Jeno: When I Loved You So
Malam itu, empat belas Februari.
Ada dua undangan yang dikirim ke gue dari dua kelompok pertemanan gue yang berbeda. Satu dari Matthew dan pacarnya yang minta gue buat ikut mereka Valentine's Day dinner di Wharfside. Satu lagi dari salah satu temen kuliah gue—Josephine yang juga ngundang gue dan my plus one untuk makan malam juga di restoran baru dia.
I rejected them both. Karena gue udah punya dua tiket opera jam delapan malem.
Beauty and The Beast. Very classic.
Gue senyum-senyum sendiri waktu inget gimana gue hastily milih show itu waktu nggak sengaja lewat di depan Royal Opera sepulang dari ketemu temen gue beberapa minggu lalu.
Sehari sebelum show, gue udah minta ke Renjun supaya dia kosongin waktu dari jam lima sampe jam sepuluh malam di Valentine's Day. Dia agak takut-takut, karena gue tau dia diundang ke ulang tahun kelima Val di hari itu juga.
I walked him there, yang bikin pasangan Johnny-Jaehyun gelagapan kaget saking nggak nyangka gue akan ikut-ikutan dateng ke sana. Otomatis raise question juga dari beberapa orang yang ada di sana, them who knows me very very well.
Kita nggak bisa ikut acara Val sampe selesai, karena ada agenda lain yang mau gue lakuin hari ini bareng Renjun.
Jam tiga sore, kita udah pamit undur diri meskipun Val belum sempet tiup lilin dan potong kue. Renjun bilang dia janji akan ngunjungin Val akhir minggu. One thing for sure, gue bangga karena Renjun udah lebih jago ngomong Bahasa Inggris sama Val sekarang.
Setelah sampai di rumah, Renjun kaget karena gue tiba-tiba udah ada di dapur setelah ganti baju. Sumpah, I can tell that he was so terrified by the idea of me, masak-masak.
Not like dia nggak yakin sama masakan gue atau gimana, tapi kayaknya dia nggak percaya aja akhirnya gue ada di titik ini—masak untuk dia casually, bukan karena keadaan.
He was just sat there across the kitchen island, nopang dagungnya pake kedua tangan. Watched me as his fond gaze following me around, meskipun gue bener-bener ngelakuin semuanya in an amateurish way—nggak kayak dia yang udah terlihat sangat terbiasa ada di dapur.
Jam lima sore, gue udah selesai masak. Nggak macem-macem, gue cuma masak seared salmon yang dimakan sama tumis brokoli dan mashed potatoes, dan terakhir disiram sama sedikit saus pesto.
I'm positive that I'm doing it better than my brother—yang cuma masakin sunny side egg di malam dia propose ke Jaemin, empat tahun lalu. Gue nggak ngerti, bisa-bisanya Jaemin mau sama dia.
Oh well, bukan, gue bukan mau propose ke Renjun malem ini. Rest assured, gue cuma mau left remarks untuk dia malem ini. Belum sampe ke tahap itu karena banyak hal yang masih harus gue perbaiki.
Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran semua orang seperti, “why?”, “how?”, atau “how come?” seorang Jeno bisa punya progress kayak gini when it comes to Renjun?
Gue nggak tau gimana pastinya, tapi yang jelas, malem di mana Renjun bener-bener tulus bantuin gue tanpa peduli lagi omongan jahat gue beberapa hari sebelumnya bener-bener jadi turning point yang nggak bisa lagi gue sia-siakan.
Saat itu, gue cuma berpikir omongan Mami soal 'menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing' yang gue coba lakukan semampu gue. Seenggaknya, kalo nanti kita harus hidup dengan jalan masing-masing, kita udah ada di titik menuju sempurna itu.
Oh, perfect.
Gue belum pernah liat Renjun tampil seperfect malem ini sebelumnya. Setelah makan malam yang kesorean itu, gue panggil stylist dari kantor Johnny untuk bantu Renjun dan gue dandan.
Renjun bener-bener ganteng sekaligus manis banget ketika Ramona—stylist Johnny milihin satu slack warna item, turltleneck item, dan cardigan warna coklat untuk dia. Masih ditambah pake wool coat item dan syal merah marun yang kita beli di minggu pertama Renjun dateng ke London dulu—kata si stylist, itu request dia sendiri.
This is gonna be silly, tapi malem Valentine itu, kalo nggak ada halangan, rencananya gue mau bilang ke Renjun kalo gue udah siap untuk bener-bener mengenal dia dengan lebih baik.
Tau alasan di balik gue milih Beauty and The Beast untuk jadi opera yang akan nemenin Valentine's Day kita?
Kisah Beauty and The Beast pasti nggak akrab sama telinga gue sebagai anak cowok yang di masa kecilnya lebih sering mainan robot atau lego. Mungkin gue cuma ngerti beberapa hal besar seperti si putri cantik yang harus hidup kejebak sama monster, monster itu ternyata dikutuk, then her ultimate love breaks the curse, and so on.
Tapi as I grew older, gue akhirnya ngerti message apa yang coba Jeann-Marie Leprince coba sampein lewat dongeng itu. Yang nggak lain, sangat dekat sama kenyataan yang gue alami dalam beberapa bulan terakhir.
Maybe ... just maybe ... Renjun adalah representasi Belle buat gue di dunia nyata.
Gue berterima kasih karena malem ini cuaca cukup bersahabat, cuma ada hujan gerimis yang turun waktu kita udah masuk ke opera hall—dengan tangan gue yang udah gandeng tangan Renjun sejak keluar dari stasiun.
Kami keluar dari hall waktu jam di pergelangan tangan kanan gue nunjukin waktu pukul sepuluh lewat sepuluh menit.
Jalanan masih cukup rame, dan juga basah akibat gerimis yang kayaknya baru aja turun dan akhirnya berhenti lagi beberapa menit lalu.
Tapi memang Covent Garden dan sekitarnya selalu rame, sih. Dan ... bodohnya, gue belom sempet ngomong sesuatu yang seharusnya gue bicarain secara serius sama Renjun selama di dalem tadi.
Renjun terlalu larut sama shownya, dan gue nggak tega kalo harus broke his attention to the show cuma buat ngomongin sesuatu yang seharusnya bisa gue omongin di rumah. Besides, ternyata gue deg-degan juga, ya. Oke, kalian boleh ketawa. Silakan.
Karena gue belum pengen malem itu berakhir secepet itu, cause I swear to God going out with him, feels super super super nice. Dia tau gimana caranya untuk bikin gue nggak merasa percuma atau sia-sia mengeluarkan uang untuk ngajak dia pergi.
Gue ajak Renjun nyebrang ke Marquess untuk minum sebentar. Selama ini gue agak protektif when it comes to drink responsibly, apalagi Renjun belum legal secara usia di sini. Jadi gue sebisa mungkin nggak membiarkan dia nyentuh alkohol.
But that night was the only exception, I think nggak akan jadi masalah buat dia karena bulan depan dia juga udah dua puluh satu. Gue pesenin Renjun satu gelas bir yang gue rasa nggak terlalu berat buat dia, dan satu banoffee martini untuk gue. Oh well, kalian nggak bisa selalu bilang orang yang minum martini di segala situasi adalah mereka—the unhinged alcoholic ya, cause I am not.
I was about to make it more thrilling, gue bercanda nyuruh Renjun minum beer dia in one shot, tapi ternyata waktu dia baru nyoba took one sip of his beer, muka dia udah berubah. I can tell, dia nggak suka rasanya.
Bahkan setelah martini gue abis, dia cuma bisa ngabisin sepertiga dari satu gelas penuh bir. Padahal daritadi juga kita ditemenin sama cemilan-cemilan. He was just ... couldn't take it anymore kayaknya.
Jadi ya, kita mau nggak mau langsung pulang karena nggak mau ketinggalan kereta terakhir ke Ealing.
Sepanjang perjalanan di kereta, gue sama Renjun tetep gandengan tangan. Dia jadi lebih kenceng genggam tangan gue. Berkali-kali gue tanya ke dia, 'are you okay?' dan dia tetep berusaha reassure kalo dia baik-baik aja. Tapi dari senyumnya pun gue tau, kayaknya dia udah mulai mabuk.
Aduh, ternyata ngajakin dia minum bukan ide yang bagus ya.
Beberapa stasiun sebelum stasiun tujuan kita, Renjun udah mulai naro kepalanya di pundak gue, dan secara impulsif minta gue buat ngelus kepala dia, karena katanya dia pusing.
Good lord, udah jelas dia mabuk. Semoga dia nggak cerita ke Mami atau Ibunya, bisa mati gue kalo ketauan bikin anak orang mabuk sebelum waktunya.
Untungnya, kita sampe di rumah dengan selamat.
Bahkan Renjun yang awalnya tepar di sofa, tiba-tiba pergi ke kamar mandi buat basuh wajahnya dan begitu keluar dari kamar mandi, dia bilang kalo dia udah sober sepenuhnya.
Tapi wajahnya masih ditekuk terus, kayaknya dia masih belum bisa menerima kenyataan kalo dia abis mabok bareng gue. Gue ketawa kecil, pengalaman pertama pasti selalu gitu. Been there, done that.
“You look so upset, do you want me to hold you?” gue tanya ke dia yang udah lepas coat dan cardigannya—sehingga cuma nyisain turtleneck warna hitam itu—sambil berusaha lepasin dasi gue yang agak kenceng dipasangnya. Dia ngangguk terus jalan ke arah gue yang lagi berdiri di tengah ruangan.
Being this close to him feels like home somehow.
Gue mungkin udah berkali-kali berhadapan sama orang yang bisa gue bilang romantically attracted sama gue. Tapi, kali ini, waktu sama Renjun, semuanya beda. Gue bisa pastiin semuanya beda.
Dia itu ... pure and raw. Dia akan banyak melakukan hal yang terkesan impulsif dan tanpa pikir panjang.
Beberapa kali dia initiate untuk lebih deket dengan gue, dengan tiba-tiba meluk gue, tiba-tiba sandarin badannya ke badan gue, pegang tangan gue, dan yang paling sering, dia akan tiba-tiba cium pipi gue.
Mungkin itu cara dia nunjukin rasa kasih sayang.
Gue biasanya cuma akan senyum tanpa berniat bales perlakuan dia dengan berlebihan. He would giggle to it, too.
Tapi malem itu, saat gue meluk Renjun dan tiba-tiba dia bikin kita berdua jatoh ke sofa—ditambah sama suara ketawa dia yang kedenger lebih manis di telinga gue, ada satu hal yang sangat ingin gue lakuin sama dia. Kiss him in a right way.
“Seneng nggak malem ini?” tanya gue sambil singkirin beberapa helai rambut dari matanya pake tangan kanan. Sementara tangan kiri nyangga punggung belakang dia yang langsung ketemu sama punggung sofa.
“Mm-hm, makasih ya...” suara lirih dia hampir nggak kedengeran, tapi anggukan kecil dia punya makna dia mengiyakan pertanyaan gue.
Gue senyum buat bales jawaban dia, “what matter the most is your happiness, baby,” lanjut gue sambil pelan-pelan ngelus pipi Renjun.
“Aku kepikiran satu ide yang boleh kamu tolak atau boleh kamu terima. Tapi yang penting aku mau ngomong dulu,” gue berfikir kapan lagi gue akan bisa ngomongin ini ke dia kalo bukan di kesempatan di mana kita udah sedeket ini?
“Mm-hm?” dia cuma gumam pelan buat jawab pertanyaan gue.
“Aku boleh nolak? Emang itu sesuatu yang bahaya buat aku?” dia nanya gitu, put me in chuckles soalnya satu-satunya bahaya yang ada di sekitar dia sebenernya cuma gue.
“Not that itu bakal bikin kamu ada dalam bahaya, tapi mungkin kamu harus mikir lebih jauh sebelum bilang iya.”
Mata Renjun yang selalu gue asosiasikan sama bola mata paling indah yang pernah gue liat itu mulai berkaca-kaca. Gue bener-bener ikut kebawa suasana. Hati gue ikutan sakit waktu inget gue pernah bikin air mata keluar dari sana—mungkin berkali-kali, tanpa sepengetahuan gue, padahal kalo boleh dibilang, malam itu, the least thing yang pengen gue lihat adalah tangisan sedih dia di kemudian hari.
Waktu gue bilang emosi Renjun itu lekat sama yang namanya impulsivity, I really meant it, dia tiba-tiba deketin bibirnya untuk kecup bibir gue.
Rasa berat yang sebelumnya ada di dada gue, rasanya semakin berat dan bikin sesak di sana. Gue mungkin sadar malem itu, sadar kalo gue nggak mau kehilangan Renjun.
“I like you,” dia ngomong dengan begitu polosnya, begitu impulsifnya, bikin dada gue lagi-lagi makin terasa berat. Senyum yang selalu dia tunjukin saat ngomong sama gue, lagi-lagi ada di sana. Matanya udah ngeluarin setitik air mata yang turun ke pipi. Gue usap pelan pake ibu jari gue yang sedari tadi nggak pernah pergi dari sana.
Gue ingin Renjun tetep di sini, tapi bukan pengakuan ini yang gue mau dari dia sementara ada banyak hal yang masih harus gue selesaiin. Dia yang jatuh cinta ke gue terlalu cepat, akan bikin dia sakit sendiri ketika tau gue belum selesai sama banyak hal di masa lalu gue.
And that night, I blamed that martini shit for letting my true old self be in charge of taking control.
Gue bales ciuman Renjun—relentlessly, tanpa mikir kalo gue bisa kapan aja nyakitin dia.
It was new to him, it was the newest experience for him.
I can vividly remember his glistening eyes were the most pleasurable thing I'd ever seen for the entire night—when I pulled him too close and when I bring him the taste of love and passion.
Lagi-lagi, iya, gue salah.
Sesi making-out kami selesai waktu saraf sadar gue serasa diaktifkan lagi dan otak gue bilang untuk segera berhenti.
Gue tarik kepala gue dari leher Renjun, dan gue kecup sebentar bibir dia.
“Your twenty-one will be in a month, it won't feel like forever, babe.“
Lalu gue turunin dia dari pangkuan gue, sambil gue usap lengan atasnya yang udah sangat bergetar ngikutin nafasnya yang masih belum beraturan.
Sebenernya, bisa dibilang keputusan gue untuk menyudahi sesi make-out bareng Renjun juga karena HP gue lagi geter-geter—intensely di saku celana, gue bisa rasain kayaknya itu telfon dari seseorang.
Gue pikir, gue bisa angkat telfonnya nanti, karena kayaknya Renjun lebih butuh minum air supaya rasa shock dia segera ilang.
“Aku ambilin minum ya?”
Anggukan dia jadi hal terakhir yang gue lihat sebelum gue beranjak ke dapur untuk ngambilin dia minum dan meninggalkan HP gue yang masih nyala di sofa deket Renjun. Tanpa memprediksi, kalo malem itu akan jadi malem terakhir gue ngeliat Renjun di sekitar gue.
We were so fine back then—atau at least di mata gue Renjun masih baik-baik aja.
Setelah minum, pandangan mata dia mungkin masih kosong dan terkesan masih shock, tapi dia udah bisa excuse himself untuk pergi tidur ke kamarnya.
Gue juga nggak terlalu sadar apa yang terjadi sama dia karena semua berjalan begitu cepet.
I gave him his good night hugs and kiss, dia naik ke lantai dua, dan gue pergi tidur setelah pasang charge untuk HP gue yang mati kehabisan baterai.
Tapi besok paginya, dia udah nggak ada. Renjun pergi dari rumah.
Gue naik ke kamarnya dan sama sekali nggak ada barang-barang punya dia di sana. Cuma ada baju-baju dan tas dari Mami yang dia susun rapi di atas tempat tidur.
Dengan paniknya, gue buka lagi HP gue untuk dapetin ada lebih dari sepuluh missed calls dari Reneé dan asistennya.
Pesan terakhir yang gue dapet dari asisten Reneé cukup untuk jadi kesalahan terbesar lain yang gue lakuin hari itu.
Reneé dan Jonathan berantem semalem, itulah alasan dia telfon gue berkali-kali. Dan bodohnya, Reneé nyusulin gue ke London, yang diikutin sama si Jonathan juga karena dia merasa mantan pacarnya itu nggak seharusnya ngejar gue—dia nggak seharusnya ngejar seseorang yang worthless kayak gue.
Mereka udah jauh lebih dewasa dari gue, terus ngapain mereka repot-repot nyari gue waktu mereka lagi punya masalah?
Emangnya otak encer mereka nggak cukup untuk nyelesaiin masalahnya sendiri sampe butuh kehadiran gue yang selama ini cuma mereka anggep sebagai anak ingusan yang terlanjur sayang sama Reneé gara-gara abandonement issue yang suka jadi bahan olokan mereka saat gue nggak ada?
Kesalahan lain, saat emosi gue masih ada di puncaknya setelah lebih memilih ngabisin tenaga untuk maki-maki Reneé di depan rumah pagi buta itu dibanding ngejar Renjun adalah gue langsung kirim pesan yang sampe sekarang masih gue sesali buat Renjun.
Meskipun gue tau, Renjun udah ada di tempat yang tepat saat dia dateng ke rumah Om Donghae. Meskipun lagi, dia nggak bisa ketemu sosok orang yang dia cari di sana.
Otak gue bener-bener udah malfunctioning hari itu. Terlalu banyak kejadian yang bikin kepala gue mau pecah.
Fakta bahwa Renjun kabur sejauh itu ke Edinburgh, ke tempat Om Donghae sementara Om Donghae lagi pergi ke luar negeri bikin gue pusing. Lebih-lebih, kebodohan Reneé dan Jonathan yang masih berantem di depan rumah gue.
Gue bukan nggak berusaha nelfon Renjun dan minta dia buat balik setelah gue kelepasan ngomong gitu. Berkali-kali gue coba. Tapi nggak ada jawaban sama sekali.
Hal terakhir yang bisa gue lakuin, gue mau nggak mau harus nyusul Renjun ke Edinburgh dan bawa dia pulang sebelum sore ini.
Belum sempet gue sampe di stasiun kereta, Jaehyun udah telfon dan ngabarin gue kalo Renjun bener-bener akan pulang ke Jakarta siang ini.
Johnny dan Jaehyun yang bantu dia.
Gue nggak bisa salahin mereka. Karena mereka akan selalu ada untuk memihak Renjun, karena mereka jelas tau kalo Renjun bukan sumber masalah.
Dan sialnya, mereka bener, selalu gue dan tempramen gue yang jadi sumber masalah.
Hari itu, gue kembali pulang dengan tangan kosong. Otak gue bilang bahwa ini bukan apa-apa. Dan diomelin Mami cuma bakal jadi angin lalu buat gue.
Iya. Gue rasa gue harus optimis kalo ini cuma fase yang sebentar lagi juga lewat.
Renjun cuma butuh waktu buat berpikir. Dia cuma butuh waktu sendirian.
Meskipun gue nggak menampik, gue terlalu takut nggak bisa ngembaliin rasa percaya dia lagi ke gue di kemudian hari.
Karena bahkan udah seminggu setelah kepulangan dia ke Jakarta, nggak ada berita apapun yang mampir di telinga gue dari semua orang.
Renjun bener-bener pergi. Nggak ada satu hal pun yang dia tinggal. Kecuali scarf merah marun dari gue yang selalu dia pake kemanapun, dan malam Valentine itu jadi waktu terakhir gue bisa liat dia pake scarf itu dengan bangga dan bahagia.