Melati Untuk Ayu

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Mobil yang di kendarai Bagas itu berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, halamannya pun tidak ada hanya ada teras yang di isi oleh satu kursi dan satu meja untuk sekedar bersantai, Itu lebih bisa di sebut kontrakan, entah apa maksud Bagas mengajak Kirana ke sana karena sampai saat ini pun pria itu belum mengatakan apa-apa.

“Ini rumah siapa, sayang?” tanya Kirana bingung, kedua matanya menelisik pada bangunan di depan mereka itu.

Rumah yang bisa di sebut kontrakan itu memang bangunan baru, struktur rumahnya juga terbilang modern, ada 2 jendela yang menghadap ke jalan dengan pintu yang sepertinya sudah mengenakan smartdoor Kirana bahkan sudah bisa mengira-ngira berapa harga dari rumah yang di kontrakan itu.

“Rumah siapa ya?” gumam Bagas, tak lama kemudian ia terkekeh sembari mengambil kantung belanja di kursi belakang yang berisi makanan-makanan yang mereka beli barusan.

“Ihh kamu mah, rumah siapa sih?”

“Turun aja dulu yuk, dari pada penasaran.” Bagas keluar lebih dulu, sengaja membuat Kirana terus bertanya-tanya.

Tak lama setelahnya Kirana ikut turun, mengekori Bagas sembari melihat-lihat kesekeliling lingkungan rumah itu. Terlihat sangat nyaman, banyak pepohonan juga di sekeliling rumahnya meski terlihat enggak di rawat dengan baik.

Tapi tetap saja membuat lingkungan dan rumah itu tampak lebih sejuk, menurut Kirana sangat nyaman untuk di tinggali apalagi lingkunganya pun tidak berisik. Walau enggak bisa di sebut komplek juga, karena posisi rumah itu pun masuk kedalam gapura.

assalamualaikum,” ucap Bagas begitu ia membuka pintu rumahnya.

Kirana masih terpaku di depan pintu, sampai akhirnya Bagas menggandeng tangan kecilnya itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah yang Bagas sewa itu. Sudah sekitar 2 malam Bagas tidur di rumah itu, dia sengaja mengajak Kirana ke rumahnya sekarang karena dia baru rampung membereskan barang-barangnya.

Rumah itu terdiri dari satu ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur. Ada dua kamar mandi juga di dalam kamar dan di dekat ruang tamu. Tidak terlalu besar namun cukup nyaman bagi Bagas, hanya ada ketenangan di rumah itu. Tidak ada ucapan menyakitkan dari orang tua nya atau paksaan melakukan hal-hal yang tidak Bagas sukai.

“Ini rumahku, sayang.” ucap Bagas tiba-tiba, membuat kebingungan di kepala Kirana itu sedikit terjawab.

“Rumah? Ka..kamu beli rumah ini?”

Bagas menggeleng dan terkekeh pelan, “belum, aku cuma sewa, sayang. Untuk sementara aku tinggal disini.”

Kening Kirana mengekerut, Bagas punya rumah sendiri bersama orang tua nya. Lalu kenapa pria itu harus menyewa rumah? Pikir Kirana. “Ka..kamu pindah ke sini? Terus orang tua kamu?”

Bagas mengajak Kirana untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu, ia akan menjelaskan pada Kirana tentang mengapa ia memutuskan untuk keluar dari rumah kedua orang tua nya itu.

“Aku cuma mau belajar hidup lebih mandiri aja, sayang. Aku ngerasa aku udah cukup bisa bertanggung jawab sama hidup aku sendiri.”

“Emangnya kalau masih tinggal di rumah orang tua kamu, kamu ngerasa gak bisa mandiri?”

Bagas terkekeh, “bukan begitu maksudku.”

“Terus?”

“Kita ini kan udah 27 tahun, selama ini setiap aku pulang kerja semua kebutuhan aku udah di siapin sama Bibi yang bekerja di rumah, kaya makan malam, baju yang udah rapih dan bersih. Aku cuma ngerasa mau lebih mandiri aja, biar jadi lebih dewasa sebelum kita berumah tangga.”

Kirana senyum, walau jawaban dari Bagas itu rasanya masih ada yang mengganjal bagi Kirana. Entah kenapa Kirana cuma kepikiran kalau hubungan Bagas dan orang tua nya belum membaik, jujur saja sempat terlintas di kepala Kirana kalau Bagas mungkin di usir oleh kedua orang tua nya.

“Kamu enggak di usir sama orang tua kamu kan, sayang?” tanya Kirana hati-hati, ia tidak ingin menyinggung perasaan Bagas.

Namun pertanyaan Kirana itu justru mengundang tawa bagi Bagas, meski bukan di usir oleh kedua orang tua nya. Melainkan ia yang memang memilih pergi dari rumah, tapi bisa-bisa nya Kirana kepikiran kalau ia di usir.

“Sayang, aku nanya serius loh. Aku khawatir sama hubungan kamu dan orang tua kamu.” Kirana cuma enggak mau hubungan Bagas dan orang tua nya renggang hanya karena Bagas membela dirinya. Dia gak mau merebut Bagas dari orang tua nya.

Bagas mengambil kedua tangan Kirana, Bagas paham kekhawatiran itu. Dia sendiri ingin mengatakan bagaimana hubungannya dengan orang tua nya pada Kirana. Walau ada perasaan ragu, Bagas hanya takut Kirana merasa ia menjadi penyebab retaknya hubungan Bagas dengan kedua orang tua nya.

“Hubungan aku sama orang tua ku emang belum membaik, sayang. Tapi aku tinggal sendiri itu udah jadi pilihan aku, aku udah dewasa. Aku berhak menentukan hidup aku harus kaya gimana kan?” ucap Bagas meyakinkan Kirana.

“Orang tua kamu setuju kamu pidah dari rumah?”

Bagas menggeleng, “awalnya memang enggak, aku tetap maksa buat pindah. Aku pikir, dengan aku pindah orang tua aku bisa mulai sadar kalau aku ini bukan anak kecil lagi, aku cuma mau mereka menghargai keputusan aku.”

Kirana diam, jawaban Bagas sama sekali tidak salah. Umur mereka memang sudah matang dan cukup dewasa untuk mengambil sebuah keputusan, bukannya cukup aneh jika di usia mereka yang sekarang. Orang tua masih ikut campur dalam menentukan hidup anaknya?

“Aku cuma bisa dukung apapun yang menurut kamu baik. Tapi tolong jangan jauhin orang tua kamu ya.”

Bagas menggeleng, “gak akan, sayang. Aku masih sayang mereka, mereka masih orang tuaku.”

Sore menjelang malam itu mereka menghabiskan waktu bersama dengan memanggang daging, menonton film bersama sampai rasanya Bagas dan Kirana ingin menghentikan waktu sebentar. Sudah lama sekali keduanya tidak berkencan seperti ini sejak Kirana kecelakaan. Kirana enggak ada rencana menginap kok, dia juga enggak mungkin membiarkan Ibu nya tidur sendirian di rumah. Enggak tega, dan Ibu pasti khawatir.

Dadu yang di keluarkan dari tangan Kirana itu menujukan enam titik hitam di atasnya, ia kemudian menjalankan kerucut miliknya. Mereka sedang bermain ular tangga, dan sialnya kerucut milik Kirana itu justru harus kembali turun ke nomer bawah, padahal hanya delapan langkah lagi dia akan berhasil menang melawan Bagas.

“Hahahaha, kebawah lagi dia kasian banget,” ledek Bagas yang membuat Kirana semakin jengkel.

“Awas aja nanti juga ujung-ujungnya aku yang menang,” gerutunya.

“Kita liat aja nanti.” Kini giliran Bagas yang jalan, ia memasuk dadu itu ke tangannya dan mengocok dadu itu. Setelahnya ia keluarkan, Bagas mendapati titik lima di dadu itu. Dan alhasil kerucut miliknya sudah tiba di garis finish.

Ini untuk ketiga kalinya Bagas menang melawan Kirana, mereka sudah bermain lima ronde dan Kirana baru menang dua kali melawan Bagas. Ya, dia anggap sih Bagas malam ini sedang beruntung saja. Karena biasanya Kirana lebih jago bermain ular tangga.

“CURANG!!” pekik Kirana enggak terima.

“Mana ada curang, kamu kan liat sendiri dadu aku lima tadi.”

“Masa mukaku lagi sih yang di coret,” rengek Kirana.

Karena tidak ingin wajahnya itu di coret dengan tepung yang sudah mereka larutkan dengan air. Kirana akhirnya berlari, namun Bagas tidak diam saja. Ia mengejar Kirana yang mulai berlari mengelilingi ruang tamu itu.

“Heh, yang curang tuh kamu. Udah kalah gak mau di coret mukanya!”

“Coretan di mukaku udah banyak ih, kamu tuh kalo nyoret tebal-tebal yah!” Kirana ngeles.

“Kamu gak liat kamu nyoret muka aku pake lima jari?!” Pekik Bagas tidak mau kalah, dan ucapannya itu membuat Kirana terkekeh.

Wanita kembali berlari, namun sayangnya Bagas lebih sigap menangkap tangannya, Kirana nyaris oleng dan tersandung kakinya sendiri, karena tidak menyangka Kirana akan tersandung Bagas pun kaget, dia tidak siap dan membuat keduanya jatuh di atas sofa bed ruang tamu dengan posisi Kirana berada di bawah Bagas.

Keduanya sama-sama terkekeh pelan, sebelah tangan Bagas menahan bobot tubuhnya sendiri agar tidak menindihi tubuh Kirana sepenuhnya. Sementara itu, tangannya yang lain mengusap wajah cantik kesayangannya itu. Enggak pernah bosan rasanya ia hanya dengan menatap wajah Kirana, ia selalu mengimpikan suatu hari ia akan terbangun dan Kirana lah orang pertama yang akan ia lihat di sampingnya.

“Aku sayang kamu, Na,” bisik Bagas.

“Aku juga..”

“Juga apa?”

“Sayang Kirana,” ledek Kirana dan Bagas terkekeh pelan. Sampai akhirnya hening tercipta, hanya ada deru nafas keduanya yang saling beradu dan tatapan mata yang saling menelisik itu.

Keduanya saling memejam, Bagas perlahan-lahan memajukan wajahnya hingga ia Kirana bisa merasakan hembusan nafas Bagas menyapu wajahnya. Degup jantung Kirana menggila rasanya, ini bukan pertama kali baginya berciuman dengan Bagas. Namun setiap kali Bagas menciumnya, rasanya selalu sama. Seperti saat pertama kali Bagas mencuri ciuman pertamanya dulu.

Bibir milik Bagas itu bergerak mengecupi bibir Kirana, melumatnya kecil hingga mengigitnya. Kirana itu kaku, ia terbiasa menerima apa yang Bagas lakukan pada bibir ranumnya. Tapi malam itu ia beranikan dirinya untuk menaruh kedua tanganya di bahu pria itu, mengecup bibir pria yang sangat ia sayangi itu dengan seduktif.

Bagi Bagas tidak ada yang lebih adiktif dari pada Kirana, kedua anak manusia itu saling mengecup. Mengutarakan perasaan sayang satu sama lain melalui kecupan-kecupan kecil itu yang terkadang bergerak lamban dan terbata-bata. Sampai pada akhirnya, bunyi dari ponsel milik Kirana itu menyadarkan keduanya. Kirana sedikit mendorong dada Bagas, ponselnya berbunyi ia harus segera mengangkatnya.

“Ada telfon, sayang,” ucap Kirana.

Bagas bangkit dari atas tubuh wanitanya itu, berjalan mengambil ponsel milik Kirana yang ia taruh di meja ruang TV. Ternyata itu adalah panggilan dari Ibu nya Kirana, dan Bagas baru sadar kalau saat ini sudah jam sebelas malam.

“Ibu, sayang. Kayanya aku kemalaman mulangin kamu nih sampai Ibu telfon.” Bagas memberikan ponsel Kirana itu pada pemiliknya.

“Aku angkat dulu ya.”


Samarang, 1899.

Banyak-banyak Jayden hirup aroma yang berasal dari wewangian yang Jacob buatkan dari ekstrak bunga melati itu, hari ini Jayden menaruhnya di ruang kerjanya di kantor keresidenan. Mungkin hanya kebahagiaan kecil itu yang tersisa dari Ayu, Jayden hanya bisa menghirup aroma melati yang selalu mengingatkannya akan wanita itu.

Sajak-sajak masih ia tulis, namun tak pernah Jayden kirimi sajak-sajak itu ke Soerabaja. Ia tidak ingin membuat Ayu tersiksa karena tulisan-tulisannya, namun doa dan harapan akan kebahagiaan wanita itu tak pernah sekalipun terputus untuknya.

Sajak-sajak yang ia tulis, bersamaan dengan rangkaian bunga-bunga melati kering yang menghiasi kertas itu. Ia simpan di dalam laci meja kerjanya, biar ia sendiri yang membacanya. Atau jika orang lain membacanya, biarkan orang itu yang menjadi saksi betapa ia mencintai wanita pribuminya itu.

Tak lama kemudian, derap langkah kaki yang terburu-buru itu terdengar dari penjuru lorong. Membuat atensi Jayden teralihkan, ia keluar dari ruang kerjanya dan mendapati para pegawai kantor sedang berlari dengan wajah paniknya.

“Ada apa?” tanya Jayden.

meneer para pribumi sialan itu menyerang kantor kita! Mereka melakukan pemberontakan!” pekik pegawai lainnya dengan panik.

Belum sempat Jayden mencerna apa yang sedang di jelaskan oleh pegawai lainnya, tiba-tiba saja pasukan pribumi yang memberontak itu berhasil memasuki kantor keresidenan. Beberapa ada yang tumbang karena tentara kolonial menembaki mereka, namun tak sedikit juga para tentara yang menjadi korban dan berakhir tewas. Mereka menyerang menggunakan clurit dan beberapa melempari gedung dengan batu.

“Lari!! Lari!!” teriak yang lainnya.

Jayden tak ingin sembunyi, ia tak ingin menjadi pengecut ia ingin tahu apa yang membuat para pribumi itu menjadi pemberontak. Ia berusaha keluar dari dalam ruanganya meski banyak sekali pegawai lain berlari berlawanan arah dengannya.

meneer lari!” ucap Max, dia adalah salah satu pegawai disana yang cukup dekat dengan Jayden.

“Ada apa sebenarnya, Max? Kenapa mereka menyerang kantor keresidenan?”

Max tak mungkin menjelaskannya di antara kerumunan seperti ini, apalagi beberapa pribumi sudah berhasil mengambil alih senjata milik tentara kolonial yang tewas dan menyerang para Belanda itu. Jadi, Max tarik tangan Jayden dan ia cari tempat persembunyian untuk mereka.

Jayden hanya mengikuti saja, ia butuh penjelasan untuk setidaknya mengerti posisi para pribumi saat ini. Selain Jayden, Max juga orang Belanda yang banyak memihak pribumi. Ia pernah mengecani seorang tawanan dan memiliki anak dari wanita pribumi itu, meski hubungan mereka berakhir mengenaskan karena sang wanita berakhir di bunuh. Max membesarkan anak itu sendiri.

“Mereka memberontak karena merasa tertindas, bukan hanya kantor keresidenan saja yang di serang, meneer, jelas Max terengah-engah.

“Dari kalangan mana mereka?”

“Buruh.”

Terdengar suara tembakan yang begitu kencang dari lantai dua tempat Jayden dan Max bersembunyi, terdengar rintihan pula di sana dari seorang wanita entah siapa itu. Jayden ingin keluar namun Max menahannya, Jayden hanya merasa mereka tidak bisa menjadi pecundang seperti ini.

“Kita harus pergi meneer.” Max berjalan ke arah jendela, ternyata jarak dari lantai dua untuk turun ke lantai satu lumayan jauh. Jika mereka memaksa melompat, bisa saja kaki mereka berakhir patah.

“Kau mau melompat? Kau gila?” pekik Jayden.

“Kau mau mati di tembaki membabi buta oleh para pribumi itu?”

“Aku hanya merasa kita harus berbicara pada mereka, Max. Kita pejabatnya disini.”

“Itu bisa kita lakukan nanti jika mereka berhenti menyerang, mereka tengah di landa kemarahan. Dan bicara dengan dengan orang yang tengah di landa kemarahan hanya sia-sia, meneer.

Sedang berdebat dengan Max, tiba-tiba saja pintu ruangan tempat mereka bersembunyi di paksa terbuka oleh seseorang. Pintu itu di dobrak dengan kasar, membuat Max begitu panik.

“Turun lebih dulu, Max. Aku akan menyusulmu,” perintah Jayden.

“Tidak, meneer. kau yang lebih dulu turun.”

Jayden menggeleng pelan, “turunlah, kembali pulang ke rumahmu. Anakmu pasti khawatir.”

Yang Jayden pikurkan saat itu adalah hanya menyelamatkan Max, pria itu harus kembali pada anaknya. Jika Max mati di tangan para pribumi itu, anaknya akan menjadi seorang yatim piatu. Jayden tidak ingin itu terjadi yang di punya dari putri kecilnya itu hanya Max, Ayahnya.

Max seperti menimang-nimang ucapan dari atasannya itu, dengan penuh keraguan ia mulai mencoba turun dari jendela lantai dua. Kakinya gemetar karena takut akan ketinggian dan juga memikirkan nasib Jayden. Sebagai seorang bawahaan, ia yang harusnya melindungi Jayden bukan malah sebaliknya.

meneer..

“Pergi, Max!!” pekik Jayden. Ia sedikit mendorong bahu Max agar segera menjatuhkan dirinya ke bawah karena pintu ruangan itu akan segera terbuka.

Max akhirnya dengan cepat keluar dari jendela, ia langsung lompat begitu saja dan jatuh di semak-semak. Kakinya terkilir, sangat sakit dan membuatnya tidak bisa begitu saja berlari. Max bersembunyi di sana, ia tak berani keluar dari semak-semak. Namun yang membuat hatinya pilu adalah, suara tembakan yang berasal dari lantai dua. Dimana ruangan ia dan Jayden bersembunyi barusan.

Max menangis ketakutan, kemungkinan terburuk adalah Jayden tewas di tembak para pemberontak itu. Dalam hati Max bersumpah, tak akan pernah ia lupakan apa yang di lakukan Jayden untuknya.

Di ruangan yang menjadi saksi bisu akhir perjalanan hidupnya, Jayden yang sedang di ambang kematian karena dua peluru yang mendarat di perut dan dada sebelah kanan nya itu tersenyum dalam sakit yang ia rasakan. Dalam bayangan yang sudah tampak samar dan bau anyir dari darah yang mengalir dari dalam tubuhnya, ia bisa melihat Ayu berdiri di depannya.

Mengulurkan tangan dengan senyum manisnya, wanita itu mengenakan kebaya terbaiknya dengan rambut panjang yang di hiasi oleh melati-melati. Jayden ingin sekali mengucapkan salam perpisahan, namun lidahnya keluh. Tubuhnya seperti tercabik-cabik dan nyawanya perlahan terasa seperti di tarik.

Malaikat maut mungkin sedang menjemputnya, di akhir nafasnya itu Jayden tersenyum. seseorang yang menjemputnya pergi ke sebuah lorong penuh cahaya itu adalah Ayu. Wanita itu mengenggam tangannya, tersenyum namun tidak berbicara. Dan ini adalah akhir dari perjalanan hidup seorang Jayden Van Den Dijk.

Pagi buta itu Raga bangun dengan terengah-engah, keringat di sekujur tubuhnya itu berjatuhan, perasaanya tidak karuan dan bagian dada serta perutnya terasa begitu ngilu. Ia seperti bisa merasakan apa yang di rasakan oleh Jayden yang tewas dalam mimpinya itu.

“Aaarghh....” erangnya.

Raga meraba sisi ranjangnya untuk mencari ponselnya itu, dengan nafas yang tersenggal-senggal ia berusaha mencari nama Adel di sana namun Jayden sadar jika kakak perempuannya tidak sedang berada di Jakarta. Mbak Adel sedang liburan bersama dengan anak dan Suaminya ke Bali.

“Aaahhh...” Raga meremas dadanya sendiri, rasanya semakin sakit dan nafasnya juga semakin sesak.

Pada akhirnya ia menekan asal kontak yang ada di ponselnya itu untuk meminta bantuan, ia benar-benar tidak kuat menahan sakitnya. Raga sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa merasakan sakit seperti yang Jayden rasakan di dalam mimpinya.

hallo, ada apa, Pak?

Dari ponselnya, Raga bisa mendengar suara Kirana. “Na, tolong saya..”

ada apa, Pak? Bapak kenapa?” suara Kirana itu berubah menjadi panik ketika ia mendengar suara Raga yang sedikit parau itu seperti tengah merintih.

“Tolong.. Bawa saya ke rumah sakit.. Arrrhghhh—”

Raga tidak sempat menjelaskan kondisinya, ia kehilangan kesadarannya dengan sambungan telefon yang masih terhubung ke Kirana. Di sebrang sana, di jam tiga pagi Kirana panik bukan main. Ia langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah Raga dengan memesan taksi online setelah Raga tak lagi menjawab ucapannya.

Bersambung...

Begitu sampai di rumah Raga, Kirana begitu panik, apalagi saat Raga tidak menjawab panggilannya dan tidak membukakanya pintu. Kirana sempat meminta bantuan pada satpam kompleks tempat Raga tinggal untuk membantunya membuka pintu rumah Raga.

Begitu pintu itu terbuka, Raga sudah tergeletak di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan pria itu berkeringat cukup banyak. Kirana langsung membawa Bagas ke rumah sakit, dari hasil pemeriksaan dokter bilang kalau Raga terkena Gerd. Beruntungnya Kirana langsung segera datang dan membawa Raga ke rumah sakit.

Raga belum di pindahkan ke kamar rawat inap, administrasinya sudah selesai namun dokter masih menunggu hasil pemeriksaan darah Raga keluar. Selama Raga belum sadar, Kirana masih setia menemani pria itu di sebelah ranjangnya. Memperhatikan Raga yang masih terlelap dengan wajah pucat pasinya itu.

Kirana enggak tahu keluarga Raga seperti apa, pria itu hanya tinggal sendiri dan saat sakit pun Kirana orang pertama yang ia hubungi. Padahal, kalau di bilang hubungan mereka cukup dekat pun enggak. Mereka hanya saling bertukar cerita mengenai mimpi yang mereka alami saja, justru Raga lebih banyak tahu tentang Kirana dari pada Kirana sendiri yang mengetahui tentang Raga.

Sedang larut memperhatikan wajah Raga, tiba-tiba saja kedua kelopak mata itu terbuka perlahan-lahan. Keningnya mengekerut bingung, namun kebingungan itu terjawab dengan hadirnya Kirana di sana.

“Pak?” tanya Kirana.

“Kamu bawa saya ke rumah sakit, Na?” Raga bertanya balik, ia sedikit lupa apa yang terjadi padanya sampai-sampai Kirana harus membawanya ke rumah sakit.

Kirana mengangguk kecil, “Bapak pingsan, Bapak telfon saya sambil ngerintih, gimana saya enggak khawatir coba?”

Raga tersenyum lemah, ia baru ingat apa yang terjadi padanya. “Maaf ya ngerepotin kamu. Saya enggak tahu harus telfon siapa lagi, karena Mbak saya lagi di luar kota.”

Kirana mengangguk kecil, dia baru ingat kalau Raga mempunyai Kakak perempuan. Kakak perempuannya itu kalau tidak salah ada di dalam mimpinya Raga, ya, Raga pernah bercerita kalau ada orang lain yang ada di masa lalunya yang ia temui juga di saat ini.

“Gapapa, Pak. Maaf, Pak. Bapak punya gerd?” tanya Kirana hati-hati.

“Kata dokter seperti itu?”

Kirana mengangguk.

“Punya, tapi memang sudah lama tidak pernah kambuh. Padahal akhir-akhir ini saya jaga pola makan saya, udah enggak minum kopi juga.”

“Banyak pikiran juga bisa menjadi pemicunya, Pak.”

Raga menoleh ke arah Kirana, ia melihat wanita itu dengan baju tidur dan cardigan berwarna kuning yang ia kenakan. Rambut panjangnya juga hanya di ikat asal-asalan, Kirana benar-benar datang saat ia menelfonnya tadi pagi.

“Mungkin mimpi itu jadi penyebabnya gerd saya kambuh juga, Na.”

Raga baru ingat tentang mimpi akhir dari perjalanan hidup Jayden, pria Belanda itu di tembak dua kali di bagian dada sebelah kanan dan perutnya. Pemberontakan kaum pribumi itu banyak menewaskan para kolonial dan pihak pribumi juga, bahkan saat Raga bangun pun ia bisa merasakan sakit di bagian yang tertembus peluru itu. Entah kenapa ia bisa merasakan sakitnya juga.

Dan itu semua berujung ia harus opname di rumah sakit karena gerd yang di deritanya, agak sedikit tidak masuk akal bagi Raga karena sebelum tidur pun ia sehat-sehat saja.

“Soal Jayden, Pak?” tanya Kirana hati-hati dan Raga menjawabnya dengan anggukan.

“Dia udah tewas, Na. Dan saya tau bagaimana itu semua berakhir,” jawab Raga dengan nada yang mengambang.

Mendengar ucapan Raga itu, Kirana menunduk. entah kenapa perasaanya menjadi tidak karuan mengetahui Jayden sudah tewas. Meski Kirana sendiri enggak tahu bagaimana akhir hidup dari pria Belanda itu karena Raga belum bercerita dan ia sendiri pun belum bermimpi, semalam setelah pulang dari rumah Bagas.

Kirana enggak langsung tidur, ada beberapa laporan yang harus ia revisi dahulu. Setelah itu, ia menemani Almira melakukan panggilan video karena wanita itu ingin bercerita banyak mengenai kencan nya.

“Jayden sakit, Pak?”

Raga menggeleng pelan, “dia di tembak, Na.”

“Di tembak?”

Baru saja Raga ingin menjelaskan seperti apa mimpinya, tiba-tiba saja seorang perawat membuka korden yang menjadi pemisah antara ranjang yang di tempati oleh Raga dengan pasien lain.

“Selamat pagi Bapak Raga, kita pindah ke ruang rawatnya dulu ya. Setelah itu nanti ada staff yang mengatar sarapan pagi, jangan lupa sarapannya di habiskan.”


“Mbak Kirana kemana, Mas?” Tanya Almira pada Bagas sewaktu pria itu baru saja tiba di kantor.

Melihat kursi Kirana yang masih kosong, Bagas juga terlihat bingung. Pasalnya telfon dan pesan singkat darinya itu juga belum mendapatkan balasan dari Kirana. Mereka memang tidak janjian untuk berangkat bersama ke kantor karena Bagas hari ini harus bekerja di luar kantor dahulu.

Bagas pikir Kirana mungkin hanya terlambat saja dan belum sempat memeriksa ponselnya, tapi siapa sangka jika wanita itu tidak masuk bekerja.

“Dia gak masuk?”

“Ih kok lo malah nanya balik sih, Mas. Gue aja bingung ini kenapa Mbak Kirana gak ada kabar, HP nya juga enggak aktif.” Almira menunjukan layar ponselnya yang menampakan beberapa panggilan keluar dari nya tidak terjawab oleh Kirana.

Bagas tidak menjawab pertanyaan Almira lagi, dia hanya menaruh tas kerja miliknya di kursinya kemudian mencoba menghubungi Kirana lagi. Bahkan mencoba untuk menelfon ke nomer telfon rumah Kirana, tapi sama seperti yang di dapati Almira. Ia pun tak mendapatkan jawaban. Sebenarnya kemana Kirana? Pikir Bagas.

“Gak di angkat juga..” Gumam Bagas.

“Semalam tuh gue sempat video call sama dia, Mas. Sampai jam 2 pagi malahan.”

“Terus?” Bagas mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Almira.

“Ya yaudah, habis itu gue pamit tidur karena udah ngantuk. Maksud gue, gak ada yang aneh sama Mbak Kirana. Tapi kenapa tiba-tiba paginya dia enggak datang,” ucap Kirana masih bertanya-tanya.

Hampir seharian ini Bagas bekerja dengan suasana hati yang tidak karuan dan pikiran yang tidak tenang karena memikirkan Kirana. Hari itu juga Bagas lumayan sibuk, ia tidak sempat keluar kantor lagi setelah nya karena harus mengerjakan laporan dan meeting dengan mandor proyeknya.

Bagas baru bisa tenang pada akhirnya setelah jam kerja berakhir, ia langsung buru-buru pergi ke rumah Kirana. Namun saat ia tiba di sana, Bagas justru terlihat semakin bingung ketika Kirana baru saja turun dari taksi dan masih mengenakan baju tidurnya. Begitu melihat Kirana, Bagas langsung keluar dari mobil miliknya.

“Kamu habis dari mana, Na?” Tanya Bagas tiba-tiba, Kirana pun kaget karena saat ia ingin membuka pagar rumahnya Bagas justru datang tiba-tiba dan menahan tangannya.

“Bagas...”

“Habis dari mana, Na? Aku telfon kamu gak di angkat habis itu HP kamu mati. Kamu juga gak kerja, kamu kemana?”

Kirana merhatiin wajah pria di depannya itu, Bagas nampak gusar dan khawatir padanya. Salahnya sendiri yang tidak mencoba memberi kabar pada Bagas sampai-sampai ia harus ke rumahnya demi memastikan dirinya baik-baik saja, sebenarnya saat Raga sudah di pindahkan ke ruang rawat Kirana sudah bisa pulang.

Namun Raga menahannya sebentar, pria itu minta di temani hingga kedua orang tua nya yang berada di luar kota itu datang. Dan saat mereka datang, Kirana justru kembali di tahan. Mereka banyak mengajak Kirana mengobrol. Jujur saja, Kirana sempat merasa terharu dengan kedua orang tua Raga yang menyambutnya hangat dan memperlakukkanya dengan baik.

Bahkan keduanya sempat mengira jika dirinya adalah wanita yang di kencani Raga, namun pada akhirnya Raga menjelaskan semuanya. Setelah itu Kirana sempat di ajak makan di kafetaria rumah sakit sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang, saat di perjalanan pun Kirana baru sadar kalau ia tidak membawa ponselnya.

“Masuk dulu ya? Aku jelasin di dalam aja.” Kirana membuka pagar rumahnya sedikit lebih lebar agar Bagas bisa memarkirkan mobilnya di dalam.

Keduanya masuk ke dalam rumah Kirana, malam itu Ibu belum pulang, Ibu memang baru akan pulang setelah menutup toko milik temannya itu. Agak sedikit malam, sekitar jam delapan malam biasanya Ibu baru saja tiba di rumah.

“Maaf ya, aku jadi bikin kamu khawatir.” Kirana ngerasa bersalah banget rasanya, karena jika posisi nya ia adalah Bagas ia pasti akan khawatir juga.

“Habis dari mana, Na? Kenapa kamu masih pakai baju tidur?” Bagas masih terus mencecarnya dengan pertanyaan.

“Aku habis nolongin Pak Raga, Gas.”

Wajah khawatir Bagas itu berubah menjadi datar, ia baru sadar kalau hari ini Raga tidak datang ke kantor. Padahal pria itu pun harusnya hadir dalam meeting bersama dengan mandor proyek yang Bagas pegang.

“Kenapa dia?” tanya Bagas.

“Pagi-pagi banget dia telfon aku, suaranya kaya dia tuh lagi ngerintih. Setelah itu gak ada suara lagi, tapi telfon nya juga enggak dia matiin. Aku panik banget, aku mikir apa Pak Raga kerampokan. Jadi aku datang ke rumahnya waktu aku datang pun dia gak jawab panggilan aku sampai akhirnya aku minta bantuan satpam komplek nya buat bantu buka pintu rumahnya.”

“Terus?”

“Dia pingsan, Gas. Aku sama satpam komplek itu bawa dia ke rumah sakit. Udah itu aja.”

Bagas mengusap wajahnya gusar, ia juga menyandarkan punggungnya ke sofa yang ia duduki, katakan Bagas kekanakan. Tapi ia benar-benar ingin marah, rasanya cemburu tengah melanda Bagas saat ini. Namun, satu hal yang Bagas hargai dari Kirana. Wanitanya itu mau berbicara jujur dengannya meski pada akhirnya ia cemburu.

“Sayang, maafin aku..” ucap Kirana.

“Aku gak ngerti ya, Na. Kenapa dia harus telfon kamu.”

“Dia udah berusaha hubungin nomer Kakak nya, tapi dia sadar Kakaknya di luar kota. Aku juga gak ngerti kenapa dia tiba-tiba hubungin aku.”

“Enggak.. Maksud aku, dia kan bukan cuma kenal kamu. Dia bisa hubungin aku atau Bang Satya. Kenapa harus kamu?”

“Kamu cemburu?” tanya Kirana hati-hati.

“Iya aku cemburu, akhir-akhir ini aku gak suka liat kamu sama dia, Na. Tapi aku coba buat mengesampingkan itu semua karna aku pikir setiap kalian berdiskusi berdua itu cuma ngobrolin kerjaan. Tapi sekarang, dia bahkan minta tolong sama kamu buat hal di luar kerjaan.”

Kirana hanya diam, Bagas itu jarang sekali marah. Selama 7 tahun mereka berpacaran, bisa terhitung jari masalah yang datang ke hubungan mereka sampai-sampai buat Bagas marah kaya sekarang. Kirana enggak denial, dia mengakui kalau dia salah dan memaklumi kemarahan Bagas.

Tapi entah kenapa, rasanya pagi itu dia benar-benar mengkhawatirkan Raga. Dia takut terjadi sesuatu pada pria itu, apalagi setelah mendengar cerita dari Raga tentang bagaimana akhir dari hidup Jayden. Rasanya seperti ada cubitan kecil di hati Kirana, yang saat itu hanya ingin memastikan bahwa Raga baik-baik saja.

“Dia tau kamu punyaku loh, Na..”

Kirana membawa tangan Bagas pada genggamannya, “aku minta maaf ya, aku bakalan jaga jarak sama dia.”

Bagas terdiam, emosinya tadi yang memuncak itu sedikit luluh. Enggak bisa dia lihat wajah Kirana merasa bersalah seperti itu, enggak pernah tega. Bagi Bagas, Kirana mengaku salah dan meminta maaf saja itu sudah cukup. Selama ini yang membuat hubungan mereka bertahan lama karena keduanya saling mengakui kesalahan dan tidak segan meminta maaf.

Bagas membawa Kirana pada pelukannya, dia khawatir setengah mati. Dia pejamkan matanya dan hirup aroma dari rambut panjang kesayangannya itu. “Maaf ya, maaf aku jadi marah banget kaya tadi. Aku cuma cemburu Kirana.”

“Gapapa, maaf udah bikin kamu enggak nyaman..”


Samarang, 1899.

Sudah lima bulan sejak kepergian Jayden sampai hari ini pun Ayu masih belum mengetahuinya, kabar tentang wanita itu di Soerabaja cukup baik meski tak sebaik itu. Ayu masih suka memikirkan Jayden saat hari-hari kosongnya.

Sejak menjadi istri Dimas, yang Ayu lakukan sehari-hari hanya berada di rumah. Memasak, menunggu Dimas pulang dan sesekali ia belajar merajut. Kabar baiknya adalah Ayu kini tengah mengandung, usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke enam.

Sejak mengetahui ia hamil, Ayu tidak pernah merasakan kesepian lagi ketika Dimas sedang tidak ada di rumah. Ia merasa ada yang menemani, katakanlah cinta itu belum tumbuh untuk Dimas. Tapi bagi Ayu, bayi yang di kandungnya itu tetap anaknya. Dimas memang bukan suami yang baik, ia terkadang kasar jika sedang marah.

Dimas juga enggan membantunya dalam urusan rumah, namun satu hal yang membuat Ayu bisa menghormati Dimas sebagai seorang suami. Dimas selalu berterima kasih ketika Ayu melayaninya seperti mengambilkan makanan, memasakinya makanan kesukaanya dan ketika Ayu membangunkannya di pagi hari.

Malam itu Ayu tertidur sedikit pulas dari biasanya, perutnya yang semakin besar itu terkadang membuatnya kesulitan hanya untuk sekedar tidur dengan nyaman. Sampai-sampai, Ayu tidak dengar jika Dimas mengetuk pintu rumah mereka untuk segera di bukakan pintu.

Malam itu Dimas sedikit mabuk, setelah menikah Dimas di beri kepercayaan oleh Ayahnya untuk mengelola perternakan. Namun malam itu Dimas bukan pulang bekerja, melainkan ia habis pulang berjudi. Pintu rumah itu di dobrak paksa oleh Dimas, membuat Ayu terkesiap karena terkejut. Wanita itu buru-buru bangkit dari tidurnya untuk melihat siapa yang datang.

“Ya ampun, Mas. Kamu mabuk lagi?” Ayu buru-buru menghampiri Dimas, memapah Suaminya itu dan membantunya untuk tidur di kamar mereka.

“Kau tidur? Tidak dengar aku mengetuk pintu dan memanggilmu berkali-kali?” Dimas meracau.

Nguwun pangapunten sanget, Mas. Aku tertidur.”

Ayu membuka sepatu yang di pakai oleh Dimas itu, menaruhnya kembali ke depan pintu rumah mereka dan menutup pintu itu kembali. Setelahnya, Ayu membuka lemari baju mereka. Mengambil salah satu baju untuk ia gantikan baju yang tengah di pakai suaminya itu.

“Ayu?” panggil Dimas, membuat Ayu menoleh ke arah Suaminya itu.

nggih, Mas?” Ayu segera menghampiri Dimas, duduk di sebelah Suaminya itu. Dimas kebetulan bangkit dari tidurnya dan duduk di sisi ranjang mereka.

Pria itu tersenyum, bukan seringaian yang biasa Dimas berikan untuk Ayu. Melainkan senyum konyol khas orang mabuk, tanganya itu kemudian beralih mengusap perut Ayu yang sudah terlibat membesar itu.

“Ini anakku kan? Bukan anak pria Belanda sialan itu!!”

Mendengar ucapan Dimas itu, entah kenapa selalu berhasil melukai perasaan Ayu. Dimas sudah sering mengatakan hal itu, meragukannya jika anak yang ia kandung adalah darah dagingnya.

“Ini anak kita..” ucap Ayu terisak.

“Kau menangis?”

Ayu tidak menjawab, ia hanya diam sembari mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata nya sendiri.

“Mas istirahat saja ya, biar Ayu bantukan berganti pakaian.”

“Jawab dulu pertanyaan suamimu, Ayu.”

“Tidak menangis, Mas..” jawab Ayu lirih.

Dimas terkekeh, “aku berharap pria Belanda munafik yang kau cintai itu segera mati. Mungkin dengan begitu, kau bisa mencintaiku.”

Setelah menggantikan baju Dimas, Ayu tidak bisa kembali tidur. Ia hanya bisa menangis di ranjang mereka, ia sangat merindukan Jayden, sungguh. Sudah beberapa hari ini ia mengimpikan pria itu. Mendengar ucapan Suaminya barusan, membuat keraguan Ayu untuk bisa belajar mencintai Dimas itu pupus rasanya.

Wanita itu bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke laci meja riasnya itu dan mengambil secarik surat berisi tulisan Jayden. Sajak yang pria itu tulis berserta hiasan kepala untuknya dari bunga melati yang sudah menghitam dan layu itu.

Dua benda dari Jayden untuknya, jika merindukan pria itu. Hanya kertas itulah yang bisa Ayu peluk erat, ia ingin sekali kembali ke Samarang hanya untuk sekedar menjenguk Ibu dan Romo nya. Namun Dimas melarangnya, Ayu tidak di izinkan kembali ke Samarang jika Dimas tidak ikut bersamanya.

Tapi tak lama kemudian Ayu terkejut ketika tiba-tiba surat yang di tulis Jayden itu di renggut paksa begitu saja oleh Dimas, Suaminya itu bangun dan tampak marah saat melihat Ayu tengah membaca kembali sajak itu.

“Kau masih menyimpan tulisan sialan ini, iya?!” sentak Dimas, membuat Ayu kaget setengah mati.

“Mas.. Kembalikan, Mas.”

“ARRGHH!” Dimas merobek kertas itu hingga berkeping-keping. Dan ketika Dimas ingin mengambil hiasan kepala yang dikirimkan oleh Jayden bersamaan dengan sajak itu.

Ayu berusaha untuk merebutnya, hiasan kepala berbentuk bando itu rusak, melatinya berjatuhan dan kawat kecil yang di gunakan untuk merangkainya pun rusak hingga mengenai telapak tangan Ayu, kedua anak manusia itu masih saling berebut benda itu hingga akhirnya Dimas mengerahkan seluruh tenaga nya untuk merebutnya seutuhnya dari Ayu. Namun na'as nya adalah, Ayu justru jatuh tersungkur di lantai.

“Pria bajingan!! Brengsek, akan aku bunuh dia!!” Dimas menginjak-injak bando itu bersamaan dengan melati yang gugur.

“Mas...” Ayu sudah tidak memperdulikan lagi bando dari Jayden yang sudah rusak itu, kini yang ia rasakan adalah nyeri di perutnya. Bersamaan dengan darah segar yang mengalir dari pangkal paha hingga merembas ke kakinya.

“Mas tolong...” Ayu memegangi perutnya.

Begitu Dimas menoleh, pria itu kaget bukan main. Ia langsung membawa Ayu ke ranjang mereka tanpa memperdulikan kaki istrinya itu yang terus mengeluarkan darah.

“Sebelah mana yang sakit, Yu? Sebelah mana?” tanya Dimas panik.

“Aahhh..” Ayu tidak menjawab, nafasnya tersenggal dan perutnya semakin sakit. Ayu mengalami pendarahan karena benturan keras barusan, sampai akhirnya wanita itu tak sadarkan diri.

*Bersambung...

Hari itu Asri berkunjung ke rumah kedua orang tua Bagas, kemarin Ibu nya Bagas menelfon Asri dan menyuruhnya untuk datang ke rumah mereka. Ibu ingin bercerita sekaligus meminta maaf pada Asri karena Bagas tidak datang di acara keluarga mereka.

Siang itu Asri membawa cheese cake yang sempat ia beli dulu di jalan, Ibu nya Bagas bilang kalau beliau sempat sakit memikirkan anak sulung nya itu yang pergi meninggalkan rumah. Bahkan Bagas tidak memberi tahu orang tua dan Adiknya dimana ia tinggal.

“Kata Ibu langsung ke kamar aja, Non.”

Asri mengangguk, “oke, makasih ya, Bi. Ini cake nya saya taruh disini tolong di potong ya.”

Asri menaruh kotak berisi cake itu di meja makan agar Bibi yang bekerja di rumah Bagas itu memotong nya, kemudian wanita itu naik ke lantai dua menuju ke kamar orang tua Bagas. Asri sempat mengetuk pintu kamarnya dulu sampai akhirnya orang tua Bagas yang membukakan pintu kamar itu.

“Ibu gimana kabarnya?” tanya Asri setelah ia bersalaman dengan Ibu nya Bagas, wanita berusia 50an itu tampak sedikit pucat.

“Tensi Ibu sudah turun, Sri. Berkat minuman dari kamu itu. Tapi masih belum enakan badannya.”

Kedua wanita yang berbeda usia itu duduk di sofa bed yang ada di kamar itu, Asri tampak tidak tega melihat Ibu nya Bagas yang sakit dan mengkhawatirkan anaknya. Ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya berani melawannya dan lebih memilih orang lain, pikir Asri.

“Masih kepikiran Bagas ya, Buk?”

Ibu mengangguk, “kamu sudah coba hubungi dia, Sri?”

“Sudah, Buk. Tapi buat di ajak ketemu Bagas belum bisa, dia bilang sibuk. Minggu ini juga harus ke Surabaya katanya.”

Ibu menghela nafasnya pelan, wanita itu bersandar sembari menopang kepalanya sendiri dengan satu tangannya. Hari-hari nya pusing memikirkan cara agar Bagas kembali ke rumah.

“Ibu tuh bingung sama Bagas, Sri. Kenapa dia jadi seperti ini? Kenapa dia enggak memihak Ibu nya dan malah memihak perempuan itu.” dulu, Bagas sangat penurut sekali pada orang tua nya. Ibu merasa sejak Bagas bersama dengan Kirana, Bagas banyak sekali berubah. Terutama perubahan sikap pada kedua orang tua nya. Ibu cuma merasa Kirana lah yang memberi dampak buruk itu pada Bagas.

“Nanti Asri coba bicarain sama Bagas ya, Buk.” Asri memegang tangan wanita di depannya itu, mengenggamnya agar Ibu jauh lebih tenang. Ia ingin mencoba bicara dengan Bagas, ya sukur-sukur pria itu mau mendengarkannya. Ah, setidaknya Bagas mau pulang sebentar untuk menjenguk Ibu nya yang sedang sakit.

“Makasih ya, Sri. Maafin Bagas ya, dia udah bikin kamu sama Bapakmu bingung karena enggak hadir di acara rencana pertunangan kalian.”

Asri mengangguk, baginya itu bukan masalah. Walau tetap saja Asri merasa tidak di hargai oleh Bagas, tapi disisi lain Asri bisa memahami kenapa Bagas bersikap seperti itu. “Gapapa, Buk. Ibu sekarang fokus sama kesembuhan Ibu dulu saja ya.”

“Iya, makasih ya sayang. Ibu tuh benar-benar suka banget sama kamu. Anak baik, manis, pintar, mandiri. Ingin sekali Ibu melihat kamu menikah sama Bagas.”

Asri tersenyum, jika di tanya ia ingin menikah atau tidak dengan Bagas, Asri akan menjawab dengan jujur bahwa ia juga ingin Bagas menikahinya. Bagas adalah cinta pertama Asri meski sampai hari ini Bagas enggak pernah mengetahui jika Asri menyukainya.

“Doain aja ya, Buk.”

Setelah menjenguk Ibu nya Bagas, Asri langsung pulang ke rumahnya. Dia udah enggak ada kegiatan lagi di butik hari ini, baru saja akan turun dari mobilnya untuk membuka pintu gerbang rumahnya. Kedua mata Asri membulat ketika mengetahui ada mobil lain yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

Asri sangat mengenali mobil itu, terlebih sang pemilik mobil itu berdiri tepat di samping mobilnya dengan kedua tangan di lipat di depan dada dan kini tengah memperhatikan Asri dari dalam mobil.

“Ck, mau ngapain lagi sih dia?” gerutu Asri, ia keluar dari mobilnya untuk bicara dengan pria itu agar menyingkirkan mobilnya yang menghalangi jalan masuk.

“Kamu ngapain lagi sih?” tanya Asri sedikit sewot.

“Ngapain? Asal kamu tau ya, aku gak akan kesini kalo kamu jawab telfon dari aku,” ucap pria itu tak kala sewot nya dengan Asri.

“Ada apa lagi sih, Raka? Aku rasa hubungan kita juga udah selesai ya.”

Reiraka Indra Soerja, pria berusia 33 tahun itu menatap Asri dengan pandangan tidak menyangka nya, kecewa sekaligus marah dengan wanita yang dulu ia cintai habis-habisan itu.

“Eh, denger ya. Hubungan kita emang udah selesai, tapi kamu mikir gak kalau kita masih punya Saka? Dia nyariin Ibu nya!!” Bentak Raka naik pitam.

Tidak ada sama sekali hati Asri tersentuh mendengar nama anak yang sudah ia tinggalkan itu, ia justru membuang pandanganya ke arah lain. Asri dan Raka memang pernah menikah dulu, mereka memiliki satu orang anak laki-laki bernama Reisaka Bumi Soerja.

Dulu, memang hubungan mereka di landasi cinta. Reisaka juga hadir karena Asri dan Raka saling mencintai, mereka menikah pun karena kehadiran Saka. Meski tidak di dapati restu dari keluarga Asri, setelah Saka lahir Keduanya berpisah, Asri memilih pindah ke Jakarta bersama Bapaknya dan meninggalkan Raka dan Saka.

Raka sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, pria itu hanya mau Asri tidak melupakan kewajibannya sebagai Ibu dari Saka. Setidaknya Asri masih mau menjenguk Saka hanya untuk tahu kabar bocah itu, tapi yang di lakukan Asri justru sebaliknya. Wanita itu tampak tidak perduli dan bahkan bersikap seolah-oalah ia tidak pernah memiliki anak.

“Aku belum ada waktu buat jenguk dia, mending sekarang kamu minggirin mobil kamu deh, sebelum Bapakku tau kamu disini.”

Mendengar ucapan Asri itu, membuat alarm yang berada di kepala Raka rasanya menyala. Pria itu menunjuk wajah Asri dengan rahang yang mengeras, mungkin jika Asri bukan seorang wanita. Ia pasti sudah menghajarnya.

“Aku tau ya kamu berencana menikah lagi sama laki-laki yang jadi cinta pertama kamu itu kan? Kalau sampai besok kamu enggak nemuin Saka, aku gak akan segan-segan ngasih tau keluarganya kalau kamu punya anak dan pernah menikah!” Ancam Raka, ia hanya terpikirkan cara itu agar Asri mau menjenguk anak mereka yang saat ini sedang sakit.

Dan terbukti wajah wanita itu terlihat tegang, Asri kelihatan ketakutan bukan main saat Raka berbicara seperti itu. Imej yang ia bangun selama ini setelah berpisah dengan Raka memang lah baik, tidak banyak orang yang tahu ia pernah menikah bahkan memiliki anak. Karena pernikahannya dahulu memang di lakukan secara tertutup.

“Bajingan kamu, Raka!” Pekik Asri.

“Kamu juga brengsek, Ibu gak bertanggung jawab. Perempuan enggak tahu malu!” Setelah mengatakan itu, Raka langsung mendorong Asri minggir dari samping mobilnya. Pria itu langsung bergegas pergi dari sana, meninggalkan Asri yang berdiri dengan kaki bergetar sembari berpegangan pada bagian depan mobilnya.

“Gak ada yang boleh tau!” Gumam Asri, tanganya bergetar bukan main.


Sudah dua hari Mama dan Papa nya menemani Raga di rumah sakit, Adel dan Ethan yang sudah selesai berlibur juga turut menjenguk Raga. Raga masih belum di perbolehkan untuk pulang dengan dokter, padahal Raga sendiri sudah merasa jika kondisinya sudah membaik.

Sejak Mama dan Papa nya melihat Kirana, mulai hari itu juga Raga sering sekali di ledeki jika Kirana adalah kekasih Raga. Padahal sudah berkali-kali Raga jelaskan jika Kirana hanya bawahannya saja di kantor dan Kirana sudah memiliki kekasih. Tapi tetap saja keduanya beranggapan jika Raga hanya malu saja dan masih menutup-nutupi hubungan mereka.

“Serius loh, Del. Anaknya cantik sekali, baik, suaranya halus, sopan. Tapi Adikmu itu loh pakai segala bilang kalau dia bukan pacarnya, padahal kalau pacarnya juga gapapa yah, Pah. Malahan kami senang,” celoteh Mama pada Adel.

Raga di ranjangnya hanya menggeleng pelan saja, sepertinya kedua orang tua nya itu benar-benar menyukai Kirana. Jika sudah seperti ini, sudah bisa Raga pastikan ia akan terus di jadikan bahan guyonan. Karena ini pertama kalinya Mama dan Papa melihat Raga bersama seorang wanita.

Katakan lah Raga memang cupu, kurang pergaulan atau apapun itu. Tapi memang selama 31 tahun ia hidup, Raga belum pernah memiliki kekasih. Jaman kuliahpun sebenarnya Raga cukup di gandrungi oleh teman-teman yang pernah satu kelas dengannya, di kalangan senior nya pun Raga pernah beberapa kali menjadi bahan omongan.

Ah tidak, bahkan jauh dari itu. Wajahnya dulu pernah masuk televisi karena mewakili kampus nya untuk orasi di depan gedung pemerintahan. Sejak itu sosial media Raga di banjiri oleh permintaan pertemanan oleh orang-orang tidak di kenalnya, rata-rata wanita yang ingin menjadi pengikutnya.

Tapi entah kenapa, Raga tidak pernah tertarik untuk memulai suatu hubungan. Ia juga tidak memiliki trauma apapun sampai-sampai enggan menjalin hubungan, semuanya normal. Malahan Raga kadang merasa hidupnya sedikit membosankan.

“Siapa sih namanya, Mah? Jadi penasaran, sayang banget Adel gak di Jakarta jadi enggak bisa lihat.” Adel melirik Adiknya itu wajah Raga sudah masam karena Mama terus berceloteh mengenai Kirana.

“Kirana, Del. Ih cantik pokoknya deh.”

“Cantik-cantik juga udah punya pacar, Mah.” samber Raga.

“Yah, masa naksir cewek orang, Ga,” Ethan yang sedang duduk di dekat Papa itu terkekeh pelan ikut meledek.

“Siapa yang naksir sih, Mas. Mama tuh yang udah ngarep, orang di bilang Kirana udah punya cowok juga.”

Papa yang sedari tadi menyimak itu tersenyum, agak kasihan lihat Raga sedari tadi terus di cecar. “Wajar Mama mu berharap, Ga. Ini pertama kalinya loh kami melihat kamu dengan perempuan. Umurmu tuh sudah 31 tahun, Papa dan Mama ini sejujurnya sudah ingin sekali melihat kamu mengenalkan calonmu.”

Raga mendengus, Raga paham. Tapi bagaimana jika ia juga belum menemukannya? Enggak mungkin kan Raga merebut Kirana dari Bagas hanya karena kedua orang tua nya menyukai wanita itu, ia tidak segila itu untuk merebut kebahagiaan orang lain.

“Doain lah, Mah, Pah. Raga kan lagi usaha juga ya, Ga?” Adel menyenggol bahu Raga, namun Adiknya itu hanya bergeming.

“Kalau memang kamu berjodoh dengan Kirana, Mama tuh bakalan bahagia banget, Ga. Enggak tahu kenapa Mama senang dan suka sekali melihat dia.”

Bagi Mama, Kirana adalah wanita yang baik. Kalau untuk urusan paras, Kirana itu enggak perlu diragukan lagi. Meski pertama kali bertemu hanya mengenakan piyama tidurnya dan cardigan kuning, wajah dahayunya itu tidak sirna.

Terlebih wanita itu sangat sopan, Mama sangat nyambung sekali berbicara dengan Kirana. Rasanya nyaman, seperti mereka berdua sudah kenal lama, akrab sekali. Dan enggak bisa Raga pungkiri jika ia juga bahagia melihat Mama dan Kirana berbicara berdua, berbicara mengenai banyak hal. Rasanya waktu itu seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di perutnya.

Menjelang malam, Ethan mengajak kedua orang tua Raga untuk makan malam di restaurant tak jauh dari rumah sakit. Sementara Adel menjaga Raga, Adel hanya meminta di bungkusi saja.

“Kirana itu yang waktu itu lo ceritain ada dalam mimpi lo bukan sih, Gas? Ayu?” Tanya Adel setelah kedua orang tua mereka dan juga Ethan pergi.

Raga mengangguk, Adel masih ingat ternyata. “Iya yang itu, Mbak.”

“Kok bisa dia ada disini? Kata Mama dia yang bawa lo ke rumah sakit?” Adel menaruh jeruk-jeruk yang sudah ia kupas itu di atas piring, Raga suka sekali jeruk makanya Adel membelikannya saat perjalanan menuju ke rumah sakit.

“Gue tadinya mau telfon lo, terus inget kalau lo lagi di Bali liburan sama Mas Ethan. Gak tau kenapa di kepala gue waktu itu cuma kepikiran Kirana.”

“Terus dia datang?”

Raga mengangguk seraya memasukan 2 jeruk ke dalam mulutnya. “Dia bahkan enggak ke kantor demi nungguin Papa sama Mama datang, ya tentu aja gue yang minta.”

Adel menghela nafasnya pelan, dia cuma kepikiran takut kalau Raga terbawa perasaan karena mimpinya. Maksudnya, di mimpi itu kan Jayden dan Ayu adalah sepasang kekasih. Sedangkan di dunia nyata ini Kirana sudah memiliki kekasih enggak mungkin kan Adel mendukung Adiknya itu untuk merebut kekasih orang lain.

“Lo gak baper gara-gara mimpi itu kan?” Tanya Adel hati-hati.

“Gila kali, ya enggak lah.” Raga agak sedikit gugup ketika menjawabnya. Menurutnya saat ini ia hanya kagum dengan Kirana. “Gue cuma bangga atau kagum aja sama dia, Mbak.”

“Bangga dan kagum?” Adel mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa emangnya?”

“Pokoknya ada alasan kenapa gue bangga dan kagum banget liat dia, hatinya lapang. Dan dia bukan perempuan lemah menurut gue.”

“Ck.” Adel berdecak sebal, penasaran sama alasan Raga bisa kagum dengan wanita itu. “Ya kenapa Jagaraga kan pasti ada alasannya, gue ini ngeri lo baper deh sama dia. Ya gue bukan nya enggak suka ya lo naksir cewek, tapi lo tau sendiri kan kalau Kirana udah punya cowok?”

“Gue paham, Mbak. Emang menurut lo, kalau gue kagum dan bangga sama dia itu berarti gue naksir sama dia? Kan enggak.”

“Oke terus?” Adel menaikan satu alisnya.

“Dia itu hidup berdua sama Ibunya, Mbak. Lo tau perusahaan distributor lampu CityLight yang sekarang udah tutup?” Tanya Raga, Adel enggak mungkin enggak tahu. Pengetahuannya tentang perusahaan-perusahaan besar di Indonesia itu cukup luas.

“Tau, yang kalau enggak salah ownernya itu meninggal karena.. suicide?

“Itu bokap nya Kirana, Mbak.”

Adel membulatkan matanya kaget, “serius lo?!”

Raga mengangguk, “dia berusaha bangkit setelah kepergian Bapaknya, kerja mati-matian buat bantu Ibunya bayarin hutan Bapaknya. Gue cukup tau bagaimana dia struggle selama ini karena beberapa kali dia ngajuin pinjaman ke kantor. Kerjaanya bagus, Mbak. Dia bukan perempuan yang pantang menyerah sama keadaan.”

Adel mengangguk-angguk, bisa sedikit ia pahami mengapa Raga bisa kagum dan bangga sekali dengan Kirana, terlebih Mama juga sangat menyukai wanita itu. Adel sendiri jadi penasaran seperti apa Kirana ini jika ia bertemu dengannya langsung.

“Tapi sayang aja.”

“Kenapa?”

“Keluarga cowoknya enggak memperlakukan dia dengan baik, ah udah lah kok jadi ngomongin orang gini sih,” Raga terkekeh pelan.

“Gak ngomongin dong, kan kita juga gak ngomongin yang jelek-jelek. Gue cuma penasaran aja.” Adel mengulum bibirnya itu, “kapan-kapan kenalin ke gue ya, Ga.”

Bersambung...

Pagi ini Ibu menyiapkan sarapan seperti biasa, ia tidak bekerja, hari ini Ibu libur. biasanya kalau Ibu bekerja, Ibu hanya meninggalkan Kirana cemilan saja untuk sarapan paginya. Tapi pagi ini ia membuatkan nasi goreng untuk putri sematawayangnya itu, setelah selesai menata setiap hidangan di atas meja makan, di liriknya jam yang ada di ruang tamu itu. Terlihat dari ruang makan kok karena tidak ada sekat lagi di sana.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, dan sepertinya Kirana belum bangun. Jadi Ibu berinsiatif untuk memeriksa kamar Kirana, ya siapa tahu putrinya itu kesiangan atau Kirana sudah bangun dan sedang bersiap-siap di kamarnya.

nduk??” Ibu mengetuk kamar Kirana sebelum masuk, tidak ada sahutan dari dalam. Namun sebelum Ibu pergi meninggalkan kamar itu, Ibu mendengar suara rintihan dari dalam.

“Kirana merintih apa ya?” Ibu mengerutkan keningnya bingung, karena khawatir terjadi sesuatu pada putrinya itu. Ibu membuka kamar Kirana pelan-pelan.

Kirana masih tertidur dengan posisi terlentang, selimut masih ada di tubuhnya namun putrinya itu tidur dengan kepala yang bergerak ke kanan dan kirinya, seperti tengah bermimpi buruk dan keningnya itu bercucuran keringat, bahkan Kirana juga terlihat meremas selimut yang ada di atas tubuhnya itu.

“Aah.. Mmhh.” rintih Kirana.

Ibu duduk ditepi ranjang Kirana, menepuk pelan pipi putrinya itu sekaligus memeriksa suhu tubuh Kirana. Tubuhnya dingin namun Kirana berkeringat seperti menahan sakit.

nduk? Kirana? Kamu kenapa, Nak?” ucap Ibu khawatir.

Kirana masih bergerak di atas ranjangnya dengan gerakan tidak nyaman, ia bahkan menangis dan bibirnya terus merintih. Membuat Ibu yang duduk di tepi ranjangnya menepuk bahu Kirana dengan panik. Ibu berusaha membangunkan Kirana karena seperti nya anaknya itu mimpi buruk.

nduk, bangun!! Heh, istigfar, nak.”

Begitu Ibu menepuk bahu Kirana agak kencang, Kirana kaget dan terbangun dari tidur nya. Matanya terbuka ia buru-buru bangkit dan memeluk Ibunya erat, Kirana menangis. Malam-malam kelam tentang mimpi buruk yang terjadi pada Ayu di dalam mimpinya itu membuat perasaanya berkecamuk, tubuh Kirana bahkan seperti masih mengingat betapa sakitnya perut Ayu di dalam mimpinya itu.

“Kamu kenapa, Na?” tanya Ibu khawatir, di usapnya punggung putri nya itu agar isak Kirana meredup dan membuatnya tenang.

Kirana belum menjawab, ia masih menangis. Hatinya sakit, takut dan perasaan tidak nyaman itu kembali menghampirinya, Ibu membiarkan Kirana memeluknya dan tidak menjawab pertanyaanya. Setelah putrinya itu tenang, Ibu keluar dari kamar Kirana dan membawakan Kirana secangkir teh hangat buatanya.

Itu teh melati kesukaan Ibu dan juga Kirana. Sangat harum, rasanya sedikit sepat dan ada rasa pahit setelahnya namun di padukan dengan madu jadi ada sedikit rasa manis. Menurut Ibu dan Kirana cara menikmatinya memang seperti itu.

“Udah tenang?” tanya Ibu yang di jawab anggukan oleh Kirana. “Kenapa, nduk?

“Kirana cuma mimpi buruk aja, Buk.” ia jujur, namun Kirana tidak mengatakan kalau perutnya juga sedikit sakit. Entah kenapa seingatnya ia tidak makan yang aneh-aneh dan terlalu pedas.

“Keringatmu banyak banget, Na. Ada yang sakit gak?”

Kirana menggeleng, “enggak, Buk. Gapapa.”

“Beneran?”

“Um.” Kirana mengangguk, “Ibu libur ya?”

“Iya, makanya Ibu bikinin sarapan dan bekal kamu ke kantor. Kamu ke kantor gak?”

“Ke kantor, Buk.”

Ibu menghela nafasnya pelan, mengusap wajah putri kesayanganya itu dengan penuh kasih sayang. Sejak Kirana kritis, setiap kali Kirana tidak terlihat baik-baik saja. Ibu selalu merasa khawatir berlebihan padanya, bahkan seperti saat ini. Hanya karena mimpi buruk sekalipun. “Yasudah, siap-siap gih. Takut nya nanti Bagas jemput kamu.”

“Hhm.. Bagas gak jemput aku, Buk. Dia ke Surabaya hari ini. Jam 12 kayanya dia udah ke bandara.”

“Yasudah, mandi ya. Kita sarapan sama-sama.”

Di perjalanan selama menuju kantor, Kirana melamun memikirkan Ayu di dalam mimpinya. Menurutnya itu adalah mimpi yang membuatnya lumayan traumatis, Ayu jatuh karena bertengkar dengan Dimas suaminya. Wanita muda nan ringkih itu mengalami pendarahan sampi Dimas harus memanggil dokter ke rumahnya.

Sepanjang menunggu dokter itu, Ayu terus menerus merintih, keringat bercucuran keluar dari keningnya hingga Kirana tidak sadar kalau dalam tidurnya ia juga merintih sampai Ibu membangunkannya. Karena larut dalam lamunan, Kirana hampir saja melewatkan halte tempatnya turun. Untung saja supir bus hari ini baik, masih mau membukakan pintu untuknya walau tadinya pintu sudah di tutup.

Kirana berjalan dari halte bus menuju kantor nya, ia jadi teringat akan cerita Raga. Mimpi mengenai Jayden dan akhir hidupnya, Raga bilang Jayden sudah meninggal dengan cara yang paling tragis. Dan Raga bisa merasakan juga sakit nya, dan ternyata ia pun juga bisa merasakan sakit ketika Ayu, wanita dalam mimpinya itu mengalami pendarahan hebat.

Dengan langkah gontainya, Kirana menekan tombol lift untuk sampai ke ruanganya. Namun siapa sangka jika ada pria tinggi di sebelahnya yang baru saja muncul entah dari mana, wangi dari pria itu menyita atensi Kirana sampai-sampai ia menoleh ke sebelahnya.

Pria itu, pria dengan paras yang sangat ia kenali. Kaki Kirana seketika mundur beberapa langkah dengan penuh keraguan, membuat pria yang baru pertama kali bertemu denganya itu bingung. Bibir Kirana bergetar mengucap nama seseorang tanpa suara.

“Di...mas?” bisiknya nyaris tak terdengar.

“Mbak? Mbak kenapa?” tanya pria itu bingung, ia menoleh ke sekitarnya. Wanita yang berada di depannya itu ketakutan seperti melihat hantu.

“Mbak?” panggil Pria itu sekali lagi dan berhasil membuyarkan lamunan Kirana.

Waktu pria itu mau menyentuh bahu Kirana yang sedikit bergetar, tangan Kirana menepisnya dengan kasar. Membuat suasana di antara mereka menjadi sedikit canggung.

“Ma..maaf. Saya bukan mau kurang ajar, saya cuma khawatir aja Mbak kenapa-kenapa. Habis lihat saya soalnya, Mbak langsung kaya orang ketakutan,” jelasnya dengan sopan.

“Ga..gapapa.” dalam hati, Kirana menggerutu kenapa pintu lift tak kunjung terbuka. Ia ingin sekali lari dari pria yang berada di sebelahnya, parasnya sangat mirip dengan Dimas. Yup, Dimas suami Ayu di dalam mimpinya.

“Mbak kerja di lantai 10 juga?” tanyanya basa basi. Ya, Raka sudah menilihat nama perusahaan Kirana bekerja dari lanyard yang wanita itu pakai.

Kirana melirik pria itu dengan tatapan sedikit sinis, katakan ia tidak sopan tapi pagi ini rasanya sangat aneh. Ia membenci pria yang mirip sekali dengan Dimas.

“Iya,” jawab Kirana ketus.

“Saya juga, saya arsitek baru.”

Kirana menoleh, menelisik penampilan pria itu yang nampak sopan dan rapih. Ya, agak sedikit menyilaukan mata menurutnya, kemeja dari brand ternama Yves Saint Laurent, dasi yang ia kenakan dari Prada dan juga jam tangan Rolex yang harganya mungkin bisa membeli satu unit mobil. Mungkin dengan melepaskan seluruh barang branded di tubuhnya itu sudah setara dengan gaji Kirana 10 tahun bekerja di firma arsitektur ini.

Kirana heran, kenapa pria itu mau bergabung di firma arsitektur tempatnya bekerja jika mungkin pria di depannya ini mampu membuka firma sendiri. Gayanya saja sudah seperti CEO dalam cerita-cerita fiksi.

“Penggantinya Mas Ilyas?” tebak Kirana.

“Yup, benar sekali. Ah, nama saya—” baru saja Raka ingin memperkenalkan dirinya. Kirana sudah lari duluan masuk ke dalam lift begitu pintu lift terbuka, bahkan Kirana juga menutupnya buru-buru seolah-olah wanita itu memang tidak ingin satu lift dengan Raka.

“Aneh,” gumam Raka begitu lift itu tertutup dan membawa Kirana ke lantai 10.


Hari ini Bagas menyempatkan diri untuk bertemu dengan Asri karena wanita itu yang meminta bertemu walau sebentar, Asri bilang ada yang perlu dia bicarakan pada Bagas. Akhirnya Bagas mengiyakan ajakkan itu dan ia menyempatkan waktunya sebelum ia berangkat ke Surabaya.

Mereka bertemu di cafe yang tak jauh dari rumah Asri berada, kebetulan cafe nya juga searah dengan bandara jadi selepas bertemu Asri, Bagas akan bergegas pergi ke Surabaya. Begitu Bagas tiba di cafe itu, ternyata Asri sudah ada di sana lebih dulu. sudah memesankan minuman untuknya karena di pesan singkat mereka, Asri sempat bertanya Bagas ingin minum apa.

sorry, sudah lama ya?” tanya Bagas begitu ia tiba, ia langsung menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Asri.

“Belum kok.” Asri senyum.

“Kayanya gue gak bisa lama, Sri. 1 jam lagi harus berangkat, takut macet. Lo mau ngomong apa?” Bagas langsung to the point ia bukan menghindari Asri saja tapi kenyataanya memang jalur menuju bandara kerap kali terjadi kemacetan.

“Gas, kamu pergi dari rumah?” tanya Asri hati-hati.

“Pergi?” Bagas mengerutkan keningnya, menurutnya apa yang ia lakukan sekarang bukan pergi dari rumah melainkan pindah. Toh ia pamit kepada kedua orang tua nya meski mereka tidak memberi restu.

“Gue cuma pindah rumah, Sri. Bukan pergi atau kabur.”

“Kenapa, Gas? Kamu gak kasian sama Ibu kamu? Beliau sekarang sakit loh mikirin kamu.”

“Mikirin kok, gue tau Ibu sakit.” nyatanya memang begitu, Bagas tahu Ibu nya sakit dari Kanes. Tapi buat menjenguk atau kembali ke rumah pun rasanya Bagas enggan selama Ibu dan Ayahnya belum bisa menghargai keputusan hidupnya.

“Kamu gak jenguk?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “sorry, Sri. Tapi kalau maksud lo ketemu gue cuma buat ngomongin hal ini, gue rasa belum saat nya. Ya, maksudnya kan. Ini masalah gue sama orang tua gue.”

Asri menghela nafasnya pelan, dia jadi sadar sesuatu kalau kayanya dari dulu dia memang enggak benar-benar mengenal Bagas. Dia bahkan enggak tahu kalau Bagas sekeras kepala ini.

“Singkirin ego kamu sebentar aja, Gas. Dia Ibu kamu loh. Dia cuma mau yang terbaik buat anaknya aja, aku harap setelah kamu kembali dari Surabaya kamu bisa jenguk Ibu kamu.”

“Nanti gue pikir-pikir lagi,” jawab Bagas sekena nya.

Pertemuan mereka enggak lama, karena Bagas juga harus segera ke Bandara. Bahkan pria itu tidak sempat meminum minuman miliknya yang di pesankan Asri, Setelah pertemuan yang hanya sebentar itu saja, Asri langsung menuju rumah Ibu nya Bagas. Semoga dengan membujuk Bagas seperti tadi hati pria itu terketuk untuk menjenguk Ibu nya selepas ia dinas di Surabaya.

Kondisi Ibu nya Bagas sudah membaik, tensinya sudah stabil, namun Ibu masih terus di pantau oleh dokter keluarga dan belum boleh banyak melakukan aktifitas. Begitu Asri datang, Ibu yang sedang merangkai bunga itu tersenyum dan menyambut Asri.

“Cantik nya Ibu sudah datang, sini duduk. Sudah minum teh kamu, Sri?” tanya Ibu.

“Udah kok, Buk. Asri tadi habis ketemu sama Bagas.” Asri duduk di kursi yang bersampingan dengan Ibu, ia mengambil satu tangkai bunga yang ia tidak tahu namanya itu dan memotong tangkainya seukuran dengan bunga-bunga yang sedang Ibu rangkai barusan.

“Ah, apa katanya Sri? Dia mau kembali ke rumah kan?” Ibu penasaran, baru beberapa minggu Bagas pindah tapi Ibu sudah sangat merindukan putra sulung nya itu.

“Dia mau ke Surabaya dulu, Buk. Pelan-pelan ya, Buk. Asri baru bisa bujuk dia buat jenguk Ibu dulu. Nanti bakalan Asri bujuk lagi kok buat kembali ke rumah, Asri janji sama Ibu.”

Hati Ibu menghangat, Ibu seperti mendapatkan harapan baru atas peran Asri. Wanita itu meraih tangan wanita yang sangat ia impikan menjadi menantunya itu dan memeluknya erat.

“Asri, Ibu sangat berterima kasih, Ibu selalu berharap kamu yang menjadi menantu Ibu.”

Asri tersenyum, semakin Ibu menyukainya dan berharap banyak bahwa ia akan menjadi menantunya. Hal itu juga semakin membuat Asri untuk menutup rapat-rapat tentang masa lalunya bersama Raka, ia tidak ingin Ibu atau pun Bagas tahu bagaimana masa lalunya dulu.

Semalaman kemarin, Asri memikirkan cara agar Raka setidaknya tidak muncul seenak jidatnya seperti kemarin di depan rumahnya. Ia juga tidak ingin Raka sampai membuka mulutnya pada siapapun mengenai mereka, Asri mengenal Raka sekali seperti apa pria itu. Ia tidak pernah main-main dengan ucapannya, maka untuk kali ini Asri akan mengikuti keinginan Raka untuk menemui anak mereka demi pria itu tetap menutup mulut.

“Sri?” Panggil Ibu yang berhasil membuat Asri membuyarkan lamunanya.

“Ya, Buk?”

“Ibu tuh sebenarnya mau bertemu sama Kirana deh.”

Asri mengerutkan keningnya bingung, “ma..mau ngapain, Buk?”

“Ya, Ibu mau bicara sama dia buat jauhin Bagas. Ibu tuh mau dia sadar dirinya dan keluarganya siapa, Ibu juga ingin bilang kalau sebenarnya kamu dan Bagas akan segera tunangan.” Ibu sudah lama memikirkan hal ini, ingin mendatangi Kirana dan bicara terus terang pada wanita muda itu untuk menjauhi putra nya. Ya meski selama ini sikap Ibu sudah cukup membuktikan bahwa Ibu menolak Kirana.

“Ibu yakin? Apa enggak kedengaran jahat, Buk?” Menurut Asri memang begitu, ia membayangkan posisinya seperti Kirana. Mungkin ia pun akan sedih dan sakit, di tolak mentah-mentah dan di paksa menjauhi dari pria yang ia sayangi bahkan itu sama orang tua pria itu sendiri.

“Kok jahat sih, Sri. Lebih jahat mana? Dia saja sudah mencuci otak anak Ibu. Gak bisa bayangin Ibu punya menantu seperti dia, makin gak ingat si Bagas sama Ibu tuh nanti.”

Setelah dari rumah Ibu nya Bagas, Asri bergegas ke rumah sakit tempat anaknya dan Raka di rawat. Sebelum masuk ke ruang rawat anaknya itu, ia menarik Raka ke kafetaria sebentar. ada kesepakatan yang harus mereka berdua bicarakan agar Raka tidak membocorkan perihal hubunganya.

“Mau ngomong apa sih?” Tanya Raka agak sedikit sewot.

“Kamu tinggal di Jakarta sekarang?” Tanya Asri tanpa basa basi.

“Iya, kenapa emangnya?”

“Gila, kamu ya? Kamu sengaja ngikutin aku?”

Raka menyeringai, Asri benar-benar tidak berubah ternyata. Sikap egois wanita itu masih sama. “Ge'er amat sih? Aku pindah ke Jakarta karna emang pindah kantor. Lagian kita udah pisah kan, ngapain kamu ngatur-ngatur aku segala mau pindah kemana.”

Asri menghela nafasnya kasar, agak terpancing emosinya setiap kali ia berbicara dengan Raka. “Aku mau kita bikin kesepakatan.”

“Soal apa?” Raka mengerutkan keningnya bingung.

“Aku bakalan sering jenguk Reisaka satu bulan sekali, asalkan. Kamu gak buka mulut ke siapapun itu tentang kita.”

Raka kembali menyeringai, ia memendarkan pandanganya ke arah lain. Enggan melihat Asri dengan sikapnya yang hobi mengatur itu. Kadang, Raka mempertanyakan kenapa ia dulu bisa jatuh cinta dengan wanita seperti Asri.

“Kamu takut kalau calon mertua kamu tau kalau kamu itu janda dan punya anak?”

“RAKA!!!” Pekik Asri, kedua matanya membulat memperingati Raka.

“Atau kamu takut dia tahu kalau kamu pernah hamil di luar nikah?” Tebak Raka lagi.

“Bisa diem gak kamu hah?!” Asri menoleh ke kanan dan kirinya, takut-takut ada orang lain yang mengenalinya dan mendengar ucapan Raka barusan.

“Pengecut kamu, Sri. Perempuan gak tau malu,” ucap Raka tegas, setelah itu ia pergi meninggalkan Asri dari kafetaria. Membiarkan wanita yang dahulu ia cintai itu berjalan dengan langkah terburu-buru di belakangnya.

Asri sempat gugup saat ia melihat Reisaka untuk yang pertama kalinya. Anak itu lahir tanpa Asri yang merawat dan mengasihinya, bahkan Asri sendiri enggak pernah melihat Reisaka waktu bayi. Waktu melihat Ibu nya itu pun, bocah itu terlihat bingung. Namun ia tetap menorehkan senyuman.

“Hai..” Sapa Asri, ia bingung harus mengatakan apa untuk pertama kalinya.

“Ini Mama kan, Pah?” Tanya Reisaka pada Raka yang duduk di sebelahnya.

Pria itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk, “iya, Mama. Papa gak bohong kan waktu bilang Papa bakalan bawa Mama ke Saka?”

Bocah itu mengangguk, Reisaka, mata bocah itu tampak berbinar terang seperti ia menemukan harapan baru. Bertemu dengan wanita yang nelahirkannya meski tidak menjadi Ibu yang benar-benar merawatnya.

“Mama cantik sekali.”

Saat Reisaka mengucapkan itu Asri hanya tersenyum kecil, ia bingung harus menjawab apa, harus bersikap bagaimana dan harus melakukan apa pada anaknya itu. Ia sangat canggung, bahkan tidak ada getaran seorang Ibu saat ia melihat putra nya itu.

Bersambung...

“Pagi, Mbak Kirana,” sapa Raka ramah pada Kirana yang kebetulan juga sedang menunggu lift. Ada wanita lain juga di sebelah Kirana tapi Raka lupa namanya, dia yang termuda di kantor. “Duh, saya lupa nama kamu.”

“Astaga Mas Raka parah banget sumpah, nama gue Almira, Mas. Almira Kusuma Djayanti ih parah banget ahh.” Almira prengat-prengut, ini untuk kesekian kalinya Raka enggak bisa mengingat namanya.

Raka tersenyum dan terkekeh pelan, lucu juga Almira kalau lagi ngomel-ngomel kaya gitu menurutnya. “Iya-iya maaf, ini sekarang udah inget deh beneran.”

Di sebelahnya Kirana cuma melirik Raka dengan sinis aja, dia masih gak mau beramah tamah sama pria itu. Ya anggap Kirana kekanakan hanya karena Raka mirip dengan pria bernama Dimas dimimpinya itu, Kirana jadi benci dan enggan bersikap profesional sama Raka, padahal ya Raka enggak punya salah apa-apa juga sama dia. Bahkan Raka orang yang ramah beda sama Dimas yang arogan.

Begitu lift terbuka, Kirana langsung buru-buru naik. Dia berharap Raka enggak ikut satu lift denganya namun pria itu justru langsung masuk ke dalam lift, mau enggak mau kan mereka jadi satu lift. Waktu gak sengaja lengan Raka nyenggol tangan Kirana, gadis itu melirik Raka dengan sinis.

“Ma..maf Mbak Kirana saya gak sengaja,” Raka gugup. Dia ngerasa kok kalau Kirana kaya enggak suka sama dia, dari bagaimana Kirana meliriknya aja sudah seperti wanita itu sangat ingin membunuhnya.

“Hati-hati lain kali!” jawab Kirana judes.

Almira yang berada di sebelah Kirana jadi menatap wajah wanita itu bingung, pasalnya Kirana enggak pernah sejudes itu sama orang lain. Enggak-enggak, bahkan Kirana itu terkenal ramah banget di kantor. Apa Kirana sedang PMS? Pikir Almira.

“Mbak lagi datang bulan?” bisik Kirana.

“Enggak, kenapa emang?” nada bicara Kirana langsung berubah drastis seperti biasanya kalau ia berbicara dengan Almira.

“Gapapa, jutek banget sama Mas Raka?”

Kirana menghela nafasnya pelan, ia enggan menjawab pertanyaan Almira itu bahkan sampai lift terbuka dan mereka tiba di lantai sepuluh. Waktu Kirana mau duduk di kursinya, ia melihat ke ruangan Raga. Pria itu sudah kembali ke kantor, Raga sudah sembuh sepertinya dan hari ini hari pertama Raga akan melihat Raka.

Kirana jadi penasaran bagaimana reaksi pria itu, sejujurnya Kirana ingin sekali bertanya beberapa hal sama Raga. Namun ia selalu teringat ucapan Bagas, ia gak ingin membuat Bagas cemburu. Apalagi Bagas sedang dinas di Surabaya. Jadi keinginanya itu ia urungkan. Ia ingij menjaga kepercayaan Bagas padanya.

“Itu namanya Pak Raga? Kok kemarin dia gak ada?” kursi Raka itu ada di sebelah Kirana, dan Raka saat ini sedang bertanya sama Kirana.

“Kemarin dia sakit,” jawab Kirana sekena nya.

“Masih muda ya saya pikir udah Bapak-Bapak.” Raka memang sempat mengira jika leader team nya itu Bapak-Bapak berkisar 40-50 tahunan ternyata Raga terlihat lebih muda darinya.

Kirana enggak menjawab lagi, dia justru langsung menyalakan PC miliknya dan mengerjakan pekerjaanya yang sempat tertunda kemarin. Sedang asik fokus pada pekerjaanya, tiba-tiba saja atensi Kirana teralihkan ketika pintu ruangan Raga terbuka. Ia sempat melirik ke arah Raga sebentar, pria itu tengah bicara pada Satya sebentar.

“Kirana?” panggil Raga.

“Ya, Pak?”

“Kamu sudah baca grup? Kenapa progress kita beda sama kontraktor?” tanya Raga dingin.

Kirana langsung terkesiap, “sa..saya periksa dulu, Pak.”

Kirana buru-buru memeriksa grup proyek miliknya dan memeriksa laporan miliknya, selama ini Kirana selalu teliti dalam memasukan volume harian sesuai yang di kirimkan inspektor lapangan padanya. Lalu kenapa kata Raga progressnya bisa berbeda? Pikir Kirana.

“Kayanya yang salah kontraktornya, Pak.”

“Masalahnya yang salah kamu, Na. Periksa sekali lagi, tolong jangan asal input aja sesuaikan dengan bobot rencana. Kan bisa kamu lihat volume yang kamu input benar atau tidak,” ucap Raga tegas, baru kembali ke kantor setelah opname nya hari ini justru hectic karena ada beberapa pekerjaan yang menumpuk.

“Iya, Pak.”

Karena sadar ucapanya dingin pada Kirana, Raga memejamkan matanya. Biar nanti ia bicara lagi pada Kirana jika urusan pekerjaan mereka sudah selesai, ingin kembali lagi ke ruanganya tiba-tiba saja ekor mata Raga melihat Raka yang kini juga menatapnya. Pria itu, pria yang mirip sekali dengan Dimas. Duduk di sebelah Kirana yang sangat mirip dengan Ayu.

Karena sadar di perhatikan, Raka berdiri dan menghampiri Raga. Pria itu mengulurkan tanganya pada Raga dan memperkenalkan dirinya.

“Saya Raka, Pak. Arsitektur yang baru, yang menggantikan Pak Ilyas.”

Raga tidak menjawab, ia hanya terus memperhatikan wajah Raka sampai pria itu sadar jika sapaan tanganya tidak di beri sambutan oleh Raga. Bukan hanya Almira saja yang terlihat bingung menyaksikan itu, tapi Satya juga. Hanya Kirana yang paham apa yang ada di dalam pikiran Raga saat ini.

Namun sedetik kemudian tangan Raka yang tadinya ingin ia tarik kembali karena tidak di sambut oleh Raga akhirnya berbalas, Raga menjabat uluran tangan itu juga membuat Satya dan Almira yang tadinya bingung sekaligus tegang bisa bernafas lega.

“Raga, di lanjut kerjanya.” hanya ucapan itu saja yang keluar dari mulut Raga, karena setelahnya ia kembali ke ruanganya. Kirana tahu bahwa pria itu mungkin masih terkejut jika sosok yang menyerupai Dimas pun ada di kehidupan ini juga.

Sedang kembali fokus pada laporan miliknya tiba-tiba saja ponsel Kirana bergetar, menampakan 2 notifikasi pesan singkat dari dua orang yang berbeda. Yang pertama ada dari Raga yang mengatakan mereka harus bicara saat makan siang nanti dan yang kedua dari Ibu nya Bagas, beliau bilang ingin bertemu dengan Kirana setelah Kirana pulang bekerja.

Saat ini perasaan Kirana bercampur aduk, ia mungkin sudah tahu kemungkinan apa yang akan di katakan oleh Raga saat makan siang nanti. Tapi, apa yang akan di katakan oleh orang tua Bagas saat bertemu denganya? Apa yang membuat beliau ingin sekali bertemu dengan Kirana? Apa ia akan mendapatkan sebuah permintaan maaf? Pikir Kirana.

Siang itu, Kirana memutuskan untuk berbicara dengan Raga di rooftop kantor saja. Kebetulan ia juga sedang tidak berselera untuk makan akhir-akhir ini, apalagi mengingat mimpinya kemarin dan semalam rasanya benar-benar melelahkan dan menyakitkan sekaligus.

“Kamu pasti kaget banget ya, Na. Karena tiba-tiba ada orang lain yang mirip banget sama Dimas?” ucap Raga to the point saat mereka bertemu di rooftop.

Kirana mengangguk, “sangat, Pak. Bersamaan dengan orang yang menyerupai Dimas muncul malam nya itu saya bermimpi sesuatu yang buruk tentang Ayu sampai berdampak sama saya.”

Raga menoleh, ia yang tadi sedang menyesap caramel machiato miliknya itu jadi teralihkan karena ucapan Kirana barusan. “Ada apa sama Ayu?”

Kirana menarik nafasnya berat, rasanya sesak dan sedikit ngilu mengingat bagaimana Ayu di dalam mimpinya. Bahkan sudah dua hari ini sejak bangun dari tidurnya, Kirana selalu merasa kelelahan alih-alih merasa segar. Seperti energinya di kuras habis, entah sampai kapan ia akan merasakan hal seperti ini.

“Ayu mengalami pendarahan, Pak. Dia jatuh karena Dimas, suaminya.”

“Ayu hamil?!” pekik Raga kaget dan Kirana mengangguk.

“Tapi setelah pendarahan dia baik-baik aja walau kondisi kesehatanya memburuk.” Kirana terkekeh sekaligus mendengus setelahnya. “Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa setiap kali lihat Mas Raka saya selalu sensi.”

“Karena dia mengingatkan kamu sama sosok Dimas suaminya Ayu kan?” tebak Raga, karena ia pun juga merasakan hal yang sama. Ia tidak membenci Raka, Raga hanya tidak nyaman saja melihat Raka lama-lama. Padahal secara sifat pun Dimas dan Raka berbeda. Dimas sangat arogan, sedangkan Raka di kehidupan sekarang ini sangat ramah. Bahkan baru beberapa hari bekerja saja karyawan lama sudah dekat dengannya termasuk Satya dan Almira.

Kirana mengangguk sekali lagi, “Bapak sendiri bagaimana?”

“Ajaib nya setelah saya tau akhir hidup Jayden, saya enggak pernah bermimpi lagi, Na. Bahkan setiap saya tidur saya enggak pernah bermimpi apa-apa lagi.”

Selama di rawat di rumah sakit pasca penyakit lambung yang di derita Raga, sehabis bermimpi akhir hidup Jayden yang di bunuh oleh pribumi. Sejak itu lah Raga enggak pernah bermimpi apa-apa lagi, Jayden tewas adalah mimpi terakhir nya. Sebenarnya Raga sempat berpikir jika Kirana sudah mengetahui akhir hidup dari Ayu, kemungkinan juga mimpi berlarut Kirana akan segera berakhir.

Kening Kirana berkerut, ia masih berusaha mencerna kata-kata Raga barusan meski kalimat yang di ucapkan bukanlah hal yang sulit di cerna. Kirana hanya berpikir kenapa semuanya datang dan pergi secara tiba-tiba.

“Ba..bapak serius? Enggak pernah bermimpi apapun tentang Jayden?”

Raga mengangguk, “saya sempat berpikir, kalau mungkin kamu akan berhenti bermimpi tentang Ayu juga saat kamu sudah tahu akhir hidup Ayu, Na. Kamu harus kasih tau saya setelahnya ya, biar kita bisa cari tahu maksud dari mimpi kita itu apa.”


Di tengah-tengah hectic nya pekerjaan Bagas di Surabaya hari ini, ia merogoh kantong miliknya karena ponselnya berdering. Bagas yang tadinya sedang memantau proses pengecoran itu menyingkir sebentar, ia masuk ke dalam gedung kontraktor dan melepas helm proyeknya di sana. Itu telfon dari Kanes adiknya.

“Hallo, Nes. Kenapa?” Bagas menarik kursi dan duduk di sana.

Mas Bagas masih kerja? Masih di Surabaya?” Kanes langsung membondonginya dengan pertanyaa, hari-hari di rumah tidak ada Bagas agak sedikit membuat Kanes kesepian. Biasanya Kanes suka bercerita banyak hal pada Bagas termasuk tentang kuliah dan juga hubunganya dengan pacarnya itu.

“Iya nih, lagi mantau pengecoran. Ada apa?”

pulangnya kapan, Mas?

“Hmm.. Mungkin besok kalo enggak mundur lagi,” Bagas terkekeh, ia membuka MacBook miliknya untuk memeriksa surel yang di kirimkan Raga padanya.

dih masa gitu? Bisa mundur-mundur melulu.” harusnya Bagas pulang hari ini, namun sempat ada kendala kerusakan mesin pengecoran yang membuat Bagas akhirnya mengurungkan niatnya untuk pulang, ia harus memantau dulu dan memastikan jika semuanya berjalan dengan baik.

“Ada apa sih emang? Mau malak nih pasti?”

Dih.. Enggak ya, Kanes cuma mau nagih janji Mas Bagas aja, katanya mau ngasih tau di mana Mas Bagas ngontrak rumah?

Bagas terkekeh, ia sempat menjanjikan hal itu pada Kanes. Memberitahu dimana ia tinggal, namun tetap merahasiakannya pada kedua orang tua nya. “Yaudah, pulang dari Surabaya, Mas kasih tau. nanti kamu main ya.”

awas aja bohong!!” ancam Kanes. “eh iya, Mas. Selama Mas enggak di rumah, Mbak Asri sering banget ke rumah loh buat jagain Ibu.

“Ibu masih sakit emangnya?”

udah sembuh kok, Mas. Ya mungkin Mbak Asri mau make sure aja kali ya. Mereka dekat banget, Mbak Asri baik sih. Cuma gak tau kenapa aku ngerasa canggung aja kalau sama dia. Ibu sama Ayah juga kayanya masih rencanain pertunangan Mas sama Mbak Asri,” Jelas Kanes yang membuat Bagas tidak habis pikir.

Orang tua nya tentu saja masih rajin mengiriminya pesan, mengatakan padanya untuk segera pulang dan bicara pada mereka. Keputusan mereka bulat untuk menjodohkan Bagas dan Asri, bahkan setelah Bagas pergi dari rumah sekalipun itu tidak melunturkan niat mereka.

Bagas menghela nafasnya, ia mengusap wajahnya gusar. Kadang, ada malam dimana Bagas selalu memikirkan cara bagaimana membuat kedua orang tua nya mengerti dirinya. Setidaknya menghargai pilihan hidupnya, Asri memang baik. Tapi Bagas tidak mencintainya. Baginya Asri masih orang asing.

“Mas tuh kadang bingung gimana caranya bikin Ibu sama Ayah ngerti.”

Di seberang sana Kanes menghela nafasnya pelan, “kalau menurut Kanes, mungkin Mas bisa mulai bicara dulu ke Mbak Asri. Kasih pengertian ke dia kalau Mas enggak bisa menikah sama dia, nurutin apa kata Ibu sama Ayah. Mungkin dari situ nanti Mbak Asri bisa bantu bicara ke Ibu, kan mereka dekat banget tuh.

Bagas menunduk, Kanes benar. Selama ini ia memang belum pernah bicara serius sama Asri mengenai hal ini. Bisa di bilang ia bisa memakai pengaruh Asri untuk membuat Ibu nya mengerti, mungkin ia bisa coba cara ini. Selama ini ia bertemu dengan Asri pun hanya bicara seperlunya saja.

“Yaudah, nanti Mas coba deh ya.”

Setelah menutup panggilan dari Kanes, Bagas sempat membalas pesan dari Kirana kemudian melanjutkan pekerjaanya lagi. Fokusnya terbagi, memikirkan cara nya berbicara dengan Asri dan mencari waktu yang tepat. Sekaligus memikirkan masa depannya bersama dengan Kirana.

Bagas ingin akhir tahun ini ia bisa membawa orang tua nya untuk melamar Kirana, ya itu pun jika pada akhirnya keduanya merestui. Tapi kalau pun tidak, kemungkinan Bagas akan melamar Kirana sendiri membawa kerabatnya yang lain tanpa kedua orang tua nya. Tapi jauh dari pada itu, ia mungkin harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai orang tua nya pada orang tua Kirana. Jika sudah seperti ini, apa nantinya Ibu nya Kirana akan tetap merestuinya? Atau justru meragukan kebahagiaan putri sematawayangnya itu pada Bagas?


Samarang, 1898.

Setelah pulih pasca pendarahan beberapa hari yang lalu, Ayu meminta di antar pulang ke Samarang oleh Suaminya itu. Ayu berencana untuk melahirkan di Samarang, ia ingin ada Ibu nya saat melahirkan nanti. Mengenai kondisi kesehatan Ayu yang kerap kali naik turun, Dimas sendiri khawatir. Apalagi akhir-akhir ini Ayu sering mengeluhkan kalau ia sesak nafas.

Dimas sudah meminta bantuan pada rekan dan beberapa kolega Ayahnya yang kebetulan bekerja di rumah sakit orang Belanda, namun saat ini belum di temukan obat untuk penyakit yang di derita Ayu. Yang wanita itu andalkan saat ini hanyalah meminum minuman herbal saja untuk mengurangi sesak nafas yang di deritanya.

Pagi itu saat dokar yang menjemput Dimas dan Ayu di stasiun tiba di kediaman rumah Tuan Gumilar, Dimas membantu Ayu turun dari dokar yang menjemput mereka. Ayu tersenyum melihat rumah yang sudah lama tak ia kunjungi itu.

nduk!” pekik Ibu, wanita itu menghampiri Ayu dan memeluk putri sematawayangnya itu.

Ayu juga memeluk Ibu, rindu sekali dengan Ibu nya itu. Harumnya, sentuhan lembut tanganya dan juga masakannya. “Ayu rindu sekali sama Ibu.”

Dimas yang melihat itu hanya mematung, sesekali matanya berpendar pada para pekerja di rumah mertuanya itu. Tak ia jumpai Adi sama sekali, pria pribumi miskin itu tidak nampak di sana. Padahal Dimas tahu kalau Adi bekerja di rumahnya Tuan Gumilar alih-alih di kebun sejak ia pukuli.

“Kita masuk ke dalam, Yuk? Ibu sudah masak untuk kalian.” Ibu tersenyum, mengusap perut buncit Ayu penuh kasih sayang.

Ketiga nya masuk ke rumah Ayu, namun saat masuk mata Ayu berpendar ke sekitar pekarangan rumahnya mencari kemana Adi. Ia ingin sekali bertemu dengan pria itu, ingin sekali tahu kabarnya bagaimana.

“Cari siapa?” tanya Dimas, nadanya terdengar dingin ketika ia memergoki Ayu seperti tengah mencari seseorang.

Ayu hanya menggeleng, kemudian tersenyum kikuk. Ia langsung mengapit lengan Suaminya itu dan membawa Dimas masuk ke rumahnya.

Bersambung...

Pagi itu, Ayu bangun lebih dulu dari Dimas. Dia sempat membantu Ibu di dapur alakadarnya, perutnya yang makin membuncit serta pernafasan Ayu yang tidak begitu baik membuatnya mudah sekali lelah. Ayu duduk di amben dekat pintu belakang rumahnya, sampai akhirnya Ibu nya Adi mengantarkan jamu untuk Ayu minum.

“Buk, ngapunten, Mas Adi ten pundi? Ayu enggak melihat dia dari kemarin.” biasanya Adi akan membawa beberapa hasil kebun ke rumah untuk persediaan pangan di dapur, tapi sedari kemarin Ayu enggak melihat kehadiran pria itu.

“Adi sedang sakit, Raden Ayu.” Semenjak di pukuli oleh Dimas waktu itu, kondisi kesehatan Adi memang naik turun. Telinga pria itu sudah tidak bisa lagi mendengar dan terkadang, Adi sering mengeluhkan sakit kepala. Seperti saat ini, pria itu izin tidak bekerja karena kepalanya yang sangat sakit.

“Sakit apa, Buk?” Mendengar hal itu, Ayu meneggapkan duduknya, ia khawatir pada Adi.

“Sakit kepala, Raden Ayu.”

“Ayu boleh datang ke rumah? Ayu ingin melihat keadaan Mas Adi.”

Ibu nya Adi itu tampak menimang-nimang jawaban, wajahnya sedikit bingung dan takut. Seperti ia tidak enak jika menolak permintaan Ayu tapi disisi lain, Ibu juga khawatir jika Suami Ayu tahu kalau Ayu menjenguk Adi. Adi bisa dalam bahaya lagi.

“Buk?” Panggil Ayu, wanita itu memegang tangan Ibu nya Adi dengan lembut. “Ayu hanya ingin melihat Mas Adi.”

“Mbok bisa kirimkan salam pada Adi jika Raden Ayu mengizinkannya.” Hanya itu kalimat yang Ibu nya Adi ucapkan sebagai bentuk penolakan halus, mungkin dengan menyampaikan salam untuk Adi dari Ayu. Ayu bisa tahu jika ia tidak mengizinkannya menjenguk Adi.

“Kali ini saja, Buk. Ayu mohon.” Ayu mengambil satu tangan Ibu nya Adi dan menganggamnya.

“Mbok bukanya ndak mau ajak Raden Ayu ke rumah, Mbok takut kalau Raden Mas tahu, Raden Ayu akan di marahi.” Mau tidak mau Ibu jujur pada akhirnya, hal itu lah yang memang di takuti oleh Ibu. Ibu tidak ingin Ayu dan Dimas bertengkar hanya karena Ayu menjenguk Adi yang sedang sakit.

“Enggak, Buk. Mas Dimas masih tidur. Ayu mohon, Buk. Ayu perlu bertemu Mas Adi,” ucap Ayu lirih penuh permohonan.

Karena tidak tega melihat Ayu yang memohon, akhirnya pagi itu Ibu mengantar Ayu ke rumahnya. Gubuk tua yang di penuhi ranting kayu dengan berbagai ukuran di depannya itu membuat Ayu tampak prihatin dengan kondisi rumah Adi. Ia duduk di amben depan rumah Adi, sementara Ibu membangunkan Adi yang masih tidur di dalam rumah.

Rumah Adi itu kecil, hanya berukuran 2x3 m² saja. Tidak ada dapur, karena Ibu biasanya memasak di depan rumah dengan tungku kayu. Kamar mandi pun tidak ada, biasanya Adi dan kedua orang tua nya akan pergi ke sumur atau sungai di dekat rumah untuk mandi dan buang air. Memang semiskin itu keluarga Adi.

Sedang melamun akan nasib Adi, Ayu menoleh ke asal suara pintu kayu yang berbunyi jika seseorang membukanya. Itu Adi, pria jangkung yang saat ini nampak kurus itu tersenyum pada Ayu, wajahnya pucat dan ia duduk di bawah. Di atas tanah alih-alih duduk di amben bersama dengan Ayu.

“Duduk di atas, Mas. Jangan di bawah,” Ayu bangun, ia membawa tangan Adi untuk bangun dan duduk di atas amben bersama dengannya.

“Di bawah saja, Raden Ayu.” Adi tidak mendengar yang Ayu ucapkan, ia hanya bisa sedikit demi sedikit membaca gerak bibir wanita itu. Kedua telinganya masih tidak bisa mendengar apapun.

Karena tidak ingin memulai perdebatan, akhirnya Ayu pun ikut duduk di atas tanah. Ia merasa tidak nyaman duduk di atas amben sendirian sementara Adi di bawah. Untungnya Ayu membawa secarik kertas dan pena untuknya berkomunikasi dengan Adi, Ayu sudah tahu jika pendengaran Adi terganggu akibat ulah Suaminya.

Ayu juga sudah menyuruh Dimas untuk bertanggung jawab membawa Adi ke dokter meski Adi dan kedua orang tua nya terus menolak. Sampai hari ini pun, Ayu selalu di liputi perasaan bersalah. Karena dirinyalah Adi bisa kehilangan pendengarannya.

Adi masih tertunduk, wajahnya yang pucat itu seperti enggan menatap Ayu meski dalam lubuk hatinya ia sangat merindukan wanita ringkih itu. Karena hening yang tercipta membuat Ayu tidak nyaman, ia mulai menulis sesuatu di atas kertas lusuh yang ia bawa.

“Mas Adi apa kabar?”

Dalam hati Adi membaca tulisan yang di berikan Ayu itu, pria pribumi itu tersenyum. “Baik, saya baik-baik saja, Raden Ayu.”

Ayu tersenyum, ia kemudian menuliskan sesuatu di kertas itu lagi. “Ayu senang bisa bertemu dengan Mas Adi lagi.”

“Saya juga senang bisa melihat Raden Ayu lagi.” Adi tersenyum, namun tidak lama kemudian senyum itu sirna. Mengingat ada kabar duka sekaligus amanat yang harus Adi sampaikan pada Ayu. Ini sudah cukup lama, sampai Adi pernah berpikir mungkin ia takan bisa menyampaikan hal ini pada Ayu.

Karena melihat perubahan pada raut wajah Adi, Ayu kembali menulis sesuatu pada kertas yang sedari tadi ia pegang itu. “ada apa, Mas Adi?”

Begitu membaca surat itu, Adi termenung sebentar. Dia ingin memberitahu pada Ayu mengenai kebun melati yang di buat oleh mendiang Jayden, kemudian memberi tahu wanita itu tentang kabar Jayden. Tapi memberitahunya pun Adi tidak tega.

“Mas Adi?” panggil Ayu, ia menepuk pundak Adi pelan dan membuyarkan lamunan pria pribumi di depannya itu.

“Saya mau memberitahu sesuatu tentang Sir Jayden pada Raden Ayu.” walau begitu, Adi tetap mengatakannya. Ia tidak tahu kapan Ayu akan kembali lagi ke Samarang, ia takut Ayu tidak lama di Samarang. Ada banyak ketakutan di kepala Adi, termasuk ketakutan jika ia tidak sempat menyampaikan amanat Sir Jayden termasuk tentang kabar pria Belanda itu.

Ayu menuliskan sesuatu di kertas yang ia pegang, ia menuliskan. “Tentang apa? Sir Jayden bilang apa?

Lalu ia berikan lagi kertas itu pada Adi, Adi membacanya. Namun setelahnya ia masuk ke dalam rumahnya, membawa sebuah kertas lusuh yang sudah menguning di dalam genggam tangan besarnya. Dahi Ayu mengerut, ia bingung.

“Ini apa?” gumamnya, ia lagi-lagi lupa jika kedua telinga Adi sekarang tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ayu menggeleng pelan, kemudian menuliskan ucapanya barusan pada secarik kertas yang ia bawa tadi.

“Ini alamat kediaman asisten Residen Samarang. Jika Raden Ayu memiliki waktu luang, datanglah ke kediaman asisten Residen. Bertemulah dengan seorang Indo bernama Jacob De Houtman. Dia kawan Sir Jayden,” jelas Adi, Adi sudah bertemu dengan Jacob. Pria itu juga yang memberitahu tentang kematian Jayden padanya sekaligus memberikan surat dari Jayden untuk Ayu.

Perasaan Ayu mencelos, hatinya sakit dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tenggorokan wanita itu tercekat, ia takut mendengar sesuatu yang buruk terjadi pada pria yang di cintainya itu. Jadi ia tuliskan sesuatu pada Adi di sana.

ada apa? Kenapa aku harus bertemu dengan Jacob? Kemana Sir Jayden memangnya?” Ayu menyerahkan tulisan itu pada Adi, Adi hanya menggeleng pelan. Sungguh ia tidak tega, biarkan Ayu tahu dari Jacob sendiri. Ia tidak sampai hati melihat wanita yang ia cintai itu menerima kabar tidak baik dari pria yang di cintainya.

“Ada surat dari Sir Jayden, tapi baca surat ini setelah Raden Ayu mendapatkan penjelasan dari Tuan Jacob saja ya.” Adi memberikan surat itu pada Ayu, surat yang kertasnya sudah menguning. Bahkan tinta nya sudah memudar karena terkena air, Ayu menebaknya mungkin sisa air hujan yang menetes pada celah dinding rumah berbahan bilik itu. Adi suka bercerita atap rumahnya sering bocor jika hujan menerpa, begitu juga dinding rumahnya.


Jakarta, 2025.

Begitu turun dari bus yang di tumpanginya, Kirana enggak langsung masuk ke cafe tempat ia dan Ibu nya Bagas bertemu. Kirana berkaca pada layar ponselnya dahulu untuk memastikan jika make up nya tidak berlebihan dan juga tidak berantakan, jantung nya berdegup tidak karuan. Kirana gugup, karena ini pertama kalinya Ibu nya Bagas mengajaknya bertemu.

Kirana juga menyempatkan diri membeli bucket bunga matahari, Ibu nya Bagas itu suka banget sama bunga. Kirana tahu ini dari Bagas langsung, begitu sudah memastikan dirinya rapih. Ia melangkah dengan penuh percaya diri masuk ke dalam cafe tempatnya dan Ibu nya Bagas bertemu.

“Untuk berapa orang, Kak?” tanya pelayan cafe tersebut begitu Kirana masuk.

“Untuk dua orang ya, Mbak.”

“Oke, di sebelah sini ya, Kak. Untuk dua orang.” pelayan itu mengantar Kirana ke kursi yang sudah di sediakan, pas untuk dua orang, untuknya dan juga Ibu nya Bagas. Letaknya juga sangat strategis, di dekat jendela. Jadi Kirana bisa melihat ke luar cafe yang menampakan lampu-lampu kota yang mulai menyala karena senja.

Seharusnya pertemuan ini berlangsung kemarin, tapi Kirana enggak bisa karena dia harus lembur untuk memperbaiki progress pengerjaan proyek yang sedang ia pegang. Oiya, Bagas juga sudah dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke Jakarta. Bagas enggak tahu kalau Kirana bertemu dengan Ibu nya hari ini karena Ibu sendiri yang meminta Kirana untuk tidak bercerita pada Bagas.

Tidak lama kemudian, pintu cafe terbuka. Kirana tersenyum karena mendapati wanita yang sudah melahirkan Bagas ke dunia itu datang. Pelayan yang tadi mengantar Kirana juga mengantarkan Ibu nya Bagas menuju kursi Kirana.

“Sore, Buk.” Kirana ingin menyalami Ibu nya Bagas, namun wanita itu langsung duduk dan enggan mengulurkan tanganya untuk Kirana salami.

Kirana meringis, hatinya agak sakit namun ia masih bisa memaklumi. Ia tidak boleh menyerah pada hubungan ini, ia yakin suatu hari Ibu nya Bagas bisa menerima dirinya. Ia hanya perlu sedikit usaha dan keteguhan hati untuk bisa merayu Ibu nya Bagas.

“Ibu mau pesan apa? Biar Kirana pesanin, Buk.”

Ibu menghela nafas, memperhatikan penampilan Kirana hari ini dari ujung kepala hingga kakinya. Seperti tengah menilai wanita yang seusia dengan putra sulungnya itu, dandanan Kirana khas karyawan kantoran biasa menurutnya.

“Tidak usah repot-repot Kirana, saya enggak lama,” jawab Ibu dingin. Kirana hanya mengangguk, ia juga tidak memesan apapun. Sungkan jika hanya ia yang memesan makanan atau minuman. “Langsung saja Kirana, niat saya bertemu kamu adalah untuk membicarakan hubungan kamu dengan Bagas.”

Kirana yang tadinya menunduk itu kini memberanikan diri menatap Ibu nya Bagas, “ada apa, Buk? Apa enggak sebaiknya kita bicara sama Bagas juga?”

Kirana cuma berpikir jika ini tentang hubunganya dengan Bagas, bukankah Bagas juga harus tahu, bukan?

“Oh enggak perlu Kirana, Bagas enggak perlu tahu. Maksud kedatangan saya bertemu kamu adalah, saya ingin memberi tahu soal pertunangan Bagas dengan Asri.”

Deg...

Hati Kirana mencelos, ia sudah tahu jika Bagas di jodohkan dengan Asri. Tapi dia sama sekali tidak mengetahui tentang pertunangan itu. “Maksud Ibu?”

“Begini Kirana, sebenarnya sebelum Bagas berangkat ke Surabaya harusnya Bagas dan Asri bertunangan. Tapi Bagas enggak datang ke acara itu, dia lebih memilih kamu. Pindah dari rumah, enggak mengunjungi orang tua nya, jadi anak pembangkang itu semua karena kamu.” Ibu benar-benar merasakan perubahan drastis sejak Bagas mengenalkan Kirana ke rumah mereka. Meski sudah berpacaran cukup lama, Ibu baru merasakan Bagas berubah sejak Kirana di perkenalkan pada keluarga mereka. Mungkin dampak penentangan hubungan mereka, makanua Bagas jadi seperti ini.

“Saya juga heran, apa yang kamu kasih ke Bagas sampai dia menjadi anak pembangkang seperti itu.” Ibu nya Bagas itu membuang pandanganya ke arah lain, melihat hiruk pikuk kota Jakarta menjelang magrib hari itu yang nampak sibuk.

“Saya minta sama kamu, Kirana. Dengan penuh hormat sebagai sesama wanita. Suatu hari kamu akan menjadi seorang Ibu, kamu akan merasakan sakit jika anakmu membangkang ucapanmu dan lebih memilih orang lain. Saya minta tolong ke kamu Kirana, jauhi Bagas. Biarkan dia bersama pilihan saya dan juga Ayahnya.”

Kirana berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh, ia menunduk. Meremas dress yang ia pakai hari itu dengan perasaan berkecamuk. Ia merasa dunia benar-benar jahat padanya, di saat ia memiliki sandaran. Semesta seperti berusaha keras memisahkanya dari Bagas.

“Ibu, boleh saya tahu kenapa Ibu segasuka itu sama saya? Apa saya pernah berbuat salah sama Ibu?” setidaknya Kirana harus mengetahui kenapa kedua orang tua Bagas sangat membencinya, mungkin dengan itu ia bisa menjadi lebih tahu diri atau mungkin ia bisa memperbaiki hal yang di benci kedua orang tua Bagas itu.

“Kirana seperti yang kita sama-sama tahu kalau menikah itu butuh kesetaraan, bukan? Apa kamu merasa setara dengan Bagas? Saya tahu, orang tua kamu dulu sangat berpengaruh. Punya perusahaan lampu kan? Tapi sayangnya itu semua dulu, Kirana.”

Air mata Kirana yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh, jadi alasan orang tua Bagas sangat membencinya adalah karna orang tua nya bangkrut? Pikir Kirana.

“Karena orang tua saya sudah bangkrut, Buk?”

Ibu menghela nafasnya sekali lagi, sama sekali hatinya tak bergetar melihat Kirana menangis. Beliau justru merasa puas, dengan ucapanya itu Ibu berharap Kirana akan lelah dan menjauhi Bagas.

“Bapakmu bunuh diri karena depresi kan?” tanya Ibu yang membuat hati Kirana terasa di remas dari dalam. Ibu mengingatkanya pada kejadian traumatis sepanjang hidupnya itu.

“Keluarga kami adalah keluarga yang menjunjung tinggi mertabat dan keutuhan keluarga Kirana. Hal itu yang membuat saya enggak pernah setuju Bagas berhubungan dengan kamu, belum lagi hutang Bapakmu banyak kan?”

“Tapi saya enggak pernah melibatkan Bagas dalam masalah keluarga saya, Buk. Termasuk hutang Bapak saya,” jelas Kirana. Ia berusaha membela dirinya. Semua hutang Bapaknya, ia dan Ibu nya sendiri yang berusaha melunasinya.

“Iya saya tahu Kirana. Dan itu enggak mengubah cara pandang saya terhadap kamu, maaf Kirana. Saya mohon ya, kembalikan Bagas pada keluarganya. Saya ingin Bagas menikah dengan putri dari keluarga yang memiliki reputasi yang baik.”

Bersambung...

Setelah pulang bertemu dengan Ibu nya Bagas, di perjalanan pulang Kirana hanya bisa melamun. Ia berusaha untuk menahan air matanya yang terus menerus menyeruak ingin segera di tumpahkan. Kata-kata dari Ibu nya Bagas terus terngiang di kepalanya, ia tidak lagi bertanya-tanya kenapa orang tua nya Bagas tidak menyukai nya.

Tapi disisi lain, hatinya juga sakit. Ia tentu tidak menginginkan hidup yang seperti ini. Tidak ada satu orang pun yang ingin berada di posisinya, setelah ini, Kirana masih bingung bagaimana hubunganya dengan Bagas, ia tidak yakin bisa menjauhi pria itu meski perlahan-lahan. Ia sangat menyayangi Bagas.

Katakan ini salahnya menjadikan Bagas sebagai sandaran hidupnya, ia terlalu menggantungkan Bagas dalam kebahagiaanya. Dengan langkah gontai, Kirana membuka pagar rumahnya. Ia agak sedikit terkejut karena mendapati mobil Bagas terparkir disana. Pria yang ia pikirkan sepanjang perjalanan pulang itu tengah duduk di teras bersama dengan Ibu nya.

Begitu melihat Kirana, pria itu berdiri. Tersenyum menyambut kedatangan wanita yang sedari tadi ia tunggu, sengaja Bagas tidak memberi tahu Kirana jika ia pulang ke Jakarta hari ini.

“Kok lesu banget, nduk? ini loh dari tadi Bagas nunggu kamu,” ucap Ibu begitu Kirana menyalaminya.

Bagas juga memberikan tanganya untuk Kirana salami namun Kirana hanya tersenyum sembari menepis tangan itu penuh gurau. Mereka sudah biasa seperti itu, Bagas hanya bercanda dan Kirana menanggapinya juga dengan candaan.

“Apaan sih.” Kirana terkekeh, “Kirana tadi habis meeting sama Mas Satya, Buk. Makanya lama.” Alibi nya, Kirana berharap Bagas tidak akan bertanya pada Satya karena kenyataanya ia bertemu dengan Ibu nya Bagas alih-alih meeting dengan Satya.

“Yasudah, Ibu masuk ke dalam ya. Temani Bagas dari tadi dia nungguin kamu.” Ibu mengusap pundak putri sematawangya itu.

Kirana hanya mengangguk, sepeninggalan Ibu. Kirana duduk di kursi yang bekas Ibu tempati tadi dan menghela nafasnya pelan, bingung harus bereaksi seperti apa pada Bagas. Ia tidak membenci Bagas atau pun ingin melampiaskan kekesalanya terhadap Ibunya pada Bagas, ia tidak sampai hati melakukan itu. Bahkan Bagas sendiri pun tidak tahu kalau Ibu nya bertemu dengannya hari ini.

“Kok enggak ngasih tau aku kalau pulang hari ini?” Tanya Kirana membuka percakapan di antara mereka.

“Sengaja biar surprise.” Bagas tersenyum. “Aku bawain oleh-oleh buat kamu sama Ibu.”

Kirana mengerutkan keningnya, “bawa apa?”

“Lapis Surabaya sama tahu tek,” Bagas tersenyum. “Di makan ya.”

Kirana hanya mengangguk pelan, tidak menatap Bagas lagi. Ia hanya memperhatikan lampu taman di rumahnya, hatinya masih sangat kacau. Meski ia sangat merindukan Bagas.

“Sayang?” Panggil Bagas, membuat Kirana menoleh.

“Hm?”

“Kok diam?”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, capek aja.”

“Kamu udah makan?”

“Udah, tapi kalau kamu mau ngajak makan. Aku kayanya masih sanggup buat nampung makanan,” Kirana senyum. biarkan kali ini ia egois, ia ingin menumpahkan seluruh rindunya pada Bagas malam ini. Urusan menjauhi Bagas seperti yang di minta orang tua nya itu biarlah ia pikirkan lagi nanti.

“Mau makan apa, non?” Bagas berdiri dan berjongkok di depan Kirana yang masih duduk di kursi kayu teras rumahnya. Pria itu menggenggam tangan Kirana dan mengusap punggung tanganya dengan ibu jarinya.

“Makan nasi bebek yuk? Kayanya enak deh, aku lagi capek banget. Pengen makan yang pedas-pedas.” Kirana berpikir mungkin dengan melampiaskan kesedihanya dengan memakan makanan pedas bisa sedikit mengobati hatinya.

“Boleh, pamit dulu sama Ibu gih.”

Setelah berpamitan sama Ibu nya Kirana, kedua nya langsung melesat untuk ke tempat warung bebek bumbu hitam pinggir jalan langganan mereka berdua. Untuk malam itu, Kirana banyak sekali mengobrol dengan Bagas ketika sedang makan. Bertukar hari-hari mereka kala mereka tidak bertemu, untuk sejenak Kirana melupakan sakit hati nya. Ia lega bisa melihat senyum Bagas lagi, senyum pria itu seperti pelipur lara bagi nya.

“Mas, es teh nya satu lagi ya,” ucap Bagas pada pemilik warung itu.

Kirana yang masih asik memakan bebek bumbu hitam itu menoleh, Bagas sudah bercucuran keringat. Pria itu memang tidak kuat makan pedas, Bagas sudah menghabiskan 2 gelas es teh manis.

Kirana terkekeh, “kamu tuh kalo gak kuat pedas tadi bisa pesan bebek goreng loh, sayang.”

“Enggak, lagi kepengen bebek bumbu hitam nya.”

“Tapi jadi kepedasan kan?”

“Ya dikit, abis liat kamu makan lahap banget kaya gitu aku juga jadi kepengen.” begitu penjaga warung nya mengatarkan es teh pesanan Bagas, pria itu langsung meminumnya buru-buru hingga setengah gelas nya.

“Kamu meeting apa sama Mas Satya tadi, sayang?” tanya Bagas tiba-tiba, pria itu melanjutkan makannya lagi.

“Bukan meeting yang gimana-mana sih, aku cuma minta bantuin buat cek laporan aku aja. Kemarin ada yang salah terus di tegur deh sama Pak Raga.”

“Tapi udah beres kan?”

“Udah kok.”

Bagas senyum, sebenarnya malam ini ia ingin sekali mengajak Kirana ke Bukit Bintang. Ia sudah menyiapkan film yang bisa mereka tonton dalam mobil, ya seperti camping tapi di dalam mobil gitu. Itu juga yang menjadikan alasan mobil mini cooper Bagas, kursi belakangnya ia lepas dan di gantikan dengan karpet bulu.

“Kamu capek gak hari ini?” tanya Bagas.

Kirana menggeleng pelan, “enggak, kenapa?”

“Ke Bukit Bintang, yuk? Kita camping disana. Nanti beli bandrek sama jagung bakar di jalan.”

Kirana enggak langsung menjawab, ia justru memperhatikan air kobokan yang ada di sebelah piringnya. Ia jadi kepikiran, jika memang suatu hari ia harus menjauhi Bagas. Jika Bagas terus membuat kenangan manis padanya seperti ini, kelak kenangan ini akan sangat menyakitkan jika akhirnya mereka tidak bersama.

“Sayang?” panggil Bagas membuyarkan lamunan Kirana, sebenarnya sejak Kirana pulang Bagas ngerasa pacarnya itu agak sedikit pendiam. Tapi Bagas cuma mikir mungkin Kirana sedang lelah saja, mengingat wanita itu bilang ia baru saja selesai meeting.

“Hm?”

“Ngalamun sih, mau gak? Mumpung besok weekend.

“Kamu yang telfon Ibu ya?”

“Aihhh siap sayang.” Bagas terkekeh, dia senang banget akhirnya Kirana mau ia ajak ke Bukit Bintang.

Di perjalanan menuju Bukit Bintang, mereka sempat berhenti di jalan untuk membeli kacang rebus,jagung bakar dan bandrek. Udaranya dingin karna Bukit Bintang memang berada di daerah pegunungan, begitu sampai di sana. Tidak banyak orang yang camping, dari bawah sini Bagas dan Kirana bisa melihat di bukit sana hanya ada beberapa lampu dari tenda yang menyala.

Mereka gak nanjak ke bukit, mereka memutuskan untuk bersantai di mobil saja. Menikmati pemandangan lampu kota malam itu, di temani angin sejuk dan juga udara yang masih bersih. Langit malam itu juga indah, ada bintang dan cuacanya terang tidak hujan.

“Mau nonton apa, sayang?” tanya Bagas, ia membuka MacBook miliknya dan membuka aplikasi untuk menonton film.

“Apa ya? Hmm..” gumam Kirana, ia memperhatikan layar MacBook itu sembari menggulirnya untuk mencari film apa yang cocok mereka tonton. Kirana enggak suka genre horor, dia lebih menyukai film dengan tema-teman slice of life menurutnya, banyak pelajaran hidup yang bisa di ambil dan terkadang sangat relate dengan dunia nyata.

“Ini aja ya?” Kirana menunjuk sebuah drama alih-alih film.

“Drama?” Bagas mengerutkan keningnya, ia membaca judul drama itu. Pemeran wanita dan pria nya sangat tidak asing di matanya. “When Life Gives You Tangerines? Apa nih, ketika hidup memberimu jeruk keprok?”

Mendengar celetukan Bagas yang terkesan asbun itu bikin Kirana terkekeh, ia menepuk pundak pria itu dengan gemas. “Iya tapi gak usah di translate ke bahasa Indonesia juga, jadi aneh kedengeranya tau.” protesnya.

“Ini pemeran ceweknya yang penyanyi itu bukan sih, Sayang? Kalau enggak salah Almira pernah nonton konser nya ya?” Almira memang pernah menonton konser banyak idol, salah satunya adalah konser dari pemeran wanita di drama itu.

“Iya, namanya IU cantik ya?”

“Cantikan kamu ah,” Bagas mulai memutar film nya, ia mengubah posisinya dari duduk menjadi tiduran. Ia menaruh kepala nya di atas paha Kirana sembari sesekali mengupas kacang.

Tidak ada obrolan saat drama itu di putar, hanya sesekali celetukan Bagas saja yang mengomentari akting dari para aktor dan aktris di drama itu. Drama yang sangat melankolis itu bahkan jauh lebih menyedihkan perasaan Kirana hari ini.

Di tengah-tengah episode 4, Kirana menitihkan air matanya. Drama itu memang sedih, tapi ia bukan menangis karena alur cerita drama nya. Melainkan menangisi dirinya sendiri, Bagas masih belum sadar Kirana menangis sampai akhirnya air mata Kirana jatuh tepat ke pipi Bagas.

Membuat pria itu menoleh ke arah wanitanya dan buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk, “sayang, kenapa?”

Kirana terkekeh, hatinya perih tapi ia tidak ingin membuat Bagas khawatir. “Gapapa, drama nya sedih aja.”

“Kirain kenapa,” Bagas menarik bahu Kirana. Membawa wanita itu pada dekap nya. “Tapi cowoknya tuh keren ya?”

“Hm?” Kirana berdeham, “kenapa?”

“Iya, dia nemenin si cewek terus, siapa namanya tadi aku lupa.”

“Oh Aesun?”

“Ah iya, Aesun. Gwansik kelihatan perjuangin dia banget.”

“Um..” Kirana hanya mengangguk, ia sangat menikmati pelukan itu. Menghirup aroma Bagas sedalam-dalamnya, menjadikan aroma tubuh pria itu sebagai obat hatinya. “Kalo kamu bakalan kaya Yang Gwansik gak?”

Kirana cuma penasaran aja, walau sejauh ini. Ia selalu merasa Bagas selalu ada di pihaknya, membela nya dan memilihnya meski hubunganya dengan orang tua nya tidak baik-baik saja. Kalau boleh jujur, Kirana senang. Tapi di sisi lain, ia merasa telah merebut Bagas dari keluarganya dan Merusak hubungan mereka.

“Jelas lah, aku sayang banget sama kamu,” jawab Bagas tanpa sedikit pun keraguan.

“Kalau akhirnya gak sama aku gimana?” Kirana melonggarkan pelukanya pada pinggang Bagas, ia mendongak dan memperhatikan wajah pria nya itu.

“Aku acak-acak aja bumi berserta isinya.” Setelah Bagas mengucapkan hal itu, keduanya terkekeh. Kirana tahu Bagas hanya bercanda, padahal Kirana bertanya dengan serius.

“Oiya, sayang. Kamu masih mimpiin tentang Ayu?” Bagas cuma kepikiran aja, soalnya akhir-akhir ini Kirana juga udah enggak pernah cerita tentang mimpinya.

Kirana mengangguk, “masih.”

“Lama juga ya..” gumam Bagas, “mimpinya masih berlanjut kaya cerita?”

“Um.”

“Udah sampai mana?” Bagas penasaran sejujurnya, kenapa Kirana bisa mengalami mimpi berlanjut seperti sebuah cerita setiap kali dia tidur. “Aku... Masih ada di mimpi kamu?”

Alih-alih menjawab, Kirana justru menatap Bagas dalam. Ia mengingat akan Adi yang kehilangan pendengarannya, kalau mengingat Adi dan melihat Bagas. Kirana jadi tidak tega, menatap Bagas pun rasanya ia seperti menatap Adi. Ada kesedihan karena nasib tidak baik pria itu.

“Sayang?” panggil Bagas, ia sadar Kirana menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan, Bagas bukan risih. Dia cuma penasaran apa yang Kirana pikirkan ketika menatapnya seperti itu.

“Hm?”

“Tadi aku tanya apa coba?”

Kirana mengurai pelukan itu, ia menarik nafasnya dalam. “Adi masih ada kok, walau keadaanya gak baik-baik aja.”

Setelah Kirana mengatakan itu, keadaan agak hening sejenak. Bagas juga bingung kenapa perasaanya bercampur aduk saat ini, apalagi saat ia mengetahui kabar Adi dari mimpi Kirana.

“Ak..aku kenapa?” tanya Bagas gugup.

Kirana menggeleng, “aku gak bisa kasih tau kamu.”

“Kenapa, Na?”

Sebenarnya Kirana bisa saja bercerita pada Bagas, tapi akan sangat sulit untuknya selain karena nasib Adi yang piluh. Bagas juga mungkin tidak akan merasakan rasanya bermimpi dalam jangka waktu yang lama, menguras seluruh emosinya dan mimpi yang terus berlanjut.

“Apa itu bikin kamu gak nyaman? Kalau iya, aku gak akan tanya-tanya lagi.” Bagas hanya tidak ingin membuat Kirana enggak nyaman karena ia bertanya tentang mimpinya.

Kirana takut Bagas salah paham, jadi ia peluk lengan pria itu yang kini tengah sibuk membersihkan bekas sisa makan mereka di mobil.

“Aku bukan gak nyaman, aku cuma gak tega mau ceritanya. Karena benar-benar nguras perasaan aku banget. Cuma ada sedikit bagian bahagia di mimpi itu,” jelas Kirana.

“Iya gapapa.” Bagas mengerti, ia mengusap-usap punggung Kirana karena merasa tidak enak.


“Begini Kirana, sebenarnya sebelum Bagas berangkat ke Surabaya harusnya Bagas dan Asri bertunangan. Tapi Bagas enggak datang ke acara itu, dia lebih memilih kamu. Pindah dari rumah, enggak mengunjungi orang tua nya, jadi anak pembangkang itu semua karena kamu.”

“Bapakmu bunuh diri karena depresi kan?”

“Keluarga kami adalah keluarga yang menjunjung tinggi mertabat dan keutuhan keluarga Kirana. Hal itu yang membuat saya enggak pernah setuju Bagas berhubungan dengan kamu, belum lagi hutang Bapakmu banyak kan?”

Raga mengehela nafasnya, tubuhnya sudah berada di atas ranjang untuk siap terlelap malam ini. Namun suara dan kata-kata yang menyakitkan itu terus bergema di kepalanya, bagaimana bisa seorang Ibu berkata seperti itu pada wanita muda lain? Yang bahkan ia sendiri memiliki anak seorang wanita juga.

Sore itu, Raga memang tidak sengaja mendengar obrolan menyakitkan itu di cafe. Ia sendiri awalnya tidak berniat menguping atau bahkan berniat membuntuti Kirana, ah tidak. Bahkan Raga datang lebih dulu. Tadinya ia hanya ingin menyelesaikan beberapa pekerjaanya di cafe, sembari menikmati secangkir kopi dan kudapan di sana.

Namun siapa sangka jika ia bertemu Kirana, sore itu, Raga memang sengaja tidak menyapa Kirana, ia melihat jika wanita itu mungkin ingin bertemu seseorang yang spesial. Terlihat dari bagaimana ia memakai baju, make up dan juga membawa bunga matahari yang ia bawa di tanganya.

Raga fokus pada pekerjaanya sampai tiba obrolan itu terdengar sangat menyakitkan di telinganya, itu bukan tertuju untuknya. Untuk Kirana tapi Raga juga seperti ikut merasakan sakitnya. Kirana di hina, di anggap tidak pantas bahkan harga dirinya di jatuhkan oleh Ibu dari pria yang ia sangat cintai.

Raga berbalik untuk kesekian kalinya, mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. Ia menatap buket bunga matahari yang Kirana bawa dan di tinggal di kursi cafe itu, Raga bawa buket itu pulang dan ia pindahkan bunga itu di dalam vas.

“Kok bisa ada Ibu yang sejahat itu?” gumam Raga.

Ia keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah balkon, menikmati semilir angin malam itu. Berusaha untuk melupakan kejadian menyakitkan tadi sore. Pikiranya melaung kemana-mana, memikirkan kejadian tadi sore lalu kemudian memikirkan arti dari mimpinya yang urung memberikan jawaban.

“Aneh kalo di pikir-pikir, kalau benar mimpi itu kehidupan sebelumnya punya gue. Di kehidupan sebelumnya gue sama Kirana pacaran? Jayden janji mau menikahi Ayu, tapi di kehidupan ini justru gue gak sama Kirana?” gumam nya pada diri sendiri.

“Tapi Ayu juga nikah sama Dimas, tapi di kehidupan ini. Dimas justru udah menikah dan punya satu orang anak, ah enggak-enggak. Raka duda, dia cerai sama istrinya,” ralat Raga.

Iya, Raga sudah tahu kalau Raka seorang duda yang memiliki satu orang anak. Raka sendiri yang cerita saat makan siang, walau Raga enggak begitu menanggapi ceritanya. Pria yang ternyata lebih tua darinya dua tahun itu cukup ramah, berbeda dengan karakter Dimas di dalam mimpinya.

“Itu artinya, ada sesuatu yang berubah? Kayanya gue emang harus nunggu kelanjutan mimpi Kirana supaya bisa mikirin jawabanya..”

Bersambung