KLM

Jeong Yuno, Go Younjung, Lee Juyeon

Sudah dua hari Kirana dan Raga berada di Surakarta dan selama itu pula Kirana benar-benar bahagia karena bisa merasakan kembali memiliki rumah yang hangat dan orang tua yang lengkap, Mama nya Raga yang selalu baik dan mengajaknya dalam semua kegiatan rumah itu membuat hari Kirana menghangat bahwa betapa diterimanya ia dikeluarga pria itu. Kemarin saat baru pertama kali datang, Mama mengajaknya untuk makan bersama di meja makan, bertukar kabar satu sama lain dan sempat ada air mata dikedua wajah wanita itu saat Kirana menceritakan kepergian Ibunya beberapa waktu yang lalu.

Setelah itu hanya ada tawa saja karena Mamanya Raga itu mengajak Kirana ke toko bunga miliknya, memamerkan betapa cantiknya Kirana pada setiap pelanggan yang datang ke toko bunganya. Melihat wajah wanita yang sudah tidak muda lagi itu Kirana bisa melihat jika rupa dari Raga dan Adel itu lebih banyak diwarisi oleh Mama mereka kecuali lesung pipi Raga. Itu warisan dari Papa, Adel memiliki paras yang sangat mirip dengan Mama seperti hidung kecil yang cukup mancung, tubuh tinggi dan kulitnya yang putih itu, ah tidak lupa dengan tahi lalat di wajah sebelah kirinya. Raga pun juga memiliki tahi lalat yang diwariskan dari Mama nya itu.

Dan sifat kedua anak itu lebih mirip sang Papa, apalagi kalau sudah urusan memperlakukan pasangan mereka. Selama berada di Surakarta Kirana bisa tahu betapa manisnya hubungan Papa dan Mamanya Raga walau sudah dimakan usia. Keduanya masih sering berkencan hanya berdua, memasak berdua, bahkan Kirana pernah melihat kedua orang tua Raga itu saling menyuapi ketika sedang bersantai di depan TV. Pantas saja Adel dan Raga tumbuh menjadi pribadi yang hangat karena tangki cintanya sudah terisi penuh dari kedua orang tua nya.

“Tambah lagi sayang.” begitu cara Mamanya Raga memanggil Kirana. Mama juga meminta pada Kirana untuk tidak memanggilnya dengan sebutan tante melainkan Mama, Mama siap menjadi Ibu untuk Kirana.

“Hhmm.. Kenyang, Mah. Aku makan udah banyak banget nih.” Kirana memperlihatkan piringnya yang berisi nasi dan lauk yang masih lumayan banyak. Masakan Mama dan Papanya Raga itu enak, makanya rasanya Kirana puas sekali makan selama di Purwakarta dan dari sinilah ia bisa sedikit demi sedikit belajar berbagai menu yang sebelumnya belum pernah ia masak.

“Na, Raga tuh kalau pulang ke rumah orang tuanya pasti berat badannya naik. Lihat saja tuh pipinya sudah tembem, dikit lagi juga perutnya buncit,” celetuk Papa tiba-tiba. Pria itu terkekeh melihat putra bungsunya itu makan dengan lahapnya, Raga memang selalu menikmati semua makanan yang ia makan.

“Nanti kalau perut aku buncit ini berarti salah Papa sama Mama yang nyuruh aku makan mulu,” protes Raga dengan mulut pria itu yang masih penuh dengan makanan.

“Loh kok salah Papa sama Mama, kita kan cuma masak ya, Pah. Jangan salahin dong kalau masakannya enak makanya kamu jadi makan melulu ya kan, Na?”

Kirana mengangguk, ia tidak kuat menahan tawanya. Apalagi saat melihat Raga cemberut sembari memakan makanannya itu, tapi sejujurnya yang dikatakan orang tua Raga itu benar baru dua hari berada di Surakarta tapi pipi Raga sudah mulai mengembang, pria itu makan banyak sekali belum lagi Raga suka mengajak Kirana untuk mencari makanan di luar ada saja tempat-tempat yang selalu Raga ajak untuk sekedar makan.

“Kalau di Jakarta dia bagaimana, Na? Pasti makannya asal-asalan ya?” tanya Mama lagi.

“Eh udah enggak dong, Mah. Sekarang Kirana yang masakin Raga dia setiap hari bawain bekal buat Raga tau.”

Mama tersenyum, wanita itu melihat ke arah Kirana. Lega beliau ternyata Kirana dan Raga sudah semakin dekat sejujurnya Mama menginginkan anaknya itu segera melamar Kirana untuk menjadi istrinya, namun itu semua Mama serahkan saja pada Raga. Biar bagaimana pun juga Raga yang lebih tau kapan waktu yang tepat untuk meminta Kirana menjadi bagian dari keluarga mereka. Kirana audah bercerita tentang hubungannya terdahulu bersama Bagas, Mama yang bertanya awalnya. Mama hanya ingin memastikan anak bungsunya itu tidak merebut kehabagiaan orang lain.

“Benar itu, Na? Pantas aja udah kelihatan chubby itu pipinya. Terima kasih ya, Na. Kalau Raga protes-protes soal makanan, kamu marahin aja ya.” pasalnya Raga dahulu suka agak memilih makanan, jika rasanya dirasa tidak pas dengan seleranya. Pria itu tidak akan makan dan lebih memilih membeli makanan saja.

Kirana terkekeh, “enggak kok, Mah. Mas Raga malah enggak pernah protes sama masakan Kirana. Kalau ditanya enak apa enggak pasti jawabanya enak banget atau gak enak besok bikin lagi ya. Pasti selalu gitu.”

Papa menjentikkan jarinya, kalau sudah begini beliau tahu jika masakan Kirana itu sesuai dengan selera putranya. “Berarti, Na. Masakanmu itu masuk ke seleranya Raga makanya dia gak protes. Hei, Ga. Kamu juga jangan enak-enak makan bantuin Kirana masak, sekali-kali kamu belajar masak biar bisa gantian masakin Kirana.”

“Mas Raga bantuin kok, Pah. Walaupun kadang suka kaya ngerecokin juga.”

Raga tersenyum bangga merasa Kirana membelanya, “Masakannya Kirana itu mirip-mirip masakan Mama sama Mbak Adel makanya Raga gak protes.”

Selesai makan, Raga sempat diajak Papa nya untuk membeli beberapa pupuk untuk tanaman mereka. di belakang rumah selain memelihara ternak seperti ayam, bebek dan burung. Papa dan Mama Raga itu juga senang sekali bercocok tanam keduanya lakukan bersama hingga tanaman-tanaman itu tumbuh begitu subur di belakang rumah. Khusus di bagian depan rumah itu, memang sudah ada pohon yang umurnya sudah tua sekali. Pohon mangga dan nangka, kadang tetangga sekitar juga sering sekali menikmati buah hasil panen nya. Sedangkan Kirana dan Mama, kedua wanita itu sedang bersantai di ruang TV. Menikmati semilir angin dari jendela yang memang dibuka oleh Mama dari pagi hingga sore hari, Mama mengambil sebuah album foto dan duduk di sebelah Kirana.

“Ini album foto khusus Raga waktu dia masih kecil sampai kuliah, Na. Mau lihat?” Karena untuk pertama kalinya Raga membawa wanita ke rumahnya, Mama ingin sekali memperlakukan wanita yang dibawa Raga itu dengan baik, termasuk memperkenalkan putranya itu. Memberitahu seluk beluk Raga agar Kirana dapat mengenal Raga lebih dalam lagi apalagi ini dari sudut pandang orang tua nya sendiri.

Kirana mengangguk, “Mau, Mah.”

“Kita buka sama-sama yah.” Pada lembar pertama album foto itu ada foto seorang bayi laki-laki yang sangat tampan, matanya kecoklatan, hidungnya mungil, rambutnya tebal yang sedang menangis. Seperti foto baru lahir, dibawahnya ada nama Raga. Jagaraga Suhartono.

“Ini waktu Raga baru lahir, Na. Ganteng sekali, mirip Papanya banget. Anak ini kalau nangis kencang sekali sampai waktu itu bayi-bayi lain di ruang bayi ikut terganggu karena suara tangisan Raga.”

“Beneran, Mah?” Kirana terkekeh. “Kok lucu banget sih, terus akhirnya gimana?”

Mama tersenyum, mengusap foto bayi dialbum foto itu penuh dengan kasih sayang. “Ya akhirnya Raga lebih sering tidur sama Mama di ruang rawat dari pada di ruang bayi.”

Mama kembali membuka album foto itu lagi, menampakan Raga dari usia satu tahun hingga lima tahun. Seiring bertambahnya umur wajah bocah laki-laki itu berubah, wajah yang tadinya lebih mirip Papanya itu kini ada sirat wajah Mama disana. Raga berumur satu tahun sedang tersenyum melihat ke kamera, ia sedang duduk dengan sendok bayi di tangannya. Lalu foto saat Raga berumur dua tahun, ia sedang menangis di depan kue ulang tahunnya entah kenapa bocah itu menangis, di sebelahnya ada bocah perempuan juga yang Kirana tebak itu adalah Adel.

“Ini, Mbak Adel ya, Mah?” Kirana menunjuk bocah perempuan di sebelah Raga itu.

Mama mengangguk kecil dan tersenyum, “iya ini Adel. Mukanya enggak berubah banyak yah. Raga sama Adel itu waktu kecil beda banget deh, Na sifatnya walau begitu mereka tetap akur.”

“Oh ya, Mah? Beda kenapa?” Kirana jadi semakin penasaran, ia sudah pernah diceritakan oleh Adel tentang Raga saat kecil dan remaja namun tetap saja ia penasaran dengan cerita dari versi Mama.

“Kalau Adel itu benar-benar definisi perempuan sekali, cerewet senang banget dia tuh cerita-cerita hal-hal ringan, suka banget masak, pakai kutek, beli pernak pernik rambut. Pokoknya dia feminim sekali deh, kalau Raga anak itu lebih kalem. Enggak banyak bicara lebih suka menyimak obrolan dan orang-orang disekitarnya, dari dulu senangnya belajar. Kaya belajar itu sudah jadi hobi dia sejak kecil, enggak ada kegemaran lain dari anak itu sampai Adel nyuruh Raga buat nyari hobi lain di luar sana. Tapi yang sama dari mereka itu, mereka sama-sama ambisius kalau udah punya keinginan pasti harus tercapai.”

“Mama dulu suka kerepotan gak ngurus Mas Raga waktu masih remaja?”

Mama menghela nafasnya pelan, tersenyum sembari menatap foto Raga saat wisuda yang terpajang di dinding ruang tamu rumah itu. “Enggak, Na. Raga itu lempeng banget anaknya beneran mudah sekali ngarahin dia tuh, Mama beruntung sekali bisa punya anak yang baik-baik. Makanya Mama lega sekali waktu Raga juga bertemu sama perempuan sebaik kamu.” Mama mengusap kepala Kirana dari samping, menaruh rambut Kirana itu kebelakang telinganya.

Kirana yang mendapat perlakuan manis seperti itu oleh orang tua dari pria yang sedang dekatnya itu rasanya terharu sekali, kedua matanya berkaca-kaca dan ia beringsung memeluk Mama nya Raga itu. Ia senang bukan main ia diterima di keluarga yang sangat amat hangat itu, melihat Mama ia jadi merindukan Ibunya. Dan Kirana melampiaskan itu semua dengan memeluk Mama erat dan menangis disana.

“Kirana boleh peluk Mama terus kan, Mah?” ucap Kirana di sela-sela isaknya.

“Boleh sayang, Mama senang banget bisa dipeluk seperti ini. Kirana juga boleh anggap Mama kaya Ibu Kirana sendiri, Nak.”

Kirana menangis dalam pelukan wanita itu, rasanya nyaman seperti dipeluk Ibunya sendiri. Ada rasa egois dalam diri Kirana yang mengingkan untuk lebih lama berada di Surakarta agar bisa dekat dengan Mamanya Raga itu.

“Sayang, kalau Raga menyakiti kamu. Bilang sama Mama dan Papa ya, kami akan marahin dia karena udah menyakiti kamu.”

🍃🍃🍃

Masih ada waktu hingga besok malam bagi Raga dan Kirana untuk kembali ke Jakarta, hari ini Raga mengajaknya jalan-jalan kesekitaran Surakarta. Alih-alih menggunakan mobil miliknya, Raga memilik untuk menggunakan motor miliknya. Motor itu masih dirawat oleh Papanya tidak pernah dipakai sama sekali jika tak ada Raga di rumah, pagi itu pada hempasan angin yang menerbangkan rambut panjang Kirana, Raga dapat melihat wajah cantik di belakangnya itu tersenyum, sorot matahari pagi itu mengenai wajah indahnya yang justru membuatnya nampak semakin indah seperti menyatu dengan keindahan alam sekitar.

Entah mendapat keberanian dari mana, Raga menarik tangan Kirana dan menaruh tangan itu untuk melingkar di pinggangnya. Dan dari kaca spionnya Raga dapat melihat Kirana tersipu malu dengan semburat kemerahan di wajahnya, wajah yang terlihat seperti wanita dewasa itu terkadang mengingatkannya akan Ayu. Di perjalanan sesekali Kirana berceloteh tentang Mama yang mengajarinya cara merangkai bunga dan merawat bunga agar tidak mudah layu, tentang resep yang Mama ajari pada Kirana dan tentang masa kecil Raga.

Apapun yang Kirana ceritakan Raga senang sekali mendengarnya, terkadang jika berhenti di pertigaan lampu merah. Kedua tatapan mereka bertemu dan Raga maupun Kirana akan tersenyum malu-malu. Pagi itu Raga mengajak Kirana ke benteng Vastenburg benteng yang didirikan oleh Belanda di tahun 1745 itu, Raga baru saja mendapat kabar jika hari ini ada pertunjukan teater disana dan Raga melihatnya disosial media, tema dari teater ini sungguh menarik minatnya untuk mengajak wanita dibelakangnya itu menikmatinya bersama, tentang seorang wanita di tahun 1898 yang dijual ke seorang pria Belanda dan dijadikan seorang gundik. Katakanlah Raga mengajak Kirana ke tempat itu untuk mengulang kembali memori kehidupan mereka terdahulu.

Motor yang Raga kendarai itu berhenti disebuah parkiran, tak lupa ia membantu Kirana untuk membuka helmnya dan sedikit merapihkan rambut wanita itu yang agak berantakan. Setelahnya, ia menggandeng tangan Kirana dan masuk ke dalam benteng itu. Waktu mereka datang teater itu belum mulai, namun pengunjung yang datang hari itu sudah cukup ramai memadati area benteng. Keduanya sempat masuk dan melihat-lihat bagian dalamnya dahulu, begitu keduanya masuk suasana langsung berubah baik Kirana maupun Raga merasa seperti terlempar ke kehidupan mereka sebelumnya, melihat bagaimana bangunan itu berdiri dengan kokohnya dengan dinding-dinding tebal dan tinggi yang terbuat dari batu dan bata yang warnanya bahkan telah memudar menjadi keabuan.

Permukaanya tidak rata ada retakan halus bekas lembab hingga cat yang sudah mengelupas, lorong-lorong di sepanjang sisi benteng terhimpit dan dingin, menebarkan bau basah yang bisa Kirana dan Raga cium. Kirana sempat menoleh ke sebuah tempat yang terdapat jendela dengan jeruji-jeruji besi yang dari luar saja sinar matahari terik dapat masuk dengan mudahnya, Dibeberapa titik cahaya itu terpotong bayangan yang menciptakan garis-garis lebih besar dari ukuran benda sebenarnya, itu adalah bayangan jeruji.

“Kamu tau gak benteng ini dibangun dulu bukan buat lindungin kota,” ucap Raga tiba-tiba, pria itu tadi berada beberapa langkah dibelakangnya dan kini sudah berada di samping Kirana.

Wanita itu mengangguk pelan, “buat ngawasin keraton?”

“Yup.” Raga mengangguk-angguk kecil, kedua tangannya ia taruh dibelakang punggungnya. “Belanda bikin ini supaya tetap memegang kendali, fungsinya memang buat mengawasi.”

Raga menunjuk sebuah lapangan diujung sana, yang membuat arah mata Kirana juga tertuju ke tempat yang di tunjuk pria itu. “Disana itu tempat latihan tentara.”

Kirana benar-benar larut, sisa ingatan masa lalu nya itu benar-benar kembali. Ia jadi teringat Jayden dulu pernah ingin mengajaknya menaiki kereta api ke Solo atau Jogjakarta, namun itu semua belum terlaksana karena Ayu keburu menikah dengan Dimas dan diboyong oleh suaminya itu ke Surabaya. Dan dikehidupannya yang sekarang ini Raga mengajaknya ke Solo ia merasa seperti Jayden sedang menepati janjinya saat ini. Kirana menoleh ke arah Raga yang berada di sebelahnya itu, pria dengan tinggi menjulang itu rambut yang biasa ia tatap dengan warna hitam legam itu kini dimatanya berubah menjadi pirang nyaris putih, dengan hidung lancip dan kulit putih pucat. Pria itu menoleh ke arahnya dan tersenyum, bukan lagi Raga dengan badan tegap dan berisinya melainkan Jayden dengan tubuh tinggi kurus serta rahangnya yang tegas itu.

“Saya sudah tepati janji saya untuk mengajakmu ke Solo kan walau enggak naik kereta api?” dan suara yang ia dengar kali ini adalah milik Jayden.

Kirana mengangguk, “Sir Jayden tau gak saya jahit surjan untuk Sir Jayden pakai ukuran tubuh siapa.”

Raga hanya menggeleng pelan, melihat kedua manik mata yang sangat tenang itu dengan sorot binarnya yang beberapa hari ini tidak redup. Raga akan pastikan binar itu tidak akan hilang dari mata wanitanya lagi. “Romomu?”

“Bukan, tapi tubuh Mas Adi, lalu hanya aku tambah beberapa senti agar sesuai dengan tubuh Sir Jayden dan syukurlah surjan itu muat ditubuhmu.”

Tidak ada perasaan cemburu saat Kirana mengatakannya, bagi Raga atau Jayden sendiri Adi menjadi satu-satunya saksi bagaimana cinta kedua anak manusia itu tumbuh hingga akhir perjalanan hidup mereka. Setelah mengatakan itu pertunjukan teater akan segera di mulai, Raga kembali mentautkan jemarinya pada jemari tangan Kirana dan mengajak wanitanya untuk mengambil tempat di kursi-kursi yang sudah disediakan, pertunjukan seni itu d mulai aktor-aktor keluar dari tempat mereka dan memperkenalkan diri, pertunjukan itu berjalan sangat khidmat, Kirana sangat menikmati akting dari aktor-aktor teater itu.

Sebuah cerita masa lalu tentang seorang gadis bernama Anjani yang di jual oleh Bapaknya sendiri ke seorang Belanda untuk dijadikan gundik, Anjani muda itu awalnya memang hanya dijadikan pemuas nafsu pria Belanda yang menikahinya sampai akhirnya pria itu jatuh cinta seutuhnya pada Anjani, gadis itu diajari membaca, menulis, berbahasa Belanda, mengurus perternakan bahkan berdagang semua ilmu itu ia dapatkan dari pria Belanda itu. Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama karena istri dari pria Belanda itu menyusul suaminya ke Hindia Belanda.

Mengetahui suaminya memiliki seorang gundik, istri pria itu marah besar dan menjual Anjani untuk dijadikan pelacur tentara-tentara Belanda. Anjani akhirnya meninggal di usianya yang ke 25 tahun karena terkena sifilis, cerita yang singkat namun berhasil membuat pertahanan Kirana luruh sebagai seorang wanita. Ia sedikit menitihkan air matanya, mengingat ia pun pernah melihat langsung bagaimana wanita-wanita itu menjadi budak para Belanda pada kehidupan masa lalunya. Setelah selesai menikmati pertunjukan itu, Raga kembali mengajak Kirana ke Kampung Batik Laweyan, ia ingin sekali mengajak wanita itu ke banyak tempat di daerah kelahirannya.

Begitu memasuki kawasan Sidoluhur suasana jalan perlahan-lahan berubah, jalanan agak sedikit menyempit menyerupai gang-gang kecil yang dibatasi oleh tembok-tembok tinggi disisi kanan dan kirinya. Tembok-tembok itu bukan semata-mata hanya dibuat untuk membatasi antara rumah-rumah tetapi juga menjadi bagian sejarah peninggalan tentang para saudagar batik menjaga privasi sekaligus kekayaan mereka. Raga sempat memarkirkan motornya disana dan mengajak Kirana untuk berjalan kaki saja, kebetulan tempat-tempat disekitarnya cukup unik karena terdapat bangunan-bangunan tua bergaya Jawa dan Kolonial, dibeberapa bangunan disekitar sana terdapat pintu besar dengan ukiran-ukiran sederhana berdampingan dengan jendela tinggi berdaun ganda.

“Mas fotoin aku disini mau gak?” Kirana melepas pegangan tangan mereka dan memberikan ponselnya pada Raga, ia ingin dipotret didekat bangunan bergaya Jawa itu.

Raga nggak menjawab, ia justru memberikan ponselnya dan menunjukkan pada Kirana jika sedari tadi pun ia memotret Kirana diam-diam, ketika wanita itu sedang berjalan Raga memotretnya dari belakang, ketika Kirana sedang tersenyum pada seorang Ibu-Ibu Raga pun memotretnya, sampai Kirana yang sedang mendongakkan kepalanya melihat langit Surakarta yang siang itu cukup cerah pun Raga memotretnya. Terlalu disayangkan jika indahnya hari itu tak ia abadikan dalam sebuah gambar. Apalagi, Kirana sedang cantik-cantiknya.

“Ihhh kamu dari tadi fotoin aku? Jahil banget sih.” Kirana mencubit lengan Raga, ia kemudian mengambil alih ponsel milik Raga dan melihat-lihat foto-fotonya disana. Cukup memuaskan, untuknya pose yang sangat amat natural itu dibidik dengan angle yang sangat pas sehingga Kirana terlihat seperti seorang model sunguhan. “Kamu ada bakat motret juga ya, Mas? Padahal cuma pakai HP loh.”

“Pernah belajar dikit-dikit. Kamu suka?”

Kirana mengangguk, “banget malahan, tapi masih mau foto aku kan?”

“Mau dong, mau aku fotoin dimana?” Raga mengambil ponsel yang Kirana berikan itu.

“Umm..disebelah sana ya?” Kirana menunjuk bangunan berkhas jawa itu. Daun pintu bangunan itu mengingatkannya akan rumahnya dulu, rumah yang disita untuk melunasi hutang Bapak.

Raga langsung mengangguknya dengan cepat, Kirana pun langsung berjalan ke arah bangunan tersebut dan mulai berpose terkadang Raga pun mengarahkan pose untuk Kirana agar terlihat natural. Raga tidak sadar, sedari tadi kedua bibirnya itu tertarik mengukir sebuah senyuman hanya dengan melihat Kirana tersenyum ke arah kamera ponselnya. Dalan hati tak henti-hentinya ia memuji kecantikan wanita itu apapun yang ada pada diri Kirana terlalu indah baginya. Mereka kembali berjalan menelusuri gang demi gang sampai akhirnya mereka sampai disebuah rumah yang memproduksi kain batik, keduanya sempat melihat-lihat proses pembuatannya.

Bahkan Kirana sempat mencoba melukis batik dan ternyata baginya cukup sulit namun ia menikmatinya, bahkan Kirana bilang ke Raga kalau ia memiliki kesempatan untuk belajar membatik ia akan ambil kesempatan itu. Ketika mereka mampir ke salah satu toko disana yang menjual baju batik mereka membeli batik dengan motif dan warna yang sama persis. Kirana memilih model dress selutut dan Raga kemeja setelahnya Raga sempat mengajak Kirana untuk makan dulu sebelum ia mengajak Kirana ke tempat selanjutnya. Ada satu warung yang menjual selat Solo yang selalu Raga kunjungi setiap kali ia kembali ke rumah orang tuanya dan ia mengajak Kirana ke sana.

“Enak gak?” tanya Raga.

“Enak banget..” Kirana tersenyum, selama berada di Surakarta Kirana selalu makan dengan lahapnya. Semua makanan yang Mama nya Raga buat itu selalu pas di lidah Kirana. “Habis ini mau kemana lagi, Mas?”

“Ke pasar malam Ngarsopuro. Belum pernah kan?” Raga ingin mengajak Kirana ke sana untuk kembali berburu makanan enak seperti serabi dan es dawet, biasanya akan ada pertunjukan dari musisi jalanan. Ia juga ingin membawakan souvenir untuk teman-teman kantornya jadi mungkin Raga akan membelinya disana.

“Belum, tapi sayang yah, Mas. Besok udah harus pulang padahal aku masih betah banget disini masak-masak sama Mama terus liat Papa berkebun juga.” Kirana menghela nafasnya pelan, tinggal di rumah Raga dua hari itu rasanya ia bisa menemukan kembali keluarga yang telah hilang. Rasanya seperti ia benar-benar pulang ke rumah disambut oleh kedua orang tua, rasanya seperti terobati.

“Nanti kalau liburan lagi kita ke sini lagi ya, sekalian bareng Mbak Adel sama Mas Ethan juga.” Raga sempat berpikir jika ia ingin mengajak Kirana untuk bergabung ke firma tempatnya bekerja itu, rasanya sangat sulit mengajak wanita itu berkencan jika Kirana dilarang libur di akhir pekan. Ini pun Kirana meminta izin sakit dari atasannya karena Raga mengajaknya ke Surakarta. Rasanya bentrok sekali dengan jadwal Raga yang hanya senggang di akhir pekan.

“Na?”

“Ya, Mas?” Kirana sudah selesai dengan makanannya, ia menumpuk piring itu menjadi satu bersama dengan piring Raga yang memang sudah selesai makan sedari tadi. Hal kecil seperti inilah yang ia dapatkan selama bekerja di toko kue, hal yang tidak semua pelanggan dapat lakukan. Padahal hal kecil seperti menyusun piring bekas makan menjadi satu dimeja seperti ini dapat memudahkan pelayan untuk membersihkannya.

“Kamu gak kepengen kembali ngantor lagi? Apa kamu lebih nyaman kerja di toko?”

“Kepengen sih, Mas. Tapi aku masih ngerasa bisa nyium bau Ibu kalau masih tetap disana. Menurut Mas bagaimana?” Kirana memiringkan sedikit kepalanya menghadap ke Raga, ia ingin meminta pendapat pria itu.

“Menurut aku? Hmm.. Kalau aku, apapun yang buat kamu nyaman aku dukung aja. Aku cuma mau kamu nyaman aja, Na. Tapi kalau kamu mau ngantor lagi bilang ya, aku bisa minta tolong Mas Ethan buat bantu kamu kerja di kantorku.”

Kirana mengangguk, “Mas Satya sebenarnya juga nawarin ke aku buat kembali kerja di kantor lama sih, Mas. Tapi nanti aku pikir-pikir dulu ya.”

Raga tersenyum, ia mengusap pucuk kepala Kirana sebelum berdiri dan membayar makanan mereka berdua. Keduanya langsung melesat ke Pasar Malam Ngarsopuro ternyata benar yang Raga ucapkan jika disana ramai sekali, ada berbagai makanan yang dijajahkan disana serta toko-toko yang menjual souvenir khas Solo seperti scarf batik, gantungan kunci, baju dan beberapa juga ada yang menjual barang antik. Kirana dan Raga sempat membeli souvenir dan kudapan untuk teman-teman kantor Raga, dan untuk mereka berdua Raga membeli gelang yang modelnya sama persis. Hanya ada tawa dan canda malam itu, ketika ada sebuah pertunjukkan dari musisi jalanan yang sedang bernyanyi. Keduanya berhenti, ikut bernyanyi bersama. Bahkan Raga dengan percaya dirinya ikut bernyanyi sampai-sampai Kirana tersipu karena betapa manisnya lagu yang di pilih oleh pria itu.

Diperjalanan pulang sialnya mereka berdua kehujanan, karena jarak dari Pasar Malam Ngarsopuro cukup jauh untuk sampai ke rumah Raga. Raga memilih mengajak Kirana ke toko bunga milik Mama untuk berteduh disana. Rambut Raga sudah basah kuyup, ia juga hanya mengenakan kaos karena jaket miliknya ia berikan pada Kirana. Untungnya ada handuk di lemari toko bunga itu, itu milik Papa. Papa memang suka mandi di toko karena mudah berkeringat jika melakukan pekerjaan ringan seperti membantu Mama menyusun bunga-bunga, mengangkut Cellophane atau Kertas Wrapping Buket. Makanya Mama selalu menyediakan handuk dan alat mandi disana.

Toko bunga nya cukup luas, ada lantai dua di ruko nya yang Mama dan Papa gunakan untuk ruang bersantai. Jika sedang malas pulang ke rumah, biasanya Mama dan Papa juga menginap disana. Dan kali ini Raga yang memakai ruangan itu, ia memberikan handuk di pundak Kirana setelah ia selesai mengeringkan tubuhnya. Tadi Kirana sempat melihat-lihat lukisan yang ada disana sembari menyesap teh melati.

“Dingin gak?” ucap Raga yang membuat Kirana sedikit terkejut karena pria itu tiba-tiba datang dan melingkarkan tangannya di pinggang rampingnya.

“Lumayan, kamu udah minum?” Kirana sempat menoleh ke samping dan langsung bertabrakan dengan wajah Raga yang juga sedang berada di bahu nya. Kirana bahkan bisa merasakan aroma parfum dan tubuh pria itu.

“Udah tadi.”

Kirana berbalik, ia menaruh mug yang berisi teh melati itu di atas meja. Kemudian mengalungkan tangannya di leher Raga. Menatap pria itu lekat dan menganggumi betapa tampannya pria yang dikehidupan dahulu adalah kekasihnya, lama kelamaan tatapan mata Raga seperti menghipnotisnya membuat kesadaran Kirana terkikis perlahan-lahan sehingga tanpa ia sadar ia sudah mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu, baik Raga maupun Kirana memejamkan mata mereka hingga kini Kirana bisa merasakan bibir pria itu jatuh di bibirnya, Raga mengecup bibirnya dengan lembut dengan kedua tangannya yang masih ia letakkan di pinggang ramping wanitanya.

Suara hujan yang tadinya mendominasi ruangan itu kini berpadu pada suara decapan dari bibir Raga dan Kirana, dengan mudahnya Raga mengangkat tubuh mungil wanita itu dan menidurkannya di sofa bed yang ada disana tanpa melepaskan pautan bibir mereka, udara di sekitar keduanya terasa panas namun Raga enggan membuka pakaian yang ia kenakan apalagi pakaian milik Kirana. Ia ingin menjaga wanitanya, ia hanya ingin menyalurkan rindu setelah bertahun-tahun mencari sosok wanita bermata indah itu, sosok yang mengingatkannya pada bunga melati. Di kehidupan partamannya Raga mati karena di bunuh oleh pribumi yang memberontak, pada kehidupan keduanya Raga terlahir kembali namun tak menemukan sosok wanita bermata indah itu, maka ia mati sia-sia pada usianya yang ke 25 tahun karena kecelakaan mobil.

Pada kehidupan ketiga Raga kembali lahir, sebagai seorang pria kaya di Eropa dan kembali mencari wanitanya. Ia yakin Ayu terlahir kembali dan ia hanya butuh usaha untuk menemukannya dibelahan bumi mana wanitanya itu kembali. Sayangnya saat itu Raga tidak berhasil menemukan wanitanya dan ia kembali mati sia-sia karena serangan jantung, pada kehidupan keempatnya ia terlahir kembali dan bertemu pada wanita yang ia yakini Ayu. Mata yang berbinar itu dan aroma melati yang melekat pada dirinya namun wanita itu masih sangat belia untuk dirinya yang berumur 50 tahun kala itu. Maka kematiannya kembali sia-sia dalam keputus asaan dan kesepian maka dikehidupan kelima ini ia kembali terlahir namun sayangnya ingatan akan kehidupan masa lalunya itu menghilang sampai mimpi itu datang kembali dan betapa beruntungnya ia bisa menemukan dan memiliki wanita itu kembali. Raga berjanji takan ia sia-siakan hidupnya kali ini.

Bersambung...

Setelah selesai mastikan baju dan berkas-berkas yang akan ia bawa ke Finlandia, Bagas duduk disamping ranjangnya dan menatap strip fotonya bersama Kirana kenangan yang ingin ia bawa bersamanya. Besok pagi Bagas akan pergi untuk pindah ke luar negeri ia sudah berpamitan melalui pesan singkat pada Kanes dan sayangnya Adiknya itu tidak bisa mengantarnya ke bandara besok pagi karena Kanes ada urusan di kampusnya. Bagas menghela nafasnya pelan, senyum yang terukir di bibirnya itu seperti sebuah senyum menyakitkan. Kenangan manis saat berfoto bersama Kirana itu seperti belati yang menusuk-nusuk hatinya.

Sampai saat ini Ibu dan Ayah masih terus mencoba menghubungi Bagas, karena tidak ingin terus diganggu akhirnya Bagas mengubah nomer pribadinya. Asri pun masih terus menghubunginya lewat telefon bahkan ke surel miliknya, wanita yang telah menjadi istrinya itu memohon pada Bagas untuk bertemu karena ia ingin minta maaf. Sayangnya pintu maaf itu sudah tertutup untuk wanita itu, Bagas ingin memulai hidup barunya di kota yang baru dan menyembuhkan rasa sakitnya. Setelah menaruh foto itu di koper nya, Bagas menutup kopernya itu dan menarunya di dekat pintu keluar kamar hotelnya. Ia ingin pergi ke rumah Kirana, ingin bertemu dengan wanita itu untuk sekedar berpamitan sebelum ia pergi jauh.

Mobil milik Bagas itu sudah dibawa pulang oleh Kanes dan sekarang ini Bagas naik taksi untuk sampai ke rumah Kirana, pagar rumahnya tidak digembok jadi Bagas berinsiatif untuk langsung masuk dan mengetuk rumah itu. Namun dari luar saja rumah itu terasa sepi, biasanya jika Kirana ada di dalam rumah wanita itu suka membuka kaca depan agar udara dari luar bisa masuk ke dalam rumahnya. Baru saja tangannya itu melayang ingin mengetuk pintu rumah Kirana namun gerakannya itu terhenti ketika dari pantulan kaca jendela Kirana menampakan seseorang dibelakangnya, Bagas menoleh. Pria yang lumayan Bagas kenali itu adalah tetangga sebelah rumah Kirana.

“Nyari Mbak Kirana, Mas?” Tanyanya pada Bagas, dan pertanyaan itu langsung di jawab dengan anggukan kecil oleh Bagas.

“Kirana nya ada gak yah, Mas?”

“Mbak Kirana nya gak ada kayanya, Mas. Sudah beberapa hari enggak terlihat, terakhir saya lihat itu dia pergi sama pacarnya.”

Mendengar ucapan pria didepannya itu yang menyebut pacar Kirana itu, Bagas menduganya jika pria yang dimaksud adalah Raga. Mengingat Kirana malam itu datang bersama dengan Raga, tampak serasi dengan Kirana yang mengamit lengan pria itu. Ah, mengingatnya lagi membuat hatinya terasa pedih. Luka yang belum kering itu rasanya seperti terkoyak. Bagas menunduk dan mengangguk pelan. Jadi benarkah keduanya sudah menjadi sepasang kekasih? Apa Kirana benar-benar sudah melupakannya? Mengingat saat wanita itu datang ke pernikahannya Kirana nampak baik-baik saja, apa hanya dirinya saja yang terluka? Begitu ada banyak pertanyaan di kepala Bagas akan Kirana namun ia seperti tidak bisa mendapatkan jawaban dari siapapun kecuali dari wanita itu sendiri.

“Yaudah, terima kasih yah, Mas.” Ucap Bagas dan pria tetangga Kirana itu hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkannya.

Bagas masih mematung disana, ia tidak tahu harus kemana lagi. Ia tidak ingin menghubungi Kirana dan bertanya wanita itu ada dimana, ia tidak memiliki keberanian itu. Akhirnya Bagas memilih untuk bertemu dengan Raka saja. Kebetulan mereka memang sudah janjian, ada yang banyak sekali ingin Bagas bicarakan pada Raka, mengenai Asri dan masa lalu mereka. Bagas sama sekali tidak membenci Raka, justru karena Raka lah ia jadi tahu bagaimana sifat asli Asri selama ini.

Keduanya bertemu di coffe shop tak jauh dari kantor mereka dulu berada, ternyata Raka sudah datang lebih dulu. Bahkan pria itu sudah memesan minuman dan kudapan disana, Bagas hanya memesan segelas amerikano saja ia sedang tidak ingin makan apapun rasanya. Akhir-akhir ini nafsu makan Bagas memang sedikit berkurang, ia sadar jika dirinya terlalu setress memikirkan banyak hal mulai dari pernikahan, hidupnya sendiri, kebohongan Asri bahkan hubungan Kirana dengan Raga.

“Udah lama, Mas?” tanya Bagas begitu ia duduk di kursi depan meja Raka berada, pria itu tadi sedang fokus dengan MacBook miliknya. Sepertinya Raka memang sedikit sibuk, tapi Bagas bersyukur Raka bisa meluangkan waktu untuknya.

“Lumayan, Gas. Tapi santai aja gue juga sambil ngerjain kerjaan kok.”

Bagas mengangguk, “makasih ya, Mas. Udah nyempetin datang buat ketemu sama gue.”

“Sejujurnya gue sendiri juga pengen ngajak lo ketemu, Gas. Memang ada yang mau gue omongin tapi ternyata lo udah ngajak duluan.” Raka terkekeh. “by the way boleh gue yang ngomong duluan, Gas?”

Bagas mengangguk pelan, memberikan kesempatan itu pada Raka yang tampaknya ingin berbicara serius. Atau bahkan menjelaskan tentang hubungannya dulu dengan Asri kalau Raka sudah menjelaskan kan Bagas jadi tidak perlu repot-repot bertanya lebih jauh walau tetap saja ada yang ingin ia katakan pada pria itu setelahnya. Kedewasaan keduanya untuk tetap melanjutkan pertemanan mereka memang patut diacungi jempol, tidak ada dendam baik Raka maupun Bagas. Dari sisi Raka ia justru merasa kasihan pada Bagas yang sudah dibohongi oleh Asri, biar bagaimana pun pria itu tidak tahu. Dan dari sisis Bagas, ia justru salut pada keteguhan Raka sebagai orang tua tunggal yang membesarkan putranya, Raka bahkan enggak pernah mengajarkan pada Reisaka untuk membenci Ibu kandungnya sendiri, setelah apa yang Asri lakukan pada bocah kecil itu.

Bagas pernah membayangkan jika ia berada diposisi Raka, mungkin ia takan sekuat itu. Bahkan Bagas pernah berpikir jika Raka ingin melakukan balas dendam pun, walau ia sendiri tidak memaklumi setidaknya Bagas mengerti.

“Pertama-tama gue mau minta maaf sama lo Gas karena udah hancurin pernikahan lo sama Asri dan buat malu keluarga lo waktu itu. Sejujurnya gue sama sekali enggak berniat buat lakuin itu semua, gue memang ingin datang karena lo mengundang gue. Gue pengen ngucapin selamat ke lo. Waktu itu, gue memang gak berniat ajak Reisaka. Tapi hari itu dia lagi rewel banget dan kepengen ikut gue, jadi gue ajak dia. Harusnya gue bisa nahan Reisaka dari awal.”

Reisaka yang berlari dan memeluk Asri itu memang bukan skenario Raka, ia memang membawa Reisaka bukan untuk membantunya membuat Asri malu tapi karena bocah itu tidak ingin ditinggal olehnya, makanya Raka mengajaknya.

“Gapapa, Mas. Gue bisa ngerti bukan sama Reisaka juga, ini perilaku alami seorang anak yang ketemu Ibu nya. Dia cuma mau ngutarain kekecewaanya aja, gue justru kasian sama Reisaka karena udah punya Ibu kasar kaya gitu.” Bagas benar-benar kasihan dengan bocah itu, Reisaka hanya tau Ibunya baik dari cerita Raka. Padahal jauh dari kata itu Asri sangat menolak dan menyembunyikan Reisaka dalam hidupnya, seolah-olah anak itu bukan bagian dari dirinya yang pernah ia lahirkan.

“Salah gue juga, Gas. Karena terlalu baik nyeritain Asri ke dia, harusnya gue gak kasih tau banyak tentang Asri. Bahkan harusnya gue bilang Ibunya udah mati aja.” Raka menunduk, jika ia bisa memutar ulang waktu. Ingin rasanya ia urungkan niatnya memberitahu Reisaka tentang Ibunya, atau jika ia bisa. Ia ingin sekali menghapus ingatan anak itu tentang Ibunya.

“Mas, kenapa dari awal elo gak kasih tau gue kalo Asri itu adalah mantan istri lo?” ini adalah pertanyaan yang sedari kemarin menganggu pikiran Bagas, jika Raka benar-benar menganggapnya teman. Harusnya Raka memperingatinya dari awal kan?

“Gue diancam sama orang tua nya Asri, Gas. Dia ngacam gue kalo gue kasih tau hal ini ke elo, mereka bakalan ambil Reisaka dari gue. Karena Reisaka masih sangat kecil waktu itu, hak asuh dia jatuh ke tangan Asri. Maaf, Gas. Gue gak bisa kehilangan anak gue.” satu-satunya kelemahan Raka sekarang ini adalah Reisaka. Tanpa anak itu Raka tidak bisa bertahan rasanya.

Bagas mengangguk-angguk, sekarang ia mengerti. Orang tua yang baik adalah orang tua yang selalu berpihak pada anaknya. “Sekarang Reisaka gimana, Mas?”

“Dia gue titipin di tempatnya Almira, Gas. Karena orang tua nya Asri selalu datang ke apart gue buat maksa ambil Reisaka.” beberapa kali Raka memang adu argumen pada orang tua Asri itu, orang tua Asri menganggap Raka tidak menyepakati perjanjiannya untuk tidak pernah hadir di hidup Asri lagi apalagi menampakan diri di hari penting wanita itu. Makanya akhir-akhir ini orang tua Raka itu selalu mendatangi rumahnya untuk mengambil alih Reisaka, tentunya Raka tidak diam saja. Ia akan berperang melawan Asri dan orang tua nya di pengadilan agar hak asuh Reisaka jatuh ketangannya sepenuhnya.

“Gue juga minta maaf, Mas. Gue gak berniat ngerebut Ibunya Reisaka dari lo.”

“Lo juga korban, Gas. it's okay. ah, ngomong-ngomong lo sama dia gimana?” yang Raka ingat adalah Bagas sempat marah sewaktu Asri mendorong Reisaka, ia tidak yakin setelah kejadian itu semuanya akan baik-baik saja.

“Gue tinggalin Asri, Mas. Gue mau pindah, mungkin ini jadi pertemuan terakhir kita. Lagi pula, orang tua gue cuma nyuruh gue menikah sama Asri kan, dan gue udah lakuin itu. Tapi kalau untuk menjadikan dia istri seutuhnya buat gue, gue enggak bisa. Karena perasaan itu bahkan enggak pernah tumbuh dari awal.”

“Lo mau pindah ke mana, Gas?”

Bagas hanya tersenyum, meskipun Raka temannya. Ia tetap akan merahasiakan hal ini. Tetap hanya Kanes saja yang akan tahu ia akan pergi kemana dan diizinkan olehnya untuk menyusulnya kapanpun adiknya itu mau. Setelah selesai berbicara dengan Raka, Bagas kembali ke hotelnya ia melihat foto-foto di ponselnya sewaktu ia masih bekerja, senyum di bibirnya itu muncul, besok pagi ia akan langsung berangkat ke Finlandia. Tanpa ada yang mengucapkan selamat tinggal, mengantarnya, memeluknya atau bahkan membawakan makanan khas Indonesia untuk mengobati rindunya selama di negara lain.

Paginya, Bagas langsung bergegas pergi. Sebelum masuk ke gate ia sempat menoleh ke belakang siapa tahu ada seseorang datang untuk mengucapkan selamat tinggal atau bahkan pelukan terakhir untuknya, namun ternyata tidak ada siapa-siapa, Bagas tersenyum getir dan ia melangkah masuk tanpa menoleh kembali. Di dalam pesawat hatinya benar-benar masih berkecamuk, ada rasa ingin tinggal namun semua yang ia miliki disini seperti sudah lenyap. Setiap sudut kota, tempat, makanan bahkan udaranya sendiri pun mengingatkannya pada kenangan manis yang menyakitkan, membuat Rasa sesak nafas itu kembali.

🍃🍃🍃

1 Tahun Kemudian...

“Kamu benar gak ngukurnya, Mir?” Tanya Raka pada Almira.

Almira, Raka, Satya dan Raga sedang berada di toko perhiasan. Mengantar Raga membeli cincin untuk melamar Kirana. Keduanya sudah satu tahun berhubungan dan Raga tidak ingin menunda lagi untuk melamar Kirana menjadi istrinya, tidak ada yang perlu ditunggu lagi menurutnya. Ia sudah merencanakan segala hal nya dengan matang seperti bagaimana ia akan melamar Kirana, dimana ia akan melamar Kirana, kata-kata seperti apa yang akan ia ucapkan saat melamar wanita itu. Tapi tidak dengan cincin, iya, Raga ingin kejutan untuk Kirana jadi tidak mungkin ia yang mengukur sendiri jari manis wanita itu sendiri. Ia tidak ingin Kirana curiga jika ia akan melamarnya dalam waktu dekat.

Maka dari itu Raga meminta bantuan Almira untuk mengukur jari manis Kirana dan wanita berhasil, tadinya Raga hanya minta di temani oleh Satya saja untuk menemaninya membeli cincin namun Satya bilang kalau dia sendiri bingung saat memilih perhiasan, pria itu meragukan seleranya sendiri. Maka dari itu Satya bilang untuk mengajak Raka, Satya menilai selera Raka dalam hal memilih apapun itu baik sekali dan selalu menjelaskan alasan kenapa ia memilih itu dan Raka yang sedang bersama Almira itu akhirnya mengajaknya.

“Ihhh bener, Mas. Ngeraguin banget sih, ini tuh yah jari manis aku sama Mbak Kirana sama jadi gak mungkin salah! orang dia sempat nyobain cincin aku kok,” sanggah Almira, bibirnya cemberut.

“Tapi dia enggak curiga kan, Mir?” tanya Raga memastikan yang langsung saja membuat bola mata Almira memutar, wanita itu mendengus. Tidak menyangka jika pria-pria ini ternyata bawel juga.

“Enggak Mas Raga astaga, kenapa sih gak percayaan banget heran.”

Satya yang duduk disebelah Raka itu hanya menahan tawanya saja, kalau sudah begini ia yakin pasti Almira sudah ngambek. Tapi berhubung ini semua untuk Kirana ia tetap terlihat bersemangat. “Udah buruan milih deh, habis ini kita masih harus bersihin rumahnya Kirana kan?”

“Iyaaa juga yah.” Raga mengangguk-angguk. “Jadi yang mana yang bagus, Ka? Lama juga nih mikirnya.” Raga jadi tidak sabaran.

Kedua mata Raka masih menelisik satu persatu cincin dengan berbagai macam model didalam etalase itu, kemudian menunjuk satu persatu yang menurutnya menarik dan mencobanya ditangan Almira. Almira hanya bisa pasrah saja jari manis nya itu dipasangi cincin berkali-kali dengan berbagai model, sebenarnya ada salah satu cincin yang Almira taksir tapi harganya agaknya tidak ramah untuk kantongnya. Jadi ia mengurungkan niatnya itu untuk membelinya, mungkin Almira butuh menabung dulu selama dua bulan untuk memilikinya.

“Ga, ada 3 yang gue pilih gue jelasin maknanya ya menurut gue sendiri dan nanti lo harus yang milih.” Raka menaruh tiga cincin dengan model yang berbeda-beda itu di depan Raga, dan pria itu hanya mengangguk.

“Cincin satu mata berlian ini punya simbol kalo elo itu berkomitmen sama satu orang aja yaitu Kirana, satu pilihan dan satu masa depan. Ini tuh nunjukin kalo lo emang setia sama satu orang aja.” Jelas Raka yang membuat Raga mengangguk-angguk. Menurut Raga itu dirinya sekali, jika ia tidak setia mana mungkin ia mau terlahir berkali-kali demi menemui Kirana di kehidupan ini.

“Kalau yang ini?” Raga menunjuk cincin dengan tiga mata berlian di tengahnya, cincin itu memiliki ring yang bergelombang yang menurut Raka tidak biasa dan akan sangat indah di pakai di jari manis Kirana yang kecil. Persis seperti jari manis Almira.

“Nah ini namanya three stone ring, dia tuh punya makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini juga cocok menurut gue karena lo sama Kirana punya sejarah yang panjang,” saat mengatakan itu, kedua mata Raka dan Raga bertemu.

Raga dapat melihat sirat kehidupan masa lalu pada wajah rupawan di depannya itu, ia jadi teringat dirinya yang pernah meminta bantuan Dimas untuk menemaninya ke toko perhiasan, membeli cincin untuk melamar Ayu dan hal itu terjadi di kehidupan yang sekarang ini. Ia tak lagi takut jika Raka akan merebut Kirana sebagaimana Dimas merebut Ayu darinya karena Dimas dan Raka berbeda. Raka adalah temannya sedangkan Dimas adalah musuh dalam selimut.

“Maksud gue, gini, Ga. Lo tahu gimana masa lalu Kirana dan lo menghargai itu ya disini kita sama-sama tahu dulu Kirana gimana sama masa lalunya, terus masa kini. Kaya lo juga gak bakal nyangka gak sih bakalan berakhir sama Kirana? dulu aja mungkin lo gak ngebayangin pacaran sama dia kan?” Ucap Raka yang di beri anggukan oleh Raga, sementara Satya dan Almira hanya menyimak ucapan Raka saja. Almira dalam hati berdecap kagum dengan penjelasan dari Raka mengenai cincin-cincin itu ia setuju dengan Satya yang mengatakan Raka selalu punya selera yang bagus dan dibalik pilihannya itu ia selalu menyelipkan makna di dalamnya.

“Nah masa depan, lo berani komitmen sama dia, milih dia jadi teman hidup lo selama-lamanya.” Lanjutnya.

Raga mengangguk-angguk, kagum dengan makna-makna yang terselip di balik model-model cincin itu. “Terus kalau yang ini?”

“Nah ini dia.” Raka mengambil satu cincin disana yang memiliki permata cukup banyak, terlihat sangat mewah dan memang harganya pun cukup mahal tapi di balik itu semua cincin itu juga menyimpan makna di balik modelnya yang cukup mewah. “Berlian yang ada di tengah paling menojol dan dikelilingi berlian kecil di sisi kanan kirinya itu punya makna kalau elo mau lindungin Kirana. Simpel aja.”

Raga tersenyum, dan ia sudah memantapkan pilihannya pada salah satu cincin yang di pilihkan Raka padanya dan menurutnya makna nya sesuai sekali untuk menggambarkan hubungannya dengan Kirana yang memang rumit itu.

Bersambung...