Episode [1.1] Wedding Day H-1

Falling so madly in love with you is a tragedy. Nothing in my world will ever seem so beautiful again.— Michael Faudet

Giselle sudah lelah menunggu Karina, kini sudah hampir lewat tengah malam. Jamuan makan pernikahan Karina dengan pria yang bahkan ia tak ingin sebutkan namanya itu, mengapa begitu lama? Bukannya besok mereka juga bertemu lagi di resepsi? Giselle tidak bisa mengerti pikiran orang-orang kaya dan keinginan mereka untuk berkumpul-kumpul tidak penting.

Ia memutuskan untuk membeli kopi di kedai kopi sebelah gedung apartemennya. Kedai kopi itu sungguhlah penyelamat hidupnya. Mereka selalu buka 24 jam, cocok untuk manusia yang suka berburu kopi malam-malam sepertinya.

Barista yang berjaga malam kali ini tersenyum kepadanya. Pria ramah yang selalu tidak pernah absen untuk mengajaknya bicara setiap kali Giselle berkunjung. Bagaimana bisa pria itu terlihat begitu bahagia setiap saat? Pekerjaan penuh masalah yang ia lakukan tidak memungkinkan dirinya untuk selalu bahagia seperti itu.

Saat bahagianya hanya terjadi ketika makan siang, mengobrol dengan rekan jaksanya. Atau saat ia menemukan kopi yang pas dengan seleranya. Dan yang terakhir saat ia bersama dengan Karina, kekasihnya. Giselle jadi berangan-angan, apakah ia tetap bisa bahagia saat bersama Karina setelah kekacauan besok?

Giselle memasukkan pin pintu apartemennya setelah mendapatkan segelas Vanilla Latte. Karina bahkan belum menghubunginya sampai kini. Padahal ia berharap bisa menghabiskan waktu dengan Karina lebih lama. Betapa terkejutnya ia saat ia membuka pintu dan ada orang yang langsung mencium bibirnya. Gadis itu menahan leher Giselle dengan tangan kanan, dan menggunakan tangan kirinya untuk menutup pintu apartemen.

Keterkejutannya tidak bertahan lama, karena ia langsung mengenali bibir yang sedang menciumnya itu. Giselle membalas ciuman itu dengan sama intensnya setelah sadar bahwa ia adalah Karina. Tangan kanan Giselle masih memegang kopi, dan tangan kirinya ia letakkan di pinggang Karina. Mendekatkan tubuh mereka yang sudah hampir tidak berjarak.

Karina berjalan mundur menuju sofa, ia bahkan tidak memberikan Giselle kesempatan untuk meletakkan kopinya. Mereka terus berciuman sampai lutut belakang Karina menyentuh sofa. Menyadari Karina berhenti berjalan, Giselle mendorong sedikit tubuh Karina.

“Sebentar.” Giselle meletakkan kopinya ke pantry yang berada di dekat sofa.

“You tastes like vanilla.”

Karina mengejar bibir Giselle lagi, tidak memberinya kesempatan untuk bernafas. Giselle bisa melakukan apa yang ia suka tiap kali mencium Karina kini karena ia sudah tidak memegang kopi. Menelusupkan jemarinya ke surai ungu milik Karina.

Giselle sedikit menarik rambut Karina saat Karina menggigit bibir bawahnya. Giselle melenguh, dan Karina menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan lidahnya. “I can taste your coffee now.” Karina berbisik ditengah ciuman mereka.

“Hmm, shut up.” Giselle menarik Karina untuk duduk di sofa. Giselle memposisikan dirinya untuk duduk di pangkuan Karina. Melanjutkan ciuman intens yang mereka lakukan.

“Aku yang minta ini, tapi kenapa kok kayaknya kamu yang lebih pengen?” Giselle bertanya sambil menciumi leher Karina. Menahan dirinya untuk tidak membuat tanda karena ia masih punya kesadaran diri.

“Aku tadi masuk apartemen, kamu gak ada, kukira kamu ninggalin aku.” Ucap Karina sambil menengadahkan kepalanya.

Giselle selalu memberikan perhatian lebih ke leher Karina. Ia rasa itu adalah bagian tubuh Karina yang menjadi favoritnya. Jemarinya menyusuri leher Karina yang jenjang. Mulai dari rahang, turun ke leher, menuju ke belakang leher Karina.

“Tapi kamu yang ninggalin aku Rin, you know that. Tapi kita gak akan ngomongin itu sekarang, we got something more important to do.” Giselle menarik blouse Karina ke atas.

Karina memakai lace bra hitam malam ini, warna kesukaan Giselle. “Kamu lebih seksi pakai hitam, you know that right?” Giselle berbisik ke telinga Karina, dan menggigit daun telinga Karina di akhir kalimat. Giselle bisa merasakan tubuh Karina menegang, telinganya adalah bagian paling sensitif milik Karina.

“Sengaja sih.”

Karina meremas paha Giselle dengan kedua tangannya, membuat Giselle melenguh. Giselle bisa merasakan adrenalinenya meningkat. Bagian bawah perutnya terasa lucu. Ia berusaha menghiraukan perasaan lain yang muncul di relung hatinya. Karina miliknya. Giselle berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Gigi...” Giselle bisa merasakan keraguan di kalimat Karina. Ia rasa Karina menyadari kekacauan di pikirannya. Jadi Giselle memutuskan untuk fokus ke leher Karina lagi saja. Menciumi lehernya, mengikuti alur dari otot lehernya yang terlihat jelas. Mengikuti tulang leher hingga tulang selangka Karina yang begitu jelas terlihat, membuat figurnya menjadi makin sempurna. Ciumannya lalu turun ke dada Karina.

“Dress kamu besok, bagian ini kelihatan gak?” Tanya Giselle sambil menciumi dada Karina.

“Yang bagian atas kelihatan, tapi bawahnya engga.” Karina menjawab dengan tidak fokus.

“I'll mark you there, you're mine.”

“Iya, aku punya kamu Gi.”

Giselle melakukannya karena sudah mendapatkan persetujuan dari Karina. Ia turun dari pangkuan Karina. Memposisikan dirinya diantara kaki Karina. Mulai dari perut bagian bawah pusarnya, sampai ke dada bagian bawah Karina ia beri tanda. Karina miliknya. Giselle meyakinkan dirinya sekali lagi.

Karina menarik wajah Giselle untuk mendekat padanya. Mencium bibirnya lagi, menggigit kecil bibir bawah Giselle. Karina berdiri dari sofa, lalu mengangkat tubuh Giselle. Giselle yang terkejut melingkarkan lengannya ke leher Karina.

Karina membawa Giselle ke kasur, membaringkan tubuhnya. Karina memandang kebawah dengan lekat. Seolah ingin mengabadikan Giselle yang sedang berada di bawahnya. Karina membuka kancing kemeja Giselle satu-persatu. Ia tidak berhenti menciumi leher Giselle ketika melepaskan kemejanya.

“Aku cinta kamu Gi, kamu satu-satunya yang aku cinta. Jangan tinggalin aku.” Ucap Karina di leher Giselle.

Giselle memeluk kepala Karina, memasukkan jemarinya ke sela rambut Karina. “Aku juga cinta kamu Rin.”

♧ ♧ ♧

Giselle merasakan kasur sampingnya sudah dingin ketika ia terbangun di pagi hari. Karina pasti meninggalkannya saat ia sudah tertidur semalam. Giselle menahan air matanya. Tidak, ia tidak boleh menangis. Giselle menguatkan dirinya sendiri sambil meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Karina miliknya. Giselle berusaha tetap meyakini itu meskipun hatinya terasa seperti terbakar.

Seperti ada yang meremas jantungnya, dan tidak melepasnya sampai ia tidak bisa bernafas. Rasanya ia telah kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya. Meskipun Karina berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tetap milik Giselle.

Giselle memejamkan matanya, air matanya sudah tidak terbendung lagi. Tubuhnya bergetar hebat karena tangisannya. Ia berusaha tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin mendengarkan dirinya sendiri menangisi kekasihnya seperti pecundang.

Ia masih belum ingin mengakui bahwa keputusannya untuk tetap bertahan dengan Karina bukanlah ide yang bagus. Giselle hanya meringkuk, berharap semua kekacauan yang terjadi di hidupnya ini hanyalah sebuah mimpi. Giselle tidak ingin mengakui bahwa mencintai Karina dengan gila seperti ini, bisa membuat hidupnya menjadi sebuah tragedi.

♧ ♧ ♧