KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

“Widih gaya nya, tumben ngaca melulu kamu, Ga. Udah kaya cupang.” Ethan terkekeh pelan, dia duduk di kursinya dan memperhatikan Raga yang sedang menata rambutnya itu.

Akhir-akhir ini menurut Ethan, Raga tidak seperti biasanya. Bukan ke hal-hal yang buruk memang, tapi Raga banyak melakukan kebiasaan kecil yang menurut Ethan bukan Raga sekali seperti saat ini pria itu membawa baju ganti yang rapih, berdandan seperti pria berusia dua puluhan dan menata rambutnya itu dengan rapih. ya walau biasanya juga rapih walau hanya di sisir saja. Terlebih, Raga sering sekali ketahuan senyum-senyum sendiri olehnya. Persis seperti seorang remaja yang sedang kasmaran.

Ethan senang melihatnya, karena Adik iparnya yang terkenal kaku dan jarang bicara itu jadi terlihat lebih hidup. Dalam hati Ethan menebak jika Raga memang sedang jatuh cinta, tebakannya mungkin pada Maurin sekertaris temannya yang ia kenalkan pada Raga satu bulan lalu atau bisa saja dengan Jessica Adik dari koleganya itu. Ah, terserah Raga saja yang penting menurut Ethan kedua wanita itu baik dan sangat cocok untuk Adik iparnya itu.

“Masa cupang sih, Mas. Yang bener aja,” Raga menghela nafasnya, kembali memastikan jika dirinya benar-benar rapih. Dia ganteng gini kok disamakan dengan cupang, pikir Raga.

“Bercanda, mau kemana si kamu? Jalan sama Maurin atau ama Jessica nih?” Ethan menaik turunkan alisnya menggoda Raga.

Raga terkekeh, ia merapihkan tab miliknya dan memasukannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang karena ini memang sudah jam pulang kantor, ya walau bisa di bilang Raga pulang sedikit telat karena harus menyelesaikan pekerjaanya dulu. Walau bisa dibilang di kantornya sekarang ini ia sering over working tapi Raga cukup menikmatinya. Karena Ethan banyak membantu Raga, rekan-rekan kerjanya juga baik dan sangat supportif padanya. Ya, meski terkadang ia suka merindukan suasana kantor yang santai seperti di firma tempatnya dulu bekerja.

Terutama pada Satya dan juga Almira, ngomong-ngomong soal Satya. Pria itu menduduki posisi Raga di sana. Raga senang karena menurutnya hal itu pantas didapatkan oleh Satya. Pria itu juga sudah menikah, sedangkan Almira. Meski sempat tidak semangat bekerja karena Kirana yang mengundurkan diri. Tapi akhirnya Wanita itu kembali menemukan semangat bekerjanya berkat anak magang yang baru di sana, kebetulan mereka sama-sama seorang penggemar Kpop. Awal-awal Kirana keluar, Kirana lebih sering terlihat bersama dengan Raka.

Raka memang dekat dengan Almira seperti Satya, pria itu juga yang banyak mengajari Almira jika ada hal-hal yang tidak wanita itu mengerti. Raga lega mengetahuinya, setidaknya teman-temannya di sana masih bertahan meskipun ia sudah tidak bekerja di sana, beberapa kali Raka dan Satya juga sering mengajak Raga untuk bertemu entah untuk ngopi atau bermain futsal.

“Bukan sama keduanya, Mas.” Raga tersenyum, ia memakai tasnya bersiap untuk segera keluar dari ruang bekerjanya.

“Loh? Sama siapa?” Ethan penasaran setengah mati.

Alih-alih menjawab, Raga justru menepuk pelan pundah Ethan. Ia belum ingin bercerita tentang Kirana pada siapapun, ya palingan hanya Adel saja yang tahu kalau ia dan Kirana sempat berbicara berdua sewaktu di toko kue itu. Selebihnya Raga belum bercerita apapun lagi.

“Raga jalan ya, Mas.” Raga keluar dari ruanganya, menyisakan Ethan dengan banyak pertanyaan dikepalanya dan juga rasa penasaran dengan siapa Raga hendak bertemu.

Hari ini Raga memang berniat ingin mampir ke toko tempat Kirana bekerja, ia ingin membeli beberapa kue disana sekaligus mengajak Kirana mencari makan malam. Tentunya Raga sudah tahu hari ini giliran Kirana mendapatkan shift siang, makanya Raga sekalian saja mengambil waktu lemburnya agar saat ia ke toko tempat Kirana bekerja ia tidak menunggunya terlalu lama.

Mobilnya berhenti di toko kue tradisional itu, Raga memarkirkannya disana. Dari luar memang toko nya agak sedikit ramai. Terlihat dari parkiran kendaraanya yang lumayan dipadati motor dan juga mobil, ada beberapa layanan pesan antar juga yang sedang mengantre menunggu didepan toko sampai pesanannya dipanggil oleh staff yang berjaga. Beruntungnya, Raga masih kedapatan tempat duduk. Jadi ia langsung mengambil tempat disana dan memesan minuman, Kirana sudah tahu jika Raga datang. Wanita itu sempat tersenyum waktu melihatnya, ia masih berdiri didepan meja kasir dengan senyum manisnya.

Raga sempat memesan kopi aceh gayo, klepon, putu ayu dan juga dadar gulung yang masing-masing satu buah. Raga tidak ingin terlalu kenyang karna masih ingin mengajak Kirana makan gulai setelah wanita itu selesai bekerja.

“Di lanjut aja kerjanya, saya tunggu dikursi sana ya?” ucapnya sewaktu ia membayar semua pesanannya dikasir.

“Mas gak kelamaan nunggu saya?”

Raga menggeleng, “enggak kok, masih ada yang harus saya kerjain. Kamu lanjut aja.”

Perihal ini memang alasan Raga saja, kerjaanya sudah selesai ia kerjakan di kantor. Ia hanya membuka tab miliknya dan melihat-lihat sosial media dan terkadang ia juga melihat kontrak proyek yang baru, dari mejanya sembari memakan kue yang ia pesan terkadang Raga juga curi-curi pandang dengan Kirana, kemudian tersenyum dan menikmati jutaan kupu-kupu gila yang berterbangan diperutnya. Raga sangat menikmati sensasi ini, bahkan hanya dengan memikirkan Kirana saja ia sudah bisa menguntai seulas senyum diwajahnya.

Raga sudah tidak menyangkal perasaanya lagi seperti kemarin-kemarin jika ia memang jatuh cinta dengan Kirana, ia melepaskan perasaanya itu dan menikmati setiap prosesnya. Jika ditanya ia mulai mendekati Kirana mungkin Raga akan menjawab, ya, toh saat ini Kirana sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa kan. Ia ingin memberikan dirinya sendiri kesempatan untuk setidaknya lebih memahami wanita itu.

Sesekali saat dilihat gerak Kirana mengarah padanya, Raga buru-buru mengalihkan fokusnya kembali ke tab miliknya. Ia masih malu jika kepergok Kirana tengah memperhatikannya, saat ia memeriksa kembali arlojinya saat ini sudah pukul sembilan malam dan sepertinya staff di sana tengah bersiap-siap untuk menutup toko, maka Raga dengan tahu diri berkemas dan memilih menunggu Kirana di dalam mobil di parkiran.

Sekitar pukul sepuluh lewat dua puluh menit barulah Kirana keluar dan menghampiri Raga didalam mobilnya, wajah wanita itu agak sedikit kelihatan lelah. Wajar saja bekerja di toko dan melayani banyak pengunjung yang datang pasti membuat energi Kirana terkuras lumayan banyak.

“Hai,” sapa Raga sewaktu Kirana masuk.

Kirana senyum, ada semburat kemerahan yang terlihat dikedua pipinya. Entah itu karena riasan yang wanita itu pakai atau karena ia malu, entah lah tapi Raga sangat menyukai kemerahan diwajah cantik itu.

“Mas, lama banget yah nunggu saya?” Kirana merasa tidak enak pada Raga, padahal sejak tadi siang ia sudah mewanti-wanti Raga untuk datang jam sepuluh saja jika memang ingin mengajaknya makan malam.

“Lumayan, tapi ya gak kerasa juga kok, Na. Tadi saya sambil ngerjain kerjaan beneran kok.”

Kirana mengangguk, “bener, Mas?”

“Iya serius.” Raga jadi agak sedikit salah tingkah, dalam hati ia meruntuki dirinya agar tidak melakukan hal-hal konyol yang membuatnya malu didepan Kirana. “Ah, iya. Kamu suka gulai gak?”

“Suka kok.”

“Mau makan gulai ditempat langganan saya?”

“Boleh.”

Kirana memang bukan orang yang milih-milih makanan, tidak ada makanan kesukaan juga karena ia bisa memakan apa saja yang menurutnya enak. Diperjalanan mereka banyak bertukar cerita tentang hari ini, seperti Raga yang bertanya pada Kirana apakah bekerja menjadi pelayan toko jauh lebih menyenangkan dari pada bekerja di kantor dulu, atau Kirana yang bertanya pada Raga bagaimana suasana kantor tempat kerja Raga yang baru.

“Kalau capek ya jelas lebih capek di toko yah, Pak. Tapi seru aja gitu saya bisa nyobain kue dan jadi dapat ilmu bagaimana cara buatnya.”

“Oh ya? Jadi kamu udah bisa bikin kue apa aja nih selama kerja disana?” Raga agak sedikit menoleh, tertarik sekali dengan pembahasan tentang kue tradisional ini. Raga memang baru menyukai kue tradisional sejak tahun kemarin, sebelumnya ia hanya menyukai kue cubit, roti, croissant atau kue-kue luar lainnya. Itu karena dulu saat Mbak Adel masih berkuliah diluar negeri, Raga senang sekali mengunjunginya dan berakhir Raga jatuh cinta pada makanan-makanan western.

“Banyak sih, Mas. Dadar gulung, sosis solo, lemper, onde-onde sampe kue cucur saya bisa. Oh iya, saya juga udah bisa ngedekor birthday cake.”

“Oh ya?!” Raga tersenyum, ia sempat menoleh ke arah Kirana. Wanita itu kelihatan sangat bersemangat saat menceritakannya. “Kapan-kapan mau gak ajarin saya?”

“Bikin apa, Mas?”

“Apa aja yang kamu bisa.”

Kirana tersenyum, “boleh.”

“Di dapur rumah kamu kan ada alat-alat untuk baking punya Mbak Adel, dipakai aja, Na. Gapapa.”

Rumah yang Kirana tempati memang sudah ada barang-barang milik Adel, barang yang Kirana bawa dari rumahnya hanya sedikit seperti lemari, foto keluarga dan baju saja. Kebanyakan memang barang milik Adel dan selama itu pula barang-barang didapur hanya Kirana pakai seperlunya saja. Meski ia menyewa, ia merasa tidak boleh lancang memakai barang-barang Adel yang lain seperti oven, mixer dan alat-alat membuat kue lainnya. Meskipun ia sangat ingin sekali memakainya.

“Mas serius? Tapi kan itu punya Mbak Adel, saya enggak enak makainya.”

“Gapapa, Na. Mbak Adel bilang ke saya malah kalo gak dipakai sayang, jadi jangan sungkan buat pakai ya.”

Kirana tersenyum dan mengangguk, ia senang sekali mendengar hal ini dan rasanya ingin secepatnya untuk segera menunggunakan alat-alat membuat kue itu. Mungkin jika ia sudah dapat giliran libur, ia akan memakai hari liburnya untuk membuat kue dan membaginya ke Mbak Adel dan Mas Ethan sebagai ucapan terima kasih. Atau mungkin kalau orang tua Raga dekat, ia akan sering-sering membuatkan kue untuk orang tua Raga itu.

Keduanya turun dari mobil setelah Raga menemukan tempat parkir, agak sedikit jauh dari warung gulai kambing. Mereka berjalan sedikit, masih sembari mengobrol dan sama sekali tidak ada kecanggungan, semua mengalir seperti sesuai rencana Raga. Ia lega dirinya tidak melakukan hal-hal bodoh.

“Kabar Mama dan Papa Mas Raga gimana? Saya sudah lama gak ketemu sama mereka.” Kirana duduk setelah keduanya mendapatkan kursi, ia juga sempat menyingkir piring bekas makan pengunjung lain yang belum sempat dibersihkan.

“Baik, Na. Mereka tanyain kamu terus loh. Bulan depan mereka mau ke Jakarta, nanti ketemu ya?”

Diam-diam Kirana mengulas senyumnya, dada nya terasa hangat mendengar ucapan Raga barusan. Ia benar-benar disambut baik oleh keluarga Raga, berada ditengah-tengah keluarga Raga membuat Kirana seperti menemukan arti sebuah keluarga kembali.

“Kok merah matanya kenapa, Na?” Raga memperhatikan Kirana yang sempat terdiam dengan mata merah yang sedikit berkaca-kaca. Raga sempat berpikir apakah ia salah bicara dan jika iya, ia sangat menyesali ucapannya.

“Ah..” Kirana terkekeh, ia mengusap matanya dengan telunjuk tangannya. “Maaf yah, Mas. Saya cuma terharu aja sedikit.”

“Terharu?”

Kirana mengangguk, “saya senang aja, Mas. Bisa diperlakukan baik sama keluarga Mas Raga. Sama Om dan Tante, Mbak Adel dan Mas Ethan. Selama ini saya ngerasa kehilangan arti sebuah keluarga dihidup saya.”

Pandangan Kirana mengawang, dalam hati ia membandingkan keluarganya dan keluarga Raga juga keluarga Bagas yang sangat membencinya. Menurutnya keluarga Bagas dan keluarga dari mendiang Bapaknya Kirana tidak berbeda jauh, mereka sama-sama membenci Kirana bahkan disaat ia sudah menunjukan sisi terbaik dirinya. Ia tidak diterima, dicaci, bahkan diabaikan saat kumpul keluarga. Ditempatkan ditempat paling belakang rumah mereka, dapur. Tempat yang terlalu sering Kirana ambangi ketika sedang kumpul keluarga.

Ia bahkan lebih sering berinteraksi dengan asisten rumah tangga disana ketimbang oleh Budhe, Pakdhe, Om dan Tantenya. Ah, bahkan sepupunya sendiri. Selama ini Kirana tahan karena memandang Ibu dan Bapak tapi setelah Bapak meninggal semuanya Kirana tinggalkan, ia tidak perduli lagi jika mereka tidak menganggap Kirana sebagai keponakan sekalipun.

“Keluarga saya itu suka sekali sama kamu, Del. Terutama Ibu. Jadi jangan sungkan untuk bertemu mereka ya, mereka bakalan senang sekali kalau dikunjungi kamu.” Raga jadi tidak tega sendiri, ia ingin tahu banyak tentang Kirana. Namun ia akan tetap menunggu hingga wanita itu siap bercerita.

Raga sempat berdiri dan meninggalkan Kirana sebentar untuk memesan gulai kemudian duduk kembali menunggu hingga pesanan mereka diantar. “Kabar Budhe kamu gimana?”

“Budhe baik, Mas. Dia juga masih suka tanya kabar saya disini dan nyuruh saya beberapa kali pulang ke Semarang.”

“Oh ya?”

Kirana mengangguk, “Budhe satu-satunya keluarga yang saya punya sekarang. Sisa nya gak ada yang mengakui saya keluarga mereka.”

“Kenapa, Na?” Raga sudah tidak tahan, ia ingin lebih memahami lagi diri Kirana.

“Dulu, waktu Bapak saya masih ada dan perusahaanya masih berjalan, Mas, Keluarga dari mendiang Bapak itu sangat baik ke keluarga saya. Ke Ibu dan Bapak, Bapak banyak bantu adik dan kakak nya untuk bekerja di perusahaan Bapak. Sampai akhirnya, perusahaan yang Bapak bangun itu hancur karena Adik korupsi. Banyak sekali investor yang kecewa dan mencabut investasi di kantor Bapak, sampai puncak waktu perusahaan Bapak bangkrut. Sikap keluarga Bapak saya berubah semua sulit di hubungi saat Bapak butuh, mereka bilang tidak ingin terseret-seret dalam hutang Bapak”

Cerita Kirana sempat terhenti sejenak karena pemilik warung di pinggir jalan itu membawa pesanan mereka, dua mangkuk gulai kambing, nasi yang ditaburi bawang goreng dan juga dua gelas es teh manis. Setelah mengucapkan terima kasih pemilik warung itu menyingkir. Raga sempat mengambil sendok dan garpu dan membersihkannya dengan tisu, kemudian memberikan alat makan itu untuk Kirana sembari menunggu kelanjutan cerita wanita itu.

“Sambil makan aja ya, gapapa kan?” tanya Raga memastikan. Ia yakin Kirana masih ingin bercerita. Ia juga masih ingin tahu kelanjutannya.

Kirana mengangguk kecil, “Bapak depresi karena hutang dan sikap keluarganya. Sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, waktu Bapak meninggal keluarganya bahkan gak ada yang melayat semua saya hadapi berdua dengan Ibu sampai soal hutang-hutang Bapak. Saat Bapak jatuh saya ngerasa kehilangan arti keluarga itu sendiri, Mas. Keluarga yang selama ini Bapak saya bela dan bantu ternyata gak sebaik yang saya pikir. Makanya saya terharu sekali bisa di perlakukan dengan baik sama keluarga Mas.”

Raga benar-benar baru tahu hal ini, hatinya ikut sakit membayangkan betapa jahatnya keluarga dari pihak Bapaknya Kirana. Nafsu makan Raga rasanya menipis, ia masih memperhatikan bagaimana bibir kecil itu melengkuk mengulas sebuah senyum diakhir ceritanya. Bahkan saat Kirana menyuap nasi dan gulai itu pun, Raga masih diam. Mendengar hal ini membuat keinginan Raga untuk melindungi dan menemani Kirana kian memuncak, ia juga ingin terus mamastikan jika wanita itu bahagia.

Bersambung...

Bagas sama sekali tidak menyangka jika hanya dengan mandi ia bisa merasa sehidup ini, tubuh jangkungnya itu ia biarkan basah dibawah kucuran shower yang mengalir deras. Air nya sudah ia ubah menjadi lebih hangat karena cuaca akhir-akhir ini sering sekali hujan, Bagas memejamkan matanya, menyibak rambut nya yang sudah sedikit panjang itu hingga menusuk matanya. Suara lembut yang ia rindukan itu masih terdengar dikedua telinganya, ada cubitan halus dan sinar yang membawanya untuk sadar kembali bangkit dan berakhir dikamar mandi ini.

Suara Kirana yang mengatakan ia harus sembuh, orang lain mungkin tidak akan berpikir terlalu jauh tentang suara dan untaian kalimat sederhana wanita itu yang bisa mengubah Bagas setidaknya untuk perduli pada dirinya sendiri. Ia lega Kirana baik-baik saja, dan demi wanita itu ia akan terlihat setidaknya sedikit lebih baik dari pada kelihatan segan hidup seperti kemarin. Ia hanya menuruti keinginan Kirana saja sebenarnya, setelah selesai mandi Bagas membuka lemarinya, mencari pakaian terbaiknya untuk ia kenakan. Ia memilih kaus polo berwarna biru dan bawahan dengan celana pendek sedengkul.

Dari luar terdengar sebuah ketukan, ia sempat berpikir mungkin itu Bibi yang bekerja di rumahnya namun tak lama kemudian suara Kanes yang nyaring itu terdengar hingga mengejutkan Bagas. Entah apa yang ingin Kanes lakukan pagi ini dengannya.

“Mas Bagas?! Buka dong pintunya,” ucap Kanes dari depan kamar Bagas. Sang empunya kamar langsung membukakan pintunya untuk Kanes dan disambut cengiran jahil dari adiknya itu. “Widih... Udah wangi, udah ganteng gini mau kemana, Pak?”

Kanes langsung nyelonong masuk ke kamar kakaknya itu, menelisik penampilan Bagas dari atas sampai bawah. Dalam hati Kanes bersyukur karena Bagas sudah mau sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukannya. Ini semua tentunya berkat rekaman suara dari Kirana yang membuat Bagas lebih baik, Bagas sempat menangis ia benar-benar merindukan Kirana, kembali merasa bersalah pada wanita itu dan menahan semua perasaanya. Namun mendengar permintaan Kirana agar ia sembuh dan lebih perduli pada dirinya sendiri langsung saja Bagas kabulkan. Hanya dengan mendengar suara Kirana saja, Bagas merasa jika wanita itu masih sangat perduli padanya.

“Mau keluar sebentar, mau potong rambut, ikut yuk?” Bagas merangkul bahu adiknya itu dan menaik turunkan alisnya. Kanes yang melihat kakaknya sudah kembali seperti dulu terkekeh dan menyikut perut Bagas. Sontak, pria itu meringis karena sikutan adiknya itu. “Aduh!! Sakit tau. Galak bener jadi adek.”

“Ya, abisnya Mas Bagas genit banget.” Kanes terkekeh. “Tapi aku gak bisa, Mas. Aku udah ada janji sama temenku, tadinya aku ke kamar Mas aja niatnya mau pinjam charger laptop karna charger laptopku ketinggalan di kosan temen. Mas Bagas sendiri aja gapapa?”

Belum sempat menjawab tidak lama kemudian Ibu datang bersama dengan Asri dan menyela ucapan Bagas yang masih tertahan di tenggorokannya itu, “jangan sendirian, Gas. Sama Asri saja ya. Sekalian kalian jalan-jalan menghirup udara segar di luar mumpung cuacanya lagi bagus.”

Kanes yang masih dalam rangkulan Bagas itu memberi kode pada kakaknya dengan sedikit mencubit perut Bagas, awalnya Bagas diam. Berpikir jika mengajak seseorang untuk ia ajak bicara mungkin lebih baik dari pada sendiri. Tadinya ia ingin mengajak Satya, Raka atau Almira tapi ia buru-buru tersadar jika ini masih hari kerja. Teman-temannya itu pasti masih di kantor.

“Lo gak sibuk, Sri?” tanya Bagas yang membuat kedua mata Kanes melotot kaget seketika.

Asri menggeleng pelan, “enggak kok, Gas. Ini kan masih awal bulan aku biasanya mulai agak sibuk kalau udah akhir bulan. Jadi sekarang gak masalah banget kalau cuma nemenin kamu jalan-jalan.”

Bagas mengangguk, “yaudah kalau gitu tunggu dibawah aja ya, gue mau siap-siap dulu.”

Bukan hanya senyum Asri yang mengembang mendengar ucapan Bagas itu, tetapi Ibu juga. Senyum wanita itu justru lebih lebar dari Asri yang tersenyum malu-malu, Ibu merasa ini adalah awal yang baik untuk Asri dan Bagas. Ibu berpikir jika Bagas mulai membuka pintu hatinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat, kedua wanita itu pun turun ke lantai satu untuk menunggu Bagas siap-siap. Mau kemana mereka dan mau melakukan apa Ibu serahkan saja pada keduanya.

“Ini awal yang baik, Sri. Doa Ibu didengar kalau Bagas mau membuka hati untuk kamu. Ini semua adalah buah dari kesabaran kamu, sayang.” Ibu mengusap wajah Asri penuh kasih sayang, bahagia bukan main rasanya.

“Iya, Buk. Gak sia-sia perjuangan aku selama ini buat bujuk Bagas makan, masakin dia, nemenin dia sampai nyoba ngajak ngobrol dia walau dia sering ketus ke aku.” Asri pikir Bagas mulai luluh karena perlakuannya, ia berharap dengan begini ia bisa masuk melewati celah kecil pintu yang Bagas buka untuknya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

have fun kalian berdua ya, jangan lupa foto berdua dan berikan pada Ibu.”

Di kamar Bagas setelah Asri dan Ibu turun, Kanes langsung buru-buru melepas rangkulan kakaknya itu dan menatap Bagas dengan pandangan menyalang. Tidak menyangka jika Bagas akan setuju saja dengan ucapan Ibu agar Asri menemaninya, ada sedikit tersirat pemikiran jika kakaknya itu telah membuka hati untuk Asri atau setidaknya memberikan kesempatan untuk wanita itu.

Entahlah rasanya Kanes lebih protektif pada Bagas, ia merasa Asri tidak tulus. Atau ini hanya perasaanya saja? Ah, yang jelas Kanes tidak terlalu menyukai wanita itu.

“Mas Bagas yakin mau sama Mbak Asri?” pekik Kanes tidak percaya.

“Iya, Nes. Kenapa emang?”

“Ya gapapa, aneh aja. Selama ini Mas jutek banget ke dia, atau Mas justru udah mulai suka sama dia gara-gara selama Mas sakit dia terus ya yang ngerawat Mas? Atau justru Mas mau ngasih kesempatan buat dia?!” cecar Kanes.

“Ngaco!” Bagas terkekeh, ia kembali ke meja rias kamarnya dan menyisir rambut nya. Tak lupa ia juga menyemprotkan parfum ke tubuhnya itu, “Mas cuma ngerasa butuh teman buat ngobrol aja, Nes. Gak ada ngasih kesempatan apa-apa.”

“Tapi kan bisa sama teman Mas yang lain? Sama siapa gitu? Mas Satya kek atau yang cewek itu siapa namanya?”

“Almira?”

Kanes menjentikkan jarinya, “iya, sama Almira kan bisa.”

“Kamu lupa ini masih weekday? kalau sekarang weekend Mas pasti udah ngajak mereka hangout.

Kanes menghela nafasnya pelan, ia lupa kalau sekarang masih hari kerja. Tapi tetap saja ada sedikit rasa aneh dan tidak terima jika kakaknya itu jalan berduaan dengan Asri, Kanes cuma punya firasat jika wanita itu tidak sebaik kelihatannya. Seperti menyimpan banyak rahasia yang Kanes sendiri tidak tahu itu apa, kecurigaan jika Asri memiliki banyak rahasia itu semakin kuat sewaktu Kanes tidak sengaja melihat Asri berada di sebuah play ground pusat perbelanjaan.

Wanita itu tengah mengawasi seorang anak laki-laki yang umurnya Mungkin 5 tahun, bocah itu tampak sumringah dan beberapa kali menarik tangan Asri untuk bermain bersamanya. Wajahnya pun terasa tidak asing bagi Kanes seperti seseorang yang pernah ia lihat namun ia lupa orang tersebut siapa, guratan senyum dan bentuk matanya mengingatkan Kanes pada Asri jika sedang tersenyum atau menatap seseorang. Seperti sebuah perpaduan antara perempuan dan laki-laki yang ia kenal.

Melihat Kanes yang tiba-tiba diam, membuat Bagas melambaikan tangannya ke wajah adiknya itu. Kanes melamun seperti ada sesuatu yang tengah adiknya itu pikirkan. “Heh! Kok ngelamun?”

Kanes buru-buru menggeleng kepalanya, “gapapa, Mas. Yaudah kalo Mas butuh temen ngobrol.”

“Kamu gak suka ya Mas jalan sama Asri?”

“Engg...gak gitu sih, Mas. Ya mungkin masih aneh aja buat aku.” Kanes meringis.

Jika boleh jujur. Ia lebih menyukai Kirana dari pada Asri. Kirana lebih terlihat tulus, ramah padanya dan seorang pendengar yang baik. Beberapa kali Kanes memang pernah bercerita tentang perkuliahannya yang super hectic itu. Intinya ya, memang Kanes lebih nyaman saja berbicara dengan Kirana. Asri jarang sekali bicara dengan Kanes bahkan pernah sesekali Kanes mendapati Asri tengah meliriknya dengan sinis.

Bagas mengangguk, ia paham apa yang Asri maksud. Ia sendiri pun masih merasa asing. Namun bukankah ia harus segera move on bukan untuk melupakan Kirana sepenuhnya namun untuk hidup seperti biasa lagi. “Yaudah kalau gitu Mas ke bawah yah, tolong tutup pintu kamarnya nanti.”

🍃🍃🍃

Hari itu niatnya Bagas hanya ingin potong rambut saja disebuah barber shop yang ada didalam mall, ia merasa rambutnya sudah cukup panjang dan terlihat seperti tidak terurus ya memang begitu adanya, seperti kemarin-kemarin yang ia rasakan nyawa dan raganya seperti tidak menyatu pada tempatnya. Merasa kosong, hampa dan kehilangan arah. Hari itu, Bagas ingin merangkai hidup baru. Mencoba menerima dan mengikhlaskan segala yang terjadi dihidupnya termasuk tentang kehilangan. Bagas belum berniat menerima cinta baru, menerima orang baru dalam hidupnya dan memulai hubungan baru. Ia ingin fokus pada dirinya sendiri, menyelesaikan segala masalah dalam dirinya sebelum memulai dan membangun lagi hubungan dari awal.

Karena masih agak sedikit kliyengan, hari itu Asri yang membawa mobilnya. Didalam mobil menuju perjalanan ke mall yang akan mereka tuju, Asri banyak berbicara tentang hobinya, tentang butiknya, tentang kegemarannya dalam membuat baju dan tentang kegemarannya memasak. Apapun tentang dirinya ia ceritakan, seolah Bagas harus tahu tentang apapun kesukaanya. Terkadang wanita itu juga bercerita tentang masa-masa mereka sekolah saat Bagas masih tinggal di Solo. Tak banyak yang Bagas ingat, ingatan tentang masa-masa sekolah tidak terlalu berkesan untuknya.

Bagas memang tidak terlalu banyak bicara, tapi ia tetap menimpali ucapan Asri. Dalam hati ia setuju mengenai hobi masak Asri, masakan wanita itu memang enak beberapa hari ini Asri sering membuatkannya bubur, sup, tekwan dan juga capcai. Itu semua adalah makanan yang Bagas sukai. Bagas tidak heran kenapa wanita itu bisa tahu semua makanan kesukaanya, siapa lagi kalau bukan dari Ibu.

Begitu sampai mall, tujuan utama mereka adalah ke barber shop. Asri duduk diruang tunggu sembari sesekali membaca majalah dan melihat ke arah ponselnya. sedangkan Bagas menikmati pijatan dari staff yang baru saja selesai mencukur rambutnya. Begitu selesai, Bagas menghampiri Asri. Wanita itu berdiri dan tersenyum manis ke arah Bagas, kedua netranya berbinar menampakan dua bola mata yang bening.

“Ganteng, gitu dong. Kalau kaya gini tuh kamu beneran kelihatan segeran banget,” ucapnya sembari memberikan dua ibu jari pada Bagas.

“Mau makan siang sekalian gak?” Bagas takut Asri sudah lapar, mengingat ini sudah jam makan siang.

“Boleh, kamu mau makan apa, Gas?” keduanya berjalan keluar dari barber shop itu. Melihat-lihat kesekeliling mana tau ada restoran yang menarik perhatian mereka, mall dihari kerja tidak begitu ramai.

“Lo suka ramen gak, Sri? Gue kepengen makan ramen deh. Kayanya enak makan yang pedas-pedas gitu setelah kemarin-kemarin gue jadi bayi bangkotan.” Bagas terkekeh.

Asri yang mendengar itu melepas tawanya, untuk pertama kalinya ia mendengar Bagas bercanda dan mengeluarkan celotehan asbun nya. “Kok bayi bangkotan sih? Gara-gara makannya gak pake cabe-cabean?”

Bagas mengangguk, “itu tau. Yuk, Mau gak?”

“Boleh.” Asri tersenyum, ia berjalan disamping Bagas sembari tersenyum diam-diam memandang wajah pria disebelahnya itu.

Sirat masa lalu tentang diri Bagas dan dirinya yang begitu tragis seperti mulai terobati hari ini perlahan-lahan. Asri tidak perduli mengapa Bagas tidak mengingat dirinya sebagai Adi dimasa lalu dan mengapa hanya dirinya saja, yang terpenting bagi Asri saat ini adalah ia bisa hidup kembali bertemu dengan cinta pertama dalam kehidupan terdahulunya dan melihat pria itu bahagia, hidup lebih baik dari pada kehidupan sebelumnya.

Meski terkadang terlihat arogan, rasa sayang Asri pada Bagas itu tulus. Rasa sayang yang didasari kehidupan masa lalunya itu ingin ia curahkan pada Bagas dikehidupan saat ini. Ia ingin balas dendam dengan hidup bahagia bagaimana pun caranya, keduanya duduk dan memesan ramen. Meski bisa Asri akui jika ialah yang paling banyak mencari topik pembicaraan tapi respon Bagas cukup baik, pria itu tidak ketus lagi dengannya.

“Setelah ini kamu mau ngapain, Gas?” tanya Asri setelah mereka selesai memesan makanan.

“Hhmm.. Ngapain yah? Ke toko buku mungkin?” Bagas mengangkat sebelah alisnya. Ia ingin membaca buku lagi untuk mengalihkan pikirannya dari Kirana menjadi ke cerita-cerita dari buku yang ia baca.

“Boleh, kamu suka buku apa sih?”

“Hhmm.. Banyak sih, Sri. Kalo genre sih lebih suka romance yah, tapi selama blurb nya kelihatan bagus gue pasti baca kok.”

“Oh ya?” Asri tidak terlalu suka membaca, bahkan tidak ada satu buku pun yang ia selesaikan. Kalau pun membaca, ia lebih gemar membaca majalah fashion ia tidak memiliki ketertarikan dalam dunia sastra “Kalau penulis kamu lebih suka penulis lokal atau luar?”

“Sejauh ini gue lebih sering baca penulis luar sih, lo sendiri suka baca?”

Asri menggeleng pelan, ia hanya ingin jujur. Tidak ingin dibuat-buat menyukai sesuatu toh ia tidak tahu tentang buku karena tidak ada satupun buku fiksi dan non fiksi yang pernah ia baca sepanjang hidupnya. Menurut Asri membaca adalah kegiatan yang sedikit membosankan, Asri lebih tertarik dengan majalah yang lebih memiliki visual.

“Enggak, Gas. Jujur aja aku enggak terlalu suka baca, gak ada buku yang pernah aku selesain baca sih. Mungkin kamu mau rekomendasiin satu bacaan yang menurut kamu bagus? Ya mana tau bakalan cocok buat aku kan?”

Bagas tersenyum, ia melipat tanganya didepan dada sembari memikirkan buku-buku yang pernah ia baca dan yang paling memungkinkan untuk Asri baca. Sampai ia akhirnya terpikirkan sebuah buku yang menurutnya menarik dan bisa dibilang tidak tebal cocok sekali untuk pemula seperti Asri yang ingin terjun ke dunia literasi dan sastra, Buku yang sangat mengubah cara pandang Bagas terhadap seorang wanita.

“Ada, mungkin lo bakalan suka sama buku ini. Dan lagi buku ini cuma sekitar 100 sampai 150 halaman. Tergantung edisi ya, judulnya A Room Of One's Own By Virginia Wolf.

“Oh, tentang apa tuh, Gas?” Asri jadi sedikit tertarik, ya karena buku itu direkomemdasikan oleh Bagas. Ia ingin mencoba membaca demi bisa memahami Bagas. Ya semoga saja cocok, pikirnya.

“Intinya ya dari yang gue baca, ruang pribadi untuk seorang wanita tuh dibutuhkan supaya mereka bisa berkarya, mewujudkan mimpi. ibarat kalian harus fokus ngerjain sesuatu di ruangan sendiri yang diisi oleh energi kalian. sayangnya gak semua wanita bisa punya kamar itu, si penulis ini berargumen wanita juga bisa berkarya, bukan cuma laki-laki, harusnya semua karya diperlakukan fairly not based on gender. isinya tentang persektif wanita, bagus kok. Kalo lo tertarik lo bisa baca gue ada bukunya di rumah.”

“Oh ya?! Nanti aku pinjam ya, ngomong-ngomong ada bagian yang kamu suka banget berarti dong?” Asri bisa melihat jika Bagas sudah mulai nyaman berbicara panjang dengannya. Ia pun sedikit tertarik sengan buku tersebut.

“Ada lah, bagian A woman must have money and a room of her own if she is to write fiction.

“Tapi kalo kamu sendiri setuju tuh sama bagian itu?”

Bagas sedikit menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kekiri seperti menimang-nimang peryataan itu. “Setuju cuma sekitar 70-80% sih, Wolf menyoroti kalo perempuan emang gak diberi akses pendidikan, enggak punya kendali atas uang sendiri, enggak punya ruang pribadi untuk berpikir dan berkarya. Wolf sebenernya disini bukan cuma ngomongin uang dan ruang aja sih tapi juga kebebesan.

Dan yang membuat Asri kagum sekagum kagumnya pada Bagas adalah bagaimana cara pria itu memgomentari suatu hal dengan cara berpikirnya yang idealis, Bagas memang pintar sejak dulu. Tak heran mengapa pria itu gemar mengomentari sesuatu bahkan dari sastra yang ia baca sekalipun.

“Kalau bagian yang gak kamu setuju?”

“Hhmm.. Mungkin dimana, money and a room of one’s own Itu sebenarnya syarat universal kali ya? Untuk kreativitas serius bukan khusus perempuan, cuma ya perempuan memang lebih sering kekurangan dua hal itu secara sistematik. Terutama untuk perempuan yang sudah menikah dan punya anak, kayanya nanti kita bisa diskusiin ini lebih banyak lagi kalau lo udah baca bukunya deh. Sekarang mending kita makan dulu soalnya gue udah laper banget.” Bagas tersenyum begitu seorang pelayan mengatarkan makanan mereka.

Bersambung...

Siang itu Raga sesekali curi-curi pandang pada Kirana yang tengah fokus menakar bahan-bahan yang akan mereka gunakan untuk membuat risol mayo, jika Kirana menoleh karena merasa diperhatikan maka Raga akan melengos begitu saja melihat kearah lain. Kadang Kirana tertawa kadang juga ia mencoba mengalihkan perhatian Raga pada adonan yang tengah pria itu aduk. Terkadang juga Kirana menghela nafasnya pelan ketika Raga mencicipi setiap bahan untuk membuat risol mayonya.

Seperti saat ini, Kirana tengah memotong telur menjadi beberapa bagian untuk menjadi isi dari risolnya dan Raga dengan jahilnya mengambil telur itu dan memakannya. Lalu ketika Kirana selesai memotong telur, Raga sibuk mencolek suwiran ayam dengan saus yang nantinya akan digunakan sebagai isian risolnya. Hampir semua bahan pria itu cicipi dengan penuh rasa penasaran. Ketika Kirana baru saja mengambil mayones dan saus sambal untuk diaduk menjadi satu, jari Raga ingin mencelup ke dalam mangkuknya namun Kirana pukul punggung tangan itu hingga Raga terkejut.

“Mas jangan semuanya dicobain, ini kan cuma saus ih. Mas aduk dulu yang benar itu adonan kulit nya habis itu disaring.” titah Kirana agak sedikit kesal, kalau begini caranya itu namanya Raga ngerecokin alih-alih membantunya.

“Biar apa disaring?”

“Biar gak ada tepung yang masih menggumpal.” Kirana menyiapkan mangkuk ukuran sedang dan saringan kemudian menuang adonan itu perlahan-lahan. Sementara Raga disebelahnya memperhatikan penuh dengan rasa ingin tahu, persis seperti seorang anak laki-laki yang tengah membantu Ibu nya. “Nah sekarang Mas bikin kulitnya saya kasih contoh Mas liatin ya.”

Raga mengangguk, ia mengekori Kirana ke depan kompor. Entah telfon apa yang Kirana gunakan Raga tidak tahu apa namanya yang jelas bentuknya lucu. Bagian yang tadinya Raga kira itu adalah bagian belakang teflon justru adalah bagian depannya, Kirana menyemprotkan sedikit minyak kemudian mencelupkan bagian yang tadinya Raga kira bagian belakang ke dalam adonan, kemudian dengan cekatan menaruh teflon itu ke atas kompor yang apinya sudah Kirana atur.

“Nah kaya gini gampang kan, nanti kalau matangnya udah rata nih. Mas angkat terus Mas letakin kaya gini, Ini udah pasti kelepas sendiri kok Teflonnya anti lengket.”

Adonan yang sudah menjadi kulit luar risol itu jatuh dengan sendirinya, membuat kedua mata Raga berbinar karena terlihat sangat amat mudah. Hasilnya pun mulus tanpa gosong apalagi robekan sedikit pun, pria itu tersenyum kemudian mengambil alih telfon itu dari Kirana. Tidak sabar untuk segera membuktikan kemampuannya itu dengan penuh percaya diri.

“Gampang ini sih, saya bisa kalau begini doang,” ucapnya penuh percaya diri.

“Nah coba kalo gitu lakuin, saya mau bikin adonan kue cucur dulu.” Kirana belum beralih dari sana, ia melihat Raga menirukan apa yang sudah ia ajarkan barusan. Diam-diam senyum Kirana mengembang, ketika perlahan-lahan Raga mempraktikan apa yang sudah ia ajarkan barusan. Pria itu berhasil membuat kulit risolnya sendiri. “Hebat!! Buatan Mas juga bagus.”

Entah sejak kapan kuping Raga merasa panas, ia menggaruk belakang kepalanya itu yang tidak gatal sewaktu Kirana memujinya. Ia yakin kupingnya pasti sudah sangat merah. “Ya..yaudah, kamu bikin adonan kue yang lain saya udah bisa kok.”

Kirana terkekeh, ia melihat Raga dengan sangat jelas gugup. Pria itu menutupi telinga sebelah kanannya dengan tangan. Ia tidak ingin pria itu gerogi jadi Kirana hanya mengangguk saja kemudian beralih mengadoni adonan untuk membuat kue cucur.

“Kalau udah selesai kasih tau saya ya, Mas. Nanti kita masukin isian risolnya.”

“Ini saya bikin kulitnya sampe adonanya habis, Na?”

“Ya iya dong, kan mau saya bagi-bagi ke Mbak Adel sama Mas Ethan katanya mau bantuin?”

“Iya tapi nanti kalo tangan saya pegal kamu gantian ya?” pasalnya adonan yang Kirana buat cukup banyak, mungkin kalau kulit-kulit risol itu sudah jadi bisa mencapai 30 risol.

“Iya Mas Raga.”

Begitu Raga berbalik badan melanjutkan kembali pekerjaanya membuat kulit risol, Kirana terkekeh dia fokus mengadoni adonan kue cucur dan sesekali memeriksa pekerjaan Raga. Pria itu tidak mengeluh lagi justru malah konsentrasi penuh sehingga kulit-kulit risol buatannya itu tidak ada yang gagal. Setelah selesai membuat semua adonan itu, Raga mematikan kompornya duduk didepan Kirana yang tengah mengisi kulit risol itu dengan isian seperti telur yang sudah dipotong, daging kornet, suwiran ayam, mayones dan juga saus sambal.

Sesekali Raga menelan saliva nya, ingin sekali rasanya menyulap semua risol-risol itu agar cepat matang ia sudah tidak sabar sekali untuk mencicipinya. Apalagi Kirana membuatnya dengan ukuran yang agak besar, lebih besar dari ukuran risol pada biasanya. Mungkin jika mencicipinya barang dua atau tiga buah Raga sudah bisa kenyang.

“Kalo Mas ngisi risol sama gulung kulitnya bisa gak, Mas?”

“Saya takut robek itu kaya tipis gitu.” Raga tidak yakin pada kesabarannya, tangannya juga tidak setelaten tangan Kirana dalam hal menggulung. Padahal tadi dia sudah sangat percaya diri kalau dia berbakat di dapur.

“Coba dulu yah.” Kirana tersenyum, ia mengambil satu lembar kulit risol dan menaruhnya didepan Raga. Sebelumnya ia sudah menaruh nampan sebagai alasanya. “Nah sekarang Mas ambil telur dulu.”

Raga menuruti perintah Kirana ia ambil telur yang sudah diiiris itu dan menaruhnya diatas kulit risol, “habis itu?”

“Oke habis itu, daging kornetnya, terus ayam suwirnya dan yang terakhir mayo dan saus sambalnya deh.” Kirana berhenti sebentar punyanya sudah beres dan ia tengah memperhatikan Raga yang sedang sibuk menata isian risol itu diatas kulitnya.

“Oke kalau udah sekarang liatin saya cara gulungnya yah.” Kirana menunjukan cara melipat kulit risol dengan perlahan-lahan, diikuti dengan Raga walau beberapa kali pria itu sempat mendesah putus asa. Dan ketika miliknya jadi, pria itu tersenyum lebar dengan bangga memperhatikan risol pertamanya.

“Eh, gampang juga ternyata. Kayanya saya berbakat gak sih, Na?” Raga menimang-nimang risolnya itu, memperhatikan bentuknya seperti risol yang belum dibaluri tepung roti dan digoreng itu adalah satu-satunya hal yang berharga baginya.

“Yah lumayan, sekarang tugas Mas isiin kulit risolnya ya. Saya mau goreng kue cucurnya dulu. Nanti kalau risolnya udah selesai baru deh kita goreng.”

Kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna, tapi tidak menyangka pekerjaan sulit mengisi dan melipat ini akan menjadi pekerjaanya lagi padahal pekerjaan yang sedari tadi Raga tunggu itu adalah memakan kue-kue buatan Kirana.

“Na, masa sebanyak ini saya yang isi semua, yang bener aja kalau ada yang robek gimana?” protes Raga.

“Udah ada yang robek belum?”

“Belum, tapi kalo nanti ada gimana?”

“Yaudah kerjain dulu aja, Mas. Katanya Mas mau bantuin.” Kirana diam-diam mengulum senyum, ia terkekeh walau banyak mengeluh dan sering kali meragukan dirinya tapi semua yang Kirana suruh Raga lakukan dan hasilnya selalu membuat Kirana puas.

Setelah hampir 40 menit melipat kulit risol Raga bangun dari kursinya, menghampiri Kirana yang sudah hampir selesai membuat kue cucur. Pria itu tampak begitu penasaran. “Saya boleh cobain, Na?”

“Boleh, tunggu sebentar saya cariin yang minyaknya udah tiris dan enggak panas.” Kirana mengambil beberapa cucur miliknya dan menaruhnya dipiring kecil, kemudian memberikannya ke Raga yang disambut dengan senyuman oleh pria itu.

“Wangi banget. Saya cobain ya!”

Kirana mengangguk, ia melihat Raga mencicipi kue nya. Pria itu tampak mengunyah dengan seulas senyum hingga matanya menghilang. Wajahnya terlihat bahagia hanya karena mencicipi sebuah makanan. Hal itu juga yang membuat Kirana tersenyum, ia merasa puas dan bahagia hanya karena ekspresi wajah Raga saja.

“Enak!!” pekik pria itu. “Gak kemanisan, enggak keras, gak menyerap banyak minyak, empuk, legit pokoknya enak banget.”

“Beneran?”

Raga mengangguk, ia tidak menjawab lagi karena mulutnya sudah terisi penuh dengan kue cucur yang diberikan Kirana barusan. Ia jadi semakin tidak sabar untuk mencicipi risol, pastel dan juga pisang bolen buatan Kirana. Cukup lama keduanya bergulat di dapur dengan berbagai adonan dan selama itu juga Raga selalu mencicipi kue yang sudah matang, perut pria itu sudah cukup kenyang bahkan. Waktu Kirana menyuruhnya makan lagi karena Kirana memasak sup ayam Raga tetap makan, walau tadinya dia menolak karena memang sudah kenyang. Tapi begitu Kirana mengaduk sup itu yang aromanya menyeruak ke seluruh penjuru dapur, perutnya kembali meronta ingin segera mencicipi sup itu.

“Ini kalo saya tinggal di rumah kamu kayanya badan saya bisa ngebang banget deh, Na.” Raga bersandar pada kursi meja makan dan menatap piring didepannya yang sudah kosong itu.

“Ya gapapa, nanti kapan-kapan saya bikinin Mas makanan deh buat makan siang di kantor.”

Kedua mata Raga membulat, tubuhnya ia majukan sedikit. “Serius, Na? Maksud kamu bikinin saya bekal makan siang?”

Kirana mengangguk, “iya, serius. Kalau saya shift siang atau pas libur aja ya, Mas.”

“Iya kapan aja boleh kok saya siap banget malahan.” hari ini sepertinya Raga tidak terlalu jaim didepan Kirana, ia benar-benar menjadi dirinya sendiri karena terlalu nyaman bersama wanita itu.

Setelah makan siang keduanya langsung bergegas ke rumah Adel dan Ethan, Kirana terlalu tidak sabar untuk segera memberi kue-kue nya pada kakak Raga itu. Ia juga tidak sabar untuk bertemu dengan Safira, keponakan Raga yang selalu Raga ceritakan hampir sepanjang Kirana menyusun kue-kue nya. Raga bilang, Safira suka banget sama risol dan juga pastel. Apalagi yang isinya ayam bocah itu suka sekali, Safira enggak terlalu menyukai makanan manis. Kalau makanan manis itu targetnya adalah Ethan.

Begitu sampai di rumah Adel, Raga membantu Kirana membawakan kotak berisi kue yang sudah mereka buat hari ini. Rumah Adel di dominasi warna putih gading yang memiliki halaman cukup luas untuk menaruh mobil Raga disana, ada taman yang cukup luas yang Adel tanami dengan tanaman-tanaman hias, disamping pagar tadi ada pohon mangga juga yang berbuah, tentu saja bukan Adel yang mengurusnya melainkan tukang kebun yang ia pekerjakan di rumahnya.

Rumah Adel bisa terbilang cukup luas, diantara rumah-rumah yang ada dikanan dan kirinya. Rumah Adel dan Ethan yang cukup terlihat luas dan mewah, Safira bahkan memiliki perosotan, ayunan dan kolam kecil untuknya memilihara ikan disana. Satu hal yang membuat Kirana merasa tidak asing dengan bangunan itu adalah, bangunan itu mengingatkannya dengan kediaman asisten residen. Ya, apalagi kalau bukan kediaman Jayden dikehidupannya terdahulu.

“Yuk, masuk? Liat apa sih?” Raga melihat ke arah mata Kirana tertuju, wanita disebelahnya itu tersenyum.

“Aku cuma ingat sesuatu aja sebenarnya.”

“Rumah Mbak Adel mirip rumah Jayden ya?” tebak Raga, bukan hanya Kirana saja yang merasa begitu tapi ia pun juga merasakannya.

“Iya, ternyata bukan saya aja yang ngerasa.”

“Yaudah, masuk yuk. Mbak Adel sama Mas Ethan udah nunggu didalam.”

Kirana mengangguk, ia mengikuti Raga dari belakang sembari sesekali mengangguk kecil pada pekerja yang bekerja di rumah Adel dan Ethan. Kedua suami istri itu ternyata tengah menonton TV di ruang tengah, begitu Safira melihat Raga. Bocah itu langsung berlari menghampiri Om nya itu dan disambut oleh rentangan tangan Raga setelah ia menaruh kotak-kotak berisi kue buatan Kirana ke meja makan.

“OM RAGAAAAA....” pekik Safira, bocah itu ditangkap oleh Raga dan masuk dalam dekapannya.

“Aduh pake lari-lari segala kamu, Ra. Nanti kalau jatuh gimana?”

“Tapi kan enggak jatuh.” bocah itu tersenyum dan menunjukan rentetan giginya yang rapih, putih dan bersih.

“Dasar, oh iya, kenalin ini Tante Kirana temannya Om, cantik gak?” Raga memperkenalkan Kirana pada keponakannya itu, Kirana tersenyum melihat Safira. Bocah itu cantik dan sangat mirip sekali dengan Adel.

“Cantik sekali, hai Tante, namaku Safira.”

“Hallo, Safira. Kamu juga cantik banget loh.” mendengar pujian dari Kirana, Safira tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya diceruk leher Raga. Membuat pria itu terkekeh karena itu adalah area sensitifnya yang mudah sekali membuatnya geli.

“Hai, Na.” Adel menghampiri Kirana, memeluk wanita yang lebih muda darinya itu. “Astaga udah lama banget kita gak ketemu yah, Mbak kangen lagi sama kamu, Na. Gimana kabar kamu, baik?”

Kirana mengangguk kecil, “baik, Mbak. Aku juga kangen banget sama Mbak Adel. Maaf yah, Mbak. Aku baru bisa main ke rumah Mbak.”

“Gapapa, Na. Santai aja, tapi ini ngomong-ngomong Raga bilang kamu bikinin kue buat Mbak sama Mas Ethan? Ini banyak banget loh, Na.” Adel enggak nyangka jika Kirana membawakannya kue buatannya itu begitu banyak, ada 4 kotak yang terisi oleh risol mayo, kue cucur, pisang bolen dan juga pastel dan semua itu Kirana yang membuatnya.

“Gapapa, Mbak. Aku tadi dibantuin sama Mas Raga kok.”

Mendengar Kirana menyebut nama adiknya itu dengan kata 'Mas' membuat Adel melirik Raga dengan lirikan meledek, enggak menyangka jika Raga akan secepat itu mengubah panggilan Kirana yang tadinya 'Pak' menjadi 'Mas' dan kelihatannya mereka sudah cukup akrab, tidak ada sekat batasan antara atasan dan bawahan, terlebih Adel sudah tahu jika Kirana sudah tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Dari sini saja Adel sudah bisa menebak jika Raga percaya diri mendekati Kirana.

“Oww...oww... Oww.. Sekarang manggilnya udah bukan Pak Raga lagi nih? Cepet juga, Ga.” sekarang giliran Ethan yang ikut nimbrung meledek Raga, habislah pria disamping Kirana itu dengan kupingnya yang memerah. Bahkan ucapan Ethan tadi berhasil membuat Kirana salah tingkah.

“Ya, gapapa dong, Mas. Kan sekarang Kirana sama Raga udah gak satu kantor, ya kan, Na.”

Kirana hanya mengangguk saja, Adel dan Ethan sempat mencicipi kue-kue buatan Kirana. Bahkan Safira pun sangat menyukai pastel buatannya, membuat hati Kirana rasanya dipenuhi oleh bunga-bunga saking bahagianya. Kue-kue itu tidak hanya dinikmati sendiri oleh Adel dan Ethan, keduanya membagi secara sama rata untuk pekerja di rumah mereka termasuk tukang kebun yang hari itu memang datang untuk mengurus taman. Dan semua komentar dari pekerja disana membuat Kirana bahagia, mereka bilang kue buatan Kirana sangat enak.

“Kapan-kapan kamu ke sini lagi dong, Na. Kita bikin kue bareng sama masak bareng. Oh iya, Raga sudah bilang ke kamu kalau Mbak bolehin kamu pakai alat-alat dapur termasuk alat bakingnya?”

“Udah kok, Mbak. Mas Raga sudah bilang ke Kirana, sekali lagi makasih ya, Mbak.”

“Sama-sama, Na.” Adel tersenyum, sedikit berterima kasih pada Kirana karena sejak mengenal Kirana, Raga menjadi lebih sering tersenyum. Dunia adiknya itu tidak lagi hanya mengenal hitam dan putih saja tapi juga warna-warna lain.

Sore itu Raga sedang asik bermain dengan Safira di taman depan dan Kirana sedang membantu Adel merangkai bunga di terasnya. Sedangkan Ethan sedang berbicara dengan tukang kebun mereka, rumah yang megah itu tidak terasa dingin. Justru lebih hangat karena yang tinggal didalamnya senang menebar kebahagiaan ke banyak orang.

“Kamu tau gak, Na. Bunga ini kiriman dari Mama loh. Mama sekarang punya toko bunga sendiri.”

“Oh ya, Mbak? Keren banget, dikelola sendiri atau ada karyawan nya, Mbak?” sesekali Kirana menoleh ke arah Adel, ia baru pertama kali merangkai bunga jadi agak sedikit kikuk.

“Dikelola sendiri, ya kesibukan Mama sekarang itu. Bahagia banget dia, apalagi kalau banyak anak muda yang datang ke toko nya. Kapan-kapan Mbak ajak kamu ke sana mau ya?”

Kedua mata Kirana berbinar, ini pertama kalinya dia diajak seperti ini oleh orang yang bukan keluarganya. Bahkan ia dan Raga hanya teman, ya untuk saat ini bisa dikatakan status mereka hanya teman dekat. “Mau, Mbak. Mau banget malahan.”

Adel tersenyum, senang sekali melihat Kirana tersenyum seperti itu. Pasalnya beberapa kali bertemu Kirana. Wanita itu selalu lihat wajah Kirana yang menampakan kesedihan seperti tengah membawa beban di kedua pundaknya tanpa tahu akan berbagi ke siapa, sekarang yang Adel lihat. Beban-beban itu seperti berkurang satu persatu.

“Kamu tau gak, Na. Kamu tuh perempuan pertama yang Raga ajak ke rumah Mbak dan dikenalin ke orang tua kami tau sama Raga.”

“Hm, maksud, Mbak?” entah apa yang Kirana rasa ia masih terlalu bimbang untuk menyimpulkannya, tapi ucapan Adel barusan membuat Kirana terasa gugup dan sedikit salah tingkah.

“Iya, Raga itu susah banget buat dekat sama perempuan, kaya punya teman perempuan yang dekat banget kaya kamu gini tuh baru kamu aja. Bahkan pernah tuh sekali Mas Ethan kenalin Raga ke kenalannya tapi ya gitu deh, berakhir mundur alon-alon.

“Mas Raga enggak pernah dekat sama perempuan, Mbak? Kaya punya pacar gitu dia belum pernah?”

Adel terdiam sebentar, sepertinya Kirana sudah mulai penasaran dengan adiknya itu. Umpan yang Adel tebar ke Kirana sepertinya berhasil, ia memang ingin sedikit membantu usaha Raga untuk lebih dekat dengan Kirana. Sekalian Adel mencari tahu bagaimana Kirana memandang Raga selama ini, setelah Raga sudah tidak menjadi atasanya dan Kirana tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa Adel mendukung sekali jika Raga ingin berkencan atau bahkan melamar Kirana.

“Kalo aku bilang belum kamu percaya gak, Na?” Tanya Adel.

Kirana sempat melirik ke arah Raga, pria itu masih asik bermain dengan keponakannya diatas ayunan. “Percaya, Mbak.”

“Kenapa percaya?”

“Hhmm.. Gimana ya, ak..aku bingung jelasinnya.” sebenarnya Kirana ingin menjelaskan sesuatu tentang sikap Raga yang terkadang agak kaku jika sedang bicara dengan wanita, tapi ia tahan. Ia tidak ingin membuat Adel tersinggung dengan ucapannya tentang Raga, dan lagi ia masih takut menilai seseorang terlalu dini.

“Kaku yah?” Tebak Adel dan Kirana mengangguk. “Jujur aja lagi, Na. Gapapa, aku nih Mbaknya aku kenal dia dari dia kecil. Emang Raga itu agak kaku. Sejak kecil dia lebih dewasa dari anak seusianya ambis banget kalo soal urusan belajar, sampe kuliah pun juga begitu. Aku udah pernah bilang ke dia kalo urusan pendidikan, karir sama urusan hati tuh dia bisa imbangin tapi dia gak pernah dengar”

Kirana baru tau soal ini, Raga memang tidak pernah cerita tentang asmaranya, tentang dirinya sendiri selain soal kehidupan mereka terdahulu. Kirana baru sadar, setiap kali mereka bersama yang sering kali Raga tanyakan adalah diri Kirana. Mungkin lain kali Kirana akan bertanya lebih banyak tentang diri Raga.

“pernah waktu itu sekali aku tanya, apa sih tipe ideal dia. Tapi dia bilang.” Adel menoleh ke arah Kirana dan pandangan mata keduanya bertemu. “Dia bilang yang penting baik aja, dia gak punya tipe ideal apapun.” Adel tersenyum.

Katakanlah jika Kirana terlalu percaya diri, tapi dengan semua bahasa tubuh dan kata-kata Adel barusan seperti menunjukan ada rasa yang tidak biasa dari Raga padanya. Kirana seperti sebuah pengecualian bagi Raga, wanita pertama yang dikenalkan ke keluarganya, wanita pertama yang mengajarinya memasak, wanita pertama yang membuatnya gugup dan wanita pertama yang membuat perut Raga seperti dipenuhi kupu-kupu.

“Na?”

“Ya, Mbak?” Kirana menoleh ke arah Adel.

“Aku senang sekali Raga bisa mengenal kamu.”

Bersambung...

Sudah tiga bulan Asri tidak pernah lagi datang ke rumah Raka untuk menjenguk Reisaka, awalnya Raka masih menghubungi wanita itu untuk bertanya alasannya tidak datang dan Asri pun masih memberikan alasan yang masuk akal baginya. Asri mengatakan jika ia sibuk di butik, Raka tahu butik yang didirikan oleh wanita itu memang sedang ingin membuka cabang lain. Masih di daerah Jakarta tentunya dan saat itu Raka masih menghargai kesibukan Asri meski tetap saja menurutnya itu melanggar perjanjian mereka, lalu pada minggu-minggu berikutnya Asri tidak dapat dihubungi. Bahkan nomer ponsel Raka, wanita itu blokir sejak itulah Raka mulai berasumsi jika Asri kembali mangkir dari tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu.

Beberapa hari yang lalu, Raka mengikuti Asri dengan sangat nekat. Mengikuti semua kegiatan wanita itu seperti seorang pengutit, namun yang dilakukan oleh Asri hanya berada di rumah Bagas. Ya, tentu saja Raka tahu itu rumah Bagas karena Asri pernah beberapa kali keluar dari rumah itu bersama Bagas. Raka tidak membenci Bagas, justru ia kasihan dengan pria itu karena Raka yakin Bagas tidak tahu jika Asri menipunya dan keluarganya.

Hari ini pria itu berdiri di lorong IGD disebuah rumah sakit setelah menyelesaikan administrasi, wajahnya kusut, hatinya gundah gulana dan rambut yang biasanya ia tata serapih mungkin itu berantakan seperti tidak terurus. Itu semua disebabkan karena Reisaka sakit. Dari kecil, anak itu sudah mengalami lemah jantung. Reisaka tidak bisa terlalu capek itu akan membuatnya mudah sekali sakit seperti sekarang ini. Sejak Asri tidak datang lagi ke rumahnya, bocah itu selalu bertanya pada Raka kemana Ibunya, kenapa tidak pernah datang lagi? Dan tidak ada yang bisa Raka katakan banyak pada Reisaka selain janji jika ia akan membawa Ibunya kembali ke rumah mereka.

Raka mencoba menghubungi Asri kembali, namun nihil. Wanita itu tetap tidak membuka kontak blokir pada ponselnya agar Raka bisa menghubunginya. Ia pernah bertekad pada dirinya sendiri bahwa ia akan membuat Reisaka melupakan Asri, membuat bocah itu lupa jika ia mempunyai Ibu. Tapi sialnya, Reisaka terlalu sayang pada Asri. Ini semua salahnya memang karena memperkenalkan Asri pada Reisaka jika wanita itu adalah sosok Ibu yang baik dan sangat menyayanginya. Waktu itu Raka hanya tidak ingin Reisaka membenci Ibunya.

Pagi itu Raka menghubungi nomer seseorang, ia mungkin tidak akan masuk kerja untuk beberapa hari ke depan karena harus menjaga Reisaka. Kalaupun ia harus tetap bekerja, ia akan meminta mengerjakan pekerjaanya itu dari rumah sakit saja.

hallo, Ka. Kenapa?” suara bariton dari seorang pria disebrang sana seperti mengintrupsi Raka dari lamunannya akan Reisaka.

“Hallo, Pak Satya. Saya minta maaf, Pak. Kayanya hari ini dan beberapa hari ke depan saya enggak bisa ke kantor, Pak.”

kenapa, Ka? Lo sakit?

“Bukan gue, Pak.” Raka sudah tahu jika Satya memanggilnya dengan sebutan 'lo gue' maka Satya hadir sebagai temannya alih-alih atasannya itu. “Tapi anak gue.”

terus sekarang dimana, Ka? Diopname atau lo rawat sendiri di rumah?

Raka menghela nafasnya berat, “diopname, Pak.”

yaudah kalau gitu, semoga cepet sembuh. Nanti sore gue sama anak-anak jenguk ya. Jagain dulu aja, tapi gue minta HP lo tetap stan by ya.

“Siap, makasih, Pak.”

sama-sama, Ka.

Setelahnya sambungan telfon itu ditutup oleh keduanya dan Raka kembali ke dalam IGD untuk menemani anaknya, Reisaka, bocah itu masih tertidur pulas setelah selang infus tertanam dinadinya. Wajahnya pucat dan bocah itu sempat mengeluh jika dadanya sakit, sejak kemarin Reisaka terus mengigau memanggil Asri. Awalnya Raka masih menghargai Asri karena wanita itu adalah Ibu dari anaknya, mengesampingkan dendam jika Asri mengabaikan Reisaka dan meninggalkannya. Tapi dendam itu kini muncul kembali menguasainya ketika Asri mengingkari janjinya, ia akan membuat hidup wanita itu tidak bahagia, ia berjanji pada dirinya sendiri dan juga Reisaka.

Ketika Reisaka sudah mendapatkan kamar rawat inap dan sudah di pindahkan ke sana, Raka baru bisa sedikit beristirahat, ia sempat bersandar disofa sebelum akhirnya kembali beranjak ketika pintu ruang rawat anaknya itu terbuka. Raka pikir tadinya itu suster atau staff yang mengantar snack malam untuk Reisaka, namun ternyata itu teman-temannya. Ada Almira, Satya, Kirana dan juga Raga.

“Astaga, kalian beneran dateng rombongan kaya gini.” Raka tersenyum, sedikit terhibur teman-temannya itu menjenguk anaknya.

“Iya, Mas. Tadi Mas Satya ngabarin kita, terus langsung janjian buat ke rumah sakit bareng,” jawab Kirana.

“Gimana keadaan Reisaka, Ka?” Satya bertanya lebih dulu, pria itu sempat melirik ke ranjang Reisaka dan mendapati bocah itu masih terlelap di ranjang rawatnya. Memeluk boneka bebek dalam selimut yang sedikit tebal itu, terlihat nyaman.

“Udah mendingan, Pak. Tadi dia ngeluh nyeri didadanya makanya langsung saya bawa ke sini.”

“Reisaka sakit apa, Mas?” kali ini Kirana yang bertanya setelah ia memperhatikan wajah Reisaka yang pucat. Dilihat langsung seperti ini Reisaka benar-benar mirip Raka, tapi ada kilas dari bocah tersebut yang mengingatkannya pada seseorang entah itu siapa.

“Dari kecil dia sudah lemah jantung, Na.”

“Berarti Reisaka lagi drop, Ka? Kecapekan kah?” Raga gak tau banyak tentang lemah jantung, tapi membayangkan anak sekecil itu sudah memiliki penyakit yang berat seperti itu saja membuat hatinya sedih.

“Sebenarnya sih enggak, Ga. Dia belum gue daftarin sekolah juga, kegiatannya masih di rumah aja. Reisaka mungkin drop karena dia kangen Ibu nya.”

Ibunya? Pikir Raga, apa yang dimaksud Ibu dari Reisaka itu adalah Asri? Wanita yang sempat ada di rumah Bagas sewaktu ulang tahun Ibunya itu dan beberapa kali pernah bertemu dengannya, bahkan bertemu dengannya sewaktu di cafe bersama dengan Raka dan anaknya. Bocah itu juga sangat terlihat akrab dengan Asri.

Almira hanya diam saja, dia sudah kenal sama Reisaka karena bocah itu pernah diajak Raka beberapa kali ke kantornya. Almira juga pernah sekali mengajak Reisaka makan ice cream saat Raka menitipkannya. “Mas Raka?”

Raka menoleh ke arah Almira, wanita yang sedari tadi hanya diam saja itu membawa boneka yang ia peluk dilengannya. Itu sebuah boneka Donal Duck, karakter kartun kesukaan Reisaka. “Ya, Mir?”

Almira memberikan boneka itu pada Reisaka dan langsung saja diterima oleh pria itu. “Ini buat Reisaka, Mas. Waktu dia aku ajak ke kosanku, Reisaka sempat minta boneka ini. Tapi enggak aku kasih karena ini dari mantanku”

Raga, Satya, Kirana dan tentunya Raka saling melempar pandangan satu sama lain. Ingin tertawa namun mereka tahan, bukan karena ekspresi wajah Almira yang terlihat begitu sedih melainkan karena kata-katanya. Satya bahkan hampir melepas tawanya, pria itu tahu persis mantan Almira yang mana yang wanita itu maksud.

“Buat Reisaka aja, semoga dia cepat sembuh ya, Mas. Nanti kalau dia bangun tolong bilangin kalo aku ke sini kalau dia udah sembuh nanti aku janji traktir dia es krim lagi. Um.. Sebenarnya aku sempat nyari Donal Duck nya yang mirip kaya gitu tapi enggak ketemu.”

“Kamu ngasih ke orang kok bekas sih, Mir?” bisik Raga.

“Ih, Pak. Orang Reisaka nya sendiri yang mau kok waktu itu, lagian itu limited edition tau.” pekik Almira tertahan, agak sedikit enggak terima.

“Mas, udah biarin aja sih jahil banget.” samber Kirana, tidak ingin ada keributan kecil terjadi karena komentar Raga yang agak sedikit menyebalkan itu. Almira yang berdiri disamping Kirana itu langsung menjulurkan lidahnya meledek Raga, ia merasa dibela oleh Kirana.

Hal itu menjadikan sedikit hiburan untuk Raka, pria itu sempat terkekeh pelan. “Makasih yah, Mir. Nanti kalau dia udah bangun aku pasti kasih tau kamu ke sini. Makasih juga kalian udah datang buat jenguk Reisaka, doain anak gue cepet sembuh yah. Hati gue hancur banget liat dia sakit.”

Jawaban itu seketika membuat yang lainnya paham, dalam hati Kirana benar-benar kagum dengan Raka yang sudah menjadi orang tua tunggal untuk anaknya. Raka hanya pernah bercerita padanya jika Ibu dari Reisaka pergi meninggalkan anaknya, mereka menjenguk Reisaka tidak begitu lama karena jam besuk juga sudah habis. Hanya sekitar 45 menit saja, begitu Raga dan yang lainnya ingin pamit Raka sempat menahan Kirana dahulu karena ada yang harus dia bicarakan pada Kirana. Kirana menyuruh yang lainnya untuk lebih dulu turun ke loby rumah sakit dan nantinya ia akan menyusul setelah berbicara dengan Raka, mereka enggak keluar dari ruangan tempat Reisaka dirawat mereka hanya berbicara sedikit lebih jauh dari ranjang Reisaka.

“Ada apa sebenarnya sih, Mas?” tanya Kirana begitu teman-temannya yang lain sudah pergi.

“Maaf, Na. Kalau pertanyaan aku mungkin sedikit nyinggung kamu.”

“Mau tanya apa sih, Mas?”

Raka menghela nafasnya pelan, ia tetap merasa harus bertanya hal ini pada Kirana meski mungkin saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Kirana lagi. “Gimana kabar Bagas, Na? Kamu tau dia resign dari kantor?”

Pertanyaan itu membuat hati Kirana sedikit terenyuh, ia tidak tersinggung sama sekali. “Saya enggak tau banyak, Mas. Saya cuma tau Bagas sakit karena waktu itu Adiknya sempat nemuin saya sekitar tiga bulan yang lalu, Bahkan saya gak tau kalau dia sampai resign. Kanes pun enggak cerita. Kenapa, Mas?”

Raka menggeleng pelan, “Gapapa, Na. Saya pikir kamu masih berkabar sama dia. Saya cuma sedikit prihatin aja sama dia.”

Wajah Raka kelihatan bingung seperti ada yang ingin dikatakan pria itu namun tertahan dibibirnya, Raka benar-benar bingung harus dari mana ia memulai pembicaraan tentang Bagas dan Asri. Awalnya ia ingin bertemu dengan Bagas untuk memperingati pria itu sendiri untuk berhati-hati pada Asri, namun ia mengurungkan niat itu karena setiap kali ia menghubungi Bagas ponsel pria itu tidak pernah aktif dan terkadang tidak diangkat panggilannya tanpa ada panggilan balik dari Bagas.

Raka menduga jika Bagas memang sedang butuh waktu sendiri, beberapa waktu lalu setelah ia dan yang lainnya tahu jika Bagas dan Kirana sudah putus. Bagas sering sekali terlihat frustasi, linglung bahkan Bagas pernah meminta Raka untuk menemaninya minum di sebuah bar. Raka pernah beberapa kali menemani Bagas minum dan mengantar pria itu pulang ke kontrakannya karena terlalu mabuk.

“Prihatin kenapa, Mas? Karena keadaan dia setelah putus dari saya?”

“Um, bukan, Na. Bukan itu. Ya itu termasuk juga tapi yang saya maksud disini bukan itu.”

“Terus?” Kirana mengerutkan keningnya bingung.

“Kamu tau kalau Bagas lagi dekat sama perempuan lain? Ah, gini. Dia pernah cerita tipis-tipis ke aku kalau dia dijodohin kamu kenal perempuan itu?”

Kirana sempat diam sebentar, ada sedikit rasa penasaran dari ucapan Raka. Seperti pria itu tahu sesuatu, “kenal, Mas. Namanya Asri. Kenapa?”

“Na, saya kenal sama perempuan itu.”

“Maksud Mas Raka?”

“Asri itu Ibu dari anakku, Na. Dia Ibunya Reisaka.”

Mendengar ucapan itu Kirana terdiam ia kaget bukan main, pantas saja selama ini dia melihat Reisaka itu seperti perpaduan orang yang ia kenal dan ternyata orang itu adalah Asri dan Raka sendiri. Yang Kirana pikirkan saat itu kemungkinan orang tua Bagas sudah mengetahui hal ini, banyak sekali spekulasi dikepala Kirana tentang seperti apa hubungan kedua orang tua Bagas dan orang tua Asri sampai akhirnya keduanya sepakat menjodohkan anak mereka.

Atau jangan-jangan hubungan Asri dan Raka kandas karena Asri diminta berpisah dari Raka karena ingin dijodohkan oleh Bagas? Kalau begitu Raka juga korban sepertinya bukan? Lalu, Raka ingin apa dari Kirana sampai-sampai harus mengatakan hal ini padanya? Bekerja sama untuk merebut Bagas dan Asri kembali? Pikir Kirana tidak karuan.

“Mas Raka pernah menikah sama Asri?” tanya Kirana gugup.

Raka mengangguk, “Iya, Na. Dulu. Saya nikahin Asri karena dia hamil Reisaka. Setelah Reisaka lahir, dia minta pisah sama saya dan ikut orang tua nya ke Jakarta. Dia bahkan gak pernah ngurus Reisaka dari bayi, Na. Dan saya waktu tau dia ke Jakarta itu buat di jodohin sama laki-laki lain dan benar-benar gak menganggap kalau Reisaka ada dihidupnya sebagai anak dia itu saya marah banget, saya mau balas dendam sama Asri dan keluarga laki-laki itu.”

“Mas Raka mau balas dendam sama Bagas?” pekik Kirana kaget.

“Iya, Na. Tadinya tapi sekarang enggak karena Asri bikin kesepakatan sama saya kalau dia bakalan janji nemuin Reisaka dan hadir sebagai Ibu nya. Dia janji bakalan jagain Reisaka seminggu dua kali, tapi janji itu dia ingkarin setelah kamu dan Bagas putus dan Bagas sakit. Saya tau ini saat-saat dia benar-benar dekatin Bagas.”

Saking bingungnya harus bersikap dan memberikan reaksi seperti apa, Kirana hanya menghela nafasnya pelan. Ia bukan satu-satunya korban disini karena keegoisan orang lain tapi ada Reisaka yang bahkan sejak dulu sudah menjadi korban keegoisan Asri, anak itu jauh lebih menyedihkan dibanding Kirana. Anak itu butuh Ibunya dan Asri justru seperti menghapus Reisaka dari hidupnya. Kirana bahkan enggak menyangka ada orang tua yang seperti itu didunia ini. Reisaka bahkan enggak tahu kenapa Asri harus memilih berpisah dengan Ayahnya.

“Na, orang tua Bagas itu enggak tahu kalau Asri pernah menikah dan punya anak. Asri nyembunyiin ini semua dari Bagas.”

“Terus Mas Raka mau saya kaya gimana, Mas? Kasih tau Bagas kalau perempuan yang lagi dekat sama dia sekarang itu punya anak?” Raka sempat terdiam, Kirana benar bagaimanapun hubungan keduanya sudah selesai dengan cara yang paling menyakitkan. Salah Raka juga harus menyeret Kirana dalam hal ini. Tentu saja wanita itu tidak akan mau, apalagi Kirana bukan tipe wanita yang suka menjelek-jelekan orang lain.

“Mas Raka, saya gak bisa bilang ini ke Bagas meski mau. Saya juga gak mau dia kecewa dan merasa ditipu. Tapi kalau saya bilang ini ke Bagas itu akan numbuhin harapan baru buat dia kembali sama saya, Mas. Dan itu cuma bikin orang tua Bagas makin benci sama saya. Hidupku udah jauh lebih tenang, Mas. Biarin Bagas tahu hal ini sendiri.” Kirana mengambil tas miliknya dan berdiri dari sofa tempat ia dan Raka duduk tadi.

“Maaf ya, Mas. Semoga Reisaka cepat sembuh, Kirana pamit.”

Diperjalanan pulang Kirana lebih banyak diam, ia duduk disebelah Raga dimobil pria itu yang sedang fokus mengemudi. Dikursi belakang ada Satya dan juga Almira. Mereka memang Raga jemput satu persatu dan sepakat menggunakan satu mobil saja, Raga pun masih harus mengantar Almira ke kosannya setelah mengatar Satya ke rumahnya. Sedari tadi Almira dan Raga terus mengobrol tentang suasana kantor Almira yang sekarang ini banyak di isi staff baru. Sedangkan Raga menimpalinya dan terkadang meledek Almira dengan menyinggung-nyinggung pacar Almira itu.

Dilampu merah pertigaan jalan hampir sampai kosan Almira, Raga melirik Kirana dan memperhatikan wajah wanita itu yang nampak masam. Kirana enggak banyak bicara, bahkan hanya diam saja sejak ia dan Raka sempat berbicara berdua. Entah apa yang keduanya bicarakan tapi yang jelas sangat terlihat sebuah perbedaan pada wajah Kirana saat pergi ke rumah sakit dan pulang.

“Tapi beneran aneh loh aku liat Pak Raga sama Mbak Kirana manggil Mas begini, merindingdong beneran aneh banget,” oceh Almira, tubuhnya ia condongkan ke depan menjadi seperti berada ditengah-tengah Kirana dan juga Raga, sesekali ia menelisik wajah keduanya itu.

“Ya apa yang aneh coba? Saya kan memang lebih tua dari Kirana, Mir. Dia juga adik tingkat saya di kampus dulu,” jelas Raga.

“Oh jadi Bapak nyadar ya kalau tua?” Almira menahan tawanya. “Aduh, becanda, Pak. Serius deh.”

“Kamu juga gak usah manggil saya pakai sebutan Bapak lagi, saya bukan Bapak kamu saya juga udah bukan atasan kamu kan?”

“Ya itu benar sih, terus Pak Raga maunya dipanggil apa dong? Mas juga kaya Mas Satya? Eh jangan deh, gimana kalau saya panggil Pakdhe aja?” Almira tertawa lepas, ia pernah mengatakan pada Kirana dulu kalau Raga punya kemiripan dengan Pakdhe dari Papi nya. Sama-sama perfectsionis dan sama-sama punya lirikan mata yang tajam dan menyebalkan.

“NGACO KAMU, MIR!” pekik Raga tidak terima.

“Eh, Mbak. Tapi Mbak ingat gak sih aku pernah bilang kalau Pak Raga mirip sama Pakdhe ku, Mbak?” Almira bertanya pada Kirana namun wanita itu tidak menyadarinya, Kirana masih larut dalam lamunan akan pikirannya sendiri. Lamunan akan obrolannya dengan Raka barusan.

“Mbak?” Almira memanggil Kirana sekali lagi dan kali ini berhasil membuyarkan lamunan Kirana.

“Ah, kenapa, Mir?”

“Mbak ngalamun?”

Raga sempat melirik Kirana sebentar, ia sudah memperhatikan Kirana sedari tadi yang memang kelihatan melamun. Namun ia pikir akan bertanya nanti saja setelah Almira sampai di kosannya, namun justru wanita itu yang bertanya duluan pada Kirana.

“Engga..k tadi itu aku sedikit ngantuk, maaf ya. Kenapa tadi?” Kirana jadi merasa tidak enak, ia benar-benar tidak menyimak obrolan Raga, Almira dan Satya tadi bahkan sampai Satya turun pun Kirana enggak menyadarinya.

“Beneran, Mbak?”

“Iya, Mir. Ngantuk ini, aku kan juga habis pulang kerja, habis shift pagi tadi tuh jadi berangkatnya pagi banget.” Alibi Kirana.

Almira mengangguk, ia sebenarnya ingin sekali mengajak Kirana kembali ke kantor. Bahkan Satya pun sudah sering menawari Kirana untuk kembali bahkan setelah Bagas resign namun Kirana masih belum mau menerima tawaran itu, Almira sempat berpikir mungkin di tempat Kirana sekarang bekerja wanita itu jauh lebih nyaman dan bahagia atau mungkin bisa mendapatkan passion barunya. Apapun itu selama Kirana bahagia Almira akan selalu mendukungnya.

“Pantesan, Pak habis ini anterin Mbak Kirana pulang kan? Kasian tuh dia udah ngantuk.”

“Iya iyalah, Mir. Kamu pikir saya setega itu sama Kirana yang lain saya antar pulang dia doang enggak. Ini kamu udah sampai di depan kosanmu tuh, cepet turun.” Agak pening kepala Raga mendengar ocehan Almira sedari tadi. Mana suaranya cempreng.

“Ihhh biasa aja lagi, Pak. Ini saya juga mau turun, Mbak, aku pulang ya, Mbak sampai rumah langsung istirahat ya,” ucap Almira sebelum wanita itu turun dari mobil Raga, Kirana hanya membalasnya dengan anggukan kecil saja.

Sebelum Raga kembali melajukan mobilnya menuju rumah Kirana, pria itu sempat mengambil ponselnya karena menyala dan menunjukan seseorang mengiriminya pesan. Itu dari Almira ternyata, wanita itu hanya mengatakan.

“*saya tau Bapak lagi dekat sama Mbak Kirana, Pak, Mbak Kirana itu baik banget, dia tulus banget sama orang lain. Saya harap kalau Bapak mau dekat sama dia Bapak bisa menyayangi dia ya, jangan sakiti Mbak Kirana ya, Pak. Dunia udah terlalu jahat sama dia, saya dukung Pak Raga sama Mbak Kirana.**”

Membaca pesan itu, Raga melirik ke balkon atas dan Almira masih ada disana memperhatikan mobil Raga dari atas. Sebelum masuk ke kamarnya, wanita itu mengacungkan ibu jarinya pada Raga yang melihatnya dari dalam mobil. Raga tersenyum, ia senang Almira mendukungnya. Tidak ada niat untuk menyakiti Kirana karena Raga hanya ingin memastikan wanita disebelahnya itu bahagia dan tersenyum. Sebelum melajukan mobilnya Raga sempat melihat Kirana kembali, wanita itu masih melamun.

“Na?” Panggil Raga, ia menyentuh punggung tangan wanita itu dan membuat Kirana menoleh ke arahnya. “Kenapa? Lagi ada yang di pikirin?”

“Mas?”

“Hm?”

“Ada yang mau saya ceritain, tapi nanti aja yah. Saya capek banget mau pulang dan istirahat.” Sejak dekat dengan Raga, apapun yang Kirana pendam rasanya selalu ingin ia bagi dengan pria itu. Termasuk soal Asri yang tadi ia bicarakan pada Raka katakanlah Raga saat ini menjadi teman bicaranya tentang harinya.

“Iya, saya antar kamu pulang ya.”

Bersambung...

Perlahan-lahan Bagas mulai merapihkan kembali hidupnya yang semula ia anggap berantakan, katakanlah seperti itu dan hari ini ia ingin menatanya ulang. Meski terasa berat ia yakin pilihan ini adalah jalan terbaik untuknya, sebuah impian yang sedari dulu ingin sekali ia lakukan. yaitu bekerja di luar negeri. Hari itu setelah sarapan paginya, Bagas kembali ke kamarnya untuk memeriksa surel miliknya, memeriksa kembali web-web tempatnya melamar pekerjaan di perusahan arsitektur yang berada di Den Haag. Dulu sekali sewaktu Bagas baru lulus kuliah ia ingin sekali bekerja di luar negeri, terutama di Belanda atau di Finlandia.

Setelah mengetahui jika Kirana memutuskan untuk tetap bekerja di Indonesia dan di Jakarta akhirnya Bagas memutuskan untuk bekerja di Indonesia juga, melamar ke perusahaan yang sama. Bagas enggak merasa Kirana menghalangi mimpinya, Bagas waktu itu hanya berpikir ia menundanya dulu sebentar sampai ia benar-benar mempunyai pengalaman untuk melamar kerja di luar negeri. Dan sekarang sepertinya waktu yang tepat untuk mewujudkan impian lamanya itu, sembari menyesap kopi dimeja belajarnya Bagas kembali menggulir layar tab miliknya itu.

Sampai ada satu ketukan pintu dari luar kamarnya yang berhasil menyita perhatiannya. Suara Ibunya terdengar dari luar, membuat Bagas menutup halaman pada tab miliknya itu dan menggantinya dengan aplikasi untuk menonton film. Bagas masih merahasiakan rencananya ini dari orang tua nya, ia takut ditentang lagi atau bahkan tidak didukung sama sekali.

“Masuk, Bu,” ucap Bagas, tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka dan menampakan Ibunya. Wanita itu masuk ke kamar Bagas tanpa menutup pintu itu kembali, ia duduk dikursi samping Bagas duduk. “Kenapa, Buk?”

“Lagi apa, Mas?”

Rasanya sudah lama sekali Ibu tidak mengobrol dengan Bagas setelah perang dingin dengan anaknya itu. Ibu ingin sekali mengobrol dengan Bagas, tentang masa depan anak itu, tentang apapun yang saat ini Bagas tengah rasa, ah atau bahkan tentang rencana masa depan untuk Bagas yang Ibu dan Ayah sudah rancang untuk si sulung itu. Ibu yakin ini adalah yang terbaik untuk putranya.

“Lagi nonton aja, Bu. Kenapa?”

“Gapapa, Mas. Ibu cuma mau ngobrol sama kamu aja sebentar, gak kangen memang sama Ibu?”

“Hm.. Bagas kira kenapa, ya kangen, Bu. Kan kita udah lama enggak ngobrol kaya gini.” Bagas mengecilkan volume tab miliknya yang sedang menayangkan film Lalaland itu. Baru setengah Bagas tonton semalam dan belum ia selesaikan lagi.

“Makanya kamu jangan membangkang mulu, coba aja kemarin-kemarin kamu dengarin Ibu sama Ayah. Pasti enggak akan kejadian kamu sakit sampai harus resign kaya gini kan, Mas.”

Bagas meringis, Ibunya itu tidak pernah berhenti untuk mengungkit masalahnya dulu. Kemalangannya karena kehilangan Kirana dan kandasnya hubungan 8 tahun yang mereka jalin, ah, Bagas lupa sampai kapanpun baik Ibu dan Ayahnya mungkin tidak akan pernah memahami ini. Karena yang mereka pikirkan hanyalah anak-anak mereka menurut dan patuh pada setiap perintah mereka, kadang Bagas dan Kanes merasa hanya seperti boneka kedua orang tua mereka. Atau seperti sebuah thropy yang bisa mereka banggakan?

“Buk, udah yah. Gausah dibahas soal itu. Bisa?” Bagas memohon.

Ibu menghela nafasnya pelan, “Yasudah kalau gitu.”

“Makasih yah, Buk.”

“Terus plan kamu selanjutnya bagaimana, Gas? Mau bekerja lagi kamu? Mau kembali ke kantor dulu atau mau Ayah atau Ibu bantu supaya kamu bisa bekerja lagi, kalau tidak salah teman Ayah itu mau membangun firma arsitekturnya sendiri deh. Ayah bisa merekomendasikan kamu menjadi manager disana.”

“Buk, Bagas sejujurnya sudah punya rencana ingin apa dan bagaimana. Tapi Bagas perlu waktu buat memulainya, sabar yah, Buk. Bagas lagi berusaha sembuh.”

Ibu mengangguk pelan, lega mendengar si sulung ternyata sudah menata hidupnya lagi pelan-pelan. Ibu sempat berpikir jika Bagas sedang nyaman berjalan ditempat seperti sekarang ini. “Yasudah, Ibu lega dengarnya. Gas?”

“Ya, Buk?”

“Ibu, Ayah dan orang tua nya Asri habis bertemu kemarin malam. Kami sempat berbicara soal pertunganmu dan Asri yang kemarin sempat gagal, dan Ayah ingin bulan depan kamu dan Asri menikah.”

“Buk—” kedua bahu Bagas merosot, ternyata Ibu tidak pernah menyerah untuk hal yang satu ini. Belum sempat ia melontarkan ucapannya sepenuhnya Ibunya itu sudah menyelanya.

“Mas, Asri yang membuat kamu bangkit dan sembuh, dia yang nemenin kamu loh kalau kamu lupa. Dia sabar, dia buat kamu bisa keluar dari bayang-bayang wanita itu. Dia baik buatmu, Mas. Pilihan Ibu dan Ayah itu enggak pernah salah. Asri menerima kamu apa adanya, mendukung kamu bahkan dititik terendahmu setelah ditinggalin wanita itu. Kurang apa dia?” Jelas Ibu.

“Masalahnya bukan itu, Buk. Bukan tentang sebaik apa Asri sama Bagas. Ini tentang perasaan Bagas, Buk.”

“Perasaan apa? Mas, Ibu dan Ayah ini adalah contoh perjodohan orang tua kami yang sukses. Cinta, perasaan dan sayang itu bisa tumbuh karena terbiasa, seiring berjalannya waktu. Coba deh, Mas. Kamu nurut sama Ibu lagi kaya dulu, hidupmu akan baik-baik aja.”

Bagas terdiam, kepalanya terlalu sakit untuk menimpali ucapan Ibu. Bagas memang tengah membangun kembali harapan kecilnya lewat mimpinya dulu. Dan kini Ibu seperti kembali menghempasnya, mencoba menghilangkan kembali nyawa Bagas yang baru ia kumpulkan separuhnya setelah tadinya menghilang seluruhnya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Bagas dan Ibu menganggap itu adalah sebuah persetujuan dari putranya.

“Percayalah, Nak. Ayah dan Ibu sayang sekali sama kamu dan Kanes. Kami memang terlihat egois, Ibu tau kamu berpikir seperti itu, tapi keegoisan Ibu dan Ayah itu demi kebahagiaan dan masa depan anak-anak Ibu dan Ayah,” ucap Ibu sembari memeluk Bagas.

Selama ini kedekatan Asri dan Bagas, Ibu nilai sudah cukup. Sikap Bagas yang semula ketus pada Asri kini menjadi lebih ramah dan Ibu menilai jika Bagas perlahan sudah membuka hati untuk Asri, dan tidak ingin membuang kesempatan itu begitu saja, maka malam kemarin kedua orang tua itu memutuskan untuk menikahkan anak mereka secepatnya. Bahkan Ibu sudah mencari Wedding Organizer untuk membantu mengurus pernikahan Asri dan Bagas.

Asri sudah tahu, tentu orang tuanya dan Ibunya Bagas yang memberitahu semua ini. Wanita itu bahagia bukan main, bahkan setelah Ibu bercerita bahwa Ibu sudah berbicara pada Bagas dan pria itu tidak menolak permintaan Ibu. Pernikahan mereka akan di laksanakan bulan depan, Asri meminta resepsi pernikahan itu digelar secara sederhana saja hanya kerabat dan keluarga saja yang akan mereka undang.

🍃🍃🍃

Kirana tersenyum menatap kotak bekal yang sudah ia persiapkan sedari tadi, ia ingin memenuhi janjinya pada Raga untuk membawakan pria itu makan siang ke kantornya. Sebenarnya, Raga sudah bilang pada Kirana bahwa dia sama sekali tidak keberatan jika harus mengambilnya ke rumah Kirana, namun Kirana bilang ingin mengantarnya sendiri sekaligus ingin melihat kantor Raga yang baru. Bekal yang Kirana buatkan untuk Raga tampak sederhana memang, namun ia hias dan tata serapih mungkin hingga mengundang selera makan bangkit jika hanya dengan melihat dan mencium aromanya.

Kirana membuat ayam goreng ketumbar, pecel dengan sayuran segar yang sudah ia rebus dengan saus kacang yang ia pisah agar Raga bisa mencampurnya sendiri nanti dan tak lupa dengan tempe dan tahu bacem. Selain itu, Kirana juga membawakan Raga puding strawberry, tidak hanya untuk Raga pudingnya, tapi ia bawakan juga puding itu untuk Ethan. Membayangkan pria itu memakan masakannya dengan lahap saja sudah bisa membuat senyum diwajah Kirana itu mengembang dengan sempurna.

Setelah selesai menyiapkan kotak bekalnya, wanita itu bersiap-siap untuk ke kantor Raga kemudian langsung melesat ke tempatnya bekerja. Untungnya bus yang akan membawa Kirana ke kantor Raga itu tidaklah lama, diperjalanan ia melihat gedung-gedung tinggi menjulang dari dalam bus. Ia sedikit merindukan waktu-waktu menjadi karyawan kantoran disebuah firma arsitektur. Pekerjaan yang pernah ia anggap monoton, harus bangun pagi agar tidak terjebak macet, begitu sampai mejanya harus langsung memeriksa surel, menunggu jam makan siang, meeting, harus meninjau lokasi proyek dan itu terus ia lakukan selama beberapa tahun bekerja di firma arsitektur.

Sebenarnya Kirana selalu memiliki kesempatan untuk kembali ke kantornya dulu berkat Satya, namun ia belum siap atau mungkin bisa dibilang terlalu nyaman untuk bekerja sebagai karyawan toko. Gajinya memang tidak seberapa, tapi dengan gaji itu Kirana mampu menghidupi dirinya sendiri, sedikit mencicil hutang Bapak dan mendapatkan ketenangan hati. Terlebih yang lebih penting baginya adalah ia bisa merasa terus dekat dengan Ibu. Aroma dari toko kue tradisional itu memberikan kenangan tersendiri akan Ibunya, seragam yang Ibu pakai dan rasa-rasa makanan disana, toko itu terlalu melekat akan sosok Ibu.

Untuk sementara ini mungkin Kirana lebih nyaman seperti ini, begitu sampai digedung tempat Raga bekerja. Ia mengikuti arahan dari resepsionist untuk menunggu Raga dikursi, dan tak lama kemudian pria jangkung itu muncul ketika pintu lift terbuka, pria dengan lesung pipi, alis tebal dan hidung yang menjulang tinggi itu menghampiri Kirana. Disusul Ethan dan beberapa karyawan pria lainnya, membuat Kirana agak sedikit malu.

“Duh, dibawain makan siang dia, baru mau Mas traktir kamu, Ga.” Ledek Ethan yang berada dibelakang Raga. Kirana yang berada disana hanya tersenyum malu-malu sembari menunduk.

“Besok aja, Mas. Mas duluan aja sana, Raga mau makan siang bareng Kirana.” Kalau bukan kakak ipar dan mengingat jabatan Ethan di kantor rasanya Raga ingin sekali mendorong Ethan agar segera meninggalkannya berdua dengan Kirana.

“Yaudah-yaudah, Mas gak mau ganggu juga. Duluan ya, Ga, Na.” Ethan pergi dari sana bersama teman-temannya yang sudah jalan beberapa langkah lebih dulu darinya, pria itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran mungkin dengan Raga yang baru merasakan rasanya jatuh cinta, Ethan pernah berpikir jika Raga seperti remaja puber.

“Saya tadi bawain Mas Ethan puding juga sebenarnya, Mas. Malah Mas suruh pergi Mas Ethan nya.” Kirana memperlihatkan paper bag berisi puding-puding buatannya untuk Ethan. Sengaja ia pisah dengan milik Raga agar pria itu bisa langsung mengambilnya tanpa perlu repot-repot memisahkan lagi antara miliknya dan Raga.

“Nanti saya kasihin aja ya, kamu udah makan siang, Na?”

Kirana mengangguk, “udah, Mas. Tadi sebelum berangkat saya makan dulu kok.”

“Bagus kalau gitu, by the way temanin saya makan yuk? Masih cukup gak waktunya? Nanti ke toko kamu saya antar aja gimana, Na?” Raga sempat melihat arlojinya dulu yang melingkar ditangan kirinya, ia tidak akan lama untuk makan. Seharusnya masih ada sisa waktu satu setengah jam lagi untuk Kirana sebelum shift nya dimulai.

“Eh, ga..gak usah, Mas. Nanti kalau Mas terlambat masuknya gimana?”

“Enggak kok, gak akan terlambat, lagi pula habis makan siang saya harus mantau proyek di daerah Kuningan. Ya?”

Kirana sempat menimang-nimang tawaran itu sebentar, namun akhirnya ia mengangguk. Lagi pula ia ingin melihat reaksi langsung Raga saat memakan masakan buatannya, ya walau terhitung sudah sering Kirana membuatkan Raga makan siang. Raga menggandeng tangan Kirana menuju taman yang ada dibelakang kantor, taman yang hanya bisa dimasuki oleh karyawan kantor tempat Raga bekerja saja. Tidak terlalu ramai disana, hanya ada beberapa karyawan saja yang sedang menikmati makan siang mereka bahkan ada yang sedang membaca buku atau sekedar mencari ketengan dengan sendirian sembari mendengarkan lagu.

“Waduh, wangi banget.” Raga memejamkan matanya, menikmati harum dari masakan buatan Kirana begitu kotak bekal itu ia buka. “Ayam goreng, pecel, tempe dan tahu bacem. Aduh kesukaan saya semua ini sih, Na. Saya makan ya?”

Kirana mengangguk kecil sebagai jawaban, ia kemudian memperhatikan Raga mencampur bumbu pecel buatannya, mengaduknya hingga rata dan memotong ayam dengan ukuran lebih kecil, tapi sebelum itu ia sempat memakan satu suapan tempe bacem buatan Kirana itu. Dengan senyum mengembang dan kedua pipi yang menggelembung karena terisi penuh makanan, Raga mengangguk-anggukan kepalanya. Tidak bisa bohong kedua mata pria itu jika makanan yang Kirana buat berhasil membuatnya senang.

“Enhak banghet, Na.”

“Di telan dulu, Mas. Makannya pelan-pelan aja.” Kirana terkekeh, gemas sekali melihat tingkah laku Raga yang terkadang seperti kekanakan ini. Mungkin orang lain akan kaget jika tahu Raga yang mereka kenal pendiam ini ternyata memiliki sifat kekanakan juga.

“Enak banget!!” pekiknya saat makanan itu sudah ia telan. “Kamu beneran gak mau lagi nih?”

Kirana menggeleng, “enggak, Mas. Saya udah kenyang banget. Dihabisin kalau gitu ya.”

“Pasti lah, masa makanan enak gini gak dihabisin.” Raga terkekeh sembari menyuap kembali makanan itu ke dalam mulutnya.

Dia benar-benar menikmati makanan yang Kirana buat, selama Adel menikah dan pisah rumah dengannya jarang sekali Raga makan-makanan rumahan. Dia tidak terlalu pandai untuk memasak sendiri, makanya di rumahnya pun tidak ada stok makanan mentah seperti ayam dan sayur-sayuran. Raga lebih sering membeli makanan lewat aplikasi pesan antar saja, seadanya saja yang terpenting perutnya kenyang. Lain hal nya kalau Mama dan Papa nya berkunjung ke Jakarta, Raga pasti akan puas sekali makan-makanan Mama nya itu.

“Mas?” Panggil Kirana.

“Ya?” Raga menoleh ke arah Kirana, memperhatikan rambut panjang wanita itu yang sedikit tertiup angin. Ingin sekali rasanya ia taruh dibelakang telinga helaian rambut itu agar tidak menghalangi wajah dahayunya.

“Kemarin, waktu kita sama yang lain jenguk Reisaka. Mas Raka ngomong sesuatu sama saya yang buat saya sedikit kaget dengarnya sih.”

“Oh ya? Ngomong apa?”

“Saya boleh cerita sama Mas?”

Raga membereskan kotak bekas makannya itu, kembali memasukkannya ke dalam paper bag dan kini fokusnya sepenuhnya ke wanita disebelahnya itu. Raga tersenyum dan mengangguk, dia akan merasa sangat bahagia jika Kirana ingin bercerita padanya. Ia merasa di percayai wanita itu sepenuhnya untuk dibiarkan mendengar ceritanya.

“Boleh, apa? Kamu mau cerita apa soal Raka.”

Kirana menghela nafasnya pelan, “Mas Raka kemarin tanya ke saya soal Bagas.”

“Bagas?” Raga mengerutkan keningnya bingung. “Ada apa sama dia?”

“Iya Mas Raka tanya kabar Bagas ke saya, dan saya jawab terakhir kali saya tau dia sedang sakit tiga bulan lalu dari Kanes. Setelah itu saya gak pernah cari tahu kabar Bagas lagi. Terus, Mas Raka tanya ke saya kalau saya tau gak kalau Bagas dijodohin sama perempuan lain dan apa saya kenal perempuan itu.”

“Okay terus?”

“Ya, saya jawab kalo iya saya kenal perempuan itu. Namanya Asri, dan Mas tau apa yang buat saya kaget?” Raga menjawabnya dengan gelengan pelan dikepalanya. “Mas Raka bilang kalau dia kenal Asri, karena Asri adalah Ibu dari Reisaka.”

Ucapan Kirana selanjutnya membuat Raga tercengang, pria itu sempat terdiam karena memikirkan pertemuan yang tidak disengaja dicafe beberapa bulan lalu dengan Asri, Raka dan Reisaka. Ternyata benar dugaanya kalau mereka terlihat seperti kedua orang tua bocah itu. Hanya saja waktu itu Raga enggak sempat bertanya-tanya.

“Raka pernah menikah dengan Asri kalau begitu?”

Kirana mengangguk, “iya, Mas. Mas Raka bilang, Asri mungkin enggak cerita soal pernikahannya termasuk Reisaka sama orang tua Bagas. Karena sejak Reisaka lahirpun Asri langsung ninggalin Mas Raka dan Reisaka dan memulai hidup baru di Jakarta.”

Raga menghela nafasnya pelan, ia melihat ke arah lain. Tidak habis pikir ia akan mengetahui hal ini dari Kirana. Tidak habis pikir juga jika ada Ibu yang tega meninggalkan anaknya seperti itu, memulai hidup baru dan mengejar-ngejar laki-laki lain. Pantesan selama ini Raga selalu melihat ada gelagat aneh pada wanita itu. Apalagi sejak bertemu dengannya waktu itu Asri sangat menampakan gelagat tidak nyamannya begitu melihat Raga. Seperti takut jika Raga akan mengetahui rahasianya yang entah itu apa. Ternyata rahasia besar Asri adalah Raka dan anaknya.

“Saya waktu itu pernah bertemu Asri dan Raka beberapa bulan lalu di Cafe, Na. Mereka entah habis dari mana dan ya, disana mereka ngajak Reisaka. Reisaka pun dekat sekali sama Asri, tapi begitu Asri melihat saya dia buru-buru ngajak Reisaka keluar dari cafe itu. Ya waktu itu saya juga mikirnya mereka memang sudah mau pulang aja, saya gak mikirin macam-macam.”

Kirana mengangguk, ia menunduk. Meski sudah berpisah dengan Bagas ada sedikit bagian dari dirinya yang merasa harus memberitahu hal ini pada Bagas, jika memang mereka sudah lebih dekat sekarang ini dan yang dikatakan Raka adalah sebuah kebenaran. Bagas bisa kecewa dan sakit kembali.

“Menurut, Mas. Saya harus kasih tau soal ini ke Bagas gak?” Kirana menoleh ke arah Raga. Meminta saran dari pria itu.

“Menurut saya, Na. kamu gak perlu lagi ikut campur ke dalam urusan Bagas lagi. Ya saya tahu kalian tetap bisa berteman baik setelah hubungan kalian selesai, tapi saya rasa kalau kamu kasih tau dia hal ini dan ternyata dia sudah tahu semua tentang Asri. Dia bisa mengira kamu menjelekan Asri, itu yang pertama dan yang kedua adalah. Dia bisa saja berpikir kalau kamu memberinya harapan atau berpikir jika kamu belum benar-benar melupakannya.”

“Saya pikir juga gitu, Mas.”

“Kamu fokus sama diri kamu sendiri aja ya.”

Kirana mengangguk kecil, setelah selesai menemani Raga makan siang pun Kirana langsung diantar Raga ke tokonya untuk bekerja. Raga tidak mampir, ia langsung melesat pergi karena harus meninjau ke lokasi proyek dan Kirana langsung bekerja. Siang itu toko cukup ramai apalagi di jam 3 sore, Kirana sempat kuwalahan karena satu rekan kerjanya tidak masuk. Menuju magrib saat dirinya hendak meninggalkan meja kasir untuk beristirahat, pintu toko terbuka dan menampakan seorang pria yang sangat Kirana kenali. Itu adalah Raka, pria itu tersenyum dan memberi isyrat pada Kirana untuk menghampirinya duduk disalah satu kursi disana.

“Ganggu gak, Na?” Tanya Raka begitu Kirana duduk.

“Enggak kok, Mas. Kebetulan jam istirahat saya kok, ada apa Mas Raka sampe nyamperin saya ke toko segala? by the way mau minum atau pesan apa mungkin? Es dawet sama dadar gulung disini enak banget loh, mau saya pesanin?”

Raka menggeleng pelan, selain mau bicara sama Kirana dia juga sebenarnya mau membeli makanan disana kok untuk dibawa ke rumah sakit tentunya. “Boleh, Na. Tapi nanti aja ya. Ada yang mau saya omongin ke kamu sebenarnya, Na.”

“Mau ngomong apa, Mas?”

Raka mengalihkan pandanganya dari Kirana menjadi memperhatikan jari-jarinya, kemarin saat Kirana pulang dari rumah sakit. Raka benar-benar menyesali tindakannya yang ia nilai gegabah dalam menanyakan soal Bagas, apalagi niat ingin menyeret wanita itu untuk bekerja sama menghancurkan hubungan yang tengah dibangun oleh Asri pada Bagas itu.

“Saya mau minta maaf, Na. Soal kemarin, gak seharusnya saya selicik itu buat nyeret kamu ke urusan saya.” Raka benar-benar merasa bersalah karena hal ini, bahkan untuk sampai ke toko tempat Kirana bekerja. Ia perlu meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa ia harus berani minta maaf.

Kirana tersenyum, enggak pernah kepikiran jika Raka akan datang ke toko tempatnya bekerja hanya untuk meminta maaf yang padahal Raka sendiri bisa melakukannya melalui ponsel. “Iya gapapa, Mas. Saya ngerti kok. Saya gak tau mau ngomong apa buat hubungan Mas Raka sama Asri, Mas. Tapi untuk saat ini fokus pada kesehatan Reisaka dulu aja ya, Mas. Yang dia punya cuma Papa nya aja sekarang.”

Raka mengangguk, “iya, Na. Saya pikir juga gitu, gak seharusnya saya menangin ego saya terus buat balas kelakuan Asri.”

Bersambung...

“Senyumin terus tuh HP, Ga. Sampai itu HP senyumin kamu balik kalo bisa,” celetuk Ethan saat ia melihat Raga yang masih senyum-senyum sendiri sembari memandangi ponselnya.

Raga yang sedari tadi sedang membaca pesan dari Kirana itu sampai tidak sadar jika pintu ruanganya terbuka dan munculah Ethan disana. Pria itu membawa dua cup kopi yang masih mengepul dari tangannya, ia berikan satu cup untuk Raga dan duduk didepan meja pria itu. Lama kelamaan melihat wajah Raga yang berseri dan selalu senyum-senyum sendiri itu jadi hiburan yang menggelikan sendiri untuk Ethan. Terkadang ia suka foto Raga diam-diam dan ia berikan ke Adel, kemudian sepasang suami istri itu membicarakan Raga melalui pesan singkat. Seperti apa yang tengah Raga lihat sampai pria itu senyum-senyum sendiri, atau jika sedang berduaan dengan Kirana kira-kira apa yang Raga bicarakan pada wanita itu.

Ethan dan Adel sama-sama sadar terkadang Raga agak sedikit membosankan orangnya, ya kecuali jika sedang bersama Safira. Pria itu pasti akan dengan mudahnya mendapatkan obrolan untuk dibicarakan dengan keponakannya itu. Terkadang, Ethan dan Adel juga sama-sama penasaran sudah sejauh apa hubungan keduanya. Namun Ethan dan Adel memutuskan untuk menunggu kabar baik saja dari Adik mereka itu.

“Mas Ethan nih, kebiasaan banget kalo masuk gak ngentuk dulu.” Raga menyimpan ponselnya, kemudian pura-pura memeriksa MacBook miliknya itu.

“Tadi udah ngetuk kamu aja yang gak denger lagi sibuk chattingan sama Kirana pasti nih?” tebak Ethan.

“Dih, enggak. Orang lagi pesan kue cubit rasa pistachio.”

“Halah, udah ngaku aja kamu. Gak mungkin kamu senyum-senyum sendiri gara-gara lagi baca chat dari abang ojolnya kan?”

Raga menggeleng-geleng saja, kembali memeriksa pekerjaanya tadi yang sedikit sempat tertunda. Hari ini Ethan dan Raga lembur, sebenarnya tidak berdua dengan Ethan saja ada beberapa karyawan lain yang juga sedang lembur atau sedang menggu macet hingga mereda. Hari ini Raga enggak bertemu dengan Kirana, dia gak bisa mencuri-curi sedikit waktu istirahatnya karena begitu hectic dengan proyek yang sedang dipantau nya itu. Tapi Kirana, wanita itu tetap mengirimkannya makan siang.

Raga pernah berpikir jika terus begini, mungkin berat badannya bisa sangat naik. Mengingat makanan yang dibuatkan oleh Kirana selalu enak-enak dan lumayan banyak porsinya, mungkin bisa dua porsi yang dibawakan wanita itu dan Raga tetap menghabiskannya walau ia bagi menjadi untuk dua kali makan.

“Ga?” panggil Ethan tiba-tiba.

“Apa, Mas?”

“Hubungan kamu sama Kirana udah sejauh mana sih?” Ethan melihat gerak gerik Raga, begitu mata adik iparnya itu tertuju padanya. Ethan langsung salah tingkah, ia seperti sedang ditelanjangi rasanya. “Ah, bukan Mas Ethan yang kepo loh. Ini Mas cuma nyampein rasa penasaran Mbakmu, katanya dia gak berani nanya sama kamu.”

Raga mendengus, sama sekali enggak percaya dengan alibi kakak iparnya itu. “Mana ada Mbak Adel gak berani tanya sama Raga, Mas. Penguasa dunia begitu, lebih galak dari pada Mama, Mbak Adel kan cewek yang kaya gak punya rasa takut gitu.”

Adel memang dikenal tegas bukan hanya di rumahnya saja tapi juga di kantor dulu ia bekerja, jiwa pemimpin dari wanita itu sangat kuat. Di mata Raga, selain menjadi seorang kakak perempuan. Adel itu seperti menjadi panutanya, tempatnya bercerita dikala bingung dengan akademiknya dulu. Ah, Raga jadi teringat akan Roosevelt wanita yang menjadi kakaknya Jayden dikehidupan terdahulunya itu. Roosevelt juga cukup menjadi kakak perempuan yang baik untuk Jayden meski terkadang sikap kasar akan pribuminya tidak bisa Jayden toleransi.

Dan dikehidupan sekarang ini, yang jauh lebih baik dari pada kehidupan terdahulunya. Roosevelt kembali lahir meski tidak mengingat Jayden, tapi itu cukup membuat Raga lega karena kini kakak perempuannya itu memiliki suami yang sangat baik dan mencintainya. Nasib wanita itu telah berubah banyak terutama untuk rumah tangganya, Raga sangat tahu kalau Ethan sangat mencintai Adel. Adel sudah sering cerita sejak SMA Ethan sudah berkali-kali meminta Adel menjadi pacarnya namun Adel tolak. Adel banyak memotivasi Ethan untuk mengejar pendidikannya hingga mampu menyusul Adel untuk berkuliah di luar negeri. Sejak saat itulah hubungan mereka dimulai hingga sampai saat ini. Bagi Ethan dan Adel, mereka sama-sama cinta pertama satu sama lain.

“Heh, Mas serius ini.”

“Ya Mas Ethan yang tanya juga gapapa, Mas. Gak usah jual nama Mbak Adel deh.” Raga terkekeh, kemudian menghela nafasnya pelan.

“Jadi, gimana?”

“Bingung, Mas.” Raga menyandarkan punggungnya ke kursi miliknya, memperhatikan pena yang berada diatas mejanya itu. Seakan-akan ia sedang mencari jawaban atas hubunyannya dengan Kirana di sana. “Raga masih bingung, tapi yang jelas hubungan kami berkembang cukup jauh.”

“Oh ya? Bagus dong, terus yang bikin bingung apa? Kali aja nih yah, Mas bisa bantu kamu. Mas gini-gini berpengalaman loh.”

Raga terkekeh, “berpengalaman apaan orang Mas Ethan cuma ngejar-ngejar Mbak Adel dari dulu.”

Ethan menjentikkan jarinya, “Nah-Nah!! Itu, itu. Pengalaman Mas yang gacor kan. Pengalamannya emang cuma satu tapi cewek yang di taklukin ini yang dingin dan kerasnya bukan main. Kirana sih Mas liat-liat kaya Ibu peri pasti hatinya gampang luluh.”

“Sok tau ah Mas Ethan.” Raga jadi sedikit tertawa, tapi dia setuju sama sebutan Ibu peri itu. Kirana memang sangat baik dan lembut, saat berbicara dengan orang lain suaranya sangat pelan. Kadang khayalan Raga suka melambung tinggi memikirkan seperti apa kelak jika Kirana memiliki seorang anak dan tengah memarahi anaknya jika selama ini saja suara wanita itu selalu terdengar lembut.

“Deh, dibilangin gak percaya. Coba-coba deh kamu cerita bingungnya dimana sama Mas.” Ethan memajukkan kursinya agar lebih dekat dengan meja Raga, kemudian menegakkan duduknya seperti tengah bersiap mendengarkan cerita Adik iparnya itu.

“Bingungnya bukan gimana-gimana sih, Mas. Mungkin lebih ke ragu kali ya?”

“Oke.” Ethan mengangguk-angguk. “Terus?”

“Kirana sama mantannya dulu pacaran cukup lama, Raga gak tau kapan pastinya tapi yang jelas lama. Raga masih mikir aja kalau mungkin Kirana belum bisa melupakan mantan pacarnya itu, ah, maksudnya gini. Belum sembuh dari luka sama hubungan sebelumnya.”

“Ahhh, belum move on? kamu tau dari mana emang? Dia masih suka cerita soal mantannya?”

Raga menggeleng, “enggak sih, tapi kemarin sempat tanya gitu. Ya ini sih kayanya cuma firasat Raga aja, Mas.”

“Kamu udah pernah ajak dia jalan, Ga? Ah, maksud Mas ngedate gitu?”

“Belum sih, Mas. Ya kalo jalan karena enggak sengaja atau Raga main ke rumahnya sih ya lumayan sering.”

“Ajak ngedate kalau gitu. Kemana kek, nonton kek, dinner kek ajak ke Dufan kek ya bisa-bisa kamu lah. Terus kamu lihat disitu dia gimana, sekalian tanya deh tentang perasaan dia sekarang.”

“Gak kecepetan tuh, Mas?”

“Apanya? Kamu udah dekat sama dia 4 bulan loh, Ga. Harus di kembangin ini. Harus ada kemajuan! Inget Mama sama Papa udah kepengen banget liat kamu menikah loh.” Ethan memperingati dan di balas dengan Raga yang memutar bola matanya malas, sudah bosan dia mendengar ucapan seperti itu.

“Ya maksud Raga kalau nembak sekarang gitu. Susah sih, Mas. Kirana baik ke semua orang jadi gak tau dia suka sama Raga atau gak, Raga kan gak mau kege'eran. Ntar ditolak dia gimana?”

Ethan sedikit menggebrak meja Raga dan membuat pria itu terkesiap karena kaget, “yaelah, Ga! Masa ditolak aja takut? Mas ini di tolak sama Mbak mu 10 kali aja gak takut tetap maju terus. Coba dulu lah, kalo ternyata selama ini Kirana nunggu kamu nyatain perasaan ke dia gimana? Hayo!”

“Itu mah Mas Ethan aja kalo yang mutusin urat malu demi Mbak Adel?” Raga menahan tawanya.

“Kalo sayang mah jangankan urat malu, Ga. Dia suruh Mas bangun bangun rumah yang luasnya kaya Taman Mini juga Mas jabanin.”

“Beneran?!” pekik Raga.

“Ya enggak lah, ya kali.” Ethan mendengus, “udah jadi gimana kamu sama Kirana?”

Raga menimang-nimang ucapan Ethan itu, ada benarnya juga bagaimana jika selama ini Kirana menunggunya? Tapi entah kenapa sebagian dari diri Raga masih belum yakin jika Kirana sudah benar-benar sembuh dengan luka hubungannya dengan Bagas. Raga bukan pengecut karena takut ditolak Kirana, ia hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk mengajak wanita itu berkencan memberikan waktu bagi Kirana untuk benar-benar sembuh dan siap menjalin hubungan yang baru.

Ethan berdiri dari kursinya, melangkah mendekati Raga dan menepuk bahu pria itu. “Mas sama Mbak Adel dukung kamu sama Kirana banget loh, Ga. Pokoknya Mas tunggu kabar baiknya ya!”

Setelah mengatakan itu, Ethan keluar dari ruangan Raga. Menyisakan Raga dengan banyak pertimbangan dan pertanyaan dikepalanya akan Kirana. Mungkin ia masih perlu waktu untuk melihat bagaimana menurutnya Kirana dengan hubungan dulu, mungkin saat ini ucapan Ethan benar ia harus mengajak Kirana kencan dahulu. Mungkin dari sana ia bisa mempertimbangkan kembali niatnya untuk mengajak Kirana ke hubungan yang lebih serius.

🍃🍃🍃

Entah tenggakan yang ke berapa Bagas meminum wine yang ia pesan dan begitu sadar gelasnya telah kosong pria itu meminta untuk segera diisikan, kepalanya sudah berat bukan main dan pandangannya sudah mengabur. Tidak perduli dengan lantai dansa yang terus ramai dengan riuhan orang-orang yang ada disana, tak perduli seberapa besar musik terus berputar dan berdengung ditelinganya Bagas tetap merasa sepi dan sakit. Yang terdengar jelas hanyalah suara hatinya yang patah dan gumaman dari bibirnya, terkadang jika kepalanya berkedut ia tumpuh kepalanya itu pada meja yang berada disampingnya.

Disebelahnya ada Satya, pria itu mengiyakan ajakkan Bagas untuk menemaninya melepas penat. Satya tidak tahu bahkan jika Bagas mengajaknya ke sebuah club malam jika ia tahu mungkin ia lebih memilih mengajak Bagas ke cafe atau ke tukang jamu saja, memesan kopi hingga asam lambungnya itu naik atau memesan jamu dengan rasa pahit yang hampir menyerupai alkohol, dari pada harus masuk club malam, bertabrakan dengan beberapa orang mabuk yang sedang menikmati musik dilantai dansa. Pada tenggakan ke delapan dari gelas yang sudah diisi oleh wine lagi, Satya menahan tangan Bagas agar pria itu tidak meminumnya.

“Gas, udah. Lo udah mabuk banget ini astaga.” Satya berusaha melepaskan gelas itu dari tangan Bagas namun tenaga Bagas yang jauh lebih besar darinya itu mengalahkan Satya. Dari pada gelasnya pecah dan Satya terpaksa mengganti, lebih baik ia lepaskan saja tangannya dari gelas itu.

“Hhhnnggg gue masih haus, Mas Satya. Udah elu diem aja disitu diem. Pesen minum gih, tapi jangan cola lagi yah.” Bagas meracau tidak jelas lagi, pria itu tertawa lepas namun matanya berkaca-kaca.

Satya menggaruk kepala belakangnya, kepalanya sudah pening karena melihat Bagas seperti ini alih-alih dia mabuk. Kupingnya berdenging rasanya ketika orang-orang berseru semakin kencang seiring musik terus diputar, suasana ramai seperti ini yang sangat tidak Satya sukai, ia bukan baru pertama kali datang ke sebuah club malam kok. Ia pernah beberapa kali datang sewaktu ia masih kuliah, ia tidak menyukai tempat itu makanya ia memutuskan untuk tidak pernah datang kembali ke sana. Kalau bukan karena Bagas adalah temannya, Satya mungkin sudah pulang sedari tadi.

“AAAAHHHHHHHHH” Bagas teriak, membuat Satya tersentak dan memegangi dadanya. Jantungnya hampir saja berhenti.

“Anjir lu yah, Gas. Bikin gue kaget aja sumpah ya Tuhan, udah-udah cukup minumnya elu udah mabuk banget ini!” Pekik Satya, lagi-lagi ia mencoba untuk merebut gelas yang berada ditangan Bagas itu. Kali ini berhasil dan ia singkirkan gelas itu dari sana.

“Mas... Gue kangen Kirana..” Gumam Bagas, ia meneteskan air matanya. Tubuhnya yang jangkung itu terhuyung kesana kemari karena dirinya yang setengah sadar. Demi alkohol yang bersarang didalam darahnya, ia masih merindukan wanita itu. Sakitnya masih ada dan lagi-lagi Bagas merasa dirinya hancur. Bahkan dengan ia memukul-mukul dadanya saja sakitnya masih belum terkalahkan.

“Gas, elu kalo kangen dia itu samperin ke rumahnya bukan malah ke sini.” Satya sedikit berteriak agar Bagas bisa mendengarnya.

Bagas menggeleng, ia kembali menyandarkan kepalanya dimeja yang ada disana dan menangis seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Ia tidak perduli beberapa orang memperhatikannya dengan pandangan aneh atau bahkan merasa iba, yang ia perdulikan satu-satunya ditempat sialan itu hanyalah hatinya yang sakit.

“Gue gak punya muka buat ketemu dia, Mas. Kirana pasti udah benci sama gue. Dia pasti udah lupain gue, dia baik-baik aja tanpa gue, Mas. Dia pasti udah punya cowok baru yang bisa sayang sama dia makanya dia baik-baik aja.”

“Hubungan lo sama Kirana itu lebih dari 5 tahun, Gas. Gak mungkin dalam setahun Kirana udah move on. ayolah, Gas. Lo bisa cerita apapun itu ke gue asal gak gini caranya.”

Bagas menggeleng, ia kembali menangis dan memukul-mukul meja di sana. Berharap tangannya akan sakit dan seluruh sakit dihatinya akan berpindah ke tangannya itu. “Gabisa, Mas.. Udah gak bisa..”

Satya mengusap wajahnya frustasi, ia mencoba untuk memapah tubuh Bagas dan membawanya keluar dari sana. Ia tidak tahu Bagas kenapa, sewaktu mereka bertemu pria itu tidak banyak bicara dan langsung mengajaknya ke club. Di club pun pria itu langsung memesan wine dan menenggaknya hingga mabuk.

“Gue anterin lo balik ya?” Satya menarik tangan Bagas, menaruh satu tangan pria itu dipundaknya dan memapah tubuh jangkung itu keluar dari kerumunan orang diclub malam itu. Tubuh Bagas yang biasanya berisi itu kini agak sedikit kurus, sebenarnya cukup mudah memapahnya namun yang menyulitkan Satya adalah Bagas yang selalu berpegangan pada apapun didekatnya agar Satya tidak membawanya keluar dari club itu

“MAS SATYA GUE GAK KEPENGEN PULANGGGG!!” Rengek Bagas dengan suara yang agak kencang, membuat Satya menutup mulut pria itu dengan satu tangannya.

“Jangan teriak, Gas. Astaga kuping gue!!”

“Gue gak mau pulang. Ayo balik lagi, Mas. Kita cari Kirana didalam!”

“Gak, lo harus pulang lo udah mabuk banget begini! Kirana kagak ada didalam lo jangan ngaco deh.”

Tidak lama kemudian Bagas terdiam, tubuhnya keringatan dan matanya terpejam. Tanganya berpegangan erat pada bahu Satya tapi setelahnya pria itu menangis kembali, Satya tidak menggubrisnya ia terus membawa Bagas ke parkiran dan mencari mobilnya disana untuk segera mengantar Bagas pulang. Begitu sampai didepan mobilnya, sialnya Satya kesulitan untuk mengambil kunci miliknya disaku celana nya, alhasil ia sandarkan dulu Bagas dimobilnya namun sialnya karena Bagas tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, pria itu terjatuh dan kepalanya menghantam aspal.

Satya membulatkan matanya dan buru-buru membantu Bagas untuk bangun kembali, pria itu merintih dan menangis lagi. Namun Bagas menyingkirkan tangan Satya, ia tiduran diaspal sambil melihat ke langit-langit malam itu yang sepi tanpa bintang. Bahkan bulan pun tertutup oleh awan kemerahan malam itu sedikit mendung, Bagas menghiraukan keningnya yang berdarah karena terkena aspal itu, pedihnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan sakit dihatinya.

“Gue gak mau nikah sama cewek yang gak gue sayang, Mas.” Gumam Bagas, air matanya mengalir.

“Lo bilang ke orang tua lo, Gas. Bukan pasrah gini aja.”

“Kalo gue mati, Kirana bakalan nemuin gue gak ya, Mas?”

“Mulut lo!!” Satya menabok mulut Bagas untuk yang kedua kalinya. “Lo kalo masih sayang sama Kirana, perjuangin dia lagi, Gas. Yang mau jalanin hubungan ini lo sama dia, ini hidup lo. Lo yang paling berhak mau ngarahin hidup lo kemana dan bagaimana bukan orang tua lo, Gas.”

“Gue mau ngajak Kirana kawin lari, Mas.” Bagas terkekeh, “mau gak yah dia? Nanti lo yang jadi saksinya yah?”

Satya lagi-lagi mendengus, ia mengacak-acak rambutnya. Karena tidak ingin membuat Bagas terus ngomong ngalor ngidul akhirnya ia kembali membangunkan Bagas dan membawanya masuk ke dalam mobilnya susah payah. Ketika Bagas sudah masuk ke dalam mobilnya dan seatbelt telah terpasang dipinggangnya, Bagas menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika nafasnya tersenggal karena membawa Bagas masuk ke dalam mobilnya dengan susah payah.

“Sumpah yah, Gas. Bagas yang gue kenal itu bukan yang kaya gini!”

“Mas?”

“Apaan?” Satya menoleh ke arah Bagas.

“Gue mau mun—HOEKKKK” belum sempat Bagas menyelesaikan ucapannya, pria itu sudah memuntahkan isi perutnya dan mengotori mobil Satya. Alih-alih merasa bersalah, Bagas justru tersenyum sembari mengusap ujung bibirnya dengan telapak tangannya.

“Ya Tuhan, BAGASSSSS!!” pekik Satya. Dengan perasaan sedikit kesal namun tidak tega melihat Bagas yang sangat frustasi itu, akhirnya Satya melajukkan mobilnya menuju rumah Bagas.

Untungnya ada Kanes yang tengah duduk diteras, langsung saja ia panggil adik perempuan Bagas itu untuk membantunya memapah Bagas dan membawanya masuk ke dalam rumah. Bagas masih terus meracau, menyebutkan nama Kirana berkali-kali dan masih menangis. Kedua orang tua Bagas sudah tidur mengingat malam itu Satya mengatarkan Bagas pulang sudah jam dua malam.

“Kok bisa kaya gini sih, Mas Satya?” tanya Kanes bingung, keduanya menidurkan Bagas disofa karena Satya dan Kanes tidak kuat membawa Bagas ke lantai dua tempat kamarnya berada.

“Gue sendiri bingung, Nes. Dia nelfon gue ngajak gue keluar, pas gue samperin dia malah ngajak gue ke club dan minum banyak banget, ada apa sih, Nes?”

Kanes melihat Bagas yang sudah tertidur namun ia masih meracau nama Kirana disana, air matanya mengalir namun matanya terpejam. Ia tidak tega melihat Bagas seperti itu, beberapa hari yang lalu Bagas memang sempat bercerita pada Kanes jika ia tidak ingin menikah dengan Asri. Bagas sudah bicara sekali lagi pada kedua orang tua nya namun Ayah justru memaki Bagas dan membuat kakaknya itu kembali merasa hancur akan hidupnya. Seperti tidak memiliki harapan lagi, bahkan Kanes juga sudah berbicara dengan Asri untuk memikirkan sekali lagi tentang pernikahannya dengan Bagas. Namun Asri bilang semua sudah terlanjur, undangan sudah hampir selesai dan bahkan sudah banyak orang yang tahu akan rencana ini. Jika sampai batal, bukan hanya Asri dan mungkin Bagas yang malu tapi keluarga mereka juga akan malu.

“Kanes bingung, Mas. Yang jelas, bulan depan Mas Bagas mau menikah dengan Mbak Asri,” jawab Kanes lirih.

“Dia bilang dia gak mau menikah sama Asri, Nes. Kalian tetap mau maksain? Bagas sudah sehancur ini loh?”

“Mas Bagas sendiri udah ngomong ke Ibu sama Ayah, Mas. Tapi merekah kekeuh mau menikahkan Mas Bagas. Persiapannya juga sudah hampir selesai.”

Satya menghela nafasnya pelan, ia tidak bisa banyak ikut campur tentang hal inu karena ia bukan keluarga Bagas. Ia hanya tidak tega melihat Bagas banyak sekali berubah sejak putus dari Kirana. Keluarga Bagas bahkan tidak memikirkan perasaan Bagas, yang mereka perdulikan hanya ego untuk segera menikahkan putra mereka pada anak sahabat mereka. “Yaudah kalau gitu gue balik dulu ya, kalau ada apa-apa kabarin gue aja ya, Nes. Tolong jangan biarin Bagas sendirian dulu. Tolong lebih sering temanin dia ya.”

Kanes mengangguk, “iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas.”

Bersambung...

Seaworld?” pekik Kirana, ia terkekeh kecil kemudian menatap Raga yang berdiri disebelahnya, pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana nya itu dan mengangguk kecil. “Kaya lagi nostalgia masa kecil tau gak? Saya pertama kali ke sini itu waktu TK, terus gak pernah ke sini lagi.”

“Oh ya?” Raga tersenyum, ia sempat menggaruk kepala belakangnya itu yang tidak gatal sama sekali. Awalnya malu mengajak Kirana ke Taman Bermain itu, namun Raga hanya kepikiran ke sana. mungkin ia bisa merencanakan makan malam romantis kelak. Tapi siapa sangka jika Kirana terus tersenyum sejak mereka mengantre masuk, wanita itu benar-benar terlihat bahagia. “Anggap aja kalau gitu kita lagi nostalgia masa kecil, pasti udah beda banget kan dari yang terakhir kamu ke sini?”

“Jelas beda dong, Mas.” Kirana tersenyum, kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain untuk melihat-lihat sekitarnya.

Tempatnya sudah sangat amat berbeda dari yang terakhir kali Kirana datangi sewaktu TK, waktu itu Kirana ke akuarium besar itu ditemani oleh Ibu saat ada acara jalan-jalan mengenal berbagai macam biota laut dari TK nya. Kirana kecil sangat bahagia dan takjub sepanjang disana, melihat akuarium besar yang menampakan berbagai macam ikan dengan ukuran dan jenis, melihat atraksi ikan pari dan lumba-luma, kemudian berfoto. Sampai saat ini pun bahagianya masih sama, begitu mereka masuk. Kirana langsung berlari kecil melangkah lebih dulu dari Raga, pria yang lebih tua darinya itu menyusul dengan berjalan kecil. Senyum diwajah tampan nya itu terus terukir.

Pertama kali mereka masuk disambut oleh akuarium-akuarium kecil di Coral Reef Area disana hanya ada ikan-ikan kecil seperti ikan badut, ikan ttang yang menurut Raga mirip dengan ikan Dory, terumbu karang warna warni dan juga ikan buntal, Kirana sempat meletakan tangannya di depan akuarium itu dan menatapnya penuh takjub. Cahaya yang terang berpendar ke seluruh penjuru ruangan itu dapat membuat Raga bisa melihat wajah cantik disebelahnya itu dengan jelas.

Kirana sangat cantik saat ini, mengenakan midi dress berwarna merah muda dengan motif bunga sakura dan balutan cardigan berwarna kuning cerah dengan pita kecil dibagian dada sebelah kirinya, rambut wanita itu dibiarkan tergerai indah dengan polesan make up tipis dan warna bibir sedikit kemerahan, semuanya tampak pas dan indah. Kirana bahkan tidak terlihat seperti wanita berumur 28 tahun saat ini.

“Kamu tau gak, Na. Kalau ikan badut itu spesial banget menurut saya. Bukan spesial juga sih lebih ke lucu aja,” ucap Raga tiba-tiba.

Kirana menoleh ke arahnya dengan wajah penasarannya itu, “kenapa, Mas?”

“Karena ikan badut itu bisa ganti kelamin.”

“Hah? Masa sih?” Kirana tersenyum, dia baru tau fakta ini atau mungkin ia lupa, karena pertama kali Kirana ke sea world itu ia masih TK dan tidak memperdulikan fakta-fakta biota laut yang ada disana meski gurunya menjelaskan. Ia hanya terpaku pada keindahan yang tersugu di dalamnya saja, meski sudah disediakan papan tentang biota-biota lait disana Kirana juga tidak memperdulikannya ia benar-benar telah tersihir oleh keindahan didalamnya.

Raga mengangguk, “Yup, ikan badut itu lahir sebagai jantan. Dalam satu kelompok yang besar itu betina dan yang terbesar kedua adalah jantan, nah kalau betinanya mati jantan terbesar berubah jadi betina. Ini tuh dinamain hermaprodit sekuensial.

Kirana mengangguk-angguk takjub, “kok gitu sih, lucu yah.”

“Yup, unik. Terus yah, mereka juga dikenal setia karena enggak pernah pindah rumah. Dan yang buat aku takjub ikan badut jantan itu tuh gentle banget loh.”

“Oh ya?”

“Um,” Raga mengangguk kecil. “Badut jantan itu yang menjaga telur, ngipasin pakai siripnya dan ngejaga telur nya dari serangan predator.”

Kirana memperhatikan Raga saat menjelaskan, pria itu seperti tengah memberi penjelasan kepada seorang anak kecil dan Kirana tampak antusias mendengarnya. Raga juga menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siapapun itu seperti ia tengah mendongeng. Dari samping tempatnya berdiri, cahaya yang terang itu semakin memperjelas pahatan sempurna wajah tampan Raga. Kirana baru sadar jika Raga sangat amat tampan dengan hidung mancung, kulit pucat yang bersih itu, alis tebal dan bulu mata lentiknya.

“Mas kalo lagi jelasin sesuatu ke Safira kaya gini ya?”

“Iya, kurang lebih kaya gini. Safira itu senang banget kalau di ajak ke sea world berapa kali pun dia tetap akan senang.”

“Kapan-kapan kita ajak dia ke sini ya, Mas?”

“Boleh.”

Keduanya kembali menjelajahi tempat-tempat disana, kebetulan saat mereka datang sedang ada pertunjukan memberi makan ikan-ikan di sana, Kirana dan Raga sempat berhenti sebentar untuk melihat pertunjukan itu. Mata Kirana berbinar menatap kagum pada ikan-ikan yang berkumpul didepan mereka itu, sesekali ia tertawa ketika mendengar celetukan dari seorang murid taman kanak-kanak yang juga sedang melihat pertunjukan itu.

Mereka berada disana agak sedikit lama karena Kirana masih menikmati pertunjukan memberi makan ikan-ikan tersebut, matanya jarang sekali berkedip sampai terkadang Raga khawatir jika mata Kirana akan cepat kering. Sesekali saat ada ikan lewat di depan mereka, Kirana memotretnya dan menunjukkannya pada Raga.

“Kaya kembali jadi anak-anak ya?” ucap Raga pada Kirana.

“Um, Mas?”

“Ya?” Raga menoleh.

“Masa anak-anak kamu yang paling indah itu apa?”

Raga tersenyum, ini untuk pertama kalinya Kirana bertanya tentang dirinya seperti ini. “Hhmm.. Apa ya, jujur aja. Saya kecil itu enggak kaya anak-anak kebanyakan kalau kata Mbak Adel.”

“Oh ya? Kenapa?”

“Karena saya lebih senang belajar sama baca, kalau pun Mama dan Papa ngajak saya jalan-jalan itu rasanya biasa aja. Saya baru akan benar-benar bahagia kalau bisa baca buku cerita. Rasanya bukan anak-anak banget ya?” Raga terkekeh, kadang ada rasa ia ingin mengulang waktu-waktu berharga itu lagi. Menjadi anak kecil, beranjak remaja, masa remaja yang kata orang sedang indah-indahnya dan dewasa. Makanya ada alasan kenapa Raga mengajak Kirana ke taman bermain selain enggak tau mau ngajak wanita itu kemana, ia juga ingin mengulang masa kecilnya.

“Hhmm.. Agak kurang anak-anak sih,” Kirana terkekeh. “Tapi gapapa, itu pasti artinya orang tua kamu gak kerepotan ngurusin kamu karena kamu kelihatanya anteng banget cuma di kasih buku?” tebak Kirana.

“Kurang lebih begitu, kalau kamu sendiri.” Raga memangku dagunya menggunakan satu tanganya dan menatap Kirana, tidak sabar mendengar cerita masa kecil wanita itu.

“Saya kecil itu suka banget kalau Ibu sama Bapak ngajak ke puncak, ke kebun teh, kebun strawberry terus liat hewan-hewan gitu pokoknya saya suka banget. Sampe dulu cita-cita saya pernah mau jadi dokter hewan loh, Mas.”

“Oh ya?” Raga mengulas senyumnya, senang rasanya melihat Kirana bisa lebih banyak bicara. wanita itu juga lebih sering tersenyum akhir-akhir ini. “Terus kenapa kamu gak ngambil kedokteran hewan waktu itu?”

“Karena saya punya pengalaman jelek sama hewan, terutama sama anjing, Mas. Jadi dulu tuh tetangga saya punya anjing, saya kecil itu gak kenal takut sama hewan pokoknya kalau liat hewan bawaanya mau ngelus aja. Terus saya deketin deh anjing itu, eh gak taunya anjingnya galak dan dia ngejar saya dong. Sejak itu deh saya mikir kayanya saya enggak cocok buat jadi dokter hewan.”

Raga agak sedikit terkekeh, mungkin itu pengalaman yang tidak mengenakan untuk Kirana namun dimata Raga agak sedikit lucu. Kirana yang melihat Raga tertawa itu memukul kecil bahu Raga dengan wajah tidak terimanya itu. “Ihh kok ketawa sih, itu tuh traumatis banget tau.”

“Iya maaf-maaf, gapapa sih. Agak lucu aja dikit, terus kamu gimana akhirnya? Enggak digigit kan?”

Kirana membalikan badannya dan melihat ikan-ikan didepan mereka lagi yang berseliweran. “Enggak kok, anjing nya tuh ternyata gak gigit cuma ngejar aja karna ya saya bawa makanan buat dia gitu. Pas saya jatuh, dia cuma berdiri didepan saya terus ngendus-ngendus bungkus makanan yang saya bawa. Kata pemiliknya dia terlalu excited.

“Tapi ada baiknya juga kamu gak jadi dokter hewan loh, Na.”

Kirana menoleh ke arah Raga dengan kening berkerut, “baiknya?”

“Ya kalau kamu jadi dokter hewan mungkin kita gak ketemu.” Setelah mengatakan itu telinga Raga berubah menjadi merah, dia sendiri gak nyangka akan dengan lugasnya berbicara seperti itu pada Kirana. Ucapan yang mungkin terdengar menggoda di telinga siapapun itu, namun ucapan barusan datang dari lubuk hatinya. Ia sangat bersyukur dan menghargai pertemuannya dengan Kirana dikehidupan sekarang ini.

Bukan hanya Raga saja yang salah tingkah, tapi Kirana juga. Wanita itu tersenyum malu-malu kemudian berjalan lebih dulu ke arah lorong Antasena. Raga yang menyadari Kirana malu itu langsung memejamkan matanya dan menepuk keningnya sendiri sampai akhirnya ia menyusul wanita itu, mereka sempat berfoto berdua disana, menyapa ikan-ikan yang lewat sembari bercerita tentang masa kecil mereka lagi, sedikit berlari kecil dan ikut bernyanyi bersama anak-anak TK yang juga sedang berkunjung. Sebelum mampir ke wahana bermain nya, keduanya sempat makan siang lebih dulu. Keduanya makan dengan lahapnya sembari melihat foto-foto di ruang Antasena barusan.

Raga gak menyangka jika ia bisa berfoto sebanyak itu bersama Kirana tanpa merasa mati gaya, semuanya benar-benar mengalir begitu saja. Sesekali Kirana tertawa ketika menemukan ekspresi wajah Raga yang konyol, Kirana juga sempat memotret Raga beberapa kali tanpa pria itu sadari. Setelah mengisi perut, keduanya langsung pindah ke taman bermain. Menaiki satu persatu wahana dengan senyum yang terus merekah, terkadang jika keduanya menaiki wahana yang menguji adrenaline Raga berteriak kencang karena kaget dan Kirana tertawa begitu lepas karena Raga yang ketakutan.

“Ada animal hat mau beli gak, Mas? Lucu tau!!” Kirana menarik tangan Raga untuk melihat-lihat topi berbentuk kepala binatang itu, sementara Raga hanya menurut saja.

“Kamu mau yang mana, Na?” Siapa sangka jika Raga juga antusias, hal-hal yang dulu ia anggap kekanakan kini terlihat sangat mengasikan ternyata. Bahkan Raga jauh lebih antusias dari Kirana yang mengajaknya di awal. “Lucu gak, Na?”

Raga mengambil topi dengan bentuk karakter kartun bernama Judy dari animasi Zootopia yang tampak begitu imut jika Raga yang memakainya, Kirana yang melihat itu sempat tertawa namun akhirnya ia mengangguk. Raga tampak sangat imut mengenakkan topi itu dan sangat cocok dimatanya.

“Lucu, kalo saya cocokan yang mana, Mas?” Kirana mengambil dua buah topi berbentuk karakter Nick di animasi Zootopia dan karakter kepiting.

“Hhmm..” Raga bergumam, ia melihat dua topi yang Kirana pegang itu sembari mencocokan dengan wajah Kirana. Sampai akhirnya pilihannya jatuh kepada topi karakter Nick itu. “Ini lucu cocok banget kalau kamu yang pakai.”

Kirana akhirnya menaruh topi dengan bentuk kepala kepiting itu dan memakai topi rubah yang Raga pilih barusan, keduanya sempat berkaca dan saling menertawakan diri sendiri. Raga juga sempat mengambil beberapa gambar dirinya dan Kirana dengan topi itu sebelum akhirnya membayar topinya, dengan konyolnya keduanya berjalan mengitari taman bermain dan menaiki hampir separuh wahana itu dengan topi Judy dan Nick dari animasi Zootopia itu.

“AAAAHHHHHHH” teriak Kirana saat mereka menaiki wahana yang mengayun agak tinggi itu.

Ia bisa merasa sangat lepas berteriak disana. Sembari sesekali tertawa karena Raga yang sepertinya sangat sudah tidak tahan, sedari tadi wahana itu mengayun, Raga memegang erat lengan Kirana dan sesekali menyandarkan kepalanya dipundak Kirana dan memejamkan matanya. Ia takut bukan main, rasanya seperti jantungnya pindah ke perut ketika wahana itu hendak membawa mereka mengayun tinggi.

Sebenarnya Kirana enggak tega melihat Raga dengan peluh yang membasahi keningnya dan topi kelincinya yang sudah hampir lepas itu, namun raut wajah pria itu begitu lucu menurutnya. Begitu wahana itu berhenti, Raga buru-buru berlari ke wastafel yang ada disana dan memuntahkan isi perutnya. Kirana juga ikut berlari mengejar, melihat Raga muntah ia sedikit khawatir.

“Mas gapapa?” tanya Kirana khawatir.

“Gapapa, Na. Ini kayanya tadi kita habis makan, terus makan es krim, makan rambut nenek. Terus naik wahana tadi bikin aku mual.” pria itu menggandeng tangan Kirana untuk duduk di kursi yang ada disana, ia sandarkan sebentar punggungnya disana sembari mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena perutnya bergejolak.

“Masih mual gak, Mas?” Kirana membukakan sebotol air mineral yang tadi ia taruh didalam tasnya dan memberikan air itu ke Raga.

Raga menggeleng, “enggak kok.”

“Beneran?”

Raga mengangguk lagi, ia agak malu karena muntah barusan membuatnya berpikir tidak keren di mata Kirana. Padahal Kirana sama sekali tidak memikirkan hal itu ia hanya khawatir Raga masuk angin atau trauma karena menaiki wahana-wahana barusan, karena melihat keringat yang mengucur didahi hingga lehernya, Kirana mengambil tissue disaku cardigan nya dan mengusap kening Raga dengan tissue itu. Sontak itu membuat degub jantung Raga makin tidak karuan, susah sekali ia menelan saliva nya itu. Pandangan matanya tak ayal berpindah dan terus menatap wajah Kirana seperti ia sedang di hipnotis oleh wanita itu.

Ternyata adrenaline yang sesungguhnya bagi Raga bukanlah menaiki wahana-wahana sialan yang membuat isi perutnya keluar barusan, tetapi melihat Kirana dari dekat seperti ini yang justru membuat jantungnya hampir melompat keluar. Kuping pria itu semakin memerah dan tangannya yang memegang botol minum itu bergetar, Raga menarik nafasnya dan menghembuskannya dari mulut perlahan-lahan. Hilang semua sudah wibawanya saat ini, kata keren jauh dalam diri Raga yang terlihat culun seperti saat ini.

“Mas, kenapa?” tanya Kirana, ia khawatir apalagi saat melihat ekspresi wajah Raga.

“Ngg..gapapa, Na.”

“Beneran?”

“Ki..kita masuk ke istana boneka yuk? Mumpung sepi.” Raga berdiri, ia menarik tangan Kirana dan mengajaknya untuk memasuki wahana istanah boneka, kebetulan antreannya tidak panjang.

Raga pikir, memasuki istanah boneka akan sangat membosankan. Tapi wahana itu jauh lebih seru dari bayangannya, menaiki perahu yang berjalan melalui lorong demi lorong yang dipenuhi oleh berbagai macam boneka yang bisa bergerak, di iringi oleh lagu membuat Raga benar-benar terlempar ke masa lalu. Ia seperti diajak kembali ke masa anak-anaknya dulu.

Terkadang, Kirana yang duduk disampingnya itu merekam Raga yang tampak bersemangat saat melihat boneka-boneka itu bergerak seperti hendak menyapa pengunjung. Mereka juga sempat berfoto berdua disana, kemudian seorang anak kecil yang duduk di belakang Kirana dan Raga terkadang ikut dalam foto keduanya. Raga tertawa kemudian mengajak bocah itu untuk berfoto bersama. Setelah keluar dari wahana istanah boneka, Raga mengajak Kirana untuk menaiki satu wahana lagi yang menurutnya benar-benar membosankan, mereka menaiki komedi putar yang berada dipaling depan dekat pintu masuk Taman Bermain tadi.

Tidak begitu ramai disana karena hari semakin gelap dan sebentar lagi Taman Bermain itu akan segera tutup, Kirana dan Raga menaiki kuda di sana menikmati setiap putaran yang tidak begitu kencang, terkadang Raga memotret Kirana diam-diam. Ikut bernyanyi lagu Taman Bermain itu yang sedang diputar, terkadang Kirana tertawa saat Raga melebarkan tangannya atau berpose memeluk kuda yang ia tunggangi, persis seperti anak kecil. Enggak pernah terpikirkan didalam kepala Kirana jika Raga yang terlihat kaku dan dewasa bisa kekanakan seperti ini juga.

“Kayanya kita harus sering-sering kesini deh, Na. Ada banyak permainan yang belum kita naikin karena keburu malam,” ucap Raga ketika keduanya sudah dalam perjalanan pulang.

“Boleh, kalau enggak salah bulan depan ada wahana rumah hantu. Mau coba masuk, Mas?”

“Duh, enggak deh. Gak berani saya kayanya, nonton film horor aja saya enggak berani.”

“Ih, masa? Tapi seru tau Mas kayanya.”

“Na?”

“Ya, Mas?” Kirana menoleh.

“Bulan depan, saya diundang sama teman saya buat nonton acara Orkesranya mau ikut?”

“Boleh!!” Kirana mengangguk-angguk, dahulu sewaktu SMA Kirana pernah di ajak Bapaknya sekali menonton pertunjukan orkesra.

“Saya jemput nanti ya.”

“Oke.”

Mobil yang dikendarai Raga berhenti didepan rumah Kirana, Kirana tidur ternyata pantasan saja sedari tadi Raga bicara wanita itu hanya menjawab dengan dehaman kecil saja. Tidak tega rasanya ia membangunkan wanita disampingnya itu, wajahnya seperti terlelap dalam damai. Kedua matanya yang bulat dan bening itu terpejam, menampakan bulu mata lentik itu semakin indah jika terpejam seperti itu ternyata. Alih-alih membangunkan Kirana, Raga justru memperhatikan wajah wanita itu, terkadang ia tersenyum kecil waktu Kirana menggeliat. Sewaktu kedua mata Kirana yang terpejam itu terbuka perlahan-lahan, Raga kikuk dan langsung melihat ke arah lain.

Kirana sudah bangun, menoleh ke kanan dan kiri kemudian merenggangkan tubuhnya yang sedikit kaku setelah seharian bermain. “Loh, Mas. Udah sampe?”

“Um.. Baru banget.” alibi Raga, padahal mereka sudah sampai sekitar 20 menit yang lalu.

Kirana ingin membuka seatbelt yang terpasang ditubuhnya, namun ia mengalami sedikit kesulitan karena tidak kunjung terbuka juga padahal Kirana sudah menekannya rektraktor seat agak sedikit kencang. Raga yang melihat itu akhirnya berinisiatif untuk membantu Kirana membuka seatbelt nya, pria itu mencondongkan tubuhnya mendekat pada Kirana dan tangannya menekan rektraktor seat beltnya. kedua netra mereka sempat bertemu membuat Raga tetap pada posisinya, memperhatikan wajah Kirana yang terlampau dekat dengannya.

Degub jantungnya semakin menggila, dalam hati Raga berdoa agar deguban itu tidak terdengar oleh Kirana. Kupu-kupu di perutnya itu juga kembali berterbangan. netra yang semula menatap kedua mata Kirana itu kini berpindah, semakin menurun sampai ia menelisik bentuk bibir kemerahan wanita didepannya itu, kali ini bukan hanya jantung Raga saja yang menggila jantung Kirana pun sama menggilanya. Entah keberanian dari mana yang datang menyelinapi Raga sampai kini ia mendekatkan dirinya semakin dekat dengan Kirana, bahkan Kirana sampai memejamkan matanya karena hembusan nafas pria di depannya itu.

Raga memiringkan kepalanya dan menjemput bibir Kirana dalam sebuah panggutan lembut, terlalu lembut bahkan takut sekali ia melukai benda kenyal itu. Raga tidak pernah berciuman sebelumnya, geraknya lamban dan terbatah-batah namun ia menikmati kecupan bibirnya pada bibir merah muda itu. Dan senyum di wajahnya semakin mengembang ketika Kirana membalas kecupan pada bibirnya, tangan Raga yang semula bertumpu pada pintu mobil itu kini berpindah menarik pinggang Kirana agar semakin dekat dengannya. Keduanya baru melepaskan pautan itu ketika pasokan oksigen sudah mulai menipis, Raga dahululah yang menjauhkan wajahnya dari Kirana. Ia masih menatap Kirana, menelan salivanya susah payah dan ibu jarinya mengusap bibir wanita itu. memastikan ia tidak menyakiti setitikpun dari benda milik itu.

“Maaf..” ucap Raga kemudian, ia merasa harus meminta maaf karena sudah kurang ajar mencium Kirana seenaknya sendiri, tanpa izin dari wanita itu meski Kirana juga ikut membalas ciumannya.

“Gapapa, Mas. Kalau gitu saya masuk dulu ya?”

“Um.” Raga mengangguk, menjauhkan tubuhnya dari Kirana ia memperhatikan wanita itu dari kursinya yang hendak membuka pintu mobilnya itu. Tapi tak lama kemudian, Kirana berbalik menghadapnya kembali dengan senyum yang mengembang sempurna. Bahkan Raga telat menyadari jika wajah Kirana merona, ada semburat kemerahan disana. “Kenapa, Na?”

“Makasih banyak ya, Mas,” ucapnya sebelum ia turun dari mobil Raga.

Bersambung...

Setelah turun dari mobil Raga, Kirana sempat menunggu mobil Raga keluar dari gang rumahnya dahulu setelah itu barulah ia membuka pagar rumahnya. Di teras depan, diatas meja yang memang ada didekat pintu masuk rumahnya, ada sebuah surat yang ditaruh entah oleh siapa. Kirana mengambil surat itu dan belum sempat ia baca, ia buru-buru masuk dan melesat ke kamar mandi. Surat itu ia biarkan di atas meja ruang tamunya. Kirana awalnya hanya ingin buang air kecil, namun karena sudah tidak tahan karena seharian berkeringat akhirnya ia mandi dahulu, setelahnya baru ia sempatkan untuk membuka surat itu. Ternyata itu bukan surat, melainkan sebuah undangan dengan inisial A dan B.

Kirana terdiam sejenak, ia duduk dikursi ruang tamu dan membuka undangan itu. Ternyata inisial di cover bagian depannya A dan B itu adalah inisial dari nama Asri dan Bagas, Kirana pikir lukanya sudah sembuh setelah satu tahun putus dari pria itu. Ternyata Kirana masih bisa merasakan pedih dihatinya hanya dengan membaca nama Bagas saja diatas kertas berwarna tosca itu, ia sadar bahwa pria itu akan segera menikah dalam kurun waktu dua minggu lagi.

Apa yang ia impikan, apa yang ia dan Bagas cita-citakan bersama dahulu hanya sebuah angan yang kini perlahan-lahan tertiup angin kencang hingga hilang entah kemana. Bagas akan menjadi milik wanita lain, pria yang sangat ia sayangi dahulu kini akan memulai hidup baru tanpanya. Kirana menaruh undangan itu diatas meja dan menangis menyesakan tanpa suara diatas kursinya, menaikan kedua kakinya dan memeluk dirinya sendiri.

Kilasan masa lalu tentang hari-hari membahagiakannya dengan Bagas terputar kembali dikepalanya, ia dipaksa untuk mengingat hal-hal membahagiakan itu yang kini terasa menyakitkan untuknya. Saking sakitnya, Kirana sampai memukul-mukul dadanya sendiri dan mengigit tangannya demi meredam isaknya yang semakin menyesakan bagi siapapun yang mendengarnya. Entah siapa yang mengirim undangan itu, dan entah apakah ia bisa tabah untuk tetap hadir menyaksikan hari bahagia pria itu atau tidak.

Saking sibuknya ia menangis, Kirana sampai tidak sadar jika pagar rumahnya itu ada yang membuka. Seorang laki-laki yang berlari kecil panik memasuki halaman rumahnya dan mengetuk pintu rumah Kirana dengan tidak sabaran. Sebelum membuka pintu rumahnya, Kirana buru-buru mengusap air matanya yang masih merembas turun itu dengan kedua telapak tangannya. Ia melangkah dengan gontai dan membuka pintu rumahnya itu, didepannya kini ada Raga. Pria yang tadi mengantarnya pulang dan menciumnya.

Raga kembali dengan nafas yang sedikit terengah-ngah dan raut wajah yang penuh kekhawatiran. Raga tidak mengucapkan apa-apa, namun mata sembab dan hidung Kirana yang memerah itu serta undangan yang wanita itu taruh diatas meja ruang tamunya sudah menjadi jawaban yang cukup jelas bagi Raga jika wanita itu menangis, Raga kemudian menarik Kirana dan membawa wanita itu dalam dekapnya. Pertahanan Kirana kembali luruh, ia kembali pada tangisnya yang semakin menyesakan itu dalam dada bidang Raga. Memeluk dan meremas jaket yang dikenakan pria itu. Raga membiarkan jaket bagian depannya itu basah oleh air mata Kirana tanpa bertanya apapun pada wanita itu.

Setelah Kirana sudah cukup tenang, Raga membawa Kirana untuk duduk di ruang tamu. Ia menyingkirkan undangan itu jauh dari jangkauan Kirana, setelahnya ia ambilkan wanita itu air dan kemudian duduk disebelahnya. Kirana sudah tidak menangis, tapi wanita itu masih diam saja.

“Na, aku gak akan biarin kamu sendirian malam ini.” Ucap Raga kemudian.

Kirana menatap Raga, ucapan pria itu kembali membuat air matanya luruh dan membasahi wajahnya dengan mudahnya. Kepalanya sudah pening tapi rasanya pasokan air matanya terlampau banyak, Raga kembali membawa Kirana dalam pelukannya. Mereka sempat berpindah ke kamar Kirana karena hari sudah semakin malam, awalnya, Raga hanya duduk diranjang Kirana namun Kirana menyuruhnya untuk tiduran disebelahnya. Kirana tahu Raga juga pasti sangat lelah karena seharian ini mereka bermain di Taman Bermain.

Keduanya tiduran saling berhadap-hadapan, dengan Kirana yang masih sangat nyaman dalam dekapan Raga dan Raga yang sibuk mengusapi punggung kecil itu. Kirana sudah tidak menangis, namun wanita itu hanya diam saja. Hening, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Kedatangannya hanya ingin menemani Kirana, ia tahu wanita itu pasti sangat terpukul sekali karena begitu sampai rumahnya pun Raga mendapatkan undangan itu di teras rumahnya.

“Mas?” Panggil Kirana pada akhirnya.

“Hhhm?”

“Maaf udah buat baju kamu basah.”

Raga sedikit menarik tubuhnya demi bisa melihat wajah cantik dalam dekapannya itu, ia tersenyun kecil. “Gapapa, Na, aku harap ini untuk terakhir kalinya kamu ngerasain sakit karena dia.”

“Ak..aku.. Aku bingung.”

Sempat hening sejenak, sampai akhirnya Raga menghela nafasnya pelan. “Aku gak minta kamu jelasin soal perasaan kamu setelah tahu hal ini, Na. Aku cuma mau nemenin kamu.”

Setelah apa yang terjadi di mobil barusan, rasanya tidak mungkin Kirana tidak tentang perasaan Raga padanya. Dan Raga benar-benar merasa Kirana tidak perlu menjelaskan apapun tentang apa yang ia rasakan saat ini. Kirana menatap kedua manik mata Raga, manik kecoklatan itu. Manik yang seperti batu topaz, indah, legam, terlihat tajam terkadang dan sekaligus hangat. Raga menaruh tangannya di pucuk kepala Kirana dan mengusapnya, kemudian ia daratkan sebuah kecupan di kening wanita itu.

“Aku sayang kamu, Na. aku akan pastiin satu hal kalau kamu gak akan pernah sendiri. Aku bakal jagain kamu bahkan dari diri aku sendiri.”

Kirana tidak menjawab apapun dari perkataan Raga, pikirannya berkecamuk memikirkan ucapan yang terdengar tulus di telinganya itu dan kedua matanya sibuk menatap manik mata kecoklatan seperti batu topaz itu. Entah sejak kapan Raga memiliki perasaan dengannya Kirana sendiri tidak tahu, namun ada satu hal yang teramat sangat pasti baginya saat ini. Ada getaran halus direlung hatinya, perasaan nyaman seperti ia tengah kembali ke rumahnya setelah sekian lama berkelana.

Setelah itu, tak ada lagi obrolan diantara mereka berdua. Kirana hanya sibuk dalam lamunan nyamannya ditengah sepi dekapan Raga, sementara Raga, ia sibuk mengusap kepala belakang Kirana dan sesekali menciumi dahi wanita itu. Pada posisi ini keduanya menemui titik nyaman seperti tubuh mereka diciptakan untuk saling mendekap.

“Mas?”

“Ya?”

Kirana pikir Raga sudah mengantuk atau terlelap, begitu ia kendurkan sedikit pautan tubuh keduanya. Kedua mata Raga masih bulat menatap wajahnya, garis bibir yang semua datar itu tertarik membentuk seulas senyuman diwajah tampannya. “Aku boleh tanya sesuatu?”

Ah, Kirana hampir lupa jika sebutan 'saya kamu' untuk mewakilkan dirinya dan Bagas itu sudah sirna digantikan oleh 'aku kamu' terdengar lebih manis dan nyaman untuk Kirana saat ini. Pria di depannya itu mengangguk, ia memberi jawaban atas pertanyaan Kirana barusan.

“Tanya apa hm?”

“Seandainya kita gak pernah mimpi tentang kehidupan masa lalu kita, seandainya aku gak pernah terlahir kembali dalam rupa wajahku dulu, atau seandainya aku enggak mengingat tentang kehidupan kita dulu. Apa Mas bakalan tetap ingat aku?” Jawaban yang ia buat sendiri akan alasan kenapa Raga jatuh hati padanya itu masih dalam bentuk kepingan puzzle dikepalanya, ia masih menerka jika itu semua karena janji Jayden dan Ayu di kehidupan terdahulu mereka. Dengan kata lain, perasaan Raga padanya muncul di dasari oleh kehidupan terdahulu mereka.

“Hhmm...” Raga menghela nafasnya pelan, ia menarik sebelah ujung bibirnya itu hingga membuat lubang kecil di sebelah pipinya. Ciri khas seorang Raga sekali. “Jauh sebelum mimpi itu aku alami, jauh sebelum ingatan kehidupan terdahulu itu aku ingat kembali. Pertama kali aku ngeliat kamu itu rasanya kaya selalu dejavu, Na. Kaya aku selalu ngerasa dekat sama kamu, terutama mata kamu. Aku lebih sering lihat mata sedih kamu dan itu semua ingatin aku sama seseorang yang bahkan aku sendiri gak bisa ingat. Setelah mimpi itu, aku baru sadar kalau itu mata Ayu. Mata sedih kamu dulu.”

Saat berkuliah dulu, Raga enggak pernah mengenal Kirana. Mereka hanya pernah sesekali berpapasan dan sejak itu Raga sudah merasakan dejavu setiap kali ia melihat Kirana, dan puncaknya terjadi saat beberapa tahun kemudian Kirana diterima di kantor tempatnya bekerja dulu, Kirana dengan sorot mata sedihnya yang selalu mengingatkan Raga pada seseorang, seperti ia pernah melihat orang lain dengan mata sedih seperti itu. Dan setelah mimpi itu Raga semakin yakin jika itu sorot mata Ayu, Ayu terlalu sering menunjukan sorot mata sedih seperti itu bahkan dipertemuan terakhir mereka.

Janji yang Jayden buat pada dirinya sendiri dan Ayu saat itu terlampau kuat, pada setiap sedimen semesta manapun ia akan tetap mencari wanitanya, akan tetap mengenali wanitanya lewat sorot mata sedih itu. jikalau Ayu nya tak pernah terlahir dalam rupa masa lalunya, ia akan tetap mencintai wanitanya hingga bintang terakhir menghilang. atau bahkan bagian terburuknya adalah jika semesta melupakan wanita itu pernah ada, ia akan tetap mengingat dan mencintai wanitanya.

“Na, aku akan tetap mengenali sorot mata kamu di kehidupan manapun.” Dan dalam batinnya Raga mengatakan “karena ini bukan yang pertama kalinya untukku.

🍃🍃🍃

Tinggal beberapa hari lagi sampai Bagas dan Asri resmi menikah, Bagas dan Asri sama sekali tidak disibukan oleh persiapan pernikahan mereka apapun kecuali fitting baju pengantin mereka. Selain itu semua urusan tentang acara pernikahan mereka serahkan pada kedua orang tua mereka. Hari ini Bagas pamit untuk keluar rumah pagi itu pada kedua orang tua nya. Dia bilang hanya ingin minum kopi di cafe dan mampir ke toko buku sebentar, namun jauh dari ucapannya itu Raga justru melajukan mobilnya menuju rumah Kirana berada. Hari itu Kirana sedang menjemur pakaiannya kemudian menyiram tanaman.

Dari dalam mobilnya, Bagas juga melihat Kirana sempat berbicara dengan tetangga yang lewat depan rumahnya, tersenyum pada anak-anak yang menyapanya. Wanita itu tampak baik-baik saja, dan itu membuat senyum di wajah Bagas mengembang. Bahkan dengan melihat Kirana hanya dari jauh saja membuat dirinya lebih baik. Selanjutnya Kirana masuk ke dalam rumahnya, beberapa jam wanita itu tidak terlihat dan Bagas masih setia menunggu di dalam mobilnya. Dan tak lama kemudian Kirana keluar dengan kemeja dan celana jeans, rapih sekali dengan polesan make up tipis serta rambutnya yang di ikat.

Kirana mengunci pagar rumahnya dan melangkah ke halte bus, Bagas sudah tahu dari Kanes jika Kirana bekerja di toko kue tempat Ibunya dulu bekerja. Bagas hanya menebak-nebak saja jika mungkin Kirana akan bekerja karena wanita itu pun menaiki bus yang menuju ke toko tempat Ibunya dulu bekerja, setelah itu Bagas memutuskan untuk berkeliling saja. Kerinduannya akan wanita yang teramat ia sayangi itu sudah sedikit terbayar, tapi jauh dari jangkauan Bagas mobil lain sedari tadi pun berada di belakang mobilnya.

Mobil yang dikendarai oleh Asri, wanita itu tahu jika beberapa hari ini Bagas sering melihat Kirana dari jauh dan itu mengundang kecemburuannya yang luar biasa. Karena akan segera menikah dengan Bagas, Asri merasa ia telah memiliki pria itu seutuhnya. Maka hari itu setelah memastikan mobil yang Bagas tumpangi tidak mengikuti Kirana kembali, Asri melajukan mobilnya ke toko tempat Kirana bekerja. Kemarahannya menggebu-gebu ingin segera ia luapkan pada Kirana dan membuat wanita itu malu didepan banyak orang.

Mobil yang Asri kendarai ia parkirkan didepan toko kue itu, kebetulan sekali Kirana sedang menyusun satu persatu kue di depan showcase. Mengabaikan sapaan dari staff ketika ia membuka pintu masuknya, Asri berjalan dengan langkah besar-besar menuju Kirana. Ia menarik lengan wanita itu dengan kasar hingga Kirana menghadap ke arahnya, tangannya begitu saja melayang menampar sisi wajah Kirana hingga kepala wanita itu terhuyung ke kanan. Bukan hanya Kirana saja yang kaget, tapi seluruh staff dan pengunjung disana pun sama kagetnya dengan Kirana.

Namun Kirana tidak tinggal diam, kemarahannya juga menggebu ketika Asri datang dengan tiba-tiba dan menampar wajahnya. Maka ia balas dengan satu tamparan di sisi wajah kanan Asri bahkan sampai menimbulkan jiplakan tangan Kirana disana. Kirana pernah berjanji pada dirinya sendiri jika yang tersisa dari dirinya hanya harga diri, dan ia tidak akan membiarkan siapapun menginjak-injak harga dirinya lagi.

“Cewek murahan!! Gue sama Bagas udah mau menikah dan lo masih sering ketemu sama dia?!” Bentak Asri, ia abaikan saja pedih di wajahnya itu. Ia pikir Bagas dan Kirana masih bertemu diam-diam, padahal selama ini Bagas hanya sering melihat Asri dari kejauhan.

“Ketemu sama dia? Siapa yang ketemu? Gue gak pernah nemuin Bagas sejak hubungan kami selesai.”

Asri menyeringai, “halah, gak usah bohong yah lo! Lo masih gak terima kan kalo hubungan lo sama Bagas selesai? Iya kan? Lo pasti mau ngerebut calon suami gue kan?!”

Kirana menarik nafasnya kemudian menghembuskannya perlahan-lahan, saat ini ia tengah mengontrol emosinya agar tidak meledak. Bagaimana pun ia sedang bekerja dan reputasi tempatnya bekerja di pertaruhkan saat ini atas sikap yang akan ia ambil. Maka dari itu, ia tarik tangan Asri dan mengajaknya ke belakang melewati pintu karyawan. Begitu sampai di dekat gudang ia hempaskan tangan itu dengan kasar.

“Dengar ya, gue harap gue enggak akan mengulangi ucapan gue lagi. Gue gak pernah ketemu Bagas sedikit pun, hubungan gue sama dia udah selesai. Kalau pun Bagas yang masih belum bisa lupain gue itu jadi urusan dia dan oh iya satu lagi.” Kirana memandang Asri dengan tegas, maju selangkah untuk memojokkan wanita itu ke dinding hingga Asri mundur dan merasa gentar dengan sikap Kirana yang tidak seperti biasanya.

“Gue bukan perempuan murahan yang bisanya ngerebut cowok orang. Gue bukan elo, ngerti?!” Ucapnya penuh dengan penekanan.

“Oh ya?” Asri melipat kedua tangannya di dada. “Kalau benar lo udah lupain Bagas, harusnya datang ke pernikahan dia bukan suatu hal yang sulit buat lo kan?”

Kirana sempat terdiam, degup jantungnya beedetak tak seperti biasanya. Saliva yang semula dengan mudah ia telan itu terasa sulit dan tertahan di tenggorokannya yang nyeri. Kirana kembali ke dalam toko dan meninggalkan Asri yang masih terdiam disana. Kirana sempat disuruh oleh kepala tokonya untuk bekerja di belakang dulu saja, karena tampaknya keadaan di depan belum kondusif. Masih banyak pelanggan yang begitu terganggu dengan adegan barusan, kepala toko belum sempat bertanya kenapa ia bisa di perlakukan seperti itu. Namun Kirana sudah menyiapkan penjelasan seumpama kepala tokonya bertanya.

Bersambung...

Kirana melambaikan tangannya ketika melihat pintu cafe terbuka dan menampakan Almira disana, ternyata wanita itu tidak sendiri. Ia datang bersama dengan Raka yang mengekorinya dibelakang. Kedua orang itu tersenyum ketika dengan mudahnya menemukan Kirana yang duduk di pojok sedang memakan soft cookies yang diatasnya diberi toping ice cream vanilla itu. Hari itu setelah Kirana pulang bekerja, Almira mengajaknya bertemu. Wanita itu bilang ia kangen sekali dengan Kirana dan ingin ngobrol-ngobrol dengan Kirana setelah pulang bekerja.

Namun Raka yang mengetahui hal itu malah merengek meminta ikut karena ia juga ingin bertemu dengan Kirana, jadilah keduanya berangkat bersama menemui Kirana dicafe itu. Almira langsung memeluk Kirana begitu sampai dikursi yang dipilih oleh Kirana duduk, terakhir keduanya bertemu itu saat menjenguk Reisaka sekitar 2 bulan yang lalu. Walau begitu mereka masih berkomunikasi di grup chat atau bahkan melakukan panggilan video jika sedang ada waktu luang.

“Kangen kangen kangen kangen ihh...” rengek Almira begitu ia mengurai pelukan Kirana, ia duduk disamping Kirana dan Raka duduk di kursi depan kedua wanita itu.

“Ini pelukannya berdua doang nih? Bertiga gak sih?” ledek Raka.

“Bapak-bapak ini malah modus, by the way Mas Raka tumbenan banget ini ngikut? Mas Satya gak ikut sekalian ini?” tanya Kirana.

“Enggak, Mbak. Mas Satya mau ke rumah mertuanya katanya jengukin mertuanya gitu lagi sakit. Ini tuh tadi pas aku lagi pesan taksi online Mas Satya malah ngerengek mau ikut waktu aku bilang mau ketemu sama Mbak. Katanya dia kangen juga.”

Kirana memajukan bibirnya meledek Raka dan pria itu hanya cengengesan, “dasar, eh yaudah kalian pesan dulu gih tadi aku udah pesan duluan soalnya keburu laper.”

Raka mengambil buku menu yang ada disana dan mulai memesan, menu disana hanya ada kopi dan aneka macam cookies dengan berbagai ukuran, toping dan rasa. tidak ada makanan berat. Sore itu cafe yang berada diantara jalan menuju rumah Kirana dan kantornya dulu tak begitu jauh, agak sedikit padat pengunjung namun itu tidak menganggu ketiga nya untuk melepas rindu saling berbicara tentang kabar masing-masing.

Raka memesan cookies dengan rasa matcha yang didalamnya diberi isian choco chips dan diatasnya diberi toping ice cream cookies and cream, sedangkan Almira memesan cookies dengan rasa choco almond dengan toping ice cream rasa dark choco. Keduanya memesan amerikano sebagai pendampingnya, rasa pahit dari kopi itu dinilai pas sekali untuk makanan manis yang mereka pesan. Kebetulan di luar sedang hujan dengan intensitas rendah yang membuat suasana ketiganya semakin menyatu.

Berawal dari Raka yang bercerita tentang Reisaka yang sudah pulih dan keinginan bocah itu untuk segera sekolah, akhirnya bulan kemarin Reisaka mendaftarkan Reisaka ke preschool dan bocah itu begitu excited dengan sekolah barunya, kemudian Almira yang bercerita jika hubunganya dengan pacarnya yang kandas karena pria yang Almira kencani itu dinilai terlalu sering merasa rendah diri dengan karirnya. Almira sempat menangis saat bercerita namun untungnya Raka dan Kirana bisa menghibur kesedihan wanita itu hingga kini Almira kembali tertawa hanya karena lelucon yang Raka lontarkan.

“Terus.. Gimana kabar Pak Raga, Mbak?” celetuk Almira tiba-tiba, wanita itu melirik Raka yang kini cengengesan. keduanya sepeti tengah meledek Kirana.

“Baik kok, cuma ya jadi agak sibuk aja akhir-akhir ini. Kalian kan punya nomernya kenapa harus nanya ke aku coba?”

Raka terkekeh kecil, “Ya kan sekarang kamu sama Raga udah kaya sepaket, Na. Berduaan mulu ya gak, Mir?”

“Mana ada.” Kirana ngeles padahal dia sendiri juga menyadari hal itu.

“Tapi sebenarnya kamu sama Pak Raga udah jadian belum sih, Mbak?”

“Jadian apa sih, Mir. Astaga!” mendengar Almira bertanya seperti itu rasanya kupu-kupu di perut Kirana berterbangan tidak karuan, ia merasa pipinya sedikit memanas hanya karena Raka dan Almira sedari tadi menyebutkan nama Raga terus menerus.

“Ih udah deket gitu masa gak jadi-jadian payah banget yah, Mir?” ledek Raka yang langsung mendapat anggukan setuju dari Almira.

“Ohhh atau mungkin nih, Mas Raka. Mereka mau langsung lamaran kali ya?”

“Astaga enggak, Mir. Udah ih kalian malah jadi ngeledekin aku gini sih? Coba kalo ada Mas Raga berani gak?”

“Tuh itu tuh ini nih!!” Raka menunjuk Kirana, “panggilannya aja udah Mas haduhhhhh..”

“Ih iya bener loh, Mas Raga?” ledek Almira lagi, ia menirukan bagaimana Kirana memanggil Raga.

dalem dek Kirana?” jawab Raka seraya menirukan suara Raga dan tawa keduanya kemudian pecah. Kirana hanya geleng-geleng kepala saja sembari memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak sanggup rasanya meladeni Raka dan Almira yang semakin hari kenapa semakin kelihatan kompak.

“Hhmm.. Ngomong-ngomong, kalian dapat undangan juga gak?” tanya Kirana, ia jadi teringat akan pernikahan Bagas bulan depan. Ketika Kirana bertanya seperti itu Almira dan Raka yang sedang tertawa itu langsung diam. Keduanya saling melemparkan pandangannya masing-masing.

“Um dapat, Mbak.” Almira mengangguk, ia memperhatikan wajah Kirana yang seperti berusaha terlihat baik-baik saja itu. Sebenarnya selain merindukan Kirana, Almira juga ingin memastikan Kirana baik-baik saja setelah menerima undangan itu.

“Na, you okay?” kini Raka ikut memastikan, ia mungkin sakit mengetahui Asri akan segera menikah dengan Bagas. Bukan sakit hati karena ia masih mencintai wanita itu melainkan sakit karena Asri mengingkari janjinya dengan Reisaka, tapi jauh dari pada Raka, Kirana mungkin lebih merasakan sakit dari pada dirinya mengingat hubungannya dengan Bagas harus kandas karena perjodohan sialan itu.

“Yup.” Kirana mengangguk, “saya baik-baik aja, Mas.”

“Kamu bakalan datang, Mbak?”

Kirana menarik nafasnya pelan, sejujurnya ia masih gamang akan hal ini. Ia tidak yakin jika dirinya akan setabah itu melihat Bagas bersanding dengan wanita lain, ia takut kalau kenangan indah yang pernah ia dan Bagas ciptakan bersama teringat kembali di kepalanya. Tapi disisi lain, ia ingin ada dihari membahagiakan pria itu alih-alih membuktikan pada Asri jika ia benar-benar sudah melupakan Bagas.

“Belum tau, Mir.” gumam Kirana, ia menunduk.

Almira yang melihat itu buru-buru memeluk Kirana dari samping dan mengusap lengan wanita itu, katakanlah jika Kirana sudah melupakan Bagas perlahan-lahan dan mulai menaruh hatinya pada Raga. Tapi tetap saja, datang ke pernikahan pria yang pernah ia sayangi dan menjadi bagian paling penting dihidupnya akan menyisakan sakit. Apalagi hubungan Kirana dan Bagas sewaktu itu sudah ditahap yang cukup serius.

“Kalau kamu enggak sanggup gak perlu maksain diri kamu buat datang, Na. Kamu enggak punya hutang pembuktian apa-apa,” ucap Raka, ia sendiri sebenarnya tidak di undang oleh Asri. Ia tahu Asri tidak akan sudi mengundangnya namun undangan itu datang dari Bagas, karena bagaimana pun Bagas dan Raka berteman baik di kantor dulu.

“Kamu sendiri gimana, Mas?”

Almira sempat melihat ke arah Raka, wanita itu sudah tahu jika wanita yang akan menjadi istri Bagas itu pernah menjadi bagian dari hidup Raka dan Ibu dari Reisaka. Mungkin Raka juga merasakan sakit tetapi pria itu pandai sekali menutupinya. Soal hubungan Raka dan Asri memang Raka yang bercerita, Raka dan Almira saat ini semakin dekat dan sering berbagi cerita apapun itu. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama saat pulang bekerja, entah itu hanya sekedar mengobrol atau makan malam bersama.

“Aku baik-baik, Na. Aku udah gak mikirin Asri lagi bahkan, jadi ya mungkin aku akan tetap datang hanya untuk Bagas.”

🍃🍃🍃

Raga memarkirkan mobilnya didepan pagar rumah Kirana, didalam mobilnya ia sudah melihat Kirana keluar dari dalam rumahnya dan sedang mengunci pintunya disana. Raga tersenyum, ia senang Kirana mau memakai gaun yang dibelikannya untuk menghadiri pesta pernikahan Bagas malam itu. Gaun yang Raga belikan untuk Kirana atas bantuan Adel itu nampak pas ditubuh ramping wanita itu, malam itu Raga hadir mengenakan setelan jas berwarna charcoal yang pas di tubuhnya, akhir-akhir ini Raga sedang rajin berolahraga dan pergi ke pusat kebugaran, alhasil tubuhnya jauh lebih berisi dari sebelumnya.

Ia tidak memakai dasi, hanya kemeja putih yang dua kancing teratasnya ia biarkan terbuka. Menampakan kulit putih Raga disana, sebelumnya Raga sudah mencukur rambutnya pendek jadi ia tidak perlu pusing-pusing menatanya lagi. Raga tersenyum begitu Kirana berjalan ke arahnya, wanita itu mengenakan dress dengan perpotongan A line dengan warna dusty rose gaun dengan bahan silky itu tampak jatuh mengikuti lekuk tubuh Kirana yang semakin indah, rambut panjang wanita itu dibiarkan tergerai begitu saja dengan anting kecil menghiasi telinganya, Kirana juga mengenakan riasan tipis seperti biasanya namun dimata Raga kecantikan wanita itu jauh lebih menganggumkan dari pada hari-hari biasa mereka bertemu.

Saking terpanahnya pada wajah dahayu didepannya itu Raga sampai lupa caranya berkedip sampai tidak sadar Kirana kini sudah berada didepannya dengan senyum dan kerutan bingung didahinya, tak lama kemudian wanita itu melambaikan tangannya didepan wajah Raga agar lamunan pria itu buyar.

“Mas, sakit kamu?” Tanya Kirana memastikan Raga baik-baik saja.

“Ahh..” Raga menggeleng-geleng cepat, “enggak, Na. Baik-baik aja aku, ini tadi itu.. Hhmm.. Apa tuh namanya?” Raga tampak kebingungan mencari alibi, ia memejamkan matanya dan menggaruk kepala belakangnya itu.

“Apa hayo?”

“Itu apasih tadi, aku lupa mau ngomong apa..” Raga meringis dan Kirana hanya terkekeh pelan saja. Sedetik kemudian wanita itu menghela nafasnya berat. Seperti ada sesuatu tak kasat mata mencengkram dadanya kuat hingga ia kehilangan sedikit pasokan oksigen dalam tubuhnya. “Hai? Kenapa?”

“Gapapa, Mas.”

“Yakin?”

“Yup.” Kirana mengangguk mantap, “yuk kita jalan, nanti keburu macet ini kan malam minggu.”

“Na?” Panggil Raga, ia yakin Kirana tidak seratus persen baik-baik saja. Terlihat dari wajah wanita itu yang menampakan sedikit kekhawatiran dan sorot matanya yang sedikit redup membuat Raga yakin jika Kirana tidak baik-baik saja. “Kita enggak usah ke acaranya Bagas ya?”

“Mas, aku baik-baik aja kok. Aku mau datang ke hari bahagia dia.”

“Beneran?”

Kirana tersenyum kecil dan mengangguk pelan, “yup, kan datangnya juga sama kamu dan yang lainnya.”

“Tapi janji satu hal sama aku dulu.”

“Apa?”

“Kalau kamu enggak nyaman disana, bilang ke aku ya. Aku akan bawa kamu pergi dari sana.”

Kirana tersenyum, ia mengangguk. Ia lega Raga berada disampingnya saat ini. Pria itu, pria yang selalu memikirkan dirinya dan selalu mengutamakan perasaan Kirana. Pria yang mungkin sudah jatuh hati sangat dalam padanya namun masih menahan keinginan untuk memiliki Kirana seutuhnya demi memastikan wanita itu sudah benar-benar sembuh dari luka hubungan sebelumnya.

“Iya, Mas. Aku janji.”

Keduanya langsung berangkat menuju hotel dimana Bagas dan Asri melangsungkan resepsi pernikahan mereka, diperjalanan mereka tidak cukup banyak bicara. Hanya mendengarkan radio yang Raga putar yang malam itu sedang membahas tentang bencana alam di Sumatera Utara dan Aceh, dalam perjalanan berkali-kali Kirana meyakinkan dirinya dalam hati jika ia pasti mampu melewati badai yang satu ini, sedangkan Raga. Pria itu tampak tenang dengan sesekali mengusap punggung tangan Kirana agar wanita itu tetap tenang dalam heningnya.

Begitu tiba di venue pernikahan itu, Raga langsung menggandeng tangan Kirana erat. Seolah-olah ia melepaskan sedikit saja wanita itu bisa berpisah jauh darinya, tamu undangan yang datang malam itu cukup ramai dan Raga menilai acaranya memang cukup mewah. Keduanya masuk ke dalam ballroom hotel itu yang cukup luas dan tinggi dengan panel kaca dan lampu kristal diatasnya. Ruangan itu di penuhi warna-warna ivory dan dusty rose senada dengan gaun yang Kirana pakai karna warna itu memang mengusung tema pernikahan kedua mempelai. Warna yang sangat mempresetasikan keduanya, rencana untuk menggelar pernikahan dengan usul intimate wedding itu gagal karena orang tua Asri ingin pernikahan mereka dilangsungkan meriah, karena pada dasarnya Asri anak satu-satunya di keluarga mereka dan orang tua Asri ingin pernikahan itu membekas sekali untuk anak perempuannya.

Kirana menarik nafasnya pelan, menuju pintu masuk ballroom Raga menarik tangan Kirana dan menaruh tangan wanita itu di lengannya dan Kirana hanya menurut saja, tamu-tamu yang datang meliputi teman-teman kuliah Bagas, teman-teman kerja pria itu dan juga teman-teman Asri ada beberapa kolega dari kedua orang tua mempelai yang di undang. Saat Kirana datang ia sempat mengangguk kecil pada teman-teman kuliahnya dulu, yang kini memandang Kirana dengan tatapan kasihan. Biar bagaimana pun teman-teman Kirana dulu adalah teman-teman Bagas juga yang mengetahui bagaimana hubunyan keduanya dulu.

“Kamu mau minum dulu atau mau kasih selamat ke mereka dulu?” Tanya Raga ketika keduanya berhenti didepan meja yang berisi wine dan beberapa gelas cola disana.

“Ke mereka dulu aja kali ya, Mas?”

“Beneran?”

Kirana mengulum bibirnya, ia mengeratkan pegangannya pada lengan Raga. Dari tempatnya saat ini ia dapat melihat Bagas berdiri di pelaminan dengan tampannya, pria itu tidak tersenyum sepanjang tamu menyaminya dan mengucapkan selamat kepadanya. Yang tersenyum disana hanya Asri dan kedua orang tua mereka, Bagas masih belum melihat Kirana yang datang bersama dengan Raga. Akhirnya Kirana mengangguk yakin, semakin cepat ia menemui kedua mempelai dan mengucapkan selamat semakin cepat juga ia bisa segera pergi dari tempat ini.

“Iya, Mas.”

Raga mengangguk, ia mengeratkan pegangan tangan Kirana di lengan kirinya. Keduanya melangkah dengan pasti menuju dimana singasanah Bagas dan Asri berada. Dari tempatnya, Bagas bisa melihat Kirana yang jalan bersama dengan pria yang sangat ia kenali, Kirana tidak melihatnya ia hanya melangkah dengan pasti dengan tangan yang mengapit lengan Raga. Keduanya tampak begitu serasi, demi apapun. Bagas yang melihat hal itu bisa merasakan sakit didadanya, hatinya seperti dihujami belati berkali-kali hingga mungkin tidak ada yang tersisa dari hatinya.

Bagas terus memandang Kirana dari kejauhan saat wanita itu dan Raga menyalami orang tua nya dan kemudian Asri dan tibalah kini Bagas berhadap-hadapan dengan Kirana, waktu disekitar keduanya seperti berhenti berputar. Kirana menyodorkan tangannya untuk menyalami Bagas dan memberikan ucapan selamat, wanita itu tersenyum sangat cantik namun menyakitkan bagi Bagas. Kirana nampak baik-baik saja tanpanya dan begitu tenang saat datang ke acara pernikahannya, Bagas tidak tahu siapa yang mengundang Kirana atau wanita itu justru datang karena ajakan Raga sebagai pasangannya, entahlah kepala Bagas sangat pening hanya memikirkan perihal itu.

“Selamat ya, Bagas. Aku ikut senang.” Ucap Kirana.

Bagas menyalami Kirana, tangan pria itu dingin sedingin bongkahan es begitu menyentuh kulit tangan Kirana. Matanya menampakan kesedihan yang teramat dalam tak ada raut wajah kebahagiaan di hari yang seharunya menjadi hari membahagiakan ini. Kirana berusaha menarik tangannya karena antrean tamu dibelakangnya semakin panjang namun Bagas seperti menahannya, pria itu menggenggam tangannya begitu erat seakan tidak terima Kirana ingin meninggakannya. Mata teduhnya itu berkaca-kaca ingin sekali rasanya Bagas mengatakan padanya bahwa ia masih sangat mencintainya

“Sayang, udah ya. Ini tamu kita banyak loh.” Asri menarik tangan Bagas dan kesempatan itu dipakai Kirana untuk segera pergi meninggalkan singgasana itu.

Begitu turun Kirana baru bisa bernafas lega, ia kembali mengapit tangannya pada lengan Raga dan mengikuti pria itu untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan. Sementara itu, dari tempatnya Bagas masih terus menatap Kirana dengan tatapan nanarnya. Melihat Kirana meminum cola dan berbicara dengan teman kuliah mereka dulu dan juga Almira, rasanya Bagas ingin segera berlari menghampiri Kirana dan memeluk wanita itu begitu erat dan mengatakan jika ia merindukannya dan tak ada satu hari pun ia tidak memikirkan Kirana.

Tamu yang datang semakin banyak membuat Asri dan Bagas hanya duduk sesekali saja kemudian berdiri kembali, jika sedari tadi Asri terus menampakkan senyum manisnya. Kini wajah wanita itu berubah menampilkan kepanikan, dari tempatnya berada ia melihat Raka berjalan bersama dengan Reisaka menuju pelaminan. Pria itu membawa bocah yang selama ini sudah tidak pernah Asri kunjungi lagi. Belum selesai Asri menyalami tamu yang datang, pandangan matanya bertemu dengan mata Reisaka yang kini juga menatapnya, kedua mata bocah itu berbinar. Ia melepaskan gandengan tangannya dari Raka dan berlari ke arah Asri.

“MAMA.....” Reisaka berlari dan berteriak ia langsung memeluk Asri erat dan menangis, Asri yang dipeluk seperti itu berusaha untuk melepaskan pelukan Reisaka dikakinya. “Mama Reisaka kangen sama Mama, kenapa Mama gak ke rumah lagi? Kenapa Mama gak pernah ajak main Reisaka lagi?”

Sontak hal itu membuat semua orang yang berada disana menatap Asri dengan bingung, wanita itu masih berusaha melepaskan Reisaka darinya dan dengan santainya Raka berjalan ke arah Asri dan menarik tubuh anaknya itu pelan untuk ia bawa menjauh dari Asri. “Sayang, kita ambil kue aja yuk?”

“Gak, Pah. Aku mau sama Mama aku kangen Mama!!” Pekik Reisaka.

“Asri ini sebenarnya ada apa? Siapa anak ini?” Tanya Ibu mertuanya itu pada Asri.

“Ga..gak tau, Mah. Ak..aku gak kenal,” ucap Asri terbata-bata.

“Reisaka anaknya Asri, Tante. Anak saya dan Asri.” Ucap Raka dengan nada bicara yang cukup tenang namun berhasil membuat kedua mata Asri dan Papa nya itu membulat.

“Jangan ngaco ya kamu! Saya bahkan enggak kenal sama kamu!!” Bentak Asri. “Apasih ini lepasin gak?!” dengan sekali hentakan Asri berhasil melepaskan tangan Reisaka yang memeluknya dan bocah itu menangis dalam gendongan Raka.

“Asri apa-apaan sih? Dia masih kecil!” Sentak Bagas tidak terima, ia benci melihat anak kecil diperlakukan dengan kasar.

“Anak? Benar itu Asri apa yang di katakan laki-laki ini?”

“Tante sepertinya menantu kesayangan Tante ini berhutang penjelasan sama Tante.” Raka menyeringai, ia melirik Asri yang matanya sudah memerah itu. Entah wanita itu ingin menangis atau benar-benar marah saat ini. Tamu-tamu disana juga sontak melihat ke arah mereka, saat ini Asri menjadi satu-satunya pusat perhatian. “Yaudah kalau gitu, saya mau nyobain makanannya dulu ya. Ah, iya. Bagas selamat ya.”

Setelah memberi ucapan selamat pada Bagas tanpa memberi ucapan selamat pada Asri, Raka turun dari sana sembari menepuk-nepuk punggung Reisaka yang masih menangis dipelukannya itu. Raka berjalan dengan santai menuju Almira, Raga dan juga Kirana yang menunggunya di meja yang tak jauh dari pintu keluar tadi.

Bersambung...

Setelah acara yang berlangsung selama empat jam itu berakhir Bagas langsung menarik Asri ke ruang make up pengantin, saking kencangnya tautan tangan Bagas pada pergelangan tangan Asri. Wanita itu sampai merintih kesakitan dan berucap berkali-kali pada pria yang sudah menjadi suaminya itu untuk berjalan pelan-pelan atau melepaskan tangannya, namun Bagas sama sekali tidak mendengarkan permintaan itu. Begitu keduanya sampai di ruang make up itu Bagas langsung menghempaskan tangan Asri dengan kasar hingga wanita itu terhempas nyaris jatuh karena keseimbangannya yang goyah.

“Jelasin sama gue apa maksudnya tadi?” Tanya Bagas tegas, kedua rahangnya mengeras dan tangannya mengepal jika Asri adalah seorang pria mungkin saat ini Bagas sudah memberinya bogem mentah.

“Gas, aku bisa jelasin ke kamu tapi aku mohon jangan kaya gini.”

Tidak lama kemudian pintu ruang make up itu terbuka dan menampakan kedua orang tua Bagas disana dan juga Kanes. Papa dari Asri itu sedari tadi pergi untuk menemui Raka entah apa yang kedua pria itu bicarakan dan saat ini rasanya Asri seperti benar-benar terpojok. Ia menangis dengan titik-titik keringat di keningnya, padahal pendingin ruangan sudah menyala.

“Iya, Sri. Sebenarnya anak tadi itu siapa? Kenapa dia manggil kamu Mama? Dan benar kata laki-laki tadi kalau kamu adalah Ibu dari anak itu?” Tanya Ibunya Bagas itu dengan tidak sabaran.

“Bu, Yah, Gas. Dengarin aku yah, aku bakalan jelasin ini tapi aku mohon sama kalian jangan marah.” Asri menangis dengan kedua tanganya mengatup seperti tengah membuat permohonan. “Yang tadi itu Raka, dia...”

Asri memejamkan matanya, ia melihat binar mata Bagas yang menampakan ketegasan sekaligus kekecewaan yang mendalam dan juga kemarahan. Saat ini Asri paham jika semua orang yang ada di ruangan itu sangat amat menuntut penjelasan darinya tapi disisi lain Asri masih belum siap menerima konsekuensi dari ketidak jujurannya selama ini. Dalam hati ia hanya berharap jika Bagas dan kedua orang tua nya memaafkannya.

“Raka memang mantan suami aku, Aku dan Raka pernah menikah dan punya anak. Dia benar, yang tadi itu anak aku. Tapi aku sama Raka udah selesai Bagas. Aku sama dia udah pisah dan kehadiran dia kesini itu cuma mau menghancurkan pernikahan kita.” Asri mengambil salah satu tangan Bagas dan pria itu menghempaskan tangan Asri begitu saja, seperti tidak sudih wanita yang sudah menjadi istrinya itu menyentuh tangannya.

Kedua orang tua Bagas itu menghela nafasnya putus asa, Ayah bahkan memijat pelipisnya karena berkedut nyeri menerima kenyataan ini. Rasanya ia seperti di tipu oleh sahabat dan anak dari sahabatnya itu tentang masa lalu menantunya itu, yang paling membuat kedua orang tua Bagas kecewa itu adalah ketidakjujuran Asri soal masa lalunya, soal rumah tangganya dulu bersama Raka dan soal anaknya. Lain halnya dengan Bagas yang sudah kepalang benci melihat Asri yang sangat kasar dengan anaknya sendiri, Bagas bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa Asri pada Reisaka jika tidak ia tahan tadi.

Dan dari yang Bagas tahu tentang Reisaka atas cerita Raka selama ini padanya adalah Ibu dari bocah itu tidak tanggung jawab dengan anaknya, bahkan Raka pernah bercerita tentang pria itu yang memohon pada mantan istrinya untuk datang menemui anak mereka yang saat itu sedang sakit. Jadi wanita yang di maksud oleh Raka itu adalah Asri, wanita yang selama ini selalu Ibu anggap wanita baik-baik, cerdas, tulus, memiliki reputasi keluarga yang baik dan tentunya mencintainya. Itu semua seperti topeng yang Asri kenakan baginya saat ini dan hari ini topeng itu terbuka.

Ditempatnya berdiri kecurigaan akan Asri dari Kanes itu terjawab, soal Kanes yang merasa Asri memiliki rahasia besar di hidupnya ternyata sebuah pernikahan dan anak dari masa lalunya. Dan semua itu terjawab, Kanes juga merasa kecewa padahal tadinya dia sudah sedikit berlapang dada dan berharap Asri bisa menjadi istri yang baik untuk Kakaknya itu.

“Lo!!” Bagas menunjuk wajah Asri. “Lo Ibu yang gak bertanggung jawab, pembohong, kasar, penipu!! Puas lo sekarang?”

“Bagas Bagas dengerin aku dulu aku minta maaf sama kamu, Gas. Aku minta maaf.” Asri menarik tangan Bagas dan mengenggamnya, ia sudah menangis menyesakkan menyesali semua perbuatannya selama ini. “Aku mau perbaiki semuanya aku mohon kasih kesempatan buat aku dulu, Gas.”

“Bisa-bisanya kamu, Sri. Membohongi kami, kenapa kamu enggak jujur dari awal saja?” Sela Ayah dengan nada kekecewaanya itu.

“Ayah, aku gak bisa jujur karena bagi aku ini memalukan..”

“Memalukan?!” Pekik Ibu, wanita itu menggeleng pelan. “Apa yang terjadi barusan itu udah cukup bikin kami semua malu, Sri. Semua tamu tadi membicarakan kamu dan anak itu!”

Asri tidak menjawab lagi apalagi saat Bagas melepaskan tangannya, Asri hanya bisa duduk di lantai dengan tangisan yang menyesakkan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika pagi tadi yang sangat amat membahagiakan untuknya akan berubah drastis seperti ini, malam ini benar-benar kelabu dan menyakitkan untuknya. Pesta pernikahannya itu hancur dan yang tersisa hanyalah kekecewaan.

“Bu, Yah. Bagas udah menuhin keinginan kalian untuk menikah sama perempuan ini, sekarang tugas Bagas udah selesai kan? Hanya menikah kan? Kalau gitu Bagas rasa ini semua udah cukup, jadi tolong biarin kali ini Bagas menentukan apa yang Bagas mau,” ucap Bagas tegas, ia melepaskan tuxedo miliknya dan melemparkannya begitu saja di atas sofa. Bagas pergi dari hotel itu meninggalkan kedua orang tuanya dan Asri yang masih menangis dan berteriak memanggil namanya. Kali ini kedua orang tuanya itu tidak membela Asri lagi hanya bergeming seperti tengah menyesali keputusannya.

Kanes yang melihat Bagas keluar dari ruang make up itu buru-buru menyusul kakak laki-lakinya itu, ia melangkah dibelakang Bagas yang sepertinya menangis. Kanes dapat mendengar isakan tangis Bagas yang menyesakkan itu, Bagas ternyata berjalan menuju parkiran mobil dan masuk ke dalam mobil miliknya. Kanes pun sama, ia menyusul Bagas.

“AAAARGHHHHHHHHH.” Teriak Bagas, ia menangis dan memukul-mukul setir mobil miliknya dan ambruk begitu saja. Hidupnya sudah selesai rasanya, Kanes yang duduk di kursi penumpang disebelahnya itu juga menitihkan air matanya, ia merasa tidak tega melihat kakak laki-lakinya yang kembali hancur seperti itu. Kanes menarik tangan Bagas dan memeluk kakak laki-lakinya itu keduanya menangis di dalam mobil.

“Mas Bagas gak sendiri, Mas. Kanes disini nemenin Mas Bagas terus.”

“Hidup Mas udah selesai, Nes.”

Kanes menggeleng pelan, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Bagas. “Enggak, Mas. Enggak hidup Mas belum selesai.”

Malam itu Bagas ditemani adiknya pulang ke rumahhya, mengemasi hampir semua baju-bajunya dan dokumen penting yang ia miliki. Bagas mungkin akan tidur di hotel untuk sementara waktu, sebenarnya tiga hari yang lalu ia baru mendapatkan kabar jika ia di terima disalah satu perusahaan arsitektur yang berada di Finlandia. Anggaplah ia kabur dari rumah, kali ini Bagas ingin berlari sejauh mungkin ingin memulai hidup barunya tanpa ada satu orang pun yang mengenali.

Dan yang mengetahui hal ini hanya Kanes dan adiknya itu berjanji akan merahasiakan hal ini pada siapapun terutama orang tua mereka dan Asri, sebelum berpamitan Bagas sempat memeluk Kanes erat mengatakan pada adiknya itu untuk menjaga dirinya dan ia berjanji akan memberi kabar lagi kapan ia akan segera berangkat ke Finlandia dan dimana alamatnya tinggal nanti.

🍃🍃🍃

Setelah menghadiri acara pernikahan Bagas dan Asri malam itu, perasaan Kirana cukup bisa dikatakan campur aduk. Ada perasaan lega karena ia bisa lebih dewasa menyikapi sesuatu, perasaan khawatir dan bercampur kasihan pada Bagas yang sudah di bohongi habis-habisan. Malam itu Kirana tidak banyak bicara didalam mobil, ia hanya melihat ke arah kaca jendela disebelahnya sembari mendengarkan radio yang masih Raga nyalakan. Raga juga membiarkan Kirana tenang, membiarkan wanitanya menghabiskan jatah sedihnya dahulu.

“Mas?” Panggil Kirana, ia tidak menoleh ke arah Raga namun ia bisa melihat pantulan bayangan wajah Raga yang menoleh ke arahnya.

“Ya, Na?”

“Boleh gak kalau malam ini aku gak mau pulang?” Gumamnya mengawang, Kirana takut kalau ia sendirian di rumah ia akan kembali menangisi Bagas dan mengingat semua kenangan yang pernah mereka berdua bangun.

Raga memberhentikan mobilnya dipinggir jalan, dan Kirana sontak menoleh ke arahnya. Wajah pria yang selalu terlihat tenang itu kini menatapnya dengan tatapan bingung. “Mau kemana hm?”

“Kemana aja terserah kamu, Mas. Aku cuma gak mau pulang.”

Raga mengangguk, ia membuka jas nya dan memakaikan jas itu pada Kirana. Semakin malam hawa semakin dingin apalagi diluar juga gerimis kecil, dan dress yang dipakai wanita itu menampakan bahu mulusnya yang bisa saja membuat Kirana kedinginan. “Kalo aku ajak kamu ketemu seseorang yang pengen banget ketemu sama kamu, mau?”

“Hm?” Kirana mengerutkan keningnya. “Siapa, Mas?”

“Rahasia.” Raga tersenyum jahil, ia membuat kursi yang diduduki Kirana sedikit mundur agar wanita itu bisa bersandar atau mungkin bisa di bilang tiduran. “Kamu istirahat aja ya. Waktu kamu bangun nanti aku usahain kita sudah sampai.”

“Mau kemana, Mas?” Kirana masih penasaran, ia bukan tidak percaya sama Raga jika Raga membawanya ke tempat aneh-aneh ia tahu sekali Raga bukan pria seperti itu. Hanya saja kata 'rahasia' yang di ucapkannya justru membuat Kirana penasaran berkali-kali lipat.

“Percaya aja sama aku ya.”

Kirana akhirnya mengangguk, sebelum menjalankan mobilnya Raga sempat mengusap pucuk kepala Kirana. Semakin lama perjalanan rasanya kedua mata Kirana semakin berat dan mengantuk sampai akhirnya ia tertidur, Raga yang masih fokus mengemudi itu sesekali menoleh ke arah Kirana. Memastikan wanita yang ia cintai itu tertidur dengan nyamannya, Raga sempat berhenti di rest area dahulu untuk mengisi bahan bakar dan membeli makanan, kemudian ia melanjutkan perjalanannya lagi.

Dan hampir setengah perjalanan Kirana enggak terusik sama sekali, wanita itu tidur dengan pulasnya. Mungkin karena ia sudah lelah, tubuh wanita itu pasti letih setelah peperangan batin barusan. Saat malam menjauh dan berganti dengan matahari yang menelisik lewat kaca mobil Raga, Kirana bangun dan ternyata mereka belum sampai juga. Kirana sempat mengerutkan keningnya karna nampaknya Raga membawanya jauh dari Jakarta, entah kemana karena mobil yang di kendarai pria itu masih melaju membelah jalanan yang masih sepi. Di sisi kanan dan kiri jalan hanya ada hamparan sawah yang luas dan panorama pegunungan yang sepertinya terlihat sangat dekat namun ternyata jauh.

Langit terlihat biru berhiaskan burung-burung yang keluar dari sarangnya terbang kesana kemari, Kirana tersenyum ketika mobil yang Raga kendarai itu melewati ternak-ternak milik warga yang sedang memakan rumput. Rasanya sejuk, tentram dan sangat nyaman setelah mobil itu melewati sebuah rumah makan yang didepannya ada alamatnya Kirana baru tahu Raga membawanya kemana, Raga membawanya ke Purwakarta. Dan Kirana sudah bisa menebak jika ini kampung halaman Raga.

“Buka aja kacanya kalo kamu mau nikmatin udara pagi, Na.” Ucap Raga.

“Mas, kamu bawa aku ke kampung halaman kamu?” Kirana menoleh ke arah Raga, wajah pria itu sedikit lelah. Mungkin karena tidak tidur dan semalaman suntuk menyetir.

Raga mengangguk, “um, ketemu sama orang tuaku mau ya? Mama kangen banget sama kamu katanya.”

Senyum diwajah Kirana semakin mengembang dan ia mengangguk dengan semangat, setelah itu ia turunkan kaca jendela mobil Raga. Angin serta udara sejuk masuk begitu saja menghempas wajah Kirana hingga menerbangkan rambut panjangnya, wanita itu memejamkan matanya menikmati udara yang masih sangat bersih dan sejuk itu. Sekitar dua puluh menit kemudian akhirnya mobil Raga memasuki pekarangan rumahnya.

Rumah Raga di Purwakarta itu cukup luas, tak ada pagar yang membatasinya. Ada pepohonan yang semakin membuat suasananya semakin rindang dan sahdu, rumah itu terlihat cukup sederhana dari depan. Interiornya banyak memakai bahan dasar kayu dan batu alam yang berada didekat kolam ikan, Raga akhirnya turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Kirana. Wanita itu keluar dia sedikit malu karena belum berganti pakaian, saat ini pakaiannya bisa di nilai terlalu berlebihan apalagi beberapa tetangga orang tua Raga itu memperhatikannya.

“Mama sama Papaku lagi didalam, lagi ngasih makan ayam kalau jam segini. Yuk.” Raga menggandeng tangan Kirana dan masuk lewat pintu belakang rumah mereka. Dan benar saja, orang tua Raga itu sedang asik memberi makan peliharaan mereka.

“Mah, Pah.” Panggil Raga.

Kedua orang tua nya itu menoleh dan tersenyum sumringah ketika anak bungsu mereka pulang ke rumah membawa seorang wanita. Mama yang pada dasarnya memang sangat menyukai Kirana dan bilang beberapa kali pada Raga jika ia merindukan Kirana itu langsung meninggalkan gunting dan bunga-bunga yang tadinya sedang ia rangkai di dalam vas bunga. Mama langsung menghampiri Kirana, melebarkan kedua tangannya dan memeluk Kirana.

Kirana pun langsung jatuh dipelukan Mama nya Raga, ia benar-benar terharu ada orang lain yang menyambutnya sehangat ini. Saking terharunya Kirana sampai menitihkan air mata dan menenggelamkan wajahnya dibahu wanita yang telah melahirkan Raga itu. Sementara itu Raga menghampiri Papa nya, memeluk pria itu dan mengatakan bahwa ia juga merindukan Papa nya.

“Akhirnya, Na. Akhirnya Raga bawa kamu ke rumah Mama juga,” ucap Mama begitu ia melepaskan pelukannya. Melihat Kirana menangis, Mama juga jadi ikut meneteskan air matanya. Wanita yang sudah tak muda lagi namun masih menunjukan sirat kecantikan masa lalunya itu mengusap air mata Kirana dengan ibu jarinya.

“Maaf yah, Kirana baru bisa ke sini.”

“Gapapa, Nak. Gapapa. Kamu sudah makan?”

Kirana melihat ke arah Raga, pria itu hanya tersenyum memberi isyarat bahwa ia menyerahkan sepenuhnya padanya. “Belum, Mah.”

“Kita makan dulu yah, yuk ikut Mama masuk.” Mama langsung merangkul pinggang ramping Kirana dan membawa Kirana masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Raga dan Papa yang saling pandang itu.

“Masuk dulu, kita sarapan dulu yah. Hhhm.. Kangen sekali Papa sama kamu, Ga.” Papa merangkul pundak Raga dan mengajak putra bungsunya itu untuk masuk.

Bersambung...