KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Samarang, 1898.

Keeseokan harinya, ketika Ayahnya sedang mengajak Dimas ke toko roti milik keluarga Gumilar, Ayu memakai kesempatan itu untuk mengunjungi kediaman asisten residen Samarang, bukan Adi yang mengantar. Kondisi Adi semakin parah, bahkan pria itu sulit di ajak komunikasi sekarang ini. Ayu sudah membujuk Ibu nya untuk membantu keluarga Adi membawanya ke rumah sakit milik Belanda, tapi sayangnya sesampainya di sana Adi di tolak.

Untuk saat ini, keluarga Adi hanya mengandalkan pengobatan herbal dan berdoa agar Adi cepat pulih. Dokar yang di kendarai oleh kusir yang kini bekerja di rumahnya itu berhenti di kediaman asisten residen Samarang, Ayu turun perlahan-lahan dari dokar itu dan langsung di sambut oleh penjaga kediamanya. Seorang pria Belanda yang tingginya menjulang, bahkan Ayu harus mendongak agar bisa bertatapan dengan pria itu.

Pardon, ik zoek de mener Jacob De Houtman.” (permisi, saya mencari Tuan Jacob De Houtman.)

Penjaga kediaman asisten residen itu menelisik penampilan Ayu, ia tidak tahu Ayu siapa. Tapi bisa ia pastikan Ayu bukan dari kalangan rakyat biasa, terlihat bagaimana dokar milik wanita itu yang tidak biasa dan kebaya yang dikenakannya.

Wat heb je nodig?” (ada keperluan apa?)

Ik moet hem iets vragen.” (ada sesuatu yang ingin saya tanyakan padanya.)

Penjaga itu tampak menimang-nimang, namun akhirnya Ayu di izinkan untuk masuk ke kediaman itu, di pintu masuk terdapat ruang tamu. Ayu di persilahkan untuk duduk disana, namun pikirannya makin berkecamuk setelah ia melihat foto residen dan wakil residen yang di pajang di ruangan itu.

Tidak ada foto Jayden disana yang setahu Ayu masih menjabat sebagai asisten residen Samarang, justru dua pria Belanda yang tampak asing bagi Ayu. Sungguh, pikirannya makin tidak karuan seperti hatinya baru saja di remas dari dalam membuat perasaan tidak nyamannya kian menjadi-jadi.

“Selamat siang,” ucap seseorang dari belakang Ayu, suara barinton nya membuat Ayu terkesiap dan menoleh ke belakang.

Seorang pria Indo, tubuhnya tinggi dan wajahnya perpaduan pria Asia dan juga Belanda. Matanya berwarna kecoklatan, dan kulitnya putih bersih meski tak sepucat pria Belanda lainya.

“Saya Djenar Ayu Asutiningtyas.” Ayu menjabat tangan pria itu, pria Indo yang ramah pada pribumi, pikirnya.

“Raden Ayu?” Tebaknya yang membuat Ayu mengangguk.

“Syukurlah, tiba saatnya kau datang.” Pria itu duduk di kursi yang ada di ruang tamu itu, tanganya terulur, menunjuk salah satu kursi di sana dengan ibu jari nya mempersilahkan Ayu untuk duduk juga di salah satu kursi yang ada di sana.

Ayu mengeluarkan secarik kertas pemberian dari Adi beberapa hari yang lalu, dan seperti benda ajaib. Pria itu langsung mengangguk dengan raut wajah yang piluh namun juga ada kelegaan yang tergambar jelas di netra kecoklatan miliknya.

“Saya akan membawa Raden Ayu ke kebun belakang, saya akan jelaskan di sana. Apakah Raden Ayu tidak keberatan?”

Ayu menggeleng, meski hamil besar. Ayu masih kuat berjalan pelan-pelan meski rasanya nafasnya tercekat. “Tidak apa-apa.”

Pria itu berdiri, “mari, ikuti saya. Saya akan menunjukan sesuatu yang menjadi milik anda.”

Ayu akhirnya ikut berdiri, langkah kakinya yang kecil-kecil karena mengenakan kain itu berusaha menyamai langkah kaki Jacob yang melangkah besar-besar. Di bawanya ia ke sebuah kebun yang penuh dengan melati-melati di sana, harum. Itu lah kesan pertama yang Ayu katakan dalam batinnya saat ia tiba di sana.

“Kebun ini, saya yang membuat atas perintah Meneer Jayden,” jelas Jacob, ia memperlihatkan hasil tanganya yang ia tanam sendiri melalui bibit yang ia bawa dari rumahnya.

“Kebun melati ini milik Raden Ayu,” lanjutnya.

“Milik saya?”

Pria itu mengangguk, “Meneer Jayden membuat kebun ini karena Raden Ayu suka sekali dengan bunga melati, sering memakai hiasan bunga melati ini di kepala juga sebagai hiasan rambut.”

Jacob melirik ke rambut panjang milik Ayu yang masih di hiasi melati-melati, wangi kebun ini yang berasal dari bunga putih itu sangat menggambarkan harum Ayu sekali.

“Lalu.. Meneer Jayden kemana? Kenapa di ruangan tadi, tidak ada fotonya? Apakah masa jabatanya sudah selesai?” Akhirnya Ayu memuntahkan semua pertanyaan yang ada di kepalanya.

“Biarkan saya menjawabnya satu persatu, Raden Ayu. Saat ini, saya tahu anda pasti kebingungan. Saya akan menjelaskannya.” Tangan kanan Jacob, menunjuk sebuah kursi di kebun itu. Menyuruh Ayu untuk duduk di sana, Ayu menurut. Kedua anak manusia itu akhirnya duduk di sebuah kursi panjang berbahan bambu yang ada di sana.

“Meneer Jayden memerintahkan saya untuk membuat kebun ini serta merawat melati-melati ini untuk anda, sebagai hadiah dari pernikahan kalian, kelak kalian menikah nanti. Namun takdir berkata lain, semesta tidak merestui kalian bersama. Namun, Meneer Jayden tetap meminta saya untuk merawat melati-melati ini. Ia ingin suatu hari anda melihatnya.”

Jacob tidak menatap Ayu, matanya terus menerus menatap hamparan kebun melati itu yang nampak subur hasil tanganya. Bahkan melati-melati di kediamannya dulu kalah subur di banding melati yang ia tanam di kediaman asisten residen ini.

Perasaan Ayu yang mendapatkan penjelasan seperti itu semakin tidak karuan, ingin sekali ia bertemu dengan pria nya. Memeluknya jika memungkinkan dan mengatakan terima kasih karena sudah membuatkan kebun melati itu untuknya.

“Setelah Raden Ayu menikah, Meneer sempat sakit. Dokter sudah berusaha memberikan pengobatan untuknya, namun sakitnya urung membaik. Hari demi hari yang ia tunggu hanya balasan surat dari Raden Ayu yang bahkan sampai saat ini tidak mendapatkan balasan.”

Ayu masih bergeming, ia ingin sekali membalas surat itu. Namun geraknya selalu terhalang oleh Dimas dan juga para pekerja yang bekerja di rumah Dimas yang ada di Soerabaja.

“Raden Ayu tahu tentang penyerangan yang di lakukan oleh pribumi pada para pejabat kolonial?” Tanya Jacob.

Ayu menggeleng, ia tidak di izinkan membaca surat kabar oleh Dimas. “Tidak..”

“Ah,” Jacob mengangguk-angguk. “Sayangnya, maafkan saya harus menyampaikan berita seperti ini tetapi, hari itu Meneer Jayden menjadi salah satu korban nya. Ia di temukan tewas di salah satu ruangan di kantor keresidenan.”

Ayu terdiam di tempatnya, kabar dari Jacob itu tidak Ayu percayai sepenuhnya. Tidak mungkin Jayden menjadi salah satu korbannya, ia masih sangat ingin menemui pria itu bahkan jika ia hanya di perbolehkan melihatnya saja tanpa bertegur.

“Berita itu tidak benar kan, dia masih ada. Dia bahkan selalu berada di pihak pribumi bagaimana mungkin ia mati di tangan pribumi juga?” Ayu menahan tangis nya yang hampir saja pecah, kepalanya masih berusaha untuk meyakinkan dirinya jika Jacob hanya mengada-ngada.

“Saya harap juga seperti itu, tapi maaf Raden Ayu. Meneer Jayden memang sudah tidak ada, bahkan jasad nya di bawa ke negara asalnya. Sampai hari ini, para tentara Belanda masih memburu pelaku pembunuhan itu.”

Setelah mengatakan hal itu, Jacob meninggalkan Ayu di kebun melati itu sendirian. Jacob hanya berpikir jika mungkin wanita ringkih itu butuh waktu sendiri untuk mencerna semua berita tidak mengenakan untuknya, dari dalam rumahnya ia bisa mendengar isakan Ayu yang menyesakan.

Wanita itu terisak bahkan terbatuk-batuk menerima kenyataan jika Jayden benar-benar mati terbunuh, setelah di rasa cukup melampiaskan kesedihannya di kebun itu, Ayu pulang dengan dokarnya. Tangisnya masih terus pecah sembari sesekali ia mengatur pernafasanya, ia sesak dan beberapa kali batuk darahnya kambuh lagi.

Dokar yang di kendarai seorang kusir itu melaju sedikit kencang membelah kebun-kebun milik warga dan pedesaan, kusir yang bekerja untuk keluarga Gumilar itu panik mendapati Ayu yang terus terbatuk-batuk mengeluarkan darah.

Begitu sampai di kediamannya, kedua orang tua Ayu langsung menghampiri Ayu yang masih tergeletak lemas dalam dokar. Bahkan Dimas pun langsung berlari dan membawa Ayu keluar dari dokar itu.

“Panggilkan dokter Corlenis cepat!!” sentak Ayah Ayu, beliau panik bukan main begitu melihat Ayu tak sadarkan diri dengan darah di sekitaran mulut hingga dada nya.

Seorang pekerja di rumah keluarga Gumilar itu yang sudah menjadi tangan kanan bagi Tuan Gumilar langsung pergi ke kediaman dokter Cornelis, beliau adalah orang Belanda yang sudah menjadi dokter keluarga Gumilar, bahkan beliau yang juga mendiagnosis jika Ayu mengidap tubercolosis.

“Ayu? Sadar Ayu!!” Dimas menepuk-nepuk pipi istrinya itu.

“Ayu masih bernafas kan, Romo?” Ibu sudah terisak, beliau tidak tega melihat putri satu-satunya itu kembali terbaring lemah.

“Dokter Cornelis akan segera datang menyelamatkan Ayu.”

Setelah dokter Cornelis datang, Ayu di suntikan beberapa antibiotik, kondisinya jauh lebih stabil meski Ayu belum juga sadar.

“Dimas, kita harus segera mencari pengobatan untuk Ayu. Salah satu kawan saya di Batavia memberi kabar jika di sana ada dokter spesialis paru-paru yang bisa mengobati Ayu,” jelas dokter Cornelis, beliau melirik Ayu. Nafasnya sudah stabil, tapi jika di biarkan seperti itu terus menerus. Kuman yang berada di paru-paru Ayu akan semakin memperparah keadaanya.

“tetapi Ayu sedang hamil, dok. Apa tidak apa-apa jika ia menjalani pengobatan?” Dimas ingin mempertahankan anaknya, anak yang di prediksi berjenis kelamin laki-laki itu kelak akan menjadi penerus keluarganya. Ia tidak ingin kehilangan anak dalam kandungan Ayu.

“Setelah dia melahirkan, resiko nya cukup tinggi.”

Dimas menghela nafasnya pelan, setelah dokter Cornelis berpamitan. Pria itu kembali duduk di ranjang tempat Ayu berbaring, memperhatikan wajah pucat istrinya itu.

“Kenapa aku harus menikahi wanita penyakitan sepertimu, Ayu?”


Jakarta, 2025.

Pagi itu, ketika Raga keluar dari mobil yang di kemudikannya. bersamaan itu dengan Kirana dan Bagas yang juga keluar dari mobil, keduanya masih berangkat ke kantor bersama pagi ini. Raga terdiam di kursi kemudinya sejenak, memperhatikan dua anak manusia itu berjalan bersamaan sembari membicarakan sesuatu yang entah apa, Raga masih mengingat bagaimana Ibu nya Bagas datang menemui Kirana.

Bagaimana wanita itu menangis di kursi cafe setelah ibu dari pria yang ia cintai itu pergi, tapi pagi ini. Kirana masih bersikap seperti biasanya pada Bagas. Sejujurnya, Raga enggak tau ini perasaan apa, tapi dia merasa sangat bersimpati pada Kirana sekaligus salut, Raga berpikir jika wanita itu ingin tetap mempertahankan hubunganya dengan Bagas.

Menghela nafasnya dengan kasar, Raga membuka pintu mobilnya. Bersamaan dengan itu, ia juga bertemu dengan Raka. Pria yang lebih tua darinya 2 tahun itu terseyum ramah padanya.

“Pagi, Pak,” sapa Raka, ia berjalan beriringan dengan Raga.

“Pagi,” jawab Raga sekena nya.

Raka masih tampak canggung dengan Raga, di matanya Raga adalah seorang yang tidak banyak bicara. Walau kata Almira dan Satya, Raga cukup ramah untuk ukuran seorang atasan. Di depan lift ternyata mereka bertemu dengan Kirana, Bagas dan juga Almira yang sedang menunggu lift terbuka.

“Pagi-pagi udah sumringah aja, Mir?” sapa Raka begitu melihat Almira yang sedang senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya.

“Habis di antar sama gebetannya, Mas. Yang katanya mirip Lee Sangyeon The Boyz,” sahut Bagas.

“Betul itu!” Almira menjentikkan jarinya.

“Seganteng apa sih?” Raka sudah tahu kalau Almira itu Kpopers garis keras, ya gimana enggak 3 kali makan siang bersama wanita itu, Almira selalu membicarakan boy grup yang berbeda-beda.

“Ah, ini Mas Raka bukan? Yang gantiin Pak Ilyas?” tanya Bagas begitu melihat Raka yang berdiri tepat di belakangnya, Bagas sudah tahu perihal pengganti rekan kerjanya. Karena Raka bekerja di kantor arsitektur itu atas rekomendasi dari Pak Ilyas.

“Iya, benar, Reiraka Indra Soerja.” Raka menjabat tangan Bagas.

“Banyu Bumi Bagaskara, panggil Bagas aja.”

“Wah, namanya unik. Kalo di singkan bisa jadi BBB ya?” Raka kemudian tertawa dengan leluconnya sendiri, sementara itu Almira, Kirana, Bagas dan Raga yang sedari tadi diam hanya melihat ke arah Raka secara bersamaan. “Hehe gak lucu ya?”

“Garing banget Mas Raka,” celetuk Almira.

“Lucu kok, Mas. Hehehe.” Bagas yang tidak enak tertawa sedikit, enggak enak sama Raka yang udah berusaha membangun lelucon pagi itu.

Begitu pintu lift terbuka, kelimanya langsung masuk secara bersamaan. Berbarengan dengan karyawan-karyawan yang lainnya, di dalam lift, Kirana bersebelahan dengan Raga. Saking penuhnya pagi itu, Bahkan Bagas jadi berada di paling depan. Dekat dengan tombol lift.

“Kirana?” panggil Raga, sejujurnya ada hal yang ingin Raga tanyakan pada Kirana. Terutama soal kelanjutan mimpinya.

“Ya, Pak?”

“Ada yang saya mau bicarain, setelah jam makan siang. Tolong ke ruangan saya ya.”

Kirana hanya mengangguk, keduanya seperti bisa saling membaca pikiran. Kirana juga berpikir jika Raga ingin menanyakan kelanjutan mimpinya, mimpi semalam, menurut Kirana cukup menguras emosinya. Ayu kini telah mengetahui jika Jayden sudah meninggal, dan hal itu juga yang menjadikan kondisi Ayu dalam mimpinya kian memburuk.

Begitu sampai di meja kerjanya, Kirana duduk. Ia merasa tengkuknya sedikit pegal, sebenarnya Kirana merasa kurang sehat pagi itu. Namun karena harus meeting hari ini, ia terpaksa masuk bekerja.

“Kenapa, Mbak?” Almira khawatir, soalnya Kirana tuh jarang banget pakai minyak angin kalau di kantor. Dia cuma takut kalau Kirana sakit aja tapi tetap maksain kerja.

“Agak pegal,” jawab Kirana, badannya emang pegal bahkan cuma di sekitar leher saja tapi tangan dan kakinya juga. Kirana cuma mikir ini efek setress atau bahkan ada kaitannya dengan mimpinya.

“Mau pake koyo gak, Na?” di kursinya Satya mengangkat koyo yang selalu ia stok di laci kecil meja kerjanya, Satya yang paling sering lembur makanya dia selalu nyiapin koyo, minyak angin dan obat sakit kepala.

Kirana terkekeh, “enggak usah, Mas. Makasih. Masih bisa tahan ini.”

“Yaudah, kalo butuh obat-obatan ambil di laci gue aja ya. Gue lengkap banget ini.”

“Sejompo itu ya, Bang?” Almira meledek.

“Yee.. Belom ngerasain aja, ntar kalo udah umur-umur segini kerasa dah,” Satya membela diri.

Bagas dan Raka yang duduk bersebrangan itu cuma geleng-geleng kepala saja. Mereka tidak satu tim, namun dalam ruangan itu celotehan dan kekerabatan yang erat membuat ruangan itu menjadi lebih hangat. Suasannya sehat meski beban kerjanya sangatlah tinggi.

Jam makan siang ini, Kirana sempat di tawari untuk makan di restoran padang yang ada di sebrang kantor mereka sama Almira, tapi Kirana menolak. Hari ini dia membawa bekal, jadi Kirana hanya makan di meja kerjanya saja sambil mengerjakan progress proyek yang sedang ia pegang.

Kebetulan, Bagas juga pergi makan siang keluar. Dia nemenin Mas Satya juga buat nyari bahan maketnya, makanya tinggalah Kirana sendiri di meja nya. Kirana sempat berpikir jika Raga sudah keluar makan siang lebih dulu, namun ternyata laki-laki itu masih ada di ruanganya. Begitu ia keluar, Kirana sempat tersenyum dan Raga juga menganggukan kepalanya kecil.

“Makan, Pak.” tawarnya, Kirana sempat memerkan kotak bekalnya.

“Saya udah makan, Kirana.” Raga menghampiri Kirana, pria jangkung itu menarik kursi milik Almira yang berada tepat di samping Kirana. “Ada yang mau saya tanyain ke kamu, Na.”

“Ada apa, Pak?” Kirana memang hanya membawa roti bakar, jadi ia tutup kotak bekalnya itu demi menyimak obrolannya pada Raga.

“Soal mimpi kamu, Na.”

Kirana mengangguk kecil, “Bapak pasti mau tanya mimpi saya sudah sampai mana ya?”

“Hm.” Raga berdeham mengiyakan, “gimana sama Ayu, Na?”

Kirana menghela nafasnya pelan, agak menyesakkan menceritakan bagaimana Ayu dalam mimpinya. Tapi, ia harus tetap bercerita pada Raga agar bisa memecahkan apa arti dari mimpinya.

“Ayu sudah tau soal kabar Jayden yang jadi korban pembunuhan oleh pribumi yang menyerang kantor residen, Pak. Dia terpukul banget, sampai-sampai penyakitnya kambuh.”

“Terus?”

“Baru sejauh itu, Pak. Dimas dan keluarga Gumilar ada rencana membawa Ayu berobat menemui dokter yang ada di Batavia. Tapi sayangnya pengobatan itu gak bisa berlangsung saat itu juga karena Ayu sedang hamil.”

Raga mengangguk-angguk kecil, ia memijat pelipisnya pelan. Sangat menggantung, ia masih belum bisa memikirkan apa jawaban dari mimpi mereka. Masih seperti kepingan puzzle yang hampir lengkap namun komponen utamanya masih kurang.

“Adi, gimana sama dia, Na?” Raga jadi teringat sama pria pribumi miskin itu, ia sangat tahu kabar pria itu bagaimana. Raga hanya ingin tahu apakah Adi membaik atau tidak.

“Kondisi Adi semakin menurun, Pak. Telinganya masih gak bisa mendengar dan sekarang dia sakit-sakitan.”

Waktu Kirana menjelaskan hal itu, sontak mata Raga tertuju pada kursi milik Bagas yang kosong. Hanya ada jaket milik pria itu yang di taruh di sandaran kursinya saja.

“Masih seperti kepingan puzzle, Na. Saya belum bisa mikirin jawaban soal arti mimpi kita,” Raga pikir ia masih harus menunggu kelanjutan mimpi Kirana.

“Gapapa, Pak. Besok saya akan kasih tau Bapak kelanjutannya.”

Raga mengangguk, sebenarnya selain ingin bertanya tentang mimpi Kirana. Ia juga ingin menyampaikan kabar pada Kirana, mungkin wanita itu agak sedikit tidak menyukainya. “Na, sebenarnya selain tanya soal mimpi kamu, saya juga mau kasih kamu kabar yang mungkin kamu gak terlalu sukai tentang next proyek kamu.”

“Maksudnya, Pak?” Kirana mengerutkan keningnya bingung. Karena tumben sekali Raga memikirkan perasaanya, biasanya pria itu tidak begitu perduli jika bawahannya suka atau tidak dengan proyek yang ia berikan.

“Iya, jadi firma kita dapat klien. Namanya Pak Suryo, beliau itu owner dari restoran masakan padang yang ada di sebrang kantor kita.”

“Serius, Pak?!” pekik Kirana. “Yang restorannya itu ada dimana-mana?”

“Yup.” Raga mengangguk mengiyakan. “Beliau ingin kita bantu untuk proyek rumahnya, ya hadiah sih untuk pernikahan anak bungsu nya. Dan beliau percaya sama firma kita.”

“Jadi ini next proyek saya, Pak? Lalu kenapa jadi kabar yang gak menyenangkan buat saya?”

“Kamu akan kolaborasi sama Raka, Kirana.”

Bersambung

Mobil yang Bagas kendarai itu ia parkir tepat di depan pagar rumahnya, sebelum turun dari sana. Ia sempat memandang pagar itu sebentar, sudah satu bulan lebih ia tidak menginjakan kakinya di rumah, tak melihat wajah Ibu dan Ayahnya bahkan Adiknya. Hari ini Bagas mengunjungi mereka, itu pun bukan dari hatinya sendiri, melainkan karena Kanes dan juga permintaan dari Asri.

Enggak ada yang berubah sedikit pun dari pagar kayu itu, bahkan halamannya yang di penuhi tanaman kesukaan Ibu. Masih terawat, hijau dan beberapa bunga bermekaran. Melepaskan seatbelt yang terpasang di tubuhnya, Bagas keluar dari dalam mobil. Membuka pagar rumahnya dan masuk ke sana. Baru saja tanganya menutup pagar, derap langkah kaki dari sandal rumahan itu terdengar memenuhi telinga Bagas.

“Mas Bagas?!” Pekik Kanes, “Ibu, Mas Bagas pulang, Buk!!” Wanita itu sedikit berteriak, ia kemudian berlari dan menghampiri Kakak laki-lakinya itu.

Alih-alih memeluk, Kanes justru meninju lengan berisi Bagas dengan bibir yang sedikit ia majukan, wanita itu cemberut. Kesal karena Bagas baru pulang hari ini padahal ia sudah seminggu di Jakarta.

“Gausah teriak-teriak heh! Pake mukul lagi, orang tuh kalo Mas nya pulang di sambut yang manis, di bikin teh kek, di siapin makanan kesukaanya kek,” protes Bagas. Ia terkekeh pelan saat bibir Kanes menirukan ucapannya itu.

“Ngapain! Mas aja gak ngasih tau mau pulang sekarang.”

Tidak lama kemudian, Ibu dari keduanya keluar dari rumah. Matanya berseri ketika melihat si sulung yang ia rindukan itu pulang.

“Bagas!! Ya ampun, Nak. Ibu kangen banget sama kamu..” Ibu langsung memeluk Bagas begitu si sulung menghampirinya untuk menyalaminya, hatinya lega, Bagas sudah mau pulang. Ibu berpikir jika ini pertanda baik, mungkin Kirana sudah mulai menjauhi putra kesayanganya itu. Makanya Bagas merasa putus asa dan akhirnya pulang, ia merasa usahanya membuahkan hasil.

“Maaf ya, Buk. Bagas baru bisa mampir, kemarin-kemarin Bagas sibuk banget di Surabaya.”

“Gapapa, Nak. Ibu kangen banget, Ibu sampai sakit mikirin kamu. Untung ada Asri yang ngerawat Ibu. Emang bener deh dia tuh calon menantu idaman sekali.”

Mendengar ucapan Ibu baik Bagas maupun Kanes merasa canggung, suasana hati Bagas yang tadinya menghangat karena mampir ke rumahnya itu juga jadi sirna begitu Ibu menyebut nama Asri.

“Bagas bisa sewa suster buat rawat Ibu loh, Buk. Jangan ngerepotin orang,” Bagas enggak menanggapi ucapan akan kata calon menantu itu, ia tidak ingin memulai perdebatan sama Ibunya.

“Enggak kok, malahan ini insiatif Asri sendiri buat rawat Ibu, Bagas. Ibu lebih ngerasa nyaman kalau di rawat sama Asri.”

“Ya tapi kan Asri juga bukan perawat, Buk. Dia juga punya kerjaan.”

“Benar kata, Mas Bagas, Buk. Lagian Kanes kan juga yang lebih paham, Ibu lupa ya kalo Kanes ini kuliah kedokteran?” Kanes mendukung ucapan Bagas.

“Ck,” Ibu mendecak dan menajamkan tatapannya saat bertemu dengan kedua mata Kanes, Ibu merasa Kanes tidak berada di pihaknya. “Kamu kan sibuk terus.”

“Ya tapi kan Kanes juga yang ngasih tau obat Ibu apa aja Ibu gak boleh makan apa aja—”

“Udah-udah, kita masuk yuk? Mas lapar mau makan masakan Ibu, Ibu masak apa?” Bagas menengahi meski ia memotong ucapan Kanes, ia tidak ingin Ibu dan Adiknya itu bertengkar, Bagas menggandeng Ibu masuk sembari menoleh ke arah Kanes yang berjalan di belakang mereka. Memberi kode pada Adiknya itu untuk tidak menanggapi lagi ucapan Ibu.

Ketiga nya makan malam bersama di meja makan, tidak lama kemudian, setelah ketiganya selesai makan malam. Ayah pulang, pria yang perawakannya mirip dengan Bagas itu tampak lega melihat putranya telah kembali ke rumah, namun tidak di pungkiri jika masih ada kekecewaan besar di hati sang Ayah perihal Bagas yang tidak datang ke acara pertungannya dengan Asri.

“Yah,” Bagas menghampiri Ayahnya, alih-alih di beri tangan kanan pria itu untuk di salaminya, Ayahnya justru mengangkat tangannya tinggi dan melayangkan sebuah tamparan yang mendarat tepat di pipi kiri Bagas.

Bagas kaget, pipi nya memerah dan telinganya berdenging agak nyaring karna tamparan dari Ayahnya itu. Ibu dan Kanes pun kaget, alih-alih sambutan hangat seperti yang di tunjukan oleh Kanes dan Ibu. Ayah justru malah menampar Bagas.

“Kurang ajar kamu, Bagas. Bikin malu orang tua saja!” Sentak Ayah.

“Yah!!” Ibu memperingati, namun suaminya itu enggan menggubrisnya.

“Kamu tahu tidak, Ayah malu sekali dengan orang tua nya Asri karena kamu tidak datang di malam pertunangan kalian.” Saking tidak enaknya dengan keluarga Asri, Ayah sampai-sampai harus mengucapkan maaf berkali-kali atas kelancangan putranya.

“Kan Bagas sudah jelasin sama Ayah dan Ibu kalau Bagas gak bisa sama Asri, Bagas punya Kirana, Yah,” Bagas pikir setelah ini orang tua nya bisa sedikit menerima keputusaanya, ternyata semuanya masih sama.

“Halah perempuan itu lagi, kamu udah di butain sama perempuan itu, Bagas. Kamu tahu tidak sih keluarganya seperti apa? Keluarganya terlilit hutang, bisnis orang tua nya bangkrut. Kalau kamu menikah sama dia—”

“Kirana enggak pernah minta Bagas buat bantu bayar hutang-hutang orang tua nya, Yah. Gak pernah..” Ucap Bagas menyela ucapan Ayahnya, kedua bahu pria itu naik turun berusaha meredam emosinya sendiri setiap kali Ayah atau Ibu nya menghina Kirana.

“Kalau memang Ayah dan Ibu enggak bisa menerima Bagas sama Kirana, Bagas enggak akan datang ke rumah ini lagi. Kalian mau enggak anggap Bagas bagian dari keluarga ini pun gapapa, toh selama ini Bagas enggak pernah di beri kesempatan ambil keputusan untuk hidup Bagas sendiri. Ayah sama Ibu selalu yang ambil kesempatan itu dengan alasan tahu apa yang terbaik buat Bagas!”

Bagas sudah cukup lelah, selama ini ia merasa orang tua nya cukup menyetir hidupnya. Ah, tidak. Bahkan keduanya yang terus mengambil keputusan di setiap pilihan hidupnya, dan kini, Bagas sudah lelah dengan hal itu. Ia ingin hidupnya sendiri.

Malam itu tanpa berpamitan kembali pada kedua orang tua nya, Bagas melangkahkan kaki keluar rumahnya. Kanes hanya bisa mengejar Kakak laki-lakinya itu hingga ke depan mobilnya, berusaha untuk menahan Bagas agar tidak pergi.

“Mas..Mas Bagas!!” Pekik Kanes, ia berusaha menyamai langkah kakinya dengan Bagas. Sampai akhirnya ia berhasil menarik tangan Bagas untuk ia tahan sebentar.

“Mas udah capek, Nes. Mas juga yakin kamu capek kan di atur sama Ayah dan Ibu?” Kanes memang sering bercerita hal ini pada Bagas, mengeluh jika ia sebenarnya tidak ingin masuk kedokteran. Semua Kanes lakukan karena itu pilihan orang tua nya.

“Iya, Mas.” Kanes menangis, ia juga merasa lelah. Tapi ia tidak bisa menentang orang tua nya, ia tidak memiliki keberanian itu. “Mas Bagas mau pergi lagi?”

Bagas menghela nafasnya pelan, tidak tega melihat Adiknya itu menangis. Ia paham jika Kanes juga mungkin tersiksa berada di rumah, mungkin yang Kanes takutkan ketika Bagas benar-benar tidak kembali ke rumah adalah, ia akan kehilang seorang pendengar. Karena selama ini yang bisa mendengar cerita Kanes hanyalah Bagas.

“Kita cuma pisah rumah, kalau Kanes mau ke rumah, Mas. Kan udah Mas kasih alamatnya, Mas masih tetap bisa dengarin cerita-cerita kamu.” Bagas menaruh kedua tanganya di bahu Kanes, wanita itu masih menangis.

Setelah Kanes tenang, baru lah Bagas bisa pulang ke rumahnya. Di perjalanan pulang, ia mengabaikan telfon dari Ibu nya. Ia masih belum ingin bicara dengan kedua orang tua nya itu, entah sampai kapan.


Samarang, 1898.

Sudah beberapa hari ini kondisi Ayu mulai membaik, ia masih sering berada di kamar untuk memulihkan kondisinya. Namun jika merasa sedikit bosan, kadang Ayu hanya duduk di teras rumahnya saja. Memperhatikan para pekerja di rumahnya yang tengah sibuk menjalankan tugas-tugasnya. Pagi itu, ketika Dimas sudah berangkat bersama Romo nya.

Ayu bangun dari ranjangnya, mencoba mencari surat yang di berikan oleh Jayden melalui Adi. Seingatnya, ia menaruh surat dengan kertas lusuh itu di nakas meja riasnya. Namun sudah nyaris ia keluarkan semua isinya, tidak ia dapati juga kertas bertuliskan untuknya itu.

“Kemana yah..” gumam Ayu.

Ia bangun dari kursi di depan meja riasnya, memegangi perutnya yang bertambah besar seiring dengan nafasnya yang kerap kali sesak akhir-akhir ini. Menurut dokter yang memeriksanya, kondisi paru-paru Ayu sangat memperihatinkan. Kuman dari tubercolosis di paru-parunya itu semakin parah karena selama ini Ayu hanya mengandalkan pengobatan herbal saja.

Dokter sudah mengingatkan pada suami Ayu dan kedua orang tua nya untuk selalu menjaga kebersihan, karena penyakit yang di derita Ayu ini memang menular. Bahkan dokter sudah memberikan peringatan pada Dimas jika ada kemungkinan bayi yang di kandung Ayu juga tertular penyakit dari Ibu nya.

“Iya, anaknya meninggal tadi subuh, Buk.”

inalillahi.. kalau begitu nanti saya segera ke sana.”

Sayup-sayup Ayu mendengar suara Ibu nya tengah berbicara dengan orang lain, kalau tidak salah dengar ada yang meninggal? Tapi siapa? Pikir Ayu. Dengan langkah terdopoh-dopoh, Ayu berjalan keluar dari kamarnya. Menghampiri Ibu nya yang masih terduduk di meja ruang tamu sembari memeriksa laporan hasil dari perkebunan miliknya.

Buk, sinten ingkang seda?” Tanya Ayu, ia duduk perlahan-lahan di bantu Ibu di kursi tamu.

Ibu yang di tanya seperti itu tidak langsung menjawab, Ibu menunduk seperti bingung ingin mengatakan apa pada Ayu. Ayu yang melihat perubahan di raut wajah Ibu nya itu semakin bertanya-tanya.

“Buk?” Panggilnya sekali lagi, Ayu juga menaruh telapak tanganya di pundak Ibu.

“Kowe ngaso dhisik nang njero, Yu. Mengko nek bojo-mu weruh kowe neng kéné, isa nesu.

Ibu tampak mengalihkan pembicaraan dan itu semakin membuat kebingungan di kepala Ayu, “bosan di kamar, Buk. Ibu belum menjawab pertanyaan Ayu, Buk. Siapa yang meninggal, Buk?”

Ibu menelan saliva nya sendiri, seperti pertanyaan itu sulit ia katakan pada Ayu. Tidak ingin membuat putri satu-satunya itu kembali sakit jika mendengar berita duka yang datang dari keluarga Adi ini. Ya, Adi meninggal subuh tadi, pria malang itu sudah tidak kuat menahan sakit di kepala nya. Selama sakit, tidak pernah sekalipun kedua orang tua Adi membawanya ke dokter.

Bahkan keduanya menolak bantuan dari keluarga Ayu untuk membawa Adi ke dokter, mereka lebih memilih untuk tetap merawat Adi sendiri dengan pengobatan tradisional ala kadarnya saja.

“A..Adi, Yu,” jawab Ibu gugup.

Mendengar nama Adi di sebut, hati Ayu mencelos perasaanya berubah menjadi berkecamuk, hatinya menyangkal jika ia benar-benar mendengar apa yang telah di ucapkan Ibu nya. Mimpi buruk yang selalu Ayu takuti adalah di tinggal oleh orang-orang yang ia cintai, termasuk Adi.

Baginya Adi sudah seperti seorang kakak dan teman untuknya, ia lebih nyaman bercerita bahkan menjadi dirinya sendiri saat bersama Adi ketimbang dengan orang tua nya. Lalu, bagaimana jika Adi tidak ada? Ia sudah di tinggalkan oleh Jayden. Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan jika Adi juga harus meninggalkannya.

“Ma..Mas Adi ke..kenapa, Buk?” Ayu kembali bertanya. Berharap ia benar-benar salah mendengar.

“Adi sudah tidak ada, Yu. Adi meninggal...” air mata Ibu mengembang tertahan di pelupuk matanya, meski Adi hanya anak dari pekerja di rumahnya. Ibu sudah menganggap Adi seperti anaknya sendiri juga, ia melihat bagaimana dahulu pasangan suami istri itu membawa Adi kecil saat keduanya bekerja.

Bahkan Adi kecil juga sudah membantu Ibu dan Bapaknya bekerja, ketika Adi dewasa. Pria malang itu berjanji akan terus menjaga Ayu. Dan sepertinya, janji itu benar-benar Adi tepati. Ayu yang mendengar kabar duka tentang Adi itu menangis, ia pergi begitu saja dari rumahnya tanpa mengenakan alas kaki, berlari menuju rumah Adi meski nafasnya tersenggal-senggal.

“AYU... AYU MAU KEMANA, NDUK?” teriak Ibu, Ibu tidak bisa pergi kemana-mana, akan ada tamu nanti siang.

“Parjo!! Kejar Ayu, Jo. Dia berlari ke rumah Adi!!” Ibu memanggil kusir yang biasa mengantarnya kemana-mana itu untuk mengejar Ayu, Ibu takut terjadi sesuatu yang buruk setelah ini pada kondisi kesehatan Ayu.

Di perjalanan, Ayu menangis, nafasnya sesak namun kaki nya terus berlari menuju rumah Adi, tak ia hiraukan dadanya yang sakit menjalar ke perut buncit nya itu. Yang ada di kepalanya saat ini adalah, ia ingin memastikan apakah ucapan Ibu nya itu benar.

Begitu ia sampai di depan rumah Adi, gubuk itu nampak ramai oleh para tetangga sekitar yang datang silih berganti memberi penghormatan pada Adi untuk yang terakhir kalinya. Kaki Ayu lemas, ia berjalan gontai masuk ke dalam gubuk itu bertepatan dengan jenazah Adi yang kebetulan akan hendak di mandikan.

“Mas Adi...” gumam Ayu lirih, ia jatuh terduduk. Memperhatikan wajah pucat Adi yang sudah terbaring kaku di atas amben.

Ayu menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak. Sudah lengkap pula penderitaanya di tinggal orang-orang yang ia sayangi dalam hidupnya, isi kepalanya hanya ada tanya kenapa Tuhan menghukumnya? Apa dosa yang telah ia lakukan sampai semua yang ia sayangi di renggut dengan cara paling menyakitkan?

“Raden Ayu... Adi sudah tidak ada.. Maafkan dia kalau dia pernah berbuat salah padamu yah,” Ibu nya Adi itu berjongkok di sebelah Ayu, mengusap rambut panjang wanita ringkih itu dan membawanya ke pelukannya.

“Kenapa Mas Adi pergi, Buk...”

“Adi sudah tidak kuat, Raden Ayu.”

Sayup-sayup adegan menyedihkan itu sirna di gantikan dengan guncangan yang Kirana rasakan pada tubuhnya, seseorang seperti tengah memanggil namanya berkali-kali. Dan ketika ia membuka matanya, ia kaget bukan main karena ada Ibu yang duduk di sisi ranjangnya.

“Buk...” ucap Kirana, ia bangun dan betapa bingungnya ia waktu melihat wajah Ibu panik sekaligus khawatir saat melihatnya.

“Kamu mimpi apa, Na? Kamu nangis loh sampai setengah teriak.”

“Hah?” Kirana bingung, ia perlahan meraba mata hingga wajahnya sendiri. Ibu benar, matanya basah dan dia menangis. Seketika ingatan akan mimpi jika pria miskin bernama Adi itu memenuhi kepala Kirana.

Hatinya sakit, pikirannya melambung tinggi akan Bagas. Ia tahu jika Bagas bukan Adi, namun memastikan keadaan pria itu baik-baik saja setelah mimpi buruk yang menimpa Adi dalam mimpinya itu, sudah seperti sebuah keharusan untuknya.

Kirana meraba ranjangnya, mencari ponsel miliknya kemudian menelfon Adi. Wanita itu mengambaikan Ibu yang masih separuh khawatir, namun ketika melihat Kirana butuh waktu untuk menjelaskan. Ibu memilih untuk keluar kamar, sedangkan Kirana masih sibuk dengan gestur tubuh yang gelisah menunggu panggilannya di jawab oleh Bagas.

“Kamu kemana sih?!” gumam nya gelisah.

Tak lama kemudian suara Bagas terdengar di ponsel milik Kirana, “hallo, sayang? Kenapa? Aku habis mandi.

Mendengar suara Bagas yang nampak baik-baik saja, Kirana memejamkan matanya. Hatinya yang gundah gulana pagi itu agak sedikit tenang. “Gapapa, cuma mau mastiin kamu udah bangun aja. Ya.. Yaudah, aku siap-siap dulu ya, sayang.”

bersambung...

Kirana berkali-kali menghela nafasnya pelan ketika ia harus di hadapkan meeting berdua dengan Raka, pria yang lebih tua darinya itu mengajaknya bicara mengenai proyek mereka di sebuah cafe tak jauh dari kantor, di jam makan siang ini sebenarnya malas sekali Kirana harus keluar gedung.

Bukan malas karena pasti setiap cafe atau restoran di dekat kantor mereka akan ramai, melainkan malas jika ia harus naik turun gedung dan menerjang matahari panas menyengat Jakarta siang itu. Begitu melihat Kirana datang Raka tersenyum, Ia mengangkat sebelah tanganya memberi isyarat pada Kirana jika dirinya berada di pojok cafe dekat dengan jendela.

Langkah gontai nya itu membawa Kirana menghampiri Raka, tidak ada semangat sama sekali hari ini untuk bekerja, Bagas sedang menemui klien bersama dengan Satya, sementara Almira tidak masuk kantor karena nyeri datang bulannya. Jadi lah hari ini ia hanya sendirian di kantor dan klayar keluyur sendiri saat jam istirahat seperti ini.

“Lemes banget, kamu mau pesan apa, Na?” Tanya Raka ramah seperti biasanya, pria itu memotret barcode untuk melihat menu di restoran itu di pojok kiri meja mereka.

Kirana jadi ingat, Bagas pernah bilang kalau proses memesan makanan di restoran atau cafe sekarang kerap kali mempersulit pelanggan, kenapa harus discan dengan ponsel? Padahal memberikan buku menu kedengarannya kan lebih mudah dan praktis, Bagas cuma prihatin aja bagaimana jika ada lansia yang kebingungan ingin memesan katanya.

“Americano aja, saya lagi malas makan.” Kirana membuka MacBook kantor yang ia bawa untuk mengalihkan perhatiannya pada Raka.

“Mau gado-gado gak? Cafe nya ada makanan juga loh, kebetulan saya belum makan siang.” Raka memang belum makan siang, pagi ia hanya absen saja ke kantor lalu bertemu dengan klien sebelumnya. Ia juga sempat mengantar anaknya itu ke daycare. Dan siangnya ia harus meeting dengan Kirana.

“Gausah, Mas Raka aja.”

Raka mengangguk, pria itu memesan 2 es americano dan satu gado-gado dengan kepedasan yang rendah untuknya dan tiramisu untuk Kirana, memang wanita itu tidak memesan namun Raka hanya sungkan saja jika harus makan sendirian.

Begitu kembali dengan minuman dan makanan di nampan yang ia bawa, Kirana menoleh ke arah Raka ketika tangan pria itu menyodorkan sebuah tiramisu di depannya. Kirana merasa tidak memesannya.

“Saya kan gak mesan tiramisu?” Ucapnya bingung.

“Gapapa, saya traktir kamu aja. Gak boleh nolak ya rezeki.” Raka tersenyum, pria itu duduk dan menyesap es americano miliknya, kemudian membuka MacBook pro miliknya untuk membicarakan desain rumah untuk klien mereka.

Klien mereka kali ini menyerahkan penuh segala desain rumah untuk anak bungsu nya pada firma arsitektur tempat Kirana dan Raka bekerja, dan memberi kebebasan untuk Raka sebagai arsitektur proyek ini berkreasi asalkan segala desain yang Raka buat berdasarkan persetujuan dengan klien mereka. Klien hanya meminta jika rumah itu harus memiliki sirkulasi udara yang bagus.

“Kayanya Pak Suryo mau bikin konsep rumahhya ini nih eco gitu deh, Na.” tiba-tiba saja Raka teringat dengan permintaan dari klien mereka kali ini, Pak Suryo hanya meminta 1 hal pada Raka agar design bangunan rumah yang akan di tempati anaknya itu memiliki sirkulasi udara yang baik, jadi meski tidak menggunakan AC nantinya akan tetap sejuk di siang hari.

“Lokasi rumahnya dimana sih?” tanya Kirana, dia belum tahu dimana proyek itu akan berdiri bahkan ikut survei pun belum, Raka pun baru bertemu sekali saja bersama dengan Raga tentunya.

“Tebet,” jawab Raka.

“Terus mau bikin rumah macam di Ubud?”

Raka ketawa, dia juga menggeleng kepalanya pelan. “Gak harus kaya di Ubud juga, Na. Nanti ya, saya udah kepikiran beberapa layout nya buat rumah di daerah Tebet.”

Kirana mengangguk kecil saja, memang sih menurut Kirana. Raka itu sangat amat asik di ajak bicara, selama meeting membicarakan tentang scope, kondisi tapak atau site, budget dan timeline serta teknik konstruksi Raka sangat amat banyak meminta pendapat pada Kirana, jadi Kirana enggak merasa pendapatnya enggak di butuhkan lagi.

Karena selama ini dari beberapa arsitek yang satu proyek denganya pendapat Kirana jarang sekali di minta, ya terutama sama Pak Ilyas. Orang yang posisinya di gantikan oleh Raka, meski enggak bisa di pungkiri jika sering kali jawaban ketus keluar dari bibir Kirana. Mengingat wajah Raka yang sangat amat mirip dengan suami Ayu di mimpinya.

“Saya tuh sebenarnya lebih senang dapat proyek bikin rumah tinggal gini di banding proyek besar kaya bikin gedung perkantoran atau Mall,” Raka tersenyum, memperhatikan beberapa layout rumah tinggal yang pernah ia kerjakan dulu. Sangat amat puas dengan hasilnya, bahkan beberapa klien nya sempat menghubungi Raka lagi.

Raka sengaja ngasih tau hal-hal kecil tentang dirinya seperti ini pada Kirana, karena tampaknya mereka kehabisan pembahasan setelah pembahasan tentang proyek mereka selesai. Raka hanya tidak ingin mendirikan suasana tidak nyaman dengan partner kerjanya saja.

“Kenapa emangnya? Bukanya kalau dapat proyek besar tuh jadi pride sendiri buat arsitektur? Tuh contohnya kaya Pak Ilyas sama Mas Satya, atau Mas Raka ngerasa gak kuat sama pressure nya?” masih dengan nada ketus khas Kirana berbicara dengan Raka, ia menghargai pria di sampingnya itu untuk memulai topik baru obrolan mereka.

Raka tertawa, ia sejujurnya enggak tahu kenapa Kirana begitu ketus denganya, tapi wanita itu sangat asik saat di ajak diskusi soal kerjaan. “Gak juga sih, Na. Saya ngerasa kalau bikin rumah buat klien, saya bisa lebih memahami aja mau nya mereka supaya nyaman tinggal di dalam nya tuh gimana.” Raka terkekeh pelan.

“Ah, mungkin karena selama ini meski saya arsitektur saya belum punya rumah sendiri yang buat saya nyaman kayanya.”,

“Mas Raka curhat nih? Rumah sendiri dalam artian sesungguhnya atau justru rumah berbentuk lain?”

Raka terkekeh pelan, “memangnya ada rumah dalam bentuk lain selain bangunan?”

“Ya, kali aja yang Mas Raka maksud tuh. Rumah dalam bentuk manusia, kaya anak muda jaman sekarang kan gitu. Sering jadiin manusia sebagai rumahnya. Padahal manusia itu dinamis. Kalau orang yang di jadikan rumah itu pergi kita bisa jadi gelandangan nanti.”

Raka mengangguk-angguk, “kamu termasuk kaya gitu gak?”

“Ya hampir, saya selalu sandaran sama Bagas kadang. Saking lama nya bareng-bareng kadang dia lebih hangat dari pada rumah yang saya tinggali.” Kirana benar-benar berpikir seperti itu akhir-akhir ini tentunya, apalagi setelah memikirkan bagaimana cara membuat jarak pada kekasihnya itu. Seperti keinginan Ibu nya Bagas, ah, rasanya Kirana belum sanggup melakukannya.

“Enak ya kalau punya sandaran, tapi, Na. Sebaik-baiknya menjadikan orang lain sebagai sandaran untuk kamu, atau rumah atau apapun itu bahasa anak jaman sekarang. Kamu tetap harus bertumpu pada diri kamu sendiri, yang paling tahu diri kamu ya kamu sendiri. Seandainya orang itu suatu hari pergi, kalau kamu memang mengandalkan diri kamu sendiri. Kamu gak akan kehilangan arah. Kamu akan tetap kokoh, karena pada dasarnya di dunia ini yang kita punya cuma diri sendiri, Na.”

Kirana terdiam sebentar, jawaban itu seakan mengingatkan Kirana agar ia pelan-pelan mulai tegap kembali dan tidak bersandar pada Bagas. Raka benar, jika mungkin ia dan Bagas tidak bersama. Bagas bisa pergi kapan saja, entah itu bersama dengan wanita lain atau di kembali bersama penciptanya.

Tidak lama kemudian arah mata Kirana berpindah dari bertatap wajah dengan Raka menjadi ke arah ponsel Raka yang menyala. Ada telfon ternyata, namun Raka tidak mengangkatnya.

“Angkat aja, Mas. Gapapa.” Karena berpikir takut Raka tidak enak dengannya Kirana menyuruh Raka mengangkatnya saja, ia juga kembali lagi dengan hasil meeting hari ini yang ia catat di MacBook nya.

“Gapapa, gak penting juga.”

Melihat wallpaper dari MacBook yang Raka kenakan Kirana jadi bertanya-tanya siapa anak kecil yang ada di MacBook Raka itu. Anak laki-laki yang sedang bermain bola di taman. Kirana enggak pernah ngobrol sama Raka sepanjang ini, biasanya di kantor pun mereka hanya bicara mengenai pekerjaan saja.

Itu pun Kirana menjawabnya dengan seadanya saja, tapi hari ini ada sebagian dari diri Kirana yang penasaran bagaimana kehidupan seseorang yang mirip dengan Dimas di kehidupan sekarang, jika benar mereka adalah reinkarnasi dari kehidupan terdahulu itu artinya ada banyak sekali perubahan.

“Itu.. Anak Mas Raka?” tanya Kirana hati-hati, dia takut Raka risih di tanya seperti itu.

Raka melihat kembali ke arah MacBook nya, karena arah mata Kirana tadi tertuju pada layar MacBook miliknya. “Ahh, iya, Na. Ganteng ya? Namanya Reisaka Bumi Soerja.”

“Ahh..” Kirana mengangguk-angguk, “ganteng, mirip sama Mas Raka.”

“Untungnya mirip saya, Na. Kalo mirip Ibu nya gak banget deh.” Raka menggelengkan kepalanya sembari memasukan MacBook berserta chargernya ke dalam tas miliknya, mereka harus kembali ke kantor setelah ini.

Kirana yang mendengar itu sedikit mengerutkan keningnya, sejujurnya Kirana sendiri gak ingin mengorek lebih dalam tentang kehidupan Raka, namun ada yang ingin dia pastikan pada sosok Dimas di kehidupan ini. Karna kemungkinan itu juga yang akan memberikan jawaban pada arti dari mimpinya dan juga mimpi Raga.

“Kenapa emangnya, Mas?” Kirana menggeleng kepalanya pelan, “enggak.. Maksudnya kalo Mas gak berkenan buat cerita ya, saya juga gak akan maksa—”

Raka terkekeh pelan, “saya yang mancing kamu duluan buat kepo, Na. Santai aja.”

Pria itu menghela nafasnya pelan, kembali mengingat betapa Asri tidak perdulinya pada anak mereka. Meski akhir-akhir ini wanita itu suka datang menemui Reisaka, tapi Raka merasa itu hanya formalitas dan keterpaksaanya saja agar ia tidak membuka mulut tentang siapa Asri pada keluarga dari calon suaminya.

“Saya punya Reisaka tuh bisa di bilang di waktu yang enggak tepat, Na. Dan sayangnya, saya juga memilih perempuan yang salah buat di jadikan Ibu dari anak saya”

Ada jeda di antara cerita Raka, jika di tanya menyesal kenal dengan Asri, sejujurnya ia sangat amat menyesal. Raka tidak masalah jika hanya ia yang tersakiti, tapi dihubungan mereka bukan hanya tentang Raka dan Asri saja. Ada Reisaka di dalamnya, Raka sudah berkorban untuk anaknya. Namun Asri sama sekali tidak berusaha untuk hadir dalam hidup anaknya sama sekali, ia justru pergi dan membangun kehidupan baru.

“Dulu saya kagum banget, Na. Sama dia, sampai akhirnya anak kami lahir dan dia pergi, kami emang enggak di restui orang tua nya, menikah pun cuma sah secara agama saja, setelah itu dia lebih nurut sama ucapan orang tua nya. Pergi ninggalin saya sama Reisaka dan membangun kehidupan baru”

Kirana menyimak saja, menurutnya ia tidak pantas berkomentar apapun disini, terlalu sensitif masalahnya dan ia tidak ingin ucapannya membuat Raka sakit hati jika ia salah dalam berucap. Lagi pula, Raka tidak minta di komentari apapun.

“Tujuan saya pindah ke Jakarta, ya karena saya janji mau mengenalkan Reisaka sama Ibu nya. Saya mau dia tanggung jawab dan gak lupa sama anaknya.” Raka menoleh ke arah Kirana dan tersenyum, meski senyum itu merekah pada kedua pipinya hingga menampakan lesung pipi. Tapi kedua mata pria itu tidak pernah bisa berbohong kalau ada kekosongan di hidupnya.

“Mas udah cukup jadi Ayah yang keren buat Reisaka, saya yakin. Saka pasti bangga punya Ayah kaya Mas yang sayang banget sama dia.” hanya itu yang bisa Kirana ucapkan, ia tidak ingin berkomentar apapun tentang mantan istri Raka.

Mendengar apa yang Kirana ucapkan, Raka terkekeh pelan. Enggak menyangka hari ini dia bisa mendengar suara Kirana dengan nada yang tidak sinis seperti biasanya.

thanks loh, Na. Akhirnya hari ini saya bisa dengar nada suara kamu biasa aja ke saya, enggak sinis kaya kemarin-kemarin.”

“Dih, udah lah. Balik kantor ayo, nanti Pak Raga marah-marah.” menepis ucapan Raka barusan, Kirana buru-buru memakai tas nya dan menenteng MacBook kantor yang ia bawa tanpa memasukannya ke dalam tas.

Ia jalan buru-buru meninggalkan Raka yang masih mengenakan tas dan memasukan ponselnya ke dalam saku kemeja miliknya.

“Na, tungguin, kita bareng aja, Na. Mobil saya parkir di sebelah sana,” ucap Raka yang tampak tak di hiraukan oleh Kirana itu.


Begitu bokong nya sudah menyentuh kursi mobil milik Bagas, Kirana langsung menyandarkan tubuhnya dan membiarkan Bagas menaruh MacBook dan tas milik Kirana di kursi belakang. Gadis itu menghela nafasnya berkali-kali hari yang melelahkan dan panjang menurutnya itu.

Si pria tersenyum, tangan besarnya ia letakan di atas kepala si wanita mengusapnya pelan dan tubuhnya sedikit ia condongkan ke depan, Bagas menarik seatbelt milik Kirana dan memasangkannya agar wanitanya aman saat ia memulai kemudinya.

“Kenapa sih, Buk?” tanya Bagas, ia menarik rem tanganya dan melajukan mobilnya membelah padatnya Jakarta sore itu yang tampak gelap sehabis di guyur hujan.

“Capek, kamu sih gak di kantor hari ini,” keluh Kirana ia melipat kedua tanganya di dada, sembari memalingkan wajahnya ke kiri. Melihat padatnya Jakarta sore itu dari jendela mobil kekasihnya.

“Pak Raga ngasih banyak kerjaan ke kamu? Atau ada report yang salah? Kayanya siang tadi kamu meeting sama Mas Raka ya?”

Bagas memang hanya ke kantor sebentar hari ini, karena siangnya ia meeting di luar bersama klien nya dan juga Satya. Setelahnya ia harus memeriksa lokasi proyeknya itu, dan begitu kembali ke kantor sudah mepet dengan jam pulang. Jadilah Bagas hanya absen saja sembari menjemput Kirana yang juga ingin pulang.

“Iya, males aku tuh berurusan sama dia.”

“Kenapa sih?” Bagas menoleh ke arah Kirana sebentar, kemudian matanya menelisik sepanjang jalan Cikini yang agak sedikit padat hari itu. Banyak sekali ojek online yang berhenti di sekitaran pintu masuk stasiun. Atau pun kendaraan lain yang berhenti untuk membeli street food di sepanjang jalannya.

“Ya, Mas Raka asik sih, tapi gimana yah. Aku gak nyaman aja bareng dia apalagi satu proyek gini. Pak Raga gimana sih, padahal dia kan tau alasan aku sinis banget sama Mas Raka..”

“Oh ya? Kenapa? Kok kamu gak cerita ke aku, Na?” Bagas menyadari sesuatu jika Kirana tidak menceritakan alasannya kenapa ia terlihat sangat membenci Raka, Bagas memang ingin menanyakan ini pada Kirana namun ia lupa karena hectic nya kantor akhir-akhir ini.

Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana mengerutkan keningnya. Ia sadar jika ia keceplosan, sebenarnya tidak masalah jika ia menceritakan alasannya membenci Raka yang padahal tidak punya salah dengannya itu, hanya saja ia takut Bagas mengecapnya konyol dan kekanakan meski Kirana yakin Bagas bukan orang seperti itu.

Ah, sebenarnya. Kirana bercerita dengan Raga pun karena mereka saling terhubung di mimpi itu sedangkan Bagas tidak, kadang Kirana menyesali ini. Kenapa tidak terhubung dengan Bagas saja di mimpi itu? Kenapa harus dengan pria lain. Jadi kan ia bisa dengan leluasa berdiskusi dan mencari jawaban.

“Na?” panggil Bagas yang menghamburkan lamunan Kirana itu.

“Hm?” Kirana menoleh ke arah Bagas dengan wajah kikuknya, “kenapa?”

“Ya, aku tadi tanya. Apa alasan kamu kelihatan benci? Sinis?” Bagas memincingkan matanya, berusaha meyakini kata-mata itu terlihat pantas menggambarkan sifat Kirana pada Raka. “Sama Mas raka, kalian pernah ketemu sebelumnya? Atau dia pernah bikin salah ke kamu? Kok kamu ceritanya ke Pak Raga aja?”

Bagas terkekeh pelan, mengenyampingkan rasa cemburunya karna Raga di bagi rahasia Kirana sedangkan ia tidak. Bagas hanya ingin melerai rasa lelah dan bad mood yang sedang melanda kekasihnya itu saja.

“Kalo aku cerita ke kamu, janji ya kamu gak akan ngatain aku konyol?” Kirana memberikan kelingking sebelah kananya pada Bagas.

Tentu saja pria itu terkekeh dan menautkan kelingking besarnya itu pada kelingking kecil kekasihnya, “iya janji, kenapa sih?”

“Kamu masih ingat Ayu dalam mimpiku kan? Dan Dimas.”

“Dimas suaminya?” Bagas mengerutkan keningnya, agak sedikit lupa saking lama nya Kirana bercerita tentang Dimas suaminya Ayu dalam mimpinya.

“Um, Mas Raka itu mirip banget sama Dimas.”

Selanjutnya baik Kirana maupun Bagas memekik ketika mobil yang di kemudikan Bagas itu, tiba-tiba saja mengerem mendadak hingga Kirana nyaris saja terpental jika Bagas tidak memakaikan seatbelt tadi.

“Gas, kenapa sih?” pekik Kirana kaget bukan main.

“Ma..maf sayang, tadi ada kucing nyebrang.” Bagas mencondongkan tubuhnya agak kedepan, memeriksa jika kucing yang nyaris di tabraknya itu sudah berlari ketepi jalan.

Di belakang kendaraan lain sudah mengklaksoni mereka, jadi Bagas melajukan mobilnya kembali dan melanjutkan perjalanan mereka. Degub jantungnya dan Kirana masih belum beraturan rasanya.

Kirana mengangguk dan mengusap-usap lengan Bagas, walau dia kaget tapi Kirana tahu Bagas bukan sengaja seperti itu. “Iya gapapa, yuk jalan lagi.”

Mereka berhenti di sebuah warung di pinggir jalan di kawasan Cikini, tak jauh sebenarnya dari Stasiun Cikini. Bagas menemukan tempat makan yang menurutnya akan sangat cocok di lidahnya dan juga Kirana, tengkleng kambing dengan acar timun, wortel, cabe rawit iris dan juga nanas yang kemudian di siram dengan cuka. Menurut Bagas akan lebih nikmat makan di tempat dengan nasi hangat dan taburan bawang goreng di atasnya.

“Wihh.. Tau dari mana kamu disini ada tengkleng yang enak?” Tanya Kirana begitu mereka sudah dapat kursi untuk dua orang, mereka makan di pinggir jalan kok.

“Dari Mas Satya, waktu itu sempat makan disini habis tinjau proyek. Terus mau ngajakin kamu makan, eh aku keburu ke Surabaya.”

Kirana terkekeh, “masih yah, kalo nemu tempat makan enak terus pas balik lagi ngajak aku.”

“Harus lah, kan aku juga kepengen kamu makan enak. Kalo makan enak gak ada kamu aja aku inget kamu.” Bagas memang seperti itu, setiap kali dia pergi meeting atau bahkan hangout bersama kawannya tanpa Kirana, jika menemukan tempat makan yang enak dan menurutnya akan cocok dengan lidah Kirana, kembali ke tempat itu lagi pun ia akan mengajak wanitanya itu.

Sementara Bagas memesan makan malam untuk mereka berdua, Kirana sempat memeriksa ponselnya dahulu. Ada pesan masuk dari nomer tak di kenal, ia sempat mengerutkan keningnya sebentar sampai akhirnya ia menerka-nerka siapa gerangan yang mengiriminya pesan.

“Asri?” Gumam nya pelan, bahkan tanpa suara.

Bersambung...

Samarang, 1898.

Sejak kepergian Adi, Ayu lebih sering diam merenung di depan jendela kamarnya. Hal yang selalu ia lakukan ketika menunggu Adi membawakan surat-surat dari Jayden untuknya atau membawakan melati baru yang harum untuk menjadi hiasan di rambutnya, namun bayangan akan pria pribumi berkulit kecoklatanan dan tinggi itu sirna. Tidak akan ada lagi ketukan pelan pada jendela kamarnya, tidak akan ada senyum menenangkan untuknya lagi dan tidak akan ada lagi melati-melati yang selalu Adi petikkan untuknya.

Sore itu ketika Dimas pulang, pria itu langsung masuk ke kamarnya dan Ayu. Menghela nafasnya kasar dan melepas setelan putih gading miliknya, kemudian melemparkannya ke ranjang tidurnya dan Ayu. Sontak aksi itu mengundang atensi wanita ringkih dengan tatapan kosong yang masih duduk di depan jendela kamarnya.

Ayu menatap Suaminya itu tanpa ekspresi, hanya datar saja, tidak ada rona ketakutan seperti biasanya atau pun sedih di wajahnya. Hidupnya beberapa bulan ini seperti robot yang tidak memiliki ekspresi apapun. Jiwanya seperti mati, ikut bersama sahabat dan juga kekasihnya meski raga nya masih menetap di dunia.

“Sampai kapan kau mau terus melamun seperti wanita dungu disana Ayu?! Tidakah kau lelah menangisi pria-pria bodohmu itu?” Sentak Dimas naik pitam, mata bulatnya itu seakan menghardik Ayu. Jika tatapan Dimas bisa membunuh, mungkin sejak kemarin Ayu sudah tewas hanya dengan satu tatapannya saja.

Ayu tidak menjawab, ia hanya bangun dari kursinya dan berjalan dengan gontai mengambil setelan yang di lempar Suaminya itu. Kemudian menggantungnya pada kapstok yang tak jauh dari tempat Dimas berdiri.

“Wanita dungu!! Kau tidak dengar Suamimu berbicara hah?!” Dimas naik pitam, ia tarik lengan Ayu dan ia remas lengan ringkih Istrinya itu hingga Ayu meringis.

“Sakit, Mas..”

“Mau sampai kapan kau begitu?!”

Ayu tidak menjawab, ia hanya berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas di lengannya. Namun usahanya itu sia-sia ketika Dimas melempar tubuh istrinya itu ke atas ranjang, Ayu yang memang tidak melawan dan dalam kondisi lemah itu jatuh ke ranjang. Ia meringis kesakitan, namun setelahnya Dimas menarik kembali Ayu dan melempar tubuhnya lagi ke jendela tempat Ayu termenung tadi.

Tubuh Ayu terkena kursi yang di pakainya duduk, bibirnya berdarah dan ia meringis kesakitan. Bukan hanya pada bibirnya, melainkan pada perutnya. Ia memegangi perutnya yang terasa sakit dan kencang itu.

“Aaahh...” Rintihnya begitu saja keluar dari bibir pucatnya.

“Bangun kau! Kau pikir dengan mengajakku untuk tinggal di rumah kedua orang tuamu membuatku tidak bisa mendidikmu dengan tegas?!” Dimas masih tidak memperdulikan Istrinya itu yang kesakitan, sampai akhirnya ocehannya itu berhenti ketika darah segar mengalir dari kaki Ayu.

“Mas.. Sakit..” Ayu berusaha mengontrol pernafasanya, dadanya nyeri, perutnya sakit, terasa kencang dan darah begitu saja mengalir dari bagian bawah tubuhnya.

Dimas langsung menghampiri Ayu, menggendong tubuh ringkih itu dan menidurkannya di ranjang. Ia panik bukan main, meninggalkan Ayu yang masih merintih kesakitan ia berlari keluar rumah mencari pekerja yang bisa ia suruh untuk memanggil dokter atau dukun beranak sekalipun, apapun itu untuk menolong Istrinya.

“Hai bodoh!! Kemari!” Teriak Dimas panik, tangannya bergetar. Ia bukan mengkhawatirkan Ayu, ia mengkhawatirkan bayi nya, bayi laki-laki yang kelak akan menjadi penerus keluarganya.

Pekerja laki-laki di rumah Ayu itu berlari dengan kaki telanjang menghampiri Dimas, tadi ia sedang memberi makan kuda-kuda milik orang tua Ayu “ada apa, Raden Mas?”

“Panggilkan dokter! Ah, apapun itu yang tercepat saja, Istriku mau melahirkan! Cepat!!”

Di kamarnya, Ayu meraung-raung menahan sakit di perutnya. Pikirannya tak lagi melambung pada kenyataan jika ia di tinggalkan lagi, ia hanya memikirkan bayinya, bayi yang selama ini tidak pernah ia ajak bicara sedikit pun. Tapi hari itu, Ayu sadar jika ia sangat menyayangi separuh dari dirinya itu.

Celakanya nafasnya sesak, dadanya nyeri bukan main bersamaan dengan nyeri di perutnya yang cukup hebat. Rasanya seperti Ayu tengah di kuliti hidup-hidup, tidak pernah ia merasakan sakit seperti ini di sekujur tubuhnya.

“Aahh..” Ayu mengantur nafasnya, tanganya yang berkeringat itu meremas bantal yang ia kenakan.

Tak lama kemudian datanglah Dimas dengan Ibu nya Ayu, Ibu menangis mengkhawatirkan Ayu yang sudah pucat, berkeringat dan terlihat kesakitan itu. Dimas memang seperti itu ketika marah, di awal-awal hari pernikahan mereka, ketika masih tinggal di kediaman orang tua Dimas di Soerabaja.

Ayu kerap kali di pukul dan di tendang jika melakukan kesalahan, seperti menolak melayani Dimas, ketiduran ketika menunggunya pulang bekerja, masakan yang di buat Ayu tidak cocok dengan seleranya. Bahkan Ayu pernah di pukul hanya karna dia membaca buku dan menulis surat untuk keluarganya di Samarang.

Ayu tidak berani bercerita pada kedua orang tua nya, toh Romo lebih berpihak kepada Dimas dibanding anaknya sendiri. Sebelum pindah ke Soerabaja pun, Romo dan Ibu selalu mewanti-wanti jika Ayu harus patuh pada Dimas. Alih-alih merasa di perlakukan sebagai seorang Istri, Ayu lebih merasa ia hanya seorang pelayan dan pemuas nafsu untuk Dimas.

“Tarik nafas, Yu. Anak Ibu pasti kuat, sabar yah, Nduk.” Ibu mengusap pucuk kepala Ayu.

“Ayu gak kuat, Buk. Sakit.. Aaahh..”

Tubuhnya rasanya meregang, darah segar terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya hingga ranjang yang di tiduri oleh Ayu itu penuh dengan darahnya sendiri. Ketika Dimas hendak akan keluar dari kamarnya untuk memanggil pekerja di sana, dukun beranak yang tinggal di sekitar desa itu datang dengan sedikit berlari.

Wanita tua itu nampak panik, karena dalam seumur hidupnya, tak pernah ia membantu keluarga bangsawan pribumi melahirkan. Kebanyakan dari mereka memakai jasa dokter dari rumah sakit Belanda. Beliau lebih sering di minta jasa nya untuk membantu para pribumi miskin melahirkan dengan imbalan seadanya saja. Seperti di bayar dengan uang beberapa gulden, ubi atau bahkan di beri pisang.

“Ahh, cepat-cepat Istri saya mau melahirkan!!” pekik Dimas.

Wanita tua itu duduk di ranjang tempat dimana Ayu menahan seluruh rasa sakitnya, ia membuka kaki Ayu agar bisa memeriksa bagian bawah tubuhnya. Agak sedikit terkejut ketika darah terus mengalir dari bagian tubuh wanita ringkih itu.

“Aduh, Iki pendarahan, kudu enggal dilairaké. Tarik napas dhisik yo, Yu.” wanita tua itu membantu Ayu mengatur nafasnya perlahan-lahan.

Sudah sekitar dua jam Ayu berkelut dengan rasa sakit yang mendera nya, ia mengejan, mengatur nafasnya lagi kemudian mengejan seperti yang di lakukan sia-sia karna bayi yang di kandungnya tak kunjung lahir. Keringat bercampur dengan air mata sudah mengihiasi wajah Ayu yang semakin pucat dan lelah itu.

Tubuhnya kadang meregang, kepalanya sedikit naik dan mengejan lagi, meremas seprei, mengepalkan tanganya dan sesekali berteriak kesakitan bukan main. Siapapun yang mendengar jeritan dan rintihan Ayu yang seperti sedang di siksa itu tidak akan tega.

“Hhhmmm....” pada satu tarikan nafasnya sekali lagi, pandangan Ayu memudar. Wajah Dimas, Ibu nya dan wanita yang membantunya melahirkan itu sedikit demi sedikit sirna.

Nafasnya tersenggal dan pegangan tanganya pada jemari Dimas itu mengendur perlahan, Ayu seperti tengah melihat beberapa burung putih berterbangan di atas kepalanya seperti tengah memanggilnya, mengantarnya pada sebuah lorong dengan cahaya putih yang di depannya sudah ada Jayden dengan kuda putih yang seperti tengah menjemputnya.

Kantuk itu mendera, Ayu memejamkan matanya. Ia tersenyum, sakit yang mendera tubuhnya yang kurus itu perlahan menghilang, nafasnya yang semula berat itu menjadi jauh lebih ringan, ia seperti di paksa kuat untuk berjalan dan menghampiri Jayden yang tersenyum ke arahnya. Ayu merasa sangat sehat dan ringan, angin berhembus semilir menerbangkan rambut panjangnya dan mengantarkannya ke peristirahatannya.

Itu yang Ayu lihat, berbeda dengan apa yang di lihat oleh Ibu, Dimas dan wanita dukun beranak itu. Ayu tak lagi mengejan, tak lagi bernafas, darah yang keluar dari tubuhnya berhenti keluar, bahkan kepala bayi nya itu masih tertahan di ujung sana. Dengan tangan gemetar, Dimas memeriksa nadi Istrinya itu yang tak lagi berdenyut.

“A..Ayu.. Ayu meninggal, Buk,” ucapnya gemetar pada Ibu mertua nya itu.

Sontak tangis memenuhi ruangan itu, Ibu memeluk tubuh Ayu erat. Tak menyangka jika hari itu adalah hari terakhir ia akan melihat putrinya membuka mata, bicara padanya dan kaki ringkih nan kurusnya itu melangkah setapak demi setapak keluar dari kamarnya.

Bunyi nyaring dari alarm ponsel milik Kirana itu berbunyi, membuat ia terpaksa mengerjapkan matanya yang basah penuh peluh bercampur air mata. Badan Kirana sedikit bergetar, ketika ia bangun dan teringat akan mimpinya semalam. Ia menangis, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya sakit meratapi nasib Ayu yang tragis.

Di pukuli Suaminya hingga pendarahan dan terpaksa melahirkan namun nyawanya justru tidak tertolong, Kirana memeluk dirinya sendiri. Isaknya berusaha ia redam agar Ibu tidak mendengarnya.


Derap langkah kaki Raga memutari lapangan itu seakan tidak menemui titik lelah, kedua telinganya ia sumpal dengan earphone memperdengarkan lagu-lagu yang akhir-akhir ini sering ia putar di playlist lagu nya. Cuaca pagi ini cukup cerah dan rutinitas pagi Raga ia awali dengan olahraga kecil, berlari atau sekedar workout di rumah saja.

Tapi berhubung matahari nya cerah, ia memilih untuk lari. Keringat yang mengucur deras dari kening hingga turun ke leher nya itu ia usap dengan handuk kecil yang ia bawa di saku celana nya. Pria itu duduk sembarang di dekat taman, menghentikan musik yang masih mengalun dan menenggak air mineral di dalam botol minumnya itu. Sudah 10.000 ribu langkah ia mengelilingi taman itu.

Matanya menelisik ke sekitar, melihat beberapa orang yang masih berlari, bermain di taman atau sekedar membawa hewan peliharaan mereka jalan-jalan. Sampai sesuatu yang bergetar halus di saku celana nya itu mengintrupsi nya, Raga merogoh saku nya, mengambil benda persegi itu untuk melihat siapa yang menelfonnya pagi begini. Ia harap sih ini bukan soal pekerjaan, karna Raga akan sangat segan sekali jika minggu paginya di ikut campuri dengan urusan kerjaan.

“Kirana?” Gumamnya kecil, Raga menekan tombol hijau di layar ponselnya. Tak lama kemudian terdengar suara Kirana yang sedikit bergetar di sebrang sana.

Pak Raga?

“Ya, Na?” Kening Raga mengerut, ada apa Kirana menelfonnya sepagi ini dengan suara bergetar?

saya..” ada jeda cukup lama, terdengar Kirana sibuk menarik nafasnya kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia seperti berusaha meredam isak tangisnya sendiri.

“Na? Ada apa? Pelan-pelan ya, kamu kenapa?” Raga cukup khawatir, pasalnya Kirana enggak pernah menelfonnya sepagi ini apalagi dengan suara yang bergetar seperti sedang ketakutan.

saya sudah tau akhir hidup Ayu...” terdengar isakan Kirana yang semakin menyesakkan, sementara Raga membeku di tempatnya beberapa saat.

“Mimpi kamu sudah selesai, Na. Kalau kamu belum siap buat cerita, jangan paksain diri kamu, Na.”

saya mau secepatnya bahas ini, Pak. Kita bisa ketemu?” Kirana sudah mulai stabil, meski beberapa kali Raga sempat mendengar wanita itu menarik ingus nya karena menangis.

“Bisa, Na. Kebetulan saya juga lagi di luar. Kita ketemu 1 jam lagi ya, nanti saya share lokasinya ke kamu.”

oke, Pak.

Sebelum Kirana memutuskan sambungan telfon mereka, ada sesuatu yang ingin Raga katakan. Mungkin ini terdengar bisa membuat wanita itu sedikit lebih aman dan lega, mimpi buruk berkepanjangan mereka, yang membuat mereka bertanya-tanya sudah berakhir dan kini mereka hanya perlu mencari jawabannya saja.

“Na?”

Ya, Pak?

“Mimpi kita sudah selesai, kamu bisa tidur nyenyak mulai malam ini.”

Ditempatnya Kirana mengulum bibirnya sendiri, jemarinya yang tadi memelintir ujung baju tidurnya itu ia lepas. Kata-kata sederhana dari Raga cukup membuat perasaanya lega. Pria itu benar, Kirana bisa tidur pulas tanpa bermimpi hal-hal aneh tentang kehidupan sebelumnya.

Ya, Pak. Sampai ketemu, Pak.

Sambungan telfon itu di putus, Raga tersenyum samar. Kini ia dan Kirana harus mencaritahu jawaban akan mimpi mereka berdua, selesai dengan kegiatan berlarinya, Raga sempat pulang ke rumahnya sebentar, untuk mandi dan mengganti bajunya sebentar. Setelah itu ia langsung menemui Kirana di cafe yang tak jauh dari rumah Kirana.

Sengaja Raga mencari cafe yang dekat daerah rumah wanita itu, Kirana pasti masih sangat terkejut dengan mimpinya, di dengar dari nada bicaranya sepertinya mimpi yang Kirana alami tentang akhir hidup Ayu bukanlah suatu hal yang baik. Ketika ia membuka pintu cafe itu, Raga di kejutkan dengan kehadiran Raka dengan anak laki-lakinya. Tapi bukan itu saja yang membuat Raga terkejut, melainkan perempuan yang berdiri dan terlihat sama terkejutnya dengan Raga di belakang Raka.

“Pak Raga?” Sapa Raka, ia menyalami Raga dengan senyum ramah seperti biasanya. “Saka, salam dulu sama Om nya. Ini boss Papa di kantor.”

Raga masih mematung beberapa saat, tapi ia tetap mengulurkan tangannya pada bocah laki-laki di depannya itu dan menyunggingkan senyumnya. “Lucu, Ka. Siapa namanya?”

“Reisaka, Pak.”

Raga mengangguk kecil, “hallo, Saka.”

“Hallo, Paman.” bocah laki-laki dengan poni yang menutupi keningnya itu tersenyum malu, wajahnya benar-benar dominan Raka sekali. Dengan lesung pipi, rambut yang sedikit ikal, kulit putih bersih dan mata bulat dengan bola mata hitam bersinar itu. Menambah kesan polos khas anak-anak dengan tatapan menggemaskannya. Bocah itu kemudian berlari menghampiri wanita dengan ekspresi tegang di belakang Raka itu.

“Lagi jalan-jalan, Ka?” Tanya Raga basa basi.

“Iya, Pak. Saka ngajak jalan-jalan terus sekalian mampir buat sarapan.”

“Ahhh.” Raga mengangguk-angguk.

“Kita ke depan, Saka.” wanita yang berdiri di belakang Raka itu begitu saja melewati Raga dan Raka sembari menggandeng Saka. Terlihat dari mimik wajahnya ia kurang nyaman dengan kehadiran Raka di sana.

“Yang tadi itu, Istrimu, Ka?” tanya Raga hati-hati. Ia tidak salah lihat, ingatanya juga tidak salah. Itu adalah perempuan yang beberapa waktu lalu ia lihat bersama dengan Bagas. Ia bahkan melihatnya beberapa kali, di restaurant dan juga di rumah Bagas.

“Bukan, Pak. Dia cuma Ibu nya anak saya aja.” Raka senyum, sama sekali pertanyaan itu tidak menganggunya.

“Ahh, Maaf, Ka. Saya enggak tahu.” Raga jadi tidak enak sendiri.

“Gapapa, Pak. Kalau gitu saya duluan, Pak.”

Raga masih berdiri di depan pintu masuk berbahan dasar kaca itu, ia melihat dari kejauhan bagaimana wanita itu masuk ke dalam mobil Raka bersama dengan anak laki-laki mereka. Raka enggak cerita dia bercerai sama Istrinya atau apapun itu, pria itu hanya bercerita jika ia sudah memiliki anak. Semua tanya di kepala Raga rasanya menuntut sebuah jawaban, yang entah ia harus mendapatkan jawaban itu dari siapa.

Setelah mobil Raka menjauh pergi, barulah Raga memesan minuman untuknya dan memilih untuk duduk di pojok cafe. pagi itu, cafe nya belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orang saja yang sedang membaca buku atau mengerjakan pekerjaan kantornya.

Raga sempat memeriksa surel miliknya, sampai akhirnya ia merasa ada seseorang berjalan kearahnya. Itu adalah Kirana, wanita dengan wajah suram pagi itu membuat Raga bertanya-tanya mimpi macam apa yang di alami olehnya.

Rambut sebahunya ia biarkan terurai, ia hanya mengenakan sendal crocks, celana training hitam dan juga kaos putih polos. Baju khas rumahan sekali, mungkin karena cafe ini berada dekat rumahnya. Dan suasana hati wanita itu sedang tidak baik, makanya Kirana hanya mengenakan pakaian seadanya saja, Raga menebak-nebak dalam hati.

“Pagi, Pak,” sapa Kirana, ia menarik kursi di depan Raga dan duduk di sana.

“Pagi, Na. Mau pesan apa?” Raga menawari, ia menebak jika Kirana mungkin belum sarapan namun seketika tebakan dalam hatinya itu di tangkis begitu saja oleh jawaban Kirana.

“Nanti aja, Pak. Saya kebetulan sudah sarapan sebelum kesini.” Kirana memang sempat sarapan dulu, Ibu membuat roti bakar srikaya dan coklat keju untuknya.

“Yasudah, ngomong-ngomong, kamu baik-baik saja, Na? Mata kamu kelihatan sembab.”

Kirana memang tidak mengenakan make up apapun, ia hanya memakai sunscreen saja dan tone up cream, setelah itu ia langsung pergi ke cafe tempat ia dan Raga bertemu. Jadi, Raga bisa melihat betapa sembab dan lelahnya mata Kirana itu. Tidak seperti biasanya jika Kirana ke kantor, baju yang selalu rapih, rambut sebahu yang selalu ia kuncir atau di jepit dan riasan tipis yang membuat wajah Kirana terlihat segar.

“Um.” Kirana mengangguk, “saya boleh cerita sekarang, Pak?”

“Silahkan, Na.” Raga mempersilahkan, dia sendiri juga sudah penasaran sekali dengan cerita Kirana.

“Semalam saya bermimpi tentang Ayu, kejadian setelah Adi meninggal.” Kirana menahan nafasnya, entah kenapa seperti ada buncahan ketidaknyamanan di sana yang menyeruak keluar dari dada nya. Kirana tidak ingin ketidaknyamanan ini menguasainya, jadilah ia melawan dengan terus menceritakan tentang mimpinya.

“Setelah Adi meninggal, Ayu seperti kehilangan separuh dari dirinya. Dia sudah trauma di tinggalkan Jayden tanpa salam perpisahan, bahkan surat terakhir yang di tulis Jayden dan di titipkan pada Adi itu hilang, setelah kepergian Adi, dia sering sekali melamun. Tatapannya kosong, hatinya merana seperti tidak pernah menemukan ketenangan meski di rumahnya sendiri. Ia takut di tinggalkan, dan ternyata hal itu pula yang memancing amarah Dimas. Ayu di pukulin, di tendang, bahkan di lempar sampai dia pendarahan.”

Kirana menangis, ia masih sangat ingat bagaimana nasib wanita ringkih dalam mimpinya itu di pukuli habis-habisan, laki-laki sialan bernama Dimas itu bahkan hanya memperdulikan anak yang di kandung Ayu hanya karena bayi itu adalah penerus tahta di keluarganya.

Kirana masih ingat rasa sakit dan teriakan Ayu yang menggema di telinganya bagaikan lolongan macan di tengah hutan. Bahkan saat ia mengucurkan kepalanya dengan air saat mandi, memejamkan matanya karena air yang membasahi tubuhnya justru ia bisa mengingat jelas bagaimana Ayu berjuang menahan sakit melahirkan anaknya.

“Ayu melahirkan, Pak. Tapi sayangnya tubuh ringkihnya itu tidak kuat, dia meninggal dunia dengan kepala bayi nya yang masih tertahan di tubuhnya. Bayi itu juga meninggal.” tubuh Kirana bergetar, ia menutupi wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.

Raga sedikit bersyukur suara dan isakan Kirana kecil dan suaranya tersamarkan dengan lagu dari cafe yang memutar lagu The Beatles yang berjudul Yesterday. Raga menggeser kursinya dan menepuk pelan pundak Kirana agar wanita itu merasa lega.

Raga enggak mengatakan sepatah katapun, ia mau Kirana melepaskan dulu segala keresahannya tentang mimpi yang mungkin mejadi kisah terakhir di mimpinya itu. Ia juga tidak tahu harus memberikan ucapan seperti apa agar Kirana tenang, Setelah Kirana tenang, ia menawarkan tissue yang kemudian langsung di sambar Kirana beberapa lembar untuk mengelap air mata dan wajahnya.

“Ayu sudah meninggal, Pak. Apa mungkin ini menjadi akhir dari perjalanan hidupnya?” Kirana menatap Raga dengan pandangan penuh harap dan menuntut jawaban, padahal, Raga sendiri tidak bisa menjamin apakah itu benar-benar mimpi terakhirnya atau bukan, namun mengingat Raga yang sudah mengetahui akhir hidup Jayden dan tidak pernah bermimpi lagi tentang Jayden pun seperti jawaban yang sama untuknya.

“Saya harap begitu, Na.”

“Menurut Bapak, kenapa kita bisa bermimpi seperti itu?”

Raga menghela nafasnya pelan, dia sendiri masih mencocokkan beberapa kemungkinan. “Ada banyak hal yang berubah, jika benar itu adalah perjalanan kehidupan kita yang sebelumnya.”

“Tapi kenapa hanya kita yang bermimpi seperti itu?”

Raga menelan saliva nya susah payah, hanya ada satu jawaban yang terpikirkan di kepala Raga saat itu. Tentang janji Jayden dan Ayu di tengah pelarian sementara sewaktu Adi mengantarkan Ayu ke dekat hutan untuk bertemu Jayden. “Kamu ingat janji Jayden dan Ayu, Na?”

“soal apa?”

“Jayden pernah bilang, dia pernah berjanji kalau di kehidupan saat itu mereka tidak berjodoh, mereka harus terlahir kembali di kehidupan yang lain. Dan Jayden akan mengusahakan mereka untuk tetap bersama di kehidupan itu,” jelas Raga yang membuat Kirana tergegun beberapa saat.

Penjelasan itu pula yang menciptakan hening dan suasana canggung tak mengenakan yang berada di tengah-tengah mereka berdua.

Bersambung...

Sepanjang perjalanan pulang sehabis bertemu dengan Kirana, Raga banyak meruntuki dirinya sendiri. Karena sejak itu suasana yang tercipta di antara mereka berdua sangatlah canggung, ia seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu. tapi di sisi lain Raga hanya teringat akan janji Jayden dan Ayu di pinggir hutan malam itu.

Karena jika benar mereka adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden, sudah banyak sekali hal yang berubah. Termasuk nasib Adi dan juga Dimas, di kehidupan sebelumnya Adi hidup bersama orang tua nya yang miskin, tapi di kehidupan sekarang ini. Bagas yang menyerupai Adi itu hidup layak, ia memliki pekerjaan bahkan orang tua nya memiliki bisnis laundry. Sedangkan Raka ia sudah menikah dan memiliki anak, dan pria itu tidak menikah dengan Kirana yang mana Kirana sendiri sangat mirip dengan Ayu.

Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya belum terjawab, seperti mengapa hanya ia dan Kirana yang mendapat petunjuk mimpi seperti itu, apa keluarganya masih memiliki hubungan dengan keluarga Jayden hingga mungkin saja Jayden terlahir kembali di dalam tubuhnya. Sebenarnya, mengatakan hal ini kepada orang lain yang tak mengalami kejadian serupa dengannya, Raga mungkin hanya di cap sebagai “orang gila baru.”

Ia menghela nafasnya pelan, toh nasi sudah menjadi bubur juga ia sudah bicara seperti itu pada Kirana, soal wanita itu nantinya menjauh atau tidak akan ia pikirkan itu nanti. Begitu mobil yang Raga kendarai itu memasuki pekarangan rumah orang tua nya, ia melihat ada satu mobil terparkir disana. Itu mobil milik Mas Ethan, Suami dari Mbak Adel.

Begitu Raga keluar dari mobil, si kecil Safira dengan mata bulat dan berbinar itu berlari menghampiri Raga, “Om Aga!!!”

Raga langsung berlari kecil dan menangkap keponakannya itu dan membawanya ke gendongannya, rindu sekali rasanya ia tidak mendengar celotehan dari bibir bocah itu. Sudah ada satu bulan Mbak Adel tidak mengunjunginya dan Raga pun hanya berkabar dengan Mbak dan keponakannya itu dari telfon saja.

Safira itu mirip sekali dengan Mbak Adel ketika masih kecil, rambutnya tebal dan kecoklatan, mata bulat berbinar terang dengan warna yang sedikit kecoklatan, kulit putih bersih dan hidung yang mancung sempurna. Oh, tentu saja gen ini Mbak Adel dapat dari Papa. Karena mendiang dari orang tua Papa itu adalah kewarganegaraan Belanda. Ya, meski Papa sendiri enggak pernah menceritakan lebih lengkap tentang buyutnya itu.

“Waduh tambah berat kamu, Fir. Kaya nya keponakan Om yang cantik ini tinggian gak sih?” Raga terkekeh, ia berjalan ke dalam rumahnya sembari menggendong Safira yang nampak nyaman memeluk lehernya.

Safira cepat sekali tinggi, seingat Raga terakhir bertemi dengan bocah itu. Tinggi nya baru sepinggang Raga, dan hari ini bocah itu sudah nyaris sampai ke tengah perut Raga. Ia jadi teringat oleh anak vampir dan manusia dalam series Breaking Dawn. Namanya Renesmee, bocah itu juga cepat sekali pertumbuhannya.

“Aku kan minum susu terus, Om. Olahraga juga kata Mami susu itu bagus dan olahraga bisa bikin aku makin tinggi.” biarpun masih kecil dan baru saja masuk preschool tapi Safira ini sudah sangat pintar, bocah itu memiliki ingatan yang kuat bahkan guru nya di sekolah menyebut Safira memiliki photograpic memory yang bisa mengingat segala hal dalam sekali menyimak saja.

Namun Raga sedikit mengetahui jika anugerah yang di miliki Safira terkadang menjadikannya semacam kutukan juga, seperti jika suatu hari nanti Safira akan memiliki ingatan pahit dalam hidupnya. Mungkin ia akan sangat kesulitan melupakan ingatan itu meski bocah itu sudah menguncinya rapat pada gudang gelap di dalam kepalanya.

“Kebalap deh nanti Om tingginya sama kamu.”

Begitu kedua nya masuk, di ruang tengah rumah orang tua Raga itu sudah ada Mas Ethan yang sibuk menata beberapa kue basah yang sempat di bawa istrinya itu untuk mereka makan bersama. Kebiasaan Mbak Adel itu enggak pernah berubah, ia akan selalu memasak dan kemudian di bawa untuk Raga dan makan bersama mereka.

“Dari mana kamu, Ga?” tanya Mas Ethan setelah Raga bersalaman dengannya.

“Habis ketemu teman kantor, Mas.” Raga duduk lesehan di bawah meja ruang tamu, bermain bersama Safira dan boneka Barbie yang bocah itu bawa.

Mbak Adel yang baru saja keluar dari dapur setelah menghangatkan tekwan itu tersenyum penuh arti, kebiasaan meledek Adiknya itu tidak pernah luntur meski ia sudah dewasa dan berkeluarga. Tekwan yang sudah selesai ia hangatkan itu, memiliki harum menyeruak, wangi dari rempah-rempah yang di pakai seperti lada, bawang putih dan geprekan ebi yang berhasil memenuhi ruang tamu dan mengoyak perut Raga yang memaksa ingin melahap tekwan itu sekarang juga.

Raga bahkan sudah bisa membayangkan kuah yang hangat itu, bercampur dengan tekwan yang di padukan dengan udang, bengkuang dan jamur kuping. Akan lebiu nikmat rasanya jika di kucurkan dengan jeruk nipis dan beberapa sendok sambal hijau ini selera Raga sekali. Sejak menikah dengan Mas Ethan yang memang berasal dari Palembang, Mbak Adel jadi pandai memasak-masakan khas Sumatra Selatan itu.

“Teman apa teman nih? Habis ketemu Kirana ya?” Mbak Adel asal tebak.

“Kirana yang waktu itu nolongin Raga itu bukan sih, sayang? Yang di sebut-sebut Mama sama Papa terus?” Mas Ethan kembali mengingat-ingat wanita yang pertama kali di kenalkan Raga di keluarganya, maklumlah Raga tidak pernah mengenalkan wanita sepanjang hidupnya.

“Iya benar yang itu, jadi, serius nih, Ga. Kamu ketemu sama dia? Kok diam aja sih?” Mbak Adel duduk di samping Suaminya itu, ia mencomot pastel yang tadi sedang di susun Mas Ethan dan melahapnya.

“Iya memang ketemu dia, tapi cuma ngomongin kerjaan aja kok,” Raga ngeles.

“Gak ngomongin kerjaan juga gapapa kok, Ga. wong kamu sudah dewasa, cepat carikan Tante buat Safira masa dia cuma punya Om Doang.”

Raga meringis mendengar ucapan Mas Ethan itu, ya memang benar Safira hanya memiliki Om saja, karena di keluarga Mas Ethan. Pria itu adalah anak tunggal, jadi Safira hanya memiliki satu Om saja.

“Ya doakan saja, Mas.”

Pagi itu mereka makan bersama, berbincang banyak hal mengenai kabar orang tua mereka dan bisnis kecil-kecilan yang di dirikan oleh orang tua mereka. Mama dan Papa Raga membuka bisnis toko bunga kecil di depan rumah mereka. Halaman rumah Raga di Semarang cukup luas sehingga ada lahan sedikit yang di bangun sebuah ruko dan di jadikan toko bunga.

Mama sangat mencintai bunga, seperti lily, edelweiss, mawar putih, peony, sedap malam dan masih banyak lagi. Dan Papa mewujudkan impian Mama yang sangat ingin memiliki toko bunga sendiri dan mengelola nya, sebenarnya keinginan itu bisa saja terwujud sejak mereka masih muda.

Namun Mama pernah bilang ingin melakukannya di usia senja saja, ingin menikmati hari demi hari merangkai bunga di toko miliknya, memberitahu bunga apa saja yang cocok untuk di berikan pada pelanggan sembari sesekali menikmati sesapan teh melati dan membaca buku. Mama bahkan dengan suka rela memberikan kelas cara menanam bunga, khususnya bunga lily yang memang hanya bisa tumbuh di daerah pegunungan. Bahkan bibit yang ia dapatkan berasa dari luar.

“Sebenarnya Mas kesini selain mau jenguk kamu, Ga. Mas juga mau ngasih penawaran ke kamu,” ucap Mas Ethan.

“Soal apa tuh, Mas?” Raga mengerutkan keningnya, sebenarnya sudah sering kali Mas Ethan menawari beberapa hal di bidang pekerjaan mereka. Ya tidak kaget lagi jika kali ini tebakan Raga benar jika penawaran yang akan di tawarkan pada Raga adalah soal pekerjaan.

“Kantor Mas itu lagi butuh partner. Mas pikir kamu cocok loh, Ga. Lagian kamu mau sampai kapan berkarir di sana jadi team leader terus? Mumpung masih muda, Ga.”

“Memangnya Mas Gusti udah gak kerja di kantor Mas Ethan lagi?” Karena seingat Raga, Gusti cukup di andalkan di firma itu. Raga baru hanya menduga Gusti membangun firma sendiri atau mungkin pindah ke luar negeri seperti yang Mas Ethan pernah bilang pada Raga beberapa bulan yang lalu.

“Ada konflik, Ga. Ya biasa lah, Gusti mutusin buat keluar.”

“Raga pikir-pikir dulu ya, Mas.” Menurut Raga, ini adalah kesempatan baik untuknya. Namun disisi lain, ia sangat nyaman bekerja di kantornya sekarang ini. Meski bukanlah firma besar namun firma yang sudah cukup membuatnya berdiri di kakinya sendiri sejak lulus dari perkuliahan itu, telah memberinya banyak pengalaman berharga. Katakanlah Raga belum berani keluar dari zona nyamannya.


Kirana berjalan gontai menuju rumahnya, cafe tempatnya bertemu dengan Raga memang tak jauh jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Namun saat kakinya melangkah masuk ke pekarangan rumahnya, ada 2 mobil di sana yang tidak Kirana kenali. Sebenarnya Kirana sudah curiga ada tamu yang datang sejak ia melihat pagar kayu rumahnya itu terbuka.

Terlihat ada 6 orang pria menunggu Kirana di teras rumah, pria berjaket hitam dengan kisaran umur 30-40 tahun itu dengan wajah sangar yang tampak mengintimidasi Kirana hanya dari tatapannya saja, seorang laki-laki bertubuh tambun dengan kumis tebal itu menghampiri Kirana. Air wajahnya tenang, tak seperti anak buahnya yang lain yang terlihat ingin menerkam Kirana.

“Pagi, Mbak Kirana. Saya orang suruhan dari Pak Ridwan ingin menyampaikan ini.” Si pria tambun itu memberikan sebuah map berwarna merah pada Kirana, yang kemudian langsung saja di baca oleh Kirana.

“Penyitaan aset terakhir?” Gumam Kirana. “Maksud Bapak, Pak Ridwan mau ambil rumah saya?”

“Benar, Mbak. Karena sudah lewat dari 6 bulan Mbak dan Ibu Mbak. Kami beri waktu untuk menyelesaikan urusan hutang piutang pada Pak Ridwan. Seperti yang Mbak sudah tanda tangani, rumah ini akan kami sita jika dalam waktu 6 bulan Mbak tidak bisa melunasinya.”

Kedua bahu Kirana merosot, “tapi kan Pak Ridwan tahun beberapa bulan yang lalu saya sempat kecelakaan makanya urusan hutang piutang ini agak sedikit tersendat.”

Kirana memberikan pembelaanya, Ibu nya sempat menelfon Pak Ridwan agar di beri waktu tambahan untuk menyelesaikan hutang mendiang Bapaknya Kirana pada Pak Ridwan sampai Kirana pulih dan bisa bekerja kembali, bahkan Ibu pernah menjual beberapa barang mereka demi mencicil sediki demi sedikit.

“Benar, Mbak. Tapi saya dan anak buah saya hanya menjalankan perintah dari Pak Ridwan.”

“Saya harus bicara sama Ibu saya dulu, Pak. Gak bisa langsung hari ini juga, saya minta waktunya sedikit lagi, Pak. 3 bulan lagi, saya janji bagaimanapun caranya bakalan saya lunasi.” Kirana mencoba peruntunganya, baginya rumah ini adalah satu-satunya peninggalan terakhir dari Bapak yang harus ia dan Ibunya jaga. Bukan hanya sekedar rumah, bangunan itu menyimpan banyak kenangan dan bahkan di design sendiri oleh Bapak.

“Enggak bisa, Mbak. Untuk sementara ini saya minta serifikat rumah Mbak dulu, kami beri waktu 3 hari untuk mengosongkannya. Untuk urusan Mbak yang minta jangka waktu, Mbak bisa datang ke kantor Pak Ridwan.”

Tubuh Kirana lunglai, ia benar-benar lemas mendengar ucapan pria tambun itu. Air matanya sudah tidak bisa mengalir lagi meski hatinya hancur, otaknya berputar memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan uang 1 Milyar untuk merebut kembali rumah peninggalan Bapaknya itu.

Setelah di giring ke dalam rumah oleh beberapa anak buah si pria berbadan tambun itu, Kirana menyerahkan surat rumah nya itu pada si pria berbadan tambun. Tak lama kemudian, si pria berbadan tambun itu nampak melihat isinya dahulu sebelum akhirnya berpamitan untuk pergi.

Meski perlu Kirana akui, dari sekian banyak orang yang menagih hutang ke rumahnya. Hanya si pria berbadan tambun lah yang masih bersikap sopan padanya dan Ibu, enggak ada intimidasi apapun seperti bentakan atau kekerasan fisik lainnya. Pak Ridwan memang memerintahkannya seperti itu atau memang si pria berbadan tambun saja yang masih memiliki rasa kemanusiaan.

Setelah pria-pria itu pergi, Kirana duduk di lantai rumahnya dekat ruang tamu yang dahulu terisi oleh sofa-sofa dan beberapa kursi panjang yang terbuat dari kayu jati, kursi dan sofa itu sudah tidak ada karena Ibu dan Kirana telah menjualnya untuk membayar hutang, hanya tersisa kursi plastik saja dan meja kecil untuk duduk jika ada tamu yang datang.

Kirana terisak disana, memeluk dirinya sendiri karena merasa tidak becus menjaga satu-satunya kenangan dan peninggalan terakhir dari Bapaknya, sekeras apapun ia dan Ibunya bekerja selama ini, itu semua bahkan belum bisa menutupi separuh dari hutang Bapak.

Si pria gempal memberikan waktu 3 hari agar Kirana dan Ibunya segera mengosongkan rumah mereka, tapi bukan itu saja yang menjadi bagian paling menyakitkan dalam hidupnya. Bukan hanya tentang meninggalkan rumah ini dan harus pergi kemana, tapi ini tentang bagaimana ia harus bicara pada Ibunya.

Suara mobil yang baru saja masuk ke dalam halaman rumah Kirana itu bahkan tidak menginterupsi Kirana sama sekali, ia masih menangis sembari memeluk kedua kakinya. Pintu depan memang ia buka lebar, jadi baik Kirana maupun seseorang yang baru datang itu bisa melihat satu sama lain. Itu mobil milik Bagas, pria jangkung itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah Kirana. Apalagi saat ia melihat Kirana memeluk kakinya sendiri dan menundukan kepalanya.

“Sayang?” Panggil Bagas, ia mengusap pelan bahu Kirana, Bagas sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Kirana.

Begitu Kirana menampakan wajahnya, mendongak menatap kedua manik mata milik Bagas yang hitam legam itu. Tangisnya semakin tumpah, tubuhnya reflek bersandar pada Bagas yang begitu saja pria itu sambut dengan uluran tanganya yang menyambut tubuh Kirana.

“Kenapa, sayang? Tadi aku liat ada mobil keluar dari rumah kamu, mereka siapa?”

Tangis Kirana masih menyesakkan, bahkan ia yakin baju yang di kenakan oleh Bagas pasti sudah basah karena air matanya. Tapi biarkan kali ini Kirana menangis, ia telah lelah berpura-pura tangguh sendirian. Beban yang selama ini ada di pundaknya ingin segera ia tumpahkan begitu saja, tubuhnya sakit, hatinya perlahan hancur kepingan itu berantakan dan Kirana tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Setelah dirasa cukup tenang dan tangisnya mereda, Kirana mengurai pelukan itu, membiarkan ibu jari Bagas mengusap bagian bawah matanya yang masih mengembang air mata.

“Gas?”

“Hm?” Bagas berdaham, tersenyum kecil seperti memastikan pada Kirana jika ia tetap ada untuknya.

“Tadi orang-orangnya Pak Ridwan kesini, mereka bilang Pak Ridwan mau sita rumah ini karena aku gak menyanggupi pembayaran hutang Bapak dalam waktu 6 bulan. Ini udah lewat dari tenggatnya,” jelas Kirana meski terbata-bata, entah sejak kapan air mata itu kembali merembas dari pelupuk matanya dan begitu saja terjun ke wajahnya.

“Aku harus gimana ya, Gas? Gimana caranya aku ngasih tau Ibu?”

Bagas terdiam, hatinya juga ikut sakit mengetahui jika rumah yang menjadi satu-satunya kenangan untuk keluarga Kirana itu harus di sita. Sebenarnya, Bagas sudah sering kali menawarkan pada Kirana bantuan. Bagas memiliki tabungan, memang tidak banyak hingga bisa melunasi seluruh hutang mendiang Bapaknya Kirana kepada Pak Ridwan, tapi setidaknya Bagas bisa membantu separuhnya.

“Nanti aku bantu bicara sama Ibu ya? Sementara waktu, kalau emang rumah ini harus di kosongin. Kamu sama Ibu bisa tinggal di rumahku dulu, Na.”

Rumah yang Bagas sewa memang cukup besar, memiliki 2 kamar tidur. Bagas hanya memakai 1 kamar, ia pikir Kirana dan Ibu nya bisa tidur di kamarnya yang satu lagi. Atau kalau pun Kirana enggan menerima tawaran ini, mengingat kekasihnya itu sulit sekali menerima bantuannya. Ia bisa bantu Kirana untuk mencarikan rumah yang bisa mereka sewa.

“Enggak, Gas. Aku gak mau ngerepotin kamu,” ucap Kirana lirih, suaranya serak. Ia menyibak rambutnya itu yang nampak sedikit berantakan.

“Kenapa, Na? Aku gak pernah ngerasa kamu repotin sama sekali. Aku senang kalau bisa bantu kamu.”

Kirana mengangguk pelan, “bantuin aku cari rumah yang bisa aku sewa aja ya? Pak Ridwan ngasih waktu aku 3 hari buat ngosongin rumah ini.”

“Aku pasti bantu, tapi, Na.” Bagas membawa kedua tangan Kirana dan menggenggam tangan itu erat, ia usap punggung tanganya dengan ibu jarinya itu, “jangan pernah sungkan buat minta bantuan aku ya, Na. Aku enggak mau kamu kesusahan sendirian. Aku senang banget kalau bisa bantu kamu dan Ibu.”

Kirana tidak menjawab, ia menunduk dan hanya mengangguk kecil. Baginya kehadiran Bagas saja sudah cukup untuknya. Untuk ia jadikan sandaran, Kirana enggak pernah mau menyeret-nyeret Bagas atau siapapun itu ke dalam persoalan hutang piutang Bapaknya. Bagi Kirana ini adalah tanggung jawabnya.

Malam itu setelah Ibu pulang dari toko, sudah makan malam dengan soto Lamongan yang di buat Kirana dan Bagas, keduanya berusaha perlahan-lahan memberitahu Ibu tentang kabar tidak baik ini. Ibu sangat sedih, Ibu menangis karena merasa rumah itu begitu penting baginya.

Kirana tidak bisa banyak berjanji pada Ibu, seperti suatu hari ia akan berusaha mengambil alih rumah mereka lagi, karena Kirana sendiri tidak yakin. Hutang Bapak bukan hanya pada Pak Ridwan saja, masih ada hutang lain yang perlu Kirana lunasi. Melihat Kirana dan Ibunya yang cukup piluh dan tidak bisa di tinggal, akhirnya Bagas memutuskan untuk menginap di rumah Kirana, membantu Kirana mengepak beberapa barang yang akan mereka bawa nanti.

Wanitanya tidak banyak bicara, raut wajahnya yang cerah seperti matahari di pagi hari itu kini nampak mendung seperti ada awan kumulonimbus di sana yang siap menyambar petir dan badai kapan saja.

“Besok pagi, setelah sarapan. Kita cari-cari rumah ya?” Bagas mengusap kepala Kirana dan wanita itu mengangguk kecil.

Bersambung...

Sejak bertemu dengan Raga di cafe kemarin hati Asri tidak pernah tenang sedikit pun, pertemuan sialan itu selalu saja membuat buncahan ketidaknyamanan di hatinya. Ada banyak pertanyaan di kepalanya kenapa bisa Raka dan Raga saling mengenal, ini bahaya. Dan apa yang di katakan Raka kemarin?

Raga adalah boss nya? Bagaimana bisa? Itu artinya Raka bekerja di firma arsitektur yang sama dengan Bagas? Pikir Asri, ini tentu saja membahayakan dirinya, rahasianya dan juga hubungnya kelak bersama Bagas dan juga keluarganya. Pagi itu, Asri mundar mandir didepan meja rias kamarnya, ia mengigiti kuku jempol tangannya dengan perasaan tidak nyaman sialan itu.

Ia harus membuat Raka bungkam, atau kalau bisa membuat Raka tidak bekerja di kantor itu lagi. Ah, tapi tidak ada yang jauh lebih sulit dari pada itu. Raga sudah melihatnya, dan bagaimana kalau Raga bercerita pada Bagas?

“AARRRRHHHHHH LAKI-LAKI SIALAN!!” Pekik Asri, ia mengobrak abrik benda-benda yang ada di atas meja riasnya seperti, body lotion, beberapa make up, hair care dan tentunya koleksi parfum mahal kesayanganya itu terjatuh berserakan ke lantai, bahkan isinya sampai keluar dan beberapa parfum pecah.

persetan dengan itu semua, ia tidak tenang. Asri bisa membelinya lagi nanti, dan sekarang otaknya terasa membeku memikirkan bagaimana bisa Raka berada satu kantor dengan Bagas atau ini adalah bagian dari rencana Raka untuk menghancurkan hidupnya? Pikir Asri. Hari ini, seharusnya Asri bertemu dengan Kirana. Tapi wanita itu bilang dia tidak bisa, ada hal yang harus Kirana kerjakan. Dan mereka mengatur pertemuan itu menjadi lusa.

Karena mendengar suara benda berjatuhan dari kamar Asri, Dwika. Papa nya Asri itu langsung mengetuk kamar Asri, sejak kemarin Asri memang tampak lebih pendiam dan lebih sering di kamar. Anak satu-satunya itu juga jauh lebih sensitif sampai-sampai beberapa karyawan di butiknya itu Asri marahi hanya karna melakukan kesalahan kecil saja.

Sejak hari itu Papa tahu jika ada yang tidak beres dengan putrinya, Papa hanya menduga jika Raka, pria sialan mantan Suami putrinya mungkin mengacam Asri kembali. Tentunya, Papa tidak akan tinggal diam jika itu terjadi. Sejak awal Asri mengenalkan Raka padanya saja ia sudah tidak menyukai pria itu, apalagi waktu mengetahui Asri hamil dan Raka meminta restu untuk menikahi putrinya.

“Asri, ada apa, Nak?” Suara Papa terdengar dari luar kamar, pria itu tampak begitu khawatir dengan putrinya.

Asri mengacak-acak rambutnya, dan kemudian lekas membukakan pintu kamarnya itu. Begitu melihat kamar Asri yang berantakan, Papa langsung menatap putrinya dengan ekspresi wajah yang bingung. Asri nampak kacau, sudah bisa Papa pastikan ada masalah yang tidak bisa Asri selesaikan sendiri.

“Ada apa? Sejak kemarin kamu jarang keluar kamar, emosi terus, ada apa?”

“Gimana Asri gak emosi, Pah. Papa tau Raka udah pindah ke Jakarta sama anak itu kan? Papa tau sekarang dia kerja dimana?” Asri berbicara dengan nada yang cukup tinggi, jika sudah mengalami tekanan. Wanita itu sulit sekali mengontrol emosinya terutama nada bicaranya.

“Dia kerja di kantor yang sama dengan Bagas, Pah. Aku gak tau dia sengaja apa enggak, tapi ini bikin aku setress, Pah. Terlebih waktu kemarin aku sama Reisaka dan Raka ke cafe, kami sempat ketemu Raga, dia atasanya Bagas di kantor dan Raga ini kelihatanya dekat sama Kirana juga. Raga pernah lihat Asri waktu jalan sama Bagas dan pernah ketemu Asri di rumah Bagas juga, Pah. Gimana kalau Raka cerita ke Raga kalau Asri sama dia pernah menikah dan punya anak?” Asri meremas rambutnya frustasi, ia takut sekali rahasia yang selama ini ia kunci rapat dalam sebuah gudang gelap, lembab dan terkunci rapat itu di buka paksa oleh seseorang.

Ia tidak ingin rahasia sialan itu terkuak, apalagi kalau sampai Bagas dan keluarganya tahu. Bagi Asri dan Papa, ini adalah aib. Reisaka, bocah itu adalah aib sekaligus rahasia besar dalam hidup Asri yang ingin Asri singkirkan selamanya dan tidak membiarkan orang lain mengoreknya.

“Untuk sementara ini, kamu ikuti dulu saja permainan Raka, Sri. Sembarin nanti Papa pikirkan lagi bagaimana cara membuat dia tetap diam.”

Asri tahu Papa nya akan mengusahakan segala cara, namun hatinya tetap tidak tenang. Ia ingin segera menikah dengan Bagas agar Raka tidak lagi mengusik hidupnya, agar ia terikat pada Bagas. Hari itu ketika langit sudah cukup gelap, Asri kembali mengirimi Kirana pesan dan meminta janji temu mereka di majukan. Asri juga sempat membuntuti Kirana dan Bagas hari ini, keduanya sempat berkeliling seperti mencari rumah yang akan di sewa entah untuk siapa.

Asri tentu saja sudah melaporkan pada orang tua Bagas jika Kirana belum juga menjauhi Bagas, yang langsung saja membuat Ibu nya Bagas itu murka. Beliau bahkan mencoba memikirkan cara terakhir untuk membuat Kirana menjauhi Bagas. Yaitu dengan cara membantu Kirana untuk melunasi hutang-hutang Bapaknya, dan memberitahu Bagas jika Kirana memeras orang tuanya. Sebut aja ini mengadu domba Bagas dan Kirana.


Tengah bergerumul dengan aneka bumbu-bumbu yang tengah di rajangnya, Kirana mendengarkan celotehan Bagas tentang rumah-rumah yang mereka survey barusan. Hari ini Kirana memutuskan untuk izin tidak masuk bekerja, ia harus mencari rumah sewa untuknya dan Ibu. Kondisi Ibu agak sedikit drop, tekanan darahnya tinggi dan memaksa Ibu untuk tidak bekerja juga hari ini.

Setelah makan siang dengan sup jagung, dan memberinya obat untuk menurunkan tensinya. Ibu istirahat di kamarnya, Kirana dan Bagas sempat survey sebentar dan kemudian kembali ke rumah, sejujurnya ada perasaan tidak enak pada kekasihnya itu karena Bagas jadi harus berbohong pada Raga tentang pekerjaanya.

Bagas memang ada pekerjaan di luar kantor, memantau proyek milik pria itu yang sedang berjalan, sedang ada pengecoran disana dan seharusnya Bagas memantau. Tapi pria itu hanya memantau sebentar setelahnya ia serahkan semuanya pada mandor proyek tersebut, demi menemani Kirana mencari rumah sewaan.

“Kalau yang tadi aku setuju deh, sayang. Sirkulasi udaranya bagus, rumahnya juga enggak terlalu besar buat kamu sama Ibu. Gak jauh pula buat kamu ke kantor, Ibu juga cuma naik bus sekali aja kan ke toko?” Di ruang tamu, Bagas masih duduk setia di lantai. Tanganya ia tumpuhkan pada meja berbahan kayu jati sembari fokus pada MacBook di depannya, mencari-cari rumah sewaan dari internet kemudian menghubungi pemiliknya.

“Tapi kayanya budget aku yang gak cukup, sayang. Sewa segitu bisa aku cicil buat hutang Bapak,” Kirana meringis.

Ia kupas 3 buah kluwek dan menggabungkannya dengan bawang merah, bawang putih, laos, kunyit, lada, kemiri dan jahe. Semua bumbu-bumbu yang harumnya sudah semerbak memenuhi dapurnya itu ia haluskan. Bunyi deru mesin dari blender yang sedang menghaluskan bumbu itu sedikit menyamarkan suara Bagas yang masih berceloteh di depan sana.

“Hhmm.. Atau yang di daerah Percetakan Negara tadi aja ya, sayang? Tapi agak jauh kalau mau ke kantor? Tapi kondisi rumahnya rapih sih bangunan baru.” Bagas geregetan sekali, ingin membantu Kirana. Tapi berkali-kali Kirana hanya meminta bantuannya untuk di temani mencari rumah sewa dan pindahan saja, semua yang berhubungan dengan financial wanita itu di tolak olehnya.

“Boleh, tapi tadi kamu sempat lihat airnya bagus gak, sayang?” Tanpa menoleh ke arah Bagas, langsung saja Kirana menumis semua bumbu halus itu. Sembari sesekali ia tinggal untuk memotong sisa daging sapi yang ada di kulkasnya, rawon daging sapi, masakan otentik yang selalu Bagas sukai dengan bawang goreng dan kecambah di atasnya, di hidangkan dengan nasi panas. Kesukaan Bagas sekali, pria itu bisa nambah berpiring-piring seperti ketika makan gultik di daerah Barito atau BlokM. Kirana sampai berpikir jika tangki perut pria itu memanglah besar.

“Bagus kok, cuma minus nya agak ramai sih lingkungannya, mungkin akan enggak nyaman buat Ibu istirahat.”

Wangi dari semerbak bumbu rawon yang tengah di tumis oleh Kirana itu menyeruak memenuhi ruang tamu, memasuki rongga hidung Bagas hingga cuping hidungnya kembang kempis. Arona itu seolah memanggilnya untuk menghampiri Kirana ke dapur, melihat apa yang tengah wanita itu kerjakan di sana meski mungkin kehadirannya sama sekali tidak membantunya.

Dengan telaten seolah pisau dapur dan segala bumbu sudah berkawan baik dengannya, Kirana satukan semua bumbu itu dalam satu panci bersamaan dengan daging yang sudah ia iris dengan potongan yang sangat pas sekali untuk satu kali suapan, aroma itu semakin semerbak, bunyi “ces” dari daging ketika di masukan membuat perut Bagas semakin meronta-ronta ingin segera di isi.

“Yang itu aja kayanya gapapa, sayang. Satu-satunya rumah yang murah, yang aku sanggup bayar dan sebagian gajiku dan Ibu masih bisa di pakai buat cicil hutang Bapak.” Kirana berbalik, menatap pria nya itu dengan senyum setelah ia selesai mencuci tanganya.

“Kamu yakin?”

Kirana mengangguk, “nanti bantuin lagi pas pindahan ya.”

“Pasti.” Bibir itu, bibir yang tersenyum dengan manis namun tersirat sebuah kemalangan dan kepedihan wanita itu suguhkan pada Bagas.

Membuat jantung Bagas berdetak tak seperti biasanya, aroma bunga melati dan bedak yang Kirana pakai sepertinya tidak sirna karena terpaan asap yang mengepul dari panci rawon yang tinggal menunggu matang saja. Bibir halus berwarna pink itu seolah memanggil Bagas untuk menjatuhkan bibirnya di atas bibir Kirana.

Bagas rindu, sudah lama rasanya bibirnya tak berkelana di atas bibir Kirana. Entah sejak kapan Bagas sudah menaruh kedua lengannya itu pada pinggang ramping sang wanita, mengusapnya pelan dan membawa Kirana pada dekapnya semakin dekat dengan benda berwarna merah muda itu.

Dalam diri Bagas seperti riuhan akan ada Pesta, di buncahi kebahagiaan dan kupu-kupu yang sibuk berterbangan di dalam perutnya. Sementara Kirana, ada duka dan gumpalan ketika ia sadar jika banyak sekali pihak yang keberatan dengan hubunganya dengan Bagas.

Tetapi, persetan dengan itu semua. Ia ingin pria nya siang itu, maka, Kirana tarik begitu saja leher Bagas dengan kakinya yang sedikit berjinjit menyamai tingginya dengan pria itu, di bungkamnya bibir Bagas dengan bibirnya, kedua mata anak manusia itu terpejam. Menikmati decapan manis pada rasa yang tengah mereka berdua bagi, seperti tidak pernah puas, seperti hari esok akan segera berakhir, seperti mereka sudah tidak lama bertemu. Begitu intim hingga bukan hanya bunyi dari gelembung kuah rawon yang tengah di masak saja yang mendidih, tapi dapur itu juga di dominasi oleh suara decapan Bagas dan Kirana siang itu.

Seperti di paksa melepas, bunyi “nging” dari panci presto itu menghamburkan segala bunyi decap kedua anak manusia yang tadi seperti tengah kesetanan itu, Kirana buru-buru mengeluarkan kepulan asap dan membuka panci presto nya. Begitu saja wangi rawon itu menyeruak, membuat Dimas sontak mengambil piring dan mengambil nasi untuk makan siang mereka berdua.

Denting dari garpu dan sendok yang beradu di meja makan siang itu terdengar, Bagas tak bisa menahan senyum ketika mencicipi rawon buatan Kirana yang terasa pas di lidahnya, gurih, dagingnya empuk dan hangat, meski siang itu cuaca Jakarta cukup panas. Pria itu makan dengan lahap, beberapa kali menyendok nasi lagi dan taburan bawang goreng yang harum itu ke atasnya.

Kecambah yang Kirana tawarkan di tolak olehnya karena Bagas lebih menikmatinya tanpa ada tambahan kecambah di atasnya, keringatnya berkucuran di keningnya menandakan ia sangat menikmati makanan itu.

“Kalau kita udah nikah nanti, kayanya aku bisa gemuk deh. Soalnya makan masakan kamu gak bisa gak nambah,” celotehnya di tengah-tengah makan siangnya itu.

Alih-alih bahagia mendengar ucapan Bagas, Kirana justru merasa kegundahan di hatinya itu bertambah. Ia menghentikan makannya sebentar, menenggak air putih yang ada di sebelahnya demi meluruhkan gumpalan ketidaknyamanan itu yang ada di tenggorakannya.

Apakah suatu hari nanti ia bisa menikah dengan Bagas? Membangun rumah, memasakannya makanan kesukaan pria itu, menatap wajahnya yang selalu membuat Kirana tenang kala gundah mendera, dan melahirkan anak-anak dari pria yang sangat ia cintai itu.

“Atau kita buka restoran aja ya sayang? Aku yakin pasti yang beli banyak, nanti aku bantuin kamu.”

Bagas masih saja berceloteh dengan andai-andainya itu tanpa timpalan ucapan dari Kirana. Ia bingung harus menanggapinya dengan apa, Kirana bukan tidak bisa melihat masa depannya bersama Bagas, tapi menurutnya ini sulit sekali. Mengingat orang tua Bagas sendiri sudah mengingatkan Kirana berkali-kali untuk menjauhkan putra sulung mereka.

“Gas?”

“Ya, sayang?” Bagas menatap Kirana, mulutnya masih mengunyah namun sanggup menampakan senyum.

Kirana senyum, ia menggeleng dan memilih untuk menahan ucapannya saja. Tidak tepat rasanya, pikirannya masih berkecamuk pada rumah kesehatan dan Ibu, urusan orang tua Bagas dan Asri yang ngotot ingin bertemu dengannya lebih baik ia urus sendiri saja.

Bersambung...

Hujan di luar dqn sesekali terdengar suara petir juga kilatan dari luar jendela itu seperti menjadi teman bagi Raga malam ini, di temani secangkir kopi yang entah sudah berapa gelas ia tenggak. Raga masih berkutat dengan MacBook di meja kerjanya di kantor. Sesekali ia melirik jam dari ponselnya, sesekali konsentrasinya teralihkan karena ingin memeriksa apakah di luar masih hujan atau tidak.

Kepalanya sudah penuh namun Raga memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaanya itu, punggung lebar dan bahu tegap itu bersandar pada kursinya, tangan kirinya menopang kepalanya dan tangan kananya sibuk memijat pelipisnya. Kepalanya tidak berdenyut, hanya sedikit mumet saja pikirannya. Sudah 2 hari Kirana tidak datang bekerja, wanita itu memang izin karena ada kepentingan keluarga yang Raga sendiri tidak tahu itu apa. Karena saat izin tidak masuk, Kirana hanya mengatakan itu saja.

Namun, dari yang Raga tau. Kirana masih menjalankan kewajibannya untuk bertemu dengan Raka dan membicarakan proyek mereka berdua di luar kantor. Pikiran Raga penuh sekali, ia jadi tidak nyaman sendiri. Memikirkan apakah Kirana menghindarinya atau memang wanita itu benar-benar ada kepentingan keluarga. Ingin rasanya Raga bertanya langsung pada wanita itu, seperti menawarkan bantuan jika Kirana kesulitan.

Namun, akal sehatnya masih jalan. Kirana bisa salah paham, ah, bukan hanya Kirana tapi Bagas juga. Antara menyesal dan tidak ia mengatakan janji Jayden dengan Ayu. Namun di kepalanya hanya ada jawaban itu saja, namun jika benar Kirana merasa tidak nyaman dengan jawaban itu. Ia akan segera meminta maaf pada wanita itu secepatnya.

Sudah beberapa hari ini ia juga mempertimbangkan dirinya untuk menetap pada kantor yang sudah memberinya pengalaman itu, atau justru berpindah dan keluar dari zona nyamannya bergabung dengan firma Mas Ethan. Entahlah, Raga belum selesai mempertimbangkannya. Kepalanya masih ramai, namun sekilas dari luar pintu kaca ruanganya Raga melihat ada Almira yang masih berada di meja nya.

Raga baru sadar jika Almira belum pulang, mungkin wanita itu masih lembur, tapi tumben sekali Almira lembur di kantor. Biasanya, Raga sering sekali bertemu Almira di cafe tak jauh dari kantor mereka. Almira biasa mengerjakan lemburannya di sana, di temani croissant dan juga hazelnut coffee kesukaan wanita itu. Jelas Raga tahu karena setiap kali bertemu Almira di sana, wanita itu selalu memesan menu yang sama.

“Apa gue samperin Almira aja, mungkin dia tau ada apa sama Kirana.” Entah mengapa malam itu rasanya Raga ngebet sekali ingin tahu kabar Kirana tanpa bertanya langsung pada wanita itu.

Dengan segenap rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, Raga keluar dari ruanganya, menghampiri Almira yang ternyata asik mengerjakan laporannya dengan dua telinga ia sumpal dengan earphone sesekali bibirnya bergumam menyanyikan lagu yang sedang di putar di sana.

Begitu sadar Raga mendekat ke arah mejanya, wanita itu terkesiap dan langsung melepas earphone yang masih memutar musik disana. Raga bisa mendengar sayup-sayup lagu yang Almira putar meski tidak terlalu jelas, sepertinya wanita itu memutar lagu dengan volume yang agak kencang. Entah menghalau rasa sepi atau menghalau rasa takut, karena di ruangan itu hanya tersisa dirinya saja.

“Malam, Pak.” Almira menganggukan sedikit kepalanya pada Raga.

“Malam.” Raga melihat masih ada setumpukan map berserta kopi yang Almira beli lewat aplikasi ojek online menemaninya, isinya sudah tinggal setengah. Bahkan es dari kopi itu sudah mencair dan membuat meja Almira basah karena embun yang berubah menjadi air dari gelas es itu. “Lembur, Mir?”

Almira mengangguk, “iya, Pak. Tadi habis ngerjain maket, terus sekarang nyelesain report. Bapak belum pulang? Saya pikir udah pulang dari tadi.”

“Belum.” Raga menarik salah satu kursi di sana, kursi milik Kirana. “Mir?”

“Ya, Pak?”

Raga menghela nafasnya pelan, “Kirana lagi ada masalah?”

Melontar begitu saja pertanyaan yang sudah sedari tadi Raga tahan di bibirnya itu, dalam hati ia mengakui betapa kurang ajarnya menanyakan pasangan orang lain. Ah, tapi Kirana kan bawahannya, ia hanya perhatian saja pada bawahannya itu. Siapa tahu, Raga sebagai atasan bisa membantu kan jika Kirana memiliki masalah, Raga denial.

Sebelum menjawab, Almira menyandarkan punggungnya yang nampak begitu pegal ke kursinya dan memandang meja kerja Kirana di sebelahnya. “Iya, Pak. Kasian Mbak Kirana. Dia lagi nyari sewa rumah, Pak.”

Kening Raga mengekurut menampakan sebuah kebingungan di sana. “Sewa rumah? Memang kenapa sama rumahnya?”

Almira tampak menimang-nimang ingin menjawab pertanyaan dari atasannya itu atau tidak. mengingat, Kirana sudah mempercayakan untuk menceritakan tentang masalah keluarganya itu pada Kirana. Namun, di depannya ada Raga. Atasannya, dan sepertinya Raga bukan hanya penasaran tapi menaruh simpati juga pada Kirana.

Siapa tahu kan Raga bisa membantu Kirana, entah itu memberi saran rumah sewaan murah atau mungkin menaikan gaji Kirana. Ya, kira-kira seperti itu pertimbangan Almira sampai akhirnya ia memilih menceritakan pada Raga.

“Saya ceritain, tapi Bapak janji ya jangan bilang tau dari saya.” Almira mewanti-wanti, tidak ingin membuat Kirana kecewa padanya.

“Iya.” Raga mengangguk setuju.

“Mbak Kirana cerita, Pak. Rumahnya di sita buat melunasi hutang mendiang Bapaknya sama salah satu investor di perusahaanya dulu. Karena di dalam surat perjanjian itu, Mbak Kirana menyetujui bakalan melunasinya dalam waktu 6 bulan. Tapi kan, waktu itu Mbak Kirana sempat kecelakaan. Jadinya, Mbak Kirana sempat gak mencicil hutangnya. Makanya lah rumah nya disita, Pak,” jelas Almira.

Raga tidak menanggapi ucapan Almira lagi, dia termenung di kursi Kirana. Memikirkan nasib wanita itu bersama Ibu nya, Kirana tidak menjauh ternyata. Dia sedang dalam kesusahan sekarang.

“Terus dia sudah dapat rumah sewaan?”

Almira mengangkat kedua bahunya, Kirana memang belum bercerita lagi pada Almira. Wanita itu baru bercerita kalau sudah survei ke rumah-rumah yang mungkin akan ia sewa.

“Terakhir Mbak Kirana cuma cerita lagi survei rumah yang mau di sewa nya, di daerah Percetakan Negara kalau enggak salah, tapi saya gak tau sih, Pak. Dia jadi ambil rumah itu apa enggak.”

Malam itu setelah hujan reda, Raga buru-buru pulang, tapi sebelum itu ia pastikan jika. Almira telah mendapatkan taksi online dulu, setelah itu ia lajukkan mobilnya membelah dinginya kota Jakarta yang baru saja di guyur hujan. Pikirannya malam itu benar-benar tersita oleh Kirana, mungkin besok pagi, Raga akan mencoba melewati rumah Kirana yang lama.

Siapa tahu, dari sana ia bisa bertemu dengan Kirana dengan alasan tidak sengaja lewat dan bisa membantu wanita itu. Ngomong-ngomong soal rumah, Raga masih memiliki rumah di daerah Jakarta, tak jauh dari Gambir. Rumah yang memang tidak di tempati oleh Mbak Adel karena wanita itu memilih tinggal di rumah yang di beli Suaminya. Iya, rumah itu rumah Mbak Adel, Mbak Adel sempat membelinya dulu dari hasil menabungnya 8 tahun bekerja.

Mungkin ia bisa meminta izin pada Mbak Adel, untuk menyewakan rumahnya itu pada Kirana dengan harga murah, pikir Raga.


Masih ada beberapa barang yang harus di masukan ke dalam dus oleh Kirana, dan beberapa barang seperti lemari, meja makan dengan kayu jati, ranjang tidur, meja belajar dan lemari buku akan Kirana jual. Membawa semua barang itu ke rumah baru mereka yang kemungkinan lebih kecil itu sulit sekali, akan sangat pengap jika terlalu banyak barang nantinya.

Ibu tengah mengemasi beberapa baju peninggalan mendiang suaminya itu, sembari sesekali tersenyum, seolah tengah bernostalgia dengan Suaminya itu ketika sang Suami memakai baju yang tengah ia pangku di kedua paha nya.

Kirana yang tengah mengemasi buku-buku miliknya itu meringis, sudah beberapa hari ini Ibu selalu mengukit Bapaknya lagi, seperti ketika Ibu memakan sesuatu, misalnya saja kue lumpur. Ibu pasti akan teringat Bapak dan mengatakan, “Bapakmu dulu sering banget beliin Ibu kue lumpur waktu awal-awal menikah, Na. Dia tau Ibu suka sekali sama kue ini.” Atau ketika hendak menonton siaran TV berita yang selalu Bapak tonton, Bapak itu gemar sekali membahas politik. Dan ketika Ibu menonton TV pasti ia akan berkata, “kalau Bapak nonton, pasti Bapak bakalan diskusi sama Ibu.”

Atau yang lebih memiluhkan lagi adalah, “kalau kamu menikah nanti sama Bagas, harusnya Bapak yang mendampingi kamu ya, Na. Bukan Paman, kalau Bapak masih ada, pasti dia bahagia banget karna Bagas begitu sayang sama kamu.” Kirana akan sangat tersakiti dengan kata-kata yang seharusnya menghangatkan relung hatinya itu. Ibu benar-benar merindukkan Bapak, terkadang Kirana juga suka memergoki Ibu tengah menangis di malam hari sembari menggegam arloji milik Bapak yang tali nya sudah Ibu ganti sebulan lalu karena putus.

“Na?” Panggil Ibu, membuat Kirana yang tengah mengepak bukunya itu berhenti sebentar.

“Ya, Buk?” Kirana menghampiri Ibu, duduk di sebelah wanita yang menjadi satu-satunya pusat dunia nya saat ini. “Ada apa?”

Ibu membuka lipatan dari kemeja Bapak itu, masih sangat bagus, masih wangi, tidak ada noda kekuningan di bekas lipatan baju itu karena Ibu selalu mencucinya setiap minggu. Ibu selalu merawat dengan baik barang-barang milik Bapak.

“Bapakmu kalau pakai kemeja ini dulu tuh ganteng banget, Na. Badannya gagah, apalagi kalau rambut nya di sisir ke belakang. Sudah bisa bersaing dengan Roy Marten kayanya,” Ibu terkekeh, matanya tak lekat pada kemeja Bapak. Seolah-olah sang Suami tengah memakainya.

“Tapi kalau bersaing sama Roy Marten, siapa yang menang, Buk?”

“Yah jelas Bapakmu, Na.” Ibu tersenyum dan keduanya terkekeh pelan. Ibu kemudian melipat kembali kemeja itu dan memberikannya pada Kirana, Kirana tentu saja terlihat bingung.

“Kenapa, Buk?”

“Untuk Bagas, badan Bapak dan Bagas itu enggak jauh berbeda. Anggap saja ini warisan yang bisa Bapak dan Ibu kasih untuk kalian berdua.”

Ucapan Ibu itu terdengar tulus sekaligus menyakitkan untuk Kirana. Ia tertunduk, memperhatikan kemeja itu dengan air mata yang nyaris saja tumpah dari kelopak matanya jika ia sedikit saja berkedip.

“Buk, andai Kirana sama Bagas enggak berjodoh apa Ibu bakalan sedih?” Jujur saja, ia sangat mencintai Bagas. Pria itu baik, sayang dengan Ibu nya, bertanggung jawab dan sangat mencintainya juga, tetapi karena tentangan dari keluarga pria itu. Kirana tidak bisa melihat masa depannya bersama Bagas. Ia sudah menyiapkan diri jika memang ia dan Bagas tidak bisa bersama, meski Kirana mungkin tidak ingin hari perpisahan itu akan datang lebih cepat.

nduk, bagi Ibu. Siapa jodohmu, Bagas atau bukan tolong pilih laki-laki yang sayang sama kamu, menghargai kamu dan bisa bertanggung jawab, Ibu percaya setiap pertemuan itu enggak ada yang sia-sia.”

Sore itu Kirana menangis di pangkuan Ibu nya, hatinya pilu, rasa gundah itu kembali membuncah, ia hidup dalam bayangan ketakutan kehilangan apa yang tengah ia miliki saat ini, ia sudah kehilangan Bapak, sebentar lagi rumah sebentar lagi mungkin Bagas entah kapan, dan Kirana tidak ingin kehilangan Ibu nya.

Sore itu, ketika Ibu sedang mandi, Kirana keluar dari rumahnya, berdiri di teras depan. Mencoba menyapa pada tanaman-tanaman yang di pelihara Ibu sejak ia kecil, seperti ia tengah berpamitan pada tumbuhan itu jika ia dan Ibu tidak bisa menyiraminya lagi setiap pagi dan setiap minggu sore.

Entah akan di buat apa rumah ini kelak, tapi Kirana berharap siapapun tuan nya nanti. Orang itu bisa menjaga rumahnya, menjaga kenangan yang memeluknya hangat, matahari sore itu menerpa wajah Kirana. Ia tersenyum, mencoba menikmati detik demi detik yang tersisa di rumahnya.

Tak lama kemudian, sinar matahari yang menyorot wajahnya itu tiba-tiba saja sirna. Kirana membuka matanya, di depannya telah berdiri seorang pria yang lebih tinggi darinya menghalau sinar matahari itu. Ia tersenyum, dan Kirana membalasnya dengan senyuman canggung.

“Pak Raga? Ada apa?” Kirana terkesiap.

“Cu..ma lewat, gak sengaja lewat, tadi saya habis ke cafe tempat kita bertemu waktu itu, terus lewat sini. Gak sengaja liat pagar rumahmu terbuka, dan kamu lagi diteras,” jelas Raga sedikit terbata-bata, ia merasa seperti orang bodoh saat ini.

Kirana mengangguk, “duduk, Pak.”

Ia menyuruh Raga untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya, dan Raga mengekori wanita itu dari belakang dan duduk di sana. Agak sedikit canggung suasananya. namun, Kirana segera mengatasi hal itu dengan menawarkan Raga minuman.

“Pak Raga mau minum apa?”

“Ah, gak usah, Na. Saya cuma mampir sebentar.”

“Gapapa, Pak. Kebetulan di dalam Ibu bikin es kelapa, saya ambilin dulu ya.” Belum sempat Kirana pergi untuk mengambilkan Raga minum, namun Raga berdiri dan menahan pergelangan tangan wanita itu. Tak lama kemudian saat Kirana melihat tangan Raga melingkari pergelangannya, pria itu melepaskannya.

“Ah, sorry, Na. Tapi beneran gak usah. Saya kesini cuma mau tahu kabar kamu aja, karna sudah 2 hari ini kamu enggak masuk.”

Kirana duduk di kursi sebelah Raga, “iya, Pak. Saya memang sedang ada masalah keluarga. Tapi biarpun begitu, saya tetap bertemu Mas Raka untuk meeting soal proyek yang kami kerjakan berdua, Pak.”

“Oh.. Enggak-enggak, Kirana. Saya bukan nuntut kamu untuk secepatnya bekerja. Saya sebagai atasan kamu cuma mau mastiin kamu baik-baik saja,” Raga buru-buru menjelaskannya sebelum Kirana salah paham, ah sejujurnya posisi nya di kantor menyulitkannya untuk banyak berterus terang pada Kirana. Terlalu banyak dinding dan Raga susah mencari celahnya.

Kirana tersenyum kikuk, “iya, Pak. Terima kasih sudah perduli sama saya.”

Kirana menghela nafas, ia sangat menghargai kebaikan atasannya itu. “Saya harus pindah dari rumah saya, Pak.”

“Kenapa Kirana?” Raga pura-pura tidak tahu.

“Untuk melunasi sebagaian hutang Bapak saya, Pak.” Kirana tertunduk, sedetik kemudian ia menyunggingkan senyumnya. Senyum yang ia paksakan.

Raga sudah tahu sedikit tentang cerita keluarga Kirana, karena dulu Kirana pernah kasbon ke perusahaan untuk membayar hutang Bapaknya. Ya, di negeri ini siapapun sudah tahu tentang kebangkrutan seorang Damar Endra Wicaksana tak terlepas dari kematiannya yang sangat menggemparkan seluruh saluran televisi saat itu.

“Sudah dapat rumah sewaanya?”

Kirana menggeleng pelan, “sudah ada beberapa yang cocok, tapi masih saya pertimbangkan, Pak.”

“Kalau kamu mau, kakak saya menyewakan rumahnya. saya bisa antarkan kamu ke rumah itu dan bicara sama kakak saya.” Raga tahu ini bodoh, ia belum sempat berbicara dengan Mbak Adel soal ini, tapi melihat sorot mata Kirana yang kosong dan menampakan kesedihan itu cukup meluluhlantahkan hati dan pertahannya.

“Daerah mana, Pak?”

“Gambir, Kirana. Besok pagi, saya kirimkan alamatnya ya, kita lihat rumahnya dan bertemu dengan kakak saya.”

Bersambung...

Bagas melirik pada arloji miliknya, sudah mendekati makan siang dan Kirana belum sampai di kantor juga. Mereka memang berjanji akan makan siang bersama setelah Kirana dan Raka selesai meeting dengan klien mereka. Jam makan siang kurang 10 menit lagi dan wanita itu belum juga sampai, Bagas menyandarkan punggungnya yang sedikit pegal itu pada kursinya, merenggangkan tubuhnya yang kaku akibat terlalu banyak duduk.

Tak lama kemudian, wanita itu mengiriminya pesan. Mengatakan pada Bagas untuk makan duluan karena ia tidak yakin bisa kembali ke kantor saat jam makan siang. Kirana sudah selesai pindahan, pindahan itu berjalan dengan lancar meski Ibu masih menangis saat meninggalkan rumah, tapi Bagas cukup lega mengetahui Kirana pindah ke rumah yang cukup nyaman bagi mereka.

Rumah yang di tawarkan oleh atasan mereka dengan harga sewa yang sangat murah, meski awalnya Bagas agak sedikit cemburu karena perhatian Raga yang ia anggap sedikit berlebihan. Tapi jauh dari pada pemikiran buruknya, ia lebih percaya pada Kirana. Ia telah mengenal wanitanya lebih dulu.

“Mas Bagas?” panggil Almira yang membuat Bagas menoleh.

“Hm?”

“Makan siang gak? Mas Satya ngajakin makan nasi bebek di depan.”

Bagas mengangguk pelan, “boleh. Turun sekarang aja yuk? Udah laper nih.”

“Ihh bentar gue belum pake lipcream.” Almira mengambil lipcream dari tas miliknya, kemudian mengambil kaca di samping meja nya.

“Lama nih, keburu rame nanti.” Bagas mengeluh, ia mengambil jaket miliknya dan memakainya. Berdiri di kursi Kirana yang kosong di tinggal pemiliknya, dari kursi Kirana ia memperhatikan jika Raga keluar dari ruanganya sembari menelfon. Pria itu berjalan menuju lift, mungkin ingin makan siang juga, pikir Bagas.

“Dah, selesai. Yuk!!” Almira berdiri, keduanya langsung saja keluar dari ruangan mereka menuju lift.

Ternyata mereka bertemu dengan Raga yang juga akan makan siang di luar, pria itu sudah tidak lagi menelfon. Raga bahkan yang menahan pintu lift ketika ingin tertutup agar Almira dan Bagas bisa ikut turun ke lantai satu bersamanya. Satya sudah duluan, tadi pria itu memang sempat keluar sebentar dan saat ini pria itu sudah berada di warung nasi bebek.

“Kalian mau makan apa?” Tanya Raga memecah hening di antara mereka, hanya ada mereka bertiga di lift, tadinya ada seorang cleaning service juga yang ikut bersama mereka namun di lantai 5 orang itu turun.

“Mau makan nasi bebek, Pak,” jawab Almira.

“Kalau gitu bareng ya, saya juga mau makan nasi bebek.”

Bagas hanya diam saja, mood nya tidak terlalu baik untuk bicara dengan Raga. Katakanlah Bagas cemburu buta, memang agak sedikit kekanakan, tapi, pria mana yang tidak cemburu jika wanita yang ia sayangi seperti di beri perhatian khusus dari atasan mereka.

Di warung bebek Madura, Satya sudah menempati 4 kursi di pojok sana. Pria itu sedang merokok, begitu melihat Almira, Bagas dan Raga datang. Pria itu buru-buru mematikan rokoknya.

“Tumben makan nasi bebek, Pak?” Tanya Satya basa basi, pria itu mengambil menu di meja lain dan juga nota untuk mereka pesan. Tempatnya agak sedikit ramai karena memang jam makan siang, agak sedikit panas karena warung itu hanya memakai kipas angin. Makanya Almira langsung mengeluarkan kipas angin portabel nya.

“Di ajak Almira,” jawab Raga santai.

Satya mengangguk-angguk, “mau pesan apa nih? Bebek goreng, bebek bakar, bebek atau bumbu hitam?”

Bagas terlihat membulak balikan menu di depannya, ia juga sempat memeriksa ponselnya. Siapa tahu Kirana mengiriminya pesan dan mengatakan akan menyusulnya, tapi sayangnya tidak ada satu pun pesan dari Kirana.

“Gue pesen bebek bumbu hitam aja deh, Mas.” Bagas akhirnya menetapkan pilihannya pada bebek bumbu hitam, sepertinya memakan makanan pedas akan sangat menguggah selera makannya. Apalagi dengan es jeruk di siang hari.

“Pak Raga apa?” Satya menulis satu persatu pesanan teman-teman dan atasannya itu.

“Saya bebek goreng sambal hijau, minumnya es teh tawar aja.”

“Gue, Mas. Hhhm.. Bebek goreng juga deh tapi pakai sambal bawang.”

Setelah memesan makanan, Satya kembali lagi ke kursi, mereka sempat membicarakan proyek dan beberapa kendala yang dialami pada proyek Satya. Raga cukup membantu memecahkan permasalahan itu, sedangkan Bagas sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Ia sebenarnya berencana melamar Kirana setelah wanita itu selesai pindahan, bahkan, Bagas sudah memiliki beberapa design cincin untuk ia pakai melamar Kirana. Untuk urusan restu kedua orang tua nya, persetan dengan itu semua. Ia mencintai Kirana dan akan tetap memilih wanita yang ia cintai itu sebagai teman hidup dan Ibu dari anak-anaknya kelak.

Menurut Bagas, ini adalah hidupnya. Ia pria dewasa berumur 27 tahun yang sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, ia pantas menentukan arah dan tujuan hidupnya, kemana ia akan berlabu dan siapa yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.

“Ye.. Mas Bagas diem aja, lagi sakit gigi?” Tanya Almira, agak sedikit aneh mengingat Bagas ini pandai sekali mencari topik obrolan.

“Enggak,” Bertepatan dengan Bagas yang berbicara, seorang pelayan datang mengantar makanan mereka. Bagas dan Raga buru-buru membantu pelayan tersebut menurunkan satu persatu piring berisi bebek dan juga minuman yang mereka pesan. Raga dan Bagas yang memang duduk di pinggir.

“Makasih yah, Mas.” Ucap Raga pada pelayan tersebut.

“Terus kenapa?” Almira kepo.

“Gue cuma kepikiran sesuatu..”

“Lagi berantem nih sama Kirana!” Tebak Satya asal-asalan. “Pantes Kirana gak makan siang bareng kita.”

“Dih, sok tau jir Mas Satya, orang Mbak Kirana lagi ada meeting sama Mas Raka yeeeee.”

“Ohhh makan siang sama Raka berarti,” Satya terkekeh.

“Gue pengen ngelamar Kirana!” Ucapan itu keluar dari mulut Bagas begitu saja, bertepatan pada kedua matanya yang bertabrakan dengan mata Raga. “Bulan ini.”

“HAH? SERIUS, MAS?” pekik Almira, wanita itu sungguh antusias.

“Iya serius.”

Raga masih terdiam di tempatnya, fokus nya hanya pada nasi bebek miliknya yang tak lagi membuatnya menginginkan bebek goreng sambal hijau itu lagi. Sebentar lagi Kirana akan di lamar, tapi apa itu artinya Bagas sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua nya? Bagas memang tidak pernah bercerita pada Raga bahwa pria itu tidak mendapatkan restu untuk menikahi Kirana.

Tetapi sewaktu pesta ulang tahun Ibu nya dan Kirana pulang, Bagas sempat mendengar Ibu nya Bagas dan Bagas bertengkar. Ibu nya menyebut-nyebut jika sampai kapanpun beliau tak akan merestui hubungan Bagas dan Kirana.

“Kapan, Mas? Kalo butuh bantuan. gue sama Mas Satya gue siap nih.”

“Kudu latihan dulu sih ini buat ngajak Kirana merried dulu gue waktu ngajak cewek gue nikah sempet tremor pernah dia tolak soalnya,” Satya curcol.

“Mungkin nanti gue juga belum tau kapan, mungkin bulan ini, soalnya Kirana baru aja pindah dan gue mau dia tenang dulu.”

“Ini Mbak Kirana kalau tahu pasti seneng banget nih!” Almira jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

“Jangan ngember lu, Cil. Ntar gagal lagi ini kejutannya,” timpal Satya, pasalnya Almira kerap kali kelepasan maklumlah wanita itu sedikit oversharing kalau kata anak jaman sekarang.

“Almira, Bagas, Satya. Saya duluan ya, makanan kalian biar saya yang bayar.” Raga berdiri dari kursinya duduk, menumpuk bekas piring makannya dengan gelas dan wadah berisi air untuk membasuh tangan menjadi satu.

“Lah udahan makannya, Pak?” Satya melihat piring Raga ternyata sudah licin dan bersih.

“Iya, masih banyak kerjaan, saya duluan ya.”

Bagas yang melihat itu hanya mendapati wajah Raga yang sedikit masam menurutnya, pria itu seperti tidak begitu nyaman dengan pembicaraan mereka yang sedang membahas niatnya untuk melamar Kirana.


Mengabaikan deting pada ponsel miliknya yang terus berbunyi didalam tas yang ia bawa Kirana berusaha membuat dirinya terus tegar di depan kedua wanita yang saat ini mendelik memandangnya penuh dengan perasaan tidak suka, ia tidak tahu salahnya apa sehingga kedua nya tampak membenci Kirana dan keluarganya.

Terkadang, Kirana berpikir jika apa yang Bapak lakukan pada hidupnya kini menjadi dosa mengalir yang terus menimpa Kirana dan Ibu sebagai hukumannya, Kirana menatap minuman yang sudah di pesankan oleh Ibu nya Bagas, meremas cardigan miliknya Kirana terus menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Ia harua tampak tegar.

“Saya pikir setelah pembicaraan kita kemarin kamu sudah paham apa yang harus di lakukan olehmu, Kirana.” Wajah wanita itu terangkat memandang Kirana di depannya dengan penuh keangkuhan, seolah-olah kasta nya lebih tinggi dari wanita muda di hadapannya saat ini.

“Saya sayang sama Bagas, Buk.” Dengan nada yang sedikit bergetar, Kirana menekan ucapannya ia benar-benar mencintai Bagas. Banyak hari berat yang sudah ia lalui bersama pria itu.

“Justru karena kamu sayang dia, harusnya kamu bisa melepas dia, Kirana. Kamu kayanya lebih suka melihat Bagas bertengkar dengan keluarganya ya?”

Asri mengangguk kecil pada Ibu nya Bagas itu agar memberinya kesempatan padanya untuk berbicara dengan Kirana, sedari tadi Asri hanya menatap Kirana. Menelisiki wajahnya, mencari tahu kenapa wanita ini dari kehidupan terdahulunya hingga saat ini bisa selalu memikat hati pria didekatnya. Kadang, ada kalanya pada malam hari, ketika isi kepalanya bercampur baur dengan banyaknya hal yang ia pikirkan, terselip alasan mengapa Kirana begitu menarik banyak orang terutama pria hingga bertekuk lutut mencintainya.

“Kirana, kita kan sesama perempuan yah. Mungkin Bagas enggak cerita ini ke kamu karena takut menyakiti kamu, tapi, Na. Aku dan Bagas itu sudah di jodohkan sejak lama. Bahkan sejak kamu dan Bagas mungkin belum bertemu, kami teman kecil, Na.”

Asri menekan kata “sesama perempuan” agar Kirana ingat bahwa tidak baik menyakiti sesama perempuan, namun wanita itu keliru jika disinilah ia menjadi pihak yang menyakiti hati perempuan lain.

Kirana tentu saja sudah mengetahui hal ini, Bagas sudah bercerita dengannya dan Ibu nya Bagas sudah memberitahu hal ini berulang kali padanya. Dengan segenap harga diri yang ia miliki, Kirana menatap Asri yang duduk persis di hadapannya. Menelisik wanita sebagaimana kedua netra Asri menelisiknya.

“Asri, kita kan sesama perempuan yah. Saya gak tau sejak kapan kamu di jodohkan sama Bagas, tapi, disini saya yang lebih dulu menjalin hubungan dengan Bagas. Saya rasa kamu enggak bodoh buat tahu kalau apa yang sedang kamu lakukan ini sama saja dengan merebut, merusak kebahagiaan wanita lain.” Kirana menahan isaknya, ia tidak boleh nangis maka ia meremas kuat ujung cardigan yang ia sedang kenakan itu, seolah benda itu sebagai pelampiasannya agar bisa menahan tangisnya sendiri.

“Seharusnya, kamu bisa menempatkan diri kamu. Seandainya kamu berada di posisi saya, apa kamu gak kepikiran itu sama saja kamu merebut pasangan orang lain?”

“Kirana!!” Pekik Ibu nya Bagas, wanita itu mendelik emosi dengan apa yang Kirana katakan pada calon menantunya yang ia bangga-banggakan itu.

Sementara Asri, ia terkekeh dengan hampa, seperti menertawakan ucapan Kirana yang menurutnya terlalu klise itu. Baginya, ia dulu lah yang kenal dan di jodohkan oleh Bagas, tidak perduli seberapa lama Bagas dan Asri menjalin hubungan, ia lah wanita yang sudah di pilih oleh orang tua Bagas itu.

“Walau itu membuat Bagas mungkin membenci keluarga dan meninggalkan keluarganya? Egois kamu, Kirana.” Kali ini Asri terang-terangan mendirikan bendera perang pada Kirana, jika biasanya ia berusaha terlihat ramah. Kali ini ia memperlihatkan wajah ketidaksukaanya pada Kirana.

“Yang egois saya atau kamu, Asri. Kamu yang memaksakan diri untuk menikah dengan Bagas—”

PLAKKK

Baik Kirana maupun Asri sama-sama kaget, kala Ibu nya Bagas itu mengangkat tangan kanannya dan menampar wajah Kirana hingga wajah wanita itu terhuyung ke samping. Pedih dan panas, kupingnya berdengung nyaring dan separuh wajahnya tertutup oleh rambut miliknya itu.

Kirana menunduk, seperti tengah memunguti sisa-sisa harga dirinya yang telah dilucuti oleh kedua wanita itu. Air matanya jatuh, ia kalah. Kirana tidak bisa membendung kesedihannya itu demi tidak terlihat lemah di hadapan Asri dan orang tua Bagas itu.

“Lancang kamu, Kirana.” Ibu nya Bagas merogoh tas miliknya, melemparkan sebuah cek kosong yang memang di niatkan untuk Kirana, agar wanita itu bisa mengisi nominalnya sendiri sesuai yang ia inginkan demi menjauhi putra sulungnya itu. “Ambil itu, kamu bisa mengisinya sendiri sesukamu. Tapi jauhi anak saya!”

klise dalam hati Kirana bergumam, seperti komedi, wanita itu menyeringai. Seringaian yang membuat Asri dan Ibu nya bagas membatin jika Kirana mungkin sudah tidak waras, padahal Kirana hanya merasa de javu saja jika adegan seperti ini ternyata terjadi dalam hidupnya, ia pikir hanya ada di dalam drama-drama saja yang pernah ia tonton.

Kirana bangkit dari duduknya, mengambil kertas kosong itu, melipatnya jadi dua dan memberikannya kembali pada orang tua Bagas. “Saya permisi dulu, Buk. Terima kasih atas minumannya siang ini.”

Setelah mengatakan itu, Kirana pergi dari sana. Berjalan secepat mungkin, menghalau beberapa pasang mata di cafe itu yang tengah melihat ke arahnya. Semua orang di cafe itu mungkin sudah tahu apa yang terjadi padanya, mengingat obrolan mereka saja sudah mengundang banyak kepala menoleh ke mejanya untuk mengetahui perselisihan itu.

Kirana mempercepat langkahnya, mengelap wajahnya dengan jemarinya sendiri dengan kecang sebagaimana kakinya terus berjalan menuju halte bus. Begitu sampai di halte bus, ia langsung masuk ke dalam bus dengan rute berlawanan dengan arah kantornya berada. Dia akan segera pulang ke rumah dan mengirimkan pesan pada Raga untuk mengatakan jika ia tidak enak badan, sehingga tidak dapat kembali ke kantor.

Sesampainya di rumah kecil yang ia sewa dari Kakaknya Raga, ia masuk ke dalam kamarnya. Ibu tentu saja belum pulang karena ini masih siang menjelang sore, biasanya Ibu akan pulang sehabis magrib. Kesempatan itu Kirana pakai untuk menangis sampai puas, sampai tenggorokannya sakit, sampai kepalanya pening, sampai matanya sembab dan sampai ia lelah dan akhirnya tertidur di ranjang sempit miliknya.

Ketika adzan magrib berkumandang dan Ibunya telah pulang, Ibu menyalakan lampu-lampu rumah mereka dan betapa kagetnya ketika mendapati Kirana tertidur di ranjangnya, nyaris saja Ibu mengambil sapu untuk memukul seseorang yang sedang tertidur di ranjang putrinya itu dengan gagang sapu.

“Kirana?” Panggil Ibu, wanita menghampiri Kirana dan sedikit mengguncangkan badannya.

“Um?” Kirana menggeliat, mereggangkan sedikit tubuhnya yang masih terbalut dengan baju yang ia pakai untuk bekerja hari itu. “Ibu udah pulang?”

“Sudah, kamu pulang duluan apa gimana? Kaget Ibu tiba-tiba kamu tergeletak di tempat tidur.”

Kirana beranjak dari ranjangnya untuk duduk dan memeriksa ponselnya, selama ia tidur ternyata Bagas terus menelfonnya, ada sederet pesan singkat juga dari Bagas, Almira, Mas Raka dan juga Raga. Namun, Kirana enggan membalas dan menaruh ponselnya itu di laci samping ranjangnya.

“Iya, Buk. Kebetulan tadi habis meeting dan jam nya mepet sama pulang kantor, jadi selesai meeting Kirana langsung pulang ke rumah,” alibinya.

“Yasudah, ganti baju, nduk.” Ibu tersenyum dan mengusap-usap kepala Kirana sebelum akhirnya keluar dari kamar putrinya itu.

Sehabis makan malam, Kirana mendapati pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Tadinya Ibu yang berniat membukakanya, namun Kirana menghalangi Ibu dan membiarkan dirinya membukakan pintu untuk tamu tersebut. Begitu pintu di buka, ia mendapati Bagas dengan wajah khawatir khas pria itu.

“Na, dari mana aja? Aku telfon kamu loh, kenapa gak di angkat? Mas Raka bilang setelah meeting kamu langsung pergi, dia pikir kamu mau langsung ke kantor lagi karena dia harus antar anaknya dulu, tapi ternyata kamu gak balik ke kantor,” cecar Bagas khawatir setengah mati.

Kirana berjalan dan duduk di teras depan rumahnya, memperhatikan lampu jalan malam itu yang begitu remang di depan rumahnya persis. “Gak habis dari mana-mana, Gas.”

Bagas menghampiri Kirana dan duduk di sebelahnya, “langsung pulang ke rumah?”

Kirana mengangguk, kini ia menatap pria di sampingnya itu. Ia tersenyum kecil, tanganya terulur mengusap wajah lelah Bagas malam itu. Hati kecilnya merasa bersalah telah membuat pria yang ia cintai itu khawatir padanya.

“Kabari aku ya, biar aku gak nyariin kamu. Kenapa gak balik ke kantor? Kata Pak Raga kamu gak enak badan?” Entah bertanya langsung pada Raga atau Raga memanglah yang membocorkannya hingga Bagas tahu, entahlah Kirana enggan bertanya hal itu pada Bagas.

Pikiran wanita itu terlalu penuh pada kata-kata, perlakuan dan tamparan siang itu yang di dapatkannya, bahkan pipinya masih agak sedikit kebas, jika ucapan menyakitkan itu adalah belati, mungkin tubuh Kirana sudah penuh darah dan luka disana sini.

“Iya gak enak badan, Gas.”

“Mau aku antar ke dokter?”

Kirana menggeleng, “gak usah, kamu pulang aja ya, aku cuma perlu istirahat.” Kirana kembali mengusap wajah pria itu, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya, membuat Bagas kian bertanya-tanya kenapa sikap Kirana sebegitu dinginya malam itu.

Bersambung...

Katakanlah Raga sudah gila kali ini, dalam seumur hidup Adel menjadi seorang Kakak untuk Adiknya itu, baru kali ini ia melihat Adik bungsunya itu merengek menginginkan sesuatu darinya. Pasalnya, sejak kecil meskipun menjadi anak bungsu Raga itu terlampau dewasa, bahkan di usianya yang dulu masih sangat muda.

Dan hal itu membuat orang tua mereka dan juga Adel sebagai anak sulung sama sekali tidak merasa kerepotan dalam membesarkan Raga, tapi hari ini Adiknya itu datang ke rumahnya, merengek pada Adel untuk membantunya mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sebuah rumah di daerah Gambir.

Rumah itu memang sudah lama di beli Adel, jauh sebelum ia menikah dengan Ethan. Bukan sebuah rumah besar yang mewah, hanya sebuah rumah sederhana yang memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dapur dan sepetak halaman kecil di depannya yang bisa di tanami tumbuhan alakadarnya.

Rumah itu memamg strategis secara letak, tidak berada di pinggir jalan persis, namun tidak jauh dari jalan besar dan halte pemberhentian bus, untuk mencapai ke stasiun juga sangat dekat. Bisa hanya dengan berjalan kaki jika ingin santai, membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk sampai stasiun.

Waktu itu Adel membelinya sebagai bentuk investasi nya, tapi sampai hari ini pun Adel belum menyewakan rumah itu bahkan enggak tau dia mau pergunakan untuk apa. Walau rumah itu masih ia rawat, ada sepasang suami istri yang selalu datang setiap pagi untuk membersihkan rumah dan juga sepetak halaman depan yang selalu di tumbuhi tanaman liar.

“Mbak, please lagian Mbak juga belum tau kan itu rumah mau di apain? Dari pada nganggur, Mbak. Mending disewain sama Kirana.” Raga mengikuti langkah kaki Adel kemanapun ia pergi, Adel ke dapur ia mengintil ke dapur, Adel ke ruang tengah untuk merapihkan tas sekolah Safira, Raga pun mengikutinya ke ruang tengah.

“Ya memang, tapi harusnya tuh kamu bilang dulu sama Mbakmu ini dari jauh-jauh hari Raga. Astaga, kan Mbak bisa bicarain sama Mas Ethan, kamu tau kan orang tua nya punya bisnis kontrakan 30 pintu? Kali aja kan ada yang kosong.”

Orang tua Ethan memang memiliki rumah dan kosan yang di sewakan, masih di daerah Jakarta juga kok. Ada yang di kawasan Johar Baru Jakarta pusat, Salemba Raya, Matraman dan juga daerah Lebak Bulus. Harganya pun masih terjangkau karena kebanyakan yang menyewa rumah dan kosannya adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.

“Ya karena Raga juga baru tahunya belum lama ini, Mbak. Mbak please..” Raga menarik-narik daster yang di pakai Mbak nya itu, Adel bersumpah jika daster itu sampai melar ia tidak akan segan-segan memukul tangan Adiknya itu.

Adel akhirnya duduk dikursi meja makan rumahnya, di ikuti oleh Raga yang juga menarik salah satu kursi meja makan tepat di sebelah Mbak nya itu. Wajahnya seperti seekor anak anjing yang tengah merayu majikannya, agar sang majikan bisa memberikannya cemilan.

“Kamu tuh beneran naksir sama pacar orang, Ga?” Cecar Adel yang membuat kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna.

“Ngaco!”

“Loh kok ngaco? Kalo kamu gak naksir sama Kirana, enggak mungkin sampai sebegininya.”

Raga masih terus menyangkal perasaanya, ia masih sadar dan sangat amat tahu diri kalau Kirana milik Bagas. Ia berulang kali menampar dirinya sendiri pada kenyataan bahwa hubungan keduanya sudah sangat serius, tapi entah kenapa. Raga hanya tidak nyaman melihat Kirana kesusahan, ya anggap saja ini karena empati Raga yang cukup tinggi dengan wanita itu.

“Raga tuh cuma kasian sama Kirana, Mbak.” Raga ogah menatap mata Mbak Adel, takut wanita itu kali-kali bisa membaca pikirannya.

“Kasian apa naksir? Kalau naksir kamu harus buru-buru sadar loh dia pacar orang, Ga. Kalian satu kantor pula, kalau pacarnya tau apa gak makin runyam kerjaanmu? Mbak gak mau ya kamu sampai ngerusak hubungan orang, dosa loh!” Adel akan sangat mendukung Raga dengan Kirana kalau Kirana bukan kekasih pria lain, ia hanya tidak ingin adiknya itu menjadi begundal.

“Mbak, beneran cuma mau bantu aja.” Raga mempertegas kembali niat baiknya pada Kirana itu.

Mbak Adel menghela nafasnya pelan, memperhatikan wajah Adiknya itu sampai akhirnya ia mengangguk. “Yaudah, Mbak gak bisa nemenin kamu sama Kirana ke rumah Gambir, kamu sendiri aja ya, kasih berapa harga sewa nya juga terserah kamu aja. Yang penting rumah itu di rawat dengan baik.”

“Serius, Mbak?!” Pekik Raga senang bukan main, persis sekali anak kecil yang berhasil di belikan mainan oleh orang tua nya.

“Iya.”

Begitu mendapatkan kunci rumah Mbak Adel yang di Gambir, Raga langsung melesat ke rumah itu untuk bertemu dengan Kirana. Ini benar-benar hal konyol yang pernah ia lakukan dalam seumur hidupnya, membujuk Mbak Adel untuk suatu hal yang ia inginkan. Untung saja Mbak nya itu cukup baik dan bijaksana, ya.. Mengingat ini pertama kalinya Raga menyusahkan Kakak sulungnya itu.

Begitu sampai di tempat halte ia dan Kirana bertemu, keduanya langsung menuju rumah Mbak Adel. Dari depan saja rumah itu cukup rapih untuk ukuran rumah yang sudah lama tidak di huni, tidak ada rerumputan liar panjang menutupi pagar rumahnya, semua tanaman yang tampak melilit pagar depannya itu tertata rapih, di depannya ada pohon asam jawa yang tumbuh besar, seperti tidak mengenal gergaji, tak pernah di tebang sedikit pun teras nya bersih bahkan saat rumah itu di buka menyeruak wangi lavender dari dalam.

Itu karena rumah ini baru di bersihkan oleh sepasang suami istri yang Mbak Adel pekerjakan hanya untuk membersihkan rumah itu setiap pagi, Raga dan Kirana masuk ke dalam rumah itu. Masih ada beberapa barang yang memang waktu itu Mbak Adel beli, seperti lukisan, meja di ruang tamu, sofa, lemari pakaian dan tentu nya peralatan dapur yang lumayan lengkap itu semua karena Mbak Adel suka sekali memasak.

“Bagus rumahnya, Pak.” Kirana tersenyum, rumahnya memang tidak terlalu besar. Sederhana namun terasa hangat. Memikirkannya saja Kirana sudah menerka-nerka jika harga sewanya mungkin sangatlah mahal, mungkin setara dengan menyewa apartemen plus biaya maintenance nya

“Mahal ya, Pak?” Kirana sedikit mengecilkan suaranya.

Raga terkekeh pelan, sejujurnya Mbak Adel yang memberikan kepercayaan pada Raga untuk menghargai sendiri berapa harga sewa untuk rumahnya. “Lima ratus ribu perbulan, tapi buat urusan listrik dan air kamu bayar sendiri. Gimana?”

“Hah?!” pekik Kirana, matanya membulat karena kaget bukan main, yang benar saja rumah dengan barang yang cukup memadai, di dekat jalan raya dan juga bangunan yang baik dihargai semurah itu? “Yang bener, Pak.”

“Serius, Kirana.”

“Engg..gak, Maksud saya. Dengan luas bangunan yang cukup luas, nyaman, perabotan yang masih bagus dan letaknya yang strategis Bapak hargai semurah ini?”

Kirana masih enggak percaya, dia takut Raga mengasihaninya sehingga memberikan harga murah untuk rumah milik Kakaknya itu yang ingin Kirana sewa. Kirana tetaplah Kirana, wanita tangguh yang sangat enggan dikasihani. Ia tidak menolak bantuan, jika ia memang sudah tidak sanggup.

“Mbak Adel sebenarnya cuma mau rumahnya ada yang merawat saja, Na. Biar ada yang huni karna belum tau mau di apakan sama dia.” Raga berusaha untuk bicara jujur, semoga saja Kirana cocok dengan rumah kakaknya itu. Hanya ini yang bisa Raga lakukan, karena ia tahu sekali jika Kirana menolak bantuan yang layaknya mengasihani dia.

“Tapi gak lima ratus ribu juga gak sih, Pak. Bahkan rumah-rumah yang lebih kecil dari ini pun harganya sudah sampai satu juta loh.”

“Ya gimana, Mbak Adel memang mintanya segitu, Na. Saya juga gak ngerti kenapa dia hargai segitu.”

Keduanya sempat terdiam, Raga dengan doa-doa harap cemas takut kalau Kirana menolak atau bahkan merasa tidak enak atau bahkan tidak cocok dengan rumahnya, dan Kirana yang masih betah untuk melihat-lihat rumah itu. Ia menyukai lukisannya, model rumahnya dan juga sirkulasi udara serta lingkungannya yang terbilang cukup nyaman. Dekat dengan toko Ibunya bekerja dan Kirana juga hanya menaiki 1 bus untuk sampai di kantor. Sangat amat strategis.

“Jadi, gimana, Na?”

Kirana tampak menimang-nimang pikirannya sebentar, akan sangat nyaman sekali menempati rumah ini, apalagi dengan harga sewa yang cukup murah. Dan sisa gaji nya bisa ia pakai untuk mencicil kembali hutang Bapak, sukur-sukur ia bisa menambung untuk mengambil kembali rumahnya.

“Saya mau, Pak.” Kirana tersenyum, menyodorkan tangannya pada Raga yang di sambut oleh pria itu. Melihat Kirana tersenyum membuat buncahan gila di perut Raga kembali meronta, rasanya ingin ia selalu pastikan senyum itu ada menghiasi wajah dahayu Kirana.


Tiba di rumah Raka, seperti biasa Asri langsung menemani Reisaka untuk bermain. Dia sudah tidak begitu canggung dengan bocah itu, meski terkadang ia agak kesulitan karna Reisaka begitu manja padanya. Selain menemaninya, mengajak bermain Asri juga mengajari Reisaka. Perannya selayaknya seoranh Ibu saja meski terkadang dia tidak menikmati hari-hari nya bersama Reisaka.

Semua Asri lakukan hanya untuk membuat Raka tetap diam, agar Raka tidak melakukan aksinya, membocorkan tentang masa lalu mereka ke orang tua Bagas. Hari itu Raka agak sedikit siang ke kantor, Asri sempat melihat foto-foto Raka dan Reisaka yang di taruh disebuah frame dan di letakan didekat meja TV. Wajah keduanya sungguh mirip, bukan hanya perawakan Reisaka juga mewarisi kecerdasan Ayahnya.

Pintu dari kamar Raka itu terbuka, menampakan Raka yang sudah rapih dengan kemeja biru laut yang ia kenakan, menenteng tas dengan rambut yang sudah klimis ia tata hingga rapih. Wangi dari parfum yang pria itu pakai juga menyeruak memenuhi rongga hidung Asri.

“Hari ini gue agak balik malam kayanya, kalau lo mau balik duluan sebelum gue pulang gapapa, nanti ada pengasuhnya Reisaka kok, udah gue telfon barusan.” Raka masih mempekerjakan pengasuh anaknya itu, ia masih belum mempercayai Asri sepenuhnya mengingat wanita itu sangat acuh pada anak mereka.

“Lo kerja di kantor arsitektur mana sih?” Asri basa basi ia ingin tahu saja meski sebenarnya sudah tahu.

“Kenapa nanya-nanya?” Raka mengangkat sebelah alis nya, memakai kaus kaki miliknya di sofa sembari memperhatikan Reisaka yang sedang makan di meja makan sembari menonton kartun dari tablet miliknya.

“Ya nanya aja.” Asri menaikan kedua bahu nya, memasukan kedua tangannya ke dalam kantung midi dress yang ia pakai. Memilin sepuntung rokok di dalam nya, mulut nya agak sedikit asam. Ia ingin sekali segera merokok setelah Raka pergi. “Seukuran arsitektur kaya lo harusnya udah bisa punya firma sendiri, kenapa milih kerja sama orang lain?”

Raka menghela nafasnya pelan, berdiri dari sofa yang ia duduki dan kini menatap Asri dengan pandangan yang sungguh memuakkan. “Ngapain ngatur-ngatur? Lo bukan bini gue lagi.”

Raka mengatakannya dengan berbisik, membuat kemarahan Asri rasanya mencuak. Ingin sekali ia tampar wajah tampan itu atau ia pukul sesekali karena telah menekan alarm kemarahan di dalam dirinya, sebatang rokok yang tadi ia pilin diam-diam di dalam saku dress nya itu patah, hancur berkeping-keping hingga tembakau nya keluar dari lintingannya. Asri memilinnya terlalu keras demi melampiaskan emosinya pada Raka.

Begitu Raka pergi, Asri nyaris saja berteriak jika ia tidak sadar kalau Reisaka masih bersamanya. Jadi, yang ia lakukan adalah berdiri di balkon dan menyalakan sebatang rokok. Menghirupnya dalam dan mengepulkan seluruh asap nya ke udara, nafasnya naik turun berusaha menahan segala amarahnya.

Asri melamun, menatap pohon bonsai kecil yang Raka taruh di balkon rumahnya sebagai tanaman hias di sana. Pikiran Asri melayang pada mimpi-mimpi buruk pasca melahirkan Reisaka dulu, Asri pernah bermimpi yang sangat panjang, menyakitkan dan terus berlanjut selama beberapa episode sepanjang ia tidur malam.

Mimpinya berlanjut bagai sebuah serial drama yang tayang setiap hari, awalnya Asri bingung karena sejak ia bangun dari masa kritis nya pasca melahirkan, mimpi itu bermunculan terus. Bahkan meskipun Asri terganggu dengan mimpi itu ia enggan untuk datang ke psikiater untuk berkonsultasi untuk mengetahui ada apa dengan dirinya.

Pernah suatu ketika ia membaca dan menonton sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan sebelumnya, ia jadi terpikirkan jika mimpi sialan yang menganggunya itu adalah sebuah kehidupan di masa lalunya 127 tahun yang lalu. Terbukti dengan itu semua, ia bertemu kembali dengan orang-orang yang ada di mimpinya.

Bagas, Raka, Raga, bahkan Kirana yang dahulu hidupnya terlampau enak namun tetap ada kemalangan. Tapi dari pada hidup Kirana yang malang karena tidak bisa menikah dengan pria yang ia cintai, kehidupaan Asri didalam mimpi itu jauh lebih malang. Dimimpi itu Asri adalah seorang wanita pribumi miskin yang malang, ia dijual orang tua nya sendiri kepada orang Belanda.

Ia telah menjadi seorang babu di rumah orang Belanda itu bahkan pernah Asri ditiduri oleh majikannya sendiri berkali-kali, jika ia melakukan kesalahan maka para Belanda itu tidak segan-segan untuk memukulnya. Suatu ketika ia tengah di perintahkan untuk bekerja di kebun, tentunya di bawah pengawasan para orang Belanda yang juga bekerja di sana.

Asri terjatuh, ia di tolong oleh seorang pria pribumi yang baik hati. Asri sempat melihat sekilas wajahnya, tampan, tinggi, berbadan kurus dan kulitnya kecoklatan. Sejak saat terbangun Asri baru menyadari jika pria pribumi yang tidak ia ketahui namanya itu dalam kehidupan saat ini adalah Bagas teman masa kecilnya dahulu.

Dalam mimpinya Asri bahkan sempat mencari tahu soal pria pribumi yang membantunya, namanya Adi ternyata. Seorang jongos yang bekerja oleh saudagar Gumilar, orang tua dari Ayu. Dalam diam, Asri jatuh cinta pada pria itu. Sampai akhirnya ia mengetahui kalau pria itu hanya mencintai majikannya sendiri.

Bahkan di hari kematian Adi, Asri datang melayat tanpa orang tua Adi dan tetangganya tahu jika selama itu pula ia sering memperhatikan Adi. Pria itu mati dengan tubuh yang begitu kurus, pucat dan begitu tenang. Soal mimpi-mimpinya Asri enggak pernah cerita dengan siapapun, ia pendam dan cari tahu semuanya sendiri.

Kini kehidupan telah berubah, suami Ayu di masalalu kini pernah menikah dan memiliki anak dengannya, sementara Ayu yang kini adalah Kirana masih berpacaran dengan Bagas yang dulunya adalah Adi. Dan Jayden.. Pria itu, pria Belanda yang katanya seorang asisten residen Samarang, yang di kenal baik pada pribumi di kehidupan sekarang ini bahkan Raga masih sendiri. Hidupnya bahkan tetap beruntung bergelimbang harta dan jabatan.

Asri menghembuskan asap dari rokok yang nyaris sudah tandas itu ke udara. Ia tidak ingin hidupnya kembali miris di kehidupan ini, bagaimana pun caranya ia harus menikah dengan pria yang ia cinta dari kehidupan sebelumnya.

Bersambung..

Sudah satu minggu ini Bagas merasa ada yang aneh dari Kirana, wanita itu kerap kali bersikap dingin padanya. Meski mereka masih mengobrol tapi rasanya berbeda, senyum wanitanya terlampau redup, Kirana sering sekali menghindar saat Bagas hendak mengantarnya pulang. Selalu ada saja alasan agar Bagas berakhir tidak mengantarnya pulang.

Misalnya saja kemarin, saat jam kerja mereka sudah berakhir. Kirana bilang ia dan Almira ingin pergi bersama, dan Bagas akhirnya membiarkannya. Tapi alasan itu terus saja berlanjut, pernah juga Kirana sedang memantau proyeknya dengan Raka dan Bagas sudah mengatakan padanya akan menjemput wanita itu di lokasi proyeknya.

Tiba-tiba saja saat Bagas dalam perjalanan, Kirana bilang jika ia akan janjian dengan temannya. Bagas tidak berpikir macam-macam misalnya saja seperti Kirana selingkuh, Bagas lebih berpikir apa ia telah membuat kesalahan atau Kirana benar-benar sedang sibuk, atau wanita itu memang benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri.

Yang jelas perubahan sikap Kirana ini cukup membuat Bagas nyaris kelimpungan, hari ini karena lebih sering melihat wajah Bagas yang kusut, Satya berinisiatif untuk mengajak pria itu nongkorong di sebuah pagelaran musik indie yang berada di kawasan Taman Ismail Marzuki, rencananya sih Satya hanya ingin bertemu dengan temannya saja di sana. Namun Bagas justru mengajaknya menonton pagelaran itu di sana, pria itu mencoba menghalau pikiran tentang mengapa Kirana menghindarinya.

“Minum nih biar gak kusut.” Satya memberikan segelas es kelapa dengan gula merah pada Bagas dan pria itu langsung mengaduk isinya dan menyeruputnya. Seketika rasa haus dan perpaduan antara gurihnya kelapa dan manis dari gula merah itu cukup sedikit menghiburnya.

thanks ya, Mas.”

Satya mengangguk, pria itu duduk di sebelah Bagas sembari melihat pagelaran musik indie tersebut. Banyak sekali remaja dan orang-orang seumuran mereka yang datang dan memenuhi tempat itu, berlomba-lomba untuk berdiri paling depan. Mengingat band yang akan tampil itu sedang naik daun, namun Bagas dan Satya tetap asik memilih tempat di paling belakang agar bisa duduk dan sesekali berbincang dengan para seniman disana.

“Ada apa sih, Gas? Lagi ribut sama Kirana?” Mengingat di kantor pun Kirana dan Bagas jarang berbicara dan terlihat berdua, lebih tepatnya Kirana yang lebih sering bersama dengan Almira. Satya berpikir mungkin Kirana dan Bagas sedang bertengkar, hal lumrah yang di alami oleh kebanyakan pasangan.

“Enggak ngerti, Mas.” Bagas menatap lurus pada setiap punggung orang-orang disana yang mulai melambaikan tangan ke kanan dan kiri ketika band indie tersebut mulai menyanyikan lagu. “Kirana kaya lagi ngehindarin gue atau perasaan gue aja kali ya, sikapnya enggak kaya biasanya.”

“Udah coba di ajak ngobrol belum?”

Bagas menghela nafasnya kasar, “gimana mau di ajak ngobrol, kalo gue dateng ke rumahnya, dia gak ada, kadang kalo pun ada dia pasti sambil ngerjain sesuatu, ya masak lah, ya ngerjain laporan dia lah, yang nanti tiba-tiba nerima telfon lah.”

“Bisa begitu kenapa awalnya? Gak mungkin kan dia tiba-tiba begitu? Cewek begitu tuh pasti ada sebabnya, Gas.” Satya seperti seorang petuah, padahal pengalaman percintaanya pun enggak banyak. Hanya sekali berkencan lalu melamar kekasihnya itu walau sempat di tolak dengan alasan belum siap.

“Kalau gue bilang Kirana kaya gitu dengan tiba-tiba lo percaya gak, Mas?” Bagas menoleh ke arah Satya dan Satya mengangkat kedua bahu nya.

“Tapi masa iya Kirana kek bocah begitu sih, Gas? Kayanya dia bukan tipe cewek yang tiba-tiba ngediemin gak jelas deh.”

Bagas mengusap wajahnya dengan gusar, berusaha menghalau kerisauan hatinya dengan menikmati lantunan musik indie yang sedang dibawakan. Sesekali ia memeriksa ponselnya, kali-kali Kirana telah membalas pesannya atau bahkan menelfonnya. Namun hanya ada pesan dari Asri yang tidak sama sekali Bagas berniat membalasnya dan pesan dari Kanes yang bertanya kapan ia akan segera menemuinya.

Sementara Satya asik berbincang dengan salah satu seniman yang duduk di sebelahnya, Bagas tidak menyimak apa saja yang mereka obrolkan. Pikirannya terlalu rumit, ia sudah menentukan kapan ia akan melamar Kirana dan dengan cara apa ia akan melamarnya, bahkan minggu ini ia meminta bantuan Kanes untuk menemaninya membeli cincin untuk melamar Kirana.

“Tapi lo jadi kan, Gas. Buat ngelamar Kirana? Coba deh, sebelum ngelamar dia lo ajak dia ngobrol dulu? Tanya ada apa. Atau lo coba tanya sama Almira, kali aja cewek lo cerita sesuatu ke Almira kan?” Usul Satya yang dijawab anggukan kecil oleh Bagas, ada benarnya juga ucapan Satya tersebut. Mungkin Almira tahu sesuatu.

“Nanti gue coba nemuin Almira kali ya, Mas.”

Satya menepuk bahu Bagas, mencoba menenangkan kawannya itu. Satya tidak paham bagaimana risaunya Bagas karena ia sendiri tidak pernah mengalaminya, sakit nya tentang asmaranya yang tak berjalan mulus hanya tentang penolakan lamaran kekasihnya dulu, dan itu semua beralasan yang masuk akal dan dapat Satya terima.

Perlahan satu persatu orang yang memadati Taman Ismail Marzuki telah meninggalkan tempat, hari hampir malam tapi Bagas enggan pulang. Ia sempat mengajak Satya mengitari Jakarta malam hari, membeli beberapa minuman kaleng di minimarket dan ngobrol berdua di hutan kota. Untungnya Satya mau, ya mungkin karena pria itu juga sedang senewen dengan urusan pekerjaan dan pernikahannya yang akan di selenggarakan tahun depan.

“Lo ngerasa ada yang aneh gak, Mas?” Bagas ingin melihat tentang Raga dari kacamata orang lain. Bisa saja penilaiannya tentang pria itu salah kan.

“Aneh apaan?” entah hisapan ke berapa dari rokok yang Satya pegang di sela jari nya, asapnya ia kepulkan ke udara setelah itu ia tenggak kembali kaleng minuman berisi soft drink tersebut. Satya sempat bergedik, karena sensasi dingin serta soda yang seperti meletup-letup di tenggorokannya itu.

“Soal Pak Raga.”

“Kenapa sama Raga?” Satya memang sering memanggil Raga dengan namanya saja, karena mereka memanglah seumuran. Lagi pula, ini bukan di kantor jadi ia tidak memanggilnya dengan sebutan “Pak.”

“Sikap Pak Raga ke Kirana, apa gak berlebihan ya?”

Satya mengerutkan keningnya bingung, “berlebihan gimana maksudnya?”

“Lo ingat waktu Pak Raga masuk rumah sakit gak?” Bagas menoleh ke arah Satya dan pria itu mengangguk. “Pak Raga sebelum pingsan dia telfon Kirana dulu, Kirana yang bawa dia ke rumah sakit. Maksud gue, kenapa harus cewek gue sih? Dia kan juga deket sama lo ya? Ada gue juga. Atau siapa kek temen dia yang lain, keluarga kek? Kenapa harus Kirana.”

Satya mengangguk-angguk, dalam hati ia membenarkan ucapan Bagas. “Iya juga sih, ah. Tapi bisa aja itu karena Kirana kontak terakhir yang dia hubungin? Karena setahu gue, waktu Raga di rawat kan, mereka sempat mantau proyek bareng gak sih? Ya mungkin entah Kirana atah Raga sempat telfonan, makanya Raga jadi ngehubungin nomer terakhir yang dia hubungin buat minta tolong?”

“Itu yang pertama, ya gue anggap alasan ini masih masuk akal. Yang kedua, Pak Raga yang sewain rumah Kakaknya buat Kirana, Mas. Dia kasih harga sewa yang menurut gue gak masuk akal buat rumah yang bagus kaya gitu.”

“Lu kok jadi kaya gak seneng gitu sih, Gas. Cewek lu dapet rumah sewaan bagus dan murah?”

“Bukan gitu, Mas. Gue seneng kok, tapi gue lagi tanya soal perlakuan Pak Raga ke Kirana loh.”

“Lo cemburu?” tebak Satya. Yang sebenarnya dibenarkan oleh Raga dalam hatinya. Namun pria itu menggeleng.

“Cuma aneh aja.”

“Cemburu ini mah, fix.” Satya menjentikkan tangannya. “Tapi yah wajar juga sih Kalo elu mikirnya begini, Gas. Tapi coba kita ambil positif nya aja deh, bisa aja kan Raga cuma bersimpati sama Kirana karena Kirana bawahanya di kantor?”

“Berarti gue aja kali ya, Mas. Yang berlebihan?” Bagas merasa perasaanya belum tervalidasi, ia ingin meyakinkan sekali lagi. Tapi ia juga berpikir kalau mungkin ia saja yang menyikapinya berlebihan.

“Cemburu wajar, Gas. Elo cuma terlalu sayang aja ama Kirana.” Satya menepuk-nepuk pundak Bagas layaknya seorang kakak laki-laki kepada Adik laki-lakinya. “Balik yok, udah jangan di pikirin lagi, besok dateng ke rumahnya ajak ngomong.”

Bagas mengangguk pelan, keduanya bangun dari tempat mereka duduk dan segera meninggalkan hutan kota itu yang sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang saja di sana yang masih setia mengobrol ngalur ngidul tengah malam, menikmati semilir angin kota Jakarta dan lampu-lampu kota yang masih setia menyala.


Setelah meninggalkan Bagas di teras rumahnya, Kirana langsung masuk ke kamarnya. Ia tahu Bagas tidak akan langsung pulang, ia bisa mendengar dari balik pintu kamarnya jika ibu sempat mengajaknya masuk dan makan malam sebentar. Tentu saja Bagas akan menurut pada ibu, Kirana bahkan mendengar obrolan keduanya tentang Bagas yang bertanya pada ibu ada apa dengan Kirana dan ibu yang menjelaskan sekedarnya dengan mengatakan bahwa Kirana sedang tidak enak badan saja.

Tentu saja Bagas tidak langsung percaya karena dihari-hari berikutnya, pria itu masih bertanya pada Kirana ada apa dengannya. Sungguh, Kirana tidak marah dengan Bagas. Namun menatap wajah pria yang sangat amat ia cintai itu, selalu saja berhasil mengingatkannya pada ucapan orang tua nya siang itu. Kirana menepi, ia ingin menenangkan dirinya dulu dan berpikir jernih tentang apa yang harus ia lakukan pada hubungannya.

Jika dikatakan ia sedikit menjauhi Bagas, tentu saja bisa dibilang seperti itu. Bahkan Almira saja mengetahui itu karena Kirana meminta bantuan wanita itu untuk selalu bersamannya terus, tiap kali pulang ke rumah dan bertarung dengan sepinya malam dibalik dinding-dinding dingin rumahnya, berteman dengan hanya mendengar deting dari jam dinding kamarnya.

Kirana akan melawan sepi dan sakit dengan menangis semalaman hingga ia kelelahan, kemudian tertidur dengan memeluk erat boneka Mickey Mouse yang Bagas beri padanya saat merayakan hari jadian mereka yang ke 3 tahun. Saat mereka masih muda, masih berkuliah. Di kantor pun, Kirana mengurangi interaksinya dengan Bagas.

Jika Bagas mengajaknya untuk istirahat bersama, maka Almira akan menjadi senjatanya ia akan mengatakan “gak bisa, aku sama Almira mau makan di mall dekat sini, mau nemenin Almira beli make up.” Atau ia mengatakan, “aku bawa bekal, sayang.” Atau, “aku ada janjian sama kontraktor proyek, kamu makan duluan aja ya.”

Dan setiap kali Bagas ke rumah Kirana, jika Kirana sedang ada di rumah maka ia akan meminta tolong pada ibu untuk mengatakan pada Bagas jika ia sedang keluar. Tentunya semua perilaku Kirana menuai tanda tanya pada ibu, namun setiap kali Kirana ditanya ada apa antara dia dan Bagas, maka Kirana hanya akan menjawab “gapapa, Buk. Kirana lagi pengen sendiri dulu aja.”

Hari ini, Kirana memang memantau proyek bersama dengan Raka. Ia menyuruh Raka pulang duluan saja tanpa mengantarnya ke halte bus, karena Almira akan menjemput Kirana. Ia sengaja pulang agak sedikit malam agar jika Bagas ke rumahnya, pria itu tidak akan bertemu dengannya. Dan sejujurnya, Kirana menghalau sepi dengan cara lebih banyak di luar dibanding di rumah, kebetulan Ibu sedang menginap di rumah temannya untuk mengurus pesanan yang jumlahnya enggak sedikit.

sorry ya, Mbak. Aku belum beres-beres kamar kost.” Almira membuka pintu kamar kostnya, menampakan kamar yang berukuran 4x5 itu agak sedikit berantakan.

Kirana masuk ke dalamnya, terlihat dengan jelas jika ranjang gadis itu sedikit berantakan memang. Ada baju-baju yang belum sempat Almira bawa ke laundry dan baju dari laundry yang Almira belum sempat susun di lemari, ada poster-poster dari boygrup dan girl grup yang sering dibicarakan oleh wanita itu juga. Dan tak lupa perintilan Almira tentang dunia fangirl nya.

Seperti gelang konser yang memang ia pajang di meja belajarnya. Kirana tersenyum, ia menyingkirkan novel-novel yang bekas Almira baca di atas sofa wanita itu dan duduk di sana. Cukup nyaman, ukuran kosan itu terbilang besar bisa di sebut semi studio apartement bahkan letaknya ada di lantai 2.

Jika Kirana hidup sendiri seperti Almira, mungkin ia berminat untuk sewa kamar kost seperti ini yang terlentak di lantai 2. Tapi sayangnya, Kirana masih hidup berdua dengan ibunya. Kaki ibu sudah tidak sekokoh dulu yang mampu naik turun tangga, ibu bahkan sering mengeluhkan kakinya sakit.

“Gapapa, Mir.”

“Mbak mau minum apa? Aku pesenin go food deh ya kita makan berdua?” Almira mengambil ponselnya dan nampak menggulir layar ponselnya tersebut.

“Gausah repot-repot, Mir. Aku cuma mau ngaso aja kok.”

“Gak kok, Mbak suka pasta kan?” Almira sedang ingin makan pasta, ah makanan western gitu sepertinya menguggah selera nya setelah tadi siang perutnya panas sehabis makan ayam geprek.

“Apa aja, Mir.” Kirana melihat-lihat gelang-gelang bekas Almira konseran, rata-rata VIP. Mungkin jika Kirana iseng untuk menghitung total berapa uang yang di keluarkan wanita itu, bisa jadi Almira sudah menghabiskan 60jt hanya untuk konser saja. Itu pun belum termasuk merch yang ia simpan di kotak bawah meja nya.

“Mbak, Mas Bagas chat aku nih.” Almira menghampiri Kirana yang masih duduk di sofa dan menunjukan pesan yang dikirimkan oleh Bagas. Pria itu bertanya apakah Kirana sedang bersamanya atau tidak.

“Duh.. Bilang aja gak ya, Mir. Aku lagi gak pengen diganggu dia.”

“Oke.” Almira mengangguk-angguk.

Sesudahnya ia menyimpan ponselnya dan duduk di ranjangnya, ranjang itu bersebrangan dengan sofa tempat Kirana duduk. Dan Almira memperhatikan Kirana, wajah wanita itu nampak risau. Bingung apa yang sedang di lakukannya, kemudian sempat mengintip keluar jendela. Kemudian, begitu sadar Almira memperhatikannya Kirana menatap wanita itu dengan wajah bingungnya.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Harusnya aku loh yang tanya, Mbak. Kamu tuh aneh tau akhir-akhir ini, kenapa sih? Lagi berantem sama Mas Bagas?” Karena sudah tidak tahan sebab selalu dilibatkan dalam pelarian Kirana demi menghindari Bagas, akhirnya Almira bertanya pada wanita di depannya itu.

“Aku sebenarnya sama Bagas baik-baik aja, Mir.” Kirana menghela nafasnya, kembali teringat akan segala penolakan keluarga Bagas dan juga Asri padannya. Kirana rasa ia perlu bercerita dengan seseorang.

“Terus?”

“aku yang menghindari Bagas.”

“Tapi pasti ada alasannya dong, Mbak?”

Kirana mengangguk pelan, “Mir, apa yang akan kamu lakuin seandainya keluarga pacarmu gak merestui hubungan kalian?”

“Hhmm..” Ditanya seperti itu, Almira berpikir dulu sejenak. Pasalnya ia pun belum pernah mengalami hal seperti itu. “Mungkin aku liat dulu kali ya, Mbak. Cowokku gimana, dan tanya ke dia gimana sama hubungan kami. Um, gini loh Mbak. Kan aku menjalin hubungan sama cowokku bukan sama keluarganya, kalo dia mau mempertahankan hubungan kami ya, why not?

Alasan Almira ada benarnya juga, tapi biar bagaimanapun tidak semudah itu bagi Kirana. Ini bukan hanya masalah hanya ia dan Bagas yang menjalani hubungan ini, ia tidak ingin hubungan Bagas dan keluarganya rusak hanya karena Bagas membelanya. Hubungan tanpa restu pihak keluarga itu berat menurut Kirana.

Karena Kirana diam dan hanya menunduk saja, akhirnya Almira pindah duduk ke sebelah wanita itu. “Mbak? Ini bukan tentang hubungan kamu sama Mas Bagas kan?”

“Iya, Mir.” Kirana mengadahkan kepalanya dan menatap Almira dengan air mata yang mengembang di pelupuk matanya. “Ini tentang aku sama Bagas.”

“Mbak...” Almira yang melihat mata Kirana berkaca-maca itu langsung berhambur memeluk temannya itu. “Kenapa kamu gak cerita, Mbak?”

“Aku bingung, Mir. Bagas membelaku di depan keluarganya, dia mempertahankan hubungan kami yang rumit. Tapi seminggu yang lalu orang tua nya bertemu denganku dan meminta aku menjauhi anak mereka, bahkan Bagas sudah dijodohkan dengan perempuan lain, Mir. Yang mungkin jauh lebih baik dariku.”

Tangis Kirana tumpah, ia memeluk Almira erat. Menangis di pundak wanita itu seperti menumpahkan seluru gundahnya, berharap perasaanya sedikit lega dan ia bisa kembali pulang tanpa membawa beban banyak di pundaknya.

“Tapi Mas Bagas tahu soal ini, Mbak?”

Kirana mengurai pelukan Almira dan mengambil tissue yang diberikan Almira padanya. “Bagian dijodohkan Bagas tahu, Mir. Dia menolak, tapi bagian aku bertemu beberapa kali dengan Ibu dan perempuan yang dijodohkan dengannya dia gak tau.”

Almira menatap prihatin pada wanita di depannya itu, Almira gak tau ternyata dibalik sikap aneh Kirana akhir-akhir ini. Wanita itu tengah memendam masalah yang menyulitkannya hingga fokus nya terpecah, beberapa kali Almira mendapati Kirana tengah melamun atau menjadi lebih pendiam dari pada biasanya.

“Kamu gak coba cerita ini ke Mas Bagas, Mbak?”

“Aku gak mau bikin hubungan Bagas dan orang tua nya makin hancur, Mir. Bagas bahkan udah meninggalkan rumah orang tua nya dan gak pernah berkunjung lagi ke sana.”

“Kalau kamu gak cerita, gimana masalah ini mau selesai, Mbak? Kalian menjalani hubungan ini berdua loh. Aku gak kenal kalian lebih lama, tapi Mas Bagas kelihatan bingung banget Mbak dengan perubahan sikap kamu.”

Kirana mengangguk, ia setuju dengan itu. “Aku berniat untuk menjauhi Bagas, Mir. Mungkin, pilihan terberatku adalah melepaskan dia.”

“Mbak..” Kedua bahu Kirana merosot, teringat akan niat Bagas yang akan segera melamar Kirana bulan ini Almira ingin mengatakan niat Bagas itu, bermaksud mungkin Kirana akan mengurungkan niatnya. Namun disisi lain ia sudah berjanji tidak akan membocorkan hal itu pada siapapun, lagi pula, Almira tidak bisa ikut mengurusi hubungan kedua temannya itu lebih jauh, ia hanya bisa mendengarkan cerita keduanya.

“Mas Bagas mau mempertahankan hubungan mu loh, Mbak. Kamu yakin?”

“Aku udah yakin, Mir. Aku udah pikirin ini, aku mungkin gak masalah mereka hina aku, tapi mereka juga hina keluargaku dan kematian Bapakku, Mir. Sulit menjalani hubungan tanpa restu keluarga, memaksakan cuma bakalan nyakitin aku dan Bagas dikemudian hari. Aku gak mau sumpah serapah mereka mungkin buatku terkabul dan makin bikin hidupku susah, Mir. Lebih baik Bagas kembali pada keluarganya.”

Almira sangat amat prihatin pada Kirana, ia kembali memeluk wanita itu dan ikut menangis bersamanya. Hatinya juga sakit, entah hinaan apa yang diucapkan oleh keluarga Bagas sampai-sampai Kirana memilih untuk mundur dalam hubungannya.

Bersambung...