Kopi Tengah Malam
tw // mention of death , mention of bullying , mention of violence
Sudah pukul setengah satu malam. Kediaman Atharwa sunyi karena beberapa anggota sudah tidur. Nakula dan Arjuna duduk di depan rumah, ditemani dua cangkir kopi dan satu bungkus rokok milik Nakula. Juna tidak merokok dan biasanya tidak mau berdekatan dengan Nakula jika pemuda itu sedang merokok.
Setiap hari Nakula akan merokok di luar, karena Arjuna tidak mau ada bau nikotin di dalam rumah. Cuman hari ini tiba-tiba Juna keluar rumah sambil membawa dua cangkir kopi. Nakul sudah hampir memadamkan rokoknya, tapi Juna melarang. Katanya lanjut saja, dia tidak apa-apa.
Arjuna sebenarnya bukan tidak bisa merokok. Dia hanya tidak suka karena tiap kali melihat asap lalu mencium aroma nikotin pasti membuatnya ingat tentang api yang dulu membakar habis rumahnya. Api yang menewaskan kedua orang tuanya diduga berasal dari puntung rokok yang dibuang sembarangan.
“Kak? Kenapa?”
Suara Nakula membuyarkan lamunan Juna.
“Nggak apa-apa.”
Nakula memadamkan api rokok. Ia tahu, pasti orang yang lebih tua darinya itu termenung karena rokok ini. Nakula menyimpan kotak berisi gulungan nikotin itu ke dalam saku agar pikiran Arjuna tidak kemana-mana.
Diantara anggota yang lain, Arjuna paling percaya pada Nakula. Selain karena Nakula anggota pertama dan bisa diandalkan, anak itu juga yang paling mengerti keadaan orang-orang yang berada di sekitarnya. Walaupun Nakula selalu memancing emosi diantara para anggota, tapi dia juga yang paling dekat dengan yang lain. Semua rahasia para anggota mungkin juga ada di tangannya. Termasuk Arjuna.
Tidak ada yang Arjuna tutupi dari Nakula. Sebaliknya pun begitu, Nakula tidak pernah menutupi apapun dari Juna.
“Kakak mau cerita soal apa?”
Nakula pun sudah hapal kebiasaan Arjuna. Kakaknya itu akan membuat kopi untuk dinikmati selama bercerita. Biasanya juga ada roti, tapi mungkin mereka sudah tidak punya persediaan roti lagi.
Juna mengibaskan tangannya di depan wajah, berusaha membuat sisa asap rokok menjauhi penciumannya. Selanjutnya dia fokus pada Nakula.
“Tadi kakak nggak marahin Jupiter.”
Nakula mengangguk sekilas setelah paham arah obrolan yang dimulai Juna. “Terus gimana?”
“Sebenarnya ada yang mau kakak bilang ke dia, cuman tadi situasinya nggak mendukung. Jadi rencananya malam ini kakak mau ngasih nasehat, tapi dia udah tidur duluan pas kakak pulang.”
Nakula bergumam, “hmm, gitu. Tadi Jupiter sempat bilang mau curhat, tapi pas gua pulang dia udah tidur.”
“Mungkin dia salah paham sama kakak. Tapi maksud kakak tentang dia yang beda dengan Brian itu artinya dia anak baik.”
Nakula mengangkat gelas kopi miliknya. Dia tiup-tiup sebelum diseruput sedikit.
“Kakak juga udah denger dari Brian, katanya murid yang barangnya dicuri Jupiter itu memang nggak suka dengan Jupiter. Ada kemungkinan Jupiter memang dituduh mencuri.”
Nakula hendak merespon ucapn Juna, tapi tiba-tiba Brian—orang yang sedang dibicarakan—muncul. Berjalan melewati jalanan redup cahaya sambil menggumamkan lagu yang tadi diputar angkutan umum yang dia naiki.
“Eh, ada apa nih? Tumben banget aku ditungguin pulang.” ucapnya heran setelah tiba di depan rumah.
“Kenapa baru pulang?” Juna bertanya lebih dulu.
Brian keliatan gelagapan, tapi dia langsung tertawa dan menggaruk kepalanya. “Anu, tadi ada macet terus angkotnya mogok.”
Nakula mendengus, “alasan. Marahin kak, dia main kelamaan sama temennya, tuh.”
Brian mendelik ke arah Nakul yang tersenyum mengejek lalu kembali melihat ke arah Juna. “Nggak ada kak, serius tadi emang angkotnya mogok.”
“Bohong! Padahal kan bisa ganti angkot. Pasti karena kemaleman makanya nggak ada angkot lain, kan?” Nakula berucap semangat sambil menunjuk lurus ke arah Brian.
'Mampus lu! Makanya lain kali beliin gua pop ice.'
“Apaan, sih? Kak Juna belum ngomong apa-apa, tapi lo udah nyaut aja kaya burung beo.” Brian berjalan mendekat. Dia tepis tangan Nakula yang menunjuknya lalu menarik kerah pemuda itu.
“Kak! Kak! Liat, nih! Kalau marah tandanya gua emang bener!” Nakula meninggikan suaranya.
Arjuna tertawa, “udah, nggak apa-apa, Brian. Sana masuk ke dalam terus mandi, tidur. Besok hari terakhir nggak ke sekolah, kan? Jangan pulang kemaleman lagi.”
Cengkraman di kerah Nakula dilepas kasar. “Huh! Awas lu.” Brian berjalan cepat untuk masuk ke dalam rumah.
Nakula tertawa sembari merapikan kerah bajunya yang berantakan. “Jadi, tadi gimana kak? Anak yang barangnya dicuri memang sengaja mau nuduh Jupiter?”
“Iya. Kalau ada bukti mungkin pihak sekolah mau memproses mereka terus catatan kasus Jupiter bisa dihapus.”
“Anjing, tu anak masih SMA udah banyak tingkah.” Nakula merasa dadanya bergemuruh. Sebenarnya dia sudah marah sejak dengar pengakuan Jupiter, tapi karena belum jelas siapa yang bohong jadi Nakula diam saja.
“Tapi lo jangan ikut campur, Na. Ini urusan Jupiter sama temen-temennya.” Juna meminum kopinya yang sudah mulai dingin. “Kakak denger dari Brian, anak-anak berandal di sekolah banyak yang nggak suka sama mereka. Tahu kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena lo.”
“Lah? Kok gitu?”
Arjuna mengidikan bahu, “pikir aja sendiri kenapa pengaruh lo disini malah bikin Brian sama Jupiter kesusahan di sekolah.”
Nakula terdiam. Kalau tidak salah ingat memang ada beberapa orang yang tidak suka dengannya. Tapi kebanyakan mereka adalah preman yang sekarang sudah tidak bisa lagi memalak di pasar. Apa mungkin anak-anak dari preman itu menganggap Nakula sebagai penutup jalan uang di keluarga mereka?
Nakula melirik ke arah Juna, “gara-gara gua pernah mukulin anggota keluarga mereka, kah?”
“Mungkin. Tapi bisa juga karena lo kuat jadi mereka nggak punya nyali buat cari masalah dengan tu anak berdua. Anak-anak yang lagi masa puber kaya mereka biasanya punya ego yang tinggi. Pasti ada yang ngerasa posisi jagoannya keganggu karena ada Jupiter dan Brian.”
“Bocah banget kalau cuman gara-gara itu.”
Juna mengangguk, “atau bisa juga karena nilai. Yandra bilang, nilai Brian selalu bagus di sekolah. Orang tua kadang juga ada yang terlalu memaksa anaknya buat belajar biar dapat ranking bagus, tapi kalau ada anak yang lebih pinter malah bakal jadi penghambat buat anak itu, kan.”
Nakula mengerutkan dahi. Dia tidak paham kenapa bisa ada yang seperti itu karena dulu orang tuanya tidak pernah memaksa soal nilai.
“Nggak ada orang yang seneng kalau ngeliat rival sendiri jauh lebih unggul. Apalagi kalau ada konsekuensi tiap mereka kalah saing.”
“Jadi, intinya mereka iri?”
“Iya. Memang sekarang adik-adik kita cuman diskors, mungkin kedepannya bisa sampai di-drop out.”