KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Pagi ini Ibu menyiapkan sarapan seperti biasa, ia tidak bekerja, hari ini Ibu libur. biasanya kalau Ibu bekerja, Ibu hanya meninggalkan Kirana cemilan saja untuk sarapan paginya. Tapi pagi ini ia membuatkan nasi goreng untuk putri sematawayangnya itu, setelah selesai menata setiap hidangan di atas meja makan, di liriknya jam yang ada di ruang tamu itu. Terlihat dari ruang makan kok karena tidak ada sekat lagi di sana.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, dan sepertinya Kirana belum bangun. Jadi Ibu berinsiatif untuk memeriksa kamar Kirana, ya siapa tahu putrinya itu kesiangan atau Kirana sudah bangun dan sedang bersiap-siap di kamarnya.

nduk??” Ibu mengetuk kamar Kirana sebelum masuk, tidak ada sahutan dari dalam. Namun sebelum Ibu pergi meninggalkan kamar itu, Ibu mendengar suara rintihan dari dalam.

“Kirana merintih apa ya?” Ibu mengerutkan keningnya bingung, karena khawatir terjadi sesuatu pada putrinya itu. Ibu membuka kamar Kirana pelan-pelan.

Kirana masih tertidur dengan posisi terlentang, selimut masih ada di tubuhnya namun putrinya itu tidur dengan kepala yang bergerak ke kanan dan kirinya, seperti tengah bermimpi buruk dan keningnya itu bercucuran keringat, bahkan Kirana juga terlihat meremas selimut yang ada di atas tubuhnya itu.

“Aah.. Mmhh.” rintih Kirana.

Ibu duduk ditepi ranjang Kirana, menepuk pelan pipi putrinya itu sekaligus memeriksa suhu tubuh Kirana. Tubuhnya dingin namun Kirana berkeringat seperti menahan sakit.

nduk? Kirana? Kamu kenapa, Nak?” ucap Ibu khawatir.

Kirana masih bergerak di atas ranjangnya dengan gerakan tidak nyaman, ia bahkan menangis dan bibirnya terus merintih. Membuat Ibu yang duduk di tepi ranjangnya menepuk bahu Kirana dengan panik. Ibu berusaha membangunkan Kirana karena seperti nya anaknya itu mimpi buruk.

nduk, bangun!! Heh, istigfar, nak.”

Begitu Ibu menepuk bahu Kirana agak kencang, Kirana kaget dan terbangun dari tidur nya. Matanya terbuka ia buru-buru bangkit dan memeluk Ibunya erat, Kirana menangis. Malam-malam kelam tentang mimpi buruk yang terjadi pada Ayu di dalam mimpinya itu membuat perasaanya berkecamuk, tubuh Kirana bahkan seperti masih mengingat betapa sakitnya perut Ayu di dalam mimpinya itu.

“Kamu kenapa, Na?” tanya Ibu khawatir, di usapnya punggung putri nya itu agar isak Kirana meredup dan membuatnya tenang.

Kirana belum menjawab, ia masih menangis. Hatinya sakit, takut dan perasaan tidak nyaman itu kembali menghampirinya, Ibu membiarkan Kirana memeluknya dan tidak menjawab pertanyaanya. Setelah putrinya itu tenang, Ibu keluar dari kamar Kirana dan membawakan Kirana secangkir teh hangat buatanya.

Itu teh melati kesukaan Ibu dan juga Kirana. Sangat harum, rasanya sedikit sepat dan ada rasa pahit setelahnya namun di padukan dengan madu jadi ada sedikit rasa manis. Menurut Ibu dan Kirana cara menikmatinya memang seperti itu.

“Udah tenang?” tanya Ibu yang di jawab anggukan oleh Kirana. “Kenapa, nduk?

“Kirana cuma mimpi buruk aja, Buk.” ia jujur, namun Kirana tidak mengatakan kalau perutnya juga sedikit sakit. Entah kenapa seingatnya ia tidak makan yang aneh-aneh dan terlalu pedas.

“Keringatmu banyak banget, Na. Ada yang sakit gak?”

Kirana menggeleng, “enggak, Buk. Gapapa.”

“Beneran?”

“Um.” Kirana mengangguk, “Ibu libur ya?”

“Iya, makanya Ibu bikinin sarapan dan bekal kamu ke kantor. Kamu ke kantor gak?”

“Ke kantor, Buk.”

Ibu menghela nafasnya pelan, mengusap wajah putri kesayanganya itu dengan penuh kasih sayang. Sejak Kirana kritis, setiap kali Kirana tidak terlihat baik-baik saja. Ibu selalu merasa khawatir berlebihan padanya, bahkan seperti saat ini. Hanya karena mimpi buruk sekalipun. “Yasudah, siap-siap gih. Takut nya nanti Bagas jemput kamu.”

“Hhm.. Bagas gak jemput aku, Buk. Dia ke Surabaya hari ini. Jam 12 kayanya dia udah ke bandara.”

“Yasudah, mandi ya. Kita sarapan sama-sama.”

Di perjalanan selama menuju kantor, Kirana melamun memikirkan Ayu di dalam mimpinya. Menurutnya itu adalah mimpi yang membuatnya lumayan traumatis, Ayu jatuh karena bertengkar dengan Dimas suaminya. Wanita muda nan ringkih itu mengalami pendarahan sampi Dimas harus memanggil dokter ke rumahnya.

Sepanjang menunggu dokter itu, Ayu terus menerus merintih, keringat bercucuran keluar dari keningnya hingga Kirana tidak sadar kalau dalam tidurnya ia juga merintih sampai Ibu membangunkannya. Karena larut dalam lamunan, Kirana hampir saja melewatkan halte tempatnya turun. Untung saja supir bus hari ini baik, masih mau membukakan pintu untuknya walau tadinya pintu sudah di tutup.

Kirana berjalan dari halte bus menuju kantor nya, ia jadi teringat akan cerita Raga. Mimpi mengenai Jayden dan akhir hidupnya, Raga bilang Jayden sudah meninggal dengan cara yang paling tragis. Dan Raga bisa merasakan juga sakit nya, dan ternyata ia pun juga bisa merasakan sakit ketika Ayu, wanita dalam mimpinya itu mengalami pendarahan hebat.

Dengan langkah gontainya, Kirana menekan tombol lift untuk sampai ke ruanganya. Namun siapa sangka jika ada pria tinggi di sebelahnya yang baru saja muncul entah dari mana, wangi dari pria itu menyita atensi Kirana sampai-sampai ia menoleh ke sebelahnya.

Pria itu, pria dengan paras yang sangat ia kenali. Kaki Kirana seketika mundur beberapa langkah dengan penuh keraguan, membuat pria yang baru pertama kali bertemu denganya itu bingung. Bibir Kirana bergetar mengucap nama seseorang tanpa suara.

“Di...mas?” bisiknya nyaris tak terdengar.

“Mbak? Mbak kenapa?” tanya pria itu bingung, ia menoleh ke sekitarnya. Wanita yang berada di depannya itu ketakutan seperti melihat hantu.

“Mbak?” panggil Pria itu sekali lagi dan berhasil membuyarkan lamunan Kirana.

Waktu pria itu mau menyentuh bahu Kirana yang sedikit bergetar, tangan Kirana menepisnya dengan kasar. Membuat suasana di antara mereka menjadi sedikit canggung.

“Ma..maaf. Saya bukan mau kurang ajar, saya cuma khawatir aja Mbak kenapa-kenapa. Habis lihat saya soalnya, Mbak langsung kaya orang ketakutan,” jelasnya dengan sopan.

“Ga..gapapa.” dalam hati, Kirana menggerutu kenapa pintu lift tak kunjung terbuka. Ia ingin sekali lari dari pria yang berada di sebelahnya, parasnya sangat mirip dengan Dimas. Yup, Dimas suami Ayu di dalam mimpinya.

“Mbak kerja di lantai 10 juga?” tanyanya basa basi. Ya, Raka sudah menilihat nama perusahaan Kirana bekerja dari lanyard yang wanita itu pakai.

Kirana melirik pria itu dengan tatapan sedikit sinis, katakan ia tidak sopan tapi pagi ini rasanya sangat aneh. Ia membenci pria yang mirip sekali dengan Dimas.

“Iya,” jawab Kirana ketus.

“Saya juga, saya arsitek baru.”

Kirana menoleh, menelisik penampilan pria itu yang nampak sopan dan rapih. Ya, agak sedikit menyilaukan mata menurutnya, kemeja dari brand ternama Yves Saint Laurent, dasi yang ia kenakan dari Prada dan juga jam tangan Rolex yang harganya mungkin bisa membeli satu unit mobil. Mungkin dengan melepaskan seluruh barang branded di tubuhnya itu sudah setara dengan gaji Kirana 10 tahun bekerja di firma arsitektur ini.

Kirana heran, kenapa pria itu mau bergabung di firma arsitektur tempatnya bekerja jika mungkin pria di depannya ini mampu membuka firma sendiri. Gayanya saja sudah seperti CEO dalam cerita-cerita fiksi.

“Penggantinya Mas Ilyas?” tebak Kirana.

“Yup, benar sekali. Ah, nama saya—” baru saja Raka ingin memperkenalkan dirinya. Kirana sudah lari duluan masuk ke dalam lift begitu pintu lift terbuka, bahkan Kirana juga menutupnya buru-buru seolah-olah wanita itu memang tidak ingin satu lift dengan Raka.

“Aneh,” gumam Raka begitu lift itu tertutup dan membawa Kirana ke lantai 10.


Hari ini Bagas menyempatkan diri untuk bertemu dengan Asri karena wanita itu yang meminta bertemu walau sebentar, Asri bilang ada yang perlu dia bicarakan pada Bagas. Akhirnya Bagas mengiyakan ajakkan itu dan ia menyempatkan waktunya sebelum ia berangkat ke Surabaya.

Mereka bertemu di cafe yang tak jauh dari rumah Asri berada, kebetulan cafe nya juga searah dengan bandara jadi selepas bertemu Asri, Bagas akan bergegas pergi ke Surabaya. Begitu Bagas tiba di cafe itu, ternyata Asri sudah ada di sana lebih dulu. sudah memesankan minuman untuknya karena di pesan singkat mereka, Asri sempat bertanya Bagas ingin minum apa.

sorry, sudah lama ya?” tanya Bagas begitu ia tiba, ia langsung menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Asri.

“Belum kok.” Asri senyum.

“Kayanya gue gak bisa lama, Sri. 1 jam lagi harus berangkat, takut macet. Lo mau ngomong apa?” Bagas langsung to the point ia bukan menghindari Asri saja tapi kenyataanya memang jalur menuju bandara kerap kali terjadi kemacetan.

“Gas, kamu pergi dari rumah?” tanya Asri hati-hati.

“Pergi?” Bagas mengerutkan keningnya, menurutnya apa yang ia lakukan sekarang bukan pergi dari rumah melainkan pindah. Toh ia pamit kepada kedua orang tua nya meski mereka tidak memberi restu.

“Gue cuma pindah rumah, Sri. Bukan pergi atau kabur.”

“Kenapa, Gas? Kamu gak kasian sama Ibu kamu? Beliau sekarang sakit loh mikirin kamu.”

“Mikirin kok, gue tau Ibu sakit.” nyatanya memang begitu, Bagas tahu Ibu nya sakit dari Kanes. Tapi buat menjenguk atau kembali ke rumah pun rasanya Bagas enggan selama Ibu dan Ayahnya belum bisa menghargai keputusan hidupnya.

“Kamu gak jenguk?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “sorry, Sri. Tapi kalau maksud lo ketemu gue cuma buat ngomongin hal ini, gue rasa belum saat nya. Ya, maksudnya kan. Ini masalah gue sama orang tua gue.”

Asri menghela nafasnya pelan, dia jadi sadar sesuatu kalau kayanya dari dulu dia memang enggak benar-benar mengenal Bagas. Dia bahkan enggak tahu kalau Bagas sekeras kepala ini.

“Singkirin ego kamu sebentar aja, Gas. Dia Ibu kamu loh. Dia cuma mau yang terbaik buat anaknya aja, aku harap setelah kamu kembali dari Surabaya kamu bisa jenguk Ibu kamu.”

“Nanti gue pikir-pikir lagi,” jawab Bagas sekena nya.

Pertemuan mereka enggak lama, karena Bagas juga harus segera ke Bandara. Bahkan pria itu tidak sempat meminum minuman miliknya yang di pesankan Asri, Setelah pertemuan yang hanya sebentar itu saja, Asri langsung menuju rumah Ibu nya Bagas. Semoga dengan membujuk Bagas seperti tadi hati pria itu terketuk untuk menjenguk Ibu nya selepas ia dinas di Surabaya.

Kondisi Ibu nya Bagas sudah membaik, tensinya sudah stabil, namun Ibu masih terus di pantau oleh dokter keluarga dan belum boleh banyak melakukan aktifitas. Begitu Asri datang, Ibu yang sedang merangkai bunga itu tersenyum dan menyambut Asri.

“Cantik nya Ibu sudah datang, sini duduk. Sudah minum teh kamu, Sri?” tanya Ibu.

“Udah kok, Buk. Asri tadi habis ketemu sama Bagas.” Asri duduk di kursi yang bersampingan dengan Ibu, ia mengambil satu tangkai bunga yang ia tidak tahu namanya itu dan memotong tangkainya seukuran dengan bunga-bunga yang sedang Ibu rangkai barusan.

“Ah, apa katanya Sri? Dia mau kembali ke rumah kan?” Ibu penasaran, baru beberapa minggu Bagas pindah tapi Ibu sudah sangat merindukan putra sulung nya itu.

“Dia mau ke Surabaya dulu, Buk. Pelan-pelan ya, Buk. Asri baru bisa bujuk dia buat jenguk Ibu dulu. Nanti bakalan Asri bujuk lagi kok buat kembali ke rumah, Asri janji sama Ibu.”

Hati Ibu menghangat, Ibu seperti mendapatkan harapan baru atas peran Asri. Wanita itu meraih tangan wanita yang sangat ia impikan menjadi menantunya itu dan memeluknya erat.

“Asri, Ibu sangat berterima kasih, Ibu selalu berharap kamu yang menjadi menantu Ibu.”

Asri tersenyum, semakin Ibu menyukainya dan berharap banyak bahwa ia akan menjadi menantunya. Hal itu juga semakin membuat Asri untuk menutup rapat-rapat tentang masa lalunya bersama Raka, ia tidak ingin Ibu atau pun Bagas tahu bagaimana masa lalunya dulu.

Semalaman kemarin, Asri memikirkan cara agar Raka setidaknya tidak muncul seenak jidatnya seperti kemarin di depan rumahnya. Ia juga tidak ingin Raka sampai membuka mulutnya pada siapapun mengenai mereka, Asri mengenal Raka sekali seperti apa pria itu. Ia tidak pernah main-main dengan ucapannya, maka untuk kali ini Asri akan mengikuti keinginan Raka untuk menemui anak mereka demi pria itu tetap menutup mulut.

“Sri?” Panggil Ibu yang berhasil membuat Asri membuyarkan lamunanya.

“Ya, Buk?”

“Ibu tuh sebenarnya mau bertemu sama Kirana deh.”

Asri mengerutkan keningnya bingung, “ma..mau ngapain, Buk?”

“Ya, Ibu mau bicara sama dia buat jauhin Bagas. Ibu tuh mau dia sadar dirinya dan keluarganya siapa, Ibu juga ingin bilang kalau sebenarnya kamu dan Bagas akan segera tunangan.” Ibu sudah lama memikirkan hal ini, ingin mendatangi Kirana dan bicara terus terang pada wanita muda itu untuk menjauhi putra nya. Ya meski selama ini sikap Ibu sudah cukup membuktikan bahwa Ibu menolak Kirana.

“Ibu yakin? Apa enggak kedengaran jahat, Buk?” Menurut Asri memang begitu, ia membayangkan posisinya seperti Kirana. Mungkin ia pun akan sedih dan sakit, di tolak mentah-mentah dan di paksa menjauhi dari pria yang ia sayangi bahkan itu sama orang tua pria itu sendiri.

“Kok jahat sih, Sri. Lebih jahat mana? Dia saja sudah mencuci otak anak Ibu. Gak bisa bayangin Ibu punya menantu seperti dia, makin gak ingat si Bagas sama Ibu tuh nanti.”

Setelah dari rumah Ibu nya Bagas, Asri bergegas ke rumah sakit tempat anaknya dan Raka di rawat. Sebelum masuk ke ruang rawat anaknya itu, ia menarik Raka ke kafetaria sebentar. ada kesepakatan yang harus mereka berdua bicarakan agar Raka tidak membocorkan perihal hubunganya.

“Mau ngomong apa sih?” Tanya Raka agak sedikit sewot.

“Kamu tinggal di Jakarta sekarang?” Tanya Asri tanpa basa basi.

“Iya, kenapa emangnya?”

“Gila, kamu ya? Kamu sengaja ngikutin aku?”

Raka menyeringai, Asri benar-benar tidak berubah ternyata. Sikap egois wanita itu masih sama. “Ge'er amat sih? Aku pindah ke Jakarta karna emang pindah kantor. Lagian kita udah pisah kan, ngapain kamu ngatur-ngatur aku segala mau pindah kemana.”

Asri menghela nafasnya kasar, agak terpancing emosinya setiap kali ia berbicara dengan Raka. “Aku mau kita bikin kesepakatan.”

“Soal apa?” Raka mengerutkan keningnya bingung.

“Aku bakalan sering jenguk Reisaka satu bulan sekali, asalkan. Kamu gak buka mulut ke siapapun itu tentang kita.”

Raka kembali menyeringai, ia memendarkan pandanganya ke arah lain. Enggan melihat Asri dengan sikapnya yang hobi mengatur itu. Kadang, Raka mempertanyakan kenapa ia dulu bisa jatuh cinta dengan wanita seperti Asri.

“Kamu takut kalau calon mertua kamu tau kalau kamu itu janda dan punya anak?”

“RAKA!!!” Pekik Asri, kedua matanya membulat memperingati Raka.

“Atau kamu takut dia tahu kalau kamu pernah hamil di luar nikah?” Tebak Raka lagi.

“Bisa diem gak kamu hah?!” Asri menoleh ke kanan dan kirinya, takut-takut ada orang lain yang mengenalinya dan mendengar ucapan Raka barusan.

“Pengecut kamu, Sri. Perempuan gak tau malu,” ucap Raka tegas, setelah itu ia pergi meninggalkan Asri dari kafetaria. Membiarkan wanita yang dahulu ia cintai itu berjalan dengan langkah terburu-buru di belakangnya.

Asri sempat gugup saat ia melihat Reisaka untuk yang pertama kalinya. Anak itu lahir tanpa Asri yang merawat dan mengasihinya, bahkan Asri sendiri enggak pernah melihat Reisaka waktu bayi. Waktu melihat Ibu nya itu pun, bocah itu terlihat bingung. Namun ia tetap menorehkan senyuman.

“Hai..” Sapa Asri, ia bingung harus mengatakan apa untuk pertama kalinya.

“Ini Mama kan, Pah?” Tanya Reisaka pada Raka yang duduk di sebelahnya.

Pria itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk, “iya, Mama. Papa gak bohong kan waktu bilang Papa bakalan bawa Mama ke Saka?”

Bocah itu mengangguk, Reisaka, mata bocah itu tampak berbinar terang seperti ia menemukan harapan baru. Bertemu dengan wanita yang nelahirkannya meski tidak menjadi Ibu yang benar-benar merawatnya.

“Mama cantik sekali.”

Saat Reisaka mengucapkan itu Asri hanya tersenyum kecil, ia bingung harus menjawab apa, harus bersikap bagaimana dan harus melakukan apa pada anaknya itu. Ia sangat canggung, bahkan tidak ada getaran seorang Ibu saat ia melihat putra nya itu.

Bersambung...

“Pagi, Mbak Kirana,” sapa Raka ramah pada Kirana yang kebetulan juga sedang menunggu lift. Ada wanita lain juga di sebelah Kirana tapi Raka lupa namanya, dia yang termuda di kantor. “Duh, saya lupa nama kamu.”

“Astaga Mas Raka parah banget sumpah, nama gue Almira, Mas. Almira Kusuma Djayanti ih parah banget ahh.” Almira prengat-prengut, ini untuk kesekian kalinya Raka enggak bisa mengingat namanya.

Raka tersenyum dan terkekeh pelan, lucu juga Almira kalau lagi ngomel-ngomel kaya gitu menurutnya. “Iya-iya maaf, ini sekarang udah inget deh beneran.”

Di sebelahnya Kirana cuma melirik Raka dengan sinis aja, dia masih gak mau beramah tamah sama pria itu. Ya anggap Kirana kekanakan hanya karena Raka mirip dengan pria bernama Dimas dimimpinya itu, Kirana jadi benci dan enggan bersikap profesional sama Raka, padahal ya Raka enggak punya salah apa-apa juga sama dia. Bahkan Raka orang yang ramah beda sama Dimas yang arogan.

Begitu lift terbuka, Kirana langsung buru-buru naik. Dia berharap Raka enggak ikut satu lift denganya namun pria itu justru langsung masuk ke dalam lift, mau enggak mau kan mereka jadi satu lift. Waktu gak sengaja lengan Raka nyenggol tangan Kirana, gadis itu melirik Raka dengan sinis.

“Ma..maf Mbak Kirana saya gak sengaja,” Raka gugup. Dia ngerasa kok kalau Kirana kaya enggak suka sama dia, dari bagaimana Kirana meliriknya aja sudah seperti wanita itu sangat ingin membunuhnya.

“Hati-hati lain kali!” jawab Kirana judes.

Almira yang berada di sebelah Kirana jadi menatap wajah wanita itu bingung, pasalnya Kirana enggak pernah sejudes itu sama orang lain. Enggak-enggak, bahkan Kirana itu terkenal ramah banget di kantor. Apa Kirana sedang PMS? Pikir Almira.

“Mbak lagi datang bulan?” bisik Kirana.

“Enggak, kenapa emang?” nada bicara Kirana langsung berubah drastis seperti biasanya kalau ia berbicara dengan Almira.

“Gapapa, jutek banget sama Mas Raka?”

Kirana menghela nafasnya pelan, ia enggan menjawab pertanyaan Almira itu bahkan sampai lift terbuka dan mereka tiba di lantai sepuluh. Waktu Kirana mau duduk di kursinya, ia melihat ke ruangan Raga. Pria itu sudah kembali ke kantor, Raga sudah sembuh sepertinya dan hari ini hari pertama Raga akan melihat Raka.

Kirana jadi penasaran bagaimana reaksi pria itu, sejujurnya Kirana ingin sekali bertanya beberapa hal sama Raga. Namun ia selalu teringat ucapan Bagas, ia gak ingin membuat Bagas cemburu. Apalagi Bagas sedang dinas di Surabaya. Jadi keinginanya itu ia urungkan. Ia ingij menjaga kepercayaan Bagas padanya.

“Itu namanya Pak Raga? Kok kemarin dia gak ada?” kursi Raka itu ada di sebelah Kirana, dan Raka saat ini sedang bertanya sama Kirana.

“Kemarin dia sakit,” jawab Kirana sekena nya.

“Masih muda ya saya pikir udah Bapak-Bapak.” Raka memang sempat mengira jika leader team nya itu Bapak-Bapak berkisar 40-50 tahunan ternyata Raga terlihat lebih muda darinya.

Kirana enggak menjawab lagi, dia justru langsung menyalakan PC miliknya dan mengerjakan pekerjaanya yang sempat tertunda kemarin. Sedang asik fokus pada pekerjaanya, tiba-tiba saja atensi Kirana teralihkan ketika pintu ruangan Raga terbuka. Ia sempat melirik ke arah Raga sebentar, pria itu tengah bicara pada Satya sebentar.

“Kirana?” panggil Raga.

“Ya, Pak?”

“Kamu sudah baca grup? Kenapa progress kita beda sama kontraktor?” tanya Raga dingin.

Kirana langsung terkesiap, “sa..saya periksa dulu, Pak.”

Kirana buru-buru memeriksa grup proyek miliknya dan memeriksa laporan miliknya, selama ini Kirana selalu teliti dalam memasukan volume harian sesuai yang di kirimkan inspektor lapangan padanya. Lalu kenapa kata Raga progressnya bisa berbeda? Pikir Kirana.

“Kayanya yang salah kontraktornya, Pak.”

“Masalahnya yang salah kamu, Na. Periksa sekali lagi, tolong jangan asal input aja sesuaikan dengan bobot rencana. Kan bisa kamu lihat volume yang kamu input benar atau tidak,” ucap Raga tegas, baru kembali ke kantor setelah opname nya hari ini justru hectic karena ada beberapa pekerjaan yang menumpuk.

“Iya, Pak.”

Karena sadar ucapanya dingin pada Kirana, Raga memejamkan matanya. Biar nanti ia bicara lagi pada Kirana jika urusan pekerjaan mereka sudah selesai, ingin kembali lagi ke ruanganya tiba-tiba saja ekor mata Raga melihat Raka yang kini juga menatapnya. Pria itu, pria yang mirip sekali dengan Dimas. Duduk di sebelah Kirana yang sangat mirip dengan Ayu.

Karena sadar di perhatikan, Raka berdiri dan menghampiri Raga. Pria itu mengulurkan tanganya pada Raga dan memperkenalkan dirinya.

“Saya Raka, Pak. Arsitektur yang baru, yang menggantikan Pak Ilyas.”

Raga tidak menjawab, ia hanya terus memperhatikan wajah Raka sampai pria itu sadar jika sapaan tanganya tidak di beri sambutan oleh Raga. Bukan hanya Almira saja yang terlihat bingung menyaksikan itu, tapi Satya juga. Hanya Kirana yang paham apa yang ada di dalam pikiran Raga saat ini.

Namun sedetik kemudian tangan Raka yang tadinya ingin ia tarik kembali karena tidak di sambut oleh Raga akhirnya berbalas, Raga menjabat uluran tangan itu juga membuat Satya dan Almira yang tadinya bingung sekaligus tegang bisa bernafas lega.

“Raga, di lanjut kerjanya.” hanya ucapan itu saja yang keluar dari mulut Raga, karena setelahnya ia kembali ke ruanganya. Kirana tahu bahwa pria itu mungkin masih terkejut jika sosok yang menyerupai Dimas pun ada di kehidupan ini juga.

Sedang kembali fokus pada laporan miliknya tiba-tiba saja ponsel Kirana bergetar, menampakan 2 notifikasi pesan singkat dari dua orang yang berbeda. Yang pertama ada dari Raga yang mengatakan mereka harus bicara saat makan siang nanti dan yang kedua dari Ibu nya Bagas, beliau bilang ingin bertemu dengan Kirana setelah Kirana pulang bekerja.

Saat ini perasaan Kirana bercampur aduk, ia mungkin sudah tahu kemungkinan apa yang akan di katakan oleh Raga saat makan siang nanti. Tapi, apa yang akan di katakan oleh orang tua Bagas saat bertemu denganya? Apa yang membuat beliau ingin sekali bertemu dengan Kirana? Apa ia akan mendapatkan sebuah permintaan maaf? Pikir Kirana.

Siang itu, Kirana memutuskan untuk berbicara dengan Raga di rooftop kantor saja. Kebetulan ia juga sedang tidak berselera untuk makan akhir-akhir ini, apalagi mengingat mimpinya kemarin dan semalam rasanya benar-benar melelahkan dan menyakitkan sekaligus.

“Kamu pasti kaget banget ya, Na. Karena tiba-tiba ada orang lain yang mirip banget sama Dimas?” ucap Raga to the point saat mereka bertemu di rooftop.

Kirana mengangguk, “sangat, Pak. Bersamaan dengan orang yang menyerupai Dimas muncul malam nya itu saya bermimpi sesuatu yang buruk tentang Ayu sampai berdampak sama saya.”

Raga menoleh, ia yang tadi sedang menyesap caramel machiato miliknya itu jadi teralihkan karena ucapan Kirana barusan. “Ada apa sama Ayu?”

Kirana menarik nafasnya berat, rasanya sesak dan sedikit ngilu mengingat bagaimana Ayu di dalam mimpinya. Bahkan sudah dua hari ini sejak bangun dari tidurnya, Kirana selalu merasa kelelahan alih-alih merasa segar. Seperti energinya di kuras habis, entah sampai kapan ia akan merasakan hal seperti ini.

“Ayu mengalami pendarahan, Pak. Dia jatuh karena Dimas, suaminya.”

“Ayu hamil?!” pekik Raga kaget dan Kirana mengangguk.

“Tapi setelah pendarahan dia baik-baik aja walau kondisi kesehatanya memburuk.” Kirana terkekeh sekaligus mendengus setelahnya. “Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa setiap kali lihat Mas Raka saya selalu sensi.”

“Karena dia mengingatkan kamu sama sosok Dimas suaminya Ayu kan?” tebak Raga, karena ia pun juga merasakan hal yang sama. Ia tidak membenci Raka, Raga hanya tidak nyaman saja melihat Raka lama-lama. Padahal secara sifat pun Dimas dan Raka berbeda. Dimas sangat arogan, sedangkan Raka di kehidupan sekarang ini sangat ramah. Bahkan baru beberapa hari bekerja saja karyawan lama sudah dekat dengannya termasuk Satya dan Almira.

Kirana mengangguk sekali lagi, “Bapak sendiri bagaimana?”

“Ajaib nya setelah saya tau akhir hidup Jayden, saya enggak pernah bermimpi lagi, Na. Bahkan setiap saya tidur saya enggak pernah bermimpi apa-apa lagi.”

Selama di rawat di rumah sakit pasca penyakit lambung yang di derita Raga, sehabis bermimpi akhir hidup Jayden yang di bunuh oleh pribumi. Sejak itu lah Raga enggak pernah bermimpi apa-apa lagi, Jayden tewas adalah mimpi terakhir nya. Sebenarnya Raga sempat berpikir jika Kirana sudah mengetahui akhir hidup dari Ayu, kemungkinan juga mimpi berlarut Kirana akan segera berakhir.

Kening Kirana berkerut, ia masih berusaha mencerna kata-kata Raga barusan meski kalimat yang di ucapkan bukanlah hal yang sulit di cerna. Kirana hanya berpikir kenapa semuanya datang dan pergi secara tiba-tiba.

“Ba..bapak serius? Enggak pernah bermimpi apapun tentang Jayden?”

Raga mengangguk, “saya sempat berpikir, kalau mungkin kamu akan berhenti bermimpi tentang Ayu juga saat kamu sudah tahu akhir hidup Ayu, Na. Kamu harus kasih tau saya setelahnya ya, biar kita bisa cari tahu maksud dari mimpi kita itu apa.”


Di tengah-tengah hectic nya pekerjaan Bagas di Surabaya hari ini, ia merogoh kantong miliknya karena ponselnya berdering. Bagas yang tadinya sedang memantau proses pengecoran itu menyingkir sebentar, ia masuk ke dalam gedung kontraktor dan melepas helm proyeknya di sana. Itu telfon dari Kanes adiknya.

“Hallo, Nes. Kenapa?” Bagas menarik kursi dan duduk di sana.

Mas Bagas masih kerja? Masih di Surabaya?” Kanes langsung membondonginya dengan pertanyaa, hari-hari di rumah tidak ada Bagas agak sedikit membuat Kanes kesepian. Biasanya Kanes suka bercerita banyak hal pada Bagas termasuk tentang kuliah dan juga hubunganya dengan pacarnya itu.

“Iya nih, lagi mantau pengecoran. Ada apa?”

pulangnya kapan, Mas?

“Hmm.. Mungkin besok kalo enggak mundur lagi,” Bagas terkekeh, ia membuka MacBook miliknya untuk memeriksa surel yang di kirimkan Raga padanya.

dih masa gitu? Bisa mundur-mundur melulu.” harusnya Bagas pulang hari ini, namun sempat ada kendala kerusakan mesin pengecoran yang membuat Bagas akhirnya mengurungkan niatnya untuk pulang, ia harus memantau dulu dan memastikan jika semuanya berjalan dengan baik.

“Ada apa sih emang? Mau malak nih pasti?”

Dih.. Enggak ya, Kanes cuma mau nagih janji Mas Bagas aja, katanya mau ngasih tau di mana Mas Bagas ngontrak rumah?

Bagas terkekeh, ia sempat menjanjikan hal itu pada Kanes. Memberitahu dimana ia tinggal, namun tetap merahasiakannya pada kedua orang tua nya. “Yaudah, pulang dari Surabaya, Mas kasih tau. nanti kamu main ya.”

awas aja bohong!!” ancam Kanes. “eh iya, Mas. Selama Mas enggak di rumah, Mbak Asri sering banget ke rumah loh buat jagain Ibu.

“Ibu masih sakit emangnya?”

udah sembuh kok, Mas. Ya mungkin Mbak Asri mau make sure aja kali ya. Mereka dekat banget, Mbak Asri baik sih. Cuma gak tau kenapa aku ngerasa canggung aja kalau sama dia. Ibu sama Ayah juga kayanya masih rencanain pertunangan Mas sama Mbak Asri,” Jelas Kanes yang membuat Bagas tidak habis pikir.

Orang tua nya tentu saja masih rajin mengiriminya pesan, mengatakan padanya untuk segera pulang dan bicara pada mereka. Keputusan mereka bulat untuk menjodohkan Bagas dan Asri, bahkan setelah Bagas pergi dari rumah sekalipun itu tidak melunturkan niat mereka.

Bagas menghela nafasnya, ia mengusap wajahnya gusar. Kadang, ada malam dimana Bagas selalu memikirkan cara bagaimana membuat kedua orang tua nya mengerti dirinya. Setidaknya menghargai pilihan hidupnya, Asri memang baik. Tapi Bagas tidak mencintainya. Baginya Asri masih orang asing.

“Mas tuh kadang bingung gimana caranya bikin Ibu sama Ayah ngerti.”

Di seberang sana Kanes menghela nafasnya pelan, “kalau menurut Kanes, mungkin Mas bisa mulai bicara dulu ke Mbak Asri. Kasih pengertian ke dia kalau Mas enggak bisa menikah sama dia, nurutin apa kata Ibu sama Ayah. Mungkin dari situ nanti Mbak Asri bisa bantu bicara ke Ibu, kan mereka dekat banget tuh.

Bagas menunduk, Kanes benar. Selama ini ia memang belum pernah bicara serius sama Asri mengenai hal ini. Bisa di bilang ia bisa memakai pengaruh Asri untuk membuat Ibu nya mengerti, mungkin ia bisa coba cara ini. Selama ini ia bertemu dengan Asri pun hanya bicara seperlunya saja.

“Yaudah, nanti Mas coba deh ya.”

Setelah menutup panggilan dari Kanes, Bagas sempat membalas pesan dari Kirana kemudian melanjutkan pekerjaanya lagi. Fokusnya terbagi, memikirkan cara nya berbicara dengan Asri dan mencari waktu yang tepat. Sekaligus memikirkan masa depannya bersama dengan Kirana.

Bagas ingin akhir tahun ini ia bisa membawa orang tua nya untuk melamar Kirana, ya itu pun jika pada akhirnya keduanya merestui. Tapi kalau pun tidak, kemungkinan Bagas akan melamar Kirana sendiri membawa kerabatnya yang lain tanpa kedua orang tua nya. Tapi jauh dari pada itu, ia mungkin harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai orang tua nya pada orang tua Kirana. Jika sudah seperti ini, apa nantinya Ibu nya Kirana akan tetap merestuinya? Atau justru meragukan kebahagiaan putri sematawayangnya itu pada Bagas?


Samarang, 1898.

Setelah pulih pasca pendarahan beberapa hari yang lalu, Ayu meminta di antar pulang ke Samarang oleh Suaminya itu. Ayu berencana untuk melahirkan di Samarang, ia ingin ada Ibu nya saat melahirkan nanti. Mengenai kondisi kesehatan Ayu yang kerap kali naik turun, Dimas sendiri khawatir. Apalagi akhir-akhir ini Ayu sering mengeluhkan kalau ia sesak nafas.

Dimas sudah meminta bantuan pada rekan dan beberapa kolega Ayahnya yang kebetulan bekerja di rumah sakit orang Belanda, namun saat ini belum di temukan obat untuk penyakit yang di derita Ayu. Yang wanita itu andalkan saat ini hanyalah meminum minuman herbal saja untuk mengurangi sesak nafas yang di deritanya.

Pagi itu saat dokar yang menjemput Dimas dan Ayu di stasiun tiba di kediaman rumah Tuan Gumilar, Dimas membantu Ayu turun dari dokar yang menjemput mereka. Ayu tersenyum melihat rumah yang sudah lama tak ia kunjungi itu.

nduk!” pekik Ibu, wanita itu menghampiri Ayu dan memeluk putri sematawayangnya itu.

Ayu juga memeluk Ibu, rindu sekali dengan Ibu nya itu. Harumnya, sentuhan lembut tanganya dan juga masakannya. “Ayu rindu sekali sama Ibu.”

Dimas yang melihat itu hanya mematung, sesekali matanya berpendar pada para pekerja di rumah mertuanya itu. Tak ia jumpai Adi sama sekali, pria pribumi miskin itu tidak nampak di sana. Padahal Dimas tahu kalau Adi bekerja di rumahnya Tuan Gumilar alih-alih di kebun sejak ia pukuli.

“Kita masuk ke dalam, Yuk? Ibu sudah masak untuk kalian.” Ibu tersenyum, mengusap perut buncit Ayu penuh kasih sayang.

Ketiga nya masuk ke rumah Ayu, namun saat masuk mata Ayu berpendar ke sekitar pekarangan rumahnya mencari kemana Adi. Ia ingin sekali bertemu dengan pria itu, ingin sekali tahu kabarnya bagaimana.

“Cari siapa?” tanya Dimas, nadanya terdengar dingin ketika ia memergoki Ayu seperti tengah mencari seseorang.

Ayu hanya menggeleng, kemudian tersenyum kikuk. Ia langsung mengapit lengan Suaminya itu dan membawa Dimas masuk ke rumahnya.

Bersambung...

Pagi itu, Ayu bangun lebih dulu dari Dimas. Dia sempat membantu Ibu di dapur alakadarnya, perutnya yang makin membuncit serta pernafasan Ayu yang tidak begitu baik membuatnya mudah sekali lelah. Ayu duduk di amben dekat pintu belakang rumahnya, sampai akhirnya Ibu nya Adi mengantarkan jamu untuk Ayu minum.

“Buk, ngapunten, Mas Adi ten pundi? Ayu enggak melihat dia dari kemarin.” biasanya Adi akan membawa beberapa hasil kebun ke rumah untuk persediaan pangan di dapur, tapi sedari kemarin Ayu enggak melihat kehadiran pria itu.

“Adi sedang sakit, Raden Ayu.” Semenjak di pukuli oleh Dimas waktu itu, kondisi kesehatan Adi memang naik turun. Telinga pria itu sudah tidak bisa lagi mendengar dan terkadang, Adi sering mengeluhkan sakit kepala. Seperti saat ini, pria itu izin tidak bekerja karena kepalanya yang sangat sakit.

“Sakit apa, Buk?” Mendengar hal itu, Ayu meneggapkan duduknya, ia khawatir pada Adi.

“Sakit kepala, Raden Ayu.”

“Ayu boleh datang ke rumah? Ayu ingin melihat keadaan Mas Adi.”

Ibu nya Adi itu tampak menimang-nimang jawaban, wajahnya sedikit bingung dan takut. Seperti ia tidak enak jika menolak permintaan Ayu tapi disisi lain, Ibu juga khawatir jika Suami Ayu tahu kalau Ayu menjenguk Adi. Adi bisa dalam bahaya lagi.

“Buk?” Panggil Ayu, wanita itu memegang tangan Ibu nya Adi dengan lembut. “Ayu hanya ingin melihat Mas Adi.”

“Mbok bisa kirimkan salam pada Adi jika Raden Ayu mengizinkannya.” Hanya itu kalimat yang Ibu nya Adi ucapkan sebagai bentuk penolakan halus, mungkin dengan menyampaikan salam untuk Adi dari Ayu. Ayu bisa tahu jika ia tidak mengizinkannya menjenguk Adi.

“Kali ini saja, Buk. Ayu mohon.” Ayu mengambil satu tangan Ibu nya Adi dan menganggamnya.

“Mbok bukanya ndak mau ajak Raden Ayu ke rumah, Mbok takut kalau Raden Mas tahu, Raden Ayu akan di marahi.” Mau tidak mau Ibu jujur pada akhirnya, hal itu lah yang memang di takuti oleh Ibu. Ibu tidak ingin Ayu dan Dimas bertengkar hanya karena Ayu menjenguk Adi yang sedang sakit.

“Enggak, Buk. Mas Dimas masih tidur. Ayu mohon, Buk. Ayu perlu bertemu Mas Adi,” ucap Ayu lirih penuh permohonan.

Karena tidak tega melihat Ayu yang memohon, akhirnya pagi itu Ibu mengantar Ayu ke rumahnya. Gubuk tua yang di penuhi ranting kayu dengan berbagai ukuran di depannya itu membuat Ayu tampak prihatin dengan kondisi rumah Adi. Ia duduk di amben depan rumah Adi, sementara Ibu membangunkan Adi yang masih tidur di dalam rumah.

Rumah Adi itu kecil, hanya berukuran 2x3 m² saja. Tidak ada dapur, karena Ibu biasanya memasak di depan rumah dengan tungku kayu. Kamar mandi pun tidak ada, biasanya Adi dan kedua orang tua nya akan pergi ke sumur atau sungai di dekat rumah untuk mandi dan buang air. Memang semiskin itu keluarga Adi.

Sedang melamun akan nasib Adi, Ayu menoleh ke asal suara pintu kayu yang berbunyi jika seseorang membukanya. Itu Adi, pria jangkung yang saat ini nampak kurus itu tersenyum pada Ayu, wajahnya pucat dan ia duduk di bawah. Di atas tanah alih-alih duduk di amben bersama dengan Ayu.

“Duduk di atas, Mas. Jangan di bawah,” Ayu bangun, ia membawa tangan Adi untuk bangun dan duduk di atas amben bersama dengannya.

“Di bawah saja, Raden Ayu.” Adi tidak mendengar yang Ayu ucapkan, ia hanya bisa sedikit demi sedikit membaca gerak bibir wanita itu. Kedua telinganya masih tidak bisa mendengar apapun.

Karena tidak ingin memulai perdebatan, akhirnya Ayu pun ikut duduk di atas tanah. Ia merasa tidak nyaman duduk di atas amben sendirian sementara Adi di bawah. Untungnya Ayu membawa secarik kertas dan pena untuknya berkomunikasi dengan Adi, Ayu sudah tahu jika pendengaran Adi terganggu akibat ulah Suaminya.

Ayu juga sudah menyuruh Dimas untuk bertanggung jawab membawa Adi ke dokter meski Adi dan kedua orang tua nya terus menolak. Sampai hari ini pun, Ayu selalu di liputi perasaan bersalah. Karena dirinyalah Adi bisa kehilangan pendengarannya.

Adi masih tertunduk, wajahnya yang pucat itu seperti enggan menatap Ayu meski dalam lubuk hatinya ia sangat merindukan wanita ringkih itu. Karena hening yang tercipta membuat Ayu tidak nyaman, ia mulai menulis sesuatu di atas kertas lusuh yang ia bawa.

“Mas Adi apa kabar?”

Dalam hati Adi membaca tulisan yang di berikan Ayu itu, pria pribumi itu tersenyum. “Baik, saya baik-baik saja, Raden Ayu.”

Ayu tersenyum, ia kemudian menuliskan sesuatu di kertas itu lagi. “Ayu senang bisa bertemu dengan Mas Adi lagi.”

“Saya juga senang bisa melihat Raden Ayu lagi.” Adi tersenyum, namun tidak lama kemudian senyum itu sirna. Mengingat ada kabar duka sekaligus amanat yang harus Adi sampaikan pada Ayu. Ini sudah cukup lama, sampai Adi pernah berpikir mungkin ia takan bisa menyampaikan hal ini pada Ayu.

Karena melihat perubahan pada raut wajah Adi, Ayu kembali menulis sesuatu pada kertas yang sedari tadi ia pegang itu. “ada apa, Mas Adi?”

Begitu membaca surat itu, Adi termenung sebentar. Dia ingin memberitahu pada Ayu mengenai kebun melati yang di buat oleh mendiang Jayden, kemudian memberi tahu wanita itu tentang kabar Jayden. Tapi memberitahunya pun Adi tidak tega.

“Mas Adi?” panggil Ayu, ia menepuk pundak Adi pelan dan membuyarkan lamunan pria pribumi di depannya itu.

“Saya mau memberitahu sesuatu tentang Sir Jayden pada Raden Ayu.” walau begitu, Adi tetap mengatakannya. Ia tidak tahu kapan Ayu akan kembali lagi ke Samarang, ia takut Ayu tidak lama di Samarang. Ada banyak ketakutan di kepala Adi, termasuk ketakutan jika ia tidak sempat menyampaikan amanat Sir Jayden termasuk tentang kabar pria Belanda itu.

Ayu menuliskan sesuatu di kertas yang ia pegang, ia menuliskan. “Tentang apa? Sir Jayden bilang apa?

Lalu ia berikan lagi kertas itu pada Adi, Adi membacanya. Namun setelahnya ia masuk ke dalam rumahnya, membawa sebuah kertas lusuh yang sudah menguning di dalam genggam tangan besarnya. Dahi Ayu mengerut, ia bingung.

“Ini apa?” gumamnya, ia lagi-lagi lupa jika kedua telinga Adi sekarang tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ayu menggeleng pelan, kemudian menuliskan ucapanya barusan pada secarik kertas yang ia bawa tadi.

“Ini alamat kediaman asisten Residen Samarang. Jika Raden Ayu memiliki waktu luang, datanglah ke kediaman asisten Residen. Bertemulah dengan seorang Indo bernama Jacob De Houtman. Dia kawan Sir Jayden,” jelas Adi, Adi sudah bertemu dengan Jacob. Pria itu juga yang memberitahu tentang kematian Jayden padanya sekaligus memberikan surat dari Jayden untuk Ayu.

Perasaan Ayu mencelos, hatinya sakit dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tenggorokan wanita itu tercekat, ia takut mendengar sesuatu yang buruk terjadi pada pria yang di cintainya itu. Jadi ia tuliskan sesuatu pada Adi di sana.

ada apa? Kenapa aku harus bertemu dengan Jacob? Kemana Sir Jayden memangnya?” Ayu menyerahkan tulisan itu pada Adi, Adi hanya menggeleng pelan. Sungguh ia tidak tega, biarkan Ayu tahu dari Jacob sendiri. Ia tidak sampai hati melihat wanita yang ia cintai itu menerima kabar tidak baik dari pria yang di cintainya.

“Ada surat dari Sir Jayden, tapi baca surat ini setelah Raden Ayu mendapatkan penjelasan dari Tuan Jacob saja ya.” Adi memberikan surat itu pada Ayu, surat yang kertasnya sudah menguning. Bahkan tinta nya sudah memudar karena terkena air, Ayu menebaknya mungkin sisa air hujan yang menetes pada celah dinding rumah berbahan bilik itu. Adi suka bercerita atap rumahnya sering bocor jika hujan menerpa, begitu juga dinding rumahnya.


Jakarta, 2025.

Begitu turun dari bus yang di tumpanginya, Kirana enggak langsung masuk ke cafe tempat ia dan Ibu nya Bagas bertemu. Kirana berkaca pada layar ponselnya dahulu untuk memastikan jika make up nya tidak berlebihan dan juga tidak berantakan, jantung nya berdegup tidak karuan. Kirana gugup, karena ini pertama kalinya Ibu nya Bagas mengajaknya bertemu.

Kirana juga menyempatkan diri membeli bucket bunga matahari, Ibu nya Bagas itu suka banget sama bunga. Kirana tahu ini dari Bagas langsung, begitu sudah memastikan dirinya rapih. Ia melangkah dengan penuh percaya diri masuk ke dalam cafe tempatnya dan Ibu nya Bagas bertemu.

“Untuk berapa orang, Kak?” tanya pelayan cafe tersebut begitu Kirana masuk.

“Untuk dua orang ya, Mbak.”

“Oke, di sebelah sini ya, Kak. Untuk dua orang.” pelayan itu mengantar Kirana ke kursi yang sudah di sediakan, pas untuk dua orang, untuknya dan juga Ibu nya Bagas. Letaknya juga sangat strategis, di dekat jendela. Jadi Kirana bisa melihat ke luar cafe yang menampakan lampu-lampu kota yang mulai menyala karena senja.

Seharusnya pertemuan ini berlangsung kemarin, tapi Kirana enggak bisa karena dia harus lembur untuk memperbaiki progress pengerjaan proyek yang sedang ia pegang. Oiya, Bagas juga sudah dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke Jakarta. Bagas enggak tahu kalau Kirana bertemu dengan Ibu nya hari ini karena Ibu sendiri yang meminta Kirana untuk tidak bercerita pada Bagas.

Tidak lama kemudian, pintu cafe terbuka. Kirana tersenyum karena mendapati wanita yang sudah melahirkan Bagas ke dunia itu datang. Pelayan yang tadi mengantar Kirana juga mengantarkan Ibu nya Bagas menuju kursi Kirana.

“Sore, Buk.” Kirana ingin menyalami Ibu nya Bagas, namun wanita itu langsung duduk dan enggan mengulurkan tanganya untuk Kirana salami.

Kirana meringis, hatinya agak sakit namun ia masih bisa memaklumi. Ia tidak boleh menyerah pada hubungan ini, ia yakin suatu hari Ibu nya Bagas bisa menerima dirinya. Ia hanya perlu sedikit usaha dan keteguhan hati untuk bisa merayu Ibu nya Bagas.

“Ibu mau pesan apa? Biar Kirana pesanin, Buk.”

Ibu menghela nafas, memperhatikan penampilan Kirana hari ini dari ujung kepala hingga kakinya. Seperti tengah menilai wanita yang seusia dengan putra sulungnya itu, dandanan Kirana khas karyawan kantoran biasa menurutnya.

“Tidak usah repot-repot Kirana, saya enggak lama,” jawab Ibu dingin. Kirana hanya mengangguk, ia juga tidak memesan apapun. Sungkan jika hanya ia yang memesan makanan atau minuman. “Langsung saja Kirana, niat saya bertemu kamu adalah untuk membicarakan hubungan kamu dengan Bagas.”

Kirana yang tadinya menunduk itu kini memberanikan diri menatap Ibu nya Bagas, “ada apa, Buk? Apa enggak sebaiknya kita bicara sama Bagas juga?”

Kirana cuma berpikir jika ini tentang hubunganya dengan Bagas, bukankah Bagas juga harus tahu, bukan?

“Oh enggak perlu Kirana, Bagas enggak perlu tahu. Maksud kedatangan saya bertemu kamu adalah, saya ingin memberi tahu soal pertunangan Bagas dengan Asri.”

Deg...

Hati Kirana mencelos, ia sudah tahu jika Bagas di jodohkan dengan Asri. Tapi dia sama sekali tidak mengetahui tentang pertunangan itu. “Maksud Ibu?”

“Begini Kirana, sebenarnya sebelum Bagas berangkat ke Surabaya harusnya Bagas dan Asri bertunangan. Tapi Bagas enggak datang ke acara itu, dia lebih memilih kamu. Pindah dari rumah, enggak mengunjungi orang tua nya, jadi anak pembangkang itu semua karena kamu.” Ibu benar-benar merasakan perubahan drastis sejak Bagas mengenalkan Kirana ke rumah mereka. Meski sudah berpacaran cukup lama, Ibu baru merasakan Bagas berubah sejak Kirana di perkenalkan pada keluarga mereka. Mungkin dampak penentangan hubungan mereka, makanua Bagas jadi seperti ini.

“Saya juga heran, apa yang kamu kasih ke Bagas sampai dia menjadi anak pembangkang seperti itu.” Ibu nya Bagas itu membuang pandanganya ke arah lain, melihat hiruk pikuk kota Jakarta menjelang magrib hari itu yang nampak sibuk.

“Saya minta sama kamu, Kirana. Dengan penuh hormat sebagai sesama wanita. Suatu hari kamu akan menjadi seorang Ibu, kamu akan merasakan sakit jika anakmu membangkang ucapanmu dan lebih memilih orang lain. Saya minta tolong ke kamu Kirana, jauhi Bagas. Biarkan dia bersama pilihan saya dan juga Ayahnya.”

Kirana berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh, ia menunduk. Meremas dress yang ia pakai hari itu dengan perasaan berkecamuk. Ia merasa dunia benar-benar jahat padanya, di saat ia memiliki sandaran. Semesta seperti berusaha keras memisahkanya dari Bagas.

“Ibu, boleh saya tahu kenapa Ibu segasuka itu sama saya? Apa saya pernah berbuat salah sama Ibu?” setidaknya Kirana harus mengetahui kenapa kedua orang tua Bagas sangat membencinya, mungkin dengan itu ia bisa menjadi lebih tahu diri atau mungkin ia bisa memperbaiki hal yang di benci kedua orang tua Bagas itu.

“Kirana seperti yang kita sama-sama tahu kalau menikah itu butuh kesetaraan, bukan? Apa kamu merasa setara dengan Bagas? Saya tahu, orang tua kamu dulu sangat berpengaruh. Punya perusahaan lampu kan? Tapi sayangnya itu semua dulu, Kirana.”

Air mata Kirana yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh, jadi alasan orang tua Bagas sangat membencinya adalah karna orang tua nya bangkrut? Pikir Kirana.

“Karena orang tua saya sudah bangkrut, Buk?”

Ibu menghela nafasnya sekali lagi, sama sekali hatinya tak bergetar melihat Kirana menangis. Beliau justru merasa puas, dengan ucapanya itu Ibu berharap Kirana akan lelah dan menjauhi Bagas.

“Bapakmu bunuh diri karena depresi kan?” tanya Ibu yang membuat hati Kirana terasa di remas dari dalam. Ibu mengingatkanya pada kejadian traumatis sepanjang hidupnya itu.

“Keluarga kami adalah keluarga yang menjunjung tinggi mertabat dan keutuhan keluarga Kirana. Hal itu yang membuat saya enggak pernah setuju Bagas berhubungan dengan kamu, belum lagi hutang Bapakmu banyak kan?”

“Tapi saya enggak pernah melibatkan Bagas dalam masalah keluarga saya, Buk. Termasuk hutang Bapak saya,” jelas Kirana. Ia berusaha membela dirinya. Semua hutang Bapaknya, ia dan Ibu nya sendiri yang berusaha melunasinya.

“Iya saya tahu Kirana. Dan itu enggak mengubah cara pandang saya terhadap kamu, maaf Kirana. Saya mohon ya, kembalikan Bagas pada keluarganya. Saya ingin Bagas menikah dengan putri dari keluarga yang memiliki reputasi yang baik.”

Bersambung...

Setelah pulang bertemu dengan Ibu nya Bagas, di perjalanan pulang Kirana hanya bisa melamun. Ia berusaha untuk menahan air matanya yang terus menerus menyeruak ingin segera di tumpahkan. Kata-kata dari Ibu nya Bagas terus terngiang di kepalanya, ia tidak lagi bertanya-tanya kenapa orang tua nya Bagas tidak menyukai nya.

Tapi disisi lain, hatinya juga sakit. Ia tentu tidak menginginkan hidup yang seperti ini. Tidak ada satu orang pun yang ingin berada di posisinya, setelah ini, Kirana masih bingung bagaimana hubunganya dengan Bagas, ia tidak yakin bisa menjauhi pria itu meski perlahan-lahan. Ia sangat menyayangi Bagas.

Katakan ini salahnya menjadikan Bagas sebagai sandaran hidupnya, ia terlalu menggantungkan Bagas dalam kebahagiaanya. Dengan langkah gontai, Kirana membuka pagar rumahnya. Ia agak sedikit terkejut karena mendapati mobil Bagas terparkir disana. Pria yang ia pikirkan sepanjang perjalanan pulang itu tengah duduk di teras bersama dengan Ibu nya.

Begitu melihat Kirana, pria itu berdiri. Tersenyum menyambut kedatangan wanita yang sedari tadi ia tunggu, sengaja Bagas tidak memberi tahu Kirana jika ia pulang ke Jakarta hari ini.

“Kok lesu banget, nduk? ini loh dari tadi Bagas nunggu kamu,” ucap Ibu begitu Kirana menyalaminya.

Bagas juga memberikan tanganya untuk Kirana salami namun Kirana hanya tersenyum sembari menepis tangan itu penuh gurau. Mereka sudah biasa seperti itu, Bagas hanya bercanda dan Kirana menanggapinya juga dengan candaan.

“Apaan sih.” Kirana terkekeh, “Kirana tadi habis meeting sama Mas Satya, Buk. Makanya lama.” Alibi nya, Kirana berharap Bagas tidak akan bertanya pada Satya karena kenyataanya ia bertemu dengan Ibu nya Bagas alih-alih meeting dengan Satya.

“Yasudah, Ibu masuk ke dalam ya. Temani Bagas dari tadi dia nungguin kamu.” Ibu mengusap pundak putri sematawangya itu.

Kirana hanya mengangguk, sepeninggalan Ibu. Kirana duduk di kursi yang bekas Ibu tempati tadi dan menghela nafasnya pelan, bingung harus bereaksi seperti apa pada Bagas. Ia tidak membenci Bagas atau pun ingin melampiaskan kekesalanya terhadap Ibunya pada Bagas, ia tidak sampai hati melakukan itu. Bahkan Bagas sendiri pun tidak tahu kalau Ibu nya bertemu dengannya hari ini.

“Kok enggak ngasih tau aku kalau pulang hari ini?” Tanya Kirana membuka percakapan di antara mereka.

“Sengaja biar surprise.” Bagas tersenyum. “Aku bawain oleh-oleh buat kamu sama Ibu.”

Kirana mengerutkan keningnya, “bawa apa?”

“Lapis Surabaya sama tahu tek,” Bagas tersenyum. “Di makan ya.”

Kirana hanya mengangguk pelan, tidak menatap Bagas lagi. Ia hanya memperhatikan lampu taman di rumahnya, hatinya masih sangat kacau. Meski ia sangat merindukan Bagas.

“Sayang?” Panggil Bagas, membuat Kirana menoleh.

“Hm?”

“Kok diam?”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, capek aja.”

“Kamu udah makan?”

“Udah, tapi kalau kamu mau ngajak makan. Aku kayanya masih sanggup buat nampung makanan,” Kirana senyum. biarkan kali ini ia egois, ia ingin menumpahkan seluruh rindunya pada Bagas malam ini. Urusan menjauhi Bagas seperti yang di minta orang tua nya itu biarlah ia pikirkan lagi nanti.

“Mau makan apa, non?” Bagas berdiri dan berjongkok di depan Kirana yang masih duduk di kursi kayu teras rumahnya. Pria itu menggenggam tangan Kirana dan mengusap punggung tanganya dengan ibu jarinya.

“Makan nasi bebek yuk? Kayanya enak deh, aku lagi capek banget. Pengen makan yang pedas-pedas.” Kirana berpikir mungkin dengan melampiaskan kesedihanya dengan memakan makanan pedas bisa sedikit mengobati hatinya.

“Boleh, pamit dulu sama Ibu gih.”

Setelah berpamitan sama Ibu nya Kirana, kedua nya langsung melesat untuk ke tempat warung bebek bumbu hitam pinggir jalan langganan mereka berdua. Untuk malam itu, Kirana banyak sekali mengobrol dengan Bagas ketika sedang makan. Bertukar hari-hari mereka kala mereka tidak bertemu, untuk sejenak Kirana melupakan sakit hati nya. Ia lega bisa melihat senyum Bagas lagi, senyum pria itu seperti pelipur lara bagi nya.

“Mas, es teh nya satu lagi ya,” ucap Bagas pada pemilik warung itu.

Kirana yang masih asik memakan bebek bumbu hitam itu menoleh, Bagas sudah bercucuran keringat. Pria itu memang tidak kuat makan pedas, Bagas sudah menghabiskan 2 gelas es teh manis.

Kirana terkekeh, “kamu tuh kalo gak kuat pedas tadi bisa pesan bebek goreng loh, sayang.”

“Enggak, lagi kepengen bebek bumbu hitam nya.”

“Tapi jadi kepedasan kan?”

“Ya dikit, abis liat kamu makan lahap banget kaya gitu aku juga jadi kepengen.” begitu penjaga warung nya mengatarkan es teh pesanan Bagas, pria itu langsung meminumnya buru-buru hingga setengah gelas nya.

“Kamu meeting apa sama Mas Satya tadi, sayang?” tanya Bagas tiba-tiba, pria itu melanjutkan makannya lagi.

“Bukan meeting yang gimana-mana sih, aku cuma minta bantuin buat cek laporan aku aja. Kemarin ada yang salah terus di tegur deh sama Pak Raga.”

“Tapi udah beres kan?”

“Udah kok.”

Bagas senyum, sebenarnya malam ini ia ingin sekali mengajak Kirana ke Bukit Bintang. Ia sudah menyiapkan film yang bisa mereka tonton dalam mobil, ya seperti camping tapi di dalam mobil gitu. Itu juga yang menjadikan alasan mobil mini cooper Bagas, kursi belakangnya ia lepas dan di gantikan dengan karpet bulu.

“Kamu capek gak hari ini?” tanya Bagas.

Kirana menggeleng pelan, “enggak, kenapa?”

“Ke Bukit Bintang, yuk? Kita camping disana. Nanti beli bandrek sama jagung bakar di jalan.”

Kirana enggak langsung menjawab, ia justru memperhatikan air kobokan yang ada di sebelah piringnya. Ia jadi kepikiran, jika memang suatu hari ia harus menjauhi Bagas. Jika Bagas terus membuat kenangan manis padanya seperti ini, kelak kenangan ini akan sangat menyakitkan jika akhirnya mereka tidak bersama.

“Sayang?” panggil Bagas membuyarkan lamunan Kirana, sebenarnya sejak Kirana pulang Bagas ngerasa pacarnya itu agak sedikit pendiam. Tapi Bagas cuma mikir mungkin Kirana sedang lelah saja, mengingat wanita itu bilang ia baru saja selesai meeting.

“Hm?”

“Ngalamun sih, mau gak? Mumpung besok weekend.

“Kamu yang telfon Ibu ya?”

“Aihhh siap sayang.” Bagas terkekeh, dia senang banget akhirnya Kirana mau ia ajak ke Bukit Bintang.

Di perjalanan menuju Bukit Bintang, mereka sempat berhenti di jalan untuk membeli kacang rebus,jagung bakar dan bandrek. Udaranya dingin karna Bukit Bintang memang berada di daerah pegunungan, begitu sampai di sana. Tidak banyak orang yang camping, dari bawah sini Bagas dan Kirana bisa melihat di bukit sana hanya ada beberapa lampu dari tenda yang menyala.

Mereka gak nanjak ke bukit, mereka memutuskan untuk bersantai di mobil saja. Menikmati pemandangan lampu kota malam itu, di temani angin sejuk dan juga udara yang masih bersih. Langit malam itu juga indah, ada bintang dan cuacanya terang tidak hujan.

“Mau nonton apa, sayang?” tanya Bagas, ia membuka MacBook miliknya dan membuka aplikasi untuk menonton film.

“Apa ya? Hmm..” gumam Kirana, ia memperhatikan layar MacBook itu sembari menggulirnya untuk mencari film apa yang cocok mereka tonton. Kirana enggak suka genre horor, dia lebih menyukai film dengan tema-teman slice of life menurutnya, banyak pelajaran hidup yang bisa di ambil dan terkadang sangat relate dengan dunia nyata.

“Ini aja ya?” Kirana menunjuk sebuah drama alih-alih film.

“Drama?” Bagas mengerutkan keningnya, ia membaca judul drama itu. Pemeran wanita dan pria nya sangat tidak asing di matanya. “When Life Gives You Tangerines? Apa nih, ketika hidup memberimu jeruk keprok?”

Mendengar celetukan Bagas yang terkesan asbun itu bikin Kirana terkekeh, ia menepuk pundak pria itu dengan gemas. “Iya tapi gak usah di translate ke bahasa Indonesia juga, jadi aneh kedengeranya tau.” protesnya.

“Ini pemeran ceweknya yang penyanyi itu bukan sih, Sayang? Kalau enggak salah Almira pernah nonton konser nya ya?” Almira memang pernah menonton konser banyak idol, salah satunya adalah konser dari pemeran wanita di drama itu.

“Iya, namanya IU cantik ya?”

“Cantikan kamu ah,” Bagas mulai memutar film nya, ia mengubah posisinya dari duduk menjadi tiduran. Ia menaruh kepala nya di atas paha Kirana sembari sesekali mengupas kacang.

Tidak ada obrolan saat drama itu di putar, hanya sesekali celetukan Bagas saja yang mengomentari akting dari para aktor dan aktris di drama itu. Drama yang sangat melankolis itu bahkan jauh lebih menyedihkan perasaan Kirana hari ini.

Di tengah-tengah episode 4, Kirana menitihkan air matanya. Drama itu memang sedih, tapi ia bukan menangis karena alur cerita drama nya. Melainkan menangisi dirinya sendiri, Bagas masih belum sadar Kirana menangis sampai akhirnya air mata Kirana jatuh tepat ke pipi Bagas.

Membuat pria itu menoleh ke arah wanitanya dan buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk, “sayang, kenapa?”

Kirana terkekeh, hatinya perih tapi ia tidak ingin membuat Bagas khawatir. “Gapapa, drama nya sedih aja.”

“Kirain kenapa,” Bagas menarik bahu Kirana. Membawa wanita itu pada dekap nya. “Tapi cowoknya tuh keren ya?”

“Hm?” Kirana berdeham, “kenapa?”

“Iya, dia nemenin si cewek terus, siapa namanya tadi aku lupa.”

“Oh Aesun?”

“Ah iya, Aesun. Gwansik kelihatan perjuangin dia banget.”

“Um..” Kirana hanya mengangguk, ia sangat menikmati pelukan itu. Menghirup aroma Bagas sedalam-dalamnya, menjadikan aroma tubuh pria itu sebagai obat hatinya. “Kalo kamu bakalan kaya Yang Gwansik gak?”

Kirana cuma penasaran aja, walau sejauh ini. Ia selalu merasa Bagas selalu ada di pihaknya, membela nya dan memilihnya meski hubunganya dengan orang tua nya tidak baik-baik saja. Kalau boleh jujur, Kirana senang. Tapi di sisi lain, ia merasa telah merebut Bagas dari keluarganya dan Merusak hubungan mereka.

“Jelas lah, aku sayang banget sama kamu,” jawab Bagas tanpa sedikit pun keraguan.

“Kalau akhirnya gak sama aku gimana?” Kirana melonggarkan pelukanya pada pinggang Bagas, ia mendongak dan memperhatikan wajah pria nya itu.

“Aku acak-acak aja bumi berserta isinya.” Setelah Bagas mengucapkan hal itu, keduanya terkekeh. Kirana tahu Bagas hanya bercanda, padahal Kirana bertanya dengan serius.

“Oiya, sayang. Kamu masih mimpiin tentang Ayu?” Bagas cuma kepikiran aja, soalnya akhir-akhir ini Kirana juga udah enggak pernah cerita tentang mimpinya.

Kirana mengangguk, “masih.”

“Lama juga ya..” gumam Bagas, “mimpinya masih berlanjut kaya cerita?”

“Um.”

“Udah sampai mana?” Bagas penasaran sejujurnya, kenapa Kirana bisa mengalami mimpi berlanjut seperti sebuah cerita setiap kali dia tidur. “Aku... Masih ada di mimpi kamu?”

Alih-alih menjawab, Kirana justru menatap Bagas dalam. Ia mengingat akan Adi yang kehilangan pendengarannya, kalau mengingat Adi dan melihat Bagas. Kirana jadi tidak tega, menatap Bagas pun rasanya ia seperti menatap Adi. Ada kesedihan karena nasib tidak baik pria itu.

“Sayang?” panggil Bagas, ia sadar Kirana menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan, Bagas bukan risih. Dia cuma penasaran apa yang Kirana pikirkan ketika menatapnya seperti itu.

“Hm?”

“Tadi aku tanya apa coba?”

Kirana mengurai pelukan itu, ia menarik nafasnya dalam. “Adi masih ada kok, walau keadaanya gak baik-baik aja.”

Setelah Kirana mengatakan itu, keadaan agak hening sejenak. Bagas juga bingung kenapa perasaanya bercampur aduk saat ini, apalagi saat ia mengetahui kabar Adi dari mimpi Kirana.

“Ak..aku kenapa?” tanya Bagas gugup.

Kirana menggeleng, “aku gak bisa kasih tau kamu.”

“Kenapa, Na?”

Sebenarnya Kirana bisa saja bercerita pada Bagas, tapi akan sangat sulit untuknya selain karena nasib Adi yang piluh. Bagas juga mungkin tidak akan merasakan rasanya bermimpi dalam jangka waktu yang lama, menguras seluruh emosinya dan mimpi yang terus berlanjut.

“Apa itu bikin kamu gak nyaman? Kalau iya, aku gak akan tanya-tanya lagi.” Bagas hanya tidak ingin membuat Kirana enggak nyaman karena ia bertanya tentang mimpinya.

Kirana takut Bagas salah paham, jadi ia peluk lengan pria itu yang kini tengah sibuk membersihkan bekas sisa makan mereka di mobil.

“Aku bukan gak nyaman, aku cuma gak tega mau ceritanya. Karena benar-benar nguras perasaan aku banget. Cuma ada sedikit bagian bahagia di mimpi itu,” jelas Kirana.

“Iya gapapa.” Bagas mengerti, ia mengusap-usap punggung Kirana karena merasa tidak enak.


“Begini Kirana, sebenarnya sebelum Bagas berangkat ke Surabaya harusnya Bagas dan Asri bertunangan. Tapi Bagas enggak datang ke acara itu, dia lebih memilih kamu. Pindah dari rumah, enggak mengunjungi orang tua nya, jadi anak pembangkang itu semua karena kamu.”

“Bapakmu bunuh diri karena depresi kan?”

“Keluarga kami adalah keluarga yang menjunjung tinggi mertabat dan keutuhan keluarga Kirana. Hal itu yang membuat saya enggak pernah setuju Bagas berhubungan dengan kamu, belum lagi hutang Bapakmu banyak kan?”

Raga mengehela nafasnya, tubuhnya sudah berada di atas ranjang untuk siap terlelap malam ini. Namun suara dan kata-kata yang menyakitkan itu terus bergema di kepalanya, bagaimana bisa seorang Ibu berkata seperti itu pada wanita muda lain? Yang bahkan ia sendiri memiliki anak seorang wanita juga.

Sore itu, Raga memang tidak sengaja mendengar obrolan menyakitkan itu di cafe. Ia sendiri awalnya tidak berniat menguping atau bahkan berniat membuntuti Kirana, ah tidak. Bahkan Raga datang lebih dulu. Tadinya ia hanya ingin menyelesaikan beberapa pekerjaanya di cafe, sembari menikmati secangkir kopi dan kudapan di sana.

Namun siapa sangka jika ia bertemu Kirana, sore itu, Raga memang sengaja tidak menyapa Kirana, ia melihat jika wanita itu mungkin ingin bertemu seseorang yang spesial. Terlihat dari bagaimana ia memakai baju, make up dan juga membawa bunga matahari yang ia bawa di tanganya.

Raga fokus pada pekerjaanya sampai tiba obrolan itu terdengar sangat menyakitkan di telinganya, itu bukan tertuju untuknya. Untuk Kirana tapi Raga juga seperti ikut merasakan sakitnya. Kirana di hina, di anggap tidak pantas bahkan harga dirinya di jatuhkan oleh Ibu dari pria yang ia sangat cintai.

Raga berbalik untuk kesekian kalinya, mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk. Ia menatap buket bunga matahari yang Kirana bawa dan di tinggal di kursi cafe itu, Raga bawa buket itu pulang dan ia pindahkan bunga itu di dalam vas.

“Kok bisa ada Ibu yang sejahat itu?” gumam Raga.

Ia keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah balkon, menikmati semilir angin malam itu. Berusaha untuk melupakan kejadian menyakitkan tadi sore. Pikiranya melaung kemana-mana, memikirkan kejadian tadi sore lalu kemudian memikirkan arti dari mimpinya yang urung memberikan jawaban.

“Aneh kalo di pikir-pikir, kalau benar mimpi itu kehidupan sebelumnya punya gue. Di kehidupan sebelumnya gue sama Kirana pacaran? Jayden janji mau menikahi Ayu, tapi di kehidupan ini justru gue gak sama Kirana?” gumam nya pada diri sendiri.

“Tapi Ayu juga nikah sama Dimas, tapi di kehidupan ini. Dimas justru udah menikah dan punya satu orang anak, ah enggak-enggak. Raka duda, dia cerai sama istrinya,” ralat Raga.

Iya, Raga sudah tahu kalau Raka seorang duda yang memiliki satu orang anak. Raka sendiri yang cerita saat makan siang, walau Raga enggak begitu menanggapi ceritanya. Pria yang ternyata lebih tua darinya dua tahun itu cukup ramah, berbeda dengan karakter Dimas di dalam mimpinya.

“Itu artinya, ada sesuatu yang berubah? Kayanya gue emang harus nunggu kelanjutan mimpi Kirana supaya bisa mikirin jawabanya..”

Bersambung

Samarang, 1898.

Keeseokan harinya, ketika Ayahnya sedang mengajak Dimas ke toko roti milik keluarga Gumilar, Ayu memakai kesempatan itu untuk mengunjungi kediaman asisten residen Samarang, bukan Adi yang mengantar. Kondisi Adi semakin parah, bahkan pria itu sulit di ajak komunikasi sekarang ini. Ayu sudah membujuk Ibu nya untuk membantu keluarga Adi membawanya ke rumah sakit milik Belanda, tapi sayangnya sesampainya di sana Adi di tolak.

Untuk saat ini, keluarga Adi hanya mengandalkan pengobatan herbal dan berdoa agar Adi cepat pulih. Dokar yang di kendarai oleh kusir yang kini bekerja di rumahnya itu berhenti di kediaman asisten residen Samarang, Ayu turun perlahan-lahan dari dokar itu dan langsung di sambut oleh penjaga kediamanya. Seorang pria Belanda yang tingginya menjulang, bahkan Ayu harus mendongak agar bisa bertatapan dengan pria itu.

Pardon, ik zoek de mener Jacob De Houtman.” (permisi, saya mencari Tuan Jacob De Houtman.)

Penjaga kediaman asisten residen itu menelisik penampilan Ayu, ia tidak tahu Ayu siapa. Tapi bisa ia pastikan Ayu bukan dari kalangan rakyat biasa, terlihat bagaimana dokar milik wanita itu yang tidak biasa dan kebaya yang dikenakannya.

Wat heb je nodig?” (ada keperluan apa?)

Ik moet hem iets vragen.” (ada sesuatu yang ingin saya tanyakan padanya.)

Penjaga itu tampak menimang-nimang, namun akhirnya Ayu di izinkan untuk masuk ke kediaman itu, di pintu masuk terdapat ruang tamu. Ayu di persilahkan untuk duduk disana, namun pikirannya makin berkecamuk setelah ia melihat foto residen dan wakil residen yang di pajang di ruangan itu.

Tidak ada foto Jayden disana yang setahu Ayu masih menjabat sebagai asisten residen Samarang, justru dua pria Belanda yang tampak asing bagi Ayu. Sungguh, pikirannya makin tidak karuan seperti hatinya baru saja di remas dari dalam membuat perasaan tidak nyamannya kian menjadi-jadi.

“Selamat siang,” ucap seseorang dari belakang Ayu, suara barinton nya membuat Ayu terkesiap dan menoleh ke belakang.

Seorang pria Indo, tubuhnya tinggi dan wajahnya perpaduan pria Asia dan juga Belanda. Matanya berwarna kecoklatan, dan kulitnya putih bersih meski tak sepucat pria Belanda lainya.

“Saya Djenar Ayu Asutiningtyas.” Ayu menjabat tangan pria itu, pria Indo yang ramah pada pribumi, pikirnya.

“Raden Ayu?” Tebaknya yang membuat Ayu mengangguk.

“Syukurlah, tiba saatnya kau datang.” Pria itu duduk di kursi yang ada di ruang tamu itu, tanganya terulur, menunjuk salah satu kursi di sana dengan ibu jari nya mempersilahkan Ayu untuk duduk juga di salah satu kursi yang ada di sana.

Ayu mengeluarkan secarik kertas pemberian dari Adi beberapa hari yang lalu, dan seperti benda ajaib. Pria itu langsung mengangguk dengan raut wajah yang piluh namun juga ada kelegaan yang tergambar jelas di netra kecoklatan miliknya.

“Saya akan membawa Raden Ayu ke kebun belakang, saya akan jelaskan di sana. Apakah Raden Ayu tidak keberatan?”

Ayu menggeleng, meski hamil besar. Ayu masih kuat berjalan pelan-pelan meski rasanya nafasnya tercekat. “Tidak apa-apa.”

Pria itu berdiri, “mari, ikuti saya. Saya akan menunjukan sesuatu yang menjadi milik anda.”

Ayu akhirnya ikut berdiri, langkah kakinya yang kecil-kecil karena mengenakan kain itu berusaha menyamai langkah kaki Jacob yang melangkah besar-besar. Di bawanya ia ke sebuah kebun yang penuh dengan melati-melati di sana, harum. Itu lah kesan pertama yang Ayu katakan dalam batinnya saat ia tiba di sana.

“Kebun ini, saya yang membuat atas perintah Meneer Jayden,” jelas Jacob, ia memperlihatkan hasil tanganya yang ia tanam sendiri melalui bibit yang ia bawa dari rumahnya.

“Kebun melati ini milik Raden Ayu,” lanjutnya.

“Milik saya?”

Pria itu mengangguk, “Meneer Jayden membuat kebun ini karena Raden Ayu suka sekali dengan bunga melati, sering memakai hiasan bunga melati ini di kepala juga sebagai hiasan rambut.”

Jacob melirik ke rambut panjang milik Ayu yang masih di hiasi melati-melati, wangi kebun ini yang berasal dari bunga putih itu sangat menggambarkan harum Ayu sekali.

“Lalu.. Meneer Jayden kemana? Kenapa di ruangan tadi, tidak ada fotonya? Apakah masa jabatanya sudah selesai?” Akhirnya Ayu memuntahkan semua pertanyaan yang ada di kepalanya.

“Biarkan saya menjawabnya satu persatu, Raden Ayu. Saat ini, saya tahu anda pasti kebingungan. Saya akan menjelaskannya.” Tangan kanan Jacob, menunjuk sebuah kursi di kebun itu. Menyuruh Ayu untuk duduk di sana, Ayu menurut. Kedua anak manusia itu akhirnya duduk di sebuah kursi panjang berbahan bambu yang ada di sana.

“Meneer Jayden memerintahkan saya untuk membuat kebun ini serta merawat melati-melati ini untuk anda, sebagai hadiah dari pernikahan kalian, kelak kalian menikah nanti. Namun takdir berkata lain, semesta tidak merestui kalian bersama. Namun, Meneer Jayden tetap meminta saya untuk merawat melati-melati ini. Ia ingin suatu hari anda melihatnya.”

Jacob tidak menatap Ayu, matanya terus menerus menatap hamparan kebun melati itu yang nampak subur hasil tanganya. Bahkan melati-melati di kediamannya dulu kalah subur di banding melati yang ia tanam di kediaman asisten residen ini.

Perasaan Ayu yang mendapatkan penjelasan seperti itu semakin tidak karuan, ingin sekali ia bertemu dengan pria nya. Memeluknya jika memungkinkan dan mengatakan terima kasih karena sudah membuatkan kebun melati itu untuknya.

“Setelah Raden Ayu menikah, Meneer sempat sakit. Dokter sudah berusaha memberikan pengobatan untuknya, namun sakitnya urung membaik. Hari demi hari yang ia tunggu hanya balasan surat dari Raden Ayu yang bahkan sampai saat ini tidak mendapatkan balasan.”

Ayu masih bergeming, ia ingin sekali membalas surat itu. Namun geraknya selalu terhalang oleh Dimas dan juga para pekerja yang bekerja di rumah Dimas yang ada di Soerabaja.

“Raden Ayu tahu tentang penyerangan yang di lakukan oleh pribumi pada para pejabat kolonial?” Tanya Jacob.

Ayu menggeleng, ia tidak di izinkan membaca surat kabar oleh Dimas. “Tidak..”

“Ah,” Jacob mengangguk-angguk. “Sayangnya, maafkan saya harus menyampaikan berita seperti ini tetapi, hari itu Meneer Jayden menjadi salah satu korban nya. Ia di temukan tewas di salah satu ruangan di kantor keresidenan.”

Ayu terdiam di tempatnya, kabar dari Jacob itu tidak Ayu percayai sepenuhnya. Tidak mungkin Jayden menjadi salah satu korbannya, ia masih sangat ingin menemui pria itu bahkan jika ia hanya di perbolehkan melihatnya saja tanpa bertegur.

“Berita itu tidak benar kan, dia masih ada. Dia bahkan selalu berada di pihak pribumi bagaimana mungkin ia mati di tangan pribumi juga?” Ayu menahan tangis nya yang hampir saja pecah, kepalanya masih berusaha untuk meyakinkan dirinya jika Jacob hanya mengada-ngada.

“Saya harap juga seperti itu, tapi maaf Raden Ayu. Meneer Jayden memang sudah tidak ada, bahkan jasad nya di bawa ke negara asalnya. Sampai hari ini, para tentara Belanda masih memburu pelaku pembunuhan itu.”

Setelah mengatakan hal itu, Jacob meninggalkan Ayu di kebun melati itu sendirian. Jacob hanya berpikir jika mungkin wanita ringkih itu butuh waktu sendiri untuk mencerna semua berita tidak mengenakan untuknya, dari dalam rumahnya ia bisa mendengar isakan Ayu yang menyesakan.

Wanita itu terisak bahkan terbatuk-batuk menerima kenyataan jika Jayden benar-benar mati terbunuh, setelah di rasa cukup melampiaskan kesedihannya di kebun itu, Ayu pulang dengan dokarnya. Tangisnya masih terus pecah sembari sesekali ia mengatur pernafasanya, ia sesak dan beberapa kali batuk darahnya kambuh lagi.

Dokar yang di kendarai seorang kusir itu melaju sedikit kencang membelah kebun-kebun milik warga dan pedesaan, kusir yang bekerja untuk keluarga Gumilar itu panik mendapati Ayu yang terus terbatuk-batuk mengeluarkan darah.

Begitu sampai di kediamannya, kedua orang tua Ayu langsung menghampiri Ayu yang masih tergeletak lemas dalam dokar. Bahkan Dimas pun langsung berlari dan membawa Ayu keluar dari dokar itu.

“Panggilkan dokter Corlenis cepat!!” sentak Ayah Ayu, beliau panik bukan main begitu melihat Ayu tak sadarkan diri dengan darah di sekitaran mulut hingga dada nya.

Seorang pekerja di rumah keluarga Gumilar itu yang sudah menjadi tangan kanan bagi Tuan Gumilar langsung pergi ke kediaman dokter Cornelis, beliau adalah orang Belanda yang sudah menjadi dokter keluarga Gumilar, bahkan beliau yang juga mendiagnosis jika Ayu mengidap tubercolosis.

“Ayu? Sadar Ayu!!” Dimas menepuk-nepuk pipi istrinya itu.

“Ayu masih bernafas kan, Romo?” Ibu sudah terisak, beliau tidak tega melihat putri satu-satunya itu kembali terbaring lemah.

“Dokter Cornelis akan segera datang menyelamatkan Ayu.”

Setelah dokter Cornelis datang, Ayu di suntikan beberapa antibiotik, kondisinya jauh lebih stabil meski Ayu belum juga sadar.

“Dimas, kita harus segera mencari pengobatan untuk Ayu. Salah satu kawan saya di Batavia memberi kabar jika di sana ada dokter spesialis paru-paru yang bisa mengobati Ayu,” jelas dokter Cornelis, beliau melirik Ayu. Nafasnya sudah stabil, tapi jika di biarkan seperti itu terus menerus. Kuman yang berada di paru-paru Ayu akan semakin memperparah keadaanya.

“tetapi Ayu sedang hamil, dok. Apa tidak apa-apa jika ia menjalani pengobatan?” Dimas ingin mempertahankan anaknya, anak yang di prediksi berjenis kelamin laki-laki itu kelak akan menjadi penerus keluarganya. Ia tidak ingin kehilangan anak dalam kandungan Ayu.

“Setelah dia melahirkan, resiko nya cukup tinggi.”

Dimas menghela nafasnya pelan, setelah dokter Cornelis berpamitan. Pria itu kembali duduk di ranjang tempat Ayu berbaring, memperhatikan wajah pucat istrinya itu.

“Kenapa aku harus menikahi wanita penyakitan sepertimu, Ayu?”


Jakarta, 2025.

Pagi itu, ketika Raga keluar dari mobil yang di kemudikannya. bersamaan itu dengan Kirana dan Bagas yang juga keluar dari mobil, keduanya masih berangkat ke kantor bersama pagi ini. Raga terdiam di kursi kemudinya sejenak, memperhatikan dua anak manusia itu berjalan bersamaan sembari membicarakan sesuatu yang entah apa, Raga masih mengingat bagaimana Ibu nya Bagas datang menemui Kirana.

Bagaimana wanita itu menangis di kursi cafe setelah ibu dari pria yang ia cintai itu pergi, tapi pagi ini. Kirana masih bersikap seperti biasanya pada Bagas. Sejujurnya, Raga enggak tau ini perasaan apa, tapi dia merasa sangat bersimpati pada Kirana sekaligus salut, Raga berpikir jika wanita itu ingin tetap mempertahankan hubunganya dengan Bagas.

Menghela nafasnya dengan kasar, Raga membuka pintu mobilnya. Bersamaan dengan itu, ia juga bertemu dengan Raka. Pria yang lebih tua darinya 2 tahun itu terseyum ramah padanya.

“Pagi, Pak,” sapa Raka, ia berjalan beriringan dengan Raga.

“Pagi,” jawab Raga sekena nya.

Raka masih tampak canggung dengan Raga, di matanya Raga adalah seorang yang tidak banyak bicara. Walau kata Almira dan Satya, Raga cukup ramah untuk ukuran seorang atasan. Di depan lift ternyata mereka bertemu dengan Kirana, Bagas dan juga Almira yang sedang menunggu lift terbuka.

“Pagi-pagi udah sumringah aja, Mir?” sapa Raka begitu melihat Almira yang sedang senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya.

“Habis di antar sama gebetannya, Mas. Yang katanya mirip Lee Sangyeon The Boyz,” sahut Bagas.

“Betul itu!” Almira menjentikkan jarinya.

“Seganteng apa sih?” Raka sudah tahu kalau Almira itu Kpopers garis keras, ya gimana enggak 3 kali makan siang bersama wanita itu, Almira selalu membicarakan boy grup yang berbeda-beda.

“Ah, ini Mas Raka bukan? Yang gantiin Pak Ilyas?” tanya Bagas begitu melihat Raka yang berdiri tepat di belakangnya, Bagas sudah tahu perihal pengganti rekan kerjanya. Karena Raka bekerja di kantor arsitektur itu atas rekomendasi dari Pak Ilyas.

“Iya, benar, Reiraka Indra Soerja.” Raka menjabat tangan Bagas.

“Banyu Bumi Bagaskara, panggil Bagas aja.”

“Wah, namanya unik. Kalo di singkan bisa jadi BBB ya?” Raka kemudian tertawa dengan leluconnya sendiri, sementara itu Almira, Kirana, Bagas dan Raga yang sedari tadi diam hanya melihat ke arah Raka secara bersamaan. “Hehe gak lucu ya?”

“Garing banget Mas Raka,” celetuk Almira.

“Lucu kok, Mas. Hehehe.” Bagas yang tidak enak tertawa sedikit, enggak enak sama Raka yang udah berusaha membangun lelucon pagi itu.

Begitu pintu lift terbuka, kelimanya langsung masuk secara bersamaan. Berbarengan dengan karyawan-karyawan yang lainnya, di dalam lift, Kirana bersebelahan dengan Raga. Saking penuhnya pagi itu, Bahkan Bagas jadi berada di paling depan. Dekat dengan tombol lift.

“Kirana?” panggil Raga, sejujurnya ada hal yang ingin Raga tanyakan pada Kirana. Terutama soal kelanjutan mimpinya.

“Ya, Pak?”

“Ada yang saya mau bicarain, setelah jam makan siang. Tolong ke ruangan saya ya.”

Kirana hanya mengangguk, keduanya seperti bisa saling membaca pikiran. Kirana juga berpikir jika Raga ingin menanyakan kelanjutan mimpinya, mimpi semalam, menurut Kirana cukup menguras emosinya. Ayu kini telah mengetahui jika Jayden sudah meninggal, dan hal itu juga yang menjadikan kondisi Ayu dalam mimpinya kian memburuk.

Begitu sampai di meja kerjanya, Kirana duduk. Ia merasa tengkuknya sedikit pegal, sebenarnya Kirana merasa kurang sehat pagi itu. Namun karena harus meeting hari ini, ia terpaksa masuk bekerja.

“Kenapa, Mbak?” Almira khawatir, soalnya Kirana tuh jarang banget pakai minyak angin kalau di kantor. Dia cuma takut kalau Kirana sakit aja tapi tetap maksain kerja.

“Agak pegal,” jawab Kirana, badannya emang pegal bahkan cuma di sekitar leher saja tapi tangan dan kakinya juga. Kirana cuma mikir ini efek setress atau bahkan ada kaitannya dengan mimpinya.

“Mau pake koyo gak, Na?” di kursinya Satya mengangkat koyo yang selalu ia stok di laci kecil meja kerjanya, Satya yang paling sering lembur makanya dia selalu nyiapin koyo, minyak angin dan obat sakit kepala.

Kirana terkekeh, “enggak usah, Mas. Makasih. Masih bisa tahan ini.”

“Yaudah, kalo butuh obat-obatan ambil di laci gue aja ya. Gue lengkap banget ini.”

“Sejompo itu ya, Bang?” Almira meledek.

“Yee.. Belom ngerasain aja, ntar kalo udah umur-umur segini kerasa dah,” Satya membela diri.

Bagas dan Raka yang duduk bersebrangan itu cuma geleng-geleng kepala saja. Mereka tidak satu tim, namun dalam ruangan itu celotehan dan kekerabatan yang erat membuat ruangan itu menjadi lebih hangat. Suasannya sehat meski beban kerjanya sangatlah tinggi.

Jam makan siang ini, Kirana sempat di tawari untuk makan di restoran padang yang ada di sebrang kantor mereka sama Almira, tapi Kirana menolak. Hari ini dia membawa bekal, jadi Kirana hanya makan di meja kerjanya saja sambil mengerjakan progress proyek yang sedang ia pegang.

Kebetulan, Bagas juga pergi makan siang keluar. Dia nemenin Mas Satya juga buat nyari bahan maketnya, makanya tinggalah Kirana sendiri di meja nya. Kirana sempat berpikir jika Raga sudah keluar makan siang lebih dulu, namun ternyata laki-laki itu masih ada di ruanganya. Begitu ia keluar, Kirana sempat tersenyum dan Raga juga menganggukan kepalanya kecil.

“Makan, Pak.” tawarnya, Kirana sempat memerkan kotak bekalnya.

“Saya udah makan, Kirana.” Raga menghampiri Kirana, pria jangkung itu menarik kursi milik Almira yang berada tepat di samping Kirana. “Ada yang mau saya tanyain ke kamu, Na.”

“Ada apa, Pak?” Kirana memang hanya membawa roti bakar, jadi ia tutup kotak bekalnya itu demi menyimak obrolannya pada Raga.

“Soal mimpi kamu, Na.”

Kirana mengangguk kecil, “Bapak pasti mau tanya mimpi saya sudah sampai mana ya?”

“Hm.” Raga berdeham mengiyakan, “gimana sama Ayu, Na?”

Kirana menghela nafasnya pelan, agak menyesakkan menceritakan bagaimana Ayu dalam mimpinya. Tapi, ia harus tetap bercerita pada Raga agar bisa memecahkan apa arti dari mimpinya.

“Ayu sudah tau soal kabar Jayden yang jadi korban pembunuhan oleh pribumi yang menyerang kantor residen, Pak. Dia terpukul banget, sampai-sampai penyakitnya kambuh.”

“Terus?”

“Baru sejauh itu, Pak. Dimas dan keluarga Gumilar ada rencana membawa Ayu berobat menemui dokter yang ada di Batavia. Tapi sayangnya pengobatan itu gak bisa berlangsung saat itu juga karena Ayu sedang hamil.”

Raga mengangguk-angguk kecil, ia memijat pelipisnya pelan. Sangat menggantung, ia masih belum bisa memikirkan apa jawaban dari mimpi mereka. Masih seperti kepingan puzzle yang hampir lengkap namun komponen utamanya masih kurang.

“Adi, gimana sama dia, Na?” Raga jadi teringat sama pria pribumi miskin itu, ia sangat tahu kabar pria itu bagaimana. Raga hanya ingin tahu apakah Adi membaik atau tidak.

“Kondisi Adi semakin menurun, Pak. Telinganya masih gak bisa mendengar dan sekarang dia sakit-sakitan.”

Waktu Kirana menjelaskan hal itu, sontak mata Raga tertuju pada kursi milik Bagas yang kosong. Hanya ada jaket milik pria itu yang di taruh di sandaran kursinya saja.

“Masih seperti kepingan puzzle, Na. Saya belum bisa mikirin jawaban soal arti mimpi kita,” Raga pikir ia masih harus menunggu kelanjutan mimpi Kirana.

“Gapapa, Pak. Besok saya akan kasih tau Bapak kelanjutannya.”

Raga mengangguk, sebenarnya selain ingin bertanya tentang mimpi Kirana. Ia juga ingin menyampaikan kabar pada Kirana, mungkin wanita itu agak sedikit tidak menyukainya. “Na, sebenarnya selain tanya soal mimpi kamu, saya juga mau kasih kamu kabar yang mungkin kamu gak terlalu sukai tentang next proyek kamu.”

“Maksudnya, Pak?” Kirana mengerutkan keningnya bingung. Karena tumben sekali Raga memikirkan perasaanya, biasanya pria itu tidak begitu perduli jika bawahannya suka atau tidak dengan proyek yang ia berikan.

“Iya, jadi firma kita dapat klien. Namanya Pak Suryo, beliau itu owner dari restoran masakan padang yang ada di sebrang kantor kita.”

“Serius, Pak?!” pekik Kirana. “Yang restorannya itu ada dimana-mana?”

“Yup.” Raga mengangguk mengiyakan. “Beliau ingin kita bantu untuk proyek rumahnya, ya hadiah sih untuk pernikahan anak bungsu nya. Dan beliau percaya sama firma kita.”

“Jadi ini next proyek saya, Pak? Lalu kenapa jadi kabar yang gak menyenangkan buat saya?”

“Kamu akan kolaborasi sama Raka, Kirana.”

Bersambung

Mobil yang Bagas kendarai itu ia parkir tepat di depan pagar rumahnya, sebelum turun dari sana. Ia sempat memandang pagar itu sebentar, sudah satu bulan lebih ia tidak menginjakan kakinya di rumah, tak melihat wajah Ibu dan Ayahnya bahkan Adiknya. Hari ini Bagas mengunjungi mereka, itu pun bukan dari hatinya sendiri, melainkan karena Kanes dan juga permintaan dari Asri.

Enggak ada yang berubah sedikit pun dari pagar kayu itu, bahkan halamannya yang di penuhi tanaman kesukaan Ibu. Masih terawat, hijau dan beberapa bunga bermekaran. Melepaskan seatbelt yang terpasang di tubuhnya, Bagas keluar dari dalam mobil. Membuka pagar rumahnya dan masuk ke sana. Baru saja tanganya menutup pagar, derap langkah kaki dari sandal rumahan itu terdengar memenuhi telinga Bagas.

“Mas Bagas?!” Pekik Kanes, “Ibu, Mas Bagas pulang, Buk!!” Wanita itu sedikit berteriak, ia kemudian berlari dan menghampiri Kakak laki-lakinya itu.

Alih-alih memeluk, Kanes justru meninju lengan berisi Bagas dengan bibir yang sedikit ia majukan, wanita itu cemberut. Kesal karena Bagas baru pulang hari ini padahal ia sudah seminggu di Jakarta.

“Gausah teriak-teriak heh! Pake mukul lagi, orang tuh kalo Mas nya pulang di sambut yang manis, di bikin teh kek, di siapin makanan kesukaanya kek,” protes Bagas. Ia terkekeh pelan saat bibir Kanes menirukan ucapannya itu.

“Ngapain! Mas aja gak ngasih tau mau pulang sekarang.”

Tidak lama kemudian, Ibu dari keduanya keluar dari rumah. Matanya berseri ketika melihat si sulung yang ia rindukan itu pulang.

“Bagas!! Ya ampun, Nak. Ibu kangen banget sama kamu..” Ibu langsung memeluk Bagas begitu si sulung menghampirinya untuk menyalaminya, hatinya lega, Bagas sudah mau pulang. Ibu berpikir jika ini pertanda baik, mungkin Kirana sudah mulai menjauhi putra kesayanganya itu. Makanya Bagas merasa putus asa dan akhirnya pulang, ia merasa usahanya membuahkan hasil.

“Maaf ya, Buk. Bagas baru bisa mampir, kemarin-kemarin Bagas sibuk banget di Surabaya.”

“Gapapa, Nak. Ibu kangen banget, Ibu sampai sakit mikirin kamu. Untung ada Asri yang ngerawat Ibu. Emang bener deh dia tuh calon menantu idaman sekali.”

Mendengar ucapan Ibu baik Bagas maupun Kanes merasa canggung, suasana hati Bagas yang tadinya menghangat karena mampir ke rumahnya itu juga jadi sirna begitu Ibu menyebut nama Asri.

“Bagas bisa sewa suster buat rawat Ibu loh, Buk. Jangan ngerepotin orang,” Bagas enggak menanggapi ucapan akan kata calon menantu itu, ia tidak ingin memulai perdebatan sama Ibunya.

“Enggak kok, malahan ini insiatif Asri sendiri buat rawat Ibu, Bagas. Ibu lebih ngerasa nyaman kalau di rawat sama Asri.”

“Ya tapi kan Asri juga bukan perawat, Buk. Dia juga punya kerjaan.”

“Benar kata, Mas Bagas, Buk. Lagian Kanes kan juga yang lebih paham, Ibu lupa ya kalo Kanes ini kuliah kedokteran?” Kanes mendukung ucapan Bagas.

“Ck,” Ibu mendecak dan menajamkan tatapannya saat bertemu dengan kedua mata Kanes, Ibu merasa Kanes tidak berada di pihaknya. “Kamu kan sibuk terus.”

“Ya tapi kan Kanes juga yang ngasih tau obat Ibu apa aja Ibu gak boleh makan apa aja—”

“Udah-udah, kita masuk yuk? Mas lapar mau makan masakan Ibu, Ibu masak apa?” Bagas menengahi meski ia memotong ucapan Kanes, ia tidak ingin Ibu dan Adiknya itu bertengkar, Bagas menggandeng Ibu masuk sembari menoleh ke arah Kanes yang berjalan di belakang mereka. Memberi kode pada Adiknya itu untuk tidak menanggapi lagi ucapan Ibu.

Ketiga nya makan malam bersama di meja makan, tidak lama kemudian, setelah ketiganya selesai makan malam. Ayah pulang, pria yang perawakannya mirip dengan Bagas itu tampak lega melihat putranya telah kembali ke rumah, namun tidak di pungkiri jika masih ada kekecewaan besar di hati sang Ayah perihal Bagas yang tidak datang ke acara pertungannya dengan Asri.

“Yah,” Bagas menghampiri Ayahnya, alih-alih di beri tangan kanan pria itu untuk di salaminya, Ayahnya justru mengangkat tangannya tinggi dan melayangkan sebuah tamparan yang mendarat tepat di pipi kiri Bagas.

Bagas kaget, pipi nya memerah dan telinganya berdenging agak nyaring karna tamparan dari Ayahnya itu. Ibu dan Kanes pun kaget, alih-alih sambutan hangat seperti yang di tunjukan oleh Kanes dan Ibu. Ayah justru malah menampar Bagas.

“Kurang ajar kamu, Bagas. Bikin malu orang tua saja!” Sentak Ayah.

“Yah!!” Ibu memperingati, namun suaminya itu enggan menggubrisnya.

“Kamu tahu tidak, Ayah malu sekali dengan orang tua nya Asri karena kamu tidak datang di malam pertunangan kalian.” Saking tidak enaknya dengan keluarga Asri, Ayah sampai-sampai harus mengucapkan maaf berkali-kali atas kelancangan putranya.

“Kan Bagas sudah jelasin sama Ayah dan Ibu kalau Bagas gak bisa sama Asri, Bagas punya Kirana, Yah,” Bagas pikir setelah ini orang tua nya bisa sedikit menerima keputusaanya, ternyata semuanya masih sama.

“Halah perempuan itu lagi, kamu udah di butain sama perempuan itu, Bagas. Kamu tahu tidak sih keluarganya seperti apa? Keluarganya terlilit hutang, bisnis orang tua nya bangkrut. Kalau kamu menikah sama dia—”

“Kirana enggak pernah minta Bagas buat bantu bayar hutang-hutang orang tua nya, Yah. Gak pernah..” Ucap Bagas menyela ucapan Ayahnya, kedua bahu pria itu naik turun berusaha meredam emosinya sendiri setiap kali Ayah atau Ibu nya menghina Kirana.

“Kalau memang Ayah dan Ibu enggak bisa menerima Bagas sama Kirana, Bagas enggak akan datang ke rumah ini lagi. Kalian mau enggak anggap Bagas bagian dari keluarga ini pun gapapa, toh selama ini Bagas enggak pernah di beri kesempatan ambil keputusan untuk hidup Bagas sendiri. Ayah sama Ibu selalu yang ambil kesempatan itu dengan alasan tahu apa yang terbaik buat Bagas!”

Bagas sudah cukup lelah, selama ini ia merasa orang tua nya cukup menyetir hidupnya. Ah, tidak. Bahkan keduanya yang terus mengambil keputusan di setiap pilihan hidupnya, dan kini, Bagas sudah lelah dengan hal itu. Ia ingin hidupnya sendiri.

Malam itu tanpa berpamitan kembali pada kedua orang tua nya, Bagas melangkahkan kaki keluar rumahnya. Kanes hanya bisa mengejar Kakak laki-lakinya itu hingga ke depan mobilnya, berusaha untuk menahan Bagas agar tidak pergi.

“Mas..Mas Bagas!!” Pekik Kanes, ia berusaha menyamai langkah kakinya dengan Bagas. Sampai akhirnya ia berhasil menarik tangan Bagas untuk ia tahan sebentar.

“Mas udah capek, Nes. Mas juga yakin kamu capek kan di atur sama Ayah dan Ibu?” Kanes memang sering bercerita hal ini pada Bagas, mengeluh jika ia sebenarnya tidak ingin masuk kedokteran. Semua Kanes lakukan karena itu pilihan orang tua nya.

“Iya, Mas.” Kanes menangis, ia juga merasa lelah. Tapi ia tidak bisa menentang orang tua nya, ia tidak memiliki keberanian itu. “Mas Bagas mau pergi lagi?”

Bagas menghela nafasnya pelan, tidak tega melihat Adiknya itu menangis. Ia paham jika Kanes juga mungkin tersiksa berada di rumah, mungkin yang Kanes takutkan ketika Bagas benar-benar tidak kembali ke rumah adalah, ia akan kehilang seorang pendengar. Karena selama ini yang bisa mendengar cerita Kanes hanyalah Bagas.

“Kita cuma pisah rumah, kalau Kanes mau ke rumah, Mas. Kan udah Mas kasih alamatnya, Mas masih tetap bisa dengarin cerita-cerita kamu.” Bagas menaruh kedua tanganya di bahu Kanes, wanita itu masih menangis.

Setelah Kanes tenang, baru lah Bagas bisa pulang ke rumahnya. Di perjalanan pulang, ia mengabaikan telfon dari Ibu nya. Ia masih belum ingin bicara dengan kedua orang tua nya itu, entah sampai kapan.


Samarang, 1898.

Sudah beberapa hari ini kondisi Ayu mulai membaik, ia masih sering berada di kamar untuk memulihkan kondisinya. Namun jika merasa sedikit bosan, kadang Ayu hanya duduk di teras rumahnya saja. Memperhatikan para pekerja di rumahnya yang tengah sibuk menjalankan tugas-tugasnya. Pagi itu, ketika Dimas sudah berangkat bersama Romo nya.

Ayu bangun dari ranjangnya, mencoba mencari surat yang di berikan oleh Jayden melalui Adi. Seingatnya, ia menaruh surat dengan kertas lusuh itu di nakas meja riasnya. Namun sudah nyaris ia keluarkan semua isinya, tidak ia dapati juga kertas bertuliskan untuknya itu.

“Kemana yah..” gumam Ayu.

Ia bangun dari kursi di depan meja riasnya, memegangi perutnya yang bertambah besar seiring dengan nafasnya yang kerap kali sesak akhir-akhir ini. Menurut dokter yang memeriksanya, kondisi paru-paru Ayu sangat memperihatinkan. Kuman dari tubercolosis di paru-parunya itu semakin parah karena selama ini Ayu hanya mengandalkan pengobatan herbal saja.

Dokter sudah mengingatkan pada suami Ayu dan kedua orang tua nya untuk selalu menjaga kebersihan, karena penyakit yang di derita Ayu ini memang menular. Bahkan dokter sudah memberikan peringatan pada Dimas jika ada kemungkinan bayi yang di kandung Ayu juga tertular penyakit dari Ibu nya.

“Iya, anaknya meninggal tadi subuh, Buk.”

inalillahi.. kalau begitu nanti saya segera ke sana.”

Sayup-sayup Ayu mendengar suara Ibu nya tengah berbicara dengan orang lain, kalau tidak salah dengar ada yang meninggal? Tapi siapa? Pikir Ayu. Dengan langkah terdopoh-dopoh, Ayu berjalan keluar dari kamarnya. Menghampiri Ibu nya yang masih terduduk di meja ruang tamu sembari memeriksa laporan hasil dari perkebunan miliknya.

Buk, sinten ingkang seda?” Tanya Ayu, ia duduk perlahan-lahan di bantu Ibu di kursi tamu.

Ibu yang di tanya seperti itu tidak langsung menjawab, Ibu menunduk seperti bingung ingin mengatakan apa pada Ayu. Ayu yang melihat perubahan di raut wajah Ibu nya itu semakin bertanya-tanya.

“Buk?” Panggilnya sekali lagi, Ayu juga menaruh telapak tanganya di pundak Ibu.

“Kowe ngaso dhisik nang njero, Yu. Mengko nek bojo-mu weruh kowe neng kéné, isa nesu.

Ibu tampak mengalihkan pembicaraan dan itu semakin membuat kebingungan di kepala Ayu, “bosan di kamar, Buk. Ibu belum menjawab pertanyaan Ayu, Buk. Siapa yang meninggal, Buk?”

Ibu menelan saliva nya sendiri, seperti pertanyaan itu sulit ia katakan pada Ayu. Tidak ingin membuat putri satu-satunya itu kembali sakit jika mendengar berita duka yang datang dari keluarga Adi ini. Ya, Adi meninggal subuh tadi, pria malang itu sudah tidak kuat menahan sakit di kepala nya. Selama sakit, tidak pernah sekalipun kedua orang tua Adi membawanya ke dokter.

Bahkan keduanya menolak bantuan dari keluarga Ayu untuk membawa Adi ke dokter, mereka lebih memilih untuk tetap merawat Adi sendiri dengan pengobatan tradisional ala kadarnya saja.

“A..Adi, Yu,” jawab Ibu gugup.

Mendengar nama Adi di sebut, hati Ayu mencelos perasaanya berubah menjadi berkecamuk, hatinya menyangkal jika ia benar-benar mendengar apa yang telah di ucapkan Ibu nya. Mimpi buruk yang selalu Ayu takuti adalah di tinggal oleh orang-orang yang ia cintai, termasuk Adi.

Baginya Adi sudah seperti seorang kakak dan teman untuknya, ia lebih nyaman bercerita bahkan menjadi dirinya sendiri saat bersama Adi ketimbang dengan orang tua nya. Lalu, bagaimana jika Adi tidak ada? Ia sudah di tinggalkan oleh Jayden. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan jika Adi juga harus meninggalkannya.

“Ma..Mas Adi ke..kenapa, Buk?” Ayu kembali bertanya. Berharap ia benar-benar salah mendengar.

“Adi sudah tidak ada, Yu. Adi meninggal...” air mata Ibu mengembang tertahan di pelupuk matanya, meski Adi hanya anak dari pekerja di rumahnya. Ibu sudah menganggap Adi seperti anaknya sendiri juga, ia melihat bagaimana dahulu pasangan suami istri itu membawa Adi kecil saat keduanya bekerja.

Bahkan Adi kecil juga sudah membantu Ibu dan Bapaknya bekerja, ketika Adi dewasa. Pria malang itu berjanji akan terus menjaga Ayu. Dan sepertinya, janji itu benar-benar Adi tepati. Ayu yang mendengar kabar duka tentang Adi itu menangis, ia pergi begitu saja dari rumahnya tanpa mengenakan alas kaki, berlari menuju rumah Adi meski nafasnya tersenggal-senggal.

“AYU... AYU MAU KEMANA, NDUK?” teriak Ibu, Ibu tidak bisa pergi kemana-mana, akan ada tamu nanti siang.

“Parjo!! Kejar Ayu, Jo. Dia berlari ke rumah Adi!!” Ibu memanggil kusir yang biasa mengantarnya kemana-mana itu untuk mengejar Ayu, Ibu takut terjadi sesuatu yang buruk setelah ini pada kondisi kesehatan Ayu.

Di perjalanan, Ayu menangis, nafasnya sesak namun kaki nya terus berlari menuju rumah Adi, tak ia hiraukan dadanya yang sakit menjalar ke perut buncit nya itu. Yang ada di kepalanya saat ini adalah, ia ingin memastikan apakah ucapan Ibu nya itu benar.

Begitu ia sampai di depan rumah Adi, gubuk itu nampak ramai oleh para tetangga sekitar yang datang silih berganti memberi penghormatan pada Adi untuk yang terakhir kalinya. Kaki Ayu lemas, ia berjalan gontai masuk ke dalam gubuk itu bertepatan dengan jenazah Adi yang kebetulan akan hendak di mandikan.

“Mas Adi...” gumam Ayu lirih, ia jatuh terduduk. Memperhatikan wajah pucat Adi yang sudah terbaring kaku di atas amben.

Ayu menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak. Sudah lengkap pula penderitaanya di tinggal orang-orang yang ia sayangi dalam hidupnya, isi kepalanya hanya ada tanya kenapa Tuhan menghukumnya? Apa dosa yang telah ia lakukan sampai semua yang ia sayangi di renggut dengan cara paling menyakitkan?

“Raden Ayu... Adi sudah tidak ada.. Maafkan dia kalau dia pernah berbuat salah padamu yah,” Ibu nya Adi itu berjongkok di sebelah Ayu, mengusap rambut panjang wanita ringkih itu dan membawanya ke pelukannya.

“Kenapa Mas Adi pergi, Buk...”

“Adi sudah tidak kuat, Raden Ayu.”

Sayup-sayup adegan menyedihkan itu sirna di gantikan dengan guncangan yang Kirana rasakan pada tubuhnya, seseorang seperti tengah memanggil namanya berkali-kali. Dan ketika ia membuka matanya, ia kaget bukan main karena ada Ibu yang duduk di sisi ranjangnya.

“Buk...” ucap Kirana, ia bangun dan betapa bingungnya ia waktu melihat wajah Ibu panik sekaligus khawatir saat melihatnya.

“Kamu mimpi apa, Na? Kamu nangis loh sampai setengah teriak.”

“Hah?” Kirana bingung, ia perlahan meraba mata hingga wajahnya sendiri. Ibu benar, matanya basah dan dia menangis. Seketika ingatan akan mimpi jika pria miskin bernama Adi itu memenuhi kepala Kirana.

Hatinya sakit, pikirannya melambung tinggi akan Bagas. Ia tahu jika Bagas bukan Adi, namun memastikan keadaan pria itu baik-baik saja setelah mimpi buruk yang menimpa Adi dalam mimpinya itu, sudah seperti sebuah keharusan untuknya.

Kirana meraba ranjangnya, mencari ponsel miliknya kemudian menelfon Adi. Wanita itu mengambaikan Ibu yang masih separuh khawatir, namun ketika melihat Kirana butuh waktu untuk menjelaskan. Ibu memilih untuk keluar kamar, sedangkan Kirana masih sibuk dengan gestur tubuh yang gelisah menunggu panggilannya di jawab oleh Bagas.

“Kamu kemana sih?!” gumam nya gelisah.

Tak lama kemudian suara Bagas terdengar di ponsel milik Kirana, “hallo, sayang? Kenapa? Aku habis mandi.

Mendengar suara Bagas yang nampak baik-baik saja, Kirana memejamkan matanya. Hatinya yang gundah gulana pagi itu agak sedikit tenang. “Gapapa, cuma mau mastiin kamu udah bangun aja. Ya.. Yaudah, aku siap-siap dulu ya, sayang.”

bersambung...

Kirana berkali-kali menghela nafasnya pelan ketika ia harus di hadapkan meeting berdua dengan Raka, pria yang lebih tua darinya itu mengajaknya bicara mengenai proyek mereka di sebuah cafe tak jauh dari kantor, di jam makan siang ini sebenarnya malas sekali Kirana harus keluar gedung.

Bukan malas karena pasti setiap cafe atau restoran di dekat kantor mereka akan ramai, melainkan malas jika ia harus naik turun gedung dan menerjang matahari panas menyengat Jakarta siang itu. Begitu melihat Kirana datang Raka tersenyum, Ia mengangkat sebelah tanganya memberi isyarat pada Kirana jika dirinya berada di pojok cafe dekat dengan jendela.

Langkah gontai nya itu membawa Kirana menghampiri Raka, tidak ada semangat sama sekali hari ini untuk bekerja, Bagas sedang menemui klien bersama dengan Satya, sementara Almira tidak masuk kantor karena nyeri datang bulannya. Jadi lah hari ini ia hanya sendirian di kantor dan klayar keluyur sendiri saat jam istirahat seperti ini.

“Lemes banget, kamu mau pesan apa, Na?” Tanya Raka ramah seperti biasanya, pria itu memotret barcode untuk melihat menu di restoran itu di pojok kiri meja mereka.

Kirana jadi ingat, Bagas pernah bilang kalau proses memesan makanan di restoran atau cafe sekarang kerap kali mempersulit pelanggan, kenapa harus discan dengan ponsel? Padahal memberikan buku menu kedengarannya kan lebih mudah dan praktis, Bagas cuma prihatin aja bagaimana jika ada lansia yang kebingungan ingin memesan katanya.

“Americano aja, saya lagi malas makan.” Kirana membuka MacBook kantor yang ia bawa untuk mengalihkan perhatiannya pada Raka.

“Mau gado-gado gak? Cafe nya ada makanan juga loh, kebetulan saya belum makan siang.” Raka memang belum makan siang, pagi ia hanya absen saja ke kantor lalu bertemu dengan klien sebelumnya. Ia juga sempat mengantar anaknya itu ke daycare. Dan siangnya ia harus meeting dengan Kirana.

“Gausah, Mas Raka aja.”

Raka mengangguk, pria itu memesan 2 es americano dan satu gado-gado dengan kepedasan yang rendah untuknya dan tiramisu untuk Kirana, memang wanita itu tidak memesan namun Raka hanya sungkan saja jika harus makan sendirian.

Begitu kembali dengan minuman dan makanan di nampan yang ia bawa, Kirana menoleh ke arah Raka ketika tangan pria itu menyodorkan sebuah tiramisu di depannya. Kirana merasa tidak memesannya.

“Saya kan gak mesan tiramisu?” Ucapnya bingung.

“Gapapa, saya traktir kamu aja. Gak boleh nolak ya rezeki.” Raka tersenyum, pria itu duduk dan menyesap es americano miliknya, kemudian membuka MacBook pro miliknya untuk membicarakan desain rumah untuk klien mereka.

Klien mereka kali ini menyerahkan penuh segala desain rumah untuk anak bungsu nya pada firma arsitektur tempat Kirana dan Raka bekerja, dan memberi kebebasan untuk Raka sebagai arsitektur proyek ini berkreasi asalkan segala desain yang Raka buat berdasarkan persetujuan dengan klien mereka. Klien hanya meminta jika rumah itu harus memiliki sirkulasi udara yang bagus.

“Kayanya Pak Suryo mau bikin konsep rumahhya ini nih eco gitu deh, Na.” tiba-tiba saja Raka teringat dengan permintaan dari klien mereka kali ini, Pak Suryo hanya meminta 1 hal pada Raka agar design bangunan rumah yang akan di tempati anaknya itu memiliki sirkulasi udara yang baik, jadi meski tidak menggunakan AC nantinya akan tetap sejuk di siang hari.

“Lokasi rumahnya dimana sih?” tanya Kirana, dia belum tahu dimana proyek itu akan berdiri bahkan ikut survei pun belum, Raka pun baru bertemu sekali saja bersama dengan Raga tentunya.

“Tebet,” jawab Raka.

“Terus mau bikin rumah macam di Ubud?”

Raka ketawa, dia juga menggeleng kepalanya pelan. “Gak harus kaya di Ubud juga, Na. Nanti ya, saya udah kepikiran beberapa layout nya buat rumah di daerah Tebet.”

Kirana mengangguk kecil saja, memang sih menurut Kirana. Raka itu sangat amat asik di ajak bicara, selama meeting membicarakan tentang scope, kondisi tapak atau site, budget dan timeline serta teknik konstruksi Raka sangat amat banyak meminta pendapat pada Kirana, jadi Kirana enggak merasa pendapatnya enggak di butuhkan lagi.

Karena selama ini dari beberapa arsitek yang satu proyek denganya pendapat Kirana jarang sekali di minta, ya terutama sama Pak Ilyas. Orang yang posisinya di gantikan oleh Raka, meski enggak bisa di pungkiri jika sering kali jawaban ketus keluar dari bibir Kirana. Mengingat wajah Raka yang sangat amat mirip dengan suami Ayu di mimpinya.

“Saya tuh sebenarnya lebih senang dapat proyek bikin rumah tinggal gini di banding proyek besar kaya bikin gedung perkantoran atau Mall,” Raka tersenyum, memperhatikan beberapa layout rumah tinggal yang pernah ia kerjakan dulu. Sangat amat puas dengan hasilnya, bahkan beberapa klien nya sempat menghubungi Raka lagi.

Raka sengaja ngasih tau hal-hal kecil tentang dirinya seperti ini pada Kirana, karena tampaknya mereka kehabisan pembahasan setelah pembahasan tentang proyek mereka selesai. Raka hanya tidak ingin mendirikan suasana tidak nyaman dengan partner kerjanya saja.

“Kenapa emangnya? Bukanya kalau dapat proyek besar tuh jadi pride sendiri buat arsitektur? Tuh contohnya kaya Pak Ilyas sama Mas Satya, atau Mas Raka ngerasa gak kuat sama pressure nya?” masih dengan nada ketus khas Kirana berbicara dengan Raka, ia menghargai pria di sampingnya itu untuk memulai topik baru obrolan mereka.

Raka tertawa, ia sejujurnya enggak tahu kenapa Kirana begitu ketus denganya, tapi wanita itu sangat asik saat di ajak diskusi soal kerjaan. “Gak juga sih, Na. Saya ngerasa kalau bikin rumah buat klien, saya bisa lebih memahami aja mau nya mereka supaya nyaman tinggal di dalam nya tuh gimana.” Raka terkekeh pelan.

“Ah, mungkin karena selama ini meski saya arsitektur saya belum punya rumah sendiri yang buat saya nyaman kayanya.”,

“Mas Raka curhat nih? Rumah sendiri dalam artian sesungguhnya atau justru rumah berbentuk lain?”

Raka terkekeh pelan, “memangnya ada rumah dalam bentuk lain selain bangunan?”

“Ya, kali aja yang Mas Raka maksud tuh. Rumah dalam bentuk manusia, kaya anak muda jaman sekarang kan gitu. Sering jadiin manusia sebagai rumahnya. Padahal manusia itu dinamis. Kalau orang yang di jadikan rumah itu pergi kita bisa jadi gelandangan nanti.”

Raka mengangguk-angguk, “kamu termasuk kaya gitu gak?”

“Ya hampir, saya selalu sandaran sama Bagas kadang. Saking lama nya bareng-bareng kadang dia lebih hangat dari pada rumah yang saya tinggali.” Kirana benar-benar berpikir seperti itu akhir-akhir ini tentunya, apalagi setelah memikirkan bagaimana cara membuat jarak pada kekasihnya itu. Seperti keinginan Ibu nya Bagas, ah, rasanya Kirana belum sanggup melakukannya.

“Enak ya kalau punya sandaran, tapi, Na. Sebaik-baiknya menjadikan orang lain sebagai sandaran untuk kamu, atau rumah atau apapun itu bahasa anak jaman sekarang. Kamu tetap harus bertumpu pada diri kamu sendiri, yang paling tahu diri kamu ya kamu sendiri. Seandainya orang itu suatu hari pergi, kalau kamu memang mengandalkan diri kamu sendiri. Kamu gak akan kehilangan arah. Kamu akan tetap kokoh, karena pada dasarnya di dunia ini yang kita punya cuma diri sendiri, Na.”

Kirana terdiam sebentar, jawaban itu seakan mengingatkan Kirana agar ia pelan-pelan mulai tegap kembali dan tidak bersandar pada Bagas. Raka benar, jika mungkin ia dan Bagas tidak bersama. Bagas bisa pergi kapan saja, entah itu bersama dengan wanita lain atau di kembali bersama penciptanya.

Tidak lama kemudian arah mata Kirana berpindah dari bertatap wajah dengan Raka menjadi ke arah ponsel Raka yang menyala. Ada telfon ternyata, namun Raka tidak mengangkatnya.

“Angkat aja, Mas. Gapapa.” Karena berpikir takut Raka tidak enak dengannya Kirana menyuruh Raka mengangkatnya saja, ia juga kembali lagi dengan hasil meeting hari ini yang ia catat di MacBook nya.

“Gapapa, gak penting juga.”

Melihat wallpaper dari MacBook yang Raka kenakan Kirana jadi bertanya-tanya siapa anak kecil yang ada di MacBook Raka itu. Anak laki-laki yang sedang bermain bola di taman. Kirana enggak pernah ngobrol sama Raka sepanjang ini, biasanya di kantor pun mereka hanya bicara mengenai pekerjaan saja.

Itu pun Kirana menjawabnya dengan seadanya saja, tapi hari ini ada sebagian dari diri Kirana yang penasaran bagaimana kehidupan seseorang yang mirip dengan Dimas di kehidupan sekarang, jika benar mereka adalah reinkarnasi dari kehidupan terdahulu itu artinya ada banyak sekali perubahan.

“Itu.. Anak Mas Raka?” tanya Kirana hati-hati, dia takut Raka risih di tanya seperti itu.

Raka melihat kembali ke arah MacBook nya, karena arah mata Kirana tadi tertuju pada layar MacBook miliknya. “Ahh, iya, Na. Ganteng ya? Namanya Reisaka Bumi Soerja.”

“Ahh..” Kirana mengangguk-angguk, “ganteng, mirip sama Mas Raka.”

“Untungnya mirip saya, Na. Kalo mirip Ibu nya gak banget deh.” Raka menggelengkan kepalanya sembari memasukan MacBook berserta chargernya ke dalam tas miliknya, mereka harus kembali ke kantor setelah ini.

Kirana yang mendengar itu sedikit mengerutkan keningnya, sejujurnya Kirana sendiri gak ingin mengorek lebih dalam tentang kehidupan Raka, namun ada yang ingin dia pastikan pada sosok Dimas di kehidupan ini. Karna kemungkinan itu juga yang akan memberikan jawaban pada arti dari mimpinya dan juga mimpi Raga.

“Kenapa emangnya, Mas?” Kirana menggeleng kepalanya pelan, “enggak.. Maksudnya kalo Mas gak berkenan buat cerita ya, saya juga gak akan maksa—”

Raka terkekeh pelan, “saya yang mancing kamu duluan buat kepo, Na. Santai aja.”

Pria itu menghela nafasnya pelan, kembali mengingat betapa Asri tidak perdulinya pada anak mereka. Meski akhir-akhir ini wanita itu suka datang menemui Reisaka, tapi Raka merasa itu hanya formalitas dan keterpaksaanya saja agar ia tidak membuka mulut tentang siapa Asri pada keluarga dari calon suaminya.

“Saya punya Reisaka tuh bisa di bilang di waktu yang enggak tepat, Na. Dan sayangnya, saya juga memilih perempuan yang salah buat di jadikan Ibu dari anak saya”

Ada jeda di antara cerita Raka, jika di tanya menyesal kenal dengan Asri, sejujurnya ia sangat amat menyesal. Raka tidak masalah jika hanya ia yang tersakiti, tapi dihubungan mereka bukan hanya tentang Raka dan Asri saja. Ada Reisaka di dalamnya, Raka sudah berkorban untuk anaknya. Namun Asri sama sekali tidak berusaha untuk hadir dalam hidup anaknya sama sekali, ia justru pergi dan membangun kehidupan baru.

“Dulu saya kagum banget, Na. Sama dia, sampai akhirnya anak kami lahir dan dia pergi, kami emang enggak di restui orang tua nya, menikah pun cuma sah secara agama saja, setelah itu dia lebih nurut sama ucapan orang tua nya. Pergi ninggalin saya sama Reisaka dan membangun kehidupan baru”

Kirana menyimak saja, menurutnya ia tidak pantas berkomentar apapun disini, terlalu sensitif masalahnya dan ia tidak ingin ucapannya membuat Raka sakit hati jika ia salah dalam berucap. Lagi pula, Raka tidak minta di komentari apapun.

“Tujuan saya pindah ke Jakarta, ya karena saya janji mau mengenalkan Reisaka sama Ibu nya. Saya mau dia tanggung jawab dan gak lupa sama anaknya.” Raka menoleh ke arah Kirana dan tersenyum, meski senyum itu merekah pada kedua pipinya hingga menampakan lesung pipi. Tapi kedua mata pria itu tidak pernah bisa berbohong kalau ada kekosongan di hidupnya.

“Mas udah cukup jadi Ayah yang keren buat Reisaka, saya yakin. Saka pasti bangga punya Ayah kaya Mas yang sayang banget sama dia.” hanya itu yang bisa Kirana ucapkan, ia tidak ingin berkomentar apapun tentang mantan istri Raka.

Mendengar apa yang Kirana ucapkan, Raka terkekeh pelan. Enggak menyangka hari ini dia bisa mendengar suara Kirana dengan nada yang tidak sinis seperti biasanya.

thanks loh, Na. Akhirnya hari ini saya bisa dengar nada suara kamu biasa aja ke saya, enggak sinis kaya kemarin-kemarin.”

“Dih, udah lah. Balik kantor ayo, nanti Pak Raga marah-marah.” menepis ucapan Raka barusan, Kirana buru-buru memakai tas nya dan menenteng MacBook kantor yang ia bawa tanpa memasukannya ke dalam tas.

Ia jalan buru-buru meninggalkan Raka yang masih mengenakan tas dan memasukan ponselnya ke dalam saku kemeja miliknya.

“Na, tungguin, kita bareng aja, Na. Mobil saya parkir di sebelah sana,” ucap Raka yang tampak tak di hiraukan oleh Kirana itu.


Begitu bokong nya sudah menyentuh kursi mobil milik Bagas, Kirana langsung menyandarkan tubuhnya dan membiarkan Bagas menaruh MacBook dan tas milik Kirana di kursi belakang. Gadis itu menghela nafasnya berkali-kali hari yang melelahkan dan panjang menurutnya itu.

Si pria tersenyum, tangan besarnya ia letakan di atas kepala si wanita mengusapnya pelan dan tubuhnya sedikit ia condongkan ke depan, Bagas menarik seatbelt milik Kirana dan memasangkannya agar wanitanya aman saat ia memulai kemudinya.

“Kenapa sih, Buk?” tanya Bagas, ia menarik rem tanganya dan melajukan mobilnya membelah padatnya Jakarta sore itu yang tampak gelap sehabis di guyur hujan.

“Capek, kamu sih gak di kantor hari ini,” keluh Kirana ia melipat kedua tanganya di dada, sembari memalingkan wajahnya ke kiri. Melihat padatnya Jakarta sore itu dari jendela mobil kekasihnya.

“Pak Raga ngasih banyak kerjaan ke kamu? Atau ada report yang salah? Kayanya siang tadi kamu meeting sama Mas Raka ya?”

Bagas memang hanya ke kantor sebentar hari ini, karena siangnya ia meeting di luar bersama klien nya dan juga Satya. Setelahnya ia harus memeriksa lokasi proyeknya itu, dan begitu kembali ke kantor sudah mepet dengan jam pulang. Jadilah Bagas hanya absen saja sembari menjemput Kirana yang juga ingin pulang.

“Iya, males aku tuh berurusan sama dia.”

“Kenapa sih?” Bagas menoleh ke arah Kirana sebentar, kemudian matanya menelisik sepanjang jalan Cikini yang agak sedikit padat hari itu. Banyak sekali ojek online yang berhenti di sekitaran pintu masuk stasiun. Atau pun kendaraan lain yang berhenti untuk membeli street food di sepanjang jalannya.

“Ya, Mas Raka asik sih, tapi gimana yah. Aku gak nyaman aja bareng dia apalagi satu proyek gini. Pak Raga gimana sih, padahal dia kan tau alasan aku sinis banget sama Mas Raka..”

“Oh ya? Kenapa? Kok kamu gak cerita ke aku, Na?” Bagas menyadari sesuatu jika Kirana tidak menceritakan alasannya kenapa ia terlihat sangat membenci Raka, Bagas memang ingin menanyakan ini pada Kirana namun ia lupa karena hectic nya kantor akhir-akhir ini.

Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana mengerutkan keningnya. Ia sadar jika ia keceplosan, sebenarnya tidak masalah jika ia menceritakan alasannya membenci Raka yang padahal tidak punya salah dengannya itu, hanya saja ia takut Bagas mengecapnya konyol dan kekanakan meski Kirana yakin Bagas bukan orang seperti itu.

Ah, sebenarnya. Kirana bercerita dengan Raga pun karena mereka saling terhubung di mimpi itu sedangkan Bagas tidak, kadang Kirana menyesali ini. Kenapa tidak terhubung dengan Bagas saja di mimpi itu? Kenapa harus dengan pria lain. Jadi kan ia bisa dengan leluasa berdiskusi dan mencari jawaban.

“Na?” panggil Bagas yang menghamburkan lamunan Kirana itu.

“Hm?” Kirana menoleh ke arah Bagas dengan wajah kikuknya, “kenapa?”

“Ya, aku tadi tanya. Apa alasan kamu kelihatan benci? Sinis?” Bagas memincingkan matanya, berusaha meyakini kata-mata itu terlihat pantas menggambarkan sifat Kirana pada Raka. “Sama Mas raka, kalian pernah ketemu sebelumnya? Atau dia pernah bikin salah ke kamu? Kok kamu ceritanya ke Pak Raga aja?”

Bagas terkekeh pelan, mengenyampingkan rasa cemburunya karna Raga di bagi rahasia Kirana sedangkan ia tidak. Bagas hanya ingin melerai rasa lelah dan bad mood yang sedang melanda kekasihnya itu saja.

“Kalo aku cerita ke kamu, janji ya kamu gak akan ngatain aku konyol?” Kirana memberikan kelingking sebelah kananya pada Bagas.

Tentu saja pria itu terkekeh dan menautkan kelingking besarnya itu pada kelingking kecil kekasihnya, “iya janji, kenapa sih?”

“Kamu masih ingat Ayu dalam mimpiku kan? Dan Dimas.”

“Dimas suaminya?” Bagas mengerutkan keningnya, agak sedikit lupa saking lama nya Kirana bercerita tentang Dimas suaminya Ayu dalam mimpinya.

“Um, Mas Raka itu mirip banget sama Dimas.”

Selanjutnya baik Kirana maupun Bagas memekik ketika mobil yang di kemudikan Bagas itu, tiba-tiba saja mengerem mendadak hingga Kirana nyaris saja terpental jika Bagas tidak memakaikan seatbelt tadi.

“Gas, kenapa sih?” pekik Kirana kaget bukan main.

“Ma..maf sayang, tadi ada kucing nyebrang.” Bagas mencondongkan tubuhnya agak kedepan, memeriksa jika kucing yang nyaris di tabraknya itu sudah berlari ketepi jalan.

Di belakang kendaraan lain sudah mengklaksoni mereka, jadi Bagas melajukan mobilnya kembali dan melanjutkan perjalanan mereka. Degub jantungnya dan Kirana masih belum beraturan rasanya.

Kirana mengangguk dan mengusap-usap lengan Bagas, walau dia kaget tapi Kirana tahu Bagas bukan sengaja seperti itu. “Iya gapapa, yuk jalan lagi.”

Mereka berhenti di sebuah warung di pinggir jalan di kawasan Cikini, tak jauh sebenarnya dari Stasiun Cikini. Bagas menemukan tempat makan yang menurutnya akan sangat cocok di lidahnya dan juga Kirana, tengkleng kambing dengan acar timun, wortel, cabe rawit iris dan juga nanas yang kemudian di siram dengan cuka. Menurut Bagas akan lebih nikmat makan di tempat dengan nasi hangat dan taburan bawang goreng di atasnya.

“Wihh.. Tau dari mana kamu disini ada tengkleng yang enak?” Tanya Kirana begitu mereka sudah dapat kursi untuk dua orang, mereka makan di pinggir jalan kok.

“Dari Mas Satya, waktu itu sempat makan disini habis tinjau proyek. Terus mau ngajakin kamu makan, eh aku keburu ke Surabaya.”

Kirana terkekeh, “masih yah, kalo nemu tempat makan enak terus pas balik lagi ngajak aku.”

“Harus lah, kan aku juga kepengen kamu makan enak. Kalo makan enak gak ada kamu aja aku inget kamu.” Bagas memang seperti itu, setiap kali dia pergi meeting atau bahkan hangout bersama kawannya tanpa Kirana, jika menemukan tempat makan yang enak dan menurutnya akan cocok dengan lidah Kirana, kembali ke tempat itu lagi pun ia akan mengajak wanitanya itu.

Sementara Bagas memesan makan malam untuk mereka berdua, Kirana sempat memeriksa ponselnya dahulu. Ada pesan masuk dari nomer tak di kenal, ia sempat mengerutkan keningnya sebentar sampai akhirnya ia menerka-nerka siapa gerangan yang mengiriminya pesan.

“Asri?” Gumam nya pelan, bahkan tanpa suara.

Bersambung...

Samarang, 1898.

Sejak kepergian Adi, Ayu lebih sering diam merenung di depan jendela kamarnya. Hal yang selalu ia lakukan ketika menunggu Adi membawakan surat-surat dari Jayden untuknya atau membawakan melati baru yang harum untuk menjadi hiasan di rambutnya, namun bayangan akan pria pribumi berkulit kecoklatanan dan tinggi itu sirna. Tidak akan ada lagi ketukan pelan pada jendela kamarnya, tidak akan ada senyum menenangkan untuknya lagi dan tidak akan ada lagi melati-melati yang selalu Adi petikkan untuknya.

Sore itu ketika Dimas pulang, pria itu langsung masuk ke kamarnya dan Ayu. Menghela nafasnya kasar dan melepas setelan putih gading miliknya, kemudian melemparkannya ke ranjang tidurnya dan Ayu. Sontak aksi itu mengundang atensi wanita ringkih dengan tatapan kosong yang masih duduk di depan jendela kamarnya.

Ayu menatap Suaminya itu tanpa ekspresi, hanya datar saja, tidak ada rona ketakutan seperti biasanya atau pun sedih di wajahnya. Hidupnya beberapa bulan ini seperti robot yang tidak memiliki ekspresi apapun. Jiwanya seperti mati, ikut bersama sahabat dan juga kekasihnya meski raga nya masih menetap di dunia.

“Sampai kapan kau mau terus melamun seperti wanita dungu disana Ayu?! Tidakah kau lelah menangisi pria-pria bodohmu itu?” Sentak Dimas naik pitam, mata bulatnya itu seakan menghardik Ayu. Jika tatapan Dimas bisa membunuh, mungkin sejak kemarin Ayu sudah tewas hanya dengan satu tatapannya saja.

Ayu tidak menjawab, ia hanya bangun dari kursinya dan berjalan dengan gontai mengambil setelan yang di lempar Suaminya itu. Kemudian menggantungnya pada kapstok yang tak jauh dari tempat Dimas berdiri.

“Wanita dungu!! Kau tidak dengar Suamimu berbicara hah?!” Dimas naik pitam, ia tarik lengan Ayu dan ia remas lengan ringkih Istrinya itu hingga Ayu meringis.

“Sakit, Mas..”

“Mau sampai kapan kau begitu?!”

Ayu tidak menjawab, ia hanya berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas di lengannya. Namun usahanya itu sia-sia ketika Dimas melempar tubuh istrinya itu ke atas ranjang, Ayu yang memang tidak melawan dan dalam kondisi lemah itu jatuh ke ranjang. Ia meringis kesakitan, namun setelahnya Dimas menarik kembali Ayu dan melempar tubuhnya lagi ke jendela tempat Ayu termenung tadi.

Tubuh Ayu terkena kursi yang di pakainya duduk, bibirnya berdarah dan ia meringis kesakitan. Bukan hanya pada bibirnya, melainkan pada perutnya. Ia memegangi perutnya yang terasa sakit dan kencang itu.

“Aaahh...” Rintihnya begitu saja keluar dari bibir pucatnya.

“Bangun kau! Kau pikir dengan mengajakku untuk tinggal di rumah kedua orang tuamu membuatku tidak bisa mendidikmu dengan tegas?!” Dimas masih tidak memperdulikan Istrinya itu yang kesakitan, sampai akhirnya ocehannya itu berhenti ketika darah segar mengalir dari kaki Ayu.

“Mas.. Sakit..” Ayu berusaha mengontrol pernafasanya, dadanya nyeri, perutnya sakit, terasa kencang dan darah begitu saja mengalir dari bagian bawah tubuhnya.

Dimas langsung menghampiri Ayu, menggendong tubuh ringkih itu dan menidurkannya di ranjang. Ia panik bukan main, meninggalkan Ayu yang masih merintih kesakitan ia berlari keluar rumah mencari pekerja yang bisa ia suruh untuk memanggil dokter atau dukun beranak sekalipun, apapun itu untuk menolong Istrinya.

“Hai bodoh!! Kemari!” Teriak Dimas panik, tangannya bergetar. Ia bukan mengkhawatirkan Ayu, ia mengkhawatirkan bayi nya, bayi laki-laki yang kelak akan menjadi penerus keluarganya.

Pekerja laki-laki di rumah Ayu itu berlari dengan kaki telanjang menghampiri Dimas, tadi ia sedang memberi makan kuda-kuda milik orang tua Ayu “ada apa, Raden Mas?”

“Panggilkan dokter! Ah, apapun itu yang tercepat saja, Istriku mau melahirkan! Cepat!!”

Di kamarnya, Ayu meraung-raung menahan sakit di perutnya. Pikirannya tak lagi melambung pada kenyataan jika ia di tinggalkan lagi, ia hanya memikirkan bayinya, bayi yang selama ini tidak pernah ia ajak bicara sedikit pun. Tapi hari itu, Ayu sadar jika ia sangat menyayangi separuh dari dirinya itu.

Celakanya nafasnya sesak, dadanya nyeri bukan main bersamaan dengan nyeri di perutnya yang cukup hebat. Rasanya seperti Ayu tengah di kuliti hidup-hidup, tidak pernah ia merasakan sakit seperti ini di sekujur tubuhnya.

“Aahh..” Ayu mengantur nafasnya, tanganya yang berkeringat itu meremas bantal yang ia kenakan.

Tak lama kemudian datanglah Dimas dengan Ibu nya Ayu, Ibu menangis mengkhawatirkan Ayu yang sudah pucat, berkeringat dan terlihat kesakitan itu. Dimas memang seperti itu ketika marah, di awal-awal hari pernikahan mereka, ketika masih tinggal di kediaman orang tua Dimas di Soerabaja.

Ayu kerap kali di pukul dan di tendang jika melakukan kesalahan, seperti menolak melayani Dimas, ketiduran ketika menunggunya pulang bekerja, masakan yang di buat Ayu tidak cocok dengan seleranya. Bahkan Ayu pernah di pukul hanya karna dia membaca buku dan menulis surat untuk keluarganya di Samarang.

Ayu tidak berani bercerita pada kedua orang tua nya, toh Romo lebih berpihak kepada Dimas dibanding anaknya sendiri. Sebelum pindah ke Soerabaja pun, Romo dan Ibu selalu mewanti-wanti jika Ayu harus patuh pada Dimas. Alih-alih merasa di perlakukan sebagai seorang Istri, Ayu lebih merasa ia hanya seorang pelayan dan pemuas nafsu untuk Dimas.

“Tarik nafas, Yu. Anak Ibu pasti kuat, sabar yah, Nduk.” Ibu mengusap pucuk kepala Ayu.

“Ayu gak kuat, Buk. Sakit.. Aaahh..”

Tubuhnya rasanya meregang, darah segar terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya hingga ranjang yang di tiduri oleh Ayu itu penuh dengan darahnya sendiri. Ketika Dimas hendak akan keluar dari kamarnya untuk memanggil pekerja di sana, dukun beranak yang tinggal di sekitar desa itu datang dengan sedikit berlari.

Wanita tua itu nampak panik, karena dalam seumur hidupnya, tak pernah ia membantu keluarga bangsawan pribumi melahirkan. Kebanyakan dari mereka memakai jasa dokter dari rumah sakit Belanda. Beliau lebih sering di minta jasa nya untuk membantu para pribumi miskin melahirkan dengan imbalan seadanya saja. Seperti di bayar dengan uang beberapa gulden, ubi atau bahkan di beri pisang.

“Ahh, cepat-cepat Istri saya mau melahirkan!!” pekik Dimas.

Wanita tua itu duduk di ranjang tempat dimana Ayu menahan seluruh rasa sakitnya, ia membuka kaki Ayu agar bisa memeriksa bagian bawah tubuhnya. Agak sedikit terkejut ketika darah terus mengalir dari bagian tubuh wanita ringkih itu.

“Aduh, Iki pendarahan, kudu enggal dilairaké. Tarik napas dhisik yo, Yu.” wanita tua itu membantu Ayu mengatur nafasnya perlahan-lahan.

Sudah sekitar dua jam Ayu berkelut dengan rasa sakit yang mendera nya, ia mengejan, mengatur nafasnya lagi kemudian mengejan seperti yang di lakukan sia-sia karna bayi yang di kandungnya tak kunjung lahir. Keringat bercampur dengan air mata sudah mengihiasi wajah Ayu yang semakin pucat dan lelah itu.

Tubuhnya kadang meregang, kepalanya sedikit naik dan mengejan lagi, meremas seprei, mengepalkan tanganya dan sesekali berteriak kesakitan bukan main. Siapapun yang mendengar jeritan dan rintihan Ayu yang seperti sedang di siksa itu tidak akan tega.

“Hhhmmm....” pada satu tarikan nafasnya sekali lagi, pandangan Ayu memudar. Wajah Dimas, Ibu nya dan wanita yang membantunya melahirkan itu sedikit demi sedikit sirna.

Nafasnya tersenggal dan pegangan tanganya pada jemari Dimas itu mengendur perlahan, Ayu seperti tengah melihat beberapa burung putih berterbangan di atas kepalanya seperti tengah memanggilnya, mengantarnya pada sebuah lorong dengan cahaya putih yang di depannya sudah ada Jayden dengan kuda putih yang seperti tengah menjemputnya.

Kantuk itu mendera, Ayu memejamkan matanya. Ia tersenyum, sakit yang mendera tubuhnya yang kurus itu perlahan menghilang, nafasnya yang semula berat itu menjadi jauh lebih ringan, ia seperti di paksa kuat untuk berjalan dan menghampiri Jayden yang tersenyum ke arahnya. Ayu merasa sangat sehat dan ringan, angin berhembus semilir menerbangkan rambut panjangnya dan mengantarkannya ke peristirahatannya.

Itu yang Ayu lihat, berbeda dengan apa yang di lihat oleh Ibu, Dimas dan wanita dukun beranak itu. Ayu tak lagi mengejan, tak lagi bernafas, darah yang keluar dari tubuhnya berhenti keluar, bahkan kepala bayi nya itu masih tertahan di ujung sana. Dengan tangan gemetar, Dimas memeriksa nadi Istrinya itu yang tak lagi berdenyut.

“A..Ayu.. Ayu meninggal, Buk,” ucapnya gemetar pada Ibu mertua nya itu.

Sontak tangis memenuhi ruangan itu, Ibu memeluk tubuh Ayu erat. Tak menyangka jika hari itu adalah hari terakhir ia akan melihat putrinya membuka mata, bicara padanya dan kaki ringkih nan kurusnya itu melangkah setapak demi setapak keluar dari kamarnya.

Bunyi nyaring dari alarm ponsel milik Kirana itu berbunyi, membuat ia terpaksa mengerjapkan matanya yang basah penuh peluh bercampur air mata. Badan Kirana sedikit bergetar, ketika ia bangun dan teringat akan mimpinya semalam. Ia menangis, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya sakit meratapi nasib Ayu yang tragis.

Di pukuli Suaminya hingga pendarahan dan terpaksa melahirkan namun nyawanya justru tidak tertolong, Kirana memeluk dirinya sendiri. Isaknya berusaha ia redam agar Ibu tidak mendengarnya.


Derap langkah kaki Raga memutari lapangan itu seakan tidak menemui titik lelah, kedua telinganya ia sumpal dengan earphone memperdengarkan lagu-lagu yang akhir-akhir ini sering ia putar di playlist lagu nya. Cuaca pagi ini cukup cerah dan rutinitas pagi Raga ia awali dengan olahraga kecil, berlari atau sekedar workout di rumah saja.

Tapi berhubung matahari nya cerah, ia memilih untuk lari. Keringat yang mengucur deras dari kening hingga turun ke leher nya itu ia usap dengan handuk kecil yang ia bawa di saku celana nya. Pria itu duduk sembarang di dekat taman, menghentikan musik yang masih mengalun dan menenggak air mineral di dalam botol minumnya itu. Sudah 10.000 ribu langkah ia mengelilingi taman itu.

Matanya menelisik ke sekitar, melihat beberapa orang yang masih berlari, bermain di taman atau sekedar membawa hewan peliharaan mereka jalan-jalan. Sampai sesuatu yang bergetar halus di saku celana nya itu mengintrupsi nya, Raga merogoh saku nya, mengambil benda persegi itu untuk melihat siapa yang menelfonnya pagi begini. Ia harap sih ini bukan soal pekerjaan, karna Raga akan sangat segan sekali jika minggu paginya di ikut campuri dengan urusan kerjaan.

“Kirana?” Gumamnya kecil, Raga menekan tombol hijau di layar ponselnya. Tak lama kemudian terdengar suara Kirana yang sedikit bergetar di sebrang sana.

Pak Raga?

“Ya, Na?” Kening Raga mengerut, ada apa Kirana menelfonnya sepagi ini dengan suara bergetar?

saya..” ada jeda cukup lama, terdengar Kirana sibuk menarik nafasnya kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia seperti berusaha meredam isak tangisnya sendiri.

“Na? Ada apa? Pelan-pelan ya, kamu kenapa?” Raga cukup khawatir, pasalnya Kirana enggak pernah menelfonnya sepagi ini apalagi dengan suara yang bergetar seperti sedang ketakutan.

saya sudah tau akhir hidup Ayu...” terdengar isakan Kirana yang semakin menyesakkan, sementara Raga membeku di tempatnya beberapa saat.

“Mimpi kamu sudah selesai, Na. Kalau kamu belum siap buat cerita, jangan paksain diri kamu, Na.”

saya mau secepatnya bahas ini, Pak. Kita bisa ketemu?” Kirana sudah mulai stabil, meski beberapa kali Raga sempat mendengar wanita itu menarik ingus nya karena menangis.

“Bisa, Na. Kebetulan saya juga lagi di luar. Kita ketemu 1 jam lagi ya, nanti saya share lokasinya ke kamu.”

oke, Pak.

Sebelum Kirana memutuskan sambungan telfon mereka, ada sesuatu yang ingin Raga katakan. Mungkin ini terdengar bisa membuat wanita itu sedikit lebih aman dan lega, mimpi buruk berkepanjangan mereka, yang membuat mereka bertanya-tanya sudah berakhir dan kini mereka hanya perlu mencari jawabannya saja.

“Na?”

Ya, Pak?

“Mimpi kita sudah selesai, kamu bisa tidur nyenyak mulai malam ini.”

Ditempatnya Kirana mengulum bibirnya sendiri, jemarinya yang tadi memelintir ujung baju tidurnya itu ia lepas. Kata-kata sederhana dari Raga cukup membuat perasaanya lega. Pria itu benar, Kirana bisa tidur pulas tanpa bermimpi hal-hal aneh tentang kehidupan sebelumnya.

Ya, Pak. Sampai ketemu, Pak.

Sambungan telfon itu di putus, Raga tersenyum samar. Kini ia dan Kirana harus mencaritahu jawaban akan mimpi mereka berdua, selesai dengan kegiatan berlarinya, Raga sempat pulang ke rumahnya sebentar, untuk mandi dan mengganti bajunya sebentar. Setelah itu ia langsung menemui Kirana di cafe yang tak jauh dari rumah Kirana.

Sengaja Raga mencari cafe yang dekat daerah rumah wanita itu, Kirana pasti masih sangat terkejut dengan mimpinya, di dengar dari nada bicaranya sepertinya mimpi yang Kirana alami tentang akhir hidup Ayu bukanlah suatu hal yang baik. Ketika ia membuka pintu cafe itu, Raga di kejutkan dengan kehadiran Raka dengan anak laki-lakinya. Tapi bukan itu saja yang membuat Raga terkejut, melainkan perempuan yang berdiri dan terlihat sama terkejutnya dengan Raga di belakang Raka.

“Pak Raga?” Sapa Raka, ia menyalami Raga dengan senyum ramah seperti biasanya. “Saka, salam dulu sama Om nya. Ini boss Papa di kantor.”

Raga masih mematung beberapa saat, tapi ia tetap mengulurkan tangannya pada bocah laki-laki di depannya itu dan menyunggingkan senyumnya. “Lucu, Ka. Siapa namanya?”

“Reisaka, Pak.”

Raga mengangguk kecil, “hallo, Saka.”

“Hallo, Paman.” bocah laki-laki dengan poni yang menutupi keningnya itu tersenyum malu, wajahnya benar-benar dominan Raka sekali. Dengan lesung pipi, rambut yang sedikit ikal, kulit putih bersih dan mata bulat dengan bola mata hitam bersinar itu. Menambah kesan polos khas anak-anak dengan tatapan menggemaskannya. Bocah itu kemudian berlari menghampiri wanita dengan ekspresi tegang di belakang Raka itu.

“Lagi jalan-jalan, Ka?” Tanya Raga basa basi.

“Iya, Pak. Saka ngajak jalan-jalan terus sekalian mampir buat sarapan.”

“Ahhh.” Raga mengangguk-angguk.

“Kita ke depan, Saka.” wanita yang berdiri di belakang Raka itu begitu saja melewati Raga dan Raka sembari menggandeng Saka. Terlihat dari mimik wajahnya ia kurang nyaman dengan kehadiran Raka di sana.

“Yang tadi itu, Istrimu, Ka?” tanya Raga hati-hati. Ia tidak salah lihat, ingatanya juga tidak salah. Itu adalah perempuan yang beberapa waktu lalu ia lihat bersama dengan Bagas. Ia bahkan melihatnya beberapa kali, di restaurant dan juga di rumah Bagas.

“Bukan, Pak. Dia cuma Ibu nya anak saya aja.” Raka senyum, sama sekali pertanyaan itu tidak menganggunya.

“Ahh, Maaf, Ka. Saya enggak tahu.” Raga jadi tidak enak sendiri.

“Gapapa, Pak. Kalau gitu saya duluan, Pak.”

Raga masih berdiri di depan pintu masuk berbahan dasar kaca itu, ia melihat dari kejauhan bagaimana wanita itu masuk ke dalam mobil Raka bersama dengan anak laki-laki mereka. Raka enggak cerita dia bercerai sama Istrinya atau apapun itu, pria itu hanya bercerita jika ia sudah memiliki anak. Semua tanya di kepala Raga rasanya menuntut sebuah jawaban, yang entah ia harus mendapatkan jawaban itu dari siapa.

Setelah mobil Raka menjauh pergi, barulah Raga memesan minuman untuknya dan memilih untuk duduk di pojok cafe. pagi itu, cafe nya belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orang saja yang sedang membaca buku atau mengerjakan pekerjaan kantornya.

Raga sempat memeriksa surel miliknya, sampai akhirnya ia merasa ada seseorang berjalan kearahnya. Itu adalah Kirana, wanita dengan wajah suram pagi itu membuat Raga bertanya-tanya mimpi macam apa yang di alami olehnya.

Rambut sebahunya ia biarkan terurai, ia hanya mengenakan sendal crocks, celana training hitam dan juga kaos putih polos. Baju khas rumahan sekali, mungkin karena cafe ini berada dekat rumahnya. Dan suasana hati wanita itu sedang tidak baik, makanya Kirana hanya mengenakan pakaian seadanya saja, Raga menebak-nebak dalam hati.

“Pagi, Pak,” sapa Kirana, ia menarik kursi di depan Raga dan duduk di sana.

“Pagi, Na. Mau pesan apa?” Raga menawari, ia menebak jika Kirana mungkin belum sarapan namun seketika tebakan dalam hatinya itu di tangkis begitu saja oleh jawaban Kirana.

“Nanti aja, Pak. Saya kebetulan sudah sarapan sebelum kesini.” Kirana memang sempat sarapan dulu, Ibu membuat roti bakar srikaya dan coklat keju untuknya.

“Yasudah, ngomong-ngomong, kamu baik-baik saja, Na? Mata kamu kelihatan sembab.”

Kirana memang tidak mengenakan make up apapun, ia hanya memakai sunscreen saja dan tone up cream, setelah itu ia langsung pergi ke cafe tempat ia dan Raga bertemu. Jadi, Raga bisa melihat betapa sembab dan lelahnya mata Kirana itu. Tidak seperti biasanya jika Kirana ke kantor, baju yang selalu rapih, rambut sebahu yang selalu ia kuncir atau di jepit dan riasan tipis yang membuat wajah Kirana terlihat segar.

“Um.” Kirana mengangguk, “saya boleh cerita sekarang, Pak?”

“Silahkan, Na.” Raga mempersilahkan, dia sendiri juga sudah penasaran sekali dengan cerita Kirana.

“Semalam saya bermimpi tentang Ayu, kejadian setelah Adi meninggal.” Kirana menahan nafasnya, entah kenapa seperti ada buncahan ketidaknyamanan di sana yang menyeruak keluar dari dada nya. Kirana tidak ingin ketidaknyamanan ini menguasainya, jadilah ia melawan dengan terus menceritakan tentang mimpinya.

“Setelah Adi meninggal, Ayu seperti kehilangan separuh dari dirinya. Dia sudah trauma di tinggalkan Jayden tanpa salam perpisahan, bahkan surat terakhir yang di tulis Jayden dan di titipkan pada Adi itu hilang, setelah kepergian Adi, dia sering sekali melamun. Tatapannya kosong, hatinya merana seperti tidak pernah menemukan ketenangan meski di rumahnya sendiri. Ia takut di tinggalkan, dan ternyata hal itu pula yang memancing amarah Dimas. Ayu di pukulin, di tendang, bahkan di lempar sampai dia pendarahan.”

Kirana menangis, ia masih sangat ingat bagaimana nasib wanita ringkih dalam mimpinya itu di pukuli habis-habisan, laki-laki sialan bernama Dimas itu bahkan hanya memperdulikan anak yang di kandung Ayu hanya karena bayi itu adalah penerus tahta di keluarganya.

Kirana masih ingat rasa sakit dan teriakan Ayu yang menggema di telinganya bagaikan lolongan macan di tengah hutan. Bahkan saat ia mengucurkan kepalanya dengan air saat mandi, memejamkan matanya karena air yang membasahi tubuhnya justru ia bisa mengingat jelas bagaimana Ayu berjuang menahan sakit melahirkan anaknya.

“Ayu melahirkan, Pak. Tapi sayangnya tubuh ringkihnya itu tidak kuat, dia meninggal dunia dengan kepala bayi nya yang masih tertahan di tubuhnya. Bayi itu juga meninggal.” tubuh Kirana bergetar, ia menutupi wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.

Raga sedikit bersyukur suara dan isakan Kirana kecil dan suaranya tersamarkan dengan lagu dari cafe yang memutar lagu The Beatles yang berjudul Yesterday. Raga menggeser kursinya dan menepuk pelan pundak Kirana agar wanita itu merasa lega.

Raga enggak mengatakan sepatah katapun, ia mau Kirana melepaskan dulu segala keresahannya tentang mimpi yang mungkin mejadi kisah terakhir di mimpinya itu. Ia juga tidak tahu harus memberikan ucapan seperti apa agar Kirana tenang, Setelah Kirana tenang, ia menawarkan tissue yang kemudian langsung di sambar Kirana beberapa lembar untuk mengelap air mata dan wajahnya.

“Ayu sudah meninggal, Pak. Apa mungkin ini menjadi akhir dari perjalanan hidupnya?” Kirana menatap Raga dengan pandangan penuh harap dan menuntut jawaban, padahal, Raga sendiri tidak bisa menjamin apakah itu benar-benar mimpi terakhirnya atau bukan, namun mengingat Raga yang sudah mengetahui akhir hidup Jayden dan tidak pernah bermimpi lagi tentang Jayden pun seperti jawaban yang sama untuknya.

“Saya harap begitu, Na.”

“Menurut Bapak, kenapa kita bisa bermimpi seperti itu?”

Raga menghela nafasnya pelan, dia sendiri masih mencocokkan beberapa kemungkinan. “Ada banyak hal yang berubah, jika benar itu adalah perjalanan kehidupan kita yang sebelumnya.”

“Tapi kenapa hanya kita yang bermimpi seperti itu?”

Raga menelan saliva nya susah payah, hanya ada satu jawaban yang terpikirkan di kepala Raga saat itu. Tentang janji Jayden dan Ayu di tengah pelarian sementara sewaktu Adi mengantarkan Ayu ke dekat hutan untuk bertemu Jayden. “Kamu ingat janji Jayden dan Ayu, Na?”

“soal apa?”

“Jayden pernah bilang, dia pernah berjanji kalau di kehidupan saat itu mereka tidak berjodoh, mereka harus terlahir kembali di kehidupan yang lain. Dan Jayden akan mengusahakan mereka untuk tetap bersama di kehidupan itu,” jelas Raga yang membuat Kirana tergegun beberapa saat.

Penjelasan itu pula yang menciptakan hening dan suasana canggung tak mengenakan yang berada di tengah-tengah mereka berdua.

Bersambung...

Sepanjang perjalanan pulang sehabis bertemu dengan Kirana, Raga banyak meruntuki dirinya sendiri. Karena sejak itu suasana yang tercipta di antara mereka berdua sangatlah canggung, ia seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu. tapi di sisi lain Raga hanya teringat akan janji Jayden dan Ayu di pinggir hutan malam itu.

Karena jika benar mereka adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden, sudah banyak sekali hal yang berubah. Termasuk nasib Adi dan juga Dimas, di kehidupan sebelumnya Adi hidup bersama orang tua nya yang miskin, tapi di kehidupan sekarang ini. Bagas yang menyerupai Adi itu hidup layak, ia memliki pekerjaan bahkan orang tua nya memiliki bisnis laundry. Sedangkan Raka ia sudah menikah dan memiliki anak, dan pria itu tidak menikah dengan Kirana yang mana Kirana sendiri sangat mirip dengan Ayu.

Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya belum terjawab, seperti mengapa hanya ia dan Kirana yang mendapat petunjuk mimpi seperti itu, apa keluarganya masih memiliki hubungan dengan keluarga Jayden hingga mungkin saja Jayden terlahir kembali di dalam tubuhnya. Sebenarnya, mengatakan hal ini kepada orang lain yang tak mengalami kejadian serupa dengannya, Raga mungkin hanya di cap sebagai “orang gila baru.”

Ia menghela nafasnya pelan, toh nasi sudah menjadi bubur juga ia sudah bicara seperti itu pada Kirana, soal wanita itu nantinya menjauh atau tidak akan ia pikirkan itu nanti. Begitu mobil yang Raga kendarai itu memasuki pekarangan rumah orang tua nya, ia melihat ada satu mobil terparkir disana. Itu mobil milik Mas Ethan, Suami dari Mbak Adel.

Begitu Raga keluar dari mobil, si kecil Safira dengan mata bulat dan berbinar itu berlari menghampiri Raga, “Om Aga!!!”

Raga langsung berlari kecil dan menangkap keponakannya itu dan membawanya ke gendongannya, rindu sekali rasanya ia tidak mendengar celotehan dari bibir bocah itu. Sudah ada satu bulan Mbak Adel tidak mengunjunginya dan Raga pun hanya berkabar dengan Mbak dan keponakannya itu dari telfon saja.

Safira itu mirip sekali dengan Mbak Adel ketika masih kecil, rambutnya tebal dan kecoklatan, mata bulat berbinar terang dengan warna yang sedikit kecoklatan, kulit putih bersih dan hidung yang mancung sempurna. Oh, tentu saja gen ini Mbak Adel dapat dari Papa. Karena mendiang dari orang tua Papa itu adalah kewarganegaraan Belanda. Ya, meski Papa sendiri enggak pernah menceritakan lebih lengkap tentang buyutnya itu.

“Waduh tambah berat kamu, Fir. Kaya nya keponakan Om yang cantik ini tinggian gak sih?” Raga terkekeh, ia berjalan ke dalam rumahnya sembari menggendong Safira yang nampak nyaman memeluk lehernya.

Safira cepat sekali tinggi, seingat Raga terakhir bertemi dengan bocah itu. Tinggi nya baru sepinggang Raga, dan hari ini bocah itu sudah nyaris sampai ke tengah perut Raga. Ia jadi teringat oleh anak vampir dan manusia dalam series Breaking Dawn. Namanya Renesmee, bocah itu juga cepat sekali pertumbuhannya.

“Aku kan minum susu terus, Om. Olahraga juga kata Mami susu itu bagus dan olahraga bisa bikin aku makin tinggi.” biarpun masih kecil dan baru saja masuk preschool tapi Safira ini sudah sangat pintar, bocah itu memiliki ingatan yang kuat bahkan guru nya di sekolah menyebut Safira memiliki photograpic memory yang bisa mengingat segala hal dalam sekali menyimak saja.

Namun Raga sedikit mengetahui jika anugerah yang di miliki Safira terkadang menjadikannya semacam kutukan juga, seperti jika suatu hari nanti Safira akan memiliki ingatan pahit dalam hidupnya. Mungkin ia akan sangat kesulitan melupakan ingatan itu meski bocah itu sudah menguncinya rapat pada gudang gelap di dalam kepalanya.

“Kebalap deh nanti Om tingginya sama kamu.”

Begitu kedua nya masuk, di ruang tengah rumah orang tua Raga itu sudah ada Mas Ethan yang sibuk menata beberapa kue basah yang sempat di bawa istrinya itu untuk mereka makan bersama. Kebiasaan Mbak Adel itu enggak pernah berubah, ia akan selalu memasak dan kemudian di bawa untuk Raga dan makan bersama mereka.

“Dari mana kamu, Ga?” tanya Mas Ethan setelah Raga bersalaman dengannya.

“Habis ketemu teman kantor, Mas.” Raga duduk lesehan di bawah meja ruang tamu, bermain bersama Safira dan boneka Barbie yang bocah itu bawa.

Mbak Adel yang baru saja keluar dari dapur setelah menghangatkan tekwan itu tersenyum penuh arti, kebiasaan meledek Adiknya itu tidak pernah luntur meski ia sudah dewasa dan berkeluarga. Tekwan yang sudah selesai ia hangatkan itu, memiliki harum menyeruak, wangi dari rempah-rempah yang di pakai seperti lada, bawang putih dan geprekan ebi yang berhasil memenuhi ruang tamu dan mengoyak perut Raga yang memaksa ingin melahap tekwan itu sekarang juga.

Raga bahkan sudah bisa membayangkan kuah yang hangat itu, bercampur dengan tekwan yang di padukan dengan udang, bengkuang dan jamur kuping. Akan lebiu nikmat rasanya jika di kucurkan dengan jeruk nipis dan beberapa sendok sambal hijau ini selera Raga sekali. Sejak menikah dengan Mas Ethan yang memang berasal dari Palembang, Mbak Adel jadi pandai memasak-masakan khas Sumatra Selatan itu.

“Teman apa teman nih? Habis ketemu Kirana ya?” Mbak Adel asal tebak.

“Kirana yang waktu itu nolongin Raga itu bukan sih, sayang? Yang di sebut-sebut Mama sama Papa terus?” Mas Ethan kembali mengingat-ingat wanita yang pertama kali di kenalkan Raga di keluarganya, maklumlah Raga tidak pernah mengenalkan wanita sepanjang hidupnya.

“Iya benar yang itu, jadi, serius nih, Ga. Kamu ketemu sama dia? Kok diam aja sih?” Mbak Adel duduk di samping Suaminya itu, ia mencomot pastel yang tadi sedang di susun Mas Ethan dan melahapnya.

“Iya memang ketemu dia, tapi cuma ngomongin kerjaan aja kok,” Raga ngeles.

“Gak ngomongin kerjaan juga gapapa kok, Ga. wong kamu sudah dewasa, cepat carikan Tante buat Safira masa dia cuma punya Om Doang.”

Raga meringis mendengar ucapan Mas Ethan itu, ya memang benar Safira hanya memiliki Om saja, karena di keluarga Mas Ethan. Pria itu adalah anak tunggal, jadi Safira hanya memiliki satu Om saja.

“Ya doakan saja, Mas.”

Pagi itu mereka makan bersama, berbincang banyak hal mengenai kabar orang tua mereka dan bisnis kecil-kecilan yang di dirikan oleh orang tua mereka. Mama dan Papa Raga membuka bisnis toko bunga kecil di depan rumah mereka. Halaman rumah Raga di Semarang cukup luas sehingga ada lahan sedikit yang di bangun sebuah ruko dan di jadikan toko bunga.

Mama sangat mencintai bunga, seperti lily, edelweiss, mawar putih, peony, sedap malam dan masih banyak lagi. Dan Papa mewujudkan impian Mama yang sangat ingin memiliki toko bunga sendiri dan mengelola nya, sebenarnya keinginan itu bisa saja terwujud sejak mereka masih muda.

Namun Mama pernah bilang ingin melakukannya di usia senja saja, ingin menikmati hari demi hari merangkai bunga di toko miliknya, memberitahu bunga apa saja yang cocok untuk di berikan pada pelanggan sembari sesekali menikmati sesapan teh melati dan membaca buku. Mama bahkan dengan suka rela memberikan kelas cara menanam bunga, khususnya bunga lily yang memang hanya bisa tumbuh di daerah pegunungan. Bahkan bibit yang ia dapatkan berasa dari luar.

“Sebenarnya Mas kesini selain mau jenguk kamu, Ga. Mas juga mau ngasih penawaran ke kamu,” ucap Mas Ethan.

“Soal apa tuh, Mas?” Raga mengerutkan keningnya, sebenarnya sudah sering kali Mas Ethan menawari beberapa hal di bidang pekerjaan mereka. Ya tidak kaget lagi jika kali ini tebakan Raga benar jika penawaran yang akan di tawarkan pada Raga adalah soal pekerjaan.

“Kantor Mas itu lagi butuh partner. Mas pikir kamu cocok loh, Ga. Lagian kamu mau sampai kapan berkarir di sana jadi team leader terus? Mumpung masih muda, Ga.”

“Memangnya Mas Gusti udah gak kerja di kantor Mas Ethan lagi?” Karena seingat Raga, Gusti cukup di andalkan di firma itu. Raga baru hanya menduga Gusti membangun firma sendiri atau mungkin pindah ke luar negeri seperti yang Mas Ethan pernah bilang pada Raga beberapa bulan yang lalu.

“Ada konflik, Ga. Ya biasa lah, Gusti mutusin buat keluar.”

“Raga pikir-pikir dulu ya, Mas.” Menurut Raga, ini adalah kesempatan baik untuknya. Namun disisi lain, ia sangat nyaman bekerja di kantornya sekarang ini. Meski bukanlah firma besar namun firma yang sudah cukup membuatnya berdiri di kakinya sendiri sejak lulus dari perkuliahan itu, telah memberinya banyak pengalaman berharga. Katakanlah Raga belum berani keluar dari zona nyamannya.


Kirana berjalan gontai menuju rumahnya, cafe tempatnya bertemu dengan Raga memang tak jauh jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Namun saat kakinya melangkah masuk ke pekarangan rumahnya, ada 2 mobil di sana yang tidak Kirana kenali. Sebenarnya Kirana sudah curiga ada tamu yang datang sejak ia melihat pagar kayu rumahnya itu terbuka.

Terlihat ada 6 orang pria menunggu Kirana di teras rumah, pria berjaket hitam dengan kisaran umur 30-40 tahun itu dengan wajah sangar yang tampak mengintimidasi Kirana hanya dari tatapannya saja, seorang laki-laki bertubuh tambun dengan kumis tebal itu menghampiri Kirana. Air wajahnya tenang, tak seperti anak buahnya yang lain yang terlihat ingin menerkam Kirana.

“Pagi, Mbak Kirana. Saya orang suruhan dari Pak Ridwan ingin menyampaikan ini.” Si pria tambun itu memberikan sebuah map berwarna merah pada Kirana, yang kemudian langsung saja di baca oleh Kirana.

“Penyitaan aset terakhir?” Gumam Kirana. “Maksud Bapak, Pak Ridwan mau ambil rumah saya?”

“Benar, Mbak. Karena sudah lewat dari 6 bulan Mbak dan Ibu Mbak. Kami beri waktu untuk menyelesaikan urusan hutang piutang pada Pak Ridwan. Seperti yang Mbak sudah tanda tangani, rumah ini akan kami sita jika dalam waktu 6 bulan Mbak tidak bisa melunasinya.”

Kedua bahu Kirana merosot, “tapi kan Pak Ridwan tahun beberapa bulan yang lalu saya sempat kecelakaan makanya urusan hutang piutang ini agak sedikit tersendat.”

Kirana memberikan pembelaanya, Ibu nya sempat menelfon Pak Ridwan agar di beri waktu tambahan untuk menyelesaikan hutang mendiang Bapaknya Kirana pada Pak Ridwan sampai Kirana pulih dan bisa bekerja kembali, bahkan Ibu pernah menjual beberapa barang mereka demi mencicil sediki demi sedikit.

“Benar, Mbak. Tapi saya dan anak buah saya hanya menjalankan perintah dari Pak Ridwan.”

“Saya harus bicara sama Ibu saya dulu, Pak. Gak bisa langsung hari ini juga, saya minta waktunya sedikit lagi, Pak. 3 bulan lagi, saya janji bagaimanapun caranya bakalan saya lunasi.” Kirana mencoba peruntunganya, baginya rumah ini adalah satu-satunya peninggalan terakhir dari Bapak yang harus ia dan Ibunya jaga. Bukan hanya sekedar rumah, bangunan itu menyimpan banyak kenangan dan bahkan di design sendiri oleh Bapak.

“Enggak bisa, Mbak. Untuk sementara ini saya minta serifikat rumah Mbak dulu, kami beri waktu 3 hari untuk mengosongkannya. Untuk urusan Mbak yang minta jangka waktu, Mbak bisa datang ke kantor Pak Ridwan.”

Tubuh Kirana lunglai, ia benar-benar lemas mendengar ucapan pria tambun itu. Air matanya sudah tidak bisa mengalir lagi meski hatinya hancur, otaknya berputar memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan uang 1 Milyar untuk merebut kembali rumah peninggalan Bapaknya itu.

Setelah di giring ke dalam rumah oleh beberapa anak buah si pria berbadan tambun itu, Kirana menyerahkan surat rumah nya itu pada si pria berbadan tambun. Tak lama kemudian, si pria berbadan tambun itu nampak melihat isinya dahulu sebelum akhirnya berpamitan untuk pergi.

Meski perlu Kirana akui, dari sekian banyak orang yang menagih hutang ke rumahnya. Hanya si pria berbadan tambun lah yang masih bersikap sopan padanya dan Ibu, enggak ada intimidasi apapun seperti bentakan atau kekerasan fisik lainnya. Pak Ridwan memang memerintahkannya seperti itu atau memang si pria berbadan tambun saja yang masih memiliki rasa kemanusiaan.

Setelah pria-pria itu pergi, Kirana duduk di lantai rumahnya dekat ruang tamu yang dahulu terisi oleh sofa-sofa dan beberapa kursi panjang yang terbuat dari kayu jati, kursi dan sofa itu sudah tidak ada karena Ibu dan Kirana telah menjualnya untuk membayar hutang, hanya tersisa kursi plastik saja dan meja kecil untuk duduk jika ada tamu yang datang.

Kirana terisak disana, memeluk dirinya sendiri karena merasa tidak becus menjaga satu-satunya kenangan dan peninggalan terakhir dari Bapaknya, sekeras apapun ia dan Ibunya bekerja selama ini, itu semua bahkan belum bisa menutupi separuh dari hutang Bapak.

Si pria gempal memberikan waktu 3 hari agar Kirana dan Ibunya segera mengosongkan rumah mereka, tapi bukan itu saja yang menjadi bagian paling menyakitkan dalam hidupnya. Bukan hanya tentang meninggalkan rumah ini dan harus pergi kemana, tapi ini tentang bagaimana ia harus bicara pada Ibunya.

Suara mobil yang baru saja masuk ke dalam halaman rumah Kirana itu bahkan tidak menginterupsi Kirana sama sekali, ia masih menangis sembari memeluk kedua kakinya. Pintu depan memang ia buka lebar, jadi baik Kirana maupun seseorang yang baru datang itu bisa melihat satu sama lain. Itu mobil milik Bagas, pria jangkung itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah Kirana. Apalagi saat ia melihat Kirana memeluk kakinya sendiri dan menundukan kepalanya.

“Sayang?” Panggil Bagas, ia mengusap pelan bahu Kirana, Bagas sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Kirana.

Begitu Kirana menampakan wajahnya, mendongak menatap kedua manik mata milik Bagas yang hitam legam itu. Tangisnya semakin tumpah, tubuhnya reflek bersandar pada Bagas yang begitu saja pria itu sambut dengan uluran tanganya yang menyambut tubuh Kirana.

“Kenapa, sayang? Tadi aku liat ada mobil keluar dari rumah kamu, mereka siapa?”

Tangis Kirana masih menyesakkan, bahkan ia yakin baju yang di kenakan oleh Bagas pasti sudah basah karena air matanya. Tapi biarkan kali ini Kirana menangis, ia telah lelah berpura-pura tangguh sendirian. Beban yang selama ini ada di pundaknya ingin segera ia tumpahkan begitu saja, tubuhnya sakit, hatinya perlahan hancur kepingan itu berantakan dan Kirana tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Setelah dirasa cukup tenang dan tangisnya mereda, Kirana mengurai pelukan itu, membiarkan ibu jari Bagas mengusap bagian bawah matanya yang masih mengembang air mata.

“Gas?”

“Hm?” Bagas berdaham, tersenyum kecil seperti memastikan pada Kirana jika ia tetap ada untuknya.

“Tadi orang-orangnya Pak Ridwan kesini, mereka bilang Pak Ridwan mau sita rumah ini karena aku gak menyanggupi pembayaran hutang Bapak dalam waktu 6 bulan. Ini udah lewat dari tenggatnya,” jelas Kirana meski terbata-bata, entah sejak kapan air mata itu kembali merembas dari pelupuk matanya dan begitu saja terjun ke wajahnya.

“Aku harus gimana ya, Gas? Gimana caranya aku ngasih tau Ibu?”

Bagas terdiam, hatinya juga ikut sakit mengetahui jika rumah yang menjadi satu-satunya kenangan untuk keluarga Kirana itu harus di sita. Sebenarnya, Bagas sudah sering kali menawarkan pada Kirana bantuan. Bagas memiliki tabungan, memang tidak banyak hingga bisa melunasi seluruh hutang mendiang Bapaknya Kirana kepada Pak Ridwan, tapi setidaknya Bagas bisa membantu separuhnya.

“Nanti aku bantu bicara sama Ibu ya? Sementara waktu, kalau emang rumah ini harus di kosongin. Kamu sama Ibu bisa tinggal di rumahku dulu, Na.”

Rumah yang Bagas sewa memang cukup besar, memiliki 2 kamar tidur. Bagas hanya memakai 1 kamar, ia pikir Kirana dan Ibu nya bisa tidur di kamarnya yang satu lagi. Atau kalau pun Kirana enggan menerima tawaran ini, mengingat kekasihnya itu sulit sekali menerima bantuannya. Ia bisa bantu Kirana untuk mencarikan rumah yang bisa mereka sewa.

“Enggak, Gas. Aku gak mau ngerepotin kamu,” ucap Kirana lirih, suaranya serak. Ia menyibak rambutnya itu yang nampak sedikit berantakan.

“Kenapa, Na? Aku gak pernah ngerasa kamu repotin sama sekali. Aku senang kalau bisa bantu kamu.”

Kirana mengangguk pelan, “bantuin aku cari rumah yang bisa aku sewa aja ya? Pak Ridwan ngasih waktu aku 3 hari buat ngosongin rumah ini.”

“Aku pasti bantu, tapi, Na.” Bagas membawa kedua tangan Kirana dan menggenggam tangan itu erat, ia usap punggung tanganya dengan ibu jarinya itu, “jangan pernah sungkan buat minta bantuan aku ya, Na. Aku enggak mau kamu kesusahan sendirian. Aku senang banget kalau bisa bantu kamu dan Ibu.”

Kirana tidak menjawab, ia menunduk dan hanya mengangguk kecil. Baginya kehadiran Bagas saja sudah cukup untuknya. Untuk ia jadikan sandaran, Kirana enggak pernah mau menyeret-nyeret Bagas atau siapapun itu ke dalam persoalan hutang piutang Bapaknya. Bagi Kirana ini adalah tanggung jawabnya.

Malam itu setelah Ibu pulang dari toko, sudah makan malam dengan soto Lamongan yang di buat Kirana dan Bagas, keduanya berusaha perlahan-lahan memberitahu Ibu tentang kabar tidak baik ini. Ibu sangat sedih, Ibu menangis karena merasa rumah itu begitu penting baginya.

Kirana tidak bisa banyak berjanji pada Ibu, seperti suatu hari ia akan berusaha mengambil alih rumah mereka lagi, karena Kirana sendiri tidak yakin. Hutang Bapak bukan hanya pada Pak Ridwan saja, masih ada hutang lain yang perlu Kirana lunasi. Melihat Kirana dan Ibunya yang cukup piluh dan tidak bisa di tinggal, akhirnya Bagas memutuskan untuk menginap di rumah Kirana, membantu Kirana mengepak beberapa barang yang akan mereka bawa nanti.

Wanitanya tidak banyak bicara, raut wajahnya yang cerah seperti matahari di pagi hari itu kini nampak mendung seperti ada awan kumulonimbus di sana yang siap menyambar petir dan badai kapan saja.

“Besok pagi, setelah sarapan. Kita cari-cari rumah ya?” Bagas mengusap kepala Kirana dan wanita itu mengangguk kecil.

Bersambung...

Sejak bertemu dengan Raga di cafe kemarin hati Asri tidak pernah tenang sedikit pun, pertemuan sialan itu selalu saja membuat buncahan ketidaknyamanan di hatinya. Ada banyak pertanyaan di kepalanya kenapa bisa Raka dan Raga saling mengenal, ini bahaya. Dan apa yang di katakan Raka kemarin?

Raga adalah boss nya? Bagaimana bisa? Itu artinya Raka bekerja di firma arsitektur yang sama dengan Bagas? Pikir Asri, ini tentu saja membahayakan dirinya, rahasianya dan juga hubungnya kelak bersama Bagas dan juga keluarganya. Pagi itu, Asri mundar mandir didepan meja rias kamarnya, ia mengigiti kuku jempol tangannya dengan perasaan tidak nyaman sialan itu.

Ia harus membuat Raka bungkam, atau kalau bisa membuat Raka tidak bekerja di kantor itu lagi. Ah, tapi tidak ada yang jauh lebih sulit dari pada itu. Raga sudah melihatnya, dan bagaimana kalau Raga bercerita pada Bagas?

“AARRRRHHHHHH LAKI-LAKI SIALAN!!” Pekik Asri, ia mengobrak abrik benda-benda yang ada di atas meja riasnya seperti, body lotion, beberapa make up, hair care dan tentunya koleksi parfum mahal kesayanganya itu terjatuh berserakan ke lantai, bahkan isinya sampai keluar dan beberapa parfum pecah.

persetan dengan itu semua, ia tidak tenang. Asri bisa membelinya lagi nanti, dan sekarang otaknya terasa membeku memikirkan bagaimana bisa Raka berada satu kantor dengan Bagas atau ini adalah bagian dari rencana Raka untuk menghancurkan hidupnya? Pikir Asri. Hari ini, seharusnya Asri bertemu dengan Kirana. Tapi wanita itu bilang dia tidak bisa, ada hal yang harus Kirana kerjakan. Dan mereka mengatur pertemuan itu menjadi lusa.

Karena mendengar suara benda berjatuhan dari kamar Asri, Dwika. Papa nya Asri itu langsung mengetuk kamar Asri, sejak kemarin Asri memang tampak lebih pendiam dan lebih sering di kamar. Anak satu-satunya itu juga jauh lebih sensitif sampai-sampai beberapa karyawan di butiknya itu Asri marahi hanya karna melakukan kesalahan kecil saja.

Sejak hari itu Papa tahu jika ada yang tidak beres dengan putrinya, Papa hanya menduga jika Raka, pria sialan mantan Suami putrinya mungkin mengacam Asri kembali. Tentunya, Papa tidak akan tinggal diam jika itu terjadi. Sejak awal Asri mengenalkan Raka padanya saja ia sudah tidak menyukai pria itu, apalagi waktu mengetahui Asri hamil dan Raka meminta restu untuk menikahi putrinya.

“Asri, ada apa, Nak?” Suara Papa terdengar dari luar kamar, pria itu tampak begitu khawatir dengan putrinya.

Asri mengacak-acak rambutnya, dan kemudian lekas membukakan pintu kamarnya itu. Begitu melihat kamar Asri yang berantakan, Papa langsung menatap putrinya dengan ekspresi wajah yang bingung. Asri nampak kacau, sudah bisa Papa pastikan ada masalah yang tidak bisa Asri selesaikan sendiri.

“Ada apa? Sejak kemarin kamu jarang keluar kamar, emosi terus, ada apa?”

“Gimana Asri gak emosi, Pah. Papa tau Raka udah pindah ke Jakarta sama anak itu kan? Papa tau sekarang dia kerja dimana?” Asri berbicara dengan nada yang cukup tinggi, jika sudah mengalami tekanan. Wanita itu sulit sekali mengontrol emosinya terutama nada bicaranya.

“Dia kerja di kantor yang sama dengan Bagas, Pah. Aku gak tau dia sengaja apa enggak, tapi ini bikin aku setress, Pah. Terlebih waktu kemarin aku sama Reisaka dan Raka ke cafe, kami sempat ketemu Raga, dia atasanya Bagas di kantor dan Raga ini kelihatanya dekat sama Kirana juga. Raga pernah lihat Asri waktu jalan sama Bagas dan pernah ketemu Asri di rumah Bagas juga, Pah. Gimana kalau Raka cerita ke Raga kalau Asri sama dia pernah menikah dan punya anak?” Asri meremas rambutnya frustasi, ia takut sekali rahasia yang selama ini ia kunci rapat dalam sebuah gudang gelap, lembab dan terkunci rapat itu di buka paksa oleh seseorang.

Ia tidak ingin rahasia sialan itu terkuak, apalagi kalau sampai Bagas dan keluarganya tahu. Bagi Asri dan Papa, ini adalah aib. Reisaka, bocah itu adalah aib sekaligus rahasia besar dalam hidup Asri yang ingin Asri singkirkan selamanya dan tidak membiarkan orang lain mengoreknya.

“Untuk sementara ini, kamu ikuti dulu saja permainan Raka, Sri. Sembarin nanti Papa pikirkan lagi bagaimana cara membuat dia tetap diam.”

Asri tahu Papa nya akan mengusahakan segala cara, namun hatinya tetap tidak tenang. Ia ingin segera menikah dengan Bagas agar Raka tidak lagi mengusik hidupnya, agar ia terikat pada Bagas. Hari itu ketika langit sudah cukup gelap, Asri kembali mengirimi Kirana pesan dan meminta janji temu mereka di majukan. Asri juga sempat membuntuti Kirana dan Bagas hari ini, keduanya sempat berkeliling seperti mencari rumah yang akan di sewa entah untuk siapa.

Asri tentu saja sudah melaporkan pada orang tua Bagas jika Kirana belum juga menjauhi Bagas, yang langsung saja membuat Ibu nya Bagas itu murka. Beliau bahkan mencoba memikirkan cara terakhir untuk membuat Kirana menjauhi Bagas. Yaitu dengan cara membantu Kirana untuk melunasi hutang-hutang Bapaknya, dan memberitahu Bagas jika Kirana memeras orang tuanya. Sebut aja ini mengadu domba Bagas dan Kirana.


Tengah bergerumul dengan aneka bumbu-bumbu yang tengah di rajangnya, Kirana mendengarkan celotehan Bagas tentang rumah-rumah yang mereka survey barusan. Hari ini Kirana memutuskan untuk izin tidak masuk bekerja, ia harus mencari rumah sewa untuknya dan Ibu. Kondisi Ibu agak sedikit drop, tekanan darahnya tinggi dan memaksa Ibu untuk tidak bekerja juga hari ini.

Setelah makan siang dengan sup jagung, dan memberinya obat untuk menurunkan tensinya. Ibu istirahat di kamarnya, Kirana dan Bagas sempat survey sebentar dan kemudian kembali ke rumah, sejujurnya ada perasaan tidak enak pada kekasihnya itu karena Bagas jadi harus berbohong pada Raga tentang pekerjaanya.

Bagas memang ada pekerjaan di luar kantor, memantau proyek milik pria itu yang sedang berjalan, sedang ada pengecoran disana dan seharusnya Bagas memantau. Tapi pria itu hanya memantau sebentar setelahnya ia serahkan semuanya pada mandor proyek tersebut, demi menemani Kirana mencari rumah sewaan.

“Kalau yang tadi aku setuju deh, sayang. Sirkulasi udaranya bagus, rumahnya juga enggak terlalu besar buat kamu sama Ibu. Gak jauh pula buat kamu ke kantor, Ibu juga cuma naik bus sekali aja kan ke toko?” Di ruang tamu, Bagas masih duduk setia di lantai. Tanganya ia tumpuhkan pada meja berbahan kayu jati sembari fokus pada MacBook di depannya, mencari-cari rumah sewaan dari internet kemudian menghubungi pemiliknya.

“Tapi kayanya budget aku yang gak cukup, sayang. Sewa segitu bisa aku cicil buat hutang Bapak,” Kirana meringis.

Ia kupas 3 buah kluwek dan menggabungkannya dengan bawang merah, bawang putih, laos, kunyit, lada, kemiri dan jahe. Semua bumbu-bumbu yang harumnya sudah semerbak memenuhi dapurnya itu ia haluskan. Bunyi deru mesin dari blender yang sedang menghaluskan bumbu itu sedikit menyamarkan suara Bagas yang masih berceloteh di depan sana.

“Hhmm.. Atau yang di daerah Percetakan Negara tadi aja ya, sayang? Tapi agak jauh kalau mau ke kantor? Tapi kondisi rumahnya rapih sih bangunan baru.” Bagas geregetan sekali, ingin membantu Kirana. Tapi berkali-kali Kirana hanya meminta bantuannya untuk di temani mencari rumah sewa dan pindahan saja, semua yang berhubungan dengan financial wanita itu di tolak olehnya.

“Boleh, tapi tadi kamu sempat lihat airnya bagus gak, sayang?” Tanpa menoleh ke arah Bagas, langsung saja Kirana menumis semua bumbu halus itu. Sembari sesekali ia tinggal untuk memotong sisa daging sapi yang ada di kulkasnya, rawon daging sapi, masakan otentik yang selalu Bagas sukai dengan bawang goreng dan kecambah di atasnya, di hidangkan dengan nasi panas. Kesukaan Bagas sekali, pria itu bisa nambah berpiring-piring seperti ketika makan gultik di daerah Barito atau BlokM. Kirana sampai berpikir jika tangki perut pria itu memanglah besar.

“Bagus kok, cuma minus nya agak ramai sih lingkungannya, mungkin akan enggak nyaman buat Ibu istirahat.”

Wangi dari semerbak bumbu rawon yang tengah di tumis oleh Kirana itu menyeruak memenuhi ruang tamu, memasuki rongga hidung Bagas hingga cuping hidungnya kembang kempis. Arona itu seolah memanggilnya untuk menghampiri Kirana ke dapur, melihat apa yang tengah wanita itu kerjakan di sana meski mungkin kehadirannya sama sekali tidak membantunya.

Dengan telaten seolah pisau dapur dan segala bumbu sudah berkawan baik dengannya, Kirana satukan semua bumbu itu dalam satu panci bersamaan dengan daging yang sudah ia iris dengan potongan yang sangat pas sekali untuk satu kali suapan, aroma itu semakin semerbak, bunyi “ces” dari daging ketika di masukan membuat perut Bagas semakin meronta-ronta ingin segera di isi.

“Yang itu aja kayanya gapapa, sayang. Satu-satunya rumah yang murah, yang aku sanggup bayar dan sebagian gajiku dan Ibu masih bisa di pakai buat cicil hutang Bapak.” Kirana berbalik, menatap pria nya itu dengan senyum setelah ia selesai mencuci tanganya.

“Kamu yakin?”

Kirana mengangguk, “nanti bantuin lagi pas pindahan ya.”

“Pasti.” Bibir itu, bibir yang tersenyum dengan manis namun tersirat sebuah kemalangan dan kepedihan wanita itu suguhkan pada Bagas.

Membuat jantung Bagas berdetak tak seperti biasanya, aroma bunga melati dan bedak yang Kirana pakai sepertinya tidak sirna karena terpaan asap yang mengepul dari panci rawon yang tinggal menunggu matang saja. Bibir halus berwarna pink itu seolah memanggil Bagas untuk menjatuhkan bibirnya di atas bibir Kirana.

Bagas rindu, sudah lama rasanya bibirnya tak berkelana di atas bibir Kirana. Entah sejak kapan Bagas sudah menaruh kedua lengannya itu pada pinggang ramping sang wanita, mengusapnya pelan dan membawa Kirana pada dekapnya semakin dekat dengan benda berwarna merah muda itu.

Dalam diri Bagas seperti riuhan akan ada Pesta, di buncahi kebahagiaan dan kupu-kupu yang sibuk berterbangan di dalam perutnya. Sementara Kirana, ada duka dan gumpalan ketika ia sadar jika banyak sekali pihak yang keberatan dengan hubunganya dengan Bagas.

Tetapi, persetan dengan itu semua. Ia ingin pria nya siang itu, maka, Kirana tarik begitu saja leher Bagas dengan kakinya yang sedikit berjinjit menyamai tingginya dengan pria itu, di bungkamnya bibir Bagas dengan bibirnya, kedua mata anak manusia itu terpejam. Menikmati decapan manis pada rasa yang tengah mereka berdua bagi, seperti tidak pernah puas, seperti hari esok akan segera berakhir, seperti mereka sudah tidak lama bertemu. Begitu intim hingga bukan hanya bunyi dari gelembung kuah rawon yang tengah di masak saja yang mendidih, tapi dapur itu juga di dominasi oleh suara decapan Bagas dan Kirana siang itu.

Seperti di paksa melepas, bunyi “nging” dari panci presto itu menghamburkan segala bunyi decap kedua anak manusia yang tadi seperti tengah kesetanan itu, Kirana buru-buru mengeluarkan kepulan asap dan membuka panci presto nya. Begitu saja wangi rawon itu menyeruak, membuat Dimas sontak mengambil piring dan mengambil nasi untuk makan siang mereka berdua.

Denting dari garpu dan sendok yang beradu di meja makan siang itu terdengar, Bagas tak bisa menahan senyum ketika mencicipi rawon buatan Kirana yang terasa pas di lidahnya, gurih, dagingnya empuk dan hangat, meski siang itu cuaca Jakarta cukup panas. Pria itu makan dengan lahap, beberapa kali menyendok nasi lagi dan taburan bawang goreng yang harum itu ke atasnya.

Kecambah yang Kirana tawarkan di tolak olehnya karena Bagas lebih menikmatinya tanpa ada tambahan kecambah di atasnya, keringatnya berkucuran di keningnya menandakan ia sangat menikmati makanan itu.

“Kalau kita udah nikah nanti, kayanya aku bisa gemuk deh. Soalnya makan masakan kamu gak bisa gak nambah,” celotehnya di tengah-tengah makan siangnya itu.

Alih-alih bahagia mendengar ucapan Bagas, Kirana justru merasa kegundahan di hatinya itu bertambah. Ia menghentikan makannya sebentar, menenggak air putih yang ada di sebelahnya demi meluruhkan gumpalan ketidaknyamanan itu yang ada di tenggorakannya.

Apakah suatu hari nanti ia bisa menikah dengan Bagas? Membangun rumah, memasakannya makanan kesukaan pria itu, menatap wajahnya yang selalu membuat Kirana tenang kala gundah mendera, dan melahirkan anak-anak dari pria yang sangat ia cintai itu.

“Atau kita buka restoran aja ya sayang? Aku yakin pasti yang beli banyak, nanti aku bantuin kamu.”

Bagas masih saja berceloteh dengan andai-andainya itu tanpa timpalan ucapan dari Kirana. Ia bingung harus menanggapinya dengan apa, Kirana bukan tidak bisa melihat masa depannya bersama Bagas, tapi menurutnya ini sulit sekali. Mengingat orang tua Bagas sendiri sudah mengingatkan Kirana berkali-kali untuk menjauhkan putra sulung mereka.

“Gas?”

“Ya, sayang?” Bagas menatap Kirana, mulutnya masih mengunyah namun sanggup menampakan senyum.

Kirana senyum, ia menggeleng dan memilih untuk menahan ucapannya saja. Tidak tepat rasanya, pikirannya masih berkecamuk pada rumah kesehatan dan Ibu, urusan orang tua Bagas dan Asri yang ngotot ingin bertemu dengannya lebih baik ia urus sendiri saja.

Bersambung...