KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Sudah satu minggu sejak kepergian Ibu, ini jelas masih meninggalkan duka yang teramat dalam bagi Kirana. Tapi setidaknya kekhawatiran Bagas berkurang sejak Budhe dari pihak Ibu nya datang untuk menemani Kirana di rumahnya. Kirana belum bekerja, kemungkinan besok ia akan kembali bekerja. Dan wanita itu juga masih belum banyak bicara dengan Bagas.

Kirana bukan kecewa dengan Bagas, ya meski sempat ia bertanya-tanya kemana Bagas saat ia membutuhkannya. Bagas juga belum punya kesempatan untuk menjelaskan itu semua pada Kirana, mungkin nanti, saat wanita itu sudah tenang. Saat acara pengajian mengenang 7 hari kepergian Ibu Kirana itu sudah selesai. Bagas membantu Kirana bebenah rumahnya.

Menaruh piring bekas makanan kecil disajikan, membersihkan sampah, menggulung karpet-karpet dan menyapu ruang tamu. Wanita itu masih lebih banyak diam dan melamun, kadang ia mau sedikit berbicara dengan Budhe nya walau kadang hal itu juga sedikit menjadi pemicu Kirana menangis, karena yang mereka bicarakan lebih sering soal Ibu. Jangan bicara tentang Ibu, melihat karangan bunga yang di kirimkan oleh kantor Kirana bekerja, rekan Bapak dulu, dan teman-teman Ibu saja Kirana sudah menangis menyesakkan.

“Makasih yah, nak Bagas. Sudah bantu beres-beres,” ucap Budhe, wanita tua itu tersenyum hangat wajahnya yang agak sedikit menyerupai wajah Ibu nya Kirana itu membuat Bagas menatapnya selayaknya ia menatap Ibunya Kirana.

“Sama-sama Budhe.” Bagas duduk di ruang tamu, tepat di samping Kirana yang masih melamun. Hanya ada mereka bertiga di rumah itu, tamu-tamu yang lain sudah pulang. Termasuk Almira, Raga dan juga Satya.

“Dimakan kue nya Nak Bagas. Budhe mau ke belakang dulu ya, mau beres-beres baju.” sudah 1 minggu Budhe berada di Jakarta, beliau harus segera pulang ke Semarang karena di sana beliau juga mengurus kebun milik keluarga.

“Iya, budhe. Ah iya, besok kalau Budhe mau ke stasiun, biar Bagas saja yang antar ya Budhe, besok pagi Bagas ke sini lagi kok.”

Budhe tersenyum, menampakan kerutan pada wajah dahayu masa lampaunya itu. “Terima kasih ya nak Bagas, besok Budhe kabari ya.”

Kemarin, Bagas sempat mendapat wejangan serta amanat dari Budhe Kirana itu untuk menjaga keponakannya. Mengingat di Jakarta ini, Kirana benar-benar seorang diri tanpa orang tua. Sebenarnya masih ada keluarga dari pihak Bapak yang tinggal di Jakarta, tetapi hubungan Kirana dan keluarga dari Bapaknya itu tidak baik. Apalagi selepas kepergian Bapak, setelah kebangkrutannya itu keluarga Bapak seperti sudah tidak menganggap Kirana sebagai keponakan dan Ibu sebagai iparnya. Jadi Kirana pun sudah menganggap ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Kini keduanya berada di ruang tamu, Kirana sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Ada begitu banyak penyesalan kenapa ia telah abai memeriksakan kesehatan Ibunya, ada banyak kata andai dalam kepalanya yang Kirana harap ia bisa memutar balikan waktu agar Ibu nya masih ada di rumah ini bersamanya. Setelah Budhe kembali ke Semarang, Kirana akan seorang diri di rumah. Ia tidak mungkin tidak meratapi Ibunya kembali. Meski rumah itu belum banyak memiliki kenangan bersama Ibu, tapi hari-hari mereka banyak di isi dengan memasak bersama, menanam berbagai jenis tumbuhan di depan rumah dan banyak hal yang diobrolkan anak dan orang tua itu.

Apalagi dahulu hanya Ibu sumber kekuatan Kirana dan begitu pula sebaliknya. Banyak duka yang mereka lalui bersama selepas kepergian Bapak. Dan kini Kirana menanggung duka itu sendirian tanpa ia tahu barus membaginya pada siapa.

“Sayang, kamu belum makan. Makan sama aku yuk?” Bagas khawatir bukan main, sudah satu minggu ini Kirana tidak makan nasi. Yang ia makan hanya kue jajanan pasar, roti atau bahkan minum saja. Bagas dan Almira sudah membujuk Kirana untuk setidaknya makan nasi sedikit saja, namun wanita itu tetap enggan.

“Tadi kan udah, Gas.”

“Kan cuma makan lemper aja.”

“Tapi tetap makan kan?” Kirana menjawabnya agak sedikit ketus, perasaanya belum kunjung membaik. Ada sepercik keputus asaan dalam diri Kirana akan sebuah kehilangan, sebuah kepemilikan yang kemudian direnggut paksa. Bapak, Ibu, rumah miliknya dan mungkin sebentar lagi Bagas.

“Aku cuma gak mau kamu sakit, Na.”

“Lebih baik juga aku nyusul orang tuaku, Gas. Aku udah gak punya siapa-siapa lagi.” air mata Kirana kembali mengembang, yang mungkin jika ia berkedip sedikit saja air mata itu akan terjun bebas dari matanya.

“Masih ada aku, Na.”

“Kamu bukan keluargaku, Gas!” Kirana meninggikan sedikit nada bicaranya. Setelah sadar, ia kemudian mengusap wajahnya putus asa dan memegang tangan Bagas. “Kamu bukan orang tuaku.”

Bagas mengangguk kecil, ia paham Kirana tidak bermaksud menyinggung perasaanya. Biar bagaimana pun yang dikatakan wanita itu benar, ia belumlah menjadi keluarganya. Ia masih kekasih Kirana. “Na, mungkin aku gak bisa menggantikan peran kedua orang tua kamu, tapi aku, aku mau nemenin kamu terus, Na. Jadi tempat kamu pulang.”

Kirana tidak menjawab, ia justru terisak. Bagaimana mengatakan pada Bagas jika mungkin benar pria itu tidak akan pernah meninggalkannya. Tapi justru sebaliknya, Kirana lah yang akan meninggalkan Bagas. Sebelum Ibu meninggal Kirana telah memikirkan cara bagaimana mula-mula ia menjauhi Bagas kembali setelah kejadian malam itu. Ia ingin melepaskan Bagas, dan mungkin kesempatan itu telah datang kepadanya bersamaan dengan duka kepergian Ibunya. Ia bisa memanfaatkan ketidakhadiran Bagas saat ia membutuhkannya, lebih baik sakit sekalian kehilangan dua orang yang ia sayangi. Dari pada harus melepasnya satu persatu dan merasa sakit kembali.

“Waktu hari Ibu meninggal dan kamu telfon aku, aku minta maaf karena aku gak aktifin HP ku. Aku dan Kanes lagi nyiapin sesuatu untuk kamu, Na. Aku kaget waktu tiba-tiba aja Mas Satya datang dan ngasih kabar tentang Ibu kamu, maafin aku, Na.” Bagas mengenggam tangan Kirana, masih terus merasa bersalah bila ia mengingat kejadian hari itu. Ia merasa begitu bodoh, padahal biasanya ia tidak pernah mematikan ponselnya dalam keadaan apapun dengan sengaja.

Entah sesuatu apa yang Bagas maksud, karena Bagas juga belum menjelaskannya pada Kirana. Ia merasa waktu untuk menjelaskan itu semua belum pantas. Kirana masih dalam masa berkabung dan perasaanya juga belum membaik, mungkin jika Kirana sudah sedikit lebih baik ia akan menjelaskannya pada Kirana.

Sempat hening beberapa saat diantara mereka, Kirana yang sibuk menangis dan kemudian saat tenang ia lebih banyak melamun dan Bagas yang sibuk menatap wajah cantik di depannya itu yang masih meratap. Jika ada cara untuk mengambil alih seluruh sakit, kerapuhan dan kesedihan pada wanitanya. Bagas akan melakukan berbagai cara itu agar hanya tersisa senyum di wajah Kirana.

“Sayang? Istirahat ya, aku antar ke kamar kamu ya? Besok pagi aku kesini lagi buat antar Budhe ke stasiun. Besok kamu mau sarapan apa?”

Kirana masih diam beberapa saat sampai akhirnya ia menoleh pada Bagas, wajahnya masih tertutup awan mendung. Kedua netranya terlihat menyakitkan bagi siapapun yang melihatnya. Dengan gerakan lembut, Kirana menarik tangannya dari genggaman tangan Bagas.

“Bagas?” panggilnya dengan suara lirih.

“Ya, sayang?”

“Aku mau kita putus.”

Tidak ada sahutan dari Bagas, ia berharap ia salah mendengar atau ia berharap ini mimpi buruk, apapun itu asal bukan ini kenyataanya. Ia menampilkan wajah bingungnya dan kemudian tertawa hambar. Ia anggap ucapan Kirana barusan adalah sebuah lelucon. “Gimana? Aku belum dengar kamu tadi ngomong apa.”

“Aku mau putus, Gas. Aku mau kita udahan,” Kirana memperjelas ucapanya dengan penuh penekanan.

🍃🍃🍃

Setelah menyelesaikan meeting nya bersama kliennya pagi ini, Raga kembali ke ruanganya. Harinya mulai hectic sekali menyelesaikan proyek-proyek yang digarapnya. Ia belum memberitahu pada siapapun soal pengunduran dirinya nanti, ia masih menyimpannya sendiri. Beberapa hari ini Kirana juga belum masuk kerja sebenarnya Pak Suryana selaku HRD sudah menanyakan perihal seringnya Kirana tidak hadir di kantor pada Raga. Mengingat Raga lah team leader di kantor itu.

Bisa dikatakan Raga terlampau sering menutup-nutupi soal keabsenan Kirana pada Pak Suryana. Ia tidak ingin Kirana berhadapan dengan Pak Suryana soal kedisiplinan, apalagi jika sampai-sampai dia mendapatkan surat peringatan atau lebih buruknya dipecat. Raga tidak ingin itu terjadi dan menambah penderitaan Kirana, sudah cukup sampai dikehilangan orang tuanya saja. Raga tidak ingin Kirana kehilangan hal-hal lain yang ia sayangi.

Merenggangkan badannya yang sedikit kaku, Raga bersandar pada kursinya. Menatap meja Kirana yang kosong terlihat dari ruangannya yang hanya dibatasi oleh dinding kaca. Lalu tak lama kemudian ia melihat ke meja Bagas, meja pria itu juga kosong. Entah kemana Bagas. Pria itu bahkan tidak menghubungi Raga untuk memberikan informasi kenapa dirinya tidak hadir di kantor.

Terlalu lama terbuai dalam isi kepala dan lamunanya sendiri, Raga sampai tidak sadar jika Satya mengetuk pintu ruanganya dan berakhir membuka pintu itu tanpa menunggu jawaban darinya. Pria yang seumuran dengannya itu tersenyum, menampakan rentetan giginya yang rapih dengan senyum menjengkelkan khas dirinya. Tak ada kata segan jika mereka sedang berdua, karena pada dasarnya Satya memang temannya.

“Ngalamun aja, emang punya cicilan ya?” ledek Satya, pria itu menarik kursi yang ada di depan meja Raga dan duduk di sana. Menyerahkan berkas yang Raga minta, ah sebenarnya Satya memang ingin numpang ngadem saja di ruangan Raga.

“Yang banyak cicilan kan elu.” Raga menggeleng, memeriksa berkas yang Satya beri dan menaruhnya kembali.

“Kenapa sih?” semenjak obrolannya dengan Bagas beberapa hari lalu di Hutan Kota, Satya jadi kepikiran, apalagi soal gerak gerik Raga yang jauh lebih sigap pada Kirana. Apa benar dugaan Bagas soal Raga yang menyukai Kirana itu benar? Tapi setahunya, Raga bukanlah pria seperti itu.

Satya mulai menaruh curiga saat Raga memeluk Kirana di lorong rumah sakit saat Ibunya Kirana meninggal. Awalnya Satya hanya menganggap itu bentuk dukungan demi menguatkan hati Kirana yang tengah berkabung, namun apa pantas seorang atasan seperti itu bilamana ia tidak memiliki perasaan lebih pada bawahannya? Itu yang pertama dan yang kedua adalah, Raga lah yang sibuk mengurus pemakaman bahkan mengurus soal catering untuk pengajian 7 hari kepergian Ibu nya Kirana. Sebenarnya Bagas juga melakukan hal yang sama, Bagas juga memesan catering namun soal keabsenan pria itu saat Kirana membutuhkan pelukan seperti sudah diserobot oleh Raga.

Satya dan Almira tentu saja merahasiakan adegan berpelukan itu pada Bagas, keduanya sepakat merahasiakan ini demi menjaga hati Bagas dan juga nama baik Raga. Mereka hanya menganggap itu sebagai pelukan belasungkawa saja, meski rasa curiga keduanya tepis pelan-pelan.

“Gapapa.” Raga menghela nafasnya kasar.

“Ah masa? Muka lu kaya lagi nyimpen banyak beban gitu. Gak mungkin mikirin cicilan kan? Elu mah nganggur juga tetap kaya, Ga.”

Raga terkekeh, ucapan asal dari Satya itu selalu bisa membuatnya tertawa. Ia bahkan tidak merasa sekaya itu sampai-sampai tidak bekerja pun akan tetap kaya. Keluarganya memang memiliki perkebunan dan toko bunga, tapi kalau tidak dikelola dengan baik pasti akan habis juga bukan?

“Mikirin cicilan mah elu.”

“Terus kenapa dong, Pak?”

“Sat?”

“Hm?” Satya tidak mengadahkan pandanganya ke arah Raga, ia sibuk memainkan rubik yang ada di atas meja Raga tadi.

“Gue berencana buat resign.

“Hah?!” kedua mata Satya terbelalak, ia menegakkan duduknya dan melupakan rubik yang belum selesai ia kerjakan itu. “resign? kenapa?”

“Gue ditawarin buat jadi partner di kantornya Mas Ethan.”

“Suaminya Mbak Adel?”

Raga mengangguk, “gue harus keluar dari zona nyaman, Sat.”

Satya terdiam, dia tidak bisa mengomentari hal ini karena Raga pasti sudah memikirkannya matang-matang. Satya kenal Raga, pria tenang itu adalah pria yang sebelum melakukkan sesuatu sudah memikirkannya dengan sangat matang dan penuh perhitungan. Raga bukan orang yang mudah sekali gegabah mengambil sebuah keputusan.

“Kapan, Ga?”

“Mungkin kalau semua proyek yang gue pegang selesai.”

Satya mengangguk-angguk, entah sejak kapan Raga memikirkan ini tapi bagi Satya kenapa semuanya terasa terburu-buru. “Gue beneran kaget sih, Ga. Gak nyangka juga elu bakalan udahan gini aja. Maksud gue, semuanya buru-buru banget. Gue tau banget berkali-kali Mas Ethan minta lo pindah ke kantornya terus elu tolak melulu dan sekarang saatnya? Ini beneran lo gak ada something apa-apa kan?”

Raga sempat terdiam beberapa saat, ia sempat melirik pada meja Kirana di luar sana yang tentu saja ditangkap oleh Satya. Pria itu juga memperhatikan ekor mata Raga mengarah kemana. Satya masih menepis kecurigaanya.

“Gak ada seseorang yang lagi lo hindarin kan, Ga?”

Raga tertawa hambar, ia tahu Satya mungkin hanya menebak. Tetapi kenapa tebakan pria itu tepat pada sasaran? “Menurut lo begitu, Sat?”

Satya mengangguk, “siapa, Ga?”

“Lo udah tau pasti, Sat. Gue enggak mungkin bilang.” firasat Raga, Satya sebenarnya sudah paham. Pria itu hanya butuh pembuktian saja yang asalnya keluar dari mulut Raga.

Damn!” Satya mengusap wajahnya gusar, ternyata dugaan Bagas benar adanya jika Raga menyukai Kirana. Walau masih kaget dan tidak menyangka tapi Satya sudah melihat sendiri sebuah kenyataan. Raga sendirilah yang mengucapkannya bahkan. “Sejak kapan, Ga?”

“Lumayan lama, Sat. Mungkin sejak Kirana sadar dari koma nya. Ada sesuatu yang hanya gue dan dia yang tau.”

“Sinting!!”

“Sat, ini gak kaya apa yang lo pikir.”

“Gue harap pikiran gue salah, Ga.” Satya mulai berpikiran negatif dengan temannya sendiri, ia selalu berharap pikiran itu keliru. Tidak mungkin mereka telah berselingkuh kan?

“Gue bingung harus ngejelasin ini gimana ke elo, dan mungkin ini juga susah dipercaya, Sat. Cuma gue sama Kirana yang percaya karena kami yang ngalamin.”

Satya tertawa hambar, kecewa dan sedikit marah menguasainya namun ia tetap ingin mendengarkan penjelasan Raga. Hari itu Raga menjelaskan tentang mimpinya dan Kirana tentang pemikiran Raga yang menghubungkan dirinya dan Kirana adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu, termasuk janji kedua pasangan itu. Satya tentu saja tidak percaya, beberapa kali pria itu tertawa dan memandang Raga dengan tatapan meragukkan, mungkin Satya berpikir jika Raga sedang mendongeng, atau sedang mengerjainya atau mungkin lebih buruk lagi Raga sedang mabuk kecubung, tetapi raut wajah Raga sama sekali tidak menampakan kebohongan.

Wajah pria itu terlalu serius untuk sekedar mengerjainya atau mendongengkannya. Satya jadi bingung sendiri, memangnya ada hal seperti itu terjadi di dunia nyata? Satya hanya tahu hal semacam reinkarnasi dan cerita-cerita seperti itu hanya ada di sebuah film.

“Jadi intinya lo pindah buat ngelupain Kirana juga iya?” dari cerita Raga, sejauh ini yang Satya tangkap hanyalah Raga yang pindah kantor demi melupakan Kirana. Bisa dibilang kawannya itu sudah baper.

“Mungkin bisa dibilang begitu, Sat.” Raga mengakuinya. Terdengar konyol memang, bahkan Satya sedari tadi hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Gue bahkan gak percaya reinkarnasi itu ada, Ga. Gue yakin elo gak setolol itu buat ngehubungin semua mimpi lo dan Kirana sama janji si cowok kolonial dalam mimpi lo itu.” bagi Satya, ini semua tidak masuk akal.

“Gue bahkan berusaha ngeyakinin diri gue sendiri, Sat. Gue banyak nyari tahu soal reinkarnasi dari beberapa artikel. Tapi ini yang terjadi sama gue dan Kirana. Lo bisa tanya sendiri sama dia.”

Bersambung...

Sudah sepersekian kalinya Bagas mencoba menguhubungi Kirana meski tak ia dapati jawaban dari sebrang sana, pikirannya kacau, hatinya galau. Tidak ada rasa tenang dalam kepala Bagas tentang ucapan Kirana beberapa hari yang lalu. Setelah mengatakan ingin berpisah dengan Bagas, hendak ia minta penjelasan dari wanita itu. Kirana langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan jika ia lelah. Pada hari berikutnya Bagas terus mencecar Kirana untuk bertemu, menelfonnya dan mengiriminya pesan untuk sekedar mengatakan apa alasan yang membuatnya ingin mengakhiri hubungan mereka, namun tak ada satu pun dari usaha Bagas yang mendapati jawaban yang ia inginkan.

Satu-satunya tempat yang memungkinkan bagi Bagas bertemu dengan Kirana adalah kantor, namun sampai hari ini Kirana belum masuk juga. Bahkan Bagas sudah meminta bantuan Almira untuk menghubungi Kirana, namun hasilnya pun sama. Tak ada jawaban, hari ini sepulang bekerja Bagas buru-buru ke rumah Kirana. Pikirannya tidak akan bisa tenang dan yang semua sedang ia kerjakan takan berjalan dengan semestinya sampai ia mendapatkan penjelasan dari Kirana kenapa wanita itu ingin berpisah.

Pagar rumah Kirana tidak terkunci, rumahnya tetutup namun dari luar Bagas melihat ada cahaya yang berasal dari ruang tamu rumah sewa Kirana. Sebelum mengetuk, ia sempat memperhatikan rak sepatu yang ada di dekat pintu masuk. Tak ada sepatu Kirana di sana, sepatu yang biasa wanita itu gunakan tidak ada pada tempatnya. Bagas mencoba peruntungannya kali ini, mengetuk pintu rumah Kirana, berharap wanitanya membukakan pintu untuknya.

Satu sampai empat ketukkan pintu tak membuahkan hasil untuknya, tak ada yang menyahut apalagi membukakan pintu untuk Bagas. Menandakan tidak ada orang di rumah. Kemana Kirana pergi? Wanita itu benar-benar menghindarinya? Atau justru Kirana berada di dalam namun enggan bertemu dengannya? Tadinya, Bagas ingin memberikkan waktu bagi Kirana untuk tenang sejenak setelah kepergian Ibu nya. Namun hatinya menyeruak memaksa ingin segera mendapati jawaban. Ego nya muncul dan memaksanya mencecar Kirana untuk mengatakan alasan wanita itu ingin berpisah darinya. Setidaknya jika sudah mengetahui alasannya Bagas baru bisa bernafas dengan lega.

“Cari siapa, Mas?” seseorang dari belakang kepala Bagas sedikit mengejutkannya. Bagas berbalik, mendapati seorang pemuda yang usianya tak jauh darinya. Tetangga sebelah rumah Kirana itu.

“Mbak Kirana nya ada di dalam gak ya?”

“Ohh.. Kayanya tadi pagi pergi, Mas. Gak tau kemana. Pakai tas dan rapih sekali.”

Dahi Bagas berkerut, memakai tas dan rapih sekali. Jika bukan untuk bekerja kemana Kirana pergi? Bahkan hari ini wanita itu tidak berada di kantor. “Ada yang menjemputnya atau dia pergi sendiri mungkin Mas lihat?”

“Pergi sendiri, Mas. Saya cuma berpapasan dan Mbak Kirana berjalan ke arah halte bus.”

Bagas mengehela nafasnya, pikirannya makin berkecamuk dan hatinya belum kunjung tenang. Bahkan jauh dari kata tenang, kemana wanitanya pergi? Dengan siapa dan kemana dia? Kalimat-kalimat itu terus berputar bagai nyanyian di kepala Bagas. Ia kemudian mengangguk pada pemuda di depannya itu dan tersenyum canggung.

“Terima kasih, Mas.”

“Mari..” setelah mengatakan itu, pemuda itu kembali masuk ke rumahnya. Meninggalkan Bagas yang temenung memandang pohon asam jawa yang berdiri kokoh di depan rumah Kirana.

Lampu-lampu jalan yang remang itu sudah mulai dinyalakan, burung-burung gereja yang berterbangan mencari makan telah kembali ke sarangnya. Dan beberapa menit kemudian suara panggilan sembahyang telah dikumandangkan, Bagas bersandar pada kursi di teras rumah Kirana, mengusap wajahnya yang kumal karena pagi tadi ia tidak sempat mandi. Begitu terjaga dari tidurnya, ia langsung melompat dari ranjang dan berganti pakaian. Sekacau itu Bagas sampai-sampai hal-hal seperti mandi dan sarapan saja ia lupakan begitu.

Hatinya memaksa mencari Kirana berkeliling ke jalanan padatnya ibu kota dijam pulang kantor, menelisik jalanan dan halte-halte bus barangkali ia menemukan Kirana sedang duduk di halte atau sedang berjalan. Namun tak dapat ia temui wanita yang menyita pikiran dan hatinya itu, sekali lagi Bagas tak ingin menyerah. Sembari melajukkan mobilnya menuju tempat-tempat yang biasa ia dan Kirana kunjungi. Ia mencoba menelfon Almira kembali. Mana tahu wanita itu bertukar kabar dengan Kirana.

hallo, Mas Bagas?” suara Almira terdengar disebrang sana, mengintrupsi Bagas untuk sadar dari lamunan akan Kirana ditengah kemacetan itu.

“Mir, udah ada kabar dari Kirana belum? Atau dia nelfon lo mungkin?” Suara Bagas serak, tenggorokkanya rasanya tercekat, sakit, seperti ada kawat berduri yang melingkar menusuk langit-langit mulutnya.

belum, Mas. Kalau ada kabar soal Mbak Kirana gue pasti kasih tahu ke elo kok. Udah coba ke rumahnya?

“Udah, dia gak ada di rumah. Tadi tetangganya bilang kalau Kirana tadi pagi pergi.”

Udah coba telfon ke Budhe nya, Mas? Atau ke teman Mbak Kirana yang lain?” Almira memberi saran mana tahu Bagas kepikiran kemana Kirana pergi.

“Dia...” Bagas memejamkan matanya, tak mungkin berkata jujur jika satu-satunya keluarga Kirana di Jakarta dari Bapaknya itu bahkan sudah tak lagi menganggapnya keponakan. Mana mungkin Kirana pergi ke rumah sanak saudara dari Bapaknya itu. “Gak ada keluarga di Jakarta, Mir.”

Duh, Kemana ya. Gini deh, Mas. Gue coba hubungin lagi ya, kalo gak ada jawaban juga. Gue coba cari Mbak Kirana sebisa gue.

“Perlu gue jemput biar kita cari Kirana bareng?”

ah, gak usah, Mas. Gue pergi sama cowok gue kok.” Almira akan mengajak kekasihnya itu mungkin untuk mengatarnya mencari Kirana. Ia juga khawatir dengan keberadaan wanita yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu.

“Oke, kabarin gue lagi yah, Mir.”

Dalam gemerlapnya lampu kota yang menerangi malam itu, melayang jauh pikiran Bagas ke hari-hari sebelumnya. Hidupnya kini bagai di putar balik ke arah yang berlawanan, bertanya entah pada siapa tentang apa yang terjadi pada Kirana sehingga wanita itu memutuskan untuk menghindarinya, memutuskan hubungan mereka yang dibangun setelah sekian lama dengan cinta, kepercayaan dan kasih sayang. Mata nya masih menelisik ke setiap jalan, ke tempat-tempat makan di pinggir jalan. Berharap disalah satu tenda sana ada Kirana yang tengah duduk atau mungkin tengah makan.

Sementara itu, di belahan jalan lain. Seorang wanita dengan tas punggung berwarna abu berjalan gontai dengan pandangan kosong mengawang jauh dari pikirannya. Tubuh dan roh nya seperti terpisah, berjalan tanpa arah dan tujuan tadinya. Mendatangi tempat-tempat ramai demi mengisi kekosongan di hatinya namun itu semua tidak lantas membuat kesedihannya mengabur. Ketika hari mulai malam dan jalanan mulai lenggang, pada pemberhentian terakhir bus itu kakinya turun melangkah. Kirana tak ingin pulang, ia tak ingin mati karena kesepian dan hilang ditelan isi kepalanya sendiri yang ramai porak poranda.

Tempatnya mengadu kini menjadi sesuatu yang ia hindari, maka biarkan ia melangkah ke kosan milik Almira. Tidak perduli pada titik air gerimis yang berjatuhan mengenai kepalanya, pada cahaya remang lampu pinggir jalan, pada siulan pria-pria yang tengah bergitar di pos dan bertanya dirinya hendak kemana hujan-hujanan. Ia tak perduli, ia hanya ingin mencoba mengabaikan rasa sakitnya.

Begitu sampai di depan pintu kamar kost Almira, Kirana mengetuknya pelan. Sangat pelan namun mampu membuat sang empunya kamar berjalan keluar dan membukakan pintunya, begitu terkejut Almira mendapati Kirana datang ke kosannya dengan keadaan kacau. Rambutnya basah, dan sedikit berantakan, kemeja yang dikenakannya basah dan wajahnya yang dingin dan pucat.

“Ya ampun, Mbak.” Ditariknya tangan wanita itu ke dalam kamarnya, kemudian ia tutup kembali. Menyuruh Kirana untuk duduk di sofa yang ada di kamarnya. “Mbak kamu habis dari mana? Semua orang nyariin kamu.”

Kirana masih diam, ia ingin menjerit jika ia sudah tidak sanggup untuk melanjutkan hidup ini. Namun itu semua tertahan di tenggorokannya yang sangat kering, seharian ini ia belum minum apalagi makan. Yang di telannya hanya saliva nya saja. “Mir, aku haus.”

Almira mengangguk kecil, “iya sebentar, aku ambil air dulu ya.”

Almira buru-buru melangkahkan kakinya ke dapur, menuang segelas air putih dan kembali ke sofa tempat Kirana duduk. Almira berjongkok dan memberikan air itu ke tangan Kirana yang sangat dingin. Sementara itu, Kirana mengambil gelas itu dan menenggak habis air di dalam gelas itu. Tenggorokannya yang kering itu terasa sejuk begitu air yang dinginnya pas mengalir masuk hingga ke kerongkongannya.

Almira sempat mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambut Kirana dan menyelimuti tubuh ringkih itu dengan selimut miliknya. Pandangan Kirana masih kosong, entah apa yang ada dipikirannya. Dunia benar-benar menyakiti wanita itu tanpa sisa, tanpa belas kasih hingga seluruh senyumnya ia renggut.

“Mbak?”

“Hm?”

“Kamu habis dari mana?” Almira berusaha bertanya pelan-pelan. “Atau kalau Mbak belum mau cerita, Mbak mau istirahat aja? Ganti baju, Mbak. Pakai bajuku aja.”

“Mir?”

“Iya?”

“Jangan kasih tau siapa-siapa ya kalau aku disini.” suara Kirana terdengar mengawang, masih menatap Almira dengan pandangan kosongnya.

“Iya, Mbak. Aku gak akan kasih tau siapa-siapa kamu disini, tapi jangan pergi lagi ya. Disini aja, kalau Mbak mau pergi kasih tahu aku ya.”

Kirana hanya mengangguk, setelah menemani Kirana berganti pakaian dan memastikan wanita itu terlelap di ranjangnya. Almira berjalan keluar kamar kostnya, ia mengabari Bagas jika ia sudah bertemu dengan Kirana tanpa memberi tahu Kirana ada dimana. Yang terpenting baginya, Bagas sudah bisa tenang jika sudah mendapat kabar tentang Kirana. Untung saja Bagas menurut pada Almira untuk tidak ngotot ketemu Kirana dulu, biarlah nanti Almira sendiri yang akan menjelaskannya pada Bagas di kantor besok pagi.

🍃🍃🍃

Entah sudah berapa jam Asri menunggu seorang pria yang tengah berbicara pada seorang pria lainnya di pojok sebuah cafe itu, dengan wajah yang serius seperti tengah membicarakan sesuatu yang genting. Keningnya sesekali Asri perhatikan mengkerut dengan wajah yang sedikit masam namun terkadang menampilkan senyum yang ia paksakan. Katakanlah ini sebuah kebetulan, karena ia datang ke cafe itu bukan karena sengaja untuk membuntuti Bagas yang juga tengah bertemu dengan klien nya. Asri sedang makan siang sendiri, sampai akhirnya ekor matanya menangkap pria yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini.

Tentang kabar kepergian Ibu nya Kirana sampai kabar tentang Bagas yang mempersiapkan lamaran untuk Kirana itu sudah sampai ke telinganya, sebagian memang ia dapatkan sendiri dari hasil membuntuti Kirana hanya demi memastikan wanita itu sudah menjauhi pria yang Asri cap sebagai miliknya itu. Dan sebagian lagi ia dapat dari Kanes, seperti sewaktu Kanes memesan beberapa bunga, mereservasi tempat dan berbincang dengan Bagas melalui telefon.

Semua Asri dapatkan kabarnya sampai pada akhirnya ia bertanya pada Kanes langsung, bahkan di hari Kanes dan Bagas tengah mempersiapkan itu semua pun Asri tahu karena dia ada di sana. Bahkan, kematian mendiang Ibu nya Kirana di jadikan momen telak baginya karena acara lamaran Bagas itu batal. Asri senang bukan main saat mengetahui itu, apalagi akhir-akhir ini Bagas cukup sering sendirian karena Kirana tidak terlihat bekerja di kantornya. Apalagi dengan wajah Bagas yang seperti menampakan jika ada yang tidak baik-baik saja pada hubungannya dengan Kirana.

Itu semua semakin menambah kesenangan bagi Asri, karena justru kesempatan kosong seperti ini lah ia bisa masuk lewat celah sekecil apapun untuk merebut hati Bagas. Setelah bersalaman pada kedua pria yang duduk di depannya dan pria itu pergi, semua itu menandakan jika pertemuan mereka sudah selesai. Ini adalah kesempatan bagi Asri untuk menghampiri Bagas dan mengajaknya bicara barang sebentar.

Wanita itu membawa tas miliknya, berdiri dan berjalan penuh dengan kepercayaan dirinya. Wajahnya ia naikan beberapa senti sampai memperhatikan leher jenjangnya yang tidak terhalang rambut panjangnya itu, ketukan dari heels yang dipakainya beradu dengan lantai marmer cafe tersebut, membuat Bagas yang tadinya sedang fokus dengan ponselnya itu jadi menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang tengah berjalan ke arahnya.

“Hai,” sapa Asri dengan senyum yang merekah pada wajah angkuhnya itu.

Bagas agak sedikit terperangah karena kehadiran Asri yang tiba-tiba dan tidak diduganya, ia tersenyum sedikit kemudian mengangguk kecil. “Hai.”

“Aku boleh duduk sini? Atau kamu udah janjian sama orang lain?”

“Duduk aja, gue udah selesai ngobrol sama klien.” Tanpa menghiraukan Asri, Bagas mengemasi beberapa berkas miliknya, charger Macbook nya dan menaruhnya kembali kedalam tas.

“Habis meeting ya, Gas?” Asri basa basi, dia sudah tahu dari tadi. Bahkan sejak klien Bagas masih duduk di kursi yang ia tempati.

“Iya nih.” Bagas melihat ke arloji yang ada di pergelangan tangannya, bergerak dengan gelisah sembari sesekali menoleh ke arah ponselnya. Gerak geriknya seperti tengah menunggu kabar dari seseorang. “Sri, sorry gue enggak bisa lama-lama.”

“Ah, Gas. Tunggu sebentar, sebentar aja please ada yang mau aku omongin sama kamu.” Asri sebenarnya sudah menduga jika Bagas akan segera bergegas meninggalkan cafe itu, maka kedua tangan kurusnya itu bergerak dengan cepat menahan lengan Bagas yang tadinya sudah siap memakai tas nya kembali.

“Mau ngomong apa?”

“Soal Ibu..” Asri memejamkan matanya. “Ibu kamu.”

“Kenapa sama Ibu?” Bagas selalu mendapat kabar soal Ibu dari Kanes, kedua orang tua nya itu bahkan baik-baik saja meski sesekali bertanya kabar Bagas melalui Kanes. Karena mereka tahu, Kanes dan Bagas masih sering bertukar kabar.

“Ibu nanyain kamu, Gas. Kamu kapan mau pulang?”

Bagas menghela nafasnya, di lihatnya ke arah luar jendela siang itu. Mataharinya terik Jakarta siang itu nampak tidak lenggang sama sekali, tak ada kata lenggang bahkan. Orang-orang masih berlalu lalang entah kemana, para pedagang di pinggir jalan masih menjajahkan dagangannya tanpa surut semangatnya bahkan oleh matahari yang terik sekalipun. Pemandangan di luar sana nampaknya lebih mengasikan bagi Bagas di banding ia harus bertatap muka dengan Asri, membicarakan orang tua nya.

Ini bukan karena Bagas anak kurang ajar yang tidak perduli akan kabar orang tuanya, bukan. Hanya saja, Bagas sudah tahu kabar kedua orang tua nya dari Kanes. Dan apa yang Asri katakan padanya itu selalu sama tentang orang tua nya, topiknya hanya berputar pada kapan ia akan segera pulang, kapan ia akan segera berbaikan dengan kedua orang tua nya. Seolah-olah ia harus di tuntut selalu mengalah pada ego orang tua nya, lagi pula. Dalam persoalan ini sebenarnya Asri tidak bisa terlalu bisa ikut campur seharusnya, ia adalah orang lain. Ranahnya tidak bisa sejauh itu menjangkau urusan orang tua dan anak ini.

“Gue udah pulang, Sri. Waktu itu, tapi ujung-ujungnya gue tetap ribut. Lagi pula gue selalu tau kabar mereka dari Kanes,” Bagas sedikit ketus, waktunya tak banyak. Ia harus segera kembali ke kantor.

“Iya aku tau, Ibu juga udah cerita soal itu. Maksudku disini, tinggal lagi sama orang tua kamu. Mereka tuh sayang banget sama kamu loh, Gas. Ayolah turunin sedikit ego kamu yang mereka lakuin ini sebenarnya demi kebaikan kamu juga.”

sorry, Sri. Kebaikan yang mana maksud lo?”

Asri terperangah, wajah ramah Bagas itu berubah menjadi masam. Tatapannya tajam dengan kedua alis yang nyaris menyatu karena keningnya mengekerut. “Yang maksa kehendak mereka dan mengorbankan kebahagiaan anaknya?”

“Gas, kamu tau kan hubungan yang dilandasi tanpa restu orang tua itu berat? Mereka gak setuju kamu sama Kirana loh, bisa aja kan ucapan orang tua kamu benar tentang Kirana.”

“Dan bisa juga ucapan mereka salah tentang Kirana. sorry, Sri. Kalo lo disini cuma mau menghakimi Kirana dan ikut campur urusan pribadi gue. Waktu gue enggak banyak, gue harus balik ke kantor ada hal yang lebih penting dari pada sekedar bahas obrolan yang gak akan ada habisnya ini.” Bagas buru-buru memakai tasnya, tanpa memperdulikan panggilan Asri ia melangkah panjang-panjang keluar dari cafe itu.

Hatinya panas, bukan hanya Bagas tapi juga Asri. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di sebelah pahanya. Dalam hati ia menyupah serapahi Kirana yang entah sudah memberikan apa pada Bagas sehingga pria itu begitu membela dan tergila-gila padannya. Nafsu makannya tak lagi menggebu sejak kepergian Bagas, ia ingin segera pergi juga namun saat kakinya ingin melangkah keluar, lengan tanganya itu ditahan oleh sebuah tangan besar yang melingkar begitu pas di lengannya yang kecil.

Membuat Asri seketika menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa asal pemilik tangan yang sudah menarik lengannya kini. Raka, pria itu menyeringai dengan gestur yang membuat Asri seketika mati kutu. Sejak kapan pria itu disini? Apa ia melihatnya berbicara dengan Bagas barusan?

“Lepasin gak?!” Pekiknya tertahan.

“Duduk.” Raka menunjuk kursi yang tadi di duduki Asri dengan dagunya itu, menyuruh wanita di depannya itu untuk kembali duduk ke kursinya.

“Gak, gue buru-buru.”

“Duduk atau gue bilang sama Bagas kalau elo udah pernah menikah bahkan punya anak.” Raka mengatakannya dengan santai, namun ucapannya itu berhasil membuat kedua mata Asri membulat sempurna sehingga tubuhnya spontan mengikuti apa kata Raka untuk kembali duduk ke kursinya.

Ia kalah telak. Raka terlanjur melihatnya, salahnya sendiri karena ia kurang hati-hati. Ia lupa jika Raka dan Bagas satu perusahaan, bisa jadi memang mereka meeting bareng atau lebih buruknya lagi terlibat dalam satu proyek yang sama.

“Jadi Bagas?” Raka menaikan satu alisnya, kemudian terkekeh mengejek Asri.

“Lo gak perlu tau.”

“Oh ya jelas gak perlu, tapi gue penasaran aja. Ternyata selain lo nelantarin anak lo, pembohong ulung dan sekarang? Ada sebutan yang lain yang bisa gue kasih ke elo? Perebut cowok orang?” Tawa Raka hampir meledak ketika kedua mata Asri membulat sempurna, wanita itu tampak kesal dan bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri.

“Gue udah dijodohin sama Bagas, jauh sebelum kita kenal bahkan gue udah kenal sama dia dari lama.”

“Selama apapun lo kenal, itu gak akan mengubah fakta kalau elo tetap ngerebut Bagas dari Kirana.”

“Orang tua nya Bagas bahkan gak ngerestuin hubungan mereka.”

Raka hanya memajukan bibirnya, kepalanya mengangguk-angguk dengan santai. Sama sekali tidak terpancing dengan apa yang Asri katakan barusan, ia hanya sedikit kaget awalnya waktu ia ingin turun ke lantai 1 cafe yang memang memiliki 2 lantai. Raka mengurungkan niatnya untuk lebih memilih mengamati Asri dan Bagas dari kejauhan, Asri nampak begitu kenes saat berbicara dengan Bagas. Namun Bagas jauh dari kata itu, pria itu bahkan kelihatan tidak nyaman dan ingin segera meninggalkan Asri.

Awalnya Raka hanya menebak kira-kira apa hubungan keduanya, namun, mengingat Asri memang tidak pernah dekat dengan pria lain dan dari gerak-geriknya yang memang seperti sedang memikat Bagas. Maka Raka simpulkan sendiri jika Bagas adalah pria yang memang di jodohkan dengan Asri.

“Lo mau ancam gue pake ini? Tega lo hancurin kebahagiaan gue? Inget yah, gue Ibu dari anak lo dan sejak kita cerai. Hak asuh Resaka ada di tangan gue. Gue bisa rebut dia dan gak akan gue biarin lo ketemu sama dia lagi.”

“Asri..Asri, lo kok bisa nya cuma ngancam. Setakut itu gue bakalan buka mulut? Sepenting itu reputasi lo di hadapan orang tua nya Bagas? Gak takut lo bikin mereka kecewa?”

Asri menyeringai, ia berdiri dan menendang salah satu kaki meja hingga meja itu mundur dan mengenai kaki Raka. “Gue udah nurutin apa yang lo mau buat ketemu sama Resaka, itu perjanjian kita kalo lo lupa.”

Bersambung...

Di temani dengan suara televisi yang sedang menayangkan sebuah drama itu, kedua mata Kirana justru tertuju pada sebuah mesin print yang perlahan-lahan sedang mencetak sebuah surat yang baru saja selesai dibuatnya. Perlahan-lahan mesin itu mengeluarkan kertas dari dalamnya hingga akhirnya mesin itu berhenti karena sudah selesai mencetak, diambilnya kertas itu dan Kirana baca kembali. Itu adalah surat pengunduran dirinya dari perusahaan tempatnya bekerja.

Entah apa yang ada dipikiran Kirana saat itu sampai-sampai ia memutuskan untuk mengundurkan diri, sebenarnya faktor utamanya adalah ia ingin menenangkan diri dulu dari kehilangan Ibunya, yang kedua adalah ia ingin menghindari Bagas. Kirana bukan tidak bekerja sama sekali pada akhirnya, ia tetap akan bekerja namun bukan pada sebuah firma arsitektur lagi. Ia memutuskan untuk menggantikan pekerjaan Ibu nya di toko kue, alasannya sangat sederhana. Hanya dengan bekerja di sanalah Kirana bisa merasa dekat dengan Ibunya.

Bau dapur di toko itu, celemek yang selalu Ibu nya kenakan dan teman-teman Ibunya yang cukup perhatian dengannya. Kirana merasa hangat dan dekat, mungkin dengan cara seperti itu ia mengobati luka di hatinya. Setelah 3 hari menginap di rumah Almira, kondisi Kirana sudah cukup membaik meski setiap malam ia berjuang berusaha untuk terlelap, berusaha untuk tidak terisak dan terjun pada gelapnya kesepian dan kesedihan.

Besok ia akan kembali bekerja untuk yang terakhir kalinya, mengemasi barang-barang di kursinya sekaligus berpamitan pada rekan-rekannya. Malam ini ia sudah janjian dengan Bagas untuk bertemu, pilihannya sudah bulat. Ia akan tetap meninggalkan Bagas, berapa kalipun memikirkan hidup tanpa lelaki itu akan sangat menyakitinya. Namun Kirana berpikir itu jauh lebih baik dari pada Bagas harus kehilangan keluarganya. Tidak ada orang yang mau hidup seperti itu, jika memang harus ada yang dikorbankan biarlah itu dirinya dan hubungannya dengan Bagas.

“Mbak?”

Kirana menoleh, ada Almira di belakangnya. Membawa pie susu dan segelas teh hangat untuk mereka berdua. Selama beberapa hari menjadikan kosan Almira sebagai satu-satunya tempat pelarian mencari ketenangan. Akhirnya Kirana memutuskan banyak hal disana, termasuk keputusan-keputusan terberat yang akan ia ambil. Almira pun benar-benar menjaganya. Meski tidak sepenuhnya, dalam artian Almira memang memberitahu pada Bagas jika Kirana berada di rumahnya agar pria itu sedikit lebih tenang. Beruntulah Bagas mau mengikuti permintaan Almira untuk tidak menemui Kirana dahulu.

Almira duduk di sebelah Kirana, mengusap pundak wanita yang lebih tua darinya itu. “Udah selesai, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah, Mir. Doain yah.”

“Aku pasti doain kamu terus, Mbak. Keputusan berat ini gak mudah kamu ambil.”

Kirana tersenyum, senyum yang tulus seolah-olah ia tengah berterima kasih pada Almira lewat senyuman itu karena telah mau menampungnya, mendengar ceritanya dan menguatkannya. Meyakinkan jika ia bisa bertahan untuk hal-hal kecil di hidupnya. “Kira-kira setelah ini hidupku bakalan baik-baik aja gak yah, Mir.”

Kadang Kirana terlampau sering mengkhawatirkan hidupnya, setelah banyak mengalami kehilangan. Akan ada badai apa lagi di hidupnya? Kadang ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, namun terkadang juga ia merasa bangga karna bisa melalui semua ujiannya.

“Aku gak bisa mastiin hidupmu bakal gimana, Mbak. Tapi apapun yang Mbak lalui nantinya, aku akan selalu sama Mbak. Mbak tuh udah aku anggap kaya Mbakku sendiri.” tidak ada yang dapat menebak hari esok seperti apa, bahkan 5 menit dari sekarang. Almira hanya ingin meyakinkan Kirana jika ia tidak pernah sendiri bahwa akan selalu ada ia yang terus bersamanya. “Mbak?”

“Hhm?”

“Kamu yakin?”

“Soal?” Kirana menoleh ke arah Almira. Menelisik lewat wajah wanita itu tentang apa yang ia ragukan dari keputusannya.

Resign?” Almira mengigit bibirnya, takut-takut ucapannya menyinggung Kirana.

“Aku udah yakin, Mir. Aku mau kerja di toko ibuku kerja dulu. Masih mau ngerasain bau Ibu. Selain itu, kalau aku masih tetap di kantor. Itu artinya aku akan selalu ketemu Bagas. Makin sulit buat aku kalau terus-terusan ketemu dia.”

Almira mengambil tangan Kirana, mengenggamnya erat dan mengusapnya. Bersama Kirana ia merasakan memiliki seorang saudara perempuan yang di idamkannya selama ini, terkadang. Almira ingin protes kenapa wanita sebaik Kirana harus memiliki liku hidup yang pahit tapi disisi lain pun Almira yakin semua cobaan yang datang pada hidup Kirana itu semua karena Kirana sangatlah kuat.

“Aku akan selalu kangen hari-hari kita di kantor, Mbak. Walau udah gak sekantor, Mbak janji ya bakalan sering main kesini. Aku bakalan kangen banget cerita-cerita di kantor.”

Karena suara Almira yang sudah bergetar, Kirana merentangkan tangannya dan membawa Almira kepelukannya. “Kamu udah aku anggap kaya Adikku sendiri, Mir. Aku bakalan sering ke sini.”

Setelah berpamitan pada Almira, Kirana sempat kembali ke rumahnya dahulu untuk menaruh tas miliknya. Kemudian, menemui Bagas di Taman Kota seperti janji mereka, hari itu memang sengaja Kirana tidak ingin Bagas menjemputnya ke rumah atau menyuruhnya datang ke rumahnya. Begitu turun dari bus yang ditumpanginya, Kirana berjalan sedikit dari halte bus itu untuk sampai di Taman Kota. Tak susah rupanya untuk menemukan Bagas, pria itu tengah duduk sembari menonton pertandingan soft ball yang ada di sana.

Kirana sempat memperhatikan punggung lebar itu, mengusapnya dalam udara seolah-olah ia tengah mengusap punggung Bagas. Ia akan selalu merindukan pelukan dari pria itu kelak, dirasa cukup puas untuk memperhatikan punggung itu. Kirana berjalan mendekat, ia duduk di samping Bagas hingga membuat perhatian pria itu teralihkan padanya.

“Hai,” sapa Kirana.

Bagas tersenyum, ia lega bukan main bisa melihat wanita nya lagi. “Kamu naik apa kesini?”

“Bus, kenapa.”

“Gapapa, tanya aja. Harusnya tadi kamu aku jemput aja, kan kita bisa ke sini bareng.”

“Aku lagi mau naik bus, Bagas.”

Bagas mengangguk kecil, ia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping. Memperhatikan wajah dahayu kesayangannya itu. Senyum Kirana sudah kembali meski belum seterang biasanya, pancaran matanya masih redup tapi wanita itu sebisa mungkin untuk terlihat baik-baik saja di depannya.

“Aku kangen kamu, Na.” Selama beberapa hari tidak mendapat kabar dari Kirana bahkan tidak bertemu dengan wanitanya itu. Bagas benar-benar rindu sekaligus khawatir, ia bersyukur bukan main begitu Almira mengabarinya bahwa Kirana berada di rumahnya. Walaupun Almira meminta Bagas untuk tidak menemui Kirana dahulu sampai wanita itu benar-benar tenang, Bagas lakukan itu. Apapun akan Bagas lakukan agar wanitanya membaik.

“Aku juga.” Kirana tersenyum, memejamkan matanya. Membiarkan tangan besar Bagas itu menyingkirkan anak rambutnya dan menyelipkannya ke belakang telinganya.

“Kamu udah jauh lebih baik?”

“Um, sedikit lebih baik.”

“Syukurlah aku lega dengarnya.”

Sempat hening beberapa saat, mereka hanya saling memandang dan tersenyum seperti mengungkapkan kerinduan yang bisa dibayar hanya dengan saling menatap. Menelisik keadaan satu sama lain lewat lemparan tatapan mata itu, sampai akhirnya Kirana menelan saliva nya susah payah. Air matanya mengembang pada pelupuk matanya, bersiap untuk segera di tumpahkan. Lehernya tercekat bahkan disaat kata-kata perpisahan belum terlontar dari bibirnya.

“Ah sebentar, aku punya sesuatu untuk kamu.” Bagas menarik tas miliknya, dan mengeluarkan sebuah kotak disana dan membukannya. Sebuah cincin dengan permata mengkilap yang nampak begitu cantik. Kilapanya yang terkena pantulan sinar dari lampu Taman itu, membuatnya terlihat sangat mewah meski design nya sederhana.

Kirana yang hampir saja menangis itu, sedikit teralihkan. Sempat terlontarkan apakah disaat-saat seperti ini Bagas justru melamarnya?

“Bagas?”

“Jadi istriku, Na. Menikah sama aku. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu. Kita bisa punya rumah buat tempat kita pulang, aku bisa buatin taman kecil di depan rumah kita buat kamu tanami bunga. Kamu suka bunga kan?”

Kirana terdiam, ia bahkan tidak mengambil kotak berisi cincin yang di berikan Bagaa padanya. Hatinya sakit, seperti ada jutaan pisau menghunusnya tanpa ampun. Ada teriakan direlung hatinya yang mengatakan jika ia tidak sanggup untuk berpisah, jika semesta sudah sangat kejam padanya dan bagaimana caranya mengucapkan kata perpisahan yang bukan hanya menyakiti hati pria nya itu.

“Bagas?” Kirana menengadahkan wajahnya, matanya sudah memerah dan sedetik kemudian air mata turun membasahi wajahnya. “Berhenti.”

Tak ada sahutan dari Bagas. Ia hanya menatap wajah Kirana dengan jutaan pertanyaan di kepalanya, Kirana memintanya berhenti untuk apa? “Maksud kamu, Na?”

“Hubungan kita.” Kirana kembali memperjelas ucapannya tempo hari. Saat mengatakan hal itu dadanya kembali sakit.

“Kenapa, Na? Kenapa sama hubungan kita? Kamu kecewa ya sama aku karna aku gak ada waktu Ibu kamu meninggal, iya?”

“Aku capek, Gas..”

“Capek?” Bagas mengerutkan keningnya. Ia sempat berpikir awal mula Kirana meminta pisah darinya karna kekecewaan wanita itu saat ia tidak ada waktu Ibunya meninggal, tapi malam itu Bagas tersadar ketika Kirana mengatakan ia lelah. Bisa jadi Kirana lelah karena keluarganya? Karena sampai hari ini pun, orang tua Bagas belum memberikan restu untuk mereka. Pikirnya.

“Aku mau kita benar-benar berakhir.”

“Kita benar-benar berakhir?” Bagas mengulang ucapan Kirana. “Gak ada harapan lagi, Na? Kamu udah gak sayang sama aku?”

Kirana menangis sesegukan, ia berusaha mengusap wajahnya dari air mata yang terus turun membasahi pipinya. “Karena aku sayang kamu, Gas. Aku sayang kamu. Gimana mungkin enggak?”

Keduanya terdiam, Bagas sibuk memandangi Kirana dengan hati yang hancur, mata yang mulai memanas bersiap untuk menangisi hubunganya yang rumit itu. Sedangkan Kirana sibuk mengusap air matanya, syukurnya tak banyak pasang mata di sana, para pemain soft ball pun tak memperdulikan kehadiran keduanya di sana. Mereka terlalu fokus pada permainan. Kotak berisi cincin yang sudah Bagas buka tadi ia tutup dan ia taruh begitu saja di antara mereka.

“Tapi aku juga sayang diriku sendiri, Gas. Makanya aku gak bisa melanjutkan hubungan ini.”

“Aku siap ninggalin keluargaku, Na.” Air mata yang sedari tadi Bagas tahan itu akhirnya terjun juga. Ia menangis, hatinya pedih seperti ada silet yang menyayatnya. “Aku siap ninggalin orang tuaku.”

Kedua bahu Kirana merosot, kepalanya menggeleng dan ia tatap pria yang sangat ia cintai itu lekat-lekat seolah-olah esok hari ia takan melihat Bagas lagi. “Gak ada yang mau hidup seperti itu, Bagas. Aku juga sakit kalau kamu sakit. Kalo kita tetap maksain bersama, aku cuma gak mau hidup dalam kebencian orang lain. Aku gak mau merebut kamu dari keluargamu, Gas.”

“Aku gak mau putus dari kamu, Na.” Bagas sebisa mungkin membujuk Kirana, ia bahkan sudah tidak perduli menangis menyesakan di depan wanita itu. Ia raih tangannya dan ia genggam tangan kurus itu erat-erat, berharap hati Kirana luluh dan ia mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hubungan yang sudah mereka bangun selama hampir 7 tahun itu. “Aku gak bisa kehilangan kamu, Na. Aku harus gimana..”

“Bagas, kamu pasti bisa..” Suara Kirana bergetar, ia masih menangis namun ia berusaha menenangkan Bagas. Ia usap pucuk kepala pria itu dengan senyuman paling menyakitkan yang ia berikan. “Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan kamu, Bagas.”

Bagas tak menjawab lagi, ia buru-buru menarik Kirana dalam dekapannya dan menangis sepuas hatinya dalam bahu kecil wanita itu. Menghirup aroma tubuh Kirana yang selama ini selalu berhasil membuatnya tenang. Bagas sama sekali tak menampik jika sikap keluarganya memanglah sudah keterlaluan dengan Kirana hingga membuat wanita itu sakit hati dan berakhir melepaskannya.

“Aku akan selalu kangen bau kamu, Na.”

Kirana mengigit bibir terdalamnya, berusaha meredam isaknya sendiri dengan menenggelamkan wajahnya pada bahu pria yang sangat ia sayangi itu. “Setelah ini kamu harus pulang ya, Gas. Minta maaf sama orang tua kamu karena udah melawan mereka.”

Bagas menggeleng, ia semakin memeluk Kirana dengan erat. Setelah memutuskan untuk berpisah pada Bagas. Kirana pulang, dalam bus pun ia masih menangis. Apalagi ia pulang lebih dulu dari pada Bagas, awalnya Bagas memaksa untuk mengantarnya pulang namun Kirana menolaknya. Ia masih ingin sendiri, meski belum sepenuhnya terima Bagas mencoba untuk mengerti kenapa pada akhirnya Kirana menyerah pada hubungan mereka.

Hubungannya memang tidak mudah, meski Bagas mencoba berkali-kali untuk tetap mempertahankannya. Semua sia-sia karena Kirana sudah terlanjur sakit hati. Malam itu Kirana pulang ke rumah sewanya, tidur di kamar Ibunya sembari mendekap daster milik Ibunya itu. Masih ada aroma tubuh Ibu di sana karena daster itu belum ia cuci.

“Buk, hari ini adalah hari yang berat buat Kirana.” Matanya terasa membengkak kembali karena untuk kesekian kalinya, air mata itu kembali terjun dengan bebas ke wajahnya. “Kirana udah gak punya Bagas, Buk. Kirana sendirian..”

🍃🍃🍃

Pada suatu pagi yang bahkan matahari belum muncul di permukaan, Raga terjaga dalam tidurnya. Nafasnya tak beraturan setelah sekelebatan mimpi tentang Jayden itu kembali dalam kilasan yang sangat amat jelas dalam kepalanya, ah tidak, lebih tepatnya itu seperti sebuah ingatan yang sudah lama ia lupakan dan kini ingatan itu telah kembali. Begitu bangun ia terengah, keringat bercucuran bukan main derasnya membasahi kening hingga turun ke lehernya. Tampak sedikit asing ruangan yang menjadi tempatnya istirahat itu, ada sebuah kesadaran yang terbelenggu lama kini muncul kembali bahwasanya ia adalah pria Belanda itu sendiri, ia adalah Jayden yang terlahir kembali menjadi seorang pribumi.

Ia melihat ke arah jam dinding yang tergantung tak jauh dari ranjangnya berada, sudah pukul 5 pagi. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya dengan gerakan tergesah untuk segera menuju kamar mandi. Di basuhnya wajahnya dan ia cermati cermin di depannya itu lekat-lekat, seolah-olah ia tak mengenali dirinya sendiri. Hidung mancungnya, kulit putih pucatnya dan rambut hitam legam itu. Raga sentuh kepalanya dengan wajah yang bingung, namun sedetik kemudian ia menghela nafas pelan.

“Apa Ayu juga mengingat ini semua? Atau hanya aku?” desahnya dalam keputusasaan.

Pagi itu Raga mandi dan segera berangkat ke kantornya, kini ingatan tentang jiwa masa lalunya itu sudah terkumpul. Dan ia akan tetap hidup sebagai Raga, melajukan mobilnya ia membelah jalanan pagi itu yang belum ramai. Dan dengan langkah besar-besar ia segera berjalan menuju ke ruanganya, belum ada karyawan lain. Hanya ada cleaning service saja yang menyapanya pagi itu dan menawarinya untuk di buatkan kopi.

Hari ini harusnya Kirana datang ke kantor, ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Seperti hal nya mimpi itu juga terjadi pada Kirana, kemudian ingatan tentang masa lalu itu yang baru saja Raga sadari. Apa kali ini Kirana juga sudah mengingatnya jika ia adalah Ayu yang terlahir kembali? Raga tidak melakukan apa-apa di ruanganya selain mencari tahu tentang reinkarnasi, separuh dalam dirinya itu berdecap kagum akan kecanggihan teknologi masa kini. Dan ada yang sangat Raga syukuri saat ini, karena ia terlahir sebagai seorang pribumi.

Satu persatu meja terisi oleh karyawan yang berdatangan, namun yang ditunggu belum juga datang, beberapa kali Raga mengintip dari tirai di ruanganya namun meja Kirana belum juga terisi oleh sang empunya. Sampai akhirnya ia di beritahu oleh Satya jika jam 9 nanti mereka harus meeting dengan klien di luar kantor. Mau tak mau Raga harus menuruti perintah itu, 2 jam meeting pikiran Raga hanya berputar pada Kirana. Seperti, apakah wanita itu juga mengingat dirinya sebagai Ayu, apakah mereka terlahir kembali untuk memenuhi janji-janji itu, dan kenapa bukan hanya dirinya dan Kirana saja yang terlahir kembali. Melainkan ada Adi yang kini terlahir sebagai Bagas, Dimas yang kini terlahir sebagai Raka.

Raga menoleh ke arah pria yang tengah berbicara di sebelahnya itu oleh klien mereka, di tahun 1898. Satya adalah kawannya, seorang Indo Belanda yang bernama Jacob. Pria itu terlahir kembali dan tetap menjadi sahabatnya. Apa Satya juga mengingat dirinya di masa lalu? Saking terbuainya dalam lamunan, Raga sampai tidak sadar jika Satya memperhatikannya.

“Pak,” Satya sedikit menggoyangkan tubuhnya, membuat Raga tersadar dari lamunannya itu.

“Kenapa?”

“Jangan ngalamun. Itu Pak Wicaksono tanya soal kolam nya.”

Nyawa Raga rasanya seperti dipaksa berkumpul, ia buru-buru mencari design miliknya dan ia jelaskan pada kliennya itu. Setelah meeting yang berjalan cukup lama menurut Raga akhirnya ia bisa bernafas lega ketika kembali menginjakan kakinya di kantor, begitu sampai ia sudah dibuat terperangah oleh kehadiran Kirana yang duduk di kursi meja nya. Kebetulan tatapan mata keduanya saling bertemu.

Ada sesuatu yang membuat hati Raga mencelos begitu matanya bertemu dengan mata Kirana, ada sebuah sirat kerinduan dari tatapan matanya. Seperti ia baru bertemu dengan kekasihnya setelah sekian lama berpisah dan menunggu, ada dorongan pada diri nya yang membuatnya ingin memeluk Kirana erat. Namun akal sehatnya masih berjalan untuk menahan keinginan itu semua. Terlebih ia bukan siapa-siapa Kirana dikehidupan kini dan lagi pula ini di kantor.

Kirana berdiri dan mengangguk kecil pada Raga yang entah sejak kapan kakinya sudah berhenti di depan meja Kirana itu, dengan tatapan yang Kirana sendiri sulit artikan. Bahkan bukan hanya Kirana yang memandang Raga bingung, namun Almira dan Satya pun sama.

“Sia..siang, Pak.” Kirana menyapa demi menyadarkan Raga dalam tatapan dalamnya itu. Ia berhasil di buat salah tingkah dan bingung dengan tatapannya.

“Hm.. Ka..mu baru mulai masuk lagi, Na?”

Kirana mengangguk kecil, “hari ini hari terakhir saya bekerja disini, Pak.”

Raga mengerutkan keningnya bingung, “terakhir?”

“Saya sudah mengajukan resign, Pak.”

“Kenapa mendadak sekali, Na?”

Kirana tersenyum getir, satu ruangan di sana menoleh ke arahnya. Termasuk Satya yang sama kagetnya dengan Raga, Bagas dan Almira yang sudah mengetahui alasannya pun masih di buat menoleh. Raga yang menyadari banyak mata tertuju pada Kirana itu akhirnya memutuskan untuk mengajak Kirana bicara di ruangannya.

Di dalam ruangan itu, keduanya sempat saling diam. Kirana yang menyerahkan surat pengunduran dirinya pada Raga dan Raga yang masih terus menerus memperhatikan wajah Kirana. Pagi itu bukan hanya Kirana saja yang merasa Raga bersikap aneh, tapi Satya pun yang memperhatikan mereka berdua dari kursinya juga berpikir demikian.

“Kirana?” Panggil Raga.

“Ya, Pak?”

“Kenapa mendadak sekali?”

Kirana menelan salivanya susah payah, hatinya berkecamuk. Berat sebenarnya ia mengambil keputusan ini. Terlebih kantor yang menjadi tempat ia mencari nafkah selama ini cukup membuatnya nyaman, meski beban kerjanya terbilang cukup tinggi namun lingkungan pertemanan di dalamnya cukup hangat. Bahkan di sana pula Kirana dapat mencicil sedikit demi sedikit hutang Bapak walau belum sepenuhnya selesai.

“Saya ngerasa belum cukup stabil untuk bekerja, Pak. Saya mau memulihkan mental saya dulu. Maaf kalau terdengar kekanakan.”

“Oh, enggak sama sekali, Na.” Raga menggeleng, ia tidak pernah meremehkan keputusan karyawannya. “Saya mengerti kok.”

“Terima kasih, Pak.”

Sebenarnya ada yang ingin Raga tanyakan pada Kirana mengenai dirinya, namun Raga tahan itu semua. Dia cuma merasa waktunya belum tepat saja untuk membicarakan hal ini. Lagi pula, ia bisa bertanya hal itu pada Kirana kapan saja. Toh mereka masih akan tetap terikat sebagai pemilik rumah dan penyewa.

Bersambung...

Ada titik dimana Bagas sangat amat bahagia dalam hidupnya, bisa terbilang dari kecil hidupnya berjalan sudah cukup mulus. Seperti ia selalu bisa masuk ke sekolah yang ia inginkan, mendapatkan nilai yang baik, di sukai oleh teman-teman di manapun ia berada, masuk ke universitas yang ia impikan, ikut organisasi di sana dan berhasil mengecani wanita yang ia sukai. Bisa terbilang hanya ada badai kecil yang singgah hanya sebentar di hidupnya, sampai di mana badai itu datang dan tak singgah sebentar di hidupnya ia saat ini ada di titik di mana ia merasa tak lagi hidup.

Ia hanya bernafas mengikuti alur semesta yang entah akan membawanya kemana, sudah 8 bulan sejak berpisah dengan Kirana ia belum juga kembali ke rumahnya. Ia tidak tahu di mana sekarang Kirana bekerja, tapi yang cukup membuatnya lega adalah wanita itu masih tinggal di rumah sewa Gambir. Terkadang, jika sangat amat merindukan Kirana. Ia melajukan mobilnya ke dekat rumah sewa itu hanya demi melihat Kirana dari kejauhan. Memastikan wanita yang masih sangat ia cintai itu hidup dengan baik, Bagas tidak berani menyapa Kirana lagi. Bukan tidak berani sebenarnya, hanya saja Bagas tidak memiliki muka untuk menemui wanita itu setelah tahu apa yang dilakukan orang tua nya.

Bagas tahu jika Ibunya menemui Kirana dan meminta wanita itu melepaskan hubungan mereka dari Kanes, Kanes tidak sengaja mendengar obrolan Ibu dengan Asri. Yang dilaporkan dari Kanes ke Bagas nyatanya jauh lebih menyakitkan dari pada yang Bagas tahu, sejak ia mengetahui hal itu. Ia tidak ingin bertemu dengan Kirana lagi. Karena tanpa ia sadari, dirinya lah penyebab Kirana merasakan sakit hati. Ia sudah kalah telak dalam melindungi wanitanya.

Selama 8 bulan ini pula hidup Bagas hanya berjalan begitu datar, bekerja hingga larut, olahraga sampai membuat dirinya kelelahan dan beberapa kali pingsan dan itu semua berputar seperti sebuah roda setiap harinya. Bagas terus membuat dirinya sibuk demi bisa melupakan Kirana, tapi nyatanya sesibuk apapun ia. Pada celah kecil waktunya bahkan ketika makan sekalipun kepalanya masih mengingat Kirana dengan baik.

Hari ini, Kanes menjemputnya ke rumah yang Bagas sewa setelah mengetahui kakak laki-lakinya itu sakit. Kanes yang memaksa Bagas untuk kembali ke rumah mereka, mengingat keadaan Bagas cukup memperhatikan saat ini, pria itu kehilangan banyak berat badannya, matanya berkantung, tidak makan dengan baik dan bahkan Bagas berani menyentuh rokok. Barang yang sangat ia benci, bahkan saat Kanes menjemputnya Bagas hanya pasrah saja karena tubuhnya lemas. Seumur-umur Kanes tidak pernah menyangka jika patah hati akan menghancurkan jiwa kakaknya seperti ini.

Begitu sampai rumah, Ibu menyambut Bagas dengan penuh keprihatinan. Tidak menyangka jika putra sulungnya itu akan sehancur ini, Ibu sudah tahu soal Kirana dan Bagas berakhir berpisah. Karena keduanya pernah bertemu kembali setelah perpisahan itu.

“Ya ampun, Gas. Kok sampai sebegininya kamu..” Ibu membantu Kanes memapah Bagas ke sofa, tubuh Bagas yang terbilang cukup tinggi itu agak menyulitkan keduanya.

Setelah Bagas sudah duduk di sofa, Kanes membantu Ibu mengambilkan minum untuk Bagas. Ibu masih memperhatikan wajah si sulung itu, yang pucat dengan mata berkantung, rambut yang sedikit gondrong, kumis yang tidak dicukurnya. Sangat amat berbeda dari Bagas yang terakhir kali kembali ke rumah itu.

“Minum dulu, Mas.” Kanes kembali, memberikan teh hangat untuk kakaknya itu.

“Kita ke dokter yah?” setelah membantu Bagas minum ibu kembali menaruh cangkir itu ke meja. Mencoba peruntungannya untuk membawa Bagas ke dokter, karena Kanes sudah beberapa kali memaksa Bagas untuk ke dokter tapi tetap saja hal itu di tolak mentah-mentah oleh Bagas.

“Gak usah, Buk.”

“Kamu tuh sakit, Gas. Mukamu ini loh pucat banget, kurus.”

Bagas menggeleng, ia merasa hanya butuh sendiri. Memikirkan kelanjutan hidupnya, atau justru Bagas hanya membutuhkan Kirana di sebelahnya? Entahlah, Bagas sendiri bingung. Ia tidak tahu apa yang ia inginkan, ia hanya tidak bernafsu pada apapun.

“Kanes panggil dokter Mawardi aja ke rumah yah?”

Bagas tetap menggeleng, “gausah.”

“Jangan begini, Nak. Ibu sedih sekali lihat kamu sakit begini.”

Mendengar ucapan Ibu alih-alih merasa tersentuh, Bagas justru terkekeh pelan. Ucapan Ibunya seperti terdengar sebuah lelucon saat ini di telinganya. “Kan Ibu yang buat Bagas seperti ini, Buk.”

“Maksud kamu?” Ibu mengerutkan keningnya bingung.

“Yang Bagas butuhin bukan dokter, Buk. Bukan obat atau bukan pulang ke rumah ini. Bagas cuma butuh Kirana.”

Ibu mendengus, sudah menduga sejak awal jika Bagas sakit seperti ini karena frustasi wanita itu meninggalkan putra sulungnya. Karena tidak ingin berdebat pada Bagas yang sedang sakit, Ibu akhirnya berdiri dan pergi dari ruang tamu. Meninggalkan Bagas yang masih bersandar pada sofa ditemani oleh Kanes.

“Mas mau Kanes telfonin Mbak Kirana?” Mungkin dengan cara ini, dengan Kirana datang menjenguk Bagas. Kakaknya itu bisa pulih atau minimal dapat mengumpulkan semangat hidupnya lagi.

Bagas menggeleng, “gak usah, Nes. Mas gak mau bikin dia susah lagi.”

“Mas yakin? Putus kan bukan berarti kalian jadi gak saling komunikasi, Mas. Kanes tau ini gak mudah juga buat kalian.”

“Mas cuma mau menghargai keputusan dia” Bagas mengulurkan tangannya dan mengusap kepala Kanes. “Antar Mas ke kamar aja yah, Mas mau istirahat.”

🍃🍃🍃

Mobil yang dikemudikan oleh Adel berhenti di sebuah toko kue yang sudah menjadi langganan Ibu mertuanya itu, hari ini Adel mengajak Raga untuk membantunya mengambil kue dan berbelanja air minum untuk acara arisan keluarga dari pihak keluarga Ethan. Tadinya Raga menolak dengan alasan dia agak sedikit lelah tapi Adel memaksanya, ia sudah lelah melihat Raga yang setiap kali hari libur hanya bergerumul di rumah saja, sedikit banyaknya Adel mengkhawatirkan umur Raga yang sudah terbilang cukup matang itu. Adiknya belum sama sekali memiliki seseorang wanita untuk dikencaninya.

Adel sudah mencoba peruntungannya dengan mengenalkan kenalan-kenalannya dengan Ethan pada Raga, namun itu semua berakhir asam karena tak ada satu pun dari wanita-wanita yang ia kenalkan berakhir memiliki hubungan serius dengan Raga. Adel sadar Raga sama sekali tidak memiliki progress untuk hubunganya pada setiap wanita yang dikenalkannya entah seperti apa selera adiknya itu, Adel pernah bertanya pada Raga secara gamblang tentang kriteria wanita idamannya, namun Raga hanya menjawab dengan enteng seperti, “yang penting yang baik aja.” tanpa menyebutkan spesifiknya.

Yang lebih melantur lagi adalah Ethan pernah menyangka jika Raga penyuka sesama jenis, yang tentu saja ucapan ngelantur Ethan itu dihadiahi sebuah cubitan maut di perut suaminya itu. Raga bukan pria seperti itu, ia yakin Adiknya hanya terlalu pemilih saja.

“Mbak, gue tunggu di sini aja deh gak usah keluar.” keluh Raga, dia agak sedikit segan sebenarnya menemani Adel. Ia ingin berbaring di ranjang seharian. Raga sudah pindah ke kantornya Ethan dan pekerjaan di sana cukup membuat waktu istirahatnya tersita.

“Dih, tega yah lo. Bantuin banyak banget ini loh belanjaanya tega yah?” Adel memasang wajah melasnya.

Raga mendengus, ia melepaskan seatbelt nya dan membuka pintu mobilnya. Pria jangkung itu turun lebih dulu dengan Adel di belakangnya, walau melakukannya setengah hati tapi Raga tidak menampakan ekspresi keterpaksaanya itu. Waktu ia membuka pintu toko kue itu, tercium khas butter dan aneka jajanan pasar tersaji di etalase toko itu. Raga sempat tertarik untuk melihat-lihat kue apa saja yang dijual di sana, seketika tidak ada rasa menyesal karena sudah ikut Adel untuk mengambil pesanannya karena ia dapat menemukan kue tradisional yang ia suka.

Toko yang dari luar terlihat kecil dan sedikit menyempil di ujung gang itu ternyata cukup luas bagian dalamnya, dari luar memang tidak nampak seperti sebuah toko kue jajanan pasar. Ada banyak bunga dan tanaman sulur yang merambat dari atap hingga turun memanjang di dinding depannya, kalau di lihat dari depan orang pasti akan mengira itu adalah toko bunga. Tapi begitu berdiri di depan pintunya saja pasti sudah tercium aroma khas butter yang membuat orang akan tersihir hingga masuk ke dalamnya.

“Mbak, mau kue nagasarinya yah.” melihat kue dengan isian buah pisang itu membuat Raga menelan saliva nya. Perutnya bergejolak meminta kue itu segera dimasukan ke dalam mulutnya. Ada sebagian dirinya dari masa lalu yang menginginkan sekali kue itu.

“Mau berapa, Mas?”

“5 yah.”

Pelayan itu mengambil 5 buah kue nagasari dari etalase dan menaruhnya disebuah kotak, kemudian Raga di arahkan ke kasir. Namun langkah kakinya itu tiba-tiba saja menjadi lebih berat dan tubuhnya seketika membeku ketika ia melihat siapa wanita yang tengah berdiri di depan mesin kasir tersebut. Wanita itu sama terkejutnya dengannya, namun sedetik kemudian senyum manisnya merekah.

“Mau bayar, Pak Raga?” ucapnya.

Raga hanya mengangguk tanpa menjawab, ia terlihat kikuk dan sangat bodoh rasanya kalau tadi ia tetap kekeuh menolah ajakan Adel untuk mengambil pesanan di toko ini. “Kamu kerja di sini, Na?”

Raga mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya dan memberikannya ke Kirana, tatapannya tak berpindah dan tetap pada wanita itu. Sejak Kirana mengundurkan diri dari kantor dan ia fokus untuk menyelesaikan proyek-proyeknya, Raga sama sekali tak menghubungi Kirana lagi. Bahkan soal pembayaran rumah yang wanita itu sewa ia serahkan pada Adel.

Raga hanya saja tidak memiliki alasan untuk bertemu dengan Kirana, lagi pula waktu itu tekad nya sudah bulat untuk melupakan perasaanya pada Kirana. Mengabaikan mimpi dan kenyataan jika ia adalah reinkarnasi dari Jayden dimasa lalu. Toh sepertinya yang mengingat memori masa lalu mereka hanya Raga saja, tapi siapa sangka jika takdir justru mempertemukan mereka di sebuah toko kue yang tak disangka-sangka.

“Iya, Pak. Toko kue ini tempat dulu Ibu saya bekerja.” Kirana memberikan uang kembalian untuk Raga sekaligus setruk pembayaran dan juga kue yang sudah ia kemas dengan kotak dan juga paper bag.

“Ahh...” Raga mengangguk-angguk. “Gimana kabar kamu?”

“Baik, Pak. Bapak sendiri?”

“Baik, Na. Ah, jangan manggil saya pakai sebutan Bapak lagi bisa? Saya kan udah bukan atasan kamu lagi.” Raga hanya ingin mengobrol pada Kirana dengan santai saja, toh mereka hanya berbeda 3 tahun dan sudah tidak ada sekat atasan dan bawahan diantara mereka.

“Sa..saya harus panggil apa?” Kirana gugup, rasanya aneh sekali harus memanggil Raga tanpa embel-embel “Pak.”

“Raga aja.”

“Eng..gak enak, Pak. Kedengarannya aneh.”

Raga sempat menyingkir sebentar karena ada pelanggan lain yang ingin melakukan transaksi, akhirnya Raga memilih untuk duduk di salah satu kursi di sana sembari memperhatikan Kirana dari kursi itu. Tidak lama kemudian, Adel sudah selesai dengan pesanannya dan menghampiri Raga yang tengah asik memakan kue nagasari di kursinya.

“Yuk, kita balik. Bawain kotak-kotaknya, Ga. Gue mau ngaso di sini dulu.” Adel mengambil satu kue nagasari yang ada atas meja dan memakannya.

“Mbak?”

“Hm?”

“Gue gak ikut balik ke rumah yah, gue mau di sini dulu sebentar.”

“Hah? Ngapain?” pekik Adel.

“Kirana kerja di sini, Mbak. Gue mau ngobrol sama dia sebentar.” Raga menunjuk Kirana yang masih berada di depan meja kasir, melayani pembeli dengan senyuman ramahnya.

Adel menoleh ke arah yang Raga tunjuk, dan seketika senyum jahil merekah pada wajahnya. “Elu yah, masih belum move on juga? Itu cewek orang Raga astaga..”

“Apasih, Mbak. Gue cuma mau ngobrol, cuma mau tanya kabarnya aja.” Raga memang hanya ingin tahu kabar Kirana saja, memastikan wanita itu baik-baik saja setelah pengunduran dirinya dari kantor.

Adel memutar bola matanya, agak sedikit frustasi memberitahu Raga bahwa tidak baik terus melambungkan harapan pada wanita yang sebentar lagi resmi menjadi milik orang lain. “Yaudah, habis itu buruan nyusul yah.”

“Iya, Mbak.”

“Tapi bantuin gue bawain kotak-kotak itu ke mobil dulu.”

Raga mengangguk dengan cepat, kemudian berdiri dan segera membawa kotak-kotak berisi kue itu ke dalam mobil. Adel sempat menyapa Kirana, tidak lama memang. karena pelanggan yang datang cukup ramai dan membuat Kirana tidak bisa berlama-lama untuk mengobrol karena takut menganggu Kirana yang sedang bekerja. Setelah Adel kembali ke rumah, Raga tetap pada kursinya. Sesekali ia membeli kue lain di sana dan juga es cendol. Ia masih menunggu Kirana hingga jam istirahat atau bahkan jam shift nya berakhir hanya untuk mengajaknya bicara.

Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya Kirana menyingkir dari meja kasirnya dan menghampiri Raga yang masih setia duduk di kursinya. Di atas meja nya itu bukan hanya ada kotak yang tadinya terisi oleh kue nagasari tapi ada dua gelas es cendol, dua piring yang tadinya berisi risol, pastel dan kue cucur. Perut Raga sudah kenyang rasanya mencicipi kue-kue itu.

“Maaf yah Pak lama, shift saya baru aja selesai jam dua.” Kirana duduk di depan kursi Raga.

“Jadi kamu udah pulang, Na?”

Kirana mengangguk, “sudah, Pak.”

“Yaudah kalo gitu kita ngobrol di tempat lain aja yah, gak enak saya sudah duduk di sini dua jam.” Raga tersenyum kikuk dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali, karyawan lain memang tidak memperdulikannya mau duduk di sana berapa lama pun selama ia membeli. Hanya saja, Raga yang malu.

“Iya, boleh, Pak. Tunggu sebentar yah, saya ambil tas saya dulu.” Kirana berlalu dari sana, berganti pakaiannya, mengambil tas dan berpamitan pada rekannya yang lain.

Setelah itu ia menghampiri Raga kembali dan mereka pergi dari toko itu, keduanya menaiki bus yang akan membawa mereka ke sebuah pusat bisnis, kuliner, perbelanjaan dan hiburan di kawasan Jakarta Selatan. Di dalam bus mereka sempat agak canggung karena harus duduk bersebelahan, terutama Raga dengan detak jantungnya yang semakin menggila. Ingatnya berkelana pada masa lampau dimana keduanya masih bernama Ayu dan Jayden. Tapi buru-buru ia tepis hal itu dengan mencoba mengajak Kirana berbincang lagi.

“Ah, soal panggilan itu, Na.” Raga memulai pembicaraan lebih dulu.

“Ya, Pak gimana?”

“Kamu panggil saya Raga aja bisa kan?”

Kirana meringis, “sungkan, Pak. Rasanya aneh.”

Raga memejamkan matanya, ia sendiri juga bingung ingin di panggil apa dengan Kirana. “Umur kamu berapa, Na?”

“28, Pak.”

“Panggil saya Mas aja kalau begitu, bisa?”

Kirana melirik ke arah Raga sebelum benar-benar menoleh kearahnya, kedua mata mereka bertemu. Udara dingin yang berasal dari AC bus itu rasanya tidak mempan bagi keduanya karena ada setitik keringat membasahi kening Raga, ia benar-benar gugup. Belum sempat Kirana menjawab sontak Raga berdiri dan memberi kursinya pada penumpang yang baru saja masuk, lansia. Ia berdiri di samping kursinya tadi sembari berpegangan pada handle grip agar dirinya tidak terhuyung kedepan ketika supir bus menginjak rem.

Sementara itu Kirana menoleh ke arah lain, melihat jalanan jakarta siang itu yang tidak terlalu padat. Jalanan masih agak terik hingga sinar matahari menyorot menembus melalui kaca bus yang ditumpangi keduanya. Sesampainya di pemberhentian terakhir keduanya turun, berjalan sedikit untuk sampai ke pusat kuliner. Kirana sempat menebak mungkin tempat itu tidak akan terlalu ramai, mengingat ini bukan jam makan siang dan juga belum terlalu gelap untuk di sebut sore atau bahkan malam. Tapi sudah banyak pengunjung di sana yang mendatangi berbagai macam pilihan restoran dan cafe-cafe yang berjejer di sepanjang jalan.

Kirana lupa ini masih hari libur, dalam langkah yang sejajar itu keduanya berjalan tanpa ada obrolan sedikit pun. Bibir Kirana terasa kaku hanya untuk bertanya pada Raga kemana mereka hendak pergi.

“Kamu suka pancake gak?” tanya Raga tiba-tiba, ucapan itu berhasil membuat Kirana menoleh ke arah pria jangkung di sebelahnya itu.

“Suka, Mas.”

Nyaris saja biji mata Raga keluar karena ia membulatkan matanya tiba-tiba, napasnya terasa tercekat hanya karena terkejut ketika Kirana memanggilnya dengan sebutan “Mas.” ini memang permintaanya, tapi kenapa rasanya terdengar sangat meluluhkan hatinya, jutaan kupu-kupu gila terasa terbang berkeliaran di perutnya.

“Ki..kita makan pancake aja ya?”

Kirana mengangguk, Raga jalan lebih dulu. Membiarkan Kirana berjalan di belakangnya. Tak ada maksud lain di balik tindakannya selain ia ingin menetralkan degub jantung nya lebih dulu. Begitu sampai di sebuah cafe, Raga mencari tempat duduk untuk ia dan juga Kirana. namun sialnya cafe itu agak penuh dan mereka terpaksa menunggu untuk mendapatkan 2 kursi itu.

“Mau makan di tempat lain aja, Na?” Raga menawarkan alternatif lain, siapa tahu Kirana sudah kepalang lapar.

“Gapapa, Mas. Saya mau nyobain pancake nya, katanya kalau rame itu tandanya enak.”

“Beneran?”

Kirana mengangguk, “ah, iya. Saya dengar dari Almira, Mas Raga pindah kantor?”

Almira sempat bercerita pada Kirana jika Raga pindah bekerja, pindah ke perusahaan lain. Waktu itu Almira bercerita dengan wajah yang sedikit masam, Raga memang dikenal sebagai atasan yang agak kaku, tidak seperti kebanyakan atasan yang berusia muda lainnya, Raga itu jarang sekali mengetahui hal-hal yang sedang ramai di bicarakan, makanya tak jarang ia tidak dapat berbicara banyak dengan karyawannya yang lain diluar obrolan kerjaan mereka. Tapi terlepas dari sikapnya yang membosankan, Raga adalah atasan yang baik dan juga sangat menghargai bawahannya.

“Iya, Na. Saya pindah dari kantor. Saya kerja bareng sama Mas Ethan kakak ipar saya.”

“Suaminya Mbak Adel yah?”

“Yup.” Raga mengangguk, “kamu sendiri gimana? Saya pikir kamu kerja di firma lain.”

Kirana tersenyum, ia memang tidak mengatakan pada siapapun selain Almira jika ia bekerja di toko tempat ibunya bekerja dulu. “Enggak, Mas. Sejak kepergian Ibu, saya mutusin buat kerja di toko itu karena toko itu tempat ibu bekerja dulu. Sederhananya saya ngerasa dekat sama Ibu kalau berada di sana.”

“Ahhh...” Raga mengangguk-angguk, “tapi keadaan kamu baik-baik aja sekarang kan, Na?”

“Baik, Mas. Jauh lebih baik kok.” keduanya bersandar di dinding cafe itu, setapak demi setapak mereka maju ketika pelayan cafe itu keluar dan mengantar satu persatu pelanggan yang antre lebih dulu dari mereka ke kursi yang sudah tersedia.

“Sebenarnya, Na. Di hari terakhir kita bertemu, waktu itu saya mau tanya sesuatu ke kamu.”

“Oh ya? Tanya apa, Mas?” Kirana menoleh ke arah Raga, membuat Raga yang berdiri di sebelahnya itu sedikit salah tingkah. Dalam hati Raga terus meruntuki dirinya yang tampak tidak keren sama sekali di depan Kirana.

“Soal, mimpi—” Raga menarik nafasnya sebentar. “Saya—”

Kirana mengangguk, setelah hari terakhirnya bekerja pun Kirana kembali bermimpi tentang Ayu dan Jayden kembali. Mimpi yang selama ini ia alami berputar kembali begitu cepat bagaikan sebuah kaset di kepalanya, dan paginya ketika ia terjaga ia bukan lagi merasa itu semua adalah mimpi. Melainkan potongan dari kisah masa lalunya, pagi itu Kirana tersadar jika ia adalah Ayu yang terlahir kembali. Kilasan itu sebuah cerita yang belum selesai.

“Sir Jayden.”

“Ka..kamu ingat saya?” Raga terperangah, ia yang tadinya berdiri di sebelah Kirana itu kini berpindah berdiri di depannya. “Kamu ingat saya Ayu?”

Kirana tidak menjawab, tenggorokannya rasanya tercekat, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu perasaan ini apa, namun ketika menyebutkan nama Jayden barusan dan melihat reaksi Raga yang justru menunjukan jika dirinya adalah Jayden dari masa lalu. Kirana ingin sekali berlari memeluk Raga, seperti ingin melepas rindu yang bertahun-tahun membuncah dalam hatinya yang terpaksa ia tahan. Petang itu, di bawah sorot matahari menjelang sore di bawah rerimbunan pohon kedua anak manusia itu saling menatap.

Seperti berkomunikasi hanya dengan tatapan itu, seperti tengah mengisi rindu satu sama lain. Sampai akhirnya Raga menarik tangan Kirana dan membawa wanita itu dalam pelukannya, beberapa pasang mata yang melewati mereka sempat melirik ke arah Raga dan Kirana namun keduanya abaikan begitu saja.

“Tolong jangan tinggalin saya lagi, tolong hidup lebih lama lagi..” ucap Kirana lirih, ia tenggelamkan wajahnya di dada bidang Raga. Sama sekali tidak menyangka jika pria kolonial itu kini terlahir kembali menjadi seorang pribumi yang tak kalah jauh menawan. Hatinya masih bersih dan telat ia menyadari jika semesta kembali mempertemukan mereka.

Bersambung...

Uploaded image on Imghippo

Petang itu disaksikan oleh swastamita dan langit merah serta hiruk piruk dari bunyi kendaraan yang semakin ramai, dan burung-burung yang berterbangan kembali ke sarang setelah mencari makan. Dua anak manusia itu duduk disebuah taman, sesekali keduanya saling melirik atau bahkan berlempar pandangan dengan malu-malu. Ada kelegaan hati, sedikit rindu yang masih menyelinap dan rasa kagum yang ingin keduanya utarakan. Kirana bingung harus bersikap seperti apa, harus bagaimana ia memperlakukan pria di depannya ini.

Apakah ia harus memperlakukan pria itu sebagai Jayden kekasih nya dulu ataukah memperlakukannya sebagai Raga? Mengingat Jayden yang saat ini adalah seorang pribumi bernama Raga. Meski mereka telah mengingat bahwasanya mereka telah terlahir kembali dalam sosok baru. Tanpa obrolan itu sama sekali tak membuat keduanya canggung, justru saling berdiam diri seperti ini malah menyelimuti mereka dalam rasa nyaman.

“Saya harus panggil kamu apa?” Tanya Raga tiba-tiba, ia menoleh pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. Kirana tadi tampak asik melihat ke atas, melihat kereta yang berjalan di atas mereka.

“Sebagai Kirana?” Ia menaikan satu alisnya. “Karena kita hidup di tahun 2025. Kita terlahir dalam kehidupan baru, Mas.”

Raga mengangguk setuju, meski dikatakan mereka hidup dalam raga yang sama tetapi kehidupan mereka baru jiwa mereka baru, nasib mereka berbeda dan karakter mereka pun tentunya berbeda.

“Kamu sejak kapan sadar soal reinkarnasi itu?”

“Hhmm..” Kirana tersenyum, matanya kembali memandang kereta yang berlalu lalang yang seperti tidak berada jauh dari mereka jika di lihat dengan pandangan mata sesaat. “Sejak hari dimana saya mengundurkan diri.”

“Lama juga yah..” Raga mengangguk-angguk. “Kirana?”

“Hm?”

“Kamu tau kenapa waktu itu saya mati?” Raga menggeleng pelan, memejamkan matanya dan meralat ucapannya kembali. “Maksud saya, Jayden.” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan menaruh telapak tangannya di dada.

“Tau, Mas. Waktu itu kan saya pernah cerita kalau Ayu ketemu dengan Jacob. Jacob yang menggantikan posisi Sir Jayden sebagai asisten residen, dia juga yang mengantarkan saya ke kebun melati yang kamu buat.”

“Waktu itu Jacob yang saya minta untuk memanam benihnya di sana. Jayden tertarik buat bikin kebun itu buat kamu, karena kamu sering menjadikan melati sebagai hiasan untuk rambut kamu. Dia selalu mikir kalau kamu identik dengan melati, wanginya dan rupanya itu menyerupai kamu”

Raga tersenyum, mengingat bagaimana Jayden tersenyum ketika Jacob De Houtman selesai menanam benih-benih melati itu. Menunggu hingga pohonnya tumbuh hingga berbunga, pertama kali memetik melati itu dan mengekstraknya hingga menjadi wewangian untuk kamarnya. Disaat itulah Jayden merasa hidup kembali, merasakan seperti masih ada Ayu yang menemaninya meski saat itu Ayu sudah menikah dan diboyong oleh Dimas ke Surabaya.

“Waktu itu Jayden berharap bisa memberitahu kamu tentang kebun itu sendiri, tapi sayangnya dia sakit. Mungkin depresi karena kamu menikah sama Dimas. Dan setelah sembuh, dia mulai sibuk kembali sama pekerjaanya sampai hari dimana dia dibunuh.” Raga meringis, mengingat bagaimana dengan jelas Jayden terbunuh dalam pemberontakan yang melibatkan petani dan para pribumi itu.

Para petani pribumi itu tidak terima karena karena sistem cultuurstelsel itu menjadi pajak tanah dan pajak hasil bumi, yang membuat para petani merasa pajaknya memberatkan, Laporan hasil pajak tidak transparant dan priyai lokal sering memeras. Jayden tak lepas dari serangan pembrontakan itu yang tak terencana tanpa organisasi, Jayden dibunuh dengan senapan milik tentara Kolonial yang sudah tewas dan senjatanya diambil alih oleh pemberontak, Meskipun sangat berpihak pada pribumi, Jayden tak lepas dari para petani yang membabi buta itu karena di anggap ikon Kolonial.

“Jacob cerita soal itu, tapi Ayu gak sanggup dengarnya.”

“Kirana?” Raga menoleh ke arah Kirana, ingin sekali dia berbicara pada wanita itu sebagai Jayden pada Ayu. Itu pun kalau Kirana tidak keberatan, karena sejak kematian Jayden ada banyak kata yang tak tersampaikan pada wanitanya. meski Jacob dan Adi menyampaikan pesannya untuk Ayu.

“Ya, Mas?”

“Saya boleh bicara sama kamu sebagai Jayden?”

Hening beberapa saat, keduanya masih saling menelisik lewat lemparan pandangan mata itu. Hanya ada suara adzan berkumandang di sekitar mereka dan lampu-lampu taman yang mulai dinyalakan, serta air mancur yang berada di bagian bawah taman itu yang ikut menyala seperti menyaksikan cerita dua anak manusia yang belum usai itu.

“Boleh,” jawab Kirana pada akhirnya.

Raga tersenyum, senyum itu mengingatkan Kirana akan Jayden dalam mimpinya. Ah tidak, itu memang Jayden. Pria di depannya ini terlahir kembali dan mengingat semuanya dengan baik. Begitu juga dirinya.

“Saya senang kamu terlahir kembali Ayu, terima kasih sudah menepati janji kita untuk sama-sama terlahir kembali.” saat Raga mengatakan itu rasanya tak ada sekat lagi di antara Kirana dan Raga, maksudnya Kirana benar-benar tidak melihat Raga sebagai Raga lagi. Tetapi sebagai Jayden dan dirinya sebagai Ayu.

Suasana ramai dan penuh dengan gemerlap lampu serta suara dari kereta yang ada di atas sana seakan sirna, digantikan dengan keduanya seolah-olah berdiri di tengah kebun melati yang wanginya bahkan menyeruak memenuhi cuping hidung Kirana. Suasananya dingin namun tetap sedikit hangat, pria di depannya itu yang biasa ia lihat lekat dengan surai legamnya kini berubah menjadi rambut pirang khas Eropa dengan topi fedora khas dan pakaian serba putih gading itu.

Semua berubah dimata Kirana, bahkan cardigan biru yang ia gunakan itu berganti dengan sebuah kebaya cantik dengan bawahan kain. Rambut panjangnya itu di epang dan diberi hiasan bunga melati. Keduanya seperti ditarik kembali pada masa lalu.

“Maaf saya belum sempat membaca surat yang Sir Jayden tulis. Surat itu diambil paksa oleh Mas Dimas dan dirobek olehnya.” Nada bicara Kirana bahkan tidak terdengar seperti Kirana, itu benar-benar Ayu.

Ada sedikit kekecewaan akan hal itu, surat yang Jayden tulis adalah seuntai kalimat yang sangat mewakili hatinya kala itu. Tentang bagaimana ia jatuh cinta pada pribumi itu, tentang bagaimana ia mencintainya dan tentang hatinya yang sakit setelah ditinggal menikah olehnya. Ada pesan juga yang ditulis Jayden tentang kebun melati itu yang tadinya memang ia persembahkan untuk hadiah pernikahan mereka kelak.

“Gapapa, yang terpenting Adi sudah memberikan surat itu padamu.”

“Memang isinya apa?”

“Kapan-kapan akan aku tulis ulang untuk kau baca ya.” Raga (Jayden) itu tersenyum. Ingatanya kembali jika mereka hidup di tahun 2025 tidak ada perang lagi, tidak ada tentangan dari orang tua Kirana (Ayu) untuk mereka berhubungan hanya karena dirinya seorang kolonial. Tapi di tahun ini Kirana (Ayu) telah menjadi milik seorang pria lain. Dan pria itu adalah Bagas yang paras nya mirip sekali dengan Adi.

“Kirana?”

“Ya, Mas?”

“Soal.. Bagas? Gimana kabar dia?”

Demi menyadarkan dirinya dan menempatkan kembali posisinya sebagai Jagaraga Suhartono. Raga kembali bertanya tentang Bagas, biar bagaimana pun dikehidupan kali ini ada banyak hal yang berubah. Bisa saja semesta hanya mempertemukan mereka kembali atas janji masa lalu, ya, bisa saja hanya sebatas itu tanpa membiarkan mereka bersatu menjadi pasangan. Raga ingin dirinya sadar jika ia adalah Raga dan Kirana tetaplah Kirana. Jayden dan Ayu hanya bagian masa lalu dari kehidupan mereka terdahulu.

Kirana menghela nafasnya pelan, hatinya seperti dicubit ketika Raga menyinggung tentang Bagas. Ia sendiri tidak tahu kabar pria itu, Kirana yang meminta pada Bagas untuk berhenti mengiriminya pesan dan fokus pada kehidupan mereka masing-masing. Tapi bagaimana pun sekarang, Kirana hanya berharap jika Bagas baik-baik saja.

“Hubungan saya sama Bagas sudah selesai, Mas.” jawabnya pada akhirnya. Mata Kirana mengawang melihat langit malam itu yang begitu polos, hitam dengan sedikit kemerahan tanpa bintang. Ah, sudah lama sekali ia tidak melihat bintang.

“Selesai maksudnya? Kalian putus?”

Kirana mengangguk, “iya, Mas. Sebenarnya hubungan kami tidak di restui oleh keluarga Bagas. Dan orang tua nya terang-terangan menyuruh saya menjauhi anak mereka. Awalnya saya masih ingin bertahan karena saya sayang sama Bagas, tapi disisi lain saya enggak ingin di anggap merebut Bagas dari keluarganya. Saya hanya tidak ingin memaksakan keadaan.”

Raga jadi teringat waktu ia di undang ke pesta ulang tahun Ibunya Bagas, masih teringat jelas bagaimana Kirana diacuhkan dan diperlakukan sangat tidak baik. Setelah Kirana pergi pun, Bagas dan Ibunya masih berdebat. Hari itu Raga sudah bisa menduga jika keluarga Bagas memang tidak menyukai Kirana. Tapi sama sekali tidak pernah terlintas di kepalanya jika suatu hari Kirana akan menyerah lebih dulu pada hubungannya dengan Bagas.

“Maaf yah, Na. Saya jadi tanya-tanya seperti ini tentang hubungan kamu.” Raga jadi merasa tidak enak.

“Gak papa, Mas. Saya sudah lebih, berlapang dada buat menceritakan ini.”

🍃🍃🍃

Denting pada jam dinding dan kipas angin di ruangan itu menjadi satu-satunya sumber dari suara yang menemani Kirana di atas ranjangnya. Tubuhnya berbalik ke kanan dari kiri, mencari posisi yang menurutnya nyaman hingga matanya terpejam dan larut dalam keheningan malam. Namun sayangnya ia masih terus terjaga, ia jadi teringat pertemuan 8 bulan yang lalu pada orang tua Bagas itu. Ia mencoba memejamkan matanya, berharap lelap menghampirinya namun yang di lihatnya bukan hanya gelap karena matanya telah terutup. Melainkan ingatannya yang di lempar balik ke 8 bulan lalu.

8 Bulan Yang Lalu...

Kirana datang lebih dulu ke cafe yang sudah menjadi tempatnya dan Ibunya Bagas bertemu. Ia sudah memasan minuman untuknya, secangkir kopi Sidikalang yang wanginya sudah membuat cuping hidungnya kembang kempis. Dihirupnya wangi dari asap yang sedikit mengepul itu, sembari sesekali Kirana menatap ke arah luar jendela yang menampakan kesibukan sore itu. Langit berwarna jingga itu seakan menemaninya menunggu seseorang.

Kirana ingin berterima kasih pada semesta hari itu, melihat langit yang indah dengan burung-burung berterbangan, serta daun-daun yang berguguran diterpa angin dan juga suara musik cafe yang menghalau heningnya. Kirana merasa nyaman bahkan untuk berdiam diri di sana, namun tak lama kemudian bunyi gemerincing yang berasal dari lonceng yang di taruh di depan pintu cafe berbunyi.

Menandakan ada pelanggan yang masuk ke cafe itu, Kirana menoleh ke arah pintu itu dan ia dapati seorang wanita yang sudah ia tunggu sekitar tiga puluh menit yang lalu akhirnya datang. Ia sontak berdiri dan mengangguk kecil, hendak menyalami wanita itu ketika tanganya sudah terangkat ke udara. Namun sayangnya hanya angin yang menyapanya karena wanita itu langsung duduk di kursi depan Kirana.

“Langsung saja ada apa kamu ingin bertemu dengan saya?” Tanyanya dengan angkuh, dagunya ia naikan beberapa senti menambah kesan anggun dan keangkuhan yang tergambar jelas pada raut wajah dahayu sisa masa lalu itu.

“Buk, apa kabar?”

Ia menyeringai, menatap Kirana dengan sengit. “Kabar saya tidak akan pernah baik Kirana kalau anak saya belum kembali ke rumah.”

Kirana mengangguk pelan, ia berusaha melemparkan senyumnya. Senyum penuh keteguhan dan kelapangan dada pada suatu pelepasan yang sangat amat ia sayangi. “Buk, sebentar lagi mungkin Bagas akan segera pulang. Ia akan kembali ke rumah orang tuanya.”

“Maksud kamu?” Wanita itu mengeryitkan dahinya. Air wajahnya seakan meminta penjelasan dari maksud ucapan Kirana.

“Beberapa hari yang lalu saya sudah bertemu dengan Bagas setelah menghindar darinya selama satu minggu, kami banyak mengobrol. Dan pada pertemuan itu saya bilang ke Bagas bahwa saya tidak bisa melanjutkan hubungan kami.” Kirana menahan ucapannya sebentar. Ia menunduk, ia yakin ia sudah berlapang dada. Namun rasanya masih ada sedikit sakit di hatinya mengingat hari itu, mengingat bagaimana Bagas menatapnya dengan nanar dan menangis pada pelukan terakhir mereka.

“Kamu sudah putus dengan dia Kirana?”

Kirana mengangguk, “kurang lebih seperti itu, Buk.”

“Baguslah kalau begitu, lebih baik memang begitu.”

“Buk, Bagas kelihatan enggak baik-baik aja akhir-akhir ini. Bahkan di hari terakhir saya bertemu sama dia, kalau boleh saya berpesan pada Ibu. Tolong hubungi dia yah, Buk. Tanya kabarnya, suruh dia makan dengan benar dan istirahat. Saya sudah tidak bisa melakukan hal itu lagi padanya.”

Entah kata-kata mana yang membuat hati wanita itu seketika tertegun, ia seperti kehilangan kata pada mulutnya. Meratapi kata-kata wanita muda di depannya itu, matanya menatap wajah yang tenang di sebrang sana yang kini tengah menunduk. Tidak ada keraguan dalam nada biacaranya seperti seseorang yang sudah menerima keadaan, namun tetap tersirat sebuah ketulusan di sana.

“Buk, saya sudah melepaskan Bagas. Saya mau bilang ke Ibu, terima kasih karena sudah merawat dan mendidik Bagas dengan baik. Dia laki-laki baik yang pernah saya miliki, Buk. Dia pendengar, obat dan sandaran yang pernah saya miliki. Terima kasih telah meminjamkan Bagas untuk menjadi orang yang saya sayangi, saya akan terus berdoa untuk kebahagiaan Bagas.”

Meski berpisah dengan Bagas, Kirana selalu mengharapkan ada banyak hal baik yang menghampiri hidup pria itu. Untuk menyembuhkan segala rasa sakit yang ia timbulkan karena menyerah pada hubungan mereka. Ada sirat pada kehidupan masa lalu yang tertanam di kepalanya, Bagas di kehidupan lalunya yang bernama Adi. Pria itu hidup dalam serba keprihatinan, jarang sekali tersenyum, selalu menunduk dan jalan membungkuk. Bahkan sampai akhir hidupnya Kirana merasa Adi belum di beri kesempatan berbahagia.

Kirana berharap di kehidupan ini Bagas tidak bernasib sama pada kehidupan masa lalunya. Ia ingin pria itu bahagia pada kehidupan ini, apapun bentuk bahagia nya asalkan Bagas bisa tersenyum dan lupa akan sakit hatinya. Wanita di depannya itu terdiam beberapa saat, sempat menahan nafasnya mendengar kata-kata Kirana yang terdengar sungguh merendah dan tulus mencintai putranya itu.

“Kenapa kamu berterima kasih sama saya Kirana, saya sudah menyuruh kamu meninggalkan Bagas.”

“Karena tanpa Ibu, Bagas tidak akan menjadi Bagas yang seperti saya kenal, Buk. Dia baik. Saya harap siapapun pasangannya nanti, ia juga sama baiknya seperti Bagas.”

“Dan kamu masih mendoakan kebahagiaan dia?”

Kirana mengangguk, “karena Bagas sudah memberikan banyak kebahagiaan pada saya.”

Ibu menelan salivanya susah payah, tenggorokannya terasa tercekat. Entahlah perasaan ini pantas disebut apa tetapi Ibu merasa sangat tersentuh pada ucapan Kirana. Benci ia mengakui jika wanita muda yang dicintai putranya itu terlihat begitu tulus menyayangi Bagas. Demi pendiriannya yang teguh, ia angkat kembali dagunya demi menepis perasaanya yang sudah disentuh itu.

“Saya juga ingin mengucapkan terima kasih karena telah melepaskan Bagas.”

Bersambung...

Kepulan asap dari panci yang berada diatas kompor itu membuat Asri tersenyum, menatap butir-butir beras yang ia masak itu kini telah berubah menjadi bubur. Ditambahkannya lagi sedikit garam karena di rasa terlalu hambar setelah ia cicipi, setelah itu ia matikan kompornya. meninggalkan sejenak panci berisi bubur itu untuk mengambil mangkuk, ayam yang sudah ia iris kecil-kecil, daun seledri dan juga kacang untuk toping diatas buburnya. Bibir mungilnya itu tidak berhenti tersenyum, membayangkan bagaimana reaksi seseorang yang ia buatkan bubur itu.

Asri terlalu percaya diri jika masakannya memang yang terbaik, terlalu percaya diri jika Bagas akan makan dengan lahap jika ia suapi dengan bubur yang ia buat. beberapa hari yang lalu memang calon Ibu mertuanya itu mengabari Asri jika Bagas sudah kembali ke rumah. Namun pria itu sedang sakit dan Ibu meminta Asri menemani Bagas, ya hitung-hitung mengambil hati pria itu pelan-pelan, Berharap dengan segenap perhatian yang Asri berikan Bagas akan melupakan Kirana dan jatuh cinta padanya.

Ketika semua bahan sudah siap, ia ambil satu centong bubur yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di mangkuk. wanginya menyeruak hingga ke ruang tamu. Ia kemudian memberi kuah kuning yang tadi ia buat, setelah itu memberinya sedikit kecap dan menata potongan ayam, daun seledri dan juga kacang di atasnya. Tampilannya cukup cantik apalagi dengan harum kaldu dari kuah kuning diatasnya.

Sebelum menata mangkuk berisi bubur itu diatas nampan, Asri sempat ingin mengambil gelas untuk ia isi dengan teh tawar tanpa gula yang hangat. menurutnya makan bubur ayam akan terasa cocok jika ditemani oleh secangkir teh tawar. Namun langkahnya terhenti ketika mendapati Kanes masuk ke dalam dapur, Wanita itu membawa buku dilengan kanannya dan menatap Asri dengan datar. Adik Bagas itu, yang kerap kali bersikap acuh padanya. Jika Kanes bukan Adiknya Bagas mungkin Asri sudah memilih mengabaikan wanita itu alih-alih terus bersikap manis padanya.

“Pagi, Nes.” Sapa Asri pada Kanes.

“Pagi, Mbak.” Kanes sempat memperhatikan bubur yang Asri buat, namun setelahnya ia abaikan saja dan lanjut mengambil air di dapur. Kanes tau Ibu nya memang sengaja menyuruh Asri untuk datang ke rumahnya agar membujuk Bagas, entah itu untuk makan atau pun ke rumah sakit.

“Ah, Nes. Bagas udah bangun belum ya?”

“Kurang tau deh, Mbak. Biasanya jam segini juga udah bangun sih.”

Asri tersenyum, ia begitu percaya diri dengan bubur buatannya. Ia yakin selangkah demi selangkah yang ia usahakan untuk pria itu akan membuahkan hasil kelak. “Kalo gitu aku ke kamarnya dulu ya.”

Kanes hanya mengangguk, memperhatikan punggung Asri yang kian menjauh meninggalkan dapur. Sampai Asri menaiki tangga menuju kamar Bagas pun Kanes masih memperhatikan wanita itu, memurut Ibu Asri memang baik tapi entah kenapa Kanes merasa tidak nyaman berada dekat dengan wanita itu. Katakanlah ini hanya perasaan buruknya saja, tapi Kanes merasa seperti ada yang Asri tutup-tutupi dari Ibu. Namun Kanes lebih milih memendam pendapatnya itu saja, Ibu terlampau menyukai wanita itu dan sangat berharap Asri bisa menikah dengan Bagas.

Siang itu setelah Kanes dari kampusnya, ia sempat ke rumah Kirana. Ia ingin meminta bantuan pada mantan kekasih kakaknya itu untuk setidaknya menjenguk Bagas. Ia ingin kakaknya itu kembali pada kehidupan normalnya, sehat, memiliki semangat hidup atau setidaknya pandangan matanya itu tidak kosong lagi. Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak pada Kanes hari itu, karena kebetulan sekali Kirana libur bekerja. Waktu Kanes datang, Kirana sedang sibuk menyiram tanamannya.

Kirana memang menanam berbagai jenis tanaman, ada pohon tomat ceri, cabai, daun sirih yang merambat hingga ke pagar dan juga bunga melati. bahkan harum dari bunga itu menyeruak hingga ke jalanan, membuat siapapun yang lewat akan merasa nyaman dengan wanginya. walau beberapa orang kerap kali menyangkut pautkan wewangian dari melati itu dengan hal-hal klenik, seperti ada makhluk halus perempuan penunggu pohon asam di sana.

Kirana agak sedikit terkejut melihat Kanes datang ke rumahnya, perasaanya bekecamuk. Takut sekali terjadi sesuatu yang buruk pada Bagas meski ia selalu menepis pikiran buruknya itu, atau justru sebaliknya. Kanes datang ke rumahnya untuk memberi kabar baik tentang Bagas? Entah lah, Kanes tersenyum Ia membukakan pagar rumahnya menyuruh Kanes masuk dan duduk di teras rumahnya.

“Mbak Kirana apa kabar?” Tanya Kanes, keadaan Kirana menurutnya jauh lebih baik dari pada kakaknya di rumah. Pancaran wajah Kirana masih sama, hanya saja tubuh wanita itu sedikit kurus dari yang terakhir Kanes temui. sudah lama sekali kira-kira satu tahun yang lalu, jauh sebelum Kirana dan Bagas mengakhiri hubungan mereka.

“Baik, Nes. Kamu gimana kabarnya?”

“Baik, Mbak.”

Kirana mengangguk, lega mendengar kabar baik dari Adik mantan kekasihnya itu. “Ada apa, Nes?”

“Mbak, Mas Bagas sakit,” ucap Kanes to the point.

Sempat hening beberapa saat diantara mereka berdua, Kirana menunduk. Memperhatikan sandal berwarna kuning yang ia kenakan, seakan-akan sandal yang terlihat biasa saja itu jauh lebih menarik dari pada lawan bicara di depannya itu. Pelan-pelan Kirana menenangkan dirinya sendiri, ia masih perduli dengan Bagas bahkan ia tidak berharap mendengar kabar buruk tentang pria itu.

“Sakit apa, Nes?”

Kanes menghela nafasnya pelan, rasanya sudah hampir putus asa mengajak Bagas ke dokter. Kanes sendiri pernah mencoba untuk memeriksa Bagas namun pria itu menolak, Kanes bisa sedikit menarik kesimpulan jika Bagas mungkin terpukul atau bahkan depresi setelah patah hati. Banyak hal-hal yang dulu Bagas sering lakukan kini pria itu tinggalkan, bahkan Bagas pun terpaksa resign dari tempatnya bekerja, pria itu menarik diri dari orang terdekatnya bahkan Satya dan Almira yang ingin menjenguknya saja Bagas larang. Bagas akan mencari banyak alasan agar kedua temannya itu tidak menemuinya di rumah.

“Kanes juga gak tau, Mbak. Mas Bagas sekarang kurus banget, tatapan matanya kosong. Senang banget ngalamun dan sendirian, bahkan gak banyak ngobrol sama Kanes. Kanes udah bujuk dia ke dokter tapi Mas Bagas gak mau, Mas Bagas rasanya kaya gak punya semangat hidup Mbak, bahkan dia juga narik diri dari teman-temannya.”

Sesak rasanya dada Kirana mendengar kabar Bagas yang di bawa oleh Kanes, ia tidak ingin mendengar kabar ini. Ia ingin pria itu baik-baik saja, pikiran Kirana sempat melambung dan di tarik paksa akan ingatannya tentang kehidupan terdahulunya itu. Tentang Adi yang juga sakit dan pada akhirnya meninggal, ia tidak ingin dikehidupan ini Bagas juga mengalami nasib yang serupa dengan Adi.

“Mbak,” Kanes mengubah posisi duduknya menjadi menyamping dan menarik tangan Kirana. Seperti tengah membuat sebuah permohonan pada wanita itu. Raut wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Ia hanya ingin kakaknya itu sehat kembali, atau setidaknya memiliki semangat hidup. “Aku mohon sama Mbak Kirana buat ketemu sama Mas Bagas, Mbak. Setidaknya bantu dia buat sembuh. Aku gak tau harus minta tolong ke siapa lagi, Mbak.”

Hati Kirana sungguh terenyuh mendengarkan sebuah permohonan itu, tapi pendiriannya tetap teguh untuk tidak bertemu dengan Bagas lagi. Apalagi di situasi seperti ini, ia tidak ingin Bagas melambungkan harapannya lagi pada hubungan mereka. Bertemu dengan Bagas akan menyulitkan dirinya dan tentunya pria itu lagi. Benteng yang ia buat sedemikian kokoh itu bisa rubuh kembali jika ia menemui Bagas.

“Kanes, aku bukan gak mau ketemu Bagas. Aku juga kesulitan setelah berpisah sama dia, Nes. Kalau aku menemui dia lagi, aku takut dia akan berharap sama hubungan kami yang nantinya justru itu bikin dia tambah sakit.” Kirana menolak, meski pahit ia harus bertindak tegas demi melindungi hatinya sendiri.

“Tapi, Mbak.” Kanes meneteskan air matanya. “Mbak, Mas Bagas tuh sayang banget sama kamu, Mbak.”

“Nes, aku merelakan hubunganku dengan dia karena aku sangat menyayangi Bagas dan diriku sendiri. aku gak ingin hubungan dia dengan keluarganya hancur karena aku, aku enggak ingin Bagas membenci orang tuanya.

Mendengar kata-kata itu, Kanes paham. Ia pun juga mungkin akan berlaku sama seperti Kirana jika dihadapkan pada situasi seperti itu. Ibunya memang sudah keterlaluan, Ibu terlalu sibuk membenci latar belakang keluarga Kirana sehingga tidak memberi kesempatan pada hubungan yang sudah di bangun penuh kasih sayang itu.

“Aku harus gimana, Mbak. Tolongin Kanes sekali ini aja, Mbak.” Kanes memohon.

Kirana bingung, ia khawatir dengan Bagas apalagi setelah mendengar kondisi pria itu dari Kanes sama sekali tidak terbayang dalam benaknya jika Bagas akan seperti ini. ia juga sebenarnya tidak tega dengan Kanes, melihat wanita yang jauh lebih muda darinya itu memohon membuat hati Kirana luluh. ia memikirkan cara untuk membantu Bagas setidaknya bisa bangkit lagi dari keterpurukannya.

kalau boleh Kirana jujur perasaan itu masih ada untuk Bagas, ia memang masih dalam proses melupakan pria itu perlahan-lahan. “Nes, aku mau bantu kamu tapi aku tetap enggak bisa bertemu dengan Bagas.”

kening Kanes mengkerut bingung, “lalu bagaimana, Mbak?”

“kamu bawa HP?”

Kanes mengangguk, “Mbak mau menelfon Mas Bagas?”

“Bukan, Nes. aku mau merekam suaraku untuk nanti Bagas dengarkan siapa tau dengan cara ini setidaknya Bagas lebih baik.” setidaknya itu yang bisa Kirana berikan pada Kanes untuk membantunya.

Kanes tampak menimang-nimang ucapan Kirana itu, namun pada akhirnya ia mengangguk setuju dan menyerahkan ponselnya pada Kirana. Kirana membuka sebuah aplikasi pesan instan dan mencari kontak Bagas di sana, kemudian menekan tombol pesan suara yang nantinya bisa langsung Bagas dengarkan.

Kirana sempat menahan nafasnya beberapa detik, seperti tengah membuka sebuah pintu yang sudah ia kunci rapat sejak delapan bulan yang lalu kini terpaksa ia buka kembali. membiarkan sedikit rasa sakit di hatinya itu menyelinap lagi, ia sedikit menghiraukan hatinya yang terasa dicubit dari dalam itu. persetan dengan itu semua yang terpenting saat ini adalah Bagas.

“Hai, Gas. ini aku Kirana, Kanes bilang kamu lagi sakit ya? Bagas aku di sini baik-baik aja. Meskipun hubungan kita udah selesai, kamu pernah menjadi bagian penting dalam hidup aku, Gas. Kita masih bisa jadi teman baik. Bagas, Aku tau kamu sayang sama aku, tapi aku juga akan terus merasa bersalah kalau kamu sampai kehilangan diri kamu sendiri karna sayang sama aku. Diri kamu yang utama, Gas. maaf aku masih belum bisa bertemu sama kamu. tapi aku selalu berharap seandainya kita bertemu suatu hari nanti kamu jauh lebih baik dari yang sekarang.”

Kirana mengirim pesan suaranya itu, kemudian ia memberikan ponsel itu kepada Kanes. setelah Kanes berpamitan, ia kembali menghantam sepi di temani dinding-dinding kamarnya. hanya ada deting dari jarum jam yang terdengar dan suara rintik hujan di luar sana. Kanes kembali menangisi hubungannya dengan Bagas, menangisi kemalangannya dulu hingga sekarang yang selalu sama, tentang ditinggalkan orang-orang yang ia cintai. di kepalanya saat ini menyisakan takut dan bayangan tentang kondisi Bagas yang mungkin saat ini terbaring lemah seperti Adi dalam mimpinya. ia tidak ingin Bagas bernasib sama seperti Adi.

🍃🍃🍃

Pagi itu Bagas dengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar, suara itu milik perempuan yang terdengar sangat familiar di telinganya namun suara itu bukan milik Kanes Adiknya apalagi Ibu. Bagas tidak menyahut, ia diam saja bahkan tidak mengubah posisi tidurnya yang membelakangi pintu kamarnya. karena tidak mendapati jawaban sang pemilik kamar, wanitu masuk. ia tersenyum dan dengan percaya dirinya menaruh nampan berisi bubur yang ia buat tadi di meja samping tempat tidur Bagas.

Asri bergeming, menatap punggung lebar yang nampak kokoh namun rapuh itu beberapa saat sampai akhirnya ia memilih untuk duduk di pinggir ranjang Bagas dan memegang pundak pria itu. ia pikir Bagas masih tidur, namun setelah telapak tanganya itu mendarat tepat di pundaknya. pria itu membalikan badannya menatap Asri sedikit sengit, dengan kening berkerut di wajahnya yang pucat. tampak heran ia bahwa Asri berani masuk ke dalam kamarnya bahkan disaat ia tidak menyahuti panggilannya.

“Lo ngapain di sini?” Bagas mengubah posisinya yang tadinya tiduran menjadi bersandar pada tumpukan bantal dibelakang punggungnya.

Asri pun nampak terkejut mengetahu jika Bagas sudah bangun ternyata, “Ak...aku bawain kamu sarapan, Gas. sarapan yuk?”

Bagas melirik ke meja yang berada di samping ranjangnya, ada semangkuk bubur ayam dan teh hangat untuknya. namun sayangnya perut Bagas sama sekali tidak lapar meski terakhir kali ia makan kemarin sore, itu pun hanya roti saja yang dibuatkan oleh Kanes. dengan sedikit ambekan dari adik perempuannya itu akhirnya Bagas makan.

“Gue enggak laper, Sri.”

“Ya tapi kamu harus tetap makan dong, Gas. jangan nunggu laper dulu baru makan. aku suapin sedikit ya?”

Bagas menggeleng pelan, kepalanya agak berdenyut nyeri. “Gue enggak suka lo main masuk-masuk aja ke kamar gue.”

“Tapi tadi aku udah ketuk pintunya, Gas. aku pikir kamu masih tidur makanya aku mau bangunin juga sekalian nyuruh kamu sarapan.” Ibu sempat bilang sama Asri begitu, jika Bagas tidak menyahut kemungkinan pria itu memang masih tidur dan memberi izin pada Asri untuk masuk saja. ia sama sekali tidak menyangka jika Bagas akan sedikit marah padanya seperti ini.

“Mau gue masih tidur kek, mau gue udah bangun selama gue enggak bukain pintu atau bahkan gak nyahut waktu lo panggil, lo gak boleh masuk kamar gue seenaknya.” Tidak ada keramahan lagi pada air wajah Bagas, ia benar-benar tidak suka ada orang lain sembarangan nyelonong masuk ke dalam kamarnya, bahkan Kanes yang Adiknya saja tidak berani.

Asri hanya diam saja menunduk, ia tahu kali ini ia sedikit lancang. ia pikir izin dari Ibunya Bagas saja sudah cukup, “Oke, maaf ya kalo aku sedikit lancang, Gas. aku benar-benar cuma dengerin apa kata Ibu kamu aja buat bangunin kamu.”

Bagas mengangguk, sudah ia duga jika hal ini atas persetujuan Ibu nya. “Yaudah.”

Senyum di wajah Asri sedikit mengembang, walau ia tahu jika Bagas masih sedikit kesal padanya, “Aku bikinin kamu bubur, enak deh. tadi Ayah kamu juga sarapan pakai bubur buatan aku, cobain yuk?”

“Nanti aja ya, gue benar-benar belum lapar.” Entah sejak kapan Bagas merasa dirinya lapar, yang jelas sejak putus dengan Kirana, Bagas sering kebingungan pada dirinya sendiri tidak benar-benar tahu apa yang ia inginkan sebenarnya.

“Kalau udah gak ada yang mau lo omongin lagi bisa gak lo keluar, Sri? gue masih kepengen tidur.”

Asri memejamkan matanya sejenak, ia tidak akan menyerah pada setiap penolakan yang Bagas lontarkan padanya. menurutnya tidak ada salahnya jika ia menuruti keinginan Bagas untuk keluar dari kamarnya lebih dulu dan memberikan waktu pada pria itu untuk beristirahat kembali. toh, rencananya hari ini hanyalah menemani Ibunya Bagas di rumah sembari membantunya membujuk Bagas untuk setidaknya mau makan atau ke dokter.

Asri mengangguk, ia berdiri dari sana dan melangkah keluar dengan harapan mangkuk yang berisi bubur buatanya akan tandas jika asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Bagas itu, mengambil piring bekasnya sarapan dan juga pakaian kotor milik pria itu.

Asri melangkah turun ke lantai dua, ada Ibu yang sedang menikmati secangkir teh sembari membaca di sana. begitu melihat Asri turun dari lantai dua wajah Ibu kian cerah, seperti tengah mendapatkan secercah harapan jika si sulung mungkin luluh dengan rayuan Asri.

“Bagaiamana, Sri? Bagas mau makan kan?” cecar Ibu begitu Asri duduk di sampingnya.

“Asri harap begitu, Buk. tadi Asri pikir dia belum bangun ternyata pas Asri mau coba bangunin dia udah bangun. habis itu dia minta Asri keluar, katanya Bagas masih mau istirahat, Buk. satu jam lagi Asri periksa ya Bagas udah makan atau belum.”

Ibu menghela nafasnya pelan, sedikit pening kepalanya melihat Bagas seperti kehilangan arah dihidupnya. “Makasih ya, kamu udah mau repot-repot buatin bubur buat Bagas, padahal kamu sendiri juga sibuk.”

Asri tersenyum, untuk urusan butiknya ia tidak terlalu memusingkan hal itu. ada banyak pegawainya di sana sebenarnya. biasanya kalau ke butik pun, Asri hanya memeriksa barang yang datang dan memeriksa kondisi butiknya itu saja. Bahkan sebulan mungkin ia hanya mampir ke sana sebanyak dua kali saja. sisa nya Asri lebih banyak di rumah atau menemani Reysaka di rumah Raka.

“Gapapa, Buk. Asri sama sekali gak kerepotan kok. Asri juga kepengen Buk. Bagas kembali kaya dulu lagi. Asri janji gak akan pernah lelah buat nemenin Bagas.”

Bagi Ibu, Asri seperti sebuah harapan untuknya. saking terharunya Ibu bahkan sampai berkaca-kaca dan memeluk Asri. “Tolong jangan pernah lelah sama Bagas ya, Sri. ibu benar-benar berharap suatu hari nanti Bagas akan luluh dengan kamu.”

Bersambung...

“Widih gaya nya, tumben ngaca melulu kamu, Ga. Udah kaya cupang.” Ethan terkekeh pelan, dia duduk di kursinya dan memperhatikan Raga yang sedang menata rambutnya itu.

Akhir-akhir ini menurut Ethan, Raga tidak seperti biasanya. Bukan ke hal-hal yang buruk memang, tapi Raga banyak melakukan kebiasaan kecil yang menurut Ethan bukan Raga sekali seperti saat ini pria itu membawa baju ganti yang rapih, berdandan seperti pria berusia dua puluhan dan menata rambutnya itu dengan rapih. ya walau biasanya juga rapih walau hanya di sisir saja. Terlebih, Raga sering sekali ketahuan senyum-senyum sendiri olehnya. Persis seperti seorang remaja yang sedang kasmaran.

Ethan senang melihatnya, karena Adik iparnya yang terkenal kaku dan jarang bicara itu jadi terlihat lebih hidup. Dalam hati Ethan menebak jika Raga memang sedang jatuh cinta, tebakannya mungkin pada Maurin sekertaris temannya yang ia kenalkan pada Raga satu bulan lalu atau bisa saja dengan Jessica Adik dari koleganya itu. Ah, terserah Raga saja yang penting menurut Ethan kedua wanita itu baik dan sangat cocok untuk Adik iparnya itu.

“Masa cupang sih, Mas. Yang bener aja,” Raga menghela nafasnya, kembali memastikan jika dirinya benar-benar rapih. Dia ganteng gini kok disamakan dengan cupang, pikir Raga.

“Bercanda, mau kemana si kamu? Jalan sama Maurin atau ama Jessica nih?” Ethan menaik turunkan alisnya menggoda Raga.

Raga terkekeh, ia merapihkan tab miliknya dan memasukannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang karena ini memang sudah jam pulang kantor, ya walau bisa di bilang Raga pulang sedikit telat karena harus menyelesaikan pekerjaanya dulu. Walau bisa dibilang di kantornya sekarang ini ia sering over working tapi Raga cukup menikmatinya. Karena Ethan banyak membantu Raga, rekan-rekan kerjanya juga baik dan sangat supportif padanya. Ya, meski terkadang ia suka merindukan suasana kantor yang santai seperti di firma tempatnya dulu bekerja.

Terutama pada Satya dan juga Almira, ngomong-ngomong soal Satya. Pria itu menduduki posisi Raga di sana. Raga senang karena menurutnya hal itu pantas didapatkan oleh Satya. Pria itu juga sudah menikah, sedangkan Almira. Meski sempat tidak semangat bekerja karena Kirana yang mengundurkan diri. Tapi akhirnya Wanita itu kembali menemukan semangat bekerjanya berkat anak magang yang baru di sana, kebetulan mereka sama-sama seorang penggemar Kpop. Awal-awal Kirana keluar, Kirana lebih sering terlihat bersama dengan Raka.

Raka memang dekat dengan Almira seperti Satya, pria itu juga yang banyak mengajari Almira jika ada hal-hal yang tidak wanita itu mengerti. Raga lega mengetahuinya, setidaknya teman-temannya di sana masih bertahan meskipun ia sudah tidak bekerja di sana, beberapa kali Raka dan Satya juga sering mengajak Raga untuk bertemu entah untuk ngopi atau bermain futsal.

“Bukan sama keduanya, Mas.” Raga tersenyum, ia memakai tasnya bersiap untuk segera keluar dari ruang bekerjanya.

“Loh? Sama siapa?” Ethan penasaran setengah mati.

Alih-alih menjawab, Raga justru menepuk pelan pundah Ethan. Ia belum ingin bercerita tentang Kirana pada siapapun, ya palingan hanya Adel saja yang tahu kalau ia dan Kirana sempat berbicara berdua sewaktu di toko kue itu. Selebihnya Raga belum bercerita apapun lagi.

“Raga jalan ya, Mas.” Raga keluar dari ruanganya, menyisakan Ethan dengan banyak pertanyaan dikepalanya dan juga rasa penasaran dengan siapa Raga hendak bertemu.

Hari ini Raga memang berniat ingin mampir ke toko tempat Kirana bekerja, ia ingin membeli beberapa kue disana sekaligus mengajak Kirana mencari makan malam. Tentunya Raga sudah tahu hari ini giliran Kirana mendapatkan shift siang, makanya Raga sekalian saja mengambil waktu lemburnya agar saat ia ke toko tempat Kirana bekerja ia tidak menunggunya terlalu lama.

Mobilnya berhenti di toko kue tradisional itu, Raga memarkirkannya disana. Dari luar memang toko nya agak sedikit ramai. Terlihat dari parkiran kendaraanya yang lumayan dipadati motor dan juga mobil, ada beberapa layanan pesan antar juga yang sedang mengantre menunggu didepan toko sampai pesanannya dipanggil oleh staff yang berjaga. Beruntungnya, Raga masih kedapatan tempat duduk. Jadi ia langsung mengambil tempat disana dan memesan minuman, Kirana sudah tahu jika Raga datang. Wanita itu sempat tersenyum waktu melihatnya, ia masih berdiri didepan meja kasir dengan senyum manisnya.

Raga sempat memesan kopi aceh gayo, klepon, putu ayu dan juga dadar gulung yang masing-masing satu buah. Raga tidak ingin terlalu kenyang karna masih ingin mengajak Kirana makan gulai setelah wanita itu selesai bekerja.

“Di lanjut aja kerjanya, saya tunggu dikursi sana ya?” ucapnya sewaktu ia membayar semua pesanannya dikasir.

“Mas gak kelamaan nunggu saya?”

Raga menggeleng, “enggak kok, masih ada yang harus saya kerjain. Kamu lanjut aja.”

Perihal ini memang alasan Raga saja, kerjaanya sudah selesai ia kerjakan di kantor. Ia hanya membuka tab miliknya dan melihat-lihat sosial media dan terkadang ia juga melihat kontrak proyek yang baru, dari mejanya sembari memakan kue yang ia pesan terkadang Raga juga curi-curi pandang dengan Kirana, kemudian tersenyum dan menikmati jutaan kupu-kupu gila yang berterbangan diperutnya. Raga sangat menikmati sensasi ini, bahkan hanya dengan memikirkan Kirana saja ia sudah bisa menguntai seulas senyum diwajahnya.

Raga sudah tidak menyangkal perasaanya lagi seperti kemarin-kemarin jika ia memang jatuh cinta dengan Kirana, ia melepaskan perasaanya itu dan menikmati setiap prosesnya. Jika ditanya ia mulai mendekati Kirana mungkin Raga akan menjawab, ya, toh saat ini Kirana sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa kan. Ia ingin memberikan dirinya sendiri kesempatan untuk setidaknya lebih memahami wanita itu.

Sesekali saat dilihat gerak Kirana mengarah padanya, Raga buru-buru mengalihkan fokusnya kembali ke tab miliknya. Ia masih malu jika kepergok Kirana tengah memperhatikannya, saat ia memeriksa kembali arlojinya saat ini sudah pukul sembilan malam dan sepertinya staff di sana tengah bersiap-siap untuk menutup toko, maka Raga dengan tahu diri berkemas dan memilih menunggu Kirana di dalam mobil di parkiran.

Sekitar pukul sepuluh lewat dua puluh menit barulah Kirana keluar dan menghampiri Raga didalam mobilnya, wajah wanita itu agak sedikit kelihatan lelah. Wajar saja bekerja di toko dan melayani banyak pengunjung yang datang pasti membuat energi Kirana terkuras lumayan banyak.

“Hai,” sapa Raga sewaktu Kirana masuk.

Kirana senyum, ada semburat kemerahan yang terlihat dikedua pipinya. Entah itu karena riasan yang wanita itu pakai atau karena ia malu, entah lah tapi Raga sangat menyukai kemerahan diwajah cantik itu.

“Mas, lama banget yah nunggu saya?” Kirana merasa tidak enak pada Raga, padahal sejak tadi siang ia sudah mewanti-wanti Raga untuk datang jam sepuluh saja jika memang ingin mengajaknya makan malam.

“Lumayan, tapi ya gak kerasa juga kok, Na. Tadi saya sambil ngerjain kerjaan beneran kok.”

Kirana mengangguk, “bener, Mas?”

“Iya serius.” Raga jadi agak sedikit salah tingkah, dalam hati ia meruntuki dirinya agar tidak melakukan hal-hal konyol yang membuatnya malu didepan Kirana. “Ah, iya. Kamu suka gulai gak?”

“Suka kok.”

“Mau makan gulai ditempat langganan saya?”

“Boleh.”

Kirana memang bukan orang yang milih-milih makanan, tidak ada makanan kesukaan juga karena ia bisa memakan apa saja yang menurutnya enak. Diperjalanan mereka banyak bertukar cerita tentang hari ini, seperti Raga yang bertanya pada Kirana apakah bekerja menjadi pelayan toko jauh lebih menyenangkan dari pada bekerja di kantor dulu, atau Kirana yang bertanya pada Raga bagaimana suasana kantor tempat kerja Raga yang baru.

“Kalau capek ya jelas lebih capek di toko yah, Pak. Tapi seru aja gitu saya bisa nyobain kue dan jadi dapat ilmu bagaimana cara buatnya.”

“Oh ya? Jadi kamu udah bisa bikin kue apa aja nih selama kerja disana?” Raga agak sedikit menoleh, tertarik sekali dengan pembahasan tentang kue tradisional ini. Raga memang baru menyukai kue tradisional sejak tahun kemarin, sebelumnya ia hanya menyukai kue cubit, roti, croissant atau kue-kue luar lainnya. Itu karena dulu saat Mbak Adel masih berkuliah diluar negeri, Raga senang sekali mengunjunginya dan berakhir Raga jatuh cinta pada makanan-makanan western.

“Banyak sih, Mas. Dadar gulung, sosis solo, lemper, onde-onde sampe kue cucur saya bisa. Oh iya, saya juga udah bisa ngedekor birthday cake.”

“Oh ya?!” Raga tersenyum, ia sempat menoleh ke arah Kirana. Wanita itu kelihatan sangat bersemangat saat menceritakannya. “Kapan-kapan mau gak ajarin saya?”

“Bikin apa, Mas?”

“Apa aja yang kamu bisa.”

Kirana tersenyum, “boleh.”

“Di dapur rumah kamu kan ada alat-alat untuk baking punya Mbak Adel, dipakai aja, Na. Gapapa.”

Rumah yang Kirana tempati memang sudah ada barang-barang milik Adel, barang yang Kirana bawa dari rumahnya hanya sedikit seperti lemari, foto keluarga dan baju saja. Kebanyakan memang barang milik Adel dan selama itu pula barang-barang didapur hanya Kirana pakai seperlunya saja. Meski ia menyewa, ia merasa tidak boleh lancang memakai barang-barang Adel yang lain seperti oven, mixer dan alat-alat membuat kue lainnya. Meskipun ia sangat ingin sekali memakainya.

“Mas serius? Tapi kan itu punya Mbak Adel, saya enggak enak makainya.”

“Gapapa, Na. Mbak Adel bilang ke saya malah kalo gak dipakai sayang, jadi jangan sungkan buat pakai ya.”

Kirana tersenyum dan mengangguk, ia senang sekali mendengar hal ini dan rasanya ingin secepatnya untuk segera menunggunakan alat-alat membuat kue itu. Mungkin jika ia sudah dapat giliran libur, ia akan memakai hari liburnya untuk membuat kue dan membaginya ke Mbak Adel dan Mas Ethan sebagai ucapan terima kasih. Atau mungkin kalau orang tua Raga dekat, ia akan sering-sering membuatkan kue untuk orang tua Raga itu.

Keduanya turun dari mobil setelah Raga menemukan tempat parkir, agak sedikit jauh dari warung gulai kambing. Mereka berjalan sedikit, masih sembari mengobrol dan sama sekali tidak ada kecanggungan, semua mengalir seperti sesuai rencana Raga. Ia lega dirinya tidak melakukan hal-hal bodoh.

“Kabar Mama dan Papa Mas Raga gimana? Saya sudah lama gak ketemu sama mereka.” Kirana duduk setelah keduanya mendapatkan kursi, ia juga sempat menyingkir piring bekas makan pengunjung lain yang belum sempat dibersihkan.

“Baik, Na. Mereka tanyain kamu terus loh. Bulan depan mereka mau ke Jakarta, nanti ketemu ya?”

Diam-diam Kirana mengulas senyumnya, dada nya terasa hangat mendengar ucapan Raga barusan. Ia benar-benar disambut baik oleh keluarga Raga, berada ditengah-tengah keluarga Raga membuat Kirana seperti menemukan arti sebuah keluarga kembali.

“Kok merah matanya kenapa, Na?” Raga memperhatikan Kirana yang sempat terdiam dengan mata merah yang sedikit berkaca-kaca. Raga sempat berpikir apakah ia salah bicara dan jika iya, ia sangat menyesali ucapannya.

“Ah..” Kirana terkekeh, ia mengusap matanya dengan telunjuk tangannya. “Maaf yah, Mas. Saya cuma terharu aja sedikit.”

“Terharu?”

Kirana mengangguk, “saya senang aja, Mas. Bisa diperlakukan baik sama keluarga Mas Raga. Sama Om dan Tante, Mbak Adel dan Mas Ethan. Selama ini saya ngerasa kehilangan arti sebuah keluarga dihidup saya.”

Pandangan Kirana mengawang, dalam hati ia membandingkan keluarganya dan keluarga Raga juga keluarga Bagas yang sangat membencinya. Menurutnya keluarga Bagas dan keluarga dari mendiang Bapaknya Kirana tidak berbeda jauh, mereka sama-sama membenci Kirana bahkan disaat ia sudah menunjukan sisi terbaik dirinya. Ia tidak diterima, dicaci, bahkan diabaikan saat kumpul keluarga. Ditempatkan ditempat paling belakang rumah mereka, dapur. Tempat yang terlalu sering Kirana ambangi ketika sedang kumpul keluarga.

Ia bahkan lebih sering berinteraksi dengan asisten rumah tangga disana ketimbang oleh Budhe, Pakdhe, Om dan Tantenya. Ah, bahkan sepupunya sendiri. Selama ini Kirana tahan karena memandang Ibu dan Bapak tapi setelah Bapak meninggal semuanya Kirana tinggalkan, ia tidak perduli lagi jika mereka tidak menganggap Kirana sebagai keponakan sekalipun.

“Keluarga saya itu suka sekali sama kamu, Del. Terutama Ibu. Jadi jangan sungkan untuk bertemu mereka ya, mereka bakalan senang sekali kalau dikunjungi kamu.” Raga jadi tidak tega sendiri, ia ingin tahu banyak tentang Kirana. Namun ia akan tetap menunggu hingga wanita itu siap bercerita.

Raga sempat berdiri dan meninggalkan Kirana sebentar untuk memesan gulai kemudian duduk kembali menunggu hingga pesanan mereka diantar. “Kabar Budhe kamu gimana?”

“Budhe baik, Mas. Dia juga masih suka tanya kabar saya disini dan nyuruh saya beberapa kali pulang ke Semarang.”

“Oh ya?”

Kirana mengangguk, “Budhe satu-satunya keluarga yang saya punya sekarang. Sisa nya gak ada yang mengakui saya keluarga mereka.”

“Kenapa, Na?” Raga sudah tidak tahan, ia ingin lebih memahami lagi diri Kirana.

“Dulu, waktu Bapak saya masih ada dan perusahaanya masih berjalan, Mas, Keluarga dari mendiang Bapak itu sangat baik ke keluarga saya. Ke Ibu dan Bapak, Bapak banyak bantu adik dan kakak nya untuk bekerja di perusahaan Bapak. Sampai akhirnya, perusahaan yang Bapak bangun itu hancur karena Adik korupsi. Banyak sekali investor yang kecewa dan mencabut investasi di kantor Bapak, sampai puncak waktu perusahaan Bapak bangkrut. Sikap keluarga Bapak saya berubah semua sulit di hubungi saat Bapak butuh, mereka bilang tidak ingin terseret-seret dalam hutang Bapak”

Cerita Kirana sempat terhenti sejenak karena pemilik warung di pinggir jalan itu membawa pesanan mereka, dua mangkuk gulai kambing, nasi yang ditaburi bawang goreng dan juga dua gelas es teh manis. Setelah mengucapkan terima kasih pemilik warung itu menyingkir. Raga sempat mengambil sendok dan garpu dan membersihkannya dengan tisu, kemudian memberikan alat makan itu untuk Kirana sembari menunggu kelanjutan cerita wanita itu.

“Sambil makan aja ya, gapapa kan?” tanya Raga memastikan. Ia yakin Kirana masih ingin bercerita. Ia juga masih ingin tahu kelanjutannya.

Kirana mengangguk kecil, “Bapak depresi karena hutang dan sikap keluarganya. Sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, waktu Bapak meninggal keluarganya bahkan gak ada yang melayat semua saya hadapi berdua dengan Ibu sampai soal hutang-hutang Bapak. Saat Bapak jatuh saya ngerasa kehilangan arti keluarga itu sendiri, Mas. Keluarga yang selama ini Bapak saya bela dan bantu ternyata gak sebaik yang saya pikir. Makanya saya terharu sekali bisa di perlakukan dengan baik sama keluarga Mas.”

Raga benar-benar baru tahu hal ini, hatinya ikut sakit membayangkan betapa jahatnya keluarga dari pihak Bapaknya Kirana. Nafsu makan Raga rasanya menipis, ia masih memperhatikan bagaimana bibir kecil itu melengkuk mengulas sebuah senyum diakhir ceritanya. Bahkan saat Kirana menyuap nasi dan gulai itu pun, Raga masih diam. Mendengar hal ini membuat keinginan Raga untuk melindungi dan menemani Kirana kian memuncak, ia juga ingin terus mamastikan jika wanita itu bahagia.

Bersambung...

Bagas sama sekali tidak menyangka jika hanya dengan mandi ia bisa merasa sehidup ini, tubuh jangkungnya itu ia biarkan basah dibawah kucuran shower yang mengalir deras. Air nya sudah ia ubah menjadi lebih hangat karena cuaca akhir-akhir ini sering sekali hujan, Bagas memejamkan matanya, menyibak rambut nya yang sudah sedikit panjang itu hingga menusuk matanya. Suara lembut yang ia rindukan itu masih terdengar dikedua telinganya, ada cubitan halus dan sinar yang membawanya untuk sadar kembali bangkit dan berakhir dikamar mandi ini.

Suara Kirana yang mengatakan ia harus sembuh, orang lain mungkin tidak akan berpikir terlalu jauh tentang suara dan untaian kalimat sederhana wanita itu yang bisa mengubah Bagas setidaknya untuk perduli pada dirinya sendiri. Ia lega Kirana baik-baik saja, dan demi wanita itu ia akan terlihat setidaknya sedikit lebih baik dari pada kelihatan segan hidup seperti kemarin. Ia hanya menuruti keinginan Kirana saja sebenarnya, setelah selesai mandi Bagas membuka lemarinya, mencari pakaian terbaiknya untuk ia kenakan. Ia memilih kaus polo berwarna biru dan bawahan dengan celana pendek sedengkul.

Dari luar terdengar sebuah ketukan, ia sempat berpikir mungkin itu Bibi yang bekerja di rumahnya namun tak lama kemudian suara Kanes yang nyaring itu terdengar hingga mengejutkan Bagas. Entah apa yang ingin Kanes lakukan pagi ini dengannya.

“Mas Bagas?! Buka dong pintunya,” ucap Kanes dari depan kamar Bagas. Sang empunya kamar langsung membukakan pintunya untuk Kanes dan disambut cengiran jahil dari adiknya itu. “Widih... Udah wangi, udah ganteng gini mau kemana, Pak?”

Kanes langsung nyelonong masuk ke kamar kakaknya itu, menelisik penampilan Bagas dari atas sampai bawah. Dalam hati Kanes bersyukur karena Bagas sudah mau sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukannya. Ini semua tentunya berkat rekaman suara dari Kirana yang membuat Bagas lebih baik, Bagas sempat menangis ia benar-benar merindukan Kirana, kembali merasa bersalah pada wanita itu dan menahan semua perasaanya. Namun mendengar permintaan Kirana agar ia sembuh dan lebih perduli pada dirinya sendiri langsung saja Bagas kabulkan. Hanya dengan mendengar suara Kirana saja, Bagas merasa jika wanita itu masih sangat perduli padanya.

“Mau keluar sebentar, mau potong rambut, ikut yuk?” Bagas merangkul bahu adiknya itu dan menaik turunkan alisnya. Kanes yang melihat kakaknya sudah kembali seperti dulu terkekeh dan menyikut perut Bagas. Sontak, pria itu meringis karena sikutan adiknya itu. “Aduh!! Sakit tau. Galak bener jadi adek.”

“Ya, abisnya Mas Bagas genit banget.” Kanes terkekeh. “Tapi aku gak bisa, Mas. Aku udah ada janji sama temenku, tadinya aku ke kamar Mas aja niatnya mau pinjam charger laptop karna charger laptopku ketinggalan di kosan temen. Mas Bagas sendiri aja gapapa?”

Belum sempat menjawab tidak lama kemudian Ibu datang bersama dengan Asri dan menyela ucapan Bagas yang masih tertahan di tenggorokannya itu, “jangan sendirian, Gas. Sama Asri saja ya. Sekalian kalian jalan-jalan menghirup udara segar di luar mumpung cuacanya lagi bagus.”

Kanes yang masih dalam rangkulan Bagas itu memberi kode pada kakaknya dengan sedikit mencubit perut Bagas, awalnya Bagas diam. Berpikir jika mengajak seseorang untuk ia ajak bicara mungkin lebih baik dari pada sendiri. Tadinya ia ingin mengajak Satya, Raka atau Almira tapi ia buru-buru tersadar jika ini masih hari kerja. Teman-temannya itu pasti masih di kantor.

“Lo gak sibuk, Sri?” tanya Bagas yang membuat kedua mata Kanes melotot kaget seketika.

Asri menggeleng pelan, “enggak kok, Gas. Ini kan masih awal bulan aku biasanya mulai agak sibuk kalau udah akhir bulan. Jadi sekarang gak masalah banget kalau cuma nemenin kamu jalan-jalan.”

Bagas mengangguk, “yaudah kalau gitu tunggu dibawah aja ya, gue mau siap-siap dulu.”

Bukan hanya senyum Asri yang mengembang mendengar ucapan Bagas itu, tetapi Ibu juga. Senyum wanita itu justru lebih lebar dari Asri yang tersenyum malu-malu, Ibu merasa ini adalah awal yang baik untuk Asri dan Bagas. Ibu berpikir jika Bagas mulai membuka pintu hatinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat, kedua wanita itu pun turun ke lantai satu untuk menunggu Bagas siap-siap. Mau kemana mereka dan mau melakukan apa Ibu serahkan saja pada keduanya.

“Ini awal yang baik, Sri. Doa Ibu didengar kalau Bagas mau membuka hati untuk kamu. Ini semua adalah buah dari kesabaran kamu, sayang.” Ibu mengusap wajah Asri penuh kasih sayang, bahagia bukan main rasanya.

“Iya, Buk. Gak sia-sia perjuangan aku selama ini buat bujuk Bagas makan, masakin dia, nemenin dia sampai nyoba ngajak ngobrol dia walau dia sering ketus ke aku.” Asri pikir Bagas mulai luluh karena perlakuannya, ia berharap dengan begini ia bisa masuk melewati celah kecil pintu yang Bagas buka untuknya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

have fun kalian berdua ya, jangan lupa foto berdua dan berikan pada Ibu.”

Di kamar Bagas setelah Asri dan Ibu turun, Kanes langsung buru-buru melepas rangkulan kakaknya itu dan menatap Bagas dengan pandangan menyalang. Tidak menyangka jika Bagas akan setuju saja dengan ucapan Ibu agar Asri menemaninya, ada sedikit tersirat pemikiran jika kakaknya itu telah membuka hati untuk Asri atau setidaknya memberikan kesempatan untuk wanita itu.

Entahlah rasanya Kanes lebih protektif pada Bagas, ia merasa Asri tidak tulus. Atau ini hanya perasaanya saja? Ah, yang jelas Kanes tidak terlalu menyukai wanita itu.

“Mas Bagas yakin mau sama Mbak Asri?” pekik Kanes tidak percaya.

“Iya, Nes. Kenapa emang?”

“Ya gapapa, aneh aja. Selama ini Mas jutek banget ke dia, atau Mas justru udah mulai suka sama dia gara-gara selama Mas sakit dia terus ya yang ngerawat Mas? Atau justru Mas mau ngasih kesempatan buat dia?!” cecar Kanes.

“Ngaco!” Bagas terkekeh, ia kembali ke meja rias kamarnya dan menyisir rambut nya. Tak lupa ia juga menyemprotkan parfum ke tubuhnya itu, “Mas cuma ngerasa butuh teman buat ngobrol aja, Nes. Gak ada ngasih kesempatan apa-apa.”

“Tapi kan bisa sama teman Mas yang lain? Sama siapa gitu? Mas Satya kek atau yang cewek itu siapa namanya?”

“Almira?”

Kanes menjentikkan jarinya, “iya, sama Almira kan bisa.”

“Kamu lupa ini masih weekday? kalau sekarang weekend Mas pasti udah ngajak mereka hangout.

Kanes menghela nafasnya pelan, ia lupa kalau sekarang masih hari kerja. Tapi tetap saja ada sedikit rasa aneh dan tidak terima jika kakaknya itu jalan berduaan dengan Asri, Kanes cuma punya firasat jika wanita itu tidak sebaik kelihatannya. Seperti menyimpan banyak rahasia yang Kanes sendiri tidak tahu itu apa, kecurigaan jika Asri memiliki banyak rahasia itu semakin kuat sewaktu Kanes tidak sengaja melihat Asri berada di sebuah play ground pusat perbelanjaan.

Wanita itu tengah mengawasi seorang anak laki-laki yang umurnya Mungkin 5 tahun, bocah itu tampak sumringah dan beberapa kali menarik tangan Asri untuk bermain bersamanya. Wajahnya pun terasa tidak asing bagi Kanes seperti seseorang yang pernah ia lihat namun ia lupa orang tersebut siapa, guratan senyum dan bentuk matanya mengingatkan Kanes pada Asri jika sedang tersenyum atau menatap seseorang. Seperti sebuah perpaduan antara perempuan dan laki-laki yang ia kenal.

Melihat Kanes yang tiba-tiba diam, membuat Bagas melambaikan tangannya ke wajah adiknya itu. Kanes melamun seperti ada sesuatu yang tengah adiknya itu pikirkan. “Heh! Kok ngelamun?”

Kanes buru-buru menggeleng kepalanya, “gapapa, Mas. Yaudah kalo Mas butuh temen ngobrol.”

“Kamu gak suka ya Mas jalan sama Asri?”

“Engg...gak gitu sih, Mas. Ya mungkin masih aneh aja buat aku.” Kanes meringis.

Jika boleh jujur. Ia lebih menyukai Kirana dari pada Asri. Kirana lebih terlihat tulus, ramah padanya dan seorang pendengar yang baik. Beberapa kali Kanes memang pernah bercerita tentang perkuliahannya yang super hectic itu. Intinya ya, memang Kanes lebih nyaman saja berbicara dengan Kirana. Asri jarang sekali bicara dengan Kanes bahkan pernah sesekali Kanes mendapati Asri tengah meliriknya dengan sinis.

Bagas mengangguk, ia paham apa yang Asri maksud. Ia sendiri pun masih merasa asing. Namun bukankah ia harus segera move on bukan untuk melupakan Kirana sepenuhnya namun untuk hidup seperti biasa lagi. “Yaudah kalau gitu Mas ke bawah yah, tolong tutup pintu kamarnya nanti.”

🍃🍃🍃

Hari itu niatnya Bagas hanya ingin potong rambut saja disebuah barber shop yang ada didalam mall, ia merasa rambutnya sudah cukup panjang dan terlihat seperti tidak terurus ya memang begitu adanya, seperti kemarin-kemarin yang ia rasakan nyawa dan raganya seperti tidak menyatu pada tempatnya. Merasa kosong, hampa dan kehilangan arah. Hari itu, Bagas ingin merangkai hidup baru. Mencoba menerima dan mengikhlaskan segala yang terjadi dihidupnya termasuk tentang kehilangan. Bagas belum berniat menerima cinta baru, menerima orang baru dalam hidupnya dan memulai hubungan baru. Ia ingin fokus pada dirinya sendiri, menyelesaikan segala masalah dalam dirinya sebelum memulai dan membangun lagi hubungan dari awal.

Karena masih agak sedikit kliyengan, hari itu Asri yang membawa mobilnya. Didalam mobil menuju perjalanan ke mall yang akan mereka tuju, Asri banyak berbicara tentang hobinya, tentang butiknya, tentang kegemarannya dalam membuat baju dan tentang kegemarannya memasak. Apapun tentang dirinya ia ceritakan, seolah Bagas harus tahu tentang apapun kesukaanya. Terkadang wanita itu juga bercerita tentang masa-masa mereka sekolah saat Bagas masih tinggal di Solo. Tak banyak yang Bagas ingat, ingatan tentang masa-masa sekolah tidak terlalu berkesan untuknya.

Bagas memang tidak terlalu banyak bicara, tapi ia tetap menimpali ucapan Asri. Dalam hati ia setuju mengenai hobi masak Asri, masakan wanita itu memang enak beberapa hari ini Asri sering membuatkannya bubur, sup, tekwan dan juga capcai. Itu semua adalah makanan yang Bagas sukai. Bagas tidak heran kenapa wanita itu bisa tahu semua makanan kesukaanya, siapa lagi kalau bukan dari Ibu.

Begitu sampai mall, tujuan utama mereka adalah ke barber shop. Asri duduk diruang tunggu sembari sesekali membaca majalah dan melihat ke arah ponselnya. sedangkan Bagas menikmati pijatan dari staff yang baru saja selesai mencukur rambutnya. Begitu selesai, Bagas menghampiri Asri. Wanita itu berdiri dan tersenyum manis ke arah Bagas, kedua netranya berbinar menampakan dua bola mata yang bening.

“Ganteng, gitu dong. Kalau kaya gini tuh kamu beneran kelihatan segeran banget,” ucapnya sembari memberikan dua ibu jari pada Bagas.

“Mau makan siang sekalian gak?” Bagas takut Asri sudah lapar, mengingat ini sudah jam makan siang.

“Boleh, kamu mau makan apa, Gas?” keduanya berjalan keluar dari barber shop itu. Melihat-lihat kesekeliling mana tau ada restoran yang menarik perhatian mereka, mall dihari kerja tidak begitu ramai.

“Lo suka ramen gak, Sri? Gue kepengen makan ramen deh. Kayanya enak makan yang pedas-pedas gitu setelah kemarin-kemarin gue jadi bayi bangkotan.” Bagas terkekeh.

Asri yang mendengar itu melepas tawanya, untuk pertama kalinya ia mendengar Bagas bercanda dan mengeluarkan celotehan asbun nya. “Kok bayi bangkotan sih? Gara-gara makannya gak pake cabe-cabean?”

Bagas mengangguk, “itu tau. Yuk, Mau gak?”

“Boleh.” Asri tersenyum, ia berjalan disamping Bagas sembari tersenyum diam-diam memandang wajah pria disebelahnya itu.

Sirat masa lalu tentang diri Bagas dan dirinya yang begitu tragis seperti mulai terobati hari ini perlahan-lahan. Asri tidak perduli mengapa Bagas tidak mengingat dirinya sebagai Adi dimasa lalu dan mengapa hanya dirinya saja, yang terpenting bagi Asri saat ini adalah ia bisa hidup kembali bertemu dengan cinta pertama dalam kehidupan terdahulunya dan melihat pria itu bahagia, hidup lebih baik dari pada kehidupan sebelumnya.

Meski terkadang terlihat arogan, rasa sayang Asri pada Bagas itu tulus. Rasa sayang yang didasari kehidupan masa lalunya itu ingin ia curahkan pada Bagas dikehidupan saat ini. Ia ingin balas dendam dengan hidup bahagia bagaimana pun caranya, keduanya duduk dan memesan ramen. Meski bisa Asri akui jika ialah yang paling banyak mencari topik pembicaraan tapi respon Bagas cukup baik, pria itu tidak ketus lagi dengannya.

“Setelah ini kamu mau ngapain, Gas?” tanya Asri setelah mereka selesai memesan makanan.

“Hhmm.. Ngapain yah? Ke toko buku mungkin?” Bagas mengangkat sebelah alisnya. Ia ingin membaca buku lagi untuk mengalihkan pikirannya dari Kirana menjadi ke cerita-cerita dari buku yang ia baca.

“Boleh, kamu suka buku apa sih?”

“Hhmm.. Banyak sih, Sri. Kalo genre sih lebih suka romance yah, tapi selama blurb nya kelihatan bagus gue pasti baca kok.”

“Oh ya?” Asri tidak terlalu suka membaca, bahkan tidak ada satu buku pun yang ia selesaikan. Kalau pun membaca, ia lebih gemar membaca majalah fashion ia tidak memiliki ketertarikan dalam dunia sastra “Kalau penulis kamu lebih suka penulis lokal atau luar?”

“Sejauh ini gue lebih sering baca penulis luar sih, lo sendiri suka baca?”

Asri menggeleng pelan, ia hanya ingin jujur. Tidak ingin dibuat-buat menyukai sesuatu toh ia tidak tahu tentang buku karena tidak ada satupun buku fiksi dan non fiksi yang pernah ia baca sepanjang hidupnya. Menurut Asri membaca adalah kegiatan yang sedikit membosankan, Asri lebih tertarik dengan majalah yang lebih memiliki visual.

“Enggak, Gas. Jujur aja aku enggak terlalu suka baca, gak ada buku yang pernah aku selesain baca sih. Mungkin kamu mau rekomendasiin satu bacaan yang menurut kamu bagus? Ya mana tau bakalan cocok buat aku kan?”

Bagas tersenyum, ia melipat tanganya didepan dada sembari memikirkan buku-buku yang pernah ia baca dan yang paling memungkinkan untuk Asri baca. Sampai ia akhirnya terpikirkan sebuah buku yang menurutnya menarik dan bisa dibilang tidak tebal cocok sekali untuk pemula seperti Asri yang ingin terjun ke dunia literasi dan sastra, Buku yang sangat mengubah cara pandang Bagas terhadap seorang wanita.

“Ada, mungkin lo bakalan suka sama buku ini. Dan lagi buku ini cuma sekitar 100 sampai 150 halaman. Tergantung edisi ya, judulnya A Room Of One's Own By Virginia Wolf.

“Oh, tentang apa tuh, Gas?” Asri jadi sedikit tertarik, ya karena buku itu direkomemdasikan oleh Bagas. Ia ingin mencoba membaca demi bisa memahami Bagas. Ya semoga saja cocok, pikirnya.

“Intinya ya dari yang gue baca, ruang pribadi untuk seorang wanita tuh dibutuhkan supaya mereka bisa berkarya, mewujudkan mimpi. ibarat kalian harus fokus ngerjain sesuatu di ruangan sendiri yang diisi oleh energi kalian. sayangnya gak semua wanita bisa punya kamar itu, si penulis ini berargumen wanita juga bisa berkarya, bukan cuma laki-laki, harusnya semua karya diperlakukan fairly not based on gender. isinya tentang persektif wanita, bagus kok. Kalo lo tertarik lo bisa baca gue ada bukunya di rumah.”

“Oh ya?! Nanti aku pinjam ya, ngomong-ngomong ada bagian yang kamu suka banget berarti dong?” Asri bisa melihat jika Bagas sudah mulai nyaman berbicara panjang dengannya. Ia pun sedikit tertarik sengan buku tersebut.

“Ada lah, bagian A woman must have money and a room of her own if she is to write fiction.

“Tapi kalo kamu sendiri setuju tuh sama bagian itu?”

Bagas sedikit menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kekiri seperti menimang-nimang peryataan itu. “Setuju cuma sekitar 70-80% sih, Wolf menyoroti kalo perempuan emang gak diberi akses pendidikan, enggak punya kendali atas uang sendiri, enggak punya ruang pribadi untuk berpikir dan berkarya. Wolf sebenernya disini bukan cuma ngomongin uang dan ruang aja sih tapi juga kebebesan.

Dan yang membuat Asri kagum sekagum kagumnya pada Bagas adalah bagaimana cara pria itu memgomentari suatu hal dengan cara berpikirnya yang idealis, Bagas memang pintar sejak dulu. Tak heran mengapa pria itu gemar mengomentari sesuatu bahkan dari sastra yang ia baca sekalipun.

“Kalau bagian yang gak kamu setuju?”

“Hhmm.. Mungkin dimana, money and a room of one’s own Itu sebenarnya syarat universal kali ya? Untuk kreativitas serius bukan khusus perempuan, cuma ya perempuan memang lebih sering kekurangan dua hal itu secara sistematik. Terutama untuk perempuan yang sudah menikah dan punya anak, kayanya nanti kita bisa diskusiin ini lebih banyak lagi kalau lo udah baca bukunya deh. Sekarang mending kita makan dulu soalnya gue udah laper banget.” Bagas tersenyum begitu seorang pelayan mengatarkan makanan mereka.

Bersambung...

Siang itu Raga sesekali curi-curi pandang pada Kirana yang tengah fokus menakar bahan-bahan yang akan mereka gunakan untuk membuat risol mayo, jika Kirana menoleh karena merasa diperhatikan maka Raga akan melengos begitu saja melihat kearah lain. Kadang Kirana tertawa kadang juga ia mencoba mengalihkan perhatian Raga pada adonan yang tengah pria itu aduk. Terkadang juga Kirana menghela nafasnya pelan ketika Raga mencicipi setiap bahan untuk membuat risol mayonya.

Seperti saat ini, Kirana tengah memotong telur menjadi beberapa bagian untuk menjadi isi dari risolnya dan Raga dengan jahilnya mengambil telur itu dan memakannya. Lalu ketika Kirana selesai memotong telur, Raga sibuk mencolek suwiran ayam dengan saus yang nantinya akan digunakan sebagai isian risolnya. Hampir semua bahan pria itu cicipi dengan penuh rasa penasaran. Ketika Kirana baru saja mengambil mayones dan saus sambal untuk diaduk menjadi satu, jari Raga ingin mencelup ke dalam mangkuknya namun Kirana pukul punggung tangan itu hingga Raga terkejut.

“Mas jangan semuanya dicobain, ini kan cuma saus ih. Mas aduk dulu yang benar itu adonan kulit nya habis itu disaring.” titah Kirana agak sedikit kesal, kalau begini caranya itu namanya Raga ngerecokin alih-alih membantunya.

“Biar apa disaring?”

“Biar gak ada tepung yang masih menggumpal.” Kirana menyiapkan mangkuk ukuran sedang dan saringan kemudian menuang adonan itu perlahan-lahan. Sementara Raga disebelahnya memperhatikan penuh dengan rasa ingin tahu, persis seperti seorang anak laki-laki yang tengah membantu Ibu nya. “Nah sekarang Mas bikin kulitnya saya kasih contoh Mas liatin ya.”

Raga mengangguk, ia mengekori Kirana ke depan kompor. Entah telfon apa yang Kirana gunakan Raga tidak tahu apa namanya yang jelas bentuknya lucu. Bagian yang tadinya Raga kira itu adalah bagian belakang teflon justru adalah bagian depannya, Kirana menyemprotkan sedikit minyak kemudian mencelupkan bagian yang tadinya Raga kira bagian belakang ke dalam adonan, kemudian dengan cekatan menaruh teflon itu ke atas kompor yang apinya sudah Kirana atur.

“Nah kaya gini gampang kan, nanti kalau matangnya udah rata nih. Mas angkat terus Mas letakin kaya gini, Ini udah pasti kelepas sendiri kok Teflonnya anti lengket.”

Adonan yang sudah menjadi kulit luar risol itu jatuh dengan sendirinya, membuat kedua mata Raga berbinar karena terlihat sangat amat mudah. Hasilnya pun mulus tanpa gosong apalagi robekan sedikit pun, pria itu tersenyum kemudian mengambil alih telfon itu dari Kirana. Tidak sabar untuk segera membuktikan kemampuannya itu dengan penuh percaya diri.

“Gampang ini sih, saya bisa kalau begini doang,” ucapnya penuh percaya diri.

“Nah coba kalo gitu lakuin, saya mau bikin adonan kue cucur dulu.” Kirana belum beralih dari sana, ia melihat Raga menirukan apa yang sudah ia ajarkan barusan. Diam-diam senyum Kirana mengembang, ketika perlahan-lahan Raga mempraktikan apa yang sudah ia ajarkan barusan. Pria itu berhasil membuat kulit risolnya sendiri. “Hebat!! Buatan Mas juga bagus.”

Entah sejak kapan kuping Raga merasa panas, ia menggaruk belakang kepalanya itu yang tidak gatal sewaktu Kirana memujinya. Ia yakin kupingnya pasti sudah sangat merah. “Ya..yaudah, kamu bikin adonan kue yang lain saya udah bisa kok.”

Kirana terkekeh, ia melihat Raga dengan sangat jelas gugup. Pria itu menutupi telinga sebelah kanannya dengan tangan. Ia tidak ingin pria itu gerogi jadi Kirana hanya mengangguk saja kemudian beralih mengadoni adonan untuk membuat kue cucur.

“Kalau udah selesai kasih tau saya ya, Mas. Nanti kita masukin isian risolnya.”

“Ini saya bikin kulitnya sampe adonanya habis, Na?”

“Ya iya dong, kan mau saya bagi-bagi ke Mbak Adel sama Mas Ethan katanya mau bantuin?”

“Iya tapi nanti kalo tangan saya pegal kamu gantian ya?” pasalnya adonan yang Kirana buat cukup banyak, mungkin kalau kulit-kulit risol itu sudah jadi bisa mencapai 30 risol.

“Iya Mas Raga.”

Begitu Raga berbalik badan melanjutkan kembali pekerjaanya membuat kulit risol, Kirana terkekeh dia fokus mengadoni adonan kue cucur dan sesekali memeriksa pekerjaan Raga. Pria itu tidak mengeluh lagi justru malah konsentrasi penuh sehingga kulit-kulit risol buatannya itu tidak ada yang gagal. Setelah selesai membuat semua adonan itu, Raga mematikan kompornya duduk didepan Kirana yang tengah mengisi kulit risol itu dengan isian seperti telur yang sudah dipotong, daging kornet, suwiran ayam, mayones dan juga saus sambal.

Sesekali Raga menelan saliva nya, ingin sekali rasanya menyulap semua risol-risol itu agar cepat matang ia sudah tidak sabar sekali untuk mencicipinya. Apalagi Kirana membuatnya dengan ukuran yang agak besar, lebih besar dari ukuran risol pada biasanya. Mungkin jika mencicipinya barang dua atau tiga buah Raga sudah bisa kenyang.

“Kalo Mas ngisi risol sama gulung kulitnya bisa gak, Mas?”

“Saya takut robek itu kaya tipis gitu.” Raga tidak yakin pada kesabarannya, tangannya juga tidak setelaten tangan Kirana dalam hal menggulung. Padahal tadi dia sudah sangat percaya diri kalau dia berbakat di dapur.

“Coba dulu yah.” Kirana tersenyum, ia mengambil satu lembar kulit risol dan menaruhnya didepan Raga. Sebelumnya ia sudah menaruh nampan sebagai alasanya. “Nah sekarang Mas ambil telur dulu.”

Raga menuruti perintah Kirana ia ambil telur yang sudah diiiris itu dan menaruhnya diatas kulit risol, “habis itu?”

“Oke habis itu, daging kornetnya, terus ayam suwirnya dan yang terakhir mayo dan saus sambalnya deh.” Kirana berhenti sebentar punyanya sudah beres dan ia tengah memperhatikan Raga yang sedang sibuk menata isian risol itu diatas kulitnya.

“Oke kalau udah sekarang liatin saya cara gulungnya yah.” Kirana menunjukan cara melipat kulit risol dengan perlahan-lahan, diikuti dengan Raga walau beberapa kali pria itu sempat mendesah putus asa. Dan ketika miliknya jadi, pria itu tersenyum lebar dengan bangga memperhatikan risol pertamanya.

“Eh, gampang juga ternyata. Kayanya saya berbakat gak sih, Na?” Raga menimang-nimang risolnya itu, memperhatikan bentuknya seperti risol yang belum dibaluri tepung roti dan digoreng itu adalah satu-satunya hal yang berharga baginya.

“Yah lumayan, sekarang tugas Mas isiin kulit risolnya ya. Saya mau goreng kue cucurnya dulu. Nanti kalau risolnya udah selesai baru deh kita goreng.”

Kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna, tapi tidak menyangka pekerjaan sulit mengisi dan melipat ini akan menjadi pekerjaanya lagi padahal pekerjaan yang sedari tadi Raga tunggu itu adalah memakan kue-kue buatan Kirana.

“Na, masa sebanyak ini saya yang isi semua, yang bener aja kalau ada yang robek gimana?” protes Raga.

“Udah ada yang robek belum?”

“Belum, tapi kalo nanti ada gimana?”

“Yaudah kerjain dulu aja, Mas. Katanya Mas mau bantuin.” Kirana diam-diam mengulum senyum, ia terkekeh walau banyak mengeluh dan sering kali meragukan dirinya tapi semua yang Kirana suruh Raga lakukan dan hasilnya selalu membuat Kirana puas.

Setelah hampir 40 menit melipat kulit risol Raga bangun dari kursinya, menghampiri Kirana yang sudah hampir selesai membuat kue cucur. Pria itu tampak begitu penasaran. “Saya boleh cobain, Na?”

“Boleh, tunggu sebentar saya cariin yang minyaknya udah tiris dan enggak panas.” Kirana mengambil beberapa cucur miliknya dan menaruhnya dipiring kecil, kemudian memberikannya ke Raga yang disambut dengan senyuman oleh pria itu.

“Wangi banget. Saya cobain ya!”

Kirana mengangguk, ia melihat Raga mencicipi kue nya. Pria itu tampak mengunyah dengan seulas senyum hingga matanya menghilang. Wajahnya terlihat bahagia hanya karena mencicipi sebuah makanan. Hal itu juga yang membuat Kirana tersenyum, ia merasa puas dan bahagia hanya karena ekspresi wajah Raga saja.

“Enak!!” pekik pria itu. “Gak kemanisan, enggak keras, gak menyerap banyak minyak, empuk, legit pokoknya enak banget.”

“Beneran?”

Raga mengangguk, ia tidak menjawab lagi karena mulutnya sudah terisi penuh dengan kue cucur yang diberikan Kirana barusan. Ia jadi semakin tidak sabar untuk mencicipi risol, pastel dan juga pisang bolen buatan Kirana. Cukup lama keduanya bergulat di dapur dengan berbagai adonan dan selama itu juga Raga selalu mencicipi kue yang sudah matang, perut pria itu sudah cukup kenyang bahkan. Waktu Kirana menyuruhnya makan lagi karena Kirana memasak sup ayam Raga tetap makan, walau tadinya dia menolak karena memang sudah kenyang. Tapi begitu Kirana mengaduk sup itu yang aromanya menyeruak ke seluruh penjuru dapur, perutnya kembali meronta ingin segera mencicipi sup itu.

“Ini kalo saya tinggal di rumah kamu kayanya badan saya bisa ngebang banget deh, Na.” Raga bersandar pada kursi meja makan dan menatap piring didepannya yang sudah kosong itu.

“Ya gapapa, nanti kapan-kapan saya bikinin Mas makanan deh buat makan siang di kantor.”

Kedua mata Raga membulat, tubuhnya ia majukan sedikit. “Serius, Na? Maksud kamu bikinin saya bekal makan siang?”

Kirana mengangguk, “iya, serius. Kalau saya shift siang atau pas libur aja ya, Mas.”

“Iya kapan aja boleh kok saya siap banget malahan.” hari ini sepertinya Raga tidak terlalu jaim didepan Kirana, ia benar-benar menjadi dirinya sendiri karena terlalu nyaman bersama wanita itu.

Setelah makan siang keduanya langsung bergegas ke rumah Adel dan Ethan, Kirana terlalu tidak sabar untuk segera memberi kue-kue nya pada kakak Raga itu. Ia juga tidak sabar untuk bertemu dengan Safira, keponakan Raga yang selalu Raga ceritakan hampir sepanjang Kirana menyusun kue-kue nya. Raga bilang, Safira suka banget sama risol dan juga pastel. Apalagi yang isinya ayam bocah itu suka sekali, Safira enggak terlalu menyukai makanan manis. Kalau makanan manis itu targetnya adalah Ethan.

Begitu sampai di rumah Adel, Raga membantu Kirana membawakan kotak berisi kue yang sudah mereka buat hari ini. Rumah Adel di dominasi warna putih gading yang memiliki halaman cukup luas untuk menaruh mobil Raga disana, ada taman yang cukup luas yang Adel tanami dengan tanaman-tanaman hias, disamping pagar tadi ada pohon mangga juga yang berbuah, tentu saja bukan Adel yang mengurusnya melainkan tukang kebun yang ia pekerjakan di rumahnya.

Rumah Adel bisa terbilang cukup luas, diantara rumah-rumah yang ada dikanan dan kirinya. Rumah Adel dan Ethan yang cukup terlihat luas dan mewah, Safira bahkan memiliki perosotan, ayunan dan kolam kecil untuknya memilihara ikan disana. Satu hal yang membuat Kirana merasa tidak asing dengan bangunan itu adalah, bangunan itu mengingatkannya dengan kediaman asisten residen. Ya, apalagi kalau bukan kediaman Jayden dikehidupannya terdahulu.

“Yuk, masuk? Liat apa sih?” Raga melihat ke arah mata Kirana tertuju, wanita disebelahnya itu tersenyum.

“Aku cuma ingat sesuatu aja sebenarnya.”

“Rumah Mbak Adel mirip rumah Jayden ya?” tebak Raga, bukan hanya Kirana saja yang merasa begitu tapi ia pun juga merasakannya.

“Iya, ternyata bukan saya aja yang ngerasa.”

“Yaudah, masuk yuk. Mbak Adel sama Mas Ethan udah nunggu didalam.”

Kirana mengangguk, ia mengikuti Raga dari belakang sembari sesekali mengangguk kecil pada pekerja yang bekerja di rumah Adel dan Ethan. Kedua suami istri itu ternyata tengah menonton TV di ruang tengah, begitu Safira melihat Raga. Bocah itu langsung berlari menghampiri Om nya itu dan disambut oleh rentangan tangan Raga setelah ia menaruh kotak-kotak berisi kue buatan Kirana ke meja makan.

“OM RAGAAAAA....” pekik Safira, bocah itu ditangkap oleh Raga dan masuk dalam dekapannya.

“Aduh pake lari-lari segala kamu, Ra. Nanti kalau jatuh gimana?”

“Tapi kan enggak jatuh.” bocah itu tersenyum dan menunjukan rentetan giginya yang rapih, putih dan bersih.

“Dasar, oh iya, kenalin ini Tante Kirana temannya Om, cantik gak?” Raga memperkenalkan Kirana pada keponakannya itu, Kirana tersenyum melihat Safira. Bocah itu cantik dan sangat mirip sekali dengan Adel.

“Cantik sekali, hai Tante, namaku Safira.”

“Hallo, Safira. Kamu juga cantik banget loh.” mendengar pujian dari Kirana, Safira tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya diceruk leher Raga. Membuat pria itu terkekeh karena itu adalah area sensitifnya yang mudah sekali membuatnya geli.

“Hai, Na.” Adel menghampiri Kirana, memeluk wanita yang lebih muda darinya itu. “Astaga udah lama banget kita gak ketemu yah, Mbak kangen lagi sama kamu, Na. Gimana kabar kamu, baik?”

Kirana mengangguk kecil, “baik, Mbak. Aku juga kangen banget sama Mbak Adel. Maaf yah, Mbak. Aku baru bisa main ke rumah Mbak.”

“Gapapa, Na. Santai aja, tapi ini ngomong-ngomong Raga bilang kamu bikinin kue buat Mbak sama Mas Ethan? Ini banyak banget loh, Na.” Adel enggak nyangka jika Kirana membawakannya kue buatannya itu begitu banyak, ada 4 kotak yang terisi oleh risol mayo, kue cucur, pisang bolen dan juga pastel dan semua itu Kirana yang membuatnya.

“Gapapa, Mbak. Aku tadi dibantuin sama Mas Raga kok.”

Mendengar Kirana menyebut nama adiknya itu dengan kata 'Mas' membuat Adel melirik Raga dengan lirikan meledek, enggak menyangka jika Raga akan secepat itu mengubah panggilan Kirana yang tadinya 'Pak' menjadi 'Mas' dan kelihatannya mereka sudah cukup akrab, tidak ada sekat batasan antara atasan dan bawahan, terlebih Adel sudah tahu jika Kirana sudah tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Dari sini saja Adel sudah bisa menebak jika Raga percaya diri mendekati Kirana.

“Oww...oww... Oww.. Sekarang manggilnya udah bukan Pak Raga lagi nih? Cepet juga, Ga.” sekarang giliran Ethan yang ikut nimbrung meledek Raga, habislah pria disamping Kirana itu dengan kupingnya yang memerah. Bahkan ucapan Ethan tadi berhasil membuat Kirana salah tingkah.

“Ya, gapapa dong, Mas. Kan sekarang Kirana sama Raga udah gak satu kantor, ya kan, Na.”

Kirana hanya mengangguk saja, Adel dan Ethan sempat mencicipi kue-kue buatan Kirana. Bahkan Safira pun sangat menyukai pastel buatannya, membuat hati Kirana rasanya dipenuhi oleh bunga-bunga saking bahagianya. Kue-kue itu tidak hanya dinikmati sendiri oleh Adel dan Ethan, keduanya membagi secara sama rata untuk pekerja di rumah mereka termasuk tukang kebun yang hari itu memang datang untuk mengurus taman. Dan semua komentar dari pekerja disana membuat Kirana bahagia, mereka bilang kue buatan Kirana sangat enak.

“Kapan-kapan kamu ke sini lagi dong, Na. Kita bikin kue bareng sama masak bareng. Oh iya, Raga sudah bilang ke kamu kalau Mbak bolehin kamu pakai alat-alat dapur termasuk alat bakingnya?”

“Udah kok, Mbak. Mas Raga sudah bilang ke Kirana, sekali lagi makasih ya, Mbak.”

“Sama-sama, Na.” Adel tersenyum, sedikit berterima kasih pada Kirana karena sejak mengenal Kirana, Raga menjadi lebih sering tersenyum. Dunia adiknya itu tidak lagi hanya mengenal hitam dan putih saja tapi juga warna-warna lain.

Sore itu Raga sedang asik bermain dengan Safira di taman depan dan Kirana sedang membantu Adel merangkai bunga di terasnya. Sedangkan Ethan sedang berbicara dengan tukang kebun mereka, rumah yang megah itu tidak terasa dingin. Justru lebih hangat karena yang tinggal didalamnya senang menebar kebahagiaan ke banyak orang.

“Kamu tau gak, Na. Bunga ini kiriman dari Mama loh. Mama sekarang punya toko bunga sendiri.”

“Oh ya, Mbak? Keren banget, dikelola sendiri atau ada karyawan nya, Mbak?” sesekali Kirana menoleh ke arah Adel, ia baru pertama kali merangkai bunga jadi agak sedikit kikuk.

“Dikelola sendiri, ya kesibukan Mama sekarang itu. Bahagia banget dia, apalagi kalau banyak anak muda yang datang ke toko nya. Kapan-kapan Mbak ajak kamu ke sana mau ya?”

Kedua mata Kirana berbinar, ini pertama kalinya dia diajak seperti ini oleh orang yang bukan keluarganya. Bahkan ia dan Raga hanya teman, ya untuk saat ini bisa dikatakan status mereka hanya teman dekat. “Mau, Mbak. Mau banget malahan.”

Adel tersenyum, senang sekali melihat Kirana tersenyum seperti itu. Pasalnya beberapa kali bertemu Kirana. Wanita itu selalu lihat wajah Kirana yang menampakan kesedihan seperti tengah membawa beban di kedua pundaknya tanpa tahu akan berbagi ke siapa, sekarang yang Adel lihat. Beban-beban itu seperti berkurang satu persatu.

“Kamu tau gak, Na. Kamu tuh perempuan pertama yang Raga ajak ke rumah Mbak dan dikenalin ke orang tua kami tau sama Raga.”

“Hm, maksud, Mbak?” entah apa yang Kirana rasa ia masih terlalu bimbang untuk menyimpulkannya, tapi ucapan Adel barusan membuat Kirana terasa gugup dan sedikit salah tingkah.

“Iya, Raga itu susah banget buat dekat sama perempuan, kaya punya teman perempuan yang dekat banget kaya kamu gini tuh baru kamu aja. Bahkan pernah tuh sekali Mas Ethan kenalin Raga ke kenalannya tapi ya gitu deh, berakhir mundur alon-alon.

“Mas Raga enggak pernah dekat sama perempuan, Mbak? Kaya punya pacar gitu dia belum pernah?”

Adel terdiam sebentar, sepertinya Kirana sudah mulai penasaran dengan adiknya itu. Umpan yang Adel tebar ke Kirana sepertinya berhasil, ia memang ingin sedikit membantu usaha Raga untuk lebih dekat dengan Kirana. Sekalian Adel mencari tahu bagaimana Kirana memandang Raga selama ini, setelah Raga sudah tidak menjadi atasanya dan Kirana tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa Adel mendukung sekali jika Raga ingin berkencan atau bahkan melamar Kirana.

“Kalo aku bilang belum kamu percaya gak, Na?” Tanya Adel.

Kirana sempat melirik ke arah Raga, pria itu masih asik bermain dengan keponakannya diatas ayunan. “Percaya, Mbak.”

“Kenapa percaya?”

“Hhmm.. Gimana ya, ak..aku bingung jelasinnya.” sebenarnya Kirana ingin menjelaskan sesuatu tentang sikap Raga yang terkadang agak kaku jika sedang bicara dengan wanita, tapi ia tahan. Ia tidak ingin membuat Adel tersinggung dengan ucapannya tentang Raga, dan lagi ia masih takut menilai seseorang terlalu dini.

“Kaku yah?” Tebak Adel dan Kirana mengangguk. “Jujur aja lagi, Na. Gapapa, aku nih Mbaknya aku kenal dia dari dia kecil. Emang Raga itu agak kaku. Sejak kecil dia lebih dewasa dari anak seusianya ambis banget kalo soal urusan belajar, sampe kuliah pun juga begitu. Aku udah pernah bilang ke dia kalo urusan pendidikan, karir sama urusan hati tuh dia bisa imbangin tapi dia gak pernah dengar”

Kirana baru tau soal ini, Raga memang tidak pernah cerita tentang asmaranya, tentang dirinya sendiri selain soal kehidupan mereka terdahulu. Kirana baru sadar, setiap kali mereka bersama yang sering kali Raga tanyakan adalah diri Kirana. Mungkin lain kali Kirana akan bertanya lebih banyak tentang diri Raga.

“pernah waktu itu sekali aku tanya, apa sih tipe ideal dia. Tapi dia bilang.” Adel menoleh ke arah Kirana dan pandangan mata keduanya bertemu. “Dia bilang yang penting baik aja, dia gak punya tipe ideal apapun.” Adel tersenyum.

Katakanlah jika Kirana terlalu percaya diri, tapi dengan semua bahasa tubuh dan kata-kata Adel barusan seperti menunjukan ada rasa yang tidak biasa dari Raga padanya. Kirana seperti sebuah pengecualian bagi Raga, wanita pertama yang dikenalkan ke keluarganya, wanita pertama yang mengajarinya memasak, wanita pertama yang membuatnya gugup dan wanita pertama yang membuat perut Raga seperti dipenuhi kupu-kupu.

“Na?”

“Ya, Mbak?” Kirana menoleh ke arah Adel.

“Aku senang sekali Raga bisa mengenal kamu.”

Bersambung...

Sudah tiga bulan Asri tidak pernah lagi datang ke rumah Raka untuk menjenguk Reisaka, awalnya Raka masih menghubungi wanita itu untuk bertanya alasannya tidak datang dan Asri pun masih memberikan alasan yang masuk akal baginya. Asri mengatakan jika ia sibuk di butik, Raka tahu butik yang didirikan oleh wanita itu memang sedang ingin membuka cabang lain. Masih di daerah Jakarta tentunya dan saat itu Raka masih menghargai kesibukan Asri meski tetap saja menurutnya itu melanggar perjanjian mereka, lalu pada minggu-minggu berikutnya Asri tidak dapat dihubungi. Bahkan nomer ponsel Raka, wanita itu blokir sejak itulah Raka mulai berasumsi jika Asri kembali mangkir dari tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu.

Beberapa hari yang lalu, Raka mengikuti Asri dengan sangat nekat. Mengikuti semua kegiatan wanita itu seperti seorang pengutit, namun yang dilakukan oleh Asri hanya berada di rumah Bagas. Ya, tentu saja Raka tahu itu rumah Bagas karena Asri pernah beberapa kali keluar dari rumah itu bersama Bagas. Raka tidak membenci Bagas, justru ia kasihan dengan pria itu karena Raka yakin Bagas tidak tahu jika Asri menipunya dan keluarganya.

Hari ini pria itu berdiri di lorong IGD disebuah rumah sakit setelah menyelesaikan administrasi, wajahnya kusut, hatinya gundah gulana dan rambut yang biasanya ia tata serapih mungkin itu berantakan seperti tidak terurus. Itu semua disebabkan karena Reisaka sakit. Dari kecil, anak itu sudah mengalami lemah jantung. Reisaka tidak bisa terlalu capek itu akan membuatnya mudah sekali sakit seperti sekarang ini. Sejak Asri tidak datang lagi ke rumahnya, bocah itu selalu bertanya pada Raka kemana Ibunya, kenapa tidak pernah datang lagi? Dan tidak ada yang bisa Raka katakan banyak pada Reisaka selain janji jika ia akan membawa Ibunya kembali ke rumah mereka.

Raka mencoba menghubungi Asri kembali, namun nihil. Wanita itu tetap tidak membuka kontak blokir pada ponselnya agar Raka bisa menghubunginya. Ia pernah bertekad pada dirinya sendiri bahwa ia akan membuat Reisaka melupakan Asri, membuat bocah itu lupa jika ia mempunyai Ibu. Tapi sialnya, Reisaka terlalu sayang pada Asri. Ini semua salahnya memang karena memperkenalkan Asri pada Reisaka jika wanita itu adalah sosok Ibu yang baik dan sangat menyayanginya. Waktu itu Raka hanya tidak ingin Reisaka membenci Ibunya.

Pagi itu Raka menghubungi nomer seseorang, ia mungkin tidak akan masuk kerja untuk beberapa hari ke depan karena harus menjaga Reisaka. Kalaupun ia harus tetap bekerja, ia akan meminta mengerjakan pekerjaanya itu dari rumah sakit saja.

hallo, Ka. Kenapa?” suara bariton dari seorang pria disebrang sana seperti mengintrupsi Raka dari lamunannya akan Reisaka.

“Hallo, Pak Satya. Saya minta maaf, Pak. Kayanya hari ini dan beberapa hari ke depan saya enggak bisa ke kantor, Pak.”

kenapa, Ka? Lo sakit?

“Bukan gue, Pak.” Raka sudah tahu jika Satya memanggilnya dengan sebutan 'lo gue' maka Satya hadir sebagai temannya alih-alih atasannya itu. “Tapi anak gue.”

terus sekarang dimana, Ka? Diopname atau lo rawat sendiri di rumah?

Raka menghela nafasnya berat, “diopname, Pak.”

yaudah kalau gitu, semoga cepet sembuh. Nanti sore gue sama anak-anak jenguk ya. Jagain dulu aja, tapi gue minta HP lo tetap stan by ya.

“Siap, makasih, Pak.”

sama-sama, Ka.

Setelahnya sambungan telfon itu ditutup oleh keduanya dan Raka kembali ke dalam IGD untuk menemani anaknya, Reisaka, bocah itu masih tertidur pulas setelah selang infus tertanam dinadinya. Wajahnya pucat dan bocah itu sempat mengeluh jika dadanya sakit, sejak kemarin Reisaka terus mengigau memanggil Asri. Awalnya Raka masih menghargai Asri karena wanita itu adalah Ibu dari anaknya, mengesampingkan dendam jika Asri mengabaikan Reisaka dan meninggalkannya. Tapi dendam itu kini muncul kembali menguasainya ketika Asri mengingkari janjinya, ia akan membuat hidup wanita itu tidak bahagia, ia berjanji pada dirinya sendiri dan juga Reisaka.

Ketika Reisaka sudah mendapatkan kamar rawat inap dan sudah di pindahkan ke sana, Raka baru bisa sedikit beristirahat, ia sempat bersandar disofa sebelum akhirnya kembali beranjak ketika pintu ruang rawat anaknya itu terbuka. Raka pikir tadinya itu suster atau staff yang mengantar snack malam untuk Reisaka, namun ternyata itu teman-temannya. Ada Almira, Satya, Kirana dan juga Raga.

“Astaga, kalian beneran dateng rombongan kaya gini.” Raka tersenyum, sedikit terhibur teman-temannya itu menjenguk anaknya.

“Iya, Mas. Tadi Mas Satya ngabarin kita, terus langsung janjian buat ke rumah sakit bareng,” jawab Kirana.

“Gimana keadaan Reisaka, Ka?” Satya bertanya lebih dulu, pria itu sempat melirik ke ranjang Reisaka dan mendapati bocah itu masih terlelap di ranjang rawatnya. Memeluk boneka bebek dalam selimut yang sedikit tebal itu, terlihat nyaman.

“Udah mendingan, Pak. Tadi dia ngeluh nyeri didadanya makanya langsung saya bawa ke sini.”

“Reisaka sakit apa, Mas?” kali ini Kirana yang bertanya setelah ia memperhatikan wajah Reisaka yang pucat. Dilihat langsung seperti ini Reisaka benar-benar mirip Raka, tapi ada kilas dari bocah tersebut yang mengingatkannya pada seseorang entah itu siapa.

“Dari kecil dia sudah lemah jantung, Na.”

“Berarti Reisaka lagi drop, Ka? Kecapekan kah?” Raga gak tau banyak tentang lemah jantung, tapi membayangkan anak sekecil itu sudah memiliki penyakit yang berat seperti itu saja membuat hatinya sedih.

“Sebenarnya sih enggak, Ga. Dia belum gue daftarin sekolah juga, kegiatannya masih di rumah aja. Reisaka mungkin drop karena dia kangen Ibu nya.”

Ibunya? Pikir Raga, apa yang dimaksud Ibu dari Reisaka itu adalah Asri? Wanita yang sempat ada di rumah Bagas sewaktu ulang tahun Ibunya itu dan beberapa kali pernah bertemu dengannya, bahkan bertemu dengannya sewaktu di cafe bersama dengan Raka dan anaknya. Bocah itu juga sangat terlihat akrab dengan Asri.

Almira hanya diam saja, dia sudah kenal sama Reisaka karena bocah itu pernah diajak Raka beberapa kali ke kantornya. Almira juga pernah sekali mengajak Reisaka makan ice cream saat Raka menitipkannya. “Mas Raka?”

Raka menoleh ke arah Almira, wanita yang sedari tadi hanya diam saja itu membawa boneka yang ia peluk dilengannya. Itu sebuah boneka Donal Duck, karakter kartun kesukaan Reisaka. “Ya, Mir?”

Almira memberikan boneka itu pada Reisaka dan langsung saja diterima oleh pria itu. “Ini buat Reisaka, Mas. Waktu dia aku ajak ke kosanku, Reisaka sempat minta boneka ini. Tapi enggak aku kasih karena ini dari mantanku”

Raga, Satya, Kirana dan tentunya Raka saling melempar pandangan satu sama lain. Ingin tertawa namun mereka tahan, bukan karena ekspresi wajah Almira yang terlihat begitu sedih melainkan karena kata-katanya. Satya bahkan hampir melepas tawanya, pria itu tahu persis mantan Almira yang mana yang wanita itu maksud.

“Buat Reisaka aja, semoga dia cepat sembuh ya, Mas. Nanti kalau dia bangun tolong bilangin kalo aku ke sini kalau dia udah sembuh nanti aku janji traktir dia es krim lagi. Um.. Sebenarnya aku sempat nyari Donal Duck nya yang mirip kaya gitu tapi enggak ketemu.”

“Kamu ngasih ke orang kok bekas sih, Mir?” bisik Raga.

“Ih, Pak. Orang Reisaka nya sendiri yang mau kok waktu itu, lagian itu limited edition tau.” pekik Almira tertahan, agak sedikit enggak terima.

“Mas, udah biarin aja sih jahil banget.” samber Kirana, tidak ingin ada keributan kecil terjadi karena komentar Raga yang agak sedikit menyebalkan itu. Almira yang berdiri disamping Kirana itu langsung menjulurkan lidahnya meledek Raga, ia merasa dibela oleh Kirana.

Hal itu menjadikan sedikit hiburan untuk Raka, pria itu sempat terkekeh pelan. “Makasih yah, Mir. Nanti kalau dia udah bangun aku pasti kasih tau kamu ke sini. Makasih juga kalian udah datang buat jenguk Reisaka, doain anak gue cepet sembuh yah. Hati gue hancur banget liat dia sakit.”

Jawaban itu seketika membuat yang lainnya paham, dalam hati Kirana benar-benar kagum dengan Raka yang sudah menjadi orang tua tunggal untuk anaknya. Raka hanya pernah bercerita padanya jika Ibu dari Reisaka pergi meninggalkan anaknya, mereka menjenguk Reisaka tidak begitu lama karena jam besuk juga sudah habis. Hanya sekitar 45 menit saja, begitu Raga dan yang lainnya ingin pamit Raka sempat menahan Kirana dahulu karena ada yang harus dia bicarakan pada Kirana. Kirana menyuruh yang lainnya untuk lebih dulu turun ke loby rumah sakit dan nantinya ia akan menyusul setelah berbicara dengan Raka, mereka enggak keluar dari ruangan tempat Reisaka dirawat mereka hanya berbicara sedikit lebih jauh dari ranjang Reisaka.

“Ada apa sebenarnya sih, Mas?” tanya Kirana begitu teman-temannya yang lain sudah pergi.

“Maaf, Na. Kalau pertanyaan aku mungkin sedikit nyinggung kamu.”

“Mau tanya apa sih, Mas?”

Raka menghela nafasnya pelan, ia tetap merasa harus bertanya hal ini pada Kirana meski mungkin saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Kirana lagi. “Gimana kabar Bagas, Na? Kamu tau dia resign dari kantor?”

Pertanyaan itu membuat hati Kirana sedikit terenyuh, ia tidak tersinggung sama sekali. “Aku enggak tau banyak, Mas. Aku cuma tau Bagas sakit karena waktu itu Adiknya sempat nemuin aku sekitar tiga bulan yang lalu, Bahkan aku gak tau kalau dia sampai resign. Kanes pun enggak cerita. Kenapa, Mas?”

Raka menggeleng pelan, “Gapapa, Na. Aku pikir kamu masih berkabar sama dia. Aku cuma sedikit prihatin aja sama dia.”

Wajah Raka kelihatan bingung seperti ada yang ingin dikatakan pria itu namun tertahan dibibirnya, Raka benar-benar bingung harus dari mana ia memulai pembicaraan tentang Bagas dan Asri. Awalnya ia ingin bertemu dengan Bagas untuk memperingati pria itu sendiri untuk berhati-hati pada Asri, namun ia mengurungkan niat itu karena setiap kali ia menghubungi Bagas ponsel pria itu tidak pernah aktif dan terkadang tidak diangkat panggilannya tanpa ada panggilan balik dari Bagas.

Raka menduga jika Bagas memang sedang butuh waktu sendiri, beberapa waktu lalu setelah ia dan yang lainnya tahu jika Bagas dan Kirana sudah putus. Bagas sering sekali terlihat frustasi, linglung bahkan Bagas pernah meminta Raka untuk menemaninya minum di sebuah bar. Raka pernah beberapa kali menemani Bagas minum dan mengantar pria itu pulang ke kontrakannya karena terlalu mabuk.

“Prihatin kenapa, Mas? Karena keadaan dia setelah putus dari aku?”

“Um, bukan, Na. Bukan itu. Ya itu termasuk juga tapi yang aku maksud disini bukan itu.”

“Terus?” Kirana mengerutkan keningnya bingung.

“Kamu tau kalau Bagas lagi dekat sama perempuan lain? Ah, gini. Dia pernah cerita tipis-tipis ke aku kalau dia dijodohin kamu kenal perempuan itu?”

Kirana sempat diam sebentar, ada sedikit rasa penasaran dari ucapan Raka. Seperti pria itu tahu sesuatu, “kenal, Mas. Namanya Asri. Kenapa?”

“Na, aku kenal sama perempuan itu.”

“Maksud Mas Raka?”

“Asri itu Ibu dari anakku, Na. Dia Ibunya Reisaka.”

Mendengar ucapan itu Kirana terdiam ia kaget bukan main, pantas saja selama ini dia melihat Reisaka itu seperti perpaduan orang yang ia kenal dan ternyata orang itu adalah Asri dan Raka sendiri. Yang Kirana pikirkan saat itu kemungkinan orang tua Bagas sudah mengetahui hal ini, banyak sekali spekulasi dikepala Kirana tentang seperti apa hubungan kedua orang tua Bagas dan orang tua Asri sampai akhirnya keduanya sepakat menjodohkan anak mereka.

Atau jangan-jangan hubungan Asri dan Raka kandas karena Asri diminta berpisah dari Raka karena ingin dijodohkan oleh Bagas? Kalau begitu Raka juga korban sepertinya bukan? Lalu, Raka ingin apa dari Kirana sampai-sampai harus mengatakan hal ini padanya? Bekerja sama untuk merebut Bagas dan Asri kembali? Pikir Kirana tidak karuan.

“Mas Raka pernah menikah sama Asri?” tanya Kirana gugup.

Raka mengangguk, “Iya, Na. Dulu. Aku nikahin Asri karena dia hamil Reisaka. Setelah Reisaka lahir, dia minta pisah sama aku dan ikut orang tua nya ke Jakarta. Dia bahkan gak pernah ngurus Reisaka dari bayi, Na. Dan aku waktu tau dia ke Jakarta itu buat di jodohin sama laki-laki lain dan benar-benar gak menganggap kalau Reisaka ada dihidupnya sebagai anak dia itu aku marah banget, aku mau balas dendam sama Asri dan keluarga laki-laki itu.”

“Mas Raka mau balas dendam sama Bagas?” pekik Kirana kaget.

“Iya, Na. Tadinya tapi sekarang enggak karena Asri bikin kesepakatan sama aku kalau dia bakalan janji nemuin Reisaka dan hadir sebagai Ibu nya. Dia janji bakalan jagain Reisaka seminggu dua kali, tapi janji itu dia ingkarin setelah kamu dan Bagas putus dan Bagas sakit. Aku tau ini saat-saat dia benar-benar dekatin Bagas.”

Saking bingungnya harus bersikap dan memberikan reaksi seperti apa, Kirana hanya menghela nafasnya pelan. Ia bukan satu-satunya korban disini karena keegoisan orang lain tapi ada Reisaka yang bahkan sejak dulu sudah menjadi korban keegoisan Asri, anak itu jauh lebih menyedihkan dibanding Kirana. Anak itu butuh Ibunya dan Asri justru seperti menghapus Reisaka dari hidupnya. Kirana bahkan enggak menyangka ada orang tua yang seperti itu didunia ini. Reisaka bahkan enggak tahu kenapa Asri harus memilih berpisah dengan Ayahnya.

“Na, orang tua Bagas itu enggak tahu kalau Asri pernah menikah dan punya anak. Asri nyembunyiin ini semua dari Bagas.”

“Terus Mas Raka mau aku kaya gimana, Mas? Kasih tau Bagas kalau perempuan yang lagi dekat sama dia sekarang itu punya anak?” Raka sempat terdiam, Kirana benar bagaimanapun hubungan keduanya sudah selesai dengan cara yang paling menyakitkan. Salah Raka juga harus menyeret Kirana dalam hal ini. Tentu saja wanita itu tidak akan mau, apalagi Kirana bukan tipe wanita yang suka menjelek-jelekan orang lain.

“Mas Raka, aku gak bisa bilang ini ke Bagas meski mau. Aku juga gak mau dia kecewa dan merasa ditipu. Tapi kalau aku bilang ini ke Bagas itu akan numbuhin harapan baru buat dia kembali sama aku, Mas. Dan itu cuma bikin orang tua Bagas makin benci sama aku. Hidupku udah jauh lebih tenang, Mas. Biarin Bagas tahu hal ini sendiri.” Kirana mengambil tas miliknya dan berdiri dari sofa tempat ia dan Raka duduk tadi.

“Maaf ya, Mas. Semoga Reisaka cepat sembuh, Kirana pamit.”

Diperjalanan pulang Kirana lebih banyak diam, ia duduk disebelah Raga dimobil pria itu yang sedang fokus mengemudi. Dikursi belakang ada Satya dan juga Almira. Mereka memang Raga jemput satu persatu dan sepakat menggunakan satu mobil saja, Raga pun masih harus mengantar Almira ke kosannya setelah mengatar Satya ke rumahnya. Sedari tadi Almira dan Raga terus mengobrol tentang suasana kantor Almira yang sekarang ini banyak di isi staff baru. Sedangkan Raga menimpalinya dan terkadang meledek Almira dengan menyinggung-nyinggung pacar Almira itu.

Dilampu merah pertigaan jalan hampir sampai kosan Almira, Raga melirik Kirana dan memperhatikan wajah wanita itu yang nampak masam. Kirana enggak banyak bicara, bahkan hanya diam saja sejak ia dan Raka sempat berbicara berdua. Entah apa yang keduanya bicarakan tapi yang jelas sangat terlihat sebuah perbedaan pada wajah Kirana saat pergi ke rumah sakit dan pulang.

“Tapi beneran aneh loh aku liat Pak Raga sama Mbak Kirana manggil Mas begini, merindingdong beneran aneh banget,” oceh Almira, tubuhnya ia condongkan ke depan menjadi seperti berada ditengah-tengah Kirana dan juga Raga, sesekali ia menelisik wajah keduanya itu.

“Ya apa yang aneh coba? Saya kan memang lebih tua dari Kirana, Mir. Dia juga adik tingkat saya di kampus dulu,” jelas Raga.

“Oh jadi Bapak nyadar ya kalau tua?” Almira menahan tawanya. “Aduh, becanda, Pak. Serius deh.”

“Kamu juga gak usah manggil saya pakai sebutan Bapak lagi, saya bukan Bapak kamu saya juga udah bukan atasan kamu kan?”

“Ya itu benar sih, terus Pak Raga maunya dipanggil apa dong? Mas juga kaya Mas Satya? Eh jangan deh, gimana kalau saya panggil Pakdhe aja?” Almira tertawa lepas, ia pernah mengatakan pada Kirana dulu kalau Raga punya kemiripan dengan Pakdhe dari Papi nya. Sama-sama perfectsionis dan sama-sama punya lirikan mata yang tajam dan menyebalkan.

“NGACO KAMU, MIR!” pekik Raga tidak terima.

“Eh, Mbak. Tapi Mbak ingat gak sih aku pernah bilang kalau Pak Raga mirip sama Pakdhe ku, Mbak?” Almira bertanya pada Kirana namun wanita itu tidak menyadarinya, Kirana masih larut dalam lamunan akan pikirannya sendiri. Lamunan akan obrolannya dengan Raka barusan.

“Mbak?” Almira memanggil Kirana sekali lagi dan kali ini berhasil membuyarkan lamunan Kirana.

“Ah, kenapa, Mir?”

“Mbak ngalamun?”

Raga sempat melirik Kirana sebentar, ia sudah memperhatikan Kirana sedari tadi yang memang kelihatan melamun. Namun ia pikir akan bertanya nanti saja setelah Almira sampai di kosannya, namun justru wanita itu yang bertanya duluan pada Kirana.

“Engga..k tadi itu aku sedikit ngantuk, maaf ya. Kenapa tadi?” Kirana jadi merasa tidak enak, ia benar-benar tidak menyimak obrolan Raga, Almira dan Satya tadi bahkan sampai Satya turun pun Kirana enggak menyadarinya.

“Beneran, Mbak?”

“Iya, Mir. Ngantuk ini, aku kan juga habis pulang kerja, habis shift pagi tadi tuh jadi berangkatnya pagi banget.” Alibi Kirana.

Almira mengangguk, ia sebenarnya ingin sekali mengajak Kirana kembali ke kantor. Bahkan Satya pun sudah sering menawari Kirana untuk kembali bahkan setelah Bagas resign namun Kirana masih belum mau menerima tawaran itu, Almira sempat berpikir mungkin di tempat Kirana sekarang bekerja wanita itu jauh lebih nyaman dan bahagia atau mungkin bisa mendapatkan passion barunya. Apapun itu selama Kirana bahagia Almira akan selalu mendukungnya.

“Pantesan, Pak habis ini anterin Mbak Kirana pulang kan? Kasian tuh dia udah ngantuk.”

“Iya iyalah, Mir. Kamu pikir saya setega itu sama Kirana yang lain saya antar pulang dia doang enggak. Ini kamu udah sampai di depan kosanmu tuh, cepet turun.” Agak pening kepala Raga mendengar ocehan Almira sedari tadi. Mana suaranya cempreng.

“Ihhh biasa aja lagi, Pak. Ini saya juga mau turun, Mbak, aku pulang ya, Mbak sampai rumah langsung istirahat ya,” ucap Almira sebelum wanita itu turun dari mobil Raga, Kirana hanya membalasnya dengan anggukan kecil saja.

Sebelum Raga kembali melajukan mobilnya menuju rumah Kirana, pria itu sempat mengambil ponselnya karena menyala dan menunjukan seseorang mengiriminya pesan. Itu dari Almira ternyata, wanita itu hanya mengatakan.

“*saya tau Bapak lagi dekat sama Mbak Kirana, Pak, Mbak Kirana itu baik banget, dia tulus banget sama orang lain. Saya harap kalau Bapak mau dekat sama dia Bapak bisa menyayangi dia ya, jangan sakiti Mbak Kirana ya, Pak. Dunia udah terlalu jahat sama dia, saya dukung Pak Raga sama Mbak Kirana.**”

Membaca pesan itu, Raga melirik ke balkon atas dan Almira masih ada disana memperhatikan mobil Raga dari atas. Sebelum masuk ke kamarnya, wanita itu mengacungkan ibu jarinya pada Raga yang melihatnya dari dalam mobil. Raga tersenyum, ia senang Almira mendukungnya. Tidak ada niat untuk menyakiti Kirana karena Raga hanya ingin memastikan wanita disebelahnya itu bahagia dan tersenyum. Sebelum melajukan mobilnya Raga sempat melihat Kirana kembali, wanita itu masih melamun.

“Na?” Panggil Raga, ia menyentuh punggung tangan wanita itu dan membuat Kirana menoleh ke arahnya. “Kenapa? Lagi ada yang di pikirin?”

“Mas?”

“Hm?”

“Ada yang mau saya ceritain, tapi nanti aja yah. Saya capek banget mau pulang dan istirahat.” Sejak dekat dengan Raga, apapun yang Kirana pendam rasanya selalu ingin ia bagi dengan pria itu. Termasuk soal Asri yang tadi ia bicarakan pada Raka katakanlah Raga saat ini menjadi teman bicaranya tentang harinya.

“Iya, saya antar kamu pulang ya.”

Bersambung...