empatangka

tw // mention of death , mention of bullying , mention of violence

Sudah pukul setengah satu malam. Kediaman Atharwa sunyi karena beberapa anggota sudah tidur. Nakula dan Arjuna duduk di depan rumah, ditemani dua cangkir kopi dan satu bungkus rokok milik Nakula. Juna tidak merokok dan biasanya tidak mau berdekatan dengan Nakula jika pemuda itu sedang merokok.

Setiap hari Nakula akan merokok di luar, karena Arjuna tidak mau ada bau nikotin di dalam rumah. Cuman hari ini tiba-tiba Juna keluar rumah sambil membawa dua cangkir kopi. Nakul sudah hampir memadamkan rokoknya, tapi Juna melarang. Katanya lanjut saja, dia tidak apa-apa.

Arjuna sebenarnya bukan tidak bisa merokok. Dia hanya tidak suka karena tiap kali melihat asap lalu mencium aroma nikotin pasti membuatnya ingat tentang api yang dulu membakar habis rumahnya. Api yang menewaskan kedua orang tuanya diduga berasal dari puntung rokok yang dibuang sembarangan.

“Kak? Kenapa?”

Suara Nakula membuyarkan lamunan Juna.

“Nggak apa-apa.”

Nakula memadamkan api rokok. Ia tahu, pasti orang yang lebih tua darinya itu termenung karena rokok ini. Nakula menyimpan kotak berisi gulungan nikotin itu ke dalam saku agar pikiran Arjuna tidak kemana-mana.

Diantara anggota yang lain, Arjuna paling percaya pada Nakula. Selain karena Nakula anggota pertama dan bisa diandalkan, anak itu juga yang paling mengerti keadaan orang-orang yang berada di sekitarnya. Walaupun Nakula selalu memancing emosi diantara para anggota, tapi dia juga yang paling dekat dengan yang lain. Semua rahasia para anggota mungkin juga ada di tangannya. Termasuk Arjuna.

Tidak ada yang Arjuna tutupi dari Nakula. Sebaliknya pun begitu, Nakula tidak pernah menutupi apapun dari Juna.

“Kakak mau cerita soal apa?”

Nakula pun sudah hapal kebiasaan Arjuna. Kakaknya itu akan membuat kopi untuk dinikmati selama bercerita. Biasanya juga ada roti, tapi mungkin mereka sudah tidak punya persediaan roti lagi.

Juna mengibaskan tangannya di depan wajah, berusaha membuat sisa asap rokok menjauhi penciumannya. Selanjutnya dia fokus pada Nakula.

“Tadi kakak nggak marahin Jupiter.”

Nakula mengangguk sekilas setelah paham arah obrolan yang dimulai Juna. “Terus gimana?”

“Sebenarnya ada yang mau kakak bilang ke dia, cuman tadi situasinya nggak mendukung. Jadi rencananya malam ini kakak mau ngasih nasehat, tapi dia udah tidur duluan pas kakak pulang.”

Nakula bergumam, “hmm, gitu. Tadi Jupiter sempat bilang mau curhat, tapi pas gua pulang dia udah tidur.”

“Mungkin dia salah paham sama kakak. Tapi maksud kakak tentang dia yang beda dengan Brian itu artinya dia anak baik.”

Nakula mengangkat gelas kopi miliknya. Dia tiup-tiup sebelum diseruput sedikit.

“Kakak juga udah denger dari Brian, katanya murid yang barangnya dicuri Jupiter itu memang nggak suka dengan Jupiter. Ada kemungkinan Jupiter memang dituduh mencuri.”

Nakula hendak merespon ucapn Juna, tapi tiba-tiba Brian—orang yang sedang dibicarakan—muncul. Berjalan melewati jalanan redup cahaya sambil menggumamkan lagu yang tadi diputar angkutan umum yang dia naiki.

“Eh, ada apa nih? Tumben banget aku ditungguin pulang.” ucapnya heran setelah tiba di depan rumah.

“Kenapa baru pulang?” Juna bertanya lebih dulu.

Brian keliatan gelagapan, tapi dia langsung tertawa dan menggaruk kepalanya. “Anu, tadi ada macet terus angkotnya mogok.”

Nakula mendengus, “alasan. Marahin kak, dia main kelamaan sama temennya, tuh.”

Brian mendelik ke arah Nakul yang tersenyum mengejek lalu kembali melihat ke arah Juna. “Nggak ada kak, serius tadi emang angkotnya mogok.”

“Bohong! Padahal kan bisa ganti angkot. Pasti karena kemaleman makanya nggak ada angkot lain, kan?” Nakula berucap semangat sambil menunjuk lurus ke arah Brian.

'Mampus lu! Makanya lain kali beliin gua pop ice.'

“Apaan, sih? Kak Juna belum ngomong apa-apa, tapi lo udah nyaut aja kaya burung beo.” Brian berjalan mendekat. Dia tepis tangan Nakula yang menunjuknya lalu menarik kerah pemuda itu.

“Kak! Kak! Liat, nih! Kalau marah tandanya gua emang bener!” Nakula meninggikan suaranya.

Arjuna tertawa, “udah, nggak apa-apa, Brian. Sana masuk ke dalam terus mandi, tidur. Besok hari terakhir nggak ke sekolah, kan? Jangan pulang kemaleman lagi.”

Cengkraman di kerah Nakula dilepas kasar. “Huh! Awas lu.” Brian berjalan cepat untuk masuk ke dalam rumah.

Nakula tertawa sembari merapikan kerah bajunya yang berantakan. “Jadi, tadi gimana kak? Anak yang barangnya dicuri memang sengaja mau nuduh Jupiter?”

“Iya. Kalau ada bukti mungkin pihak sekolah mau memproses mereka terus catatan kasus Jupiter bisa dihapus.”

“Anjing, tu anak masih SMA udah banyak tingkah.” Nakula merasa dadanya bergemuruh. Sebenarnya dia sudah marah sejak dengar pengakuan Jupiter, tapi karena belum jelas siapa yang bohong jadi Nakula diam saja.

“Tapi lo jangan ikut campur, Na. Ini urusan Jupiter sama temen-temennya.” Juna meminum kopinya yang sudah mulai dingin. “Kakak denger dari Brian, anak-anak berandal di sekolah banyak yang nggak suka sama mereka. Tahu kenapa?”

“Kenapa?”

“Karena lo.”

“Lah? Kok gitu?”

Arjuna mengidikan bahu, “pikir aja sendiri kenapa pengaruh lo disini malah bikin Brian sama Jupiter kesusahan di sekolah.”

Nakula terdiam. Kalau tidak salah ingat memang ada beberapa orang yang tidak suka dengannya. Tapi kebanyakan mereka adalah preman yang sekarang sudah tidak bisa lagi memalak di pasar. Apa mungkin anak-anak dari preman itu menganggap Nakula sebagai penutup jalan uang di keluarga mereka?

Nakula melirik ke arah Juna, “gara-gara gua pernah mukulin anggota keluarga mereka, kah?”

“Mungkin. Tapi bisa juga karena lo kuat jadi mereka nggak punya nyali buat cari masalah dengan tu anak berdua. Anak-anak yang lagi masa puber kaya mereka biasanya punya ego yang tinggi. Pasti ada yang ngerasa posisi jagoannya keganggu karena ada Jupiter dan Brian.”

“Bocah banget kalau cuman gara-gara itu.”

Juna mengangguk, “atau bisa juga karena nilai. Yandra bilang, nilai Brian selalu bagus di sekolah. Orang tua kadang juga ada yang terlalu memaksa anaknya buat belajar biar dapat ranking bagus, tapi kalau ada anak yang lebih pinter malah bakal jadi penghambat buat anak itu, kan.”

Nakula mengerutkan dahi. Dia tidak paham kenapa bisa ada yang seperti itu karena dulu orang tuanya tidak pernah memaksa soal nilai.

“Nggak ada orang yang seneng kalau ngeliat rival sendiri jauh lebih unggul. Apalagi kalau ada konsekuensi tiap mereka kalah saing.”

“Jadi, intinya mereka iri?”

“Iya. Memang sekarang adik-adik kita cuman diskors, mungkin kedepannya bisa sampai di-drop out.”

tw // violence , blood , kidnapping

Nakula memindahkan tang yang berada di saku depan ke belakang karena benda itu mengganggu pergerakan kakinya. Dia melangkah pelan melewati beberapa preman yang sekiranya ada hubungan dengan Gentala. Topi jaket dia rapatkan guna menutup sebagian wajah. Bukannya sombong, tapi Nakula memang lumayan terkenal.

Dia coba mengingat-ingat dimana posisi markas Gentala. Harusnya sih sebentar lagi sampai, jadi dia berlari kecil melewati belakang pertokoan. Kakinya melangkah masuk ke wilayah gelap, perlahan sebab tanah yang basah. Ketika matanya menangkap tiga sosok pria yang bersantai di belakang sebuah ruko, dia langsung menghampiri.

“Kalian Gentala?” Nakula bertanya, tangan dia masukkan ke dalam saku celana.

Tiga orang tadi menoleh, salah satu dari mereka membuang rokok yang tinggal sedikit. Dia berludah sekali sebelum bergerak maju menghadap Nakula.

“Kalau iya kenapa?” Dagu pria itu naik, memberi kesan menantang.

Duagh.

Satu tonjokkan mendarat di hidung si pria, Nakula sebagai pelaku kembali mendaratkan pukulan pada rahang. Pria tadi terhuyung ke belakang, dia meringis lalu mengambil langkah mundur sambil membiarkan teman-temannya maju.

Pria kedua melayangkan tinju, namun dihindari Nakula. Dia balas pukulan tadi ke arah perut bagian dada lawannya, tepat mengenai tulang rusuk. Nakula mencengkram pundak si lawan sambil berkali-kali hantam bagian rusuk. Pria satu lagi menendang pundak Nakula, membuat pemuda itu terdorong mundur.

Nakula membenarkan posisinya. Dia mengepal dua tangan di depan wajah. Matanya menatap lurus bersiap mematahkan serangan yang akan dilakukan dua lawan di depan sana.

Perkelahian tidak berlangsung lama. Ketiganya terkapar dengan nafas yang memburu serta nyeri di bagian tubuh tertentu. Nakula berjalan ke arah salah satu pria, menarik kerahnya sampai badan itu terangkat dan bersandar di tembok ruko. Dia keluarkan tang dari dalam saku. Nakula buat si pria mendongak.

“Kita buat kesepakatan. Gua nanya terus lo jawab. Kalau pertanyaan gua nggak dijawab gigi lo gua cabut.” Nakula mengarahkan tang ke arah bibir lawannya, tang itu segera ditahan oleh si pria.

“J-jangan.”

Tangan tadi ia tepis lalu menginjaknya hingga terhimpit di antara tembok dan tapak sepatu. Pria itu meringis kuat, selanjutnya mengangguk cepat sambil memegangi lengan Nakula yang masih menjambak rambutnya.

“Lo liat anak SMA yang jalan di sekitar sini? Dia bawa tas punggung, make jaket warna hijau gelap.”

Nafas si pria tercekat saat merasa kulit kepalanya semakin ditarik. “Banyak anak SMA yang lewat wilayah sini, terus yang make jaket hijau gelap juga bukan satu orang.”

Nakula menggeram, “ada lebam di wajahnya. Kulit anak itu kecokelatan terus dia pernah dikejar salah satu anggota kalian. Masa nggak tahu?” ucapnya menggebu sambil kembali menginjak lengan si pria.

“Arrhk! T-tidak! Tidak tahu.”

Tangan Nakula bergerak cepat, dia menjebit bibir bagian bawah si pria dengan tang. Menghasilkan jeritan keras dibarengi air mata yang menetes perlahan dari pelupuk korbannya. Dua pria di belakang berdiri, mereka lari terbirit-birit sambil merapal beberapa kata.

“Itu Nakula! Itu Nakula!”

“Bangsat! Kenapa tadi mukanya nggak keliatan?”

Nakula berhenti menjepit bibir pria tadi. Matanya pura-pura menatap iba, “sakit?”

Si pria mengangguk, “iya, ampun ampunn.”

“Jawab dulu! Lo lihat dia apa nggak?”

Hampir saja tang tadi menjepit lagi, namun si pria segera berkata,

“Nama!” Gerakan Nakula terhenti.

“Mungkin kalau aku tahu namanya, aku bisa jawab.”

Diam sejenak, Nakula coba mengingat siapa nama anak yang sedang dia cari. Seingat dia ada huruf O di belakang nama orang itu.

“O.”

Dahi si pria berkerut, “o?” beonya.

“Gue nggak inget. Yang jelas ada o di namanya.” Nakula berucap sensi, berniat mendaratkan pukulan.

“Tunggu! Namanya Deo? Iya, kan? Namanya Deo?” Si pria menjawab cepat, nafasnya memburu seiring jantung yang terus berdebar.

“Ah, iya betul. Dimana Deo?”


Deo merasa dunianya berputar. Kepala yang tergolek lemah dia paksa mendongak, mata dia buka perlahan. Tidak terlalu sulit karena pencahayaan ruangan yang minim. Butuh waktu dua menit sampai Deo sadar bahwa tangan dan kakinya terlilit lakban.

“Hah?”

Untungnya mulut tidak ditutup apapun. Dia bergeliat bagai ulat hingga terjatuh dari kursi. Tubuhnya benar-benar disegel. Bahkan di setiap pergerakan terasa perih karena dililit terlalu kuat. Nafas Deo memburu seiring keringat bercucur deras dari seluruh pori-porinya. Dia panik. Mata melirik liar ke seluruh penjuru ruang. Dari yang Deo tangkap, ini adalah kamar mandi.

Ada bak besar yang terisi air, ruangannya juga luas dengan beberapa keran menempel di dinding, seperti pemandian umum. Dia berputar ke arah pintu, sangat pelan karena setiap putaran seolah mampu mengeluarkan seluruh isi perut. Saat jarak tubuh dengan pintu keluar semakin tipis, tiba-tiba saja daun pintu terbuka. Menampilkan sosok pria tinggi yang menyeramkan.

Deo menatap ngeri pada orang disana. Ada bekas luka di alis juga lehernya dipenuhi tato. Mata tajam si pria langsung menatap Deo. Ia menyipit sembari mengeluarkan tangan dari dalam saku. Jantung Deo berdebar kencang seolah protes ingin keluar dari rongga dada ketika pria itu mendekat. Si pria berjongkok, dia menyisir helaian rambut yang menutupi telinga Deo.

“Kau dari grup mana?”

Pertanyaan tidak langsung dijawab sebab Deo tidak tahu harus menjawab apa. Itu pertanyaan serupa dengan yang pernah dilontarkan Jupiter. Ia berpikir sesingkat mungkin, tidak mau pria di depan sana malah mengamuk dan berakhir dipukuli.

“Aku tidak punya.”

“Hm?”

Plak.

Satu tamparan mendarat di pipi. “Yang benar?”

“B-benar.”

“Nggak usah bohong!” Kali ini tangan si pria menarik kerah jaket Deo. Ia seret anak itu hingga di tepi bak air, lalu membuat tubuh Deo duduk.

“Aku tidak bohong. Aku baru saja kabur dar—”

Belum usai kalimat terucap, kepala Deo sudah dibenamkan ke dalam air. Gelembung air bergerak cepat seiring oksigen yang terus keluar dari mulut dan hidung Deo. Si pelaku tidak  berekspresi, dia tetap menekan kepala korbannya di dalam sana.

“Jaga-jaga kalau kau lupa ingatan.” ucapnya setelah melepas kepala Deo. Dia biarkan si sandera kembali tergolek di atas lantai, kali ini dengan nafas yang semakin memburu. Kerah jaket Deo kembali ditarik. “Jadi kau dari grup mana?”

Deo menggeleng lemah.

Plak.

Tamparan kembali mendarat. Lebih kuat dari sebelumnya hingga mampu membuat tubuh Deo terbanting ke atas lantai.

“Jangan bohong!” Pria tadi berucap lebih keras.

Dia berdiri sambil menarik rambut Deo, menyeret anak itu sampai ke pintu keluar. Diabaikannya suara ringisan dan permohonan ampun dari Deo.

“Ampun, Tuan. Aku tidak bohong, aku bukan anggota grup manapun.”

“Bohong! Kau keluar dari wilayah Atharwa, bahkan sampai ditolong Nakula.”

Air mata kembali mengalir dari pelupuk Deo, ada rasa menyesal karena sudah kabur dari rumah. Jika sudah begini, rasanya ayah yang mengamuk jadi terasa lebih baik daripada amukan orang asing yang tengah menyeretnya. Ia pasrahkan beberapa helai rambut tercabut oleh tangan kasar si pria. Selanjutnya tubuh Deo dibiarkan di atas lantai semen yang tidak rata.


“Yakin disini?” Nakula melirik curiga pada pria yang menuntun jalan.

Si pria menatap ngeri sebelum mengangguk cepat, “benar disana.”

Yang lebih muda tersenyum, menarik kerah pria yang sejak tadi ia cengkram. Nakula membawa pria itu melangkah bersama, masuk ke dalam gym kosong yang sudah tua.

“Kalau Deo nggak ada disini, mata lo gua bikin buta ya.”

Sambil menahan rasa ngeri, pria itu mengangguk. “Aku berani sumpah.”

“Gaya bener, emang bayaran sumpah lo apaan?”

“Apa aja.”

“Nyawa mau?”

“N, nggak.”

Nakula berdecak, “tadi katanya apa saja. Omdo ahh.”

“ARRRKKHHH!!!”

Langkah dua orang tadi terhenti. Suara teriakan itu berasal dari sisi terdalam gym. Nakula mendorong pria tadi, dia yakin sekali itu Deo. Pria tadi langsung berlari pergi setelah cengkraman di kerah terlepas. Nakula sempat menggeram dan hendak mengejar, namun sudut matanya menangkap sesuatu.

Beberapa preman lain berada di depan salah satu ruangan. Dua orang berjongkok sambil memainkan kartu, tidak lupa batang rokok yang diapit di mulut. Salah satu dari mereka berdiri, dia terlihat paling kuat. Rokok dibuang ke arah lantai lalu diinjak. Langkah kaki belasan orang terdengar kemudian, dalam waktu sepuluh detik Nakula sudah dikepung.

“Nakula, Nakula.”

Yang dipanggil tidak merespon. Dia sudah menebak kalau tiga orang di belakang ruko tadi cuman jebakan. Mana ada Gentala yang langsung mengaku saat ditanya.

“Lo masih ingat sama luka yang ini?” Pria di depan melangkah maju sembari menunjuk wajahnya. Terdapat bekas luka memanjang dari pelipis hingga pipi.

Nakula memasukkan tangan ke dalam saku celana. Menggedikkan bahu sekilas sebelum berkata, “nggak tuh, emang kita pernah ketemu?”

Jawaban tersebut mendapat respon tawa melengking. Rasa jijik dan dongkol menggerogoti dada si pria. Dia berdecak keras, “ck! bajingan busuk!”

Satu orang di belakang Nakula melayangkan pukulan dengan tongkat bisbol. Untung dapat dihindari karena sang target langsung sadar sebab mendengar deru nafas memburu dari arah belakang. Nakula menarik lengan pemuda itu untuk menyikut bagian ulu hati.

Serangan pertama tadi seolah aba-aba mulai dalam pertandingan. Belasan preman yang ada disana berlomba-lomba menyerang Nakula. Pemimpin mareka menggeram kesal karena bukannya nampak kewalahan, Nakula malah menikmati pertarungan yang berlangsung.

Tongkat bisbol yang Nakula rebut di awal tadi mulai berlumuran darah. Dia tidak segan bila harus mematahkan tulang dan gigi lawan. Kalau bisa mereka tidak bisa menjadi preman lagi setelah m bertarung dengannya.

“Segini doang?” Nakula tertawa. Belasan orang tadi sudah terkapar di lantai gym. Dia melirik ke arah pemuda yang masih bergerak sambil merintih pelan. Nakula berjalan mendekat lalu menginjak perut anak itu.

“Akhh..”

Nakula merunduk dengan tatapan seram miliknya. Dia tersenyum lebar menikmati wajah tersiksa di bawah sana. Selanjutnya dia lanjut melangkah guna mendekati pria yang sekiranya pemimpin dari kelompok barusan.

“Mau langsung ngasih Deo ke gue atau mau main-main dulu?”

“Ngomong apa sih? Disini nggak ada yang namanya Deo.” Pria itu tersenyum dengan ekspresi yang menurut Nakula sangat menyebalkan.

Tongkat bisbol yang kotor itu ditodongkan. “Gue nggak bodoh ya, anjing! Kasih tahu dimana Deo atau besok lo nggak bisa ngeliat muka adek lo lagi?”

Ekspresi pria di depan sana mengeras setelah mendengar kata 'adek'. Memancing senyum tipis terukir di sudut bibir Nakula.

tw // violence , blood , mention of abusive parent , mention of murder


Sudah lewat tengah malam, tapi Deo masih tidak ada niat mencari tempat tinggal walaupun uang yang ada di dalam tas sangat cukup untuk menyewa satu kontrakan. Dia memperbaiki posisi gendongan pada tas, lalu mengancingkan jaket sampai atas. Suhu malam ini lebih dingin dari sebelumnya.

Pemuda itu melangkah pelan melewati jalan berbatu. Ditemani langit tanpa bintang dan cahaya redup dari lampu jalan dan teras rumah warga. Tangan ia masukkan ke dalam saku jaket, mencari kehangatan di dalam sana.

Siang tadi dia hampir dirampok, sorenya nyaris dicopet, dan tidak ada yang bisa jamin barang-barangnya tidak hilang jika dia tidur. Mata yang mengantuk Deo kerjap beberapa kali, kepalanya pusing.

Saat tiba di jalan setapak minim rumah warga, suara bising mesin motor terdengar dari belakang. Cahaya terang dengan cepat mendekat. Insting Deo berteriak panik, meminta sang empu segera berlari. Namun belum sempat kaki melangkah, sebuah benda tumpul sudah lebih dulu menghantam tengkuknya.

Yuhuu! Kena!”

Sorak-sorakkan dari tiga motor tersebut terdengar. Deo menyentuh tengkuk yang terasa sakit. Pukulan tadi harusnya mampu membuat ia tumbang, namun karena pukulan ayah berkali-kali lipat lebih sakit, jadi Deo mampu bertahan.

Dia menatap tajam tiga motor yang sudah memutar arah, melaju ke tempatnya. Terlihat ada enam orang, yang duduk di kursi belakang membawa satu balok kayu. Pantas saja tidak terlalu sakit, Deo biasanya dipukul dengan tongkat besi.

Perlahan orang-orang tadi membuat satu baris, tiga orang yang duduk di belakang memposisikan balok kayu untuk memukul. Deo merampas satu balok lalu mengaitkan benda itu pada sela-sela roda. Membuat satu motor terbalik dengan pengendara yang terseret.

Untuk motor kedua, dia melayangkan satu tendangan tepat di kepala pengendara yang tidak memakai helmet. Motornya oleng, diikuti motor di belakang yang juga kehilangan fokus. Deo segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Berlari ke tempat yang bangunannya lebih rapat.

Kakinya dipacu semakin cepat saat indera pendengar menangkap suara motor. Detak jantung Deo ikut terpacu. Tidak pernah dia berpikir hidupnya bisa seperti sekarang. Semuanya berantakan. Andai saja dia tidak kabur, mungkin dia hanya perlu menghindari amukan sang ayah. Tidak perlu berlari kesana kemari sambil membawa tas punggung yang berat.

“Bodoh! Buat apa ngeluh?” Deo bergumam sendiri.

Mengambil langkah cepat memasuki lorong berupa celah antar dua restauran. Dia berhenti lari karena lampu belakang restauran yang masih menyala, kemungkinan ada orang di dalam. Deo mengatur nafas sambil bersandar di dinding, lututnya terasa mau lepas dan betisnya menegang kuat.

Tanpa sepengetahuan Deo, dua motor tadi berhenti. Mereka seolah dihalangi sesuatu hingga tidak bisa masuk ke dalam kawasan penjual makanan.

“Gimana, nih? Dia masuk ke wilayah Atharwa.” satu diantara mereka berucap.

Yang lainnya menggeleng, kecuali satu orang.

“Ngapain takut? Udah tengah malam gini anak-anak Atharwa pasti lagi tidur.” Dia hendak melajukan motor, namun orang yang duduk di belakangnya menahan.

“Nggak, jangan! Gua nggak mau ikut.”

“Pengecut.” Pria itu pun turun. Dia menyerahkan kendali motor pada lelaki di belakangnya. “Kalian tunggu disini. Gua yang bakal habisin si tikus.”


Deo masih sibuk mengatur nafas. Dia lepas tas yang berada di punggung, membiarkannya tergeletak di atas tanah. Tubuh pemuda itu merosot pelan, terduduk. Pandangannya semakin tidak fokus seiring nafas yang perlahan teratur. Deo nyaris saja tertidur jika tidak mendengar suara langkah kaki mendekat.

Dia segera mengambil posisi berdiri, berjalan mundur saat mendapati seorang lelaki berjalan sambil memegang balok. Orang itu tertawa seolah menikmati ekspresi lelah yang ditunjukkan mangsanya. Selanjutnya Deo menarik nafas dalam, mencoba memfokuskan seluruh indera.

Si pria yang lehih dulu meluncurkan serangan. Dia ayunkan balok kayu ke arah kepala Deo. Dengan cepat si sasaran menangkis balok dengan lengannya. Setelah itu Deo meluncurkan tendangan lurus tepat di ulu hati si pria. Harusnya serangan itu mampu membuat lawan tumbang, namun karena tenaga Deo yang tinggal sedikit membuat damage serangannya berkurang.

Deo kembali melayangkan tendangan. Kali ini dengan gerakan memutar agar tenaga serangannya bertambah. Sial sekali, karena pandangan Deo yang tidak fokus membuat lawannya dengan mudah mengelak. Pukulan balok mengenai lengan kirinya yang sedang menangkis, pukulan semakin bertubi-tubi saat si lawan tahu Deo semakin terpojok ke arah dinding.

Pintu belakang restauran terbuka, menampilkan sosok Nakula yang menenteng kantong berisi sampah. Lelaki itu sempat kaget dengan pemandangan di depan sana, namun selanjutnya dia kembali menutup pintu. Tidak terlalu rapat, karena mau memantau perkelahian.

Sesekali Nakula berdecak kagum dengan gerakan Deo yang nampak indah. Namun dia tahu anak itu tidak bisa menang sebab sudah kehabisan tenaga. Dia bahkan terhuyung saat tidak sengaja menginjak kaleng soda, memudahkan lawan untuk menghantam wajahnya. Mata yang mengintip disipitkan saat punggung pria pembawa balok berhadapan langsung dengannya.

Logo di jaket itu...

...bangsat.

Nakula menggeram lalu meraih palu yang tergantung di samping pintu. Dia biarkan kantong sampah tergeletak di atas lantai. Selanjutnya berjalan cepat guna menghantam kepala pria tadi dari samping. Orang yang dipukul segera menjaga jarak, memegangi bagian kepalanya yang berdarah. Nakula menggenggam erat gagang palu.

“Nakula?” Si pria langsung pucat pasi. Orang yang paling dihindari oleh kelompoknya malah muncul di depan mata.

Nakula si kejam. Kabar beredar dari mulut ke mulut, katanya pemuda pemilik senyum manis itu nyaris tidak mempunyai hati. Oh, bukan nyaris, tapi memang tidak punya hati.

“Gua paling nggak suka kalau ada grup lain yang masuk ke wilayah kami tanpa izin. Apalagi sampai bikin rusuh.” Palu tadi diangkat, ditodongkan ke wajah pria di depan sana.

Deo perlahan bangkit sambil memegangi rahangnya yang terasa ngilu. Memejamkan mata sebentar untuk menetralkan rasa sakit di kepala, lalu dikagetkan dengan suara keras yang dihasilkan dari pukulan Nakula. Suaranya seperti tulang patah.

“Arrghh!” Si pria berlutut dengan tangan yang memegangi lengan. Darah mulai bercucuran dari sana.

Deo terbelalak. Ternyata lelaki yang memakai seragam pelayan restauran ayam itu menggunakan sisi belakang palu untuk memukul. Satu pukulan kembali mendarat, kali ini menggunakan pegangan palu, tepat mengenai ubun-ubun si pria. Nakula mendengus melihat lawannya berlutut nyaris bersujud.

Dia berjongkok untuk menjambak rambut si pria. Menarik helaian itu kuat-kuat hingga membuat empunya mendongak.

Setelah satu geraman, dia berkata, “gua suka ngehajar muka orang, tapi muka lo udah hancur. Gimana dong? Tetep gua hajar nggak ya?” pertanyaan Nakul dilontarkan dengan nada mengejek yang begitu kentara. Tangannya sibuk memutar-mutar palu sebelum menghantam telak pada tulang pipi pria tersebut.

“Hehehe, tambah hancur, deh.”

Dia biarkan korbannya terkulai lemas. Pukulan di pipi tadi pasti sakit. Seharusnya pria itu pingsan. Untuk memastikan keadaan lawan, Nakula menginjak punggung pria itu dengan seluruh bobot tubuh bertumpu pada satu kaki.

“Aaarrgghh!”

“Hooo, pura-pura ya?” Dia berjongkok di punggung si pria. Sengaja menginjak-injak logo yang paling dia benci dengan tapak sepatu yang kotor. Tangannya menarik salah satu telinga lawan, mengarahkan bagian palu yang lancip disana.

“ARRGHHH!”

Luka menggores tepat di daun telinga. Nakula tertawa bersama erangan pria yang kini dia duduki.

Kaki Deo semakin lemas. Ditambah kini Nakula menyeret pemuda tadi, menjambak rambutnya guna dibenturkan ke dinding beton. Berkali-kali sampai pria itu tidak bersuara lagi. Setelah memastikan lawannya tidak sadarkan diri, dia melepas tubuh yang terkulai lemas.

Deo bergerak mundur saat Nakula menoleh ke arahnya. Lelaki itu mengulas senyum lebar, “maaf ya.” katanya.

“P-pembunuh.”

Deo menyesali ucapannya, karena kini senyum Nakula berganti dengan ekspresi menyeramkan seperti sebelumnya.

“Lo bilang apa?”