Episode [1.5] Tak Bisa Bukan Tak Ingin

Ia tak ingin menjerit-jerit, berteriak-teriak, mengamuk memecahkan cermin, membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja, sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. — Sapardi Djoko Darmono

♧ ♧ ♧

Giselle meletakkan ponselnya setelah melihat Karina di dalam balutan gaun pengantin hitamnya. Karinanya. Masihkah Giselle bisa menyebut Karina miliknya? Ada beban yang tidak bisa dijelaskan di dadanya setelah melihat Karina begitu cantik dalam balutan gaun pengantin dan senyuman manis.

Apakah kekasihnya itu benar-benar bahagia? Atau hatinya juga serasa seperti ditancapi paku berulang kali, sama seperti hatinya? Jika bisa, ia ingin hari ini tiba-tiba berakhir, dan esok hari bisa datang lebih cepat. Mungkin saja rasa sakit di dadanya bisa secara ajaib menghilang.

Giselle tidak ingin menjerit memecahkan kaca kamarnya, atau berteriak sekencang-kencangnya sambil menghancurkan tempat tidurnya. Ia juga tak bisa, datang begitu saja ke pernikahan kekasihnya dan membakar altar pernikahannya. Ia tak bisa melajukan mobilnya dengan sangat kencang untuk menabrak dan menghancurkan gedung pernikahan Karina. Sebesar apapun keinginan hatinya.

Karena bukan mendapatkan kekasihnya kembali, sepertinya ia akan terlebih dahulu kehilangan pekerjaan dan mendapatkan tuntutan dari pengadilan lalu dipenjara.

Seperti inikah rasanya, tidak bisa melakukan apapun ketika mimpinya hancur tepat di depan matanya sendiri? Mimpinya untuk hidup bersama Karina, berdua saja di puncak bukit, atau di tepi pantai, dimana saja asal bersama kekasihnya. Tidak perlu ada seorangpun manusia yang tahu. Hanya mereka berdua, menua bersama dan berbahagia. Kini sepertinya semua itu telah hancur dan tidak mungkin terjadi. Karena Karina tidak sependapat dengannya.

Giselle sadar sedari awal hubungan mereka, Karina memiliki ambisi yang sangat besar di dalam dirinya. Karina dapat melakukan apapun yang terfikir di otaknya demi bisa mewarisi perusahaan keluarganya. Tidak perlu orang pintar untuk tahu, bahwa dirinya yang sudah menjadi kekasih Karina sekalipun, tidak dapat menghalangi itu. Dan jauh didalam lubuk hatinya, ia sendiri tidak ingin menghalangi Karina mendapatkan mimpinya. Meskipun ia pernah meminta Karina untuk membatalkan pernikahannya. Ia tak benar-benar ingin melakukan itu dan menghancurkan mimpi kekasihnya.

Ia hanya ingin meringkuk saja di atas kasurnya hari ini. Sendirian di ruang apartemennya yang gelap tanpa ada cahaya yang bisa masuk. Ia pasti terlihat menyedihkan, menangis dalam diam di kamar yang gelap. Ia tidak ingin membuka jendela kamarnya untuk membiarkan cahaya matahari masuk. Cuaca yang cerah hari ini terasa seperti mengejek dirinya.

Hari sudah gelap ketika ia mendengar seseorang membuka pintu apartemennya. Minjeong datang ketika sudah waktunya makan malam. Dan baru Giselle sadari bahwa ia belum makan apapun sejak kemarin malam ketika Minjeong bertanya, “Udah makan?”

Giselle hanya diam dan semakin meringkuk, berharap Minjeong tidak melihatnya dalam kondisi menyedihkan seperti ini. Minjeong mendengus melihat Giselle “Lo harus makan Gi. Gak makan entar lo mati.”

“Gak makan sehari gak bakalan bikin gue mati, gue gak selemah itu.”

“Kalo lo gak lemah, lo gak bakalan ada di kasur itu, di kamar gelap gini sekarang.”

“Lo berharap gue gimana? Ketawa-ketawa lihat pacar gue nikah sama orang lain?”

“YA SANA KEK, PERGI KE ORANG TUANYA KARINA! BILANG KALO LO PACARNYA, BILANG KALO LO GAK TERIMA KARINA DINIKAHIN SAMA ORANG LAIN!”

“MANA BISA JEONG? LO PENGEN GUE DITEMBAK PAKE PISTOL SAMA BAPAKNYA?” Giselle meneriaki Minjeong yang menyarankan hal irrasional kepadanya. Ia lebih dari yakin bahwa pak Widjaja mampu melakukan itu kepadanya. Ia hanya serpihan debu gedung kejaksaan yang mudah disingkirkan.

“Mikir dong Minjeong, sedari awal hubungan kita emang udah gak mungkin. Dia anak konglomerat kalo lo lupa, dan cewe pula, lo berharap gue gimana?”

“Kalo lo gak pengen berjuang, kenapa terus kelakuan lo kayak anak anjing yang ditendang keluar dari rumah hah?!”

“Gue gak bisa, bukan gak pengen Jeong.” Air matanya mulai menetes lagi setelah berusaha ia tahan sedari tadi. Kenapa air matanya masih belum habis padahal ia sudah menangis seharian? Giselle bukan hanya takut ditembak mati oleh keluarga Widjaja jika memperjuangkan cintanya. Tetapi kekasihnya sendiri juga tidak akan membiarkan dia melakukan itu.

“Gue gak bisa Jeong, ngerebut hal yang sangat berharga dari Karina, cuma karena gue, dengan putus asa pengen dia jadi punya gue. Dan dia sendiri juga gak bisa, ngelepas mimpinya cuma buat gue.”

Minjeong hanya diam dan memeluk sahabatnya yang menangis semakin kencang. Berharap ia dapat mengurangi, barang sedikit saja rasa sakit yang Giselle alami. Meskipun ia yakin harapannya tidak akan terjadi. Karena ia bisa merasakan tubuh Giselle bergetar hebat, tanda tangisannya tidak akan mereda dalam waktu dekat.

♧ ♧ ♧