Meaning Of Love ☑️

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon

Pesawat yang di tumpangi Ara sudah sampai di Bandara Frankfurt, tidak jauh dari Heidelberg tempat tinggal Yuno berada. Menggunakan kereta hanya menempuh jarak 1 jam 30 menit saja, lebih cepat di banding Ara harus landing di Berlin.

Yuno menunggu Ara di waiting room gadis itu bilang dia masih berada di imigrasi bandara. Siang ini, Yuno gak ada hentinya tersenyum, ia benar-benar bahagia karena sebentar lagi bisa bertemu dengan gadis yang sangat ia rindukan itu.

Mereka enggak ada rencana kemana-kemana hari ini, Yuno tahu Ara pasti akan lelah karena penerbangan panjang pertamanya. Jadi Yuno sudah menyiapkan beberapa hal yang akan mereka lakukan siang ini hingga malam nanti.

Begitu ponselnya bergetar halus di saku, buru-buru Yuno periksa. Dan benar saja, Ara mengiriminya pesan, bertanya keberadaan Yuno di mana karena ia sudah selesai melewati imigrasi bandara. Yuno berdiri, dan tidak lama kemudian ekor matanya itu mendapati Ara di ujung sana. Menyeret koper berwarna pink dan tas punggung yang senada dengan koper miliknya.

Gadis itu juga melihatnya, dan tanpa memperdulikan koper besar miliknya. Ara berlari ke arah Yuno, matanya bersinar cerah seperti ia tengah menemukan harta karun yang selama ini ia cari. Maka dari itu, Yuno merentangkan tangannya. Bersiap menangkap tubuh mungil itu untuk ia bawa pada dekap nya.

“Kak Yuno!!!” pekik Ara, tubuh mungilnya di tangkap oleh Yuno dengan gemas. Kaki nya itu bahkan nyari tidak menapak pada lantai karena Yuno sedikit mengangkat tubuh kekasihnya itu.

“Kangen,” ucap Yuno.

Ara memeluknya erat, menghirup aroma tubuh Yuno dengan rakus. Ia benar-benar merindukan cowok itu, Yuno enggak banyak berubah. Kulitnya masih putih pucat, hanya saja rambut cowok itu agak sedikit panjang dari yang terakhir Ara lihat.

“Sayang, kok nangis?” tanya Yuno, ia baru sadar jika bahu kecil Ara bergetar.

“Kangen, aku udah lama gak meluk Kak Yuno, nyium bau kamu, makan masakan kamu, di ajarin kamu. Pokoknya kangen, aku mau memonopoli kamu hari ini sampai besok dan seterusnya!”

Yuno mengurai pelukan itu, menangkup wajah gadisnya dan mengusap pucuk kepala nya itu. Ada sedikit air mata di ujung mata Ara yang ia usap dengan jarinya sendiri.

“Aku juga mau memonooli kamu, sayang, Jauh banget yah?”

Ara mengangguk, “Banget.”

“Capek gak hm?”

“Enggak, kok.” gadis itu tersenyum, matanya masih lekat menatap kedua netra legam di depannya itu.

“Kita pulang? Masih kuat naik kereta kan? Atau mau aku gendong aja?” Yuno menaikan satu alisnya, menggoda Ara hingga kedua pipi gadis itu merona.

“Apa sih, masih kuat tau aku. Tapi Kak Yuno bawain kopernya yah?”

“Tanpa kamu suruh, aku pasti bawain, yuk?” Yuno menggenggam tangan Ara, kemudian menggandengnya untuk keluar dari bandara.

Di perjalanan menuju Heidelberg, Ara banyak bercerita tentang perjalanan panjangnya. Dia bilang, dia bangga bisa berpergian sendiri seperti ini. Katanya sudah merasa seperti orang dewasa, walau di perjalanan Papa dan Bunda nya enggak ada henti-hentinya bertanya Ara sudah sampai di mana.

“Di dekat stasiun terakhir nanti, ada toko roti. Mau beli roti dulu gak?” Tanya Yuno waktu mereka hampir sampai.

“Mau!!”

Yuno tersenyum, “kamu udah kabarin Bunda sama Papa?”

“Udah kok, mereka lega banget waktu tau aku udah sampai.”

“Nanti sampai di apart, aku telfon Bunda kamu juga ya.”

Ara mengerutkan keningnya bingung, “buat apa? Kan Bunda udah tau aku sama kamu.”

“Ya buat ngasih tau kalo aku bakalan jagain kamu terus selama di sini, orang tua kamu pasti khawatir, makanya aku mau meyakinkan mereka kalo kamu aman sama aku, sayang.”

Ucapan Yuno barusan, berhasil membuat Ara mengulum senyumnya. Ia membuang pandanganya ke arah lain demi menahan senyum konyolnya, meski sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih. Ara masih mudah sekali tersipu karena kata-kata atau tindakan kecil yang Yuno lakukan untuknya.

“Di sini Kak Yuno udah punya teman belum?” tanya Ara tiba-tiba.

Yuno hanya menggeleng, ia baru beberapa hari pindah ke Heidelberg. Yuno belum mengenal banyak orang di sini, ia hanya baru berkenalan dengan tetangga sebelah apartemen nya saja karena mereka berkuliah di kampus yang sama.

“Cuma baru punya 1 kenalan, dia kakak tingkat aku di kampus.”

“Cewek?” tebak Ara.

“Cowok, sayang.”

Ara mengangguk-angguk. “Tapi Jerman baik-baik aja kan, Kak? Lebih betah di Jakarta atau di sini?”

“Kalau di sini, aku bisa sedikit bebas karena gak selalu di awasi Papa. Tapi kalo di Jakarta ada kamu.”

“Jadi?”

“Aku pilih yang ada kamu nya.”

“Ih gombal!!” pekik Ara.

Apartemen Yuno sudah rapih sekarang ini, cowok itu ngebut semalaman untuk merapihkan apartemen nya. Di tempat tinggalnya yang sekarang ini memiliki 2 kamar tidur, kamar Yuno tentunya lebih besar dari pada kamar tamu.

Di ruang tamu yang sekaligus ruang TV, Yuno memajang pigura foto dirinya sekaligus kedua orang tua nya. Sedangkan di meja dekat TV dan rak buku, ia taruh fotonya berdua dengan Ara serta foto kelulusan SMA nya.

Yuno juga menaruh tanaman hias serta vinyl koleksi Yuno yang ia beli di toko musik beberapa bulan yang lalu, Yuno itu suka sekali mengoleksi vinyl. Bahkan ia juga membeli Gramofon untuk sesekali ia putar vinyl itu jika sedang bosan.

Selama di Jerman, Yuno merasakan bisa menjadi dirinya sendiri yang mencintai musik. Berbeda jika di Jakarta dan tinggal dengan orang tua nya, Papa akan membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan musik. Entah apa yang membuat Papa begitu membenci musik.

Sembari menyiapkan cemilan dan teh untuk Ara, sesekali Yuno melirik gadisnya itu yang sibuk berkeliling melihat apartemen Yuno yang baru.

“Kak Yuno beli vinyl juga di sini?” tanya Ara, sampailah gadis itu di rak vinyl koleksi Yuno itu.

“Iya, masih sedikit tapi. Kamu mau dengerin?”

“Boleh, aku pilih sendiri boleh?”

“Boleh sayang.”

Ara nampak begitu tertarik dengan koleksi vinyl milik Yuno, ia lihat satu persatu. Setelah selesai membuat cemilan untuk Ara, di taruh nya cemilan dan teh itu di meja ruang TV dan Yuno hampiri Ara yang masih nampak bingung di depan rak vinyl koleksinya.

“Baby, I'm for Real, I Like It, They long to be, Close to You, Close To You,” gumam Ara, membuat Yuno di sebelahnya tersenyum kecil. “Kak Yuno suka yang mana? Aku belum pernah dengar lagu-lagu ini sebelumnya.”

“Baby, I'm For Real,” jawab Yuno, ia juga mengambil vinyl nya kemudian memasangnya di Gramofon.

Begitu lagunya di putar, Ara memejamkan matanya. Menikmati alunan lagu itu sembari sesekali ia bergumam, ia seperti pernah mendengar lagu ini sebelumnya.

“Suka gak?” sebelumnya Yuno belum pernah melakukan ini, menyelipkan rambut panjang gadis nya ke belakang telinga, agar tidak menghalanginya melihat wajah cantik kesayangannya itu.

Dan perlakuan kecil Yuno itu berhasil membuat Ara membuka kedua matanya, degup jantungnya menjadi semakin menggila ketika kedua netra legam itu kini menatapnya lekat, seolah-olah jika Yuno berkedip sedetik saja Ara akan hilang dari pandanganya.

“Kak Yuno?”

“Hm?”

Ara mengulum bibirnya, sejujurnya ada hal yang sangat ingin Ara lakukan jika sudah bertemu dengan Yuno. Ah tidak, lebih tepatnya hal yang ingin Ara dululah yang memulainya. Jadi, biarkan kali ini ia mengalahkan akal sehatnya sendiri. Dengan mengubah posisinya menjadi menghadap Yuno.

Kedua anak manusia itu saling tersenyum, alunan musik yang masih berputar itu seakan mengantarkan mereka pada dunia mereka berdua. Dunia yang seolah-olah hanya mereka lah yang tinggal di sana.

Telat Ara menyadari jika tangan Yuno sudah berada di pinggangnya, memeluk pinggang ramping itu untuk semakin dekat dengannya. Mengabaikan degup jantungnya yang semakin menggila, Ara memberanikan diri untuk membawa tengkuk Yuno semakin dekat dengan wajahnya. Hingga saat ini bibir keduanya bertemu.

Jujur saja, Yuno sedikit terkejut. Ara terlalu lugu untuk memimpin kecupan-demi kecupan ini, namun Yuno tetap membiarkan gadis nya itu memimpin. Jadi, ia pejamkan matanya dan ia balas kecupan itu perlahan-lahan.

Ara sempat berhenti sebentar, keduanya tersenyum sampai akhirnya Yuno lah yang bergantian menciumi bibir mungil itu duluan. Melalui lumatan kecil itu, Yuno hanya ingin mengutarakan kerinduannya, kasih sayang dan cintanya pada gadisnya itu.

Ara yang masih terlalu gamang untuk menyeimbangi itu hanya meremas kemeja yang Yuno pakai, namun perlahan tangannya naik mengusap pundak Yuno dan mengigit bibir cowok itu dengan gemas.

Decapan demi decapan mendominasi ruangan itu, sebelum semuanya semakin jauh. Yuno sudahi kecupan itu, membiarkan gadisnya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Jujur saja, 2 tahun berkencan dengan Ara. Baru hari ini mereka berciuman selama itu dan Ara yang memulainya.

“Kak?”

“Hm?” Yuno mengangkat satu alisnya.

“Ak..ku mau ganti baju dulu.”

Yuno tersenyum, ia kemudian mengangguk kecil. Ia tahu Ara malu, terlihat dari bagaimana semburat kemerahan itu muncul di kedua pipinya. Begitu sampai di dalam kamarnya, Ara langsung membanting dirinya ke atas ranjang dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

Dia gak ada hentinya meruntuki dirinya sendiri yang dengan beraninya mencium Yuno seperti tadi, bahkan sekelebatan bayangan tentang bagaimana ia mencium cowok itu terus berputar di kepalanya.

“Aaaaahhhh stupid..” pekiknya tertahan, Ara malu setengah mati. Bagaimana jika setelah ini Yuno jadi berpikir jika ia adalah gadis yang agresif.

Pagi itu setelah sarapan selesai, Yuno menepati janji mengajak Ara berkeliling Heidelberg. Seperti kebanyakan turis, Yuno mengajak Ara terlebih dulu ke Heidelberg Altstadt. Kota tertua yang ada di Heidelberg.

Hari ini Ara mengenakan Midi Dress dengan motif bunga di padu dengan Balero Monokrom dan Sneakers putih yang Yuno belikan sebagai hadiah ulang tahun Ara ke 16 tahun, Rambut panjang gadis itu tergerai cantik dengan jepit rambut berbentuk paw kucing di sisi kanan dan kirinya.

Ara jarang sekali mengenakan Midi Dress, tapi hari itu ia mengenakannya. Di perjalanan menuju Heidelberg Alstadt, Yuno sesekali memotret gadisnya itu. Ara benar-benar indah hari itu, lebih indah dari pada sungai Neckar di musim semi.

Begitu sampai di Heidelberg Altstadt, Ara banyak memotret kota itu. Sesekali ia juga bertanya pada Yuno setiap ada hal yang menarik perhatiannya. Tadinya ia ingin membuat mini vlog, tapi ia takut tidak menikmati perjalananya. Jadi ia urungkan niat itu.

“Di sini ternyata banyak turis ya, Kak. Banyak orang Asia juga.” Ara melihat ke sekelilingnya yang hari itu cukup ramai, banyak turis yang berjalan-jalan atau antre makanan di kedai-kedai yang ada di sana.

“Apalagi kalo summer lebih ramai lagi, kalau natal juga lebih ramai lagi. Bahkan ada pasar natal loh.”

“Iya? Apa kalau natal aku ke sini lagi aja?”

Yuno mengangguk kecil, jika di tanya ingin egois. Ia ingin sekali menahan Ara untuk tetap disini bersamanya, ia ingin menikmati kota ini bersama dengan gadis yang itu setiap harinya.

“Ini gelato yang paling ramai, kamu mau cobain gak?” mereka berhenti di sebuah kedai gelato yang pagi itu sudah ramai antrean hingga keluar kedai nya.

“Enak banget kali ya, Kak?” tanya Ara, ia menoleh ke arah Yuno.

“Mungkin, aku belum pernah cobain. Tapi 2 kali ke sini, kedainya selalu ramai. Mau coba?”

Ara mengangguk, mereka akhirnya sepakat untuk mengantre di depan kedai itu. Walau antreannya cukup panjang, 15 belas menit kemudian mereka sudah mendapati 2 gelato dengan rasa pistacio dan Stracciatella, Yuno bertanya katanya dua rasa itu paling laris.

Sembari jalan memperhatikan sekitarnya Ara menikmati gelato di tangan kirinya, sementara tangan kanan Yuno genggam dengan erat. Hari itu Heidelberg Alstadt begitu ramai Yuno takut Ara tertinggal atau tertabrak orang lain yang tubuhnya lebih besar dari gadis itu.

“Itu Kastil bukan sih, Kak?” Ara menunjuk sebuah Kastil di ujung sana yang tampak usang namun tetap memikat karena tampak indah, Kastil itu berdiri kokoh di atas gunung.

“Kastil Heidelberg, mau ke sana, sayang? Itu Kastil tertua loh.”

“Jalan yah?”

“Kalau mau jalan bisa, tapi aku gak yakin kamu kuat. Karena lumayan jauh, naik Bergbahn aja ya?”

Bergbahn?” Ara mengerutkan keningnya bingung.

“Itu kereta buat naik ke atas sana.”

“MAU!!!” pekik Ara.

Saking senangnya, saat berjalan menuju stasiun Ara sempat bersenandung kecil. Saat kedua mata mereka bertemu, keduanya saling tersenyum. Rasanya sudah lama sekali Yuno tidak merasakan sensasi menyenangkan seperti ini.

“Keretanya lucu ya, Kak. Bentuknya miring-miring gitu,” ucap Ara, jari telunjuknya terulur di udara seolah-olah ia sedang menggambar mengikuti likuk pola kereta gunung yang bentuknya sangat unik itu.

“Waktu pertama kali lihat aku juga mikir gitu, bentuknya lucu. Tapi setelah aku tau fungsi dari bentuknya yang gak biasa itu aku jadi sadar, kalau kereta ini di desain supaya penumpangnya lebih nyaman waktu kereta nya nanjak. Gak ada tuh kita jadi maju-maju ke depan karena keretanya lagi nanjak, penumpangnya bakalan berdiri atau duduk tetap stabil di dalam,” jelas Yuno.

“Ahhhh,” Ara mengangguk-angguk.

Bentuk keretanya memang unik, semakin ke belakang akan semakin tinggi dengan bentuk menyerupai zig zag. Ara belum pernah melihat bentuk kereta yang seperti ini, ah. Lagi pula ini perjalanan keluar negeri pertamanya, jadi wajar saja kan kalau banyak hal yang tidak ia ketahui.

Begitu sampai di atas Kastil, Ara melepaskan gandengan tangan Yuno. Gadis itu berlari kecil untuk bisa berada di sisi Kastil demi bisa melihat pemandangan kota Heidelberg dari atas Kastil.

Dari atas sana Ara bisa melihat jalanan yang ramai, pemukiman warga, sungai Neckar, gereja dan juga bangunan-bangunan yang tampak rapih.

“Kak Yuno ini bagus banget tau, keren!! Aku rasanya kaya jadi ratu.”

Yuno terkekeh, gak tahan dengar celotehan Ara yang kadang mirip anak kecil itu. “Kastil nya emang pernah jadi tempat tinggal Raja jaman dulu. Umurnya juga udah tua banget walau pernah beberapa kali di lakuin renovasi.”

“Di dirikan pada tahun 1214 dengan gaya Gothic-Renaissance,” lanjut Ara yang membuat Yuno terpukau.

“Kok pinter pacar aku?”

“Di kereta tadi aku sempat baca dari Google. Habisnya semua petunjuk disini pakai bahasa Jerman.”

Yuno terkekeh, ia kemudian berdiri di samping Ara yang tengah menikmati pemandangan kota dari atas Kastil itu. Rambut panjangnya berterbangan, membuat Yuno berdecap kagum dalam hati karena 2 keindahan yang disuguhkan di depannya.

“Itu,” Ara menunjuk sebuah bangunan yang ada di tengah sana. “Gereja Heiliggeistkirche yang kita lewatin tadi waktu ke Marketplaz kan, Kak?”

“Um,” Yuno mengangguk, “terus yang di sana itu namannya Alte Brücke, jembatan tua yang ada di atas sungai Neckar. Sebelum ke kampus aku, mau ke sana dulu gak?”

“Tapi ramai banget, Kak.”

“Tapi di sana ada patung monyet.”

“Hah?” Ara menoleh, menatap wajah Yuno dengan kening berkerutnya. “Patung monyet?”

Yuno mengangguk, “ada kepercayaan penduduk sini yang bilang, kalau kita pegang dan ngusap tangan monyetnya. Maka kita akan di bawa kembali ke Heidelberg, tapi kalau kita ngusap kaca yang di bawa sama patung monyetnya, katanya kita bakalan di beri keberuntungan.”

“Serius, Kak?”

Yuno menggedikkan kedua bahunya, “gak tau yah benar atau enggak, tapi udah jadi kepercayaan penduduk disini.”

“Aku mau coba kalau gitu! Aku mau—” ucapan Ara tertahan, ia tersenyum jahil membuat Yuno menaikan satu alisnya karena penasaran apa yang akan Ara ucapkan selanjutnya.

“Mau apa?”

Dengan gerakan yang sangat cepat, Ara berjinjit dan menarik kerah baju Yuno. Ia layangkan satu kecupan di pipi cowok itu, kemudian berlari. Membuat Yuno tersenyum cerah dan mengejar gadis yang sudah mencuri ciumannya itu.

“Awas ya kamu, heh Ara siapa yang ngajarin kamu nyuri ciuman kaya gitu?” ucap Yuno setengah berteriak.

“Kak Yuno yang ngajarin aku!!”

Yuno setengah berlari mengejar Ara, gadis itu sudah tidak berlari, ia hanya berjalan agak cepat menghindari Yuno.

“Kamu mau apa tadi?” tanya Yuno.

“Mau megang kaca di patung monyet nya, terus megang tanganya juga biar bisa balik ke sini lagi. Biar bisa nemenin Kak Yuno lagi disini.”


Begitu sampai di kampus Yuno, Ara tidak ada hentinya terpukau pada bangunan besar itu. Ara sempat mencari tahu tentang sejarah dari kampus kekasihnya itu, ternyata Ruprecht Karls University Heidelberg menjadi kampus tertua di Jerman sekaligus kampus terbaik se Eropa.

Ara gak heran kalau Yuno di terima di kampus itu karena cowok itu memang sangat pintar, walau kadang Ara suka merasa Yuno kurang percaya diri dan di tuntut untuk tidak cepat puas dengan apa yang ia dapatkan.

“Bagus banget, Kak. Jadi nanti Kak Yuno bakalan belajar disini?”

Yuno mengangguk, “di sini juga ada fakultas psikiatri dan psikologi, kamu gak mau kuliah di sini aja sama aku?

Ara tersenyum, Ara memang enggak bodoh di sekolahnya ia juga bukan termasuk deretan murid dengan segudang prestasi. Ara hanya murid biasa-biasa saja dengan nilai yang selalu stabil, ia sendiri bahkan enggak yakin bisa masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Walau Yuno kadang suka marah jika Ara selalu memikirkan kemungkinan terburuk dan meremehkan dirinya. Tapi tetap saja Ara susah untuk menepis pikiran buruk itu, semakin dewasa ia hanya tidak ingin berekspektasi berlebihan pada hidupnya. Ara tidak ingin kecewa dan membuatnya sakit, itu saja. Ia hanya berusaha menjadi gadis yang realistis.

“Aku aja gak yakin bisa masuk PTN di Indo, Kak. Apalagi masuk kampus kamu,” cicitnya. Ia duduk di taman kampus itu sembari menikmati semilir angin musim semi dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar taman.

Kalau sudah begini, kadang Yuno jadi jengkel sendiri. Ia benci Ara meragukan dirinya sendiri, padahal selama ini Ara yang selalu meyakinkannya jika Yuno bisa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

“Kenapa? Kan aku bisa bantu kamu.” Yuno duduk di sebelah gadis itu, menatap Ara yang masih terpukau pada gedung di depan mereka.

“Aku kan juga harus berbagi sama Mas Yuda sama Reno juga.” Meski terbilang keluarga yang berkecukupan, Ara tahu seberapa Papa bekerja keras demi bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Kantor agency advertising yang di dirikan Papa pernah mengalami titik terendah dimana Papa harus mengurangi jumlah pegawainya, bahkan Papa juga harus menggadaikan surat rumah yang di tempati dulu demi menyelamatkan perusahaanya yang nyaris gulung tikar itu. Kehidupan Ara berubah drastis, bahkan Ara terpaksa harus pindah ke sekolah biasa di Jakarta karena Papa tidak sanggup membiayai Ara di sekolah lamanya.

Yuno paham yang Ara bicarakan, Ara juga sudah pernah bercerita tentang pasang surut ekonomi keluarganya itu padanya.

“Aku bantu supaya kamu bisa dapat PTN di kampus yang kamu mau ya?”

“Beneran?”

“Nanti malam kita belajar?”

Kedua bahu Ara itu merosot, niatnya kan ke Jerman hanya ingin berlibur dan berkencan dengan Yuno. Tapi cowok itu justru mengajaknya untuk belajar.

“Kak....”

“Apa sayang?”

“Masa belajar sih?”

“Kamu mau dapat PTN gak?”

Ara mengangguk, wajahnya itu cemberut dengan sebal. “Tapi, Kak...”

“Kalau bisa ngerjain soal yang aku kasih nanti ada hadiahnya.”

“Apa apa?” Ara mengedipkan kedua matanya dengan penasaran.

“Rahasia lah.”

“Cium ya?”

“Ara...”

“Kan kamu yang ngajarin aku ciuman.”

Pagi ini Ara bangun lebih dulu dari pada Yuno, ah tidak, sejujurnya tidur gadis itu enggak cukup pulas dari hari-hari kemarin. Ia masih bertanya-tanya siapa pemilik rambut bloonde dan jepitan bunga lily yang ada di kamar tamu Yuno.

Ara enggak mau menanyakan hal ini langsung ke Yuno, ia lebih memilih memendamnya dan berharap Yuno akan jujur soal hal yang mengganggunya itu, Gita pernah menasihati Ara dulu sewaktu ia bercerita menyembunyikan hal menganggu tentang hubungannya dan Yuno dulu.

Gita bilang, Ara dan Yuno kurang terbuka. Keduanya seperti suka menyembunyikan hal-hal yang seharusnya bisa mereka tanyakan dan bicarakan langsung, namun keduanya lebih memilih memendamnya. Ara tahu ini enggak baik, tapi dia hanya bingung dari mana ia harus memulai membicarakan hal ini dengan Yuno.

Ia takut bertengkar, lagi pula selama ini ia dan Yuno tidak pernah bertengkar hebat. Hubungannya terlalu mulus, bahkan Echa sempat mempertanyakan apakah hubungan yang tanpa ada pertengkaran di dalamnya itu adalah hubungan yang baik-baik saja?

Sedang sibuk membuat pancake di dapur Yuno, tiba-tiba saja pintu kamar cowok itu terbuka. Menampakan Yuno dengan rambut berantakan khas bangun tidur dan mata sayu nya, cowok itu tersenyum manis ketika mendapati Ara sedang membuat pancake di dapurnya.

“Pagi,” sapa Ara sewaktu Yuno duduk di meja pantry sembari meminum oat milk yang Ara sudah siapkan di sana.

morning too, sayangku.”

“Aku bikin banana pancake pakai resep nya Bunda Lastri. want to try it?

sure.

Ara tersenyum, ia mengambil satu pancake dan menyusunya di piring. Ia juga menambahkan irisan pisang dan madu di atasnya. Kemudian membawanya ke meja pantry, duduk di sana sembari menunggu Yuno mencicipi pancake buatannya.

“Aku cobain yah?” ucap Yuno, ia memotong pancake itu dengan garpu di sana kemudian mencicipinya.

Di kursinya, Ara memperhatikan Yuno mencicipi masakannya. Sesekali ia menelan saliva nya sendiri, Ara pernah berpikir jika Yuno cocok sekali membawakan acara wisata kuliner. Cowok pintu pandai membuat orang lain tergiur untuk mencicipi makanan yang ia makan, selain itu Yuno juga pandai menilai makanan dan menjelaskan seperti apa rasanya.

“Enak,” jawabnya kemudian, kedua mata kecilnya itu berkedip lamban seperti seekor kucing. Yuno menikmati sekali makanan yang tengah ia makan saat ini.

Pada suapan kedua, ia berdeham. Kemudian kembali tersenyum saat kedua matanya menatap mata sang gadis yang duduk di depannya.

“Karna pakai resep Mama, udah pasti enak. Tapi punya kamu punya ciri khas nya sendiri,” lanjutnya.

“Apa?”

“Punya Mama itu agak sedikit basah, sedangkan punya kamu agak kering. Ada aroma smoky nya juga dan gak terlalu manis, aku suka. Luar nya agak crispy tapi dalamnya soft. enak kok, kamu cobain dong. Masa aku makan sendiri, mana belum sikat gigi lagi.”

Ara terkekeh, ia juga lupa mengingatkan Yuno untuk mencuci muka dan menyikat giginya dulu sebelum sarapan. Ia terlalu excited untuk menyuruh cowok itu mencicipi masakannya.

“Dasar jorok!” ledek Ara.

Keduanya akhirnya makan bersama pagi itu. Walau sesekali Ara masih kepikiran tentang rambut yang ada di kamarnya, sembari makan, Sesekali ia memperhatikan Yuno yang tampak khidmat saat menikmati makanannya.

“Kak?”

“Sayang?”

Ara menarik nafasnya, “kamu duluan.”

“Kamu mau ngomong apa tadi? Kamu duluan aja.”

“Kamu aja, aku lupa mau ngomong apa,” Ara meringis. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya mengenai rambut dan jepitan itu.

“Sore nanti teman aku mau ke sini, aku udah janji mau ngenalin kamu sama mereka.”

“Oh ya?”

Yuno mengangguk, “kamu penasaran kan sama teman-teman aku. Ya walau bukan teman kampus sih, mereka ini teman aku waktu masih sekolah bahasa. Mereka Josep, Ann dan satu lagi. Namanya Roselie aku gak yakin dia bisa datang sih.”

Ara mengangguk, ia memang pernah bilang kalau ia ingin di kenalkan dengan teman-teman Yuno. Yuno pernah bercerita kalau ia mengenal banyak orang asing dari berbagai negara yang baik sekali dengannya, terutama di saat Yuno sedang merasa kesusahan. Dan Ara ingin tahu mereka yang sudah membantu kekasihnya itu di saat ia jauh darinya.

“Mereka orang mana aja, Kak?”

“Josep itu dari Thailand, Ann dari Indonesia. Kalau Roselie dari Paris.”

Ara mengangguk-angguk, untungnya mereka sempat membeli stok cemilan kemarin. Yuno enggak cerita kalau teman-temannya akan datang hari ini, kalau tahu begitu Ara kan bisa belanja lebih banyak lagi.

“Sayang?” panggil Yuno mengintrupsi lamunan Ara.

“Hm?”

“Mau ngomong apa sih tadi?”

“Ahh,” Ara menggaruk tengkuknya itu, dengan salah tingkah. “Aku lupa, Kak. Nanti aja ya kalau udah ingat.”

“Beneran?”

“Um.” ia mengangguk.

“Yaudah, kalau gitu aku mandi dulu. Piring kotornya jangan kamu yang cuci, biar aku aja. Kan kamu udah bikin sarapan pagi ini.” Yuno beranjak dari kursinya, sebelum mandi ia kecup dulu kening gadisnya itu.

Setelah kepergian Yuno, Ara membenahi piring-piring kotor itu sembari melamun. Jujur saja perasaanya agak goyah, Ara terlalu banyak berpikiran buruk, memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari mana rambut dan jepitan itu asalnya. Termasuk memikirkan kemungkinan terburuk jika benar Yuno membawa gadis lain lebih dulu ke apartemen nya.

“Mikirin apa sih gue astagaaa, gila kali! Kak Yuno gak mungkin kaya gitu,” gumamnya, ia memukul kepalanya sendiri. Menghalau pikiran buruknya itu tentang cowok yang sudah ia percayai.


Sebelum teman-teman Yuno itu datang, Ara sempat memakai riasan wajahnya dulu. Ia juga mengenakan baju terbaiknya karena Yuno bilang mereka akan membuat pesta kecil-kecilan di apartemen Yuno, setelah mengoleskan liptint di atas bibirnya. Gadis itu berdiri, memeriksa penampilannya.

Dan tidak lama kemudian, bel apartemen Yuno berbunyi. Ara berinisiatif untuk membukakan pintu apartemen itu karena Yuno sedang pergi keluar sebentar, ia bilang mau membeli ice cream untuk mereka dan juga teman-temannya.

Saat Ara membuka pintu, di depan sana sudah ada seorang laki-laki berwajah khas Asia dan 2 orang perempuan. Ara tersenyum, namun senyum itu gak bertahan lama ketika ia mendapati gadis yang berdiri di belakang sana berambut bloonde.

“Haiii,” sapa cowok itu yang Ara tebak itu adalah Josep.

“Ha..hai. Come on in, Yuno is going out for a bit to buy ice cream.

Ara menyuruh teman-teman Yuno itu masuk, saat ia berpapasan dengan gadis berambut bloonde itu. Perasaanya semakin tidak karuan, apalagi saat ia berhenti tepat di depan Ara dan tersenyum.

“Hai, Ra. Aku Ann, aku temannya Yuno yang sama-sama dari Indonesia.” ia menjulurkan tangannya, dan Ara menjabat uluran tangan itu dengan hangat.

“Ara, Kak. Pacarnya Kak Yuno.”

Gadis itu tersenyum, kemudian merangkul Ara dan keduanya duduk di sofa yang sama. Ara pikir gadis bule yang duduk bersama Josep itu adalah Roselie, tapi Josep menggunakannya dengan nama Alice dia adalah pacarnya Josep.

I never imagined that Yuno would date a high school student,” Josep terkekeh, wajah Ara yang terlihat sangat muda membuat Josep berpikir tadinya jika Ara masih duduk di bangku SMP.

Yuno and I were in the same school, he was my senior. and our relationship continues until now, by the way I have graduated from high school and am preparing to enter college,” jelas Ara.

i've never been in a relationship that long. Ara, do you ever get bored with Yuno? especially now that you're in a long distance relationship,” tanya Alice, dia takjub banget sama hubungan Ara dan Yuno. Apalagi Ara yang tampak berpikiran dewasa, yah walau kelihatannya saja. Alice enggak tahu aja kalau Ara hobi sekali merajuk.

Ara tersenyum kikuk sebelum menjawab pertanyaan Alice, dan Ann tampak menunggu Ara menjawab pertanyaan itu.

I think every long-lasting relationship must have felt bored, but you can overcome that boredom. A long-distance relationship with Yuno is indeed a bit torturous for me sometimes, I have to endure a lot of longing and sometimes become the one who always waits for his news, but I understand all that. I can understand his busyness, because for me this relationship is not just about me in his life.

“Aahhhh so sweet,” pekik Alice, ia kagum dengan cara berpikir Ara yang menurutnya masih sangat muda itu.

Tidak lama kemudian Yuno datang, membawa 3 ice cream di kantung belanja yang ia bawa. Sore sampai menjelang malam itu mereka habiskan dengan banyak mengobrol dan bermain game, beberapa kali bahkan Josep dan Alice menawari Ara untuk mencicipi wine yang mereka bawa.

no, she doesn't drink wine,” Yuno menjauhkan gelas wine yang Josep berikan pada Ara itu.

she's not a school kid anymore right? you have to teach him to drink wine Yuno.

No, Josep. She is allergic to wine,” Yuni melirik Ara dan mengedipkan satu matanya kepada gadis itu, memberi kode jika Ara benar-benar alergi dengan wine agar ia bisa memakai alasan itu untuk menolaknya.

Is what Yuno said true?” tanya Josep ke Ara.

“Um,” Ara mengangguk, karena merasa tidak nyaman di sana. Ara akhirnya menyingkir, ia berjalan ke balkon menyusul Ann yang tengah berada di balkon sana, tadi ia sedang menerima telfon makanya menyingkir sebentar.

“Kak?” sapa Ara, membuat Ann tersenyum.

“Haii.”

Keduanya akhirnya mengobrol di balkon, sementara Yuno, Josep dan Alice masih bermain kartu di ruang TV.

“Kamu pacaran sama Yuno udah lama juga yah, Ra.” ucap Ann memecahkan hening di antara mereka.

“Um, aku juga gak nyangka bisa selanggeng ini sama Kak Yuno.”

Ann menoleh, ia mengerutkan keningnya bingung. “Kok ngomong gitu? Memang pernah mikir gak akan langgeng sama dia?”

Ara mengangguk, ia pernah berpikir hubunganya dengan Yuno tidak akan berlangsung lama, mengingat dulu banyak sekali pihak yang keberatan dengan hubungan mereka, terutama dari kalangan gadis-gadis sekolah yang menyukai Yuno. Ara bahkan pernah menjadi korban bully hanya karena ia adalah pacar Yuno, enggak masuk akal kan? Memangnya jatuh cinta adalah sebuah kejahatan?

“Ada banyak orang yang keberatan sama hubungan aku dan Kak Yuno.”

“Oh ya?” Ann berbalik, ia mengambil posisi menyamping agar bisa melihat Ara sepenuhnya. Ia begitu tertarik dengan cerita gadis itu.

“Dulu, Kak Yuno di sekolah banyak banget yang nyukain. Waktu hubungan kami banyak di ketahuin orang, aku sempat jadi public enemy hanya karena mereka mikir aku enggak cocok sama Kak Yuno.”

“Jahat banget, kok mereka bisa mikir gitu? Terus kamu diam aja?”

Ara mengangguk, “mungkin mereka mikirnya aku gak secantik itu buat jadi pacarnya Kak Yuno, gak terkenal juga kaya cewek-cewek yang pernah di jodoh-jodohin sama Kak Yuno. Aku juga enggak berani ngelawan, aku gak suka jadi pusat perhatian. Kalau aku ngelawan nanti masalahnya jadi tambah rumit.”

Ara benci jadi pusat perhatian, apalagi harus tersandung kasus di sekolah. Ia hanya ingin kehidupan SMA nya berjalan mulus dan bisa lulus tepat waktu, itu saja. Makanya Ara enggak melawan atau cerita ke Yuno soal perundungan yang pernah ia alami dari gadis-gadis yang menyukai cowok itu.

“Tapi Yuno tau kan?” tanya Ann.

Ara menggeleng, “aku gak pernah cerita sama Kak Yuno. Lagi pula, aku masih bisa nyelesain masalah itu sendiri kok.”

Ann jadi enggak tega sendiri lihat Ara, dia gak bisa membayangkan semengerikan apa perundungan yang ia dapat di sekolahnya dulu. Ara seperti sedang mengencani idola sekolah.

“Kamu hebat banget, tapi lain kali. Kamu harus lebih banyak ngobrol sama Yuno. Apalagi masalah itu juga menyangkut sama dirinya.”

“Um,” Ara mengangguk.

Mereka sempat hening beberapa saat sampai akhirnya Ann mengambil pot bunga bunga berukuran sedang di sana yang di tanami Monstera.

“Aahh agak kering, Yuno pasti lupa nyiramnya nih. Waktu aku ke sini, aku beliin Monstera dan naruh di sini supaya lebih bagus, Monstera juga punya makna yang bagus, makanya aku beliin ini buat dia,” ucap Ann.

Di tempatnya Ara membeku, dadanya sedikit sesak, dan ia berharap ia salah mendengar ucapan Ann barusan.

“Kak Ann yang beli?” tanya Ara untuk memastikannya sendiri.

“Um, aku belinya sama Yuno. Di Altstadt waktu kita lagi jalan-jalan di sana dan mampir ke toko bunga yang juga jual tanaman hias.”

Jadi, apakah pemilik jepitan dan helaian rambut bloonde itu milik Ann? Tapi kenapa Yuno tidak bercerita padannya? Apa yang mereka lakukan berdua? Pikir Ara.

Sudah dua jam Yuno dan Ara belajar, lebih tepatnya Ara yang belajar karena Yuno hanya memantau dan mengoreksi soal-soal yang ia anggap salah, kemudian mengajari gadis itu hingga Ara paham. Dengan sabar Yuno mengajarkan satu persatu soal, walau terkadang konsentrasi Ara suka buyar dan sering mengalihkan konsentrasinya juga.

Seperti saat ini, saat Yuno sedang menjelaskan letak kesalahannya pada soal matematika, alih-alih memperhatikan buku serta penjelasan Yuno. Gadis itu justru lebih tertarik memperhatikan wajah kekasihnya itu.

“Sayang..” tegur Yuno, namun Ara malah tersenyum sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya itu.

“Ini aku merhatiin tau,” sangkalnya.

“Yang kamu perhatiin muka aku, bukan soalnya. Ayo dong serius, katanya mau dapat kampus yang kamu mau.”

“Tapi aku udah ngerjain 50 soal, kan capek, Kak. Gak kasian apa aku tuh minggu kemarin baru selesai UN.” Ara mengulum bibirnya, mengedipkan kedua matanya layaknya seekor anak kucing yang ingin meminta di pungut.

Yuno menghela nafasnya pelan, gak tega juga lihat wajah Ara yang sudah memelas. Dari tadi memang Yuno sudah memberikan soal-soal yang kemungkinan keluar di ujian untuk masuk perguruan tinggi.

“Yaudah, kamu istirahat dulu, aku mau periksa soal-soal yang kamu kerjain tadi.” Yuno akhirnya luluh juga.

“Yeayyyyy makasih sayangku.”

Ara memanfaatkan waktu yang Yuno berikan dengan memakan cemilan yang tadi ia siapkan sebelum belajar, mereka belajar di ruang TV yang bersebrangan langsung dengan balkon apartemen, jadi Ara bisa melihat cuaca di luar sana, ini sudah jam 8 malam namun di luar sana masih sangat terang.

Waktu terang di Jerman pada akhir musim semi bisa sampai jam 9 malam, dan Ara masih suka kaget akan hal itu. Sedang asik melamun sembari memakan satu persatu cemilan di depannya tiba-tiba saja Yuno senyum-senyum sendiri, membuat Ara menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

“Kok senyum-senyum?” tanya Ara.

Yuno menggeleng pelan, mengingat bagaimana malam itu ia melihat Ara tertidur.

“Gapapa, lucu aja,” jawab Yuno, ia berusaha melihat ke arah lain supaya Ara enggak salah tingkah.

“Ihh Kak Yuno! Kenapa gak?”

“Kamu tuh kalo tidur mendengkur yah?”

“Hah?!” pekik Ara kaget, seingatnya sih enggak. Kalau ngiler mungkin iya, Kak Yuno ini bercanda atau serius sih? “Emang iya?”

Yuno mengangguk. “Kenceng banget, tapi lucu.”

Wajah Ara benar-benar memerah, dia malu setengah mati. Gimana kalau setelah ini Kak Yuno ilfeel? Walau kelihatan biasa-biasa aja, tetap aja Ara malu setengah mati.

“Kak, serius?”

“Iya, ngapain aku bohong? Tapi gapapa, lucu soalnya.” Yuno masih tertawa, dia gak ada rasa ilfeel sama sekali. Malah menurut Yuno itu lucu, dan ia pikir mendengkur saat tidur itu manusiawi. apalagi Ara sempat jetlag kemarin dan pastinya kelelahan. Ia masih memaklumi itu, toh ia juga mendengkur saat tidur.

“KAK YUNO JANGAN KETAWAAAAAA!!” rengek Ara, dia malu setengah mati.

“Habisnya lucu masa aku gak boleh ketawa sih?”

“Tapi kan aku malu.”

Yuno terkekeh, ia menaruh pena yang terselip di jemarinya kemudian merangkul Ara. Dan gadis itu memeluknya dari samping dengan penuh posesif.

“Aku gak ilfeel, malahan lucu lagi. Aku juga enggak sengaja liatnya, aku pikir kamu belum tidur karna pintunya enggak kamu kunci. Ternyata udah tidur.”

“Emangnya kamu mau ngapain tadinya masuk kamar aku?”

“Mau ngasih teh.”

Ara tersenyum kecil, Ara sedikit merasa kalau suasana seperti ini terasa seperti ia dan Yuno sudah menikah. Kadang menikirkan suatu hari ia bisa menikah dengan Yuno membuat kupu-kupu di perutnya berterbangan.

“Kak?”

“Hm?”

“Kalau aku gak berhasil masuk ke kampus impian aku, Kak Yuno marah gak?” tanyanya, jujur saja liburan kali ini terasa menyenangkan karena ia bisa bersama Yuno. Tapi Ara belum selega itu, ia masih di hantui perasaan tidak nyaman karena takut tidak berhasil masuk ke kampus yang ia idamkan.

“Kenapa harus marah?” Yuno menatap Ara bingung, jemarinya mengusap pucuk kepala gadisnya itu penuh kasih sayang.

“Gapapa, Kak Yuno tau gak?”

“Apa?”

“Aku belajar mati-matian supaya nilai UN aku bagus, aku juga bakalan berusaha sekuat tenaga biar bisa masuk kampus yang aku mau. Supaya bisa bikin kamu bangga punya aku.”

Yuno memang banyak sekali memotivasi Ara dalam hal belajar, ia bukan gadis yang ambisius. Namun bersama Yuno menjadikanya banyak bekerja keras, ia tidak ingin membuat Yuno malu jika gadis yang di pacarinya bodoh.

“Kenapa buat aku? Harusnya kamu lakuin itu semua, untuk diri kamu sendiri. Sayang?”

“Um?”

“Kamu mau kuliah di kampus manapun, aku akan selalu dukung kamu. Kalau kamu gagal, aku gak akan marah, kamu udah kerja keras, kamu udah berusaha. Aku udah cukup bangga punya kamu yang selalu ngertiin aku, nemenin aku, ngedukung aku. Dan aku mau lakuin hal yang sama dengan apa yang kamu lakukan ke aku.”

Ara menunduk, kemudian menatap kembali wajah Yuno yang kini juga tengah menatapnya. Matanya sedikit terpejam ketika jemari milik Yuno itu membelai wajah tirusnya.

“Kamu gak pernah menghakimi aku ketika aku gagal, dunia kamu gak akan selesai gitu aja cuma karena kamu gak masuk kampus yang kamu mau.”

“Kak...” kata-kata Yuno barusan berhasil membuat hati Ara tersentuh, ia berhambur ke pelukan Yuno dan menyembunyikan wajahnya di dada cowok itu. Ara menangis di sana, Yuno selalu bisa menengkannya.

Dulu, saat Ara sakit hingga suaranya serak sampai tidak bisa ikut lomba paduan suara ke luar kota. Yuno juga orang yang bisa menengkannya, membuat Ara berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Kadang ia merasa, Yuno seperti air di hidupnya yang mengisi kekosongan di hidupnya. Ah tidak, mereka saling mengisi. Bagi Yuno pun Ara berperan mengisi kekosongan di hidupnya.

Karena hari sudah semakin gelap, Ara berpamitan untuk tidur lebih dulu. Saat sudah selesai memakai skincare malamnya, ia tidak sengaja melihat ada jepit rambut di kolong tempat tidurnya, itu pun tidak sengaja karena tertendang kakinya.

Ara menunduk, mengambil jepit rambut berbentuk bunga lily itu, keningnya mengkerut mempertanyakan milik siapa jepit rambut itu, gak mungkin itu punya Yuno kan? Rambut Yuno memang sedikit panjang, tapi seingat Ara, Yuno hanya mengenakan bando alih-alih jepit rambut seperti ini.

“Mungkin punya pemilik apartemen yang lama kali ya?” gumamnya, Ara menaruh jepit itu di nakas sebelah ranjangnya dan naik ke atas kasur.

Namun ada hal lain yang membuatnya sedikit terkejut, di bantal yang ia pakai. Ada sehelai rambut berwarna bloonde yang lumayan panjang, ini rambut milik seorang gadis. Enggak mungkin rambut sepanjang itu milik seorang laki-laki kan? Ara menahan nafasnya, pikirannya jadi semakin kalut memikirkan siapa gerangan pemilik rambut bloonde dan jepit rambut yang ada di kamar tamu Yuno? Apa Yuno sempat membawa gadis lain ke apartemennya? Pikir Ara.

Ara sudah kembali ke Jakarta, Ia harus menyiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi, kemarin, Ara baru saja selesai untuk melakukan test masuk universitas yang menjadi tujuannya. Dia hanya tinggal menunggu pengumuman seleksinya saja, sembari sesekali menyiapkan data dirinya.

alhasil komunikasinya dengan Yuno juga berkurang, apalagi Yuno juga sudah mulai masuk kuliah, otomatis cowok itu juga semakin sibuk. Ara cukup mengerti awalnya, walau terkadang ia suka merasa uring-uringan karena lagi-lagi ia harus menjadi pihak yang menunggu.

belum lagi, ia harus bertarung melawan isi kepalanya sendiri. sejak ia mengetahui jika Yuno megajak gadis lain lebih dulu ke apartemen nya, jujur saja rasa kepercayaan Ara dengan cowok itu sedikit berkurang.

seperti sekarang ini, setelah selesai membersihkan kamarnya, tadi siang Yuno berjanji untuk melakukan panggilan video dengan Ara jika gadis itu sudah selesai membersihkan kamarnya, namun nyatanya sudah satu jam ia menunggu kabar dari cowok itu, namun Yuno tak kunjung mengabarinya.

Ara menghela nafasnya pelan, akhrinya ia mencoba menelfon Echa. ia pikir ia harus bercerita tentang hal-hal yang menganggunya akhir-akhir ini, mungkin saja ia butuh sudut pandang lain untuk ia mintai pendapat, baru tiga kali nada sambung terdengar di ponselnya, tidak lama kemudian Ara mendengar suara Echa di sebrang sana.

hallo, Ra?

“Cha, lagi sibuk gak?”

enggak nih, lagi nyantai aja gue, kenapa?

Ara bangun dari kursi meja belajarnya, ia berpindah ke atas ranjangnya dan duduk di atas sana sembari memeluk boneka berbentuk kucing dari Kak Yuno itu, “gue mau cerita aja.”

kenapa sih? soal Bokap lo lagi yang masih mempertimbangkan lo bakalan ngekost?” tebak Echa, kemarin-kemarin Ara memang sering bercerita soal Papa nya yang masih kurang setuju jika Ara harus menjadi anak kost.

“bukan, Cha. ini soal Kak Yuno.”

di sebrang sana Ara bisa mendengar suara helaan nafas Echa, “kenapa lagi sama cowok lo? kangen?” tebak Echa.

Biasanya Ara kalau lagi kangen sama Yuno dan gak bisa menghubungi cowok itu karena perbedaan waktu, atau karena Yuno sedang sibuk, maka Echa lah yang menjadi tempat pelampiasan Ara dengan segala rengekan gadis itu. Echa sih udah biasa, toh kalau sedang bertengkar dengan Janu, ia juga suka merengek pada Ara.

“kalo kangen mah jangan di tanya, selama LDR gue selalu kangen sama Kak Yuno.” memang benar kan, selama menjalin hubungan jarak jauh dengan Yuno. Ara lebih sering merindukan cowok itu apalagi jika ia mendatangi tempat-tempat yang pernah ia datangi dulu bersama Yuno dan kini ia harus datang sendirian.

terus?

“Cha, waktu gue ke Heidelberg nyusul Kak Yuno ada hal yang bikin gue kepikiran, apa aja yang dia lakuin waktu gak sama gue.” Ara mengigit bibirnya sendiri, walau menganggu pikiranya ia sedikit ragu untuk menceritakan hal ini sama Echa, ia gak mau Echa beranggapan kalau ia terlalu posesif sama Yuno.

aneh gimana? ih, lo tuh ya, kalo cerita jangan setengah-setengah kenapa sih,” keluh Echa di seberang sana.

“iya, jadi apartemen Kak Yuno kan ada dua kamar nah gue kan tidur di kamar tamu apartemen Kak Yuno ya, terus waktu gue mau tidur gue gak sengaja nendang jepit rambut, Cha. Yang ada di dekat ranjang gue tidur.”

hah? maksudnya?

“iya, ada jepit rambut cewek di kamar tamu nya Kak Yuno.”

terus-terus?

“waktu mau gue tidur, gue juga baru sadar kalo di bantal yang gue pake ada rambut yang jatuh ke atas bantalnya, gue pikir itu rambut cewek karena sepanjang itu, Cha. warna nya bloonde.” Ara gak mungkin salah mengira, selain ucapan dari Ann waktu itu, Ara sendiri sudah memastikan jika rambut itu benar-benar milik Ann.

tunggu-tunggu, jangan bilang lo overthinking dan mikir kalo Kak Yuno bawa cewek lain ke apartemen nya terus tidur di kamar itu?” tebak Echa, yang dalam hati Ara ia benarkan ucapan itu.

“gue tuh bukan cuma overthing dan mikir kaya gitu, Cha. gue bahkan udah mastiin sendiri dan tau itu rambut siapa.”

rambut siapa?

Kali ini Echa yang di buat penasaran, jujur saja Echa gak pernah kepikiran Yuno bisa menjadi cowok brengsek yang bisa menyakiti temannya itu. toh, selama ini meski banyak yang menyukai, Yuno tetap setia dengan Ara kan? yah, tapi Echa tidak tahu jika Jerman dan kehidupan penuh kebebasan di sana bisa merubahnya.

Bukankah, sejatinya kita tidak pernah tahu isi hati seseorang? Kerap kali kita sering menilai orang baik, namun nyatanya kata baik jauh dari orang yang kita nilai itu.

“hari ke empat gue di sana, Kak Yuno ngenalin temen-temenya di sana ke gue. dia bawa temen-temennya ke rumah, sampai gue kenal sama satu cewek yang gue curigain kalo dia yang punya jepit rambut itu, apalagi rambutnya sama persis kaya yang gue temuin di bantal. tapi, Cha.”

Awalnya Ara memang hanya merasa curiga saja, sampai akhirnya Ann sendiri lah yang bilang secara tidak langsung jika rambut dan jepit rambut itu memang benar miliknya.

“kecurigaan gue terbukti. si cewek itu yang bilang sendiri ke gue kalo dia sempet main ke apartemen Kak Yuno sebelum gue datang. dia bilang kalo dia sama Kak Yuno juga sempet ke Altstadt,” jelas Ara.

Yuno memang cerita kalau itu bukan pertama kalinya ia datang ke Altstadt, Yuno sudah pernah ke Altstadt dengan seorang temannya, tapi waktu itu Ara berpikir jika teman yang Yuno maksud mungkin Josep atau teman pria lainnya, namun siapa sangka jika Yuno pergi bersama Ann ke sana.

Ra, lo gak nanya langsung sama itu cewek atau sama Kak Yuno langsung aja, dia ngapain ke apartemen Kak Yuno dan soal jepit rambut itu apa beneran punya dia?

Ara menghela nafasnya pelan, sayangnya ia tidak berani bertanya soal hal itu dengan Ann maupun Yuno. Ara belum siap menelan kekecewaan nantinya, lagi pula ia sudah terlanjur sedih karena Kak Yuno gak cerita soal hal ini dengannya. Padahal, setiap hal yang Ara lakukan bersama teman-temannya. Ara selalu bercerita dengan Yuno, termasuk saat ia pernah bertemu Genta dan di antar pulang oleh cowok itu, Ara hanya mau menjaga kepercayaan Yuno saja.

“enggak, Cha. gue gak nanya apa-apa sama mereka, gue udah terlanjur sakit aja pas tau kalo Kak Yuno ngajak cewek lain ke apart nya dan pergi sama dia.”

Ra, itu tuh salahnya lo. lo tuh kebanyakan mendam sendirian tau gak, padahal lo kan bisa nanya langsung ke Kak Yuno, kalo lo nanya terus Kak Yuno jelasin. lo jadi gak perlu overthinking kaya gini kan. Ra, pengalaman gue pacaran emang gak banyak, gue juga gak pernah LDR kaya lo. tapi menurut gue kunci dari hubungan yang sehat itu ada di komunikasi, lo gak bisa jalanin hubungan satu arah aja, Ra.

di tempat tidurnya Ara melamun mendengarkan semua nasihat dari sahabatnya itu, Echa benar, selama berkencan dengan Yuno mereka enggak pernah benar-benar saling terbuka satu sama lain.

Ara pikir ini adalah cara dewasa dengan tetap menjaga hal-hal yang kemungkinan bisa membuat mereka bertengkar, tapi kini Ara jadi bertanya-tanya, apa tidak adanya pertengkaran di antara ia dan Yuno hubungan mereka bisa di katakan baik-baik saja?

Padahal, ada banyak hal yang menurutnya kini Yuno perlu tahu, seperti soal Ara yang pernah di rundung karna berpacaran dengannya, bahkan kini soal Yuno yang mengajak Ann ke apartemen nya.

Setelah menelfon Echa. Ara juga gak langsung tidur, padahal biasanya selepas jam delapan malam matanya sudah mulai mengantuk. jadi, demi mengalihkan pikirannya, akhirnya Ara menonton film dari laptopnya walau sesekali matanya melirik ke ponselnya, berharap Yuno mengabarinya.

Namun hingga jam dua belas malam pun tidak ada kabar dari Yuno, Ara akhirnya mencoba untuk memejamkan matanya. ia sudah lelah menunggu kabar dari cowok itu, sembari mendengarkan lagu yang ia putar dari ponselnya Ara berharap jika ia bangun besok pagi, akan ada kabar dari Yuno.


Bunyi alarm yang berada di ponsel Yuno itu berhasil membangunkannya, Yuno meraba ponselnya yang seingatnya ia taruh di nakas samping ranjang tidurnya berada, ketika menemukan benda persegi panjang itu, Yuno langsung mematikannya alarm nya.

Ini sudah jam 9 pagi waktu Jerman, semalam Yuno ketiduran setelah pulang dari acara yang ada fakultasnya, jujur saja Yuno memang agak sedikit mabuk dan ia tidak ingat siapa yang mengantarnya pulang ke rumah.

Karena masih ada kelas siang nanti, mau gak mau Yuno harus bangun untuk mandi dan membersihkan rumahnya yang agak sedikit berantakan karena Yuno belum sempat merapihkannya karena sibuk kuliah, setelah ia mencuci mukanya sebentar.

Yuno memeriksa ponselnya yang sudah di penuhi oleh pesan singkat dari Ara, ia baru ingat kalau kemarin ia berjanji untuk melakukan panggilan video dengan gadis itu, namun siapa sangka jika kemarin ada acara di fakultasnya hingga ia pulang sedikit larut. karena merasa bersalah pada Ara akhirnya Yuno memutuskan untuk menghubungi gadis itu dahulu, namun sayangnya Ara tidak menjawab panggilan darinya.

“Apa jangan-jangan Ara marah sama gue?” gumam Yuno.

Sembari membuat sarapan Yuno mencoba menghubungi Ara sekali lagi, siapa tahu gadis itu mengangkat telfon darinya. “Kamu kemana, Ra.”

Karena khawatir Ara marah dengannya, akhirnya Yuno mencoba menghubungi Reno. dan pada nada sambung ketiga akhirnya Reno mengangkat telfon darinya.

Halo, Mas Yuno? kenapa telfon Reno?” tanya Reno di seberang telfon sana.

“Ren, lagi dimana?”

Masih di sekolah, Mas. ada apa?

Yuno memejamkan matanya, ia baru ingat kalo Reno masih di sekolahanya. “Gapapa, Ren. tadi Mas cuma mau tanya ada Kakak apa enggak di rumah, tapi Mas lupa lihat jam gak sadar kalau di Indo anak sekolah belum pulang.”

Kakak dari pagi udah keluar, Mas. Mungkin lagi di jalan kali makanya telfon dari Mas Yuno gak di angkat,” ucap Reno mencoba menenangkan Yuno.

Kening Yuno mengkerut, seingatnya kemarin Ara bilang akan istirahat di rumah karena sudah semingguan ini gadis itu sibuk sekali untuk mengerus keperluan kuliahnya, biasanya pun kalau Ara akan keluar rumah. Gadis itu akan bilang padannya.

“Keluar? sama siapa, Ren?”

“*Sendiri sih, Mas. bilangnya mau jalan-jalan aja karena bosen di rumah terus.”

“Yaudah deh kalau gitu, nanti Mas coba telfon lagi aja, makasih yah, Ren.”

Setelah menelfon Reno, Yuno sempat terdiam dulu sebentar sembari memperhatikan makananya yang sudah siap di atas meja pantry, nafsu makanya sudah mengilang digantikan dengan rasa khawatir jika Ara benar-benar marah denganya.

Yuno merasa bersalah dengan gadis itu, ia tidak ingin Ara salah paham. Sembari makan perlahan-lahan, Yuno memutar otaknya untuk setidaknya jika Ara marah padannya, Yuno bisa meredamnya.

“Apa beliin hadiah aja yah? Biar enggak marah lagi?” gumamnya sendiri.

Pagi itu karena merasa sedikit bosan di rumah, Ara akhrinya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, awalnya ia hanya makan di cafe milik Jordan, Kakaknya Echa namun lama kelamaan Ara bosan juga, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke toko buku lagi, kebetulan novel-novel yang ia beli sebelum UN sudah selesai ia baca semua, jadi Ara memutuskan untuk melihat-lihat koleksi novel di toko buku langgananya, siapa tahu ada yang membuatnya tertarik.

Lorong demi lorong Ara lalui sembari sesekali ia melihat novel-novel yang di pajang membentuk sebuah piramida disana, novel kesukaan Ara itu dengan genre thriler dan romance, tapi kali ini pilihanya justru jatuh pada novel thriler yang di pajang di rak buku dengan tulisan Best Seller itu.

Sedang asik membaca sinopsis dari novel yang ada di tanganya, tiba-tiba saja pundaknya di sentuh oleh seseorang, membuat Ara jadi menoleh ke sampingnya. di sebelahnya ada seorang cowok yang ia kenal, cowok yang waktu itu sempat bertemunya di toko buku ini, kemudian di aquarium.

“Julian?” sapa Ara, Julian tersenyum.

“Sendirian aja?” tanyanya.

Ara mengangguk kecil, “iya nih, lo juga sendirian?”

“Iya, tadinya mau nyari titipan buat Adek gue, eh malah nyasar ke lorong novel. by the way lo suka novel thriler juga?” tanya Julian, setelah ia melirik tas PVC dari toko buku untuk menaruh belanjaan yang Ara bawa.

Gadis itu mengangguk, mengeluarkan dua novel best seller yang sudah ia kantongi untuk segera ia bayar, “iya, suka banget malahan, lo juga suka baca novel?”

“Ya gak suka-suka banget, tapi kalo jalan ceritanya bagus gue pasti bakalan baca kok.”

Julian memang suka baca, tapi kalo untuk membaca novel ia masih pilih-pilih, enggak semua novel masuk ke dalam selera nya, Julian lebih suka membaca buku-buku yang mengangkat isu-isu sosial di dalam negeri. menurutnya itu bisa menambah wawasanya, dan mengetahui apa saja yang tengah terjadi.

“Mau gue rekomendasiin beberapa novel thriler yang udah pernah gue baca dan menurut gue bagus, gak? ya kali aja lo suka juga kan.”

Julian yang tadinya sudah lupa akan rasa ketertarikanya dengan Ara itu kembali goyah, ia akhirnya mengangguk dan mengikuti langkah kaki kecil dari gadis yang berjalan lebih dulu di depannya itu. mereka berjalan di lorong sebelah saat mereka bertemu tadi, mata Ara berpendar mencari novel yang sebelum ujian nasional itu sempat ia lihat di lorong sekitar sana.

“NAH INI DIA!” pekiknya, ia mengambil novel itu dan memberikanya ke Julian.

“Yang ini juga bagus, Jul. gue udah pernah baca ini.” Ara memberikan sebuah novel dengan cover berwarna pink, karya Gillian Flynn di atasnya ada tulisan penulis best-seller Gone Girl.

“Bagusnya?” Julian menaikan satu alisnya.

“Lo punya triggering sesuatu gak?” tanya Ara sebelum ia menjelaskan novel itu pada Julian, Dan Julian hanya menggeleng.

“Menurut gue, Sharp Objects agak triggering sih di beberapa bagian karna si protagonis penyitas self harm. kalau lo suka sama genre thriler misteri kaya gini, ini bagus banget.” Ara menjelaskanya dengan sangat excited.

Julian hanya manggut-manggut saja, ia percaya pada pilihan Ara. meski hanya tahu sebagian tentang gadis itu hanya bermodalkan dari sosial media miliknya, tapi Julian yakin bacaan gadis itu enggak perlu di ragukan lagi, buktinya saja ia berani merekomendasikan novel karya penulis yang cukup terkenal.

Kalau enggak salah ingat, teman sekelas Julian dulu pernah membicarakan tentang novel ini juga. Jadi sudah jelas selera bacaan gadis itu bagus kan? jadi langsung saja Julian masukan novel itu ke dalam kantung belanja nya.

Julian ingin membaca buku-buku yang Ara baca, ia ingin banyak berbicara dengan gadis di sebelahnya itu. Ingin tahu tentang apa yang ia suka dan tidak suka, seingin itu Julian untuk dekat dengan Ara.

“Ada novel lain yang lo suka, Ra?”

Mereka kembali mengitari rak, memilah novel-novel yang berjajar rapih di sana, sembari sesekali Julian curi-curi pandang dengan gadis yang berjalan di depannya itu. Ia mati-matian menahan senyum konyol yang bisa saja muncul di wajahnya. Julian enggak pernah menyangka, toko buku yang semula biasa saja. Bisa menjadi tempat yang membahagiakannya sekarang ini.

“Ada, gue suka sama karya nya Keigo Higashino.”

“Malice?” tebak Julian.

“Kok tahu?” tanyanya, apa Julian pernah membaca novel itu juga? pikirnya.

“pernah liat temen sekelas bawa, cuma ya gak baca cuma liat aja, tapi bagus?”

Ara mengangguk, “bagus kok.”

Keduanya masih mengitari rak-rak novel di sana, sedang ada jumpa penulis juga dari novel terbitan sebuah plat form. Ara bisa menebak kalau novelnya bergenre romansa, yah tipikal novel-novel yang di sukai remaja dengan bahasa ringan, kisah roman picisan anak SMA.

“Satu-satunya thriller yang pernah gue lanjut baca itu cuma Holy Mother, itu juga awalnya iseng sih, ada gak novel yang mirip-mirip kaya gitu juga, Ra?” ucap Julian tiba-tiba.

“Ahhh.” Ara mengangguk, ia juga pernah baca novel itu, sudah lama sekali namun ia masih mengingat isinya. “Kalau gitu lo harus baca Kelab Dalam Swalayan atau....”

Ara menggantungkan kalimatnya, mencoba mengingat-ingat novel thriller yang pernah ia baca. Yang menurutnya setipe dengan Holy Mother dan di sebelah nya Julian hanya tersenyum samar-samar, menahan rasa gemas karena melihat bibir Ara yang mengerucut itu. dia gak nyangka kalau Ara asik banget buat di ajak ngobrol banyak hal.

“Ahhh, sama Confenssion sama-sama bahas tentang hubungan Ibu dan anak, kalau enggak salah gue masih ada novelnya, mau pinjam?”

“Boleh, berarti kita harus ketemu lagi kalau gitu.”

Ara mengangguk, setelah membayar buku-buku yang ada di tas belanja nya. Julian sempat mengajaknya untuk makan siang bersama, kebetulan Ara juga sudah sedikit lapar. jadi keduanya memutuskan untuk mampir ke restoran yang ada di dekat toko buku.

By the way lo udah punya pilihan kampus yang lo mau?” tanya Julian di sela-sela makan siang mereka.

Ara mengangguk, “udah kok, gue ambil kampus di daerah Malang, lo gimana?”

“Gue dapat beasiswa dari sekolah di Universitas Swasta yang ada di Bandung,” jelasnya.

“Oh ya? hebat banget, Univ mana tuh?”

“Narawangsa, tau gak?”

“Tau kok, Mas Iyal juga kuliah di sana, berarti lo jadi adik tingkatnya nanti dong.”

“Bang Arial kuliah di sana? di fakultas apa?”

Julian sempat berhenti sebentar, dia juga gak nyangka kalau akan satu kampus dengan sepupu dari Ara itu. selama ini Julian gak pernah nyari tahu Arial berkuliah dimana setelah lulus SMA, toh mereka juga tidak saling dekat, Julian hanya tahu Arial saja.

“Mas Iyal anak FISIP.”

“Kalo gitu enggak satu fakultas sama gue,” jawab Julian.

“emangnya lo ambil jurusan apa, Jul?”

“gue ambil Psikologi.”

begitu mendengar jawaban Julian, kedua mata Ara membulat. karena mereka mengambil jurusan yang sama. “gue juga!!”

“Oh ya?” Julian tersenyum, entah ini sebuah kebetulan atau bukan, tapi Julian jadi agak sedikit ke ge'eran.

Ara mengangguk, “iya, serius. ngomong-ngomong ya, Narawangsa itu jadi opsi kedua gue kalo gue enggak dapat perguruan tinggi negeri yang gue mau.”

katakan Julian sedikit egois, tapi dalam hati ia berharap agar Ara bisa satu kampus denganya, dia enggak ada niat untuk mendekati Ara sebagai gadis yang ia sukai kok, apalagi berpikiran untuk merebut Ara dari pacarnya, Julian hanya ingin berteman saja dengan gadis itu.


Setelah sampai rumah, Ara baru sempat memeriksa ponselnya, ternyata Yuno menghubunginya beberapa kali dan membalas pesan darinya juga. Ara sempat terdiam beberapa saat di ranjangnya, membaca sederet pesan yang Yuno kirimkan untuknya. Yuno menjelaskan kenapa semalam cowok itu enggak menghubunginya lagi, dan dalam hati Ara sedikit memakluminya.

Alih-alih menelfon balik Yuno, Ara justru hanya membalas pesan singkat dari cowok itu saja. kemudian mencari kesibukan lain dengan membaca novel-novel yang ia beli barusan, Ara ngerasa dia harus mulai terbiasa sekarang untuk tidak selalu menunggu kabar dari Yuno. Ara gak mau jadi ketergantungan sama cowok itu, apalagi mengingat Yuno akan semakin sibuk dengan kuliahnya.

baru setengah novel yang ia baca, tiba-tiba saja ponselnya bergetar, menampakan nama Yuno di sana.

“Hallo, Kak?”

Sayang, lagi apa?

“Lagi baca novel aja, Kak. Kamu udah enggak sibuk?”

Di tempatnya Yuno menahan nafasnya, nada bicara Ara terdengar biasa saja. Hanya pertanyaan sederhana namun itu seperti mencubit hatinya, membuat Yuno merasa bersalah karena seperti mengabaikan Ara yang malam itu menunggunya.

Sayang, aku minta maaf soal semalam ya.” di seberang sana, Ara bisa mendengar nada bicara Yuno yang penuh penyesalan.

“Iya gapapa kok, aku bisa ngerti, lagi pula semalam aku juga langsung tidur.” Ara bohong begini supaya Yuno enggak merasa bersalah lagi.

Beneran? kamu marah gak? kok tadi telfon aku enggak di angkat?

Ara mengulum bibirnya sendiri, jujur saja. Ara tahu kalau Yuno menelfonya, tapi memang sengaja Ara tidak mengangkatnya karena ia sedikit kesal. “Iya, gak kedengeran, Kak. tadi aku habis pergi.”

Pergi kemana sayang?

“Toko bu-”

“Sayang, nanti aku telfon lagi yah, aku harus lanjut kelas.”

Belum sempat membalas ucapan dari Yuno itu, tapi di seberang sana Yuno sudah mematikan sambungan telfonya secara sepihak. membuat Ara sedikit meringis dan hanya bisa memandangi ponselnya saja, padahal ada banyak cerita yang ingin Ara bagi dengan cowok itu.

Telat Ara sadari namun akhir-akhir ini semenjak Yuno sudah aktif di kampusnya, cowok itu jadi jarang sekali berbagi cerita kesehariannya, kalau Ara cerita tentang keseharianya pun kadang Yuno hanya menanggapinya seperlunya saja. Setelah itu, Yuno akan berpamitan untuk tidur atau ada hal yang harus ia kerjakan.

sorry ya, Ann. Gue jadi ngerepotin elo gini.” Yuno meringis waktu Ann mengantarnya pulang ke apartemennya.

Sudah 3 hari ini Yuno jatuh sakit sampai harus di opname, dokter bilang Yuno kena tifus dan butuh istirahat full untuk beberapa hari ke depan. Tapi Yuno enggak benar-benar istirahat, selama di rawat saja dia masih sempat-sempatnya mencuri waktu untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Yuno sengaja gak mengabari kedua orang tua nya atau pun Ara, dia gak mau mereka khawatir. Meskipun rasanya ia selalu di liputi perasaan bersalah, tapi dalam hati Yuno merasa bersyukur karna Ann sudah bersedia membantu menjadi wali nya.

Ann tahu Yuno sakit karena waktu Yuno pingsan di kampusnya, Nomer Ann lah yang menjadi nomer terakhir Yuno hubungi, alhasil pihak rumah sakit menelfon Ann dan mengabari gadis itu.

“Santai aja, No. Kaya sama siapa aja, udah tiduran aja. Lo masih lemes gitu juga.” Ann membantu Yuno duduk di sofa yang ada di ruang tamu nya, sementara Ann menaruh tas berisi baju-baju Yuno selama di rumah sakit di ruang laundry.

“Lo gak ngampus, Ann?” tanya Yuno, dari kemarin Ann yang menjaganya, Yuno jadi kepikiran apa jangan-jangan Ann juga bolos kuliah hanya demi menjaganya?

“Gue emang lagi enggak ada kelas, Prof nya cuma ngasih tugas presentasi aja.”

“Serius? Gue enggak enak kalo lo sampe gak masuk kelas demi gue.”

Ann terkekeh, “gue gak senekat itu yah, lagi pula bela-belain bolos demi jagain lo, emang nya lo cowok gue,” alibinya.

Yuno hanya tersenyum, sudah beberapa hari ini dia gak memeriksa ponselnya. Jadi ia nyalakan ponsel itu, kalau sedang sakit gini ia jadi merindukan Ara yang biasanya selalu mengkhawatirkannya. Ia juga merindukan bubur abalone buatan gadis itu.

Begitu ponselnya menyala, 25 panggilan tidak terjawab dan lebih dari 30 pesan dari Ara itu muncul di layar ponselnya. Jadi, Yuno buka dulu pesan-pesan itu, namun tiba-tiba saja ada sekelebatan ingatan muncul ketika ia melihat tanggal hari ini.

Kalau tidak salah, kemarin adalah pengumuman seleksi masuk universitas. Apa gadisnya itu berhasil masuk ke kampus yang ia impikan? Mengabaikan rasa lemas di tubuhnya, Yuno langsung menekan nomer Ara dan berjalan keluar ke balkon untuk menelfon gadis itu.

Ann sedang di dapur, entah sedang membuat apa. Yang Yuno pikirkan hari ini hanyalah gadisnya yang jauh, apalagi saat membaca pesan terakhir dari Ara yang mengatakan jika gadis itu butuh dirinya.

Biasanya, Ara akan selalu cepat menjawab panggilan darinnya. Namun sudah 3 kali Yuno menelfonnya gadis itu tidak kunjung menjawab panggilannya.

“Kamu kemana, Ra..” gumam Yuno.

Yuno enggak lantas menyerah gitu aja, dia masih mencoba menelfon Ara ke ponsel gadis itu, bahkan Yuno juga mengirimi gadis itu pesan meski enggak mendapatkan jawaban.

“No, makan dulu yuk gue udah angetin sup—” ucapan Ann menggantung, ketika Yuno berbalik badan dan tampak terlihat panik sembari terus memegang ponselnya yang ia selipkan di telinga.

“Kenapa, No?” tanya Ann.

“Ara kayanya marah banget sama gue, Ann. Dia gak angkat telfon gue sama sekali.”

“Ara? Dia tau lo sakit kan?”

Yuno menggeleng, “gue gak bilang karna gak mau bikin dia khawatir, gue gak ngabarin dia juga dari kemarin. Gue sibuk sama dunia gue sendiri sampe gue lupa kalau kemarin hari pengumuman seleksi masuk universitas.”

Di tempatnya Ann hanya terdiam, dia enggak menanggapi ucapan Yuno lagi. Cowok itu juga sibuk dengan ponselnya, terlihat bagaimana ia seperti mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah pucat frustasinya itu.

“Cha, ini Kak Yuno. Ara gimana ya? Soalnya tadi Kak Yuno telfon gak di angkat-angkat sama dia.”

Karena menelfon Yuda dan Reno juga tidak mendapatkan balasan, akhirnya Yuno menelfon Echa. Ia bahkan mengabaikan perbedaan waktu antara Jakarta dan Heidelberg yang mana bisa saja Yuno salah jam untuk menelfon Echa, persetan itu semua karena Yuno benar-benar sudah panik.

Kak, Ara tuh lagi down banget. Dia gak di terima di kampus yang dia mau. Dari kemarin juga enggak keluar kamar, gak mau makan juga. Echa pikir Kak Yuno tau soal ini.

“Gak ke terima?” pekik Yuno.

Ia mengusap wajahnya gusar dan memejamkan matanya, itu artinya Ara benar-benar membutuhkanya saat ini.

loh, Echa pikir Kak Yuno tau?

Yuno menunduk, perasaanya benar-benar tidak enak. Jika Heidelberg dan Jakarta bisa di tempuh dengan menggunakan kereta saja, mungkin Yuno sudah pergi saat ini ke Jakarta dan menenangkan gadis itu.

“Kak Yuno emang belum ngabarin Ara lagi, Cha. Karena lagi hectic banget di kampus. Cha, Kali aja telfon dari kamu dia angkat, tolong bilang ke Ara buat angkat telfon Kak Yuno sebentar aja.”

um, iya, Kak. Nanti coba Echa telfon Ara ya.

Thank you ya, Cha.”

Setelah menelfon Echa, Yuno hanya bisa terdiam di balkon. Menatap layar ponselnya yang menampakan pesan terakhir dari gadisnya itu, hatinya belum kunjung tenang jika ia belum mendapat kabar dari gadis itu sendiri.


“Dek? Keluar sebentar, Mas Iyal bawain nasi padang kesukaan kamu nih.”

Ara mengerjapkan matanya begitu ia mendengar suara Arial dari depan kamarnya, Ara bukan enggak keluar sama sekali dari kamar kok, dia keluar sebentar saat di rasa rumah sepi dan tidak ada orang. Ia akan mengambil beberapa makanan dan air kemudian masuk kembali ke kamarnya.

Dia cuma tidak ingin di tanya-tanya soal kuliahnya aja, makanya dia menghindar dari orang saat ini. Meraba ponselnya, Ara melihat ada sederet panggilan tak terjawab dari Yuno dan juga pesan dari cowok itu.

Tanpa berniat membalas, Ara mengabaikan ponselnya begitu saja dan berjalan gontai membukakan pintu untuk Arial. Begitu pintu nya terbuka, Arial datang dengan senyuman dan juga sebungkus nasi padang lengkap dengan es jeruk di tangannya.

“Mau Mas Iyal suapin gak?” tanya cowok itu.

Ara hanya menggeleng, kemudian mengambil bungkusan itu dan berjalan ke karpet bulu di kamarnya. Sementara itu Arial masuk dan ikut bergabung duduk di sana, Arial baru saja sampai dari Bandung. Ia sudah tau soal Ara yang tidak di terima di kampus impiannya, namun Arial memilih untuk tidak membahas hal-hal berkaitan dengan kuliah saat ini dengan Ara.

Arial tahu itu akan menjadi topik sensitif untuknya, terlebih saat ini Ara seperti sedang nafsu sekali makan begitu ia membawakan nasi pada kesukaanya.

“Pelan-pelan aja makannya, nanti kalo keselek gimana?” ucap Arial.

“Mas Iyal kok pulang?”

“Emang gak boleh?”

“Boleh,” cicit Ara.

“Mau jalan-jalan gak habis ini?”

“Kemana?”

“Kamu mau ke mana? Mas Iyal turutin deh.”

Ara hanya mengangkat kedua bahunya, fokusnya kembali lagi pada nasi padang yang tampak lebih menarik itu dari pada tawaran dari Arial untuk jalan-jalan.

“Kamu mandi gak sih, dek?” Ara enggak biasanya kelihatan kucel dengan rambut berantakan yang ia ikat asal-asalan, biasanya meski di rumah saja Ara selalu tampak rapih dengan jepit rambut atau bando kuping kucing kesukaanya, makannya Arial heran sekali dengan penampilan Adik sepupunya itu.

“Udah tiga hari gak mandi, males.”

“Ck ck ck ck.” Arial menggeleng, gak nyangka kalau Ara akan sefrustasi ini. “Ini kalo Yuno liat apa gak kaget dia.”

“Jangan ngomongin Kak Yuno, nanti nafsu makan aku hilang.”

“Kenapa sih? Lagi berantem?”

“Gak tau.”

“Yuno nyakitin kamu ya? Mas telfon sekarang nih dia.”

“Ck, apaan sih Mas Iyal orang enggak juga. Aku lagi males aja.” Ara natap Arial dengan wajah cemberutnya itu.

“Yaudah-yaudah, tapi habis ini mandi ya. Mas mau ajak kamu keluar sebentar.”

Ara hanya menggeleng pelan, ia benar-benar tidak seingin itu keluar dari kamarnya.

“Kenapa?”

“Mas Iyal, aku malu karena enggak keterima di kampus yang aku mau. Aku udah ambis banget belajar, dan bilang ke tetangga-tetangga kalo aku mau kuliah di Malang,” dan tangis Ara pun kembali pecah, walau sambil makan nasi padangnya. Tapi gadis itu sempat-sempatnya menangis ketika mengingat kalau ia tidak di terima di kampus incarannya.

“Dek, gak ada yang salah sama itu semua. Masih banyak kampus lain yang lebih bagus, udah jangan nangis gitu ah.” Arial beringsut memeluk Ara, namun gadis itu mendorong dada nya.

“Jangan peluk-peluk aku lagi makan!!”

“Tapi jangan sambil nangis juga, habisin dulu makannya nanti baru nangis lagi.” ucap Arial, ia mengusap wajah Adik sepupunya itu dengan tissue yang ia ambil di meja rias Ara.

Setelah berhasil di bujuk untu keluar kamar oleh Arial, akhirnya pagi ini Ara mau keluar dari kamarnya. Gadis itu ikut sarapan bersama dengan kedua orang tua nya, Yuda, Reno dan juga Arial yang masih berada di Jakarta.

Pagi ini suasana rumah juga berubah, Mas Yuda yang biasanya jahil jadi lebih perhatian lagi dengan Ara, meski liat Mas Yuda perhatian kaya gini masih menjadi suatu yang asing baginya. Karena menurut Ara, Mas Yuda perhatian hanya dari kejauhan saja. Cowok itu tidak pandai dalam mengutarakan perhatiannya.

Begitu juga dengan Reno, Reno yang biasanya cemburuan jika Bunda lebih bagus membuatkan telur ceplok kesukaan Ara itu kini justru membagi telur di piring miliknya untuk Kakaknya.

Ara di kursi meja makannya hanya memandang orang-orang di rumahnya dengan bingung saja, dia masih enggak mau banyak bicara.

“Dek, di kulkas ada tiramisu kesukaan Ara, kemarin Mas Yud beliin,” ucap Yuda di sela-sela makan mereka.

Ara hanya mengangguk saja, Mas Yuda jarang banget beliin makanan buat Ara. Cowok itu lebih suka ngasih uang aja biar Ara yang beli sendiri ketimbang beliin sesuatu untuk Adiknya itu.

“Baju Kakak juga udah Reno setrikain.” Reno menunjuk tumpukan baju Ara yang sudah rapih di atas keranjang, Reno menaruhnya di bawah tangga yang memang biasanya di jadikan tempat untuk menyetrika oleh Bunda.

Di rumah keluarga Ara itu mereka enggak punya asisten rumah tangga, semua di kerjakan sendiri dan Bunda sudah membagi tugas-tugas rumah kepada anak-anaknya itu. Makannya Bunda heran kenapa Ara ngotot buat tetap ngekost, toh selama ini anak-anaknya juga sudah hidup mandiri tanpa ketergantungan oleh siapapun.

“Kok tumben?” tanya Ara bingung.

“Kasian, Kakak pasti capek. Makanya Reno yang setrikain, baik kan Reno.”

Ara hanya mengangguk, di kursinya Arial hanya tersenyum saja.

“Makan yang banyak, dari kemarin kamu makan ngumpet-ngumpet terus kan kaya kucing.” Arial menyendokkan sayur dan menaruhnya di piring Ara.

“Mas Iyal ihhh, itu kebanyakan.” rengek Ara.

Di kursinya Bunda hanya terkekeh saja, hatinya selalu menghangat melihat anak-anaknya akur seperti ini.

“Kak, selesai makan Papa mau ngobrol dulu sama Kakak sebentar bisa, nak?” tanya Papa, yang di jawab anggukan kecil oleh Ara.

Setelah selesai makan, Ara dan Papa bicara berdua di ruang TV. Sementara Bunda sibuk di dapur, ada Yuda di rumah tapi Yuda sedang berada di kamarnya. Sementara Arial dan Reno pergi keluar untuk bermain basket di taman. Bunda sengaja tidak ikut mengobrol di ruang TV karena Papa memang ingin bicara berdua saja dengan si tengah itu.

Di sofa nya Ara hanya menunduk, ia punya firasat kalau Papa pasti akan membicarakan soal kuliahnya. Tapi kini Ara sedikit sadar kalau dia gak bisa terus-terusan menghindari topik pembicaraan ini.

Biar bagaimana pun, topik ini harus di bicarakn. Ara masih ingin kuliah, dan berangsur-angsur angan-angan akan kampus impiannya itu sudah bisa Ara relakan.

“Kak, Papa sudah tahu.” Papa menarik nafasnya pelan. “Gak papa, Kak. Papa gak marah, gak ada yang marah, nak. Mungkin Malang belum menjadi rezeki kamu buat belajar di sana.”

“Tapi Kakak kecewa sama diri Kakak, Pah.”

“Kakak kecewa kenapa? Kakak udah belajar mati-matian loh, kecuali Kakak enggak berusaha itu baru boleh Kakak kecewa, nak.”

Dalam hati Ara mengiyakan ucapan itu, Arial juga bilang kalau ia sudah belajar dengan benar. Ia sudah keras dengan dirinya sendiri sebelum ujian, toh masuk perguruan tinggi negeri tidak bisa menjadi tolak akur kesuksesan kan? Mungkin saja ada yang lebih baik menurut Tuhan untuk Ara.

“Terus gimana, Pah?” Ara mendongakan kepalanya, menatap Papa nya itu dengan wajah penuh penyesalannya.

Kadang Ara berpikir, dari awal saja kedua orang tua nya memang tidak memberinya restu untuk melepaskannya merantau ke Malang. Mungkin ini juga yang menjadi faktor Ara bisa di tolak di kampus incarannya, bukannya restu dari kedua orang tua itu sangat penting? Pikirnya.

“Kakak mau kuliah di mana? Papa serahkan ke Kakak karena Kakak yang mau belajar.”

“Kakak gak mau di kampus nya Mas Yuda,” cicit Ara pelan. Kampus Yuda bukan kampus dengn reputasi yang buruk, hanya saja Ara enggak ingin berkuliah di tempat yang sama dengan Yuda, karena sejak TK sampai SMA Ara selalu di sekolah yang sama dengan Yuda, ia ingin mencari suasana baru.

“Mau di mana, Kak?”

“Kalau di Bandung boleh, Pah?”

“Di kampus Mas Arial?” tebak Papa yang di jawab anggukan kecil oleh Ara, dan Papa membalasnya dengan senyum. “Boleh, Kak. Papa kasih izin.”

Wajah Ara yang tadinya penuh rasa bersalah itu kini lebih cerah, ia tersenyum dan beringsut memeluk Papa nya itu. Setidaknnya Narawangsa lebih baik, di sana juga banyak teman-temannya dan Ara akan tetap bisa belajar hidup mandiri menjadi anak kost, ya meski Ara tahu ia tidak akan luput dari pengawasan Arial.

“Makasih, Pah.” ucap Ara memeluk Papa nya.

“Jangan sedih-sedih lagi ya, Kak. Belajar yang benar di sana, jaga diri kamu juga,” ucap Papa sembari mengusap-usap punggung putri satu-satunya itu.


Sudah dua hari Ara masih tidak menjawab panggilan dari Yuno, membalas pesaanya pun tidak. Ara ngerasa dia butuh waktu sendiri untuk meredam segala rasa kecewa nya. Tapi lama kelamaan, ia jadi tidak tega sendiri dan merasa sedikit jahat. Apalagi Yuno sudah mengatakan ia benar-benar merasa bersalah.

Akhirnya malam itu Ara melakukan panggilan video dengan Yuno, di sebrang sana Yuno tersenyum manis. Cowok itu berada di kamar apartemennya, Ara juga sudah berada di ranjangnya dengan MacBook yang berada di pangkuannya.

Sayang, hai. Aku kangen kamu, gimana kabarnya? Udah baikan?” Yuno sudah tau kabar Ara dari Echa, Yuno juga belum berani bahas soal kampus dengan Ara. Ia ingin membiarkan Ara yang bercerita lebih dulu saja.

Di tempatnya Ara mengangguk, memperhatikan Yuno yang menurut nya semakin kurus dari hari terakhir ia melihatnya langsung.

“Kak Yuno?”

yes babe?

“Kok kurusan?”

Yuno meringis, ia enggak mau cerita kalau ia sempat jatuh sakit. Rasanya hanya tidak tepat ia bercerita seperti ini di saat ia tahu kondisi Ara juga baru sedikit membaik, jadi Yuno akan tetap merahasiakan hal ini pada gadis itu.

capek banget, sayang. Aku kan ikut beberapa organisasi di kampus, dan emang lagi hectic-hectic nya. Maaf yah, waktu buat kamu jadi sedikit berkurang,” jelas Yuno penuh penyesalan.

“Um.” Ara mengangguk sekali lagi. “Gapapa, Kak. Aku bisa ngerti kok, apalagi fakultas kedokteran emang sesibuk itu.”

Ada banyak kata yang ingin Ara ungkapkan, namun semuanya seperti tertahan di ujung bibirnya. Ia tidak pernah bisa lugas bercerita pada Yuno, Ara sadar terlalu banyak yang ia dan Yuno sembunyikan.

tapi aku janji, kalo ada waktu sebentar pun aku bakalan ngabarin kamu.

“Yang penting itu kamu istirahat dan makan, Kak. Kamu tuh udah kurus banget dari yang terakhir aku liat tau.”

Yuno menaikan sebelah alis tebalnya itu, “masa sih, sayang? Tapi emang sibuk sih, nanti aku makan yang banyak yah. Kamu gimana di sana?

Ara menunduk, dia gak mau cerita bahwa betapa hancur nya dia beberapa hari ini pada Yuno. Ara tahu, kuliah kedokteran itu banyak menguras tenaga dan pikiran dan Ara enggak ingin menambah beban pikiran Yuno dengan bercerita hal-hal sedih pada cowok itu.

“Aku jadinya kuliah di Bandung, Kak. Gak jadi di Malang.”

oh ya? Di kampus nya Arial, sayang?

“Um, minggu depan aku ke Bandung buat ngurus pemberkasan. Terus sekalian cari kosan.”

kamu kenapa gak tanya Gita, sayang? Kan bakalan satu kampus sama dia juga, kali aja kosan Gita masih ada kamar yang kosong?” usul Yuno.

Ara sampai tidak kepikiran. Apalagi Gita bilang kemarin kalau gadis itu sudah mendapatkan kosan di Bandung, benar juga. Dari pada ia mencari-cari kosan lagi, lebih baik bertanya dengan Gita dulu saja kan.

“Eh iya juga ya, Kak. Aku gak kepikiran, untung kamu ngingetin.”

nanti kasih tau aku yah kalau udah dapat kosan.

“Um, Kak Yuno? Kamu kapan pulang?”

kangen ya? Sabar yah, kemungkinan aku baru bisa pulang tahun depan, sayang. Atau paling cepat akhir tahun ini, tapi mungkin juga gak bisa lama-lama.

Ara menghela nafasnya pelan, ia benar-benar merindukan Yuno setelah kemarin ia sedikit menjauhi cowok itu.

“Aku selalu kangen kamu, pengen peluk, pengen cium juga, pengen ngajak kamu ke tempat-tempat yang aku datangi tanpa kamu, mau kasih tau kamu kalo aku udah bisa dekor birthday cake ada banyak hal yang mau aku lakuin sama kamu,” cerocos Ara malam itu yang Yuno balas dengan senyumannya. Sama hal nya dengan Ara, ada banyak juga yang ingin Yuno lakukan bersama gadis itu.

tapi dari semua hal yang kamu sebutin barusan, apa yang kepengen banget kamu lakuin?

Mendengar pertanyaan dari Yuno itu, Ara terdiam sebentar. Jemarinya ia remas pelan dan bibirnya ia kulum, ada banyak kata yang tertahan di bibirnya dan perasaan yang ingin sekali ia utarakan. Namun yang keluar dari bibir Ara hanyalah.

“Mau peluk kamu,” ucapnya.