cantik itu luka.

tw : victim blamming, harsh words, mentioning rape, etc.

notes: plotnya sangat wattpad sekali, labrak-melabrak

Hyuckno one shoot au


Pemuda itu tidak pernah berjalan mengangkat kepalanya. Pemuda itu gemar menatapi tanah tergenang air hujan kala ia melangkahkan kakinya sendirian.

Telinganya disumpal earphone, tangannya dimasukkan kedalam saku jaket kebesarannya.

Ia suka sendirian. Bahkan ia tak pernah merasa kesepian.

Ia cenderung menarik diri. Tapi meski begitu, ia memiliki banyak teman.

Senyumnya cerah meski jarang sekali orang bisa mendapatinya tersenyum. Suara tawanya merdu, meski sedikit malu-malu.

Parasnya nyaris sempurna, tampan, cantik dan indah berpadu satu dalam pahatannya. Meski begitu, Tentu ia pernah terluka.

Beberapa orang bilang cantik itu luka

“Pagi, Jeno..”

Pemuda yang menunduk selama berjalan itu tersenyum manis menyapa teman-temannya yang masih asyik bersantai di sepanjang lorong menuju kelas. Semua orang tersenyum menyapanya, pun si mentari itu ikut tersenyum membalasnya.

Hingga akhirnya ia sampai di depan mejanya; Lee Jeno menaruh ransel dan bukunya diatas mejanya. Hendak duduk, namun tepukan di bahunya membuatnya menoleh. Ia membalikkan badannya untuk mendapati tiga orang dari kelas sebelah berkacak pinggang dan menyilang tangan dengan wajah tak bersahabat menatapnya.

“Kenapa?”

Laki-laki muda berwajah kecil itu mendengus dan memutar bola matanya kala Jeno bertanya, seketika suasana berubah menjadi tidak nyaman. Jeno menelan ludahnya gugup, matanya berpendar tidak nyaman menatap sekitar bak minta pertolongan. Teman-temannya mulai bersiap diri untuk melindungi Jeno dari tempatnya masing-masing.

“To the point aja deh, malas bicara sama orang kayak lo.”

Demi Tuhan ini masih pagi dan Jeno tidak mengerti apa yang terjadi.

“Semalam ngapain pulang sama Kak Minhyung?”

Oh Jeno ingat sekarang, pemuda di depannya adalah kekasih kakak tingkatnya yang selama ini cukup dekat dengannya karena satu divisi.

“Aku pulang sama Kak Minhyung karena ditawari, kok. Lagipula enggak sendirian, Renjun dan Jisung juga..”

Jeno meremas ujung jaketnya. Ia tatap teman-temannya di meja sampingnya, mereka semua menggeleng menyuruh Jeno untuk tidak meladeni orang-orang kurang kerjaan itu namun Jeno seakan beku, ia tak sanggup bahkan mundur selangkah dari tempatnya berdiri.

“Gak usah bohong. Kak Minhyung gak mungkin sukarela kan nawarin kalian. Gue tahu ya Jeno, yang terakhir kak Minhyung anterin tuh elu, Renjun sama Jisung turun duluan, kan?”

Jeno gemetar, netranya berpendar gugup dengan keringat dingin yang mulai turun; “ka-karena kostanku lebih jauh dari Jisung dan Renjun, aku turunnya terakhir.”

“Ganjen kan lo? Lo yang minta kan?”

Jeno menggeleng ribut, teman-teman sekelasnya satu persatu mulai menegur tiga orang pengganggu itu dan menyuruhnya keluar, namun bagai angin lalu, mereka tetap disitu.

“Pasti semuanya akal-akalan lo kan Jeno? Lo sengaja kan minta kak Minhyung nganterin lo? Lo duduk di depan dan pulang terakhir, emang ada jaminannya selama perjalanan lo gak gangguin cowok gue? Kan lo cowok gatel!”

Jeno menunduk, ia menggeleng keras lalu menggigit bibir bawahnya, “kak Minhyung duluan yang nawarin kami pulang bareng, soalnya kami gak dapat gocar.. kamu bisa tanya sendiri ke Renjun dan Jisung”

Pemuda itu tertawa sarkas lalu ujung telunjuknya menekan bahu Jeno, “dasar gatel. Udah tahu dia punya pacar, kenapa pas ditawarin mau-mau aja, coba? Itu apa lagi sih namanya kalau bukan ganjen sama pacar orang, Jeno?”

Jujur Jeno tidak nyaman ada di posisi ini. Meski ketua kelas telah melerai dan menyeret pemuda itu lebih jauh dari Jeno, namun pemuda itu berontak dan tetap ingin membuat pagi Jeno berantakan.

“Cowok gak tau diri lo. Lo bebas deh godain cowok manapun disini, tapi jangan cowok gue juga dong!”

“Mending lo pergi deh gak usah gangguin si Jeno. Dia gak bohong, dia gak pernah godain siapapun kayak tuduhan lo. Daripada gue seret keluar, mending keluar sekarang juga.”

“Heh, Na Jaemin! Gue kasih tau ya, temen sekelas lo ini gatel, udah tau kak Minhyung punya pacar kenapa coba dia mau-mau aja diajakin pulang? Pake segala alesan gak dapet driver pulang lah. Ada garansinya gak selama perjalanan mereka gak ngapa-ngapain?”

Beberapa orang bilang, cantik itu luka.

Jeno merasa ia biasa aja. Tapi mengapa ia selalu terluka.

Pemuda itu bergetar, sesak di dadanya mulai mencekiknya. Ia tidak suka terjerat di situasi begini, dipojokan dengan tuduhan-tuduhan keji tak berhenti.

“Mending lo keluar deh, gak usah ribut di kelas kita.”

“Dasar ganjen lo! Pantes aja lo dulu di perkosa, kelakuan lo tuh bikin lo digituin! Makanya gak usah genit, gak usah sok kecakepan didepan orang! Giliran diperkosa aja lo nangis-nangis minta bantuan kan? Masih untung pacar gue gak kegoda sama badan murahan loㅡ”

Brukk

Kelas menjadi kacau setelah pemuda berwajah sempit itu mengatakan hal-hal mengerikan kepada Jeno.

Pemuda cantik itu diam mematung dengan muka pias menatap lawan bicaranya yang kasar dengan jiwa hancur terluka.

Suara-suara memekakkan telinga mulai masuk memenuhi kepalanya.

Setetes air mata turun diiringi hati yang nyeri luar biasa.

Satu tahun lalu, si cantik itu terluka. Dirinya disentuh oleh banyak sekali bajingan yang tega menghabisinya karena obsesi mereka.

Tak memberikan pengampunan, tak memberikan kesempatan, para bajingan itu terus menerus melukai si cantik, merusak harga dirinya, merusak jiwa dan raganya, membunuh sosok yang paling cerah sebelumnya.

Pemuda itu menunduk, mencoba mengusir kilasan menyakitkan yang selama ini tak ingin ia ingat kembali.

Jiwanya bergemuruh, rasa sakit dan suara dengungan di kepalanya membuatnya tersiksa.

Air mata kian deras membasahi dirinya. Meski Jeno sekuat tenaga menggigit lidah dan bibirnya, rasa sakit dalam jiwanya tak bisa teralihkan.

Jeno ingin mati saja.

Jeno merasa ia biasa saja.

Jeno merasa ia tidak cantik, namun mengapa ia terluka.

Mengapa setiap cantik adalah luka?

Demi Tuhan Jeno tidak mengenal siapa bajingan-bajingan yang malam itu mengganggunya.

Ia tak pernah seperti apa yang orang-orang tuduhkan.

Ia tak pernah bersikap tidak sopan atau kejauhan.

Namun mengapa dunia menghancurkan segala yang ada dalam dirinya?


Ditengah badai dan luka yang mendera dirinya saat itu, Jeno bisa rasakan sebuah pelukan hangat membelenggu dirinya.

Sebuah sapaan dengan suara lembut itu kini masuk kedalam telinganya, menghalau semua ribut yang memenuhi kepalanya.

Sapaan lembut yang ia tahu pasti siapa orangnya.

Pelan-pelan mata Jeno yang seolah gelap hanya menayangkan kilas balik kejadian mengerikan itu; mulai fokus. Netra coklatnya menatap coklat lainnya yang kini tepat di depannya. Sebuah usapan lembut mampir di pipinya, pemuda itu tersenyum manis seakan berkata semuanya baik-baik saja.

“Hei..”

Jeno menoleh ke kanan dan kiri. Oh, ini sudah bukan kelasnya. Sepertinya ia kehilangan kendali lagi sehingga teman-temannya membawanya ke ruang kesehatan.

Melihat seseorang di depannya, Jeno kembali menangis. Kini suara tangisannya lebih sakit dan memilukan.

Tubuhnya bergetar dengan bibir yang digigit dengan kencang.

Tangannya meremas ujung lengan milik pemuda di hadapannya, dan seketika saat pemuda itu kembali mendekapnya, air mata Jeno turun dengan deras.

Pemuda itu menangis kencang penuh ketakutan.

Si matahari dengan senang hati mengusap pujaan hatinya. Ia berikan pelukan ternyaman, ia berikan kata-kata indah yang seharusnya Jeno dengar sedari dulu.

Lee Jeno adalah pribadi yang ceria sebelumnya.

Si kecil lincah yang sangat pandai mencairkan suasana.

Siapapun nyaman menjadi temannya. Siapapun bisa akrab dengannya.

Sampai hari itu tiba. Hari dimana semuanya berubah begitu saja ketika para tangan bajingan itu merusak matahari berharganya.

Lee Donghyuck malam itu dipenuhi amarah yang membuncah. Dengan gelap mata ia hancurkan setiap inci dari tubuh dan wajah para pelakunya meski beberapa kali dilerai oleh aparat setempat.

Sejak saat itu tak ia dapati lagi kekasihnya seperti dulu. Sinarnya redup, senyumnya dingin dan tatapan matanya kosong.

Kekasihnya lebih banyak diam dan menarik diri dari orang-orang. Seringkali merasa hina dan rendah, tidak pantas untuk berada di dekat siapapun.

Pun tidak ragu untuk mencoba menghabisi dirinya sendiri.

Donghyuck dan keluarga Jeno mati-matian menjaga dan menyembuhkannya.

Butuh waktu lama hingga ada di titik ini.

Jeno itu cantik. Tidak sepantasnya ia terluka.

Dengan badan yang masih setia di dekap, Jeno berusaha menetralkan deru nafasnya yang berantakan. Pemuda yang merengkuhnya masih senantiasa menemaninya tanpa kenal lelah.

“Capek?”

Jeno mendongak menatap kekasihnya lalu mengangguk pelan, pemuda itu tertawa kecil lalu menepuk pantat si bundar agar lebih tenang.

“Apa yang dia bilang itu benar.. Aku harusnya gak ganjen sama kak Minhyung.. harusnya malam itu aku gak terima ajakan kak Minhyung kan, hyuck?”

Mengulang semua tuduhan yang pemuda tadi layangkan, hati Jeno kembali hancur. Ia teringat lagi segala perkataan jahat yang dilemparkan padanya.

“ta-tapi aku gak gitu... hiks aku gak genit sama orang lain hiks... Aku gak ngapa-ngapain..”

“Iya sayang, percaya kok”

Jeno membenamkan wajahnya, bahu Donghyuck sukses basah karena si kecil bulat cantik itu tak berhenti tangisnya. Ia semakin menangis sambil meracau menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian di masa lalu yang sukses menghancurkan dirinya.

Maka untuk membungkam semuanya, Donghyuck kecup bibir itu penuh kehati-hatian, “aku gak suka lho, cantik, kamu rendahin dan jelek-jelekin diri kamu kayak gitu terus..”

Jeno yang masih terisak itu berkedip lambat menatap lamat pada kekasihnya.

“Kamu cantik, kamu baik, kamu paling sempurna yang pernah aku tau. Kejadian kemarin semuanya bukan salah kamu. Kamu yang tau apa yang terjadi malam itu, kamu yang mengalami semuanya, apa yang dia bilang gak usah kamu dengerin. Lagian anaknya udah diberesin sama Jaemin, udah dilaporin juga ke Kak Minhyungnya”

Jeno biarkan pipi basahnya diusap begitu lembutnya, ia biarkan kekasihnya mendekat kearahnya, mengecup keningnya.

Meski air matanya masih luruh seiring dengan remasannya yang menguat pada bahu kekasihnya, Lee Jeno ditenangkan oleh kecupan yang membuatnya semakin hangat.

Meski badannya masih gemetar, meski sakit masih membelenggunya, Jeno biarkan pemudanya mendekapnya sebegitu eratnya.

“Aㅡaku kotor... Maafin aku. Kalau kamu mau pergi tinggalin aku, aku bisa ngerti kok”

Dan Donghyuck lingkarkan lengannya, “gak ada siapa yang bakalan ninggalin siapa, sayang..”

Dan pemuda itu kembali meraung, bergetar ketakutan dan hanya bisa bertumpu pada kekasihnya.

Berulang kali Donghyuck kecupi pelipis kekasihnya, berikan rasa aman yang ia harap bisa menjadi tameng bagi mataharinya.

Orang bilang cantik itu luka.

Tapi Jeno merasa ia biasa saja.

Dan mengapa pula orang-orang bilang cantik itu luka? Seharusnya tidak usah ada yang dikorbankan saat kau mendapat anugerah bukan?

Andai saja malam itu tak ada Donghyuck, andai saja malam itu Donghyuck tidak menjawab teleponnya, Jeno sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Masih hidup kah ia? Masih bisa berjalan kah ia? Masih sanggup menjalani hari-hari kah ia?

Sejak hari itu semuanya bagai mimpi buruk. Sejak hari itu yang menjadi teman hanyalah rasa takut.

Jeno sempat menjadi matahari sampai akhirnya sinarnya direnggut oleh setan-setan yang tak berhati.

Jeno merasa ia biasa saja, namun mengapa ia harus terluka?

Ia eratkan dekapannya pada si bundar, goyangkan dengan pelan badannya ke kanan dan ke kiri. Bersenandung kecil mencoba menghalau semua ketakutan dan kesakitan prianya.

Donghyuck bawa pemuda itu dalam dekapan hangatnya, berharap dinginnya rasa takut yang membelenggu prianya sirna begitu saja.

Lee Jeno itu cantik, dan seharusnya ia tak terluka.

Fin