blissfulqnew

Changmin segera berlari menuju mobil Mercedes-Benz GLS 450 4Matic AMG Line yang belum sampai satu tahun ia miliki itu. Tak butuh waktu lama bagi Changmin untuk langsung meluncur menuju day care tempat adiknya berada. Sebelumnya, Changmin memang sudah pernah datang ke tempat itu untuk mengantarkan bunda dan adiknya sehingga Changmin masih hafal alamatnya.

Sore itu jalanan ibu kota sedang ramai-ramainya karena bertepatan dengan jam pulang orang kantoran, tepat seperti apa yang Juyeon katakan padanya. Hati kecil Changmin mendadak diliputi oleh rasa bersalah karena membuat adiknya menunggu sangat lama.

Jikalau saja adiknya itu sudah berusia lebih tua, mungkin Changmin tidak akan merasa sebersalah ini. Sayangnya, adik kecilnya itu baru akan menginjak umur 4 tahun bulan depan.

Changmin mulai menggigiti bibir bawahnya, entah sudah berapa kali ia ketukkan telunjuknya ke setir mobil di depannya. Dalam pikirannya, berbagai skenario buruk sudah berlarian kesana-kemari. Yang Changmin tahu, adiknya itu tidak pernah bisa menunggu lebih lama dari 15 menit. Belasan vas bunga porselen yang pecah di rumahnya adalah saksi bisu dari kemarahan adiknya.

Kurang lebih dibutuhkan waktu hampir setengah jam untuk Changmin tiba di day care. Berarti hingga sekarang, sudah lebih dari 1 jam adik kecilnya menunggu di day care. Changmin sudah mempersiapkan telinganya untuk mendengar suara melengking adiknya yang dapat terdengar bahkan dari kejauhan.

Hening. Kedua indra pendengaran Changmin tidak dapat menangkap suara apapun kecuali cicitan burung yang hinggap di pohon sekitarnya. Changmin mulai berpikiran bahwa adiknya mungkin sudah diculik oleh orang lain.

Akan tetapi, pikiran buruknya segera sirna setelah kedua irisnya menangkap sosok adiknya yang sedang bermain di ayunan. Dari kejauhan, Changmin dapat melihat adiknya sedang tersenyum lebar karena seseorang.

Changmin pun berjalan mendekati mereka berdua. Kedua tangannya ia selipkan di saku celananya. Adiknya adalah orang pertama yang menyadari keberadaannya.

“Abaaaang!!!”

Changmin buru-buru berjongkok, menerima pelukan erat dari adiknya.

Melihat atensi Sunwoo yang teralihkan kepada orang lain, sosok yang sedari tadi menemani anak kecil itu pun segera berdiri dan membalikkan badannya.

Changmin lantas mendongakkan kepalanya.

Matanya melebar bersamaan dengan mulutnya yang menganga.

Tak mempercayai apa yang dilihatnya.

Kini, di depannya sudah berdiri seorang lelaki yang ia perkirakan berusia sepantaran dengannya. Terbalut dalam kemeja berwarna putih susu dan sweater rajut kebesaran, sosok itu tampak tak nyata baginya.

Changmin bahkan melepaskan kedua lengannya yang sebelumnya melingkar di badan Sunwoo untuk mengucek matanya. Barangkali sosok di depannya ini akan menghilang jika Changmin melakukan hal itu.

Yang selanjutnya terjadi berada di luar dugaan Changmin. Sosok tersebut malah tertawa dengan lepas. Mendadak, Changmin merasakan dirinya terbuai oleh nyanyian malaikat.

Dibutuhkan cubitan keras di perut Changmin untuk menariknya kembali ke alam sadar. Pelakunya? Tak lain dan tak bukan adalah korban dari keteledoran Changmin, Ji Sunwoo.

Setelah berpamitan dengan sang malaikat, coret, orang yang menemani adiknya; Changmin dan Sunwoo berjalan beriringan menuju mobil milik sang kakak. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, Changmin tak henti-hentinya menyunggingkan senyum lebar. Tatapan aneh berulang kali dilayangkan sang adik kepada yang lebih tua.

Biarpun usianya belum genap 5 tahun, Sunwoo sudah cukup besar untuk menyadari bahwa kakaknya ini pantas untuk dicap sebagai orang aneh.

Changmin segera berdiri dari tempat duduknya setelah menerima pesan singkat dari Chanhee. Walaupun mereka sedang dalam fase “perang dingin”, tetap saja Changmin tidak bisa mengabaikan permintaan kekasihnya itu.

Terlebih lagi ketika Changmin mengetahui fakta bahwa kekasihnya mudah untuk ketakutan.

Beruntung bagi Changmin, karena hanya terdapat satu ruang ganti pria di lantai tempat mereka berada sekarang sehingga Changmin tidak perlu susah-susah mencari ruang ganti yang dimaksud Chanhee. Dapat Changmin lihat bahwa ruang ganti yang berada di depannya itu memang tertutup pintunya.

Tanpa banyak basa-basi, Changmin mendobrak pintu itu menggunakan bahunya. Berhasil, pintu terbuka dengan mudahnya dan kegelapan adalah hal pertama yang menyambut Changmin.

Baru satu langkah Changmin jejakkan ke dalam ruangan tersebut, pintu di belakangnya kembali menutup secara tiba-tiba. Cukup untuk membuat Changmin memekik ketakutan. Sepersekian detik berikutnya, sebuah telapak tangan dapat Changmin rasakan di atas mulutnya. Meredam pekikan yang keluar dari belah bibir Changmin.

Cahaya terang yang berasal dari lampu di atasnya membuat Changmin mengernyitkan matanya untuk beberapa saat. Nafasnya tercekat ketika netranya bertabrakan dengan netra berair milik Chanhee.

Chanhee-nya.. menangis?

“Hee.. Kenapa?”

Lawan bicaranya masih membisu, gelengan dan pelukan erat adalah jawaban yang Changmin dapatkan.

Changmin membalas pelukan Chanhee dengan ragu-ragu, sebelah tangannya terangkat untuk mengelus surai biru Chanhee perlahan. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, tetapi Chanhee masih betah terisak dalam pelukannya.

Dengan hati-hati, Changmin melepaskan pelukannya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menangkup wajah Chanhee yang basah oleh air mata. Perih, Changmin tak suka melihat wajah cantik itu ditimpa kesedihan. Kedua ibu jarinya ia gunakan untuk menghapus jejak air mata dari wajah Chanhee.

Ajaib, satu sentuhan dari Changmin berhasil memberhentikan tangisan Chanhee. Chanhee mengangkat wajahnya perlahan, menatap sendu ke dalam manik hitam milik Changmin.

“Min..” panggil Chanhee dengan lirih.

“Mhm, kenapa Hee?”

Chanhee menghela nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Aku mau minta maaf soal yang kemarin. Soal aku yang enggak mikirin perasaan kamu, aku yang terlalu cemburuan sama kamu, dan juga tentang aku yang enggak bisa mikir jernih karena kemakan api cemburu. Maafin aku, Min.”

Changmin terdiam untuk beberapa detik sebelum tangan kanannya terangkat untuk mengelus pipi Chanhee.

“Maafin aku juga ya, Hee. Aku sadar aku juga terlalu cepet ambil kesimpulan. Padahal harusnya aku mikir kalau aku juga ngelakuin kesalahan, tapi aku malah nyalahin semuanya sama kamu. Maafin aku ya, cantik?”

Cantik.

Salah satu panggilan dari Changmin yang paling Chanhee sukai.

“Aku.. kangen kamu.”

Sebelah bibir Changmin terangkat, membentuk senyuman tipis.

“Aku juga. Aku juga kangen sama kamu.”

Sebuah senyuman kembali terukir, kali ini di bibir Chanhee.

“Baikan, ya?” tanya Chanhee sambil mengangkat jari kelingkingnya.

“Mhm, baikan.” balas Changmin sembari menautkan jari kelingkingnya dengan Chanhee.

Setelahnya, Changmin terhuyung lagi ke belakang karena pelukan dari Chanhee.

Betul kata Kevin, rasa sayang Changmin hanyalah untuk Chanhee seorang.

Betul kata Juyeon, berbaikan secepatnya adalah pilihan yang harus diambil.

Tak penting siapa saja yang menaruh hati pada mereka berdua. Karena, baik Chanhee maupun Changmin tahu bahwa hati mereka telah terikat dengan kuat dan tak satupun dari mereka yang mengizinkan kedatangan pihak baru.

Chanhee dan Changmin akhirnya sadar, bahwa komunikasi adalah jalan keluar dari permasalahan mereka.

Saling mendiamkan tanpa alasan, malah hanya mendatangkan rasa sakit berkepanjangan.

“Changmin punyaku. Punyaku dari dulu, sekarang, dan seterusnya!” seru Chanhee sembari menggesekkan ujung hidungnya di ceruk leher Changmin.

Kekehan meluncur keluar dari mulut yang lebih muda, gemas dengan kelakuan yang lebih tua.

Belum puas Chanhee menghirup aroma tubuh sang kekasih, sepasang tangan sudah kembali menempel pada wajahnya. Membawa kepalanya mendekat pada sosok di depannya, menghapus jarak yang ada di antara mereka.

Changmin menyapukan bibirnya perlahan pada bibir Chanhee, membuat Chanhee refleks menutup kedua matanya. Memiringkan kepalanya ke arah berlawanan lalu membiarkan Changmin mendominasi tautan mereka.

“Kalau kata gue sih ya, gak banget berbuat mesum di ruang ganti.”

Changmin dan Chanhee sontak mendorong tubuh satu sama lain menjauh, terkejut dengan sosok yang tiba-tiba menyembulkan kepalanya di belakang pintu ruang ganti.

“K- Kak Hyunjae? Dari kapan ada disitu..?”

“Dari tadi, Hee. Nih, yang lain juga ada disini semua.” jawab Hyunjae sambil mendorong pintu agar terbuka dengan lebar, menampilkan delapan kepala yang saling berhimpitan di belakang Hyunjae.

Bak diberi aba-aba, delapan kepala tadi memasang cengiran tak berdosa terbaiknya.

“Lanjutin dong kak, masa cuman sebentar nempel-nempelnya?”

Delapan kepala, kali ini termasuk Hyunjae, segera mendelik ke arah Eric.

Total sepuluh jitakan, melayang dengan cepat ke kepala Eric.

Jeritan mohon ampun terus-menerus Eric keluarkan sembari berusaha untuk meloloskan diri.

Para penonton yang sebelumnya menginterupsi kegiatan Chanhee dan Changmin, mendadak bubar untuk mengejar Eric. Kembali meninggalkan Chanhee dan Changmin berdua di ruang ganti tersebut.

Dan setelahnya, Changmin memastikan untuk mengunci ruang ganti tersebut sebelum kembali memagut bibir kekasihnya dengan mesra.

Fin.

Euphoria kemenangan hari ini menguap entah kemana, tergantikan dengan cepat oleh hati yang kelam.

Selama perjalanan pulang ke dorm, Chanhee hanya duduk diam di bangkunya. Pandangannya terkunci ke jendela di sebelahnya, fokus tertuju pada langit malam yang gelap.

Seharusnya, senyum manis Chanhee masih tercetak dengan jelas di raut wajahnya. Akan tetapi, 2 buah video singkat itu berhasil menghapus senyumannya dengan mudah.

Ya, 2 buah video yang berisi 2 orang lelaki menarikan cuplikan lagu Thrill-Ride dan LO$ER = LO♡ER itu.

Sebetulnya, Chanhee tidak merasa keberatan apabila kekasihnya itu harus melakukan duet di aplikasi bernama TikTok bersama Soobin. Tidak, Chanhee sama sekali tidak keberatan.

Yang jadi masalah bagi Chanhee adalah reaksi tak terduga yang datang dari penggemar mereka. Tak pernah terpikirkan oleh Chanhee bahwa para penggemar mereka akan menyukai interaksi Changmin dan Soobin sampai ke tahap itu.

Tahap dimana kekasihnya dijodoh-jodohkan dengan lelaki lain.

Berkali-kali Chanhee meyakinkan dirinya bahwa ini adalah tuntutan pekerjaan. Berkali-kali juga Chanhee menenangkan dirinya sendiri dengan berpikir kalau Soobin pasti sudah memiliki kekasihnya sendiri.

Tapi tetap saja, rasa sakit dari hatinya belum berkurang barang sedikit pun.

Hatinya semakin berkecamuk tatkala dirinya tak sengaja memergoki Changmin yang terus-menerus menonton ulang videonya dengan Soobin. Senyuman lebar yang sudah beberapa hari ini tak ia dapatkan, malah tercipta dengan mudahnya karena lelaki lain.

Sakit?

Tentu saja.

Pertama, Sunwoo. Sekarang datang lagi pesaing baru bernama Soobin.

Selanjutnya siapa lagi, pikir Chanhee.

Chanhee sendiri sadar bahwa kekasihnya itu memang memiliki personalitas yang menarik, tampang yang di atas rata-rata, serta hal-hal kecil lain dari dirinya yang dapat membuat siapapun jatuh hati dibuatnya.

Dalam hitungan detik, Chanhee tak lagi merasakan sakit di dalam hatinya. Karena sirna sudah rasa sakitnya yang tergantikan oleh rasa takut.

Takut bahwa Chanhee akan kehilangan Changmin dalam sekejap mata.

Hari itu adalah hari terakhir Chanhee dan Juyeon menjadi DJ di Radio “Listen”. Kedua DJ tersebut sudah mondar-mandir di dalam kamar masing-masing sejak pagi buta, sibuk mempersiapkan penampilan terakhir mereka agar berjalan dengan baik.

Jujur saja, baik Chanhee maupun Juyeon, termasuk ke dalam deretan orang perfeksionis di grup mereka. Meskipun dalam hal perfeksionis, mereka berdua masih berada jauh di bawah Changmin.

Sebagai seorang kekasih dan teman terdekat Chanhee, Changmin berinisiatif untuk mengajaknya keluar untuk makan malam dengan tujuan memberikan selamat karena Chanhee sudah memberikan performa terbaiknya sebagai DJ selama ini.

Akan tetapi, sedari tadi Chanhee belum juga membukakan pintu kamarnya. Padahal Changmin sudah mengetuk dan berdiri hampir setengah jam di depan pintu kamar pemilik surai biru tersebut.

Tepat di ketukan ke-50 (ya, Changmin menghitungnya dari awal) Chanhee muncul dengan muka masam, membuat Changmin agak terkejut melihatnya.

“Ada apa sih, Min? Kamu kan tau aku lagi sibuk daritadi?”

Nada bicara Chanhee yang ketus menorehkan goresan di hati Changmin. Walaupun begitu, Changmin masih berusaha untuk memberikan senyumnya pada Chanhee.

“Hari ini kamu langsung pulang kan habis dari radio? Kita-”

“Enggak. Aku sama Juyeon harus ikut seluruh staffnya buat acara makan malam bareng.”

Changmin terdiam di tempatnya, menggigit bibir bawahnya sebelum menyunggingkan senyum pahit.

“Oh.. yaudah kalau gitu, gimana kalau habis itu kita-”

“Enggak, Min. Aku lagi gak mau jalan kemana-mana.”

Lagi, omonganku dipotong lagi batin Changmin.

Helaan nafas keluar dari belah bibir Changmin, kedua bola matanya menatap lurus ke dalam mata Chanhee.

Chanhee tertegun melihat sorot mata Changmin yang meredup, tetapi emosinya yang sedang berantakan berhasil mengalahkan hati kecilnya.

“Udah kan, Min? Aku lagi sibuk, jangan gangguin aku lagi.”

Dan dengan begitu saja, pintu kamar itu pun kembali tertutup.

Semuanya bermula ketika Chanhee tidak sengaja menemukan iklan tentang resort mewah ini di internet. Sebagai seseorang yang senang bepergian dan mengunjungi tempat indah untuk koleksi fotonya, kesempatan seperti ini tentu tidak akan Chanhee sia-siakan. Akan tetapi, belum sampai 1 menit Chanhee menekuni iklan tersebut, keningnya sudah menunjukkan beberapa kerutan halus. Bibir tipisnya membentuk kurva yang melengkung ke bawah.

Cukup lama Chanhee terdiam di posisinya, hingga tiba-tiba sebuah ide terbesit di pikirannya. Segera saja Chanhee membuka aplikasi chat miliknya. Matanya terfokus pada chat room yang selama ini selalu ia sematkan di paling atas. Beberapa bubble chat ia kirimkan kepada seseorang yang berada di chat room itu. Setelah selesai, Chanhee mengunci handphonenya dan berlari untuk menjatuhkan dirinya di atas kasurnya sendiri dan memejamkan matanya. Tanpa sadar, Chanhee sudah terbawa jauh ke dalam alam mimpinya.

Suara pintu kamar yang dibuka membuat Chanhee terbangun dari tidurnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibir sang pemilik ketika kedua bola matanya bertabrakan dengan milik Chanhee. Chanhee bergerak untuk duduk di tepi kasur, melakukan peregangan selama beberapa detik sebelum mulutnya terbuka cukup lebar untuk menguap. Kekehan kecil terdengar dari sosok lain yang sekarang turut berada di dalam kamar Chanhee.

“Tutup mulutmu ketika menguap, Chanhee.”

Chanhee bersikap acuh, tubuhnya malah bergerak untuk mengambil handphonenya lalu menarik tangan si orang lain untuk membuatnya duduk berhadapan dengan Chanhee di atas karpet.

“Jadi, gimana menurutmu?” tanya Chanhee dengan mata berbinar.

Yang ditatap malah mengedikkan bahunya, tidak memberikan jawaban apapun dan membuat Chanhee mendesis kesal.

“Iiiih, gimana sih Changmin? Ditanya malah gak jawab!” seru Chanhee dengan bibir yang mengerucut, kerutan halus kembali muncul di sepanjang dahinya.

Changmin tertawa lepas karena reaksi Chanhee. Tangannya terulur untuk mengambil handphone miliknya dari dalam saku celananya. Ibu jarinya bergerak secara cepat untuk mencari sesuatu di handphonenya. Setelah menemukan hal yang dicarinya, Changmin memperlihatkan layar handphonenya kepada Chanhee.

“Kamu serius mau pakai diskon yang ini, Chanhee?” tanya Changmin dengan sorot mata penuh keraguan.

Di sisi lain, Chanhee malah menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat.

“Iya, Changmin! Kamu udah liat belum sih? Itu resortnya bagus banget tau!” balas Chanhee dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Changmin menghela nafas dengan kasar, sebelah tangannya ia gunakan untuk mengusap wajahnya.

“Chanhee.. ini diskonnya buat orang yang udah nikah, loh?”

Kali ini giliran Chanhee yang menghela nafas. Kepalanya tertunduk ke bawah untuk beberapa saat sebelum ia mencoba untuk mengeluarkan puppy eyes andalannya pada Changmin.

“Changmin.. please? Kita kan udah lama temenan, segimana susahnya sih buat pura-pura keliatan kayak orang yang udah nikah?”

Changmin kembali menghela nafasnya, batinnya mengiyakan pernyataan Chanhee. Mereka sudah bersahabat lebih dari 10 tahun lamanya. Changmin menimbang-nimbang keputusan ini dengan seksama karena bagaimanapun, akan menjadi sebuah urusan yang besar apabila mereka berdua ketahuan nantinya. Terlebih lagi, jika perasaannya yang selama ini ia pendam untuk sahabatnya juga muncul melebihi batas.

Cukup lama Chanhee dan Changmin terdiam dalam keheningan. Chanhee masih berpegang teguh pada keinginannya sedangkan Changmin masih berusaha untuk membuat hati dan akal sehatnya sama-sama bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar. Kesal dengan Changmin yang tak kunjung memberikan jawaban, Chanhee akhirnya memutuskan untuk berdiri dari karpet dan kembali melemparkan dirinya ke atas kasur.

Changmin hanya dapat menggelengkan kepala melihat aksi kekanakan yang dilakukan Chanhee. Ia akhirnya memutuskan untuk mengalah, jarinya bergerak untuk membuat reservasi atas nama mereka berdua. Setelah melakukan pembayaran secara online, tiket reservasi mereka muncul dalam bentuk pdf. Segera saja Changmin mendownload file tiket reservasinya dan membagikannya ke chatroom mereka.

Suara notifikasi di handphone Chanhee membuat Chanhee bergerak dari posisi awalnya yang telungkup di kasur. Matanya bergerak dari notifikasi yang muncul di layarnya menuju wajah Changmin. Changmin tersenyum tipis, mengisyaratkan Chanhee untuk membuka notifikasi tersebut.

Sesaat setelah Chanhee membuka file pdf yang tadi Changmin kirimkan, wajahnya terangkat dengan mata membelalak. Sebuah pelukan erat menghujam Changmin secara tiba-tiba, membuat Changmin terguling ke belakang. Chanhee berteriak kegirangan, lantunan kalimat “MAKASIH MINNIII” dan “AKU SAYANG KAMUUU” silih bergantian seraya pelukannya mengerat di leher Changmin. Senyuman lebar terpatri di wajah Changmin, sebelah tangannya terangkat untuk menepuk punggung Chanhee.

“Okay, okay.. Kalau kamu beneran sayang aku, jangan keras-keras dong peluknya. Sesek nih..” balas Changmin sambil menahan untuk tidak terbatuk.

Segera setelah mendengar perkataan Changmin, pelukan Chanhee terlepas begitu saja. Kedua tangan Chanhee kini bergerak untuk menangkup pipi Changmin, memainkan pipi kenyalnya.

“Hihi, makasih ya Minniii! Seneng banget deh aku punya sahabat kayak kamu!” ujar Chanhee penuh antusias, tak menyadari bahwa lawan bicaranya kini menyunggingkan senyuman pahit.

“Iya, Chanhee. Sekarang mana cium buat akunya?” tanya Changmin sambil menunjuk bibirnya.

“DIH? NGAPAIN AKU CIUM KAMU?!” pekik Chanhee, panik karena permintaan Changmin.

“Loh? Ini bentuk latihan sebelum kita ke resort. Nanti kan kita bakal jadi sepasang suami disana?” balas Changmin.

Chanhee menghela nafasnya, dengan secepat kilat ia memajukan tubuhnya dan mendaratkan kecupan ringan di pipi Changmin.

“Tuh! Udah ah, sana kamu pulang. Udah kemaleman lagian!” usir Chanhee pada Changmin, wajahnya galak tetapi tetap saja tidak cukup untuk menutupi rona merah muda yang tercetak jelas di wajah Chanhee.

“Kok aku diusir, sih? Nanti juga disana kita tidur bareng di satu ranjang. Sekalian aja kita praktik dulu, yuk?”

“BUGH!”

Sebuah bantal melayang tepat di muka Changmin.

“ADUH! IYA AMPUN CHANHEE AKU PULANG SEKARANG!!!”

Akhir minggu ini, Chanhee dan Changmin akhirnya berangkat menuju resort mahal yang telah Chanhee idam-idamkan sebelumnya. Mereka berangkat bersama dengan menggunakan mobil milik Changmin. Selama perjalanan menuju resort, Chanhee tak henti-hentinya berlatih dengan aktingnya.

“Changmin.”

Yang dipanggil menoleh sekilas, alisnya terangkat sebentar mengisyaratkan perkataan “ada apa?” sebelum akhirnya ia kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan di depannya.

“Kamu mau aku panggil sayangku atau suamiku?”

Sedetik kemudian, mobil itu berhenti mendadak. Kedua orang yang berada di dalam mobil tersebut terdiam sejenak, sebelum akhirnya mobil tersebut melaju kembali. Untungnya, keadaan jalan sedang sepi ketika Changmin menginjak rem dalam-dalam.

“Chanhee.. ngomongin apa sih?” tanya Changmin dengan detak jantung yang masih tak karuan.

“Kok kamu panik sih, Min? Lagian aku harus manggil gitu biar staf resortnya beneran percaya kita udah nikah tau!” jelas Chanhee di sela-sela tawanya.

Changmin menggelengkan kepalanya, pasrah dengan Chanhee yang benar-benar buta akan perasaannya. Mobil milik Changmin kembali melaju dalam kecepatan penuh agar mereka berdua dapat tiba di resort tepat pada waktu check-in.

Sesampainya mereka di resort, kedua insan ini tak henti-hentinya mengagumi seluruh isi resort tersebut. Chanhee memang tak pernah salah dalam memilih tempat tujuan yang indah, batin Changmin. Pandangan Changmin kini beralih pada lelaki di sebelahnya, hatinya kembali berdebar ketika memikirkan bahwa selama seminggu kedepan mereka harus berpura-pura menjadi sepasang suami dan juga tidur di bawah atap yang sama.

Entah berapa lama Changmin terhanyut dalam pikirannya, karena tiba-tiba saja Chanhee sudah menghilang dari pandangannya. Changmin celingukan, kepalanya berputar untuk melihat sekeliling. Ditemukannya Chanhee sudah berjalan menuju meja resepsionis dengan langkah kaki riang dan tingkahnya yang ceria, bisa dipastikan bahwa Chanhee memang menyukai resort ini. Bibir Changmin membentuk kurva, tersenyum bangga karena ia telah berhasil membuat si pujaan hati sebahagia ini.

Setelah mereka berdua melewati proses check-in yang cukup menegangkan (karena sang resepsionis tiba-tiba bertanya kapan tanggal pernikahan mereka dan untungnya baik Chanhee maupun Changmin menyebutkan tanggal pertama kali mereka mengikrarkan janji persahabatan mereka), Chanhee dan Changmin menarik koper mereka menuju kamar yang akan mereka tempati selama 7 hari kedepan. Begitu keduanya menginjakkan kaki ke dalam, nampaklah pemandangan kamar dengan interior khas untuk pasangan yang sedang berbulan madu. Mulai dari kelopak bunga berbentuk hati yang tersebar di atas kasur, hingga jejeran lilin kecil yang menyala di sekeliling tempat tidur.

Chanhee dan Changmin mematung di pintu kamar untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Chanhee masuk ke dalam, menaruh kopernya di dalam lemari dan mulai mengeluarkan pakaiannya dari dalam koper untuk kemudian digantung agar tidak kusut. Changmin mengikuti apa yang Chanhee lakukan beberapa saat kemudian, keduanya membereskan pakaian mereka masing-masing dalam diam.

Keheningan melanda selama lebih dari 15 menit, Changmin yang pada dasarnya memang tidak menyukai keheningan akhirnya memutuskan untuk menyalakan TV dan membuka Netflix. Changmin kemudian berjalan menuju kasur untuk merebahkan dirinya, yang tanpa diduga juga diikuti oleh Chanhee. Beberapa menit kemudian, rasa canggung yang sempat muncul itu sudah menghilang entah kemana. Sisa hari itu dihabiskan oleh mereka berdua dengan menonton Netflix dan memesan makanan dari restoran yang ada di resort tersebut.

Keesokan harinya, Changmin bangun terlebih dahulu. Sinar matahari yang menyeruak dari sela-sela tirai cukup menyilaukan untuk membuat Changmin mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar tersadar dari tidurnya. Diliriknya Chanhee yang masih tertidur pulas di sebelahnya, badannya meringkuk ke arah Changmin sembari memeluk boneka Patrick yang dibawanya dari rumah. Changmin merasa tak tega untuk membangunkan Chanhee, tapi mereka tidak datang kesini untuk sekedar menumpang tidur saja ‘kan?

Setelah bergumul dengan pikirannya selama 1 menit, akhirnya Changmin membangunkan Chanhee dengan menggoyangkan tubuhnya. Nihil, tak ada respon dari Chanhee. Kembali Changmin menggoyangkan tubuh Chanhee, kali ini dilakukannya dengan lebih keras dan cepat. Berhasil, Chanhee mulai menggeliat dan meregangkan tubuhnya.

“Mhm, good morning hubby.”

Kata terakhir yang keluar dari belah bibir Chanhee berhasil membuat Changmin terperanjat. Detak jantungnya berpacu tak beraturan. Changmin masih belum terbiasa dengan semua akting yang harus mereka lakukan.

“M- morning, love.” cicit Changmin pelan.

Balasan kikuk nan awkward dari Changmin membuat Chanhee tertawa dengan mata setengah tertutup. Setelah selesai dengan peregangan singkatnya, Chanhee menyingkap selimut yang semalam mereka gunakan berdua. Chanhee kemudian berjalan lurus ke arah kamar mandi, mengunci pintu kamar mandi dan langsung menyalakan keran air.

Changmin masih termenung di tepi kasur, senyuman tipis terlihat di wajahnya. Nampaknya, hari ini jantungnya harus bekerja super keras demi melakukan akting yang rapi. Changmin kemudian melangkahkan kakinya ke arah lemari, menimbang-nimbang dresscode apa yang harus mereka pakai hari ini. Matanya tertuju pada set denim yang mereka berdua bawa masing-masing, kelihatannya pakaian denim on denim akan cocok dipakai di hari yang cerah seperti sekarang ini batin Changmin.

Diletakkannya pakaian milik Chanhee di atas kasur, agar Chanhee dapat langsung berganti baju setelah ia selesai mandi. Benar saja, beberapa detik setelahnya pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan Chanhee yang sudah terbalut dengan bathrobe. Segera setelahnya, Changmin melangkah masuk ke dalam kamar mandi agar mereka berdua dapat dengan segera berjalan-jalan di sekitar resort.

Ya, jadwal Changmin dan Chanhee hari ini adalah mengunjungi beberapa area yang terdapat di dalam resort tersebut. Chanhee bilang, ia akan bisa mendapatkan banyak foto bagus jika kegiatan mereka berdua dilaksanakan dari pagi hari. Sebagai sahabat yang baik, Changmin akan mengiyakan seluruh keinginan Chanhee.

Hari kedua Changmin dan Chanhee berada di resort dimulai dengan melakukan spa bersama di pagi hari. Pijat ala Thailand benar-benar membantu Changmin untuk menghilangkan pegal-pegal di tubuhnya yang Changmin dapatkan setelah menjadi fotografer penuh totalitas untuk Chanhee. Siang harinya, Changmin dan Chanhee pergi ke pantai yang masih berada di dalam area resort. Puluhan hingga ratusan foto mereka ambil siang itu, sebelum akhirnya mereka berdua berteduh di bawah pohon kelapa yang rindang sembari memakan es serut dan mendengarkan deburan ombak. Sebetulnya, Chanhee ingin kembali menghabiskan malam harinya dengan berduaan bersama Changmin di dalam kamar. Sayang seribu sayang, keinginannya itu harus ia kubur dalam-dalam karena pihak resort mewajibkan seluruh penginap untuk makan malam di tempat yang telah disediakan.

Jadi disinilah mereka berdua sekarang, mengenakan tuxedo berbeda warna untuk mengikuti acara candle light dinner. Tubuh ramping Chanhee terbalut dengan tuxedo warna putih, sedangkan Changmin terbalut dalam tuxedo berwarna biru muda. Keduanya duduk berhadapan, tatapan mereka mengedar ke sekeliling. Baik Chanhee maupun Changmin sama-sama meringis, melihat bagaimana pasangan lain yang benar-benar terhanyut dalam suasana romantis malam itu.

Changmin berdehem, membuat fokus Chanhee tertuju padanya. Tangan kanan Changmin bergerak untuk menggenggam tangan kiri Chanhee, ibu jarinya mengusap punggung tangan Chanhee. Chanhee mengerjapkan matanya sesaat, tanpa disadari pipinya merona hingga terlihat kontras dengan warna tuxedo miliknya.

“Love,” panggil Changmin.

“Mhm? Kenapa, sayang?” balas Chanhee sembari menggigit pipi dalamnya kuat-kuat, takut-takut kalau tawanya pecah dalam suasana romantis itu.

“Aku sayang kamu.”

“Aku sayang kamu juga.”

Senyuman tipis terlukis di raut wajah Changmin, senang rasanya mendengar kalimat tersebut keluar dari belah bibir si pujaan hati. Walau dirinya tak yakin apakah perasaannya berbalas dengan si pemuda bersurai hitam itu.

Keesokannya, Chanhee dan Changmin bangun kesiangan. Sekembalinya mereka dari acara candle light dinner, kedua pemuda itu tidur larut malam karena terlalu asik memainkan board game yang disediakan di setiap kamar. Oleh karena itu, siang ini Chanhee dan Changmin memutuskan untuk mengunjungi kebun bunga yang masih berada di lahan luas resort tersebut.

Khusus di minggu ini, tea party sedang diadakan di kebun bunga tersebut. Teriknya sinar matahari membuat Chanhee dan Changmin memutuskan untuk mengunjungi stan tempat minuman yang berada di area tea party. Chanhee dan Changmin kemudian berdiri bersebelahan sembari menikmati dinginnya minuman teh yang disajikan, kontras dengan suhu udara sekarang.

Tiba-tiba, fokus Chanhee tertuju pada dua orang lelaki yang sedang berjalan menuju mereka. Chanhee sontak terperanjat kaget ketika dirinya berhasil mengidentifikasi kedua sosok yang sedang berjalan mendekatinya ini. Hal ini lantas membuat Changmin mengalihkan pandangannya juga, mengakibatkan dirinya tersedak oleh minumannya sendiri.

“Loh, Chanhee?”

Yang dipanggil tersenyum pahit. Terlihat jelas dari ekspresinya bahwa ia tidak menyukai kehadiran orang-orang ini.

“Halo, Kak Younghoon dan Kak Jaehyun.” balas Chanhee dengan nada dingin.

“Gimana kabarnya, Chan? Udah lama ya dari kali terakhir kita ketemu.” Kali ini giliran Jaehyun atau Hyunjae yang bersuara.

“Kabarku baik, Kak.” balas Chanhee singkat.

Melihat gelagat Chanhee yang kurang bersahabat, Changmin mulai merasa khawatir. Akan tetapi, pertanyaan lain dari Younghoon malah membuat emosi Changmin tersulut.

“Hee, dia siapa? Bukannya kamu belum punya pacar?” tanya Younghoon to the point, ucapannya yang lantang membuat waitress yang berada di sekitar mereka menghentikan kegiatannya dan menjadikan mereka berempat sebagai bahan tontonan.

Chanhee terdiam di tempat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya, lidahnya kelu sedang kepalanya mulai terasa sakit.

“Perkenalkan, saya Ji Changmin. Suami dari Ji Chanhee.”

Changmin mengucapkan dua kalimat tadi dengan santai, tangan kanannya bahkan terulur untuk menjabat Younghoon dan Jaehyun. Reaksi terkejut terpancar jelas dari mimik muka Younghoon dan Jaehyun, kaget dengan Changmin yang tiba-tiba mengambil alih percakapan. Akhirnya Younghoon dan Jaehyun mengobrol singkat dengan Changmin, karena Chanhee masih terdiam di tempatnya.

Sepeninggalnya Younghoon dan Jaehyun, Chanhee jatuh terduduk. Lututnya sudah terasa lemas daritadi. Changmin buru-buru berjongkok di depan Chanhee, mengisyaratkan agar Chanhee naik ke punggungnya. Mereka berdua kemudian berjalan kembali ke kamar dengan posisi Chanhee yang menaiki punggung Changmin, kedua lengan Chanhee terlingkar dengan manis di leher Changmin. Sesampainya mereka di kamar, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Chanhee malah memilih untuk berbaring di kasur dengan memunggungi Changmin karena perasaannya yang bercampur aduk.

Entah sudah berapa lama Chanhee terlelap. Karena ketika dirinya sadar dan terbangun, kamarnya dalam keadaan gelap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk. Chanhee kemudian mengecek handphonenya yang berada di meja samping kasur, matanya memicing ketika menemukan satu pesan masuk dari Changmin.

Changmin meminta Chanhee untuk datang ke jacuzzi private yang terletak di belakang kamar mereka. Tanpa berpikir panjang, Chanhee segera melangkahkan kakinya menuju jacuzzi yang dimaksud. Sesampainya ia di sana, nafasnya tercekat untuk beberapa detik karena pemandangan yang ia lihat.

Kelopak mawar merah sudah menghiasi jacuzzi tersebut. Gelas kecil berisikan lilin yang menyala diletakkan di sekeliling jacuzzi, turut memberikan suasana yang romantis. Sebuah nampan berisikan sepucuk surat dan sepiring makanan kesukaan Chanhee juga sudah berada di pinggir jacuzzi tersebut. Chanhee tersenyum lebar, hatinya menghangat setelah membaca surat dari Changmin yang berisikan kalimat semangat untuk Chanhee.

Chanhee terhanyut dalam pikirannya. Baru kini ia sadar bahwa selama ini, Changmin adalah orang yang selalu berada di sisinya. Baru kini ia sadar bahwa Changmin kerap kali merona ketika Chanhee melontarkan gombalan atau melakukan skinship tanpa disengaja dengannya. Baru kini ia sadar bahwa Changmin selalu berhasil untuk membuatnya bahagia.

Chanhee merasa benar-benar bodoh. Kenapa perlu hingga bertahun-tahun agar akhirnya Chanhee sadar akan hal ini? Kenapa ia tidak paham mengenai hal ini sedari dulu? Apakah ini karena Chanhee terlalu gengsi untuk mengakui bahwa kupu-kupu yang menghinggapi perutnya ketika ia bersama Changmin adalah bentuk rasa sukanya terhadap Changmin?

Chanhee bergegas untuk menelpon Changmin, menyuruhnya agar ia cepat kembali ke kamar. Tanpa butuh waktu lama, Changmin sudah berada di depan pintu kamar. Changmin menunjukkan raut wajah kebingungan ketika Chanhee tiba-tiba menarik tangannya dan menciumnya tepat di bibir setelah Chanhee mendorong pintu kamar agar tertutup kembali dengan kakinya.

Baru saja Changmin akan mengeluarkan suara untuk bertanya, tetapi aksinya malah dipotong oleh ciuman lain dari Chanhee. Kali ini, ciumannya lebih memaksa dan menuntut dari sebelumnya. Changmin yang semula akan protes, malah terlarut dalam permainan lidah Chanhee yang memabukkan. Sekian menit telah berlalu hingga akhirnya tautan bibir itu terputus, meninggalkan jejak untaian saliva yang terbentuk diantaranya.

“I love you.”

“Hah?”

“I love you, Ji Changmin.”

“Hah?”

“KAMU INI PURA-PURA GAK DENGER ATAU GIMANA SIH MIN?! AKU BILANG I LOVE YOU KOK KAMU JAWABNYA HAH HAH!” Chanhee meledak, nafasnya memburu karena emosinya dan juga karena aktivitas yang mereka lakukan tadi.

Dahi Changmin berkerut, alisnya bertaut untuk beberapa saat. Chanhee mengusap wajahnya kasar, merasa frustasi karena Changmin tak kunjung mengerti ucapannya.

“Ji Changmin, aku baru sadar soal ini. Maaf karena aku butuh waktu lama hingga akhirnya aku mengerti soal perasaanku dan perasaanmu,”

Chanhee berhenti sejenak untuk mengambil nafas dalam-dalam.

“Sekarang, aku mau tanya sama kamu. Kalau namaku beneran ganti jadi Ji Chanhee, boleh nggak?”

Mendengar Chanhee bertanya seperti itu, Changmin malah menjerit seperti orang kesetanan. Chanhee jadi makin panik.

“MIN?! KOK KAMU MALAH TERIAK-TERIAK?!”

Jeritan Changmin masih berlangsung untuk satu menit lamanya, sebelum akhirnya pemilik suara mirip lumba-lumba itu terbatuk karena kehabisan nafas. Setelah memasukkan oksigen yang cukup ke dalam paru-parunya, Changmin memfokuskan pandangannya pada Chanhee.

“Chanhee, kamu serius?”

“Kamu gak percaya sama aku?”

“Bukan gitu, aku mau mastiin aja.” sanggah Changmin dengan cepat, takut kalau Chanhee malah badmood lagi karenanya.

Chanhee memutar bola matanya. Dirinya memutuskan untuk mendekat ke arah Changmin dan menghapus jarak diantara mereka, meninggalkan sekitar beberapa centimeter agar Chanhee dapat berbisik di depan bibir Changmin.

“Aku serius sama kamu. Mulai malam ini hingga seterusnya, aku jadi punyamu.”

Dan setelahnya, jarak diantara mereka benar-benar terhapus. Keduanya bertarung untuk dominansi dari pagutan bibir mereka. Changmin mendorong Chanhee untuk keluar dari kamar, berjalan mundur ke arah jacuzzi dan tepat sebelum Chanhee tercebur ke dalam jacuzzi, Changmin menahan melingkarkan lengannya di pinggul Chanhee. Maniknya yang gelap kontras dengan terangnya sinar bulan.

Changmin menghirup aroma tubuh Chanhee dari ceruk leher Chanhee, menyesap kulitnya pelan sebelum bibirnya mendekat ke arah telinga Chanhee untuk berbisik.

“Kalau begitu, siap-siap untuk terus-terusan meneriakkan namaku malam ini ya, Ji Chanhee.”