enchanted
Sangju oneshoot AU!
Trigger warning ; mentally unstable, self-harm, anxiety,family trust issues, abusive parents, mental health issues, harsh word.
Content warning ; boyslove, one sided love, angst, hurt/ comfort.
There I was again tonight Forcing laughter, faking smiles Same old tired, lonely place Walls of insincerity, shifting eyes and vacancy Vanished when I saw your face All I can say is, it was enchanting to meet you.
“Dasar anak-anak tidak berguna!!” Malam itu Hyunjae, kakak kandung Juyeon, bersama dirinya meringkuk diatas keramik dingin. Membiarkan ibunya melempar sendok dan garpu kearah mereka. Berteriak marah diiringi air mata. Membuat kedua pria muda itu bungkam dengan sedikit gemetar. “TIDAK BERGUNA!” Setelah meneriaki keduanya, sang ibu pergi meninggalkan keduanya. Menutup pintu kamar dengan kencang dan menguncinya. Keduanya menghembuskan napas yang mereka tahan sejak tadi. Hyunjae merengkuh adiknya dan mengusap rambutnya, “its okay. Kakak disini”
Badan juyeon sedikit mendingin, degup jantung yang terlalu cepat hingga menimbulkan sakit. Juyeon mengangguk kecil saat suara Hyunjae menyapanya, menyeretnya kembali pada kesadaran.
Sejak kecil, ibu memang keras padanya dan kakaknya. Kak Hyunjae lahir entah dari ayah yang mana, sedangkan Juyeon lahir dari bibit lelaki yang meninggalkan ibu saat hamil besar. Membesarkan anak sulung dengan keadaan hamil besar sendirian bukan hal yang mudah, belum lagi kakek dan nenek yang telah lama berpulang.
Ibu harus berpikir keras untuk membiayai. Maka saat juyeon lahir, ibu kembali menjadi pekerja seksual, namun sosok ibu yang mereka miliki tak pernah sehangat ibu orang lain. Ibu cenderung kasar dan suka bermain tangan. Ibu berubah menjadi sosok yang temperamental, lebih parah dari sebelumnya.
Setelah lulus SMA hyunjae memutuskan melamar pekerjaan membantu keuangan keluarga. Setidaknya Juyeon harus bahagia.
Malam ini ibu mengamuk, sebab keduanya pulang telat dan belum ada makanan apapun dimeja yang membuatnya murka. Ibu pulang dengan keadaan lelah setelah seharian bekerja, dan tidak ada satupun anaknya yang bisa ia andalkan, pikirnya.
Sebenarnya harusnya ini sudah biasa. Namun tetap saja rasa takut dan sesak itu menyelimuti keduanya saat ibu marah.
“Kak Hyunjae gapapa kan??” Juyeon mengusap rahang kakaknya, sang kakak tersenyum. “Kakak gak apa, gak kena juga. Kita lanjutin yuk masaknya, kasian ibu kelaparan”
Juyeon yang masih sedikit gemetar itu mengangguk. Setelah keduanya berdiri, juyeon segera meneguk air putih dan melanjutkan kegiatan.
Malam itu Juyeon tak bisa tidur. Rasanya kepalanya cukup berisik penuh sumpah serapah yang seharusnya tak ia dengar. Juyeon beberapa kali menepuk kuping dan kepalanya, merengut dalam tidurnya. Napasnya memburu dengan keringat mengucur di pelipis.
Juyeon membuka mata sedikit, menoleh kearah Hyunjae, takut sang kakak terusik karena ulah dirinya. Beruntung Hyunjae masih terlelap. Maka guna meredam teriakan sumpah serapah dalam kepalanya itu, Juyeon membenturkan kepalanya beberapa kali hingga akhirnya berhenti.
“Belajar yang rajin ya sayangku” Hyunjae mengantar Juyeon hingga gerbang sekolah dengan motor matic yang keduanya naiki. Juyeon yang hari ini memakai Hoodie sengaja menutupi kepalanya dengan poni dan tudung. Juyeon tersenyum cerah sambil mengangguk, menyalami kakaknya yang berangkat kerja. Setelah Hyunjae melajukan motornya, Juyeon melambai. Dan mulai memasuki area sekolah. Melangkah dengan beberapa murid disana menuju kelasnya.
ㅡ
“Juyeon. Kepalamu benjol ya?”
Juyeon yang sedang menyimak pelajaran bahasa itu menoleh kearah teman sebangkunya, Changmin. Juyeon menatap mata bulatnya yang terlihat khawatir lalu tersenyum membalasnya. Tangannya terulur mengusak puncak kepala lalu kembali memfokuskan dirinya pada materi yang tengah diterangkan.
“Juyeon, nanti istirahat kita temui pak Sangyeon ya. Kita minta salep” bisiknya lagi. Juyeon kembali menatap pemuda tupai itu lalu kembali tersenyum menanggapinya. Juyeon mengangguk sekali, dan akhirnya keduanya kembali pada pelajaran yang tengah berlangsung.
“Ok, jadi kenapa bisa benjol begini?” Tanya pak Sangyeon. Pak Sangyeon adalah dokter UKS di sekolah mereka. Pria berusia cukup matang dengan wajah tampan, tegas, dan kepribadian yang amat sangat ramah. Juyeon agak sering mengunjungi UKS karena beberapa keadaan dari dirinya yang seringkali membutuhkan pengobatan medis. Terlebih lagi jika sudah kambuh, Juyeon seringkali melukai dirinya sendiri. Ya seperti tadi malam.
“Sepertinya Juyeon membenturkan kepalanya lagi. Iya kan?”
Ji Changmin adalah orang pertama. Orang pertama yang peka terhadap keadaannya. Juyeon dan Changmin teman satu kelas sejak SD, rumah mereka berdekatan. Melihat kondisi Juyeon sejak kecil, membuat Changmin peka terhadap tumbuh kembangnya. Changminlah orang pertama yang menyadari ada yang aneh dalam diri Juyeon. Changminlah yang pertama mengajak Juyeon memeriksakan dirinya ke psikiater. Changmin jugalah yang tak pernah meninggalkan meskipun Juyeon selalu merasa bahwa ia tak pantas.
“Obatnya diminum kan,Ju?” Pak Sangyeon mengoleskan salep pelan-pelan. Wajahnya begitu dekat, napasnya terasa menyapa permukaan kulit. Demi Tuhan, Pak Sangyeon adalah definisi sempurna.
Yang membuat Juyeon jatuh cinta.
“Diminum pak.” Jawabnya pelan.
“Kalau diminum, kenapa membenturkan kepalanya lagi hm?” Kini Pak Sangyeon beralih menyingkap Hoodie Juyeon. Memeriksa pegelangan tangan, lalu menyingkap celana sekolahnya hingga lutut, memastikan apakah Juyeon menorehkan luka baru diatasnya.
“Semalam berisik pak. Padahal sudah minum obat, kok.”
“Apa ibu semalam marah lagi, Ju?” Pak Sangyeon yang tak menemukan luka baru diatas kulit Juyeon itu menegakkan duduknya menyelami netra Juyeon si anak kucing didepannya.
Juyeon mengangguk pelan hingga terdengar helaan napas dari Changmin dan Sangyeon. “Tolong berhenti melukai dirimu sendiri ya.. karena kami berdua akan selalu ada disini untuk kamu. Terimakasih untuk tidak menambah luka diatas tangan dan kakimu, saya berharap kamu tidak memindahkan tempat lukanya. Tidak kan,Ju?”
Juyeon terkikik sebentar. Biasanya Juyeon menyayat lengan atau betis kakinya guna mengalihkan rasa sakit yang ia derita. Namun sebulan ini sebuah keajaiban terjadi dimana frekuensinya sudah jarang terjadi, hingga Juyeon tidak pernah menciptakan luka baru. Terimakasih kepada kak Hyunjae yang sudah menjaganya lebih ekstra selama ini, yang berhasil membuat Juyeon sibuk dan memiliki aktivitas yang bisa mengalihkan dirinya dari kebiasaan buruknya.
“Tidak Pak. Saya tidak melukai bagian diri saya yang lain. Sebulan ini, Kak Hyunjae selalu menemani saya kok”
Sangyeon tersenyum lalu mengusap pipi Juyeon lembut, “terimakasih sudah berjuang Juyeon.”
Tangannya meraih laci, menyodorkan dua buah coklat Kitkat kearah siswanya, “ini. Selamat makan siang ya. Belajar yang rajin”
Changmin dan Juyeon bersorak kecil, gembira sebab reward kali ini adalah sesuatu yang mereka sukai. Setelah berterimakasih, keduanya memutuskan pergi dari UKS. Membiarkan pak Sangyeon dengan gelak tawa melihat dua anak kucing yang bahagia hanya karena coklat darinya.
Lee Sangyeon. Pak Sangyeon adalah dokter UKS yang menggantikan dokter sebelumnya. Pak Sangyeon adalah pribadi yang ramah dan hangat. Bahkan disaat anak-anak membutuhkan pertolongan, dia akan selalu ada disana. Terdepan untuk menyelamatkan.
Pak Sangyeon adalah sesuatu yang bersinar, setidaknya menurut Juyeon. Tutur kata yang lembut dan halus, ramah dan murah senyum, bersahaja dengan dekapannya yang hangat membuatnya menjadi sosok idaman disekolah baik murid ataupun guru.
Tidak ada yang tidak menyukainya. Pria atau perempuan semua memujanya. Pak Sangyeon adalah harapan yang orang-orang perjuangkan,katanya.
Dan Juyeon tidak menyangkal. Itu benar.
Pak Sangyeon bagaikan matahari yang menjadi pusat rotasi bumi. Pak Sangyeon bagai matahari yang memancarkan kehidupan. Juyeon akui itu semua benar.
Apalagi, pak Sangyeon adalah orang kedua yang tak pernah meninggalkan dirinya. Bahkan disaat yang paling terpuruk sekalipun. Hyunjae dan Juyeon adalah kakak beradik pejuang mental, mereka bertahan hidup dengan hanya saling menggenggam. Tumbuh bersama ibu yang temperamental dan main tangan tentu memberikan efek buruk pada keduanya.
Juyeon yang dasarnya pemalu, menjadi tertutup karena keadaannya. Hingga Changmin datang merangkulnya. Ibu Changmin adalah psikolog, awalnya juyeon banyak dibantu oleh beliau, hingga akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi rutin ke psikiater sampai hari ini.
Pak Sangyeon dan Changmin bagai denyut nadi yang mengiringi. Mereka berdua adalah saksi hidup perjuangan Juyeon untuk bertahan.
Saat dunia dirasa kejam untuknya, Sangyeon dengan senang hati merentangkan tangan. Menyambutnya dalam satu pelukan. Membiarkan Juyeon menangis tanpa jeda hingga akhirnya jatuh terlelah. Sangyeon akan selalu ada mengobati lukanya. Sangyeon juga akan selalu siap menjawab telfonnya disaat-saat mendesak.
Pak Sangyeon adalah bunga. Ditengah gurun gersang yang Juyeon tinggali, Pak Sangyeon adalah bunga. Meski hari itu Juyeon ada disana, di hari-hari terberatnya, memaksakan tawa dan senyumnya, dengan ketidaktulusan dan ketidakadilan yang menjadi dinding yang membelenggunya, tempat yang sama dengan rasa sepi yang mendominasi, kehadiran Sangyeon adalah angin segar. Sangyeon dengan wajah tampan dan pribadi yang ramah adalah sesuatu yang mempesona yang ia temukan dalam kelamnya hidup miliknya.
Pak Sangyeon tidak pernah memaksakan. Kehadirannya tiba-tiba menjadi teman. Percakapan yang semakin sering, pertemuan yang menjadi rutinitas, keberadaannya adalah sesuatu yang mempesona.
Juyeon yang merasa dirinya rusak, rupanya telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada dokter UKS disekolahnya. Berada dalam jarak dekat terlalu lama, degup jantungnya berubah, kupu-kupu dalam perut yang menggelitik, dan semburat merah yang terlukis diatas pipi. Juyeon tak baik-baik saja ia kira. Tapi ternyata ini lebih dari baik-baik saja. Changmin yang pertama tertawa. Menyaksikan betapa Juyeon menjadi lucu karena cinta. Kikuk dan malu-malu, lebih pendiam dan sering menatap penuh puja.
“Coba saja dekati, Ju. Mungkin pak Sangyeon single”
Katanya hari itu. Membuat Juyeon semakin besar harapan. Juyeon tak ingin mengejar dengan kurang ajar sejujurnya, tapi Changmin selalu mendesak agar mencoba peruntungan.
“Changmin, aku yakin pak Sangyeon itu sudah ada yang punya”
“Dicoba aja dulu Juyeon”
“Enggak aku yakin. Pak Sangyeon itu keren, masa tidak beristri. Aku yakin sudah punya”
Meski jauh di lubuk hatinya Juyeon berteriak, tolong jangan memiliki tambatan hati, tolong jangan jatuh cinta pada orang lain, tolong balas saja perasaanku. Tapi sisi lain Juyeon bersikeras mengatakan bahwa Sangyeon bukan seseorang yang harus ia kejar.
“Kebiasaan kamu nih, suka kalah sebelum berperang” Changmin mencibir. Juyeon rasa ia tak perlu berperang disini, karena Juyeon yakin pak Sangyeon tidak sendiri seperti yang dikatakan Changmin.
“Juyeon?”
Sore itu Juyeon duduk di halte bis sendirian dengan earphone yang tersumpal ditelinganya. Saat seseorang menyapanya, Juyeon buru-buru melepasnya dan tersenyum ramah. Itu pak Sangyeon.
“Eh pak Sangyeon. Duduk dulu pak”
“Busnya belum datang?”
Juyeon mengangguk sambil tersenyum. Kakinya bergoyang maju mundur diatas tanah. Hal itu cukup lucu bagi Sangyeon.
“Bapak sedang nunggu jemputan sih, mau bareng?”
Badan juyeon menegak, lalu menggeleng kecil menolak tawaran yang lebih tua sodorkan.
“Juyeon habis ini mau pergi kemana?”
“Kayaknya aku gak kemana-mana pak, mungkin nunggu kak Hyunjae sama ibu aja pulang ke rumah”
Sangyeon terlihat mengangguk. “Kamu hebat. Kuat banget. Dari kecil selalu dikasari tapi kamu masih bisa berjuang untuk tetap disini”
Juyeon tersenyum, lagi. “itu semua berkat kak Hyunjae, Changmin dan pak Sangyeon. Dalam hidup Juyeon, kalian semua berharga.”
Sangyeon menepuk pundaknya sambil lagi-lagi tersenyum, “terima kasih kembali karena sudah menjadi kuat meskipun kami mungkin tidak selalu setiap detik sama kamu”
Juyeon menunduk. Tak bisa berlama-lama berduaan saja. Gemuruh di jantungnya semakin kacau. Kupu-kupu diperutnya semakin menggelitik. Juyeon jatuh cinta.
“Hari Minggu bapak mau olahraga di alun-alun. Mau bareng gak?”
Juyeon menatap netra pak Sangyeon yang teduh itu, Juyeon ingin sekali. Tapi hari Minggu, juyeon selalu berjanji menghabiskan waktu dengan Hyunjae.
“Hari Minggu, kak Hyunjae gak mau ditinggal pak. Dia jadi manja”
“Yah padahal saya ingin sekali sarapan bareng Juyeon. Bubur ayam disana katanya enak”
Jangan seperti ini. Jangan terlihat seperti memberi celah untuk Juyeon tetap berharap.
“Lain kali saja ya Pak. Semoga kita bisa makan bubur disana”
Juyeon kembali menunduk. Menatap sepatu putihnya lebih baik daripada harus menatap Sangyeon lama-lama.
Pak Sangyeon, tolong jangan jatuh cinta pada orang lain jika masih sendiri...
Apakah boleh Juyeon berharap? Apakah benar Sangyeon masih sendiri? Apakah pantas dirinya untuk bersanding Sangyeon yang mempesona? Apakah kurang ajar jika meminta waktu sangyeon untuk menjalin kasih bersama?
Juyeon takut dan benar-benar ragu. Selama ini ia membentengi diri agar tidak jatuh lebih jauh lagi.
Juyeon selalu berhati-hati, menempatkan diri pada posisi yang tidak melukai hatinya. Ia selalu percaya bahwa Sangyeon tak sendiri, maka ia tak boleh mengejar yang tak pasti.
Jika harus merasakan cinta satu arah yang diam-diam, Juyeon harus menerima konsekuensinya. Karena Sangyeon adalah pribadi yang mempesona diantara banyak pribadi lainnya. Dalam hidupnya yang suram, Sangyeon adalah cahaya.
Juyeon kembali bertekad akan ada kemungkinan terburuk yang ia jumpai jika gegabah mencintai sangyeon lebih jauh lagi dari ini.
“Jemputan bapak sudah datang, Juyeon. Yakin tidak mau bapak antar?”
Juyeon menengadah menatap mobil putih milik Sangyeon berhenti didepan halte bus. Kaca jendela supir yang menutup itu harusnya membuktikan pada Juyeon apakah prinsipnya membuatnya tersiksa karena mengutarakan cinta, atau benar karena ternyata asumsinya tidak salah.
Juyeon berani jatuh cinta, maka ia berani menanggung segala resikonya. Juyeon harus siap dengan kenyataan terburuk yang akan ia jumpai.
“Tidak usah pak Sangyeon duluan aja gak apa-apa”
Sangyeon berdiri setelah Juyeon berdiri, tangannya yang besar mengusak puncak kepalanya sekali lagi lalu membubuhi pelukan hangat yang entah untuk apa.
“Bapak duluan ya,Ju”
“Papa! Ayo cepat”
Kaca jendela mobil itu turun. Memperlihatkan seorang wanita cantik dengan rambut sebahu tengah melambai kearah mereka.
“Iya ma tunggu sebentar”
Juyeon akhirnya tahu. Dinding yang ciptakan benar-benar melindunginya dari sakit hati. “Itu istriku, gak apa kan Juyeon bapak tinggal sendirian?”
Juyeon tersenyum, entah mengapa ada sensasi ringan didada yang ia rasakan saat ini. “Busnya sebentar lagi datang kok pak. Bapak duluan saja, kasihan istri bapak nunggu lama”
“Ya sudah bapak pulang ya. Hati-hati dijalan juyeon, kapan-kapan sarapan bubur di alun-alun ya. Ajak Changmin juga”
Juyeon mengangguk antusias. Melambai dengan riang setelah Sangyeon memasuki mobil dan masih berusaha tersenyum padanya. “Hati-hati dijalan pak Sangyeon”
Dan mobil putih itu pergi. Membiarkan Juyeon menunggu busnya sendirian.
Untung saja Juyeon membatasi dirinya dengan dinding cukup tebal, jika tidak. Mungkin hari ini juyeon kembali hancur, karena dipermainkan oleh dunia.
Fin