KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Hujan di luar dqn sesekali terdengar suara petir juga kilatan dari luar jendela itu seperti menjadi teman bagi Raga malam ini, di temani secangkir kopi yang entah sudah berapa gelas ia tenggak. Raga masih berkutat dengan MacBook di meja kerjanya di kantor. Sesekali ia melirik jam dari ponselnya, sesekali konsentrasinya teralihkan karena ingin memeriksa apakah di luar masih hujan atau tidak.

Kepalanya sudah penuh namun Raga memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaanya itu, punggung lebar dan bahu tegap itu bersandar pada kursinya, tangan kirinya menopang kepalanya dan tangan kananya sibuk memijat pelipisnya. Kepalanya tidak berdenyut, hanya sedikit mumet saja pikirannya. Sudah 2 hari Kirana tidak datang bekerja, wanita itu memang izin karena ada kepentingan keluarga yang Raga sendiri tidak tahu itu apa. Karena saat izin tidak masuk, Kirana hanya mengatakan itu saja.

Namun, dari yang Raga tau. Kirana masih menjalankan kewajibannya untuk bertemu dengan Raka dan membicarakan proyek mereka berdua di luar kantor. Pikiran Raga penuh sekali, ia jadi tidak nyaman sendiri. Memikirkan apakah Kirana menghindarinya atau memang wanita itu benar-benar ada kepentingan keluarga. Ingin rasanya Raga bertanya langsung pada wanita itu, seperti menawarkan bantuan jika Kirana kesulitan.

Namun, akal sehatnya masih jalan. Kirana bisa salah paham, ah, bukan hanya Kirana tapi Bagas juga. Antara menyesal dan tidak ia mengatakan janji Jayden dengan Ayu. Namun di kepalanya hanya ada jawaban itu saja, namun jika benar Kirana merasa tidak nyaman dengan jawaban itu. Ia akan segera meminta maaf pada wanita itu secepatnya.

Sudah beberapa hari ini ia juga mempertimbangkan dirinya untuk menetap pada kantor yang sudah memberinya pengalaman itu, atau justru berpindah dan keluar dari zona nyamannya bergabung dengan firma Mas Ethan. Entahlah, Raga belum selesai mempertimbangkannya. Kepalanya masih ramai, namun sekilas dari luar pintu kaca ruanganya Raga melihat ada Almira yang masih berada di meja nya.

Raga baru sadar jika Almira belum pulang, mungkin wanita itu masih lembur, tapi tumben sekali Almira lembur di kantor. Biasanya, Raga sering sekali bertemu Almira di cafe tak jauh dari kantor mereka. Almira biasa mengerjakan lemburannya di sana, di temani croissant dan juga hazelnut coffee kesukaan wanita itu. Jelas Raga tahu karena setiap kali bertemu Almira di sana, wanita itu selalu memesan menu yang sama.

“Apa gue samperin Almira aja, mungkin dia tau ada apa sama Kirana.” Entah mengapa malam itu rasanya Raga ngebet sekali ingin tahu kabar Kirana tanpa bertanya langsung pada wanita itu.

Dengan segenap rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, Raga keluar dari ruanganya, menghampiri Almira yang ternyata asik mengerjakan laporannya dengan dua telinga ia sumpal dengan earphone sesekali bibirnya bergumam menyanyikan lagu yang sedang di putar di sana.

Begitu sadar Raga mendekat ke arah mejanya, wanita itu terkesiap dan langsung melepas earphone yang masih memutar musik disana. Raga bisa mendengar sayup-sayup lagu yang Almira putar meski tidak terlalu jelas, sepertinya wanita itu memutar lagu dengan volume yang agak kencang. Entah menghalau rasa sepi atau menghalau rasa takut, karena di ruangan itu hanya tersisa dirinya saja.

“Malam, Pak.” Almira menganggukan sedikit kepalanya pada Raga.

“Malam.” Raga melihat masih ada setumpukan map berserta kopi yang Almira beli lewat aplikasi ojek online menemaninya, isinya sudah tinggal setengah. Bahkan es dari kopi itu sudah mencair dan membuat meja Almira basah karena embun yang berubah menjadi air dari gelas es itu. “Lembur, Mir?”

Almira mengangguk, “iya, Pak. Tadi habis ngerjain maket, terus sekarang nyelesain report. Bapak belum pulang? Saya pikir udah pulang dari tadi.”

“Belum.” Raga menarik salah satu kursi di sana, kursi milik Kirana. “Mir?”

“Ya, Pak?”

Raga menghela nafasnya pelan, “Kirana lagi ada masalah?”

Melontar begitu saja pertanyaan yang sudah sedari tadi Raga tahan di bibirnya itu, dalam hati ia mengakui betapa kurang ajarnya menanyakan pasangan orang lain. Ah, tapi Kirana kan bawahannya, ia hanya perhatian saja pada bawahannya itu. Siapa tahu, Raga sebagai atasan bisa membantu kan jika Kirana memiliki masalah, Raga denial.

Sebelum menjawab, Almira menyandarkan punggungnya yang nampak begitu pegal ke kursinya dan memandang meja kerja Kirana di sebelahnya. “Iya, Pak. Kasian Mbak Kirana. Dia lagi nyari sewa rumah, Pak.”

Kening Raga mengekurut menampakan sebuah kebingungan di sana. “Sewa rumah? Memang kenapa sama rumahnya?”

Almira tampak menimang-nimang ingin menjawab pertanyaan dari atasannya itu atau tidak. mengingat, Kirana sudah mempercayakan untuk menceritakan tentang masalah keluarganya itu pada Kirana. Namun, di depannya ada Raga. Atasannya, dan sepertinya Raga bukan hanya penasaran tapi menaruh simpati juga pada Kirana.

Siapa tahu kan Raga bisa membantu Kirana, entah itu memberi saran rumah sewaan murah atau mungkin menaikan gaji Kirana. Ya, kira-kira seperti itu pertimbangan Almira sampai akhirnya ia memilih menceritakan pada Raga.

“Saya ceritain, tapi Bapak janji ya jangan bilang tau dari saya.” Almira mewanti-wanti, tidak ingin membuat Kirana kecewa padanya.

“Iya.” Raga mengangguk setuju.

“Mbak Kirana cerita, Pak. Rumahnya di sita buat melunasi hutang mendiang Bapaknya sama salah satu investor di perusahaanya dulu. Karena di dalam surat perjanjian itu, Mbak Kirana menyetujui bakalan melunasinya dalam waktu 6 bulan. Tapi kan, waktu itu Mbak Kirana sempat kecelakaan. Jadinya, Mbak Kirana sempat gak mencicil hutangnya. Makanya lah rumah nya disita, Pak,” jelas Almira.

Raga tidak menanggapi ucapan Almira lagi, dia termenung di kursi Kirana. Memikirkan nasib wanita itu bersama Ibu nya, Kirana tidak menjauh ternyata. Dia sedang dalam kesusahan sekarang.

“Terus dia sudah dapat rumah sewaan?”

Almira mengangkat kedua bahunya, Kirana memang belum bercerita lagi pada Almira. Wanita itu baru bercerita kalau sudah survei ke rumah-rumah yang mungkin akan ia sewa.

“Terakhir Mbak Kirana cuma cerita lagi survei rumah yang mau di sewa nya, di daerah Percetakan Negara kalau enggak salah, tapi saya gak tau sih, Pak. Dia jadi ambil rumah itu apa enggak.”

Malam itu setelah hujan reda, Raga buru-buru pulang, tapi sebelum itu ia pastikan jika. Almira telah mendapatkan taksi online dulu, setelah itu ia lajukkan mobilnya membelah dinginya kota Jakarta yang baru saja di guyur hujan. Pikirannya malam itu benar-benar tersita oleh Kirana, mungkin besok pagi, Raga akan mencoba melewati rumah Kirana yang lama.

Siapa tahu, dari sana ia bisa bertemu dengan Kirana dengan alasan tidak sengaja lewat dan bisa membantu wanita itu. Ngomong-ngomong soal rumah, Raga masih memiliki rumah di daerah Jakarta, tak jauh dari Gambir. Rumah yang memang tidak di tempati oleh Mbak Adel karena wanita itu memilih tinggal di rumah yang di beli Suaminya. Iya, rumah itu rumah Mbak Adel, Mbak Adel sempat membelinya dulu dari hasil menabungnya 8 tahun bekerja.

Mungkin ia bisa meminta izin pada Mbak Adel, untuk menyewakan rumahnya itu pada Kirana dengan harga murah, pikir Raga.


Masih ada beberapa barang yang harus di masukan ke dalam dus oleh Kirana, dan beberapa barang seperti lemari, meja makan dengan kayu jati, ranjang tidur, meja belajar dan lemari buku akan Kirana jual. Membawa semua barang itu ke rumah baru mereka yang kemungkinan lebih kecil itu sulit sekali, akan sangat pengap jika terlalu banyak barang nantinya.

Ibu tengah mengemasi beberapa baju peninggalan mendiang suaminya itu, sembari sesekali tersenyum, seolah tengah bernostalgia dengan Suaminya itu ketika sang Suami memakai baju yang tengah ia pangku di kedua paha nya.

Kirana yang tengah mengemasi buku-buku miliknya itu meringis, sudah beberapa hari ini Ibu selalu mengukit Bapaknya lagi, seperti ketika Ibu memakan sesuatu, misalnya saja kue lumpur. Ibu pasti akan teringat Bapak dan mengatakan, “Bapakmu dulu sering banget beliin Ibu kue lumpur waktu awal-awal menikah, Na. Dia tau Ibu suka sekali sama kue ini.” Atau ketika hendak menonton siaran TV berita yang selalu Bapak tonton, Bapak itu gemar sekali membahas politik. Dan ketika Ibu menonton TV pasti ia akan berkata, “kalau Bapak nonton, pasti Bapak bakalan diskusi sama Ibu.”

Atau yang lebih memiluhkan lagi adalah, “kalau kamu menikah nanti sama Bagas, harusnya Bapak yang mendampingi kamu ya, Na. Bukan Paman, kalau Bapak masih ada, pasti dia bahagia banget karna Bagas begitu sayang sama kamu.” Kirana akan sangat tersakiti dengan kata-kata yang seharusnya menghangatkan relung hatinya itu. Ibu benar-benar merindukkan Bapak, terkadang Kirana juga suka memergoki Ibu tengah menangis di malam hari sembari menggegam arloji milik Bapak yang tali nya sudah Ibu ganti sebulan lalu karena putus.

“Na?” Panggil Ibu, membuat Kirana yang tengah mengepak bukunya itu berhenti sebentar.

“Ya, Buk?” Kirana menghampiri Ibu, duduk di sebelah wanita yang menjadi satu-satunya pusat dunia nya saat ini. “Ada apa?”

Ibu membuka lipatan dari kemeja Bapak itu, masih sangat bagus, masih wangi, tidak ada noda kekuningan di bekas lipatan baju itu karena Ibu selalu mencucinya setiap minggu. Ibu selalu merawat dengan baik barang-barang milik Bapak.

“Bapakmu kalau pakai kemeja ini dulu tuh ganteng banget, Na. Badannya gagah, apalagi kalau rambut nya di sisir ke belakang. Sudah bisa bersaing dengan Roy Marten kayanya,” Ibu terkekeh, matanya tak lekat pada kemeja Bapak. Seolah-olah sang Suami tengah memakainya.

“Tapi kalau bersaing sama Roy Marten, siapa yang menang, Buk?”

“Yah jelas Bapakmu, Na.” Ibu tersenyum dan keduanya terkekeh pelan. Ibu kemudian melipat kembali kemeja itu dan memberikannya pada Kirana, Kirana tentu saja terlihat bingung.

“Kenapa, Buk?”

“Untuk Bagas, badan Bapak dan Bagas itu enggak jauh berbeda. Anggap saja ini warisan yang bisa Bapak dan Ibu kasih untuk kalian berdua.”

Ucapan Ibu itu terdengar tulus sekaligus menyakitkan untuk Kirana. Ia tertunduk, memperhatikan kemeja itu dengan air mata yang nyaris saja tumpah dari kelopak matanya jika ia sedikit saja berkedip.

“Buk, andai Kirana sama Bagas enggak berjodoh apa Ibu bakalan sedih?” Jujur saja, ia sangat mencintai Bagas. Pria itu baik, sayang dengan Ibu nya, bertanggung jawab dan sangat mencintainya juga, tetapi karena tentangan dari keluarga pria itu. Kirana tidak bisa melihat masa depannya bersama Bagas. Ia sudah menyiapkan diri jika memang ia dan Bagas tidak bisa bersama, meski Kirana mungkin tidak ingin hari perpisahan itu akan datang lebih cepat.

nduk, bagi Ibu. Siapa jodohmu, Bagas atau bukan tolong pilih laki-laki yang sayang sama kamu, menghargai kamu dan bisa bertanggung jawab, Ibu percaya setiap pertemuan itu enggak ada yang sia-sia.”

Sore itu Kirana menangis di pangkuan Ibu nya, hatinya pilu, rasa gundah itu kembali membuncah, ia hidup dalam bayangan ketakutan kehilangan apa yang tengah ia miliki saat ini, ia sudah kehilangan Bapak, sebentar lagi rumah sebentar lagi mungkin Bagas entah kapan, dan Kirana tidak ingin kehilangan Ibu nya.

Sore itu, ketika Ibu sedang mandi, Kirana keluar dari rumahnya, berdiri di teras depan. Mencoba menyapa pada tanaman-tanaman yang di pelihara Ibu sejak ia kecil, seperti ia tengah berpamitan pada tumbuhan itu jika ia dan Ibu tidak bisa menyiraminya lagi setiap pagi dan setiap minggu sore.

Entah akan di buat apa rumah ini kelak, tapi Kirana berharap siapapun tuan nya nanti. Orang itu bisa menjaga rumahnya, menjaga kenangan yang memeluknya hangat, matahari sore itu menerpa wajah Kirana. Ia tersenyum, mencoba menikmati detik demi detik yang tersisa di rumahnya.

Tak lama kemudian, sinar matahari yang menyorot wajahnya itu tiba-tiba saja sirna. Kirana membuka matanya, di depannya telah berdiri seorang pria yang lebih tinggi darinya menghalau sinar matahari itu. Ia tersenyum, dan Kirana membalasnya dengan senyuman canggung.

“Pak Raga? Ada apa?” Kirana terkesiap.

“Cu..ma lewat, gak sengaja lewat, tadi saya habis ke cafe tempat kita bertemu waktu itu, terus lewat sini. Gak sengaja liat pagar rumahmu terbuka, dan kamu lagi diteras,” jelas Raga sedikit terbata-bata, ia merasa seperti orang bodoh saat ini.

Kirana mengangguk, “duduk, Pak.”

Ia menyuruh Raga untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya, dan Raga mengekori wanita itu dari belakang dan duduk di sana. Agak sedikit canggung suasananya. namun, Kirana segera mengatasi hal itu dengan menawarkan Raga minuman.

“Pak Raga mau minum apa?”

“Ah, gak usah, Na. Saya cuma mampir sebentar.”

“Gapapa, Pak. Kebetulan di dalam Ibu bikin es kelapa, saya ambilin dulu ya.” Belum sempat Kirana pergi untuk mengambilkan Raga minum, namun Raga berdiri dan menahan pergelangan tangan wanita itu. Tak lama kemudian saat Kirana melihat tangan Raga melingkari pergelangannya, pria itu melepaskannya.

“Ah, sorry, Na. Tapi beneran gak usah. Saya kesini cuma mau tahu kabar kamu aja, karna sudah 2 hari ini kamu enggak masuk.”

Kirana duduk di kursi sebelah Raga, “iya, Pak. Saya memang sedang ada masalah keluarga. Tapi biarpun begitu, saya tetap bertemu Mas Raka untuk meeting soal proyek yang kami kerjakan berdua, Pak.”

“Oh.. Enggak-enggak, Kirana. Saya bukan nuntut kamu untuk secepatnya bekerja. Saya sebagai atasan kamu cuma mau mastiin kamu baik-baik saja,” Raga buru-buru menjelaskannya sebelum Kirana salah paham, ah sejujurnya posisi nya di kantor menyulitkannya untuk banyak berterus terang pada Kirana. Terlalu banyak dinding dan Raga susah mencari celahnya.

Kirana tersenyum kikuk, “iya, Pak. Terima kasih sudah perduli sama saya.”

Kirana menghela nafas, ia sangat menghargai kebaikan atasannya itu. “Saya harus pindah dari rumah saya, Pak.”

“Kenapa Kirana?” Raga pura-pura tidak tahu.

“Untuk melunasi sebagaian hutang Bapak saya, Pak.” Kirana tertunduk, sedetik kemudian ia menyunggingkan senyumnya. Senyum yang ia paksakan.

Raga sudah tahu sedikit tentang cerita keluarga Kirana, karena dulu Kirana pernah kasbon ke perusahaan untuk membayar hutang Bapaknya. Ya, di negeri ini siapapun sudah tahu tentang kebangkrutan seorang Damar Endra Wicaksana tak terlepas dari kematiannya yang sangat menggemparkan seluruh saluran televisi saat itu.

“Sudah dapat rumah sewaanya?”

Kirana menggeleng pelan, “sudah ada beberapa yang cocok, tapi masih saya pertimbangkan, Pak.”

“Kalau kamu mau, kakak saya menyewakan rumahnya. saya bisa antarkan kamu ke rumah itu dan bicara sama kakak saya.” Raga tahu ini bodoh, ia belum sempat berbicara dengan Mbak Adel soal ini, tapi melihat sorot mata Kirana yang kosong dan menampakan kesedihan itu cukup meluluhlantahkan hati dan pertahannya.

“Daerah mana, Pak?”

“Gambir, Kirana. Besok pagi, saya kirimkan alamatnya ya, kita lihat rumahnya dan bertemu dengan kakak saya.”

Bersambung...

Bagas melirik pada arloji miliknya, sudah mendekati makan siang dan Kirana belum sampai di kantor juga. Mereka memang berjanji akan makan siang bersama setelah Kirana dan Raka selesai meeting dengan klien mereka. Jam makan siang kurang 10 menit lagi dan wanita itu belum juga sampai, Bagas menyandarkan punggungnya yang sedikit pegal itu pada kursinya, merenggangkan tubuhnya yang kaku akibat terlalu banyak duduk.

Tak lama kemudian, wanita itu mengiriminya pesan. Mengatakan pada Bagas untuk makan duluan karena ia tidak yakin bisa kembali ke kantor saat jam makan siang. Kirana sudah selesai pindahan, pindahan itu berjalan dengan lancar meski Ibu masih menangis saat meninggalkan rumah, tapi Bagas cukup lega mengetahui Kirana pindah ke rumah yang cukup nyaman bagi mereka.

Rumah yang di tawarkan oleh atasan mereka dengan harga sewa yang sangat murah, meski awalnya Bagas agak sedikit cemburu karena perhatian Raga yang ia anggap sedikit berlebihan. Tapi jauh dari pada pemikiran buruknya, ia lebih percaya pada Kirana. Ia telah mengenal wanitanya lebih dulu.

“Mas Bagas?” panggil Almira yang membuat Bagas menoleh.

“Hm?”

“Makan siang gak? Mas Satya ngajakin makan nasi bebek di depan.”

Bagas mengangguk pelan, “boleh. Turun sekarang aja yuk? Udah laper nih.”

“Ihh bentar gue belum pake lipcream.” Almira mengambil lipcream dari tas miliknya, kemudian mengambil kaca di samping meja nya.

“Lama nih, keburu rame nanti.” Bagas mengeluh, ia mengambil jaket miliknya dan memakainya. Berdiri di kursi Kirana yang kosong di tinggal pemiliknya, dari kursi Kirana ia memperhatikan jika Raga keluar dari ruanganya sembari menelfon. Pria itu berjalan menuju lift, mungkin ingin makan siang juga, pikir Bagas.

“Dah, selesai. Yuk!!” Almira berdiri, keduanya langsung saja keluar dari ruangan mereka menuju lift.

Ternyata mereka bertemu dengan Raga yang juga akan makan siang di luar, pria itu sudah tidak lagi menelfon. Raga bahkan yang menahan pintu lift ketika ingin tertutup agar Almira dan Bagas bisa ikut turun ke lantai satu bersamanya. Satya sudah duluan, tadi pria itu memang sempat keluar sebentar dan saat ini pria itu sudah berada di warung nasi bebek.

“Kalian mau makan apa?” Tanya Raga memecah hening di antara mereka, hanya ada mereka bertiga di lift, tadinya ada seorang cleaning service juga yang ikut bersama mereka namun di lantai 5 orang itu turun.

“Mau makan nasi bebek, Pak,” jawab Almira.

“Kalau gitu bareng ya, saya juga mau makan nasi bebek.”

Bagas hanya diam saja, mood nya tidak terlalu baik untuk bicara dengan Raga. Katakanlah Bagas cemburu buta, memang agak sedikit kekanakan, tapi, pria mana yang tidak cemburu jika wanita yang ia sayangi seperti di beri perhatian khusus dari atasan mereka.

Di warung bebek Madura, Satya sudah menempati 4 kursi di pojok sana. Pria itu sedang merokok, begitu melihat Almira, Bagas dan Raga datang. Pria itu buru-buru mematikan rokoknya.

“Tumben makan nasi bebek, Pak?” Tanya Satya basa basi, pria itu mengambil menu di meja lain dan juga nota untuk mereka pesan. Tempatnya agak sedikit ramai karena memang jam makan siang, agak sedikit panas karena warung itu hanya memakai kipas angin. Makanya Almira langsung mengeluarkan kipas angin portabel nya.

“Di ajak Almira,” jawab Raga santai.

Satya mengangguk-angguk, “mau pesan apa nih? Bebek goreng, bebek bakar, bebek atau bumbu hitam?”

Bagas terlihat membulak balikan menu di depannya, ia juga sempat memeriksa ponselnya. Siapa tahu Kirana mengiriminya pesan dan mengatakan akan menyusulnya, tapi sayangnya tidak ada satu pun pesan dari Kirana.

“Gue pesen bebek bumbu hitam aja deh, Mas.” Bagas akhirnya menetapkan pilihannya pada bebek bumbu hitam, sepertinya memakan makanan pedas akan sangat menguggah selera makannya. Apalagi dengan es jeruk di siang hari.

“Pak Raga apa?” Satya menulis satu persatu pesanan teman-teman dan atasannya itu.

“Saya bebek goreng sambal hijau, minumnya es teh tawar aja.”

“Gue, Mas. Hhhm.. Bebek goreng juga deh tapi pakai sambal bawang.”

Setelah memesan makanan, Satya kembali lagi ke kursi, mereka sempat membicarakan proyek dan beberapa kendala yang dialami pada proyek Satya. Raga cukup membantu memecahkan permasalahan itu, sedangkan Bagas sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Ia sebenarnya berencana melamar Kirana setelah wanita itu selesai pindahan, bahkan, Bagas sudah memiliki beberapa design cincin untuk ia pakai melamar Kirana. Untuk urusan restu kedua orang tua nya, persetan dengan itu semua. Ia mencintai Kirana dan akan tetap memilih wanita yang ia cintai itu sebagai teman hidup dan Ibu dari anak-anaknya kelak.

Menurut Bagas, ini adalah hidupnya. Ia pria dewasa berumur 27 tahun yang sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, ia pantas menentukan arah dan tujuan hidupnya, kemana ia akan berlabu dan siapa yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.

“Ye.. Mas Bagas diem aja, lagi sakit gigi?” Tanya Almira, agak sedikit aneh mengingat Bagas ini pandai sekali mencari topik obrolan.

“Enggak,” Bertepatan dengan Bagas yang berbicara, seorang pelayan datang mengantar makanan mereka. Bagas dan Raga buru-buru membantu pelayan tersebut menurunkan satu persatu piring berisi bebek dan juga minuman yang mereka pesan. Raga dan Bagas yang memang duduk di pinggir.

“Makasih yah, Mas.” Ucap Raga pada pelayan tersebut.

“Terus kenapa?” Almira kepo.

“Gue cuma kepikiran sesuatu..”

“Lagi berantem nih sama Kirana!” Tebak Satya asal-asalan. “Pantes Kirana gak makan siang bareng kita.”

“Dih, sok tau jir Mas Satya, orang Mbak Kirana lagi ada meeting sama Mas Raka yeeeee.”

“Ohhh makan siang sama Raka berarti,” Satya terkekeh.

“Gue pengen ngelamar Kirana!” Ucapan itu keluar dari mulut Bagas begitu saja, bertepatan pada kedua matanya yang bertabrakan dengan mata Raga. “Bulan ini.”

“HAH? SERIUS, MAS?” pekik Almira, wanita itu sungguh antusias.

“Iya serius.”

Raga masih terdiam di tempatnya, fokus nya hanya pada nasi bebek miliknya yang tak lagi membuatnya menginginkan bebek goreng sambal hijau itu lagi. Sebentar lagi Kirana akan di lamar, tapi apa itu artinya Bagas sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua nya? Bagas memang tidak pernah bercerita pada Raga bahwa pria itu tidak mendapatkan restu untuk menikahi Kirana.

Tetapi sewaktu pesta ulang tahun Ibu nya dan Kirana pulang, Bagas sempat mendengar Ibu nya Bagas dan Bagas bertengkar. Ibu nya menyebut-nyebut jika sampai kapanpun beliau tak akan merestui hubungan Bagas dan Kirana.

“Kapan, Mas? Kalo butuh bantuan. gue sama Mas Satya gue siap nih.”

“Kudu latihan dulu sih ini buat ngajak Kirana merried dulu gue waktu ngajak cewek gue nikah sempet tremor pernah dia tolak soalnya,” Satya curcol.

“Mungkin nanti gue juga belum tau kapan, mungkin bulan ini, soalnya Kirana baru aja pindah dan gue mau dia tenang dulu.”

“Ini Mbak Kirana kalau tahu pasti seneng banget nih!” Almira jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

“Jangan ngember lu, Cil. Ntar gagal lagi ini kejutannya,” timpal Satya, pasalnya Almira kerap kali kelepasan maklumlah wanita itu sedikit oversharing kalau kata anak jaman sekarang.

“Almira, Bagas, Satya. Saya duluan ya, makanan kalian biar saya yang bayar.” Raga berdiri dari kursinya duduk, menumpuk bekas piring makannya dengan gelas dan wadah berisi air untuk membasuh tangan menjadi satu.

“Lah udahan makannya, Pak?” Satya melihat piring Raga ternyata sudah licin dan bersih.

“Iya, masih banyak kerjaan, saya duluan ya.”

Bagas yang melihat itu hanya mendapati wajah Raga yang sedikit masam menurutnya, pria itu seperti tidak begitu nyaman dengan pembicaraan mereka yang sedang membahas niatnya untuk melamar Kirana.


Mengabaikan deting pada ponsel miliknya yang terus berbunyi didalam tas yang ia bawa Kirana berusaha membuat dirinya terus tegar di depan kedua wanita yang saat ini mendelik memandangnya penuh dengan perasaan tidak suka, ia tidak tahu salahnya apa sehingga kedua nya tampak membenci Kirana dan keluarganya.

Terkadang, Kirana berpikir jika apa yang Bapak lakukan pada hidupnya kini menjadi dosa mengalir yang terus menimpa Kirana dan Ibu sebagai hukumannya, Kirana menatap minuman yang sudah di pesankan oleh Ibu nya Bagas, meremas cardigan miliknya Kirana terus menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Ia harua tampak tegar.

“Saya pikir setelah pembicaraan kita kemarin kamu sudah paham apa yang harus di lakukan olehmu, Kirana.” Wajah wanita itu terangkat memandang Kirana di depannya dengan penuh keangkuhan, seolah-olah kasta nya lebih tinggi dari wanita muda di hadapannya saat ini.

“Saya sayang sama Bagas, Buk.” Dengan nada yang sedikit bergetar, Kirana menekan ucapannya ia benar-benar mencintai Bagas. Banyak hari berat yang sudah ia lalui bersama pria itu.

“Justru karena kamu sayang dia, harusnya kamu bisa melepas dia, Kirana. Kamu kayanya lebih suka melihat Bagas bertengkar dengan keluarganya ya?”

Asri mengangguk kecil pada Ibu nya Bagas itu agar memberinya kesempatan padanya untuk berbicara dengan Kirana, sedari tadi Asri hanya menatap Kirana. Menelisiki wajahnya, mencari tahu kenapa wanita ini dari kehidupan terdahulunya hingga saat ini bisa selalu memikat hati pria didekatnya. Kadang, ada kalanya pada malam hari, ketika isi kepalanya bercampur baur dengan banyaknya hal yang ia pikirkan, terselip alasan mengapa Kirana begitu menarik banyak orang terutama pria hingga bertekuk lutut mencintainya.

“Kirana, kita kan sesama perempuan yah. Mungkin Bagas enggak cerita ini ke kamu karena takut menyakiti kamu, tapi, Na. Aku dan Bagas itu sudah di jodohkan sejak lama. Bahkan sejak kamu dan Bagas mungkin belum bertemu, kami teman kecil, Na.”

Asri menekan kata “sesama perempuan” agar Kirana ingat bahwa tidak baik menyakiti sesama perempuan, namun wanita itu keliru jika disinilah ia menjadi pihak yang menyakiti hati perempuan lain.

Kirana tentu saja sudah mengetahui hal ini, Bagas sudah bercerita dengannya dan Ibu nya Bagas sudah memberitahu hal ini berulang kali padanya. Dengan segenap harga diri yang ia miliki, Kirana menatap Asri yang duduk persis di hadapannya. Menelisik wanita sebagaimana kedua netra Asri menelisiknya.

“Asri, kita kan sesama perempuan yah. Saya gak tau sejak kapan kamu di jodohkan sama Bagas, tapi, disini saya yang lebih dulu menjalin hubungan dengan Bagas. Saya rasa kamu enggak bodoh buat tahu kalau apa yang sedang kamu lakukan ini sama saja dengan merebut, merusak kebahagiaan wanita lain.” Kirana menahan isaknya, ia tidak boleh nangis maka ia meremas kuat ujung cardigan yang ia sedang kenakan itu, seolah benda itu sebagai pelampiasannya agar bisa menahan tangisnya sendiri.

“Seharusnya, kamu bisa menempatkan diri kamu. Seandainya kamu berada di posisi saya, apa kamu gak kepikiran itu sama saja kamu merebut pasangan orang lain?”

“Kirana!!” Pekik Ibu nya Bagas, wanita itu mendelik emosi dengan apa yang Kirana katakan pada calon menantunya yang ia bangga-banggakan itu.

Sementara Asri, ia terkekeh dengan hampa, seperti menertawakan ucapan Kirana yang menurutnya terlalu klise itu. Baginya, ia dulu lah yang kenal dan di jodohkan oleh Bagas, tidak perduli seberapa lama Bagas dan Asri menjalin hubungan, ia lah wanita yang sudah di pilih oleh orang tua Bagas itu.

“Walau itu membuat Bagas mungkin membenci keluarga dan meninggalkan keluarganya? Egois kamu, Kirana.” Kali ini Asri terang-terangan mendirikan bendera perang pada Kirana, jika biasanya ia berusaha terlihat ramah. Kali ini ia memperlihatkan wajah ketidaksukaanya pada Kirana.

“Yang egois saya atau kamu, Asri. Kamu yang memaksakan diri untuk menikah dengan Bagas—”

PLAKKK

Baik Kirana maupun Asri sama-sama kaget, kala Ibu nya Bagas itu mengangkat tangan kanannya dan menampar wajah Kirana hingga wajah wanita itu terhuyung ke samping. Pedih dan panas, kupingnya berdengung nyaring dan separuh wajahnya tertutup oleh rambut miliknya itu.

Kirana menunduk, seperti tengah memunguti sisa-sisa harga dirinya yang telah dilucuti oleh kedua wanita itu. Air matanya jatuh, ia kalah. Kirana tidak bisa membendung kesedihannya itu demi tidak terlihat lemah di hadapan Asri dan orang tua Bagas itu.

“Lancang kamu, Kirana.” Ibu nya Bagas merogoh tas miliknya, melemparkan sebuah cek kosong yang memang di niatkan untuk Kirana, agar wanita itu bisa mengisi nominalnya sendiri sesuai yang ia inginkan demi menjauhi putra sulungnya itu. “Ambil itu, kamu bisa mengisinya sendiri sesukamu. Tapi jauhi anak saya!”

klise dalam hati Kirana bergumam, seperti komedi, wanita itu menyeringai. Seringaian yang membuat Asri dan Ibu nya bagas membatin jika Kirana mungkin sudah tidak waras, padahal Kirana hanya merasa de javu saja jika adegan seperti ini ternyata terjadi dalam hidupnya, ia pikir hanya ada di dalam drama-drama saja yang pernah ia tonton.

Kirana bangkit dari duduknya, mengambil kertas kosong itu, melipatnya jadi dua dan memberikannya kembali pada orang tua Bagas. “Saya permisi dulu, Buk. Terima kasih atas minumannya siang ini.”

Setelah mengatakan itu, Kirana pergi dari sana. Berjalan secepat mungkin, menghalau beberapa pasang mata di cafe itu yang tengah melihat ke arahnya. Semua orang di cafe itu mungkin sudah tahu apa yang terjadi padanya, mengingat obrolan mereka saja sudah mengundang banyak kepala menoleh ke mejanya untuk mengetahui perselisihan itu.

Kirana mempercepat langkahnya, mengelap wajahnya dengan jemarinya sendiri dengan kecang sebagaimana kakinya terus berjalan menuju halte bus. Begitu sampai di halte bus, ia langsung masuk ke dalam bus dengan rute berlawanan dengan arah kantornya berada. Dia akan segera pulang ke rumah dan mengirimkan pesan pada Raga untuk mengatakan jika ia tidak enak badan, sehingga tidak dapat kembali ke kantor.

Sesampainya di rumah kecil yang ia sewa dari Kakaknya Raga, ia masuk ke dalam kamarnya. Ibu tentu saja belum pulang karena ini masih siang menjelang sore, biasanya Ibu akan pulang sehabis magrib. Kesempatan itu Kirana pakai untuk menangis sampai puas, sampai tenggorokannya sakit, sampai kepalanya pening, sampai matanya sembab dan sampai ia lelah dan akhirnya tertidur di ranjang sempit miliknya.

Ketika adzan magrib berkumandang dan Ibunya telah pulang, Ibu menyalakan lampu-lampu rumah mereka dan betapa kagetnya ketika mendapati Kirana tertidur di ranjangnya, nyaris saja Ibu mengambil sapu untuk memukul seseorang yang sedang tertidur di ranjang putrinya itu dengan gagang sapu.

“Kirana?” Panggil Ibu, wanita menghampiri Kirana dan sedikit mengguncangkan badannya.

“Um?” Kirana menggeliat, mereggangkan sedikit tubuhnya yang masih terbalut dengan baju yang ia pakai untuk bekerja hari itu. “Ibu udah pulang?”

“Sudah, kamu pulang duluan apa gimana? Kaget Ibu tiba-tiba kamu tergeletak di tempat tidur.”

Kirana beranjak dari ranjangnya untuk duduk dan memeriksa ponselnya, selama ia tidur ternyata Bagas terus menelfonnya, ada sederet pesan singkat juga dari Bagas, Almira, Mas Raka dan juga Raga. Namun, Kirana enggan membalas dan menaruh ponselnya itu di laci samping ranjangnya.

“Iya, Buk. Kebetulan tadi habis meeting dan jam nya mepet sama pulang kantor, jadi selesai meeting Kirana langsung pulang ke rumah,” alibinya.

“Yasudah, ganti baju, nduk.” Ibu tersenyum dan mengusap-usap kepala Kirana sebelum akhirnya keluar dari kamar putrinya itu.

Sehabis makan malam, Kirana mendapati pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Tadinya Ibu yang berniat membukakanya, namun Kirana menghalangi Ibu dan membiarkan dirinya membukakan pintu untuk tamu tersebut. Begitu pintu di buka, ia mendapati Bagas dengan wajah khawatir khas pria itu.

“Na, dari mana aja? Aku telfon kamu loh, kenapa gak di angkat? Mas Raka bilang setelah meeting kamu langsung pergi, dia pikir kamu mau langsung ke kantor lagi karena dia harus antar anaknya dulu, tapi ternyata kamu gak balik ke kantor,” cecar Bagas khawatir setengah mati.

Kirana berjalan dan duduk di teras depan rumahnya, memperhatikan lampu jalan malam itu yang begitu remang di depan rumahnya persis. “Gak habis dari mana-mana, Gas.”

Bagas menghampiri Kirana dan duduk di sebelahnya, “langsung pulang ke rumah?”

Kirana mengangguk, kini ia menatap pria di sampingnya itu. Ia tersenyum kecil, tanganya terulur mengusap wajah lelah Bagas malam itu. Hati kecilnya merasa bersalah telah membuat pria yang ia cintai itu khawatir padanya.

“Kabari aku ya, biar aku gak nyariin kamu. Kenapa gak balik ke kantor? Kata Pak Raga kamu gak enak badan?” Entah bertanya langsung pada Raga atau Raga memanglah yang membocorkannya hingga Bagas tahu, entahlah Kirana enggan bertanya hal itu pada Bagas.

Pikiran wanita itu terlalu penuh pada kata-kata, perlakuan dan tamparan siang itu yang di dapatkannya, bahkan pipinya masih agak sedikit kebas, jika ucapan menyakitkan itu adalah belati, mungkin tubuh Kirana sudah penuh darah dan luka disana sini.

“Iya gak enak badan, Gas.”

“Mau aku antar ke dokter?”

Kirana menggeleng, “gak usah, kamu pulang aja ya, aku cuma perlu istirahat.” Kirana kembali mengusap wajah pria itu, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya, membuat Bagas kian bertanya-tanya kenapa sikap Kirana sebegitu dinginya malam itu.

Bersambung...

Katakanlah Raga sudah gila kali ini, dalam seumur hidup Adel menjadi seorang Kakak untuk Adiknya itu, baru kali ini ia melihat Adik bungsunya itu merengek menginginkan sesuatu darinya. Pasalnya, sejak kecil meskipun menjadi anak bungsu Raga itu terlampau dewasa, bahkan di usianya yang dulu masih sangat muda.

Dan hal itu membuat orang tua mereka dan juga Adel sebagai anak sulung sama sekali tidak merasa kerepotan dalam membesarkan Raga, tapi hari ini Adiknya itu datang ke rumahnya, merengek pada Adel untuk membantunya mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sebuah rumah di daerah Gambir.

Rumah itu memang sudah lama di beli Adel, jauh sebelum ia menikah dengan Ethan. Bukan sebuah rumah besar yang mewah, hanya sebuah rumah sederhana yang memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dapur dan sepetak halaman kecil di depannya yang bisa di tanami tumbuhan alakadarnya.

Rumah itu memamg strategis secara letak, tidak berada di pinggir jalan persis, namun tidak jauh dari jalan besar dan halte pemberhentian bus, untuk mencapai ke stasiun juga sangat dekat. Bisa hanya dengan berjalan kaki jika ingin santai, membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk sampai stasiun.

Waktu itu Adel membelinya sebagai bentuk investasi nya, tapi sampai hari ini pun Adel belum menyewakan rumah itu bahkan enggak tau dia mau pergunakan untuk apa. Walau rumah itu masih ia rawat, ada sepasang suami istri yang selalu datang setiap pagi untuk membersihkan rumah dan juga sepetak halaman depan yang selalu di tumbuhi tanaman liar.

“Mbak, please lagian Mbak juga belum tau kan itu rumah mau di apain? Dari pada nganggur, Mbak. Mending disewain sama Kirana.” Raga mengikuti langkah kaki Adel kemanapun ia pergi, Adel ke dapur ia mengintil ke dapur, Adel ke ruang tengah untuk merapihkan tas sekolah Safira, Raga pun mengikutinya ke ruang tengah.

“Ya memang, tapi harusnya tuh kamu bilang dulu sama Mbakmu ini dari jauh-jauh hari Raga. Astaga, kan Mbak bisa bicarain sama Mas Ethan, kamu tau kan orang tua nya punya bisnis kontrakan 30 pintu? Kali aja kan ada yang kosong.”

Orang tua Ethan memang memiliki rumah dan kosan yang di sewakan, masih di daerah Jakarta juga kok. Ada yang di kawasan Johar Baru Jakarta pusat, Salemba Raya, Matraman dan juga daerah Lebak Bulus. Harganya pun masih terjangkau karena kebanyakan yang menyewa rumah dan kosannya adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.

“Ya karena Raga juga baru tahunya belum lama ini, Mbak. Mbak please..” Raga menarik-narik daster yang di pakai Mbak nya itu, Adel bersumpah jika daster itu sampai melar ia tidak akan segan-segan memukul tangan Adiknya itu.

Adel akhirnya duduk dikursi meja makan rumahnya, di ikuti oleh Raga yang juga menarik salah satu kursi meja makan tepat di sebelah Mbak nya itu. Wajahnya seperti seekor anak anjing yang tengah merayu majikannya, agar sang majikan bisa memberikannya cemilan.

“Kamu tuh beneran naksir sama pacar orang, Ga?” Cecar Adel yang membuat kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna.

“Ngaco!”

“Loh kok ngaco? Kalo kamu gak naksir sama Kirana, enggak mungkin sampai sebegininya.”

Raga masih terus menyangkal perasaanya, ia masih sadar dan sangat amat tahu diri kalau Kirana milik Bagas. Ia berulang kali menampar dirinya sendiri pada kenyataan bahwa hubungan keduanya sudah sangat serius, tapi entah kenapa. Raga hanya tidak nyaman melihat Kirana kesusahan, ya anggap saja ini karena empati Raga yang cukup tinggi dengan wanita itu.

“Raga tuh cuma kasian sama Kirana, Mbak.” Raga ogah menatap mata Mbak Adel, takut wanita itu kali-kali bisa membaca pikirannya.

“Kasian apa naksir? Kalau naksir kamu harus buru-buru sadar loh dia pacar orang, Ga. Kalian satu kantor pula, kalau pacarnya tau apa gak makin runyam kerjaanmu? Mbak gak mau ya kamu sampai ngerusak hubungan orang, dosa loh!” Adel akan sangat mendukung Raga dengan Kirana kalau Kirana bukan kekasih pria lain, ia hanya tidak ingin adiknya itu menjadi begundal.

“Mbak, beneran cuma mau bantu aja.” Raga mempertegas kembali niat baiknya pada Kirana itu.

Mbak Adel menghela nafasnya pelan, memperhatikan wajah Adiknya itu sampai akhirnya ia mengangguk. “Yaudah, Mbak gak bisa nemenin kamu sama Kirana ke rumah Gambir, kamu sendiri aja ya, kasih berapa harga sewa nya juga terserah kamu aja. Yang penting rumah itu di rawat dengan baik.”

“Serius, Mbak?!” Pekik Raga senang bukan main, persis sekali anak kecil yang berhasil di belikan mainan oleh orang tua nya.

“Iya.”

Begitu mendapatkan kunci rumah Mbak Adel yang di Gambir, Raga langsung melesat ke rumah itu untuk bertemu dengan Kirana. Ini benar-benar hal konyol yang pernah ia lakukan dalam seumur hidupnya, membujuk Mbak Adel untuk suatu hal yang ia inginkan. Untung saja Mbak nya itu cukup baik dan bijaksana, ya.. Mengingat ini pertama kalinya Raga menyusahkan Kakak sulungnya itu.

Begitu sampai di tempat halte ia dan Kirana bertemu, keduanya langsung menuju rumah Mbak Adel. Dari depan saja rumah itu cukup rapih untuk ukuran rumah yang sudah lama tidak di huni, tidak ada rerumputan liar panjang menutupi pagar rumahnya, semua tanaman yang tampak melilit pagar depannya itu tertata rapih, di depannya ada pohon asam jawa yang tumbuh besar, seperti tidak mengenal gergaji, tak pernah di tebang sedikit pun teras nya bersih bahkan saat rumah itu di buka menyeruak wangi lavender dari dalam.

Itu karena rumah ini baru di bersihkan oleh sepasang suami istri yang Mbak Adel pekerjakan hanya untuk membersihkan rumah itu setiap pagi, Raga dan Kirana masuk ke dalam rumah itu. Masih ada beberapa barang yang memang waktu itu Mbak Adel beli, seperti lukisan, meja di ruang tamu, sofa, lemari pakaian dan tentu nya peralatan dapur yang lumayan lengkap itu semua karena Mbak Adel suka sekali memasak.

“Bagus rumahnya, Pak.” Kirana tersenyum, rumahnya memang tidak terlalu besar. Sederhana namun terasa hangat. Memikirkannya saja Kirana sudah menerka-nerka jika harga sewanya mungkin sangatlah mahal, mungkin setara dengan menyewa apartemen plus biaya maintenance nya

“Mahal ya, Pak?” Kirana sedikit mengecilkan suaranya.

Raga terkekeh pelan, sejujurnya Mbak Adel yang memberikan kepercayaan pada Raga untuk menghargai sendiri berapa harga sewa untuk rumahnya. “Lima ratus ribu perbulan, tapi buat urusan listrik dan air kamu bayar sendiri. Gimana?”

“Hah?!” pekik Kirana, matanya membulat karena kaget bukan main, yang benar saja rumah dengan barang yang cukup memadai, di dekat jalan raya dan juga bangunan yang baik dihargai semurah itu? “Yang bener, Pak.”

“Serius, Kirana.”

“Engg..gak, Maksud saya. Dengan luas bangunan yang cukup luas, nyaman, perabotan yang masih bagus dan letaknya yang strategis Bapak hargai semurah ini?”

Kirana masih enggak percaya, dia takut Raga mengasihaninya sehingga memberikan harga murah untuk rumah milik Kakaknya itu yang ingin Kirana sewa. Kirana tetaplah Kirana, wanita tangguh yang sangat enggan dikasihani. Ia tidak menolak bantuan, jika ia memang sudah tidak sanggup.

“Mbak Adel sebenarnya cuma mau rumahnya ada yang merawat saja, Na. Biar ada yang huni karna belum tau mau di apakan sama dia.” Raga berusaha untuk bicara jujur, semoga saja Kirana cocok dengan rumah kakaknya itu. Hanya ini yang bisa Raga lakukan, karena ia tahu sekali jika Kirana menolak bantuan yang layaknya mengasihani dia.

“Tapi gak lima ratus ribu juga gak sih, Pak. Bahkan rumah-rumah yang lebih kecil dari ini pun harganya sudah sampai satu juta loh.”

“Ya gimana, Mbak Adel memang mintanya segitu, Na. Saya juga gak ngerti kenapa dia hargai segitu.”

Keduanya sempat terdiam, Raga dengan doa-doa harap cemas takut kalau Kirana menolak atau bahkan merasa tidak enak atau bahkan tidak cocok dengan rumahnya, dan Kirana yang masih betah untuk melihat-lihat rumah itu. Ia menyukai lukisannya, model rumahnya dan juga sirkulasi udara serta lingkungannya yang terbilang cukup nyaman. Dekat dengan toko Ibunya bekerja dan Kirana juga hanya menaiki 1 bus untuk sampai di kantor. Sangat amat strategis.

“Jadi, gimana, Na?”

Kirana tampak menimang-nimang pikirannya sebentar, akan sangat nyaman sekali menempati rumah ini, apalagi dengan harga sewa yang cukup murah. Dan sisa gaji nya bisa ia pakai untuk mencicil kembali hutang Bapak, sukur-sukur ia bisa menambung untuk mengambil kembali rumahnya.

“Saya mau, Pak.” Kirana tersenyum, menyodorkan tangannya pada Raga yang di sambut oleh pria itu. Melihat Kirana tersenyum membuat buncahan gila di perut Raga kembali meronta, rasanya ingin ia selalu pastikan senyum itu ada menghiasi wajah dahayu Kirana.


Tiba di rumah Raka, seperti biasa Asri langsung menemani Reisaka untuk bermain. Dia sudah tidak begitu canggung dengan bocah itu, meski terkadang ia agak kesulitan karna Reisaka begitu manja padanya. Selain menemaninya, mengajak bermain Asri juga mengajari Reisaka. Perannya selayaknya seoranh Ibu saja meski terkadang dia tidak menikmati hari-hari nya bersama Reisaka.

Semua Asri lakukan hanya untuk membuat Raka tetap diam, agar Raka tidak melakukan aksinya, membocorkan tentang masa lalu mereka ke orang tua Bagas. Hari itu Raka agak sedikit siang ke kantor, Asri sempat melihat foto-foto Raka dan Reisaka yang di taruh disebuah frame dan di letakan didekat meja TV. Wajah keduanya sungguh mirip, bukan hanya perawakan Reisaka juga mewarisi kecerdasan Ayahnya.

Pintu dari kamar Raka itu terbuka, menampakan Raka yang sudah rapih dengan kemeja biru laut yang ia kenakan, menenteng tas dengan rambut yang sudah klimis ia tata hingga rapih. Wangi dari parfum yang pria itu pakai juga menyeruak memenuhi rongga hidung Asri.

“Hari ini gue agak balik malam kayanya, kalau lo mau balik duluan sebelum gue pulang gapapa, nanti ada pengasuhnya Reisaka kok, udah gue telfon barusan.” Raka masih mempekerjakan pengasuh anaknya itu, ia masih belum mempercayai Asri sepenuhnya mengingat wanita itu sangat acuh pada anak mereka.

“Lo kerja di kantor arsitektur mana sih?” Asri basa basi ia ingin tahu saja meski sebenarnya sudah tahu.

“Kenapa nanya-nanya?” Raka mengangkat sebelah alis nya, memakai kaus kaki miliknya di sofa sembari memperhatikan Reisaka yang sedang makan di meja makan sembari menonton kartun dari tablet miliknya.

“Ya nanya aja.” Asri menaikan kedua bahu nya, memasukan kedua tangannya ke dalam kantung midi dress yang ia pakai. Memilin sepuntung rokok di dalam nya, mulut nya agak sedikit asam. Ia ingin sekali segera merokok setelah Raka pergi. “Seukuran arsitektur kaya lo harusnya udah bisa punya firma sendiri, kenapa milih kerja sama orang lain?”

Raka menghela nafasnya pelan, berdiri dari sofa yang ia duduki dan kini menatap Asri dengan pandangan yang sungguh memuakkan. “Ngapain ngatur-ngatur? Lo bukan bini gue lagi.”

Raka mengatakannya dengan berbisik, membuat kemarahan Asri rasanya mencuak. Ingin sekali ia tampar wajah tampan itu atau ia pukul sesekali karena telah menekan alarm kemarahan di dalam dirinya, sebatang rokok yang tadi ia pilin diam-diam di dalam saku dress nya itu patah, hancur berkeping-keping hingga tembakau nya keluar dari lintingannya. Asri memilinnya terlalu keras demi melampiaskan emosinya pada Raka.

Begitu Raka pergi, Asri nyaris saja berteriak jika ia tidak sadar kalau Reisaka masih bersamanya. Jadi, yang ia lakukan adalah berdiri di balkon dan menyalakan sebatang rokok. Menghirupnya dalam dan mengepulkan seluruh asap nya ke udara, nafasnya naik turun berusaha menahan segala amarahnya.

Asri melamun, menatap pohon bonsai kecil yang Raka taruh di balkon rumahnya sebagai tanaman hias di sana. Pikiran Asri melayang pada mimpi-mimpi buruk pasca melahirkan Reisaka dulu, Asri pernah bermimpi yang sangat panjang, menyakitkan dan terus berlanjut selama beberapa episode sepanjang ia tidur malam.

Mimpinya berlanjut bagai sebuah serial drama yang tayang setiap hari, awalnya Asri bingung karena sejak ia bangun dari masa kritis nya pasca melahirkan, mimpi itu bermunculan terus. Bahkan meskipun Asri terganggu dengan mimpi itu ia enggan untuk datang ke psikiater untuk berkonsultasi untuk mengetahui ada apa dengan dirinya.

Pernah suatu ketika ia membaca dan menonton sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan sebelumnya, ia jadi terpikirkan jika mimpi sialan yang menganggunya itu adalah sebuah kehidupan di masa lalunya 127 tahun yang lalu. Terbukti dengan itu semua, ia bertemu kembali dengan orang-orang yang ada di mimpinya.

Bagas, Raka, Raga, bahkan Kirana yang dahulu hidupnya terlampau enak namun tetap ada kemalangan. Tapi dari pada hidup Kirana yang malang karena tidak bisa menikah dengan pria yang ia cintai, kehidupaan Asri didalam mimpi itu jauh lebih malang. Dimimpi itu Asri adalah seorang wanita pribumi miskin yang malang, ia dijual orang tua nya sendiri kepada orang Belanda.

Ia telah menjadi seorang babu di rumah orang Belanda itu bahkan pernah Asri ditiduri oleh majikannya sendiri berkali-kali, jika ia melakukan kesalahan maka para Belanda itu tidak segan-segan untuk memukulnya. Suatu ketika ia tengah di perintahkan untuk bekerja di kebun, tentunya di bawah pengawasan para orang Belanda yang juga bekerja di sana.

Asri terjatuh, ia di tolong oleh seorang pria pribumi yang baik hati. Asri sempat melihat sekilas wajahnya, tampan, tinggi, berbadan kurus dan kulitnya kecoklatan. Sejak saat terbangun Asri baru menyadari jika pria pribumi yang tidak ia ketahui namanya itu dalam kehidupan saat ini adalah Bagas teman masa kecilnya dahulu.

Dalam mimpinya Asri bahkan sempat mencari tahu soal pria pribumi yang membantunya, namanya Adi ternyata. Seorang jongos yang bekerja oleh saudagar Gumilar, orang tua dari Ayu. Dalam diam, Asri jatuh cinta pada pria itu. Sampai akhirnya ia mengetahui kalau pria itu hanya mencintai majikannya sendiri.

Bahkan di hari kematian Adi, Asri datang melayat tanpa orang tua Adi dan tetangganya tahu jika selama itu pula ia sering memperhatikan Adi. Pria itu mati dengan tubuh yang begitu kurus, pucat dan begitu tenang. Soal mimpi-mimpinya Asri enggak pernah cerita dengan siapapun, ia pendam dan cari tahu semuanya sendiri.

Kini kehidupan telah berubah, suami Ayu di masalalu kini pernah menikah dan memiliki anak dengannya, sementara Ayu yang kini adalah Kirana masih berpacaran dengan Bagas yang dulunya adalah Adi. Dan Jayden.. Pria itu, pria Belanda yang katanya seorang asisten residen Samarang, yang di kenal baik pada pribumi di kehidupan sekarang ini bahkan Raga masih sendiri. Hidupnya bahkan tetap beruntung bergelimbang harta dan jabatan.

Asri menghembuskan asap dari rokok yang nyaris sudah tandas itu ke udara. Ia tidak ingin hidupnya kembali miris di kehidupan ini, bagaimana pun caranya ia harus menikah dengan pria yang ia cinta dari kehidupan sebelumnya.

Bersambung..

Sudah satu minggu ini Bagas merasa ada yang aneh dari Kirana, wanita itu kerap kali bersikap dingin padanya. Meski mereka masih mengobrol tapi rasanya berbeda, senyum wanitanya terlampau redup, Kirana sering sekali menghindar saat Bagas hendak mengantarnya pulang. Selalu ada saja alasan agar Bagas berakhir tidak mengantarnya pulang.

Misalnya saja kemarin, saat jam kerja mereka sudah berakhir. Kirana bilang ia dan Almira ingin pergi bersama, dan Bagas akhirnya membiarkannya. Tapi alasan itu terus saja berlanjut, pernah juga Kirana sedang memantau proyeknya dengan Raka dan Bagas sudah mengatakan padanya akan menjemput wanita itu di lokasi proyeknya.

Tiba-tiba saja saat Bagas dalam perjalanan, Kirana bilang jika ia akan janjian dengan temannya. Bagas tidak berpikir macam-macam misalnya saja seperti Kirana selingkuh, Bagas lebih berpikir apa ia telah membuat kesalahan atau Kirana benar-benar sedang sibuk, atau wanita itu memang benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri.

Yang jelas perubahan sikap Kirana ini cukup membuat Bagas nyaris kelimpungan, hari ini karena lebih sering melihat wajah Bagas yang kusut, Satya berinisiatif untuk mengajak pria itu nongkorong di sebuah pagelaran musik indie yang berada di kawasan Taman Ismail Marzuki, rencananya sih Satya hanya ingin bertemu dengan temannya saja di sana. Namun Bagas justru mengajaknya menonton pagelaran itu di sana, pria itu mencoba menghalau pikiran tentang mengapa Kirana menghindarinya.

“Minum nih biar gak kusut.” Satya memberikan segelas es kelapa dengan gula merah pada Bagas dan pria itu langsung mengaduk isinya dan menyeruputnya. Seketika rasa haus dan perpaduan antara gurihnya kelapa dan manis dari gula merah itu cukup sedikit menghiburnya.

thanks ya, Mas.”

Satya mengangguk, pria itu duduk di sebelah Bagas sembari melihat pagelaran musik indie tersebut. Banyak sekali remaja dan orang-orang seumuran mereka yang datang dan memenuhi tempat itu, berlomba-lomba untuk berdiri paling depan. Mengingat band yang akan tampil itu sedang naik daun, namun Bagas dan Satya tetap asik memilih tempat di paling belakang agar bisa duduk dan sesekali berbincang dengan para seniman disana.

“Ada apa sih, Gas? Lagi ribut sama Kirana?” Mengingat di kantor pun Kirana dan Bagas jarang berbicara dan terlihat berdua, lebih tepatnya Kirana yang lebih sering bersama dengan Almira. Satya berpikir mungkin Kirana dan Bagas sedang bertengkar, hal lumrah yang di alami oleh kebanyakan pasangan.

“Enggak ngerti, Mas.” Bagas menatap lurus pada setiap punggung orang-orang disana yang mulai melambaikan tangan ke kanan dan kiri ketika band indie tersebut mulai menyanyikan lagu. “Kirana kaya lagi ngehindarin gue atau perasaan gue aja kali ya, sikapnya enggak kaya biasanya.”

“Udah coba di ajak ngobrol belum?”

Bagas menghela nafasnya kasar, “gimana mau di ajak ngobrol, kalo gue dateng ke rumahnya, dia gak ada, kadang kalo pun ada dia pasti sambil ngerjain sesuatu, ya masak lah, ya ngerjain laporan dia lah, yang nanti tiba-tiba nerima telfon lah.”

“Bisa begitu kenapa awalnya? Gak mungkin kan dia tiba-tiba begitu? Cewek begitu tuh pasti ada sebabnya, Gas.” Satya seperti seorang petuah, padahal pengalaman percintaanya pun enggak banyak. Hanya sekali berkencan lalu melamar kekasihnya itu walau sempat di tolak dengan alasan belum siap.

“Kalau gue bilang Kirana kaya gitu dengan tiba-tiba lo percaya gak, Mas?” Bagas menoleh ke arah Satya dan Satya mengangkat kedua bahu nya.

“Tapi masa iya Kirana kek bocah begitu sih, Gas? Kayanya dia bukan tipe cewek yang tiba-tiba ngediemin gak jelas deh.”

Bagas mengusap wajahnya dengan gusar, berusaha menghalau kerisauan hatinya dengan menikmati lantunan musik indie yang sedang dibawakan. Sesekali ia memeriksa ponselnya, kali-kali Kirana telah membalas pesannya atau bahkan menelfonnya. Namun hanya ada pesan dari Asri yang tidak sama sekali Bagas berniat membalasnya dan pesan dari Kanes yang bertanya kapan ia akan segera menemuinya.

Sementara Satya asik berbincang dengan salah satu seniman yang duduk di sebelahnya, Bagas tidak menyimak apa saja yang mereka obrolkan. Pikirannya terlalu rumit, ia sudah menentukan kapan ia akan melamar Kirana dan dengan cara apa ia akan melamarnya, bahkan minggu ini ia meminta bantuan Kanes untuk menemaninya membeli cincin untuk melamar Kirana.

“Tapi lo jadi kan, Gas. Buat ngelamar Kirana? Coba deh, sebelum ngelamar dia lo ajak dia ngobrol dulu? Tanya ada apa. Atau lo coba tanya sama Almira, kali aja cewek lo cerita sesuatu ke Almira kan?” Usul Satya yang dijawab anggukan kecil oleh Bagas, ada benarnya juga ucapan Satya tersebut. Mungkin Almira tahu sesuatu.

“Nanti gue coba nemuin Almira kali ya, Mas.”

Satya menepuk bahu Bagas, mencoba menenangkan kawannya itu. Satya tidak paham bagaimana risaunya Bagas karena ia sendiri tidak pernah mengalaminya, sakit nya tentang asmaranya yang tak berjalan mulus hanya tentang penolakan lamaran kekasihnya dulu, dan itu semua beralasan yang masuk akal dan dapat Satya terima.

Perlahan satu persatu orang yang memadati Taman Ismail Marzuki telah meninggalkan tempat, hari hampir malam tapi Bagas enggan pulang. Ia sempat mengajak Satya mengitari Jakarta malam hari, membeli beberapa minuman kaleng di minimarket dan ngobrol berdua di hutan kota. Untungnya Satya mau, ya mungkin karena pria itu juga sedang senewen dengan urusan pekerjaan dan pernikahannya yang akan di selenggarakan tahun depan.

“Lo ngerasa ada yang aneh gak, Mas?” Bagas ingin melihat tentang Raga dari kacamata orang lain. Bisa saja penilaiannya tentang pria itu salah kan.

“Aneh apaan?” entah hisapan ke berapa dari rokok yang Satya pegang di sela jari nya, asapnya ia kepulkan ke udara setelah itu ia tenggak kembali kaleng minuman berisi soft drink tersebut. Satya sempat bergedik, karena sensasi dingin serta soda yang seperti meletup-letup di tenggorokannya itu.

“Soal Pak Raga.”

“Kenapa sama Raga?” Satya memang sering memanggil Raga dengan namanya saja, karena mereka memanglah seumuran. Lagi pula, ini bukan di kantor jadi ia tidak memanggilnya dengan sebutan “Pak.”

“Sikap Pak Raga ke Kirana, apa gak berlebihan ya?”

Satya mengerutkan keningnya bingung, “berlebihan gimana maksudnya?”

“Lo ingat waktu Pak Raga masuk rumah sakit gak?” Bagas menoleh ke arah Satya dan pria itu mengangguk. “Pak Raga sebelum pingsan dia telfon Kirana dulu, Kirana yang bawa dia ke rumah sakit. Maksud gue, kenapa harus cewek gue sih? Dia kan juga deket sama lo ya? Ada gue juga. Atau siapa kek temen dia yang lain, keluarga kek? Kenapa harus Kirana.”

Satya mengangguk-angguk, dalam hati ia membenarkan ucapan Bagas. “Iya juga sih, ah. Tapi bisa aja itu karena Kirana kontak terakhir yang dia hubungin? Karena setahu gue, waktu Raga di rawat kan, mereka sempat mantau proyek bareng gak sih? Ya mungkin entah Kirana atah Raga sempat telfonan, makanya Raga jadi ngehubungin nomer terakhir yang dia hubungin buat minta tolong?”

“Itu yang pertama, ya gue anggap alasan ini masih masuk akal. Yang kedua, Pak Raga yang sewain rumah Kakaknya buat Kirana, Mas. Dia kasih harga sewa yang menurut gue gak masuk akal buat rumah yang bagus kaya gitu.”

“Lu kok jadi kaya gak seneng gitu sih, Gas. Cewek lu dapet rumah sewaan bagus dan murah?”

“Bukan gitu, Mas. Gue seneng kok, tapi gue lagi tanya soal perlakuan Pak Raga ke Kirana loh.”

“Lo cemburu?” tebak Satya. Yang sebenarnya dibenarkan oleh Raga dalam hatinya. Namun pria itu menggeleng.

“Cuma aneh aja.”

“Cemburu ini mah, fix.” Satya menjentikkan tangannya. “Tapi yah wajar juga sih Kalo elu mikirnya begini, Gas. Tapi coba kita ambil positif nya aja deh, bisa aja kan Raga cuma bersimpati sama Kirana karena Kirana bawahanya di kantor?”

“Berarti gue aja kali ya, Mas. Yang berlebihan?” Bagas merasa perasaanya belum tervalidasi, ia ingin meyakinkan sekali lagi. Tapi ia juga berpikir kalau mungkin ia saja yang menyikapinya berlebihan.

“Cemburu wajar, Gas. Elo cuma terlalu sayang aja ama Kirana.” Satya menepuk-nepuk pundak Bagas layaknya seorang kakak laki-laki kepada Adik laki-lakinya. “Balik yok, udah jangan di pikirin lagi, besok dateng ke rumahnya ajak ngomong.”

Bagas mengangguk pelan, keduanya bangun dari tempat mereka duduk dan segera meninggalkan hutan kota itu yang sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang saja di sana yang masih setia mengobrol ngalur ngidul tengah malam, menikmati semilir angin kota Jakarta dan lampu-lampu kota yang masih setia menyala.


Setelah meninggalkan Bagas di teras rumahnya, Kirana langsung masuk ke kamarnya. Ia tahu Bagas tidak akan langsung pulang, ia bisa mendengar dari balik pintu kamarnya jika ibu sempat mengajaknya masuk dan makan malam sebentar. Tentu saja Bagas akan menurut pada ibu, Kirana bahkan mendengar obrolan keduanya tentang Bagas yang bertanya pada ibu ada apa dengan Kirana dan ibu yang menjelaskan sekedarnya dengan mengatakan bahwa Kirana sedang tidak enak badan saja.

Tentu saja Bagas tidak langsung percaya karena dihari-hari berikutnya, pria itu masih bertanya pada Kirana ada apa dengannya. Sungguh, Kirana tidak marah dengan Bagas. Namun menatap wajah pria yang sangat amat ia cintai itu, selalu saja berhasil mengingatkannya pada ucapan orang tua nya siang itu. Kirana menepi, ia ingin menenangkan dirinya dulu dan berpikir jernih tentang apa yang harus ia lakukan pada hubungannya.

Jika dikatakan ia sedikit menjauhi Bagas, tentu saja bisa dibilang seperti itu. Bahkan Almira saja mengetahui itu karena Kirana meminta bantuan wanita itu untuk selalu bersamannya terus, tiap kali pulang ke rumah dan bertarung dengan sepinya malam dibalik dinding-dinding dingin rumahnya, berteman dengan hanya mendengar deting dari jam dinding kamarnya.

Kirana akan melawan sepi dan sakit dengan menangis semalaman hingga ia kelelahan, kemudian tertidur dengan memeluk erat boneka Mickey Mouse yang Bagas beri padanya saat merayakan hari jadian mereka yang ke 3 tahun. Saat mereka masih muda, masih berkuliah. Di kantor pun, Kirana mengurangi interaksinya dengan Bagas.

Jika Bagas mengajaknya untuk istirahat bersama, maka Almira akan menjadi senjatanya ia akan mengatakan “gak bisa, aku sama Almira mau makan di mall dekat sini, mau nemenin Almira beli make up.” Atau ia mengatakan, “aku bawa bekal, sayang.” Atau, “aku ada janjian sama kontraktor proyek, kamu makan duluan aja ya.”

Dan setiap kali Bagas ke rumah Kirana, jika Kirana sedang ada di rumah maka ia akan meminta tolong pada ibu untuk mengatakan pada Bagas jika ia sedang keluar. Tentunya semua perilaku Kirana menuai tanda tanya pada ibu, namun setiap kali Kirana ditanya ada apa antara dia dan Bagas, maka Kirana hanya akan menjawab “gapapa, Buk. Kirana lagi pengen sendiri dulu aja.”

Hari ini, Kirana memang memantau proyek bersama dengan Raka. Ia menyuruh Raka pulang duluan saja tanpa mengantarnya ke halte bus, karena Almira akan menjemput Kirana. Ia sengaja pulang agak sedikit malam agar jika Bagas ke rumahnya, pria itu tidak akan bertemu dengannya. Dan sejujurnya, Kirana menghalau sepi dengan cara lebih banyak di luar dibanding di rumah, kebetulan Ibu sedang menginap di rumah temannya untuk mengurus pesanan yang jumlahnya enggak sedikit.

sorry ya, Mbak. Aku belum beres-beres kamar kost.” Almira membuka pintu kamar kostnya, menampakan kamar yang berukuran 4x5 itu agak sedikit berantakan.

Kirana masuk ke dalamnya, terlihat dengan jelas jika ranjang gadis itu sedikit berantakan memang. Ada baju-baju yang belum sempat Almira bawa ke laundry dan baju dari laundry yang Almira belum sempat susun di lemari, ada poster-poster dari boygrup dan girl grup yang sering dibicarakan oleh wanita itu juga. Dan tak lupa perintilan Almira tentang dunia fangirl nya.

Seperti gelang konser yang memang ia pajang di meja belajarnya. Kirana tersenyum, ia menyingkirkan novel-novel yang bekas Almira baca di atas sofa wanita itu dan duduk di sana. Cukup nyaman, ukuran kosan itu terbilang besar bisa di sebut semi studio apartement bahkan letaknya ada di lantai 2.

Jika Kirana hidup sendiri seperti Almira, mungkin ia berminat untuk sewa kamar kost seperti ini yang terlentak di lantai 2. Tapi sayangnya, Kirana masih hidup berdua dengan ibunya. Kaki ibu sudah tidak sekokoh dulu yang mampu naik turun tangga, ibu bahkan sering mengeluhkan kakinya sakit.

“Gapapa, Mir.”

“Mbak mau minum apa? Aku pesenin go food deh ya kita makan berdua?” Almira mengambil ponselnya dan nampak menggulir layar ponselnya tersebut.

“Gausah repot-repot, Mir. Aku cuma mau ngaso aja kok.”

“Gak kok, Mbak suka pasta kan?” Almira sedang ingin makan pasta, ah makanan western gitu sepertinya menguggah selera nya setelah tadi siang perutnya panas sehabis makan ayam geprek.

“Apa aja, Mir.” Kirana melihat-lihat gelang-gelang bekas Almira konseran, rata-rata VIP. Mungkin jika Kirana iseng untuk menghitung total berapa uang yang di keluarkan wanita itu, bisa jadi Almira sudah menghabiskan 60jt hanya untuk konser saja. Itu pun belum termasuk merch yang ia simpan di kotak bawah meja nya.

“Mbak, Mas Bagas chat aku nih.” Almira menghampiri Kirana yang masih duduk di sofa dan menunjukan pesan yang dikirimkan oleh Bagas. Pria itu bertanya apakah Kirana sedang bersamanya atau tidak.

“Duh.. Bilang aja gak ya, Mir. Aku lagi gak pengen diganggu dia.”

“Oke.” Almira mengangguk-angguk.

Sesudahnya ia menyimpan ponselnya dan duduk di ranjangnya, ranjang itu bersebrangan dengan sofa tempat Kirana duduk. Dan Almira memperhatikan Kirana, wajah wanita itu nampak risau. Bingung apa yang sedang di lakukannya, kemudian sempat mengintip keluar jendela. Kemudian, begitu sadar Almira memperhatikannya Kirana menatap wanita itu dengan wajah bingungnya.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Harusnya aku loh yang tanya, Mbak. Kamu tuh aneh tau akhir-akhir ini, kenapa sih? Lagi berantem sama Mas Bagas?” Karena sudah tidak tahan sebab selalu dilibatkan dalam pelarian Kirana demi menghindari Bagas, akhirnya Almira bertanya pada wanita di depannya itu.

“Aku sebenarnya sama Bagas baik-baik aja, Mir.” Kirana menghela nafasnya, kembali teringat akan segala penolakan keluarga Bagas dan juga Asri padannya. Kirana rasa ia perlu bercerita dengan seseorang.

“Terus?”

“aku yang menghindari Bagas.”

“Tapi pasti ada alasannya dong, Mbak?”

Kirana mengangguk pelan, “Mir, apa yang akan kamu lakuin seandainya keluarga pacarmu gak merestui hubungan kalian?”

“Hhmm..” Ditanya seperti itu, Almira berpikir dulu sejenak. Pasalnya ia pun belum pernah mengalami hal seperti itu. “Mungkin aku liat dulu kali ya, Mbak. Cowokku gimana, dan tanya ke dia gimana sama hubungan kami. Um, gini loh Mbak. Kan aku menjalin hubungan sama cowokku bukan sama keluarganya, kalo dia mau mempertahankan hubungan kami ya, why not?

Alasan Almira ada benarnya juga, tapi biar bagaimanapun tidak semudah itu bagi Kirana. Ini bukan hanya masalah hanya ia dan Bagas yang menjalani hubungan ini, ia tidak ingin hubungan Bagas dan keluarganya rusak hanya karena Bagas membelanya. Hubungan tanpa restu pihak keluarga itu berat menurut Kirana.

Karena Kirana diam dan hanya menunduk saja, akhirnya Almira pindah duduk ke sebelah wanita itu. “Mbak? Ini bukan tentang hubungan kamu sama Mas Bagas kan?”

“Iya, Mir.” Kirana mengadahkan kepalanya dan menatap Almira dengan air mata yang mengembang di pelupuk matanya. “Ini tentang aku sama Bagas.”

“Mbak...” Almira yang melihat mata Kirana berkaca-maca itu langsung berhambur memeluk temannya itu. “Kenapa kamu gak cerita, Mbak?”

“Aku bingung, Mir. Bagas membelaku di depan keluarganya, dia mempertahankan hubungan kami yang rumit. Tapi seminggu yang lalu orang tua nya bertemu denganku dan meminta aku menjauhi anak mereka, bahkan Bagas sudah dijodohkan dengan perempuan lain, Mir. Yang mungkin jauh lebih baik dariku.”

Tangis Kirana tumpah, ia memeluk Almira erat. Menangis di pundak wanita itu seperti menumpahkan seluru gundahnya, berharap perasaanya sedikit lega dan ia bisa kembali pulang tanpa membawa beban banyak di pundaknya.

“Tapi Mas Bagas tahu soal ini, Mbak?”

Kirana mengurai pelukan Almira dan mengambil tissue yang diberikan Almira padanya. “Bagian dijodohkan Bagas tahu, Mir. Dia menolak, tapi bagian aku bertemu beberapa kali dengan Ibu dan perempuan yang dijodohkan dengannya dia gak tau.”

Almira menatap prihatin pada wanita di depannya itu, Almira gak tau ternyata dibalik sikap aneh Kirana akhir-akhir ini. Wanita itu tengah memendam masalah yang menyulitkannya hingga fokus nya terpecah, beberapa kali Almira mendapati Kirana tengah melamun atau menjadi lebih pendiam dari pada biasanya.

“Kamu gak coba cerita ini ke Mas Bagas, Mbak?”

“Aku gak mau bikin hubungan Bagas dan orang tua nya makin hancur, Mir. Bagas bahkan udah meninggalkan rumah orang tua nya dan gak pernah berkunjung lagi ke sana.”

“Kalau kamu gak cerita, gimana masalah ini mau selesai, Mbak? Kalian menjalani hubungan ini berdua loh. Aku gak kenal kalian lebih lama, tapi Mas Bagas kelihatan bingung banget Mbak dengan perubahan sikap kamu.”

Kirana mengangguk, ia setuju dengan itu. “Aku berniat untuk menjauhi Bagas, Mir. Mungkin, pilihan terberatku adalah melepaskan dia.”

“Mbak..” Kedua bahu Kirana merosot, teringat akan niat Bagas yang akan segera melamar Kirana bulan ini Almira ingin mengatakan niat Bagas itu, bermaksud mungkin Kirana akan mengurungkan niatnya. Namun disisi lain ia sudah berjanji tidak akan membocorkan hal itu pada siapapun, lagi pula, Almira tidak bisa ikut mengurusi hubungan kedua temannya itu lebih jauh, ia hanya bisa mendengarkan cerita keduanya.

“Mas Bagas mau mempertahankan hubungan mu loh, Mbak. Kamu yakin?”

“Aku udah yakin, Mir. Aku udah pikirin ini, aku mungkin gak masalah mereka hina aku, tapi mereka juga hina keluargaku dan kematian Bapakku, Mir. Sulit menjalani hubungan tanpa restu keluarga, memaksakan cuma bakalan nyakitin aku dan Bagas dikemudian hari. Aku gak mau sumpah serapah mereka mungkin buatku terkabul dan makin bikin hidupku susah, Mir. Lebih baik Bagas kembali pada keluarganya.”

Almira sangat amat prihatin pada Kirana, ia kembali memeluk wanita itu dan ikut menangis bersamanya. Hatinya juga sakit, entah hinaan apa yang diucapkan oleh keluarga Bagas sampai-sampai Kirana memilih untuk mundur dalam hubungannya.

Bersambung...

Pernah dengar istilah orang yang dulunya kita benci, justru jadi orang yang sekarang bisa deket dengan kita? Mungkin itulah yang dialami oleh Kirana saat ini, ia pernah membenci Raka hanya karena alasan konyol dan kekanakannya. Hanya karena Raka mirip sekali dengan suaminya Ayu di mimpi, pria kasar, arogan, suka berjudi, dan gemar menghabiskan uang milik orang tua nya.

Setiap kali bertemu dengan Raka sepanjang mereka berdua bekerja bersama, Kirana selalu menanamkan dalam dirinya jika pria di hadapannya itu Raka. Yang sangat berbeda dari Dimas, mereka berbeda kepribadian. Dan selama itu pula, Kirana bisa mengenal Raka lebih dekat.

Seperti ia yang kini tahu Raka asik sekali diajak bicara, apapun itu menurut Kirana, Raka dengan mudah menyeimbangi. Misalnya saja mereka pernah dalam situasi canggung ketika mereka berdua sedang dalam mobil Raka sehabis memantau proyek mereka, atau sedang dalam perjalanan bertemu klien mereka. Bermodalkan melihat billboard yang menampakan sebuah film romansa saja Raka sudah bisa membangun obrolan dengan Kirana.

Pria itu bertanya apa genre film kesukaan Kirana, dan siapa sangka jika mereka memiliki selera pada genre film yang sama. Raka banyak merekomendasikan film-film yang menurutnya bagus dan kemungkinan masuk ke dalam selera Kirana. Atau pernah, saat mereka meeting di luar kantor dengan klien mereka disebuah mall. Saat itu sedang ada pameran buku.

Dan dengan melihat tumpukan buku-buku itu saja, Raka tiba-tiba menceletukkan sebuah judul buku yang menurutnya bagus. Dan Kirana yang juga tertarik akhirnya bertukar judul buku yang pernah dibacanya dan menurutnya bagus, meski tidak satu selera bacaan. Raka adalah seseorang yang gemar membaca apapun yang menurutnya menarik dan terbukti, pria itu membeli 1 novel yang direkomendasikan oleh Kirana.

Dan ia lumayan menyukainya, sejak itu setiap kali keduanya bertemu untuk membicarakan perihal pekerjaan, Raka dan Kirana enggak pernah ada dalam situasi yang canggung lagi, selalu ada saja topik yang mereka bahas soal film dan buku yang mereka bagi satu sama lain. Hari ini, masa kerja sama mereka terlibat dalam satu proyek yang sama sudah selesai. Untuk merayakan kesuksesan itu semua, Raka mengajak Kirana untuk makan di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor mereka berada.

Tadinya, Kirana mengajak Almira. Namun apa daya wanita itu sudah ada janji dengan mutual dari fandom boygrup kesukaanya. Jadilah keduanya bertemu di restoran tempat mereka membuat janji, tentu saja Kirana sudah bilang ke Bagas agar pria itu tidak salah paham. Meski berniat melepas pelan-pelan pria yang ia sayangi, Kirana tidak mau membuat Bagas sakit seperti berpikir ia berselingkuh hanya karena bertemu berdua dengan Raka di luar pekerjaan, Kirana ingin Bagas paham bahwa mereka tidak bersama hanya karena Kirana tidak ingin memaksakan restu yang tidak pernah mereka berdua dapat dari keluarga Bagas.

“Pesan yang banyak, Na. Saya yang traktir ini.” Raka tersenyum begitu Kirana mengambil nampan untuk mengambil berbagai jenis daging dan juga sayuran.

Kirana yang diberi kesempatan oleh Raka untuk memilih ingin merayakan keberhasilan mereka direstoran mana, Dan Kirana memakai kesempatan itu untuk memilih All You Can Eat. Kirana sudah mengidam-idamkan makan disana, sebenarnya ia pernah kesana dengan Bagas waktu itu sebelum ia kecelakaan.

“Harus yang banyak, Mas Raka. Biar enggak rugi.” Kirana terkekeh pelan, setelah selesai mengambil apa saja yang ingin ia makan, keduanya langsung menuju meja mereka. Memasak makanan yang mereka inginkan sesuai dengan selera masing-masing.

“Saya baru pertama kali makan kaya gini loh.” Raka itu tipe pria yang jarang sekali menjelajah kuliner, yang ia makan hanya itu-itu saja. Lebih banyak masakan rumahan, ia tidak pernah mengikuti makanan-makanan yang sedang naik daun. Ia bisa terbilang jarang menjelajah sosial media.

“Mininal sekali seumur hidup sih, Mas. Itupun kalau enggak ketagihan. Apalagi kalau Mas Raka suka daging, ini kesempatan banget sih.” Kirana memasukan satu suapan daging dan sayu-sayuran ke mulutnya, ia tersenyum senang begitu rasa gurih dan segar dari daging dan sayuran itu masuk ke dalam mulutnya.

“Kayanya saya bakalan ngajak anak saya kesini deh kapan-kapan soalnya dia suka banget juga makan daging.”

“Oh ya?”

Raka mengangguk, sambil sesekali meracik bumbu-bumbu untuk makanannya. “Iya, dari kecil suka banget sama daging, kamu sudah lihat foto anak saya kan, Na?”

“Udah kok, yang mirip banget sama Mas Raka itu kan?” Kirana jadi teringat, wajah anak itu bukan hanya mirip Raka. Namun mirip wajah seseorang yang tidak asing baginya, namun Kirana belum yakin betul orang itu siapa.

Semenjak mengalami mimpi yang terus berlanjut setiap harinya, kadang Kirana suka linglung mengenali orang. Seperti apakah orang ini ia kenal dari mimpinya atau dimasa sekarang ia hidup.

Raka terkekeh pelan, baginya juga begitu. Kirana bahkan orang kesekian yang mengatakan jika Reisaka adalah foto kopiannya. “Betul.”

“Kapan-kapan ajak main dong, Mas. Kalau ada outing kantor ajak aja. Biasanya karyawan lain juga pada ngajak anak atau istrinya.”

“Ya nanti kapan-kapan saya ajak dia.”

Kirana terkekeh saat melihat cara makan Raka yang menurutnya agak aneh, yup, pria itu justru mau memasukan daun perilla kedalam kuah tomyum. Padahal daun itu bisa menjadi wadah bungkus untuk disatukan dengan daging, jamur, bawang putih dan juga aneka toping lainnya.

“Mas Raka, bukan gitu caranya. Nih saya kasih tau ya liatin.”

Kirana mengambil satu lembar daun perilla miliknya, memasukan daging yang sudah matang dipanggang, bawang putih, sedikit nasi, dan bumbu ssamjang kemudian membungkusnya dengan rapih, dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Gitu, saya pernah diajarin sama Almira dan beberapa kali nonton dari drama juga sih, ini itu namanya 쌈 (Ssam) yang artinya bungkus. Cobain deh enak tau!” Mata Kirana bersinar sewaktu menjelaskannya membuat Raka beberapa kali tertawa karena kalau diingat tentang betapa juteknya Kirana dulu sangatlah lucu.

“Oke saya coba ya.” Raka mengambil daun perilla itu dan mempraktikannya seperti yang Kirana peragakan barusan, dalam satu kali suapan semua itu masuk ke dalam mulut Raka dan pria itu tersenyum, bahkan matanya tidak bisa berbohong jika cara makan yang ditunjukkan oleh Kirana itu begitu nikmat. “Iya benar, ini enak banget.”

“Ya kan!!”

Keduanya makan begitu lahap, seolah-oalah tidak ingin waktu yang tersisa tidak mereka manfaatkan untuk mengisi perut mereka dengan mencicipi hampir seluruh hidangan. Mereka sempat membicarakan tentang novel yang Kirana rekomendasikan pada Raka, tentang tokoh dalam novel tersebut, tentang jalan cerita dan alurnya. Sampai dimana Raka mendapati panggilan dari Reisaka, bocah itu menitip sesuatu pada Raka.

“Anak saya nitip es krim, Na.” Raka menaruh ponselnya dan kemudian memakan kembali es krim dengan toping cococruch dan sprinkle di atasnya yang Raka ambil sendiri bersama Kirana.

“Oh ya? Gara-gara Mas Raka kirim foto es krim ini ke dia ya?”

Raka mengangguk, “kalau saya ajak jalan-jalan nih, yang dia minta pertama pasti es krim. Suka banget dia sama makanan manis dan dingin.”

“Khas anak-anak banget yah, Mas. Ah, tapi saya udah segede ini juga masih suka es krim sih.” Kirana tersenyum dan kembali menyendok es krim rasa strawberry miliknya itu.

Getar pada ponsel yang ia taruh di mejanya itu menyita lirikan Kirana, ada pesan singkat dari Bagas, pria itu bilang ia menunggunya di halte bus dekat dengan restoran tempat Kirana dan Raka makan-makan. Kirana hanya menghela nafasnya pelan, hampir 2 minggu tidak bicara banyak dengan pria itu membuatnya rindu. Rindu akan berceloteh dengan Bagas, mencari makanan setelah pulang bekerja, menemani pria itu mencari buku kesukaanya atau memasakan sesuatu untuknya.

Melihat perubahan wajahnya membuat kening Raka mengkerut bingung, karena sedrastis itu perubahan wajah Kirana, wanita itu yang tadinya tersenyum menjadi sedikit murung dan tatapannya kosong sembari mengaduk-aduk es krim yang mereka ambil tadi. Seperti tengah mengisi kekosongan hatinya dengan mengaduk isi es krim tersebut menjadi satu tanpa ia berniat menyendokan lagi makanan dingin itu ke dalam mulutnya.

“Kenapa, Na? Kok BT gitu?” Tak lama kemudian Kirana mengadahkan wajahnya menatap Raka, wanita itu tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan agar ia terlihat baik-baik saja.

“Gapapa, Mas. by the way saya balik duluan boleh? Bagas udah nunggu.”

“Oh boleh dong boleh.” Raka mengangguk-angguk. “Kita juga udah selesai makannya kan, sana kamu samperin kasian cowokmu sering galau akhir-akhir ini kayanya.”

Kirana yang tadi hendak memakai tas itu jadi menghentikan geraknya, ia menoleh pada Raka dan membuat Raka menaikan sebelah alisnya.

“Gimana, Mas?”

“Apanya?” Raka bingung.

“Bagas suka galau?”

Raka mengangguk pelan, “iya kelihatannya.”

Benarkah? Kirana menghela nafasnya dengan kasar, kalau benar apa yang dikatakan Raka barusan jika Bagas sering kelihatan galau itu artinya ia sudah menyakiti hati pria itu dengan sengaja. Selama berkencan dengan Bagas, sebenarnya hubungan mereka terbilang sehat jauh dari kata toxic, Bagas adalah pria yang mendukung penuh apa yang di lakukan oleh Kirana.

Begitu pun sebaliknya, saat sedang tertimpa masalah mereka akan saling bantu, menyelesaikannya bersama dengan banyak mengobrol. Isi kepalanya tak selalu sama, tapi keduanya mau belajar untuk saling menghargai. Malam itu, Kirana berjalan keluar restoran setelah mengucapkan terima kasih pada Raka, jalan gontai yang diselingi dengan keresahan hatinya, tanganya sibuk memilin cardigan kuning yang ia kenakan.

Ia biarkan angin malam itu meniup sedang rambutnya yang mulai panjang, isi kepalanya penuh, ramai, gaduh. Seperti isi jalanan Jakarta yang sampai jam tujuh malam pun masih begitu padat. Langkahnya membawa Kirana pada halte bus tempat Bagas menunggu, pria itu ada di sana, duduk menunggu dengan buku di pangkuannya. Tidak Kirana dapati mobil Bagas di sana, naik apakah pria itu untuk sampai di sini?

“Hai?” Sapa nya ketika ia sudah berada di halte bus itu, tidak begitu ramai. Hanya ada pekerja kantoran yang duduk agak jauh dari tempat Bagas duduk, memakai earphone dan nampak fokus pada ponsel digenggamannya seperti tidak tertarik pada hal-hal lain di sekitarnya selain ponsel yang terus menyita perhatiannya.

“Hai, sini duduk.” Bagas bergeser, menaruh pembatas buku dibuku miliknya dan tersenyum manis menatap Kirana. Ia rindu, wanita itu sangat amat merindukannya. “Udah selesai ditraktirnya?”

“Um.” Kirana mengangguk, “kamu baca apa?”

Bagas tersenyum, ia memberikan buku yang sedang ia baca pada Kirana. “The Daily Stoic.”

Kirana tersenyum, membaca cover depan pada buku yang diberikan oleh pria itu. Buku khas yang Bagas sukai sekali. “Kamu udah selesai baca The Stranger dari Albert Camus?”

“Udah, sayang. Mau pinjam?”

Kirana tersenyum dan mengangguk kecil, selera bacaan keduanya berbeda. Kirana yang gemar membaca dari penulis-penulis lokal dan Bagas yang menyukai penulis-penulis Prancis. Namun walaupun begitu, setiap kali membaca buku mereka akan bercerita satu sama lain, saling meracuni siapa salah satu di antara mereka terpikat.

“Tumben, biasanya kamu suka penulis-penulis lokal.” Tangan Bagas terulur mengusap kepala Kirana.

“Lagi kepengen aja, boleh ya? Kita ambil sekarang?”

“Um, tapi kita ke rumahku naik bus gapapa ya? Mobilku lagi di bengkel.”

“Gapapa,” Kirana menautkan jemari tangannya pada Bagas, keduanya berdiri dan masuk ke dalam bus yang akan membawanya ke rumah yang Bagas sewa, sembari mendengarkan Bagas berceloteh tentang buku yang ia baca barusan. Kirana tidak banyak berkomentar, ia hanya mengangguk dan terus mendengar suara yang sangat ia rindukan itu.


Berceloteh, berpegangan tangan, saling memandang. Itu yang dilakukan Kirana dan Bagas malam itu, setelah turun dari bus yang membawa mereka sampai daerah rumah Bagas keduanya turun dan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Bagas masih menceritakan tentang buku yang tengah ia baca, sambil sesekali Kirana menimpali buku yang ingin ia beli segera.

Terkadang mereka tertawa, tidak lepas namun tawa itu cukup mengisi ruang kosong setelah beberapa hari Kirana menghindar. Mengisi ruang rindu yang tersisa, biarkan kali ini Kirana egois, biarkan malam ini wanita itu bersama pria yang ia cintai. Kirana hanya ingin menghabiskan waktu bersama Bagas saja malam ini, melakukan apa saja bahkan Kirana bersedia jika mereka tidak melakukan apa-apa.

Begitu sampai di rumah, Kirana duduk di kursi ruang tamu yang di belakangnya terdapat rak buku besar milik Bagas. Ada banyak sekali koleksi buku milik pria itu, mulai dari buku mereka jaman kuliah, buku filsafat, novel-novel terjemahan karya penulis-penulis Prancis yang selalu Bagas sukai, buku berisi cerpen milik penulis lokal ataupun buku-buku kumpulan puisi.

“Sayang, mau makan gak?” teriak Bagas dari dalam dapurnya, ia sedikit menoleh ke arah ruang tamu demi melihat apa yang wanitanya sedang lakukan. Kirana tengah berjongkok dihadapan rak-rak besar disana, mencari buku yang ingin ia pinjam.

“Gausah, aku masih kenyang.”

“Cemilan mau?”

“Apa?”

“Aku punya bolu kukus.” Bagas membuka kulkas miliknya, memastikan persediaan bolu yang kemarin ia beli masih ada.

“Iya boleh.”

Kirana masih terpanah akan rak buku dan koleksi buku-buku milik pria itu, Bagas sangat menyukai novel-novel romantis. Mungkin itu adalah alasan mengapa ia selalu mempunya sejuta cara memperlakukan Kirana dengan sangat manis, Kirana pernah berpikir jika pria itu terinspirasi dari tokoh-tokoh yang ia baca bagaimana mereka memperlakukan wanita. Namun pernyataan itu ditepis oleh prianya karna pada dasarnya sikap alami Bagas memanglah seperti itu.

Pria itu menata bolu ketan hitam di piring kecil dan menyajikannya bersama teh hangat dalam satu nampan, ia kemudian berjalan ke ruang tamu dan menaruh nampan itu di meja. Langkahnya kemudian terhenti tepat di belakang Kirana yang masih asik membaca bagian belakang buku miliknya.

“Udah ketemu buku yang kamu mau?” tanyanya, tangannya yang panjang itu menghalau bagian samping Kirana. Seperti tengah mengurung tubuh kecil itu di sana tanpa mengintimidasinya.

Kirana tersenyum dan mengangguk, “tapi kamu naruhnya di atas situ. Aku gak sampe, ambilin ya?”

Bagas mengangguk, tubuhnya yang jangkung serta tanganya yang panjang itu dengan mudahnya mengambil buku miliknya. Tanpa drama harus berjinjit, berpegangan apalagi harus naik ke kursi. Semudah itu dan ia memberikannya pada Kirana.

“Mau baca sekarang?”

Kirana menggeleng, “aku mau baca di rumah.”

Keduanya saling menatap, Bagas jatuh pada kubangan rindu didadanya. Mata teduh yang terlihat sendu itu kini menatapnya, seperti berharap entah apa yang wanitanya itu harapkan. Tangan Bagas terbebas, tidak ada benda digenggamannya maka ia dengan leluasa mengusap lembut pipi kekasihnya itu.

“Aku kangen kamu, Na,” bisiknya, terdengar lirih di telinga Kirana. Hatinya sakit dengan buncahan belati yang seperti tengah menghunus hatinya. Ia ingin sekali memeluk Bagas erat tanpa melepaskannya dan mengatakan dengan lantang jika ia jauh lebih merindukan pria itu.

“Bagas?”

“Hm?”

“Aku mau ciuman.” entah hasutan dari mana sampai-sampai Kirana yang dikenal lugu di usianya yang 27 tahun itu dengan percaya dirinya meminta sebuah ciuman pada pria di depannya itu.

Bagas tersipu, bibirnya tertarik kecil membentuk sebuah senyuman dan kepalanya mengangguk kecil. Dengan mudahnya ia sedikit membungkukkan tubuhnya, demi mensejajarkan wajahnya dengan bibir Kirana. Semakin dekat, hingga nafas Bagas behasil menyapu wajah Kirana.

Dua anak manusia itu saling memejamkan mata, kedua bibir mereka bertemu. Saling mengecup, melumat sesekali dengan kepala yang saling miring secara berlawanan. Buku yang tadinya ada di tangan Kirana itu jatuh begitu saja, tangannya kini dengan leluasa bertengger di bahu Bagas, mengusapnya pelan hingga kebelakang punggung lebar pria itu.

Kedua pipi Kirana merah padam menahan gairahnya, tangannya dengan lantang membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Bagas, pria itu tentulah kaget dalam ciuman penuh menuntutnya, bagaimana bisa tangan kecil, putih dengan kuku-kuku bersih itu yang selalu terbungkus dalam rasa segan dan sopan bisa diluar imajinasinya.

Kemaja Bagas terlepas, menampakan tubuh gagah pria itu. Keduanya saling melucuti, menelanjangi hingga Bagas berani menghimpit tubuh mungil itu ke rak penuh buku. Jauh dari bayangan Kirana jika Bagas memiliki daya ledak yang cukup tinggi, sehingga pria itu terlalu paham bagian mana dari tubuhnya yang membuatnya selalu menyeruhkan nama Bagas dengan nada terputus-putus penuh keputus asaan dan penekanan itu.

Bagas dengan leluasanya mengangkat tubuh mungil itu, membawanya ke kamar dan menjatuhkan tubuh Kirana ke ranjangnya penuh kehati-hatian seoalah-olah Kirana adalah sebuah porselen yang bisa saja hancur jika ia mengguncangnya agak keras. Ketika tubuh Bagas memasuki tubuhnya, memasuki diri Kirana. Barulah Kirana sadar jika ia telah meninggalkan dunia yang terlalu kejam padanya.

Bersambung

Kala Raga sedang melewati panjangnya jalan menuju rumahnya, tidak sengaja ekor matanya melihat Bagas dan Kirana tengah duduk berdua di halte bus. Entah apa yang sedang keduanya bicarakan, tampak serasi, tampak melempar senyum satu sama lain. Layaknya seorang remaja yang tengah puber dan dimabuk cinta.

Mobil yang dikendarain terhenti, entah apa yang membuat Raga menginjak rem untuk menelisik apa yang pasangan itu lakukan. Meski hatinya sendiri seperti tercabik-cabik, Raga masih menyangkal terkadang jika ia sudah jatuh cinta dengan Kirana karena mimpi sialan itu. Namun terkadang juga ia membiarkan dirinya menyerah dan mengakui jika ia memang jatuh cinta.

Boleh dikatakan ia bodoh, baper, tidak tahu malu atau umpatan apapun tentang seorang pria yang menyukai wanita milik pria lain. Tapi tidak ada keinginan lebih dari Raga selain hanya memastikan Kirana baik-baik saja, tersenyum dan memandangnya dari jauh. Ia tak ada niatan untuk merebut apalagi menghancurkan hubungan keduanya.

Ketika sebuah bus datang dan berhenti di halte, pasangan itu saling bergandeng tangan dan masuk ke dalamnya. Dan Raga masih terpaku di tempatnya, meremat setir mobilnya sembari menata kepingan hatinya yang hancur setelah diterpa rasa cemburu. Setelah bus itu sedikit menjauh, ia kemudikan lagi mobil miliknya untuk segera pulang.

Ia sudah lelah dan ingin segera istirahat, sesampainya di rumah justru rasa malas mendera Raga hingga ia hanya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Menatap dengan pandangan kosong pada langit-langit gipsum ruang tamunya sembari mempertimbangkan keputusan besar yang akan merubah karirnya.

Ini soal tawaran Ethan, Raga masih mempertimbangkannya dan Ethan sudah meminta keputusan Raga. Dalam hati ia tidak membenarkan perasaan ini, ia harus melupakan Kirana. Tapi jika terus bertemu dengan wanita itu setiap hari di kantor apakah itu akan menjadi mudah? Katakanlah ia pindah kantor hanya demi move on dari wanita itu.

Lalu tanganya merogoh kantong celana miliknya, mengambil benda persegi itu dan mengetikkan sebuah nama di sana. Raga akan menelfon Ethan, tak lama untuk membuat Raga dapat mendengar suara iparnya dari sebrang sana. Karena pada bunyi nada sambung ketiga Ethan sudah mengangkat panggilannya.

hallo, Ga? Ada apa?

“Malam, Mas Ethan. Raga mau ngomongin soal tawaran Mas Ethan.” Raga bangkit dari tidurnya dan mengubah posisinya menjadi duduk.

ah, iya. Gimana-gimana? Sudah punya keputusan, Ga?

“Raga ambil, Mas. Raga bersedia pindah ke kantor Mas Ethan. Tapi tolong beri waktu sampai Raga menyelesaikan pekerjaan Raga di kantor yang sekarang ini, bagaimana?”

ah serius kamu?!” pekik Ethan tidak menyangka saking susahnya Raga diajak untuk bekerja di kantornya. “*boleh lah, Ga. Selesaikan saja dulu, Ga. Tidak usah buru-buru kapanpun kamu ingin pindah Mas selalu menyambut.”

Raga mengangguk kecil, meski ia yakin Ethan tidak akan melihatnya. “Tapi rahasiain dulu dari Mbak Adel ya, Mas.”

Raga hanya tidak ingin Adel mengintrogasinya dengan rentetan pertanyaan mengapa pada akhirnya ia berlabuh pada kantor iparnya itu, apalagi kalau sampai kakaknya itu menebak alasannya bukan hanya ingin keluar dari zona nya. Melainkan demi melupakan perasaanya pada Kirana, maklum lah terlampau sering Adel menebak, dan sialnya semua tebakannya adalah sebenar-benarnya diri Raga.

iya, tenang aja. Tapi, Ga. Ini kamu mau pindah kantor beneran? Haha sampe kaget Mas loh, tadinya udah pesimis banget.”

Raga terdiam, menghela nafasnya sendiri dengan kasar. Ia sendiri masih setengah hati, namun tak ada salahnya mencoba keluar dari bubble nya sendiri. Ia ingin melindungi hatinya yang sudah kalah, ia harus tahu diri untuk tidak jatuh lebih dalam pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain.

Ga?” panggil Mas Ethan karena Raga tidak kunjung menyahut.

“Gapapa, Mas. Raga mau keluar dari zona nyaman aja.”

Setelah selesai sedikit mengobrol pada Ethan, Raga melangkah masuk ke dalam kamarnya. Matanya sontak melihat bunga yang Raga bawa dari cafe, bunga yang dibawa Kirana sewaktu Kirana bertemu dengan orang tua Bagas. Saat pertama kali orang tua Bagas menyuruhnya menjauhi putra mereka secara terang-terangan. Waktu itu Raga duduk di belakang Kirana, sewaktu itu Raga sendiri kaget jika ia bertemu Kirana di sana.

Raga ambil bunga itu dan ia bawa pulang, bunga cantik yang dirangkai khusus namun justru tidak diberikan pada orang yang seharusnya menjadi pemiliknya. Bunga itu sudah layu, menghitam, mengecil dan sebentar lagi mungkin akan jatuh ke dalam vas bunga yang Raga isi air. Namun ia enggan membuangnya, biarlah bunga itu mati sendiri, jika sudah mati, mungkin Raga akan menjemurnya dan tetap menyimpan kelopak demi kelopak yang berjatuhan itu, atau tidak masalah meski ia hanya menyimpan tali yang meggabungkan setiap tangkai bunga itu.

Mimpi itu masih terngiang, tentang janji Jayden dan Ayu untuk terlahir kembali dan menikah. Tapi jika dugaan itu memang benar, mungkin Jayden dan Ayu kembali tidak berjodoh dikehidupan sekarang ini. Raga sempat menelusuri asal usulnya, tentang keluarga besar dari Papa nya yang juga berkebangsaan Belanda. Namun ia tak mencari tahu lagi lebih dalam, 127 tahun. Sangat sulit jika Raga menyelami sampai sejauh itu.

Itu pun jika benar, jika benar ia adalah keturunan dari keluarga Jayden. Atau ini semua hanya kebetulan saja, entahlah kepala Raga sudah pening rasanya. Lebih baik ia melupakan segala mimpi itu, menguburnya bersama bayang-bayang kecintaanya pada Kirana.


Minggu pagi itu Kirana bangun lebih dulu, ia merenggangkan tubuhnya dan kemudian keluar dari kamarnya. Biasanya minggu pagi seperti ini, Ibu sudah bangun lebih dulu. Entah itu untuk memasak atau menyiram tanaman, Ibu selalu bangun saat menjelang subuh. Saat ini sudah setengah enam dan Ibu belum bangun, Kirana berinsiatif untuk melihat ke kamar Ibunya itu.

Saat pintu kamar Ibu terbuka, wanita itu masih terlelap dengan wajah tenanganya. Kirana tersenyum dan kembali menutup pintu kamar Ibunya kembali. Ia mencuci muka, dan segera membuat teh dan cemilan untuk sarapan di pagi hari. Hari ini dia sudah mengagendakan untuk berbelanja ke pasar bersama Ibu.

Kirana hanya membuat pancake pisang dan teh tawar, kemudian menyiram tanaman di depan rumah mereka sembari menyapa tetangga yang melewati depan rumahnya untuk sekedar berlari pagi atau ingin berbelanja ke pasar. Setelah sudah pukul setengah tujuh, Kirana ingin membangunkan Ibu. Karena jika terlambat sedikit saja ke pasar bisa-bisa ia dan Ibu mendapat ikan yang kurang segar.

Kirana membuka kamar Ibunya lagi, melangkah mendekat ranjang Ibunya itu dan duduk di pinggir kasur Ibunya. “Buk?”

Tak ada sahutan dari Ibu, tapi ada sesuatu yang aneh saat Kirana memegang tangan Ibu untuk sedikit mengguncang tubuhnya. Tangan Ibu dingin, padahal mereka tidak memakai AC. Kening Kirana mengekerut, ada kepanikan menderanya seketika ketika ia memperhatikan tubuh Ibunya.

Tak ada gerakan pada perutnya seperti pada umumnya orang bernafas, tidak kembang kempis. Hanya diam dengan wajah tenang dan pucat serta dingin, Kirana menelan saliva nya susah payah dan kembali membangunkan Ibu nya. Ada sedikit pikiran buruk namun ia tepis dengan segera.

“Buk? Ibu? Udah setengah tujuh, Buk. Katanya mau ke pasar? Kita jadi kan masak pecak?” Sekali lagi, Kirana mengguncang kecil tubuh Ibunya. Jantungnya ingin lepas dari tempatnya ketika tubuh di depannya itu tetap bergeming.

“Buk?” Kirana menggeleng, ia mencoba mendekatkan telapak tanganya pada cuping hidung Ibu. Dan lara kini mendera Kirana ketika tak ia dapati helaan nafas berhembus disana.

“IBU!!!” Kirana panik bukan main, matanya memanas dan air matanya dengan mudahnya menguncur dari pelupuk matanya itu.

Kirana berlari keluar rumahnya, berteriak memanggil siapa saja yang datang atau sekedar lewat rumahnya untuk membantu memastikan Ibunya masih hidup, atau setidaknya membantunya membawa Ibu ke rumah sakit.

“Pak, Buk!! Tolongin Ibu saya!” Pekik Kirana lirih, dadanya sakit bukan main. Ia harap Ibu hanya kelelahan saja dan bukan meninggalkan dirinya.

“Ada apa, Neng?” Tanya seorang Ibu-Ibu yang sepertinya baru saja pulang dari pasar.

“Tolong.. Tolong Ibu..saya..” Kirana terisak, ia menarik tangan Ibu-Ibu itu dan mengajak beberapa warga lain untuk memeriksa keadaan Ibunya.

Meski sudah mendapati pernyataan dari warga yang membantunya jika Ibunya sudah meninggal dunia, Kirana masih enggan mempercayai itu. Ia bersikukuh membawa Ibu ke rumah sakit agar ia bisa mendapatkan peryataan yang legit dari seorang dokter. Warga membantu Kirana membawa Ibu ke rumah sakit terdekat, dalam perjalanan meski matanya buram karena air matanya yang terus mengalir. Kirana berusaha tabah, ia menelfon sanak saudaranya dan juga teman-temannya.

Namun kekecewaan dan kepedihan menerpanya kembali ketika pintu IGD terbuka dan menampakan seorang dokter, dengan wajah yang sulit Kirana artikan. Ia harap Ibunya masih ada, Ibu tidak meninggalkannya, Ibu hanya memerlukan waktu untuk beristirahat sebentar. Namun yang Kirana dengar justru sebaliknya.

“Mbak, Ibu Rahayu sudah meninggal dunia. Ibu sudah meninggal sekitar 4 jam yang lalu.”

Seorang diri Kirana di depan pintu IGD tubuhnya gemetar, seperti tengah tersengat aliran listrik puluhan volt yang siap membuatnya berpindah ke alam lain, ia merosot, menangis dan memegangi dadanya yang terasa di remas dengan kejamnya oleh takdir yang tidak pernah berpihak padanya.

Satu-satunya orang yang Kirana miliki di dunia ini, diambil paksa darinya. Membuat Kirana semakin merana hidup dalam kesendirian tanpa orang tua. Ia menangis, begitu lirih sampai beberapa penunggu pasien dan warga yang mengantarnya barusan merasa iba pada Kirana.

Kirana masih belum sanggup untuk berdiri, untuk sekedar mengurus administrasi dan membawa jenazah Ibu nya pulang. Ia masih menunggu Budhe nya untuk datang ke Jakarta dari Semarang, tak lama kemudian dari lorong rumah sakit. Terlihat seorang pria berjalan dengan langkah panjang-panjang mengarah ke padanya.

Persetan dengan siapa pria itu, Kirana masih meratapi nasibnya. Kepalanya pening bukan main, sirna sudah berbelanja ke pasar dan memasak pecak untuk makan siang minggu ini. Pria itu mendekat, tak mampu membuat Kirana menoleh sedikitpun untuk mencari tahu siapa gerangan pria di depannya itu.

“Kirana..” Panggil pria itu dengan suara beratnya, suara yang terlampau Kirana kenal betul itu milik siapa.

Kirana mengadahkan kepalanya, menatap sepasang sandal berbeda warna yang ada di hadapannya itu dan melihat wajah sang empunya. Dugaanya salah jika orang pertama yang datang ke rumah sakit menjemputnya adalah Bagas, justru pria di depannya itu adalah Raga. Dengan nafas tersenggal, kaos oblong, celana training hitam dan sandal jepit yang bahkan berbeda warna. Terlihat compang camping layaknya seorang tuna wisma jika saja Raga tidak kelihatan lebih bersih dan terurus.

Kirana masih bergeming, kemudian Raga berjongkok di depan wanita itu dan menarik kepalanya ke dalam pelukannya. Seketika Kirana luruh, kehancuran dalam dirinya ia tampakan begitu saja. Ia benar-benar membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat ini. Ia menangis, merajuk, merasa kehilangan yang teramat sangat dalam pada pelukan atasannya itu. Ah, tidak. Seharusnya tidak ada sekat lagi diantara mereka karena mereka bukan berada di kantor.

“Ibu saya sudah tidak ada, Pak. Saya yatim piatu,” lirih Kirana dengan suara paraunya.

“Kamu gak sendiri Kirana, kamu masih punya teman-temanmu. Saya juga janji enggak akan membiarkan kamu susah sendirian.”

Kirana tidak menjawab lagi, ia masih terus menangis, menggerung dan meratapi setelah ini ia harus hidup seperti apa karena ia merasa hidupnya sudahlah selesai. 30 menit kemudian datanglah Satya dan Almira, keduanya menemani Kirana di ruang tunggu sementara Raga mengurus administrasi untuk kepulangan jenazah Ibunya Kirana. Ia juga telah meminta bantuan orang suruhannya untuk menyiapkan pemakaman.

Kirana masih melamun dalam pelukan Almira, wanita itu terus mengusap-usap bahu Kirana agar wanita itu tetaplah tabah. Sedangkan Satya, ia sibuk menelfon Bagas. Pria itu bahkan belum datang dan mengangkat telefonnya.

“Gimana, Mas?” Tanya Almira.

“HP nya gak aktif.” Satya berbisik agar Kirana tidak mendengarnya.

Almira menghela nafasnya pelan dan mengigit bibir terdalamnya, bagaimana bisa di saat-saat Kirana membutuhkannya justru Bagas tidak ada. Bahkan Almira dan Satya tidak menyangka jika Raga lah orang pertama yang menyusul Kirana ke rumah sakit setelah Satya mengabarinnya.

Jenazah Ibunya Kirana di bawa pulang, di rumahnya sudah ramai oleh para pelayat, dan orang yang akan memandikan serta mengkafani jenazah. Kirana sempat cuci muka dan berganti baju dahulu ditemani Almira. Ia masih menangis kala menatap cermin dan menampakan dirinya yang mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk berkabung.

“Setelah ini hidupku gimana yah, Mir. Aku gak bisa hidup tanpa Ibu..” Air mata Kirana kembali jatuh, ia menutup wajahnya dengan jilbab yang ia kenakan.

“Mbak, aku tahu ini gak mudah, tapi Mbak masih punya aku Mbak, masih ada Mas Bagas, Mas Satya dan Pak Raga. Kami disini buatmu, Mbak.”

Kata Raga, penyebab kematian Ibunya Kirana adalah cardiac arrest atau henti jantung. Rencananya setelah adzan dzuhur, jenazahnya akan dimakamkan di TPU Karet Bivak. Dan sampai saat ini, Bagas belumlah datang. Dan Satya memutuskan untuk menjemput pria itu ke rumahnya.

Kirana didampingi oleh Almira yang terus menerus berada di sampingnya itu menyalami satu persatu pelayat yang datang, sementara Raga membantu mengurus berkas-berkas untuk pemakaman. Ada Adel dan Ethan juga kakak dari Raga yang turut melayat.

Setelah adzan dzuhur dan di shalatkan, jenazah Ibunya Kirana akhirnya di kebumikan. Kirana sempat nyaris pingsan kalau saja Almira tidak memeganginya, ia sempat berdoa dan masih menangis ketika para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman.

Kirana sempat mengusap nisan Ibunya, bertuliskan nama Ibunya di sana. Mengaduh terakhir kalinya karena Ibu telah meninggalaknya seorang diri demi bersatu kembali dengan Bapak. Makam kedua orang tua Kirana bersebelahan.

“Kirana sendirian, Buk. Kenapa Ibu gak sempat pamit sama Kirana, Buk.” hari itu langit seperti ikut berdua, mendung, rintih hujan bagai air mata yang jatuh dari pelupuk mata Kirana. Langit ikut menangis mengantar kepergian wanita yang sudah melahirkannya itu.

Dan ketika Kirana, Almira dan Raga ingin pulang. Dari kejauhan Kirana melihat Bagas yang berlari ke arahnya di ikuti Satya di belakangnya, wajahnya panik setengah mati dan matanya memerah. Ia juga merasakan kehilangan sosok Ibu yang bahkan belum sempat ia sebut sebagai 'Ibu Mertua.'

“Na..” Ucap Bagas, pria ingin memeluk Kirana namun Kirana menjauhkan tangan Bagas dari tubuhnya.

“Aku mau pulang, Gas. Nanti malam ada pengajian untuk Ibu.” Kirana kemudian berjalan lebih dulu melewati Bagas yang masih terpaku di tempatnya dan juga Satya yang berada di belakangnya.

Bagas mengepalkan tangannya, ketika ia melihat Raga justru melangkah menyusul Kirana. Namun ia harus menyingkirkan perasaan cemburunya itu, sangat tidak pantas membahasnya sekarang ini.

“Lo dari mana sih, Mas? Kita semua nungguin elo, Mbak Kirana hancur banget tau gak?” Ucap Almira ikut kesal.

“Mir, gue.. Gue rencana mau bikin kejutan buat Kirana, Mir. Gue. Sengaja matiin HP gue karena lagi nyiapin itu semua, gue mau melamar dia malam ini, Mir. Gur gatau kalau akhirnya kaya gini,” jelas Bagas dengan suaranya yang bergetar.

Bersambung...

Sudah satu minggu sejak kepergian Ibu, ini jelas masih meninggalkan duka yang teramat dalam bagi Kirana. Tapi setidaknya kekhawatiran Bagas berkurang sejak Budhe dari pihak Ibu nya datang untuk menemani Kirana di rumahnya. Kirana belum bekerja, kemungkinan besok ia akan kembali bekerja. Dan wanita itu juga masih belum banyak bicara dengan Bagas.

Kirana bukan kecewa dengan Bagas, ya meski sempat ia bertanya-tanya kemana Bagas saat ia membutuhkannya. Bagas juga belum punya kesempatan untuk menjelaskan itu semua pada Kirana, mungkin nanti, saat wanita itu sudah tenang. Saat acara pengajian mengenang 7 hari kepergian Ibu Kirana itu sudah selesai. Bagas membantu Kirana bebenah rumahnya.

Menaruh piring bekas makanan kecil disajikan, membersihkan sampah, menggulung karpet-karpet dan menyapu ruang tamu. Wanita itu masih lebih banyak diam dan melamun, kadang ia mau sedikit berbicara dengan Budhe nya walau kadang hal itu juga sedikit menjadi pemicu Kirana menangis, karena yang mereka bicarakan lebih sering soal Ibu. Jangan bicara tentang Ibu, melihat karangan bunga yang di kirimkan oleh kantor Kirana bekerja, rekan Bapak dulu, dan teman-teman Ibu saja Kirana sudah menangis menyesakkan.

“Makasih yah, nak Bagas. Sudah bantu beres-beres,” ucap Budhe, wanita tua itu tersenyum hangat wajahnya yang agak sedikit menyerupai wajah Ibu nya Kirana itu membuat Bagas menatapnya selayaknya ia menatap Ibunya Kirana.

“Sama-sama Budhe.” Bagas duduk di ruang tamu, tepat di samping Kirana yang masih melamun. Hanya ada mereka bertiga di rumah itu, tamu-tamu yang lain sudah pulang. Termasuk Almira, Raga dan juga Satya.

“Dimakan kue nya Nak Bagas. Budhe mau ke belakang dulu ya, mau beres-beres baju.” sudah 1 minggu Budhe berada di Jakarta, beliau harus segera pulang ke Semarang karena di sana beliau juga mengurus kebun milik keluarga.

“Iya, budhe. Ah iya, besok kalau Budhe mau ke stasiun, biar Bagas saja yang antar ya Budhe, besok pagi Bagas ke sini lagi kok.”

Budhe tersenyum, menampakan kerutan pada wajah dahayu masa lampaunya itu. “Terima kasih ya nak Bagas, besok Budhe kabari ya.”

Kemarin, Bagas sempat mendapat wejangan serta amanat dari Budhe Kirana itu untuk menjaga keponakannya. Mengingat di Jakarta ini, Kirana benar-benar seorang diri tanpa orang tua. Sebenarnya masih ada keluarga dari pihak Bapak yang tinggal di Jakarta, tetapi hubungan Kirana dan keluarga dari Bapaknya itu tidak baik. Apalagi selepas kepergian Bapak, setelah kebangkrutannya itu keluarga Bapak seperti sudah tidak menganggap Kirana sebagai keponakan dan Ibu sebagai iparnya. Jadi Kirana pun sudah menganggap ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Kini keduanya berada di ruang tamu, Kirana sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Ada begitu banyak penyesalan kenapa ia telah abai memeriksakan kesehatan Ibunya, ada banyak kata andai dalam kepalanya yang Kirana harap ia bisa memutar balikan waktu agar Ibu nya masih ada di rumah ini bersamanya. Setelah Budhe kembali ke Semarang, Kirana akan seorang diri di rumah. Ia tidak mungkin tidak meratapi Ibunya kembali. Meski rumah itu belum banyak memiliki kenangan bersama Ibu, tapi hari-hari mereka banyak di isi dengan memasak bersama, menanam berbagai jenis tumbuhan di depan rumah dan banyak hal yang diobrolkan anak dan orang tua itu.

Apalagi dahulu hanya Ibu sumber kekuatan Kirana dan begitu pula sebaliknya. Banyak duka yang mereka lalui bersama selepas kepergian Bapak. Dan kini Kirana menanggung duka itu sendirian tanpa ia tahu barus membaginya pada siapa.

“Sayang, kamu belum makan. Makan sama aku yuk?” Bagas khawatir bukan main, sudah satu minggu ini Kirana tidak makan nasi. Yang ia makan hanya kue jajanan pasar, roti atau bahkan minum saja. Bagas dan Almira sudah membujuk Kirana untuk setidaknya makan nasi sedikit saja, namun wanita itu tetap enggan.

“Tadi kan udah, Gas.”

“Kan cuma makan lemper aja.”

“Tapi tetap makan kan?” Kirana menjawabnya agak sedikit ketus, perasaanya belum kunjung membaik. Ada sepercik keputus asaan dalam diri Kirana akan sebuah kehilangan, sebuah kepemilikan yang kemudian direnggut paksa. Bapak, Ibu, rumah miliknya dan mungkin sebentar lagi Bagas.

“Aku cuma gak mau kamu sakit, Na.”

“Lebih baik juga aku nyusul orang tuaku, Gas. Aku udah gak punya siapa-siapa lagi.” air mata Kirana kembali mengembang, yang mungkin jika ia berkedip sedikit saja air mata itu akan terjun bebas dari matanya.

“Masih ada aku, Na.”

“Kamu bukan keluargaku, Gas!” Kirana meninggikan sedikit nada bicaranya. Setelah sadar, ia kemudian mengusap wajahnya putus asa dan memegang tangan Bagas. “Kamu bukan orang tuaku.”

Bagas mengangguk kecil, ia paham Kirana tidak bermaksud menyinggung perasaanya. Biar bagaimana pun yang dikatakan wanita itu benar, ia belumlah menjadi keluarganya. Ia masih kekasih Kirana. “Na, mungkin aku gak bisa menggantikan peran kedua orang tua kamu, tapi aku, aku mau nemenin kamu terus, Na. Jadi tempat kamu pulang.”

Kirana tidak menjawab, ia justru terisak. Bagaimana mengatakan pada Bagas jika mungkin benar pria itu tidak akan pernah meninggalkannya. Tapi justru sebaliknya, Kirana lah yang akan meninggalkan Bagas. Sebelum Ibu meninggal Kirana telah memikirkan cara bagaimana mula-mula ia menjauhi Bagas kembali setelah kejadian malam itu. Ia ingin melepaskan Bagas, dan mungkin kesempatan itu telah datang kepadanya bersamaan dengan duka kepergian Ibunya. Ia bisa memanfaatkan ketidakhadiran Bagas saat ia membutuhkannya, lebih baik sakit sekalian kehilangan dua orang yang ia sayangi. Dari pada harus melepasnya satu persatu dan merasa sakit kembali.

“Waktu hari Ibu meninggal dan kamu telfon aku, aku minta maaf karena aku gak aktifin HP ku. Aku dan Kanes lagi nyiapin sesuatu untuk kamu, Na. Aku kaget waktu tiba-tiba aja Mas Satya datang dan ngasih kabar tentang Ibu kamu, maafin aku, Na.” Bagas mengenggam tangan Kirana, masih terus merasa bersalah bila ia mengingat kejadian hari itu. Ia merasa begitu bodoh, padahal biasanya ia tidak pernah mematikan ponselnya dalam keadaan apapun dengan sengaja.

Entah sesuatu apa yang Bagas maksud, karena Bagas juga belum menjelaskannya pada Kirana. Ia merasa waktu untuk menjelaskan itu semua belum pantas. Kirana masih dalam masa berkabung dan perasaanya juga belum membaik, mungkin jika Kirana sudah sedikit lebih baik ia akan menjelaskannya pada Kirana.

Sempat hening beberapa saat diantara mereka, Kirana yang sibuk menangis dan kemudian saat tenang ia lebih banyak melamun dan Bagas yang sibuk menatap wajah cantik di depannya itu yang masih meratap. Jika ada cara untuk mengambil alih seluruh sakit, kerapuhan dan kesedihan pada wanitanya. Bagas akan melakukan berbagai cara itu agar hanya tersisa senyum di wajah Kirana.

“Sayang? Istirahat ya, aku antar ke kamar kamu ya? Besok pagi aku kesini lagi buat antar Budhe ke stasiun. Besok kamu mau sarapan apa?”

Kirana masih diam beberapa saat sampai akhirnya ia menoleh pada Bagas, wajahnya masih tertutup awan mendung. Kedua netranya terlihat menyakitkan bagi siapapun yang melihatnya. Dengan gerakan lembut, Kirana menarik tangannya dari genggaman tangan Bagas.

“Bagas?” panggilnya dengan suara lirih.

“Ya, sayang?”

“Aku mau kita putus.”

Tidak ada sahutan dari Bagas, ia berharap ia salah mendengar atau ia berharap ini mimpi buruk, apapun itu asal bukan ini kenyataanya. Ia menampilkan wajah bingungnya dan kemudian tertawa hambar. Ia anggap ucapan Kirana barusan adalah sebuah lelucon. “Gimana? Aku belum dengar kamu tadi ngomong apa.”

“Aku mau putus, Gas. Aku mau kita udahan,” Kirana memperjelas ucapanya dengan penuh penekanan.

🍃🍃🍃

Setelah menyelesaikan meeting nya bersama kliennya pagi ini, Raga kembali ke ruanganya. Harinya mulai hectic sekali menyelesaikan proyek-proyek yang digarapnya. Ia belum memberitahu pada siapapun soal pengunduran dirinya nanti, ia masih menyimpannya sendiri. Beberapa hari ini Kirana juga belum masuk kerja sebenarnya Pak Suryana selaku HRD sudah menanyakan perihal seringnya Kirana tidak hadir di kantor pada Raga. Mengingat Raga lah team leader di kantor itu.

Bisa dikatakan Raga terlampau sering menutup-nutupi soal keabsenan Kirana pada Pak Suryana. Ia tidak ingin Kirana berhadapan dengan Pak Suryana soal kedisiplinan, apalagi jika sampai-sampai dia mendapatkan surat peringatan atau lebih buruknya dipecat. Raga tidak ingin itu terjadi dan menambah penderitaan Kirana, sudah cukup sampai dikehilangan orang tuanya saja. Raga tidak ingin Kirana kehilangan hal-hal lain yang ia sayangi.

Merenggangkan badannya yang sedikit kaku, Raga bersandar pada kursinya. Menatap meja Kirana yang kosong terlihat dari ruangannya yang hanya dibatasi oleh dinding kaca. Lalu tak lama kemudian ia melihat ke meja Bagas, meja pria itu juga kosong. Entah kemana Bagas. Pria itu bahkan tidak menghubungi Raga untuk memberikan informasi kenapa dirinya tidak hadir di kantor.

Terlalu lama terbuai dalam isi kepala dan lamunanya sendiri, Raga sampai tidak sadar jika Satya mengetuk pintu ruanganya dan berakhir membuka pintu itu tanpa menunggu jawaban darinya. Pria yang seumuran dengannya itu tersenyum, menampakan rentetan giginya yang rapih dengan senyum menjengkelkan khas dirinya. Tak ada kata segan jika mereka sedang berdua, karena pada dasarnya Satya memang temannya.

“Ngalamun aja, emang punya cicilan ya?” ledek Satya, pria itu menarik kursi yang ada di depan meja Raga dan duduk di sana. Menyerahkan berkas yang Raga minta, ah sebenarnya Satya memang ingin numpang ngadem saja di ruangan Raga.

“Yang banyak cicilan kan elu.” Raga menggeleng, memeriksa berkas yang Satya beri dan menaruhnya kembali.

“Kenapa sih?” semenjak obrolannya dengan Bagas beberapa hari lalu di Hutan Kota, Satya jadi kepikiran, apalagi soal gerak gerik Raga yang jauh lebih sigap pada Kirana. Apa benar dugaan Bagas soal Raga yang menyukai Kirana itu benar? Tapi setahunya, Raga bukanlah pria seperti itu.

Satya mulai menaruh curiga saat Raga memeluk Kirana di lorong rumah sakit saat Ibunya Kirana meninggal. Awalnya Satya hanya menganggap itu bentuk dukungan demi menguatkan hati Kirana yang tengah berkabung, namun apa pantas seorang atasan seperti itu bilamana ia tidak memiliki perasaan lebih pada bawahannya? Itu yang pertama dan yang kedua adalah, Raga lah yang sibuk mengurus pemakaman bahkan mengurus soal catering untuk pengajian 7 hari kepergian Ibu nya Kirana. Sebenarnya Bagas juga melakukan hal yang sama, Bagas juga memesan catering namun soal keabsenan pria itu saat Kirana membutuhkan pelukan seperti sudah diserobot oleh Raga.

Satya dan Almira tentu saja merahasiakan adegan berpelukan itu pada Bagas, keduanya sepakat merahasiakan ini demi menjaga hati Bagas dan juga nama baik Raga. Mereka hanya menganggap itu sebagai pelukan belasungkawa saja, meski rasa curiga keduanya tepis pelan-pelan.

“Gapapa.” Raga menghela nafasnya kasar.

“Ah masa? Muka lu kaya lagi nyimpen banyak beban gitu. Gak mungkin mikirin cicilan kan? Elu mah nganggur juga tetap kaya, Ga.”

Raga terkekeh, ucapan asal dari Satya itu selalu bisa membuatnya tertawa. Ia bahkan tidak merasa sekaya itu sampai-sampai tidak bekerja pun akan tetap kaya. Keluarganya memang memiliki perkebunan dan toko bunga, tapi kalau tidak dikelola dengan baik pasti akan habis juga bukan?

“Mikirin cicilan mah elu.”

“Terus kenapa dong, Pak?”

“Sat?”

“Hm?” Satya tidak mengadahkan pandanganya ke arah Raga, ia sibuk memainkan rubik yang ada di atas meja Raga tadi.

“Gue berencana buat resign.

“Hah?!” kedua mata Satya terbelalak, ia menegakkan duduknya dan melupakan rubik yang belum selesai ia kerjakan itu. “resign? kenapa?”

“Gue ditawarin buat jadi partner di kantornya Mas Ethan.”

“Suaminya Mbak Adel?”

Raga mengangguk, “gue harus keluar dari zona nyaman, Sat.”

Satya terdiam, dia tidak bisa mengomentari hal ini karena Raga pasti sudah memikirkannya matang-matang. Satya kenal Raga, pria tenang itu adalah pria yang sebelum melakukkan sesuatu sudah memikirkannya dengan sangat matang dan penuh perhitungan. Raga bukan orang yang mudah sekali gegabah mengambil sebuah keputusan.

“Kapan, Ga?”

“Mungkin kalau semua proyek yang gue pegang selesai.”

Satya mengangguk-angguk, entah sejak kapan Raga memikirkan ini tapi bagi Satya kenapa semuanya terasa terburu-buru. “Gue beneran kaget sih, Ga. Gak nyangka juga elu bakalan udahan gini aja. Maksud gue, semuanya buru-buru banget. Gue tau banget berkali-kali Mas Ethan minta lo pindah ke kantornya terus elu tolak melulu dan sekarang saatnya? Ini beneran lo gak ada something apa-apa kan?”

Raga sempat terdiam beberapa saat, ia sempat melirik pada meja Kirana di luar sana yang tentu saja ditangkap oleh Satya. Pria itu juga memperhatikan ekor mata Raga mengarah kemana. Satya masih menepis kecurigaanya.

“Gak ada seseorang yang lagi lo hindarin kan, Ga?”

Raga tertawa hambar, ia tahu Satya mungkin hanya menebak. Tetapi kenapa tebakan pria itu tepat pada sasaran? “Menurut lo begitu, Sat?”

Satya mengangguk, “siapa, Ga?”

“Lo udah tau pasti, Sat. Gue enggak mungkin bilang.” firasat Raga, Satya sebenarnya sudah paham. Pria itu hanya butuh pembuktian saja yang asalnya keluar dari mulut Raga.

Damn!” Satya mengusap wajahnya gusar, ternyata dugaan Bagas benar adanya jika Raga menyukai Kirana. Walau masih kaget dan tidak menyangka tapi Satya sudah melihat sendiri sebuah kenyataan. Raga sendirilah yang mengucapkannya bahkan. “Sejak kapan, Ga?”

“Lumayan lama, Sat. Mungkin sejak Kirana sadar dari koma nya. Ada sesuatu yang hanya gue dan dia yang tau.”

“Sinting!!”

“Sat, ini gak kaya apa yang lo pikir.”

“Gue harap pikiran gue salah, Ga.” Satya mulai berpikiran negatif dengan temannya sendiri, ia selalu berharap pikiran itu keliru. Tidak mungkin mereka telah berselingkuh kan?

“Gue bingung harus ngejelasin ini gimana ke elo, dan mungkin ini juga susah dipercaya, Sat. Cuma gue sama Kirana yang percaya karena kami yang ngalamin.”

Satya tertawa hambar, kecewa dan sedikit marah menguasainya namun ia tetap ingin mendengarkan penjelasan Raga. Hari itu Raga menjelaskan tentang mimpinya dan Kirana tentang pemikiran Raga yang menghubungkan dirinya dan Kirana adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu, termasuk janji kedua pasangan itu. Satya tentu saja tidak percaya, beberapa kali pria itu tertawa dan memandang Raga dengan tatapan meragukkan, mungkin Satya berpikir jika Raga sedang mendongeng, atau sedang mengerjainya atau mungkin lebih buruk lagi Raga sedang mabuk kecubung, tetapi raut wajah Raga sama sekali tidak menampakan kebohongan.

Wajah pria itu terlalu serius untuk sekedar mengerjainya atau mendongengkannya. Satya jadi bingung sendiri, memangnya ada hal seperti itu terjadi di dunia nyata? Satya hanya tahu hal semacam reinkarnasi dan cerita-cerita seperti itu hanya ada di sebuah film.

“Jadi intinya lo pindah buat ngelupain Kirana juga iya?” dari cerita Raga, sejauh ini yang Satya tangkap hanyalah Raga yang pindah kantor demi melupakan Kirana. Bisa dibilang kawannya itu sudah baper.

“Mungkin bisa dibilang begitu, Sat.” Raga mengakuinya. Terdengar konyol memang, bahkan Satya sedari tadi hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Gue bahkan gak percaya reinkarnasi itu ada, Ga. Gue yakin elo gak setolol itu buat ngehubungin semua mimpi lo dan Kirana sama janji si cowok kolonial dalam mimpi lo itu.” bagi Satya, ini semua tidak masuk akal.

“Gue bahkan berusaha ngeyakinin diri gue sendiri, Sat. Gue banyak nyari tahu soal reinkarnasi dari beberapa artikel. Tapi ini yang terjadi sama gue dan Kirana. Lo bisa tanya sendiri sama dia.”

Bersambung...

Sudah sepersekian kalinya Bagas mencoba menguhubungi Kirana meski tak ia dapati jawaban dari sebrang sana, pikirannya kacau, hatinya galau. Tidak ada rasa tenang dalam kepala Bagas tentang ucapan Kirana beberapa hari yang lalu. Setelah mengatakan ingin berpisah dengan Bagas, hendak ia minta penjelasan dari wanita itu. Kirana langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan jika ia lelah. Pada hari berikutnya Bagas terus mencecar Kirana untuk bertemu, menelfonnya dan mengiriminya pesan untuk sekedar mengatakan apa alasan yang membuatnya ingin mengakhiri hubungan mereka, namun tak ada satu pun dari usaha Bagas yang mendapati jawaban yang ia inginkan.

Satu-satunya tempat yang memungkinkan bagi Bagas bertemu dengan Kirana adalah kantor, namun sampai hari ini Kirana belum masuk juga. Bahkan Bagas sudah meminta bantuan Almira untuk menghubungi Kirana, namun hasilnya pun sama. Tak ada jawaban, hari ini sepulang bekerja Bagas buru-buru ke rumah Kirana. Pikirannya tidak akan bisa tenang dan yang semua sedang ia kerjakan takan berjalan dengan semestinya sampai ia mendapatkan penjelasan dari Kirana kenapa wanita itu ingin berpisah.

Pagar rumah Kirana tidak terkunci, rumahnya tetutup namun dari luar Bagas melihat ada cahaya yang berasal dari ruang tamu rumah sewa Kirana. Sebelum mengetuk, ia sempat memperhatikan rak sepatu yang ada di dekat pintu masuk. Tak ada sepatu Kirana di sana, sepatu yang biasa wanita itu gunakan tidak ada pada tempatnya. Bagas mencoba peruntungannya kali ini, mengetuk pintu rumah Kirana, berharap wanitanya membukakan pintu untuknya.

Satu sampai empat ketukkan pintu tak membuahkan hasil untuknya, tak ada yang menyahut apalagi membukakan pintu untuk Bagas. Menandakan tidak ada orang di rumah. Kemana Kirana pergi? Wanita itu benar-benar menghindarinya? Atau justru Kirana berada di dalam namun enggan bertemu dengannya? Tadinya, Bagas ingin memberikkan waktu bagi Kirana untuk tenang sejenak setelah kepergian Ibu nya. Namun hatinya menyeruak memaksa ingin segera mendapati jawaban. Ego nya muncul dan memaksanya mencecar Kirana untuk mengatakan alasan wanita itu ingin berpisah darinya. Setidaknya jika sudah mengetahui alasannya Bagas baru bisa bernafas dengan lega.

“Cari siapa, Mas?” seseorang dari belakang kepala Bagas sedikit mengejutkannya. Bagas berbalik, mendapati seorang pemuda yang usianya tak jauh darinya. Tetangga sebelah rumah Kirana itu.

“Mbak Kirana nya ada di dalam gak ya?”

“Ohh.. Kayanya tadi pagi pergi, Mas. Gak tau kemana. Pakai tas dan rapih sekali.”

Dahi Bagas berkerut, memakai tas dan rapih sekali. Jika bukan untuk bekerja kemana Kirana pergi? Bahkan hari ini wanita itu tidak berada di kantor. “Ada yang menjemputnya atau dia pergi sendiri mungkin Mas lihat?”

“Pergi sendiri, Mas. Saya cuma berpapasan dan Mbak Kirana berjalan ke arah halte bus.”

Bagas mengehela nafasnya, pikirannya makin berkecamuk dan hatinya belum kunjung tenang. Bahkan jauh dari kata tenang, kemana wanitanya pergi? Dengan siapa dan kemana dia? Kalimat-kalimat itu terus berputar bagai nyanyian di kepala Bagas. Ia kemudian mengangguk pada pemuda di depannya itu dan tersenyum canggung.

“Terima kasih, Mas.”

“Mari..” setelah mengatakan itu, pemuda itu kembali masuk ke rumahnya. Meninggalkan Bagas yang temenung memandang pohon asam jawa yang berdiri kokoh di depan rumah Kirana.

Lampu-lampu jalan yang remang itu sudah mulai dinyalakan, burung-burung gereja yang berterbangan mencari makan telah kembali ke sarangnya. Dan beberapa menit kemudian suara panggilan sembahyang telah dikumandangkan, Bagas bersandar pada kursi di teras rumah Kirana, mengusap wajahnya yang kumal karena pagi tadi ia tidak sempat mandi. Begitu terjaga dari tidurnya, ia langsung melompat dari ranjang dan berganti pakaian. Sekacau itu Bagas sampai-sampai hal-hal seperti mandi dan sarapan saja ia lupakan begitu.

Hatinya memaksa mencari Kirana berkeliling ke jalanan padatnya ibu kota dijam pulang kantor, menelisik jalanan dan halte-halte bus barangkali ia menemukan Kirana sedang duduk di halte atau sedang berjalan. Namun tak dapat ia temui wanita yang menyita pikiran dan hatinya itu, sekali lagi Bagas tak ingin menyerah. Sembari melajukkan mobilnya menuju tempat-tempat yang biasa ia dan Kirana kunjungi. Ia mencoba menelfon Almira kembali. Mana tahu wanita itu bertukar kabar dengan Kirana.

hallo, Mas Bagas?” suara Almira terdengar disebrang sana, mengintrupsi Bagas untuk sadar dari lamunan akan Kirana ditengah kemacetan itu.

“Mir, udah ada kabar dari Kirana belum? Atau dia nelfon lo mungkin?” Suara Bagas serak, tenggorokkanya rasanya tercekat, sakit, seperti ada kawat berduri yang melingkar menusuk langit-langit mulutnya.

belum, Mas. Kalau ada kabar soal Mbak Kirana gue pasti kasih tahu ke elo kok. Udah coba ke rumahnya?

“Udah, dia gak ada di rumah. Tadi tetangganya bilang kalau Kirana tadi pagi pergi.”

Udah coba telfon ke Budhe nya, Mas? Atau ke teman Mbak Kirana yang lain?” Almira memberi saran mana tahu Bagas kepikiran kemana Kirana pergi.

“Dia...” Bagas memejamkan matanya, tak mungkin berkata jujur jika satu-satunya keluarga Kirana di Jakarta dari Bapaknya itu bahkan sudah tak lagi menganggapnya keponakan. Mana mungkin Kirana pergi ke rumah sanak saudara dari Bapaknya itu. “Gak ada keluarga di Jakarta, Mir.”

Duh, Kemana ya. Gini deh, Mas. Gue coba hubungin lagi ya, kalo gak ada jawaban juga. Gue coba cari Mbak Kirana sebisa gue.

“Perlu gue jemput biar kita cari Kirana bareng?”

ah, gak usah, Mas. Gue pergi sama cowok gue kok.” Almira akan mengajak kekasihnya itu mungkin untuk mengatarnya mencari Kirana. Ia juga khawatir dengan keberadaan wanita yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu.

“Oke, kabarin gue lagi yah, Mir.”

Dalam gemerlapnya lampu kota yang menerangi malam itu, melayang jauh pikiran Bagas ke hari-hari sebelumnya. Hidupnya kini bagai di putar balik ke arah yang berlawanan, bertanya entah pada siapa tentang apa yang terjadi pada Kirana sehingga wanita itu memutuskan untuk menghindarinya, memutuskan hubungan mereka yang dibangun setelah sekian lama dengan cinta, kepercayaan dan kasih sayang. Mata nya masih menelisik ke setiap jalan, ke tempat-tempat makan di pinggir jalan. Berharap disalah satu tenda sana ada Kirana yang tengah duduk atau mungkin tengah makan.

Sementara itu, di belahan jalan lain. Seorang wanita dengan tas punggung berwarna abu berjalan gontai dengan pandangan kosong mengawang jauh dari pikirannya. Tubuh dan roh nya seperti terpisah, berjalan tanpa arah dan tujuan tadinya. Mendatangi tempat-tempat ramai demi mengisi kekosongan di hatinya namun itu semua tidak lantas membuat kesedihannya mengabur. Ketika hari mulai malam dan jalanan mulai lenggang, pada pemberhentian terakhir bus itu kakinya turun melangkah. Kirana tak ingin pulang, ia tak ingin mati karena kesepian dan hilang ditelan isi kepalanya sendiri yang ramai porak poranda.

Tempatnya mengadu kini menjadi sesuatu yang ia hindari, maka biarkan ia melangkah ke kosan milik Almira. Tidak perduli pada titik air gerimis yang berjatuhan mengenai kepalanya, pada cahaya remang lampu pinggir jalan, pada siulan pria-pria yang tengah bergitar di pos dan bertanya dirinya hendak kemana hujan-hujanan. Ia tak perduli, ia hanya ingin mencoba mengabaikan rasa sakitnya.

Begitu sampai di depan pintu kamar kost Almira, Kirana mengetuknya pelan. Sangat pelan namun mampu membuat sang empunya kamar berjalan keluar dan membukakan pintunya, begitu terkejut Almira mendapati Kirana datang ke kosannya dengan keadaan kacau. Rambutnya basah, dan sedikit berantakan, kemeja yang dikenakannya basah dan wajahnya yang dingin dan pucat.

“Ya ampun, Mbak.” Ditariknya tangan wanita itu ke dalam kamarnya, kemudian ia tutup kembali. Menyuruh Kirana untuk duduk di sofa yang ada di kamarnya. “Mbak kamu habis dari mana? Semua orang nyariin kamu.”

Kirana masih diam, ia ingin menjerit jika ia sudah tidak sanggup untuk melanjutkan hidup ini. Namun itu semua tertahan di tenggorokannya yang sangat kering, seharian ini ia belum minum apalagi makan. Yang di telannya hanya saliva nya saja. “Mir, aku haus.”

Almira mengangguk kecil, “iya sebentar, aku ambil air dulu ya.”

Almira buru-buru melangkahkan kakinya ke dapur, menuang segelas air putih dan kembali ke sofa tempat Kirana duduk. Almira berjongkok dan memberikan air itu ke tangan Kirana yang sangat dingin. Sementara itu, Kirana mengambil gelas itu dan menenggak habis air di dalam gelas itu. Tenggorokannya yang kering itu terasa sejuk begitu air yang dinginnya pas mengalir masuk hingga ke kerongkongannya.

Almira sempat mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambut Kirana dan menyelimuti tubuh ringkih itu dengan selimut miliknya. Pandangan Kirana masih kosong, entah apa yang ada dipikirannya. Dunia benar-benar menyakiti wanita itu tanpa sisa, tanpa belas kasih hingga seluruh senyumnya ia renggut.

“Mbak?”

“Hm?”

“Kamu habis dari mana?” Almira berusaha bertanya pelan-pelan. “Atau kalau Mbak belum mau cerita, Mbak mau istirahat aja? Ganti baju, Mbak. Pakai bajuku aja.”

“Mir?”

“Iya?”

“Jangan kasih tau siapa-siapa ya kalau aku disini.” suara Kirana terdengar mengawang, masih menatap Almira dengan pandangan kosongnya.

“Iya, Mbak. Aku gak akan kasih tau siapa-siapa kamu disini, tapi jangan pergi lagi ya. Disini aja, kalau Mbak mau pergi kasih tahu aku ya.”

Kirana hanya mengangguk, setelah menemani Kirana berganti pakaian dan memastikan wanita itu terlelap di ranjangnya. Almira berjalan keluar kamar kostnya, ia mengabari Bagas jika ia sudah bertemu dengan Kirana tanpa memberi tahu Kirana ada dimana. Yang terpenting baginya, Bagas sudah bisa tenang jika sudah mendapat kabar tentang Kirana. Untung saja Bagas menurut pada Almira untuk tidak ngotot ketemu Kirana dulu, biarlah nanti Almira sendiri yang akan menjelaskannya pada Bagas di kantor besok pagi.

🍃🍃🍃

Entah sudah berapa jam Asri menunggu seorang pria yang tengah berbicara pada seorang pria lainnya di pojok sebuah cafe itu, dengan wajah yang serius seperti tengah membicarakan sesuatu yang genting. Keningnya sesekali Asri perhatikan mengkerut dengan wajah yang sedikit masam namun terkadang menampilkan senyum yang ia paksakan. Katakanlah ini sebuah kebetulan, karena ia datang ke cafe itu bukan karena sengaja untuk membuntuti Bagas yang juga tengah bertemu dengan klien nya. Asri sedang makan siang sendiri, sampai akhirnya ekor matanya menangkap pria yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini.

Tentang kabar kepergian Ibu nya Kirana sampai kabar tentang Bagas yang mempersiapkan lamaran untuk Kirana itu sudah sampai ke telinganya, sebagian memang ia dapatkan sendiri dari hasil membuntuti Kirana hanya demi memastikan wanita itu sudah menjauhi pria yang Asri cap sebagai miliknya itu. Dan sebagian lagi ia dapat dari Kanes, seperti sewaktu Kanes memesan beberapa bunga, mereservasi tempat dan berbincang dengan Bagas melalui telefon.

Semua Asri dapatkan kabarnya sampai pada akhirnya ia bertanya pada Kanes langsung, bahkan di hari Kanes dan Bagas tengah mempersiapkan itu semua pun Asri tahu karena dia ada di sana. Bahkan, kematian mendiang Ibu nya Kirana di jadikan momen telak baginya karena acara lamaran Bagas itu batal. Asri senang bukan main saat mengetahui itu, apalagi akhir-akhir ini Bagas cukup sering sendirian karena Kirana tidak terlihat bekerja di kantornya. Apalagi dengan wajah Bagas yang seperti menampakan jika ada yang tidak baik-baik saja pada hubungannya dengan Kirana.

Itu semua semakin menambah kesenangan bagi Asri, karena justru kesempatan kosong seperti ini lah ia bisa masuk lewat celah sekecil apapun untuk merebut hati Bagas. Setelah bersalaman pada kedua pria yang duduk di depannya dan pria itu pergi, semua itu menandakan jika pertemuan mereka sudah selesai. Ini adalah kesempatan bagi Asri untuk menghampiri Bagas dan mengajaknya bicara barang sebentar.

Wanita itu membawa tas miliknya, berdiri dan berjalan penuh dengan kepercayaan dirinya. Wajahnya ia naikan beberapa senti sampai memperhatikan leher jenjangnya yang tidak terhalang rambut panjangnya itu, ketukan dari heels yang dipakainya beradu dengan lantai marmer cafe tersebut, membuat Bagas yang tadinya sedang fokus dengan ponselnya itu jadi menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang tengah berjalan ke arahnya.

“Hai,” sapa Asri dengan senyum yang merekah pada wajah angkuhnya itu.

Bagas agak sedikit terperangah karena kehadiran Asri yang tiba-tiba dan tidak diduganya, ia tersenyum sedikit kemudian mengangguk kecil. “Hai.”

“Aku boleh duduk sini? Atau kamu udah janjian sama orang lain?”

“Duduk aja, gue udah selesai ngobrol sama klien.” Tanpa menghiraukan Asri, Bagas mengemasi beberapa berkas miliknya, charger Macbook nya dan menaruhnya kembali kedalam tas.

“Habis meeting ya, Gas?” Asri basa basi, dia sudah tahu dari tadi. Bahkan sejak klien Bagas masih duduk di kursi yang ia tempati.

“Iya nih.” Bagas melihat ke arloji yang ada di pergelangan tangannya, bergerak dengan gelisah sembari sesekali menoleh ke arah ponselnya. Gerak geriknya seperti tengah menunggu kabar dari seseorang. “Sri, sorry gue enggak bisa lama-lama.”

“Ah, Gas. Tunggu sebentar, sebentar aja please ada yang mau aku omongin sama kamu.” Asri sebenarnya sudah menduga jika Bagas akan segera bergegas meninggalkan cafe itu, maka kedua tangan kurusnya itu bergerak dengan cepat menahan lengan Bagas yang tadinya sudah siap memakai tas nya kembali.

“Mau ngomong apa?”

“Soal Ibu..” Asri memejamkan matanya. “Ibu kamu.”

“Kenapa sama Ibu?” Bagas selalu mendapat kabar soal Ibu dari Kanes, kedua orang tua nya itu bahkan baik-baik saja meski sesekali bertanya kabar Bagas melalui Kanes. Karena mereka tahu, Kanes dan Bagas masih sering bertukar kabar.

“Ibu nanyain kamu, Gas. Kamu kapan mau pulang?”

Bagas menghela nafasnya, di lihatnya ke arah luar jendela siang itu. Mataharinya terik Jakarta siang itu nampak tidak lenggang sama sekali, tak ada kata lenggang bahkan. Orang-orang masih berlalu lalang entah kemana, para pedagang di pinggir jalan masih menjajahkan dagangannya tanpa surut semangatnya bahkan oleh matahari yang terik sekalipun. Pemandangan di luar sana nampaknya lebih mengasikan bagi Bagas di banding ia harus bertatap muka dengan Asri, membicarakan orang tua nya.

Ini bukan karena Bagas anak kurang ajar yang tidak perduli akan kabar orang tuanya, bukan. Hanya saja, Bagas sudah tahu kabar kedua orang tua nya dari Kanes. Dan apa yang Asri katakan padanya itu selalu sama tentang orang tua nya, topiknya hanya berputar pada kapan ia akan segera pulang, kapan ia akan segera berbaikan dengan kedua orang tua nya. Seolah-olah ia harus di tuntut selalu mengalah pada ego orang tua nya, lagi pula. Dalam persoalan ini sebenarnya Asri tidak bisa terlalu bisa ikut campur seharusnya, ia adalah orang lain. Ranahnya tidak bisa sejauh itu menjangkau urusan orang tua dan anak ini.

“Gue udah pulang, Sri. Waktu itu, tapi ujung-ujungnya gue tetap ribut. Lagi pula gue selalu tau kabar mereka dari Kanes,” Bagas sedikit ketus, waktunya tak banyak. Ia harus segera kembali ke kantor.

“Iya aku tau, Ibu juga udah cerita soal itu. Maksudku disini, tinggal lagi sama orang tua kamu. Mereka tuh sayang banget sama kamu loh, Gas. Ayolah turunin sedikit ego kamu yang mereka lakuin ini sebenarnya demi kebaikan kamu juga.”

sorry, Sri. Kebaikan yang mana maksud lo?”

Asri terperangah, wajah ramah Bagas itu berubah menjadi masam. Tatapannya tajam dengan kedua alis yang nyaris menyatu karena keningnya mengekerut. “Yang maksa kehendak mereka dan mengorbankan kebahagiaan anaknya?”

“Gas, kamu tau kan hubungan yang dilandasi tanpa restu orang tua itu berat? Mereka gak setuju kamu sama Kirana loh, bisa aja kan ucapan orang tua kamu benar tentang Kirana.”

“Dan bisa juga ucapan mereka salah tentang Kirana. sorry, Sri. Kalo lo disini cuma mau menghakimi Kirana dan ikut campur urusan pribadi gue. Waktu gue enggak banyak, gue harus balik ke kantor ada hal yang lebih penting dari pada sekedar bahas obrolan yang gak akan ada habisnya ini.” Bagas buru-buru memakai tasnya, tanpa memperdulikan panggilan Asri ia melangkah panjang-panjang keluar dari cafe itu.

Hatinya panas, bukan hanya Bagas tapi juga Asri. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di sebelah pahanya. Dalam hati ia menyupah serapahi Kirana yang entah sudah memberikan apa pada Bagas sehingga pria itu begitu membela dan tergila-gila padannya. Nafsu makannya tak lagi menggebu sejak kepergian Bagas, ia ingin segera pergi juga namun saat kakinya ingin melangkah keluar, lengan tanganya itu ditahan oleh sebuah tangan besar yang melingkar begitu pas di lengannya yang kecil.

Membuat Asri seketika menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa asal pemilik tangan yang sudah menarik lengannya kini. Raka, pria itu menyeringai dengan gestur yang membuat Asri seketika mati kutu. Sejak kapan pria itu disini? Apa ia melihatnya berbicara dengan Bagas barusan?

“Lepasin gak?!” Pekiknya tertahan.

“Duduk.” Raka menunjuk kursi yang tadi di duduki Asri dengan dagunya itu, menyuruh wanita di depannya itu untuk kembali duduk ke kursinya.

“Gak, gue buru-buru.”

“Duduk atau gue bilang sama Bagas kalau elo udah pernah menikah bahkan punya anak.” Raka mengatakannya dengan santai, namun ucapannya itu berhasil membuat kedua mata Asri membulat sempurna sehingga tubuhnya spontan mengikuti apa kata Raka untuk kembali duduk ke kursinya.

Ia kalah telak. Raka terlanjur melihatnya, salahnya sendiri karena ia kurang hati-hati. Ia lupa jika Raka dan Bagas satu perusahaan, bisa jadi memang mereka meeting bareng atau lebih buruknya lagi terlibat dalam satu proyek yang sama.

“Jadi Bagas?” Raka menaikan satu alisnya, kemudian terkekeh mengejek Asri.

“Lo gak perlu tau.”

“Oh ya jelas gak perlu, tapi gue penasaran aja. Ternyata selain lo nelantarin anak lo, pembohong ulung dan sekarang? Ada sebutan yang lain yang bisa gue kasih ke elo? Perebut cowok orang?” Tawa Raka hampir meledak ketika kedua mata Asri membulat sempurna, wanita itu tampak kesal dan bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri.

“Gue udah dijodohin sama Bagas, jauh sebelum kita kenal bahkan gue udah kenal sama dia dari lama.”

“Selama apapun lo kenal, itu gak akan mengubah fakta kalau elo tetap ngerebut Bagas dari Kirana.”

“Orang tua nya Bagas bahkan gak ngerestuin hubungan mereka.”

Raka hanya memajukan bibirnya, kepalanya mengangguk-angguk dengan santai. Sama sekali tidak terpancing dengan apa yang Asri katakan barusan, ia hanya sedikit kaget awalnya waktu ia ingin turun ke lantai 1 cafe yang memang memiliki 2 lantai. Raka mengurungkan niatnya untuk lebih memilih mengamati Asri dan Bagas dari kejauhan, Asri nampak begitu kenes saat berbicara dengan Bagas. Namun Bagas jauh dari kata itu, pria itu bahkan kelihatan tidak nyaman dan ingin segera meninggalkan Asri.

Awalnya Raka hanya menebak kira-kira apa hubungan keduanya, namun, mengingat Asri memang tidak pernah dekat dengan pria lain dan dari gerak-geriknya yang memang seperti sedang memikat Bagas. Maka Raka simpulkan sendiri jika Bagas adalah pria yang memang di jodohkan dengan Asri.

“Lo mau ancam gue pake ini? Tega lo hancurin kebahagiaan gue? Inget yah, gue Ibu dari anak lo dan sejak kita cerai. Hak asuh Resaka ada di tangan gue. Gue bisa rebut dia dan gak akan gue biarin lo ketemu sama dia lagi.”

“Asri..Asri, lo kok bisa nya cuma ngancam. Setakut itu gue bakalan buka mulut? Sepenting itu reputasi lo di hadapan orang tua nya Bagas? Gak takut lo bikin mereka kecewa?”

Asri menyeringai, ia berdiri dan menendang salah satu kaki meja hingga meja itu mundur dan mengenai kaki Raka. “Gue udah nurutin apa yang lo mau buat ketemu sama Resaka, itu perjanjian kita kalo lo lupa.”

Bersambung...

Di temani dengan suara televisi yang sedang menayangkan sebuah drama itu, kedua mata Kirana justru tertuju pada sebuah mesin print yang perlahan-lahan sedang mencetak sebuah surat yang baru saja selesai dibuatnya. Perlahan-lahan mesin itu mengeluarkan kertas dari dalamnya hingga akhirnya mesin itu berhenti karena sudah selesai mencetak, diambilnya kertas itu dan Kirana baca kembali. Itu adalah surat pengunduran dirinya dari perusahaan tempatnya bekerja.

Entah apa yang ada dipikiran Kirana saat itu sampai-sampai ia memutuskan untuk mengundurkan diri, sebenarnya faktor utamanya adalah ia ingin menenangkan diri dulu dari kehilangan Ibunya, yang kedua adalah ia ingin menghindari Bagas. Kirana bukan tidak bekerja sama sekali pada akhirnya, ia tetap akan bekerja namun bukan pada sebuah firma arsitektur lagi. Ia memutuskan untuk menggantikan pekerjaan Ibu nya di toko kue, alasannya sangat sederhana. Hanya dengan bekerja di sanalah Kirana bisa merasa dekat dengan Ibunya.

Bau dapur di toko itu, celemek yang selalu Ibu nya kenakan dan teman-teman Ibunya yang cukup perhatian dengannya. Kirana merasa hangat dan dekat, mungkin dengan cara seperti itu ia mengobati luka di hatinya. Setelah 3 hari menginap di rumah Almira, kondisi Kirana sudah cukup membaik meski setiap malam ia berjuang berusaha untuk terlelap, berusaha untuk tidak terisak dan terjun pada gelapnya kesepian dan kesedihan.

Besok ia akan kembali bekerja untuk yang terakhir kalinya, mengemasi barang-barang di kursinya sekaligus berpamitan pada rekan-rekannya. Malam ini ia sudah janjian dengan Bagas untuk bertemu, pilihannya sudah bulat. Ia akan tetap meninggalkan Bagas, berapa kalipun memikirkan hidup tanpa lelaki itu akan sangat menyakitinya. Namun Kirana berpikir itu jauh lebih baik dari pada Bagas harus kehilangan keluarganya. Tidak ada orang yang mau hidup seperti itu, jika memang harus ada yang dikorbankan biarlah itu dirinya dan hubungannya dengan Bagas.

“Mbak?”

Kirana menoleh, ada Almira di belakangnya. Membawa pie susu dan segelas teh hangat untuk mereka berdua. Selama beberapa hari menjadikan kosan Almira sebagai satu-satunya tempat pelarian mencari ketenangan. Akhirnya Kirana memutuskan banyak hal disana, termasuk keputusan-keputusan terberat yang akan ia ambil. Almira pun benar-benar menjaganya. Meski tidak sepenuhnya, dalam artian Almira memang memberitahu pada Bagas jika Kirana berada di rumahnya agar pria itu sedikit lebih tenang. Beruntulah Bagas mau mengikuti permintaan Almira untuk tidak menemui Kirana dahulu.

Almira duduk di sebelah Kirana, mengusap pundak wanita yang lebih tua darinya itu. “Udah selesai, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah, Mir. Doain yah.”

“Aku pasti doain kamu terus, Mbak. Keputusan berat ini gak mudah kamu ambil.”

Kirana tersenyum, senyum yang tulus seolah-olah ia tengah berterima kasih pada Almira lewat senyuman itu karena telah mau menampungnya, mendengar ceritanya dan menguatkannya. Meyakinkan jika ia bisa bertahan untuk hal-hal kecil di hidupnya. “Kira-kira setelah ini hidupku bakalan baik-baik aja gak yah, Mir.”

Kadang Kirana terlampau sering mengkhawatirkan hidupnya, setelah banyak mengalami kehilangan. Akan ada badai apa lagi di hidupnya? Kadang ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, namun terkadang juga ia merasa bangga karna bisa melalui semua ujiannya.

“Aku gak bisa mastiin hidupmu bakal gimana, Mbak. Tapi apapun yang Mbak lalui nantinya, aku akan selalu sama Mbak. Mbak tuh udah aku anggap kaya Mbakku sendiri.” tidak ada yang dapat menebak hari esok seperti apa, bahkan 5 menit dari sekarang. Almira hanya ingin meyakinkan Kirana jika ia tidak pernah sendiri bahwa akan selalu ada ia yang terus bersamanya. “Mbak?”

“Hhm?”

“Kamu yakin?”

“Soal?” Kirana menoleh ke arah Almira. Menelisik lewat wajah wanita itu tentang apa yang ia ragukan dari keputusannya.

Resign?” Almira mengigit bibirnya, takut-takut ucapannya menyinggung Kirana.

“Aku udah yakin, Mir. Aku mau kerja di toko ibuku kerja dulu. Masih mau ngerasain bau Ibu. Selain itu, kalau aku masih tetap di kantor. Itu artinya aku akan selalu ketemu Bagas. Makin sulit buat aku kalau terus-terusan ketemu dia.”

Almira mengambil tangan Kirana, mengenggamnya erat dan mengusapnya. Bersama Kirana ia merasakan memiliki seorang saudara perempuan yang di idamkannya selama ini, terkadang. Almira ingin protes kenapa wanita sebaik Kirana harus memiliki liku hidup yang pahit tapi disisi lain pun Almira yakin semua cobaan yang datang pada hidup Kirana itu semua karena Kirana sangatlah kuat.

“Aku akan selalu kangen hari-hari kita di kantor, Mbak. Walau udah gak sekantor, Mbak janji ya bakalan sering main kesini. Aku bakalan kangen banget cerita-cerita di kantor.”

Karena suara Almira yang sudah bergetar, Kirana merentangkan tangannya dan membawa Almira kepelukannya. “Kamu udah aku anggap kaya Adikku sendiri, Mir. Aku bakalan sering ke sini.”

Setelah berpamitan pada Almira, Kirana sempat kembali ke rumahnya dahulu untuk menaruh tas miliknya. Kemudian, menemui Bagas di Taman Kota seperti janji mereka, hari itu memang sengaja Kirana tidak ingin Bagas menjemputnya ke rumah atau menyuruhnya datang ke rumahnya. Begitu turun dari bus yang ditumpanginya, Kirana berjalan sedikit dari halte bus itu untuk sampai di Taman Kota. Tak susah rupanya untuk menemukan Bagas, pria itu tengah duduk sembari menonton pertandingan soft ball yang ada di sana.

Kirana sempat memperhatikan punggung lebar itu, mengusapnya dalam udara seolah-olah ia tengah mengusap punggung Bagas. Ia akan selalu merindukan pelukan dari pria itu kelak, dirasa cukup puas untuk memperhatikan punggung itu. Kirana berjalan mendekat, ia duduk di samping Bagas hingga membuat perhatian pria itu teralihkan padanya.

“Hai,” sapa Kirana.

Bagas tersenyum, ia lega bukan main bisa melihat wanita nya lagi. “Kamu naik apa kesini?”

“Bus, kenapa.”

“Gapapa, tanya aja. Harusnya tadi kamu aku jemput aja, kan kita bisa ke sini bareng.”

“Aku lagi mau naik bus, Bagas.”

Bagas mengangguk kecil, ia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping. Memperhatikan wajah dahayu kesayangannya itu. Senyum Kirana sudah kembali meski belum seterang biasanya, pancaran matanya masih redup tapi wanita itu sebisa mungkin untuk terlihat baik-baik saja di depannya.

“Aku kangen kamu, Na.” Selama beberapa hari tidak mendapat kabar dari Kirana bahkan tidak bertemu dengan wanitanya itu. Bagas benar-benar rindu sekaligus khawatir, ia bersyukur bukan main begitu Almira mengabarinya bahwa Kirana berada di rumahnya. Walaupun Almira meminta Bagas untuk tidak menemui Kirana dahulu sampai wanita itu benar-benar tenang, Bagas lakukan itu. Apapun akan Bagas lakukan agar wanitanya membaik.

“Aku juga.” Kirana tersenyum, memejamkan matanya. Membiarkan tangan besar Bagas itu menyingkirkan anak rambutnya dan menyelipkannya ke belakang telinganya.

“Kamu udah jauh lebih baik?”

“Um, sedikit lebih baik.”

“Syukurlah aku lega dengarnya.”

Sempat hening beberapa saat, mereka hanya saling memandang dan tersenyum seperti mengungkapkan kerinduan yang bisa dibayar hanya dengan saling menatap. Menelisik keadaan satu sama lain lewat lemparan tatapan mata itu, sampai akhirnya Kirana menelan saliva nya susah payah. Air matanya mengembang pada pelupuk matanya, bersiap untuk segera di tumpahkan. Lehernya tercekat bahkan disaat kata-kata perpisahan belum terlontar dari bibirnya.

“Ah sebentar, aku punya sesuatu untuk kamu.” Bagas menarik tas miliknya, dan mengeluarkan sebuah kotak disana dan membukannya. Sebuah cincin dengan permata mengkilap yang nampak begitu cantik. Kilapanya yang terkena pantulan sinar dari lampu Taman itu, membuatnya terlihat sangat mewah meski design nya sederhana.

Kirana yang hampir saja menangis itu, sedikit teralihkan. Sempat terlontarkan apakah disaat-saat seperti ini Bagas justru melamarnya?

“Bagas?”

“Jadi istriku, Na. Menikah sama aku. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu. Kita bisa punya rumah buat tempat kita pulang, aku bisa buatin taman kecil di depan rumah kita buat kamu tanami bunga. Kamu suka bunga kan?”

Kirana terdiam, ia bahkan tidak mengambil kotak berisi cincin yang di berikan Bagaa padanya. Hatinya sakit, seperti ada jutaan pisau menghunusnya tanpa ampun. Ada teriakan direlung hatinya yang mengatakan jika ia tidak sanggup untuk berpisah, jika semesta sudah sangat kejam padanya dan bagaimana caranya mengucapkan kata perpisahan yang bukan hanya menyakiti hati pria nya itu.

“Bagas?” Kirana menengadahkan wajahnya, matanya sudah memerah dan sedetik kemudian air mata turun membasahi wajahnya. “Berhenti.”

Tak ada sahutan dari Bagas. Ia hanya menatap wajah Kirana dengan jutaan pertanyaan di kepalanya, Kirana memintanya berhenti untuk apa? “Maksud kamu, Na?”

“Hubungan kita.” Kirana kembali memperjelas ucapannya tempo hari. Saat mengatakan hal itu dadanya kembali sakit.

“Kenapa, Na? Kenapa sama hubungan kita? Kamu kecewa ya sama aku karna aku gak ada waktu Ibu kamu meninggal, iya?”

“Aku capek, Gas..”

“Capek?” Bagas mengerutkan keningnya. Ia sempat berpikir awal mula Kirana meminta pisah darinya karna kekecewaan wanita itu saat ia tidak ada waktu Ibunya meninggal, tapi malam itu Bagas tersadar ketika Kirana mengatakan ia lelah. Bisa jadi Kirana lelah karena keluarganya? Karena sampai hari ini pun, orang tua Bagas belum memberikan restu untuk mereka. Pikirnya.

“Aku mau kita benar-benar berakhir.”

“Kita benar-benar berakhir?” Bagas mengulang ucapan Kirana. “Gak ada harapan lagi, Na? Kamu udah gak sayang sama aku?”

Kirana menangis sesegukan, ia berusaha mengusap wajahnya dari air mata yang terus turun membasahi pipinya. “Karena aku sayang kamu, Gas. Aku sayang kamu. Gimana mungkin enggak?”

Keduanya terdiam, Bagas sibuk memandangi Kirana dengan hati yang hancur, mata yang mulai memanas bersiap untuk menangisi hubunganya yang rumit itu. Sedangkan Kirana sibuk mengusap air matanya, syukurnya tak banyak pasang mata di sana, para pemain soft ball pun tak memperdulikan kehadiran keduanya di sana. Mereka terlalu fokus pada permainan. Kotak berisi cincin yang sudah Bagas buka tadi ia tutup dan ia taruh begitu saja di antara mereka.

“Tapi aku juga sayang diriku sendiri, Gas. Makanya aku gak bisa melanjutkan hubungan ini.”

“Aku siap ninggalin keluargaku, Na.” Air mata yang sedari tadi Bagas tahan itu akhirnya terjun juga. Ia menangis, hatinya pedih seperti ada silet yang menyayatnya. “Aku siap ninggalin orang tuaku.”

Kedua bahu Kirana merosot, kepalanya menggeleng dan ia tatap pria yang sangat ia cintai itu lekat-lekat seolah-olah esok hari ia takan melihat Bagas lagi. “Gak ada yang mau hidup seperti itu, Bagas. Aku juga sakit kalau kamu sakit. Kalo kita tetap maksain bersama, aku cuma gak mau hidup dalam kebencian orang lain. Aku gak mau merebut kamu dari keluargamu, Gas.”

“Aku gak mau putus dari kamu, Na.” Bagas sebisa mungkin membujuk Kirana, ia bahkan sudah tidak perduli menangis menyesakan di depan wanita itu. Ia raih tangannya dan ia genggam tangan kurus itu erat-erat, berharap hati Kirana luluh dan ia mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hubungan yang sudah mereka bangun selama hampir 7 tahun itu. “Aku gak bisa kehilangan kamu, Na. Aku harus gimana..”

“Bagas, kamu pasti bisa..” Suara Kirana bergetar, ia masih menangis namun ia berusaha menenangkan Bagas. Ia usap pucuk kepala pria itu dengan senyuman paling menyakitkan yang ia berikan. “Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan kamu, Bagas.”

Bagas tak menjawab lagi, ia buru-buru menarik Kirana dalam dekapannya dan menangis sepuas hatinya dalam bahu kecil wanita itu. Menghirup aroma tubuh Kirana yang selama ini selalu berhasil membuatnya tenang. Bagas sama sekali tak menampik jika sikap keluarganya memanglah sudah keterlaluan dengan Kirana hingga membuat wanita itu sakit hati dan berakhir melepaskannya.

“Aku akan selalu kangen bau kamu, Na.”

Kirana mengigit bibir terdalamnya, berusaha meredam isaknya sendiri dengan menenggelamkan wajahnya pada bahu pria yang sangat ia sayangi itu. “Setelah ini kamu harus pulang ya, Gas. Minta maaf sama orang tua kamu karena udah melawan mereka.”

Bagas menggeleng, ia semakin memeluk Kirana dengan erat. Setelah memutuskan untuk berpisah pada Bagas. Kirana pulang, dalam bus pun ia masih menangis. Apalagi ia pulang lebih dulu dari pada Bagas, awalnya Bagas memaksa untuk mengantarnya pulang namun Kirana menolaknya. Ia masih ingin sendiri, meski belum sepenuhnya terima Bagas mencoba untuk mengerti kenapa pada akhirnya Kirana menyerah pada hubungan mereka.

Hubungannya memang tidak mudah, meski Bagas mencoba berkali-kali untuk tetap mempertahankannya. Semua sia-sia karena Kirana sudah terlanjur sakit hati. Malam itu Kirana pulang ke rumah sewanya, tidur di kamar Ibunya sembari mendekap daster milik Ibunya itu. Masih ada aroma tubuh Ibu di sana karena daster itu belum ia cuci.

“Buk, hari ini adalah hari yang berat buat Kirana.” Matanya terasa membengkak kembali karena untuk kesekian kalinya, air mata itu kembali terjun dengan bebas ke wajahnya. “Kirana udah gak punya Bagas, Buk. Kirana sendirian..”

🍃🍃🍃

Pada suatu pagi yang bahkan matahari belum muncul di permukaan, Raga terjaga dalam tidurnya. Nafasnya tak beraturan setelah sekelebatan mimpi tentang Jayden itu kembali dalam kilasan yang sangat amat jelas dalam kepalanya, ah tidak, lebih tepatnya itu seperti sebuah ingatan yang sudah lama ia lupakan dan kini ingatan itu telah kembali. Begitu bangun ia terengah, keringat bercucuran bukan main derasnya membasahi kening hingga turun ke lehernya. Tampak sedikit asing ruangan yang menjadi tempatnya istirahat itu, ada sebuah kesadaran yang terbelenggu lama kini muncul kembali bahwasanya ia adalah pria Belanda itu sendiri, ia adalah Jayden yang terlahir kembali menjadi seorang pribumi.

Ia melihat ke arah jam dinding yang tergantung tak jauh dari ranjangnya berada, sudah pukul 5 pagi. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya dengan gerakan tergesah untuk segera menuju kamar mandi. Di basuhnya wajahnya dan ia cermati cermin di depannya itu lekat-lekat, seolah-olah ia tak mengenali dirinya sendiri. Hidung mancungnya, kulit putih pucatnya dan rambut hitam legam itu. Raga sentuh kepalanya dengan wajah yang bingung, namun sedetik kemudian ia menghela nafas pelan.

“Apa Ayu juga mengingat ini semua? Atau hanya aku?” desahnya dalam keputusasaan.

Pagi itu Raga mandi dan segera berangkat ke kantornya, kini ingatan tentang jiwa masa lalunya itu sudah terkumpul. Dan ia akan tetap hidup sebagai Raga, melajukan mobilnya ia membelah jalanan pagi itu yang belum ramai. Dan dengan langkah besar-besar ia segera berjalan menuju ke ruanganya, belum ada karyawan lain. Hanya ada cleaning service saja yang menyapanya pagi itu dan menawarinya untuk di buatkan kopi.

Hari ini harusnya Kirana datang ke kantor, ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Seperti hal nya mimpi itu juga terjadi pada Kirana, kemudian ingatan tentang masa lalu itu yang baru saja Raga sadari. Apa kali ini Kirana juga sudah mengingatnya jika ia adalah Ayu yang terlahir kembali? Raga tidak melakukan apa-apa di ruanganya selain mencari tahu tentang reinkarnasi, separuh dalam dirinya itu berdecap kagum akan kecanggihan teknologi masa kini. Dan ada yang sangat Raga syukuri saat ini, karena ia terlahir sebagai seorang pribumi.

Satu persatu meja terisi oleh karyawan yang berdatangan, namun yang ditunggu belum juga datang, beberapa kali Raga mengintip dari tirai di ruanganya namun meja Kirana belum juga terisi oleh sang empunya. Sampai akhirnya ia di beritahu oleh Satya jika jam 9 nanti mereka harus meeting dengan klien di luar kantor. Mau tak mau Raga harus menuruti perintah itu, 2 jam meeting pikiran Raga hanya berputar pada Kirana. Seperti, apakah wanita itu juga mengingat dirinya sebagai Ayu, apakah mereka terlahir kembali untuk memenuhi janji-janji itu, dan kenapa bukan hanya dirinya dan Kirana saja yang terlahir kembali. Melainkan ada Adi yang kini terlahir sebagai Bagas, Dimas yang kini terlahir sebagai Raka.

Raga menoleh ke arah pria yang tengah berbicara di sebelahnya itu oleh klien mereka, di tahun 1898. Satya adalah kawannya, seorang Indo Belanda yang bernama Jacob. Pria itu terlahir kembali dan tetap menjadi sahabatnya. Apa Satya juga mengingat dirinya di masa lalu? Saking terbuainya dalam lamunan, Raga sampai tidak sadar jika Satya memperhatikannya.

“Pak,” Satya sedikit menggoyangkan tubuhnya, membuat Raga tersadar dari lamunannya itu.

“Kenapa?”

“Jangan ngalamun. Itu Pak Wicaksono tanya soal kolam nya.”

Nyawa Raga rasanya seperti dipaksa berkumpul, ia buru-buru mencari design miliknya dan ia jelaskan pada kliennya itu. Setelah meeting yang berjalan cukup lama menurut Raga akhirnya ia bisa bernafas lega ketika kembali menginjakan kakinya di kantor, begitu sampai ia sudah dibuat terperangah oleh kehadiran Kirana yang duduk di kursi meja nya. Kebetulan tatapan mata keduanya saling bertemu.

Ada sesuatu yang membuat hati Raga mencelos begitu matanya bertemu dengan mata Kirana, ada sebuah sirat kerinduan dari tatapan matanya. Seperti ia baru bertemu dengan kekasihnya setelah sekian lama berpisah dan menunggu, ada dorongan pada diri nya yang membuatnya ingin memeluk Kirana erat. Namun akal sehatnya masih berjalan untuk menahan keinginan itu semua. Terlebih ia bukan siapa-siapa Kirana dikehidupan kini dan lagi pula ini di kantor.

Kirana berdiri dan mengangguk kecil pada Raga yang entah sejak kapan kakinya sudah berhenti di depan meja Kirana itu, dengan tatapan yang Kirana sendiri sulit artikan. Bahkan bukan hanya Kirana yang memandang Raga bingung, namun Almira dan Satya pun sama.

“Sia..siang, Pak.” Kirana menyapa demi menyadarkan Raga dalam tatapan dalamnya itu. Ia berhasil di buat salah tingkah dan bingung dengan tatapannya.

“Hm.. Ka..mu baru mulai masuk lagi, Na?”

Kirana mengangguk kecil, “hari ini hari terakhir saya bekerja disini, Pak.”

Raga mengerutkan keningnya bingung, “terakhir?”

“Saya sudah mengajukan resign, Pak.”

“Kenapa mendadak sekali, Na?”

Kirana tersenyum getir, satu ruangan di sana menoleh ke arahnya. Termasuk Satya yang sama kagetnya dengan Raga, Bagas dan Almira yang sudah mengetahui alasannya pun masih di buat menoleh. Raga yang menyadari banyak mata tertuju pada Kirana itu akhirnya memutuskan untuk mengajak Kirana bicara di ruangannya.

Di dalam ruangan itu, keduanya sempat saling diam. Kirana yang menyerahkan surat pengunduran dirinya pada Raga dan Raga yang masih terus menerus memperhatikan wajah Kirana. Pagi itu bukan hanya Kirana saja yang merasa Raga bersikap aneh, tapi Satya pun yang memperhatikan mereka berdua dari kursinya juga berpikir demikian.

“Kirana?” Panggil Raga.

“Ya, Pak?”

“Kenapa mendadak sekali?”

Kirana menelan salivanya susah payah, hatinya berkecamuk. Berat sebenarnya ia mengambil keputusan ini. Terlebih kantor yang menjadi tempat ia mencari nafkah selama ini cukup membuatnya nyaman, meski beban kerjanya terbilang cukup tinggi namun lingkungan pertemanan di dalamnya cukup hangat. Bahkan di sana pula Kirana dapat mencicil sedikit demi sedikit hutang Bapak walau belum sepenuhnya selesai.

“Saya ngerasa belum cukup stabil untuk bekerja, Pak. Saya mau memulihkan mental saya dulu. Maaf kalau terdengar kekanakan.”

“Oh, enggak sama sekali, Na.” Raga menggeleng, ia tidak pernah meremehkan keputusan karyawannya. “Saya mengerti kok.”

“Terima kasih, Pak.”

Sebenarnya ada yang ingin Raga tanyakan pada Kirana mengenai dirinya, namun Raga tahan itu semua. Dia cuma merasa waktunya belum tepat saja untuk membicarakan hal ini. Lagi pula, ia bisa bertanya hal itu pada Kirana kapan saja. Toh mereka masih akan tetap terikat sebagai pemilik rumah dan penyewa.

Bersambung...