Episode [2.8] Seperti Bukan Dirinya Sendiri

♧ ♧ ♧

Sudah empat kali minggu ini Karina mendapati dirinya mengunjungi cafe yang sama di jam makan siang. Karina sendiri tidak percaya bahwa ia membawa dirinya untuk keluar dari kantornya, menyebrang jalan, dan duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela ini.

Karina yang tidak akan keluar dari kantor kecuali untuk koordinasi dengan koleganya. Dirinya yang tidak akan meninggalkan kantornya bahkan untuk makan siang, karena baginya berjalan jauh membuang-buang waktunya yang berharga untuk melanjutkan pekerjaan. Bayangkan tiga puluh menit waktunya yang bisa ia gunakan untuk meninjau presentasi jika perlu, atau memeriksa proposal yang diserahkan padanya.

Berjalan keluar kantor di jam makan siang sungguh buang-buang waktu dan merepotkan. Ia selalu meminta sepupu sekaligus sekretarisnya, Wendy, untuk membelikan makanan dan dosis harian kafeinnya. Dengan begitu pekerjaannya tetap berjalan, dan ia bisa menjaga nyawanya agar tetap menempel di tubuhnya. Mati kelaparan karena menganggap berjalan keluar kantor merepotkan sungguh bukan cara yang elegan untuk mati.

Pekerjaannya adalah hal yang paling penting di hidup Karina. Jika pada umumnya perempuan tidak tertarik untuk mewarisi bisnis keluarga, tidak dengan Karina. Ia memiliki ambisi yang begitu tinggi untuk mewarisi perusahaan keluarganya. Itu adalah tujuan hidupnya sejak kecil. Ambisinya yang sudah ditanamkan di kepalanya, mendarah daging, mengalir di darahnya.

Segala hal yang ia lakukan semenjak kecil, memiliki tujuan untuk memuaskan orang tuanya. Karina dididik untuk menjadi sosok yang dapat dipercaya, sempurna, dan tanpa cela. Ia masih harus bersaing dengan sepupu-sepupunya, kecuali Wendy, karena sepupunya itu tidak tertarik untuk tanggung jawab sebesar itu. Ia juga harus memperoleh kepercayaan keluarga besarnya dan anggota direksi. Perjalanannya masih jauh, tapi ia percaya pada dirinya sendiri bahwa ia pasti bisa.

Karina tidak pernah melakukan hal yang tidak memberikan keuntungan yang dapat mendekatkan dirinya pada mimpinya. Ia mengikuti kelas bahasa di luar sekolah, menjadi ketua organisasi, delegasi olimpiade, hingga kelas bisnis tambahan yang diatur ayahnya. Ia menjalani pertukaran pelajar untuk menambah relasi dan meningkatkan kemampuan bersosialisasinya. Ia bahkan menjadi sukarelawan di acara amal yang dilakukan keluarganya untuk membangun persona pewaris tanpa cela keluarga Widjaja. Semua waktunya pasti ia gunakan untuk sesuatu yang dapat mendukung mimpinya.

Dan kini ia duduk dengan tidak tenang, bermain dengan gelas americano miliknya, bingung untuk memulai interaksi dengan jaksa cantik yang ia tahu bernama Giselle dari Irene. Karina harus mendapatkan tatapan aneh dari Irene minggu lalu karena menanyakan nama wanita lucu dengan senyuman manis kepadanya. Tapi tidak mengapa, bahkan namanya saja cantik. Giselle. Karina merasa seperti remaja puber yang sedang kasmaran.

Sudah tiga minggu semenjak pertama kali ia tertarik pada Giselle, tapi ia tetap tidak tahu harus mulai dari mana. Giselle memancarkan aura yang sulit untuk didekati. Dengan wajah serius ketika sendirian, setumpuk kertas dengan ketebalan berbeda yang tak pernah absen ia bawa. Bukan menakutkan, tidak, bagaimana mungkin Karina takut pada wanita cantik? Tapi Giselle terlihat begitu menenangkan. Ia tidak ingin menggangu ketenangan wanita itu ditengah hiruk-pikuk pusat kota ini.

♧ ♧ ♧