Meaning Of Love ☑️

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon

Ara sudah 2 hari ini pulang ke kosannya kembali, Bunda juga udah pulang ke Jakarta sejak kemarin. Setiap malam bohong jika Ara bisa langsung terlelap tanpa memikirkan apapun, sejak putus dari Yuno setiap malam menjadi malam yang mengerikan untuknya.

Begitu semua teman-teman kosannya sudah masuk ke dalam kamar mereka, begitu suasana menjadi lebih sepi, begitu lampu kamarnya ia matikan dan hanya ada dirinya di atas ranjang, dengan denting jam dinding dan pendingin ruangan yang menjadi satu-satunya sumber suara.

Ara kembali menangis sembari menatap satu persatu fotonya dengan Yuno, memeluk boneka yang Yuno berikan untuknya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 16 dan kembali memikirkan bagaimana cara memperbaiki keadaan. Ara gak pernah bisa berbohong jika ia benar-benar merindukan Yuno.

Jika di depan teman-temannya ia akan bersikap seolah ia baik-baik saja, namun nyatanya tidak jika itu di depan Julian dan di kamarnya. Ara akan menunjukkan sisi rapuhnya, menangis dan menyesali tindakannya yang dia anggap gegabah.

Seperti saat ini, setelah melihat-lihat foto-fotonya dengan Yuno. Ara kembali membaca pesan-pesan yang Yuno kirimkan sebelum mereka mengakhiri hubungan. Kemudian melihat semua akun sosial media milik cowok itu, berharap Yuno mengunggah sesuatu di sana. Namun nyatanya, tidak ia dapati apa yang ia inginkan disana. Yuno tidak memposting apa-apa.

“Aku kangen kamu, Kak.” lirihnya. Ara mengusap air matanya dan kembali memeluk boneka kucing dari Yuno itu dengan erat.

Sampai di rasa matanya mulai lelah di jam 2 pagi, dan Ara mulai terlelap. Selalu seperti itu sejak ia putus dengan Yuno. Jika di tanya lelah, ya tentu saja ia lelah. Ara ingin hari-harinya kembali seperti dulu. Tidak ada ritual menangis sebelum memejamkan mata, dia sendiri enggak tahu ini berlangsung sampai kapan. Tapi ia harap, jika memang ia dan Yuno tidak bisa kembali bersama. Ara ingin perasaan itu segera menghilang bersamaan dengan setiap kenangan yang ia dan Yuno lalui berdua.

Paginya Ara terbangun karena dering alarm yang selalu ia pasang di ponselnya meski itu hari libur, sebelum turun ke lantai 1 Ara menyempatkan dulu untuk menyapu dan membuka jendela kamarnya dulu. Setelah itu barulah ia turun ke lantai 1 untuk membuat sarapan.

“Kesiangan, Ra?” tanya Echa yang sudah sarapan lebih dulu di meja makan, Echa sedang sarapan sereal berdua dengan Janu.

“Tadi beresin kamar dulu,” ucap Ara. Dia menuangkan air putih yang ada di teko meja makan sembari melirik ke arah dapur. Ada yang sedang memasak, biasanya itu Gita. “Yang lain kemana?”

“Chaka CFD sama Kevin, Julian lagi jemurin. Bang Ril belom dateng, kayanya tadi gue liat lagi nyuci motor bareng sama A Ari dah,” jelas Janu.

“Chaka berdua aja sama Kevin?” tanya Echa.

“Sama anak kosan sebelah juga, kenapa sih? Lu mau ngikut?” tanya Janu sewot ke Echa, akhir-akhir ini Janu suka merasa enggak nyaman kalau Echa berdua sama Chaka.

“Gue cuma nanya anjir. Sewot amat lo, lagi dateng bulan lo?”

“GUE LAKIK!” kata Janu bersungut-sungut.

Ara yang ngeliat Janu sama Echa saling sewot itu cuma bisa terkekeh, ia kemudian berjalam ke dapur niatnya ke dapur Ara hanya ingin mengambil mangkuk dan menjadikan sereal sebagai sarapan paginya hari ini. Namun siapa sangka jika Gita menyapanya, ngomong-ngomong Ara masih agak dongkol sama Gita. Dia masih menganggap Gita mencuri perhatian Kakak sepupunya itu.

“Lo mau bikin apa, Ra?” tanya Gita yang masih sibuk marinasi ayam. Cewek itu kelihatan mau bikin ayam goreng bawang putih, ada beberapa sayuran juga di sana.

Ara yang di tanya gitu hanya mengabaikan pertanyaan dari Gita saja, mood nya masih belum bagus dan hatinya masih kesal setiap kali melihat Gita. Tapi Gita yang tidak mendapati jawaban apapun dari Ara itu merasa heran, pasalnya bukan kali ini aja Ara kelihatan ngabain dia tapi dari kemarin juga.

Gita mikir awalnya mungkin Ara cuma sedang sakit aja dan ia maklumi itu, namun lama kelamaan Gita dongkol juga. Dia gak ngerasa bikin kesalahan apapun sama gadis itu sampai membuat Ara harus mengacuhkannya seperti ini.

Jadi Gita hampiri Ara dan ia tahan pintu kulkas itu waktu Ara hendak mengambil susu di sana. “Lo kenapa sih sama gue, Ra? Gue bikin salah sama lo?” tanya Gita to the point.

“Lo gak ngerasa sama sekali bikin salah?”

“Enggak,” jawab Gita enteng, karena kenyataanya memang begitu kan.

“Lo sadar gak sih kalo lo itu caper banget? Lo tuh juga punya Kakak. Masih aja ngerebut perhatian Mas gue!” sentak Ara yang bikin Gita agak sedikit kaget, selama ini Ara gak pernah ngomong sekencang itu sama dia.

“Ngerebut Arial maksud lo?”

Ara mengangguk, “gara-gara lo yah Mas Iyal udah enggak perhatian lagi sama gue, sibuk ngurusin lo sakit, nganter jemput lo, ngajak diskusi. Bahkan waktu gue pingsan di kampus dia gak ada tuh nyamperin gue ke klinik dan nungguin gue, dia justru nungguin elo semalaman suntuk!” bahu Ara sedikit naik turun menahan emosinya sendiri, rasanya uneg-uneg yang selama ini dia pendam bisa sedikit keluar perlahan-lahan.

Gak lama Janu dan Echa yang dengar suara Gita dan Ara yang mulai meninggi itu menghampiri keduanya. “Ada apaan sih ini ribut-ribut?” tanya Janu.

“Siapa yang ngerebut Arial sih? Gue gak ngerasa rebut dia yah, Mas lo tuh yang ke sini mulu buat nyamperin gue, dia juga yang sering nawarin gue buat pulang bareng,” Ara berhasil menyulut emosi Gita, gadis itu melipat kedua tanganya dan menaikan satu alisnya. Menampakan seringain yang menyebalkan di mata Ara itu.

“Ohh, lo takut Mas Arial lo ini gak perhatian lagi sama lo dan gak bisa nurutin mau Adeknya yang manja ini? Lo sadar dong kalo Arial juga punya kehidupan sendiri.”

“Lo tuh yang manja, nyusahin! Sana minta perhatian sama Kakak lo!” sentak Ara, matanya membulat menatap Gita tak kalah nyalang.

Echa dan Janu yang melihat itu jadi semakin senewen, Janu bahkan menaruh mangkuk berisi sereal miliknya demi menengahi Gita dan Ara itu.

“Eh udah, jangan ribut, Jir. Masih pagi lagian ngapain sih ngerebutin Bang Ril? Masih cakepan juga gue,” ucap Janu kepedean walau lagi senewen.

“Janu apaan sih!” kata Echa gak terima, geli juga tiap liat Janu kepedean walau dalam hati dia mengakui kalo Janu memang ganteng.

“Kalo gue maunya di manjain sama Arial gimana?” kata-kata Gita barusan benar-benar menyalakan alarm kemarahan di kepala Ara rasanya.

“Git, lo jangan bilang gitu. Itu Ara tambah kesel,” kata Echa menengahi.

“Biarin aja, emang sengaja. Biar dia sadar kalo hidup ini gak melulu berputar di dia, emang lo pikir lo tuh pusat dunia?!”

Ara mengepalkan kedua tanganya, dia nahan emosinya banget buat enggak jambak rambut Gita. Tapi rasanya setiap kali liat cengiran Gita dan wajah gadis itu yang di naikan beberapa senti membuat Ara menjadi semakin jengkel, Ara ngerasa Gita sama sekali enggak merasa bersalah dan minta maaf karena dia sudah menjadi penyebab dirinya dan Arial bertengkar.

“DASAR TUKANG CARI PERHATIAN!” teriak Ara.

“ELO TUH, DASAR MANJA. CHILDISH!” kata Gita enggak mau kalah. “MANJA, CHILDISH SADAR DONG ARIAL ITU UDAH MUAK MANJAIN ADEKNYA YANG KAYA ANAK KECIL INI!”

“GITAAAAAAA!!!” Ara teriak, bersamaan dengan itu dia juga mendorong Janu yang berdiri di tengah-tengah mereka hingga cowok itu tersungkur ke lantai.

Ara maju dan menjambak rambut Gita dengan kencang, merasa tidak mau kalah Gita juga melakukan hal yang sama ke rambut Ara. Mereka berdua jambak-jambakan dan menjatuhkan beberapa barang-barang di dapur, Echa yang lihat itu berusaha menarik Gita dan Ara secara bersamaan. Namun tenaga gadis itu kalah dengan tenaga Ara dan Gita yang sedang di kuasai emosi.

“Git, udah Git. Gita!” teriak Echa tanpa di hiraukan oleh Gita.

Kedua cewek itu justru semakin brutal menjambak, bahkan Ara mencakar wajah Gita dan Gita memukul lengan Ara lumayan kencang. Ara gak sengaja narik baju yang Gita pakai sampai baju itu sobek di bagian lengan dan menampakan tanktop yang Gita kenakan.

“DASAR CAPER, GATAU DIRI, NYUSAHIN!!” teriak Ara di sela-sela jambakannya di rambut Gita.

“ELO TUH CENGENG DASAR BOCAH LABIL!!”

“AAAAHHHHHHH!” Ara teriak waktu Gita nampar dia, gak mau kalah. Ara langsung melayangkan satu tamparan di wajah Gita sampai pipi kiri Gita memerah.

“CHA, PANGGIL IJUL SAMA BANG RIL, CHA. BURUAN!!” teriak Janu ke Echa.

Dengan sigap Echa langsung naik ke rooftop buat manggil Julian kemudian menelfon Arial agar segera datang ke kosan. Sementara itu Janu masih berusaha misahin Ara dan Gita yang lagi asik tendang-tendangan di dapur, Janu gak pernah tahu kalau misahin perempuan berantem kaya gini jauh lebih sulit dari pada misahin laki-laki berantem.

Janu berusaha narik Gita, tapi cowok itu malah berujung kena tamparan dari Ara dan tendangan nyasar dari Gita yang berakhir membuat Janu tersungkur ke lantai untuk kedua kalinya.

“DASAR CEWEK BAR-BAR!” teriak Ara.

Gita yang gak terima di sebut kaya gitu, kembali menarik rambut Ara dengan kencang sampai beberapa helainnya jatuh ke lantai. “LO TUH CENGENG! SUKURIN LO PUTUS SAMA KAK YUNO!”

“APA LO BILANG?!” teriak Ara naik pitam waktu Gita nyebut nama Yuno di sana.

“BAGUS KAKAK GUE GAK SAMA CEWEK MANJA KAYA LO!” teriak Gita semakin kesal apalagi waktu sadar sudut bibirnya berdarah.

“DASAR CEWEK GILAAA!!” Ara mendorong Gita hingga keduanya jatuh tersungkur, dia nampar wajah Gita dan Gita yang narik baju Ara sampai baju tidur yang gadis itu kenakan sobek. Bahkan saking besarnya sobekan itu, sampai menampakan pakaian dalam yang Ara kenakan.

Tidak lama kemudian Julian dan Arial datang bersamaan, keadaan dapur sudah kacau balau. Ayam yang tadi Gita marinasi juga sudah berjatuhan ke lantai terinjak-injak kaki Gita dan Ara.

Sementara kedua gadis itu masih saling menghajar satu sama lain dengan Gita yang berada di atas Ara, dan Ara yang menutupi wajahnya agar Gita tidak memukul wajahnya kembali. Gita juga lepas kendali karena ia pikir Ara duluan yang memulai perkelahian ini.

“Mas Ril, lo tarik Gita biar gue tarik Ara,” kata Julian ke Arial.

Arial mengangguk, dengan sigap Arial tarik Gita dan gendong cewek itu dengan mudahnya menjauh dari Ara. Sementara Julian, gadis itu menarik pinggang Ara dan membawa Ara menjauh dari Gita.

Wajah gadis itu sudah babak belur, sama babak belurnya seperti Gita. Apalagi saat tidak sengaja Julian lihat pakaian dalam yang Ara pakai karena baju tidur gadis itu sobek, Julian langsung memalingkan wajahnya ke arah lain dan mengambil celemek dapur dan memakaikan celemek itu ke Ara agar tubuhnya tidak terlihat.

“JULIAN GUE BELUM SELESAI SAMA DIA KENAPA LO NARIK GUE!” sentak Ara yang malah memaki Julian.

“Lo mau ngapain lagi? Mau mukulin Gita lagi sampe puas?”

“Dia duluan!!”


Setelah luka-lukanya di obati, Arial ingin menyidang Ara dan Gita. Sejak tadi dia belum tau duduk permasalahan yang membuat Gita dan Ara bertengkar. Semua penghuni kosan berkumpul di lantai 2. Ada Kevin juga yang masih bingung kenapa Ara dan Gita bisa bertengkar sampai melukai tubuh mereka masing-masing.

Ada Janu juga yang wajahnya sedang Echa kompres dengan air dingin karena memar akibat tamparan nyasar dari Ara dan tendangan nyasar di perutnya dari Gita.

“Gak ada yang boleh ngomong, sampe gue selesai ngomong!” ucap Arial tegas.

Ara sama Gita masih saling melempar tatapan sinis satu sama lain, mereka duduk bersebrangan dengan Arial yang berada di tengah-tengah.

“Ini ngeributin apaan sih, Jul?” bisik Kevin ke Julian.

“Katanya Mas Ril,” balas Julian.

“Hah? Bang Ril?”

Julian mengangguk, dia celingak-celinguk nyari Chaka tapi baru ingat Chaka di lantai 1 sedang membersihkan dapur yang porak poranda.

“Ra, Mas Iyal gak pernah ngajarin kamu pakai kekerasan kaya gini loh, kata Janu kamu duluan yang jambak Gita. Benar itu?” tanya Arial. Cowok itu ngomong pakai nada biasa saja, tapi bagi Ara. Arial seperti tengah memojokkanya dan membela Gita.

“Mas Iyal belain Gita?!” sentak Ara.

“Mas tanya Arumi Naura Shalika..” Arial mengusap wajahnya frustasi.

“Gita ngatain aku manja, cengeng, childish duluan, wajar dong aku marah.”

“Heh! Lo duluan yang ngatain gue caper sama Arial, yang ada tuh Arial yang caper sama gue!” kata Gita enggak terima.

Arial memukul gulungan kertas yang sedari tadi dia bawa ke meja, membuat Gita dan Arial langsung terdiam.

“Gue lagi nanya Ara, Gita. Gue belum nanya elo.”

“Tapi emang Adek lo duluan yang ngatain gue, Ril.”

“kalian berdua tuh ngapain sih ngerebutin Mas? Mas juga kan udah bilang ke kamu, Ra. Mas kemarin jagain Gita di rumah sakit juga bentuk tanggung jawab Mas karna udah bikin dia begitu Ra” kata Arial ngejelasin.

“Kok lo ngerasa jadi di rebutin gitu sih, Ril?” Gita gak terima aja, karena dia sama sekali nggak ngerebutin Arial. Gita cuma ngerasa Ara aja yang mikir kalau dia ngerebut Arial dari Ara. Padahal kenyataanya kan enggak.

“Git,” Kevin menengahi.

“YAUDAH BELAIN AJA TERUS GITA, ANTAR JEMPUT AJA TERUS DIA. JAGAIN AJA TERUS CEWEK YANG SUKA CARI PERHATIAN ORANG LAIN INI!” kata Ara, dia nangis dan langsung pergi begitu aja masuk ke dalam kamarnya.

Ara sedikit membanting pintu kamarnya itu sampai membuat Echa dan Janu terkejut, di dalam kamar Ara luruh di depan pintu. Dia menangis bukan karena perih di wajahnya akibat tamparan dan cakaran dari Gita, melainkan karena Arial yang ia pikir tidak memihaknya.

Apalagi Ara teringat ucapan Gita kalau gadis itu bilang, dia pantas berakhir dengan Yuno karena dia adalah gadis yang manja. Benarkah begitu? Apa Yuno juga berpikiran yang sama dengan Gita? Pikir Ara.

“Ra?” panggil Julian di depan pintu kamar Ara.

“Pergi sana Jul. Gue gak mau ketemu siapa-siapa!” teriak Ara dari dalam kamar.

“Gak mau ketemu sama gue juga? Gue kan enggak salah, Ra.”

Mengabaikan ucapan Julian, Ara beranjak dari tempatnya duduk dan sembunyi di bawah selimut ranjangnya. Perutnya sudah tidak lagi lapar, yang terisisa kini hanya perasaan sedih, kesal serta nyeri dan perih di sekujur tubuhnya.

Yuno sudah kembali menata hidupnya kembali sejak kemarin, kembali ke kampusnya dan mengejar ketertinggalannya sejak ia tidak hadir di kampus. Untungnya dosen-dosennya mengerti, walau rasanya sangat kuwalahan mengejar beberapa mata kuliah secara bersamaan tapi bagi Yuno itu lebih baik dari pada ia harus berdiam diri di apartemen lalu teringat masalahnya lagi.

Walau masih suka merasa sepi dan kosong, Yuno mencoba mencari pelampiasan baru yang lebih positif lagi dari pada harus menenggak kaleng-kaleng beer yang akhir-akhir ini ia jadikan sebagai pelariannya. Hari ini Yuno datang ke sebuah toko kamera, ia ingin membeli kamera baru.

Yuno ingin belajar memotret, tidak ada niat serius dalam hal ini. Yuno hanya ingin mencari kesibukan saja, sampai rasanya badannya lelah dan begitu ia sampai di apartemen, yang ia lakukan hanya tertidur tanpa sempat memikirkan hatinya yang masih terasa sakit.

Yuno mantapkan pilihannya pada sebuah kamera analog berwarna coklat itu, Yuno sempat mendapat sedikit ilmu memotret dengan baik dari staff nya, sampai akhirnya ia mencobanya sendiri. Setelah selesai membayar kamera analog yang ia beli, Yuno sempatkan untuk jalan-jalan sebentar sebelum ia pulang.

Yuno hanya berjalan-jalan di daerah dekat kampusnya, suhu nya yang semakin dingin hingga membuat hidungnya memerah. Yuno abaikan begitu saja, ia sudah mulai terbiasa dengan udara dingin dan kering sejak kepindahannya ke Jerman.

Sedang asik memotret, tiba-tiba saja ponselnya bergetar halus di coat yang Yuno pakai, ternyata itu panggilan dari Gita. Yuno baru sadar kalau dia belum mengabari Adik sepupunya itu saking sibuknya dia mencari banyak kegiatan di luar kampusnya.

“Hai, Git.” sapa Yuno. Ia tersenyum pada Gita yang berada di kamarnya.

lo dimana, Kak?

“Lagi di luar, kenapa?”

Gita menghela nafasnya pelan, Yuno seperti berjalan entah kemana. Terlihat dari layar ponselnya yang bergerak dan wajah Yuno yang tidak begitu stabil terlihat di kamera.

lo kemana aja? Gak ngasih kabar berhari-hari. Lo gak bales chat gue juga, gak di baca juga. Kemana aja?” hardik Gita. Agak sedikit kesal karena Yuno tampak biasa saja, padahal Gita sangat mengkhawatirkan Kakaknya itu.

“Disini-sini aja.”

ck, serius Kak.

Yuno tertawa di sebrang sana, Gita bisa melihat Yuno duduk di sebuah cafe atau restaurant. Entah lah, yang jelas kondisinya agak sepi dengan dinding bata merah dan lukisan abstrak yang menggantung di belakang Yuno. Gita tebak mungkin Yuno masuk ke dalam cafe.

“Gue serius.”

Gita memutar bola matanya malas, kalau Yuno dekat mungkin sudah Gita pukul lengannya. “lo udah tau kalo Ara sakit? Dia opname.

Ucapan Gita itu berhasil membuat Yuno mengehentikan geraknya, tadi dia sedang memasukkan kamera analog nya ke dalam tas. Cubitan halus di hatinya itu kembali Yuno rasakan, benarkah? Gadis itu sakit? Apa ini karena dirinya? Pikir Yuno.

“Sa..kit apa?” tanya Yuno.

ck.” Gita berdecak, di sebrang sana ia melipat tangannya di depan dada. “Lo ada apa sih Kak sama Ara? Akhir-akhir ini juga lo beda banget, enggak mau cerita sama gue?

Gita dan Yuno itu suka berbagi cerita terkadang, ya meski kalau Yuno cerita Gita harus sedikit memaksanya. Yah seperti ini contohnya, menurutnya Yuno bukan seseorang yang mudah terbuka pada orang lain tentang masalahnya. Yuno itu tertutup, banyak memendam apa yang ia rasa.

Padahal Gita sudah pernah bilang, bercerita itu bukan berarti mengeluh. Bercerita tidak sama dengan mengeluh, tapi Yuno tetap saja pada pendiriannya. Sebenarnya Yuno hanya bingung, dia enggak tau harus memulai dari mana jika ingin bercerita. Rasanya bingung karena terlalu banyak memendam.

“Gue udah putus sama Ara, Git.” ucap Yuno lirih.

putus?” Gita mengulangi kalimat itu demi memastikan telinganya tidak salah dengar. Dan Yuno mengangguk mengiyakan. “kenapa Kak?

“dia bilang, dia udah gak kuat sama gue. Gue sadar kok gue udah banyak ngecewain Ara, gak bisa jagan dia, gak bisa selalu ada buat dia. Gue udah instrospeksi kenapa dia minta udahan, gue pikir dengan gue mundur. Gue gak akan lagi nyakitin dia, Git.” jelas Yuno.

Gita diam, dia mencoba memaknai kata-kata Yuno dengan apa yang terjadi selama ini. Gita akui, Yuno memang sering absen jika Ara membutuhkan cowok itu, tapi itu semua karena Yuno jauh kan? Bukan karena Yuno dekat tapi selalu tidak ada jika Ara membutuhkannya.

lo yakin gak ada masalah lagi sama dia? Selain itu mungkin?” Gita ngerasa masih ada yang mengganjal. Dia juga mikir kalau Ara kayanya enggak sedangkal itu. Ara juga pernah bilang kalau konsekuensi berhubungan jarak jauh dengan Yuno sudah bisa ia terima, dan ia tidak masalah dengan itu. Ah, tapi enggak tau kalau pemikiran gadis itu sekarang berubah.

“Ara ada salah paham sama gue, Git. Dia mikirnya gue selingkuh. Tapi cerita nya panjang, Git. Gue juga belum siap buat cerita ini.”

Yuno ingin cerita semuanya ke Gita, tapi rasanya tiap kali ingin bercerita tentang hubungan dengan Ara dan juga kepergian Ann. Seperti ada kawat berduri yang melilit tenggorokannya, kata-kata itu seperti tertahan tidak mampu Yuno utarakan saking sakitnya.

Kak tapi lo masih sayang sama Ara gak sih sebenernya?

“Kalau gue enggak sayang, gue enggak mungkin mundur, Git. Gue mundur karena gue sayang sama dia.”

Ara sedih banget kelihatanya, Kak. Kalo masih bisa di perbaiki. Lo bisa memulainya dari awal menurut gue.

Di tempatnya Yuno menunduk, mendengarkan wejangan dari Adik sepupunya itu bagai petuah. Gita memang lebih berpengalaman dengan hubungan dari pada Yuno, meski belum banyak bercerita. Tapi Gita berusaha memahami sulitnya komunikasi dari jarak jauh, Yuno juga mencoba memikirkan kata-kata Gita.

Saran dari Adiknya itu untuk bicara kembali dengan Ara dan memperbaiki hubungan mereka, memulai dari awal kembali. Namun menurut Yuno saat ini berpisah menjadi jalan terbaik sementara, biar nanti Yuno akan menjelaskan ke Ara langsung saat ia sudah pulang ke Indonesia.

Urusan Ara mau menerima nya lagi atau tidak, biar itu menjadi urusan belakangan.


“Julian, Tan. Temannya Ara.” Julian menjabat tangan Bunda nya Ara itu dengan senyum merekah, dia baru kembali dari vila dan menjenguk Ara dulu sebelum dia pulang bareng Arial ke Bandung.

“Nak, Julian yang antar Ara ke rumah sakit yah?” tanya Bunda, dan di jawab anggukan malu-malu oleh Julian.

“Iy..ya Tan.”

“Makasih yah, Nak Julian. Kalau gak ada kamu, Tante gak bisa bayangin deh Ara gimana.”

“Sama-sama, Tan.”

Ara sudah jauh lebih baik, walau masih sering sesak setidaknya dia udah enggak selemas kemarin. Gadis itu juga masih pakai alat bantu pernafasan, dokter bilang Ara baru bisa pulang setelah mendapat izin dari dokter spesialis penyakit dalamnya.

Tidak lama kemudian pengeras suara yang berada di ruang rawat Ara menyala, panggilan untuk keluarga Ara dari ruang suster. Biasanya harus ada obat yang perlu di tebus, atau dokter yang ingin membacakan hasil pemeriksaan Ara.

Setelah Bunda keluar dari ruang rawat Ara, Julian duduk di kursi yang bekas di duduki Bunda nya Ara itu. Cowok itu dengan jahil menjawil hidung Ara hingga gadis itu terkekeh.

“Tangan lo bau tau,” ucap Ara sembari memegangi hidungnya.

“Enak aja, wangi gini.”

“Bau terasi,” Ara terkekeh dan ucapannya itu membuat Julian mencium tangannya sendiri untuk memastikan apa yang dikatakan Ara.

“Iya yah, bau terasi. Kayanya gara-gara gue abis makan pecel lele deh.”

Ara tertawa dan memukul tangan Julian dengan gemas, Julian lega Ara udah bisa ketawa lagi sama candaan garing nya itu. Walau sedetik kemudian senyum itu kembali redup.

“Kata Bunda, lo belum makan malam yah? Gue suapin mau gak?”

“Jul?” panggil Ara.

“Hm?”

“Kira-kira, Kak Yuno masih sayang sama gue gak yah?” Ara memperhatikan jemarinya yang saling tertaut itu, seperti mencari jawaban disana akan perasaan Yuno padanya. Jujur saja, Ara masih kepikiran cowok itu. Masih berharap Yuno akan kembali padanya dan meminta maaf.

“Yang ngajakin putus duluan tuh elo yah?” tebak Julian yang membuat kedua bola mata Ara membulat.

“Kok lo tau?”

“Gue cuma nebak aja.” Julian menghela nafasnya pelan. “Kalau dia masih sayang sama lo, dia pasti ngabarin lo lagi, Ra. Gue pikir sekarang hal paling baik adalah saling intropeksi diri.”

“Gue nyesel banget ngomong gitu ke Kak Yuno, gue gak kepikiran dia bakalan iyain ucapan gue. Gue mikirnya dia bakalan nahan gue buat gak pergi,” Ara meringis.

“Lo udah tanya soal kemarin? Ma..maksud gue. Soal foto dia sama cewek blonde itu?”

Ara mengangguk, “gak ada jawaban, dia gak bela diri dia sama sekali. Tapi dia enggak terima pas gue bilang dia selingkuh.”

Mata Ara mulai memanas, seperti menyebut nama Yuno saja bisa berhasil membuat pertahanan nya kembali luruh. Biar bagaimana pun 4 tahun bersama, membuat Yuno seperti mengisi separuh hidupnya, dulu sewaktu dia baru jadian sama Yuno. Ara enggak pernah terpikirkan seperti apa kelak hubungan mereka akan berakhir.

Setiap hari jadi mereka, Ara selalu memanjatkan doa agar hubungan mereka terus berjalan dengan baik. Ara selalu berharap, Yuno bisa menjadi laki-laki pertama dan terakhir baginya.

“Mungkin dia emang enggak selingkuh, Ra. Yang bikin asumsi kalo dia selingkuh kan elo, yah emang dia salah karna gak ngabarin lo apa-apa. Tapi lo sendiri juga belum dengerin penjelasan dia kan?” Julian realistis aja, dia enggak melulu melihat permasalahan ini dari sisi Ara. Karna biar bagaimana pun juga, Yuno belum menjelaskan apapun kenapa hari itu Yuno bisa bersama dengan gadis berambut blonde itu.

Julian enggak mau menghakimi orang lain dan hanya melihat dari satu sudut pandang aja. Tapi kalau ternyata cowok itu memang salah dan benar selingkuh seperti yang di tuduhkan Ara, Julian akan maju untuk menyatakan perasaanya pada Ara dan enggak akan Julian biarkan cowok kembali bersama Ara.

Dalam hati Ara membenarkan ucapan Julian, dia juga meruntuki dirinya sendiri yang gegabah dalam mengambil keputusan. Bahkan ia tidak memberikan kesempatan pada Yuno untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi untuk menghubungi cowok itu kembali dan meminta penjelasan padanya juga rasanya Ara sudah kepalang malu, tau kan Ara itu gadis dengan gengsi yang lumayan tinggi.

“Kira-kira hidup gue bakalan baik-baik aja gak yah, Jul. Setelah ini, gak ada lagi Kak Yuno di hidup gue.”

“Kalau sebelum kenal dia hidup lo baik-baik aja, setelah ini juga hidup lo tetap akan baik-baik aja, Ra.”

Ara mengangguk, ia mengusap setitik air matanya yang ada di ujung itu. Julian yang melihat itu justru mengambil tissue dan menyeka nya.

“Jangan nangis mulu ah, gue lebih suka liat lo ngambek kayanya dari pada nangis.”

“Lo yang gue ambekin yah?” Ara terkekeh.

“Jangan lah emang gue salah apa?” Julian menaikan sebelah alisnya.

“Tadi katanya lebih baik liat gue ngambek gimana sih?”

Keduanya kemudian tertawa, Julian banyak mengajak Ara ngobrol sampai akhirnya ia berhasil membujuk gadis itu untuk makan malam. Kalau boleh melayangkan harapannya lagi, Julian ingin sekali melanjutkan perasaanya. Mungkin ini adalah kesempatan yang semesta berikan padannya.

Tapi Julian enggak mau gegabah dulu, dia mau membiarkan Ara menghabiskan kesedihannya dulu. Sampai di rasa waktunya tepat, Julian akan segera menyatakan perasaanya pada gadis itu.

Setelah selesai dengan jam kuliahnya Arial mau langsung kembali ke kosannya, tapi sebelum berjalan ke parkiran, dia mau mampir ke kantin dulu. Mau beli gorengan yang Ari titip buat makan sore, karena kosan yang di tempati Arial itu memang di isi sama cowok-cowok.

Gak heran kalau penghuni di sana sering banget makan seadanya, kalau kata Ari yang penting mah kenyang, dapur juga cuma di pakai buat masak makanan instan aja macam mie atau sarden. Belum sempat ia memesan gorengan yang ada di dekat tenant nasi goreng, Arial malah berjalan ke meja yang berada di depan tenant bakso dan mie ayam.

Di sana ada Gita yang lagi duduk sendirian sambil minum es, Arial tersenyum niatnya mau ngagetin Gita dari belakang namun rencananya itu gagal karena Gita keburu menoleh ke arahnya, Gita tadinya mau ngambil tas nya dan akan hendak pergi dari sana. Siapa sangka justru ia malah melihat Arial yang sedang mengendap-endap di belakangnya.

“Mau ngagetin gue yah lo?!” hardik Gita tiba-tiba, apalagi waktu ia dapati cengiran dari wajah Arial yang selalu kelihatan menyebalkan di matanya.

“Suudzon tuh gak baik. Orang gue mau numpang duduk juga,” alibi Arial, dia duduk di sebelah Gita dan menyambar minuman yang tadi sedang Gita minum.

“Lo tuh emang punya kebiasaan minum, minuman bekas orang yah, Ril?”

“Enggak, punya lo doang yang gue minum.” jawab Arial enteng. “Lo mau balik apa gimana? Tumben sendirian, biasanya sama siapa temen lo itu yang sering bareng lo?”

“Nola?”

“Nah iya Nola, kok gak bareng sama dia?”

“Nola balik bareng Dean. Lo juga ngapain disini?”

“Gue mau beli gorengan, Ari nitip ke gue.”

“Yaudah sana beli, ngapain malah nyamperin gue terus duduk disini?” Gita jadi sewot sendiri, dia tadi lagi nungguin Chaka. Mau balik sama cowok itu tapi ternyata Chaka mengabarinya jika ia masih ada kelas sampai jam 7, alhasil Gita cuma gabut di kantin sampai gak di sangka-sangka Arial datang.

“Rame, masih antre. Eh lo bareng gue aja baliknya, gue juga udah mau balik kok.” maksud Arial biar sekalian aja, toh kosan mereka kan bersebelahan. Lagi pula kalau Gita enggak sama Arial kadang Arial suka kepikiran gadis itu akan pulang sama siapa.

Apalagi sejak kejadian Agnes dan teman-temannya yang memukuli Gita dan menguncinya di gudang, sejak itu Arial jadi selalu ingin memastikan jika Gita baik-baik aja. Tapi sayangnya, sejak kejadian Agnes itu justru Gita agak menjauh darinya. Padahal Agnes dan teman-temannya pun sudah di keluarkan dari kampus. Bahkan yang Arial dengar, nama Agnes dan teman-temannya itu di blacklist dari perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta.

“Gausah gue bisa balik sendiri.”

“Bareng gue aja sekali—” belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja ponsel Arial berdering. Ada panggilan dari Julian.

“Bentar, Git. Gue angkat telfon dulu, jangan kemana-mana!”

Gita tidak mengiyakan ucapan Arial itu, namun gadis itu tetap menunggu Arial mengangkat telfon yang entah dari siapa itu. Tidak lama kemudian, Arial kembali dengan wajah yang panik dan setitik keringat di pelipisnya. Membuat Gita jadi khawatir ada kabar apa sebenarnya.

“Kenapa, Ril?” tanya Gita.

“Ara masuk rumah sakit, Git. Asma nya kambuh.”

“Rumah sakit? Dia bukannya lagi di Bogor?”

Arial mengangguk, “iya, pagi ini Julian yang bawa dia ke rumah sakit gara-gara Ara pingsan. Dadanya sesak banget katanya, gue mau nyusul dia ke Bogor.”

“Yaudah, Ril. Susul.”

Arial menarik nafasnya pelan, entah dari mana keberanian itu datang. Tapi Arial menggandeng tangan Gita dan mengajaknya sedikit berlari menuju parkiran mobilnya berada, sedangkan Gita. Gadis itu juga justru menurut saja, ia samai langkahnya dengan kaki panjang Arial meski itu membuatnya sedikit kesulitan.

Sore itu keduanya pergi menyusul Ara dan Julian ke Bogor, di perjalanan Gita menenangkan Arial yang tampak gelisah memikirkan Adiknya itu. Gita juga membantu cowok itu untuk mengabari kedua orang tua Ara.

Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung menuju ruang rawat. Hanya ada Julian dan Sharen di depan ruang rawat Ara, namun begitu melihat Arial dan Gita datang. Sharen pamit kembali ke vila oleh Julian. Sedangkan Julian menjelaskan kenapa asma Ara bisa kembali kambuh hingga masuk rumah sakit.

“Sebenarnya ada apa sih, Jul? Kemarin Ara masih baik-baik aja loh, apa vila nya kotor banget? Atau dia kecapekan?” cecar Arial.

Sebelum menjelaskan ada apa dengan Ara, Julian melirik Gita sebentar. Dia mau ceritain penyebab asma Ara kambuh tapi ada rasa sungkan dengan Gita, pasalnya ini menyangkut Kakak sepupunya Gita itu.

Gita yang paham dengan gerak gerik Julian itu akhirnya memutuskan untuk menjenguk Ara lebih dulu, Gita cuma mikir mungkin hal yang ingin Julian bicarakan benar-benar hal yang privacy tentang Ara.

“Ril, Jul. Gue masuk lihat Ara dulu yah, kalian ngobrol dulu aja.” ucap Gita yang di beri anggukan kecil oleh Arial.

Belum sempat menutup pintu ruang rawat Ara dengan rapat, samar-samar Gita mendengar obrolan antara Julian dan Arial di depan pintu sana.

“Sebenarnya asma nya Ara kambuh bukan karena kecapekan, Mas. Malamnya Ara nangis, dia kelihatan tertekan banget. Ini salah satu pemicunya menurut Dokter, Ara stress banget makanya asma nya bisa kambuh,” jelas Julian.

“Bentar, nangis? Kenapa?” tanya Arial heran.

“Ara putus sama pacarnya, Bang. Gue juga gak paham kenapa bisa sampai putus, dia cuma bilang kalau dia putus. Gue udah berusaha tenangin dan temenin dia, cuma kayanya Ara benar-benar sedih makanya asma nya bisa sampe kambuh.”

Arial mengepal tangannya kencang, jadi Yuno adalah penyebab Adiknya bisa sampai masuk rumah sakit. Jika Yuno berada di Indonesia sekarang, mungkin Arial sudah menghampiri cowok itu dan menghajarnya sebagai hukuman karena berani menyakiti Adiknya.

Sementara itu Gita yang mendengar percakapan dua laki-laki itu. Jadi kepikiran sama Kakaknya itu, ponsel Yuno sudah aktif. Namun cowok itu belum menghubungi Gita sama sekali, mungkin setelah kembali dari rumah sakit. Gita akan segera mengabari Yuno dan menanyakan apa benar yang di katakan Julian.


“Makan sedikit yah, Kak?”

Makan malam Ara sudah datang sejak 1 jam yang lalu, namun gadis itu urung makan juga. Ara bilang perutnya tidak lapar dan mulutnya terasa pahit, gadis itu masih melamun dan sesekali memeriksa ponselnya.

Berharap Yuno menghubunginya, meminta maaf dan mengatakan jika cowok itu tidak ingin berpisah dengannya. Yah, Ara harap itu akan terjadi. Namun nyatanya cowok itu tidak mengirimkan pesan apapun padanya.

“Bunda bawain abon sapi kesukaan Kakak. Makan sedikit aja yah?” ucap Bunda sekali lagi.

“Atau mau Mas Iyal beliin nasi padang?” sambar Arial yang duduk di sofa ruang rawat Ara.

Julian sudah kembali ke vila untuk mengambil barang-barang miliknya dan juga Ara, setelah itu ia akan kembali ke rumah sakit. Julian enggak ikut kembali ke Bandung bersama anak HIMA yang lain. Dia bilang mau kembali ke Bandung bersama Arial saja.

Ara yang masih kesal lihat Arial itu cuma melirik Kakak sepupunya saja dengan sinis, kemudian membalikkan badannya menghadap ke arah jendela.

“Kakak mau makan apa sih, Kak?” tanya Bunda, wanita itu mengusap punggung putrinya itu penuh kasih sayang. Sudah lama rasanya Ara tidak merajuk seperti ini waktu sakit, ini untuk pertama kalinya lagi Ara di rawat karena asma nya sejak terakhir kali gadis itu masuk rumah sakit.

Sudah lama sekali, waktu itu Ara masih SD. 10 hari gadis itu di rawat karena asma yang di deritanya kambuh akibat Ara mengikuti perkemahan. Sejak itu, Asma nya enggak pernah kambuh lagi. Bunda sempat berpikir jika Ara sudah sembuh. Namun nyatanya asma nya kembali kambuh saat gadis itu berada di bangku kuliah.

“Bun?”

“Ya, Kak?”

“Papa kemana?” tanya Ara.

“Papa di rumah, Nak. Papa nemenin Reno soalnya Reno kan lagi ujian, sayang.”

Setelah itu tidak ada sahutan lagi dari bibir Ara, gadis itu malah tertidur dengan membelakangi Bunda dan juga Arial. Melihat Ara sudah tertidur pulas, akhirnya Bunda dan Arial bicara mengenai Ara di luar ruang rawat gadis itu.

Sejak Bunda datang, Arial belum cerita apa-apa kenapa Ara sampai bisa masuk rumah sakit. Arial juga sempat mengantar Gita kembali ke kosan, sampai akhirnya Arial kembali lagi ke Bogor.

“Sebenarnya ada apa sih, Ril?” tanya Bunda pada Arial.

“Iyal juga bingung, Bun. Ara emang izin kalau mau ada acara sama anak-anak HIMA di Bogor. Waktu pergi juga kelihatan baik-baik aja, walau waktu itu sempat kambuh. Iyal awalnya ragu mau izinin Ara pergi, tapi Ara ngotot karna dia bilang acara HIMA ini penting banget buat dia,” jelas Arial.

Bunda mengangguk, masih berusaha mendengarkan penjelasan Arial di sebelahnya. Bunda lega Arial benar-benar menjaga Adik sepupunya itu.

“Terus, kemarin tiba-tiba Ijul telfon Iyal dan bilang Ara di rawat karna asma nya kambuh.”

“Mungkin Ara kecapekan yah, Yal. Dia masih kaget ikut organisasi dan masih beradaptasi sama hectic nya kuliah.”

“Mungkin juga karena itu, Bun. Tapi sebenarnya ada faktor lain juga.” Arial ragu ingin mengatakan hal ini pada Bunda, apalagi kalau sampai Bunda nanya-nanya ke Ara soal Yuno. Arial pasti bisa semakin di amuk sama Ara.

“Bun, sebenarnya. Ada hal lain juga, tapi Iyal takut Ara marah kalau Iyal bilang ini ke Bunda.”

“Ada apa sih, Yal?” Bunda mengerutkan keningnya bingung.

Arial menghela nafasnya pelan, berusaha meyakinkan diri jika pilihannya untuk bercerita mengenai hubungan Ara dan Yuno pada Bunda adalah yang terbaik. Toh Arial yakin, Bunda bukan tipikal orang tua yang kolot yang akan melabrak anak orang lain perkara hal ini.

“Ara sama Yuno putus, Bun. Mungkin Ara jadi stress sampai asma nya kambuh karena ini juga,” ucap Iyal pada akhirnya.

“Mereka putus?”

Arial mengangguk, “Ara juga belum cerita kenapa, Iyal tau ini juga dari Ijul. Tapi Bunda gak usah tanya-tanya hal ini ke Ara yah, Bun.”

Bunda mengangguk pelan, “iya, Yal. Bunda gak tanya-tanya hal ini kalau Ara enggak cerita.”

Arial lega dengarnya, cowok itu tersenyum. Meski rasanya ia geram dan ingin menghubungi Yuno setelah ini. selama ini Arial sudah percaya jika Yuno tidak akan menyakiti adiknya itu. Tapi nyatanya kepercayaan yang Arial berikan pada Yuno itu justru Yuno patahkan begitu saja.

Walau jauh, Arial akan tetap buat perhitungan dengan cowok itu.

“Yal?” panggil Bunda memecahkan keheningan.

“Ya, Bun?”

“Kamu masih komunikasi sama Mama, nak?” tanya Bunda yang membuat Arial terdiam. Mama nya, wanita yang selama ini selalu mengabaikan Arial, Mama yang lebih mementingkan karir dan pekerjaan nya ketimbang anaknya sendiri.

“Mama masih suka telfon Iyal, Bun. Tapi kadang gak Iyal angkat,” ucap Arial jujur. Dia masih marah karena terakhir kali Mama ingkar janji pada Arial untuk datang sewaktu acara wisuda Arial di SMA. Waktu itu Arial ingin sekali Mama datang dan tahu jika Arial adalah murid dengan nilai ujian nasional terbaik di sekolah.

“Kenapa, Nak?” tanya Bunda.

“Gapapa, Bun. Bingung juga mau ngobrol apa sama Mama.”

“Dua hari yang lalu, Mama datang ke rumah Bunda. Nanyain kabarmu, Mama bilang kalau kamu pulang ke Jakarta. Tolong kabari Mama, Yal.”

“Pulang kemana, Bun? Iyal aja gak ngerasa punya rumah sungguhan di Jakarta,” ucap Arial meringis.

Sejak menjadi hal yang selalu di perebutkan oleh Mama dan Papa nya, Bunda dan Papa nya Ara memutuskan untuk menyuruh Arial tinggal di rumah mereka. Mereka gak ingin Arial tertekan karena terus merasa di perebutkan, sejak itu Arial enggak merasa punya rumah lagi.

Walau kedua orang tua Ara bisa menjadi peran orang tua baginya, tapi tetap saja Arial masih merasa haus kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya.

seminggu yang lalu

Drrtt...

Drrtt...

Yuno mengerjabkan matanya, cahaya matahari pagi sudah masuk menelisik dari balik kordennya. Serta bunyi getar pada benda persegi panjang yang ia taruh di nakas samping ranjangnya berada, mengucek matanya yang masih terasa pedih. Tangan Yuno meraba nakas itu, mencari ponselnya yang masih bunyi karena telfon dari seseorang.

Keningnya berkerut, berusaha fokus pada nama seseorang yang memanggil ke ponselnya.

“Rosalie?” gumamnya. Yuno akhirnya mengangkat telfon itu, mendengarkan si penelpon bicara padanya. Sampai akhirnya ia seperti di paksa untuk sadar sepenuhnya dari tidur.

Kedua mata Yuno membulat, tanpa memperdulikan dirinya yang belum mandi pagi atau sekedar berganti baju. Yuno buru-buru bangun dari ranjangnya, menyambar jaket yang ia taruh di balik pintu kemudian berlari keluar apartemen nya.

Yuno, ini aku Rosalie. Maaf harus menelfonmu sepagi ini, aku hanya ingin memberi tahu kalau Ann kecelakaan pagi ini. Dia di tabrak mobil saat keluar dari stasiun, polisi sudah membawanya ke rumah sakit. Namun sayangnya nyawa Ann tidak tertolong, dia meninggal saat di bawa ke rumah sakit.

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Yuno, dia ada di dalam taksi menuju stasiun. Yuno akan segera ke Berlin untuk menemui Ann, ah tidak. Ia akan memberikan penghormatan terakhir pada gadis itu sebelum jasad nya akan di terbangkan ke Indonesia.

Di dalam taksi, Yuno berusaha menelfon Josep namun panggilannya itu tidak membuahkan hasil karena Josep tidak mengangkatnya. Jarak antara Heidelberg dan Berlin begitu terasa lebih lama bagi Yuno, sesampainya di Berlin pun Yuno langsung menuju rumah sakit tempat jasad Ann berada.

Di sana ada Josep, Rosalie kedua orang tua Ann dan teman-teman Ann di kampusnya. Yuno langsung menghampiri Rosalie dan Josep lebih dulu.

Rose, ini semua bohong kan? Ann masih ketemu sama gue sebelum dia pulang ke Berlin. Dia bahkan masih baik-baik aja, kami juga rayain ulang tahunnya bareng!” ucap Yuno penuh dengan frustasi.

Yuno, gue tau ini bikin lo kaget banget. Kita semua juga sama terpukulnya, tapi Ann benar-benar udah gak ada, No.” ucap Josep.

Wajah Yuno memerah, ia rasanya ingin menangis. Mengingat pertemuan terakhirnya dengan Ann yang mungkin membuat gadis itu merasa sedih dan sakit, Yuno enggak tahu kalau itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Ann.

Jika Yuno tahu ia tidak akan bisa melihat Ann lagi, Yuno akan memberikan pelukan perpisahan untuk gadis itu saat ia pergi. Tapi nyatanya? Yuno menolak permintaan terakhir Ann itu.

Di sebelah Josep, Rosalie mengeluarkan sebuah kotak yang ada di tas miliknya. Kotak dengan pita berwarna biru itu ia berikan pada Yuno.

ini apa?” tanya Yuno bingung.

hadiah dari Ann yang belum sempat dia kasih ke kamu, No.” jawab Rosalie.

Yuno mengambil kotak itu tanpa sempat ia buka dahulu, di rumah sakit ia sempat meminta izin pada keluarga Ann untuk melihat jasad Ann yang terakhir kalinya. Ia juga ingin memastikan jika ini semua bukan mimpi.

Begitu peti jenazahnya di buka, Yuno benar-benar luruh. Yang berada di dalam sana benar-benar Ann yang sudah kaku dan pucat, sahabatnya itu benar-benar meninggalkannya tanpa ucapan perpisahan apapun itu.

Setelah hari itu, Yuno terus merasa bersalah karena mungkin penolakannya sudah menyakiti Ann. Bahkan saking merasa bersalahnya, setiap malam Yuno harus bertarung dengan kaleng-kaleng beer hingga kepalanya berdenyut nyeri dan ia baru bisa tertidur.

Jadwal kuliah yang semula tertata rapih seperti apartemennya itu kini berantakan, Yuno berhari-hari izin untuk tidak masuk kuliah. Bahkan cowok itu juga enggak menyalakan ponselnya sama sekali agar tidak ada yang bisa mengganggunya.

Sampai ada hari dimana ia memberanikan diri untuk membuka kotak pemberian dari Ann. Itu adalah sebuah Stetoskop yang Ann pesan sendiri, ada inisial nama Yuno di bagian Bell nya, tubingnya berwarna biru muda dengan tag nama Yuno serta gelarnya sebagai seorang dokter kelak.

Tidak ada surat atau apapun itu di dalamnya, namun benda itu berhasil membuat pertahanan Yuno kembali tumbang. Ia menangis memeluk benda itu, Yuno benar-benar merasa bersalah pada Ann.

Saat itu yang ada di kepala Yuno hanya kata seandainya, seperti. Seandainya hari itu ia menahan Ann untuk tetap tinggal hingga keesokan harinya, apa Ann akan tetap hidup? Atau seandainya ia mengantar Ann sampai Berlin. Apakah saat ini Ann masih ada bersamanya?

Atau opsi seandainya terakhir, apa akhirnya akan tetap ada penyesalan jika di stasiun saat itu ia membiarkan Ann memeluknya?

Setelah puas menangis, Yuno akhirnya menyalakan ponselnya ia harus segera berdamai pada keadaan. Kepergian Ann memang sangat memukulnya, tapi walaupun begitu hidupnya harus tetap berjalan bukan?

Ada sederet panggilan tak terjawab masuk di ponsel Yuno dan beberapa pesan singkat yang belum sempat ia baca, namun nama Ara dulu lah yang menjadi tujuan pertamanya sebagai seseorang yang ingin ia hubungi.

Yuno pikir, saat itu ia mungkin bisa mendapatkan kekuatan dari Ara. Yup, gadis yang selalu ada untuknya di saat Yuno merasa sendiri dan kehilangan arah.

Saat Ara mengakat panggilan darinya, Yuno tersenyum. Ia lega walau wajah gadisnya di sebrang sana terlihat tidak bersahabat, Yuno paham. Ara pasti marah karena ia sudah menghilang berhari-hari.

“Kamu lagi dimana?” Yuno ngerasa Ara bukan lagi di kosan hari itu, suasana nya agak sedikit berbeda. Meski belum pernah mengunjungi kosan Ara di Bandung, tapi Yuno hapal betul warna dinding dan interior nya. Ara pernah membuatkan video room tour untuk Yuno, Gita juga pernah memamerkan setiap sudut ruangan kosannya pada Yuno waktu mereka melakukan face time.

Lagi di puncak,” jawab Ara ketus.

“Acara apa sayang?”

“HIMA.”

Yuno gak pernah tahu kalau Ara bergabung ke HIMA, Ara juga enggak pernah cerita hal ini. Yuno sadar, semenjak masuk kuliah Ara memang enggak pernah cerita kesehariannya lagi termasuk hal-hal yang akan ia ikuti berbeda saat dulu gadis itu masih SMA. Ara selalu terbuka, selalu meminta pendapat Yuno dahulu. Tapi Yuno gak mau mempersalahkan hal-hal seperti itu.

Namun Yuno senang mendengarnya, itu artinya Ara menepati janjinya untuk aktif di organisasi kampus.

“Sayang, maaf yah aku baru bisa ngabarin kamu.”

Gapapa, Kak. Aku juga udah terbiasa tanpa kabar dari kamu, gak perlu merasa bersalah.

Kata-kata Ara itu berhasil membuat hati Yuno mencelos. Gadisnya benar-benar marah, Yuno bisa terima hal itu karena ia benar-benar kelewatan. Tapi Yuno punya alasan kenapa ia menghilang berhari-hari, dan ia rasa Ara perlu tahu hal ini agar gadis itu tidak salah paham.

“Ra, aku bisa jelasin kenapa aku ngilang beberapa hari ini.”

Gak usah, Kak. Gak penting juga, udah berlalu juga kan? Aku juga udah tau kamu kemana sampe HP kamu gak aktif berhari-hari.

Jadi Ara sudah tahu? Siapa yang memberi tahu Ara? Apa Josep yang memberi tahunya? Yang Yuno tahu, Josep memang lumayan dekat dengan Ara. Cowok itu juga mengikuti akun sosial media milik gadisnya itu, apa mungkin Ara tahu kabar nya dari Josep?

“Kamu udah tau?” tanya Yuno.

Ara mengangguk, “aku juga udah tau jepit rambut siapa yang ada di kamar tamu kamu, aku udah tahu semua.

Jepit rambut? Yuno mengerutkan keningnya. Seingatnya tidak ada jepit rambut di kamar tamunya, saat Ara sudah pulang ke Indonesia. Yuno sempat membenahi kamar tamunya dan tidak ia dapati jepit rambut milik siapapun disana.

“Jepit rambut? Maksud kamu apa sih, Ra? Aku gak ngerti.”

Gak ngerti?” Ara terlihat tertawa hambar di sebrang sana. “Aku kelihatan kaya orang bodoh banget yah, Kak? Atau aku aja yang emang bodoh banget percaya aja sama kamu?

Yuno menghela nafasnya kasar, kepalanya sudah berdenyut nyeri akibat beer yang ia tenggak tadi. Dan sekarang di saat ia ingin mendapatkan kekuatan dari Ara, gadis itu justru mengajaknya berdebat.

“Ra, kamu tuh ngomong apa sih sebenernya? Jepit rambut apa?”

Kamu selingkuh sama cewek lain kan?” ucap Ara yang membuat Yuno membulatkan kedua matanya, sungguh. Kalimat itu enggak pernah terbayangkan di kepala Yuno jika Ara akan mengatakannya. Bagaimana bisa gadis itu menuduhnya selingkuh jika di hidupnya Yuno baru bisa jatuh cinta ketika bertemu dengannya.

“Apa kamu bilang? Selingkuh?” Yuno menggeleng. “Kamu kok bisa mikir aku kaya gitu, Ra?”

Kalo kamu udah gak sayang sama aku, Kak. Gak perlu jadi pengecut ngilang gak ada kabar berhari-hari kaya gini, kamu harusnya jujur ke aku biar aku enggak jadi orang tolol yang setiap hari nungguin kabar kamu.

Yuno naik pitam rasanya, namun sebisa mungkin ia meredam emosinya. Dia gak mau emosinya sesaat membuat hubunganya dengan Ara semakin kacau.

“Ra, pengecut apa sih? Aku ngilang berhari-hari karena ada kejadian gak enak nimpa aku, kamu tau gak apa?” Yuno tidak sengaja menaikan nada bicaranya, emosi yang ia pendam itu kelepasan juga. Namun Yuno buru-buru menyadari itu.

“Sayang, maaf aku gak bermaksud bentak kamu.” lanjutnya.

Kejadian gak enak apa kalo nyatanya kamu kelihatan nikmatin itu semua! Kamu nikmatin jalan sama cewek itu kan? Kamu pikir aku bodoh? Kamu jalan sama Ann kan?

Ann? Dari mana Ara tahu? Bahkan Yuno belum sempat mengabari Ara jika hari itu ia memang bertemu dengan Ann, begitu sampai apartemennya. Yuno langsung menyelesaikan tugas kuliahnya hingga ia ketiduran, kalau begitu Ara tahu dari mana? Pikir Yuno.

“Kamu tau dari mana?”

Kamu gak perlu tau, Kak. Aku tau dari mana,” di sebrang sana Ara menangis, matanya memerah dan nada suaranya bergetar. Yuno sungguh gak pernah terpikirkan hubunganya akan sampai di tahap bertengkar hebat seperti ini.

aku capek, Kak. Aku gak kuat kaya gini terus.

“Sayang, aku bisa jelasin semua—”

aku mau putus, Kak.

Saat Yuno berusaha untuk meluruskan semuanya, Ara justru mengeluarkan kalimat yang sangat tidak ingin Yuno dengar. Sungguh, hatinya sakit. Seperti luka menganga di sana kembali di sayat semakin lebar.

Ara masih menangis di sebrang sana, dan itu membuat hati Yuno semakin sadar jika ia telah gagal untuk membahagiakan orang yang paling ia sayangi. Saat itu, di pikiran Yuno hanya Ia tidak ingin melihat Ara semakin sedih dan tersakiti karena dirinya.

Jika benar Ara sudah tidak kuat dengannya lagi, apa ini saat nya ia mundur? Ia tidak ingin menahan gadis itu yang justru semakin menyiksanya, jika melepaskan adalah cara terbaik. Meski sakit, Yuno akan tetap melakukannya.

“Yaudah kalau itu yang kamu mau, Ra. Maafin aku, maaf karena udah brengsek sampai bikin kamu sakit.” ucap Yuno, hanya itu yang bisa ia sampaikan sebelum ia memutuskan sepihak panggilan itu.

Setelah panggilan itu terputus, Yuno melempar ponselnya ke sofa dan melempar semua kaleng beer ke sembarang arah hingga isinya berserakan. Yuno menangis di sana hingga memukuli dadanya yang terasa sakit.

“Brengsek lo, No. Brengsekkk!!” teriak Yuno.

Hari ini Ara dan Julian berada di Bogor dalam rangka acara HIMA PSI, hanya semalam saja dan besok siangnya mereka sudah kembali ke Bandung. Sampai saat ini Yuno belum juga mengabari Ara, ponselnya pun masih belum aktif.

Soal Ara dan kekecewaannya pada Arial, gadis itu juga belum mengajak Arial bicara. Ya selain karena masih dongkol dengan Kakak nya itu, akhir-akhir ini Ara juga sibuk dengan kegiatannya di kampus dan juga di HIMA.

Gadis itu sengaja menyibukkan dirinya agar tidak memikirkan Yuno, tapi walaupun begitu Ara enggak bisa membohongi jika ia masih sangat mengkhawatirkan cowok itu. Berharap Yuno akan segera menelfonnya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

sebenarnya terjadi? apa yang kemarin belum cukup jelas? Pikir Ara.

“nah buat lo Ra, lo dapet bagian Subdivisi Eksternal. Lo bisa handle sendiri kan? Atau mau berdua? Tapi gue gak akan kasih partner lo kating. Lo sama Sharen aja gimana jalanin proker ini?” tanya Agung selaku Kadep Humas.

Ara menarik nafasnya pelan, semua di divisi Humas dapat partner Kakak Tingkat, tapi kenapa hanya dirinya yang menjalani program kerja ini bersama teman seangkatannya? Pikir Ara.

punten A, aku kan masih maba. Kalo aku gak bisa handle dan proker Eksternal nya gak jalan gimana? Mana aku juga bakalan banyak keluar buat ketemu sama FKHMPI. Belum ada pengalaman bangun relasi sebesar itu kayanya, A.” Ara sedikit meragukan kemampuannya, di SMA dulu. Dia gak aktif di OSIS. Ara cuma ikut paduan suara saja, makanya HIMA ini adalah organisasi pertamannya.

“lo bisa tanya gue, Teh Chika, Teh Ilra Humas banyak orangnya, Ra. masa baru gue suruh handle 1 proker aja lo udah nyerah? Lo join Hima di approach sama Kang Damar kan? Itu artinya lo ada potensi disini. Kang Damar gak asal comot orang aja buat join disini,” jelas Agung tegas. Meski kelihatan bingung. Agung yakin Ara cuma perlu meyakinkan dirinya. Agung memang terkenal tegas, semua tugas yang dia bagi pada anggotanya sudah ia pikirkan matang-matang dengan melihat kemampuan anggotanya lebih dulu.

Ara akhirnya mengangguk, meski dalam hati ia sudah menyumpah serapahi Agung. Dia juga gak punya power buat nolak, dia gak mau di bilang manja atau gak punya potensi di HIMA.

“Iya, A. Paham.”

“Kalo lo butuh bantuan gue, nanti gue bantuin.” bisik Julian yang duduk di sebelah Ara. “Bilang aja.”

Mereka sedang rapat di ruang tengah Villa, posisinya melingkar dan Julian berada tepat di sisi kanan Ara, sementara Sharen ada di sisi kiri dan di sebelahnya ada Jonas. Yup, mereka sering banget berempat sampai kadang-kadang di juluki rantang saking seringnya terlihat bersama.

“Dia keknya emang numbalin gue dari awal gue join di Humas. Kemarin aja waktu raker di rumahnya Sharen. Dia nyuruh gue buat bantu kating Humas yang lain bikin upgrade Proker Humas. Dia kan tau gue maba,” keluh Ara sembari melirik ke arah Agung yang sedang menjelaskan proker ke anggota HIMA yang lain.

Ara sama sekali gak nyangka bergabung di HIMA akan seberat ini, tau gitu dia bisa tanya sama Arial dulu kan? Tapi mau gimana lagi. Dia sudah kepalang berjalan di kubangan, jadi mau tidak mau dia harus menceburkan diri saja sekalian.

“Nanti gue bantuin, lagian Teh Ilra juga asik kok anaknya. Dia pasti mau bantuin lo,” Julian mengusap bahu Ara, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak kesal lagi.

Guys, selesai makan malam. Kita kumpul di lapangan yah, ada acara api unggun dan pembacaan aturan di HIMA.” teriak Teressa. Teressa ini adalah Wakil ketua Himpunan.

Malam itu, Ara enggak banyak makan kaya yang lain. Bukan karena dia lagi diet juga, dia cuma kepikiran sama prokernya aja dan juga hubunganya dengan Yuno, begitu kumpul di api unggun pun Ara sampai lupa enggak bawa jaketnya yang dia taruh di kamar. Alhasil dia kedinginan dan cuma bisa mengandalkan api unggun yang berada di tengah-tengah.

“Jaket lo mana, Ra?” tanya Sharen.

“Ketinggalan,” bisik Ara. Dia duduk deketin Sharen supaya bisa masukin tangannya ke saku jaket gadis itu.

Tapi gak lama kemudian, seseorang menaruh jaket tepat di kedua bahu Ara dan memakaikan gadis itu kupluk. Ara yang kaget cuma bisa membalikan badannya ke belakang, ternyata itu Julian. Begitu sudah menaruh jaket miliknya ke Ara, cowok itu kembali ke tempat duduknya bersama Jonas dan juga anggota divisi keuangan yang lain.

“Ijul tuh perhatian banget gak sih?” bisik Sharen.

“Dia emang baik, Ren.”

“Ihhhh, bego ah. Dia tuh naksir sama lo tau, Ra. Masa lo gak nyadar?”

“Na..naksir?” Ara mengerutkan keningnya bingung.

Sharen mengangguk, “nih yah dengerin. Cowok kalo perhatiannya udah sampe kaya gitu tuh udah pasti naksir. Lo inget gak Ijul di hukum gara-gara gak pake gesper?”

Ara mengangguk, bagaimana dia bisa lupa hal itu. Julian telah menyelamatkannya dari hukuman saat OSPEK. “Tapi itu kan—”

“Sssttt dengerin gue dulu,” sela Sharen. “Terus waktu asma lo kambuh? Ijul rela gak ikut kuis biospychology demi anterin lo ke klinik. Dia juga yang gendong elo sepanjang lorong fakultas terus sampe ke klinik kampus yang adanya deket FEB. Lo tau kan itu lumayan jauh dari gedung fakultas kita?”

Ara terdiam, dia gak pernah kepikiran kalau Julian menyukainya. Dia cuma selalu mikir Julian baik ke semua orang, gak cuma ke dirinya aja. Ara yang mendengar penjelasan Sharen itu memperhatikan Julian dari jauh.

Telat ia sadari, peran-peran menemani dan menjaganya kini di isi oleh Julian. Cowok itu selalu ada di saat Ara membutuhkannya, kenapa ia bisa setidak sadar itu? Tapi apa benar semua perlakuan baik Julian di dasari dengan perasaan suka? Buka semata-mata karena Julian memang menganggap Ara adalah sahabatnya? Pikir Ara.

Selama pembacaan peraturan yang ada di HIMA, pikiran Ara benar-benar melayang. Bercabang memikirkan banyak hal hingga kepalanya sedikit berdenyut, pembacaan peraturan di HIMA sudah selesai. Kini semua anggota HIMA sedang menikmati api unggun sembari bernyanyi bersama di lapangan.

Namun Ara justru menyingkir dari sana, dia berjalan ke arah kolam renang karena tiba-tiba saja Yuno menelfonnya. Jujur, Ara lega cowok itu mengabarinya. Tapi perasaan sedih sekaligus kecewa masih memenuhi hatinya.

Karena di rasa ia memang perlu bicara pada Yuno, akhirnya Ara mengangkat panggilan itu. Di sebrang sana, tampak wajah Yuno yang sedikit pucat dengan lingkar hitam di bawah matanya yang agak sedikit terlihat jelas. Namun, cowok itu masih menampakan senyumnya saat melihat wajah gadis yang ia rindukan itu.

kamu dimana?” tanyanya to the point.

“Lagi di puncak,” Ara menjawab sekena nya. Dia mau Yuno tahu kalau dia marah.

acara apa, sayang?

“HIMA.”

Yuno mengangguk, Yuno paham Ara marah. Terlihat dari raut wajah dan nada bicaranya. “sayang? Maaf yah aku baru bisa ngabarin kamu.

Di tempatnya Ara mendengus, permintaan maaf lagi? Dan Yuno akan terus mengulanginya lagi, menghilang tanpa kabar apa-apa hingga membuatnya bertanya-tanya sesibuk apa Yuno disana. “Gapapa, Kak. Aku juga udah terbiasa tanpa kabar dari kamu. Gak perlu merasa bersalah.”

Ra, aku bisa jelasin kenapa aku ngilang beberapa hari ini.

“Gak usah, Kak. Gak penting juga, udah berlalu juga kan? Aku juga udah tahu kamu kemana dan sama siapa sampe HP kamu gak aktif berhari-hari,” cecar Ara.

Meski bingung dengan ucapan Ara, Yuno rasa dia perlu bertanya, apa benar Ara tahu apa yang terjadi selama beberapa hari ini padanya? Tapi dari mana gadis itu bisa tahu? Pikir Yuno.

kamu udah tau?

Ara mengangguk, “aku juga udah tau jepit rambut siapa yang ada di kamar tamu kamu. Aku udah tau semua.”

Ara menahan dirinya sebisa mungkin untuk tidak menangis, sejujurnya ia tidak ingin membahas hal ini sekarang. Tapi entah kenapa kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutnya.

jepit rambut? Maksud kamu apa sih, Ra. Aku gak ngerti.

“Gak ngerti?” Ara terkekeh hambar. “Aku kelihatan kaya orang bodoh banget yah, Kak? Atau aku emang bodoh banget percaya aja sama kamu.”

Ra, apa sih. Kamu tuh ngomongin apa sebenernya? Jepit rambut apa?” Yuno gak tahu soal jepit rambut di kamar tamunya karena dia gak pernah sekalipun lihat jepit rambut itu. Setelah menemukan jepit rambut milik Ann, Ara juga membawa jepit rambut itu pulang ke Indonesia. Dia mau simpan itu sebagai barang bukti.

“Kamu selingkuh sama cewek lain kan?” ucap Ara pada akhirnya.

apa kamu bilang? Selingkuh?” pekik Yuno kaget. “kamu kok bisa mikir aku kaya gitu, Ra?

Yuno tahu banget Ara lagi marah sama dia karena sudah menghilang berhari-hari, walau enggak terima sama tuduhan gadis itu. Yuno berusaha buat kontrol emosinya sendiri, dia gak mau marah bikin semuanya jadi tambah kacau. Yuno selalu ingin menjadi air kalau gadisnya itu sedang menjadi api seperti ini.

“Kalo kamu udah gak sayang sama aku, Kak. Gak perlu jadi pengecut ngilang gak ada kabar berhari-hari kaya gini, kamu harusnya jujur ke aku biar aku gak jadi orang tolol yang setiap hari nungguin kabar kamu.”

Ra, pengecut apa sih? Aku ngilang berhari-hari karena ada kejadian yang gak enak nimpa aku. Kamu tau gak apa?” Yuno tidak sengaja kelepasan membentak Ara, sungguh ini untuk pertama kalinya mereka berantem hebat seperti ini sampai-sampai Yuno lepas kendali.

Ra, ak..aku minta maaf, aku gak bermaksud neriakin kamu kaya tadi.” Yuno sadar dia kelepasan.

“Kejadian gak enak apa kalo nyatanya kamu kelihatan nikmatin itu semua! Kamu nikmatin jalan sama cewek itu kan? Kamu pikir aku bodoh? Kamu jalan sama Ann kan?!” pekik Ara.

Jujur, Yuno kaget. Dia gak tau gimana Ara bisa tahu kalau dia memang jalan berdua bersama Ann, tapi apa dia bilang? Yuno menikmatinya? Ara bilang dia tahu semuanya, harusnya Ara juga tahu kalau beberapa hari ini Yuno di liputi perasaan bersalah pada Ann.

Karena setelah berpisah dengan Yuno di stasiun, keesokan paginya Yuno mendapat kabar dari Rosalie kalau Ann meninggal karena di tabrak mobil saat gadis itu hendak berjalan keluar dari stasiun.

kamu tau dari mana?

“Kamu gak perlu tau, Kak. Aku tau dari mana,” tangis yang Ara tahan akhirnya luruh juga, hatinya benar-benar sakit sekarang. Sedikit Ara kecewakan karena nampaknya Yuno tidak ada pembelaan sedikit pun atas semua ucapannya.

“Aku capek, Kak. Aku gak kuat kaya gini terus.”

Ra dengerin aku dul—

“Aku mau putus.”


“Lo liat Ara gak?”

“Tadi ke sana deh, tapi gatau lagi.”

“Yaudah, makasih yah.”

Sejak 15 menit yang lalu Julian nyariin Ara setelah dia gak lihat cewek itu lagi di lapangan atau di dalam villa, Sharen bilang juga Ara enggak sama dia sejak tadi.

“Jul!” panggil Jonas tiba-tiba, cowok itu sedang ada di gazebo bersama 2 orang lainnya. Jonas itu ngerokok, makannya dia sedikit menjauh dari anak-anak yang lain.

Karena Jonas memanggil, akhirnya Julian menghampiri cowok itu dulu. Siapa tahu Jonas ngelihat Ara, Julian udah coba hubungin ponsel gadis itu. Namun ponsel Ara sedang sibuk, gadis itu sepertinya memang sedang menelfon seseorang.

“Ngapain sih lu mondar mandir? Nyari siape?” tanya Jonas seraya menghisap satu batang rokok miliknya.

“Ara, lo liat dia gak?”

Jonas menawari Julian sebatang rokok miliknya, namun cowok itu menggeleng. Julian enggak merokok, Jonas tahu itu namun tetap saja menawari rokok saat sedang menghisapnya sudah menjadi kebiasaan tersendiri dari cowok itu.

“Kayanya tadi ke arah kolam renang deh, buru-buru juga kaya lagi nelfon, kenapa sih?” tanya Jonas.

“Gapapa.”

Julian menunduk, dia mau nyamperin Ara tapi niatnya ia urungkan karena Jonas bilang Ara seperti sedang menelfon seseorang. Mungkin 10 menit lagi jika Ara belum kunjung kelihatan juga, Julian akan menghampiri gadis itu untuk memastikan Ara baik-baik saja.

“Lo udah usaha lupain perasaan lo belum?” tanya Jonas, karena sejauh ini Julian seperti enggak berusaha buat melupakan perasaanya dengan Ara. Keduanya justru malah terlihat semakin dekat.

“Susah, Jon. Akhir-akhir ini dia lagi kelihatan banyak masalah banget.”

“Masalah?”

Julian mengangguk. “Lagian gue sama sekali gak ada niat buat ngerebut dia dari siapapun.”

“Kalo begini gue ngeri ujung-ujungnya lo yang sakit hati, nyet.

benarkah? tapi bagaimana cara melupakan perasaanya pada Ara? Dia gak ingin membohongi dirinya sendiri. Dia lah yang paling tahu perasaanya, dan ia menikmati perasaan menyukai gadis itu meskipun tidak berbalas. Julian sudah paham konsekuensinya, toh dia bisa mengendalikan rasa sakitnya sendiri.

“Kalo emang akhirnya gue sama Ara cuma di takdirin buat temenan. Yaudah gak masalah.”

“Yakin?”

Julian mengangguk mantap.

“kalo seandainya malam ini dia putus sama cowoknya gimana?” tanya Jonas yang berhasil membuat kedua mata Julian membulat.

“Maksud lo?” pekik Julian.

“Gue tadinya mau nyebat di kolam renang, tapi pas gue ke sana. Ada Ara lagi video call sama cowoknya, sambil nangis dan bilang cowoknya selingkuh. Pas gue mau pergi, gak sengaja tuh gue denger dia bilang mau putus.”

Sungguh, Julian kaget bukan main. Tanpa mendengarkan ucapan Jonas lagi, cowok itu berlari ke arah kolam renang. Dia punya firasat kalo Ara pasti sedang tidak baik-baik saja. Dan benar saja, begitu ia sampai di kolam renang. Ara sedang menangis di pinggirannya dengan sangat menyesakkan.

Gadis itu bahkan berjongkok sembari memeluk dirinya sendiri. Melihat pemandangan di depannya itu, Julian mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Dia marah bukan main jika penyebab Ara menangis seperti itu karena laki-laki bernama Aryuno.

Julian akhirnya mendekati Ara, ikut berjongkok di sebelahnya dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya sekali lagi. Merasa ada yang memeluknya dan mengenali aroma tubuhnya, Ara tahu kalau itu adalah Julian. Tangis gadis itu menjadi semakin menyesakkan disana.

“Gue.. Gue putus sama Kak Yuno, Jul.” ucapnya di sela-sela isak tangisnya sendiri.

Karena ucapan Chaka barusan, Gita jadi berpikir bagaimana hubungan Ara sama Yuno sebenarnya. Gita sama sekali gak ada niat ikut campur sama hubungan keduanya kok, dia cuma tiba-tiba kepikiran aja gimana kalo seandainya Yuno tahu Julian meluk Ara?

Gita tahu banget Yuno bukan tipekal cowok macam-macam dan genit, dia kenal sekali Kakak sepupunya itu. Maka dari itu Gita enggak ingin Yuno sakit hati. Entah lah, ini perasaanya saja atau memang ada sesuatu di antara Julian dan Ara. Keduanya memang dekat, tapi Gita pikir Ara hanya menganggap Julian temannya dan tidak lebih. Lalu, untuk apa Julian memeluk Ara?

“Hon?” panggil Kevin, keduanya dari tadi di depan TV lantai 1. Kevin dari tadi bicara soal film yang sedang mereka tonton puluhan kali itu namun tampaknya Gita sedang memikirkan hal lain sampai tidak menyimak ucapannya.

“Hon?” panggil Kevin sekali lagi, dan panggilan itu berhasil membuyarkan lamunannya.

“Ngagetin gue aja lo.”

“Lo mikirin apaan? Dari tadi gue ngomong juga malah ngalamun sendiri.”

“Gapapa, pikiran gue aja yang lagi ngelantur kayanya.” Gita pikir dia gak perlu cerita ke siapa-siapa dulu soal pikirannya ini, Gita mau nyari tahu dari Yuno dulu tentang hubungan keduanya.

“Dih, rahasia-rahasiaan sama gue nih?” Kevin menaikan sebelah alisnya, merasa Gita sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

Tapi sekali lagi Gita mikir, dia butuh sudut pandang lain juga soal kenapa Julian bisa meluk Ara? Ini baru dugaan Gita aja, tapi kayanya Julian memang menyukai Ara. Terlihat dari bagaimana cowok itu pertama kali datang ke kosan Abah. Cara menatap Julian ke Ara dengan ke Echa dan juga dirinya sendiri itu berbeda, atau ini hanya perasaanya saja?

“Kalo menurut lo nih yah, Kev. Ijul ngapain meluk-meluk Ara?” tanya Gita pada akhirnya, toh ini Kevin. Dia gak akan ngember kaya Januar kok, Gita percaya itu.

“Lo curiga sama Ara?”

“Ck,” Gita berdecak. “Jawab dulu aja.”

“Hhmm,” Kevin bergumam, seraya mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya itu. Dia gak lihat langsung, lagi pula peluk itu kan bisa menyiratkan banyak makna bukan?

“Kalo tadi Chaka bilang Ara nangis terus Julian meluk, bisa jadi sih ada sesuatu yang gak baik. Bisa jadi Julian cuma nenangin Ara aja? who knows,” Kevin menggedikan bahunya.

“Bisa jadi sih, tapi lo suka mikir gak sih kalau Ijul tuh ngasih perlakuan ke Ara beda?”

“Maksudnya?”

“Ya beda aja, kaya perhatian banget gitu.”

“Naksir maksud lo?”

Gita menaikan kedua bahunya, ya dia mikirnya gitu. Tapi Gita kan mau lihat pendapat Kevin juga.

“Yah kalo naksir itu hak dia gak sih? Lagian Ara juga kelihatan biasa aja ke Ijul.” jawab Kevin sekena nya, dia sendiri saja sudah pusing sama hubungannya. Boro-boro harus memperhatikan hubungan orang lain.

“Gue ngerasa hubungan Ara sama Kak Yuno kok kaya ada yang enggak beres yah?”

“Lo tuh kebanyakan overthinking, Hon.”

“Gue serius, Kev.”

Kevin menatap Gita, kali ini wajah gadis itu sedang mendadak serius. “Yaudah, coba lo tanya langsung aja ke Bang Yuno. Yah basa basi nanyain kabarnya kek, minggu ini juga lo belum telfon dia kan?”

Gita mengangguk, Kevin ada benarnya juga. Biasanya kalau Gita sibuk dan lupa mengabari Yuno, Yuno lah yang suka menelponnya duluan. Atau terkadang kalau sedang face time dengan Ara, Yuno suka minta di panggilkan Gita. Tapi akhir-akhir ini sepertinya Ara jarang melakukan face time dengan Yuno.

Gita akhirnya mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Yuno ke ponsel cowok itu. Namun ponselnya tidak aktif, beberapa kali dia mencoba melakukannya namun masih sama. Bahkan Gita juga mengirimi cowok itu pesan singkat untuk menelepon balik ketika sudah tidak sibuk.

“Kak Yuno HP nya gak aktif,” gumam Gita, dan itu menambah keresahan dirinya tentang apa yang sebenarnya terjadi.


Malam itu di atas motor Julian dengan terpaan angin yang menerpa wajahnya, Ara berusaha melupakan kesedihannya akan Yuno. Untuk kelanjutan hubungannya, Ara masih bimbang mau dia bawa kemana. Toh sampai saat ini Yuno masih belum menghubunginya lagi.

Sejak sore Ara dan Julian keliling Bandung, kemudian makan jagung bakar di dekat Ranca Upas. Lalu melanjutkan perjalanan lagi mengitari Bandung mencari makanan berat untuk mereka makan malam.

Julian sudah mengajak Ara untuk pulang, namun gadis itu masih enggan untuk pulang rasanya. Kalau masuk ke dalam kamar, dan sendiri dia takut teringat akan Yuno lagi.

“Ra?” Julian melirik Ara dari kaca spion nya yang tampak sedang melamun itu.

“Ra?” panggilnya sekali lagi, kali ini Julian sedikit menoleh. Dan mata keduanya bertemu.

“Mau kemana lagi kita, Buk?” tanya Julian.

“Gak tau, Pak. Kemana aja yang penting enggak pulang,” jawab Ara mengawang. Hidungnya sudah memerah karena dingin, tapi rasanya masih enggan untuk pulang. kepalanya akan berisik jika di tempat sepi.

“Kenapa sih gak mau pulang?”

“Gapapa, lagi bosen aja.”

“Masih sedih?”

Julian lagi-lagi melirik dari kaca spion, dan Ara hanya terdiam menunduk. Dan ia anggap itu sebagai jawaban. “Mau ke tempat gue biasa latihan gak?”

“Kemana?”

“Ikut aja yah.”

Karena sudah enggak tahu mau ngajak Ara kemana lagi, akhirnya Julian mengajak gadis itu ke Black Box. Yup, tempat tanding tinju ilegal. Dari Black Box akhirnya Julian bisa memperbaiki motornya tanpa harus meminta uang ke Ibu.

Dia juga bisa punya tabungan sendiri, bahkan Julian bilang ke Ibu kalau Ibu gak perlu mengiriminya uang lagi. Ya tapi walau begitu, Ibu tetap mengirimi Julian uang saku untuknya sehari-hari.

Motor yang Julian kendarai itu berhenti di sebuah minimarket, cowok itu membantu Ara melepaskan helm miliknya dan mengajaknya masuk ke dalam gang sempit, becek dan berpenerangan minim itu.

“Kita mau kemana sih, Jul?” tanya Ara, dia megangin kaus lengan panjang yang Julian pakai agar tidak terpeleset, jalananya agak licin.

“Ikut aja.”

“Lo gak ngajak gue ke tempat aneh-aneh kan?” walau dia tahu Julian gak mungkin aneh-aneh, tapi tetap aja Julian itu cowok. Wajar kan Ara mikir yang negatif kalau di ajak ke tempat sepi dan berada di gang sempit seperti ini? Ini instingnya sebagai perempuan.

“Emang muka gue tuh muka cowok mesum apa? Gue emang pernah ngambil celana tidur lo, tapi gue gak mesum yah.” ucap Julian tidak terima, dan Ara hanya terkekeh saja. Julian lucu kalau lagi marah.

Dan sampailah keduanya di Black Box, malam itu gedung tua itu agak sedikit sepi. Hanya ada beberapa petarung saja di sana yang sedang berlatih, bahkan Kang Ian saja sudah pulang dari sana.

Setelah menyuruh Ara menunggunya di bawah ring, Julian berganti baju sebentar kemudian kembali lagi. Dia akan melakukan latihan sebentar, seminggu lagi ia akan ada pertandingan dan bayaran nya bisa di bilang lumayan. Karena kali ini Julian minta 80% dari bayarannya jika biasanya ia hanya dapat setengahnya.

“Jul, lo tinju?” pekik Ara begitu melihat Julian di atas ring. Cowok itu hanya mengangguk saja.

Ara yang di buat kaget itu justru gak bisa berkata-kata lagi, gak nyangka muka Julian yang kalem kaya gitu ternyata bisa tinju juga. Dan saat cowok itu latihan, Ara semakin terperangah karena dimatanya Julian sangat keren.

Beberapa kali juga Julian di bantu oleh petinju lainnya untuk berlatih, dan mendapatkan pujian atas pukulannya. Setelah latihannya sudah selesai, cowok jangkung itu turun san menghampiri Ara yang masih terperangah di bawah ring.

“Jul?”

“Hm?” Julian yang lagi minum sembari menyeka keringatnya dengan handuk kecil itu melirik ke arah Ara.

“Ini tuh ilegal yah?”

Mendengar itu Julian menelan saliva nya mati-matian. Namun pada akhirnya cowok itu mengangguk, yah mau di sembunyikan pun rasanya Ara enggak sebodoh itu buat menafsirkan kalau gedung tua ini adalah area tinju ilegal.

“Gue enggak akan lama disini kok, sampai gue dapat part time aja.”

“Jadi ini alasan lo kadang suka memar-memar yah?” tebak Ara.

“Gue belum pernah kena tonjok di muka.”

Ara menunjuk tangan Julian, yup. Tangan cowok itu kerap kali memerah bahkan membiru yang dulu Ara pikir tanpa sebab, dan sekarang gadis itu tahu apa sebabnya.

“Iya, tapi gapapa lah.”

“Lo kan bisa nyari kerjaan lain, Jul.”

“Kepepet, Ra. Kemarin gue lagi butuh duit buat benerin motor.”

“Awas yah kalo gue liat setelah dapet part time lo masih tinju lagi.” ancam Ara, Julian temannya. Dia enggak ingin Julian kenapa-kenapa apalagi sampai kena cidera.

Julian yang mendengar itu hanya terkekeh pelan, “enggak akan.”

“Gak boleh sombong!”

Julian hanya menggeleng, dari samping dia memperhatikan wajah Ara yang sudah sedikit lebih cerah. Yah walau agak sedikit cemberut karena sepertinya Ara enggak setuju Julian ikut tinju ilegal.

“Masih sedih gak? Kita mau pulang?” tanya Julian.

“Udah enggak terlalu sih.”

“Pulang yah? Gue ganti baju dulu habis ini.”

“Jul?”

“Hm?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, kepalanya menunduk dengan tatapan mengarah pada sandal pink bergambar Patrick di ujungnya.

“Gue harus gimana sama hubungan gue yah, Jul?” kini Ara menatapnya lagi dengan pandangan nanar.

Julian yang di tanya begitu hanya bisa membuang nafasnya kasar, dia sadar bukan penasihat yang baik di dalam hubungan seseorang. Julian pun belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun.

“Lo masih sayang sama dia, Ra?”

Ara mengangguk, Ara masih sayang sekali dengan Yuno. Meski sudah di kecewakan dia sendiri bingung kenapa rasa sayangnya sama sekali enggak berkurang. “tapi rasanya kenapa lebih banyak gue yang sakit dan nunggu.”

“Sekarang gue tanya balik, apa lo masih kuat? Pertahanin kalo lo masih kuat, tapi sebaliknya, Ra. Kalo cuma ngerasa lebih banyak sakit lepasin. Jangan ngorbanin diri lo sendiri.”

Mendengar pertanyaan itu, Ara malah terdiam. Matanya menatap netra legam milik Julian yang kini juga tengah menatapnya dengan teduh, Ara berusaha mencari jawaban di kepalanya. Namun sekali lagi dia bertanya kepada dirinya sendiri, apa ia masih kuat jika Yuno masih terus seperti ini?

Sudah beberapa hari ini Ara nampak lebih diam dari biasanya, ah. Enggak, lebih tepatnya dia seperti sedang memusuhi Arial dan Gita. Ara masih dongkol karena Arial yang ia rasa banyak berubah semenjak mengenal Gita. Meski sudah berulang kali di ajak bicara, Ara masih enggan. Gadis itu lebih memilih bungkam dari pada harus bicara sama Kakak nya itu.

Seperti saat ini, waktu sedang mengerjakan tugasnya bersama Julian di meja makan lantai 1. Arial datang membawa nasi padang dengan lauk ayam bakar kesukaan Ara, Arial biasanya tahu itu cara ampuh untuk merayu Adiknya.

Namun kali ini rayuannya seperti tidak berjalan sebagaimana mestinya, Ara kembali mengacuhkannya dan malah mengajak Julian untuk belajar di balkon kamar cowok itu. Masa bodo dengan Arial yang menegurnya karena masuk kamar laki-laki, toh ini Julian temannya sendiri.

“Ra, itu lo di panggil Mas Ril.” Julian nyamperin Ara yang udah masuk ke balkon kamarnya duluan.

“Cuekin aja. Gue males sama dia, udah kita nugas disini aja. Gausah mikirin Mas Iyal gak penting dia.”

“Dosa loh, lo marah-marah mulu. Dia kan udah minta maaf.” Julian menasihati, Julian gak nyangka kalau gadis yang ia sukai itu akan sekeras kepala ini.

“Dia juga dosa gak nepatin janjinya, udah sini duduk ah. Mau nugas gak?” Ara yang mood nya lagi enggak bagus itu dalam beberapa hari ini ngasih tatapan mata yang tajam ke Julian, agak heran kadang Julian sama cewek-cewek di kosan. Mereka kelihatan imut-imut tapi kalau udah marah seramnya melebihi dedemit kosan.

Julian akhirnya pasrah duduk di depan gadis itu, dia mencoba fokus buat ngerjain bagian tugasnya lagi meski sesekali dia curi-curi pandang ke Ara. Yah buat mastiin aja kalau dia bukan target kengambekan gadis itu selanjutnya.

Keduanya mengerjakan tugas dalam diam, Julian yang konsentrasinya udah mulai kumpul lagi itu khidmat banget ngerjainnya, sementara Ara. Konsentrasi gadis itu masih terpecah belah, karna beberapa hari ini Yuno kembali menghilang.

Akhirnya Ara harus kembali memakai caranya sendiri untuk mendapatkan kabar dari cowok itu, seperti saat ini. Dia kembali memeriksa satu persatu akun sosial media milik teman-teman Yuno di kampus, tapi enggak ada tanda-tanda satupun Yuno sedang bersama mereka.

Gadis itu mendesah, mengigit bibir terdalamnya sendiri sampai akhirnya satu nama muncul di kepalanya. Ann, yup. Gadis itu, entah kenapa Ara kepikiran buat meriksa akun sosial media milik Ann. Awalnya tidak ada yang aneh dari sosial media milik Ann, sampai akhirnya Ara berinisiatif untuk memeriksa ikon sorotan di sana, yang gadis itu beri nama 'special day.'

Dari foto-foto di sorotan itu, awalnya enggak ada yang mencurigakan sampai akhirnya ia melihat ada satu foto yang membuat Ara terkejut. Postingan 3 hari yang lalu, saat Ara jatuh sakit karena asma nya yang kambuh. Hari itu adalah ulang tahun Ann, dan di foto itu ada Yuno yang sedang menikmati birthday cake dengan senyuman yang merekah di wajahnya.

Mereka merayakan hari itu berdua, bahkan Ann juga memotret Yuno beberapa kali. Sungguh, rasanya siang itu Ara seperti tersambar petir disiang bolong. Kecurigaannya pada Ann itu akhirnya terjawab, gadis itu benar-benar bersama pacarnya.

Apa ini alasan Yuno menghilang beberapa hari ini? Pikir Ara.

“Gue udah ngerjain yang bagian ini, tinggal di sambungin aja sama bagian lo—” ucapan Julian mengatung, dia mengerutkan keningnya bingung waktu lihat tiba-tiba Ara udah menangis sembari menekan tombol di MacBook nya dengan kasar.

“Ra?” panggil Julian.

“Brengsek!!” gumam Ara, dia menghapus air matanya dengan kesal.

Hal itu juga yang membuat Julian jadi bergeser untuk melihat apa yang tengah Ara lihat di MacBook nya. Awalnya Julian gak paham kedua pasangan itu siapa, sampai akhirnya Julian ingat kalau cowok yang ada di dalam foto itu adalah Aryuno. Pacarnya Ara, yup.

“Ra?” panggil Julian sekali lagi.

“Dia tuh ngilang udah 3 hari, Jul. Gak taunya sama cewek ini. Sialan banget kan!!”

Julian hanya diam, dia membiarkan Ara terus memeriksa satu persatu slide di foto itu sampai akhirnya Ara memukul MacBook nya sendiri karena kesal.

“Ra.. Ra.. Udah Ra..” Julian menghentikan aksi itu, ya apalagi karena takut Ara kelepasan dan takut MacBook gadis itu rusak juga.

“Udah cukup nyari taunya,” ucap Julian lagi.

“Gue kurang apa sih, Jul? Gue salah apa? Kenapa Kak Yuno bisa lakuin ini ke gue?” tangis Ara kembali pecah, tangan gadis itu bergetar. Sungguh rasanya Julian ingin sekali menghajar laki-laki bernama Aryuno itu.

“Lo nangis-nangis kaya gini juga gak merubah keadaan, Ra. Lo juga gak tau kan mereka kenapa bisa berdua kalau lo sendiri belum nanya ke dia langsung, semua asumsi di kepala lo itu belum tentu benar.” Julian berusaha mengingatkan Ara, dia gak mau Ara menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dan membuat skenario yang padahal belum tentu benar di kepalanya.

“Itu kurang jelas apa, Jul? Dia ngerayain ulang tahun cewek itu berdua! Berdua Jul. Di hari gue sakit, dia matiin HP nya supaya gue enggak ganggu. Dan sampe sekarang dia gak ngabarin gue apa-apa, Jul.”

Ara luruh, tangisnya semakin pecah apalagi saat Julian menarik gadis itu kedalam pelukannya. Ara semakin menangis menjadi-jadi disana, dan Julian yang sudah tidak menanggapi ucapan gadis itu lagi. Julian hanya memeluk Ara sembari mengusap-usap punggung gadis itu agar lebih tenang.

“IJUL LO PARAH BANGET—” pekik Chaka waktu gak sengaja memergoki Julian sama Ara pelukan, kebetulan balkon kamar Julian dan Chaka memang bersebelahan.

Tapi begitu melihat Ara yang masih menangis dan Julian yang memberi kode pada Chaka untuk menyingkir dari sana, Chaka akhirnya mengerti. Cowok itu menyingkir dari balkon.

Begitu di rasa sudah lebih baik, Julian melepaskan pelukkanya ke Ara. Dia menghapus jejak-jejak air mata di pipi gadis itu seperti anak kecil.

“Mau lanjutin tugasnya atau lo mau sendiri dulu?” tanya Julian.

“Jul?”

“Hm?”

“Boleh gak kalo kita lanjutin tugasnya besok aja?”

Julian mengangguk, dia gak masalah dengan itu. “Gapapa, lo mau gue anterin ke kamar?”

“Gue gak mau sendirian, Jul. Temenin gue yah. Gue gak mau kepikiran dia lagi.”

“Mau jalan sama gue? Kita beli apa gitu buat makan malam?”

Ara akhirnya mengangguk, dia pikir keluar sebentar mungkin bisa sedikit menenangkan hatinya. “Pinjam jaket lo yah? Gue lagi males ke atas.”

“Gue cari yah yang pas buat lo, sini ke dalam jangan disitu. Nanti demit dari kamar Chaka yang nemenin lo lagi,” Julian terkekeh, berusaha mengeluarkan guyonan yang agak garing itu demi menghibur Ara.

Sembari Julian mencari jaket yang pas untuk Ara, Ara berkeliling kamar Julian. Kamar cowok itu enggak banyak barang tambahan, Julian hanya menambah rak buku kecil yang dia taruh dekat lemari bajunya. Lemari berisi novel-novel, buku sejarah dan juga buku pelajaran.

Sampai akhirnya mata Ara tertuju ke foto-foto yang Julian taruh di dekat ranjang tidurnya, ada foto Julian, seorang wanita yang Ara pikir itu Ibu nya dan Adiknya?

“Ini Ibu sama Adek lo yah, Jul?” tebak Ara.

Julian menoleh sebentar, ia tersenyum. Sebelum akhirnya kembali mencari jaket miliknya yang bisa Ara kenakan. “Iya, itu Ibu gue sama Andra. Adek gue.”

Ara mengangguk-angguk, Julian dan Adiknya tampak sedikit berbeda. Andra ini lebih mirip Ibunya, sedangkan Julian mungkin mirip Ayahnya? Pikir Ara.

Pandangan gadis itu kemudian beralih ke foto laki-laki yang mengenakan seragam pilot, wajahnya seperti menyiratkan ketampanan di masa lalu. Wajah yang dominan Julian itu mungkin menggambarkan jika Julian sudah mulai berusia 35 tahunan nanti, yup. Ara pikir laki-laki itu berusia sekitar 35 tahunan.

“Kalo ini Ayah lo, Jul?” tanya Ara, dan Julian mengangguk.

“Iya, itu almarhum Bapak. Bapak itu pilot, Ra.”

“Pilot?”

Julian mengangguk. “Dulu gue kepengen banget jadi pilot kaya Bapak.”

“Terus kenapa gak jadi pilot? Kalo di lihat-lihat juga lo cocok lagi, Jul.”

Mendengar ucapan Ara itu, Julian meringis. Ia meremat jaket yang sudah ia cari untuk di berikan ke Ara itu.

“Sama Ibu gue enggak boleh, lagi pula. Gak ada pilot yang takut naik pesawat kan?”

“Lo takut naik pesawat? Kenapa?” Ara berjalan mendekat ke arah Julian dan duduk di sebelah cowok itu.

“Karena Bapak meninggal akibat kecelakaan pesawat, Ra. Laut meluk Bapak gue dan gak ngembaliin raganya lagi buat dikembalikan ke bumi.” jelas Julian yang membuat Ara mematung di tempatnya.


Malam itu Echa, Gita, Kevin, Chaka, Januar dan Arial makan malam di kosan bersama. Sebenarnya Arial enggak sengaja datang ke kosan Abah pas penghuninya lagi makan malam bersama, dia niatnya mau ngerayu Ara lagi tapi kali ini pakai tiramisu cake. Tapi Adiknya itu malah enggak ada di rumah.

“Ara sama Ijul kemane sih? Dari tadi enggak balik-balik buset,” celetuk Janu di sela-sela makannya.

Chaka yang tahu keduanya pergi bersama entah kemana itu hanya menggerakkan kedua bahunya, “gue cuma liat mereka pergi berdua. Tadi juga kayanya Ara sempet nangis deh, terus di peluk sama Ijul.”

Ucapan Chaka itu sontak membuat Gita, Arial, Echa, Kevin dan Januar itu menoleh ke arahnya. Seketika Chaka yang di tatap secara bersamaan oleh teman-temannya itu menghentikan makannya.

“Kenapa?” tanyanya heran.

“Ara? Nangis? Kok bisa Ijul meluk?” pekik Gita. Dia mikirnya kedua temannya itu memang dekat, tapi Gita gak sampe kepikiran Julian meluk-meluk Ara. Kenapa harus meluk? Kenapa Ara juga mau aja di peluk Julian? Pikir Gita.

“Duh, gue kagak tau. Orang pas gue kagetin si Ijul ngusir gue. Ara juga nangisnya kaya nyesek banget.”

“Lo serius, Ka?” tanya Arial.

“Ngapain sih gue bohong bang? Orang mereka pelukan di balkon.”

“Ijul kok bisa-bisanya meluk Ara sih?” gumam Echa.

“Ya mereka kan temenan.” jawab Janu, cowok itu jadi menoleh ke arah Echa pacarnya.

“Yah tapi Ijul kan tau Ara udah punya Kak Yuno, Nu.”

“Ya itu dia lagi nangis, kita juga kagak tau kenapa Ara bisa nangis. Kok elu jadi kaya nyudutin Ijul gitu sih?”

Kevin yang tahu arah pembicaraan Januar dan Echa yang udah kemana-mana itu akhirnya merelai. “Eh apaan sih udah-udah, kita gak ada yang tau disini Ara kenapa. Yang berhak nanya juga cuma Bang Ril disini, mendingan jangan pada bikin asumsi dah.”

“Yeee, gimana mau nanya ke Bang Ril. Ara aja masih ngambek sama Bang Ril.” celetuk Chaka lagi.

“Ngambek kenapa Ril?” tanya Gita. Dia enggak tahu kalau Kakak Beradik itu hubunganya sedang tidak baik-baik aja, sedari pulang rumah sakit. Gita belum ketemu Ara lagi. Dia juga baru malam ini makan di meja makan setelah kemarin-marin cuma bisa berbaring istirahat di kamarnya.

“Gapapa, udah gak usah di pikirin. Udah pada makan deh,” ucap Arial mengalihkan pembicaraan, dia pikir Gita enggak perlu tahu soal ini.

Dengan langkah terburu-buru Yuno lari menuju pintu keluar stasiun melewati padatnya orang yang berlalu lalang sepulang bekerja sore itu. hari ini setelah jam kuliahnya sudah berakhir, Yuno ada janji untuk bertemu dengan Ann, Ann bilang dia ada di Heidelberg karena urusan kuliahnya. Dan Ann bilang dia ingin bertemu Yuno sebentar karena harus ada yang gadis itu bicarakan dengannya.

Yuno berlari karena dia sudah telat 1 jam, ini semua karena dosen yang memintanya menjadi asistennya itu memberikan pekerjaan baru, Yuno sudah mengabari Ann jika ia akan datang terlambat. Tapi Yuno gak akan menyangka jika ia akan seterlambat ini.

Hari itu Heidelberg sudah turun salju, salju pertama di tahun ini. Dan udara semakin dingin hingga membuat kuping dan hidung Yuno memerah, matanya juga sedikit pedih karena terlalu kering. Yuno baru bisa bernafas sedikit lega ketika ia melihat Ann masih menunggunya setia di caffe dekat stasiun.

Gadis itu duduk di dekat jendela, menyesap coklat panas sembari membaca buku, entah buku apa yang tengah gadis itu baca, namun tampaknya buku itu mampu membuatnya bertahan menunggu Yuno. Tanpa memperdulikan nafasnya yang masih terengah-engah, Yuno langsung masuk ke dalam cafe itu dan menghampiri Ann.

sorry gue telat banget, Ann. Pasti lo udah lama banget yah nunggunya?” tanya Yuno, dia menaruh tas miliknya dan duduk di depan Ann. Sungguh rasanya tidak enak sekali membuat sahabatnya itu menunggu lama.

Gadis berambut blonde itu menggeleng, menyunggingkan senyumnya dan merasa lega begitu melihat Yuno akhirnya datang juga.

“Lumayan lah, tapi enggak papa sih. Gue juga masih balik besok, dan enggak BT juga karena sambil nugas dan baca buku.” Ann sama sekali enggak masalah menunggu Yuno selama itu, asal laki-laki itu tetap datang.

“Serius? Gue jadi enggak enak, gue traktir aja yah?”

“Serius?” Ann terkekeh, Yuno seperti terdengar sedang menyogoknya. Padahal Ann enggak keberatan apalagi marah karena sudah menunggunya lama.

“Iya serius, mau makan apa? Udah makan belum?” tanya Yuno tanpa melihat ke arah Ann, dia sibuk mengeluarkan ponsel dari sakunya dan sibuk mencari stop kontak yang biasanya ada di pojok, Namun sayangnya tidak ada stop kontak disana. “sia,” batin Yuno

“Gue belum makan, baru minum coklat panas. Lo mau pesan apa, No?”

Yang di tanya masih sibuk mencari stop kontak, Yuno sedikit mendesah ketika benda yang di carinya itu tidak ada. Dia ingin mengisi daya ponselnya, benda itu mati dan ia tidak bisa mengabari Ara jika ia tidak langsung pulang.

Melainkan bertemu dengan Ann dulu sebentar, Yuno udah berjanji akan selalu memberi kabar dengan gadisnya itu setiap memiliki waktu senggang, sesebentar apapun itu. Ia sudah berjanji ingin memperbaiki hubungan komunikasinya yang kemarin sempat renggang dengan kekasihnya itu.

“Lo cari apa sih, No?” karena tidak kunjung menjawab, akhirnya Ann bertanya pada Yuno apa yang sedang ia cari.

“Stop kontak, Ann. Gue mau ngcharge HP gue. Mati ini, gue mau ngabarin Ara kalau gue udah balik dari kampus dan lagi sama lo.”

Mendengar nama itu, senyum yang sedari tadi mengembang di wajah Ann jadi pudar. Yuno sejujur itu dengan pacarnya sampai-sampai bertemu dengannya saja Yuno harus memberi tahunnya, apa gadis itu sangat posesif Pikir Ann.

“Ya kan bisa nanti, No. Atau lo mau pakai power bank gue? Gue bawa kok.”

“Lo ada?” pekik Yuno, dia seperti tengah menemukan harta karun saking girangnya.

Ann mengangguk, dia mengambil power bank miliknya itu dan memberinya ke Yuno. Begitu daya ponselnya sudah terisi, barulah Yuno bisa fokus pada obrolan mereka. Mereka sempat bertukar kabar dan saling bercerita kehidupan mereka selama perkulihan, Ann juga cerita kalau dua hari yang lalu dia sempat hang out dengan Josep dan pacarnya.

Kehidupan perkuliahan Ann sangat lancar, dia memiliki teman yang baik di kampusnya. Ah, lagi pula gadis itu sangat supel. Ann pandai beradaptasi di lingkungan baru dan mudah mempunyai banyak teman. Lagi pula, Ann sudah sering bulak balik Indonesia dan Jerman, gadis itu sudah tidak lagi merasakan home sick karena ia lebih sering berada di Jerman ketimbang di Indonesia.

Enggak seperti Yuno yang kadang masih penuh dengan struggle nya ketika ia mulai merindukan Indonesia dan rumahnya, yah meski Yuno akui jika ia benci kalau di rumah waktu istirahat atau sekedar bermusiknya sangat terbatas. Apalagi jika Papa sedang berada di rumah.

“Lo sih gak bisa ikut, padahal asik banget lagi kemarin tuh.”

“Sumpah, Ann. Gue sibuk banget, semenjak jadi asisten dosen. Bahkan buat makan aja gue suka lupa, kalo Ara gak ingetin kayanya gue bakalan sering gak makan deh.”

“Beruntung yah Ara perhatian banget, masih mau ingetin lo buat makan. Pasti effort banget kan komunikasi kalau rentang waktu nya aja 5 jam sendiri, tapi hubungan kalian baik-baik aja kan, No?” tanya Ann basa basi.

Yuno mengangguk. “Baik kok, Ann. Dia juga udah aktif kuliah, makanya kemarin kita sempat berantem soal komunikasi ini. sorry yah kalau awal datang tadi gue sempet nyuekin lo perkara stop kontak, gue emang lagi memperbaiki komunikasi gue sama Ara yang kemarin sempat renggang.” Yuno ngejelasin ini supaya Ann gak salah paham.

Ann terkekeh, mengulum bibirnya sendiri. Dia menoleh ke arah jendela cafe yang malam itu semakin terasa romantis karena salju turun, pertokoan di sekitar sana dan jalanan juga mobil-mobil di penuhi salju. Ann suka musim dingin, karena baginya musim dingin itu indah. Ulang tahunnya juga bertepatan dengan musim dingin.

“Santai aja, No. Gue bisa ngerti kok. Gue kan juga pernah pacaran.”

“Oh iya, sampe lupa gue mau nanya lo mau ngomong apa ke gue? Kayanya penting banget? Keasikan cerita sih kita.” tanya Yuno setelah ia menghabiskan makanannya.

“Ah, iya. Tapi ngobrolnya sambil jalan aja mau gak, No? Gue mau nyari birthday cake lo tau gak di sekitar sini ada bakery shop gitu?”

Yuno mengangguk, “tau kok, ada toko bread and cake shop favorite gue juga. Mau gue anter?”

Ann tersenyum dan memiringkan kepalanya, memberi isyarat jika mereka harus jalan sekarang. Di perjalanan menuju bakery shop, Ann berkali-kali mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan apa yang sangat ingin ia katakan pada Yuno.

Ann ingin damai, ia ingin selesai dengan perasaanya untuk cowok itu. Dan dia merasa jika ia ingin selesai dengan itu semua, setidaknya Yuno harus tahu apa yang ia rasakan selama ini. Persetan jika Yuno nanti marah, itu sudah menjadi konsekuensinya. Yang penting perasaanya lega, lagi pula. Ann yakin Yuno bukan tipekal cowok dangkal yang akan marah ketika tahu teman perempuannya menyukainya kan? Pikir Ann.

Begitu sampai di bakery shop, Ann melihat-lihat birthday cake dengan berbagai macam dekorasi disana. Sampai akhirnya pilihannya jatuh pada cake dengan banyak hiasan strawberry di atasnya. Ann suka sekali dengan strawberry meski rasanya sedikit asam terkadang.

“Siapa yang ulang tahun?” tanya Yuno begitu Ann datang di kursi yang sudah Yuno duduki tadi.

“Gue, hari ini gue ulang tahun. Makanya minta temenin lo buat rayain.”

really?” tanya Yuno memastikan.

“Yup.”

“Wahh, happy birthday Ann. Sumpah gue enggak tahu kalau hari ini lo ulang tahun.”

Ann tersenyum. “Santai aja kali, No. Orang tua gue bahkan lupa.”

“Cobain cake nya dong, gue tadi minta tolong sama staff nya buat sekalian potongin.”

“Ah, jadi makan mulu gue kalo sama lo.”

Ann tersenyum, apalagi saat Yuno mengambil satu slice birthday cake miliknya ke piring kecil dan memakannya, diam-diam Ann memotret itu dan mengunggahnya di akun sosial media miliknya. Hari yang manis, hari yang special dengan laki-laki yang Ann cintai dalam diam.

“No?” panggil Ann.

“Hm?” Yuno hanya berdeham, dia masih menikmati birthday cake itu.

Ann menarik nafasnya pelan, mengeratkan pegangannya di ujung meja demi memantapkan hatinya untuk segera menyatakan perasaanya pada Yuno.

“Gue mungkin salah dan lancang banget buat bicara kaya gini ke lo, No. Gue juga tahu mungkin ini bakalan nyakitin Ara kalau dia tahu.”

Yuno menghentikan makannya, dia menatap Ann dengan pandangan bingung. Enggak ngerti apa yang akan Ann bicarakan padanya.

“Maksud lo?”

“No, pertama kali gue kenal lo dan kita dekat, gue ngerasa nyaman dan kepengen kenal lo lebih dekat. Semua perhatian gue ke lo itu tulus karena gue sayang sama lo, No. Gue sayang banget sama lo, No. Lebih dari teman,” ucap Ann pada akhirnya.

Yuno yang mendengar itu hanya bisa terdiam, badannya seketika membeku dan otaknya terasa berhenti berpikir. Yuno bukan gugup karena seorang gadis menyatakan perasaan padannya, bukannya sombong, Sedari SMA ini sudah menjadi hal yang biasa Yuno rasakan hampir sebulan sekali.

Tapi kali ini berbeda jika perempuan yang sudah ia anggap seperti sahabatnya sendiri itu yang menyatakannya, apalagi Ann tahu jika Yuno sudah memiliki Ara. Dan Yuno sayang sekali dengan gadisnnya.

“Gue awalnya ragu mau ngomong gini ke lo, No. Gue takut lo kecewa, tapi sisi lain gue bilang kalau gue mau damai dan selesai sama perasaan gue. Setidaknya lo harus tahu, setelah ini, No. Gue janji akan lupain perasaan gue buat lo, tapi bisa kan, No. Kita tetap sahabatan?” tanya Ann, air wajahnya mendung setelah dari tadi gadis itu banyak tersenyum.

Ada sirat kecemasan yang tergambar di matanya, takut, sedih dan juga bimbang. Ann takut jika pertemananya dengan Yuno selesai karena tindakknya barusan, tapi disisi lain beban yang ia pikul di pundaknya juga terasa luruh. Hatinya seperti tidak menanggung apa-apa lagi.

“Lo—” Yuno menarik nafasnya, ia seperti kehilangan kata-katanya sendiri. “Jujur, gue bingung dan gak nyangka, Ann.”

“Gue tahu, No. Maaf.”

“Karena?” Yuno gak paham Ann minta maaf untuk apa? Karena menyukainnya? Apa itu sebuah kesalahan?

“Karena udah bilang gini ke lo di saat gue udah tahu kalo lo milik Ara.”

Yuno sedikit lega, Ann setidaknya paham jika tindakannya salah. “Ann, thank you for loving me, but sorry. you are just a friend to me and i already have another girl. lo tau kan, Ann. Gue sesayang itu sama Ara.”

Ann mengangguk. “Paham, No.”

“Gue yakin ada laki-laki lain yang lebih baik dari gue yang pantas sama lo, Ann.”

Sekali lagi Ann hanya mengangguk, ia sungguh menahan air matanya agar tidak menetes. Meski sakit, tapi hatinya lega.

“Gue gak marah, Ann. Kita tetap bisa sahabatan kaya biasa.”

Yuno sempat mengantar Ann ke stasiun dulu sebelum ia kembali ke apartemennya, Yuno enggak setega itu membiarkan Ann berjalan ke stasiun sendirian. Meski dalam keadaan canggung, Yuno berusaha untuk mencarikan suasana dengan mengajak Ann ngobrol selama di perjalanan.

Begitu kereta yang akan di tumpangi Ann telah tiba, Ann berhenti sebentar sebelum langkahnya semakin jauh meninggalkan Yuno yang masih setia berdiri di belakangnya.

“No? Gue boleh minta hadiah ulang tahun dari lo? Mungkin ini bakalan jadi yang terakhir.” ucap Ann, yang di beri anggukan oleh Yuno.

“Apa?”

“Gue boleh meluk lo sekali aja, No?”

Yuno menahan nafasnya sebentar, ia menunduk. Merasa salah jika ia memberikan hal itu, Yuno tahu ini mungkin akan mengecewakan Ann. Namun pada akhirnya ia tetap menggeleng, Yuno menolak permintaan itu.

sorry, Ann. Untuk yang ini enggak bisa. Lo boleh minta hal lain, tapi enggak dengan ini Ann.” ucapnya tegas.

Ann mengangguk, ia meringis. “Gapapa, No. sorry, ah. Kalau gitu gue balik yah, take care, No. Sampai ketemu lagi.” Ann berlari ke arah pintu masuk kereta sembari melambaikan tangannya ke arah Yuno.

Sampai pintu kereta itu di tutup dan keretanya pergi meninggalkan stasiun, Yuno masih mematung di tempatnya. Memilin ujung jaket tebalnya sendiri, rasanya aneh, Ada perasaan bersalah dengan Ara sekaligus perasaan tidak enak karena mungkin tindakannya barusan sudah menyakiti hati Ann.

Tapi tidak apa, menurut Yuno ini yang paling benar. Meskipun ada yang tersakiti tapi itu bukan gadisnya.

Keesokan paginya Arial pulang dari rumah sakit ke kosan subuh-subuh, orang tuanya Gita baru sampai tadi makanya Arial baru bisa pulang subuh ini. Ada Kevin juga yang menemani Arial di sana, meski sudah di suruh pulang sama Kevin tapi Arial memilih untuk tetap menunggu Gita.

Dia ngerasa bersalah sama Gita karena Gita menjadi seperti itu karena dirinya, Agness dan teman-temannya menyerang Gita karena tidak suka Gita dekat dengan Arial. Sampai hari ini pun Arial masih memikirkan rencana untuk membuat perhitungan pada gadis-gadis gila di fakultasnya itu.

Tadinya Arial mau langsung pulang ke kosannya, tapi dia ingat kalau Julian bilang asma yang di derita Ara sempat kambuh. Maka dari itu, Arial berinisiatif untuk menjenguk Adiknya dulu. Tapi baru saja Arial membuka pintu kosan Abah, dari arah dapur sudah ada Julian yang tengah sibuk bergulat di dapur.

“Baru balik, Mas?” tanya Julian. Arial mengangguk, sedikit bingung kenapa Julian memasak sepagi ini. Lagi pula, cowok itu enggak pernah masak di dapur selain bikin mie instan atau roti panggang.

“Lo ngapain, Jul?”

Arial menghampiri Julian, cowok itu juga ambil gelas dan menuangkan air mineral. Arial haus sekali, agak sedikit ngantuk karena dia belum tidur. Tapi perasaanya gak tenang kalau belum mastiin kondisi Adiknya itu.

“Bikin bubur buat Ara, Mas.”

“Ah, iya. Gimana keadaan Adik gue? Kok bisa asma nya kambuh sih, Jul? Dokter klinik bilang apaan?” cecar Arial.

Julian yang masih berkutat dengan bubur dan aneka toping yang sudah dia tata di atas nampan itu, akhirnya mengecilkan api kompornya dulu. Berbekal resep yang ia dapat di internet, Julian percaya diri aja kalau bubur buatannya enak.

“Katanya asam lambungnya Ara kumat, Mas. Dia sering skip makan, kurang istirahat juga makanya asma nya bisa kambuh,” jelas Julian.

“HIMA lagi sibuk-sibuknya sih yah.” Arial mengangguk-angguk. “Gue bener-bener ngerasa bersalah banget karna gak ada pas Ara sakit, tapi Gita juga jadi tanggung jawab gue, Jul. Dia di kerjain sama anak fakultas gara-gara gue.”

Arial jelasin kaya gini ke Julian supaya Julian gak mikir yang macam-macam soal Arial, padahal Julian juga gak pernah mikir buruk soal Arial kok, dia juga gak masalah harus jagain Ara dan bawa gadis itu ke klinik.

“Gapapa, Mas. Anu.. Mas Ril tapi kayanya Ara ngambek.”

“Ngambek?”

Julian mengangguk. “Semalem dia nangis, Mas. Gara-gara tau Mas Ril jagain Gita di rumah sakit dan gak angkat telfon dari gue.”

Arial berdecak, kalau sudah begini Arial juga yang repot. Pasalnya Ara kalau ngambek itu susah banget buat di bujuk.

“Duh.”

“Tapi coba bujuk aja, Mas. Lo mau anter sarapan dia gak? Nanti bilang aja Mas Ril yang masak. Kayanya dia udah bangun juga, soalnya tadi sempat telfon gue nanyain inhaler nya di taruh mana.”

Arial mengangguk. “Yaudah, gue aja yang anterin sarapan buat dia, Jul.”

“Oke, bentar Mas. Gue siapin dulu.”

Julian nyiapin bubur dan teh tawar hangat buat Ara, dia taruh itu semua di atas nampan lengkap dengan obat yang dokternya resepkan untuk Ara. Julian berharap dengan begitu Ara gak akan marah lagi sama Arial.

Arial naik ke lantai 2 tempat kamar Ara berada, dia ketuk dulu pintu kamarnya. Takut-takut Ara lagi ganti baju atau apapun itu yang menganggu privacy nya.

“Dek?” panggil Arial.

Namun Ara enggan menjawab, di dalam kamarnya Ara masih bergulat di atas ranjangnya. Dengan hidung memerah khas habis menangis, mata sembab dan wajah bengkak sehabis bangun tidur.

Semalam, Ara terbangun. Dia kangen banget sama Yuno dan mencoba untuk menelfon cowok itu. Ara gak ada niat buat ngasih tau Yuno kalau asma nya kambuh karena dia gak ingin Yuno khawatir, Ara hanya benar-benar merindukan Yuno dan ingin mengadu kalau Arial lebih sayang dengan Gita saat ini ketimbang dirinya.

Namun sayangnya ponsel Yuno tidak aktif, Ara pikir saat ia bangun dari tidurnya nanti Yuno akan meneleponnya kembali atau minimal membalas pesan-pesannya. Namun apa yang dia dapat tak sesuai dengan harapan, pesannya ke Yuno bahkan belum terkirim sama sekali.

Hari itu rasanya Ara benar-benar kecewa, seperti dia berpikir hanya Julian saja yang benar-benar perhatian dan perduli padanya. Katakan Ara berlebihan, tapi dia ngerasa dunia sedang tidak berpihak padannya.

“Dek?” panggil Arial sekali lagi.

Karena masih kesal dengan Arial, akhirnya Ara menelfon Julian. Dia minta tolong Julian buat usir Arial dari depan kamarnya, dia masih gak mau lihat Arial, rasanya masih dongkol dan kesal.

kenapa, Ra?” jawab Julian dari ponsel milik Ara.

“Jul, di depan kamar gue ada Mas Iyal. Tolong usir, Jul.”

Hah? Kok di usir?

“Usir aja! Gue masih kesel sama dia, ngapain juga dia nengokin gue? Kenapa gak jagain aja terus si Gita? Sok perduli.”

Ra.. Mas Ril tuh—

“Usir dia Jul!! Gue tuh lagi kesel.” Ara mulai merajuk, suaranya yang serak jadi membuat Julian berpikir jika gadis itu sedang menangis lagi.

iya yaudah, gue suruh Mas Ril balik. Bentar yah, gue ke atas dulu.

Julian matiin sambungan telfonnya dan langsung ke atas, dan benar saja Arial masih setia di depan kamar Ara sembari membawa nampan berisi bubur, teh dan obat untuk Adiknya itu.

“Mas Ril, kayanya Ara belum mau ketemu lo, Mas.” ucap Julian bisik-bisik.

“Maksudnya, Jul?”

“Dia tadi telfon gue, katanya belum mau ketemu lo dulu. Nanti biar gue coba bujuk dia deh, gue bantu jelasin. Dia lagi sakit juga Mas, mungkin karna itu juga makanya perasaanya jadi sensitif banget.”

Arial menghela nafasnya sebentar, dia paham Ara pasti kecewa. Tapi Julian benar, mungkin karena Adiknya itu sedang sakit perasaanya jadi lebih sensitif dari biasanya. Akhirnya Arial mengangguk, dia ngasih nampan yang dia bawa itu ke Julian.

“Tolong yah, Jul. Dia pasti salah paham sama gue.”

Julian mengangguk, “iya, Mas. Santai aja. Mendingan lo balik Mas, istirahat. Ara ada gue disini sama anak-anak. Banyak yang jagain kok.”

Arial mengangguk, dia nepuk bahu Julian sebelum akhirnya melangkah dengan gontai untuk menuruni anak tangga. Namun belum sempat ia menuruni tangga menuju lantai 1, Julian sudah memanggilnya kembali.

“Mas Ril?” Arial menoleh dengan wajah bingungnya. “Gue izin masuk ke kamar Ara buat anterin bubur ini sama mastiin dia sarapan, boleh Mas?”

Kalau boleh jujur, Arial salut sama Julian. Walau kadang cowok itu kelihatan lamban tapi Julian itu sopan banget. Julian juga bisa di bilang enggak banyak tingkah walau kelakuannya kadang suka enggak jelas. Yah kaya kemarin aja, dia lagi-lagi salah ambil jemuran dan dia pakai lagi sampai bikin Januar mencak-mencak karena kaos Nirvana nya di pakai.

“Buka pintunya yah, Jul. Jangan di tutup rapat.”

“Oke, Mas.”

Begitu Arial pulang, Ara langsung membukakan pintu kamarnya buat Julian. Pagi itu, keduanya duduk di karpet bulu kamar Ara. Julian juga inisiatif buat buka jendela kamar gadis itu biar udara pagi yang segar itu masuk ke kamar Ara.

Ara yang sedang makan dengan ogah-ogahan itu cuma bisa lihatin Julian aja yang jadi sibuk sendiri beresin kamarnya.

“Buburnya enak walau keasinan, lo yang bikin sendiri, Jul?” tanya Ara.

Julian menoleh, cowok itu tersenyum kikuk. “Asin banget? Kalo asin jangan di makan. Nanti lo darah tinggi lagi.”

“Gak kok, agak asin tapi enak kok.”

“Serius?”

Ara mengangguk, “maaf yah repotin lo terus.”

Jujur aja Ara ngerasa enggak enak sama Julian, dia ngerasa udah terlalu sering ngerepotin Julian. Walau Julian sering bilang kalau dia enggak merasa di repotin sama sekali.

“Apaan sih, lo ngomong kaya gitu sekali lagi. Gue bakalan marah beneran sama lo nih,” ancam Julian.

Ara terkekeh, namun sedetik kemudian dia terdiam. Di saat-saat seperti ini. Orang yang paling dia sayangi dan dia butuhkan gak ada, rasanya kaya Julian yang menggantikan peran itu semua. Menemaninya, menjaga, mendengarkan semua ceritanya sehari-hari. Bahkan Julian jugalah yang merawatnya saat Ara sakit seperti ini.

Dulu, waktu asma nya kambuh. Yuno yang menjaganya di rumah sakit, bahkan cowok itu sampai menginap menggantikan Mas Yuda dan kedua orang tua Ara yang harus pulang untuk beristirahat dulu. Tapi saat ini, Yuno bahkan enggak ada dan gak tahu kalau di sakit.

Julian yang lihat perubahan di raut wajah Ara itu jadi agak sedikit bingung, dia duduk di sebelah Ara. “Lo kenapa? Kok tiba-tiba diem? Gak kesambet kan, Ra?”

“Cih, emangnya gue Kevin.”

“Terus kenapa?”

“Gue cuma sedih aja.”

“Karena Mas Ril?” tebak Julian, dan Ara hanya menggeleng pelan. “Terus?”

“Biasanya kalau gue sakit, Kak Yuno jadi yang paling khawatir melebihi Bunda sama Papa gue, Jul. Dia juga yang jagain gue kaya lo jagain gue gini.”

Mendengar nama laki-laki itu di sebut, rasanya seperti ada cubitan halus di dada Julian yang membuatnya tersenyum nyeri.

“Ya, sekarang dia kan jauh. Kalau dekat juga gue yakin dia yang bakalan jagain lo, bukan gue.”

“Dia bahkan gak tau gue sakit, Jul. Gue telfon dan ngechat aja HP nya gak aktif. Gue kangen banget padahal, gue juga khawatir kalau dia tiba-tiba ngilang kaya gini.”

“Ra, gue tau lo khawatir sama cowok lo. Tapi sekarang pikirin kesehatan lo dulu aja yah, mungkin cowok lo juga lagi sibuk. Lo sendiri kan yang bilang ke gue, kalo dia di Jerman. Zona waktu kita sama mereka aja beda 5-6 jam.”

“Tapi gue butuh dia, Jul. Gue kangen banget sama dia,” suara Ara bergetar. Bersiap untuk kembali menangis lagi.

Rasanya, setiap kali Ara menangis dan kecewa karena pacarnya. Ada sisi di diri Julian yang kesal dan mengutuk laki-laki itu habis-habisan, kalau ingin menjadi egois, rasanya Julian ingin sekali merebut Ara dari laki-laki bernama Yuno itu.

Julian ingin Ara lebih banyak bahagia dari pada menangis seperti ini, karena tidak tega melihat Ara menangis seperti itu. Julian membawa kepala gadis itu ke bahu nya, sembari ia tepuk-tepuk punggung tangan gadis itu.

Enggak ada kata-kata yang keluar lagi dari bibir keduanya, hanya ada isakan tangis Ara dan suara burung yang berasal dari luar jendela kamar.

Jumat pagi itu Ara udah ngerasa gak enak badan buat berangkat ke kampus, tapi karena hari ini dia ada kuis biosychologi Ara maksain dirinya buat masuk, dia gak mau nilainya turun apalagi sampai berurusan sama dosen mata kuliah itu yang terkenal tegas itu.

Pagi ini dia mau minta di anterin Arial karena Julian terpaksa nebeng sama Chaka, motor punya Julian itu lagi di bengkel dan belum selesai perbaikan. Tapi sayangnya Arial juga sudah berangkat lebih pagi bersama Gita.

Oh iya, Julian berangkat lebih dulu karena ada yang harus dia kerjakan untuk program kerjanya bersama anggota divisinya di HIMA. Makanya Ara terpaksa naik taksi, tadinya dia mau milih buat naik kendaraan umum. Tapi rasanya badannya masih kurang sehat.

Sesampainya di kampus pun, Ara lebih banyak diam. Dia berusaha konsentrasi sama buku-buku di depannya, tapi rasanya enggak ada satupun yang nyangkut di kepalanya.

“Ra, lo paham yang ini gak—” Sheren yang liat Ara megangin dada nya itu agak sedikit bingung. “Ra?”

“Hm?” Ara menoleh, begitu Sheren liat muka Ara dia kaget banget karna muka gadis itu pucat. Ara emang gak pakai make up juga, dia bahkan gak punya tenaga buat ngelakuin hal itu. Tapi biasanya mukanya enggak sepucat itu.

“Lo sakit?”

Ara menggeleng, walau ngerasa sakit. Tapi dia masih bisa tahan. Setidaknya sampai kuis biopsychologi nya selesai, setelah itu mungkin Ara akan segera pulang, dan melewatkan mata kuliah yang lain. Biarlah, nanti dia bisa titip absen atau izin tidak masuk kelas saja.

“Muka lo pucet kaya gitu yang bener aja?” pekik Sheren.

Gak lama Julian datang bersama Jonas. Sheren langsung lambain tangannya ke Julian buat datang ke kursi belakang, dan benar aja kedua cowok tinggi itu langsung nyamperin Sharen. Waktu udah berada di dekat Ara, mata Julian langsung tertuju ke gadis yang sedang memegangi dadanya itu.

“Kenapa, Ren?” tanya Jonas.

“Jul, Jon. Ara sakit kayanya deh, mukanya pucet banget, gimana dong?” Sharen panik banget, apalagi waktu Ara kaya sedikit mukul-mukul dadanya.

Julian yang ngeliat Ara mukulin dadanya di kursinya itu langsung berjongkok di samping gadis itu, dia kelihatan khawatir banget apalagi waktu Julian meriksa tangan Ara yang udah dingin banget. Keringat juga bercucuran di sekitaran dahinya, bahkan beberapa kali Julian liat Ara berusaha bernafas dengan mulutnya.

“Ra, tangan lo dingin banget.” kata Julian panik.

“Jul, tolong ambilin inhaler gue di tas, asma gue kambuh,” bisik Ara ke Julian.

Julian langsung buru-buru buka tas Ara dan ambil inhaler milik gadis itu di sana, Julian gak tau Ara punya asma. Muka gadis itu juga udah pucet banget, karena Ara kelihatan lemes banget waktu mau pakai inhaler miliknya, akhirnya Julian bantu gadis itu buat pakai inhaler nya.

Mahasiswa lainnya juga jadi ikut khawatir dan melihat ke arah Ara, bahkan ada dari mereka yang nyuruh Julian buat bawa Ara ke klinik kampus aja karena wajahnya memang sudah pucat.

“Jul, cewek lo bawa ke klinik aja. Dari pada kenapa-kenapa tuh,” ujar Danu yang emang tahunya Ara sama Julian pacaran saking sering nya keduanya terlihat bersama, padahal Julian sudah menegaskan kalau mereka enggak pacaran.

“Ra? Kita pulang aja yah? Gue bawa lo ke klinik.” tanya Julian, Ara malah menggeleng. Dia ngerasa masih kuat buat lanjutin kuliah pagi ini.

“Gue masih kuat, Jul. Udah gapapa.”

Setelah memakai inhaler, nafasnya memang sedikit lebih baik walau masih agak sesak. Tapi setidaknya Ara masih bisa menahannya hingga kelas berakhir, ia benar-benar tidak ingin melewatkan mata kuliah yang satu ini.

“Yakin?” tanya Julian meyakinkan. Dan Ara hanya bisa mengangguk, menyuruh Julian untuk duduk di kursinya.

“Kalo ada apa-apa panggil gue yah, jangan di tahan.”

“Um.”

Tidak lama kemudian dosen mata kuliah biosychologi itu masuk ke kelas, ada beberapa penjabaran materi dulu sebelum melakukan kuis. Awalnya Ara masih sedikit fokus, namun begitu kuis berlangsung sesak nya semakin mencekik, rasanya dadanya seperti di tiban sebuah benda yang menyulitkannya bernafas.

Julian yang memang sedari tadi memperhatikan Ara itu langsung bangkit dari kursinya. Membuat dosen di depan sana jadi menatap mahasiswa nya itu bingung.

“Ada apa Julian?” tanya dosen itu.

“Prof, maaf. Saya izin buat bawa Ara ke klinik, dia punya asma dan kelihatannya dia sulit buat nafas.”

Ara yang masih duduk di kursinya sembari memegangi dada nya dan mencoba bernafas dengan mulutnya itu mengangguk. Keringat juga sudah bercucuran di sekitar dahinya, padahal kelasnya pakai AC dan dia duduk tepat di bawahnya.

Dia menyerah, karena rasanya pasokan oksigen di paru-parunya semakin menipis dan membuatnya semakin sulit bernafas bahkan lewat dari mulut sekalipun.

“Silahkan kalau gitu, Cepat di bawa.”

Setelah mendapatkan persetujuan dari dosennya, Julian membantu Ara untuk meninggalkan kelas. Dia memapah gadis itu dan membawakan tas miliknya, begitu keluar dari kelasnya. Pegangan Ara di lengan Julian itu sedikit mengendur, dan Julian yang sadar itu langsung buru-buru menoleh ke arahnya.

“Ra?” panggil Julian.

Sadar akan Ara yang semakin lemas, Julian langsung buru-buru menggendong gadis itu. Dan benar saja, Ara pingsan di gendongan nya. Setengah berlari, Julian membelah lorong kelas dan beberapa mahasiswa yang sedang berdiri menunggu kelas selanjutnya di sana, sembari menggendong Ara.

Begitu sampai di klinik, perawat dan dokter di sana langsung sigap memeriksa Ara sementara Julian di suruh menunggu di luar. Julian mencoba menghubungi Arial, tapi Arial gak mengangkat panggilan darinya. Mau menelfon keluarga Ara di Jakarta pun, Julian enggak kenal dan gak ada kontaknya satupun. Hanya Arial satu-satunya keluarga Ara di Bandung.

“Mas Ril.. Lo keman sih?” gumam Julian, dia kepengen banget buat nyamperin Arial tapi sayangnya klinik kampus dan fakultas FISIP terlalu jauh. Takut-takut dokter yang memeriksa Ara mencarinya.

Dan benar saja, tidak lama kemudian ruang pemeriksaan terbuka. Menampakan dokter yang tadi meriksa Ara, dan beberapa perawat yang tengah memasang selang infus Ara. Julian bisa melihatnya dari luar karena pintu ruang periksanya terbuka sedikit.

“Gimana keadaan teman saya, Dok?” tanya Julian panik.

“Asma nya kambuh karena asam lambungnya naik. Temannya mungkin sering melewatkan jam makan atau kecapekan yah, Mas? Apa sedang setress?”

Julian mengangguk, Ara memang banyak kegiatan akhir-akhir. Dan Julian juga sering mengingatkannya untuk tidak melewatkan jam makannya..

“Akhir-akhir ini memang banyak kegiatan di kampus, Dok. Tapi dia gapapa kan?”

“Saya sudah infus dan suntikan obat anti nyeri, temannya baru bisa pulang kalau infus nya sudah habis yah, Mas. Nanti saya resepkan obat dan beberapa vitamin buat temannya.”


Malamnya, setelah infusnya sudah habis. Keduanya pulang, seharian Julian sudah menemani Ara karena Arial tidak kunjung mengangkat telfon dari nya. Begitu sampai di kosan, ada Januar dan Echa di ruang tamu yang sedang berduaan. Kevin dan Chaka mungkin belum pulang, atau sedang berada di kamarnya, entahlah Julian enggak sempat bertanya karena dia terlalu sibuk memapah Ara yang masih lemas..

“Ra, lo kenapa?” tanya Echa khawatir.

“Asma nya kambuh, Cha. Karena asam lambungnya sempat naik.” jawab Julian, Ara masih lemas. Untuk sekedar jalan saja gadis itu harus di papah sama Julian.

“Ya ampun.. Lo udah makan belum? Gue bikinin bubur sama teh hangat yah?”

Ara hanya mengangguk saja, ia sungguh masih lemas. Perutnya juga masih sedikit terasa nyeri.

“Bang Ril udah tau Ara sakit, Jul?” tanya Janu.

Julian menggeleng pelan, “gue telfon enggak di angkat. Gue chat juga enggak di balas.”

“Panik banget kali tadi yah, dia tadi juga ke rumah sakit bawa Gita.”

“Gita?” pekik Ara kaget.

Januar mengangguk, “Gita di kerjain sama senior nya di FISIP. Sampe babak belur lumayan parah, di kunciin pula. Makanya Bang Ril panik banget dan bawa Gita langsung ke rumah sakit. Dia mungkin gak sempet cek HP nya kali, Jul.” jelas Janu.

Ara yang mendengar itu langsung agak sedikit jengkel, dia tahu Gita juga sedang membutuhkan pertolongan Arial. Tapi apa gak bisa Arial lihat ponselnya sebentar? Tiba-tiba aja Ara ngerasa semenjak Arial dekat dengan Gita, sikap Mas nya itu agak sedikit berubah.

Arial jadi lebih sering bersama Gita, mengantar jemputnya dan bahkan mengkhawatirkannya ketimbang Ara. Padahal Arial dulu yang berjanji akan menjaga Ara kalau dia kuliah di Bandung, tapi kenyataanya justru Ara di jaga oleh Julian.

“Jul, tolong anterin gue ke atas yah.” bisik Ara. Wajahnya sudah masam dan sedikit meringis karena merasakan nyeri di perutnya.

Begitu Julian dan Ara naik ke lantai 2, Echa menoleh ke arah Janu. Echa ngerasa banget sama perubahan ekspresi wajah temannya itu, berteman dengan Ara dari SMA bikin Echa jadi paham banget gimana Ara kalau lagi badmood.

“Serius Mas Ril sepanik itu sampe gak ngecek HP nya, Yang?” tanya Echa ke Janu, dan cowok itu hanya mengangguk.

“Gue liat sendiri, dia kan telfon gue. Karena nelfon Kevin enggak di angkat.”

“Kasian juga Ara, untung ada Ijul. Tapi gue jadi kepikiran Kak Yuno.”

“Kenapa sama Bang Yuno?”

“Ya lo pikir aja sendiri Ijul lebih sering sama Ara, gimana kalo nanti Ijul ngrebut Ara dari Kak Yuno? Atau—”

“Ngaco pikiran lu ah, udeh sono bikinin Ara bubur. Sekalian bawain chiki pas balik ke sini!” ucap Janu mengalihkan pembicaraan sebelum Echa mikir yang enggak-enggak.

Janu juga ngerasa Julian sama Ara makin dekat sih, tapi dia sama sekali enggak mikir macam-macam. Apalagi Julian udah tahu kalau Ara udah punya pacar, dan Janu juga yakin kalau Ara enggak mungkin mengkhianati Yuno.

Sesampainya di kamar, Julian membantu Ara melepaskan sepatu nya dan membuka jaket miliknya yang gadis itu kenakan, Julian juga membantu Ara untuk tiduran dengan menambahkan dua bantal di ranjangnya atas saran dokter agar nafas Ara tidak sesak.

“Jul, makasih yah. Gue sering banget ngerepotin elo kaya gini.” Ara mengulum bibirnya sendiri, jujur saja ada perasaan kesal berkecamuk di hatinya karena Arial. Tapi setidaknya dia masih ada Julian yang membantunya.

“Gue gak ngerasa lo repotin, Ra.”

“Tapi lo jadi enggak ikut kuis gara-gara gue.”

Julian tersenyum, menarik selimut gadis itu hingga seatas perutnya. “Istirahat yah, nanti gue bawain makanan lo ke sini.”

Karena mengantar Ara ke klinik, Julian memang jadi enggak ikut kuis. Tapi dia sama sekali enggak masalah dengan itu, Julian bahkan gak bisa bayangin kalau tadi Ara enggak di bawa ke klinik dia bakalan kaya gimana.

“Jul?”

“Hm?”

Tangis yang sedari tadi ia tahan itu akhirnya tumpah juga, Ara memang lebih sering menangis jika merasa kesal dan marah, Dia kecewa banget sama Arial kali ini. Selama merantau di Bandung, Ara emang jadi lebih jarang bercerita duka selama di perantauan sama kedua orang tuanya. Dia gak mau di suruh pulang, apalagi di cap menyesal karena sudah memilih kuliah di Bandung.

Makanya Ara jadi punya prinsip semua dukanya akan dia simpan sendirian saja, yah paling-paling dia bagi ke Yuno. Tapi Yuno saja sibuk akhir-akhir ini, terlebih Yuno sendiri jarang bercerita apa-apa dengannya. Jadi, duka itu benar-benar ia simpan sendirian. Kecuali kalau Julian memancingnya untuk bercerita.

“Gue kesel banget sama Mas Iyal, bisa-bisa nya dia lebih perduli sama Gita dibanding sama gue Adiknya sendiri,” rajuk Ara sembari menangis.

Julian yang lihat Ara menangis untuk pertama kalinya itu jadi agak sedikit bingung, cowok itu malah nepuk-nepuk pundak Ara berharap gadis itu bisa sedikit lebih tenang. Julian tahu Ara sedikit kesal, terlihat dari raut wajahnya saat Janu mengatakan jika Arial membawa Gita ke rumah sakit barusan.

“Kan lo masih punya gue, Ra. Ada gue kok. Udah gapapa, jangan nangis. Lo kan tadi denger sendiri, Gita di kerjain sama anak-anak FISIP sampe babak belur, itu pasti ngeri banget,” ucap Julian.

“Yah tapi tetap aja setidaknya dia angkat telfonnya, kalo tadi gak ada lo gimana?”

“Tapi kan ada gue? Udah ah, jangan nangis gitu. Nanti dada lo sesak lagi.” ucap Ara sembari menyeka air mata gadis itu dengan ibu jarinya.