Almost ☑

Ruruhaokeai, Lee Juyeon, Lee Jaehyun, Choi Yoonji, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Nakamoto Yuta and Kim Sihyeon

Karena keadaan Ara belum membaik hari itu Julian langsung bawa Istrinya itu ke rumah sakit, Ara mengira tuh dia asam lambung karena makan nasi bebek yang dia pesan buat makan siang. Tapi jauh di luar dugaan nya ternyata alergi nya kambuh, padahal Ara sendiri gak ngerasa dia makan kerang, iya Ara tuh cuma punya alergi sama kerang makanya dia bisa langsung tau begitu dokter nya bilang kalau ini alergi.

Ara masih ada di ruang rawatnya, dia merhatiin infus nya sembari sesekali mengusap-usap perutnya. Sudah tidak mual, tapi rasanya masih sangat lemas. Sembari menunggu Julian mengurus administrasi nya, Ara mencoba mengingat-ingat apa saja yang ia makan. Dia yakin banget dia cuma makan 2 makanan hari ini. Pasta sama nasi bebek, dan sudah Ara pastikan sendiri enggak ada kerang di dalam kedua makanan itu.

“Kak?”

Sedang berusaha mengingat apa saja yang ia makan, pintu rawatnya terbuka. Ternyata itu Karina dan Reno. Tadi Reno memang sempat menjemput Karina di rumah Arial dan Gita begitu sudah selesai membawa Kakaknya itu ke rumah sakit. Rencana nya keduanya akan pulang ke Jakarta besok, tapi karena Ara sakit mereka jadi menunda nya.

“Ya ampun, Kak. Kok bisa gini sih?” Karina duduk di kursi samping ranjang Ara. Dia khawatir banget waktu Reno bilang Kakaknya itu muntah-muntah sampai harus di larikan ke rumah sakit.

“Kakak juga gak tau, Rin. Kakak tuh yakin banget enggak makan kerang.”

“Jadi karena kerang, Kak?” sahut Reno.

Ara hanya mengangguk. “Kata dokter gitu, bukan soal asam lambung Kakak kok.”

“Coba Kakak ingat-ingat deh, selain nasi bebek. Kakak makan apa lagi?” Karina yakin Kakak nya Reno itu pasti makan-makanan yang ada olahan kerangnya Cuma enggak sadar aja, di perjalanan Reno cerita kalo kakaknya itu sempat makan nasi bebek yang pedas bisa jadi asam lambung nya kambuh makanya Karina bisa tau.

“Kakak pagi memang sempat di kasih pasta saus mushroom tapi gak ada kerangnya kok, Rin. Kakak udah mastiin sendiri.” Ara emang sempat dapat pasta dari rekan kerja nya di sana, dan semua karyawan memakannya bersamaan. Ara yakin enggak ada toping seperti kerang di atasnya atau seafood lainnya.

Ara tuh beneran gak bisa makan semua jenis keras, mau sedikit pun tetap gak bisa efeknya bakalan sama. Muntah-muntah, gatal-gatal bahkan yang paling parah itu bisa sesak napas. Tapi untung nya kali ini dia cuma muntah-muntah aja, ya gak ada untung nya sih sebenarnya orang dia juga tetap harus rawat inap.

“Kayanya dari saus nya deh, Kak. Mungkin orang itu pakai campuran?” Karina menaikan satu alisnya.

Ara hanya menggeleng pelan, yang jelas dia menyesal banget udah makan pasta itu kalau akhirnya ia harus di rawat inap seperti ini. Tidak lama kemudian, pintu ruang rawat Ara terbuka. Julian masuk dengan raut wajah yang masih saja khawatir.

Julian tuh beneran khawatir banget sama Ara waktu Reno telfon dan bilang Istrinya itu muntah-muntah. Saking paniknya, Julian sampai meninggalkan mobilnya di kantor dan memilih pulang naik taksi. Dia gak mau bawa mobil kalau keadaanya sedang panik, Ara juga sering memperingatkan hal ini padannya.

“Maafin aku ya, Bang.” cicit Ara pelan waktu Julian duduk di sebelah ranjangnya, Karina sudah berpindah duduk di sofa bersama Reno.

Liat wajah khawatir Julian dan gimana Suaminya itu panik, Ara jadi enggak enak banget rasanya. Dia udah ganggu pekerjaan Suaminya, Ara cuma takut kalau Julian banyak izin kaya gini dia bisa dapat teguran dari atasannya. Mengingat posisi Julian di kantor itu lumayan penting.

“Gapapa, Sayang. Masih lemas ya?” sepanjang membawa Ara ke rumah sakit, pikiran Julian selalu teringat sama kata-kata Liliana kalau sakit nya Ara ini bukan karna kebetulan. Liliana bahaya, dia sudah membahayakan Ara kalau begini caranya. Dan Julian harus memikirkan cara untuk menghentikan Liliana sekaligus menjaga Ara.

“Lemas dikit, tapi gapapa kok. Pusingnya juga udah hilang.”

Julian mengangguk, “aku gak izinin kamu makan-makanan dari orang lain. Kecuali keluarga kita sendiri yang masak. Mulai sekarang bawa makanan dari rumah aja, aku gak masalah kalau kamu capek masak, Kita pekerjain orang buat masak di rumah.”

“Semua orang di klinik makan pasta itu kok, Bang. Tapi aku gak tau kalau—”

“Aku cuma gak mau kamu kenapa-kenapa, kalo perlu kamu tolak aja makanan dari orang lain.” Julian jadi paranoid sendiri rasanya, hatinya belum tenang kalau dia belum bisa menghentikan Liliana.

Ara enggak jawab apa-apa lagi, dia cuma mengangguk aja sebagai jawaban. Dia paham kok Julian khawatir dan cuma gak mau dia kenapa-kenapa, malamnya Julian sempat pulang sebentar buat ganti baju dan ambil barang-barang yang Ara titipin. Ara di jagain Reno dan Karina, setelah Julian sampai barulah Reno dan Karina pulang.

Julian mau jagain Ara sendiri, kondisi Ara waktu Julian kembali dari rumah juga udah lebih baik. Istrinya itu sudah bisa makan seperti biasanya dan udah enggak lemas lagi.

“Mau itu, Bang.” Ara nunjuk apel yang ada di nakasnya. Julian yang liat tingkah Istrinya itu cuma senyum aja, dia senang kalau Ara makannya udah mulai banyak.

“Aku kupasin dulu ya.” Julian ambil apel itu dan dia kupas, sementara Ara asik liatin Julian ngupasin apel buat dia.

“Aku jadi kepikiran klien terakhir aku deh, Bang. Maksudnya yang konsul sama aku tadi itu sebelum aku pulang.” Ara emang agak kepikiran sama Bella, apalagi waktu Bella bilang Mama nya itu sering bersikap kasar sama dia akhir-akhir ini.

“Kenapa?” sembari mengupas apel di tangannya, Julian menyimak cerita Ara. Dia memang belum cerita tentang pekerjaan nya hari ini.

“Iya, dia cerita ke aku, Mama nya suka kasar ke dia akhir-akhir ini. Ya aku juga gak paham sih Mama nya ini mungkin lagi ada masalah sama partner nya mungkin dan itu berdampak banget ke cara dia mengelola emosinya sampai-sampai si anak ini sering dapat perlakuan kasar.”

“Sama Suaminya?” tebak Julian.

Ara menggeleng, “pacarnya maybe?” Ara sedikit memelankan suaranya. “Pengasuhnya bilang kalau anak ini Papa nya udah gak ada.”

“Pengasuhnya yang antar dia terapi? Bukan orang tua nya?” Julian cuma heran aja, karna kebanyakan psikolog anak itu harus berkomunikasi langsung dengan orang tua si anak untuk mendiskusikan perihal anaknya.

“Iya, makanya aku susah buat ngasih tau hal ini sama orang tua nya. Aku prihatin sih, anaknya ini cantik banget, pintar. Dia cuma butuh sosok Papa nya, dia selalu banyak cerita soal Papa nya ke aku.”

Mendengar cerita Istrinya itu, rasanya membuat Julian merasa de javu. Seperti ceritanya Bella dan bagaimana Liliana bersikap kasar sama Bella, bahkan di depannya saat Bella kerap kali tidak menurut.


Pagi ini Liliana terbangun setelah ponsel di sebelahnya itu bergetar, ternyata ada balasan dari senior nya itu. Semalem ia memang sempat mengirimi Julian pesan dan mengatakan mereka harus bertemu untuk membicarakan tentang kesepakatan mereka.

Liliana sudah bulat, dia ingin membahagiakan Bella meski dia harus membuat wanita lain sakit. Katakan Liliana jahat, ia hanya ingin anaknya bahagia saja. Ia tidak ingin jujur tentang kebohongannya pada Bella dengan mengatakan bahwa Papa nya sudah lama meninggal.

Liliana tidak sampai hati mengatakan itu dan di benci oleh Bella karena sudah membohonginya. Setelah membalas pesan itu dan mengatakan tempat mereka bertemu, Liliana keluar dari kamarnya. Ternyata Bi Narsih sudah datang dan sedang memakaikan baju Bella.

“Pagi, Bi.” sapa Liliana pada Bi Narsih.

“Pagi, Buk.”

Liliana sempat menuang air di gelasnya dan meminumnya, dia memperhatikan Bella yang kembali menggambar setelah Bi Narsih selesai memakaikannya baju.

“Buk, Bibi mau menyampaikan pesan dari psikolognya Bella tentang Non Bella, Buk.”

“Oh iya, duduk disini aja, Bi.” Liliana menarik kursi di sebelahnya agar Bi Narsih bisa duduk.

“Jadi gini, Buk. Psikolognya Non Bella cuma bilang ke Bibi kemungkinan sikap Bella yang sering marah akhir-akhir ini bisa jadi di pengaruhi sama suasana rumah yang lagi enggak kondusif. Psikolognya Non Bella juga bilang kalau ingin bertemu sama Ibu dan menjelaskannya secara langsung,” jelas Bi Narsih

Liliana mengangguk-anggukan kepalanya, dia memang sengaja gak mau datang ke klinik tempat Bella terapi. Dia tau Ara bekerja di sana, dan secara kebetulan Ara yang menangani Bella. Tuh kan, semesta saja seperti mendukung Liliana, pikirnya.

“Saya belum bisa datang, Bi. Tapi bisa Bibi bilang sesuatu ke psikolognya Bella?” ucap Liliana dengan seringaian di bibirnya, Bi Narsih saja sampai bingung karna Liliana tidak seperti biasanya.

“Apa, Buk?”

“Tolong bilang ke Mbak Ara, kalau yang Bella butuhkan hanya seorang Papa.”

Julian sengaja datang terlambat untuk bertemu Liliana hari ini, dia sudah memikirkan caranya sendiri untuk menghentikan wanita itu. Oiya, Ara sudah boleh pulang sama dokter. Kondisinya sudah membaik, dia juga udah gak muntah-muntah lagi dokter hanya memberi tahu buat memperhatikan apa yang Ara makan saja.

Begitu melihat Julian datang, Liliana tersenyum. Sementara Julian tidak menunjukan senyumnya sama sekali, dia sudah kapalang benci dengan Liliana dan ingin cepat-cepat mengakhiri semuanya.

“Pak Julian mau pesan apa?—”

“Gak usah, kita langsung ngomong aja.” Julian menyela ucapan Liliana. Dia gak ingin berlama-lama disana.

Liliana menghela nafasnya pelan, sedikit sakit merasakan penolakan dari seniornya itu. Sikap Julian benar-benar terasa berbeda sekarang, tidak ada senyum bahkan keramahan lagi pada laki-laki itu. Dan hal itu membuat Liliana sadar jika ia sudah sangat mengecewakan.

“Saya mau, Bapak. Berpura-pura jadi Papa nya Bella. Kapanpun Bella butuh Bapak, Bapak harus selalu ada buat dia,” ucap Liliana langsung pada intinya saja. Liliana tidak menginginkan Julian sebagai Suaminya, dia hanya ingin Julian terus bersandiwara pada Bella untuk tetap menjadi Papa nya.

“Saya gak mau.” Julian sudah bulat pada pilihannya ini, dia tidak membenci Bella. Dia hanya tidak ingin ikut campur tangan pada kebohongan yang Liliana ciptakan.

“Bapak mau foto-foto kita saya—”

“Sebarin aja, Istri saya sudah tau apa yang kamu lakukan ke saya. Termasuk soal makanan yang bikin dia masuk rumah sakit.”

Julian memang berniat akan jujur sama Ara soal apa jebakan yang Liliana buat bahkan soal Black Box sekali pun, tapi enggak sekarang. Kondisi kesehatan Ara belum stabil, dia akan membicarakan hal ini jika sudah menemukan waktu yang tepat.

“Bohong!!” pekik Liliana. Dia agak sedikit panik, pada dasarnya Liliana itu memang tidak pandai untuk menjadi jahat. Hal ini terlintas pun ia lakukan penuh dengan rasa bersalah, tapi Liliana ngerasa lebih berat ketika dia harus mengucapkan kejujuran pada Bella dan berakhir menyakitinya. Liliana cuma mikir selama ini anaknya sudah menanggung banyak sakit.

“Buat apa saya bohong, Li? Gak ada guna nya buat saya, Istri saya mungkin marah ke saya karna tau saya kembali ke Black Box. Tapi lebih baik dia tahu dari mulut saya langsung ketimbang dari mulut orang lain.” menurut Julian jujur dengan Ara lebih baik, dia akan langsung menjelaskannya pada Ara. Persetan jika Istrinya itu nanti marah, Julian sudah siap dengan segala konsekuensi jika nantinya Ara marah besar dengannya. Yang terpenting bagi Julian adalah, Ara mendengarnya langsung dari mulutnya sendiri tanpa di bumbui apapun.

Julian mencondongkan badannya ke depan, dia sama sekali gak berniat mengintimidasi Liliana. Dia hanya ingin menyadarkan perempuan itu saja. “Berhenti, Li. Sebelum semuanya semakin jauh. Saya yakin ini bukan kamu banget, kamu cuma terpaksa melakukan ini karena tidak ingin Bella kecewa.”

Liliana menunduk, dia rasanya enggak punya muka buat melihat ke arah Julian. Dia malu sama laki-laki itu, Istrinya, Bella bahkan dirinya sendiri. Liliana ingin menangis, tapi dia tahan, dia enggak boleh kelihatan lemah di depan siapapun itu.

“Kejadian kemarin saya bakalan maafin kamu dan coba lupain semuanya, asalkan kamu mau berhenti.”

“Bapak gak paham sama yang saya rasain!” pekik Liliana, matanya memerah. Dia meremas kuat tangannya demi menahan tangisnya yang sedari tadi. “Saya cuma mau Bella bahagia, saya sadar saya salah karna udah bohongin dia.”

“Cara kamu membahagiakan Bella aja sudah salah, Li. Lebih baik Bella tau sekarang, mungkin bakalan nyakitin dia. Tapi kalau kamu terus bohongin dia sampai dia dewasa, kebohongan itu bakalan kebongkar kaya bom waktu. Yang nantinya Bella akan tambah kecewa sama kamu.”

Julian emang gak paham apa yang Liliana rasakan, dia cuma melihat dari sudut pandangnya saja sebagai seorang anak jika ia berada di posisi Bella. Tidak ada orang yang ingin di bohongi sekalipun kebohongan itu demi kebaikan.

Liliana hanya diam, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Benar-benar malu rasanya, bahkan air mata yang sedari tadi Liliana tahan akhirnya terjun juga. Julian benar-benar telah menyadarkannya jika semua rencana yang ia susun tidak baik. Itu hanya akan menyakiti Bella sampai anak itu besar.

Julian benar, kebohongan akan menjadi bom waktu untuknya jika terus di lanjutkan. Lalu bagaimana dia harus menjelaskannya pada Bella? Apa anak itu akan paham? Apa Bella akan membencinya karena sudah membohonginya selama ini? Kalau boleh jujur, ada malam dimana Liliana selalu meratapi dirinya. Dia berpikir jika ia bukan Ibu yang baik untuk Bella, hatinya belum dewasa untuk di sebut Ibu.

“Kamu bisa jujur sama Bella dari sekarang, Li. Bicara dari hati ke hati sama Bella, kalau perlu kamu ambil cuti aja. Tebus waktu-waktu kamu saat tidak bisa bersama Bella.” Julian berdiri, dia sempat menepuk pundak Liliana sebelum dia pergi meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, Liliana masih menangis disana sendirian semakin menyesakan. Jika laki-laki itu bukan Julian, mungkin sekarang ia sudah di seret ke kantor polisi karena sudah mencelakakan Istrinya.

Liliana menyesal dia sudah menjadi jahat, dia sendiri enggak menyangka dirinya akan menjadi nekat seperti itu hanya demi menutupi kebohongan yang telah dia buat. Di perjalanan pulang, Liliana melamun di halte bus sampai-sampai ia melewatkan 2 bus yang biasa ia tumpangi. Ia merenungi kesalahannya dan memikirkan cara ia meminta maaf pada Bella, Julian dan juga Ara.


Malam nya Ara ngotot ingin masak makan malam untuk Suami dan Adiknya, untung saja dia mau di bantu sama Karina jadi Julian enggak khawatir Ara bakalan kecapekan. Malam itu Ara masak bola-bola daging giling pedas manis, sup ayam, sama ada bakwan udang buatan Karina.

“Wihhhh wangi nya sampe ke taman depan, Bun.” Julian meluk Ara dari belakang waktu Istrinya itu lagi nata makanan yang sudah di masak di atas meja. Ara kan jadi malu sekaligus enggak enak sama Karina, jadi dia sikut perut Julian sampai Suaminya itu mundur dan lepasin pelukannya.

“Ada Karin ih meluk-meluk mulu!!” pekik Ara memperingati.

“Gapapa sih, Kak. Namanya juga Suami Istri. Karin juga udah dewasa tau,” Karina malah senang-senang aja liat hubungan calon Kakak iparnya itu yang harmonis, bahkan Reno sama Karina menjadikan Julian dan Ara sebagai role model hubungan mereka.

Menurut Reno, hubungan Julian dan Ara itu dewasa dan setara. Selain dalam bentuk financial, cinta keduanya juga setara. Reno selalu kagum dari bagaimana Kakak iparnya itu memperlakukan Kakaknya, bahkan Julian enggak pernah keberatan sama sifat manja Kakaknya itu. Makanya kalau lagi ngobrol berduaan sama Julian tuh Reno suka tukar pikiran.

Mengingat tahun depan ia ingin melamar Karina, ia ingin belajar banyak dari Julian dan Arial. Kalau Mas Yuda sih, bisa saja sebenarnya tapi sama Mas Yuda tuh lebih banyak bercanda nya. Makanya Reno lebih milih sering curhat ke Julian atau ke Arial saja.

“Tuh Karina aja gapapa.” Julian cemberut, dia narik kursi meja makannya dan bantuin Ara sama Karina nuangin air ke gelas-gelas yang akan mereka pakai untuk minum.

“Akunya malu..” cicit Ara pelan.

“Malu apa? Orang Suami kamu ganteng gini.”

Ara cuma menggeleng pelan aja, “oiya, Ren. Panggil Reno gih, kita makan malam sekarang.”

“Oke bentar ya, Kak.” Karina langsung pergi dari sana dan memanggil Reno yang masih di dalam kamar tamu. Kalau enggak salah Reno lagi beresin barang-barang karena besok pagi mereka akan pulang.

“Sayang?” panggil Julian, dia kepikiran buat nyuruh Ara berhenti dari pekerjaannya yang sekarang ini. Julian benar-benar paranoid karna kejadian kemarin, padahal dia pun sudah memberi tahu Niken untuk membantunya menjaga Ara jika sedang berada di klinik.

“Kenapa, Bang?”

“Kamu yakin masih mau lanjut kerja? Gak mau istirahat aja?”

Ara yang lagi ngambilin nasi buat Julian itu berhenti, dia jadi natap Suaminya itu bingung. “Kamu masih khawatir aku kenapa-kenapa?”

Julian mengangguk, “masih kepikiran terus.”

“Kan aku udah janji bakalan bawa makanan dari rumah, udah setuju juga gak nerima makanan dari orang lain. Kenapa? Ada yang aku gak tau ya?” Ara ngerasa kaya ada sesuatu yang Julian sembunyiin, tapi dia sendiri gatau itu apa. Ara masih menunggu sampai Julian mau cerita sendiri walau rasanya penasaran banget. Pasalnya sudah 3 kali Julian bertanya seperti ini.

“Enggak kok, aku cuma mau mastiin aja. Jujur aja aku takut kamu kecapekan, tapi kalau kamu ngerasa udah baik-baik aja, ya gapapa.” Julian senyum, dia mau cerita soal kejadian kemarin nanti saja. Lagi pula bercerita sekarang pun sedang ada Reno dan Karina, Julian enggak yakin Ara enggak marah kalau tau dia kembali menginjakan kakinya di Black Box dan soal Liliana.

Sudah terhitung dua minggu Ara bekerja di klinik Sunshine, dia juga masih sempatin sela-sela waktu luangnya buat nyari ide konten kanal Youtube nya dan take video. Oiya, Pagi ini Julian udah pergi ke kantor lebih dulu, Ara juga udah mulai terbiasa berangkat ke klinik sendiri enggak kaya awal-awal yang harus di antar Julian dulu.

Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran mobil bawah tanah gedung, Ara langsung naik ke lantai gedung tempatnya praktik. Hari ini dia emang sedikit datang lebih pagi dari pada biasanya, Ara mau bikin vlog sebentar di klinik tentang kesehariannya sebagai seorang psikolog. Tentu nya dia juga udah dapat izin buat melakukan syuting di klinik itu, Ara tuh udah 2 kali bikin vlog di klinik itu dan respon dari subcriber nya bagus banget.

Begitu pintu lift terbuka, di bagian depan klinik itu ada meja resepsionist. Dua wanita yang duduk di meja nya itu senyum waktu lihat Ara dan Ara pun juga menyunggingkan senyum ke keduanya.

“Mbak Ara?” waktu Ara mau ke ruanganya resepsionist itu manggil dia, bikin Ara menghentikan jalannya dan menghampiri meja resepsionist.

“Ya?”

“Ada tamu, Mbak.”

Ara mengerutkan keningnya bingung. Setahunya jadwalnya praktik kan nanti jam 10 kenapa tiba-tiba ada klien nya yang datang lebih pagi? Kalau mengubah jadwal konsulpun harusnya ada pihak klinik yang memberitahunnya kan? Pikir Ara.

“Siapa?”

“Katanya temannya Mbak Ara.”

“Teman?” gumam Ara, dari pada penasaran Ara lebih milih buat nemuin langsung orangnya. Ara mengangguk ke dua resepsionist itu dan langsung berjalan ke ruangannya. “Oke, makasih yah.”

Di ujung lorong sana, ada seorang wanita yang duduk di depan ruangan praktiknya. Ara sangat mengenal wanita itu, karena begitu heels nya mengetuk lantai klinik dan mengalihkan atensinya, wanita itu berdiri dan tersenyum kikuk ke arah Ara.

“Liliana?” Ara tersenyum, dia memeluk Liliana. Ternyata tamu yang di maksud oleh resepsionist tadi adalah Liliana. Ara tuh senang banget pas tau Liliana yang datang mencarinya, karena beberapa kali Ara mengirimi pesan ke wanita itu berakhir tanpa balasan.

Liliana yang di peluk hangat seperti itu hanya bisa meringis, Ara masih menyambutnya sehangat ini setelah apa yang ia lakukan padanya. Bahkan setelah ia tahu semuanya, Pikir Liliana.

“Kamu apa kabar, Li?” Tanya Ara setelah ia mengurai pelukan Liliana. Kedua wanita itu duduk di kursi ruang tunggu di depan ruang praktik Ara.

“Baik, Mbak. Mbak Ara sendiri gimana?”

Ara mengangguk kecil, “baik, aku tuh seneng banget tau, Li. Kamu ke sini.”

Liliana tersenyum, maksud dan kedatangan Liliana ke klinik itu hanya ingin meminta maaf. Akhir-akhir ini Liliana ngerasa gak tenang setelah Julian menyadarkan apa yang ia lakukan kemarin adalah sebuah kesalahan, Liliana banyak merenung, dia malu dan dia merasa bersalah. Keputusannya untuk mengambil cuti ia pakai untuk menghabiskan waktu bermain bersama Bella dan meluruskan kekacauan yang telah ia perbuat.

“Maaf yah Mbak pesan dari Mbak Ara enggak aku balas. Aku lagi ngabisin banyak waktuku sama Bella, Mbak.”

“Gapapa, Li. Oiya kamu tau aku kerja di klinik ini?” Ara sempat menebak kalau Julian yang kasih tau Liliana, mungkin saja Liliana ada niatan membawa Bella ke klinik tempat Ara bekerja kan.

“Um.” Liliana mengangguk.

Oiya, Bella sekarang sudah tau jika Ayahnya sudah tidak ada, awalnya Bella marah karena ia merasa di bohongi oleh Ibunya. Tapi pada akhirnya bocah itu mengerti dan memaafkan Liliana, maka dari itu. Hari ini dia mau minta maaf sama Ara dan mengakui niat buruknya itu.

“Mbak, sebenarnya ada yang mau aku bicarain sama kamu.” Suara Liliana yang terdengar parau itu membuat Ara berpikir apa yang ingin di bicarakan oleh wanita itu, apa ini tentang Bella?

“Kita ngobrol di ruanganku aja yuk?”

Liliana mengangguk, keduanya masuk ke dalam ruangan Ara dan duduk di sofa yang ada di sana. Ara juga memberitahu resepsionist dulu jika ada klien nya yang datang untuk menunggunya sebentar karena ia sedang kedatangan tamu.

“Ada apa sih, Li?”

“Mbak, sebenarnya maksud kedatanganku kesini untuk minta maaf.” Liliana menunduk, rasanya dia malu. Dia ngerasa seperti tengah di lucuti oleh perbuatannya sendiri.

“Minta maaf?” Ara mengerutkan keningnya bingung. “Untuk?”

Liliana mengerutkan keningnya bingung, harusnya Ara sudah tau apa yang telah ia perbuat kan? Julian sudah menjelaskannya dan mengakui semua itu bukan? Karna di hari terakhir Liliana bertemu Julian si cafe, laki-laki itu bilang jika Istrinya sudah mengetahui semuanya.

“Pak Julian bukannya udah cerita sama Mbak?” tanya Liliana yang semakin membuat Ara bingung.

apa maksudnya? Apa yang Julian ceritakan dengannya? Julian bahkan enggak pernah cerita apa-apa lagi soal Liliana

“Maksud kamu, Li?” Jujur saja perasaan Ara mulai enggak enak, apalagi dengan melihat raut wajah Liliana yang sangat sulit ia artikan itu.

“Mbak ingat soal ulang tahun Bella?” Tanya Liliana yang di jawab anggukan kecil oleh Ara. “Maaf sebenarnya aku hanya ngundang Pak Julian, Mbak. Aku lega banget waktu dia datang sendiri dan gak sama Mbak.”

Karena tampaknya Ara bingung akhirnya Liliana menjelaskan kembali tentang rencana nya dulu. Di tempatnya Ara masih diam tanpa menyela ucapan Liliana, sekarang ini penjelasan Liliana terdengar seperti kepingan puzzle yang bikin Ara bingung. Apalagi dari awal Liliana bilang kalau Julian sudah bercerita dengannya.

Selama ini hal-hal kecil apapun Julian selalu terbuka denganya, mereka juga selalu berbagi keseharian. Seperti Julian di tempat kerjanya dan Ara di klinik, mereka selalu berusaha menjadi pasangan yang terbuka satu sama lain. Tapi kenapa kali ini Julian merahasiakan sesuatu darinya? Kenapa Julian harus bohong?

“Aku punya rencana buruk, Mbak. Sama kamu dan Pak Julian. Di hari aku jenguk kamu ke rumah sakit, Pak Julian antar aku sampai rumah. Dan Bella lihat Pak Julian, dia manggil Pak Julian pakai sebutan Papa karna Bella pikir Pak Julian adalah Papa nya yang selama ini gak pulang”

Liliana berusaha untuk tidak menangis karena malu, dia masih ingat bagaimana hari itu Bella memanggil Julian dengan sebutan Papa. Raut wajah Ara saat ini juga masih terlihat bingung, namun wanita itu tetap tenang.

“Suamiku mirip Pak Julian, Mbak.” Liliana mengeluarkan foto mendiang Suaminya itu dan memberikannya ke Ara.

Kalau Ara perhatikan wajah Suami Liliana dan Julian memang agak mirip, perawakan mereka sama. Hanya saja kulit Julian itu agak sedikit tan dan matanya yang kecil, berbeda dengan Suami Liliana yang putih dengan mata bulatnya. Ara masih mewajarkan jika Bella salah paham dan mengira Julian itu adalah Papanya.

“Setelah Pak Julian pulang, Bella sering ngambek ke saya Mbak. Saya sudah jelasin ke dia kalau Pak Julian bukan Papa nya tapi anak itu tetap berpikir Pak Julian adalah Papa nya, jujur saja. Saya mau membahagiakan Bella, di hari ulang tahunnya dia hanya meminta Papa nya ada buat merayakan ulang tahun dia. Saya sempat ancam Pak Julian untuk mau menjadi Papa nya Bella.”

“Ancam?” tanya Ara, dia cukup tidak habis pikir dengan apa yang Liliana lakukan. Dia salah menilai Liliana selama ini.

Liliana mengangguk, “iya, Mbak. Maaf karna pernah berniat merebut Pak Julian—”

“Kamu ancam Suami saya dengan cara apa, Li?” Nada bicara Ara sudah terdengar sedikit tidak bersahabat di telinga Liliana. Penjelasan Liliana barusan berhasil memancing emosi Ara rasanya, niatnya buat bikin vlog udah sirna. Sekarang yang ada di kepala Ara hanya dia ingin segera pulang. Perasaanya tidak tenang dan ia ingin cepat-cepat mendapatkan penjelasan tentang hal ini dari Suaminya.

“Dengan foto-foto kami berdua Mbak yang saya ambil diam-diam di hari ulang tahun Liliana, aku mau membuat kamu salah paham tadinya dengan itu semua—”

“Supaya saya mikir kalau Suami saya selingkuh, Li? Iya?”

Liliana enggak berani menatap Ara dia hanya mengangguk dan menangis menyesakan. “Maafin aku, Mbak.”

Ara enggak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi dia benar-benar kecewa sama Liliana. “Jujur aku gak nyangka kamu bakalan lakuin itu, Li.”

“Aku minta maaf Mbak..” Liliana masih menangis sesegukan disana, dia benar-benar malu rasanya saat ini. Liliana berharap Ara dapat memaafkannya walau sepertinya itu tidak mudah.

Disisi lain, ada sedikit kekecewaan di hati Ara karena Julian justru menutupi hal ini dengannya. Ara berpikir mungkin saja maksud Julian baik, dia tidak ingin Ara kepikiran dan beresiko pada kesehatannya. Tapi tetap saja Ara berpikir harusnya Julian bercerita dengannya, bagaimana jadinya kalau Liliana tidak buru-buru sadar dan Ara yang terlanjur salah paham dengan foto-foto yang mungkin saat itu Liliana kirimkan.

“Ini gak mudah buat aku, Li. Aku butuh waktu buat bisa maafin kamu.” tapi jujur saja mendengar cerita Liliana soal Bella, ia jadi teringat dengan klien nya. Namanya sama dan ceritanya hampir sama, apa Bella klien nya itu adalah anak Liliana? Pikir Ara.

“Bella? Apa Bella anak yang selama ini konsul sama aku itu adalah Bella anak kamu, Li?”

Liliana mengangguk, dia baru berani menatap Ara dan bisa ia pastikan Ara benar-benar marah dengannya hanya dengan melihat air wajahnya saja. Tapi dari sini bisa Liliana simpulkan kalau Julian membohonginya, Julian belum bercerita apapun pada Istrinya tentang semua rencana Liliana dan ancaman Liliana pada laki-laki itu.

“Astaga, Li..” ucap Ara lirih. “Apa kamu mambawa Bella ke klinik ini adalah bagian dari rencana kamu, Li?”

Dan sekali lagi Liliana mengangguk, tangis nya pun bertambah pecah. Tidak ada reaksi apa-apa dari Ara setelah mengetahui itu, dia juga enggak mangatakan bahwa dia telah memaafkan Liliana. Ara masih terlalu kaget dengan semua pengakuan wanita itu dan kecewa dengannya.

Hari itu enggak berjalan mulus untuk Ara, dia enggak fokus buat bekerja padahal saat itu kliennya lumayan banyak. Waktu jam praktiknya telah selesai, Ara sempat ke toilet dulu sebelum ia pulang. Perutnya terasa sakit, dia sempat duduk dulu sebentar di atas closet sembari memegangi perutnya dan bersandar pada dinding bilik toilet.

Saat merasakan ada sesuatu yang merembas dari dalam rok yang ia pakai. Ara buru-buru berdiri dan memeriksanya, ternyata celana dalamnya sudah penuh dengan darah. Bahkan darah itu sudah turun hingga ke paha bawah Ara, ia pendarahan.

Saking lemas nya dengan apa yang ia lihat barusan, Ara merosot di belakang pintu toilet. Tangannya yang gemetar itu mengambil ponselnya dan menekan nama Julian disana.

hallo, Bun ada—

“Bang, aku pendarahan tolong..” dan tidak ada sahutan lagi setelahnya karena Ara kehilangan kesadarannya.

Setelah mendapatkan telfon dari Ara yang bilang kalau dia pendarahan, Julian langsung pergi ke klinik tempat Ara bekerja. Dia sempat menghubungi Niken dulu untuk meminta bantuan wanita itu, tapi sayangnya telfon darinya tidak Niken angkat. Niken memang sedang ada klien, Ara langsung di bawa ke rumah sakit. Sayangnya ada kabar buruk yang harus Julian telan sore itu.

Ara keguguran, Istrinya itu harus segera di kuretase untuk membersihkan sisa-sisa janin nya. Dokter bilang penyebab Ara keguguran itu salah satunya adalah faktor setress dan juga anemia, waktu tau hal ini dunia yang mulai Julian bangun benar-benar runtuh.

Saking linglung nya bahkan Julian enggak sempat mengabari keluarganya dan juga keluarga Ara di Jakarta, dia cuma mengabari Arial saja. Setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, Julian berjalan dengan gontai menuju ruang rawat Istrinya itu. Sebelum masuk, Julian yakinkan dulu kalau dia harus kuat.

Dia harus menjadi yang paling tegar di saat-saat seperti ini, Julian yakin Ara pasti sangat terpukul mendengar kabar ini. Waktu Julian masuk, Ara lagi di temenin sama Gita dan Arial yang lebih dulu datang. Julian sengaja gak meminta Gita dan Arial mengabari teman-teman mereka yang lain dulu, entahlah. Rasanya sangat sulit memberi tahu kabar ini pada yang lainnya, lidah Julian rasanya terasa kaku.

“Ada Julian, Mas sama Gita di luar dulu yah, Ra.” Arial bangun, dia ngusap pucuk kepala Adiknya itu sebentar.

Tadi Gita dan Arial sedang menemani Ara ngobrol walau Ara sendiri cuma jawab seperlunya saja, waktu ngelewatin Julian Arial nepuk bahu laki-laki itu demi menguatkan Julian. Arial pernah mengalami hal ini dulu, dan dia mengerti bagaimana perasaan bersalahnya.

“Gue sama Mas Arial di depan yah, Jul. Kalo butuh apa-apa panggil aja,” ucap Gita sebelum ia melangkah keluar dari ruang rawat Ara bersama Arial. Julian yang di bilang seperti itu hanya mengangguk saja.

Waktu Gita sama Arial sudah keluar, Julian duduk di kursi samping ranjang Ara. Istrinya itu masih terlihat pucat dan lemas, dan yang membuat Julian lemah adalah. Saat tatapan Ara tidak lagi hangat melihatnya, ah enggak. Wanitanya malah membuang pandanganya ke arah lain. Julian juga bingung kenapa Ara harus bersikap seperti ini.

“Bun—”

“Aku mau sendiri, Jul.” Cicit Ara pelan, dia sengaja tidak melihat ke arah Julian. Ara bukan hanya kecewa dengan Julian saja yang tidak bercerita soal Liliana padanya, Ara juga kecewa dengan dirinya sendiri dan juga semesta yang terasa seperti mempermainkannya.

“Aku mau nemenin kamu.”

“Aku mau sendiri Julian, tolong..”

Julian bisa mendengar suara parau itu seperti memohon padanya untuk di tinggalkan, tapi Julian mana tega? Dia mau ada buat Ara di saat-saat seperti ini. Dia mau saling menguatkan. Alih-alih keluar, Julian hanya diam. Dia gak lagi ngajak Ara bicara karna menurutnya mungkin Ara memang sedang tidak ingin di ajak bicara tentang apapun.

Tapi tidak lama kemudian Istrinya itu menoleh ke arahnya, matanya memerah seperti bersiap akan menangis. Namun air wajahnya menunjukan kekecewaan saat kedua mata mereka bertemu.

“Kamu denger gak sih aku suruh keluar? Budek kamu?!” sebtak Ara, tapi setelah dia sadar dia udah bentak Julian, air matanya justru mengalir begitu saja tanpa bisa ia tahan. Ara merasa bersalah. “Tinggalin aku, Jul.”

“Aku mau disini, Sayang. Ini bukan salah kamu, dokter bilang—”

“Aku gak mau dengar apa-apa, Jul.”

“Sayang..” Kedua bahu Julian merosot. “Aku sama sekali enggak marah, yang aku khawatirin itu cuma kamu.”

“Aku gak mau punya anak.” Ara mengusap wajahnya dan menatap Julian. “Aku gak mau hamil lagi.”

apa dia bilang?

Julian berusaha mencerna kata-kata Ara barusan, rasanya seperti ada orang yang mendorongnya ke dasar jurang saat ia tengah berdiri di tepinya. Julian diam saja dan menatap Ara dengan nanar.

“Kenapa, Ra? Dokter bahkan bilang kalau kamu masih bisa hamil. Kita masih bisa punya anak.” Dokter yang menangani Ara memang bilang, rahim Ara mungkin lemah. Tapi wanita itu masih tetap bisa hamil dan melahirkan dengan normal. Ara hanya perlu banyak istirahat dan mengurangi aktifitas nya saja saat sedang hamil.

“Kamu bisa gak sih Jul hargain keputusan aku? Kamu pikir ini gampang buat aku?” dia ngerasa Julian enggak menghargai keputusannya aja. Buat Ara ini juga berat, dia sangat mengidamkan seorang anak bersama Julian. Tapi saat merasakan kehilangan seperti ini rasanya harapan itu pupus, yang ada di kepalanya Ara cuma ngerasa semesta gak mengizinkannya untuk menjadi seorang Ibu.

“Kamu pikir ini gampang buat aku, Ra?” Julian mengusap wajahnya gusar. “Ini juga susah buat aku, Ra. Aku bukan gak mau menghargai keputusan kamu—”

“Aku bukan mesin pembuat bayi, Julian!!” Ara teriak, tangis nya semakin menyesakan. Dia natap Julian dengan kesal walau hatinya terasa seperti di remas dari dalam. Ia bukan hanya sedang menyakiti Suaminya tapi juga dirinya sendiri.

“Waktu aku kena miom yang kita pikirin cuma gimana caranya aku bisa hamil, waktu aku sembuh terus hamil dan sekarang keguguran yang kita pikirin cuma gimana caranya aku bisa hamil lagi—”

“Siapa yang mikirin begitu?!”

“AKU BELUM SELESAI NGOMONG JULIAN!!”

Julian memejamkan matanya, jujur aja rasanya sedih banget dengar Ara bicara seperti itu. Bahkan yang Julian pikirkan saat ini bukan bagaimana Istrinya itu bisa hamil lagi, melainkan hanya kesehatan Ara saja, keselamatan Istrinya dan mentalnya tentu saja. Bahkan sekalipun Ara tidak bisa hamil lagi, Julian sama sekali tidak keberatan. Ia hanya ingin bersama wanita itu dan hidup bahagia itu saja.

“Kamu gak ngerti rasanya kehilangan anak, Jul. Ini gak mudah buat aku, aku gak mau kehilangan lagi. Jadi stop berharap aku mau ngandung anak kamu lagi, nyusuin dan punya bayi. Aku gak mau itu lagi Jul aku gak mau..” Ara terisak, dia menutupi wajahnya sendiri.

Julian yang melihat Istrinya seperti itu juga menangis, dia beringsut bangun dari kursinya dan memeluk Ara. Untuk saat ini Julian mengerti apa yang Ara rasakan sampai ia berpikir tidak ingin hamil lagi, walau berat Julian menghargai keputusan Istrinya itu. Yang terpenting baginya adalah Ara pulih saja itu sudah cukup.

“Iya sayang iya... Maafin aku gak bisa jagain kamu ya,” ucap Julian.


“Ara bilang begitu, Jul?” tanya Bunda nya Ara sama Julian.

Hari ini kedua orang tua nya Ara datang ke Bandung setelah Julian ngabarin keduanya, Julian juga cerita soal kondisinya Ara ke orang tua nya. Sejauh ini Ara juga masih belum mau banyak bicara, dia lebih banyak tidur dan terkadang pun cuma dengarin lagu dari earphone nya. Ara kaya enggak mau di ajak ngobrol siapa-siapa bahkan sama Julian sekalipun.

Julian mengangguk, “iya, Bun. Tapi Ijul paham kok Ara lagi terpukul. Yang terpenting sekarang Ara pulih dulu aja buat Julian itu udah cukup.”

Mertua nya itu mengusap punggung Julian, Bunda paham Ara keras kepala terkadang. “Maafin Ara yah, Jul.”

“Ara gak salah, Bun. Justru ini salahnya Ijul karna gabisa jagain dia.”

“Kamu tuh kalau ada apa-apa berdua cerita Jul. Bunda bahkan baru tau Ara sempat operasi miom sekarang ini, kenapa di pendam berdua aja hm?” oiya, Bunda baru tau soal Ara pernah kena miom sebelum hamil. Julian yang cerita juga, Ara enggak mau di tanya apapun soalnya.

“Ijul sama Ara cuma gak mau ngerepotin dan bikin Bunda sama Papa kepikiran. Maafin yah, Bun.”

Bunda menghela nafasnya pelan. “Waktu kamu sama Ara menikah, Bunda sama Papa sudah pernah bilang kan kalau kamu juga anak kami. Jangan susah berduaan aja, Jul. Kami orang tua kamu dan Ara. Ngadu kalau ada masalah dan datang kalau lagi kesusahan ya, jangan di simpan berduaan lagi.”

Mendengar ucapan dari mertua nya itu bikin perasaan Julian jadi tenang, Bunda benar mereka adalah keluarga. Selama ini Julian selalu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, sepeninggalan Bapak, Julian berusaha untuk menjadi anak laki-laki yang kuat dan dewasa, Julian jarang banget cerita ke Ibu dan Andra kesusahannya. Kalau pun ada masalah dia bakalan cerita masalah itu kalau sudah selesai, dia hanya memiliki Ibu yang harus dia jaga dan membahagiakan Ibu nya sudah menjadi sebuah keharusan bagi Julian.

Dan tanpa dia sadari hal itu terus berlanjut sampai ia berumah tangga, bahkan Ara juga melakukan hal yang sama dengannya. Ara anak perempuan satu-satunya di rumah, dia anak tengah yang menurut Julian enggak neko-neko. Ara juga bilang selama ini dia gak mau buat kedua orang tua nya susah karena Mas Yuda dan Reno pun tampaknya sudah sering membuat kedua orang tua nya banyak pikiran. Makanya sejak merantau ke Bandung tiap ada masalah pun, Ara akan bercerita setelah masalah itu selesai agar kedua orang tua nya tidak kepikiran.

Setelah seminggu di rawat dirumah sakit Ara sudah di perbolehkan buat pulang, kedua orang tua nya dan orang tua Julian juga sudah kembali ke Jakarta. Jadi sekarang hanya Julian saja yang merawat Istrinya itu di rumah.

Sejak keguguran kemarin dan Ara yang tetap bersikeras buat enggak mau hamil lagi, dia juga nyuruh Julian buat berhenti manggil dia pakai sebutan Bunda. Sebenarnya enggak papa juga, Ara suka sama panggilan itu hanya saja panggilan itu mengingatkannya akan angan-angan punya anak.

Untungnya Julian mengerti jadi sekarang dia kembali manggil Ara pakai sebutan 'sayang' lagi. Sebelum pulang ke Jakarta, Papa nya Ara sempat bilang ke Julian kalau nanti kondisi Ara sudah pulih sepenuhnya dan dia sudah bisa berdamai dengan keadaan. Julian harus membicarakan soal anak lagi sama Ara, sementara ini Julian hanya mengiyakan saja dulu saran dari mertua nya itu.

Dia benar-benar belum ada rencana membicarakan itu sama Ara dalam waktu dekat ini, dia mau menghargai keputusan Ara. Kalau pun keluarga besar mereka enggak setuju dengan keputusan Ara, Julian akan berusaha keras untuk membuat mereka mengerti. Atau kalau perlu Julian bawa Ara pergi jauh agar mereka tidak bisa mencampuri keputusan yang Ara ambil, apapun akan Julian lakukan demi Istrinya itu.

“Mau aku ambilin teh?” setelah Ara duduk di sofa, Julian taruh tuh travel bag berisi baju-baju Ara selama di rumah sakit.

“Gak usah, nanti bisa aku ambil sendiri.” Ara belum banyak bicara, masih lebih banyak diam kaya kemarin-kemarin. Walau sebenarnya diemin Julian kaya gini rasanya sedih banget, apalagi kalau lihat muka Suaminya pas lagi tidur itu. Ara mikir Julian mungkin kecewa sama keputusannya, tapi disisi lain Julian juga mau menghargai keputusannya.

Ara gak tau lagi deh kalau dia bukan nikah sama Julian mungkin dia bakalan di cerein atau di marahin karna ngambil keputusan yang berat kaya gini, bahkan Papa nya sendiri aja kelihatannya keberatan sama keputusan yang Ara ambil.

“Kamu mau makan siang pakai apa?” Julian jongkok di bawah dekat kaki Ara, dia mijitin tangan Istrinya itu pelan-pelan.

“Apa aja.” Ara tersenyum kecil, “maaf yah aku belum kuat masakin kamu.”

Julian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “gapapa. Kan aku bisa masak sendiri, aku buatin cream sup jagung mau? Atau mau makan sayur bayam? Di kulkas ada bayam sama jagung manis. Kamu suka kan bayam sama jagung manis?”

Ara mengangguk kecil, gak napsu makan sebenarnya. Tapi dia ngerasa harus tetap makan buat bisa bertahan hidup, dia masih punya Julian. Julian mungkin bisa kelihatan tegar waktu calon bayi mereka luruh, tapi Ara yakin kalau Julian kehilangan dirinya Julian gak akan bisa setegar ini.

“Apa aja.”

“Bayam aja yah? Nanti aku masakin ayam goreng juga sama bakwan jagung kayanya enak deh.”

“Um.”

“Yaudah, istirahat dulu disini yah. Aku beresin baju kamu dulu habis itu masak.” Julian berdiri dari tempatnya, setelah itu dia bawa semua travel bag punya Ara ke ruang cuci baju.

Di ruang tamu Ara cuma diam aja, dia juga enggak nyalain TV di sana. Rasanya ngalamun di tempat sepi kaya gini bikin dia larut sama pikirannya sendiri, dia jadi keingat lagi waktu dia di dalam toilet. Ara masih ingat rasa sakitnya bagaimana apalagi saat di dalam ruang operasi, Ara masih ingat waktu dokter ngambil janin nya itu, rasanya kaya sesuatu yang akan menjadi miliknya di renggut paksa.

Tanpa Ara sadari dia jadi nangis lagi, dia ngeraba perutnya sendiri yang sekarang udah rata. Udah gak ada lagi tonjolan kecil di sana, Ara enggak tau kenapa rasanya buat punya anak aja harus sesulit ini. padahal di luar sana banyak banget pasangan yang ngelakuin hubungan gelap dan langsung berhasil punya anak. Kaya enggak ada hambatan aja gitu, tapi kenapa buat punya anak kandung di hubungan yang sudah resmi ini rasanya sulit. Dunia benar-benar gak adil rasanya.

“Sayang, tadi aku pesan jus mangga di warung depan nanti kalau—” ucapan Julian tertahan waktu tau Istrinya itu lagi nangis sesegukan di ruang tamu.

Julian yang niatnya udah mau masak buat makan siang mereka jadi dia urungkan dulu, dia langsung nyamperin Ara dan meluk Ara yang nangisnya tuh beneran kaya orang sesak banget.

“Sayang.. Kenapa?”

“Aku gak bisa jagain anak kita, Jul..” ucap Ara di sela-sela isaknya.

“Bukan salah kamu, udah yah. Kita pasti bisa hadapin ini bareng-bareng, dia udah tenang di tempat yang paling aman. Mungkin Tuhan tuh lagi ngasih kita kesempatan buat banyak berduaan.” Julian ngelap wajah Ara yang udah banjir sama air matanya, meski rasanya sia-sia karna air matanya terus berjatuhan.

Ara enggak jawab apa-apa lagi, dia meluk Julian erat banget dan nenggelamin wajahnya di dada Suaminya itu. Bahkan air matanya sampe bikin kaus yang di pakai Julian basah, Ara masih suka menyalahkan dirinya sendiri, ah enggak. Gak cuma Ara, Julian pun nyalahin dirinya sendiri. Julian gak tau apa yang bikin Ara setress kaya gitu sampai-sampai itu membuat calon anak mereka gugur.

Julian belum berani tanya-tanya, tapi sejauh ini pikiran Julian cuma tertuju ke mungkin banyaknya klien dengan berbagai macam masalah yang Ara hadapi bikin wanita itu jadi banyak pikiran.


Setelah mengajukan cuti beberapa hari akhirnya Liliana kembali lagi ke kantor, walau sebenarnya dia ngerasa masih gak nyaman kalau sewaktu-waktu berpapasan dengan Julian. Dia masih malu dan merasa bersalah, tapi mau bagaimana lagi. Liliana butuh bekerja hanya dia yang bisa menafkahi dirinya sendiri dan anaknya.

Sebenarnya Liliana sempat kepikiran buat nyari kerjaan baru, ya apalagi kalau bukan dia ngerasa udah gak punya muka buat berhadapan sama seniornya itu. Tapi masih Liliana pertimbangkan, mencari kerja akhir-akhir ini enggak gampang dia gak mau gegabah buat resign sementara belum ada pekerjaan baru buatnya.

Begitu sampai meja nya, di kursi sebelah samar-samar Liliana mendengar Monika sedang mengobrol dengan teman mereka yang berada di kursi sebrang. Liliana gak begitu kenal, Liliana tuh jarang banget ngobrol sama karyawan lainnya kalau bukan soal kerjaan.

“Jadi Pak Julian cuti?”

“Iya, Mon. Kasian yah, padahal anak yang di kepengenin banget.” Jelas wanita yang duduk di sebrang sana, wanita itu sedang sibuk merapihkan hijabnya yang kelihatan sedikit berantakan. Kantor lagi enggak ada big boss jadi agak sedikit lenggang, karyawan laki-laki di sebelah meja Monika itu masih bisa main PUBG.

“Kasian, semoga cepet bisa dapat penggantinya deh ya.”

anak yang di kepengenin? Kasian? Apa maksudnya? batin Liliana..

Karena terlanjur dengar Liliana jadi penasaran ada apa sama Julian sampai-sampai laki-laki itu mengajukan cuti lagi. Jadi, Liliana colek bahu Monika sampai wanita itu menoleh ke arahnya. Wanita itu menaikan sedikit dagunya, seperti memberi isyarat pada Liliana ada apa memanggilnya.

Monika ini emang selalu bisa di andalkan deh kalau buat berita anak-anak kantor, kadang anak-anak dari divisi design product sering julikin Monika dengan si ratu bigos. Alias biang gosip, tapi menurut Liliana sih Monika cuma terlalu friendly aja makanya siapa aja dia kenal.

“Ada apa sama Pak Julian, Mon?” Tanya Liliana, dia mengecilkan suaranya.

“Itu loh, Li. Mbak Ara keguguran seminggu yang lalu. Kasian banget kan, terus Pak Julian sampai harus cuti buat jagain Istrinya dulu,” jelas Monika.

“Keguguran? Ke..kenapa? Kok bisa?” Kalau di lihat dari vlog-vlog yang Ara buat tuh kayanya pola hidupnya Ara lumayan sehat, Ara suka bikin vlog kesehariannya di rumah. Kaya bercocok tanam, masak makanan yang sehat, olahraga juga. lalu kenapa bisa sampai keguguran? Pikir Liliana.

“Katanya sih gara-gara stress sama anemia kalau enggak salah, mungkin kerjaanya sebagai psikolog berat kali ya? Apalagi dia kan lagi praktik jadi psikolog anak. Pasti macam-macam tuh ngadepin anak-anak ada yang tantrum lah, ada yang gak bisa diem lah.”

Liliana diam, Monika bilang kejadian nya seminggu yang lalu? Itu artinya saat ia dan Ara bertemu. Apa penjelasan dan permintaan maafnya itu yang menjadi pemicu Ara bisa setress? Pikir Liliana. Ia mengusap wajahnya gusar, kalau benar dia lah penyebabnya itu artinya ia menambah satu masalah buat pasangan itu, ah tidak. Apa ia juga bisa di sebut pembunuh? Dia sudah membuat Ara kehilangan bayi nya secara tidak langsung.

“Li? Kenapa?” tanya Monika soalnya dari tadi Liliana jadi diam.

“Gapapa, Mon.” Liliana senyum kikuk, dia buru-buru nyalain komputernya.

Sudah terhitung 3 bulan sejak kejadian Ara keguguran, selama 3 bulan ini Ara juga masih bekerja di klinik Sunshine menyelesaikan masa kerjanya. Dia justru makin sibuk sekarang, Ara ngambil pekerjaannya sebagai penerjemah buku lagi di tempatnya dulu, aktif di Youtube itu udah jelas. Malahan Ara nambahin kontennya dia yang tadinya cuma upload setiap seminggu sekali jadi seminggu dua kali.

Julian awalnya ngerasa keberatan, tapi setelah Ara bilang kalau dia bisa bagi waktunya buat bekerja dan buat Julian. Akhirnya Julian mengizinkannya lagi, Julian cuma kepikiran aja mungkin Ara lagi nyari pelarian buat ngelupain trauma nya sejak keguguran waktu itu.

Kabar Liliana? Sejak Julian kembali masuk setelah cutinya menjaga Ara, Liliana sempat menemuinya dan menjelaskan semuanya, tentang hari di mana Ara keguguran. Julian marah banget ke Liliana tentu saja, dia bahkan bilang ke Liliana kalau dia enggak mau kenal sama Liliana lagi dan nyuruh Liliana buat enggak ketemu sama Ara lagi apapun itu alasannya.

Sejak hari itu, Liliana juga bilang ke Julian kalau itu jadi terakhirnya di kantor. Liliana mengundurkan diri, Julian enggak nanya-nanya lagi alasannya. dia udah muak dan gak mau dengar nama Liliana lagi. Oiya, soal Ara yang udah tau tentang Liliana. Tentu saja Ara udah cerita ke Julian seminggu setelah dia pulang dari rumah sakit, waktu itu Ara marah. Yup, jelas dia marah karena wanita itu merasa di bohongi.

Beruntungnya Ara enggak bahas-bahas soal Black Box. Kayanya Liliana juga gak cerita-cerita tentang Julian yang balik lagi ke Black Box, sejak Ara sibuk sama kerjaanya sebagai pelampiasan kekecewaanya. Sama hal nya dengan Julian, Julian balik lagi jadi petarung di Black Box. Uang yang dia pakai hasil bertanding itu dia belikan makanan untuk kucing-kucing jalanan dan shelter. Yup, Julian lebih milih nyumbangin uang itu.

Bukannya sombong, dia gak butuh uang hasil tandingnya itu kaya waktu jaman kuliah. Gajinya sudah cukup, Julian hanya ingin melampiaskan kekesalannya saja di atas ring. Hari ini, adalah hari ulang tahun pernikahan Julian dan Ara yang pertama. Julian sama Ara udah sepakat buat makan malam berdua di rumah mereka. Makanya hari ini Ara dandan di rumah demi nyambut Julian pulang.

Sembari dandan, dia sedikit cuap-cuap di depan kaca dan kamera. Yup, Ara bikin konten make up buat dinner gitu. Buat acara makan malam sederhannya itu, Ara cuma pakai midi dress selutut dengan rambut panjang berwarna brown yang dia urai begitu saja, make up yang Ara pakai juga natural kok gak kaya mau kondangan.

“Oiya, midi dress yang aku pake ini belinya udah lama banget. Waktu aku sama anak-anak kosan ke Korea, ini tuh samaan- sama punya Gita cuma beda warna aja.” Ara agak sedikit berdiri biar setengah badannya kelihatan di kamera.

“Udah pas banget di badan aku, dulu waktu beli ini tuh agak kegedean gitu. Semenjak nikah sama Julian tuh badan aku jadi lebih berisi deh, kaya sebelum nikah tuh cuma 40-42kg sekarang udah bisa 48kg. Emang nih efek punya Suami hobi makan dan bawel.” Ara senyum, dia balik lagi duduk di kursi meja riasnya.

Dia ngambil salah satu lip cream yang pernah dia beli hasil jastip, yup lip cream yang satunya aja udah bisa kebeli HP deh kayanya. Soalnya emang semahal itu, itu pun Ara belinya pas lagi diskon.

“Hari ini aku pakai lip cream dari Huda Beauty. Ini lip cream beneran sebagus itu, walau mahal. Belinya juga kudu ngerayu-ngerayu Julian dulu.” Ara terkekeh, dia aplikasiin lip cream itu ke bibirnya dan nunjukin hasil akhir penampilannya.

Setelah itu dia simpan kamera nya karena Ara udah dengar ada suara mobil Julian dan pagar rumah yang seperti di geser agar terbuka, Suaminya itu sudah pulang rupannya. Ara keluar dari kamarnya, dia udah liat Julian yang baru aja datang dengan kemeja warna baby blue yang kancingnya udah dia buka 2 teratas, dan lengannya yang udah dia gulung sampai siku.

Liat Julian kaya gini tuh bikin Ara gila banget rasanya, ganteng banget walau mukanya kadang tuh muka capek. Ya Ara paham sih gimana kerjanya Julian tuh nguras pikirannya banget.

“Cantik banget Istri aku,” pujinnya, dia jalan ke arah Ara dan meluk pinggang Istrinya itu. “Kamu udah cantik gini tapi aku masih buluk belum mandi, baru balik kerja.”

“Gak usah mandi,” Ara terkekeh, dia ngalungin tangannya di leher Julian dengan manja.

“Gak bau? Aku habis dari luar loh, lengket, keringetan.”

Ara menggeleng, dia senyum kecil. Justru wangi badannya Julian tuh bikin Ara kangen, Julian tuh kalau kerja always pakai parfum dan wangi parfum nya tuh beneran senempel itu di badan dia.

“Aku suka bau kamu.”

“Istriku lagi gombal?” Julian mengangkat satu alisnya.

“Emangnya aku jago gombal kaya kamu?”

Keduanya terkekeh, Julian sempat nyium bibir Ara sedikit sebelum akhirnya dia pamit buat mandi dulu. Ya tentu aja Ara ngizinin, Julian tuh paling gak suka kalau nyium-nyium tapi belum mandi. Dia suka gak pede, takut bau badan katannya.

Sambil nunggu Julian mandi, Ara perhatiin jam tangan yang dia beli buat anniversarry pertama nya sama Julian. Dia nabung buat beli jam itu sekitar 3 bulan, agak lama pokoknya deh. Harganya lumayan soalnya, di sebrang sana juga Ara merhatiin kotak kado yang Julian taruh di atas meja.

Julian bilang kalau mereka harus buka kado itu sama-sama, di kursinya Ara ngalamun. Dia mikirin banyak hal tentang hubungannya sama Julian. Selama ini dia selalu menghindari topik tentang anak, teman-teman mereka juga sudah tau kalau Ara keguguran. Dan kalau ada kolega Julian yang nanya apa Ara sudah hamil atau belum, Julian cuma jawab kalau Ara belum hamil. Julian enggak pernah cerita kalau Ara pernah keguguran.

“Sayang...” Gak lama kemudian Julian muncul dari kamar, dia pakai kaos polo warna marun gitu sama celana pendek. Ya masih rapih lah, Ara gak masalah sama apa yang Julian pakai buat makan malam mereka, toh mereka makan malam di rumah.

“Kita mau buka kado dulu?” lanjutnya.

“Iyalah, aku udah penasaran sama yang kamu kasih ke aku.” Ara senyum, dia kasih kotak kado yang dia pegang ke Julian. “Happy anniversarry yah, Bang. Terima kasih udah jadi Suami yang paling baik buat aku.”

Happy anniversarry juga yah, kamu juga udah jadi Istri yang baik dan hebat. Temenin aku terus yah, sayang.” Julian genggam tangan Ara, dia juga ngusap punggung tangannya itu.

“Aku buka yah kadonya?”

Di kursinya Julian agak tersenyum kikuk, sebenarnya ada hal yang ingin Julian bicarakan sama Ara. “Sayang?”

“Hm?”

“Aku boleh ngomong sesuatu gak?”

Ara terkekeh, Julian ini apa deh? Udah nikah mau ngomong aja pakai bilang kaya gitu segala. batin Ara.

“Ngomong aja, mau ngomong apa sih?”

Julian terlihat menarik nafasnya sebentar, dia kelihatan kaya lagi ngeyakinin dirinya sendiri buat ngomongin sesuatu yang Ara sendiri gatau itu apa.

“Boleh gak aku minta kado yang lain, lagi.” Cicitnya pelan.

“Kado apa?

“Aku masih mau punya anak sama kamu,” ucapan Julian tertahan, ia menggelengkan kepalanya pelan. “Setidaknya, kamu masih mau berniat punya anak lagi. Niat aja dulu, enggak harus punya.”

Ara terlihat memutar bola matanya malas, dia menghela nafasnya berat. Nafsu makan buat nyantap steak tenderloin yang udah dia buat malam ini rasanya sirna gitu aja, begitu Julian menyinggung topik obrolan yang sangat sensitif itu baginnya.

“Bang, kita sepakat buat enggak ngomongin ini kan? Aku harus bilang berapa kali sih sama kamu?”

“Bukan gitu, Sayang—”

“Kamu masih mau punya anak?”

“Sayang, aku tau kamu masih belum bisa berdamai sama keadaan. Tapi kamu juga gak boleh denial kalau kita masih punya harapan besar buat punya anak.”

“Aku. Gak. Mau,” ucap Ara dengan penekanan di setiap suku katanya. Dia menghela nafasnya sekali lagi.

“Kamu tetap gak berubah pikiran? Kamu gak mau punya anak sama aku, Ra?”

Ara diam, dia ngerasa gak sanggup menjawab pertanyaan Julian itu. Ara jadi sekeras ini karena dia benar-benar sangat mengharapkan seorang anak, dia gak mau kecewa lagi. Rasanya kaya luka akan kehilangan bayi mereka kemarin belum sembuh. Bahkan Ara ngerasa kayanya gak akan bisa sembuh.

“Aku capek!! kemarin aku hamil dan keguguran, itu artinya emang Tuhan gak mau ngasih kita anak!” kemarahan Ara udah meletup-letup banget dia bahkan udah enggak manggil Julian pakai sebutan 'Abang' lagi kaya biasanya.

“Kamu gak boleh ngomong gitu!”

“Kalo kamu masih tetap kepengen punya anak, kamu cari aja cewek lain sana. Nikahin dia, kamu gak bisa berharap punya anak lagi sama aku!”

“GILA! Kamu nyuruh aku poligami? Udah setress kamu?!” sekarang mereka berdua ngomong sama-sama pakai urat, Julian juga naik pitam karna omongan Ara barusan. Bisa-bisanya dia nyuruh Julian poligami? Memangnya Julian sanggup.

Hari jadi pertama pernikahan mereka yang harusnya manis-manis malah jadi malam yang mencekam karena adu urat mereka, Ara berdiri. Dia mau masuk ke kamarnya tapi Julian malah narik tangan dia.

“Apa sih?!” Ara berusaha lepasin tangan Julian dari pergelangan tangannya, tapi tenaga Julian tuh gede banget.

“Aku lagi ngomong sama kamu! Kamu kok bisa tega-tega nya nyuruh aku poligami, Ra?”

“Kamu mau punya anak kan? Iya kan? Aku gak bisa kasih itu ke kamu, kamu mau ninggalin aku, mau nikah sama perempuan lain yang jauh lebih sehat dan mau ngandung anak kamu juga silahkan, aku udah capek, Jul.”

BRAKKK!!

Ara kaget bukan main waktu Julian ninju pintu kamar mereka yang tepat ada di belakang Ara, badan Ara bergetar bukan main karena dia beneran sekaget itu. Julian kehilangan kendalinya lagi setelah sekian lama. Julian pernah semarah ini, itu dulu sekali. Waktu soal Ara sama Chaka di kosan.

Tangan Julian lebam, ada darah juga yang mengalir di tangannya. Dia gak perduli Ara yang nangis bergetar merosot di depan pintu kamar mereka, Julian malah menjauh dari sana dan pergi keluar dari rumah mereka. Dia gak mau nyakitin Ara karena emosinya saat ini.

Di kamarnya Ara ngerasa dia harus ngejauh dari Julian sementara waktu, liat Julian kaya tadi beneran bikin dia kaget banget. Ara mau nenangin pikirannya sendiri, waktu Ara keluar kamar. Julian udah balik dari luar, dia melotot kaget waktu Ara keluar bawa travel bag nya.

“Kamu mau kemana?” tanyanya dengan suaranya yang parau itu.

“Aku butuh waktu buat nenangin diri aku sendiri, Jul.”

“Kamu mau pergi?”

Ara mengangguk, “sebentar..”

“Kamu benar-benar mau ninggalin aku, Ra? Iya?”

“Aku butuh waktu, Jul. Aku gak mau kita jadi saling nyakitin kaya gini.”

Tanpa di sangka-sangka, Julian malah beringsut meluk kaki Ara supaya Istrinya itu enggak pergi. Dalam hati Julian nyesal banget udah bahas-bahas hal ini, dia seharusnya gak bahas hal ini kan? Pikirnya.

“Jangan tinggalin aku, Ra. Aku janji gak akan bahas hal itu lagi ke kamu, aku juga gak mau punya anak lagi tapi please jangan tinggalin aku, Ra.” apapun bakalan Julian lakuin supaya Ara gak pergi, dia juga rela ngubur keinginanya buat punya anak asal Ara tetap bersamannya.

“Jul, jangan gini..” Ara jongkok dan ngelonggarin pelukan Julian di kakinya, Julian masih Suaminya. Dia gak akan tega liat Julian harus kaya gini, tatapan mata Julian yang bikin Ara ngerasa gak pantes buat punya Suami sebaik Julian.

“Aku cuma butuh waktu sebentar, Jul.”

“Disini aja jangan pergi, aku gak akan ganggu kamu.”

Ara menggeleng, dia lepasin kaki Julian dan tetap beringsut pergi. Meski sempat ada adegan Julian rebut paksa kunci mobil punya Ara, tapi untungnya saja Ara selalu membawa kunci cadangan di dompet miliknya.

Sejak hari dimana Ara pergi dari rumah, keadaan rumah Julian dan Ara gak lagi sama. Rumah itu kaya kehilangan separuh nyawanya, begitu pun sama Julian. Setiap hari yang cowok itu lakuin cuma bengong di teras rumah sambil sesekali ngerokok, Julian izin buat enggak masuk kerja walau atasannya itu udah sempat negur dia. Iya, Julian di kasih surat peringatan pertama karna sering banget ngambil cuti mendadak atau izin kaya gini.

Padahal udah jelas-jelas kantor lagi butuh dia banget, Julian gak perduli sama kerjaanya sama sekali rasanya. Kepalanya udah tersita buat mikirin kemana Ara pergi, apa yang di lakuin sama Istrinya itu dan bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Julian enggak mau pisah, dia juga gak mau nurutin ide gila nya Ara buat nyari perempuan lain. Gak, Julian enggak akan lakuin itu. Dia cuma sayang sama Ara.

Pada hisapan ketiga rokoknya pagi ini, Julian ngusap wajahnya gusar. Perutnya enggak lapar meski rasanya uluh hatinya sudah panas, udah 3 hari ini Julian enggak nyentuh nasi sama sekali. Dia cuma ngerokok dan minum kopi aja, beneran enggak sehat banget. Julian juga gak cerita ke siapa-siapa soal masalahnya sama Ara, tapi rasanya hari ini dia udah enggak sanggup tampung itu sendiri.

Dia mau ngehubungin Arial, mana tau Ara pergi ke tempat Arial atau paling tidak Arial dan Gita tau kemana Ara pergi, ya semoga saja begitu. Karna kalau mereka tidak tahu kemana Ara pergi, rasanya Julian enggak tau mau cari Ara kemana lagi. Karena ponsel Istrinya itu pun mati.

“Hallo, Mas. Lagi sibuk gak?” Ucap Julian, waktu Arial ngangkat telfon darinya.

enggak, Jul. Kenapa? Tumben pagi-pagi nelfon.

“Mas, kalo hari ini lo sama Gita enggak sibuk. Gue boleh ke rumah gak?” Sebenarnya Julian udah gak ada tenaga lagi buat sekedar nyetir mobil, muka dia udah pucat banget persis mayat hidup. Tapi mau nyuruh Arial sama Gita ke rumahnya pun enggak enak, kan dia yang butuh bantuan masa mereka yang nyamperin Julian sih.

Ada apa, Jul? Suara lo kenapa? Sakit?” bahkan hanya dari telfon saja Arial bisa tahu suara Julian terlihat lemas, enggak kaya biasanya aja gitu yang banyak cengengesan walau di telfon sekalipun.

“Ara pergi dari rumah, Mas.” Julian to the point, dalam hati Julian berdoa semoga Arial tidak sedang minum atau makan saat mendengar ini, enggak lucu kalau Arial tersedak saking kagetnya.

Hah???!” pekik Arial, dia kaget banget. “pergi dari rumah gimana maksudnya? Kalian berantem?

Julian menghembuskan nafasnya, berat banget mau ceritain ini. Tapi hatinya udah enggak kuat dan butuh bantuan orang lain, oiya, Julian lagi-lagi enggak cerita ke kedua orang tua Ara ataupun orang tua nya. Papa nya Ara lagi sakit, dan Ibu nya Julian tekanan darahnya sedang tinggi.

“Iya, Mas. Mungkin lo atau Gita tau kemana Ara pergi, Mas? Tempat yang mungkin dia kunjungin? Gue udah nyari kemana-mana tapi enggak ketemu.” Jelas Julian, sembari memperhatikan putung rokok bekasnya yang sudah nyaris penuh di asbak.

Julian udah sempat nyari Ara ke kosan Abah, ke Pangalengan, ke hotel-hotel di daerah sekitar Cipaganti bahkan nyaris ke perbatasan Sumedang. Julian juga sempat nanya ke teman-teman dekat Ara kaya Cindy, Sheren atau pun Kinan tapi mereka sama sekali enggak ketemu atau dapat kabar dari Ara.

lo kenapa baru bilang sekarang, Jul? Udah berapa hari?” di sebrang sana Arial menghela nafasnya.

“3 hari, Mas.”

oke, gini-gini. Gue ke rumah lo sekarang ya. Kita ngobrol langsung aja, nanti gue bantu nyari dia.” gak lama setelah itu sambungan telfon nya Arial matikan sepihak.

Begitu Arial dan Gita datang, Julian sedang kembali merokok entah sudah berapa hisapan sambil dia nunggu Arial dan Gita. Beneran Julian rasanya enggak napsu banget buat makan, meski beberapa kali perutnya bunyi.

“Gimana ceritanya sih, Jul?” Tanya Gita, agak gak tega liat Julian kelihatan kosong kaya gini. Muka laki-laki itu lesu dan pucat, oh jangan lupakan kantung matanya yang membesar. Bikin mata Julian yang udah sipit jadi tambah kecil.

“Gue ribut sama Ara, Git. Di hari anniversarry pernikahan gue sama dia. Salah gue, gue ngomongin soal anak lagi sama dia.” kalau ingat hari itu dan ucapannya, Julian selalu meruntuki dirinya. Andai ucapannya kemarin bisa ia tarik lagi.

“Ara tuh belum bisa damai setelah kehilangan, Jul. Dan lagi ini baru 3 bulan setelan dia keguguran.” Gita enggak sewot kok, dia cuma berusaha ngasih pengertian ke Julian. Ini dari sudut pandanganya sebagai seorang perempuan dan sebagai calon Ibu yang pernah kehilangan anaknya dulu.

“Iya gue tau, Git. Makanya gue bilang ini salah gue, gue bukan mau kita punya anak secepatnya, enggak. Gue cuma mau Ara berniat buat punya anak lagi. Itu aja,” jelas Julian putus asa.

“Lo gak ngamuk kaya waktu di kosan sampe bikin Ara ketakutan lagi kan, Jul?” Karena waktu Julian kelepasan perkara soal Chaka itu, Ara memang sempat menghindari Julian. Arial cuma kepikiran kalau Julian kelepasan lagi sampai bikin Ara pergi kaya sekarang, siapa tahu saja kan.

Julian diam, dia cuma nunduk dan gak lama ngangguk kecil. Dan itu bikin Arial menghela nafas keputus asaanya, yang ribut rumah tangga Adiknya tapi Arial jadi ikutan pusing rasanya. Kalau aja keadaan Julian lagi baik-baik aja, Arial pasti enggak segan-segan buat kasih bogem mentah ke Julian. Tapi sekarang ini, di dorong pun Arial yakin Julian udah jatuh.

“Lo udah coba hubungin ke Jakarta? Siapa tau Ara pulang ke rumahnya?”

Julian menggeleng, “gak ada, Git. Gue belum cerita ke Bunda sama Papa. Tapi gue sempat nanya kabar mereka gimana, kalau memang Ara ada di sana. Gak mungkin Bunda nanya kabar Ara ke gue kan?”

Gita mengangguk-angguk kecil, masih masuk akal sih menurutnya. “Nanti gue bantu hubungin dia lagi deh, HP nya sekarang mati.”

“Gue coba nanya ke Niken, Yves sama Elara pun Ara gak hubungin mereka. Nanti gue coba buat liat lokasi terakhir HP nya dia deh.”

“Ara matiin HP nya di rumah, Mas. Lokasi terakhirnya disini.”

Arial mengusap wajahnya, beneran rasanya kepalanya mau pecah. Arial sempat mau bilang kalau mereka harus menghubungi polisi, untuk setidaknya membantu pencarian. Tapi Arial urungkan karna pasti Julian enggak setuju dengan ide ini.

“Gue sama Gita bantu cari ke hotel-hotel terdekat ya, kalau perlu ke daerah Puncak sekalian.” Arial kepikiran puncak, cuma karena teringat kata-kata Ara waktu mereka mau liburan kalau daerah puncak tuh enak banget buat healing ya, mungkin saja Ara kabur ke daerah sana kan? Pikir Arial.

“Ara sempet nyuruh gue nikah lagi, Mas, Git.” celetuk Julian tiba-tiba yang membuat mata Gita melotot.

“Apa?! Nikah lagi? Poligami maksudnya? Gila kali?!” sentak Gita, kalau Ara ada di depannya pasti udah dia omelin.

Julian ngangguk, “dia gak mau punya anak, dia bilang gue bisa nikahin perempuan lain kalau gue tetap mau punya anak kandung.”

“Astaga Ara...” Arial ngusap wajahnya buat yang kesekian kali, kali ini sampai membelah rambutnya dan sedikit ia jambak. Udah pusing banget rasanya, bisa-bisanya Ara kepikiran Julian poligami buat punya keturunan.

“Mas, Git. Kalau kalian ketemu Ara lebih dulu dari gue, tolong bilangin ke dia. Gue gak mau punya anak. Gue cuma mau dia pulang aja, tolong yah, Mas, Git.”

“Nanti gue bilangin kalau ketemu Ara, tapi sekarang lo harus makan dulu atau seenggaknya istirahat. Liat lo kaya gini kaya mumi tau gak?” Oceh Gita, beneran gak tega liat Julian kaya gini.

Ara tau cara dia nenangin diri dengan lari dari Julian itu adalah cara yang salah, tapi buat saat ini dia cuma mau tenang dulu dan jernihin pikirannya. Walau lari kaya sekarang ini menurut Ara justru jauh dari kata tenang, tiap malam Ara masih nangis mikirin kejadian dia keguguran, mikirin Julian dan mikirin rumah tangganya.

Ara sayang banget sama Julian, justru karena rasa sayang ini yang bikin dia makin sakit. Ara selalu mikir negatif kaya seadainya dia berniat punya anak lagi, bagaimana kalau dia keguguran lagi? Atau yang lebih buruknya dia sulit buat punya anak. Pokoknya selalu aja ada ketakutan-ketakutan di kepala Ara kalau udah mikirin soal anak.

Ara tau ini salah, setiap pagi dia suka minum painkiller buat ngilangin rasa sakitnya. Dia cuma kabur ke hotel di daerah Bogor kok, karna kalau masih di sekitar Bandung, Julian pasti bakalan nemuin dia. Setelah sarapan paginya hari ini, Ara coba buat duduk di balkon hotel, ngirup udara pagi yang sejuk dan nikmatin semilir angin yang berhembus nerbangin rambutnya.

Dia pegang ponsel di tangan kanannya, dia mau coba cek ponselnya buat liat Julian nyariin dia apa enggak. Waktu ponsel itu nyala, langsung masuk notifikasi banyak banget. Entah itu dari sosial media nya, SMS atau telfon. Ternyata bukan cuma Julian yang telfon dan ngirim berpuluh-puluh bubble chat. Tapi ada Arial, Gita dan teman-temannya yang lain.

Tapi yang paling membuat Ara membeku adalah, waktu dia baca bubble chat dari Gita sama Chaka. Gita bilang kalau Julian udah kaya orang gapunya semangat hidup karena Ara, dan minta Ara secepatnya telfon dia, lain halnya sama Chaka. Cowok itu justru nyuruh Ara buru-buru datang ke Black Box hari ini sebelum jam 12 siang, ada apa sebenarnya?

Dengan perasaan yang berkecamuk, Ara buru-buru telfon Gita lebih dulu. Gak lama buat Ara dengar suara Gita di sebrang sana, karena pada nada sambung ke 3 Ara udah bisa dengar makian dari Gita.

heh bego, dimana lo?!” pekik Gita, dia udah nahan-nahan marahnya dari kemarin ke Ara. Akhirnya wanita itu telfon dia juga.

“Git, kok lo ngatain gue bego sih?” Ara agak kaget, walau dia mengakui sendiri kalau yang dia lakuin sekarang tuh bodoh banget. “Ju..Julian kenapa, Git?”

laki lo tuh nyariin lo tau gak?! Juleha udah kaya mayat hidup. Pulang gak lo sekarang, lo dimana sih? Biar gue samperin yah!!” beneran Gita kasian sama Ara, tapi dia juga kesel karna cara nenangin dirinya tuh salah dan malah memperburuk keadaan.

“Julian baik-baik aja kan, Git? Kenapa Chaka nyuruh gue ke Black Box sebelum jam 12 siang?” Ara ngulum bibirnya sendiri, dia meremas rok yang dia pakai. Perasaanya jadi gak karuan kaya gini, dia mau pulang buat nemuin Julian tapi juga dia gak siap berhadapan sama Suaminya itu.

Black Box? Argghhhh, mending sekarang lo samperin Juleha. Gue gak tau dia mau ngapain di sana!! Pulang, Ra. Cara lo nenangin diri itu salah, Juleha tuh sayang banget sama lo. Dia bahkan gak pengen punya anak lagi asalkan lo mau pulang.” jelas Gita, dia nyampein apa yang Julian bilang ke dia tempo hari.

“Gue belum siap buat ketemu Julian, Git.” dengar nama dan mikirin Julian aja rasanya udah bikin Ara mau mati, dia malah nangis lagi alih-alih buru-buru pulang atau telfon Julian.

kenapa? Kenapa gak siap? Juleha nyari lo kemana-mana, Ra. Astaga, dia udah gak marah sama lo. Kalian harus saling minta maaf, lo yakin gak akan nyesel kalau sampai terjadi sesuatu sama laki lo?

Ara nunduk, dia dengerin ucapan Gita yang kadang wanita itu juga seperti memaki nya. Setelah menutup telfon dari Gita, Ara coba buat hubungin Julian dulu. Tapi sayangnya ponsel Julian mati, dan seketika perasaan Ara semakin enggak karuan. Dia buru-buru ambil travel bag nya dan masukin barang-barang dia secepatnya.

Dia harus sampai di Bandung sebelum jam 12 seperti ucapan Chaka barusan, di perjalanan. Ara sempat telfon Chaka, beberapa kali tidak di angkat sampai akhirnya Chaka menelfonnya balik.

“Hallo, Ka? Julian kenapa? Kenapa lo nyuruh gue ke Black Box?” tanya Ara to the point. dia berusaha fokus sama jalanan Bogor yang hari itu agak sedikit berkabut karena di guyur hujan, belum lagi macetnya karena ini memang memasuki libur sekolah.

Ra, Julian mau tanding kayanya, Ra. Gue juga gak sengaja ketemu dia di mini market dan ngikutin dia, di pintu depan Black Box gue baca ada nama Julian di list tanding hari ini. Mendingan lo buruan telfon dia deh, gue khawatir banget. Laki lo tuh lagi enggak baik-baik aja tau gak!” sentak Chaka, dia jadi kesal juga karena Ara minggat gini tapi disisi lain Chaka juga khawatir, dia juga ikut Julian bantu cari Ara dan nemenin Julian.

Ara mejamin matanya, dia tepiin mobilnya di pinggir jalan. Julian benar-benar ngelakuin hal yang justru bikin Ara marah banget rasanya, tapi dia juga khawatir. Apalagi yang mengatakan kalau Julian enggak kelihatan baik-baik aja tuh bukan cuma Gita dan Chaka aja.

“Ka, bisa minta tolong gak buat samperin ke rumah gue dan bilang ke Julian kalau gue lagi perjalanan pulang? HP nya gak aktif, Ka.” suara Ara mulai bergetar, dia benar-benar khawatir dan merasa bersalah sama Suaminya itu.

sorry, Ra. Gue mau meeting sama team leader gue buat bahas proyek pembangunan rumah sakit. Coba lo minta tolong ke Kevin atau Januar deh.

Ara buru-buru matiin sambungan telfon nya ke Chaka dan coba nelfon Kevin dan Januar, sayangnya Kevin sedang di luar kota sedangkan telfonnya ke Januar tidak di angkat. Ara memukul stir mobilnya dengan kesal, akhirnya dia melajukan mobilnya dengan cepat. Ara harus segera sampai di Black Box sebelum pertandingan sialan itu di mulai.


Black Box siang itu begitu riuh dengan sorakan yang menggema ke penjuru ruangan, orang-orang di sana sibuk dengan bertaruh siapa yang akan menang dan sibuk menyamangati siapa yang akan bertarung hari ini.

Di ruang ganti baju, Ian berkali-kali bertanya pada Julian apa Julian yakin mau menggantikan petarung Black Box yang tidak bisa bertanding hari ini, karena Ian tahu kalau Julian enggak ada persiapan sama sekali. Laki-laki itu enggak berlatih lagi dan tampaknya Julian sedang tidak sehat.

“Lo masih bisa mundur sekarang, Jul,” ucap Ian senewen, kalau Julian sampai kalah. Ian bisa rugi 3 jutaan untuk pertandingan ini.

“Lo ngeraguin gue, Kang? Apa sekarang gue kelihatan kaya banci sampe lo nyuruh gue mundur?”

“Heh?” Ian memukul kepala Julian pake gulungan koran yang dari tadi dia pegang, udah kepalang kesal rasanya. “Lo gak ada persiapan apa-apa, muka lo tuh pucet banget kaya orang mau mati 5 menit lagi. Gimana gue bisa percaya sama omongan lo?”

Julian menggeleng, dia gak gubris ucapan Ian dan justru berjalan ke luar dari ruangan itu. Ian yang belum selesai bicara justru ngekorin Julian, ada petarung lain yang siap menggantikan Julian kalau laki-laki itu mau mundur detik ini juga.

“Lo udah bilang sama bini lo? Gue takut tiba-tiba dia datang terus nerobos masuk ring kaya waktu itu.” Kayanya Ian punya trauma kecil sama Ara deh, dia masih takut kalau Julian datang ke Black Box dan tiba-tiba Ara nyusul Julian sambil bawa tumblr dan mukulin kepala Ian lagi.

Julian hanya menjawab pertanyaan Ian itu dengan menggeleng pelan, dia memasang hand warp di tangannya setelah itu memasang sarung tinju miliknya, sarung tinju milik Julian yang selama ini sudah ia gantung di loker nya.

“Jul!! Mending lo balik deh.” Ian nahan Julian yang udah siap keluar dari ruang ganti.

Julian mendengus, “kalo lo takut rugi karena gue kalah, Kang. Gue bakalan ganti rugi.”

Sebelum pergi, Julian sempat menepuk pundak Ian dulu. Sebenarnya Julian enggak mengingkan uang dari hasil tandingnya, ada yang harus Julian lakukan di atas ring. Mungkin dengan cara seperti ini Julian bisa menghilangkan perasaan bersalahnya sama Ara.

Entah sudah berapa kali Ara mengklakson mobilnya, dia masih terjebak di jalan menuju ke Black Box. Ada kemacetan di sana akibat galian tanah yang di lakukan oleh perusahaan listrik negara, dia juga sudah mencoba menghubungi teman-temannya tapi hasilnya pun masih sama. Tidak ada yang menjawab telfon darinya, ini memang masih hari kerja jadi Ara memaklumi.

Sesekali ia melirik jam, ini sudah jam 11:50 itu artinya sepuluh menit lagi pertandingan sialan itu akan di mulai. Dia gak bisa membiarkan Julian berada di tempat sialan itu lagi, dia harus membawa Suaminya keluar dari sana.

“Julian!! Kenapa kamu bikin aku marah banget!” Pekik Ara tertahan, kalau dia sudah sampai di Black Box nanti dia gak yakin gak akan ngamuk kaya waktu itu. Dan secara kebetulan juga Ara bawa botol air minum lagi, kali ini ukurannya lebih besar dari yang waktu itu Ara bawa.

“Julian brengsekk!!” Ara memukul stir mobilnya, namun sedetik kemudian atensinya teralihkan pada ponselnya yang berdering. “Mas Iyal?”

Hallo, Ra? Kamu dimana?” tanya Arial to the point, dari sebrang sana Ara bisa mendengar riuhan dari tempat Arial berada. Batinnya Ara tahu kalau ternyata Arial sudah sampai Black Box lebih dulu.

“Aku masih di jalan arah Black Box, Mas. Tapi macet banget ada galian, hiks.. Mas tolongin Julian, bawa Julian keluar dari sana hidup-hidup.” Ara jadi nangis sesegukan, dia beneran khawatir sama Julian. Gak mau liat Julian bonyok-bonyok lagi. Tapi dia juga marah, pokoknya campur aduk banget rasanya.

Mas Udah sampe disini, kamu bawa mobilnya hati-hati yah. Mas bakalan bawa keluar Julian.

Ara spontan mengangguk walau ia yakin kalau Arial gak akan bisa melihatnya, sekarang dia agak sedikit lega karena Arial sudah ada di sana. Setidaknya Arial bisa menyuruh Julian buat berhenti sebelum Ara datang, sekarang yang Ara perlukan hanya menunggu kabar dari Arial saja.

Sejujurnya Ara nyesal banget udah pergi dari rumah dan bikin Julian kaya sekarang, di perjalanan dia udah mikirin bagaimana dia harus minta maaf sama Julian dan kelanjutan rumah tangga mereka. Ara sayang banget sama Julian, kalau di tanya dia masih mau buat punya anak atau gak. Jawaban jujurnya adalah dia masih menginginkan itu.

Mungkin saat sudah berhasil membawa Julian keluar dari sana, Ara bakalan bilang ke Julian kalau ia mau memulai semuanya lagi dari awal, ia masih mau di panggil 'Bunda' dan membesarkan anak-anaknya sama Julian kelak.

Di Black Box, Arial berusaha menghalau ramai nya penonton yang memadati tempat berukuran 6x10 meter itu. Semua orang yang di dominasi oleh laki-laki itu riuh menyebutkan nama Julian ketika pintu kecil menuju atas ring itu terbuka, Arial yakin jika ini ruangan kosong. Teriakannya pasti sudah terdengar oleh Julian, tapi sayangnya ia bukan satu-satunya orang yang berteriak di sana.

“Kang, kalau mau ikut nonton juga diem kek. Gak bisa diam banget, mending keluar aja sana,” ucap seorang laki-laki yang duduk di sebelah Arial, logatnya sunda banget tapi dia ngomong sama Arial gak pake bahasa sunda. Mungkin ia pikir Arial bukan orang Bandung, ya memang bukan sih.

punten A, bisa tolongin saya gak? Itu yang di ring Adik ipar saya, ada berita genting saya harus bawa dia keluar dari sini.” Arial mencoba peruntunganya, posisinya yang berada di kursi belakang menyulitkannya untuk maju menuju ring dan menyeret Julian keluar dari sana.

“Eh eh, enak aja main bawa keluar. Si Julian? Itu dia jagoan aing anjir, bisa rugi bandar kalau dia belum main tapi udah di bawa keluar!” Pekik laki-laki itu.

“Tapi masalahnya—” belum selesai ngomong, dua orang laki-laki lainnya yang berbadan gempal menghimpit Arial. Seperti menahan Arial agar ia tidak bisa pergi dari sana.

Lonceng pertandingan pun di mulai, di kursinya Arial nyoba buat telfon Ara. Namun posisinya yang benar-benar terhimpit itu menyulitkannya untuk bergerak, dia cuma berharap Adiknya itu bisa segera datang dan menghentikan pertandingan itu sekarang juga.

“HOOOOOO!!!”

Keriuhan penonton bertambak seiring dengan pukulan dari lawan Julian itu mengenai wajah bagian kiri Julian, laki-laki itu jatuh namun kembali bangkit. Arial heran, kenapa dari tadi Julian enggak melawan. Ia seperti diam saja di pukuli di atas ring oleh lawannya sendiri.

Ketika lawannya kembali menyerang, Arial menutup matanya waktu bogem yang berasal dari tangan kanan lawan itu mengenai perut Julian. Adik Ipar nya itu tersungkur, Julian juga kelihatan batuk-batuk di sana.

anying si Julian kenapa sih?” laki-laki di sebelah Arial misuh-misuh enggak terima. “Kalau begini caranya mah gue bisa kalah taruhan.”

Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, Arial berusaha mendorong laki-laki gempal yang menghimpitnya. Namun sialnya tenaga nya kalah besar, Arial juga kalah jumlah.

sial!!

Mau enggak mau, Arial pasrah melihat Julian di pukuli di atas ring tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia cuma sibuk komat kamit berdoa supaya Ara datang sebelum Julian babak belur yang lebih parah lagi.

“HUUUUUU...”

Di sisi ring, Julian sudah membungkuk menghalau lawan yang terus ingin menghajar wajahnya yang sudah lebam dan mengeluarkan darah di sisi bibir dan juga pelipisnya. Beneran rasanya Arial gak tega banget liat Julian di pukulin, tapi juga Arial bertanya-tanya apa yang bikin Julian balik ke Black Box lagi? Apa dia mau mancing Ara aja supaya datang? Beneran Arial gak paham sama cara berpikir Julian.

Gak lama kemudian, di depan sana Arial liat ada seorang cewek yang datang entah dari mana. Cewek yang hanya kelihatan punggungnya itu marah-marah ke Ian yang dari tadi berdiri di bawah ring dengan cemas, cewek itu ngeluarin botol minum dari paper bag yang dia bawa dan mukulin lengan sampai punggung Ian dengan kencang. Dan Arial yakin itu Ara adiknya.

“Ara!!” Pekik Arial, dia buru-buru berdiri sekuat tenaga dan menghalau kerumunan orang untuk sampai di depan ring.

“BAJINGANN!! KELUARIN JULIAN GAK!!” pekik Ara di setiap pukulannya di badan Ian.

“Aduh-aduh, heh! Berenti mukulin gue dulu please.” Ian memohon, sungguh tenaga Ara tuh kalau udah mukulin orang pakai botol minumnya bisa lebih kencang.

“Apa?! Lo liat gak sih Julian di pukulin? Dia gak ngelawan!” Ara nangis, dia gak tega banget liat Suaminya itu di pukulin. Ara tadinya mau naik ke atas ring, tapi Ian dan beberapa penjaga di sana menahannya.

“Gue juga gak tau kenapa Julian kaya gitu! Gue juga rugi kalau dia kalah!”

“Apa lo bilang?! Dasar laki-laki kerdusss!! Mikirin untung aja lo yah, lo pikir laki gue sabung ayam!!” Ara kembali memukul Ian dengan botol tumblr yang dia bawa.

Dengan gerakan cepat, dia lari ke arah ring walau sempat di halangi oleh penjaga. Tapi kekuatan yang berasal dari kemarahan Ara itu beneran meletup-letup banget, dia hajar dua penjaga di bawa ring itu pakai botol tumblr nya, sampai penjaga itu kuwalahan dan milih lepasin Ara.

Begitu lepas dari dua penjaga itu, Ara naik ke atas ring dan sekarang gantian mukul kepala lawannya Julian pakai botol tumblr yang dia pegang. Lawan nya Julian yang tadinya sedang menghajar Julian itu menoleh dengan air wajah yang begitu marah.

“APA LO?!” pekik Ara. “Lo liat gak dia diam aja? Ini bukan pertandingan namanya kalau dia diam aja!!”

“Lo siapa?”

Julian yang kesadarannya udah di ambang itu membuka matanya perlahan-lahan, matanya bengkak karena hajaran lawannya barusan. Tapi dia tersenyum ketika sadar di depan sana ada Ara istrinya, Dengan tubuh yang sempoyongan, Julian bangun sembari meringis menahan sakit yang berasal dari perutnya demi menghampiri Ara. Dia harus membawa wanitanya itu keluar dari sini.

“GUE ISTRINYA!!!” Teriak Ara.

Penonton yang menonton pertandingan itu yang semula riuh kini saling bergumam diam-diam, suasana jadi agak senyap begitu Ara dengan aksi hiroiknya naik ke atas ring dan memukuli lawan nya Julian.

“Heh Suaminya lo aja yang—”

“Julian..” Ara gak perduli pada kalimat selanjutnya yang di ucapkan lawan main Julian itu, dia lari ke arah Julian dan mapah Suaminya itu di bahunya meski badan Julian yang tinggi dan berisi itu menyulitkannya.

“Sayang?” Gumam Julian.

“Brengsek kamu, Jul. Benci banget aku sama kamu!” walau khawatir Ara tetap memaki, dia tetap marah sama Julian yang udah bikin dia khawatir sekaligus kaya orang gila mukulin orang dan naik ke atas ring.

“Maaf yah..”

Karena kesal, Ara nyubit perut Julian dengan sebal sampai Suaminya itu meringis. Tapi sedetik kemudian Julian senyum, dia lebih baik di cubit atau di marahin Ara kaya sekarang ini dari pada harus liat Ara pergi ninggalin dia.

“Benci aku liat kamu kaya sekarang, aku masih marah yah!”

“Iya aku tau, tapi sebentar sayang.” Julian melepaskan lengannya dari bahu kecil Istrinya itu, dengan langkah yang sedikit gontai. Dia menghampiri lawannya yang masih membeku di atas ring.

“Kenapa?” Tanya laki-laki itu dengan pongah nya.

Julian enggak menjawab, tapi bogem mentah dengan mengerahkan seluruh tenaga nya itu ia berikan di sisi wajah lawannya hingga membuat laki-laki itu tumbang hanya dalam sekali pukulan. Lalu keriuhan dari penonton itu kembali, dan lonceng pertandingan berakhir. Julian kembali menghampiri Ara dan membawa Istrinya itu keluar dari sana.

“Ayo kita pulang,” ucapnya sembari menggandeng tangan Ara.

Rasanya masih kaya mimpi buat Julian bisa liat Istrinya itu lagi pulang ke rumah, Ara dari tadi sibuk buat ngobatin luka-luka di wajah Julian sambil sesekali ngedumel karena ulah Julian yang bikin dia khawatir setengah mati. Yang Julian lakukan hanyalah mandangin muka Ara yang lagi cemberut itu, gak pernah rasanya Julian dengar omelan dari bibir wanita itu seindah ini.

Dia rela buat dengerin Ara ngomel 2 jam berturut-turut asalkan wanitanya tidak pergi dari rumah mereka lagi, Ara memeras kain kecil untuk mengompres pelipis Julian yang bengkak setelah dia bersihkan dulu luka nya. Dia sebenernya dongkol banget Julian ngelakuin hal nekat sekaligus dia benci kaya tadi, tapi Julian justru cuma senyum-senyum liatin dia.

Karena kesal di liatin sama Julian padahal Ara lagi dongkol banget, akhirnya ia tekan luka nya Julian itu sampai Julian meringis kesakitan. Bodo amat sama rasa sakit Suaminya itu, Ara udah kepalang kesal.

“Kalau masih marah gausah obatin mukaku aja, gapapa. Dari pada separuh di siksa kaya gini,” Julian cemberut, tangannya beralih ingin merebut kain kecil yang Ara pegang tadi buat ngompres luka nya. Tapi Ara jauhin tangannya itu.

“Iya aku emang masih marah sama kamu, yang kamu lakuin tadi tuh bodoh tau gak?”

Julian nunduk, dia mengangguk pelan mengakui kesalahan dan kebodohannya. Yang Julian lakukan barusan adalah bentuk ia menghukum dirinya sendiri dengan rela di pukuli karena sudah membuat Ara takut sampai pergi dari rumah, tapi siapa sangka aksinya itu justru mendatangkan Istrinya itu buat pulang.

“Iya aku tau..” cicit Julian merasa bersalah.

“Kamu tau gak aku di jalan kena macet?”

Julian menggeleng.

“Kamu tau gak aku nekat nerobos masuk ke tempat sialan itu walau penjaga nya ngusir aku?”

Julian lagi-lagi menggeleng, kedua matanya Ara sudah memerah dia natap Julian nyalang. Sedangkan Julian hanya menunduk merasa bersalah.

“Aku kaya orang gila mukulin kepala penjaga Black Box sama coach kamu pake botol tumblr aku sampe botolnya penyok!!” Ara nangis, dia kesal banget rasanya kalau ingat kejadian 2 jam yang lalu.

“Maafin aku, sayang..”

“Ihhhh!! Dasar brengsek!” Ara mukul lengan Julian kenceng, Julian cuma diam tapi dia ngusap-ngusap lengannya sendiri.

Kadang Julian heran, badan Ara tuh kecil, kurus tapi kalau udah marah dan mukul kaya tadi tenaga nya beneran kenceng. Gak setiap Ara marah dia selalu mukul kok, dia kaya gini karna Julian udah kelewatan aja menurutnya. Bahkan kalau mereka berantem biasanya selalu di selesaikan dengan ngobrol dari hati ke hati.

“Aku khawatir sama kamu tau gak?!” sentaknya, Ara belum selesai ngomel.

Kali ini Julian mengangkat kepalanya, dia natap Ara yang lagi nangis sambil ngusap air matanya sendiri. “Kalau kamu khawatir, kalau kamu mikirin aku, harusnya kamu gak pergi dari rumah, Ra.”

Dalam sekejap kata-kata Julian barusan mampu membuat tangis Ara berhenti dalam sekejap, sekarang gantian. Ara yang di liputi perasaan bersalah, dia emang salah kok. Ara mengakui itu dan dia mau memperbaiki semuanya sama Julian.

“Aku minta maaf, aku emang childish banget pergi dari rumah. Aku cuma mau nenangin diri aku, Jul. Setelah aku tenang aku bakalan pulang, aku gak berniat ninggalin kamu selama nya,” jelas Ara, dia beneran cuma butuh ketenangan aja kok. Dan Ara ngerasa kayanya mereka emang butuh waktu sendiri-sendiri buat mikirin hubungan mereka.

Julian ngangguk, dia ngusap air mata Ara dan bawa Istrinya itu kepelukannya. “Aku juga minta maaf udah kelepasan sampai bikin kamu takut. Tolong jangan pergi lagi ya, aku gak bisa kalau gak ada kamu, Ra.”

“Kamu juga jangan nekat kaya tadi. Kamu bikin aku takut tau gak?” Ara meluk Julian posesif, dia beneran setakut itu Julian kenapa-kenapa sampai rasa takutnya ilang begitu di hadapkan sama laki-laki besar setara penjaga Black Box. Yang dia pikirin cuma Julian.

“Maaf yah, maafin aku..” Julian ngusap-ngusap punggung Ara dan nyium kepala wanita itu berkali-kali.

“Jul?”

“Hm?”

“Ayo kita punya anak.”

Tidak ada sahutan dari bibir Julian, dia masih membeku di tempatnya. Dia gak tau harus menanggapi ucapan Ara seperti apa, Julian seperti mati rasa. Dia takut kalau dia menjawab, Ara akan tersinggung dengan ucapannya lagi. Bagi Julian saat ini anak bukan suatu hal yang penting, dia mau sama Ara aja. Dia mau rumah tangga nya utuh selamanya meski tanpa anak, Julian benar-benar tidak keberatan jika Ara tetap memutuskan untuk tidak memiliki anak.

“Jul?” panggil Ara, dia merenggangkan pelukannya dan natap Julian yang kelihatan bingung itu. “Setelah aku pikir-pikir, aku masih berharap bisa punya anak. Aku masih mau di panggil Bunda dan ngurus anak kita sama-sama.”

Ara mau ngutarain semua isi hatinya, termasuk keputusan gegabahnya kemarin soal dia yang menolak buat hamil lagi. Ara mau memperbaiki semuanya, dia gak mau nyembunyiin perasaanya lagi.

“Yang bikin aku keras dan gegabah buat mutusin gak mau ngandung anak kamu lagi karena aku sayang kamu, Jul. Muka kecewa kamu, muka sedih kamu waktu tau aku keguguran yang bikin aku ngerasa bersalah. Aku takut kalo aku hamil lagi, aku bakalan keguguran lagi atau aku yang bakalan susah punya anak. Aku takut, Jul..” Ara nangis lagi, nyeritain ini semua bikin dada dia sesak banget.

Waktu sendirian di hotel, Ara emang ngerasa dia punya trauma kecil karena keguguran kemarin. Mungkin setelah ini dia butuh konsul sama seorang psikiater buat ngebuang semua pemikiran negatif nya selama ini deh.

“Sayang, aku justru yang ngerasa bersalah sama kamu. Aku kaya cuma mikirin gimana caranya kita bisa punya anak tanpa mikirin perasaan kamu kemarin-kemarin, maafin aku udah egois.”

“Kalau pun kamu tetap memutuskan buat gak mau punya anak, aku gak masalah, Ra. Aku cuma mau kamu selamanya. Aku gak mau anak lagi—”

“Aku mau, Jul. Aku mauuu,” suara Ara terdengar seperti merengek di telinga Julian. “Aku mau punya anak, ayo kita punya anak, Jul.”

Ngeliat Ara yang nangis dan ngerengek kaya gini bikin Julian jadi gemas sendiri, dia terkekeh pelan dan ngusap air mata istrinya itu. “Kamu yakin?”

Ara ngangguk, “aku mau punya anak, anak laki-laki yang mirip kamu.”

“Kenapa harus mirip aku?”

“Kan kamu Bapaknya ihhh!!” Ara mukul dada Julian dengan gemas, tapi setelah itu dia peluk Suaminya itu lagi.

“Kita habisin waktu kita berdua dulu yah, sambil nanti kita pikirin lagi soal anak. Kamu gak keberatan kan?”

Ara mengangguk, gak masalah menurutnya. Sambil menunggu Ara hamil, mereka bisa lakuin banyak hal berdua. Mereka bisa ikut parenting class, bisa ngabisin waktu liburan berdua pokoknya apapun itu asal berdua sama Julian.