah janji mau ngenalin kamu sama mereka.”

“Oh ya?”

Yuno mengangguk, “kamu penasaran kan sama teman-teman aku. Ya walau bukan teman kampus sih, mereka ini teman aku waktu masih sekolah bahasa. Mereka Josep, Ann dan satu lagi. Namanya Roselie aku gak yakin dia bisa datang sih.”

Ara mengangguk, ia memang pernah bilang kalau ia ingin di kenalkan dengan teman-teman Yuno. Yuno pernah bercerita kalau ia mengenal banyak orang asing dari berbagai negara yang baik sekali dengannya, terutama di saat Yuno sedang merasa kesusahan. Dan Ara ingin tahu mereka yang sudah membantu kekasihnya itu di saat ia jauh darinya.

“Mereka orang mana aja, Kak?”

“Josep itu dari Thailand, Ann dari Indonesia. Kalau Roselie dari Paris.”

Ara mengangguk-angguk, untungnya mereka sempat membeli stok cemilan kemarin. Yuno enggak cerita kalau teman-temannya akan datang hari ini, kalau tahu begitu Ara kan bisa belanja lebih banyak lagi.

“Sayang?” panggil Yuno mengintrupsi lamunan Ara.

“Hm?”

“Mau ngomong apa sih tadi?”

“Ahh,” Ara menggaruk tengkuknya itu, dengan salah tingkah. “Aku lupa, Kak. Nanti aja ya kalau udah ingat.”

“Beneran?”

“Um.” ia mengangguk.

“Yaudah, kalau gitu aku mandi dulu. Piring kotornya jangan kamu yang cuci, biar aku aja. Kan kamu udah bikin sarapan pagi ini.” Yuno beranjak dari kursinya, sebelum mandi ia kecup dulu kening gadisnya itu.

Setelah kepergian Yuno, Ara membenahi piring-piring kotor itu sembari melamun. Jujur saja perasaanya agak goyah, Ara terlalu banyak berpikiran buruk, memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari mana rambut dan jepitan itu asalnya. Termasuk memikirkan kemungkinan terburuk jika benar Yuno membawa gadis lain lebih dulu ke apartemen nya.

“Mikirin apa sih gue astagaaa, gila kali! Kak Yuno gak mungkin kaya gitu,” gumamnya, ia memukul kepalanya sendiri. Menghalau pikiran buruknya itu tentang cowok yang sudah ia percayai.


Sebelum teman-teman Yuno itu datang, Ara sempat memakai riasan wajahnya dulu. Ia juga mengenakan baju terbaiknya karena Yuno bilang mereka akan membuat pesta kecil-kecilan di apartemen Yuno, setelah mengoleskan liptint di atas bibirnya. Gadis itu berdiri, memeriksa penampilannya.

Dan tidak lama kemudian, bel apartemen Yuno berbunyi. Ara berinisiatif untuk membukakan pintu apartemen itu karena Yuno sedang pergi keluar sebentar, ia bilang mau membeli ice cream untuk mereka dan juga teman-temannya.

Saat Ara membuka pintu, di depan sana sudah ada seorang laki-laki berwajah khas Asia dan 2 orang perempuan. Ara tersenyum, namun senyum itu gak bertahan lama ketika ia mendapati gadis yang berdiri di belakang sana berambut bloonde.

“Haiii,” sapa cowok itu yang Ara tebak itu adalah Josep.

“Ha..hai. Come on in, Yuno is going out for a bit to buy ice cream.

Ara menyuruh teman-teman Yuno itu masuk, saat ia berpapasan dengan gadis berambut bloonde itu. Perasaanya semakin tidak karuan, apalagi saat ia berhenti tepat di depan Ara dan tersenyum.

“Hai, Ra. Aku Ann, aku temannya Yuno yang sama-sama dari Indonesia.” ia menjulurkan tangannya, dan Ara menjabat uluran tangan itu dengan hangat.

“Ara, Kak. Pacarnya Kak Yuno.”

Gadis itu tersenyum, kemudian merangkul Ara dan keduanya duduk di sofa yang sama. Ara pikir gadis bule yang duduk bersama Josep itu adalah Roselie, tapi Josep menggunakannya dengan nama Alice dia adalah pacarnya Josep.

I never imagined that Yuno would date a high school student,” Josep terkekeh, wajah Ara yang terlihat sangat muda membuat Josep berpikir tadinya jika Ara masih duduk di bangku SMP.

Yuno and I were in the same school, he was my senior. and our relationship continues until now, by the way I have graduated from high school and am preparing to enter college,” jelas Ara.

i've never been in a relationship that long. Ara, do you ever get bored with Yuno? especially now that you're in a long distance relationship,” tanya Alice, dia takjub banget sama hubungan Ara dan Yuno. Apalagi Ara yang tampak berpikiran dewasa, yah walau kelihatannya saja. Alice enggak tahu aja kalau Ara hobi sekali merajuk.

Ara tersenyum kikuk sebelum menjawab pertanyaan Alice, dan Ann tampak menunggu Ara menjawab pertanyaan itu.

I think every long-lasting relationship must have felt bored, but you can overcome that boredom. A long-distance relationship with Yuno is indeed a bit torturous for me sometimes, I have to endure a lot of longing and sometimes become the one who always waits for his news, but I understand all that. I can understand his busyness, because for me this relationship is not just about me in his life.

“Aahhhh so sweet,” pekik Alice, ia kagum dengan cara berpikir Ara yang menurutnya masih sangat muda itu.

Tidak lama kemudian Yuno datang, membawa 3 ice cream di kantung belanja yang ia bawa. Sore sampai menjelang malam itu mereka habiskan dengan banyak mengobrol dan bermain game, beberapa kali bahkan Josep dan Alice menawari Ara untuk mencicipi wine yang mereka bawa.

no, she doesn't drink wine,” Yuno menjauhkan gelas wine yang Josep berikan pada Ara itu.

she's not a school kid anymore right? you have to teach him to drink wine Yuno.

No, Josep. She is allergic to wine,” Yuni melirik Ara dan mengedipkan satu matanya kepada gadis itu, memberi kode jika Ara benar-benar alergi dengan wine agar ia bisa memakai alasan itu untuk menolaknya.

Is what Yuno said true?” tanya Josep ke Ara.

“Um,” Ara mengangguk, karena merasa tidak nyaman di sana. Ara akhirnya menyingkir, ia berjalan ke balkon menyusul Ann yang tengah berada di balkon sana, tadi ia sedang menerima telfon makanya menyingkir sebentar.

“Kak?” sapa Ara, membuat Ann tersenyum.

“Haii.”

Keduanya akhirnya mengobrol di balkon, sementara Yuno, Josep dan Alice masih bermain kartu di ruang TV.

“Kamu pacaran sama Yuno udah lama juga yah, Ra.” ucap Ann memecahkan hening di antara mereka.

“Um, aku juga gak nyangka bisa selanggeng ini sama Kak Yuno.”

Ann menoleh, ia mengerutkan keningnya bingung. “Kok ngomong gitu? Memang pernah mikir gak akan langgeng sama dia?”

Ara mengangguk, ia pernah berpikir hubunganya dengan Yuno tidak akan berlangsung lama, mengingat dulu banyak sekali pihak yang keberatan dengan hubungan mereka, terutama dari kalangan gadis-gadis sekolah yang menyukai Yuno. Ara bahkan pernah menjadi korban bully hanya karena ia adalah pacar Yuno, enggak masuk akal kan? Memangnya jatuh cinta adalah sebuah kejahatan?

“Ada banyak orang yang keberatan sama hubungan aku dan Kak Yuno.”

“Oh ya?” Ann berbalik, ia mengambil posisi menyamping agar bisa melihat Ara sepenuhnya. Ia begitu tertarik dengan cerita gadis itu.

“Dulu, Kak Yuno di sekolah banyak banget yang nyukain. Waktu hubungan kami banyak di ketahuin orang, aku sempat jadi public enemy hanya karena mereka mikir aku enggak cocok sama Kak Yuno.”

“Jahat banget, kok mereka bisa mikir gitu? Terus kamu diam aja?”

Ara mengangguk, “mungkin mereka mikirnya aku gak secantik itu buat jadi pacarnya Kak Yuno, gak terkenal juga kaya cewek-cewek yang pernah di jodoh-jodohin sama Kak Yuno. Aku juga enggak berani ngelawan, aku gak suka jadi pusat perhatian. Kalau aku ngelawan nanti masalahnya jadi tambah rumit.”

Ara benci jadi pusat perhatian, apalagi harus tersandung kasus di sekolah. Ia hanya ingin kehidupan SMA nya berjalan mulus dan bisa lulus tepat waktu, itu saja. Makanya Ara enggak melawan atau cerita ke Yuno soal perundungan yang pernah ia alami dari gadis-gadis yang menyukai cowok itu.

“Tapi Yuno tau kan?” tanya Ann.

Ara menggeleng, “aku gak pernah cerita sama Kak Yuno. Lagi pula, aku masih bisa nyelesain masalah itu sendiri kok.”

Ann jadi enggak tega sendiri lihat Ara, dia gak bisa membayangkan semengerikan apa perundungan yang ia dapat di sekolahnya dulu. Ara seperti sedang mengencani idola sekolah.

“Kamu hebat banget, tapi lain kali. Kamu harus lebih banyak ngobrol sama Yuno. Apalagi masalah itu juga menyangkut sama dirinya.”

“Um,” Ara mengangguk.

Mereka sempat hening beberapa saat sampai akhirnya Ann mengambil pot bunga bunga berukuran sedang di sana yang di tanami Monstera.

“Aahh agak kering, Yuno pasti lupa nyiramnya nih. Waktu aku ke sini, aku beliin Monstera dan naruh di sini supaya lebih bagus, Monstera juga punya makna yang bagus, makanya aku beliin ini buat dia,” ucap Ann.

Di tempatnya Ara membeku, dadanya sedikit sesak, dan ia berharap ia salah mendengar ucapan Ann barusan.

“Kak Ann yang beli?” tanya Ara untuk memastikannya sendiri.

“Um, aku belinya sama Yuno. Di Altstadt waktu kita lagi jalan-jalan di sana dan mampir ke toko bunga yang juga jual tanaman hias.”

Jadi, apakah pemilik jepitan dan helaian rambut bloonde itu milik Ann? Tapi kenapa Yuno tidak bercerita padannya? Apa yang mereka lakukan berdua? Pikir Ara.

Pagi itu setelah sarapan selesai, Yuno menepati janji mengajak Ara berkeliling Heidelberg. Seperti kebanyakan turis, Yuno mengajak Ara terlebih dulu ke Heidelberg Altstadt. Kota tertua yang ada di Heidelberg.

Hari ini Ara mengenakan Midi Dress dengan motif bunga di padu dengan Balero Monokrom dan Sneakers putih yang Yuno belikan sebagai hadiah ulang tahun Ara ke 16 tahun, Rambut panjang gadis itu tergerai cantik dengan jepit rambut berbentuk paw kucing di sisi kanan dan kirinya.

Ara jarang sekali mengenakan Midi Dress, tapi hari itu ia mengenakannya. Di perjalanan menuju Heidelberg Alstadt, Yuno sesekali memotret gadisnya itu. Ara benar-benar indah hari itu, lebih indah dari pada sungai Neckar di musim semi.

Begitu sampai di Heidelberg Altstadt, Ara banyak memotret kota itu. Sesekali ia juga bertanya pada Yuno setiap ada hal yang menarik perhatiannya. Tadinya ia ingin membuat mini vlog, tapi ia takut tidak menikmati perjalananya. Jadi ia urungkan niat itu.

“Di sini ternyata banyak turis ya, Kak. Banyak orang Asia juga.” Ara melihat ke sekelilingnya yang hari itu cukup ramai, banyak turis yang berjalan-jalan atau antre makanan di kedai-kedai yang ada di sana.

“Apalagi kalo summer lebih ramai lagi, kalau natal juga lebih ramai lagi. Bahkan ada pasar natal loh.”

“Iya? Apa kalau natal aku ke sini lagi aja?”

Yuno mengangguk kecil, jika di tanya ingin egois. Ia ingin sekali menahan Ara untuk tetap disini bersamanya, ia ingin menikmati kota ini bersama dengan gadis yang itu setiap harinya.

“Ini gelato yang paling ramai, kamu mau cobain gak?” mereka berhenti di sebuah kedai gelato yang pagi itu sudah ramai antrean hingga keluar kedai nya.

“Enak banget kali ya, Kak?” tanya Ara, ia menoleh ke arah Yuno.

“Mungkin, aku belum pernah cobain. Tapi 2 kali ke sini, kedainya selalu ramai. Mau coba?”

Ara mengangguk, mereka akhirnya sepakat untuk mengantre di depan kedai itu. Walau antreannya cukup panjang, 15 belas menit kemudian mereka sudah mendapati 2 gelato dengan rasa pistacio dan Stracciatella, Yuno bertanya katanya dua rasa itu paling laris.

Sembari jalan memperhatikan sekitarnya Ara menikmati gelato di tangan kirinya, sementara tangan kanan Yuno genggam dengan erat. Hari itu Heidelberg Alstadt begitu ramai Yuno takut Ara tertinggal atau tertabrak orang lain yang tubuhnya lebih besar dari gadis itu.

“Itu Kastil bukan sih, Kak?” Ara menunjuk sebuah Kastil di ujung sana yang tampak usang namun tetap memikat karena tampak indah, Kastil itu berdiri kokoh di atas gunung.

“Kastil Heidelberg, mau ke sana, sayang? Itu Kastil tertua loh.”

“Jalan yah?”

“Kalau mau jalan bisa, tapi aku gak yakin kamu kuat. Karena lumayan jauh, naik Bergbahn aja ya?”

Bergbahn?” Ara mengerutkan keningnya bingung.

“Itu kereta buat naik ke atas sana.”

“MAU!!!” pekik Ara.

Saking senangnya, saat berjalan menuju stasiun Ara sempat bersenandung kecil. Saat kedua mata mereka bertemu, keduanya saling tersenyum. Rasanya sudah lama sekali Yuno tidak merasakan sensasi menyenangkan seperti ini.

“Keretanya lucu ya, Kak. Bentuknya miring-miring gitu,” ucap Ara, jari telunjuknya terulur di udara seolah-olah ia sedang menggambar mengikuti likuk pola kereta gunung yang bentuknya sangat unik itu.

“Waktu pertama kali lihat aku juga mikir gitu, bentuknya lucu. Tapi setelah aku tau fungsi dari bentuknya yang gak biasa itu aku jadi sadar, kalau kereta ini di desain supaya penumpangnya lebih nyaman waktu kereta nya nanjak. Gak ada tuh kita jadi maju-maju ke depan karena keretanya lagi nanjak, penumpangnya bakalan berdiri atau duduk tetap stabil di dalam,” jelas Yuno.

“Ahhhh,” Ara mengangguk-angguk.

Bentuk keretanya memang unik, semakin ke belakang akan semakin tinggi dengan bentuk menyerupai zig zag. Ara belum pernah melihat bentuk kereta yang seperti ini, ah. Lagi pula ini perjalanan keluar negeri pertamanya, jadi wajar saja kan kalau banyak hal yang tidak ia ketahui.

Begitu sampai di atas Kastil, Ara melepaskan gandengan tangan Yuno. Gadis itu berlari kecil untuk bisa berada di sisi Kastil demi bisa melihat pemandangan kota Heidelberg dari atas Kastil.

Dari atas sana Ara bisa melihat jalanan yang ramai, pemukiman warga, sungai Neckar, gereja dan juga bangunan-bangunan yang tampak rapih.

“Kak Yuno ini bagus banget tau, keren!! Aku rasanya kaya jadi ratu.”

Yuno terkekeh, gak tahan dengar celotehan Ara yang kadang mirip anak kecil itu. “Kastil nya emang pernah jadi tempat tinggal Raja jaman dulu. Umurnya juga udah tua banget walau pernah beberapa kali di lakuin renovasi.”

“Di dirikan pada tahun 1214 dengan gaya Gothic-Renaissance,” lanjut Ara yang membuat Yuno terpukau.

“Kok pinter pacar aku?”

“Di kereta tadi aku sempat baca dari Google. Habisnya semua petunjuk disini pakai bahasa Jerman.”

Yuno terkekeh, ia kemudian berdiri di samping Ara yang tengah menikmati pemandangan kota dari atas Kastil itu. Rambut panjangnya berterbangan, membuat Yuno berdecap kagum dalam hati karena 2 keindahan yang disuguhkan di depannya.

“Itu,” Ara menunjuk sebuah bangunan yang ada di tengah sana. “Gereja Heiliggeistkirche yang kita lewatin tadi waktu ke Marketplaz kan, Kak?”

“Um,” Yuno mengangguk, “terus yang di sana itu namannya Alte Brücke, jembatan tua yang ada di atas sungai Neckar. Sebelum ke kampus aku, mau ke sana dulu gak?”

“Tapi ramai banget, Kak.”

“Tapi di sana ada patung monyet.”

“Hah?” Ara menoleh, menatap wajah Yuno dengan kening berkerutnya. “Patung monyet?”

Yuno mengangguk, “ada kepercayaan penduduk sini yang bilang, kalau kita pegang dan ngusap tangan monyetnya. Maka kita akan di bawa kembali ke Heidelberg, tapi kalau kita ngusap kaca yang di bawa sama patung monyetnya, katanya kita bakalan di beri keberuntungan.”

“Serius, Kak?”

Yuno menggedikkan kedua bahunya, “gak tau yah benar atau enggak, tapi udah jadi kepercayaan penduduk disini.”

“Aku mau coba kalau gitu! Aku mau—” ucapan Ara tertahan, ia tersenyum jahil membuat Yuno menaikan satu alisnya karena penasaran apa yang akan Ara ucapkan selanjutnya.

“Mau apa?”

Dengan gerakan yang sangat cepat, Ara berjinjit dan menarik kerah baju Yuno. Ia layangkan satu kecupan di pipi cowok itu, kemudian berlari. Membuat Yuno tersenyum cerah dan mengejar gadis yang sudah mencuri ciumannya itu.

“Awas ya kamu, heh Ara siapa yang ngajarin kamu nyuri ciuman kaya gitu?” ucap Yuno setengah berteriak.

“Kak Yuno yang ngajarin aku!!”

Yuno setengah berlari mengejar Ara, gadis itu sudah tidak berlari, ia hanya berjalan agak cepat menghindari Yuno.

“Kamu mau apa tadi?” tanya Yuno.

“Mau megang kaca di patung monyet nya, terus megang tanganya juga biar bisa balik ke sini lagi. Biar bisa nemenin Kak Yuno lagi disini.”


Begitu sampai di kampus Yuno, Ara tidak ada hentinya terpukau pada bangunan besar itu. Ara sempat mencari tahu tentang sejarah dari kampus kekasihnya itu, ternyata Ruprecht Karls University Heidelberg menjadi kampus tertua di Jerman sekaligus kampus terbaik se Eropa.

Ara gak heran kalau Yuno di terima di kampus itu karena cowok itu memang sangat pintar, walau kadang Ara suka merasa Yuno kurang percaya diri dan di tuntut untuk tidak cepat puas dengan apa yang ia dapatkan.

“Bagus banget, Kak. Jadi nanti Kak Yuno bakalan belajar disini?”

Yuno mengangguk, “di sini juga ada fakultas psikiatri dan psikologi, kamu gak mau kuliah di sini aja sama aku?

Ara tersenyum, Ara memang enggak bodoh di sekolahnya ia juga bukan termasuk deretan murid dengan segudang prestasi. Ara hanya murid biasa-biasa saja dengan nilai yang selalu stabil, ia sendiri bahkan enggak yakin bisa masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Walau Yuno kadang suka marah jika Ara selalu memikirkan kemungkinan terburuk dan meremehkan dirinya. Tapi tetap saja Ara susah untuk menepis pikiran buruk itu, semakin dewasa ia hanya tidak ingin berekspektasi berlebihan pada hidupnya. Ara tidak ingin kecewa dan membuatnya sakit, itu saja. Ia hanya berusaha menjadi gadis yang realistis.

“Aku aja gak yakin bisa masuk PTN di Indo, Kak. Apalagi masuk kampus kamu,” cicitnya. Ia duduk di taman kampus itu sembari menikmati semilir angin musim semi dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar taman.

Kalau sudah begini, kadang Yuno jadi jengkel sendiri. Ia benci Ara meragukan dirinya sendiri, padahal selama ini Ara yang selalu meyakinkannya jika Yuno bisa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

“Kenapa? Kan aku bisa bantu kamu.” Yuno duduk di sebelah gadis itu, menatap Ara yang masih terpukau pada gedung di depan mereka.

“Aku kan juga harus berbagi sama Mas Yuda sama Reno juga.” Meski terbilang keluarga yang berkecukupan, Ara tahu seberapa Papa bekerja keras demi bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Kantor agency advertising yang di dirikan Papa pernah mengalami titik terendah dimana Papa harus mengurangi jumlah pegawainya, bahkan Papa juga harus menggadaikan surat rumah yang di tempati dulu demi menyelamatkan perusahaanya yang nyaris gulung tikar itu. Kehidupan Ara berubah drastis, bahkan Ara terpaksa harus pindah ke sekolah biasa di Jakarta karena Papa tidak sanggup membiayai Ara di sekolah lamanya.

Yuno paham yang Ara bicarakan, Ara juga sudah pernah bercerita tentang pasang surut ekonomi keluarganya itu padanya.

“Aku bantu supaya kamu bisa dapat PTN di kampus yang kamu mau ya?”

“Beneran?”

“Nanti malam kita belajar?”

Kedua bahu Ara itu merosot, niatnya kan ke Jerman hanya ingin berlibur dan berkencan dengan Yuno. Tapi cowok itu justru mengajaknya untuk belajar.

“Kak....”

“Apa sayang?”

“Masa belajar sih?”

“Kamu mau dapat PTN gak?”

Ara mengangguk, wajahnya itu cemberut dengan sebal. “Tapi, Kak...”

“Kalau bisa ngerjain soal yang aku kasih nanti ada hadiahnya.”

“Apa apa?” Ara mengedipkan kedua matanya dengan penasaran.

“Rahasia lah.”

“Cium ya?”

“Ara...”

“Kan kamu yang ngajarin aku ciuman.”

Pesawat yang di tumpangi Ara sudah sampai di Bandara Frankfurt, tidak jauh dari Heidelberg tempat tinggal Yuno berada. Menggunakan kereta hanya menempuh jarak 1 jam 30 menit saja, lebih cepat di banding Ara harus landing di Berlin.

Yuno menunggu Ara di waiting room gadis itu bilang dia masih berada di imigrasi bandara. Siang ini, Yuno gak ada hentinya tersenyum, ia benar-benar bahagia karena sebentar lagi bisa bertemu dengan gadis yang sangat ia rindukan itu.

Mereka enggak ada rencana kemana-kemana hari ini, Yuno tahu Ara pasti akan lelah karena penerbangan panjang pertamanya. Jadi Yuno sudah menyiapkan beberapa hal yang akan mereka lakukan siang ini hingga malam nanti.

Begitu ponselnya bergetar halus di saku, buru-buru Yuno periksa. Dan benar saja, Ara mengiriminya pesan, bertanya keberadaan Yuno di mana karena ia sudah selesai melewati imigrasi bandara. Yuno berdiri, dan tidak lama kemudian ekor matanya itu mendapati Ara di ujung sana. Menyeret koper berwarna pink dan tas punggung yang senada dengan koper miliknya.

Gadis itu juga melihatnya, dan tanpa memperdulikan koper besar miliknya. Ara berlari ke arah Yuno, matanya bersinar cerah seperti ia tengah menemukan harta karun yang selama ini ia cari. Maka dari itu, Yuno merentangkan tangannya. Bersiap menangkap tubuh mungil itu untuk ia bawa pada dekap nya.

“Kak Yuno!!!” pekik Ara, tubuh mungilnya di tangkap oleh Yuno dengan gemas. Kaki nya itu bahkan nyari tidak menapak pada lantai karena Yuno sedikit mengangkat tubuh kekasihnya itu.

“Kangen,” ucap Yuno.

Ara memeluknya erat, menghirup aroma tubuh Yuno dengan rakus. Ia benar-benar merindukan cowok itu, Yuno enggak banyak berubah. Kulitnya masih putih pucat, hanya saja rambut cowok itu agak sedikit panjang dari yang terakhir Ara lihat.

“Sayang, kok nangis?” tanya Yuno, ia baru sadar jika bahu kecil Ara bergetar.

“Kangen, aku udah lama gak meluk Kak Yuno, nyium bau kamu, makan masakan kamu, di ajarin kamu. Pokoknya kangen, aku mau memonopoli kamu hari ini sampai besok dan seterusnya!”

Yuno mengurai pelukan itu, menangkup wajah gadisnya dan mengusap pucuk kepala nya itu. Ada sedikit air mata di ujung mata Ara yang ia usap dengan jarinya sendiri.

“Aku juga mau memonooli kamu, sayang, Jauh banget yah?”

Ara mengangguk, “Banget.”

“Capek gak hm?”

“Enggak, kok.” gadis itu tersenyum, matanya masih lekat menatap kedua netra legam di depannya itu.

“Kita pulang? Masih kuat naik kereta kan? Atau mau aku gendong aja?” Yuno menaikan satu alisnya, menggoda Ara hingga kedua pipi gadis itu merona.

“Apa sih, masih kuat tau aku. Tapi Kak Yuno bawain kopernya yah?”

“Tanpa kamu suruh, aku pasti bawain, yuk?” Yuno menggenggam tangan Ara, kemudian menggandengnya untuk keluar dari bandara.

Di perjalanan menuju Heidelberg, Ara banyak bercerita tentang perjalanan panjangnya. Dia bilang, dia bangga bisa berpergian sendiri seperti ini. Katanya sudah merasa seperti orang dewasa, walau di perjalanan Papa dan Bunda nya enggak ada henti-hentinya bertanya Ara sudah sampai di mana.

“Di dekat stasiun terakhir nanti, ada toko roti. Mau beli roti dulu gak?” Tanya Yuno waktu mereka hampir sampai.

“Mau!!”

Yuno tersenyum, “kamu udah kabarin Bunda sama Papa?”

“Udah kok, mereka lega banget waktu tau aku udah sampai.”

“Nanti sampai di apart, aku telfon Bunda kamu juga ya.”

Ara mengerutkan keningnya bingung, “buat apa? Kan Bunda udah tau aku sama kamu.”

“Ya buat ngasih tau kalo aku bakalan jagain kamu terus selama di sini, orang tua kamu pasti khawatir, makanya aku mau meyakinkan mereka kalo kamu aman sama aku, sayang.”

Ucapan Yuno barusan, berhasil membuat Ara mengulum senyumnya. Ia membuang pandanganya ke arah lain demi menahan senyum konyolnya, meski sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih. Ara masih mudah sekali tersipu karena kata-kata atau tindakan kecil yang Yuno lakukan untuknya.

“Di sini Kak Yuno udah punya teman belum?” tanya Ara tiba-tiba.

Yuno hanya menggeleng, ia baru beberapa hari pindah ke Heidelberg. Yuno belum mengenal banyak orang di sini, ia hanya baru berkenalan dengan tetangga sebelah apartemen nya saja karena mereka berkuliah di kampus yang sama.

“Cuma baru punya 1 kenalan, dia kakak tingkat aku di kampus.”

“Cewek?” tebak Ara.

“Cowok, sayang.”

Ara mengangguk-angguk. “Tapi Jerman baik-baik aja kan, Kak? Lebih betah di Jakarta atau di sini?”

“Kalau di sini, aku bisa sedikit bebas karena gak selalu di awasi Papa. Tapi kalo di Jakarta ada kamu.”

“Jadi?”

“Aku pilih yang ada kamu nya.”

“Ih gombal!!” pekik Ara.

Apartemen Yuno sudah rapih sekarang ini, cowok itu ngebut semalaman untuk merapihkan apartemen nya. Di tempat tinggalnya yang sekarang ini memiliki 2 kamar tidur, kamar Yuno tentunya lebih besar dari pada kamar tamu.

Di ruang tamu yang sekaligus ruang TV, Yuno memajang pigura foto dirinya sekaligus kedua orang tua nya. Sedangkan di meja dekat TV dan rak buku, ia taruh fotonya berdua dengan Ara serta foto kelulusan SMA nya.

Yuno juga menaruh tanaman hias serta vinyl koleksi Yuno yang ia beli di toko musik beberapa bulan yang lalu, Yuno itu suka sekali mengoleksi vinyl. Bahkan ia juga membeli Gramofon untuk sesekali ia putar vinyl itu jika sedang bosan.

Selama di Jerman, Yuno merasakan bisa menjadi dirinya sendiri yang mencintai musik. Berbeda jika di Jakarta dan tinggal dengan orang tua nya, Papa akan membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan musik. Entah apa yang membuat Papa begitu membenci musik.

Sembari menyiapkan cemilan dan teh untuk Ara, sesekali Yuno melirik gadisnya itu yang sibuk berkeliling melihat apartemen Yuno yang baru.

“Kak Yuno beli vinyl juga di sini?” tanya Ara, sampailah gadis itu di rak vinyl koleksi Yuno itu.

“Iya, masih sedikit tapi. Kamu mau dengerin?”

“Boleh, aku pilih sendiri boleh?”

“Boleh sayang.”

Ara nampak begitu tertarik dengan koleksi vinyl milik Yuno, ia lihat satu persatu. Setelah selesai membuat cemilan untuk Ara, di taruh nya cemilan dan teh itu di meja ruang TV dan Yuno hampiri Ara yang masih nampak bingung di depan rak vinyl koleksinya.

“Baby, I'm for Real, I Like It, They long to be, Close to You, Close To You,” gumam Ara, membuat Yuno di sebelahnya tersenyum kecil. “Kak Yuno suka yang mana? Aku belum pernah dengar lagu-lagu ini sebelumnya.”

“Baby, I'm For Real,” jawab Yuno, ia juga mengambil vinyl nya kemudian memasangnya di Gramofon.

Begitu lagunya di putar, Ara memejamkan matanya. Menikmati alunan lagu itu sembari sesekali ia bergumam, ia seperti pernah mendengar lagu ini sebelumnya.

“Suka gak?” sebelumnya Yuno belum pernah melakukan ini, menyelipkan rambut panjang gadis nya ke belakang telinga, agar tidak menghalanginya melihat wajah cantik kesayangannya itu.

Dan perlakuan kecil Yuno itu berhasil membuat Ara membuka kedua matanya, degup jantungnya menjadi semakin menggila ketika kedua netra legam itu kini menatapnya lekat, seolah-olah jika Yuno berkedip sedetik saja Ara akan hilang dari pandanganya.

“Kak Yuno?”

“Hm?”

Ara mengulum bibirnya, sejujurnya ada hal yang sangat ingin Ara lakukan jika sudah bertemu dengan Yuno. Ah tidak, lebih tepatnya hal yang ingin Ara dululah yang memulainya. Jadi, biarkan kali ini ia mengalahkan akal sehatnya sendiri. Dengan mengubah posisinya menjadi menghadap Yuno.

Kedua anak manusia itu saling tersenyum, alunan musik yang masih berputar itu seakan mengantarkan mereka pada dunia mereka berdua. Dunia yang seolah-olah hanya mereka lah yang tinggal di sana.

Telat Ara menyadari jika tangan Yuno sudah berada di pinggangnya, memeluk pinggang ramping itu untuk semakin dekat dengannya. Mengabaikan degup jantungnya yang semakin menggila, Ara memberanikan diri untuk membawa tengkuk Yuno semakin dekat dengan wajahnya. Hingga saat ini bibir keduanya bertemu.

Jujur saja, Yuno sedikit terkejut. Ara terlalu lugu untuk memimpin kecupan-demi kecupan ini, namun Yuno tetap membiarkan gadis nya itu memimpin. Jadi, ia pejamkan matanya dan ia balas kecupan itu perlahan-lahan.

Ara sempat berhenti sebentar, keduanya tersenyum sampai akhirnya Yuno lah yang bergantian menciumi bibir mungil itu duluan. Melalui lumatan kecil itu, Yuno hanya ingin mengutarakan kerinduannya, kasih sayang dan cintanya pada gadisnya itu.

Ara yang masih terlalu gamang untuk menyeimbangi itu hanya meremas kemeja yang Yuno pakai, namun perlahan tangannya naik mengusap pundak Yuno dan mengigit bibir cowok itu dengan gemas.

Decapan demi decapan mendominasi ruangan itu, sebelum semuanya semakin jauh. Yuno sudahi kecupan itu, membiarkan gadisnya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Jujur saja, 2 tahun berkencan dengan Ara. Baru hari ini mereka berciuman selama itu dan Ara yang memulainya.

“Kak?”

“Hm?” Yuno mengangkat satu alisnya.

“Ak..ku mau ganti baju dulu.”

Yuno tersenyum, ia kemudian mengangguk kecil. Ia tahu Ara malu, terlihat dari bagaimana semburat kemerahan itu muncul di kedua pipinya. Begitu sampai di dalam kamarnya, Ara langsung membanting dirinya ke atas ranjang dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

Dia gak ada hentinya meruntuki dirinya sendiri yang dengan beraninya mencium Yuno seperti tadi, bahkan sekelebatan bayangan tentang bagaimana ia mencium cowok itu terus berputar di kepalanya.

“Aaaaahhhh stupid..” pekiknya tertahan, Ara malu setengah mati. Bagaimana jika setelah ini Yuno jadi berpikir jika ia adalah gadis yang agresif.

Pagi ini sebelum Ann bangun, Yuno sudah sibuk di dapurnya untuk membuat sarapan mereka berdua. Semalam Ann bercerita sehabis sarapan Ann ingin mengajaknya keluar sebentar, berjalan-jalan di sekitar apartemen Yuno yang di kelilingi banyak kuil. Heidelberg memang terkenal dengan kuilnya.

Setelah itu, mungkin Yuno akan mengantar Ann pulang ke Berlin. Yuno juga masih harus membereskan beberapa barang di apartemen lamanya yang harus dia bawa ke apartemen barunya.

Sedang asik membuat Bake Mashed Potato Crumb untuk sarapan, tiba-tiba saja ponsel milik Yuno berdering. Membuatnya harus segera mengangkat panggilan itu karena berasal dari Mama nya, jadi Yuno nyalakan pengeras suara agar ia masih bisa berbicara dengan Mama dan tetap menyelesaikan masakannya.

“Halo, Mah?”

sayang, Kata Papa kamu sudah mulai pindah sejak kemarin?” tanya Mama di sebrang sana. to the point sekali, pikir Yuno.

Yuno memang sempat mengabari Papa nya dan bercerita kalau ia sudah mulai pindah sejak kemarin, waktu itu Papa sempat menyuruh Yuno untuk menyewa jasa truk saja demi bisa mengangkut barang-barang Yuno.

Tapi Yuno menolaknya, Yuno sudah tahu harga truk yang di sewa untuk pindahan harganya cukup mahal, meski terbilang berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yuno tidak ingin hidupnya bergantung pada kedua orang tuannya. Selama Yuno masih bisa melakukannya sendiri, ia tidak akan pernah meminta bantuan orang tuannya.

“Iya, Mah. Urusan di Berlin udah selesai semua, makanya Yuno mutusin buat pindah secepatnya.”

tapi nyaman apart nya, No?

Setelah mengeluarkan Mashed Potato nya dari oven, Yuno menata makanan itu dan minuman di atas meja pantry. Kemudian membenahi peralatan bekas memasaknya. Biarpun seorang laki-laki dan ia tinggal sendiri, Yuno itu orang yang sangat bersih dan rapih. Dia gak bisa melihat rumah yang di tinggalkannya berantakan dan kotor.

“Nyaman kok, Mah. Cukup besar juga. Lebih nyaman dari pada yang di Berlin.”

syukurlah kalau begitu. Yuno?

“Yah, Mah?”

minggu ini Ara menyusul kamu ya? Mama ada titipan makanan untuk kamu dan Ara, di makanan nanti yah.

Yuno mengerutkan keningnya, namun sedetik kemudian ia tersenyum. Selain Ara, masakan Mama juga termasuk yang Yuno rindukan.

“Ara ngomong ke Mama?” tanya Yuno, terakhir kali Ara bercerita sebelum Ujian Nasional, gadisnya itu sempat mengunjungi Mama dan kedua nya memutuskan untuk makan siang bersama. Yuno senang Mama dan Ara sangat dekat, bahkan kadang Yuno merasa Mama lebih sayang dengan Ara di banding dengan Yuno. Tapi tidak apa, Yuno justru merasa senang. Karena dua wanita yang ia sayangi juga saling menyayangi satu sama lain.

Ara tuh rajin cerita ke Mama, apalagi kalau lagi kangen kamu. Dia pasti nanya Mama di mana, terus tau-tau nyamperin Mama. Pacarmu tuh lagi hobi masak yah? Mama di bawain makanan buatan dia terus loh, No.

Ara memang sedang gemar memasak, gadis itu bilang jika ia ke Jerman nanti ia ingin memasak sesuatu untuk Yuno. Dan Yuno semakin tidak sabar menantikannya, ia ingin mencicipi masakan gadisnya itu.

Dari kamar tamu, Ann keluar. Gadis itu sudah rapih dengan baju dan coat yang tidak terlalu tebal itu. Meski sudah melewati musim dingin, Jerman tetap dingin di waktu musim semi. Suhu nya masih berkisar 8-18° dan kadang malah bisa tiba-tiba hujan. Makanya Yuno masih sulit beradaptasi dengan cuaca yang tiba-tiba berubah drastis ini.

Karena tahu Yuno sedang menelfon, Ann hanya berbicara dengan Yuno melalui gerakan tangannya saja. Seperti bertanya apakah makanan yang Yuno masak untuk sarapan mereka berdua dengan menunjuk piringnya dan Yuno hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Ara malah enggak cerita kalau tiba-tiba suka nyamperin Mama. Curang yah dia, awas aja kalau nanti sampai sini, tapi iya, Mah. Ara emang lagi suka banget masak, katanya kalau ke Jerman mau masakin sesuatu buat Yuno.”

Yuno?

“Ya, Mah?”

jemput Ara nanti di bandara yah, Mama percaya kalian berdua bisa menjaga diri. Jaga kepercayaan kedua orang tua nya Ara juga yang sudah mengizinkan Ara untuk mengunjungi kamu. Jangan buat mereka kecewa, ngerti kan maksud Mama?

Yuno tersenyum, Yuno sangat paham maksud Mama. “Paham, Mah.”

ya sudah, sarapan sana. Jaga kesehatan yah, nanti Mama kabari lagi.

Setelah sambungan telfon dari Mama terputus, Yuno duduk di kursi meja pantry. Berhadapan dengan Ann yang sedari tadi sudah sarapan, bahkan makanannya sudah habis separuhnya.

sorry ya, Ann. Cuma ada sisa daging sama kentang doang di kulkas gue. Belum sempet belanja bahan makanan lagi,” ucap Yuno memecahkan keheningan di antara mereka.

“Gapapa, No. Ini juga enak banget kok, masakan lo tuh gak pernah gagal.” Ann tersenyum, walau agak sedikit canggung.

Ann mendengar obrolan Yuno dengan orang tua nya, Ann tidak menyangka jika gadis bernama Ara itu juga sangat dekat dengan orang tua Yuno hubungan keduanya sudah sejauh itu ternyata. Terlebih, Mama nya Yuno sepertinya sangat menyayangi Ara. Ann jadi penasaran, seperti apa gadis bernama Ara itu.

“No?” panggil Ann, membuat Yuno yang tadinya sedang makan itu jadi menoleh ke arahnya.

“Hm?”

she want to stay here?” tanya Ann hati-hati, suaranya bahkan memelan.

Yuno yang sempat bingung itu mengerutkan keningnya, namun tidak lama kemudian ia mengangguk paham.

“Ara?”

“Um,” Ann mengangguk. “sorry gue gak sengaja dengar obrolan lo sama nyokap lo.”

“Santai aja, Ann.” Yuno tersenyum. “Cewek gue cuma liburan kok, habis selesai UN. Hampir setahun juga kita belum ketemu lagi, yah mungkin sekitar 10 harian dia disini.”

Ann meringis, Ann masih terlalu gamang pada perasaanya dengan Yuno. Bingung menyebutnya seperti apa, ia nyaman berada di dekat Yuno, kagum dengan apa yang cowok itu lakukan. Tapi tidakah terlalu cepat menyebutnya jika ia menyukai Yuno? Tapi melihat Yuno tersenyum hanya dengan seseorang menyebut nama Ara, dan bagaimana ia menceritakan tentang gadis itu.

Membuat hati Ann terasa di remas dari dalam. Ia bukan membenci Ara, ia hanya tidak nyaman saja. Namun di sisi lain, Ann tetap penasaran seperti apa gadis yang Yuno cintai itu.

“Dia baru lulus SMA?”

“Dia adik kelas gue, Ann. Nanti gue kenalin yah.”

Ann hanya mengangguk.


Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional, dan setelah ujian berakhir. Janu mengajak Echa, Ara, Gita, Kevin, dan Chaka untuk bermain bersama. Merayakan hari bebas mereka, belum bisa di bilang hari kelulusan. Karena pengumuman kelulusan masih agak lama.

Hari ini mereka berkumpul di rumah Janu, enggak di jalan atau bahkan di taman kota. Karena dari SMA kedua nya sudah di himbau untuk tidak melakukan iring-iringan kendaraan atau bahkan mencoret-coret seragam sekolah sebagai bentuk tamatnya masa putih abu-abu mereka.

Kedua orang tua Janu sudah menyiapkan banyak makanan dan juga cemilan untuk mereka, beruntung teras rumah Januar cukup luas dan nyaman, banyak semilir angin yang membuat siang hari itu nampak lebih sejuk meski di luar begitu terik.

Gita yang duduk di dekat Ara itu tersenyum, matanya enggak sengaja melihat Ara yang sedang membalas pesan singkat dari Yuno. Gadis di sebelahnya itu memberi tahu kalau ia sedang di rumah Janu bersama dengan yang lainnya.

“Lo flight ke Jerman kapan, Ra?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Chaka dan Kevin menoleh ke arah keduanya.

“Ara mau ke Jerman? Nyusul Bang Yuno?” tebak Chaka.

Ara yang di tanya begitu mengangguk, ia kemudian tersenyum. “Lusa gue berangkat, Git. Besok mau ke rumah Bunda Lastri dulu, Karena Bunda nitip makanan buat Kak Yuno.”

“Asik banget, gue jadi kepengen ikut. Kangen juga sama Kak Yuno.”

“Ikut yuk! Biar gue enggak sendiri.”

Gita mendecap, “gue udah ada acara, Ra. Tuh sama Kevin.”

“Ah,” Ara mengangguk-angguk. “by the way kalian udah dapat kosan di Bandung?”

“Udah, Ra. Tapi belum survey, mungkin bulan depan kali,” jawab Kevin.

“Kalian udah ada rencana kuliah dimana belum sih? Kok kayanya gue gak ada tujuan banget.” Chaka memang masih bingung mau ke kampus mana, selain itu dia juga masih gamang untuk memilih jurusan apa. Berbeda dengan Kevin, Gita dan Januar yang sudah mantap dengan pilihan mereka.

“Gue sih mau usaha di Jakarta dulu yah, gue juga udah bulat ambil teknik.” Echa sudah mantap akan mengambil fakultas teknik di kampus yang ada di Jakarta, ya itu jika ia keterima tapi jika tidak. Ia akan tetap mantap pada jurusan tehnik dan akan mengambil kampus yang sama dengan Janu. Echa sempat mencari tahu tentang fakultas teknik di Narawangsa, dan fakultas teknik di sana menjadi salah satu fakultas terbaik di sana.

“Gue udah mantap mau ambil jurusan psikologi, tapi di kampus yang di Malang. Tapi kalau gak keterima gue mungkin ambil kampus yang sama kaya Mas Arial.”

“Arial?” mendengar nama Arial di sebut, membuat Gita memekik.

Ara mengangguk. “Um, Mas Iyal, Git. Kenapa?”

Gita menarik nafasnya pelan, namun kemudian ia menggeleng. “Gapapa, emangnya Ari— Mas Arial di kampus mana?”

“Narawangsa, dia anak Fisip.”

“Fisip?!” pekikan Gita sekali lagi berhasil membuat yang lainnya menoleh ke arah gadis itu.

“Kenapa sih, Hon? Kok kaya kaget banget?” tanya Kevin yang penasaran.

Sudah terhitung hari ketiga Ujian Nasional di Indonesia berlangsung, sejak hari terakhir Yuno dan Ara bertukar kabar melalui panggilan video. Sejak hari itu Yuno menyuruh Ara untuk fokus pada ujiannya dulu, mereka membatasi bertukar kabar lagi setelah itu.

Hanya pesan singkat saja yang Ara balas ketika di Jakarta pagi hari sebelum gadis itu berangkat ke sekolahnya, Yuno paham dan memaklumi itu. Ia sama sekali enggak keberatan dengan intensitas komunikasi mereka yang semakin berkurang.

Hari ini, Yuno mulai memindahkan satu persatu barang miliknya ke apartemen nya di Heidelberg. Sekolah bahasanya sudah selesai, Yuno hanya tinggal menunggu masuk ke kampusnya sebagai mahasiswa kedokteran di tahun ajaran baru, Barang yang Yuno pindahkan ke apartemen barunya juga hanya baju dan barang kecil-kecil saja.

Sisa nya apartemen yang berada di Heidelberg sudah include dengan perabotan. Kemarin Yuno di bantu oleh Josep, tapi hari ini Josep juga sedang mencari jasa truk untuk ia pakai pindahan. Di antara Yuno, Josep dan Roseane. Hanya Ann yang berada di Berlin, ia akan kuliah di kampus yang ada di sana.

Sementara Josep di Hamburg dan Yuno di Heidelberg. Namun, ketiganya setuju jika ada waktu luang, mereka harus bertemu walau hanya untuk sekedar ngopi. Di stasiun menuju Heidelberg, Yuno sedikit melirik Ann yang hari itu membantunya, Ann membawa koper kecil berisi buku-buku dan satu paper bag berisi makanan yang barusan mereka beli.

“Lo gak keberatan?” tanya Yuno sedikit khawatir pada Ann, kadang Yuno heran. Ann itu kurus tapi gadis itu benar-benar kuat. Bahkan awalnya Ann memilih koper besar berisi sisa baju-baju Yuno, mana tega Yuno membiarkan Ann yang kurus dan seorang perempuan membawa koper besar itu.

“Ya ampun, No. Koper kecil gini doang mah gue kuat,” jawab nya enteng, seolah-olah itu bukan masalah buatnya.

Yuno hanya bisa tersenyum kemudian melihat ke arah arloji miliknya. “Keretanya sampai sini 10 menit lagi, by the way, thanks ya Ann udah bantuin gue pindah.”

Ann mengangguk, ia menoleh ke arah Yuno yang hari itu terlihat sedikit pucat baginya. “Muka lo pucat, No. Lo sakit?”

“Agak gak enak badan, kecapekan gue kayanya.”

Tangan kurus Ann kemudian terulur memegang kening Yuno, badan Yuno demam. Suhu nya sangat berbeda dengan suhu badan Ann saat ini, pantas saja Yuno agak sedikit lebih diam.

“Tau lo sakit mending kita pinjam mobilnya Rosalie buat pindahan elo, dari pada naik kereta kaya gini.”

“Naik mobil lebih lama 2 jam, Ann. Lagian apart gue gak jauh dari stasiun kok, udah lah gapapa.”

Walau Yuno bilang gapapa, tapi tetap saja Ann khawatir dengan cowok itu. Begitu kereta yang akan mereka tumpangi datang, buru-buru Ann masuk untuk menaruh koper milik Yuno dan sedikit berlari ke mini market untuk membeli beberapa obat. Seingat Ann, kotak obat milik Yuno masih berada di apartemen lamannya.

“Lo habis dari mana?” Yuno tadi sempat mencari Ann ke gerbong lain, takut-takut Ann nyasar. Gadis itu bilang ingin ke toilet sebentar, padahal Ann keluar dari kereta terburu-buru demi bisa membelikan Yuno obat.

“Mini market buat beli obat penurun demam, lo udah makan kan tadi? Minum dulu obatnya ya.” Ann menyuruh Yuno untuk duduk di kursinya, sementara ia membukakan air minum yang ia bawa di tas miliknya dan juga memberikan Yuno obat yang barusan ia beli.

“Lo tuh calon dokter, No. Sebelum nyembuhin pasien lo, lo harus bisa jaga kesehatan diri lo sendiri.”

Yuno hanya pasrah saja, ia meminum obat itu, kemudian bersandar pada kursi kereta. Sejak ia pindah ke Jerman, kedua orang tua nya jarang sekali mengabari Yuno. Papa dan Mama benar-benar sibuk di rumah sakit, apalagi Yuno tahu kalau akhirnya Papa berhasil menjabat sebagai direktur rumah sakit yang di dirikan oleh Eyang kakungnya.

Dulu, sewaktu Yuno pertama kali pindah ke Berlin dan sakit. Ara sangat mengkhawatirkannya, gadis itu bahkan gak ada hentinya untuk mengingatkan Yuno minum obat, makan dan istirahat. Namun saat ini Ara bahkan enggak tahu kalau Yuno sakit, Yuno juga gak cerita karena ia tidak ingin membuat gadis nya khawatir.

“Sekali lagi, thanks ya, Ann.”

“Sama-sama.”

Kereta yang keduanya tumpangi itu jalan, di perjalanan Yuno sempat tertidur karena efek mengantuk dari paracetamol yang Ann berikan untuknya, di sebelah Yuno. Alih-alih ikut tertidur juga, Ann justru mendengarkan lagu dari earphone nya sembari memperhatikan setiap lekuk wajah Yuno yang menurutnya sangat sempurna itu.

Hidungnya kecil dan mancung, alis yang tebal, bulu mata yang lentik, bibir yang menawan sempurna serta bulu-bulu halus di wajahnya. Kadang Ann berpikir Yuno terlalu sempurna untuk ukuran manusia pada umumnya, katakan ia berlebihan tapi itu adalah sebuah kejujuran tentang Yuno darinya.

Sedang asik menelisik wajah Yuno, tiba-tiba saja kedua mata itu terbuka. Ann yang tadinya tersenyum, kini mendadak membuang pandanganya ke arah lain dan sedikit canggung.

“Gue ketiduran.”

Ann dengar, namun ia memilih untuk tidak menggubris ucapan Yuno. Lagi pula ia bisa berpura-pura tidak mendengar karena masih ada earphone di telinganya, namun merasa pundaknya di sentuh oleh Yuno. Akhirnya Ann membuka earphone yang menyumpal telinganya itu.

“Kenapa?”

“Rosalie bilang dia gak bisa jemput lo.” Yuno menunjukan ponselnya yang berisi pesan singkat dari Rosalie, Rosalie itu teman mereka sekaligus tetangga Ann. Ann sudah meminta tolong pada Rosalie untuk menjemputnya, namun gadis itu kali ini bilang tidak bisa menjemputnya karena Ibu nya baru saja datang.

Ann menghela nafasnya berat. “Gue balik naik kereta lagi aja, No.”

“Udah gelap gini.”

“Gapapa, gue biasa kemana-kemana sendiri lagi.”

“Lo gak mau keliling Heidelberg dulu? Seenggaknya balik besok, kebetulan di apart gue ada 2 kamar. Lo bisa pakai kamar tamu kalau mau.”

Tidak ada jawaban dari Ann, gadis itu hanya menatap wajah Yuno lekat-lekat. Membuat Yuno yang berada di depannya sedikit bingung.

“Ann?” panggil Yuno menyadarkan Ann dari lamunannya.

“Gapapa gue langsung balik aja, No.”

“Besok aja, besok gue yang antar lo balik ke Berlin.”

Akhirnya Ann mengangguk, dalam hati bolehkan ia layangkan harapannya kembali pada Yuno meski ia tahu Yuno sudah memiliki seseorang di hatinya.


“Jadi lo udah pasti banget tuh di Bandung, Nu?” tanya Ara.

Janu, Ara dan Echa masih bersantai di taman sekolah. Mereka sudah pulang, tidak ada yang mereka tunggu lagi. Namun Echa mengajak keduanya untuk duduk sembari membicarakan tentang kampus yang akan mereka ambil. Echa gak ada rencana buat kuliah di luar kota, keinginannya adalah tetap berkuliah di Jakarta.

“Pastilah, bokap gue udah daftarin gue di sana.”

“Di Narawangsa tuh?” kening Echa berkerut.

Janu mengangguk kecil, “lagian yang, kenapa enggak bareng aku aja sih? Kan kita bisa kost bareng. Ada Gita sama Kevin juga.”

Echa, Janu dan Ara sudah tau kalau pada akhirnya Gita kembali mengekori Kevin. Keduanya juga sudah mencari kosan di Bandung yang dekat dengan kampus keduanya. Sementara Echa, dia masih berusaha untuk dapat perguruan tinggi negeri di Jakarta.

“Aku masih mau berusaha dapat PTN dulu, Nu. Kalo lo gimana, Ra?”

Ara yang di tanya gitu menghela nafasnya berat, “sama, Cha. Mau coba PTN dulu. Kalau enggak dapat yah gue ke Narawangsa, Papa juga nyuruh gue di sana. Ya seenggaknya Narawangsa lebih baik dari pada gue harus satu kampus sama Mas Yuda.”

“Gue pikir lo bakal nyusul Bang Yuno ke Jerman, Ra.” celetuk Janu asal-asalan.

“Duit Papa gue enggak sebanyak itu, Nu.”

“Tapi lo jadi, Ra. Liburan ke Jerman nyusul Kak Yuno?”

Ara mengangguk, “gue udah pesan tiketnya juga. Mungkin seminggu gue di sana, gila lo habis hectic sama UN gue gak healing bisa setress nanti sebelum nyiapin diri buat kuliah.”

“Healang healing, elu mah mau pacaran gitu pake bilang healing segala,” cerocos Janu.

“Eh diem yah lo kadal gurun!” sentak Ara kesal, kadang mulutnya Janu tuh kaya Ibu-Ibu julid.

“Papa lo ngizinin, Ra?”

“Um!” Ara mengangguk. “Kak Yuno yang minta izin, Kak Yuno berhasil yakinin Papa. Yaudah deh di kasih izin.”

“Jangan aneh-aneh ya lo berdua di sana,” Echa terkekeh, dia udah ngasih ultimatum buat Ara walau sebenarnya Echa yakin kalau Ara dan Yuno pasti menjaga diri dan tahu batasan pacaran mereka.

“Heh, Kak Yuno bukan orang kaya gitu yah, enak aja lo. Harusnya gue tuh yang bilang gitu ke lo berdua.”

Setelah selesai Ujian Nasional, Ara akan segera berangkat ke Jerman. Dia sudah sangat merindukan Yuno, bahkan Ara sudah membuat daftar kencan bersama Yuno.

“Mas Yuda!! Mas Yuda!” pekik Ara, gadis itu turun dari lantai dua tempat kamarnya berada, Ara sudah rapih dan tengah mencari Yuda untuk meminta di antarkan ke rumah Yuno hari ini.

Di meja makan, gadis itu hanya mencomot pastel yang tadi pagi Papa nya beli di pasar sewaktu mengantar Bunda belanja. Papa sedang minum kopi di meja makan sembari menonton siaran ulang bola semalam melalui ponselnya.

Karena Yuda tidak kunjung keluar dari kamarnya, akhirnya Ara berinsiatif untuk memakai sepatunya dulu. Biar setelah Yuda keluar dari kamarnya mereka bisa langsung jalan.

“Pelan-pelan, Kak. Makan dulu baru di pakai sepatunya,” ucap Papa yang mulai risih liat Ara keribetan sendiri.

“Duh, Pah. Udah telat ini, Kak Yuno sama Bunda Lastri udah siap.” Ara menghela nafasnya, kemudian menghabisi pastel isi telur dan bihun itu dalam sekali suapan.

“Mas Yuda kemana sih, Pah?” Tanya Ara pada akhirnya karna Yuda tidak kunjung keluar juga.

“Di kamarnya, sana kamu panggil aja.”

“Ck.”

Ara yang sudah tidak sabaran akhirnya berjalan ke kamar Yuda, dan benar saja cowok itu masih sibuk menyisir. Rambut Mas Yuda memang sudah gondrong, dia enggak mau cukur, katanya masih betah dengan rambut panjangnya.

Dan perlu Ara akui jika rambut gondrong Mas Yuda memang cocok untuk dirinya, walau terlihat semakin sangar tapi Mas Yuda justru bertambah maskulin dengan tatanan rambut yang selalu ia ikat itu.

“Mas Yuda!!! Ihhh lama, buruan nanti aku di tinggalin!” Pekik Ara.

“Sabarrrrrrr!!”

“Ngaca mulu ih kaya ikan cupang, buruan, aku tunggu di depan.”

Akhirnya Ara masuk ke dalam mobil lebih dulu, di mobil ia menghela nafasnya dengan berat. Hari ini adalah hari keberangkatan Yuno ke Jerman untuk studi nya, Yuno sudah terdaftar menjadi mahasiswa di sebuah universitas bergengsi di Berlin.

Sebenarnya berat bagi Ara harus menjalani hubungan dengan jarak jauh seperti ini, bukan hanya soal perbedaan waktu yang cukup jauh, tapi juga keberadaan Yuno yang selalu bersamanya, Membuat Ara akan merasakan kehilangan, namun apa daya, dia sendiri gak bisa melarang Yuno untuk meraih apa yang cowok itu impikan.

Sedang asik melamun sembari mengusap liontin dari kalung yang Yuno belikan, tidak lama kemudian Mas Yuda datang. Cowok itu langsung masuk ke dalam mobil sembari bersiul, namun saat melihat raut wajah Ara yang sedikit mendung, Yuda mengerutkan keningnya.

“Dih, nangis lu yah?” tanya Yuda, lengkap dengan nada paling menyebalkan di telinga Ara.

“Berisik ah, udah jalan aja buru.”

“Yeeealah, Dek. Baru di tinggal ke Jerman ama Yuno aja nangis, liburan juga dia bakal balik.”

Ara diam saja, Mas Yuda memang suka menganggap sepele. Pantas saja setiap kali menjalin hubungan dengan perempuan, hubungan itu tidak akan bertahan lama. Ara sih enggak heran, karena yang sudah-sudah mantan kekasih Mas Yuda selalu bercerita betapa Yuda cuek dan masih nyaman dengan dunia nya sendiri.

Seperti Yuda sering lupa membalas pesan singkat, tidak ada waktu untuk sekedar jalan berdua atau terkadang Yuda yang terlalu friendly dengan teman-teman perempuannya yang lain.

“Takut Yuno selingkuh yah?” tebak Yuda, cowok itu melirik Ara sesekali dan kemudian kembali fokus menyetir. Untungnya pagi itu jalanan tidak terlalu padat, jadi Ara bisa pastikan tidak akan terlambat untuk sampai ke rumah Yuno.

“Apaan sih, Kak Yuno tuh gak gitu.”

“Terus kenapa mewek?”

Ara menghela nafasnya pelan, ia memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela dan melihat jalanan di luar sana.

“Takut kangen aja.”

“Yaelah, Dek. Dangdut amat, sekarang kan jamannya udah canggih, udah bisa video call.”

“Tapi video call sama ketemu langsung tuh beda Mas Yuda.” Ara melipat tangannya di depan dada. “Gini nih, pantes aja pacar-pacar Mas Yuda minta putus, orang cowoknya aja cuek kaya begini.”

“Dih, enak aja. Mas tuh bukannya cuek, tapi mencoba memprioritaskan apa yang lebih penting dulu. Lagian masih pacar juga.” Yuda memang seperti itu, ia akan memprioritaskan apa yang menurutnya penting ketimbang sibuk berkencan dan mengabaikan urusan kampusnya.

Yuda itu aktif dalam organisasi di kampusnya, selain itu, Yuda juga masih suka bermain futsal, menemani Reno bermain basket atau sepedaan dan tentunya aktif dalam kegiatan menyuarakan aspirasi.

Bisa di bayangkan betapa sibuknya Yuda, kan. Dan dia kadang suka lupa kalau dia punya pacar yang menunggu kabar darinya, waktu di putusin pun Yuda gak pernah menyangkal kalau ia memang suka sibuk sendirian. Makanya kali ini Yuda enggak mau punya hubungan apa-apa sama perempuan, ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lagi karena sikap cueknya itu.

“Terserah Mas Yuda aja lah.” percuma juga berdebat dengan Yuda, isi kepala nya dan Yuda sangat berbeda.

Tidak lama kemudian mobil yang di kendarai Yuda sampai juga di depan rumah Yuno, sudah ada mobil Bunda Lastri terparkir di depannya tapi Ara enggak melihat ada mobil Papa nya Yuno di sana.

“Heh, nanti pulangnya Mas Yuda gak bisa jemput, kamu naik ojol aja yah.” biasanya Ara memang suka meminta di jemput Yuda, yah walau kadang Yuda sendiri agak sedikit ngaret menjemputnya.

“Aku pulang sama Bunda Lastri.”

Setelah mengatakan itu, Ara langsung menutup pintu mobil nya dan masuk ke dalam rumah Yuno. Di sana Yuno sudah siap dengan koper besarnya dan backpacker yang ia bawa, sebagian barang Yuno yang lain sudah di kirim duluan ke apartemen yang akan Yuno tempati di Berlin.

Dan tidak membutuhkan waktu lama, mereka pun segera menuju ke Bandara. Di perjalanan Bunda banyak bercerita bagaimana kondisi kampus Yuno di Berlin, apartemen dan juga sekolah bahasa yang akan Yuno jalankan dalam setahun ini sebelum nantinya ia akan resmi menjadi mahasiswa kedokteran.

Ara sesekali menanggapi, walau terkadang ia harus menahan mati-matian perasaan tidak nyamannya. Di dalam mobil, Ara duduk di belakang bersama Bunda Lastri, sementara Yuno duduk di sebelah Pak Mamat, supir keluarga Yuno.

“Oh iya, Bun. Kok Papa gak ikut?” Ara dari tadi enggak lihat Papa nya Yuno, setahunya Papa sudah berjanji untuk mengantar Yuno juga.

“Papa ada jadwal operasi, sayang. Jadi terpaksa deh gak bisa antar Yuno, pagi-pagi sekali sudah pergi.”

Ara mengangguk, saat ia hendak melihat ke arah jendela matanya justru bertemu dengan mata Yuno yang tengah melihatnya dari rear view mirror. Yuno tersenyum, dan itu juga membuat Ara ikut tersenyum.

Begitu sampai di Bandara, Bunda Lastri menyingkir sebentar untuk menerima telfon dari rumah sakit. Dan kesempatan itu di pakai Yuno dan Ara untuk berbicara berdua sebelum Yuno boarding.

“Semalam aku mikirin banyak hal, Setelah telponan sama kamu,” ucap Yuno yang membuat Ara bingung. Matanya memandangi pautan tangan mereka, kemudian menoleh ke melihat wajah cantik yang nantinya akan sangat ia rindukan itu.

“Mikirin apa?”

“Kalo aku harus secepat mungkin selesain studi kedokteran aku, biar bisa pulang.”

Ara terkekeh, ia pikir Yuno mikirin apa. “Harus! Tapi juga Kak Yuno harus jaga kesehatan di sana, jangan telat makan, jangan terlalu forsir diri.”

“Sama jangan lupa mikirin kamu gak?” Yuno tersenyum, dan itu membuat Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Apa sih, gombal.”

Melihat pipi kekasihnya yang semakin merona itu, Yuno hanya bisa terkekeh dan mengusap pucuk kepala Ara. Ia akan selalu merindukan suara gadis itu, rajukkanya dan pelukannya yang selalu membuat Yuno nyaman. Ah, jangan lupa cerita keseharian Ara dan teman-temannya itu.

Tidak lama kemudian tibalah waktu Yuno harus segera boarding Bunda Lastri sempat memeluk putra satu-satunya itu, dan memberikan nasihat-nasihat untuk Yuno. Sementara Ara berdiri di belakangnya, ia menahan segala gejolak kesedihan di sana, sungguh. Ara tidak ingin menangis.

Ia juga sudah berjanji pada Yuno bahwa saat akan mengantarnya ia tidak akan menangis, maka dari itu ia memilin ujung bajunya sendiri dan mati-matian mengigit bibir terdalamnya.

“Bunda duluan yah, Ra. Bunda tunggu di mobil,” ucap Bunda sembari menepuk bahu Ara, Bunda Lastri memberikan waktu bagi Yuno untuk mengucapkan salam perpisahan sebelum jarak memisahkan keduanya.

Saat Bunda sudah pergi barulah Yuno merentangkan tangannya, memberi isyarat pada Ara untuk segera memeluknya. Dan di saat itulah tangis Ara pecah, dalam pelukan cowok itu. Ia banyak-banyak menghirup aroma tubuh Yuno yang nantinya akan sangat ia rindukan.

“Kalo liburan aku pasti pulang, atau kalau kamu libur, Kamu aja yang ke Berlin gimana, hm?” Yuno berusaha untuk menghibur Ara, ia juga berat di tangisi seperti ini. Dulu, waktu Yuno mengatakan jika ia akan kuliah di Jerman. Mereka sempat bertengkar, Ara bilang dia enggak akan kuat untuk berhubungan jarak jauh dengan Yuno, Namun Yuno berhasil meyakinkannya.

Yuno sangat paham, terkadang Ara memang belum dewasa sepenuhnya. Dan Yuno menerima sifat kekanakan kekasihnya itu, menurutnya ada banyak keistimewaan Ara yang membuat Yuno tetap memilihnya alih-alih sifat kekanakannya.

“Tapi pasti lama kan?” ucap Ara di sela-sela isak nya.

“Kan bisa video call kalau kangen, yang berubah dari kita cuma banyak menunda buat ketemu. Kamu masih bisa cerita ke aku, aku masih bisa ngajarin kamu, aku masih bisa milihin kutek mana yang mau kamu pakai, masih bisa nyanyiin kamu.”

Karena tidak ingin semakin memberatkan Yuno, Ara mengurai pelukan mereka, menatap wajah tampan yang sebentar lagi akan pergi ke benua lain meninggalkannya. Yuno tersenyum, tidak ada bolongan indah di pipinya, namun senyum itu masih tetap menawan di mata Ara.

Kedua ibu jari cowok itu mengusap pipi Ara, kemudian terulur mengusap bahu kecilnya. Berharap isak gadis itu segera reda.

“Kak Yuno janji jangan lupa makan lagi?”

“Um,” Yuno mengangguk.

“Pakai jaket yang aku beliin kalau pergi pas winter.

“Siap.”

“Jangan genit-genit sama bule di sana.”

“Pacar aku secantik ini buat apa genit sama bule di sana?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, ia mengangguk pelan.

“Aku berangkat yah.”

Ara masih menunduk, ia tidak ingin menatap Yuno dan berakhir menangis lagi. Namun siapa sangka jika Yuno justru menangkup wajahnya dan melayangkan satu kecupan di bibir ranumnya, membuat kedua mata Ara membulat dan waktu terasa berhenti berputar sejenak.

Yuno sedikit melumat bibir mungil itu, memangutnya dengan sangat hati-hati meski gadisnya tidak membalas ciuman itu, Ara memang masih kaku. Ia hanya memejamkan matanya menikmati setiap kecupan itu, saat di rasa sudah cukup meluruhkan segala gumpalan ketidaknyamanan di hatinya, Yuno melepaskan pautan itu.

Dan kakinya melangkah pergi meninggalkan Ara, ia tidak ingin menoleh ke belakang lagi yang nantinya akan semakin membuat langkahnya semakin berat.

Setelah selesai mempelajari beberapa materi untuk ujian sekolah bahasanya, Yuno hendak akan tidur. Ini sudah jam 12 malam di Jerman dan sebelum ia tidur, Yuno sempatkan mengirimkan pesan singkat ke Ara hanya untuk mengucapkan selamat pagi.

Setelah itu ia menarik selimut miliknya lalu menonton beberapa video dulu sebelum akhirnya terlelap, sudah 4 bulan setelah Yuno di Jerman dan ia masih aktif menjadi siswa sekolah bahasa Jerman sampai ke tingkat B2 sebelum akhirnya nanti melanjutkan ke kampus kedokterannya.

Satu bulan pertama setelah pindah Yuno banyak sekali kaget dengan budaya di Jerman, makannya dan yang jelas iklim di sana. Terlebih, Yuno benar-benar sendiri. Tidak ada sanak saudara di Jerman maka dari itu Ara tidak ada hentinya mengingatkan Yuno untuk menjaga kesehatannya.

Jika di tanya rindu dengan Jakarta dan segala bentuk kebisingannya, maka Yuno akan menjawab, tentu saja ia rindu. Mata yang perlahan-lahan mulai berat itu kembali segar ketika sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Itu Ara, gadis itu memang selalu bangun subuh-subuh.

Ara akan sedikit membaca materi sebelum mandi dan bersiap untuk sekolah, gadis itu akhir-akhir ini sibuk. Sejak menginjak kelas 12, Ara sering pulang larut karena ada jam tambahan di sekolah dan beberapa bimbel yang harus ia ikuti demi bisa masuk perguruan tinggi.

“Halo, Sayang?” sapa Yuno, wajahnya tersenyum walau Ara tidak melihatnya.

Kak Yuno kok belum tidur? Di sana udah jam 12 malam kan?

“Baru mau tidur kok, habis ngerjain tugas. Kamu lagi apa?”

lagi baca-baca materi aja, habis itu mau mandi.

Dari sebrang sana, Yuno bisa mendengar suara kertas yang seperti di bulak balik. Ara benar-benar tengah membaca kembali materi yang di pelajari nya. Kemarin Ara bercerita bahwa gadis itu sudah memiliki tujuan kampus mana yang akan ia pilih, Ara juga bilang jika ia ingin mengambil jurusan psikologi.

Dan alasan itu semua karena Ara termotivasi oleh Yuno. Sewaktu hectic menjelang ujian nasional, Yuno sempat sering terkena panic attack dan Ara tahu akan hal itu. Yuno juga sempat stress berat hingga berimbas pada kesehatannya karena waktu itu nilainya sempat turun, berujung dengan kemarahan Papa yang kecewa dengan nilai Yuno.

Sejak itu, Ara jadi termotivasi menjadi seorang psikolog. Jika Yuno nanti akan menyembuhkan orang lain, maka Ara yang akan menyembuhkannya.

“Um, jangan lupa sarapan yah. Di antar siapa, sayang?”

aku di jemput Echa sama Janu, ihhh Kak Yuno tau gak sih? Mereka tuh ngeselin banget tau,” Ara merajuk, jika boleh Yuno tebak pasti wajah gadis itu tengah cemberut sekarang.

“Kenapa sayang?”

Kak Yuno tau kan kalo Janu sama Echa pacaran? Yah itu, mereka bucin terus di kelas. Aku jadi kaya nyamuk tau di antara mereka, nyebelin banget kan? Apalagi Janu si kutu kupret itu, dia sering banget ngeledekin aku kalo aku pacaran sama Bang Toyib. Apa banget coba!!

Yuno terkekeh, ia sudah tahu Janu dan Echa berakhir bersama. Karena waktu itu Janu sempat menjadi bahan ledekan di grup chat yang Jo buat.

“Mulut nya Janu emang gak ada adab nya, masa aku di samain sama Bang Toyib.”

kalo Kak Yuno pulang kasih paham dia yah.

“Kalo aku pulang nanti aku ikat di tiang listrik aja kali yah,” ucap Yuno yang kemudian membuat keduanya tertawa.

Kak?

“Ya, Sayang?”

i miss you.” suara Ara sedikit bergetar, meski sudah 4 bulan di tinggal Yuno, Ara belum terbiasa akan hal itu.

Terkadang ia harus menahan diri untuk bercerita dengan Yuno karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Berlin yang berbeda 6 jam. Belum lagi jika Yuno sedang sibuk dengan kegiatannya, begitu mereka ada sedikit waktu senggang Ara terkadang suka tidak mood untuk menceritakan kesehariannya.

Belum lagi Ara terkadang harus sedikit mengalah, seperti tidur sedikit larut demi bisa bertatap wajah meski dari layar laptop dengan Yuno. Atau bahkan sebaliknya, yah seperti ini.

“Sabar yah, aku janji kalau libur aku pasti pulang kok. Aku juga kangen kamu.” suara Yuno sedikit memelan, ia juga sangat merindukan kekasihnya.

Habis selesai ujian nasional, aku terbang ke Jerman yah? Aku nabung kok, nanti sisa nya aku minta tambahin Papa.

“Aku tambahin aja yah?”

jangan ih!!

“Kenapa emang?”

gak usah, Kak Yuno nanti jajanin aku aja di sana.

“Ya udah deh kalo gitu.”

Setelah berbicara dengan Ara melalui telefon, mata Yuno jadi tidak mengantuk lagi. Ia malah sibuk melihat isi galerinya, foto-foto nya dengan Ara. Kemudian membuat daftar tempat-tempat yang bisa ia kunjungi jika Ara ke Berlin nanti.

Meski baru 4 bulan di Jerman, Yuno sudah memiliki seorang teman dekat yang tahu sekali tempat wisata yang wajib di kunjungi jika ke Berlin. Maka dari itu Yuno sudah mengunjungi banyak tempat.


Ini sudah jam pelajaran ke 4 hari ini, sayangnya guru yang seharusnya hadir di kelas itu sedang berhalangan. Maka dari itu kelas 12 IPS 2 jadi agak ramai, ada yang asik bermain game, mengobrol, makan sampai yang pacaran pun ada.

Tapi yang Ara lakukan justru meringkuk di kursinya sembari menyandarkan kepalanya di meja. Perutnya terasa sakit karena hari pertama datang bulannya, Echa yang duduk di kursi Janu itu jadi menghampiri Ara yang terlihat tidak baik-baik saja.

Janu itu duduk di kursi belakang Echa dan Ara. Janu duduk sendiri, karena jumlah murid di kelas mereka hanya 27. Makanya Janu enggak punya teman sebangku, dan dia enggak masalah dengan itu.

“Ra, lo kenapa?” tanya Echa khawatir, ia menyibak rambut panjang temannya itu yang sedikit menutupi wajahnya.

“Cha, perut gue sakit banget.”

“Lo lagi dapet?

Ara hanya mengangguk, kepalanya juga sedikit pening karena keringat yang terus bercucuran di dahi nya.

“ke UKS aja yuk gue temenin, jam kosong gini.”

Ara hanya mengangguk, Echa kemudian membantu Ara berdiri dan memapah gadis itu untuk berjalan menuju UKS. Namun tidak lama kemudian Janu yang duduk tepat di belakang Ara itu kaget, pasalnya rok putih yang Ara kenakan berubah menjadi merah.

“Beb, rok nya Ara kotor!” pekik Janu yang membuat beberapa murid jadi menoleh ke arah Ara dan Echa.

Sontak itu juga membuat Echa langsung memeriksa rok yang Ara pakai, dan benar saja. Rok itu sudah kotor dengan darah yang agak banyak. untung saja Echa membawa jaket, jadi langsung ia ambil jaket miliknya dan ia ikat jaket itu di pinggang Ara agar menutupi roknya.

“Cha, tapi nanti jaket lo kotor gimana?” Ara jadi enggak enak, pasalnya itu adalah jaket favorite Echa.

“Udah lah gapapa, nanti bisa di cuci dari pada lo jalan di liatin orang kan gak lucu, Ra.”

Sesampainya di UKS, Ara berbaring di ranjang. Meringkuk sembari menghirup banyak-banyak aroma minyak angin yang di berikan oleh perawat UKS sembari menunggu Echa membelikan teh manis hangat untuknya.

Tiba-tiba saja ia jadi semakin merindukan Yuno, waktu Ara sakit perut saat sedang datang bulan seperti ini. Yuno yang mengantarnya pulang, Yuno juga yang memberikan jaketnya untuk menutupi rok Ara yang kotor.

Yuno bahkan enggak malu membeli beberapa kebutuhan Ara sewaktu datang bulan, seperti pembalut, jamu pereda nyeri, hot pack dan tablet tambah darah. Dan saat ini Yuno enggak ada di dekatnya.

Tanpa Ara sadari ia menangis, menutupi wajahnya dengan selimut. Isak nya tidak kencang, Ara menangis tanpa suara namun ia berhasil membuat nafasnya sedikit tersengal karena sesak menahan rasa sakit dan kerinduannya pada Yuno.

Tidak lama kemudian korden ruang UKS terbuka menampakan Echa yang membawa segelas teh hangat, dan wajah nya berubah menjadi panik karena melihat Ara yang tiba-tiba menangis sesenggukan.

Setelah menaruh teh hangat yang ia beli di nakas, Echa duduk di kursi samping ranjang Ara dan mengusap bahu temannya itu penuh khawatir. Waktu itu, Echa cuma berpikir jika keram perut yang Ara rasakan benar-benar sesakit itu.

“Ra, lo mau balik aja? Sakit banget yah?”

Awalnya Ara tidak menjawab, namun setelahnya gadis itu menyibak selimut yang menutupi wajahnya.

“Cha, gue kangen Kak Yuno...” ucapnya, dan tangis Ara semakin pecah.

“Ya ampun, Ra. Gue pikir kenapa—”

“Kenapa gimana!! Waktu gue keram perut tuh biasanya Kak Yuno yang bawa gue ke UKS, beliin jamu, beliin teh hangat sampai minjemin jaketnya!!” rajuk Ara benar-benar seperti anak kecil yang tengah menangis karena tidak di belikan mainan.

“Iya, tapi kan sekarang ada gue, Ra.”

“Gue maunya Kak Yuno!”