Bab 55. Kala Melati Menjelma
Sudah dua hari Kirana dan Raga berada di Surakarta dan selama itu pula Kirana benar-benar bahagia karena bisa merasakan kembali memiliki rumah yang hangat dan orang tua yang lengkap, Mama nya Raga yang selalu baik dan mengajaknya dalam semua kegiatan rumah itu membuat hari Kirana menghangat bahwa betapa diterimanya ia dikeluarga pria itu. Kemarin saat baru pertama kali datang, Mama mengajaknya untuk makan bersama di meja makan, bertukar kabar satu sama lain dan sempat ada air mata dikedua wajah wanita itu saat Kirana menceritakan kepergian Ibunya beberapa waktu yang lalu.
Setelah itu hanya ada tawa saja karena Mamanya Raga itu mengajak Kirana ke toko bunga miliknya, memamerkan betapa cantiknya Kirana pada setiap pelanggan yang datang ke toko bunganya. Melihat wajah wanita yang sudah tidak muda lagi itu Kirana bisa melihat jika rupa dari Raga dan Adel itu lebih banyak diwarisi oleh Mama mereka kecuali lesung pipi Raga. Itu warisan dari Papa, Adel memiliki paras yang sangat mirip dengan Mama seperti hidung kecil yang cukup mancung, tubuh tinggi dan kulitnya yang putih itu, ah tidak lupa dengan tahi lalat di wajah sebelah kirinya. Raga pun juga memiliki tahi lalat yang diwariskan dari Mama nya itu.
Dan sifat kedua anak itu lebih mirip sang Papa, apalagi kalau sudah urusan memperlakukan pasangan mereka. Selama berada di Surakarta Kirana bisa tahu betapa manisnya hubungan Papa dan Mamanya Raga walau sudah dimakan usia. Keduanya masih sering berkencan hanya berdua, memasak berdua, bahkan Kirana pernah melihat kedua orang tua Raga itu saling menyuapi ketika sedang bersantai di depan TV. Pantas saja Adel dan Raga tumbuh menjadi pribadi yang hangat karena tangki cintanya sudah terisi penuh dari kedua orang tua nya.
“Tambah lagi sayang.” begitu cara Mamanya Raga memanggil Kirana. Mama juga meminta pada Kirana untuk tidak memanggilnya dengan sebutan tante melainkan Mama, Mama siap menjadi Ibu untuk Kirana.
“Hhmm.. Kenyang, Mah. Aku makan udah banyak banget nih.” Kirana memperlihatkan piringnya yang berisi nasi dan lauk yang masih lumayan banyak. Masakan Mama dan Papanya Raga itu enak, makanya rasanya Kirana puas sekali makan selama di Purwakarta dan dari sinilah ia bisa sedikit demi sedikit belajar berbagai menu yang sebelumnya belum pernah ia masak.
“Na, Raga tuh kalau pulang ke rumah orang tuanya pasti berat badannya naik. Lihat saja tuh pipinya sudah tembem, dikit lagi juga perutnya buncit,” celetuk Papa tiba-tiba. Pria itu terkekeh melihat putra bungsunya itu makan dengan lahapnya, Raga memang selalu menikmati semua makanan yang ia makan.
“Nanti kalau perut aku buncit ini berarti salah Papa sama Mama yang nyuruh aku makan mulu,” protes Raga dengan mulut pria itu yang masih penuh dengan makanan.
“Loh kok salah Papa sama Mama, kita kan cuma masak ya, Pah. Jangan salahin dong kalau masakannya enak makanya kamu jadi makan melulu ya kan, Na?”
Kirana mengangguk, ia tidak kuat menahan tawanya. Apalagi saat melihat Raga cemberut sembari memakan makanannya itu, tapi sejujurnya yang dikatakan orang tua Raga itu benar baru dua hari berada di Surakarta tapi pipi Raga sudah mulai mengembang, pria itu makan banyak sekali belum lagi Raga suka mengajak Kirana untuk mencari makanan di luar ada saja tempat-tempat yang selalu Raga ajak untuk sekedar makan.
“Kalau di Jakarta dia bagaimana, Na? Pasti makannya asal-asalan ya?” tanya Mama lagi.
“Eh udah enggak dong, Mah. Sekarang Kirana yang masakin Raga dia setiap hari bawain bekal buat Raga tau.”
Mama tersenyum, wanita itu melihat ke arah Kirana. Lega beliau ternyata Kirana dan Raga sudah semakin dekat sejujurnya Mama menginginkan anaknya itu segera melamar Kirana untuk menjadi istrinya, namun itu semua Mama serahkan saja pada Raga. Biar bagaimana pun juga Raga yang lebih tau kapan waktu yang tepat untuk meminta Kirana menjadi bagian dari keluarga mereka. Kirana audah bercerita tentang hubungannya terdahulu bersama Bagas, Mama yang bertanya awalnya. Mama hanya ingin memastikan anak bungsunya itu tidak merebut kehabagiaan orang lain.
“Benar itu, Na? Pantas aja udah kelihatan chubby itu pipinya. Terima kasih ya, Na. Kalau Raga protes-protes soal makanan, kamu marahin aja ya.” pasalnya Raga dahulu suka agak memilih makanan, jika rasanya dirasa tidak pas dengan seleranya. Pria itu tidak akan makan dan lebih memilih membeli makanan saja.
Kirana terkekeh, “enggak kok, Mah. Mas Raga malah enggak pernah protes sama masakan Kirana. Kalau ditanya enak apa enggak pasti jawabanya enak banget atau gak enak besok bikin lagi ya. Pasti selalu gitu.”
Papa menjentikkan jarinya, kalau sudah begini beliau tahu jika masakan Kirana itu sesuai dengan selera putranya. “Berarti, Na. Masakanmu itu masuk ke seleranya Raga makanya dia gak protes. Hei, Ga. Kamu juga jangan enak-enak makan bantuin Kirana masak, sekali-kali kamu belajar masak biar bisa gantian masakin Kirana.”
“Mas Raga bantuin kok, Pah. Walaupun kadang suka kaya ngerecokin juga.”
Raga tersenyum bangga merasa Kirana membelanya, “Masakannya Kirana itu mirip-mirip masakan Mama sama Mbak Adel makanya Raga gak protes.”
Selesai makan, Raga sempat diajak Papa nya untuk membeli beberapa pupuk untuk tanaman mereka. di belakang rumah selain memelihara ternak seperti ayam, bebek dan burung. Papa dan Mama Raga itu juga senang sekali bercocok tanam keduanya lakukan bersama hingga tanaman-tanaman itu tumbuh begitu subur di belakang rumah. Khusus di bagian depan rumah itu, memang sudah ada pohon yang umurnya sudah tua sekali. Pohon mangga dan nangka, kadang tetangga sekitar juga sering sekali menikmati buah hasil panen nya. Sedangkan Kirana dan Mama, kedua wanita itu sedang bersantai di ruang TV. Menikmati semilir angin dari jendela yang memang dibuka oleh Mama dari pagi hingga sore hari, Mama mengambil sebuah album foto dan duduk di sebelah Kirana.
“Ini album foto khusus Raga waktu dia masih kecil sampai kuliah, Na. Mau lihat?” Karena untuk pertama kalinya Raga membawa wanita ke rumahnya, Mama ingin sekali memperlakukan wanita yang dibawa Raga itu dengan baik, termasuk memperkenalkan putranya itu. Memberitahu seluk beluk Raga agar Kirana dapat mengenal Raga lebih dalam lagi apalagi ini dari sudut pandang orang tua nya sendiri.
Kirana mengangguk, “Mau, Mah.”
“Kita buka sama-sama yah.” Pada lembar pertama album foto itu ada foto seorang bayi laki-laki yang sangat tampan, matanya kecoklatan, hidungnya mungil, rambutnya tebal yang sedang menangis. Seperti foto baru lahir, dibawahnya ada nama Raga. Jagaraga Suhartono.
“Ini waktu Raga baru lahir, Na. Ganteng sekali, mirip Papanya banget. Anak ini kalau nangis kencang sekali sampai waktu itu bayi-bayi lain di ruang bayi ikut terganggu karena suara tangisan Raga.”
“Beneran, Mah?” Kirana terkekeh. “Kok lucu banget sih, terus akhirnya gimana?”
Mama tersenyum, mengusap foto bayi dialbum foto itu penuh dengan kasih sayang. “Ya akhirnya Raga lebih sering tidur sama Mama di ruang rawat dari pada di ruang bayi.”
Mama kembali membuka album foto itu lagi, menampakan Raga dari usia satu tahun hingga lima tahun. Seiring bertambahnya umur wajah bocah laki-laki itu berubah, wajah yang tadinya lebih mirip Papanya itu kini ada sirat wajah Mama disana. Raga berumur satu tahun sedang tersenyum melihat ke kamera, ia sedang duduk dengan sendok bayi di tangannya. Lalu foto saat Raga berumur dua tahun, ia sedang menangis di depan kue ulang tahunnya entah kenapa bocah itu menangis, di sebelahnya ada bocah perempuan juga yang Kirana tebak itu adalah Adel.
“Ini, Mbak Adel ya, Mah?” Kirana menunjuk bocah perempuan di sebelah Raga itu.
Mama mengangguk kecil dan tersenyum, “iya ini Adel. Mukanya enggak berubah banyak yah. Raga sama Adel itu waktu kecil beda banget deh, Na sifatnya walau begitu mereka tetap akur.”
“Oh ya, Mah? Beda kenapa?” Kirana jadi semakin penasaran, ia sudah pernah diceritakan oleh Adel tentang Raga saat kecil dan remaja namun tetap saja ia penasaran dengan cerita dari versi Mama.
“Kalau Adel itu benar-benar definisi perempuan sekali, cerewet senang banget dia tuh cerita-cerita hal-hal ringan, suka banget masak, pakai kutek, beli pernak pernik rambut. Pokoknya dia feminim sekali deh, kalau Raga anak itu lebih kalem. Enggak banyak bicara lebih suka menyimak obrolan dan orang-orang disekitarnya, dari dulu senangnya belajar. Kaya belajar itu sudah jadi hobi dia sejak kecil, enggak ada kegemaran lain dari anak itu sampai Adel nyuruh Raga buat nyari hobi lain di luar sana. Tapi yang sama dari mereka itu, mereka sama-sama ambisius kalau udah punya keinginan pasti harus tercapai.”
“Mama dulu suka kerepotan gak ngurus Mas Raga waktu masih remaja?”
Mama menghela nafasnya pelan, tersenyum sembari menatap foto Raga saat wisuda yang terpajang di dinding ruang tamu rumah itu. “Enggak, Na. Raga itu lempeng banget anaknya beneran mudah sekali ngarahin dia tuh, Mama beruntung sekali bisa punya anak yang baik-baik. Makanya Mama lega sekali waktu Raga juga bertemu sama perempuan sebaik kamu.” Mama mengusap kepala Kirana dari samping, menaruh rambut Kirana itu kebelakang telinganya.
Kirana yang mendapat perlakuan manis seperti itu oleh orang tua dari pria yang sedang dekatnya itu rasanya terharu sekali, kedua matanya berkaca-kaca dan ia beringsung memeluk Mama nya Raga itu. Ia senang bukan main ia diterima di keluarga yang sangat amat hangat itu, melihat Mama ia jadi merindukan Ibunya. Dan Kirana melampiaskan itu semua dengan memeluk Mama erat dan menangis disana.
“Kirana boleh peluk Mama terus kan, Mah?” ucap Kirana di sela-sela isaknya.
“Boleh sayang, Mama senang banget bisa dipeluk seperti ini. Kirana juga boleh anggap Mama kaya Ibu Kirana sendiri, Nak.”
Kirana menangis dalam pelukan wanita itu, rasanya nyaman seperti dipeluk Ibunya sendiri. Ada rasa egois dalam diri Kirana yang mengingkan untuk lebih lama berada di Surakarta agar bisa dekat dengan Mamanya Raga itu.
“Sayang, kalau Raga menyakiti kamu. Bilang sama Mama dan Papa ya, kami akan marahin dia karena udah menyakiti kamu.”
🍃🍃🍃
Masih ada waktu hingga besok malam bagi Raga dan Kirana untuk kembali ke Jakarta, hari ini Raga mengajaknya jalan-jalan kesekitaran Surakarta. Alih-alih menggunakan mobil miliknya, Raga memilik untuk menggunakan motor miliknya. Motor itu masih dirawat oleh Papanya tidak pernah dipakai sama sekali jika tak ada Raga di rumah, pagi itu pada hempasan angin yang menerbangkan rambut panjang Kirana, Raga dapat melihat wajah cantik di belakangnya itu tersenyum, sorot matahari pagi itu mengenai wajah indahnya yang justru membuatnya nampak semakin indah seperti menyatu dengan keindahan alam sekitar.
Entah mendapat keberanian dari mana, Raga menarik tangan Kirana dan menaruh tangan itu untuk melingkar di pinggangnya. Dan dari kaca spionnya Raga dapat melihat Kirana tersipu malu dengan semburat kemerahan di wajahnya, wajah yang terlihat seperti wanita dewasa itu terkadang mengingatkannya akan Ayu. Di perjalanan sesekali Kirana berceloteh tentang Mama yang mengajarinya cara merangkai bunga dan merawat bunga agar tidak mudah layu, tentang resep yang Mama ajari pada Kirana dan tentang masa kecil Raga.
Apapun yang Kirana ceritakan Raga senang sekali mendengarnya, terkadang jika berhenti di pertigaan lampu merah. Kedua tatapan mereka bertemu dan Raga maupun Kirana akan tersenyum malu-malu. Pagi itu Raga mengajak Kirana ke benteng Vastenburg benteng yang didirikan oleh Belanda di tahun 1745 itu, Raga baru saja mendapat kabar jika hari ini ada pertunjukan teater disana dan Raga melihatnya disosial media, tema dari teater ini sungguh menarik minatnya untuk mengajak wanita dibelakangnya itu menikmatinya bersama, tentang seorang wanita di tahun 1898 yang dijual ke seorang pria Belanda dan dijadikan seorang gundik. Katakanlah Raga mengajak Kirana ke tempat itu untuk mengulang kembali memori kehidupan mereka terdahulu.
Motor yang Raga kendarai itu berhenti disebuah parkiran, tak lupa ia membantu Kirana untuk membuka helmnya dan sedikit merapihkan rambut wanita itu yang agak berantakan. Setelahnya, ia menggandeng tangan Kirana dan masuk ke dalam benteng itu. Waktu mereka datang teater itu belum mulai, namun pengunjung yang datang hari itu sudah cukup ramai memadati area benteng. Keduanya sempat masuk dan melihat-lihat bagian dalamnya dahulu, begitu keduanya masuk suasana langsung berubah baik Kirana maupun Raga merasa seperti terlempar ke kehidupan mereka sebelumnya, melihat bagaimana bangunan itu berdiri dengan kokohnya dengan dinding-dinding tebal dan tinggi yang terbuat dari batu dan bata yang warnanya bahkan telah memudar menjadi keabuan.
Permukaanya tidak rata ada retakan halus bekas lembab hingga cat yang sudah mengelupas, lorong-lorong di sepanjang sisi benteng terhimpit dan dingin, menebarkan bau basah yang bisa Kirana dan Raga cium. Kirana sempat menoleh ke sebuah tempat yang terdapat jendela dengan jeruji-jeruji besi yang dari luar saja sinar matahari terik dapat masuk dengan mudahnya, Dibeberapa titik cahaya itu terpotong bayangan yang menciptakan garis-garis lebih besar dari ukuran benda sebenarnya, itu adalah bayangan jeruji.
“Kamu tau gak benteng ini dibangun dulu bukan buat lindungin kota,” ucap Raga tiba-tiba, pria itu tadi berada beberapa langkah dibelakangnya dan kini sudah berada di samping Kirana.
Wanita itu mengangguk pelan, “buat ngawasin keraton?”
“Yup.” Raga mengangguk-angguk kecil, kedua tangannya ia taruh dibelakang punggungnya. “Belanda bikin ini supaya tetap memegang kendali, fungsinya memang buat mengawasi.”
Raga menunjuk sebuah lapangan diujung sana, yang membuat arah mata Kirana juga tertuju ke tempat yang di tunjuk pria itu. “Disana itu tempat latihan tentara.”
Kirana benar-benar larut, sisa ingatan masa lalu nya itu benar-benar kembali. Ia jadi teringat Jayden dulu pernah ingin mengajaknya menaiki kereta api ke Solo atau Jogjakarta, namun itu semua belum terlaksana karena Ayu keburu menikah dengan Dimas dan diboyong oleh suaminya itu ke Surabaya. Dan dikehidupannya yang sekarang ini Raga mengajaknya ke Solo ia merasa seperti Jayden sedang menepati janjinya saat ini. Kirana menoleh ke arah Raga yang berada di sebelahnya itu, pria dengan tinggi menjulang itu rambut yang biasa ia tatap dengan warna hitam legam itu kini dimatanya berubah menjadi pirang nyaris putih, dengan hidung lancip dan kulit putih pucat. Pria itu menoleh ke arahnya dan tersenyum, bukan lagi Raga dengan badan tegap dan berisinya melainkan Jayden dengan tubuh tinggi kurus serta rahangnya yang tegas itu.
“Saya sudah tepati janji saya untuk mengajakmu ke Solo kan walau enggak naik kereta api?” dan suara yang ia dengar kali ini adalah milik Jayden.
Kirana mengangguk, “Sir Jayden tau gak saya jahit surjan untuk Sir Jayden pakai ukuran tubuh siapa.”
Raga hanya menggeleng pelan, melihat kedua manik mata yang sangat tenang itu dengan sorot binarnya yang beberapa hari ini tidak redup. Raga akan pastikan binar itu tidak akan hilang dari mata wanitanya lagi. “Romomu?”
“Bukan, tapi tubuh Mas Adi, lalu hanya aku tambah beberapa senti agar sesuai dengan tubuh Sir Jayden dan syukurlah surjan itu muat ditubuhmu.”
Tidak ada perasaan cemburu saat Kirana mengatakannya, bagi Raga atau Jayden sendiri Adi menjadi satu-satunya saksi bagaimana cinta kedua anak manusia itu tumbuh hingga akhir perjalanan hidup mereka. Setelah mengatakan itu pertunjukan teater akan segera di mulai, Raga kembali mentautkan jemarinya pada jemari tangan Kirana dan mengajak wanitanya untuk mengambil tempat di kursi-kursi yang sudah disediakan, pertunjukan seni itu d mulai aktor-aktor keluar dari tempat mereka dan memperkenalkan diri, pertunjukan itu berjalan sangat khidmat, Kirana sangat menikmati akting dari aktor-aktor teater itu.
Sebuah cerita masa lalu tentang seorang gadis bernama Anjani yang di jual oleh Bapaknya sendiri ke seorang Belanda untuk dijadikan gundik, Anjani muda itu awalnya memang hanya dijadikan pemuas nafsu pria Belanda yang menikahinya sampai akhirnya pria itu jatuh cinta seutuhnya pada Anjani, gadis itu diajari membaca, menulis, berbahasa Belanda, mengurus perternakan bahkan berdagang semua ilmu itu ia dapatkan dari pria Belanda itu. Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama karena istri dari pria Belanda itu menyusul suaminya ke Hindia Belanda.
Mengetahui suaminya memiliki seorang gundik, istri pria itu marah besar dan menjual Anjani untuk dijadikan pelacur tentara-tentara Belanda. Anjani akhirnya meninggal di usianya yang ke 25 tahun karena terkena sifilis, cerita yang singkat namun berhasil membuat pertahanan Kirana luruh sebagai seorang wanita. Ia sedikit menitihkan air matanya, mengingat ia pun pernah melihat langsung bagaimana wanita-wanita itu menjadi budak para Belanda pada kehidupan masa lalunya. Setelah selesai menikmati pertunjukan itu, Raga kembali mengajak Kirana ke Kampung Batik Laweyan, ia ingin sekali mengajak wanita itu ke banyak tempat di daerah kelahirannya.
Begitu memasuki kawasan Sidoluhur suasana jalan perlahan-lahan berubah, jalanan agak sedikit menyempit menyerupai gang-gang kecil yang dibatasi oleh tembok-tembok tinggi disisi kanan dan kirinya. Tembok-tembok itu bukan semata-mata hanya dibuat untuk membatasi antara rumah-rumah tetapi juga menjadi bagian sejarah peninggalan tentang para saudagar batik menjaga privasi sekaligus kekayaan mereka. Raga sempat memarkirkan motornya disana dan mengajak Kirana untuk berjalan kaki saja, kebetulan tempat-tempat disekitarnya cukup unik karena terdapat bangunan-bangunan tua bergaya Jawa dan Kolonial, dibeberapa bangunan disekitar sana terdapat pintu besar dengan ukiran-ukiran sederhana berdampingan dengan jendela tinggi berdaun ganda.
“Mas fotoin aku disini mau gak?” Kirana melepas pegangan tangan mereka dan memberikan ponselnya pada Raga, ia ingin dipotret didekat bangunan bergaya Jawa itu.
Raga nggak menjawab, ia justru memberikan ponselnya dan menunjukkan pada Kirana jika sedari tadi pun ia memotret Kirana diam-diam, ketika wanita itu sedang berjalan Raga memotretnya dari belakang, ketika Kirana sedang tersenyum pada seorang Ibu-Ibu Raga pun memotretnya, sampai Kirana yang sedang mendongakkan kepalanya melihat langit Surakarta yang siang itu cukup cerah pun Raga memotretnya. Terlalu disayangkan jika indahnya hari itu tak ia abadikan dalam sebuah gambar. Apalagi, Kirana sedang cantik-cantiknya.
“Ihhh kamu dari tadi fotoin aku? Jahil banget sih.” Kirana mencubit lengan Raga, ia kemudian mengambil alih ponsel milik Raga dan melihat-lihat foto-fotonya disana. Cukup memuaskan, untuknya pose yang sangat amat natural itu dibidik dengan angle yang sangat pas sehingga Kirana terlihat seperti seorang model sunguhan. “Kamu ada bakat motret juga ya, Mas? Padahal cuma pakai HP loh.”
“Pernah belajar dikit-dikit. Kamu suka?”
Kirana mengangguk, “banget malahan, tapi masih mau foto aku kan?”
“Mau dong, mau aku fotoin dimana?” Raga mengambil ponsel yang Kirana berikan itu.
“Umm..disebelah sana ya?” Kirana menunjuk bangunan berkhas jawa itu. Daun pintu bangunan itu mengingatkannya akan rumahnya dulu, rumah yang disita untuk melunasi hutang Bapak.
Raga langsung mengangguknya dengan cepat, Kirana pun langsung berjalan ke arah bangunan tersebut dan mulai berpose terkadang Raga pun mengarahkan pose untuk Kirana agar terlihat natural. Raga tidak sadar, sedari tadi kedua bibirnya itu tertarik mengukir sebuah senyuman hanya dengan melihat Kirana tersenyum ke arah kamera ponselnya. Dalan hati tak henti-hentinya ia memuji kecantikan wanita itu apapun yang ada pada diri Kirana terlalu indah baginya. Mereka kembali berjalan menelusuri gang demi gang sampai akhirnya mereka sampai disebuah rumah yang memproduksi kain batik, keduanya sempat melihat-lihat proses pembuatannya.
Bahkan Kirana sempat mencoba melukis batik dan ternyata baginya cukup sulit namun ia menikmatinya, bahkan Kirana bilang ke Raga kalau ia memiliki kesempatan untuk belajar membatik ia akan ambil kesempatan itu. Ketika mereka mampir ke salah satu toko disana yang menjual baju batik mereka membeli batik dengan motif dan warna yang sama persis. Kirana memilih model dress selutut dan Raga kemeja setelahnya Raga sempat mengajak Kirana untuk makan dulu sebelum ia mengajak Kirana ke tempat selanjutnya. Ada satu warung yang menjual selat Solo yang selalu Raga kunjungi setiap kali ia kembali ke rumah orang tuanya dan ia mengajak Kirana ke sana.
“Enak gak?” tanya Raga.
“Enak banget..” Kirana tersenyum, selama berada di Surakarta Kirana selalu makan dengan lahapnya. Semua makanan yang Mama nya Raga buat itu selalu pas di lidah Kirana. “Habis ini mau kemana lagi, Mas?”
“Ke pasar malam Ngarsopuro. Belum pernah kan?” Raga ingin mengajak Kirana ke sana untuk kembali berburu makanan enak seperti serabi dan es dawet, biasanya akan ada pertunjukan dari musisi jalanan. Ia juga ingin membawakan souvenir untuk teman-teman kantornya jadi mungkin Raga akan membelinya disana.
“Belum, tapi sayang yah, Mas. Besok udah harus pulang padahal aku masih betah banget disini masak-masak sama Mama terus liat Papa berkebun juga.” Kirana menghela nafasnya pelan, tinggal di rumah Raga dua hari itu rasanya ia bisa menemukan kembali keluarga yang telah hilang. Rasanya seperti ia benar-benar pulang ke rumah disambut oleh kedua orang tua, rasanya seperti terobati.
“Nanti kalau liburan lagi kita ke sini lagi ya, sekalian bareng Mbak Adel sama Mas Ethan juga.” Raga sempat berpikir jika ia ingin mengajak Kirana untuk bergabung ke firma tempatnya bekerja itu, rasanya sangat sulit mengajak wanita itu berkencan jika Kirana dilarang libur di akhir pekan. Ini pun Kirana meminta izin sakit dari atasannya karena Raga mengajaknya ke Surakarta. Rasanya bentrok sekali dengan jadwal Raga yang hanya senggang di akhir pekan.
“Na?”
“Ya, Mas?” Kirana sudah selesai dengan makanannya, ia menumpuk piring itu menjadi satu bersama dengan piring Raga yang memang sudah selesai makan sedari tadi. Hal kecil seperti inilah yang ia dapatkan selama bekerja di toko kue, hal yang tidak semua pelanggan dapat lakukan. Padahal hal kecil seperti menyusun piring bekas makan menjadi satu dimeja seperti ini dapat memudahkan pelayan untuk membersihkannya.
“Kamu gak kepengen kembali ngantor lagi? Apa kamu lebih nyaman kerja di toko?”
“Kepengen sih, Mas. Tapi aku masih ngerasa bisa nyium bau Ibu kalau masih tetap disana. Menurut Mas bagaimana?” Kirana memiringkan sedikit kepalanya menghadap ke Raga, ia ingin meminta pendapat pria itu.
“Menurut aku? Hmm.. Kalau aku, apapun yang buat kamu nyaman aku dukung aja. Aku cuma mau kamu nyaman aja, Na. Tapi kalau kamu mau ngantor lagi bilang ya, aku bisa minta tolong Mas Ethan buat bantu kamu kerja di kantorku.”
Kirana mengangguk, “Mas Satya sebenarnya juga nawarin ke aku buat kembali kerja di kantor lama sih, Mas. Tapi nanti aku pikir-pikir dulu ya.”
Raga tersenyum, ia mengusap pucuk kepala Kirana sebelum berdiri dan membayar makanan mereka berdua. Keduanya langsung melesat ke Pasar Malam Ngarsopuro ternyata benar yang Raga ucapkan jika disana ramai sekali, ada berbagai makanan yang dijajahkan disana serta toko-toko yang menjual souvenir khas Solo seperti scarf batik, gantungan kunci, baju dan beberapa juga ada yang menjual barang antik. Kirana dan Raga sempat membeli souvenir dan kudapan untuk teman-teman kantor Raga, dan untuk mereka berdua Raga membeli gelang yang modelnya sama persis. Hanya ada tawa dan canda malam itu, ketika ada sebuah pertunjukkan dari musisi jalanan yang sedang bernyanyi. Keduanya berhenti, ikut bernyanyi bersama. Bahkan Raga dengan percaya dirinya ikut bernyanyi sampai-sampai Kirana tersipu karena betapa manisnya lagu yang di pilih oleh pria itu.
Diperjalanan pulang sialnya mereka berdua kehujanan, karena jarak dari Pasar Malam Ngarsopuro cukup jauh untuk sampai ke rumah Raga. Raga memilih mengajak Kirana ke toko bunga milik Mama untuk berteduh disana. Rambut Raga sudah basah kuyup, ia juga hanya mengenakan kaos karena jaket miliknya ia berikan pada Kirana. Untungnya ada handuk di lemari toko bunga itu, itu milik Papa. Papa memang suka mandi di toko karena mudah berkeringat jika melakukan pekerjaan ringan seperti membantu Mama menyusun bunga-bunga, mengangkut Cellophane atau Kertas Wrapping Buket. Makanya Mama selalu menyediakan handuk dan alat mandi disana.
Toko bunga nya cukup luas, ada lantai dua di ruko nya yang Mama dan Papa gunakan untuk ruang bersantai. Jika sedang malas pulang ke rumah, biasanya Mama dan Papa juga menginap disana. Dan kali ini Raga yang memakai ruangan itu, ia memberikan handuk di pundak Kirana setelah ia selesai mengeringkan tubuhnya. Tadi Kirana sempat melihat-lihat lukisan yang ada disana sembari menyesap teh melati.
“Dingin gak?” ucap Raga yang membuat Kirana sedikit terkejut karena pria itu tiba-tiba datang dan melingkarkan tangannya di pinggang rampingnya.
“Lumayan, kamu udah minum?” Kirana sempat menoleh ke samping dan langsung bertabrakan dengan wajah Raga yang juga sedang berada di bahu nya. Kirana bahkan bisa merasakan aroma parfum dan tubuh pria itu.
“Udah tadi.”
Kirana berbalik, ia menaruh mug yang berisi teh melati itu di atas meja. Kemudian mengalungkan tangannya di leher Raga. Menatap pria itu lekat dan menganggumi betapa tampannya pria yang dikehidupan dahulu adalah kekasihnya, lama kelamaan tatapan mata Raga seperti menghipnotisnya membuat kesadaran Kirana terkikis perlahan-lahan sehingga tanpa ia sadar ia sudah mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu, baik Raga maupun Kirana memejamkan mata mereka hingga kini Kirana bisa merasakan bibir pria itu jatuh di bibirnya, Raga mengecup bibirnya dengan lembut dengan kedua tangannya yang masih ia letakkan di pinggang ramping wanitanya.
Suara hujan yang tadinya mendominasi ruangan itu kini berpadu pada suara decapan dari bibir Raga dan Kirana, dengan mudahnya Raga mengangkat tubuh mungil wanita itu dan menidurkannya di sofa bed yang ada disana tanpa melepaskan pautan bibir mereka, udara di sekitar keduanya terasa panas namun Raga enggan membuka pakaian yang ia kenakan apalagi pakaian milik Kirana. Ia ingin menjaga wanitanya, ia hanya ingin menyalurkan rindu setelah bertahun-tahun mencari sosok wanita bermata indah itu, sosok yang mengingatkannya pada bunga melati. Di kehidupan partamannya Raga mati karena di bunuh oleh pribumi yang memberontak, pada kehidupan keduanya Raga terlahir kembali namun tak menemukan sosok wanita bermata indah itu, maka ia mati sia-sia pada usianya yang ke 25 tahun karena kecelakaan mobil.
Pada kehidupan ketiga Raga kembali lahir, sebagai seorang pria kaya di Eropa dan kembali mencari wanitanya. Ia yakin Ayu terlahir kembali dan ia hanya butuh usaha untuk menemukannya dibelahan bumi mana wanitanya itu kembali. Sayangnya saat itu Raga tidak berhasil menemukan wanitanya dan ia kembali mati sia-sia karena serangan jantung, pada kehidupan keempatnya ia terlahir kembali dan bertemu pada wanita yang ia yakini Ayu. Mata yang berbinar itu dan aroma melati yang melekat pada dirinya namun wanita itu masih sangat belia untuk dirinya yang berumur 50 tahun kala itu. Maka kematiannya kembali sia-sia dalam keputus asaan dan kesepian maka dikehidupan kelima ini ia kembali terlahir namun sayangnya ingatan akan kehidupan masa lalunya itu menghilang sampai mimpi itu datang kembali dan betapa beruntungnya ia bisa menemukan dan memiliki wanita itu kembali. Raga berjanji takan ia sia-siakan hidupnya kali ini.
Bersambung...