Almost ☑

Ruruhaokeai, Lee Juyeon, Lee Jaehyun, Choi Yoonji, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Nakamoto Yuta and Kim Sihyeon

Sembari menerawang pada lampu ruang rawat Istrinya itu, Julian berusaha memejamkan matanya di atas sofabed untuk penunggu pasien. Matanya belum juga mengantuk meski kini sudah hampir pagi, kepalanya terus berputar pada kejadian semalam di rumah Liliana yang terus menganggu pikirannya.

Bella yang di seret oleh Ibu-Ibu berbadan gempal kemudian bocah itu yang tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan Papa, Liliana sudah memberikan penjelasan. Julian juga sudah melihat foto mendiang Suami Liliana, kalau Julian perhatiin memang ia dan mendiang Suami Liliana itu sekilas agak mirip jadi wajar saja kalau Bella mengira ia adalah Papa nya.

“Bella, jangan manggil Paman pakai sebutan Papa. Paman ini temannya Mama bukan Papa nya Bella,” Jelas Liliana pada Bella.

“Tapi mukanya mirip Papa, Mah. Ini Papa kan?” bocah itu mengambil bingkai foto milik Ayahnya kemudian mendekatkannya ke wajah Julian “Tuh kan, mirip.”

Julian yang menyaksikan itu hanya bisa tersenyum, dia mau menolak pun enggak enak biar sudah di jelaskan, Bella tetap kekeuh untuk memanggilnya dengan sebutan Papa. Menurut Julian pun enggak masalah kayanya untuk sementara ini, toh besar nanti Bella akan paham jika ia memang bukan Ayah kandungnya.

“Gapapa, Li. Saya enggak keberatan kok di panggil gitu,” ucap Julian.

“Jangan, Pak. Saya enggak enak.”

Julian hanya menggeleng, mengisyaratkan dia baik-baik saja dengan panggilan itu. Bella yang duduk di sebelahnya itu Julian pangku, bocah itu tampak tenang dalam pangkuan Julian bahkan Bella memeluknya. Seperti memeluk Ayahnya sendiri, bocah itu benar-benar merindukan Ayahnya? Pikir Julian.

“Papa malam ini bobo sama Bella sama Mama kan? Bella kan nunggunya lama banget.” mata bocah itu berkedip, tangan kecilnya memainkan tangan Julian yang besar itu.

“Maaf yah, Papa gak bisa bobo di sini.”

“Kenapa?”

“Karena Papa punya rumah sendiri. Nanti kapan-kapan Papa main lagi.”

Bella yang mendengar itu mengerutkan keningnya bingung, ia melihat ke arah Liliana yang tengah menunduk. Liliana benar-benar tidak enak dengan seniornya itu, kalau Ara tahu pun Ara pasti akan marah Suaminya di panggil seperti itu oleh anak orang lain.

Belum lagi omongan tetangga sekitar rumah Liliana, Buk Ijah saja sudah mengira Julian ini adalah pacarnya. Liliana cuma enggak mau ada rumor yang tidak-tidak mengenai dirinya disini.

“Tapi kan ini juga rumah Bella sama Mama, Papa kan Papa nya Bella harusnya juga boleh bobo di sini. Ya kan, Mah?” Bella menuntut jawaban dari Ibu nya itu namun reaksi Liliana justru berbeda dari yang Bella harapkan, wanita itu berdiri dan mengambil alih Bella dari pangkuan Julian.

“Mah, Bella mau sama Papa!!” pekik Liliana.

Tanpa memperdulikan teriakan Bella dan ayunan kakinya, Liliana membawa Bella masuk ke dalam kamarnya dan ia kunci bocah itu di dalam. Sejujurnya hati Liliana sakit harus bersikap kasar pada Bella lagi, tapi ia sungguh tidak ingin Bella benar-benar beranggapan jika Julian adalah Ayahnya. Liliana gak mau mempersulit keadaan.

“MAH BUKAIN MAH!! BELLA MAU SAMA PAPA!!” teriak Bella dari dalam kamarnya.

“Pak, Maaf sebelumnya atas perilaku Bella ke Pak Julian. Terima kasih juga sudah bantu saya hari ini dan anterin pulang, saya janji begitu gajian saya bakalan ganti semuanya,” ucap Liliana tanpa melihat wajah Julian dia benar-benar tidak enak.

“Li, saya gak masalah.” Julian menggeleng kepalanya, dia gak nyangka Liliana bisa bersikap kasar kaya gitu sama Bella. “Li, kasian Bella. Harusnya kamu gak bersikap kaya gitu ke dia—”

“Bella anak saya, Pak. Saya yang tau dia bagaimana dan saya yang paham harus melakukan apa untuk Bella, sekali lagi terima kasih, Pak Julian. Kalau sudah tidak ada yang ingin Bapak bicarakan lagi sama saya, Bapak bisa pulang, Pak.”

Hati dan pikiran Liliana sangat bertentangan dengan ucapan yang ia keluarkan, ia merasa sudah sangat tidak sopan dan tidak tahu diri atas kebaikan yang Julian lakukan untuknya hari ini. Namun rasanya semua semakin sulit untuknya karena Bella mengira Julian adalah Ayahnya.

Biar besok Liliana akan meminta maaf pada Julian tentang hari ini, yang terpenting sekarang adalah Julian harus segera meninggalkan rumahnya dan ia harus menenangkan Bella di kamar.

Julian yang di bilang seperti itu hanya bisa menggeleng pelan, ia berdiri dan meninggalkan rumah Liliana tanpa sepatah katapun lagi. Ia agaknya kecewa dengan sikap Liliana yang kasar sama anaknya sendiri.

Julian membalikan badannya, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Ia benci melihat anak kecil mendapatkan perlakuan kasar seperti itu, Julian hanya berpikir ia pernah ada di posisi Bella dulu. Saat dirinya benar-benar merindukan mendiang Bapaknya, Julian juga pernah bertemu dengan orang lain yang mirip dengan Bapaknya.

Om Sagara, Ayahnya Gita. Bahkan saat berada dalam pelukan pria itu Julian bisa merasa seperti Bapaknya juga sedang memeluknya. Dan itu cukup mengobati kerinduan Julian dengan mendiang Bapaknya.

“Bang?” panggil Ara, dia terbangun karena ingin ke kamar mandi dan kebetulan malah melihat Julian yang masih sibuk membolak balikan badannya di atas sofa bed.

Julian yang mendengar Istrinya bangun itu spontan langsung duduk, dan kemudian berjalan ke arah ranjang Istrinya itu. “Kenapa, sayang?”

“Kamu belum tidur?”

Julian menggeleng, “enggak bisa tidur.”

“Kenapa? Ada yang di pikirin?”

Julian diam, dia menimang-nimang untuk bercerita soal kejadian tadi di rumah Liliana atau tidak. Namun pada akhirnya Julian memilih untuk merahasiakannya, dia enggak mau Ara banyak pikiran dulu. Ara itu mudah iba dengan cerita-cerita seperti ini, Julian tahu banget. Selain hewan, anak-anak juga menjadi salah satu kelemahan Ara.

“Enggak, sayang. Lagi gak bisa tidur aja, gatau kenapa.” Julian terkekeh. “Kamu kenapa bangun?”

“Mau pipis.” Ara nyengir dan mengalungkan tangannya di leher Suaminya itu dengan manja.

“Aku anterin yah, manja banget Istriku. Mau di gendong aja apa ya?”

“Ih gak usah, infusan aku gimana kalo di gendong?”

“Oiya aku lupa,” Julian nyengir, kemudian membantu Ara untuk berdiri dan mengantarnya ke kamar mandi sembari memegangi tiang infusan nya.


Paginya, Liliana tengah bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya. Ia sudah memeriksa kotak bekal miliknya, milik Bella dan juga buku-buku yang harus di bawa Bella hari ini, Kebetulan Bi Narsih juga sudah datang. beliau lagi menyuapi Bella yang asik bermain di ruang TV.

Liliana tahu Bella masih marah dengannya, bahkan saat melihatnya dengan kemeja kerja dan tasnya. Bocah itu membuang pandangannya ke arah lain, ia enggan melihat Liliana pagi ini.

“Non Bella, salam dulu sama Mama. Mama mau kerja tuh,” kata Bi Narsih.

“GAK MAU! MAMA JAHAT!” teriak Bella.

Hati Liliana sakit sebenarnya mendengar Bella berucap seperti itu, namun dia bisa memaklumi sikap Bella pagi ini. Semalam Liliana juga merasa dia sudah keterlaluan sama Bella, Liliana akui itu.

Liliana berjongkok, sedikit merangkak mendekati Bella yang sedang duduk di karpet bulu dengan boneka-boneka miliknya. “Bella?”

“Sana pergi!! Bella gak mau sama Mama, Mama jahat. Mama gak sayang sama Bella, Mama usir Papa nya Bella!” pekik bocah itu.

“Maafin Mama ya.”

“Gak mau!”

Liliana menunduk, ia melirik foto Suaminya itu yang ada di meja dekat TV. “Tapi Paman Julian kan bukan Papa nya Bella.”

“Itu Papa nya Bella! Mukanya mirip Papa, dia Papa nya Bella!!” teriak Bella, bocah itu membuang mainannya dan mengenai bingkai foto Liliana dan Bella yang sedang ada di taman bermain. Bingkai itu jatuh ke lantai, untung saja tidak pecah.

“Non Bella, gak boleh begitu sama Mama, Non.” Bi Narsih memperingati. Beliau juga mengambil bingkai foto yang sempat jatuh itu dan menaruhnya lagi di meja.

Liliana hanya menggeleng, dan memberi isyarat pada Bi Narsih bahwa dia bisa menghandle Bella. “Gapapa, Bi.”

“Mama kenapa usir Papa?”

“Karena Paman bukan Papa nya Bella. Papa nya Bella sudah enggak ada, sudah bersama Tuhan,” jelas Liliana.

Salahnya sendiri dari dulu dia selalu menjelaskan pada Bella jika Papa nya sedang bekerja dan suatu hari nanti akan pulang ke rumah. Jadi, wajar sebenarnya Bella beranggapan Julian adalah Papa nya terlepas dari wajah mereka memang agak mirip.

“BOHONG!! PAPA MASIH ADA YANG SEMALAM ITU PAPA!” Bella yang kepalang kesal, mengambil boneka barbie miliknya dan melemparnya ke arah Liliana dan mengenai kening wanita itu. Kening Liliana merah dan terasa sangat ngilu, setelah itu Bella lari keluar dari rumahnya dan di kejar oleh Bi Narsih.

“Non Bella, mau ke mana, Non? Jangan lari-lari!!” teriak Bi Narsih, sementara Liliana memejamkan matanya bersamaan dengan air matanya yang kembali turun ke wajahnya.

Selama lima bulan terakhir ini, sejak kejadian Bella memanggil Julian dengan sebutan Papa. Liliana berusaha sebisa mungkin menghindari interaksi dengan Julian jika tidak ada pekerjaan yang mendesak, hari-hari berjalan selalu membosankan baginya.

Ia akan datang ke kantor, makan siang di meja nya sembari bekerja, kemudian pulang menunggu hingga kemacetan mereda. Begitu terus, tidak ada satu hari pun spesial di harinya, ngomong-ngomong soal Bella. Bocah itu udah enggak marah lagi sama dia, Bella udah seperti biasanya meski sering kali Bella selalu bertanya kapan Papa nya akan datang ke rumah.

Jika Bella sudah bertanya seperti itu, Liliana hanya bisa mengalihkan pikiran bocah itu dengan bermain. Untungnya Bella itu gampang di alihkan.

Sedang sibuk berkutat dengan pekerjaannya, Monika yang duduk di sebelah Liliana itu menyentuh punyak Liliana. Liliana memang memakai earphone, dia ngerasa bisa lebih fokus bekerja jika sambil mendengarkan lagu.

“Ya?” tanya Liliana.

Monik memberikan kotak berisi 4 cup cakes untuk Liliana, bentuknya cantik karna di hias dengan pita berwarna merah muda dan juga ada kartu ucapan di selipkan di antara pita nya. Bentuk cupcakes nya pun cantik dan lucu-lucu menurut Liliana.

“Buat lo,” jawab Monik.

“Makasih yah.”

“Bukan dari gue, Li.”

Liliana mengerutkan keningnya bingung, “dari siapa?”

“Dari Mas Ijul, semua anak-anak kantor dapet.”

Liliana mengangguk, mengambil kotak berisi cupcakes itu dan menaruhnya di meja. “Ulang tahun?” tebaknya.

“Istrinya hamil,” bisik Monik. “Akhirnya yah, Mas Ijul seneng banget tuh makanya sampe bagi-bagi cupcakes buat anak-anak, Gue juga dengarnya senang.”

Liliana menelan saliva nya, setelah menjenguk Ara terakhir kali lima bulan yang lalu. Ia memang enggak bertukar kabar apa-apa lagi pada Ara meski wanita itu sering menanyakan kabarnya lewat pesan singkat, Liliana gak pernah menjawab pesan itu.

“Um.”

Liliana bukan enggak senang mendengar kabar bahagia itu, dia senang. Hanya saja dia enggak tahu harus bereaksi seperti apa, lagi pula rasanya ia masih merasa bersalah pada Julian meski keesokannya ia sempat meminta maaf.

Setelah jam pulang kantor tiba, Liliana enggak langsung pulang seperti karyawan yang lain. Ia masih duduk mengerjakan pekerjaannya sembari menghitung tabungannya dari gaji nya sendiri, kalau di hitung-hitung dia sudah bisa membawa Bella ke psikolog anak untuk dapat terapi agar sikap Bella bisa lebih terarah dan fokus pada pelajaran di sekolahnya.

Liliana senyum, menurutnya enggak sia-sia dia selama ini hidup hemat dengan membawa bekal makanan ke kantor dan enggak ikut hangout bersama teman-teman kantor nya ketika di ajak, meski Liliana akui jika hidupnya memang agak membosankan.

“Belum pulang, Li?” tanya Ferdy.

“Ah,” Liliana buru-buru melepas earphone nya dan berdiri. Ada atasannya ternyata, tapi Ferdy enggak datang sendiri di belakangnya ada Julian yang menatap Liliana tanpa ekspresi sedikit pun. “Se..bentar lagi, Pak.”

“Lembur?”

Liliana menggeleng, “enggak, lagi nunggu sampai enggak macet aja.”

“Oalah kirain lembur, yaudah saya duluan ya.”

Setelah mengatakan itu, Ferdy dan Julian pergi lebih dulu meninggalkan ruangan itu. Lampu-lampu gedung juga mulai di redupkan oleh security yang berjaga, kalau sudah begini Liliana mulai membereskan barang bawaannya dan mulai merapihkan meja nya sendiri.

Melihat ekspresi wajah Julian yang datar, Liliana sadar jika Julian tidak seramah dulu dia kecewa akan sikap nya terakhir kali yang di rasa kurang pantas. Ya meski Julian sendiri bersikap profesional, jika mereka sedang mendiskusikan perihal pekerjaan sikapnya akan seperti biasanya.

Di dalam bus yang membawanya menuju ke rumahnya, Liliana melamun sembari memperhatikan cupcakes yang berada di pangkuannya. Ia memikirkan Bella yang pasti akan senang melihatnya pulang membawa makanan manis yang bentuknya cantik ini, namun tidak lama kemudian bus yang di tumpangi Liliana berhenti. Dan pramuniaga nya membuka pintu bagian depan dan belakang bus, sepertinya terjadi sesuatu? Pikir Liliana.

“Maaf sebelumnya, bus mengalami pecah ban. Jadi terpaksa kami harus menurunkan penumpang di halte ini sampai bus selanjutnya datang,” ucap pramuniaga itu yang kemudian mendapat sorakan dari beberapa penumpang lainnya.

Mau enggak mau Liliana harus turun dan menunggu di halte, meski tidak lama kemudian bus yang menuju ke rumahnya datang. Namun sayangnya bus itu penuh dan Liliana terpaksa harus menunggu bus selanjutnya, kalau Liliana lihat dari aplikasi bus di ponselnya sih sekitar 20-30 menit lagi. Cukup lama menurutnya, namun tidak apa. Liliana sedang tidak buru-buru, dari pada dia harus pesan ojek online dan memakan biaya lebih dari pengeluaran harian yang sudah di tentukannya hari ini.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 berwarna silver berhenti tepat di depannya. Liliana sempat mengerutkan keningnya sampai akhirnya kaca mobil itu turun dan memperlihatkan siapa orang di dalamnya.

“Pak Julian?” gumam Liliana.

“Ngapain disitu, Li?”

“Nunggu bus, Pak.”

Julian sempat melihat arloji miliknya, sudah jam 8 malam ternyata. “Bus ke arah rumah kamu masih 30 menit lagi, bareng sama saya aja rumah kita searah.”

Liliana tampak bingung namun pada akhirnya ia mengangguk dan masuk ke dalam mobil seniornya itu, Liliana anggap ini bentuk menghilangkan perasaan bersalahnya. Dan memperbaiki hubungannya dengan Julian, Liliana enggak mau hubungan dengan rekan kerjanya canggung.

“Makasih yah, Pak.”

“Sama-sama, Li.”

Di dalam mobil Liliana sempat canggung, ia hanya mendengarkan radio dari mobil sambil sesekali memikirkan pertanyaan basa basi yang harus ia lontarkan, ya setidaknya dia harus yang memulai lebih dulu.

“Ngomong-ngomong, selamat atas berita baiknya ya, Pak. Saya dengar Mbak Ara hamil ya?” Liliana bernapas lega, dia akhirnya kepikiran hal ini juga untuk memecahkan hening di antara mereka.

“Makasih yah, Li. Iya Istri saya hamil, senang banget saya. Oiya, dia nanyain kamu terus.”

Liliana mengangguk, “kapan-kapan saya hubungin Mbak Ara, Pak. Terima kasih juga cup cakes nya.”

“Loh boleh dong, kapanpun juga gapapa. Dia tuh orangnya asik, Li. Jadi jangan sungkan ya.”

“Saya cuma malu aja, Pak. Enggak sih lebih ke apa yah grogi? Karna saya susah banget beradaptasi sama orang baru apalagi Mbak Ara orang terkenal, jadi kaya ngerasa enggak pantas aja bergaul sama dia.”

Liliana itu emang berubah drastis sejak ia di usir dari keluarganya dan berseteru dengan keluarga Suaminya. Liliana jadi lebih pendiam, menarik diri dari banyak orang dan jadi sering merasa rendah diri. Liliana yang dulu itu sebenarnya gadis yang ceria, mudah bergaul dan banyak di sukai orang lain karna cara bicaranya pintar.

“Kenapa emangnya? Dia juga orang biasa, Li. Ara itu enggak pernah milih-milih teman. Dia juga kelihatan nyaman banget ngobrol sama kamu, jadi jangan sungkan juga dia malah senang banget kalau bisa temanan sama kamu.”

Liliana mengangguk, mungkin kali ini dia bisa berubah. Bisa menemukan dirinya yang dulu dan mulai keluar dari zona nyamannya, Liliana juga ingin bahagia seperti memiliki teman dekat misalnya. dulu, Liliana punya teman dekat. tapi sejak ia menikah dan sibuk mengurus Bella entah kenapa perlahan teman-temannya menjauh.

Obrolan yang lumayan panjang itu membuat keduanya tidak sadar jika akhirnya sudah sampai depan rumah Liliana saja.

“Sampai sini aja, Pak. Terima kasih sekali lagi.”

“Sama-sama, Li. Ah iya, Li. Bella gimana kabarnya?” Julian jadi kepikiran Bella kalau ingat depan rumah Liliana, Bella yang di seret oleh Bu Ijah seperti yang terakhir dia lihat.

“Baik, Pak. Mari Pak.” Liliana turun, kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dia gak mau Bella melihat Julian atau ada tetangga nya yang melihatnya pulang di antar oleh Julian, dia benar-benar menghindari hal-hal seperti itu.


“Cobain ini juga deh, Ra. Ini enak gue yang masak!” Elara memberikan sosis bakar dan menyuapinya ke mulut Ara yang masih agak penuh dengan makanan itu.

“Udah aahh sumpah ini gue dari tadi di suruh makan mulu, udah kenyang please.” protes Ara.

Hari ini anak-anak kosan Abah kumpul di kosan Abah yang dulu mereka tinggali. Teman-temannya membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan berita baik yang di bawa Julian sama Ara, ya sekaligus berkumpul bersama toh ini weekend kan.

di lantai satu dekat kolam renang, Januar dan Elara sibuk membakar sosis, ikan, bakso dan ada beberapa kepiting yang di bawa oleh Kevin dan Yves. oiya ini juga untuk merayakan hari ulang tahun Chaka meski sudah lewat.

laki-laki di sana itu sedang asik mengobrol di pinggir kolam, ada Januar dan Kevin juga yang sedang merokok. dan yang perempuan sedang duduk di ruang TV sembari menikmati makanan dan sedikit ngobrol-ngobrol.

“Nanti lo baliknya bawa ini lauk ya, Ra. Ada menu baru juga dari cafe Mama nya Mas Ril, sekalian lo cobain juga.” Gita nata kotak makan berisi lauk-lauk buatannya dan juga cake dengan rasa klepon, menu baru di cafe Tante Riani. ah semua teman-temannya dapat kok, enggak cuma Ara saja.

“Git, banyak banget siapa yang mau makan? Gue cuma berdua sama Mas Ijul.”

“Ya lo sama Juleha lah, biar lo gak usah masak lagi, angetin aja di microwave. Trimester pertama tuh lagi mabuk-mabuknya, Ra. Lo gak boleh kecapekan oke? Kalau perlu Juleha suruh belajar masak.” Gita ini jadi strict banget ke Ara semenjak tahu Ara hamil, ya Gita cuma mikir kalau Ara ini jadi agak ringkih semenjak operasi.

“Ih dia bisa masak tau,” Ara membela Julian, Julian bisa masak kok walau yah menu nya itu itu aja. Oseng-oseng kangkung, ayam goreng dan sup tahu.

“Menu yang lain jangan masak kangkung mulu! elu bukan kambing.” pekik Gita, yang membuat Ara terkekeh.

“Eh tapi, Ra. Kamu sama Julian tuh ada kepengen jenis kelamin anak kalian apa gitu?” tanya Teh Niken tiba-tiba, biasanya kan pasangan yang baru menikah atau hamil anak pertama tuh suka mengidam-idamkan jenis kelamin anak mereka, seperti ingin punya anak pertama laki-laki supaya bisa melindunginya adik-adiknya. Pokoknya gitu deh,

Yah Teh Niken penasaran aja. walau belum menikah sama Chaka dia tuh udah merencanakan kalau kelk ingin memiliki anak perempuan untuk anak pertama mereka.

Ara menggeleng, “enggak ada sih, Teh. Apa aja, sedikasihnya aja.”

“Gue juga dulu kaya gitu, Ra. Tapi Janu tuh kepengen punya anak cowok pokoknya harus cowok kalo pertama, Katanya kalo cewek dia takut.”

“Soalnya Bapaknya begajulan dulu sih yah,” gumam Gita.

“Kevin juga gitu, tapi yah akhirnya dia pasrah aja. Mau anaknya cewek atau cowok yang penting sehat katanya,” samber Yves.

“Lagian yah, bisa-bisa nya mereka yang brengsek mereka juga yang overthinking kalo apa yang mereka perbuat ke mantan-mantan mereka dulu anak mereka yang bakalan nanggung karma nya, mana ada yang begitu.” menurut Elara kata-kata orang lain soal hal itu enggak masuk akal aja baginya, bagaimana bisa anak mereka yang menanggung karma buruk dari Ayahnya?

“Iya aku juga gak percaya kaya gitu sih, El. Karma emang ada, tapi masa iya anak yang gak tau apa yang di perbuat orang tua nya yang nanggung sih.”

Elara menjentikkan jarinya ke Niken, “ya kan, Teh.”

“Terus, soal Budhe nya Juleha yang nyinyir itu gimana, Ra? Reaksi dia pas tau?” tanya Gita, Ara sempat cerita ke Gita kalau dia pernah dapat ucapan enggak enak dari Budhe nya Julian.

“Ya dia ikut senang kok, Git. Terus gue di kasih nasihat-nasihat gitu. Sama pantangan-pantangan apalah, tapi ya yang baik-baik gue dengerin kok.”

“Syukur deh, pokoknya lo harus jaga kesehatan yah. Kalo butuh apa-apa, atau mau nanya apa-apa. Gue sama yang lain siap bantu kok.”

“Makasih yah, Git.”

Semenjak Ara hamil tuh dia jadi ngerasa gak bisa jauh-jauh dari Julian, pokoknya banyak banget hal-hal dalam diri dia yang aneh banget deh. Kalo buat morning sick kaya kebanyakan ibu hamil sih dia enggak, tapi manja dan maunya dekat-dekat Julian ini loh yang gak tahan.

Sampai-sampai Ara jadi lebih suka pakein baju-bajunya Julian, dia gak mau pake bajunya sendiri. Menurutnya baju Julian tuh wangi nya Julian banget, padahal menurut Julian wanginya sama aja orang mereka kalo nyuci pun pakai detergen dan pewangi pakaian yang sama kok.

Dan yang lebih anehnya lagi adalah, Ara tuh suka banget nyiumin keringet nya Julian. Ya emang Julian bukan yang bau badan gitu sih, wangi nya pun kecampur sama wangi parfum dia tapi menurut Julian tetap aja aneh. Dia udah sering banget cerita ke Arial, Januar sama Kevin yang Istri-Istrinya lebih dulu hamil.

Tapi mereka tuh ngidam sewajarnya aja, tapi ngeliat Ara yang manja dan gak bisa jauh darinya bikin Julian senang sekaligus ngerasa repot, ya kaya sekarang ini. Dia lagi nyalain saklar di garasi rumahnya karena tiba-tiba aja listrik di rumah mereka turun pas mereka lagi nonton. Dan Ara udah...

“Abang??? Ihhh kemana sih?” rajuk Ara, Julian bisa dengar dari garasi rumah mereka.

“Iya sebentar sayang, ini aku lagi ngecek ada yang konslet atau enggak,” teriak Julian.

“Cepetan ihhhhh lama banget.”

Julian menghela nafasnya pelan, setelah memastikan aliran listrik di rumahnya sudah kembali normal dia masuk lagi ke dalam dan berjalan menuju ruang TV.

“Cuma di tinggal kedepan aja juga.”

“Tapi lama banget udah kangen ih.” Ara melambai-lambaikan tangannya, begitu Julian duduk di sebelahnya. Wanita itu langsung memeluk lengan Julian dan mengusap wajahnya di bahu Julian. “Gemes, kangen. Pokoknya gak boleh jauh-jauh!”

“Lebay, jauh-jauh apa orang aku cuma nyalain saklar doang loh.”

“Jauh itu nama nya.”

Julian geleng-geleng kepala aja, heran banget liat kelakuan Istrinya itu akhir-akhir ini. Tapi Ara yang liat Julian geleng-geleng kepala gitu malah tersinggung, dia jadi mikir Julian kesal sama dia. Ara akhirnya melepaskan pelukannya dari lengan Suaminya itu.

Pokoknya dia sedih banget kalo Julian ngerasa kaya nolak dia gini, hatinya sakit banget ngerasa gak di inginkan. Walau sesudahnya Ara juga ngerasa dia berlebihan, tapi tuh emang rasanya sedih banget. Pokoknya sedih seh, susah di jelasin.

“Kenapa?” tanya Julian waktu Istrinya itu ngelepas pelukannya dan ngeliatin Julian yang lagi sibuk makanin cheese ball di toples.

“Abang udah gak sayang aku?”

“Hah?” Julian bingung, ya gimana gak bingung kalau tiba-tiba Ara nanya begitu. Gimana gak sayang, apapun yang Ara mau juga Julian turutin kok. “Kok nanya gitu? Ya sayang lah, Bun.”

“Tapi tadi kamu ngatain aku lebay!!” Ara merajuk gak lama kemudian dia nangis sesenggukan, persis banget kaya anak kecil lengkap dengan ngucek-ngucek matanya terus nutupin wajahnya.

Kalau udah begini Julian jadi pening sendiri kan, “sayang, maksud aku gak gitu.”

Julian bawa Ara ke pelukannya dan dia usap-usap punggung kecil Istrinya itu, “maaf ya ngatain kamu lebay, kan aku niatnya cuma bercanda. Aku sayang kamu kok, sayang banget malahan.”

“Tapi kalau sayang kan harusnya kamu gak bilang lebay.”

“Iya maaf yahhh, maaf.” bisik Julian, dia ciumin pucuk kepala Istrinya itu sampai Ara gak nangis lagi. Setelah jauh lebih tenang, mereka lanjut nonton TV lagi sambil sesekali Ara minta kaki nya di pijitin.

“Bang?” panggil Ara, yang bikin Julian menoleh ke arahnya.

“Hm?”

“Kalau Ibu liat kamu mijitin aku gini, Ibu marah gak?”

“Marah?” Julian ngerutin dahinya bingung, sementara Ara mengangguk sebagai jawaban. “Marah kenapa?”

“Iya, kan aku punya teman yah, dia lagi hamil juga pas Suaminya lagi mijitin Istrinya terus masakin buat temenku, Ibu dari Suaminya dateng terus marah-marah. Katanya jangan jadiin Suaminya pesuruh katanya gak sopan, gitu.”

“Kok aneh,” Julian cuma mikir itu kan suatu hal yang wajar, lagi pula hamil pasti sulit dan gak ada salahnya Suami ngelayanin dan ngerawat Istrinya kan, toh Istri adalah teman hidupnya. Wanita yang rela meninggalkan kedua orang tua demi mengabdi sama Suaminya.

“Enggak sih, Ibu malah nyuruh aku buat jagain kamu terus, ngebawelin aku bilang kamu jangan capek-capek. Malah Ibu tuh nawarin tau ngirimin makanan atau suruh aku nyari asisten rumah tangga buat bantu-bantu kamu.”

“Iya?” pekik Ara, dia senyum sumringah banget. Ibu mertua nya emang baik banget, malah Julian suka cemburu karna semenjak menikah Ibu lebih perhatian sama Ara. “Ibu tuh emang mertua paling baik!!”

“Ibu tuh ngarep cucu banget dari kita, dia pasti ngejaga kamu banget kalau dekat.”

“Maaf ya aku suka mikir yang jelek-jelek cuma karena teman-teman aku suka cerita perlakuan buruk keluarga Suaminya ke dia.” Ara jadi ngerasa bersalah banget, padahal dia tuh beruntung banget di terima dan di sayang banget sama keluarga dari Suaminya. Terutama sama Ibu mertua nya itu.

“Ibuku tuh dulu puas banget di manja, di layanin, di sayang sama Bapak juga. Makanya dia berharap anak laki-lakinya juga bisa seperti itu sama Istrinya, makanya kehadiran kamu sama sekali bukan menjadi saingan buat Ibu karena aku jadi lebih perhatian ke kamu.”

“Bunda juga suka bilang gitu ke aku, aku harus nurut sama kamu, dengerin ucapan kamu.”

Julian senyum, gak lama dia ngecup bibir Istrinya itu dengan gemas. Kalau liat Ara senyum gini tuh rasanya dunia lagi berbaik hati banget sama dia, “mana yang pegal lagi? Aku pijitin.”

“Mau kelonan aja.”

Julian menaikan sebelah alisnya dan menyeringai. “Di kamar?”

Ara hanya mengangguk dan senyum malu-malu sampai ada semburat kemerahan di pipinya, “um.”

Tanpa mematikan TV di ruang tamu, Julian langsung menggendong Istrinya itu dan membawa nya ke kamar. Meniduri Ara di atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi keduanya.

“Abang geli ihhh!” teriak Ara dari dalam selimut waktu Julian nyiumin lehernya dengan gemas, mereka gak ngapa-ngapain kok cuma cuddle aja.


“Jo, kamu inget gak sih temen deket kamu waktu kuliah itu?” tanya Kamila sama Jonas yang lagi sibuk sama kerjaanya yang numpuk itu.

Oiya, Jonas juga sudah tunangan, rencana nya tahun depan juga dia akan menikah dengan tunangannya ini. Namanya Kamila, mereka bertemu karena bekerja di satu kantor yang sama. Dulu tuh Jonas pernah pacaran sama Adik tingkat kan? Nah sayangnya hubungannya kandas.

Ada tembok tinggi yang membentang di antara mereka, begitu kokoh sampai Jonas dan pacarnya dulu berdamai dan memutuskan untuk berpisah baik-baik. Ya meski pun belum menikah, Jonas sama Kamila ini sudah memutuskan untuk tinggal bersama.

Mereka mau coba saling mengenal lebih dalam karakter masing-masing agar lebih kenal sebelum akhirnya mantap untuk lanjut kepernikahan, ya kira-kira alasan Jonas sih begitu kalau teman-temannya dan Julian kadang meledeknya dengan sebutan 'kumpul orang' ya bukan kebo, mereka gak mau nyalahin kebo.

“Siapa? Ijul?” tebak Jonas.

“Yang istrinya Youtuber itu namanya Ijul?”

Jonas mengangguk, “iya si Ara, yang dulu sempet aku taksir, Bi. Kenapa dah?”

“Anjir lu, gak usah di perjelas bagian yang naksir. Gue udah gak cemburu sih tapi sebel aja dengernya,” Kamila menepuk pundak Jonas dengan kesal. Sok ganteng banget si Jonas ini, cintanya bertepuk sebelah tangan aja bangga, Pikir Kamila.

“Hehe,” Jonas nyengir. “Kenapa-kenapa sama Ijul?”

“Kemarin aku ketemu dia waktu habis dari rumah temenku.”

“Terus?”

“Ada yang aneh, dia nganterin cewek pulang.”

“Cewek? Bini nya kali?” tebak Jonas.

“Bukan, Bi. Kalau kata temen aku si Miranda, cewek itu janda punya anak 1. Terus Julian juga sempat masuk ke rumahnya dan gendong anaknya si itu cewek. Terus si anaknya ini juga manggilnya pake sebutan Papa.”

“HAH???” pekik Jonas kaget, agak lebay tapi dia tuh beneran kaget banget. Dia mau mikir yang enggak-enggak sama Julian seperti laki-laki itu selingkuh dan punya anak sama wanita lain, tapi sejauh yang ia kenal Julian bukan laki-laki seperti itu. “Kamu salah dengar gak?”

“Enggak, Bi. Serius. 3 hari yang lalu juga aku liat Julian lagi nganterin itu cewek, mobilnya Julian Hyundai Ioniq 5 warna silver kan?”

Jonas mengangguk, “iya.”

“Nah, mobil itu ada lagi. Tapi kali ini Julian enggak turun.”

“Masa sih, Bi?” Jonas agak gak percaya sama Kamila, tapi buat apa Kamila bohong? Jonas jadi mikir ada hubungan apa Julian sama cewek itu. Apalagi dari yang Jonas liat di akun instagram milik Ara, wanita itu baru mengumumkan kehamilannya harusnya hubungan mereka makin harmonis kan? Pikir Jonas.

“Buat apa aku bohong jir, aku cuma takut si Ara di selingkuhin dah.”

“Gak lah,” Jonas mengibaskan tangannya ke Kamila, dia coba mikir positif dulu. “Gak mungkin Ijul begitu, orang bucin banget dia sama bini nya.”

“Dih siapa tau aja? Mama sama Papaku juga kelihatan bucin banget, gak taunya Mama selingkuh.”

Mendengar ucapan Kamila itu, Jonas jadi mikirin Julian dan Ara. Dia gak yakin Julian kaya gitu, tapi dia sendiri takut enggak benar-benar mengenal temannya itu. Sekarang, Jonas jadi menimang-nimang dia harus cerita hal ini ke Ara atau enggak, tapi kalau cerita bagaimana kalau justru memicu renggangnya hubungan rumah tangga keduanya?

Tapi kalau Julian benar selingkuh, masa iya dia harus diam saja mengetahui hal itu padahal dia kenal Ara, itu sama aja dia mendukung perselingkuhan Julian dan menutupinya kan? Pikir Jonas.

Setelah selesai dengan jadwal praktiknya hari ini, Niken enggak langsung pulang, dia di panggil sama pemilik klinik nya dulu. Niken sendiri juga enggak tau ada maksud apa pemilik klinik memanggilnya ke ruangannya, tapi Niken harap atasannya itu bukan mau komplain mengenai kinerja nya.

Karna sejauh ini Niken berusaha menjadi psikolog dan terapis yang baik, klien nya juga sudah lumayan banyak. Oiya, di klinik ini menyediakan beberapa layanan konsultasi. Ada konsultasi tumbuh kembang anak, terapi untuk anak-anak, konseling remaja dan dewasa sampai konselor pernikahan.

“Sore, Buk.” sapa Niken waktu dia membuka pintu ruangan atasannya itu.

Oiya klinik ini adanya di gedung yang sharing sama perusahaan lainnya, letaknya di lantai 5 di lantai 1-4 itu ada perkantoran, praktik dokter gigi, restoran ayam goreng, sampai tempat les.

“Duduk, Mbak Niken.”

Niken duduk di sofa yang ada di ruangan itu, namanya Buk Halimah. Beliau wanita berusia 55 tahun yang sudah membuka praktik sejak 20 tahun yang lalu. Wanita itu membuatkan teh untuk Niken dan meletakkannya di meja, kemudian duduk bersebrangan dengan Niken.

“Ibu manggil saya? Ada apa, Buk?” tanya Niken langsung pada intinya.

“Iya, Mbak. Gini, kita kan kekurangan orang untuk posisi psikolog anak. Kira-kira kamu ada rekomendasi orang untuk mengisi posisi ini gak?”

Niken menghela nafas, dia pikir ada yang salah sama kinerjanya selama ini. Memang posisi psikolog anak sedang kosong saat ini, hanya sementara sih karena psikolog anak yang mengisi posisi ini sedang berduka dan butuh waktu agak lama untuk kembali bekerja. Ya semacam resign sementara sampai nanti pada akhirnya akan kembali bekerja.

“Ada sih, tapi saya gak tau dia mau isi posisi ini atau enggak. Soalnya setahu saya dia memang mengundurkan diri di tempatnya bekerja karna ngerasa over working.” yang Niken maksud ini emang Ara kok, karena dia enggak kepikiran siapa-siapa lagi selain wanita itu.

“Oh, enggak kok, Ken. Dia disini hanya 3 kali bekerja dalam seminggu. Waktunya hanya setengah hari, dari jam 9 sampai jam 2 siang. Coba yah kamu bicarain dulu sama dia, soalnya sejauh ini saya belum nemu orang yang cocok. Cuma buat handle klien psikolog anak sebelumnya.” karena hanya sementara, Buk Halima gak mau pasang lowongan ini di web kliniknya.

Niken mengangguk, mungkin enggak ada salahnya dia ngomongin ini sama Ara. Toh Ara juga sering cerita ke Niken kalau dia agak bosan di rumah, karena biasanya Ara tuh sibuk kerja. Bikin konten pun dia hanya syuting sekali dalam seminggu, itu pun di rumah.

“Nanti saya coba bicarain ya, Buk. Tapi saya enggak janji dia mau.” Niken enggak berani janji manis dulu ke Buk Halimah, apalagi Ara lagi hamil. Bisa aja Ara gak dapat izin dari Julian kan, pikirnya.

“Gapapa, Ken. Yang penting kamu sudah mau coba bicarain sama dia, terima kasih yah, Ken.”

Niken mengangguk, setelah ngobrol-ngobrol sebentar sama Buk Halimah. Akhirnya Niken berpamitan, kebetulan Chaka juga sudah menjemputnya di bawah. Rencaannya mereka memang mau bermain ke rumah Ara dan Julian, gak ada acara apa-apa kok. Cuma mau jengukin wanita itu aja di rumahnya sekalian Niken ngobrolin tawaran ini sama Ara.

Begitu Niken keluar dari ruangan Buk Halimah, ada seorang anak kecil berlari dan menabraknya hingga jatuh. Anak perempuan, rambutnya panjang sebahu dan di kepang, cantik menurut Niken. Walau jatuh anak itu enggak nangis sama sekali, tapi kan tetap aja Niken yang khawatir.

“Kamu gapapa?” Niken jongkok dan membantu anak itu untuk bangun.

“Gapapa, gak sakit kok, Tante.” ucapanya.

“Bella, kan Mama bilang jangan lari-lari—” tidak lama kemudian datang seorang wanita yang menyusul anak itu. Wanita itu tersenyum kikuk waktu liat Niken gandeng tangan anaknya itu. “Maaf yah, Mbak. Anak saya nabrak Mbak yah?”

Niken senyum, dia menggeleng kepalanya pelan. “ gapapa kok, Mbak. Gak sengaja dia.”

“Sini, Bella. Kan Mama bilang apa jangan lari-lari,” pekik wanita itu.

Niken yang mendengar wanita di depannya itu berbicara dengan nada agak tinggi, anak yang sedang di gandeng nya itu agak kaget, bocah itu menunduk dan berjalan ke arah Ibu nya. Wajahnya merasa bersalah.

“Mau konseling, Mbak?” tanya Niken. Dia hanya menebak sih, tapi sepertinya dia enggak pernah melihat Ibu dan anak ini di klinik. Hampir klien di klinik ini Niken kenal, maksudnya mengenali wajahnya gitu loh bukan mengenal secara pribadi.

“Baru mau daftar, Mbak. Buat anak saya,” jelasnya.

“Ahh..” Niken mengangguk-angguk. “Kalau gitu saya duluan yah, bye Bella. Nanti kita ketemu lagi.” Niken melambaikan tangannya pada Bella yang tersenyum di sebelah Ibu nya.

bye Tante cantik!” pekik bocah itu.

Di perjalanan menuju rumah Ara, Niken sempat mengirimkan pesan pada teman-temannya yang lain. Ya, menawari posisi psikolog anak yang sedang kosong di kliniknya untuk sementara waktu. Tapi kebanyakan dari mereka menolak dan sebagian sudah ada yang membuka klinik sendiri.

“Kenapa sih, yang? Lesu amat muka nya,” tanya Chaka, kebetulan di depan sana sedang macet. Dan Chaka bisa melihat betul kerisauan pacarnya itu yang duduk di sebelahnya. Biasanya Niken ini agak ceriwis, banyak cerita hal-hal yang dia lakuin hari ini. Ya maklum, Chaka sama Niken ini enggak ketemu setiap hari karena kesibukan masing-masing.

“Pusing aku, Buk Halimah minta cariin orang buat posisi psikolog anak. Kan Mbak Sandara resign karena habis kehilangan Suaminya. Ya resign sementara sih, mungkin kalau masa berkabungnya udah selesai dia bakalan balik lagi. Makanya butuh posisi ini buat jangka waktu 2-3 bulan kedepan,” jelas Niken pada Chaka.

“Temen-teman kamu gak ada?”

Niken menggeleng, “udah aku tanyain satu-satu. Mereka gak mau kalau cuma 2-3 bulan, apalagi dalam seminggu cuma 3 kali praktik.”

“Coba tawarin ke Ara aja?” Chaka menoleh ke arah Niken, wajah cewek itu cemberut beneran agak frustasi juga kalau nantinya Ara menolak posisi ini atau bahkan gak dapat izin dari Julian.

“Niatnya emang gitu, tapi masalahnya dia mau gak? Dapat izin gak dari Ijul. Apalagi dia cerita ke aku dia resign jadi penerjemah biar lebih banyak waktu di rumah.”

“Iya sih, tapi kan gak ada salahnya?” Chaka menaikan satu alisnya. “Dia aja gabut banget sekarang, sering chat-chat random di grup kan, saking gabutnya. Terus Ijul juga sering ngerengek ke aku sama anak-anak.”

“Ngerengek kenapa?” Niken mengerutkan keningnya bingung.

“Ya bini nya ngidam nya aneh-aneh. Dia juga suka bilang Ara suka ngeluh bosen di rumah, sampai itu taman kecil di depan rumahnya udah rapih Ara yang rapihin sendiri.”

Niken mengangguk-angguk. “Iya sih, Ara juga cerita ke aku gitu. Dia sering gabut, kadang suka ngajak jalan minta di temenin bikin konten. Tapi kan kamu tau jadwal praktiku kaya apa, belum lagi kalau ngisi seminar.”

Chaka senyum, dia mengulurkan tangannya hingga menyentuh pucuk kepala pacarnya itu. “Pacar aku hebat banget sih. Jadi makin sayang, aku tuh bangga banget kalau nemenin kamu ke acara seminar.”

Niken yang melihat itu nyengir, dia mencubit pipi Chaka terutama di bolongan pipi pacarnya itu yang selalu jadi spot favorite nya. “Brondong aku juga hebat banget sih!! Konten nya edukatif, enggak jadi konten kreator yang toxic dan lagi fans nya banyak walau bocil-bocil.”

Sesampainya di rumah Ara, keduanya langsung di sambut sama Ara yang lagi makanin bala-bala di ruang TV. Wanita itu lagi nonton drama korea sambil nangis-nangis, ya ceritanya sedih gitu deh. Ada beberapa lembar tissu juga yang berserakan di bawah sofa, tapi begitu Niken sama Chaka datang, dia langsung beresin tissu nya.

“Duduk, Teh, Ka. Kalian mau minum apa?” tanya Ara sembari mengucak matanya yang merah karena menangis, hidungnya bahkan memerah dan mayanya sembab.

“Nanti aku ambil minum sendiri gapapa, Ra.” Niken tersenyum kikuk, agak bingung sama kelakuan ajaib Ara. Dari dulu emang suka aneh sih, tapi semenjak hamil tuh jadi makin aneh tapi Niken maklumin kok.

“Lo nangis? Nonton drama? Lebay ih.” Chaka nunjuk ke arah TV yang lagi nampilin adegan sepasang kekasih yang terpaksa kandas hubungannya karena sudah berbeda tujuan. Iya, Ara lagi nonton drama 2125 yang di peranin sama Kim Taeri dan Nam Joohyuk. Yang masih suka di sindir dimana-mana gara-gara mereka gak berakhir bersama.

“Ini tuh sedih Chaka!! Gak punya perasaan banget sih!” rengek Ara, saking sebalnya sama ucapan Chaka dia sampe lempar tissu ke cowok itu.

Chaka jadi dapat tatapan tajam dari pacarnya itu kan gara-gara bikin Ara tambah nangis. “Kamu nih!! Makanya kalo nonton di hayati.”

Niken yang liat Ara tambah nangis jadi ngusap-ngusap punggung wanita itu, “udah-udah jangan di dengerin si Chaka, Ra. Dia kebanyakan nonton film horor makanya gak ngerti genre romance gini.”

“Nyebelin! Sama aja kaya Baek Yijin!”

“Hah?!” pekik Chaka. Dia akhirnya geleng-geleng kepala aja dan mencomot bala-bala di piring yang ada di meja TV Ara, tapi belum sempat mencomot Ara udah melempar cushion ke arah Chaka sampe ngenain kepala nya.

“JANGAN MAKAN BALA-BALA GUE IH!! ITU BELI NYA JAUH!” rengek Ara.

“Chaka!!” pekik Niken memperingati pacarnya itu.

“Ya Allah, salah mulu gue.” Chaka akhirnya kembali ke tempatnya duduk, dia ngeluarin HP nya aja sembari ngetik sesuatu di sana. Yup, Chaka ngadu ke Julian soal Ara di grup yang isinya cowok-cowok di kosan. Tanggapan teman-temannya itu justru malah menertawai Chaka, bikin tambah dongkol aja kan? Pikirnya.

“Teh, maaf yah kamu datang aku berantakan gini,” ucap Ara setelah dia jauh lebih tenang.

Niken nyengir, “hehe, gapapa, Ra.”

“Teh Niken baru balik praktik?”

Niken mengangguk, ini kesempatannya buat ngomongin soal tawaran Buk Halimah ke Ara. “Iya, Ra. Kebetulan selain jengukin kamu aku juga punya tawaran buat kamu, tapi pikir-pikir dulu aja yah.”

“Tawaran apa, Teh?”

“Gini, kan atasan aku nyuruh aku cari orang buat posisi psikolog anak. Kebetulan posisi itu lagi kosong, tapi yah cuma 2-3 bulan kerja aja. Mungkin kamu mau ambil posisi itu? Praktiknya cuma 3 kali dalam seminggu aja kok, jam praktiknya juga setengah hari. Lumayan kan sambil nambah pengalaman kamu.” jelas Niken.

Ara menimang-nimang tawaran itu, kalau dia sendiri sih mau-mau aja yah apalagi dia sering bosan di rumah kalau Julian lagi kerja, mendengar jam kerjanya yang sebentar itu juga Ara mikirnya dia masih dapat banyak waktu luang.

Apalagi selama hamil Ara gak ngerasain morning sick yang berbeda hanya dia sering ngidam makanan sama perutnya terasa lebih sering lapar, buktinya aja berat badanya sudah naik 2kg.

“Aku mau, Teh. Tapi aku izin sama Ijul dulu ya?”

Niken mengangguk-angguk, wajahnya cerah banget karena dia ngerasa dapat harapan dari Ara. Sekarang tinggal bagaimana Julian mengizinkan Istrinya itu atau enggak. “Gapapa, Ra. Ngomong dulu aja sama Julian oke, aku tunggu kabarnya ya.”

assalamualaikum, Bun?”

Dari kamar mandi Ara bisa dengar ada suara Suaminya itu, Julian udah pulang ternyata. Walau Julian ngucap salam, tapi Ara sengaja gak sahutin soalnya lagi di dalam kamar mandi.

“Bun?” panggil Julian lagi.

“Iya, lagi di kamar mandi, Bang.”

Oiya semenjak Ara positif hamil tuh Julian jadi lebih suka manggil Istrinya itu pakai sebutan 'Bunda' alih-alih 'sayang' kaya awal-awal mereka pacaran sampai nikah, katanya sih biar terbiasa manggilnya waktu anak mereka udah lahir. Kalo Ara belum biasa manggil Julian pakai sebutan 'Ayah' dia masih setia manggil Julian pake sebutan 'Abang' kaya waktu mereka pacaran.

Begitu Ara keluar Julian lagi duduk di meja makan sambil minum teh manis hangat yang udah Ara siapin di meja makan, laki-laki itu senyum waktu liat Istrinya itu keluar dari kamar mandi.

“Abis ngapain, Bun?” tanya Julian.

“Abis pup.” liat Julian yang mau mencomot bakwan jagung yang Ara buat, bikin Ara jadi reflek nepuk punggung tangan Suaminya. “Mandi dulu, cuci tangan dulu.”

“Hehe.” Julian nyengir, dia bangun dari kursinya dan nyium pipi Istrinya itu gemas. “Kamu udah mandi?”

“Udah lah, aku mah udah wangi.”

“Coba aku cium lagi deh.” tanpa menunggu persetujuan dari Ara, Julian nyium leher Istrinya itu dengan gemas. “Wangii ih, abis mandi nanti sun lagi yah, Bun? Padahal kalo belum mandi mau aku ajakin mandi bareng ih.”

“Kelamaan mandi bareng kamu mah keburu masuk angin aku, sana mandi dulu ih.” Ara dorong badan Suaminya itu, walau Julian tuh masih wangi tapi kalo habis mandi nyiumin Suaminya tuh beda aja rasanya. Kaya aroma sabun, shampo sama parfum yang di pakai Julian nempel jadi satu, candu banget pokoknya deh.

“Mau sapa anak Ayah dulu,” baru saja Julian mau berjongkok dan mengusap perut Istrinya itu Ara udah nyubit pinggangnya dengan gemas.

“Mandi, Bang.”

“Ish, galak banget sih. Biasanya juga suka nyiumin bau aku.”

“Kamu tuh habis dari luar ih, bawa kotoran. Mandi dulu sana, kalo gak mandi gausah kelon lah males aku.”

“Iya iya iya aku mandi nih.” Julian langsung pergi dari sana dan melesat ke dalam kamarnya.

Sembari nunggu Suaminya itu mandi, Ara nunggu Julian di sofa ruang tamu sambil ngemilin bala-bala yang dia bikin sendiri. Gak tau kenapa semenjak hamil Ara jadi suka banget sama bala-bala, mangga muda sama rujak jambu pokoknya yang segar-segar gitu deh yang berbau sayuran sama buah-buahan asinan sayur apa lagi.

Sembari ngemil dia nontonin berita selebriti yang mengumumkan perceraian, padahal seingat Ara tuh pasangan selebriti itu baru menikah tahun kemarin. Dan enggak ada kabar apa-apa selama pacaran dan menikah, tau-tau si cowoknya udah di beritakan selingkuh aja.

Kadang Ara tuh suka heran sama orang yang suka selingkuh dari pasangannya, sebenarnya apa sih yang di cari? Padahal setia sama satu pasangan aja tuh rasanya bahagia banget, kalau nyari kekurangan dari pasangan tuh emang gak ada habisnya, toh manusia kan memang enggak ada yang sempurna. Justru kita lah yang harusnya melengkapi kekurangan pasangan kita, pernikahan itu kan kuncinya selain komunikasi adalah saling kan? Pikirnya.

Dulu tuh, Ara sama sekali gak kepikiran nikah sama Julian. Ya mereka emang enggak sempat putus sih, sempatnya tuh ribut besar-besaran aja perkara Chaka yang naksir sama Ara. Tapi buat kepikiran ninggalin Julian di saat hubungan mereka sedang ada di fase toxic juga enggak mudah, terlalu banyak waktu yang dia dan Julian habiskan berdua.

Terlalu banyak hal-hal tentang dirinya yang Julian pahami, Julian bukan hanya seorang Suami bagi Ara, dia adalah teman, sahabat dan pelengkap dirinya. Ara bahkan gak bisa bayangin kalo hidup tanpa laki-laki itu. Ya walau kerap kali Julian itu nyebelin di matanya, tapi Julian tuh selalu punya 1001 cara buat dapat maaf dari Ara.

“Makan bala-bala terus ih.” Julian keluar dari kamar mereka, dia udah mandi dan duduk di sebelah Ara.

“Kenapa sih emangnya?”

“Gapapa, emang gak bosen apa, Bun?”

Ara menggeleng. “Enak tau, Bang.”

“Aku mau sapa anak aku dulu,” Julian beringsut meluk perut Ara terus dia ciumin gitu, padahal perut Istrinya tuh belum gede banget ya kelihatan sih tapi kaya orang abis kekenyangan makan aja. Orang usia kandungannya juga baru masuk 2 bulan.

“Kamu mah nyapa makan siang aku tau gak?” ucap Ara sambil terkekeh pelan, Julian masa bodo aja.

Dia malah fokus ngusap-ngusap perut Ara penuh kasih sayang gitu, kadang tiap malam kalau lagi enggak bisa tidur pun. Julian suka kepikiran anaknya dan Ara tuh cowok atau cewek, lebih dominant muka siapa waktu lahir nanti. Sama mau dia kasih nama siapa, pokoknya banyak hal yang udah Julian pikirin deh. Termasuk nyiapin tabungan pendidikan buat anaknya kelak.

“Bang?”

“Hm?”

“Tadi Teh Niken ke rumah sama Chaka.” Ara rasa sekarang waktunya yang pas buat minta izin sama Julian kalau dia mau ambil pekerjaan sebagai psikolog anak di klinik tempat Niken bekerja.

“Oh ya? Bilang apa?” Julian benerin posisi duduknya, dia jadi bersandar di sofa sembari satu tangannya kecilin volume TV.

“Iya, mau jenguk aku gitu. Sama tadi dia ngasih penawaran buat aku.”

Julian mengerutkan keningnya bingung. “Oh ya? Penawaran apa?”

“Posisi psikolog anak di klinik tempat Teh Niken kerja kan lagi kosong, psikolog nya lagi resign sementara?” Ara menyipitkan matanya, gak yakin dan agak sedikit lupa untuk sebutan resign atau cuti sebenarnya. Tapi Ara rasa, Teh Niken memang menyebutnya resign.

“Karena Suaminya habis meninggal, jadi posisi itu kosong. Aku di minta handle klien-klien nya gitu buat jangka waktu 2-3 bulan ke depan, ya sampai masa berkabungnya kelar gitu, gimana?”

Julian menghela nafasnya pelan, dia sebenarnya agak khawatir kalau Ara balik kerja lagi. Dia takut pekerjaan itu membuat kondisi tubuh Istrinya itu menurun, Ara itu mudah lelah. Semenjak operasi daya tahan tubuhnya udah enggak sebagus dulu waktu mereka masih kuliah.

“Kamu kuat gak? Aku sebenarnya khawatir. Takut kamu kecapekan, sayang. Cuma aku mikir tawaran ini bagus buat nambah pengalaman kamu sebagai psikolog klinis. Apalagi kamu sering ngeluh bosan di rumah aja waktu aku kerja kan?” Julian mau tanya dulu ke Ara, apa dia sendiri sanggup atau enggak. Karena menurut Julian kan Ara yang punya badan, dia pasti tahu kapasitas dirinya sendiri.

“Kuat sih, Bang. Aku juga kan gak ngalamin morning sick terus juga jam kerjanya sebentar. Seminggu aku cuma ke klinik 3 kali dan jam kerjanya tuh cuma dari jam 9 sampai jam 2,” jelas Ara berusaha yakini Suaminya itu.

Julian enggak langsung jawab, dia nimang-nimang hal itu dulu. Beneran Julian sebenarnya lebih nyaman Ara di rumah aja, ya ngurus kanal Youtube nya kek, bercocok tanam atau bahkan mau ikut kelas memasak lagi juga Julian pasti ngizinin sih, tapi hal ini tuh bagus banget buat nambah pengalaman Ara selain pengalaman dia magang waktu nyelesain S2 nya.

“Aku pikir-pikir dulu ya? Besok habis pulang kerja aku kasih tau kamu.”

Ara mengangguk, dia hargain kok keputusan Julian apapun itu. Dia beneran gak mau maksain kehendaknya kalau Suaminya itu gak mengizinkan. “Yaudah, makasih ya, Bang.”


Siang itu jadi harinya Ara buat belanja bulanan, ya enggak banyak sih gak sampe satu troli penuh juga dia cuma belanja kebutuhan yang lagi kosong aja sama nyetok beberapa makanan buat dia isi kulkas nya. Julian tuh suka banget ngemil, makanya stok cemilan mereka cepat banget habis.

“Roti udah, susu udah, sawi, jamur, kaldu jamur, ciki jagung, cream soup, bengbeng, granola, biskuit,vApa lagi ya?” gumam Ara, dia ngerasa ada yang kurang sama belanjaanya, Padahal sebelum pergi pun udah dia bikinin list nya.

Karena di depan sana lagi ada demo masak, Ara sempat menghampiri kerumunan itu. Ada Mbak-Mbak SPG nya juga yang ngasih sampel makananya buat di cobain, ya Ara pasti cobain lah. Orang gratis, sayang kan kalo enggak di cobain.

“Makasih yah, Mbak.” Ara senyum ke Mbak-Mbak SPG nya, terus nyicipin masakan yang di kasih. Ternyata itu ayam, pakai saus barbecue gitu. enak sih, tapi Ara udah beli bumbu kalasan dan rasa dari ayam saus barbecue itu bukan selerannya Julian banget, dari pada nanti enggak kemakan ya Ara enggak beli lah.

“Loh Ara?” panggil seseorang di sebelah Ara.

“Kamila?” Ara senyum, dia langsung meluk Kamila. Udah lama banget enggak ketemu sama tunanganya Jonas itu, terakhir mereka ketemu waktu Jonas sama Kamila datang ke acara pernikahannya.

“Apa kabar? Kangen banget gila.”

“Kamu tuh yang gak ada kabar sama Jonas, aku baik kok. by the way kamu sendirian?” tanya Ara, soalnya dia emang gak liat ada Jonas.

“Iya sendiri, Jonas lagi keluar kota. Oiya, congratulations ya sebentar lagi punya baby gila aku seneng banget dengarnya.” Kamila ngusap-ngusap perut Ara gitu, ya masih rata kok tapi kalau di raba tuh kerasa dan agak keras sedikit.

thank you yah, Mil. Oiya salam buat Jonas ya, kapan-kapan main sih ke rumah ku.”

next time yah, aku pasti mampir kalo si Jonas enggak sibuk.” Kamila jadi teringat soal Julian tempo hari, dia pengen banget nanyain hal ini ke Ara. “Oiya, Ra. Kamu sama Julian—”

“Bun!! Aku beli es krim!” gak lama kemudian orang yang mau Kamila omongin malah muncul, Julian datang dari lorong makanan beku dan langsung nyamperin Ara. Dia nenteng-nenteng es krim gitu yang ukurannya besar, persis anak kecil. “Loh Kamila?”

Kamila yang lihat Julian cuma bisa senyum kikuk, untung aja dia belum sempat ngomong apa-apa. “Ha..hai, Jul.”

“Lo sama Jonas apa kabar? Main-main lah ke rumah.”

Kamila mengangguk, “iya, next ya, Jonas lagi di Surabaya. Nanti balik dari sana gue pasti main kok ke rumah lo.”

“Aku tunggu pokoknya ya.” Ara senyum sambil ngusap lengan Kamila.

Setelah Julian sama Ara pemitan buat ke kasir lebih dulu, Kamila tuh jadi mikir lagi soal Julian dan cewek tetangga temannya itu. Kalau Kamila lihat sih kayanya Julian bukan tipe cowok tukang selingkuh, ya tapi gak tau kenapa rasanya dia penasaran banget kenapa anak itu manggil Julian pakai sebutan 'Papa'. belum lagi Julian sempat masuk ke rumah cewek itu, yang mana Kamila tahu cewek itu hanya tinggal berduaan dengan anaknya saja.

“Ahhh pusing gue, tapi kalau beneran Ijul selingkuh. Kasian banget Ara,” gumamnya.

Liliana tampak gusar untuk duduk di kursi kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah ruangan senior nya itu yang masih tertutup rapat. Ragu-ragu ia pertimbangkan untuk masuk ke dalam sana nanti, Liliana mencoba sadar kembali. Dia mengusap wajahnya dengan frustasi kemudian mencoba kembali fokus pada pekerjaannya hari ini.

Namun sayangnya fokusnya itu terlanjur buyar, di pikirannya hanya ada percakapannya dengan Bella semalam yang kerap mengganggunya. Bahkan Liliana enggak bisa tidur dan memutuskan untuk ke kantor lebih pagi, oh, Bahkan dia masih sempat beli sarapan dulu, Liliana enggak fokus ngapa-ngapain termasuk membuat bekalnya ke kantor.

“Sadar, Li. Sadar..” gumam nya mencoba mengingatkan dirinya sendiri.

Namun enggak bisa semudah itu, ucapan nelangsa dari bibir mungil anaknya itu terus membuat pergolakan batin dan pikirannya enggak karuan. Hatinya berkata jika yang akan ia lakukan salah, namun isi kepalanya berkata lain. Ia tidak egois untuk dirinya sendiri, ia seorang Ibu yang hanya ingin membuat anaknya bahagia.

Liliana coba hiraukan percakapan itu, memejamkan matanya dan menaikan volume lagu yang ada di earphone nya. Bahkan samar-samar Monika yang duduk tepat di sebelahnya itu sampai menoleh, karena suara dari earphone Liliana sampai terdengar keluar.

malam itu sebelum Bella tidur, Liliana sempat bertanya banyak hal pada anaknya. Termasuk kegiatannya di sekolah, di rumah bahkan keinginan-keinginan Bella di hari ulang tahunnya nanti. Yup, Bella sebentar lagi akan ulang tahun. Dan Liliana ingin memberikan hadiah apapun yang Bella inginkan.

terus tadi aku juga belajar menggambar, Mah. Mama mau lihat gak Bella gambar apa?” bocah itu berdiri tepat di depan Ibunya, Liliana sedang duduk. Mereka tadi sedang membaca dongeng sembari Bella menunjukan buku-buku dongeng baru yang ia beli bersama Bi Narsih.

mau dong, emang Bella gambar apa?

tunggu sebentar yah, Mah. Tapi Mama tutup matanya dulu dong!” Bella ingin gambar yang ia warnai itu menjadi kejutan untuk Ibu nya, oh iya. Bella ini punya bakat menggambar dan melukis. Guru di sekolahnya juga bilang seperti itu sama Liliana, bahkan guru nya sempat menyarankan kelak dewasa nanti Bella bisa di arahkan ke sekolah seni.

Liliana menutup matanya, ia tersenyum. Dalam hati menebak-nebak gambar apa yang anaknya itu ingin tunjukan padannya. Sementara itu Bella mengambil selembar gambar yang ia bawa dari sekolah, gambar itu ia gulung dan ia taruh di ransel sekolahnya. Setelah kembali menutup ransel miliknya, Bella kembali berlari menghampiri Ibunya.

sekarang Mama buka mata.” pekik bocah itu girang, ia menunjukan gambar miliknya di depan Ibunya itu. Namun bukan senyuman yang Liliana berikan, namun raut wajah bingung sekaligus sedih yang Liliana hadiahkan untuk Bella. Sementara bocah itu masih tersenyum bangga pada mahakarya buatannya.

bagus gak, Mah?”

Liliana mengambil gambar itu, memperhatikannya lekat-lekat. Gambar yang sangat bagus untuk gambar anak yang baru berumur 4 tahun. Namun gambar yang tampak indah itu membuat hati Liliana terasa di sayat-sayat, Bella menggambar dirinya, Liliana dan juga seorang laki-laki yang bocah itu yakini adalah Ayahnya.

sampai hari ini Bella masih menganggap jika Julian adalah Ayahnya, Ayah yang selalu Liliana tanamkan dari kecil suatu hari akan pulang bekerja. Liliana tahu dia salah, tapi dia enggak menyangka akan seperti ini jadinya.

Bella kenapa gambar ini?” tanya Liliana, dia cuma penasaran kenapa Bella harus kepikiran buat gambar ini.

karena kita enggak punya foto bareng Papa, makanya Bella gambar sendiri aja. Bagus yah, Mah?

ditanya seperti itu, Liliana hanya diam. Dia gak tau harus jawab apa karena gambar yang Bella buat benar-benar bagus sekaligus membuat nya merasa bersalah. Liliana hanya mengangguk kecil sebagai jawaban karena Bella menunggu jawaban darinya.

um

kan sebentar lagi Bella ulang tahun, boleh gak, Mah. Bella minta hadiahnya Papa disini aja sama kita? Di rayain bertiga, Bella gak minta mainan baru lagi deh Bella janji. Tapi bawa Papa pulang yah, Mah?” ucapan Bella barusan lebih terdengar seperti sebuah permohonan di banding permintaan di telinga Liliana. Raut wajahnya penuh harapan jika Ibunya mampu mewujudkan keinginan sederhannya itu.

Mama bisa beliin Bella mainan baru, Bella mau mainan apa?” Liliana mencoba bernegosiasi pada Bella, lebih baik bocah itu minta di belikan mainan saja alih-alih minta keinginan nya itu ia penuhi. Liliana enggak sanggup, dia gak mau merepotkan orang lain dan membuat Bella tambah salah paham.

Bella menggeleng, ia hanya ingin Ayahnya pulang. Itu saja, “gak mau, Mah. Bella maunya Papa aja. Yah, Mah. Bella cuma mau Papa disini sehari aja, kita rayain ulang tahunnya Bella.

Mendengar hal itu, Liliana hanya diam. Dia membiarkan Bella merengek sembari mengayun-ayunkan tangannya. Tubuh Liliana lunglai rasanya, otaknya terasa di paksa berpikir bagaimana caranya ia bisa mewujudkan permintaan anaknya itu.

Karena ada tepukan halus di punggungnya, Liliana yang tadinya menaruh kepalanya di meja sembari memejamkan matanya itu mengangkat kepalanya. Ternyata Monik yang menepuk punggungnya, dia pikir Pak Ferdy atau bahkan atasannya yang lain.

“Kenapa?” tanya Liliana bingung.

“Mas Julian udah datang tuh, katanya tadi mau ketemu?” Liliana memang bilang ke Monik jika Julian datang tolong beri tahu dia, sebenarnya enggak ada yang ingin Liliana bicarakan perihal pekerjaan pada laki-laki itu. Liliana hanya ingin mencoba peruntungannya saja.

Liliana mengangguk-angguk kecil “Oiya, makasih ya.”

“Ya sama-sama,” jawab Monik, cewek itu kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.

Sementara Liliana menoleh ke arah ruangan Julian, ruangannya hanya di lapisi kaca untuk menjadi pemisah antara ruang kerja divisi lain dan ruang kerja untuk divisi R&D. Ada tirai penutup juga yang sedikit samar, namun Liliana tetap bisa melihat apa yang sedang di kerjakan oleh seniornya itu di dalam sana.

biarin kali ini aku egois sedikit saja Tuhan..” ucapnya dalam hati.

Liliana merapihkan sedikit rambutnya sebelum masuk ke ruangan seniornya itu, Liliana sempat mengetuk pintunya dulu sebentar baru setelah itu dia buka.

“Eh, ada apa, Li?” tanya Julian dari kursinya. “Duduk dulu sini.”

“Ya, Pak.” Liliana duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Berkali-kali dia menarik nafasnya untuk menghilangkan rasa gugup sialan ini.

“Ada apa, Li?” Julian duduk di sofa sebrang Liliana. Matanya masih tertuju pada setumpukkan map yang tadi sempat ia ambil di atas meja kerjanya.

“Gak ada kerjaan yang mau saya diskusikan sama Bapak sebenarnya.”

Julian yang tadinya fokus pada map-map berisi berkas di pangkuannya itu jadi mengadahkan kepalanya dan menatap Liliana. “Terus?”

“Saya..” Liliana menarik nafasnya pelan, sungguh rasanya gugup. Seperti dia akan menyatakan perasaanya pada laki-laki itu, padahal dia hanya ingin mengajak seniornya itu makan malam di hari ulang tahun Bella, Itu saja.

“Kamu sakit, Li?” tanya Julian khawatir, Liliana memang nampak pucat dan sedikit berkeringat.

Liliana menggeleng, “enggak, Pak.”

“Santai aja, Li. Kamu mau ngomong apa emang? Sampai pucat begitu.”

“Pak, saya sebenarnya mau ngundang Bapak buat makan malam di rumah,” cicit Liliana. Suaranya jadi memelan karena mengatakan hal ini.

“Makan malam?” Julian mengerutkan keningnya bingung, “dalam rangka apa, Li?”

“Bella ulang tahun, Pak. Saya juga ngundang anak-anak yang lain kok.”

“Oh ya? Boleh-boleh, nanti saya ajak Istri saya juga ya. Kapan, Li?”

Mendengar jawaban dari seniornya itu, hati Liliana seakan di cubit dari dalam semesta mencoba menyadarkannya, Niatnya ia hanya mengundang Julian saja tanpa Ara, bagaimana nanti jika Bella kecewa? Bagaimana kalau Ara mengetahui Bella memanggil Suaminya itu dengan sebutan 'Papa?'

Namun mau enggak mau Liliana mengangguk, untuk urusan itu biar ia pikirkan nanti saja. “Boleh, Pak. Acaranya lusa jam 7 malam.”

Julian mengangguk, “oke, nanti saya usahain datang yah.”

“Makasih banyak, Pak.”

Dengan rasa sedikit kecewa, Liliana keluar dari ruangan itu. Sebenarnya ajakan Liliana dan tentang semua rekan-rekan di divisinya ia undang adalah sebuah kebohongan, ia hanya mengundang Julian saja. Ia memakai alasan itu agar Julian enggak curiga dan bertanya kenapa hanya dia saja yang di undang.

“Sekali lagi selamat bergabung yah Ara di klinik kami, semoga betah bekerja disini,” Buk Halimah menjabat tangan Ara, wanita itu lega akhirnya bisa menemukan orang untuk mengisi posisi psikolog anak si kliniknya.

“Sama-sama, Buk. Saya juga senang bisa di kasih kesempatan buat bergabung di klinik ini.”

Julian akhirnya memberi izin Ara untuk bekerja di klinik setelah memikirkan beberapa pertimbangan, yang membuat Julian akhirnya mengizinkan Istrinya itu buat bekerja di klinik. ya, apalagi kalo peluang ini bagus buat menambah pengalaman Ara sebagai seorang psikolog, yang mana nantinya akan membantunya untuk mendapatkan izin membuka klinik sendiri, selain itu jam kerja nya juga Julian rasa enggak akan menyita waktu Ara karena dia enggak tiap hari ke klinik.

Makanya hari ini Ara datang ke klinik tempat Niken bekerja untuk menyerahkan berkas-berkas miliknya dan melakukan sesi wawancara, dan hasilnya pun Buk Halimah sangat cocok pada kepribadian Ara dan juga reputasinya. Wanita itu enggak nyangka kalau orang yang di rekomendasikan oleh Niken adalah Arumi Naura Shalika, konten kreator yang suka berbagi ilmu seputar kesehatan mental.

Setelah berpamitan dengan Buk Halimah, Ara keluar dari ruangan wanita itu. Di depan ruangan Buk Halimah sudah ada Niken yang menunggu Ara, dia kebetulan memang sedang praktik.

“Gimana, Ra?” tanya Niken begitu Ara keluar dari ruangan Buk Halimah.

Ara mengangguk dan menyunggingkan senyum nya, “Buk Halimah terima aku, Teh. Besok aku udah bisa mulai praktik!” pekik Ara, tidak lama kemudian dia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan setelah sadar suaranya lumayan menyita perhatian orang-orang di sekitarnya.

Niken yang mendengar itu membulatkan matanya dan langsung menghampiri Ara, dia meluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia. “Syukur deh, seneng banget aku tuh kalau Buk Halimah cocok sama kamu, Ra. Ya gak mungkin gak cocok juga sih, beliau tuh selalu ngikutin konten-konten kamu loh.”

“Masa sih, Teh?”

Kedua wanita itu memilih untuk duduk di salah satu kursi yang ada di sana, sebelum Ara pulang Niken mau ngobrol sebentar sama Ara mengenai Buk Halimah dan klinik. Ya biar bagaimana pun sekarang Niken sudah menjadi seniornya di klinik kan.

“Iya serius, beliau tuh pernah tanya ke aku tau kalo aku satu kampus sama kamu, terus nanya-nanya tentang kamu gitu. Tapi pas aku bilang aku punya kenalan buat ngisi posisi ini, aku gak bilang itu kamu.” Niken emang enggak bilang kalau ia merekomendasikan Ara, ya itu supaya Buk Halimah bisa mempertimbangkannya secara objektif bukan menilai Ara secara bias karena beliau memang mengidolakannya.

“Pantesan tadi waktu wawancara beliau sempat nyinggung soal konten-konten aku.” Ara manggut-manggut, dia sendiri gak nyangka kalau konten yang berawal karena iseng dan niatnya hanya ingin membagi sedikit ilmunya tentang kesehatan mental. Bisa menjadi jembatan bagi banyak orang untuk perduli lagi pada kesehatan mental, dia gak nyangka nama nya akan sebesar ini.

“Dengan kamu gabung disini tuh pasti bawa banyak klien juga buat Buk Halimah, Ra. Gak mungkin dia gak terima kamu.”

Niken mikirnya gitu, reputasi Ara sebagai seorang influencer kesehatan mental dan dirinya sebagai seorang psikolog itu baik banget. Ara bahkan pernah di undang ke seminar waktu hari kesehatan mental, dan menjadi pembicara di kampus-kampus. Orang-orang pasti akan mudah melirik klinik Buk Halimah karena mempekerjakan orang dengan reputasi yang baik. Ini menambah citra baik juga untuk kliniknya juga.

“Syukur deh, Teh. Aku juga senang banget bisa kerja lagi. Julian juga setuju aku kerja disini karena jam kerjanya gak menyita banyak waktu aku.”

“Syukur deh. oiya, kamu ke sini sendiri?”

Ara mengangguk, dia memang membawa mobilnya sendiri. Julian masih kerja, Ara tuh bukan tipe cewek yang selalu bergantung sama Suaminya. Kalau dia masih bisa lakuin banyak hal sendiri, dia bakalan lakuin hal itu sendiri kok. Ya walau gak bisa di pungkiri kalau sama Julian dia tuh manja banget, soalnya Julian sendiri senang banget manjain Istrinya.

“Iya, Teh. Ijul mah masih kerja jam segini.”

Tidak lama kemudian resepsionis yang ada di klinik itu memanggil Niken, setelah menerima telfon barusan. “Mbak, Niken. Ada klien, udah nunggu di ruangan.”

“Oh iya, sebentar lagi saya ke sana,” jawab Niken pada wanita yang menjadi resepsionis di kliniknya itu. “Ra, aku balik lagi yah. Kamu pulangnya hati-hati.”

Niken genggam tangan Ara, dia beneran senang banget Ara bisa bekerja di klinik yang sama dengannya. Walau jam praktik mereka berbeda setidaknya kan, mereka bakalan sering ketemu nantinya.

“Iya, Teh. Aku juga udah mau balik, Teteh semangat yahhh.”

Begitu Niken kembali ke ruangannya, Ara juga langsung pulang. Dia mencet lift buat ke lantai 1, tapi siapa sangka saat lift berhenti di lantai 2 ia justru bertemu dengan Kamila. Yup, Kamila tunangannya Jonas itu. Entah sedang apa cewek itu di sana.

“Loh, Ara? Haiii ketemu lagi,” sapa nya, cewek itu tersenyum dan memeluk Ara seperti biasanya.

“Haii, Mil. by the way kamu ngapain?” Ara sempat melirik ke arah luar lift tadi saat pintunya terbuka, kalau enggak salah di lantai 2 tadi ada tempat bimbel anak-anak.

“Aku habis nganterin keponakan aku bimbel, kamu sendiri?”

“Aku habis wawancara kerja, di lantai 3 tadi.”

Kamila menyipitkan matanya, dia sudah hapal betul di gedung ini ada apa saja karena sering mengantar keponakannya buat bimbel. “Klinik?” tanyanya.

“Um.” Ara mengangguk, “Sunshine klinik, aku baru aja di terima jadi psikolog anak di sana.”

“Wahhh!!” pekik Kamila, dia senyum sumringah banget, Kamila ini emang positif vibes banget anaknya. “Congratulation, Ra. happy banget dengarnya. Berarti kita bisa sering-sering ketemu kalau gitu, kebetulan aku nganter jemput keponakanku setiap selasa sama kamis.”

Kedua bahu Ara merosot, dia memang bekerja hanya 3 kali dalam seminggu tapi hari nya praktik berbeda dengan hari Kamila mengantar keponakannya. “Sayangnya aku gak praktik di hari itu, Mil. Aku praktik setiap senin, rabu sama jumat.”

“Ahhh sayang banget.”

Kebetulan pintu lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai 1. Disana ada restoran ayam goreng yang cukup terkenal, Kamila rasa dia masih mau mengobrol sebentar dengan Ara. “by the way, Ra. Mau ngobrol-ngobrol sebentar gak?”

Ara mengangguk, “boleh-boleh. Aku juga gak buru-buru sih.”

Ara ngerasa gak enak kalau bertemu Kamila langsung pulang, mengingat terakhir kali mereka bertemu itu di supermarket dan mereka belum banyak mengobrol. Kedua nya akhirnya masuk ke dalam restoran ayam itu, Kamila sempat pesan spicy wings dan cola, sementara Ara hanya memesan ice cream vanila dan kentang goreng saja. Dia kebetulan sudah makan sebelum pergi ke klinik, dan lagi pula Ara masak di rumah.

by the way, Ra. Sebenarnya di hari terkahir kita ketemu di supermarket tuh ada yang mau aku tanyain sama kamu deh.” Kamila sudah mempertimbangkan hal ini, dia bukan berniat buat ikut campur sama rumah tangga Ara dan Julian. Dia cuma gak mau Ara mengalami hal yang di alami oleh kedua orang tua nya. Intinya niat Kamila baik kok, dia mau memberikan peringatan untuk temannya Jonas itu.

Ara mengerutkan keningnya, kalo gak salah ingat memang di supermarket hari itu Kamila terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun keburu Julian datang dan mereka berpisah karena Julian keburu ngajak Ara antre duluan di kasir, dia dan Julian sudah selesai berbelanja.

“Nanya apa, Mil?”

“Sebenernya udah agak lama sih, Ra.”

“Um,” Ara mengangguk, Kamila tampak ragu dan merasa tidak nyaman ingin bicara dan itu membuat Ara semakin penasaran.

“Soal Julian, Ra.” Kamila mengulum bibirnya sendiri.

“Kenapa sama Julian, Mil?”

“Aku sempat ngeliat Julian waktu lagi main ke rumah temanku, dia masuk ke rumah tetangganya temanku. Malam-malam, Ra.” melihat perubahan wajah Ara membuat Kamila jadi merasa enggak enak.

“Tetangga teman kamu?”

Kamila mengangguk, “cewek, Ra. Kata temanku dia janda. Tinggal berdua sama anaknya aja, dan Julian masuk ke dalam rumah itu cukup lama. Tapi yang bikin aku kaget tuh, anak itu manggil Julian pakai sebutan Papa.”

Mendengar hal itu, hati Ara mencelos dia jadi bingung sekaligus merasa ada yang mengganjal di hatinya. 'Papa?' kenapa anak itu memanggil Julian dengan sebutan 'Papa?' dan siapa wanita yang Kamila maksud.

“Itu mungkin kerabat atau keluarga kamu atau Julian, Ra?” tanya Kamila hati-hati.

“Keluarga aku sama Ijul gak ada yang di Bandung, Mil.” kedua bahu Ara merosot, dia cukup percaya sama Suaminya itu lagi pula selama berpacaran sama Julian dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejauh itu Julian enggak pernah aneh-aneh, Julian baik dan sangat menghargainya. Tapi kenapa rasanya ucapan Kamila barusan menambah beban pikirannya.

“Mungkin temannya kali, Ra? Atau siapa mungkin? Teman kosan lo sama dia?”

Ara hanya menggeleng, pikirannya jadi mengawang. Tapi dia berusaha untuk tetap berpikir positif tentang Suaminya itu, biar nanti Ara yang akan menanyakan hal ini langsung dengan Julian pakai caranya sendiri. Dia mau melihat kejujuran Suaminya itu, biasanya Julian selalu bercerita apa saja yang ia lakukan sehari-hari dan kemana ia pergi.

Tapi soal cerita Kamila yang melihat Julian masuk ke rumah seorang perempuan yang hanya tinggal berdua dengan anaknya, Julian enggak pernah cerita. Dan hal yang paling menganggu Ara adalah, kenapa anak itu harus memanggil Julian dengan sebutan 'Papa?'

Malam ini Ara sama Julian lagi nonton TV di ruang tengah, mereka baru saja selesai makan malam. Sebenarnya sejak makan tadi sembari mengobrol banyak hal pada Julian ada pertanyaan yang ingin sekali Ara tanyakan pada Suaminya itu, namun ia urung bertanya karena bingung harus memulainya dari mana.

TV yang menayangkan drama Korea kesukaan Ara itu rasanya enggak menarik lagi, pikirannya penuh menuntut akan jawaban dari siapa perempuan yang Kamila maksud. Di sebelah Julian, Ara melirik Suaminya itu hati-hati. Julian sedang fokus menonton, drama nya memang bergenre thriller makanya Julian mau nontonnya, kalau romantis sih dia biasanya ogah. Kata nya Julian ga tahan dengar Ara muji-muji aktor nya.

“Bang?” panggil Ara hati-hati.

“Hm?” Julian masih fokus menonton, dia enggak menatap wajah Istrinya itu.

Di tempatnya Ara mengulum bibirnya sendiri, kepalanya sibuk menata kata yang tepat agar tidak nampak sedang mencurigakan Julian. “Besok kamu gapapa datang sendiri ke ulang tahunnya Bella kan?”

Ya, mungkin Ara bisa mulai bertanya dari hal itu dulu. Baru nanti dia akan bertanya hal lain pada Julian, oiya besok Ara gak bisa nemenin Julian ke acara ulang tahun Bella anaknya Liliana. Besok Reno dan Karina akan ke Bandung mau jenguk Ara sekalian bawain titipan Bunda buat Ara sama Julian, makanya enggak enak kalau Reno sama Karina justru Ara tinggal.

“Gapapa, Bun. Kan ada anak-anak yang lain juga, oiya. Kadonya udah kamu bungkus kan?”

Ara mengangguk, “udah kok, ada di laci.”

Ara memejamkan matanya sebentar, rasanya dia bingung banget harus memulai dari mana. Julian ngerasa ada yg Ara tutup-tutupi darinya, ia menebak-nebak kenapa sifat Ara malam ini agak berbeda. Lebih banyak diam dan melamun.

“Bun? Kenapa sih?” tanya Julian.

“Apanya?”

“Ya kamu, aneh banget. Banyak diem, lagi ada yang di pikirin?” Julian mengubah posisi nya, ia menegapkan sedikit badannya karena agak sedikit pegal di senderin Ara melulu dari tadi.

“Gapapa,” Ara nunduk. Rasanya dia belum siap kalau nantinya Julian bohong, tapi hati kecilnya juga mengatakan dia percaya sama Suaminya itu. Julian enggak mungkin macam-macam.

“Gerak gerik kamu tuh aneh tau gak? Kenapa sih?” Julian membalikan badan Ara jadi menghadap ke arahnya, dia jadi bisa melihat jelas ada raut kebingungan di wajah Istrinya itu. “Ada apa?”

“Bang?”

“Ya, sayang?”

“Kamu akhir-akhir ini sempat main ke rumah siapa gitu?”

“Maksudnya?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

“Iya, kemarin waktu aku habis dari klinik. Aku sempat ketemu Kamila, dia cerita ke aku dia sempat liat kamu di daerah rumah temannya. Kamu main ke rumah tetangga temannya itu, cewek?” Ara memelankan suaranya. “Ke rumah siapa, Bang?”

“Cewek?” Julian tampak berpikir sebentar, tapi tidak lama kemudian dia tersenyum. Dia ingat dia habis berkunjung ke rumah Kevin dan Yves. “Oh, itu aku abis main ke rumahnya Kevin sama Yves, kenapa emangnya? Kok Kamila gak manggil aku sih.”

Mendengar jawaban dari bibir Julian itu bikin perasaan Ara bukannya lega justru tambah enggak karuan, jawaban Julian dan cerita dari Kamila sama sekali enggak sinkron. Yves bukan seorang single parents dan lagi pula anaknya laki-laki bukan perempuan.

“Hmm..” Ara mengangguk-angguk, Ara masih mencoba berpikiran positif. Bisa saja Julian lupa, lagi pula Kamila bilang kan kalau dia melihatnya sudah lama.

“Kevin waktu itu nyuruh aku mampir, sayang. Ngambil oleh-oleh yang dia bawa dari Jepang, kan dia habis liburan sama Yves sama anaknya juga tuh. Kebetulan kan kantor aku sama rumahnya searah, emang sih Kevin nya lagi enggak ada. Tapi aku gak masuk ke dalam rumahnya kok, aku duduk di teras. Itu juga enggak lama,” jelas Julian.

“Iya, Bang.” Ara senyum kecil, biarlah nanti dia yang akan mencari tahu sendiri.

“Kita tidur yuk? Udah jam setengah sebelas, udah ngantuk belum kamu?”

Ara hanya mengangguk, rasanya pikirannya masih mengawang.

“Yuk, aku kunci pagar sama pintu depan dulu. Nanti aku nyusul,” Julian berdiri kemudian mengusap pucuk kepala Ara sebelum berjalan keluar untuk mengunci pagar rumah mereka.


Mobil yang Julian kendarai berhenti di depan pekarangan rumah Liliana, dia nampak agak sedikit bingung karena seperti tidak ada sebuah pesta di sana. Maksudnya, Liliana kan mengundang teman-teman di divisi nya. Masa iya tidak ada motor atau bahkan mobil mereka yang terparkir di depan rumah Liliana? Pikir Julian.

Sebelum turun, Julian sempat meriksa arlojinya dulu. Dia datang pun agak sedikit telat, lalu kenapa rasanya dia yang datang duluan?

“Mungkin pada ngaret kali ya?” gumam nya pada diri sendiri, Julian akhirnya melepas seat belt nya dan mengambil paper bag berisi hadiah untuk Bella di kursi sebelahnya dan beranjak turun dari sana.

Pintu rumah Liliana terbuka, di bagian depannya di hias dengan balon serta pernak pernik khas ulang tahun anak-anak. Sepi, menurut Julian untuk seukuran pesta ulang tahun anak-anak. Tidak ada teman-teman Bella yang di undang juga.

assalamualaikum?” karena pintu rumah Liliana enggak di tutup, Julian langsung mengucapkan salam.

Ternyata ada Bella yang sedang duduk di depan meja yang di atasnya berisi kue ulang tahun, minuman serta makanan-makanan. Begitu melihat Julian datang pun wajah anak itu cerah, dia langsung berlari menghampiri Julian dan memeluknya.

“PAPAAAAAA...” teriak Bella, bocah itu memeluk kaki Julian. Bella senang bukan main.

“Hai, Bella?” Julian jongkok, dia memeluk Bella sebentar sebelum akhirnya ia urai pelukan itu. “happy birthday ya, ini Paman bawain hadiah untuk Bella.”

Julian ngasih paper bag berisi hadiah untuk Bella, bocah itu langsung senyum sumringah dan sedetik kemudian memeluk leher Julian. “Makasih yah, Pah. Bella suka hadiahnya, Bella senang Papa datang, buat Bella, Papa itu udah jadi hadiah untuk ulang tahunnya Bella.”

Mendengar ucapan lirih dari bibir anak berumur 5 tahun itu, membuat hati Julian seakan di remas dari dalam. Tangannya tadi tidak membalas pelukan Bella, namun pada akhirnya Julian membalas pelukan Bella.

“Iya, sama-sama.”

Tidak lama kemudian, Liliana keluar dari dapur dan agak sedikit terkejut melihat seniornya itu sudah datang. Julian tengah memeluk Bella di depan pintu sana.

“Bella..” Liliana buru-buru menghampiri Bella dan menarik anaknya itu agar melepaskan pelukannya dari Julian. “Jangan kaya gitu, sayang.”

“Kenapa sih, Mah? Bella cuma mau peluk Papa.” Bella melihat ke arah Ibu nya itu, wajahnya sendu, waktu Liliana menariknya menjauh dari laki-laki yang ia yakini adalah Ayahnya.

“Bella masalahnya Paman Julian itu bukan—”

“Kita duduk di sana yuk? Ini pestanya belum di mulai ya? Kok baru saya aja yang datang, Li?” Julian mengalihkan pembicaraan, dia cuma gak mau membuat Bella sedih di hari ulang tahunnya. Biar lah Bella memanggilnya dengan sebutan Papa, Julian enggak keberatan sama sekali.

Mendengar pertanyaan dari Julian, Liliana jadi salah tingkah sendiri. Ia memang tidak mengundang siapa-siapa lagi selain Julian. Seperti permintaan Bella, dia hanya ingin ulang tahunnya di rayakan oleh Mama dan laki-laki yang ia yakini adalah Papa nya.

“Pak, kita bisa bicara sebentar di depan?” Liliana pikir dia harus jujur, dia butuh bantuan Julian untuk bersandiwara. Dia ingin Bella bahagia untuk hari ini saja.

Julian nampak bingung, namun pada akhirnya dia mengangguk.

“Bella, Mama butuh bicara dulu sama Paman ya, Bella tunggu disini sebentar.”

“Papa, Mah. Bukan Paman.” Bella mengoreksi.

“Iya, Papa.”

Setelah Bella duduk di sofa ruang tamu, Liliana menarik tangan Julian ke arah taman di belakang rumahnya. Dia enggak mau Bella mendengar rencana sandiwara nya dengan Julian.

“Pak, sebelumnya saya minta maaf sekali karena bikin Bapak bingung.” Liliana menunduk, ah iya, kalau boleh jujur dia agak sedikit senang mengetahui Julian datang sendirian. Sepertinya dewi fortuna memang sedang berpihak padanya di hari ulang tahun Bella ini.

“Maksudnya apa sih, Li? Kenapa yang lain belum pada datang?” tanya Julian.

“Pertama-tama, maaf saya bohong. Saya memang cuma mengundang Bapak aja, saya gak mengundang siapa-siapa lagi.”

Julian menghela nafasnya berat, “kenapa?”

“Itu karena keinginan Bella, Pak. Bella bilang ke saya kalau dia cuma ingin hari ulang tahunnya di rayakan sama saya dan Bapak aja, dia masih mempercayai kalau Pak Julian adalah Papa nya,” jelas Liliana.

Julian mengusap wajahnya gusar, pantas saja sudah hampir jam setengah delapan malam pun masih sepi. Tidak ada tamu lain yang datang selain dirinya. “Kenapa kamu harus bohongin saya, Li?”

“Maaf, Pak. Maaf sekali lagi, sejujurnya saya mau minta bantuan Pak Julian. Anggap lah ini semua bantuan yang terakhir kalinya saya minta dari Bapak.”

“Bantuan apa?”

“Tolong jadi Papa untuk Bella hari ini saja, Pak. Saya cuma mau Bella bahagia dan rasain sosok Papa di hidupnya.”

Malam itu Julian pulang agak sedikit malam, waktu dia sampai rumahnya pun Ara udah tidur di kamar mereka, Istrinya itu tidur meringkuk seperti udang sembari memeluk selimut. Waktu Julian pulang, hanya ada Reno dan Karina saja di ruang TV yang masih menonton. Julian enggak banyak ngobrol sama Iparnya itu, dia justru langsung masuk ke dalam kamarnya begitu Reno mengatakan Ara sudah tidur.

Sebelum naik ke ranjang, Julian sempat berganti baju dan mencuci mukanya dulu. Di dalam kamar mandi dia menatap cermin di depannya yang menampilkan wajah penuh rasa bersalahnya pada Istrinya malam ini. Ada banyak kata seharusnya di kepala Julian, namun lagi-lagi dia hanya bisa menghela nafasnya dan berpikir ini untuk yang pertama dan terakhirnya ia melakukan hal itu, ah. Enggak, dia di jebak. Dan sialnya dia masuk ke perangkap itu tanpa bisa menolaknya dengan rasa tidak tega sialan ini.

Julian mematikan keran dari wastafel yang ada di kamar mandinya, membasuh wajahnya dengan handuk yang tergantung di depan kamar mandi. Kemudian meredupkan lampu kamar, dia naik perlahan-lahan ke ranjangnya dan Ara, masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh Istrinya itu yang membelakanginya.

maafin aku ya..” Julian memejamkan matanya, kepolosan Ara dan ketidaktahuan Julian siapa sangka di manfaatkan oleh orang lain.

Julian enggak tenang, dia terus teringat kejadian barusan yang sangat amat menyita pikirannya. Dia marah, kecewa dan merasa bersalah. Julian berani bersumpah, dia enggak akan mau berurusan dengan wanita itu lagi.

“happy birthday happy birthday, happy birthday Bella...

nyanyian yang di nyanyikan oleh Liliana dan Julian itu membuat senyum di wajah bocah kecil yang genap berumur 5 tahun itu terbentuk sempurna, Bella meniup lilin setelah Liliana ajarkan berdoa semoga keinginannya di tahun ini tercapai.

setelah lilin itu padam, Bella kembali melihat ke arah kedua orang tua nya. Hanya ada senyum bahagia di wajah Ibu nya, namun berbeda dari raut wajah Ayahnya. Julian sama sekali enggak tersenyum, wajah datarnya itu dan helaan nafasnya menggambarkan jika ia sama sekali tidak nyaman berada di situasi seperti ini.

Papa kenapa enggak senyum? Papa enggak senang yah?” tanya bocah itu, Bella sudah cukup mengerti dari bagaimana mimik wajah itu tergambarkan.

Julian yang di tanya seperti itu akhirnya tersenyum. ya, dia menyunggingkan senyum yang ia paksakan. Dia sudah terlanjur berjanji pada Liliana untuk membantunya bersandiwara demi membahagiakan anak satu-satunya itu.

senang kok,” awalnya Julian memang tidak tega dengan Bella. Anak itu enggak tau apa-apa, Liliana yang salah karna sudah menanamkan kebohongan yang akhirnya menjadi bom waktu untuknya.

Julian setuju untuk melakukan sandiwara itu, ini pun bukan untuk Liliana, ini untuk Bella. Dan sudah Julian tekankan pada Liliana bahwa ini adalah sandiwara pertama dan terakhirnya. Julian enggak ingin ada kebohongan lagi, Julian juga menegaskan pada Liliana bahwa dia harus jujur dengan Bella.

Julian tahu mungkin kejujuran itu akan terdengar menyakitkan di telinga Bella, namun hidup dalam kebohongan yang orang tuanya ciptakan dengan tangannya sendiri pun akan lebih menyakitkan jika suatu hari Bella mengetahui kebenarannya.

Bella tadi berdoa apa saja?” tanya Liliana mengalihkan pembicaraan

Bella tersenyum, dia duduk di antara Julian dan Liliana dengan riang. “Aku tadi berdoa supaya Papa sama Mama bisa sayang sama Bella terus, terus berdoa supaya Papa bisa tinggal disini sama kita.”

mendengar peryataan itu Julian membuang pandangannya ke arah lain. Jelas harapan Bella enggak akan pernah terwujud sampai kapanpun itu. Jika suatu hari Liliana meminta Julian untuk mewujudkannya pun Julian enggak akan mau, itu sudah keterlaluan. Liliana memanfaatkan rasa simpatinya dan Ara demi kebohongannya sendiri.

Papa mau kan tinggal disini sama Bella dan Mama?” kali ini Bella bertanya langsung sama Julian, kedua bola mata anak itu berbinar penuh harap. Ia berharap laki-laki yang di yakini Papa nya itu akan mengabulkan keinginannya.

Bella maaf tapi Pam—

Iya!! Papa nanti akan tinggal sama kita disini, Iya kan, Pah?” Liliana menggeser tubuhnya menjadi lebih dekat ke arah Julian, Bella ada di depan mereka. Berdiri sembari menatap mereka. Dan dengan lancangnya Liliana mengalungkan tangannya di lengan Julian, pegangannya sangat erat wanita itu juga seperti sedang mengisyaratkan jika Julian harus menyetujui ucapannya barusan sekali lagi.

Menurut Julian ini sudah kelewatan, jadi dia singkirkan tangan Liliana dan duduk menjauh darinya. “Enggak, maaf Bella. Paman ini bukan Papamu. Bella bisa tanya sendiri sama Mama kemana Papa nya Bella pergi.

mendengar ucapan tegas dari mulut seniornya itu, membuat hati Liliana memanas. Julian benar-benar melanggar perjanjian mereka berdua, padahal jelas-jelas Julian sudah menyetujuinya di awal. Julian berdiri, dia menarik nafasnya dalam. Rasa marah berkecamuk dengan perasaan bersalah bersarang di dadanya saat ini. Dalam hati dia mengucapkan maaf berkali-kali karna mungkin saja Bella sedih mendengar ucapannya barusan.

sekali lagi selamat ulang tahun, Bella. Paman pulang dulu yah.” Julian mengusap pucuk kepala Bella dan keluar dari rumah itu.

Ia mempercepat jalannya ketika ia sadar kalau Bella mengejarnya, bocahnya itu menangis menyesakan sembari memanggilnya dengan sebutan Papa. Begitu Julian masuk ke dalam mobilnya, Julian sempat melirik ke arah rumah Liliana lagi. Ternyata Liliana menahan Bella untuk berhenti mengejarnya.

“Umm.. kamu udah pulang?” Ara membuka matanya waktu dia sadar ada sepasang tangan melingkar di perutnya, Ara membalikan tubuhnya dan memeluk Suaminya itu.

Suara halus dan gerakan kecil dari Istrinya itu kembali membawa Julian pada kenyataan, lamunan nya akan kejadian barusan sekejap hilang.

“Um..” Julian hanya bergumam, dia liatin wajah tenang Ara yang kembali terpejam di dalam pelukannya. “Maaf yah agak malam.”

“Gapapa kok.” Ara membuka matanya lagi, dia senyum ke arah Julian. “Bella suka gak sama kadonya?”

Mendengar nama anak itu lagi, Julian merasa muak rasanya. Ah, enggak. Dia bukan muak sama Bella, bocah itu hanya korban kebohongan orang tua nya. Dia muak dengan Liliana, mulai hari ini dia akan membatasi interaksi dirinya dengan Liliana.

“Suka sayang.”

“Syukur deh.”

“Bun?”

“Hm?”

“Besok ke klinik aku antar ya?” sungguh, perasaan bersalah sialan ini rasanya membuat Julian enggak nyaman. Kalau dia jujur dengan Ara pun, dia takut akan membuat Ara kepikiran. Dia gak mau Istri dan calon bayi mereka kenapa-kenapa.

“Kamu gak kerja?” Ara mengerutkan keningnya, setahunya besok Julian ada kunjungan ke departemen store buat ngelakuin riset.

“Kerja, aku izin setengah hari. Pengen anterin kamu aja boleh ya?”

Ara terkekeh, Suaminya ini lucu banget. Ya jelas boleh lah, Ara justru senang banget kalau besok dia di antar sama Julian. “Terus pulangnya aku minta jemput Reno aja kali ya?”

“Reno pulangnya lusa kan?”

Ara mengangguk, “um. Karina masih mau di Bandung katanya.”

“Yaudah, tidur lagi yah. Besok pagi aku masakin buat sarapan kita.” Julian meluk Ara lagi, dia kecup pucuk kepala Istrinya itu dan ngusap-ngusap punggung mungilnya.

Dia berharap perasaan bersalah sialan ini bisa segera hilang, ya. Julian harap begitu. Selain itu, Julian juga berharap semoga Liliana enggak membuka mulutnya tentang hari ini pada Ara. Ara enggak boleh sampai tahu dan salah paham sama semuanya.

Hari ini adalah hari pertama Ara bekerja di Sunshine Klinik, ada beberapa klien lama dari psikolog anak yang dulu yang sekarang di ambil alih oleh Ara. Lalu dia juga mendapatkan 2 klien baru, di hari pertama menurut Ara cukup seru gak ada hal-hal yang memberatkannya atau membuat dia capek.

Apalagi semua karyawan di klinik itu ramah dan baik sekali padannya, siang ini setelah makan siang. Ara kembali ke ruangannya, nantinya akan ada klien baru yang harus konseling sama dia, sebelum klien nya datang Ara sempat membaca biodata anak tersebut. Ternyata seorang anak yang di diagnosa ADHD dan baru mulai terapi.

Tidak lama kemudian suara dari ketukan pintu ruangannya menginterupsi Ara, itu asisten nya. di belakangnya ada seorang wanita berusia 50 tahunan bersama seorang gadis kecil.

“Mbak Ara, klien nya sudah datang.”

“Oh ya, langsung masuk aja ya.” Ara senyum, dia berdiri dan menyambut klien nya itu. “Hallo, selamat siang.”

“Siang, Mbak Ara.” balas sapaan wanita berusia 50 tahun itu.

“Nama saya Ara, Buk. Saya yang akan menjadi psikolog untuk Bella.” Ara memperkenalkan dirinya dulu, dari tadi pun setiap ada klien yang datang ia memperkenalkan dirinya terutama pada klien lama yang biasa di tangani psikolog anak yang posisinya saat ini ia gantikan.

“Salam kenal, Mbak Ara. Saya Bi Narsih, sebenarnya saya pengasuhnya Bella. Mama nya gak bisa antar karena kerja, jadi kalau ada yang mau di bicarakan tentang Bella, Mbak bisa bicara sama saya biar nanti saya yang sampaikan sama Mama nya,” jelas wanita yang bernama Bi Narsih itu.

Ara mengangguk, dalam hati dia agak sedikit kecewa karena harus bicara sama pengasuh dari bocah di depannya itu. Menurut Ara akan lebih baik jika ia berkomunikasi langsung tentang perkembangan Bella pada orang tua nya langsung.

“Ahh, begitu. Baik, kalau gitu. Bi Narsih bisa tunggu di depan, biar saya bisa melakukan sesi sama Bella berdua ya.”

Setelah Bi Narsih keluar, Ara mulai mendekati Bella. Seperti yang sudah-sudah Ara memperkenalkan dirinya, dia juga meminta Bella untuk memperkenalkan dirinya sendiri. Kemudian sembari mengajak Bella bicara mengenai dirinya, Ara beri Bella beberapa tugas yang sudah ia siapkan.

“Kalau di rumah biasanya Bella lebih suka main sama siapa?” tanya Ara, dia memperhatikan Bella yang sedang sibuk menyusun balok menjadi sebuah bentuk rumah, ini adalah terapi okupasi sembari Ara melakukan pendekatan pada Bella selain melatih konsentrasi anak itu.

“Sama Bibi tapi sebenarnya Bella lebih suka main sama Mama.” bocah itu diam sebentar kemudian melanjutkan permainannya lagi. “Tapi Bella juga suka main sama Papa walau Papa gak pernah ajak main Bella.”

“Oh ya?” Ara menaikan satu alisnya. “Kenapa enggak Bella aja yang ajak main Papa?”

Bella menghela nafasnya pelan, matanya masih fokus ke balok-balok yang tengah ia susun walau terkadang ada saja hal-hal kecil yang mudah mendistraksinya. Seperti bola yang ada di sebelahnya, atau bahkan tugas menggambar yang belum Ara perintah untuk Bella. Tapi Ara berusaha untuk mengembalikan fokus Bella, ini agar nantinya Bella bisa fokus pada aktifitas sehari-harinya.

“Papa tuh jarang pulang ke rumah, Miss. Kemarin waktu ulang tahun Bella. Papa datang tapi Papa gak kelihatan bahagia, Papa juga bilang kalau Papa bukan Papa nya Bella. Terus habis itu Mama larang Bella buat kejar Papa, padahal Papa mau pergi ninggalin Bella sama Mama berdua di rumah.”

Mendengar penjelasan Bella, Ara cuma berpikir kemungkinan adalah kedua orang tua Bella bertengkar atau mungkin bercerai sampai-sampai sikap Bella akhir-akhir ini agak sedikit cranky ya Ara sempat membaca riwayat Bella akhir-akhir ini di form pendaftarannya.

Setelah sesi okupasi berakhir, Ara memberi Bella tugas menggambar seperti bakat yang Bella miliki. Sementara itu Ara keluar dari ruangannya untuk bicara dengan Bi Narsih. Ternyata pengasuhnya itu masih setia menunggu di ruang tunggu.

“Bi Narsih? Bisa ikut saya ke ruang konsultasi?” panggil Ara.

“Bisa, Mbak.” Bi Narsih langsung berdiri dan mengekori Ara ke ruangan yang berada tepat di sebelah ruangan konseling Ara dan Bella tadi.

Keduanya duduk di sofa yang saling berhadapan, Ara juga sempat memberi Bi Narsih teh hijau agar obrolan mereka lebih santai soal Bella. “Begini, Bi. Saya sudah memberi Bella tugas, makanya saya bisa tinggal dia dulu buat bicara sama Bi Narsih, jadi begini.”

Ara menghela nafasnya dulu, dia berusaha untuk bicara pada point-point nya saja agar bi Narsih tidak bingung saat menjelaskan pada orang tua nya Bella.

“Saya ambil kesimpulan sikap Bella yang akhir-akhir ini sering marah, bisa saja di sebabkan karena kondisi rumah tidak kondusif?” tanya Ara, dia mau dengar apakah Bi Narsih tau sesuatu tentang latar belakang orang tua Bella. Ya ini bukan karena Ara mau ikut campur, tapi ini semua demi kepentingan terapi Bella.

“Bibi juga bingung jelasinnya, Mbak. Yang jelas Bella akhir-akhir ini rewel soal Papa nya, padahal Papa nya sudah lama meninggal. Bahkan dari Non Bella belum lahir.”

Ara mengerutkan keningnya bingung, “Papa nya sudah meninggal?”

Bi Narsih mengangguk. “Tapi Mama nya punya teman, nah Bella ini manggil teman Mama nya ini pakai sebutan Papa. Mungkin karena hal ini kali ya Mbak, Bella jadi sering uring-uringan minta Papa nya buat pulang.”

“Ahh..” Ara mengangguk-angguk, agaknya rumit kalau ia bukan bicara dengan orang tua nya Bella langsung. “Karena hal ini Bella jadi sering marah, kondisi rumah gak kondusif terutama suasana hati orang tua nya. Bella barusan cerita kalau akhir-akhir ini Mama nya juga suka kasar sama dia.”

“Begini, Bi. Tolong sampaikan saja pada orang tua Bella. Saya ingin bicara langsung sama beliau karena di lihat dari cerita Bella ini semua ada sangkut pautnya dengan orang tua nya, setelah ini saya berikan Bella tugas untuk di rumah. Supaya pikiran Bella bisa teralihkan dari Papa nya.”

Bi Narsih nampak bingung, namun akhirnya dia mengangguk. “Nanti Bibi sampaikan ya, Mbak.”,

Setelah sesi bersama Bella berakhir, Ara sudah tidak ada klien lagi. Dia juga sudah di jemput oleh Reno karena ini sudah jam pulangnya. Setelah berpamitan pada rekan-rekan kerjanya Ara langsung turun ke lantai 1, Julian belum bisa jemput karena inj masih jam kerjanya. Lagi pula Suaminya itu sudah izin setengah hari hanya demi mengantarnya ke klinik.

“Gimana, Kak. Hari pertama kerjanya?” tanya Reno waktu Ara baru masuk ke dalam mobil.

“Seru kok. kamu, sendiri? Karina kemana?” tanya Ara.

“Karin di rumahnya Mbak Gita sama Mas Iyal, lagi main sama si kembar. Nanti malam Reno jemput kok.”

Ara mengangguk, dia bersandar di kursi mobil karena ngerasa kepalanya sedikit pening. Reno yang melihat kakaknya itu agak sedikit pucat jadi khawatir, soalnya Julian wanti-wanti banget ke Reno buat jagain Kakak nya itu.

“Kakak kenapa?” sembari menyetir Reno sedikit menoleh ke kursi penumpang di sebelahnya.

“Kepala Kakak agak pening, Ren.”

“Tadi udah makan belum?”

Ara mengangguk, “udah kok.”

“Mabuk darat?” Reno ingat kalau Kakaknya itu punya riwayat mabuk darat, tapi ini kan dekat bahkan belum ada separuh perjalanan ke rumahnya masa udah mabuk aja? Pikir Reno.

“Enggak, Ren. Jangan ngajak ngomong Kakak please Kakak jadi mual.” Ara penjamin matanya dia ngerasa perutnya bergejolak banget, kaya ada sesuatu yang mau dia muntahin tapi dia tahan. Kasian Reno kalau dia harus muntah di mobil.

“Kakak mau muntah?!” pekik Reno.

“Reno!! Jangan ngajak Kakak ngomong please Kakak udah mual banget!!” Ara gak kalah teriak separuh kesal soalnya Reno ini malah bikin dia jadi panik.

Reno diam, dia berusaha buat melajukan mobil milik Kakaknya itu agak cepat walau beberapa kali Ara nyubit lengan Reno, soalnya itu malah bikin Ara makin mual. Sesampainya di rumah, Ara langsung masuk ke kamarnya dan berlari ke kamar mandi. Dia muntahin semua makan siang yang tadi dia idam-idamkan, ya apalagi kalau bukan nasi bebek pakai bumbu hitam.

Dan sialnya karna rasa nasi bebeknya yang pedas, hidung Ara sampai perih dan memerah. Air matanya sampai keluar, tapi bukanya lebih baik setelah memuntahkan isi perutnya. Ara malah makin mual, akhirnya dia duduk di lantai kamar mandinya dan muntahin isi perutnya itu di closet bukan lagi di wastafel.

“Kakak???” panggil Reno, karena mendengar Kakaknya itu muntah-muntah. Akhirnya Reno terpaksa masuk ke kamar Kakaknya itu.

“Ren, ambilin air hangat dong. Kakak lemes banget, Ren.” Ara tuh muntah banyak banget, bahkan sampai muntah yang pahit gitu.

“Iy..iya iya bentar Kak, Kakak duduk di tempat tidur aja yuk.” Reno berusaha gendong Kakaknya itu tapi tangannya di pukul sama Ara.

“Masih mau muntah, nanti malah muntah di kasur. Cepetan ambil minum!!” Ara jadi dongkol banget sama Reno gara-gara bukannya cepetan ambilin minum.

“Iya, iya bentar.” Reno lari keluar kamar dan ambil air hangat buat Kakaknya itu, dia juga nyoba telfon Kakak iparnya itu buat ngasih tau kalau Kakaknya muntah-muntah.

Beruntungnya pada nada sambung ketiga, Reno bisa mendengar suara Kakak iparnya itu di sebrang sana. “Hallo, Mas Ijul?”

kenapa, Ren?

“Mas, Kakak muntah-muntah nih. Belum berhenti-berhenti dari tadi, mau Reno angkat ke ke ranjang gak mau malah duduk di dekat closet.”

kasih minum dulu ya, Ren. Jangan sampe Kakak dehidrasi, Mas pulang sekarang.” Julian langsung mematikan telfon dari Adik iparnya itu.

Setelah berpamitan dengan atasannya, Julian langsung keluar dari ruangannya. Namun sayangnya ia tidak sengaja menabrak Liliana yang hendak ingin masuk ke ruangannya. Wanita itu menatap Julian nyalang, namun karna Julian yang panik dia gak sempat bicara apa-apa lagi pada Liliana dan pergi begitu saja.

Namun siapa sangka Liliana justru menyamai langkahnya dengan Julian dan menariknya untuk masuk ke dalam pantry. Katakan Liliana sudah keterlaluan, tapi dia melakukan ini semua untuk anaknya. Izinkan dia menjadi jahat sekali ini saja, selama ini Liliana berpikir dunia sudah cukup jahat dengannya dan juga Bella.

“Gila kamu, ngapain kamu bawa saya ke sini?” sentak Julian, ia ingin membuka pintu pantry namun Liliana menghalanginya dengan berdiri di depannya. “Minggir Liliana, Istri saya lagi sakit.”

“Sebelum Bapak pergi, saya mau kasih lihat sesuatu yang menarik dulu buat Bapak,” Liliana mengeluarkan amplop putih dari saku celana nya dan memberikannya ke Julian dengan cara menempelkannya di dada bidang laki-laki itu.

Julian yang ingin urusannya dengan Liliana cepat usai, akhirnya membuka amplop itu. Sungguh di luar dugaan Julian, ternyata hari dimana Liliana mengundangnya ke rumah untuk acara Bella. Ia abadikan moment itu diam-diam, ada seseorang yang memotretnya apalagi saat Liliana mengalungkan tangannya di lengan Julian dan duduk lebih dekat dengan laki-laki itu.

Ada juga foto-foto nya bertiga dengan Liliana dan juga Bella yang berada di tengah-tengah mereka, jika orang yang tidak tahu kejadian yang sebenarnya dan siapa mereka. Mungkin orang itu bisa salah sangka dan mengira mereka adalah keluarga kecil.

Tidak hanya itu, ada foto-foto Julian juga di Black Box. Ya, Julian akui, ia memang masih suka ke Black Box dan menemui Ian pelatihnya. Tapi Julian sudah tidak tanding tinju ilegal dan mendapat bayaran lagi. Ia hanya berlatih di sana untuk bersenang-senang.

Salah Julian memang karena dia sudah melanggar janjinya pada Ara, dulu waktu Ara tahu kalau Julian kalah dalam bertanding pun. Ara minta sama Julian buat keluar dari tempat itu dan Julian menuruti maunya.

“Gila kamu, Li. Mau kamu apa?” tanya Julian mulai naik pitam.

“Saya mau Bapak jadi Papa nya Bella.”

Julian tertawa hambar, dia melempar foto itu ke lantai dan mengusap wajahnya gusar. “Dari pada kamu buang-buang waktu buat ngancam saya kaya gini, lebih baik kamu gunain waktu kamu buat jelasin ke Bella kalau saya bukan Papa nya.”

“Saya enggak mengancam Bapak, saya beneran sungguh-sungguh. Foto-foto ini bisa saya kirim ke Mbak Ara, dan asal Bapak tau. Mbak Ara sakit itu bukan karena kebetulan, Pak.”

Seperti ada alarm yang menyala di kepala Julian, rahang laki-laki itu mengeras ketika ia tahu Ara sakit itu karena ulah Liliana. Kalau saja Liliana bukan seorang wanita sudah Julian pastikan Liliana sudah tersungkur di lantai.

“Kamu apain Istri saya?! Jangan macam-macam kamu sama saya, Li!!” Sentak Julian.

Liliana menyeringai, ia membuka kunci pintu pantry itu. “Sekarang Bapak pulang dulu aja, nanti saya kabari lagi apa mau saya selanjutnya.”