Kesebelas— Kerang?
Karena keadaan Ara belum membaik hari itu Julian langsung bawa Istrinya itu ke rumah sakit, Ara mengira tuh dia asam lambung karena makan nasi bebek yang dia pesan buat makan siang. Tapi jauh di luar dugaan nya ternyata alergi nya kambuh, padahal Ara sendiri gak ngerasa dia makan kerang, iya Ara tuh cuma punya alergi sama kerang makanya dia bisa langsung tau begitu dokter nya bilang kalau ini alergi.
Ara masih ada di ruang rawatnya, dia merhatiin infus nya sembari sesekali mengusap-usap perutnya. Sudah tidak mual, tapi rasanya masih sangat lemas. Sembari menunggu Julian mengurus administrasi nya, Ara mencoba mengingat-ingat apa saja yang ia makan. Dia yakin banget dia cuma makan 2 makanan hari ini. Pasta sama nasi bebek, dan sudah Ara pastikan sendiri enggak ada kerang di dalam kedua makanan itu.
“Kak?”
Sedang berusaha mengingat apa saja yang ia makan, pintu rawatnya terbuka. Ternyata itu Karina dan Reno. Tadi Reno memang sempat menjemput Karina di rumah Arial dan Gita begitu sudah selesai membawa Kakaknya itu ke rumah sakit. Rencana nya keduanya akan pulang ke Jakarta besok, tapi karena Ara sakit mereka jadi menunda nya.
“Ya ampun, Kak. Kok bisa gini sih?” Karina duduk di kursi samping ranjang Ara. Dia khawatir banget waktu Reno bilang Kakaknya itu muntah-muntah sampai harus di larikan ke rumah sakit.
“Kakak juga gak tau, Rin. Kakak tuh yakin banget enggak makan kerang.”
“Jadi karena kerang, Kak?” sahut Reno.
Ara hanya mengangguk. “Kata dokter gitu, bukan soal asam lambung Kakak kok.”
“Coba Kakak ingat-ingat deh, selain nasi bebek. Kakak makan apa lagi?” Karina yakin Kakak nya Reno itu pasti makan-makanan yang ada olahan kerangnya Cuma enggak sadar aja, di perjalanan Reno cerita kalo kakaknya itu sempat makan nasi bebek yang pedas bisa jadi asam lambung nya kambuh makanya Karina bisa tau.
“Kakak pagi memang sempat di kasih pasta saus mushroom tapi gak ada kerangnya kok, Rin. Kakak udah mastiin sendiri.” Ara emang sempat dapat pasta dari rekan kerja nya di sana, dan semua karyawan memakannya bersamaan. Ara yakin enggak ada toping seperti kerang di atasnya atau seafood lainnya.
Ara tuh beneran gak bisa makan semua jenis keras, mau sedikit pun tetap gak bisa efeknya bakalan sama. Muntah-muntah, gatal-gatal bahkan yang paling parah itu bisa sesak napas. Tapi untung nya kali ini dia cuma muntah-muntah aja, ya gak ada untung nya sih sebenarnya orang dia juga tetap harus rawat inap.
“Kayanya dari saus nya deh, Kak. Mungkin orang itu pakai campuran?” Karina menaikan satu alisnya.
Ara hanya menggeleng pelan, yang jelas dia menyesal banget udah makan pasta itu kalau akhirnya ia harus di rawat inap seperti ini. Tidak lama kemudian, pintu ruang rawat Ara terbuka. Julian masuk dengan raut wajah yang masih saja khawatir.
Julian tuh beneran khawatir banget sama Ara waktu Reno telfon dan bilang Istrinya itu muntah-muntah. Saking paniknya, Julian sampai meninggalkan mobilnya di kantor dan memilih pulang naik taksi. Dia gak mau bawa mobil kalau keadaanya sedang panik, Ara juga sering memperingatkan hal ini padannya.
“Maafin aku ya, Bang.” cicit Ara pelan waktu Julian duduk di sebelah ranjangnya, Karina sudah berpindah duduk di sofa bersama Reno.
Liat wajah khawatir Julian dan gimana Suaminya itu panik, Ara jadi enggak enak banget rasanya. Dia udah ganggu pekerjaan Suaminya, Ara cuma takut kalau Julian banyak izin kaya gini dia bisa dapat teguran dari atasannya. Mengingat posisi Julian di kantor itu lumayan penting.
“Gapapa, Sayang. Masih lemas ya?” sepanjang membawa Ara ke rumah sakit, pikiran Julian selalu teringat sama kata-kata Liliana kalau sakit nya Ara ini bukan karna kebetulan. Liliana bahaya, dia sudah membahayakan Ara kalau begini caranya. Dan Julian harus memikirkan cara untuk menghentikan Liliana sekaligus menjaga Ara.
“Lemas dikit, tapi gapapa kok. Pusingnya juga udah hilang.”
Julian mengangguk, “aku gak izinin kamu makan-makanan dari orang lain. Kecuali keluarga kita sendiri yang masak. Mulai sekarang bawa makanan dari rumah aja, aku gak masalah kalau kamu capek masak, Kita pekerjain orang buat masak di rumah.”
“Semua orang di klinik makan pasta itu kok, Bang. Tapi aku gak tau kalau—”
“Aku cuma gak mau kamu kenapa-kenapa, kalo perlu kamu tolak aja makanan dari orang lain.” Julian jadi paranoid sendiri rasanya, hatinya belum tenang kalau dia belum bisa menghentikan Liliana.
Ara enggak jawab apa-apa lagi, dia cuma mengangguk aja sebagai jawaban. Dia paham kok Julian khawatir dan cuma gak mau dia kenapa-kenapa, malamnya Julian sempat pulang sebentar buat ganti baju dan ambil barang-barang yang Ara titipin. Ara di jagain Reno dan Karina, setelah Julian sampai barulah Reno dan Karina pulang.
Julian mau jagain Ara sendiri, kondisi Ara waktu Julian kembali dari rumah juga udah lebih baik. Istrinya itu sudah bisa makan seperti biasanya dan udah enggak lemas lagi.
“Mau itu, Bang.” Ara nunjuk apel yang ada di nakasnya. Julian yang liat tingkah Istrinya itu cuma senyum aja, dia senang kalau Ara makannya udah mulai banyak.
“Aku kupasin dulu ya.” Julian ambil apel itu dan dia kupas, sementara Ara asik liatin Julian ngupasin apel buat dia.
“Aku jadi kepikiran klien terakhir aku deh, Bang. Maksudnya yang konsul sama aku tadi itu sebelum aku pulang.” Ara emang agak kepikiran sama Bella, apalagi waktu Bella bilang Mama nya itu sering bersikap kasar sama dia akhir-akhir ini.
“Kenapa?” sembari mengupas apel di tangannya, Julian menyimak cerita Ara. Dia memang belum cerita tentang pekerjaan nya hari ini.
“Iya, dia cerita ke aku, Mama nya suka kasar ke dia akhir-akhir ini. Ya aku juga gak paham sih Mama nya ini mungkin lagi ada masalah sama partner nya mungkin dan itu berdampak banget ke cara dia mengelola emosinya sampai-sampai si anak ini sering dapat perlakuan kasar.”
“Sama Suaminya?” tebak Julian.
Ara menggeleng, “pacarnya maybe?” Ara sedikit memelankan suaranya. “Pengasuhnya bilang kalau anak ini Papa nya udah gak ada.”
“Pengasuhnya yang antar dia terapi? Bukan orang tua nya?” Julian cuma heran aja, karna kebanyakan psikolog anak itu harus berkomunikasi langsung dengan orang tua si anak untuk mendiskusikan perihal anaknya.
“Iya, makanya aku susah buat ngasih tau hal ini sama orang tua nya. Aku prihatin sih, anaknya ini cantik banget, pintar. Dia cuma butuh sosok Papa nya, dia selalu banyak cerita soal Papa nya ke aku.”
Mendengar cerita Istrinya itu, rasanya membuat Julian merasa de javu. Seperti ceritanya Bella dan bagaimana Liliana bersikap kasar sama Bella, bahkan di depannya saat Bella kerap kali tidak menurut.
Pagi ini Liliana terbangun setelah ponsel di sebelahnya itu bergetar, ternyata ada balasan dari senior nya itu. Semalem ia memang sempat mengirimi Julian pesan dan mengatakan mereka harus bertemu untuk membicarakan tentang kesepakatan mereka.
Liliana sudah bulat, dia ingin membahagiakan Bella meski dia harus membuat wanita lain sakit. Katakan Liliana jahat, ia hanya ingin anaknya bahagia saja. Ia tidak ingin jujur tentang kebohongannya pada Bella dengan mengatakan bahwa Papa nya sudah lama meninggal.
Liliana tidak sampai hati mengatakan itu dan di benci oleh Bella karena sudah membohonginya. Setelah membalas pesan itu dan mengatakan tempat mereka bertemu, Liliana keluar dari kamarnya. Ternyata Bi Narsih sudah datang dan sedang memakaikan baju Bella.
“Pagi, Bi.” sapa Liliana pada Bi Narsih.
“Pagi, Buk.”
Liliana sempat menuang air di gelasnya dan meminumnya, dia memperhatikan Bella yang kembali menggambar setelah Bi Narsih selesai memakaikannya baju.
“Buk, Bibi mau menyampaikan pesan dari psikolognya Bella tentang Non Bella, Buk.”
“Oh iya, duduk disini aja, Bi.” Liliana menarik kursi di sebelahnya agar Bi Narsih bisa duduk.
“Jadi gini, Buk. Psikolognya Non Bella cuma bilang ke Bibi kemungkinan sikap Bella yang sering marah akhir-akhir ini bisa jadi di pengaruhi sama suasana rumah yang lagi enggak kondusif. Psikolognya Non Bella juga bilang kalau ingin bertemu sama Ibu dan menjelaskannya secara langsung,” jelas Bi Narsih
Liliana mengangguk-anggukan kepalanya, dia memang sengaja gak mau datang ke klinik tempat Bella terapi. Dia tau Ara bekerja di sana, dan secara kebetulan Ara yang menangani Bella. Tuh kan, semesta saja seperti mendukung Liliana, pikirnya.
“Saya belum bisa datang, Bi. Tapi bisa Bibi bilang sesuatu ke psikolognya Bella?” ucap Liliana dengan seringaian di bibirnya, Bi Narsih saja sampai bingung karna Liliana tidak seperti biasanya.
“Apa, Buk?”
“Tolong bilang ke Mbak Ara, kalau yang Bella butuhkan hanya seorang Papa.”