Melati Untuk Ayu

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Mobil yang di kendarai Bagas itu berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, halamannya pun tidak ada hanya ada teras yang di isi oleh satu kursi dan satu meja untuk sekedar bersantai, Itu lebih bisa di sebut kontrakan, entah apa maksud Bagas mengajak Kirana ke sana karena sampai saat ini pun pria itu belum mengatakan apa-apa.

“Ini rumah siapa, sayang?” tanya Kirana bingung, kedua matanya menelisik pada bangunan di depan mereka itu.

Rumah yang bisa di sebut kontrakan itu memang bangunan baru, struktur rumahnya juga terbilang modern, ada 2 jendela yang menghadap ke jalan dengan pintu yang sepertinya sudah mengenakan smartdoor Kirana bahkan sudah bisa mengira-ngira berapa harga dari rumah yang di kontrakan itu.

“Rumah siapa ya?” gumam Bagas, tak lama kemudian ia terkekeh sembari mengambil kantung belanja di kursi belakang yang berisi makanan-makanan yang mereka beli barusan.

“Ihh kamu mah, rumah siapa sih?”

“Turun aja dulu yuk, dari pada penasaran.” Bagas keluar lebih dulu, sengaja membuat Kirana terus bertanya-tanya.

Tak lama setelahnya Kirana ikut turun, mengekori Bagas sembari melihat-lihat kesekeliling lingkungan rumah itu. Terlihat sangat nyaman, banyak pepohonan juga di sekeliling rumahnya meski terlihat enggak di rawat dengan baik.

Tapi tetap saja membuat lingkungan dan rumah itu tampak lebih sejuk, menurut Kirana sangat nyaman untuk di tinggali apalagi lingkunganya pun tidak berisik. Walau enggak bisa di sebut komplek juga, karena posisi rumah itu pun masuk kedalam gapura.

assalamualaikum,” ucap Bagas begitu ia membuka pintu rumahnya.

Kirana masih terpaku di depan pintu, sampai akhirnya Bagas menggandeng tangan kecilnya itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah yang Bagas sewa itu. Sudah sekitar 2 malam Bagas tidur di rumah itu, dia sengaja mengajak Kirana ke rumahnya sekarang karena dia baru rampung membereskan barang-barangnya.

Rumah itu terdiri dari satu ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur. Ada dua kamar mandi juga di dalam kamar dan di dekat ruang tamu. Tidak terlalu besar namun cukup nyaman bagi Bagas, hanya ada ketenangan di rumah itu. Tidak ada ucapan menyakitkan dari orang tua nya atau paksaan melakukan hal-hal yang tidak Bagas sukai.

“Ini rumahku, sayang.” ucap Bagas tiba-tiba, membuat kebingungan di kepala Kirana itu sedikit terjawab.

“Rumah? Ka..kamu beli rumah ini?”

Bagas menggeleng dan terkekeh pelan, “belum, aku cuma sewa, sayang. Untuk sementara aku tinggal disini.”

Kening Kirana mengekerut, Bagas punya rumah sendiri bersama orang tua nya. Lalu kenapa pria itu harus menyewa rumah? Pikir Kirana. “Ka..kamu pindah ke sini? Terus orang tua kamu?”

Bagas mengajak Kirana untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu, ia akan menjelaskan pada Kirana tentang mengapa ia memutuskan untuk keluar dari rumah kedua orang tua nya itu.

“Aku cuma mau belajar hidup lebih mandiri aja, sayang. Aku ngerasa aku udah cukup bisa bertanggung jawab sama hidup aku sendiri.”

“Emangnya kalau masih tinggal di rumah orang tua kamu, kamu ngerasa gak bisa mandiri?”

Bagas terkekeh, “bukan begitu maksudku.”

“Terus?”

“Kita ini kan udah 27 tahun, selama ini setiap aku pulang kerja semua kebutuhan aku udah di siapin sama Bibi yang bekerja di rumah, kaya makan malam, baju yang udah rapih dan bersih. Aku cuma ngerasa mau lebih mandiri aja, biar jadi lebih dewasa sebelum kita berumah tangga.”

Kirana senyum, walau jawaban dari Bagas itu rasanya masih ada yang mengganjal bagi Kirana. Entah kenapa Kirana cuma kepikiran kalau hubungan Bagas dan orang tua nya belum membaik, jujur saja sempat terlintas di kepala Kirana kalau Bagas mungkin di usir oleh kedua orang tua nya.

“Kamu enggak di usir sama orang tua kamu kan, sayang?” tanya Kirana hati-hati, ia tidak ingin menyinggung perasaan Bagas.

Namun pertanyaan Kirana itu justru mengundang tawa bagi Bagas, meski bukan di usir oleh kedua orang tua nya. Melainkan ia yang memang memilih pergi dari rumah, tapi bisa-bisa nya Kirana kepikiran kalau ia di usir.

“Sayang, aku nanya serius loh. Aku khawatir sama hubungan kamu dan orang tua kamu.” Kirana cuma enggak mau hubungan Bagas dan orang tua nya renggang hanya karena Bagas membela dirinya. Dia gak mau merebut Bagas dari orang tua nya.

Bagas mengambil kedua tangan Kirana, Bagas paham kekhawatiran itu. Dia sendiri ingin mengatakan bagaimana hubungannya dengan orang tua nya pada Kirana. Walau ada perasaan ragu, Bagas hanya takut Kirana merasa ia menjadi penyebab retaknya hubungan Bagas dengan kedua orang tua nya.

“Hubungan aku sama orang tua ku emang belum membaik, sayang. Tapi aku tinggal sendiri itu udah jadi pilihan aku, aku udah dewasa. Aku berhak menentukan hidup aku harus kaya gimana kan?” ucap Bagas meyakinkan Kirana.

“Orang tua kamu setuju kamu pidah dari rumah?”

Bagas menggeleng, “awalnya memang enggak, aku tetap maksa buat pindah. Aku pikir, dengan aku pindah orang tua aku bisa mulai sadar kalau aku ini bukan anak kecil lagi, aku cuma mau mereka menghargai keputusan aku.”

Kirana diam, jawaban Bagas sama sekali tidak salah. Umur mereka memang sudah matang dan cukup dewasa untuk mengambil sebuah keputusan, bukannya cukup aneh jika di usia mereka yang sekarang. Orang tua masih ikut campur dalam menentukan hidup anaknya?

“Aku cuma bisa dukung apapun yang menurut kamu baik. Tapi tolong jangan jauhin orang tua kamu ya.”

Bagas menggeleng, “gak akan, sayang. Aku masih sayang mereka, mereka masih orang tuaku.”

Sore menjelang malam itu mereka menghabiskan waktu bersama dengan memanggang daging, menonton film bersama sampai rasanya Bagas dan Kirana ingin menghentikan waktu sebentar. Sudah lama sekali keduanya tidak berkencan seperti ini sejak Kirana kecelakaan. Kirana enggak ada rencana menginap kok, dia juga enggak mungkin membiarkan Ibu nya tidur sendirian di rumah. Enggak tega, dan Ibu pasti khawatir.

Dadu yang di keluarkan dari tangan Kirana itu menujukan enam titik hitam di atasnya, ia kemudian menjalankan kerucut miliknya. Mereka sedang bermain ular tangga, dan sialnya kerucut milik Kirana itu justru harus kembali turun ke nomer bawah, padahal hanya delapan langkah lagi dia akan berhasil menang melawan Bagas.

“Hahahaha, kebawah lagi dia kasian banget,” ledek Bagas yang membuat Kirana semakin jengkel.

“Awas aja nanti juga ujung-ujungnya aku yang menang,” gerutunya.

“Kita liat aja nanti.” Kini giliran Bagas yang jalan, ia memasuk dadu itu ke tangannya dan mengocok dadu itu. Setelahnya ia keluarkan, Bagas mendapati titik lima di dadu itu. Dan alhasil kerucut miliknya sudah tiba di garis finish.

Ini untuk ketiga kalinya Bagas menang melawan Kirana, mereka sudah bermain lima ronde dan Kirana baru menang dua kali melawan Bagas. Ya, dia anggap sih Bagas malam ini sedang beruntung saja. Karena biasanya Kirana lebih jago bermain ular tangga.

“CURANG!!” pekik Kirana enggak terima.

“Mana ada curang, kamu kan liat sendiri dadu aku lima tadi.”

“Masa mukaku lagi sih yang di coret,” rengek Kirana.

Karena tidak ingin wajahnya itu di coret dengan tepung yang sudah mereka larutkan dengan air. Kirana akhirnya berlari, namun Bagas tidak diam saja. Ia mengejar Kirana yang mulai berlari mengelilingi ruang tamu itu.

“Heh, yang curang tuh kamu. Udah kalah gak mau di coret mukanya!”

“Coretan di mukaku udah banyak ih, kamu tuh kalo nyoret tebal-tebal yah!” Kirana ngeles.

“Kamu gak liat kamu nyoret muka aku pake lima jari?!” Pekik Bagas tidak mau kalah, dan ucapannya itu membuat Kirana terkekeh.

Wanita kembali berlari, namun sayangnya Bagas lebih sigap menangkap tangannya, Kirana nyaris oleng dan tersandung kakinya sendiri, karena tidak menyangka Kirana akan tersandung Bagas pun kaget, dia tidak siap dan membuat keduanya jatuh di atas sofa bed ruang tamu dengan posisi Kirana berada di bawah Bagas.

Keduanya sama-sama terkekeh pelan, sebelah tangan Bagas menahan bobot tubuhnya sendiri agar tidak menindihi tubuh Kirana sepenuhnya. Sementara itu, tangannya yang lain mengusap wajah cantik kesayangannya itu. Enggak pernah bosan rasanya ia hanya dengan menatap wajah Kirana, ia selalu mengimpikan suatu hari ia akan terbangun dan Kirana lah orang pertama yang akan ia lihat di sampingnya.

“Aku sayang kamu, Na,” bisik Bagas.

“Aku juga..”

“Juga apa?”

“Sayang Kirana,” ledek Kirana dan Bagas terkekeh pelan. Sampai akhirnya hening tercipta, hanya ada deru nafas keduanya yang saling beradu dan tatapan mata yang saling menelisik itu.

Keduanya saling memejam, Bagas perlahan-lahan memajukan wajahnya hingga ia Kirana bisa merasakan hembusan nafas Bagas menyapu wajahnya. Degup jantung Kirana menggila rasanya, ini bukan pertama kali baginya berciuman dengan Bagas. Namun setiap kali Bagas menciumnya, rasanya selalu sama. Seperti saat pertama kali Bagas mencuri ciuman pertamanya dulu.

Bibir milik Bagas itu bergerak mengecupi bibir Kirana, melumatnya kecil hingga mengigitnya. Kirana itu kaku, ia terbiasa menerima apa yang Bagas lakukan pada bibir ranumnya. Tapi malam itu ia beranikan dirinya untuk menaruh kedua tanganya di bahu pria itu, mengecup bibir pria yang sangat ia sayangi itu dengan seduktif.

Bagi Bagas tidak ada yang lebih adiktif dari pada Kirana, kedua anak manusia itu saling mengecup. Mengutarakan perasaan sayang satu sama lain melalui kecupan-kecupan kecil itu yang terkadang bergerak lamban dan terbata-bata. Sampai pada akhirnya, bunyi dari ponsel milik Kirana itu menyadarkan keduanya. Kirana sedikit mendorong dada Bagas, ponselnya berbunyi ia harus segera mengangkatnya.

“Ada telfon, sayang,” ucap Kirana.

Bagas bangkit dari atas tubuh wanitanya itu, berjalan mengambil ponsel milik Kirana yang ia taruh di meja ruang TV. Ternyata itu adalah panggilan dari Ibu nya Kirana, dan Bagas baru sadar kalau saat ini sudah jam sebelas malam.

“Ibu, sayang. Kayanya aku kemalaman mulangin kamu nih sampai Ibu telfon.” Bagas memberikan ponsel Kirana itu pada pemiliknya.

“Aku angkat dulu ya.”


Samarang, 1899.

Banyak-banyak Jayden hirup aroma yang berasal dari wewangian yang Jacob buatkan dari ekstrak bunga melati itu, hari ini Jayden menaruhnya di ruang kerjanya di kantor keresidenan. Mungkin hanya kebahagiaan kecil itu yang tersisa dari Ayu, Jayden hanya bisa menghirup aroma melati yang selalu mengingatkannya akan wanita itu.

Sajak-sajak masih ia tulis, namun tak pernah Jayden kirimi sajak-sajak itu ke Soerabaja. Ia tidak ingin membuat Ayu tersiksa karena tulisan-tulisannya, namun doa dan harapan akan kebahagiaan wanita itu tak pernah sekalipun terputus untuknya.

Sajak-sajak yang ia tulis, bersamaan dengan rangkaian bunga-bunga melati kering yang menghiasi kertas itu. Ia simpan di dalam laci meja kerjanya, biar ia sendiri yang membacanya. Atau jika orang lain membacanya, biarkan orang itu yang menjadi saksi betapa ia mencintai wanita pribuminya itu.

Tak lama kemudian, derap langkah kaki yang terburu-buru itu terdengar dari penjuru lorong. Membuat atensi Jayden teralihkan, ia keluar dari ruang kerjanya dan mendapati para pegawai kantor sedang berlari dengan wajah paniknya.

“Ada apa?” tanya Jayden.

meneer para pribumi sialan itu menyerang kantor kita! Mereka melakukan pemberontakan!” pekik pegawai lainnya dengan panik.

Belum sempat Jayden mencerna apa yang sedang di jelaskan oleh pegawai lainnya, tiba-tiba saja pasukan pribumi yang memberontak itu berhasil memasuki kantor keresidenan. Beberapa ada yang tumbang karena tentara kolonial menembaki mereka, namun tak sedikit juga para tentara yang menjadi korban dan berakhir tewas. Mereka menyerang menggunakan clurit dan beberapa melempari gedung dengan batu.

“Lari!! Lari!!” teriak yang lainnya.

Jayden tak ingin sembunyi, ia tak ingin menjadi pengecut ia ingin tahu apa yang membuat para pribumi itu menjadi pemberontak. Ia berusaha keluar dari dalam ruanganya meski banyak sekali pegawai lain berlari berlawanan arah dengannya.

meneer lari!” ucap Max, dia adalah salah satu pegawai disana yang cukup dekat dengan Jayden.

“Ada apa sebenarnya, Max? Kenapa mereka menyerang kantor keresidenan?”

Max tak mungkin menjelaskannya di antara kerumunan seperti ini, apalagi beberapa pribumi sudah berhasil mengambil alih senjata milik tentara kolonial yang tewas dan menyerang para Belanda itu. Jadi, Max tarik tangan Jayden dan ia cari tempat persembunyian untuk mereka.

Jayden hanya mengikuti saja, ia butuh penjelasan untuk setidaknya mengerti posisi para pribumi saat ini. Selain Jayden, Max juga orang Belanda yang banyak memihak pribumi. Ia pernah mengecani seorang tawanan dan memiliki anak dari wanita pribumi itu, meski hubungan mereka berakhir mengenaskan karena sang wanita berakhir di bunuh. Max membesarkan anak itu sendiri.

“Mereka memberontak karena merasa tertindas, bukan hanya kantor keresidenan saja yang di serang, meneer, jelas Max terengah-engah.

“Dari kalangan mana mereka?”

“Buruh.”

Terdengar suara tembakan yang begitu kencang dari lantai dua tempat Jayden dan Max bersembunyi, terdengar rintihan pula di sana dari seorang wanita entah siapa itu. Jayden ingin keluar namun Max menahannya, Jayden hanya merasa mereka tidak bisa menjadi pecundang seperti ini.

“Kita harus pergi meneer.” Max berjalan ke arah jendela, ternyata jarak dari lantai dua untuk turun ke lantai satu lumayan jauh. Jika mereka memaksa melompat, bisa saja kaki mereka berakhir patah.

“Kau mau melompat? Kau gila?” pekik Jayden.

“Kau mau mati di tembaki membabi buta oleh para pribumi itu?”

“Aku hanya merasa kita harus berbicara pada mereka, Max. Kita pejabatnya disini.”

“Itu bisa kita lakukan nanti jika mereka berhenti menyerang, mereka tengah di landa kemarahan. Dan bicara dengan dengan orang yang tengah di landa kemarahan hanya sia-sia, meneer.

Sedang berdebat dengan Max, tiba-tiba saja pintu ruangan tempat mereka bersembunyi di paksa terbuka oleh seseorang. Pintu itu di dobrak dengan kasar, membuat Max begitu panik.

“Turun lebih dulu, Max. Aku akan menyusulmu,” perintah Jayden.

“Tidak, meneer. kau yang lebih dulu turun.”

Jayden menggeleng pelan, “turunlah, kembali pulang ke rumahmu. Anakmu pasti khawatir.”

Yang Jayden pikurkan saat itu adalah hanya menyelamatkan Max, pria itu harus kembali pada anaknya. Jika Max mati di tangan para pribumi itu, anaknya akan menjadi seorang yatim piatu. Jayden tidak ingin itu terjadi yang di punya dari putri kecilnya itu hanya Max, Ayahnya.

Max seperti menimang-nimang ucapan dari atasannya itu, dengan penuh keraguan ia mulai mencoba turun dari jendela lantai dua. Kakinya gemetar karena takut akan ketinggian dan juga memikirkan nasib Jayden. Sebagai seorang bawahaan, ia yang harusnya melindungi Jayden bukan malah sebaliknya.

meneer..

“Pergi, Max!!” pekik Jayden. Ia sedikit mendorong bahu Max agar segera menjatuhkan dirinya ke bawah karena pintu ruangan itu akan segera terbuka.

Max akhirnya dengan cepat keluar dari jendela, ia langsung lompat begitu saja dan jatuh di semak-semak. Kakinya terkilir, sangat sakit dan membuatnya tidak bisa begitu saja berlari. Max bersembunyi di sana, ia tak berani keluar dari semak-semak. Namun yang membuat hatinya pilu adalah, suara tembakan yang berasal dari lantai dua. Dimana ruangan ia dan Jayden bersembunyi barusan.

Max menangis ketakutan, kemungkinan terburuk adalah Jayden tewas di tembak para pemberontak itu. Dalam hati Max bersumpah, tak akan pernah ia lupakan apa yang di lakukan Jayden untuknya.

Di ruangan yang menjadi saksi bisu akhir perjalanan hidupnya, Jayden yang sedang di ambang kematian karena dua peluru yang mendarat di perut dan dada sebelah kanan nya itu tersenyum dalam sakit yang ia rasakan. Dalam bayangan yang sudah tampak samar dan bau anyir dari darah yang mengalir dari dalam tubuhnya, ia bisa melihat Ayu berdiri di depannya.

Mengulurkan tangan dengan senyum manisnya, wanita itu mengenakan kebaya terbaiknya dengan rambut panjang yang di hiasi oleh melati-melati. Jayden ingin sekali mengucapkan salam perpisahan, namun lidahnya keluh. Tubuhnya seperti tercabik-cabik dan nyawanya perlahan terasa seperti di tarik.

Malaikat maut mungkin sedang menjemputnya, di akhir nafasnya itu Jayden tersenyum. seseorang yang menjemputnya pergi ke sebuah lorong penuh cahaya itu adalah Ayu. Wanita itu mengenggam tangannya, tersenyum namun tidak berbicara. Dan ini adalah akhir dari perjalanan hidup seorang Jayden Van Den Dijk.

Pagi buta itu Raga bangun dengan terengah-engah, keringat di sekujur tubuhnya itu berjatuhan, perasaanya tidak karuan dan bagian dada serta perutnya terasa begitu ngilu. Ia seperti bisa merasakan apa yang di rasakan oleh Jayden yang tewas dalam mimpinya itu.

“Aaarghh....” erangnya.

Raga meraba sisi ranjangnya untuk mencari ponselnya itu, dengan nafas yang tersenggal-senggal ia berusaha mencari nama Adel di sana namun Jayden sadar jika kakak perempuannya tidak sedang berada di Jakarta. Mbak Adel sedang liburan bersama dengan anak dan Suaminya ke Bali.

“Aaahhh...” Raga meremas dadanya sendiri, rasanya semakin sakit dan nafasnya juga semakin sesak.

Pada akhirnya ia menekan asal kontak yang ada di ponselnya itu untuk meminta bantuan, ia benar-benar tidak kuat menahan sakitnya. Raga sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa merasakan sakit seperti yang Jayden rasakan di dalam mimpinya.

hallo, ada apa, Pak?

Dari ponselnya, Raga bisa mendengar suara Kirana. “Na, tolong saya..”

ada apa, Pak? Bapak kenapa?” suara Kirana itu berubah menjadi panik ketika ia mendengar suara Raga yang sedikit parau itu seperti tengah merintih.

“Tolong.. Bawa saya ke rumah sakit.. Arrrhghhh—”

Raga tidak sempat menjelaskan kondisinya, ia kehilangan kesadarannya dengan sambungan telefon yang masih terhubung ke Kirana. Di sebrang sana, di jam tiga pagi Kirana panik bukan main. Ia langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah Raga dengan memesan taksi online setelah Raga tak lagi menjawab ucapannya.

Bersambung...

Begitu sampai di rumah Raga, Kirana begitu panik, apalagi saat Raga tidak menjawab panggilannya dan tidak membukakanya pintu. Kirana sempat meminta bantuan pada satpam kompleks tempat Raga tinggal untuk membantunya membuka pintu rumah Raga.

Begitu pintu itu terbuka, Raga sudah tergeletak di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan pria itu berkeringat cukup banyak. Kirana langsung membawa Bagas ke rumah sakit, dari hasil pemeriksaan dokter bilang kalau Raga terkena Gerd. Beruntungnya Kirana langsung segera datang dan membawa Raga ke rumah sakit.

Raga belum di pindahkan ke kamar rawat inap, administrasinya sudah selesai namun dokter masih menunggu hasil pemeriksaan darah Raga keluar. Selama Raga belum sadar, Kirana masih setia menemani pria itu di sebelah ranjangnya. Memperhatikan Raga yang masih terlelap dengan wajah pucat pasinya itu.

Kirana enggak tahu keluarga Raga seperti apa, pria itu hanya tinggal sendiri dan saat sakit pun Kirana orang pertama yang ia hubungi. Padahal, kalau di bilang hubungan mereka cukup dekat pun enggak. Mereka hanya saling bertukar cerita mengenai mimpi yang mereka alami saja, justru Raga lebih banyak tahu tentang Kirana dari pada Kirana sendiri yang mengetahui tentang Raga.

Sedang larut memperhatikan wajah Raga, tiba-tiba saja kedua kelopak mata itu terbuka perlahan-lahan. Keningnya mengekerut bingung, namun kebingungan itu terjawab dengan hadirnya Kirana di sana.

“Pak?” tanya Kirana.

“Kamu bawa saya ke rumah sakit, Na?” Raga bertanya balik, ia sedikit lupa apa yang terjadi padanya sampai-sampai Kirana harus membawanya ke rumah sakit.

Kirana mengangguk kecil, “Bapak pingsan, Bapak telfon saya sambil ngerintih, gimana saya enggak khawatir coba?”

Raga tersenyum lemah, ia baru ingat apa yang terjadi padanya. “Maaf ya ngerepotin kamu. Saya enggak tahu harus telfon siapa lagi, karena Mbak saya lagi di luar kota.”

Kirana mengangguk kecil, dia baru ingat kalau Raga mempunyai Kakak perempuan. Kakak perempuannya itu kalau tidak salah ada di dalam mimpinya Raga, ya, Raga pernah bercerita kalau ada orang lain yang ada di masa lalunya yang ia temui juga di saat ini.

“Gapapa, Pak. Maaf, Pak. Bapak punya gerd?” tanya Kirana hati-hati.

“Kata dokter seperti itu?”

Kirana mengangguk.

“Punya, tapi memang sudah lama tidak pernah kambuh. Padahal akhir-akhir ini saya jaga pola makan saya, udah enggak minum kopi juga.”

“Banyak pikiran juga bisa menjadi pemicunya, Pak.”

Raga menoleh ke arah Kirana, ia melihat wanita itu dengan baju tidur dan cardigan berwarna kuning yang ia kenakan. Rambut panjangnya juga hanya di ikat asal-asalan, Kirana benar-benar datang saat ia menelfonnya tadi pagi.

“Mungkin mimpi itu jadi penyebabnya gerd saya kambuh juga, Na.”

Raga baru ingat tentang mimpi akhir dari perjalanan hidup Jayden, pria Belanda itu di tembak dua kali di bagian dada sebelah kanan dan perutnya. Pemberontakan kaum pribumi itu banyak menewaskan para kolonial dan pihak pribumi juga, bahkan saat Raga bangun pun ia bisa merasakan sakit di bagian yang tertembus peluru itu. Entah kenapa ia bisa merasakan sakitnya juga.

Dan itu semua berujung ia harus opname di rumah sakit karena gerd yang di deritanya, agak sedikit tidak masuk akal bagi Raga karena sebelum tidur pun ia sehat-sehat saja.

“Soal Jayden, Pak?” tanya Kirana hati-hati dan Raga menjawabnya dengan anggukan.

“Dia udah tewas, Na. Dan saya tau bagaimana itu semua berakhir,” jawab Raga dengan nada yang mengambang.

Mendengar ucapan Raga itu, Kirana menunduk. entah kenapa perasaanya menjadi tidak karuan mengetahui Jayden sudah tewas. Meski Kirana sendiri enggak tahu bagaimana akhir hidup dari pria Belanda itu karena Raga belum bercerita dan ia sendiri pun belum bermimpi, semalam setelah pulang dari rumah Bagas.

Kirana enggak langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus ia revisi dahulu. Setelah itu, ia menemani Almira melakukan panggilan video karena wanita itu ingin bercerita banyak mengenai kencan nya.

“Jayden sakit, Pak?”

Raga menggeleng pelan, “dia di tembak, Na.”

“Di tembak?”

Baru saja Raga ingin menjelaskan seperti apa mimpinya, tiba-tiba saja seorang perawat membuka korden yang menjadi pemisah antara ranjang yang di tempati oleh Raga dengan pasien lain.

“Selamat pagi Bapak Raga, kita pindah ke ruang rawatnya dulu ya. Setelah itu nanti ada staff yang mengatar sarapan pagi, jangan lupa sarapannya di habiskan.”


“Mbak Kirana kemana, Mas?” Tanya Almira pada Bagas sewaktu pria itu baru saja tiba di kantor.

Melihat kursi Kirana yang masih kosong, Bagas juga terlihat bingung. Pasalnya telfon dan pesan singkat darinya itu juga belum mendapatkan balasan dari Kirana. Mereka memang tidak janjian untuk berangkat bersama ke kantor karena Bagas hari ini harus bekerja di luar kantor dahulu.

Bagas pikir Kirana mungkin hanya terlambat saja dan belum sempat memeriksa ponselnya, tapi siapa sangka jika wanita itu tidak masuk bekerja.

“Dia gak masuk?”

“Ih kok lo malah nanya balik sih, Mas. Gue aja bingung ini kenapa Mbak Kirana gak ada kabar, HP nya juga enggak aktif.” Almira menunjukan layar ponselnya yang menampakan beberapa panggilan keluar dari nya tidak terjawab oleh Kirana.

Bagas tidak menjawab pertanyaan Almira lagi, dia hanya menaruh tas kerja miliknya di kursinya kemudian mencoba menghubungi Kirana lagi. Bahkan mencoba untuk menelfon ke nomer telfon rumah Kirana, tapi sama seperti yang di dapati Almira. Ia pun tak mendapatkan jawaban. Sebenarnya kemana Kirana? Pikir Bagas.

“Gak di angkat juga..” Gumam Bagas.

“Semalam tuh gue sempat video call sama dia, Mas. Sampai jam 2 pagi malahan.”

“Terus?” Bagas mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Almira.

“Ya yaudah, habis itu gue pamit tidur karena udah ngantuk. Maksud gue, gak ada yang aneh sama Mbak Kirana. Tapi kenapa tiba-tiba paginya dia enggak datang,” ucap Kirana masih bertanya-tanya.

Hampir seharian ini Bagas bekerja dengan suasana hati yang tidak karuan dan pikiran yang tidak tenang karena memikirkan Kirana. Hari itu juga Bagas lumayan sibuk, ia tidak sempat keluar kantor lagi setelah nya karena harus mengerjakan laporan dan meeting dengan mandor proyeknya.

Bagas baru bisa tenang pada akhirnya setelah jam kerja berakhir, ia langsung buru-buru pergi ke rumah Kirana. Namun saat ia tiba di sana, Bagas justru terlihat semakin bingung ketika Kirana baru saja turun dari taksi dan masih mengenakan baju tidurnya. Begitu melihat Kirana, Bagas langsung keluar dari mobil miliknya.

“Kamu habis dari mana, Na?” Tanya Bagas tiba-tiba, Kirana pun kaget karena saat ia ingin membuka pagar rumahnya Bagas justru datang tiba-tiba dan menahan tangannya.

“Bagas...”

“Habis dari mana, Na? Aku telfon kamu gak di angkat habis itu HP kamu mati. Kamu juga gak kerja, kamu kemana?”

Kirana merhatiin wajah pria di depannya itu, Bagas nampak gusar dan khawatir padanya. Salahnya sendiri yang tidak mencoba memberi kabar pada Bagas sampai-sampai ia harus ke rumahnya demi memastikan dirinya baik-baik saja, sebenarnya saat Raga sudah di pindahkan ke ruang rawat Kirana sudah bisa pulang.

Namun Raga menahannya sebentar, pria itu minta di temani hingga kedua orang tua nya yang berada di luar kota itu datang. Dan saat mereka datang, Kirana justru kembali di tahan. Mereka banyak mengajak Kirana mengobrol. Jujur saja, Kirana sempat merasa terharu dengan kedua orang tua Raga yang menyambutnya hangat dan memperlakukkanya dengan baik.

Bahkan keduanya sempat mengira jika dirinya adalah wanita yang di kencani Raga, namun pada akhirnya Raga menjelaskan semuanya. Setelah itu Kirana sempat di ajak makan di kafetaria rumah sakit sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang, saat di perjalanan pun Kirana baru sadar kalau ia tidak membawa ponselnya.

“Masuk dulu ya? Aku jelasin di dalam aja.” Kirana membuka pagar rumahnya sedikit lebih lebar agar Bagas bisa memarkirkan mobilnya di dalam.

Keduanya masuk ke dalam rumah Kirana, malam itu Ibu belum pulang, Ibu memang baru akan pulang setelah menutup toko milik temannya itu. Agak sedikit malam, sekitar jam delapan malam biasanya Ibu baru saja tiba di rumah.

“Maaf ya, aku jadi bikin kamu khawatir.” Kirana ngerasa bersalah banget rasanya, karena jika posisi nya ia adalah Bagas ia pasti akan khawatir juga.

“Habis dari mana, Na? Kenapa kamu masih pakai baju tidur?” Bagas masih terus mencecarnya dengan pertanyaan.

“Aku habis nolongin Pak Raga, Gas.”

Wajah khawatir Bagas itu berubah menjadi datar, ia baru sadar kalau hari ini Raga tidak datang ke kantor. Padahal pria itu pun harusnya hadir dalam meeting bersama dengan mandor proyek yang Bagas pegang.

“Kenapa dia?” tanya Bagas.

“Pagi-pagi banget dia telfon aku, suaranya kaya dia tuh lagi ngerintih. Setelah itu gak ada suara lagi, tapi telfon nya juga enggak dia matiin. Aku panik banget, aku mikir apa Pak Raga kerampokan. Jadi aku datang ke rumahnya waktu aku datang pun dia gak jawab panggilan aku sampai akhirnya aku minta bantuan satpam komplek nya buat bantu buka pintu rumahnya.”

“Terus?”

“Dia pingsan, Gas. Aku sama satpam komplek itu bawa dia ke rumah sakit. Udah itu aja.”

Bagas mengusap wajahnya gusar, ia juga menyandarkan punggungnya ke sofa yang ia duduki, katakan Bagas kekanakan. Tapi ia benar-benar ingin marah, rasanya cemburu tengah melanda Bagas saat ini. Namun, satu hal yang Bagas hargai dari Kirana. Wanitanya itu mau berbicara jujur dengannya meski pada akhirnya ia cemburu.

“Sayang, maafin aku..” ucap Kirana.

“Aku gak ngerti ya, Na. Kenapa dia harus telfon kamu.”

“Dia udah berusaha hubungin nomer Kakak nya, tapi dia sadar Kakaknya di luar kota. Aku juga gak ngerti kenapa dia tiba-tiba hubungin aku.”

“Enggak.. Maksud aku, dia kan bukan cuma kenal kamu. Dia bisa hubungin aku atau Bang Satya. Kenapa harus kamu?”

“Kamu cemburu?” tanya Kirana hati-hati.

“Iya aku cemburu, akhir-akhir ini aku gak suka liat kamu sama dia, Na. Tapi aku coba buat mengesampingkan itu semua karna aku pikir setiap kalian berdiskusi berdua itu cuma ngobrolin kerjaan. Tapi sekarang, dia bahkan minta tolong sama kamu buat hal di luar kerjaan.”

Kirana hanya diam, Bagas itu jarang sekali marah. Selama 7 tahun mereka berpacaran, bisa terhitung jari masalah yang datang ke hubungan mereka sampai-sampai buat Bagas marah kaya sekarang. Kirana enggak denial, dia mengakui kalau dia salah dan memaklumi kemarahan Bagas.

Tapi entah kenapa, rasanya pagi itu dia benar-benar mengkhawatirkan Raga. Dia takut terjadi sesuatu pada pria itu, apalagi setelah mendengar cerita dari Raga tentang bagaimana akhir dari hidup Jayden. Rasanya seperti ada cubitan kecil di hati Kirana, yang saat itu hanya ingin memastikan bahwa Raga baik-baik saja.

“Dia tau kamu punyaku loh, Na..”

Kirana membawa tangan Bagas pada genggamannya, “aku minta maaf ya, aku bakalan jaga jarak sama dia.”

Bagas terdiam, emosinya tadi yang memuncak itu sedikit luluh. Enggak bisa dia lihat wajah Kirana merasa bersalah seperti itu, enggak pernah tega. Bagi Bagas, Kirana mengaku salah dan meminta maaf saja itu sudah cukup. Selama ini yang membuat hubungan mereka bertahan lama karena keduanya saling mengakui kesalahan dan tidak segan meminta maaf.

Bagas membawa Kirana pada pelukannya, dia khawatir setengah mati. Dia pejamkan matanya dan hirup aroma dari rambut panjang kesayangannya itu. “Maaf ya, maaf aku jadi marah banget kaya tadi. Aku cuma cemburu Kirana.”

“Gapapa, maaf udah bikin kamu enggak nyaman..”


Samarang, 1899.

Sudah lima bulan sejak kepergian Jayden sampai hari ini pun Ayu masih belum mengetahuinya, kabar tentang wanita itu di Soerabaja cukup baik meski tak sebaik itu. Ayu masih suka memikirkan Jayden saat hari-hari kosongnya.

Sejak menjadi istri Dimas, yang Ayu lakukan sehari-hari hanya berada di rumah. Memasak, menunggu Dimas pulang dan sesekali ia belajar merajut. Kabar baiknya adalah Ayu kini tengah mengandung, usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke enam.

Sejak mengetahui ia hamil, Ayu tidak pernah merasakan kesepian lagi ketika Dimas sedang tidak ada di rumah. Ia merasa ada yang menemani, katakanlah cinta itu belum tumbuh untuk Dimas. Tapi bagi Ayu, bayi yang di kandungnya itu tetap anaknya. Dimas memang bukan suami yang baik, ia terkadang kasar jika sedang marah.

Dimas juga enggan membantunya dalam urusan rumah, namun satu hal yang membuat Ayu bisa menghormati Dimas sebagai seorang suami. Dimas selalu berterima kasih ketika Ayu melayaninya seperti mengambilkan makanan, memasakinya makanan kesukaanya dan ketika Ayu membangunkannya di pagi hari.

Malam itu Ayu tertidur sedikit pulas dari biasanya, perutnya yang semakin besar itu terkadang membuatnya kesulitan hanya untuk sekedar tidur dengan nyaman. Sampai-sampai, Ayu tidak dengar jika Dimas mengetuk pintu rumah mereka untuk segera di bukakan pintu.

Malam itu Dimas sedikit mabuk, setelah menikah Dimas di beri kepercayaan oleh Ayahnya untuk mengelola perternakan. Namun malam itu Dimas bukan pulang bekerja, melainkan ia habis pulang berjudi. Pintu rumah itu di dobrak paksa oleh Dimas, membuat Ayu terkesiap karena terkejut. Wanita itu buru-buru bangkit dari tidurnya untuk melihat siapa yang datang.

“Ya ampun, Mas. Kamu mabuk lagi?” Ayu buru-buru menghampiri Dimas, memapah Suaminya itu dan membantunya untuk tidur di kamar mereka.

“Kau tidur? Tidak dengar aku mengetuk pintu dan memanggilmu berkali-kali?” Dimas meracau.

Nguwun pangapunten sanget, Mas. Aku tertidur.”

Ayu membuka sepatu yang di pakai oleh Dimas itu, menaruhnya kembali ke depan pintu rumah mereka dan menutup pintu itu kembali. Setelahnya, Ayu membuka lemari baju mereka. Mengambil salah satu baju untuk ia gantikan baju yang tengah di pakai suaminya itu.

“Ayu?” panggil Dimas, membuat Ayu menoleh ke arah Suaminya itu.

nggih, Mas?” Ayu segera menghampiri Dimas, duduk di sebelah Suaminya itu. Dimas kebetulan bangkit dari tidurnya dan duduk di sisi ranjang mereka.

Pria itu tersenyum, bukan seringaian yang biasa Dimas berikan untuk Ayu. Melainkan senyum konyol khas orang mabuk, tanganya itu kemudian beralih mengusap perut Ayu yang sudah terlibat membesar itu.

“Ini anakku kan? Bukan anak pria Belanda sialan itu!!”

Mendengar ucapan Dimas itu, entah kenapa selalu berhasil melukai perasaan Ayu. Dimas sudah sering mengatakan hal itu, meragukannya jika anak yang ia kandung adalah darah dagingnya.

“Ini anak kita..” ucap Ayu terisak.

“Kau menangis?”

Ayu tidak menjawab, ia hanya diam sembari mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata nya sendiri.

“Mas istirahat saja ya, biar Ayu bantukan berganti pakaian.”

“Jawab dulu pertanyaan suamimu, Ayu.”

“Tidak menangis, Mas..” jawab Ayu lirih.

Dimas terkekeh, “aku berharap pria Belanda munafik yang kau cintai itu segera mati. Mungkin dengan begitu, kau bisa mencintaiku.”

Setelah menggantikan baju Dimas, Ayu tidak bisa kembali tidur. Ia hanya bisa menangis di ranjang mereka, ia sangat merindukan Jayden, sungguh. Sudah beberapa hari ini ia mengimpikan pria itu. Mendengar ucapan Suaminya barusan, membuat keraguan Ayu untuk bisa belajar mencintai Dimas itu pupus rasanya.

Wanita itu bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke laci meja riasnya itu dan mengambil secarik surat berisi tulisan Jayden. Sajak yang pria itu tulis berserta hiasan kepala untuknya dari bunga melati yang sudah menghitam dan layu itu.

Dua benda dari Jayden untuknya, jika merindukan pria itu. Hanya kertas itulah yang bisa Ayu peluk erat, ia ingin sekali kembali ke Samarang hanya untuk sekedar menjenguk Ibu dan Romo nya. Namun Dimas melarangnya, Ayu tidak di izinkan kembali ke Samarang jika Dimas tidak ikut bersamanya.

Tapi tak lama kemudian Ayu terkejut ketika tiba-tiba surat yang di tulis Jayden itu di renggut paksa begitu saja oleh Dimas, Suaminya itu bangun dan tampak marah saat melihat Ayu tengah membaca kembali sajak itu.

“Kau masih menyimpan tulisan sialan ini, iya?!” sentak Dimas, membuat Ayu kaget setengah mati.

“Mas.. Kembalikan, Mas.”

“ARRGHH!” Dimas merobek kertas itu hingga berkeping-keping. Dan ketika Dimas ingin mengambil hiasan kepala yang dikirimkan oleh Jayden bersamaan dengan sajak itu.

Ayu berusaha untuk merebutnya, hiasan kepala berbentuk bando itu rusak, melatinya berjatuhan dan kawat kecil yang di gunakan untuk merangkainya pun rusak hingga mengenai telapak tangan Ayu, kedua anak manusia itu masih saling berebut benda itu hingga akhirnya Dimas mengerahkan seluruh tenaga nya untuk merebutnya seutuhnya dari Ayu. Namun na'as nya adalah, Ayu justru jatuh tersungkur di lantai.

“Pria bajingan!! Brengsek, akan aku bunuh dia!!” Dimas menginjak-injak bando itu bersamaan dengan melati yang gugur.

“Mas...” Ayu sudah tidak memperdulikan lagi bando dari Jayden yang sudah rusak itu, kini yang ia rasakan adalah nyeri di perutnya. Bersamaan dengan darah segar yang mengalir dari pangkal paha hingga merembas ke kakinya.

“Mas tolong...” Ayu memegangi perutnya.

Begitu Dimas menoleh, pria itu kaget bukan main. Ia langsung membawa Ayu ke ranjang mereka tanpa memperdulikan kaki istrinya itu yang terus mengeluarkan darah.

“Sebelah mana yang sakit, Yu? Sebelah mana?” tanya Dimas panik.

“Aahhh..” Ayu tidak menjawab, nafasnya tersenggal dan perutnya semakin sakit. Ayu mengalami pendarahan karena benturan keras barusan, sampai akhirnya wanita itu tak sadarkan diri.

*Bersambung...

Hari itu Asri berkunjung ke rumah kedua orang tua Bagas, kemarin Ibu nya Bagas menelfon Asri dan menyuruhnya untuk datang ke rumah mereka. Ibu ingin bercerita sekaligus meminta maaf pada Asri karena Bagas tidak datang di acara keluarga mereka.

Siang itu Asri membawa cheese cake yang sempat ia beli dulu di jalan, Ibu nya Bagas bilang kalau beliau sempat sakit memikirkan anak sulung nya itu yang pergi meninggalkan rumah. Bahkan Bagas tidak memberi tahu orang tua dan Adiknya dimana ia tinggal.

“Kata Ibu langsung ke kamar aja, Non.”

Asri mengangguk, “oke, makasih ya, Bi. Ini cake nya saya taruh disini tolong di potong ya.”

Asri menaruh kotak berisi cake itu di meja makan agar Bibi yang bekerja di rumah Bagas itu memotong nya, kemudian wanita itu naik ke lantai dua menuju ke kamar orang tua Bagas. Asri sempat mengetuk pintu kamarnya dulu sampai akhirnya orang tua Bagas yang membukakan pintu kamar itu.

“Ibu gimana kabarnya?” tanya Asri setelah ia bersalaman dengan Ibu nya Bagas, wanita berusia 50an itu tampak sedikit pucat.

“Tensi Ibu sudah turun, Sri. Berkat minuman dari kamu itu. Tapi masih belum enakan badannya.”

Kedua wanita yang berbeda usia itu duduk di sofa bed yang ada di kamar itu, Asri tampak tidak tega melihat Ibu nya Bagas yang sakit dan mengkhawatirkan anaknya. Ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya berani melawannya dan lebih memilih orang lain, pikir Asri.

“Masih kepikiran Bagas ya, Buk?”

Ibu mengangguk, “kamu sudah coba hubungi dia, Sri?”

“Sudah, Buk. Tapi buat di ajak ketemu Bagas belum bisa, dia bilang sibuk. Minggu ini juga harus ke Surabaya katanya.”

Ibu menghela nafasnya pelan, wanita itu bersandar sembari menopang kepalanya sendiri dengan satu tangannya. Hari-hari nya pusing memikirkan cara agar Bagas kembali ke rumah.

“Ibu tuh bingung sama Bagas, Sri. Kenapa dia jadi seperti ini? Kenapa dia enggak memihak Ibu nya dan malah memihak perempuan itu.” dulu, Bagas sangat penurut sekali pada orang tua nya. Ibu merasa sejak Bagas bersama dengan Kirana, Bagas banyak sekali berubah. Terutama perubahan sikap pada kedua orang tua nya. Ibu cuma merasa Kirana lah yang memberi dampak buruk itu pada Bagas.

“Nanti Asri coba bicarain sama Bagas ya, Buk.” Asri memegang tangan wanita di depannya itu, mengenggamnya agar Ibu jauh lebih tenang. Ia ingin mencoba bicara dengan Bagas, ya sukur-sukur pria itu mau mendengarkannya. Ah, setidaknya Bagas mau pulang sebentar untuk menjenguk Ibu nya yang sedang sakit.

“Makasih ya, Sri. Maafin Bagas ya, dia udah bikin kamu sama Bapakmu bingung karena enggak hadir di acara rencana pertunangan kalian.”

Asri mengangguk, baginya itu bukan masalah. Walau tetap saja Asri merasa tidak di hargai oleh Bagas, tapi disisi lain Asri bisa memahami kenapa Bagas bersikap seperti itu. “Gapapa, Buk. Ibu sekarang fokus sama kesembuhan Ibu dulu saja ya.”

“Iya, makasih ya sayang. Ibu tuh benar-benar suka banget sama kamu. Anak baik, manis, pintar, mandiri. Ingin sekali Ibu melihat kamu menikah sama Bagas.”

Asri tersenyum, jika di tanya ia ingin menikah atau tidak dengan Bagas, Asri akan menjawab dengan jujur bahwa ia juga ingin Bagas menikahinya. Bagas adalah cinta pertama Asri meski sampai hari ini Bagas enggak pernah mengetahui jika Asri menyukainya.

“Doain aja ya, Buk.”

Setelah menjenguk Ibu nya Bagas, Asri langsung pulang ke rumahnya. Dia udah enggak ada kegiatan lagi di butik hari ini, baru saja akan turun dari mobilnya untuk membuka pintu gerbang rumahnya. Kedua mata Asri membulat ketika mengetahui ada mobil lain yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

Asri sangat mengenali mobil itu, terlebih sang pemilik mobil itu berdiri tepat di samping mobilnya dengan kedua tangan di lipat di depan dada dan kini tengah memperhatikan Asri dari dalam mobil.

“Ck, mau ngapain lagi sih dia?” gerutu Asri, ia keluar dari mobilnya untuk bicara dengan pria itu agar menyingkirkan mobilnya yang menghalangi jalan masuk.

“Kamu ngapain lagi sih?” tanya Asri sedikit sewot.

“Ngapain? Asal kamu tau ya, aku gak akan kesini kalo kamu jawab telfon dari aku,” ucap pria itu tak kala sewot nya dengan Asri.

“Ada apa lagi sih, Raka? Aku rasa hubungan kita juga udah selesai ya.”

Reiraka Indra Soerja, pria berusia 33 tahun itu menatap Asri dengan pandangan tidak menyangka nya, kecewa sekaligus marah dengan wanita yang dulu ia cintai habis-habisan itu.

“Eh, denger ya. Hubungan kita emang udah selesai, tapi kamu mikir gak kalau kita masih punya Saka? Dia nyariin Ibu nya!!” Bentak Raka naik pitam.

Tidak ada sama sekali hati Asri tersentuh mendengar nama anak yang sudah ia tinggalkan itu, ia justru membuang pandanganya ke arah lain. Asri dan Raka memang pernah menikah dulu, mereka memiliki satu orang anak laki-laki bernama Reisaka Bumi Soerja.

Dulu, memang hubungan mereka di landasi cinta. Reisaka juga hadir karena Asri dan Raka saling mencintai, mereka menikah pun karena kehadiran Saka. Meski tidak di dapati restu dari keluarga Asri, setelah Saka lahir Keduanya berpisah, Asri memilih pindah ke Jakarta bersama Bapaknya dan meninggalkan Raka dan Saka.

Raka sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, pria itu hanya mau Asri tidak melupakan kewajibannya sebagai Ibu dari Saka. Setidaknya Asri masih mau menjenguk Saka hanya untuk tahu kabar bocah itu, tapi yang di lakukan Asri justru sebaliknya. Wanita itu tampak tidak perduli dan bahkan bersikap seolah-oalah ia tidak pernah memiliki anak.

“Aku belum ada waktu buat jenguk dia, mending sekarang kamu minggirin mobil kamu deh, sebelum Bapakku tau kamu disini.”

Mendengar ucapan Asri itu, membuat alarm yang berada di kepala Raka rasanya menyala. Pria itu menunjuk wajah Asri dengan rahang yang mengeras, mungkin jika Asri bukan seorang wanita. Ia pasti sudah menghajarnya.

“Aku tau ya kamu berencana menikah lagi sama laki-laki yang jadi cinta pertama kamu itu kan? Kalau sampai besok kamu enggak nemuin Saka, aku gak akan segan-segan ngasih tau keluarganya kalau kamu punya anak dan pernah menikah!” Ancam Raka, ia hanya terpikirkan cara itu agar Asri mau menjenguk anak mereka yang saat ini sedang sakit.

Dan terbukti wajah wanita itu terlihat tegang, Asri kelihatan ketakutan bukan main saat Raka berbicara seperti itu. Imej yang ia bangun selama ini setelah berpisah dengan Raka memang lah baik, tidak banyak orang yang tahu ia pernah menikah bahkan memiliki anak. Karena pernikahannya dahulu memang di lakukan secara tertutup.

“Bajingan kamu, Raka!” Pekik Asri.

“Kamu juga brengsek, Ibu gak bertanggung jawab. Perempuan enggak tahu malu!” Setelah mengatakan itu, Raka langsung mendorong Asri minggir dari samping mobilnya. Pria itu langsung bergegas pergi dari sana, meninggalkan Asri yang berdiri dengan kaki bergetar sembari berpegangan pada bagian depan mobilnya.

“Gak ada yang boleh tau!” Gumam Asri, tanganya bergetar bukan main.


Sudah dua hari Mama dan Papa nya menemani Raga di rumah sakit, Adel dan Ethan yang sudah selesai berlibur juga turut menjenguk Raga. Raga masih belum di perbolehkan untuk pulang dengan dokter, padahal Raga sendiri sudah merasa jika kondisinya sudah membaik.

Sejak Mama dan Papa nya melihat Kirana, mulai hari itu juga Raga sering sekali di ledeki jika Kirana adalah kekasih Raga. Padahal sudah berkali-kali Raga jelaskan jika Kirana hanya bawahannya saja di kantor dan Kirana sudah memiliki kekasih. Tapi tetap saja keduanya beranggapan jika Raga hanya malu saja dan masih menutup-nutupi hubungan mereka.

“Serius loh, Del. Anaknya cantik sekali, baik, suaranya halus, sopan. Tapi Adikmu itu loh pakai segala bilang kalau dia bukan pacarnya, padahal kalau pacarnya juga gapapa yah, Pah. Malahan kami senang,” celoteh Mama pada Adel.

Raga di ranjangnya hanya menggeleng pelan saja, sepertinya kedua orang tua nya itu benar-benar menyukai Kirana. Jika sudah seperti ini, sudah bisa Raga pastikan ia akan terus di jadikan bahan guyonan. Karena ini pertama kalinya Mama dan Papa melihat Raga bersama seorang wanita.

Katakan lah Raga memang cupu, kurang pergaulan atau apapun itu. Tapi memang selama 31 tahun ia hidup, Raga belum pernah memiliki kekasih. Jaman kuliahpun sebenarnya Raga cukup di gandrungi oleh teman-teman yang pernah satu kelas dengannya, di kalangan senior nya pun Raga pernah beberapa kali menjadi bahan omongan.

Ah tidak, bahkan jauh dari itu. Wajahnya dulu pernah masuk televisi karena mewakili kampus nya untuk orasi di depan gedung pemerintahan. Sejak itu sosial media Raga di banjiri oleh permintaan pertemanan oleh orang-orang tidak di kenalnya, rata-rata wanita yang ingin menjadi pengikutnya.

Tapi entah kenapa, Raga tidak pernah tertarik untuk memulai suatu hubungan. Ia juga tidak memiliki trauma apapun sampai-sampai enggan menjalin hubungan, semuanya normal. Malahan Raga kadang merasa hidupnya sedikit membosankan.

“Siapa sih namanya, Mah? Jadi penasaran, sayang banget Adel gak di Jakarta jadi enggak bisa lihat.” Adel melirik Adiknya itu wajah Raga sudah masam karena Mama terus berceloteh mengenai Kirana.

“Kirana, Del. Ih cantik pokoknya deh.”

“Cantik-cantik juga udah punya pacar, Mah.” samber Raga.

“Yah, masa naksir cewek orang, Ga,” Ethan yang sedang duduk di dekat Papa itu terkekeh pelan ikut meledek.

“Siapa yang naksir sih, Mas. Mama tuh yang udah ngarep, orang di bilang Kirana udah punya cowok juga.”

Papa yang sedari tadi menyimak itu tersenyum, agak kasihan lihat Raga sedari tadi terus di cecar. “Wajar Mama mu berharap, Ga. Ini pertama kalinya loh kami melihat kamu dengan perempuan. Umurmu tuh sudah 31 tahun, Papa dan Mama ini sejujurnya sudah ingin sekali melihat kamu mengenalkan calonmu.”

Raga mendengus, Raga paham. Tapi bagaimana jika ia juga belum menemukannya? Enggak mungkin kan Raga merebut Kirana dari Bagas hanya karena kedua orang tua nya menyukai wanita itu, ia tidak segila itu untuk merebut kebahagiaan orang lain.

“Doain lah, Mah, Pah. Raga kan lagi usaha juga ya, Ga?” Adel menyenggol bahu Raga, namun Adiknya itu hanya bergeming.

“Kalau memang kamu berjodoh dengan Kirana, Mama tuh bakalan bahagia banget, Ga. Enggak tahu kenapa Mama senang dan suka sekali melihat dia.”

Bagi Mama, Kirana adalah wanita yang baik. Kalau untuk urusan paras, Kirana itu enggak perlu diragukan lagi. Meski pertama kali bertemu hanya mengenakan piyama tidurnya dan cardigan kuning, wajah dahayunya itu tidak sirna.

Terlebih wanita itu sangat sopan, Mama sangat nyambung sekali berbicara dengan Kirana. Rasanya nyaman, seperti mereka berdua sudah kenal lama, akrab sekali. Dan enggak bisa Raga pungkiri jika ia juga bahagia melihat Mama dan Kirana berbicara berdua, berbicara mengenai banyak hal. Rasanya waktu itu seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di perutnya.

Menjelang malam, Ethan mengajak kedua orang tua Raga untuk makan malam di restaurant tak jauh dari rumah sakit. Sementara Adel menjaga Raga, Adel hanya meminta di bungkusi saja.

“Kirana itu yang waktu itu lo ceritain ada dalam mimpi lo bukan sih, Gas? Ayu?” Tanya Adel setelah kedua orang tua mereka dan juga Ethan pergi.

Raga mengangguk, Adel masih ingat ternyata. “Iya yang itu, Mbak.”

“Kok bisa dia ada disini? Kata Mama dia yang bawa lo ke rumah sakit?” Adel menaruh jeruk-jeruk yang sudah ia kupas itu di atas piring, Raga suka sekali jeruk makanya Adel membelikannya saat perjalanan menuju ke rumah sakit.

“Gue tadinya mau telfon lo, terus inget kalau lo lagi di Bali liburan sama Mas Ethan. Gak tau kenapa di kepala gue waktu itu cuma kepikiran Kirana.”

“Terus dia datang?”

Raga mengangguk seraya memasukan 2 jeruk ke dalam mulutnya. “Dia bahkan enggak ke kantor demi nungguin Papa sama Mama datang, ya tentu aja gue yang minta.”

Adel menghela nafasnya pelan, dia cuma kepikiran takut kalau Raga terbawa perasaan karena mimpinya. Maksudnya, di mimpi itu kan Jayden dan Ayu adalah sepasang kekasih. Sedangkan di dunia nyata ini Kirana sudah memiliki kekasih enggak mungkin kan Adel mendukung Adiknya itu untuk merebut kekasih orang lain.

“Lo gak baper gara-gara mimpi itu kan?” Tanya Adel hati-hati.

“Gila kali, ya enggak lah.” Raga agak sedikit gugup ketika menjawabnya. Menurutnya saat ini ia hanya kagum dengan Kirana. “Gue cuma bangga atau kagum aja sama dia, Mbak.”

“Bangga dan kagum?” Adel mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa emangnya?”

“Pokoknya ada alasan kenapa gue bangga dan kagum banget liat dia, hatinya lapang. Dan dia bukan perempuan lemah menurut gue.”

“Ck.” Adel berdecak sebal, penasaran sama alasan Raga bisa kagum dengan wanita itu. “Ya kenapa Jagaraga kan pasti ada alasannya, gue ini ngeri lo baper deh sama dia. Ya gue bukan nya enggak suka ya lo naksir cewek, tapi lo tau sendiri kan kalau Kirana udah punya cowok?”

“Gue paham, Mbak. Emang menurut lo, kalau gue kagum dan bangga sama dia itu berarti gue naksir sama dia? Kan enggak.”

“Oke terus?” Adel menaikan satu alisnya.

“Dia itu hidup berdua sama Ibunya, Mbak. Lo tau perusahaan distributor lampu CityLight yang sekarang udah tutup?” Tanya Raga, Adel enggak mungkin enggak tahu. Pengetahuannya tentang perusahaan-perusahaan besar di Indonesia itu cukup luas.

“Tau, yang kalau enggak salah ownernya itu meninggal karena.. suicide?

“Itu bokap nya Kirana, Mbak.”

Adel membulatkan matanya kaget, “serius lo?!”

Raga mengangguk, “dia berusaha bangkit setelah kepergian Bapaknya, kerja mati-matian buat bantu Ibunya bayarin hutan Bapaknya. Gue cukup tau bagaimana dia struggle selama ini karena beberapa kali dia ngajuin pinjaman ke kantor. Kerjaanya bagus, Mbak. Dia bukan perempuan yang pantang menyerah sama keadaan.”

Adel mengangguk-angguk, bisa sedikit ia pahami mengapa Raga bisa kagum dan bangga sekali dengan Kirana, terlebih Mama juga sangat menyukai wanita itu. Adel sendiri jadi penasaran seperti apa Kirana ini jika ia bertemu dengannya langsung.

“Tapi sayang aja.”

“Kenapa?”

“Keluarga cowoknya enggak memperlakukan dia dengan baik, ah udah lah kok jadi ngomongin orang gini sih,” Raga terkekeh pelan.

“Gak ngomongin dong, kan kita juga gak ngomongin yang jelek-jelek. Gue cuma penasaran aja.” Adel mengulum bibirnya itu, “kapan-kapan kenalin ke gue ya, Ga.”

Bersambung...