Ice Cream Love

“Bahasaku yang cuma rasa, susah untuk melekat pada kata-kata” — Dewi Lestari

L2ShareOST41 · Whee In (휘인) – Ice Cream Love (One Ordinary Day 어느 날 OST Part 1)
Musiknya bisa diputar dengan “listen in browser” button

♧ ♧ ♧

“Jadi gamau nih es krimnya?” Giselle yang sedang duduk di sofa bertanya. Ia menatap Karina dengan menopang dagunya, bersandar ke sandaran sofa. Kekasihnya sangat menggemaskan hari ini. Katakanlah itu karakter bawaan lahir Giselle, ia memang tidak pernah bagus perihal berterus terang pada orang lain.

Dibandingkan mengatakannya, Giselle lebih suka melakukannya langsung saja. Jika Karina meminta hal remeh, tidak peduli ia sedang mengerjakan tugas bersama teman kuliahnya, ia akan bergegas mengabulkannya. Urusan menghadapi kemarahan mereka, ia akan memikirkannya nanti saja. Jadi Ningning memang benar jika mengatakan bahwa ia budak cinta Karina.

“Jadi mau dong!” Karina bergegas melemparkan dirinya disamping Giselle, mengambil es krim yang ia pesan tadi. “Emang paling bener, siang-siang tuh ngemil yang seger-seger.” Karina mengutarakan kebahagiaanya.

Karina lalu bersandar ke bahu Giselle, dan berkata “Makasih ya, pacar aku emang yang paling baik sedunia. Aku yakin kamu sibuk, tapi masih nyempetin beliin aku. Padahal aku cuma iseng loh Gi, ga dibeliin juga gapapa. Gimana ceritanya dulu aku bisa dapetin kamu, gak ada habisnya aku bersyukur. Kamu pacar terbaik yang ada di muka bumi! Dan kamu cuma punya aku.”

Berkebalikan dengannya, Karina merupakan tipe yang sering mengutarakan isi pikirannya. Ia selalu memberikan kata-kata manis kepadanya. Dengan tutur bahasanya yang lembut, Karina sering kali mengatakan apa yang ada di hatinya. Tanpa malu-malu seperti sekarang, sambil memakan es krim, bersandar di bahunya.

Karina selalu memastikan Giselle tau, apa yang ia rasakan. Tidak menyisakan ruang bagi Giselle untuk menerka-nerka. Meskipun Giselle tidak bagus di dalam berkata-kata, ia berharap perlakuannya sudah bisa meneriakkan perasaannya pada Karina. Bahwa Karina sangat berharga baginya, dan ia tak mau kehilangan Karina.

Giselle hanya berdehem menanggapi pidato panjang Karina, “Kamu ga ada kelas Rin?”

“Si bapak batalin kelasnya siang ini, untung aku belum tancap gas. Tapi sebel, rugi aku mandi tadi gak jadi berangkat.”

“Mana ada mandi rugi?? Tolong jangan pelit-pelit banget mandi Rinnn, kasian temenmu.”

Karina memukul paha Giselle menanggapi ejekannya. “Ih! Nyebelin.”

Karina tidak pernah mempermasalahkan sifatnya yang sulit mengutarakan perasaan itu. Ia rasa, Karina mengerti, bahwa Giselle memang sangat buruk di dalam mengutarakan perasaan. Giselle juga bukan tipe yang memaksa orang lain untuk mengerti perasaannya, karena ia sadar bahwa kebanyakan orang tidak akan mengerti.

Namun berbeda dengan Karina, dengannya ia merasa dimengerti tanpa perlu menjelaskan. Seperti ketika Karina tiba-tiba memegang tangannya, membisikkan “Aku disini, jagain kamu, gak usah takut.” Ketika ia dengan susah payah menahan ketakutannya akan ketinggian. Ia tidak bisa mengatakannya kepada orang lain bahwa ia tidak suka, ia takut akan merusak kesenangan teman-temannya.

Bisikan itu membuatnya menoleh ke arah Karina, melihat senyuman menenangkan yang gadis itu berikan padanya. Ketika itu juga ia sadar, bahwa gadis itu adalah orang yang tepat baginya. Di tengah terpaan angin kencang yang melewati jendela bianglala di pasar malam, ia menyadari betapa berharga Karina baginya. Gadis yang mampu mengerti dirinya tanpa perlu kata-kata.

Giselle berharap Karina tahu, betapa bersyukurnya juga ia dengan kehadiran gadis itu dihidupnya. Karena kata-kata bukanlah sahabatnya, maka ia memilih untuk menunjukkan pada Karina betapa bersyukurnya ia. Dan Giselle-pun berdiri, lalu menghadapkan tubuhnya ke Karina.

Giselle menunduk, mengelus pipi Karina dengan tangan kanannya, menatap Karina dengan intens. Ia perlahan mendekatkan wajahnya, bibir mereka hanya berjarak beberapa centi saja. Giselle mengecup pelan bibir Karina.

Menjauhkan wajahnya, untuk melihat reaksi Karina. Ia begitu suka ketika melihat telinga Karina memerah, selalu begitu tanpa gagal. Lalu Karina mengalungkan tangannya yang masih memegang es krim ke leher Giselle, menariknya lagi untuk mencium bibirnya. Giselle merasa kepalanya seringan kapas yang berterbangan, adrenalinnya terpompa.

Giselle memposisikan dirinya untuk duduk di pangkuan Karina. Bertumpu pada lututnya, ia menghimpit paha Karina. Terus melumat bibir kekasihnya. Tangannya ia gerakkan secara perlahan dari pipi ke tengkuk Karina. Mereka saling memangut dengan intens. Giselle memasukkan tangannya ke sela-sela rambut Karina yang lebat, sedikit menarik rambutnya.

Karina melenguh tanda menyukai apa yang Giselle lakukan. Mereka saling menjauh untuk mengambil nafas. Giselle menatap mata Karina yang begitu cantik, ia tersenyum. Lalu ia meraih tangan kanan Karina yang masih melingkar di lehernya. Es krim stroberi yang masih Karina pegang tadi meleleh ke jemarinya. Giselle melihat jemari Karina, lalu menjilati lelehan es krim itu.

I took her delicate hand in mine and pressed it to my lips. Softly kissing each finger. “Every second spent with you is a lifetime. Every hour—an eternity.” — Michael Faudet

Giselle bisa melihat mata kekasihnya melebar, tanda keterkejutan. Setelah bersih, ia menciumi jemari Karina, seolah itu adalah hal yang sangat berharga. Karina menatap dalam kekasihnya, dan menarik lagi Giselle untuk mencium bibirnya. “I love you too.” Karina berbisik di sela ciuman mereka.

Giselle yang mendengar itu memperdalam ciuman mereka, memangut bibir bawah Karina. Mendekatkan tubuhnya ke tubuh Karina, mempertipis jarak mereka. Mereka terus saling melumat bibir sampai kehabisan nafas.

Tangan Giselle berpindah ke bawah, meraih ujung baju yang dipakai Karina. Memasukkan tangannya kedalam, mengelus pinggang Karina secara langsung. Kulit bertemu kulit. Giselle merasakan Karina mendesah disela ciuman mereka.

Giselle mengalihkan ciumannya ke pipi, dagu, lalu ke leher Karina. Karina menengadahkan kepalanya, menikmati perlakuan Giselle pada lehernya. Tangannya naik, membuat baju Karina tersingkap sebatas perutnya yg rata.

“Babe...”

“Hmm...” Giselle terus melanjutkan pekerjaannya membuat tanda di leher Karina yang jenjang.

“Kalo kita lanjutin ini terus, I don't think I can hold myself.”

“Jangan ditahan kalo gitu Rin, simple.”

“Not that simple, soalnya aku bisa dibunuh Ryujin kalo kamu gak buruan balik ke rumah dia.”

Giselle menghentikan ciumannya ke leher Karina. Lalu memeluk kekasihnya, menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Karina. Menghirup dalam-dalam aroma sabun kekasihnya, menenangkan detak jantungnya yang berpacu. “Jadi emang bener kamu abis mandi tadi, bau sabun.”

“Fokus babe, fokus. Aku bisa beneran dibunuh Ryujin”

“Gampang nanti aku bunuh duluan sebelum sempet deketin kamu.”

“Dia bilang kamu kabur dari kerja kelompok kalian, dan masih banyak yang harus dikerjain.”

Giselle tetap diam sambil memeluk Karina, merasakan detak jantung kekasihnya yang juga masih berpacu dengan cepat. Mendengar Karina yang mengatakan dia juga mencintainya membuat keyakinan Giselle bertambah. Bahwa Karina bisa mengerti apa yang ia rasakan tanpa ia berkata-kata.

“Dalam diammu, aku mendengar suara. Diammu, berkata-kata” — Dewi Lestari

“Giii...” Karina mulai merengek khasnya.

“Iya ini mau berdiri aku.”

“Es krimkuu”

Giselle berdiri dan mengambil tisu di meja, mengambil es krim dari tangan Karina. Lalu mulai membersihkan tangan Karina. “Tenang aja, masih ada satu lagi di freezer.”

Karina tersenyum sangat manis mendengar itu dari Giselle. “Gigi, kamu emang pacar terbaik di dunia!” Karina bergegas berdiri, memeluk erat Giselle. Giselle membalas pelukannya sambil tersenyum, ia merasa seperti manusia paling bahagia di muka bumi.

♧ ♧ ♧