Melati Untuk Ayu

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Samarang, 1898.

Sejak kepergian Adi, Ayu lebih sering diam merenung di depan jendela kamarnya. Hal yang selalu ia lakukan ketika menunggu Adi membawakan surat-surat dari Jayden untuknya atau membawakan melati baru yang harum untuk menjadi hiasan di rambutnya, namun bayangan akan pria pribumi berkulit kecoklatanan dan tinggi itu sirna. Tidak akan ada lagi ketukan pelan pada jendela kamarnya, tidak akan ada senyum menenangkan untuknya lagi dan tidak akan ada lagi melati-melati yang selalu Adi petikkan untuknya.

Sore itu ketika Dimas pulang, pria itu langsung masuk ke kamarnya dan Ayu. Menghela nafasnya kasar dan melepas setelan putih gading miliknya, kemudian melemparkannya ke ranjang tidurnya dan Ayu. Sontak aksi itu mengundang atensi wanita ringkih dengan tatapan kosong yang masih duduk di depan jendela kamarnya.

Ayu menatap Suaminya itu tanpa ekspresi, hanya datar saja, tidak ada rona ketakutan seperti biasanya atau pun sedih di wajahnya. Hidupnya beberapa bulan ini seperti robot yang tidak memiliki ekspresi apapun. Jiwanya seperti mati, ikut bersama sahabat dan juga kekasihnya meski raga nya masih menetap di dunia.

“Sampai kapan kau mau terus melamun seperti wanita dungu disana Ayu?! Tidakah kau lelah menangisi pria-pria bodohmu itu?” Sentak Dimas naik pitam, mata bulatnya itu seakan menghardik Ayu. Jika tatapan Dimas bisa membunuh, mungkin sejak kemarin Ayu sudah tewas hanya dengan satu tatapannya saja.

Ayu tidak menjawab, ia hanya bangun dari kursinya dan berjalan dengan gontai mengambil setelan yang di lempar Suaminya itu. Kemudian menggantungnya pada kapstok yang tak jauh dari tempat Dimas berdiri.

“Wanita dungu!! Kau tidak dengar Suamimu berbicara hah?!” Dimas naik pitam, ia tarik lengan Ayu dan ia remas lengan ringkih Istrinya itu hingga Ayu meringis.

“Sakit, Mas..”

“Mau sampai kapan kau begitu?!”

Ayu tidak menjawab, ia hanya berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas di lengannya. Namun usahanya itu sia-sia ketika Dimas melempar tubuh istrinya itu ke atas ranjang, Ayu yang memang tidak melawan dan dalam kondisi lemah itu jatuh ke ranjang. Ia meringis kesakitan, namun setelahnya Dimas menarik kembali Ayu dan melempar tubuhnya lagi ke jendela tempat Ayu termenung tadi.

Tubuh Ayu terkena kursi yang di pakainya duduk, bibirnya berdarah dan ia meringis kesakitan. Bukan hanya pada bibirnya, melainkan pada perutnya. Ia memegangi perutnya yang terasa sakit dan kencang itu.

“Aaahh...” Rintihnya begitu saja keluar dari bibir pucatnya.

“Bangun kau! Kau pikir dengan mengajakku untuk tinggal di rumah kedua orang tuamu membuatku tidak bisa mendidikmu dengan tegas?!” Dimas masih tidak memperdulikan Istrinya itu yang kesakitan, sampai akhirnya ocehannya itu berhenti ketika darah segar mengalir dari kaki Ayu.

“Mas.. Sakit..” Ayu berusaha mengontrol pernafasanya, dadanya nyeri, perutnya sakit, terasa kencang dan darah begitu saja mengalir dari bagian bawah tubuhnya.

Dimas langsung menghampiri Ayu, menggendong tubuh ringkih itu dan menidurkannya di ranjang. Ia panik bukan main, meninggalkan Ayu yang masih merintih kesakitan ia berlari keluar rumah mencari pekerja yang bisa ia suruh untuk memanggil dokter atau dukun beranak sekalipun, apapun itu untuk menolong Istrinya.

“Hai bodoh!! Kemari!” Teriak Dimas panik, tangannya bergetar. Ia bukan mengkhawatirkan Ayu, ia mengkhawatirkan bayi nya, bayi laki-laki yang kelak akan menjadi penerus keluarganya.

Pekerja laki-laki di rumah Ayu itu berlari dengan kaki telanjang menghampiri Dimas, tadi ia sedang memberi makan kuda-kuda milik orang tua Ayu “ada apa, Raden Mas?”

“Panggilkan dokter! Ah, apapun itu yang tercepat saja, Istriku mau melahirkan! Cepat!!”

Di kamarnya, Ayu meraung-raung menahan sakit di perutnya. Pikirannya tak lagi melambung pada kenyataan jika ia di tinggalkan lagi, ia hanya memikirkan bayinya, bayi yang selama ini tidak pernah ia ajak bicara sedikit pun. Tapi hari itu, Ayu sadar jika ia sangat menyayangi separuh dari dirinya itu.

Celakanya nafasnya sesak, dadanya nyeri bukan main bersamaan dengan nyeri di perutnya yang cukup hebat. Rasanya seperti Ayu tengah di kuliti hidup-hidup, tidak pernah ia merasakan sakit seperti ini di sekujur tubuhnya.

“Aahh..” Ayu mengantur nafasnya, tanganya yang berkeringat itu meremas bantal yang ia kenakan.

Tak lama kemudian datanglah Dimas dengan Ibu nya Ayu, Ibu menangis mengkhawatirkan Ayu yang sudah pucat, berkeringat dan terlihat kesakitan itu. Dimas memang seperti itu ketika marah, di awal-awal hari pernikahan mereka, ketika masih tinggal di kediaman orang tua Dimas di Soerabaja.

Ayu kerap kali di pukul dan di tendang jika melakukan kesalahan, seperti menolak melayani Dimas, ketiduran ketika menunggunya pulang bekerja, masakan yang di buat Ayu tidak cocok dengan seleranya. Bahkan Ayu pernah di pukul hanya karna dia membaca buku dan menulis surat untuk keluarganya di Samarang.

Ayu tidak berani bercerita pada kedua orang tua nya, toh Romo lebih berpihak kepada Dimas dibanding anaknya sendiri. Sebelum pindah ke Soerabaja pun, Romo dan Ibu selalu mewanti-wanti jika Ayu harus patuh pada Dimas. Alih-alih merasa di perlakukan sebagai seorang Istri, Ayu lebih merasa ia hanya seorang pelayan dan pemuas nafsu untuk Dimas.

“Tarik nafas, Yu. Anak Ibu pasti kuat, sabar yah, Nduk.” Ibu mengusap pucuk kepala Ayu.

“Ayu gak kuat, Buk. Sakit.. Aaahh..”

Tubuhnya rasanya meregang, darah segar terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya hingga ranjang yang di tiduri oleh Ayu itu penuh dengan darahnya sendiri. Ketika Dimas hendak akan keluar dari kamarnya untuk memanggil pekerja di sana, dukun beranak yang tinggal di sekitar desa itu datang dengan sedikit berlari.

Wanita tua itu nampak panik, karena dalam seumur hidupnya, tak pernah ia membantu keluarga bangsawan pribumi melahirkan. Kebanyakan dari mereka memakai jasa dokter dari rumah sakit Belanda. Beliau lebih sering di minta jasa nya untuk membantu para pribumi miskin melahirkan dengan imbalan seadanya saja. Seperti di bayar dengan uang beberapa gulden, ubi atau bahkan di beri pisang.

“Ahh, cepat-cepat Istri saya mau melahirkan!!” pekik Dimas.

Wanita tua itu duduk di ranjang tempat dimana Ayu menahan seluruh rasa sakitnya, ia membuka kaki Ayu agar bisa memeriksa bagian bawah tubuhnya. Agak sedikit terkejut ketika darah terus mengalir dari bagian tubuh wanita ringkih itu.

“Aduh, Iki pendarahan, kudu enggal dilairaké. Tarik napas dhisik yo, Yu.” wanita tua itu membantu Ayu mengatur nafasnya perlahan-lahan.

Sudah sekitar dua jam Ayu berkelut dengan rasa sakit yang mendera nya, ia mengejan, mengatur nafasnya lagi kemudian mengejan seperti yang di lakukan sia-sia karna bayi yang di kandungnya tak kunjung lahir. Keringat bercampur dengan air mata sudah mengihiasi wajah Ayu yang semakin pucat dan lelah itu.

Tubuhnya kadang meregang, kepalanya sedikit naik dan mengejan lagi, meremas seprei, mengepalkan tanganya dan sesekali berteriak kesakitan bukan main. Siapapun yang mendengar jeritan dan rintihan Ayu yang seperti sedang di siksa itu tidak akan tega.

“Hhhmmm....” pada satu tarikan nafasnya sekali lagi, pandangan Ayu memudar. Wajah Dimas, Ibu nya dan wanita yang membantunya melahirkan itu sedikit demi sedikit sirna.

Nafasnya tersenggal dan pegangan tanganya pada jemari Dimas itu mengendur perlahan, Ayu seperti tengah melihat beberapa burung putih berterbangan di atas kepalanya seperti tengah memanggilnya, mengantarnya pada sebuah lorong dengan cahaya putih yang di depannya sudah ada Jayden dengan kuda putih yang seperti tengah menjemputnya.

Kantuk itu mendera, Ayu memejamkan matanya. Ia tersenyum, sakit yang mendera tubuhnya yang kurus itu perlahan menghilang, nafasnya yang semula berat itu menjadi jauh lebih ringan, ia seperti di paksa kuat untuk berjalan dan menghampiri Jayden yang tersenyum ke arahnya. Ayu merasa sangat sehat dan ringan, angin berhembus semilir menerbangkan rambut panjangnya dan mengantarkannya ke peristirahatannya.

Itu yang Ayu lihat, berbeda dengan apa yang di lihat oleh Ibu, Dimas dan wanita dukun beranak itu. Ayu tak lagi mengejan, tak lagi bernafas, darah yang keluar dari tubuhnya berhenti keluar, bahkan kepala bayi nya itu masih tertahan di ujung sana. Dengan tangan gemetar, Dimas memeriksa nadi Istrinya itu yang tak lagi berdenyut.

“A..Ayu.. Ayu meninggal, Buk,” ucapnya gemetar pada Ibu mertua nya itu.

Sontak tangis memenuhi ruangan itu, Ibu memeluk tubuh Ayu erat. Tak menyangka jika hari itu adalah hari terakhir ia akan melihat putrinya membuka mata, bicara padanya dan kaki ringkih nan kurusnya itu melangkah setapak demi setapak keluar dari kamarnya.

Bunyi nyaring dari alarm ponsel milik Kirana itu berbunyi, membuat ia terpaksa mengerjapkan matanya yang basah penuh peluh bercampur air mata. Badan Kirana sedikit bergetar, ketika ia bangun dan teringat akan mimpinya semalam. Ia menangis, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya sakit meratapi nasib Ayu yang tragis.

Di pukuli Suaminya hingga pendarahan dan terpaksa melahirkan namun nyawanya justru tidak tertolong, Kirana memeluk dirinya sendiri. Isaknya berusaha ia redam agar Ibu tidak mendengarnya.


Derap langkah kaki Raga memutari lapangan itu seakan tidak menemui titik lelah, kedua telinganya ia sumpal dengan earphone memperdengarkan lagu-lagu yang akhir-akhir ini sering ia putar di playlist lagu nya. Cuaca pagi ini cukup cerah dan rutinitas pagi Raga ia awali dengan olahraga kecil, berlari atau sekedar workout di rumah saja.

Tapi berhubung matahari nya cerah, ia memilih untuk lari. Keringat yang mengucur deras dari kening hingga turun ke leher nya itu ia usap dengan handuk kecil yang ia bawa di saku celana nya. Pria itu duduk sembarang di dekat taman, menghentikan musik yang masih mengalun dan menenggak air mineral di dalam botol minumnya itu. Sudah 10.000 ribu langkah ia mengelilingi taman itu.

Matanya menelisik ke sekitar, melihat beberapa orang yang masih berlari, bermain di taman atau sekedar membawa hewan peliharaan mereka jalan-jalan. Sampai sesuatu yang bergetar halus di saku celana nya itu mengintrupsi nya, Raga merogoh saku nya, mengambil benda persegi itu untuk melihat siapa yang menelfonnya pagi begini. Ia harap sih ini bukan soal pekerjaan, karna Raga akan sangat segan sekali jika minggu paginya di ikut campuri dengan urusan kerjaan.

“Kirana?” Gumamnya kecil, Raga menekan tombol hijau di layar ponselnya. Tak lama kemudian terdengar suara Kirana yang sedikit bergetar di sebrang sana.

Pak Raga?

“Ya, Na?” Kening Raga mengerut, ada apa Kirana menelfonnya sepagi ini dengan suara bergetar?

saya..” ada jeda cukup lama, terdengar Kirana sibuk menarik nafasnya kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia seperti berusaha meredam isak tangisnya sendiri.

“Na? Ada apa? Pelan-pelan ya, kamu kenapa?” Raga cukup khawatir, pasalnya Kirana enggak pernah menelfonnya sepagi ini apalagi dengan suara yang bergetar seperti sedang ketakutan.

saya sudah tau akhir hidup Ayu...” terdengar isakan Kirana yang semakin menyesakkan, sementara Raga membeku di tempatnya beberapa saat.

“Mimpi kamu sudah selesai, Na. Kalau kamu belum siap buat cerita, jangan paksain diri kamu, Na.”

saya mau secepatnya bahas ini, Pak. Kita bisa ketemu?” Kirana sudah mulai stabil, meski beberapa kali Raga sempat mendengar wanita itu menarik ingus nya karena menangis.

“Bisa, Na. Kebetulan saya juga lagi di luar. Kita ketemu 1 jam lagi ya, nanti saya share lokasinya ke kamu.”

oke, Pak.

Sebelum Kirana memutuskan sambungan telfon mereka, ada sesuatu yang ingin Raga katakan. Mungkin ini terdengar bisa membuat wanita itu sedikit lebih aman dan lega, mimpi buruk berkepanjangan mereka, yang membuat mereka bertanya-tanya sudah berakhir dan kini mereka hanya perlu mencari jawabannya saja.

“Na?”

Ya, Pak?

“Mimpi kita sudah selesai, kamu bisa tidur nyenyak mulai malam ini.”

Ditempatnya Kirana mengulum bibirnya sendiri, jemarinya yang tadi memelintir ujung baju tidurnya itu ia lepas. Kata-kata sederhana dari Raga cukup membuat perasaanya lega. Pria itu benar, Kirana bisa tidur pulas tanpa bermimpi hal-hal aneh tentang kehidupan sebelumnya.

Ya, Pak. Sampai ketemu, Pak.

Sambungan telfon itu di putus, Raga tersenyum samar. Kini ia dan Kirana harus mencaritahu jawaban akan mimpi mereka berdua, selesai dengan kegiatan berlarinya, Raga sempat pulang ke rumahnya sebentar, untuk mandi dan mengganti bajunya sebentar. Setelah itu ia langsung menemui Kirana di cafe yang tak jauh dari rumah Kirana.

Sengaja Raga mencari cafe yang dekat daerah rumah wanita itu, Kirana pasti masih sangat terkejut dengan mimpinya, di dengar dari nada bicaranya sepertinya mimpi yang Kirana alami tentang akhir hidup Ayu bukanlah suatu hal yang baik. Ketika ia membuka pintu cafe itu, Raga di kejutkan dengan kehadiran Raka dengan anak laki-lakinya. Tapi bukan itu saja yang membuat Raga terkejut, melainkan perempuan yang berdiri dan terlihat sama terkejutnya dengan Raga di belakang Raka.

“Pak Raga?” Sapa Raka, ia menyalami Raga dengan senyum ramah seperti biasanya. “Saka, salam dulu sama Om nya. Ini boss Papa di kantor.”

Raga masih mematung beberapa saat, tapi ia tetap mengulurkan tangannya pada bocah laki-laki di depannya itu dan menyunggingkan senyumnya. “Lucu, Ka. Siapa namanya?”

“Reisaka, Pak.”

Raga mengangguk kecil, “hallo, Saka.”

“Hallo, Paman.” bocah laki-laki dengan poni yang menutupi keningnya itu tersenyum malu, wajahnya benar-benar dominan Raka sekali. Dengan lesung pipi, rambut yang sedikit ikal, kulit putih bersih dan mata bulat dengan bola mata hitam bersinar itu. Menambah kesan polos khas anak-anak dengan tatapan menggemaskannya. Bocah itu kemudian berlari menghampiri wanita dengan ekspresi tegang di belakang Raka itu.

“Lagi jalan-jalan, Ka?” Tanya Raga basa basi.

“Iya, Pak. Saka ngajak jalan-jalan terus sekalian mampir buat sarapan.”

“Ahhh.” Raga mengangguk-angguk.

“Kita ke depan, Saka.” wanita yang berdiri di belakang Raka itu begitu saja melewati Raga dan Raka sembari menggandeng Saka. Terlihat dari mimik wajahnya ia kurang nyaman dengan kehadiran Raka di sana.

“Yang tadi itu, Istrimu, Ka?” tanya Raga hati-hati. Ia tidak salah lihat, ingatanya juga tidak salah. Itu adalah perempuan yang beberapa waktu lalu ia lihat bersama dengan Bagas. Ia bahkan melihatnya beberapa kali, di restaurant dan juga di rumah Bagas.

“Bukan, Pak. Dia cuma Ibu nya anak saya aja.” Raka senyum, sama sekali pertanyaan itu tidak menganggunya.

“Ahh, Maaf, Ka. Saya enggak tahu.” Raga jadi tidak enak sendiri.

“Gapapa, Pak. Kalau gitu saya duluan, Pak.”

Raga masih berdiri di depan pintu masuk berbahan dasar kaca itu, ia melihat dari kejauhan bagaimana wanita itu masuk ke dalam mobil Raka bersama dengan anak laki-laki mereka. Raka enggak cerita dia bercerai sama Istrinya atau apapun itu, pria itu hanya bercerita jika ia sudah memiliki anak. Semua tanya di kepala Raga rasanya menuntut sebuah jawaban, yang entah ia harus mendapatkan jawaban itu dari siapa.

Setelah mobil Raka menjauh pergi, barulah Raga memesan minuman untuknya dan memilih untuk duduk di pojok cafe. pagi itu, cafe nya belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orang saja yang sedang membaca buku atau mengerjakan pekerjaan kantornya.

Raga sempat memeriksa surel miliknya, sampai akhirnya ia merasa ada seseorang berjalan kearahnya. Itu adalah Kirana, wanita dengan wajah suram pagi itu membuat Raga bertanya-tanya mimpi macam apa yang di alami olehnya.

Rambut sebahunya ia biarkan terurai, ia hanya mengenakan sendal crocks, celana training hitam dan juga kaos putih polos. Baju khas rumahan sekali, mungkin karena cafe ini berada dekat rumahnya. Dan suasana hati wanita itu sedang tidak baik, makanya Kirana hanya mengenakan pakaian seadanya saja, Raga menebak-nebak dalam hati.

“Pagi, Pak,” sapa Kirana, ia menarik kursi di depan Raga dan duduk di sana.

“Pagi, Na. Mau pesan apa?” Raga menawari, ia menebak jika Kirana mungkin belum sarapan namun seketika tebakan dalam hatinya itu di tangkis begitu saja oleh jawaban Kirana.

“Nanti aja, Pak. Saya kebetulan sudah sarapan sebelum kesini.” Kirana memang sempat sarapan dulu, Ibu membuat roti bakar srikaya dan coklat keju untuknya.

“Yasudah, ngomong-ngomong, kamu baik-baik saja, Na? Mata kamu kelihatan sembab.”

Kirana memang tidak mengenakan make up apapun, ia hanya memakai sunscreen saja dan tone up cream, setelah itu ia langsung pergi ke cafe tempat ia dan Raga bertemu. Jadi, Raga bisa melihat betapa sembab dan lelahnya mata Kirana itu. Tidak seperti biasanya jika Kirana ke kantor, baju yang selalu rapih, rambut sebahu yang selalu ia kuncir atau di jepit dan riasan tipis yang membuat wajah Kirana terlihat segar.

“Um.” Kirana mengangguk, “saya boleh cerita sekarang, Pak?”

“Silahkan, Na.” Raga mempersilahkan, dia sendiri juga sudah penasaran sekali dengan cerita Kirana.

“Semalam saya bermimpi tentang Ayu, kejadian setelah Adi meninggal.” Kirana menahan nafasnya, entah kenapa seperti ada buncahan ketidaknyamanan di sana yang menyeruak keluar dari dada nya. Kirana tidak ingin ketidaknyamanan ini menguasainya, jadilah ia melawan dengan terus menceritakan tentang mimpinya.

“Setelah Adi meninggal, Ayu seperti kehilangan separuh dari dirinya. Dia sudah trauma di tinggalkan Jayden tanpa salam perpisahan, bahkan surat terakhir yang di tulis Jayden dan di titipkan pada Adi itu hilang, setelah kepergian Adi, dia sering sekali melamun. Tatapannya kosong, hatinya merana seperti tidak pernah menemukan ketenangan meski di rumahnya sendiri. Ia takut di tinggalkan, dan ternyata hal itu pula yang memancing amarah Dimas. Ayu di pukulin, di tendang, bahkan di lempar sampai dia pendarahan.”

Kirana menangis, ia masih sangat ingat bagaimana nasib wanita ringkih dalam mimpinya itu di pukuli habis-habisan, laki-laki sialan bernama Dimas itu bahkan hanya memperdulikan anak yang di kandung Ayu hanya karena bayi itu adalah penerus tahta di keluarganya.

Kirana masih ingat rasa sakit dan teriakan Ayu yang menggema di telinganya bagaikan lolongan macan di tengah hutan. Bahkan saat ia mengucurkan kepalanya dengan air saat mandi, memejamkan matanya karena air yang membasahi tubuhnya justru ia bisa mengingat jelas bagaimana Ayu berjuang menahan sakit melahirkan anaknya.

“Ayu melahirkan, Pak. Tapi sayangnya tubuh ringkihnya itu tidak kuat, dia meninggal dunia dengan kepala bayi nya yang masih tertahan di tubuhnya. Bayi itu juga meninggal.” tubuh Kirana bergetar, ia menutupi wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.

Raga sedikit bersyukur suara dan isakan Kirana kecil dan suaranya tersamarkan dengan lagu dari cafe yang memutar lagu The Beatles yang berjudul Yesterday. Raga menggeser kursinya dan menepuk pelan pundak Kirana agar wanita itu merasa lega.

Raga enggak mengatakan sepatah katapun, ia mau Kirana melepaskan dulu segala keresahannya tentang mimpi yang mungkin mejadi kisah terakhir di mimpinya itu. Ia juga tidak tahu harus memberikan ucapan seperti apa agar Kirana tenang, Setelah Kirana tenang, ia menawarkan tissue yang kemudian langsung di sambar Kirana beberapa lembar untuk mengelap air mata dan wajahnya.

“Ayu sudah meninggal, Pak. Apa mungkin ini menjadi akhir dari perjalanan hidupnya?” Kirana menatap Raga dengan pandangan penuh harap dan menuntut jawaban, padahal, Raga sendiri tidak bisa menjamin apakah itu benar-benar mimpi terakhirnya atau bukan, namun mengingat Raga yang sudah mengetahui akhir hidup Jayden dan tidak pernah bermimpi lagi tentang Jayden pun seperti jawaban yang sama untuknya.

“Saya harap begitu, Na.”

“Menurut Bapak, kenapa kita bisa bermimpi seperti itu?”

Raga menghela nafasnya pelan, dia sendiri masih mencocokkan beberapa kemungkinan. “Ada banyak hal yang berubah, jika benar itu adalah perjalanan kehidupan kita yang sebelumnya.”

“Tapi kenapa hanya kita yang bermimpi seperti itu?”

Raga menelan saliva nya susah payah, hanya ada satu jawaban yang terpikirkan di kepala Raga saat itu. Tentang janji Jayden dan Ayu di tengah pelarian sementara sewaktu Adi mengantarkan Ayu ke dekat hutan untuk bertemu Jayden. “Kamu ingat janji Jayden dan Ayu, Na?”

“soal apa?”

“Jayden pernah bilang, dia pernah berjanji kalau di kehidupan saat itu mereka tidak berjodoh, mereka harus terlahir kembali di kehidupan yang lain. Dan Jayden akan mengusahakan mereka untuk tetap bersama di kehidupan itu,” jelas Raga yang membuat Kirana tergegun beberapa saat.

Penjelasan itu pula yang menciptakan hening dan suasana canggung tak mengenakan yang berada di tengah-tengah mereka berdua.

Bersambung...

Sepanjang perjalanan pulang sehabis bertemu dengan Kirana, Raga banyak meruntuki dirinya sendiri. Karena sejak itu suasana yang tercipta di antara mereka berdua sangatlah canggung, ia seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu. tapi di sisi lain Raga hanya teringat akan janji Jayden dan Ayu di pinggir hutan malam itu.

Karena jika benar mereka adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden, sudah banyak sekali hal yang berubah. Termasuk nasib Adi dan juga Dimas, di kehidupan sebelumnya Adi hidup bersama orang tua nya yang miskin, tapi di kehidupan sekarang ini. Bagas yang menyerupai Adi itu hidup layak, ia memliki pekerjaan bahkan orang tua nya memiliki bisnis laundry. Sedangkan Raka ia sudah menikah dan memiliki anak, dan pria itu tidak menikah dengan Kirana yang mana Kirana sendiri sangat mirip dengan Ayu.

Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya belum terjawab, seperti mengapa hanya ia dan Kirana yang mendapat petunjuk mimpi seperti itu, apa keluarganya masih memiliki hubungan dengan keluarga Jayden hingga mungkin saja Jayden terlahir kembali di dalam tubuhnya. Sebenarnya, mengatakan hal ini kepada orang lain yang tak mengalami kejadian serupa dengannya, Raga mungkin hanya di cap sebagai “orang gila baru.”

Ia menghela nafasnya pelan, toh nasi sudah menjadi bubur juga ia sudah bicara seperti itu pada Kirana, soal wanita itu nantinya menjauh atau tidak akan ia pikirkan itu nanti. Begitu mobil yang Raga kendarai itu memasuki pekarangan rumah orang tua nya, ia melihat ada satu mobil terparkir disana. Itu mobil milik Mas Ethan, Suami dari Mbak Adel.

Begitu Raga keluar dari mobil, si kecil Safira dengan mata bulat dan berbinar itu berlari menghampiri Raga, “Om Aga!!!”

Raga langsung berlari kecil dan menangkap keponakannya itu dan membawanya ke gendongannya, rindu sekali rasanya ia tidak mendengar celotehan dari bibir bocah itu. Sudah ada satu bulan Mbak Adel tidak mengunjunginya dan Raga pun hanya berkabar dengan Mbak dan keponakannya itu dari telfon saja.

Safira itu mirip sekali dengan Mbak Adel ketika masih kecil, rambutnya tebal dan kecoklatan, mata bulat berbinar terang dengan warna yang sedikit kecoklatan, kulit putih bersih dan hidung yang mancung sempurna. Oh, tentu saja gen ini Mbak Adel dapat dari Papa. Karena mendiang dari orang tua Papa itu adalah kewarganegaraan Belanda. Ya, meski Papa sendiri enggak pernah menceritakan lebih lengkap tentang buyutnya itu.

“Waduh tambah berat kamu, Fir. Kaya nya keponakan Om yang cantik ini tinggian gak sih?” Raga terkekeh, ia berjalan ke dalam rumahnya sembari menggendong Safira yang nampak nyaman memeluk lehernya.

Safira cepat sekali tinggi, seingat Raga terakhir bertemi dengan bocah itu. Tinggi nya baru sepinggang Raga, dan hari ini bocah itu sudah nyaris sampai ke tengah perut Raga. Ia jadi teringat oleh anak vampir dan manusia dalam series Breaking Dawn. Namanya Renesmee, bocah itu juga cepat sekali pertumbuhannya.

“Aku kan minum susu terus, Om. Olahraga juga kata Mami susu itu bagus dan olahraga bisa bikin aku makin tinggi.” biarpun masih kecil dan baru saja masuk preschool tapi Safira ini sudah sangat pintar, bocah itu memiliki ingatan yang kuat bahkan guru nya di sekolah menyebut Safira memiliki photograpic memory yang bisa mengingat segala hal dalam sekali menyimak saja.

Namun Raga sedikit mengetahui jika anugerah yang di miliki Safira terkadang menjadikannya semacam kutukan juga, seperti jika suatu hari nanti Safira akan memiliki ingatan pahit dalam hidupnya. Mungkin ia akan sangat kesulitan melupakan ingatan itu meski bocah itu sudah menguncinya rapat pada gudang gelap di dalam kepalanya.

“Kebalap deh nanti Om tingginya sama kamu.”

Begitu kedua nya masuk, di ruang tengah rumah orang tua Raga itu sudah ada Mas Ethan yang sibuk menata beberapa kue basah yang sempat di bawa istrinya itu untuk mereka makan bersama. Kebiasaan Mbak Adel itu enggak pernah berubah, ia akan selalu memasak dan kemudian di bawa untuk Raga dan makan bersama mereka.

“Dari mana kamu, Ga?” tanya Mas Ethan setelah Raga bersalaman dengannya.

“Habis ketemu teman kantor, Mas.” Raga duduk lesehan di bawah meja ruang tamu, bermain bersama Safira dan boneka Barbie yang bocah itu bawa.

Mbak Adel yang baru saja keluar dari dapur setelah menghangatkan tekwan itu tersenyum penuh arti, kebiasaan meledek Adiknya itu tidak pernah luntur meski ia sudah dewasa dan berkeluarga. Tekwan yang sudah selesai ia hangatkan itu, memiliki harum menyeruak, wangi dari rempah-rempah yang di pakai seperti lada, bawang putih dan geprekan ebi yang berhasil memenuhi ruang tamu dan mengoyak perut Raga yang memaksa ingin melahap tekwan itu sekarang juga.

Raga bahkan sudah bisa membayangkan kuah yang hangat itu, bercampur dengan tekwan yang di padukan dengan udang, bengkuang dan jamur kuping. Akan lebiu nikmat rasanya jika di kucurkan dengan jeruk nipis dan beberapa sendok sambal hijau ini selera Raga sekali. Sejak menikah dengan Mas Ethan yang memang berasal dari Palembang, Mbak Adel jadi pandai memasak-masakan khas Sumatra Selatan itu.

“Teman apa teman nih? Habis ketemu Kirana ya?” Mbak Adel asal tebak.

“Kirana yang waktu itu nolongin Raga itu bukan sih, sayang? Yang di sebut-sebut Mama sama Papa terus?” Mas Ethan kembali mengingat-ingat wanita yang pertama kali di kenalkan Raga di keluarganya, maklumlah Raga tidak pernah mengenalkan wanita sepanjang hidupnya.

“Iya benar yang itu, jadi, serius nih, Ga. Kamu ketemu sama dia? Kok diam aja sih?” Mbak Adel duduk di samping Suaminya itu, ia mencomot pastel yang tadi sedang di susun Mas Ethan dan melahapnya.

“Iya memang ketemu dia, tapi cuma ngomongin kerjaan aja kok,” Raga ngeles.

“Gak ngomongin kerjaan juga gapapa kok, Ga. wong kamu sudah dewasa, cepat carikan Tante buat Safira masa dia cuma punya Om Doang.”

Raga meringis mendengar ucapan Mas Ethan itu, ya memang benar Safira hanya memiliki Om saja, karena di keluarga Mas Ethan. Pria itu adalah anak tunggal, jadi Safira hanya memiliki satu Om saja.

“Ya doakan saja, Mas.”

Pagi itu mereka makan bersama, berbincang banyak hal mengenai kabar orang tua mereka dan bisnis kecil-kecilan yang di dirikan oleh orang tua mereka. Mama dan Papa Raga membuka bisnis toko bunga kecil di depan rumah mereka. Halaman rumah Raga di Semarang cukup luas sehingga ada lahan sedikit yang di bangun sebuah ruko dan di jadikan toko bunga.

Mama sangat mencintai bunga, seperti lily, edelweiss, mawar putih, peony, sedap malam dan masih banyak lagi. Dan Papa mewujudkan impian Mama yang sangat ingin memiliki toko bunga sendiri dan mengelola nya, sebenarnya keinginan itu bisa saja terwujud sejak mereka masih muda.

Namun Mama pernah bilang ingin melakukannya di usia senja saja, ingin menikmati hari demi hari merangkai bunga di toko miliknya, memberitahu bunga apa saja yang cocok untuk di berikan pada pelanggan sembari sesekali menikmati sesapan teh melati dan membaca buku. Mama bahkan dengan suka rela memberikan kelas cara menanam bunga, khususnya bunga lily yang memang hanya bisa tumbuh di daerah pegunungan. Bahkan bibit yang ia dapatkan berasa dari luar.

“Sebenarnya Mas kesini selain mau jenguk kamu, Ga. Mas juga mau ngasih penawaran ke kamu,” ucap Mas Ethan.

“Soal apa tuh, Mas?” Raga mengerutkan keningnya, sebenarnya sudah sering kali Mas Ethan menawari beberapa hal di bidang pekerjaan mereka. Ya tidak kaget lagi jika kali ini tebakan Raga benar jika penawaran yang akan di tawarkan pada Raga adalah soal pekerjaan.

“Kantor Mas itu lagi butuh partner. Mas pikir kamu cocok loh, Ga. Lagian kamu mau sampai kapan berkarir di sana jadi team leader terus? Mumpung masih muda, Ga.”

“Memangnya Mas Gusti udah gak kerja di kantor Mas Ethan lagi?” Karena seingat Raga, Gusti cukup di andalkan di firma itu. Raga baru hanya menduga Gusti membangun firma sendiri atau mungkin pindah ke luar negeri seperti yang Mas Ethan pernah bilang pada Raga beberapa bulan yang lalu.

“Ada konflik, Ga. Ya biasa lah, Gusti mutusin buat keluar.”

“Raga pikir-pikir dulu ya, Mas.” Menurut Raga, ini adalah kesempatan baik untuknya. Namun disisi lain, ia sangat nyaman bekerja di kantornya sekarang ini. Meski bukanlah firma besar namun firma yang sudah cukup membuatnya berdiri di kakinya sendiri sejak lulus dari perkuliahan itu, telah memberinya banyak pengalaman berharga. Katakanlah Raga belum berani keluar dari zona nyamannya.


Kirana berjalan gontai menuju rumahnya, cafe tempatnya bertemu dengan Raga memang tak jauh jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Namun saat kakinya melangkah masuk ke pekarangan rumahnya, ada 2 mobil di sana yang tidak Kirana kenali. Sebenarnya Kirana sudah curiga ada tamu yang datang sejak ia melihat pagar kayu rumahnya itu terbuka.

Terlihat ada 6 orang pria menunggu Kirana di teras rumah, pria berjaket hitam dengan kisaran umur 30-40 tahun itu dengan wajah sangar yang tampak mengintimidasi Kirana hanya dari tatapannya saja, seorang laki-laki bertubuh tambun dengan kumis tebal itu menghampiri Kirana. Air wajahnya tenang, tak seperti anak buahnya yang lain yang terlihat ingin menerkam Kirana.

“Pagi, Mbak Kirana. Saya orang suruhan dari Pak Ridwan ingin menyampaikan ini.” Si pria tambun itu memberikan sebuah map berwarna merah pada Kirana, yang kemudian langsung saja di baca oleh Kirana.

“Penyitaan aset terakhir?” Gumam Kirana. “Maksud Bapak, Pak Ridwan mau ambil rumah saya?”

“Benar, Mbak. Karena sudah lewat dari 6 bulan Mbak dan Ibu Mbak. Kami beri waktu untuk menyelesaikan urusan hutang piutang pada Pak Ridwan. Seperti yang Mbak sudah tanda tangani, rumah ini akan kami sita jika dalam waktu 6 bulan Mbak tidak bisa melunasinya.”

Kedua bahu Kirana merosot, “tapi kan Pak Ridwan tahun beberapa bulan yang lalu saya sempat kecelakaan makanya urusan hutang piutang ini agak sedikit tersendat.”

Kirana memberikan pembelaanya, Ibu nya sempat menelfon Pak Ridwan agar di beri waktu tambahan untuk menyelesaikan hutang mendiang Bapaknya Kirana pada Pak Ridwan sampai Kirana pulih dan bisa bekerja kembali, bahkan Ibu pernah menjual beberapa barang mereka demi mencicil sediki demi sedikit.

“Benar, Mbak. Tapi saya dan anak buah saya hanya menjalankan perintah dari Pak Ridwan.”

“Saya harus bicara sama Ibu saya dulu, Pak. Gak bisa langsung hari ini juga, saya minta waktunya sedikit lagi, Pak. 3 bulan lagi, saya janji bagaimanapun caranya bakalan saya lunasi.” Kirana mencoba peruntunganya, baginya rumah ini adalah satu-satunya peninggalan terakhir dari Bapak yang harus ia dan Ibunya jaga. Bukan hanya sekedar rumah, bangunan itu menyimpan banyak kenangan dan bahkan di design sendiri oleh Bapak.

“Enggak bisa, Mbak. Untuk sementara ini saya minta serifikat rumah Mbak dulu, kami beri waktu 3 hari untuk mengosongkannya. Untuk urusan Mbak yang minta jangka waktu, Mbak bisa datang ke kantor Pak Ridwan.”

Tubuh Kirana lunglai, ia benar-benar lemas mendengar ucapan pria tambun itu. Air matanya sudah tidak bisa mengalir lagi meski hatinya hancur, otaknya berputar memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan uang 1 Milyar untuk merebut kembali rumah peninggalan Bapaknya itu.

Setelah di giring ke dalam rumah oleh beberapa anak buah si pria berbadan tambun itu, Kirana menyerahkan surat rumah nya itu pada si pria berbadan tambun. Tak lama kemudian, si pria berbadan tambun itu nampak melihat isinya dahulu sebelum akhirnya berpamitan untuk pergi.

Meski perlu Kirana akui, dari sekian banyak orang yang menagih hutang ke rumahnya. Hanya si pria berbadan tambun lah yang masih bersikap sopan padanya dan Ibu, enggak ada intimidasi apapun seperti bentakan atau kekerasan fisik lainnya. Pak Ridwan memang memerintahkannya seperti itu atau memang si pria berbadan tambun saja yang masih memiliki rasa kemanusiaan.

Setelah pria-pria itu pergi, Kirana duduk di lantai rumahnya dekat ruang tamu yang dahulu terisi oleh sofa-sofa dan beberapa kursi panjang yang terbuat dari kayu jati, kursi dan sofa itu sudah tidak ada karena Ibu dan Kirana telah menjualnya untuk membayar hutang, hanya tersisa kursi plastik saja dan meja kecil untuk duduk jika ada tamu yang datang.

Kirana terisak disana, memeluk dirinya sendiri karena merasa tidak becus menjaga satu-satunya kenangan dan peninggalan terakhir dari Bapaknya, sekeras apapun ia dan Ibunya bekerja selama ini, itu semua bahkan belum bisa menutupi separuh dari hutang Bapak.

Si pria gempal memberikan waktu 3 hari agar Kirana dan Ibunya segera mengosongkan rumah mereka, tapi bukan itu saja yang menjadi bagian paling menyakitkan dalam hidupnya. Bukan hanya tentang meninggalkan rumah ini dan harus pergi kemana, tapi ini tentang bagaimana ia harus bicara pada Ibunya.

Suara mobil yang baru saja masuk ke dalam halaman rumah Kirana itu bahkan tidak menginterupsi Kirana sama sekali, ia masih menangis sembari memeluk kedua kakinya. Pintu depan memang ia buka lebar, jadi baik Kirana maupun seseorang yang baru datang itu bisa melihat satu sama lain. Itu mobil milik Bagas, pria jangkung itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah Kirana. Apalagi saat ia melihat Kirana memeluk kakinya sendiri dan menundukan kepalanya.

“Sayang?” Panggil Bagas, ia mengusap pelan bahu Kirana, Bagas sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Kirana.

Begitu Kirana menampakan wajahnya, mendongak menatap kedua manik mata milik Bagas yang hitam legam itu. Tangisnya semakin tumpah, tubuhnya reflek bersandar pada Bagas yang begitu saja pria itu sambut dengan uluran tanganya yang menyambut tubuh Kirana.

“Kenapa, sayang? Tadi aku liat ada mobil keluar dari rumah kamu, mereka siapa?”

Tangis Kirana masih menyesakkan, bahkan ia yakin baju yang di kenakan oleh Bagas pasti sudah basah karena air matanya. Tapi biarkan kali ini Kirana menangis, ia telah lelah berpura-pura tangguh sendirian. Beban yang selama ini ada di pundaknya ingin segera ia tumpahkan begitu saja, tubuhnya sakit, hatinya perlahan hancur kepingan itu berantakan dan Kirana tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Setelah dirasa cukup tenang dan tangisnya mereda, Kirana mengurai pelukan itu, membiarkan ibu jari Bagas mengusap bagian bawah matanya yang masih mengembang air mata.

“Gas?”

“Hm?” Bagas berdaham, tersenyum kecil seperti memastikan pada Kirana jika ia tetap ada untuknya.

“Tadi orang-orangnya Pak Ridwan kesini, mereka bilang Pak Ridwan mau sita rumah ini karena aku gak menyanggupi pembayaran hutang Bapak dalam waktu 6 bulan. Ini udah lewat dari tenggatnya,” jelas Kirana meski terbata-bata, entah sejak kapan air mata itu kembali merembas dari pelupuk matanya dan begitu saja terjun ke wajahnya.

“Aku harus gimana ya, Gas? Gimana caranya aku ngasih tau Ibu?”

Bagas terdiam, hatinya juga ikut sakit mengetahui jika rumah yang menjadi satu-satunya kenangan untuk keluarga Kirana itu harus di sita. Sebenarnya, Bagas sudah sering kali menawarkan pada Kirana bantuan. Bagas memiliki tabungan, memang tidak banyak hingga bisa melunasi seluruh hutang mendiang Bapaknya Kirana kepada Pak Ridwan, tapi setidaknya Bagas bisa membantu separuhnya.

“Nanti aku bantu bicara sama Ibu ya? Sementara waktu, kalau emang rumah ini harus di kosongin. Kamu sama Ibu bisa tinggal di rumahku dulu, Na.”

Rumah yang Bagas sewa memang cukup besar, memiliki 2 kamar tidur. Bagas hanya memakai 1 kamar, ia pikir Kirana dan Ibu nya bisa tidur di kamarnya yang satu lagi. Atau kalau pun Kirana enggan menerima tawaran ini, mengingat kekasihnya itu sulit sekali menerima bantuannya. Ia bisa bantu Kirana untuk mencarikan rumah yang bisa mereka sewa.

“Enggak, Gas. Aku gak mau ngerepotin kamu,” ucap Kirana lirih, suaranya serak. Ia menyibak rambutnya itu yang nampak sedikit berantakan.

“Kenapa, Na? Aku gak pernah ngerasa kamu repotin sama sekali. Aku senang kalau bisa bantu kamu.”

Kirana mengangguk pelan, “bantuin aku cari rumah yang bisa aku sewa aja ya? Pak Ridwan ngasih waktu aku 3 hari buat ngosongin rumah ini.”

“Aku pasti bantu, tapi, Na.” Bagas membawa kedua tangan Kirana dan menggenggam tangan itu erat, ia usap punggung tanganya dengan ibu jarinya itu, “jangan pernah sungkan buat minta bantuan aku ya, Na. Aku enggak mau kamu kesusahan sendirian. Aku senang banget kalau bisa bantu kamu dan Ibu.”

Kirana tidak menjawab, ia menunduk dan hanya mengangguk kecil. Baginya kehadiran Bagas saja sudah cukup untuknya. Untuk ia jadikan sandaran, Kirana enggak pernah mau menyeret-nyeret Bagas atau siapapun itu ke dalam persoalan hutang piutang Bapaknya. Bagi Kirana ini adalah tanggung jawabnya.

Malam itu setelah Ibu pulang dari toko, sudah makan malam dengan soto Lamongan yang di buat Kirana dan Bagas, keduanya berusaha perlahan-lahan memberitahu Ibu tentang kabar tidak baik ini. Ibu sangat sedih, Ibu menangis karena merasa rumah itu begitu penting baginya.

Kirana tidak bisa banyak berjanji pada Ibu, seperti suatu hari ia akan berusaha mengambil alih rumah mereka lagi, karena Kirana sendiri tidak yakin. Hutang Bapak bukan hanya pada Pak Ridwan saja, masih ada hutang lain yang perlu Kirana lunasi. Melihat Kirana dan Ibunya yang cukup piluh dan tidak bisa di tinggal, akhirnya Bagas memutuskan untuk menginap di rumah Kirana, membantu Kirana mengepak beberapa barang yang akan mereka bawa nanti.

Wanitanya tidak banyak bicara, raut wajahnya yang cerah seperti matahari di pagi hari itu kini nampak mendung seperti ada awan kumulonimbus di sana yang siap menyambar petir dan badai kapan saja.

“Besok pagi, setelah sarapan. Kita cari-cari rumah ya?” Bagas mengusap kepala Kirana dan wanita itu mengangguk kecil.

Bersambung...