halfhumanhalfchocolate

Jeno: When I Loved You So

Malam itu, empat belas Februari.

Ada dua undangan yang dikirim ke gue dari dua kelompok pertemanan gue yang berbeda. Satu dari Matthew dan pacarnya yang minta gue buat ikut mereka Valentine's Day dinner di Wharfside. Satu lagi dari salah satu temen kuliah gue—Josephine yang juga ngundang gue dan my plus one untuk makan malam juga di restoran baru dia.

I rejected them both. Karena gue udah punya dua tiket opera jam delapan malem.

Beauty and The Beast. Very classic.

Gue senyum-senyum sendiri waktu inget gimana gue hastily milih show itu waktu nggak sengaja lewat di depan Royal Opera sepulang dari ketemu temen gue beberapa minggu lalu.

Sehari sebelum show, gue udah minta ke Renjun supaya dia kosongin waktu dari jam lima sampe jam sepuluh malam di Valentine's Day. Dia agak takut-takut, karena gue tau dia diundang ke ulang tahun kelima Val di hari itu juga.

I walked him there, yang bikin pasangan Johnny-Jaehyun gelagapan kaget saking nggak nyangka gue akan ikut-ikutan dateng ke sana. Otomatis raise question juga dari beberapa orang yang ada di sana, them who knows me very very well.

Kita nggak bisa ikut acara Val sampe selesai, karena ada agenda lain yang mau gue lakuin hari ini bareng Renjun.

Jam tiga sore, kita udah pamit undur diri meskipun Val belum sempet tiup lilin dan potong kue. Renjun bilang dia janji akan ngunjungin Val akhir minggu. One thing for sure, gue bangga karena Renjun udah lebih jago ngomong Bahasa Inggris sama Val sekarang.

Setelah sampai di rumah, Renjun kaget karena gue tiba-tiba udah ada di dapur setelah ganti baju. Sumpah, I can tell that he was so terrified by the idea of me, masak-masak.

Not like dia nggak yakin sama masakan gue atau gimana, tapi kayaknya dia nggak percaya aja akhirnya gue ada di titik ini—masak untuk dia casually, bukan karena keadaan.

He was just sat there across the kitchen island, nopang dagungnya pake kedua tangan. Watched me as his fond gaze following me around, meskipun gue bener-bener ngelakuin semuanya in an amateurish way—nggak kayak dia yang udah terlihat sangat terbiasa ada di dapur.

Jam lima sore, gue udah selesai masak. Nggak macem-macem, gue cuma masak seared salmon yang dimakan sama tumis brokoli dan mashed potatoes, dan terakhir disiram sama sedikit saus pesto.

I'm positive that I'm doing it better than my brother—yang cuma masakin sunny side egg di malam dia propose ke Jaemin, empat tahun lalu. Gue nggak ngerti, bisa-bisanya Jaemin mau sama dia.

Oh well, bukan, gue bukan mau propose ke Renjun malem ini. Rest assured, gue cuma mau left remarks untuk dia malem ini. Belum sampe ke tahap itu karena banyak hal yang masih harus gue perbaiki.

Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran semua orang seperti, “why?”, “how?”, atau “how come?” seorang Jeno bisa punya progress kayak gini when it comes to Renjun?

Gue nggak tau gimana pastinya, tapi yang jelas, malem di mana Renjun bener-bener tulus bantuin gue tanpa peduli lagi omongan jahat gue beberapa hari sebelumnya bener-bener jadi turning point yang nggak bisa lagi gue sia-siakan.

Saat itu, gue cuma berpikir omongan Mami soal 'menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing' yang gue coba lakukan semampu gue. Seenggaknya, kalo nanti kita harus hidup dengan jalan masing-masing, kita udah ada di titik menuju sempurna itu.

Oh, perfect.

Gue belum pernah liat Renjun tampil seperfect malem ini sebelumnya. Setelah makan malam yang kesorean itu, gue panggil stylist dari kantor Johnny untuk bantu Renjun dan gue dandan.

Renjun bener-bener ganteng sekaligus manis banget ketika Ramona—stylist Johnny milihin satu slack warna item, turltleneck item, dan cardigan warna coklat untuk dia. Masih ditambah pake wool coat item dan syal merah marun yang kita beli di minggu pertama Renjun dateng ke London dulu—kata si stylist, itu request dia sendiri.

This is gonna be silly, tapi malem Valentine itu, kalo nggak ada halangan, rencananya gue mau bilang ke Renjun kalo gue udah siap untuk bener-bener mengenal dia dengan lebih baik.

Tau alasan di balik gue milih Beauty and The Beast untuk jadi opera yang akan nemenin Valentine's Day kita?

Kisah Beauty and The Beast pasti nggak akrab sama telinga gue sebagai anak cowok yang di masa kecilnya lebih sering mainan robot atau lego. Mungkin gue cuma ngerti beberapa hal besar seperti si putri cantik yang harus hidup kejebak sama monster, monster itu ternyata dikutuk, then her ultimate love breaks the curse, and so on.

Tapi as I grew older, gue akhirnya ngerti message apa yang coba Jeann-Marie Leprince coba sampein lewat dongeng itu. Yang nggak lain, sangat dekat sama kenyataan yang gue alami dalam beberapa bulan terakhir.

Maybe ... just maybe ... Renjun adalah representasi Belle buat gue di dunia nyata.

Gue berterima kasih karena malem ini cuaca cukup bersahabat, cuma ada hujan gerimis yang turun waktu kita udah masuk ke opera hall—dengan tangan gue yang udah gandeng tangan Renjun sejak keluar dari stasiun.

Kami keluar dari hall waktu jam di pergelangan tangan kanan gue nunjukin waktu pukul sepuluh lewat sepuluh menit.

Jalanan masih cukup rame, dan juga basah akibat gerimis yang kayaknya baru aja turun dan akhirnya berhenti lagi beberapa menit lalu.

Tapi memang Covent Garden dan sekitarnya selalu rame, sih. Dan ... bodohnya, gue belom sempet ngomong sesuatu yang seharusnya gue bicarain secara serius sama Renjun selama di dalem tadi.

Renjun terlalu larut sama shownya, dan gue nggak tega kalo harus broke his attention to the show cuma buat ngomongin sesuatu yang seharusnya bisa gue omongin di rumah. Besides, ternyata gue deg-degan juga, ya. Oke, kalian boleh ketawa. Silakan.

Karena gue belum pengen malem itu berakhir secepet itu, cause I swear to God going out with him, feels super super super nice. Dia tau gimana caranya untuk bikin gue nggak merasa percuma atau sia-sia mengeluarkan uang untuk ngajak dia pergi.

Gue ajak Renjun nyebrang ke Marquess untuk minum sebentar. Selama ini gue agak protektif when it comes to drink responsibly, apalagi Renjun belum legal secara usia di sini. Jadi gue sebisa mungkin nggak membiarkan dia nyentuh alkohol.

But that night was the only exception, I think nggak akan jadi masalah buat dia karena bulan depan dia juga udah dua puluh satu. Gue pesenin Renjun satu gelas bir yang gue rasa nggak terlalu berat buat dia, dan satu banoffee martini untuk gue. Oh well, kalian nggak bisa selalu bilang orang yang minum martini di segala situasi adalah mereka—the unhinged alcoholic ya, cause I am not.

I was about to make it more thrilling, gue bercanda nyuruh Renjun minum beer dia in one shot, tapi ternyata waktu dia baru nyoba took one sip of his beer, muka dia udah berubah. I can tell, dia nggak suka rasanya.

Bahkan setelah martini gue abis, dia cuma bisa ngabisin sepertiga dari satu gelas penuh bir. Padahal daritadi juga kita ditemenin sama cemilan-cemilan. He was just ... couldn't take it anymore kayaknya.

Jadi ya, kita mau nggak mau langsung pulang karena nggak mau ketinggalan kereta terakhir ke Ealing.

Sepanjang perjalanan di kereta, gue sama Renjun tetep gandengan tangan. Dia jadi lebih kenceng genggam tangan gue. Berkali-kali gue tanya ke dia, 'are you okay?' dan dia tetep berusaha reassure kalo dia baik-baik aja. Tapi dari senyumnya pun gue tau, kayaknya dia udah mulai mabuk.

Aduh, ternyata ngajakin dia minum bukan ide yang bagus ya.

Beberapa stasiun sebelum stasiun tujuan kita, Renjun udah mulai naro kepalanya di pundak gue, dan secara impulsif minta gue buat ngelus kepala dia, karena katanya dia pusing.

Good lord, udah jelas dia mabuk. Semoga dia nggak cerita ke Mami atau Ibunya, bisa mati gue kalo ketauan bikin anak orang mabuk sebelum waktunya.

Untungnya, kita sampe di rumah dengan selamat.

Bahkan Renjun yang awalnya tepar di sofa, tiba-tiba pergi ke kamar mandi buat basuh wajahnya dan begitu keluar dari kamar mandi, dia bilang kalo dia udah sober sepenuhnya.

Tapi wajahnya masih ditekuk terus, kayaknya dia masih belum bisa menerima kenyataan kalo dia abis mabok bareng gue. Gue ketawa kecil, pengalaman pertama pasti selalu gitu. Been there, done that.

You look so upset, do you want me to hold you?” gue tanya ke dia yang udah lepas coat dan cardigannya—sehingga cuma nyisain turtleneck warna hitam itu—sambil berusaha lepasin dasi gue yang agak kenceng dipasangnya. Dia ngangguk terus jalan ke arah gue yang lagi berdiri di tengah ruangan.

Being this close to him feels like home somehow.

Gue mungkin udah berkali-kali berhadapan sama orang yang bisa gue bilang romantically attracted sama gue. Tapi, kali ini, waktu sama Renjun, semuanya beda. Gue bisa pastiin semuanya beda.

Dia itu ... pure and raw. Dia akan banyak melakukan hal yang terkesan impulsif dan tanpa pikir panjang.

Beberapa kali dia initiate untuk lebih deket dengan gue, dengan tiba-tiba meluk gue, tiba-tiba sandarin badannya ke badan gue, pegang tangan gue, dan yang paling sering, dia akan tiba-tiba cium pipi gue.

Mungkin itu cara dia nunjukin rasa kasih sayang.

Gue biasanya cuma akan senyum tanpa berniat bales perlakuan dia dengan berlebihan. He would giggle to it, too.

Tapi malem itu, saat gue meluk Renjun dan tiba-tiba dia bikin kita berdua jatoh ke sofa—ditambah sama suara ketawa dia yang kedenger lebih manis di telinga gue, ada satu hal yang sangat ingin gue lakuin sama dia. Kiss him in a right way.

“Seneng nggak malem ini?” tanya gue sambil singkirin beberapa helai rambut dari matanya pake tangan kanan. Sementara tangan kiri nyangga punggung belakang dia yang langsung ketemu sama punggung sofa.

“Mm-hm, makasih ya...” suara lirih dia hampir nggak kedengeran, tapi anggukan kecil dia punya makna dia mengiyakan pertanyaan gue.

Gue senyum buat bales jawaban dia, “what matter the most is your happiness, baby,” lanjut gue sambil pelan-pelan ngelus pipi Renjun.

“Aku kepikiran satu ide yang boleh kamu tolak atau boleh kamu terima. Tapi yang penting aku mau ngomong dulu,” gue berfikir kapan lagi gue akan bisa ngomongin ini ke dia kalo bukan di kesempatan di mana kita udah sedeket ini?

“Mm-hm?” dia cuma gumam pelan buat jawab pertanyaan gue.

“Aku boleh nolak? Emang itu sesuatu yang bahaya buat aku?” dia nanya gitu, put me in chuckles soalnya satu-satunya bahaya yang ada di sekitar dia sebenernya cuma gue.

Not that itu bakal bikin kamu ada dalam bahaya, tapi mungkin kamu harus mikir lebih jauh sebelum bilang iya.”

Mata Renjun yang selalu gue asosiasikan sama bola mata paling indah yang pernah gue liat itu mulai berkaca-kaca. Gue bener-bener ikut kebawa suasana. Hati gue ikutan sakit waktu inget gue pernah bikin air mata keluar dari sana—mungkin berkali-kali, tanpa sepengetahuan gue, padahal kalo boleh dibilang, malam itu, the least thing yang pengen gue lihat adalah tangisan sedih dia di kemudian hari.

Waktu gue bilang emosi Renjun itu lekat sama yang namanya impulsivity, I really meant it, dia tiba-tiba deketin bibirnya untuk kecup bibir gue.

Rasa berat yang sebelumnya ada di dada gue, rasanya semakin berat dan bikin sesak di sana. Gue mungkin sadar malem itu, sadar kalo gue nggak mau kehilangan Renjun.

I like you,” dia ngomong dengan begitu polosnya, begitu impulsifnya, bikin dada gue lagi-lagi makin terasa berat. Senyum yang selalu dia tunjukin saat ngomong sama gue, lagi-lagi ada di sana. Matanya udah ngeluarin setitik air mata yang turun ke pipi. Gue usap pelan pake ibu jari gue yang sedari tadi nggak pernah pergi dari sana.

Gue ingin Renjun tetep di sini, tapi bukan pengakuan ini yang gue mau dari dia sementara ada banyak hal yang masih harus gue selesaiin. Dia yang jatuh cinta ke gue terlalu cepat, akan bikin dia sakit sendiri ketika tau gue belum selesai sama banyak hal di masa lalu gue.

And that night, I blamed that martini shit for letting my true old self be in charge of taking control.

Gue bales ciuman Renjun—relentlessly, tanpa mikir kalo gue bisa kapan aja nyakitin dia.

It was new to him, it was the newest experience for him.

I can vividly remember his glistening eyes were the most pleasurable thing I'd ever seen for the entire night—when I pulled him too close and when I bring him the taste of love and passion.

Lagi-lagi, iya, gue salah.

Sesi making-out kami selesai waktu saraf sadar gue serasa diaktifkan lagi dan otak gue bilang untuk segera berhenti.

Gue tarik kepala gue dari leher Renjun, dan gue kecup sebentar bibir dia.

Your twenty-one will be in a month, it won't feel like forever, babe.

Lalu gue turunin dia dari pangkuan gue, sambil gue usap lengan atasnya yang udah sangat bergetar ngikutin nafasnya yang masih belum beraturan.

Sebenernya, bisa dibilang keputusan gue untuk menyudahi sesi make-out bareng Renjun juga karena HP gue lagi geter-geter—intensely di saku celana, gue bisa rasain kayaknya itu telfon dari seseorang.

Gue pikir, gue bisa angkat telfonnya nanti, karena kayaknya Renjun lebih butuh minum air supaya rasa shock dia segera ilang.

“Aku ambilin minum ya?”

Anggukan dia jadi hal terakhir yang gue lihat sebelum gue beranjak ke dapur untuk ngambilin dia minum dan meninggalkan HP gue yang masih nyala di sofa deket Renjun. Tanpa memprediksi, kalo malem itu akan jadi malem terakhir gue ngeliat Renjun di sekitar gue.

We were so fine back then—atau at least di mata gue Renjun masih baik-baik aja.

Setelah minum, pandangan mata dia mungkin masih kosong dan terkesan masih shock, tapi dia udah bisa excuse himself untuk pergi tidur ke kamarnya.

Gue juga nggak terlalu sadar apa yang terjadi sama dia karena semua berjalan begitu cepet.

I gave him his good night hugs and kiss, dia naik ke lantai dua, dan gue pergi tidur setelah pasang charge untuk HP gue yang mati kehabisan baterai.

Tapi besok paginya, dia udah nggak ada. Renjun pergi dari rumah.

Gue naik ke kamarnya dan sama sekali nggak ada barang-barang punya dia di sana. Cuma ada baju-baju dan tas dari Mami yang dia susun rapi di atas tempat tidur.

Dengan paniknya, gue buka lagi HP gue untuk dapetin ada lebih dari sepuluh missed calls dari Reneé dan asistennya.

Pesan terakhir yang gue dapet dari asisten Reneé cukup untuk jadi kesalahan terbesar lain yang gue lakuin hari itu.

Reneé dan Jonathan berantem semalem, itulah alasan dia telfon gue berkali-kali. Dan bodohnya, Reneé nyusulin gue ke London, yang diikutin sama si Jonathan juga karena dia merasa mantan pacarnya itu nggak seharusnya ngejar gue—dia nggak seharusnya ngejar seseorang yang worthless kayak gue.

Mereka udah jauh lebih dewasa dari gue, terus ngapain mereka repot-repot nyari gue waktu mereka lagi punya masalah?

Emangnya otak encer mereka nggak cukup untuk nyelesaiin masalahnya sendiri sampe butuh kehadiran gue yang selama ini cuma mereka anggep sebagai anak ingusan yang terlanjur sayang sama Reneé gara-gara abandonement issue yang suka jadi bahan olokan mereka saat gue nggak ada?

Kesalahan lain, saat emosi gue masih ada di puncaknya setelah lebih memilih ngabisin tenaga untuk maki-maki Reneé di depan rumah pagi buta itu dibanding ngejar Renjun adalah gue langsung kirim pesan yang sampe sekarang masih gue sesali buat Renjun.

Meskipun gue tau, Renjun udah ada di tempat yang tepat saat dia dateng ke rumah Om Donghae. Meskipun lagi, dia nggak bisa ketemu sosok orang yang dia cari di sana.

Otak gue bener-bener udah malfunctioning hari itu. Terlalu banyak kejadian yang bikin kepala gue mau pecah.

Fakta bahwa Renjun kabur sejauh itu ke Edinburgh, ke tempat Om Donghae sementara Om Donghae lagi pergi ke luar negeri bikin gue pusing. Lebih-lebih, kebodohan Reneé dan Jonathan yang masih berantem di depan rumah gue.

Gue bukan nggak berusaha nelfon Renjun dan minta dia buat balik setelah gue kelepasan ngomong gitu. Berkali-kali gue coba. Tapi nggak ada jawaban sama sekali.

Hal terakhir yang bisa gue lakuin, gue mau nggak mau harus nyusul Renjun ke Edinburgh dan bawa dia pulang sebelum sore ini.

Belum sempet gue sampe di stasiun kereta, Jaehyun udah telfon dan ngabarin gue kalo Renjun bener-bener akan pulang ke Jakarta siang ini.

Johnny dan Jaehyun yang bantu dia.

Gue nggak bisa salahin mereka. Karena mereka akan selalu ada untuk memihak Renjun, karena mereka jelas tau kalo Renjun bukan sumber masalah.

Dan sialnya, mereka bener, selalu gue dan tempramen gue yang jadi sumber masalah.

Hari itu, gue kembali pulang dengan tangan kosong. Otak gue bilang bahwa ini bukan apa-apa. Dan diomelin Mami cuma bakal jadi angin lalu buat gue.

Iya. Gue rasa gue harus optimis kalo ini cuma fase yang sebentar lagi juga lewat.

Renjun cuma butuh waktu buat berpikir. Dia cuma butuh waktu sendirian.

Meskipun gue nggak menampik, gue terlalu takut nggak bisa ngembaliin rasa percaya dia lagi ke gue di kemudian hari.

Karena bahkan udah seminggu setelah kepulangan dia ke Jakarta, nggak ada berita apapun yang mampir di telinga gue dari semua orang.

Renjun bener-bener pergi. Nggak ada satu hal pun yang dia tinggal. Kecuali scarf merah marun dari gue yang selalu dia pake kemanapun, dan malam Valentine itu jadi waktu terakhir gue bisa liat dia pake scarf itu dengan bangga dan bahagia.

Renjun: Node

Hampir satu minggu aku sama Jeno ada di utara. Semuanya sudah kami coba.

Naik gunung, main ke pantai meskipun berkali-kali kami coba dateng ke Esplanade selalu dibarengi sama hujan salju. Nggak papa, kata Jeno, hujan salju di tepi pantai itu magical. Kami juga sudah coba jalan-jalan ke banyak Festive Market di semua kota.

Malam ini, aku sama Jeno tidur di rumah Om Donghae.

Jeno pernah tinggal di sini katanya, belasan tahun lalu. Makanya sekarang kita ada di kamar lama Jeno yang ada di lantai satu. Kasurnya sempit, ya iyalah, kan Jeno udah tumbuh jauh lebih besar dari yang dulu.

Karena kasur yang luasnya terbatas, aku sama dia jadi harus dempet-dempetan tidurnya. Tapi nggak papa, aku seneng. Aku harap dia juga.

Kami lagi tidur menyamping berhadap-hadapan sekarang. Gelap. Cuma ada cahaya lampu jalan yang masuk lewat jendela di belakang Jeno. Bikin wajah dia jadi berkali-kali lipat lebih cakep.

Perjalanan ini banyak bikin aku seneng, dan aku harap Jeno juga gitu. Besok, kami akan pulang ke London. Huh. Kadang aku takut, takut kalo ini cuma mimpi indah buat aku yang lagi tidur panjang di kamar sempitku di rumah. Makanya, supaya aku nggak nyesel, aku akan coba pake kesempatan untuk sedeket ini sama Jeno dengan sebaik mungkin.

Cup.

Aku pake kesempatan—yang mungkin cuma ada sekali dalam seumur hidup ini untuk cium bibir Jeno, untuk pertama kalinya. Dan ... bisa jadi yang terakhir?

Kita nggak akan pernah tau.

Renjun: Sisi lain dia yang baru aku lihat hari ini

Tau nggak sih? Semalem sebelum aku diajak Jeno pergi jauh ke ... apa tadi namanya? Lake District? The Lakes? — aku nggak tidur tau sebenernya. Hihi.

Masa ya, aku tuh udah bisa kebayang aku bakal renang di danau yang airnya dingin banget kayak air kulkas kesukaan Jeno. Padahal tiap aku nyoba minum air di kulkas rumah ini, aduh, dalam lima menit rasanya otakku ngefreeze. Nggak bisa gerak, nggak bisa mikir, nggak bisa ngomong.

Apalagi nanti kalo aku renang beneran ya? Aku bisa-bisa jadi kayak Spongebob yang keluar dari air udah jadi es balok. Hihihi, kasian Jeno.

Aku baru selesai packing jam sembilan malem, terus naik ke kamar pas udah jam sepuluh karena aku lagi selesaiin gambar-gambar di iPad sekaligus nungguin Jeno selesai ngerjain kerjaan.

Ada kemajuan, Jeno jadi mau jawab kalo aku nanya soal kerjaan dia. Yang ternyata baru aku tau, suuuussaahhh banget. Mungkin kalo aku disuruh mikir kayak dia, otakku akan kebakaran.

Kereta kita akan berangkat dari stasiun Euston jam setengah enam pagi, terus estimasinya kita akan sampe di sana jam setengah sembilan. Lumayan lah jaraknya kayak naik kereta dari Jakarta ke Cirebon.

Karena berangkatnya sepagi itu, kita harus naik taksi buat sampe ke Euston kalo dari rumah. Karena tube baru jalan jam 5 pagi sementara Jeno takutnya nggak keburu kalo kita naik tube jam 5 dan harus berangkat jam 5.30. Kata Jeno lagi, aku harus bangun jam 4. Oh my God!

Aku bener-bener nggak bisa tidur karena abis searching di Instagram sama TikTok soal gimana sih Lake District itu dan makanan apa aja yang bisa aku coba di sana. Cukup kaget juga waktu tau ternyata di sana lagi musim orang menikah. Kali aja nanti aku cepet ketularan.

Hmm, yang terakhir bercanda ya, jangan diaduin ke Jeno.

Sebelum Jeno nyuruh, aku jam setengah empat udah turun dan mandi pake air anget. Rasanya lumayan bikin seger, sih. Meskipun pas keluar dari kamar mandi udah kayak ada di kulkas saking dinginnya.

Abis mandi, aku ke dapur buat bikin teh seperti biasa dan bikin sarapan untuk aku sama Jeno. Mumpung di kulkas masih banyak bahan makanan dan kita bakal ninggalin rumah seminggu ke depan, jadi ya nggak ada salahnya buat memanfaatkan bahannya untuk sarapan.

Nggak macem-macem sih, aku cuma bikin sandwich isi sayur dan daging sama roti selai coklat.

Pas udah selesai, Jeno baru bangun dan langsung heran banget liatin aku udah sibuk masak di dapur.

“Kok udah bangun?” suaranya serak khas orang bangun tidur.

Aku nyengir doang, plus jawab sedikit, “iya, udah. Mau bikin sarapan.”

Jeno senyum. Oh my God aku udah pernah cerita belom sih? Jeno itu lucu banget ganteng banget manis banget kalo lagi senyum??!

Sayang aja dia hemat banget mengeluarkan senyumnya. Renjun sedih.

Setelah nunggu Jeno siap-siap, kita sarapan bentar sebelum berangkat naik taksi ke stasiun jam lima kurang sepuluh.

Kita nggak bawa banyak barang sih, cuma dua koper masing-masing satu buat aku dan Jeno. Sama Jeno bawa tas punggung yang katanya isinya kamera.

Orang kaya mah bebas, ya.

Oh iya, aku untuk pertama kalinya mau bawa tas dari Maminya Jeno. Aku bawa satu tas yang polos, warna item, dan talinya bisa dilepas-pasang. Terus kayaknya Jeno seneng banget karena daritadi dia senyum tiap aku ngaca benerin tas itu.

Wah, kayaknya emang aku harus lebih menghargai pemberian keluarga dia, ya? Mau gimanapun juga mereka belinya pake uang. Harus dihargai.

Kita duduk sebelahan selama di kereta, meskipun sebenernya nggak ada ketentuan kita harus duduk di nomor berapa gitu.

Aku seneng deh—maaf ya aku ngomong aku seneng terus, soalnya emang aku lagi seneng banget—soalnya dengan gini aku bisa lebih deket sama Jeno. Soalnya seumur-umur aku tinggal di sini, nggak pernah tuh kita sedeket ini—eh pernah deh waktu lagi di tube waktu itu. Astaga! Malu banget kalo diinget karena yang itu terlalu deket. Duh aku mau nangis karena malu!

“Kenapa?”

“Huh?” aku nanya ke Jeno karena dia tiba-tiba nanya gitu ke aku.

“Kamu kenapa geleng-geleng sambil merem? Pusing?”

“Oh—enggak, enggak papa.”

Anjir ternyata aku tadi refleks bertingkah kayak orang salting pas di sebelah orangnya langsung. Eh tapi—lah kok dia manggilnya jadi pake aku-kamu, sih? Apa aku salah denger ya? Kita tes lagi, ya.

“Jeno, nanti kita turun dari kereta langsung ada danau di depannya?” aku udah kebayang film-film fantasi gitu, deh. Stasiunnya ada di tengah hutan terus tiba-tiba di balik semak-semak akan ada danau gede yang udah membeku.

“Enggak, nanti kita naik mobil lagi ke danau-danaunya.”

Yah, gagal. Dia nggak ada ngomong pake aku-kamu, nggak bisa mastiin deh itu tadi sengaja atau enggak.

“Naik mobil? Mobilnya siapa?”

“Nanti aku yang sewa mobil.”

Aku langsung gigit bibir waktu denger Jeno beneran ngomong 'aku'. Jadi soft banget. Beneran berubah dari dia yang biasanya nyebut dirinya dengan sebutan 'gue'.

Aduh, Ibu. Aku jadi lemes kayak adonan kue lapis...

Aku lirik lagi Jeno yang masih serius baca buku di sampingku. Sumpah ya, hidungnya mancung banget. Gimana ya rasanya ciuman sama dia kalo kehalang hidung gitu?

Eh, bodoh, Renjun. Ngapain sih jadi mikir aneh-aneh gitu?!

Untuk menghindari mikir aneh-aneh soal Jeno, aku ngeluarin iPad buat iseng gambar-gambar pemandangan di luar kereta. Soalnya ternyata di luar bagus banget waktu blue hour kayak gini.

Awalnya aku sih rileks aja ya gambar kayak biasa, tapi tau-tau ... punggungku kaku banget pas tangan Jeno tiba-tiba pindah dari pegangan kursi di sebelah kiri dia untuk dia taruh di pegangan kursi sisi kiri aku.

Dan karena aku agak maju dan nunduk waktu gambar di meja, tangan dia kesannya kayak ngelingkarin badan aku!

Pusing banget yaampun! Aku jadi nggak fokus gambar!!!

Perjalanan kereta yang perlu waktu tiga jam itu kerasa panjang banget gara-gara Jeno. Aku udah kayak anak SMP yang lagi jatuh cinta, deh.

Untung aja Jeno nggak lama naruh tangannya di situ. Jadi aku udah bisa bernafas lega sambil tetep lanjutin gambaranku dan sesekali ngobrol random sama Jeno.

Kita sampe di Oxenholme—sumpah aku salah berkali-kali pas ngucap namanya, sampe diajarin terus sama Jeno—waktu jam di HP ku nunjukin jam sembilan kurang lima belas. Pas banget Jeno dikabarin kalo mobilnya udah dateng di depan. Kita jalan ke mobil setelah Jeno beli kopi anget yang wajib dia minum tiap pagi.

Mobilnya kecil tapi kayaknya cocok buat jalan naik-turun di pegunungan kayak gini. Jeno jago deh milih mobil.

Oh yang bikin aku kaget, ternyata aku baru sadar kalo mobil di sini setirnya ada di kanan. Sama kayak Indonesia. Pas aku tanya kenapa, ternyata kata Jeno, “karena tentara Romawi sering baris di sisi kiri dan tingkat kepresisian mereka saat pake senjata lebih tinggi ketika mereka pake tangan kanan. Makanya di Inggris, yang pernah ada di bawah Roman Empire, mengadopsi sistem jalan di sebelah kiri, setir di sebelah kanan. Dari dulu pun mobil dan kereta yang diproduksi sama Kerajaan Inggris udah pake setir kanan, sampe dibawa ke semua negara termasuk Hindia Belanda. Tapi, waktu Perancis invasi ke Kerajaan Belanda, aturan mengemudi mereka jadi ngikutin standarnya Perancis. Tapi standar itu nggak berubah di wilayah jajahan Kerajaan Belanda seperti Hindia Belanda. Makanya kita di Indonesia tetep pake setir kanan.”

Mulutku mangap makin lebar. Kok dia tau, sih?

Aku sebenernya ngerti sih tiap kata yang diomongin sama Jeno. Tapi nggak bisa mencerna dengan baik soalnya udah kagum duluan sama dia dibandingkan sama ceritanya.

“Nanti aku kasih liat castle sama benteng peninggalan Romawi. Banyak di sini.”

Aku cuma ngangguk-angguk karena ... demi apapun nggak pernah kebayang kalo Jeno punya sisi yang kayak gini. Ya emang sih aku sadar dia pinter, tapi bukan ada di level kayak gini...

Perjalanan hari ini kata Jeno akan dimulai dari timur ke utara, terus ke barat, dan berakhir di selatan besok sore.

Jadinya kita akan nginep di tempat yang namanya Windermere untuk malem ini.

Selama setengah hari sampe makan siang, Jeno bener-bener manjain aku dengan bawa aku ke tempat-tempat yang indah banget. Ya meskipun untuk dapetin keindahannya nggak selalu mudah, ya.

Ada kalanya aku sama dia harus hiking beberapa puluh meter supaya bisa dapetin foto-foto yang bagus di kameranya Jeno. Atau kita tiba-tiba ketiup angin kenceng pas lagi di pinggir danau yang ternyata gede banget. Lebih gede dari yang aku bayangin. Pikiranku buat renang di danau jadi batal, soalnya ngeri kalo tenggelam.

Kita makan siang di sebuah distrik yang namanya lucu.

Keswick.

Kata Jeno dulu tempat ini pernah punya pabrik pensil karbon paling besar di Inggris. Terus lagi ada satu tempat yang mau kita kunjungi nanti, tempat yang bakal bikin kita amazed karena ada gunung-gunung yang dulunya adalah glacier di masa Ice Age, sekarang jadi tempat penambangan. Aduh aku bingung jelasinnya, tapi gitu lah. Nanti biar Jeno aja yang cerita kalo dia sempet.

Jalan-jalan kita keliling danau dan tempat-tempat yang selalu Jeno tau sejarah dan asal-usulnya udah selesai, sekarang kita udah sampe di resort yang bakal kita tinggalin malem ini—lokasinya bagus banget, ada di salah satu danau paling besar dan menghadap ke pegunungan Windermere yang puncak gunungnya ketutup salju tipis. Indah banget.

Resortnya juga bagus, ada banyak ornamen-ornamen yang Inggris banget di sini. Aku sampe berasa masuk ke rumah kuno bangsawan Inggris yang lagi nyari ketenangan di pegunungan.

Tapi yang bikin kaget, ternyata ... aku sekamar sama Jeno.

“K-kita sekamar?” wajar nggak sih kalo aku nanya gini? Maksudnya kan di rumah aja kita nggak pernah duduk bareng dengan jarak deket?

“Iya.” Jeno polos banget waktu jawab gitu. Aku sampe bingung, atau jangan-jangan kasurnya dua mungkin ya?

Pas pintu kebuka dan Jeno mempersilakan aku buat masuk duluan, aku udah mau pingsan karena kasurnya bener-bener cuma satu.

Ini ... nggak mungkin aku bakal disuruh tidur di sofa kan?

Jeno malah cuek banget, dong. Dia bisa-bisanya super santai ngelepas sepatu boots dan jaket dua lapisnya sementara aku masih natap horor kasur di tengah ruangan yang bener-bener cuma ada satu. Dan yang lebih parah ... nggak ada gulingnya.

“Aku mandi dulu ya. Atau kamu mau duluan?” aku berbalik natap Jeno yang cuma tinggal make turtleneck putih gadingnya sama celana jins itu—tangannya lagi nenteng peralatan mandi.

“K-kamu duluan ... aja ...,” alis dia keangkat, mungkin bingung kenapa aku tiba-tiba jadi gagap.

Pas Jeno udah masuk ke kamar mandi, aku jambak rambutku sendiri sambil mukul-mukul jidat. Aku harus apa coba malem ini?

Aku udah ambil HP dan mau nanya ke Echan gimana caranya menghadapi Jeno yang tiba-tiba begini, tapi baru inget kalo ini udah jam 7 malem dan di sana berarti udah jam 2 pagi—yang mana Echan nggak mungkin masih bangun karena ini masih hari kerja.

Akhirnya yaudah, aku harus pasrah aja. Cuma harus mandi yang bersih dan mastiin kalo aku wangi, biar Jeno nggak merasa lagi tidur sama kucing yang belom mandi seminggu.

Untungnya, nggak ada kejadian awkward yang misalnya Jeno keluar cuma pake handuk, atau aku nggak sengaja liat dia telanjang, atau gimanapun itu. Dia keluar dari kamar mandi udah pake bathrobe dan nyuruh aku cepet-cepet mandi sebelum dingin.

Aku bolak-balik pake sabun di seluruh badan, terus pas udah selesai, aku balurin tuh lotion yang dari SMP udah aku pake ke kaki, tangan, dan leher. Supaya nggak ada bau-bauan yang bisa bikin Jeno muntah—kali aja kan.

Setelah semua udah selesai, aku nggak mau ambil risiko keluar kamar pake bathrobe doang, akhirnya langsung aja aku pake baju dan piyama tidurku yang kapan hari aku beli di Primark pas ada diskon.

Aku keluar kamar mandi dan bisa liat Jeno lagi ada di perapian di balkon, di depannya udah ada beberapa makanan yang kayaknya baru aja dianter sama petugas resort karena tadi pas aku mau mandi belum ada apa-apa di sana.

“Yuk, makan.” Jeno manggil aku.

“Wah, ini kayaknya enak banget.” pasti sih, makanannya jelas makanan mahal. Ada ayam yang udah dipotong tipis-tipis, ada kentang goreng, ada saus macem-macem, ada sayuran, ada kue-kue—ah lengkap lah pokoknya.

Aku ngikut Jeno makan dengan diawali pake appetizer yang kata dia namanya Parsnip Soup, lumayan enak soalnya masih anget dan kebetulan udara lagi dingin banget.

Lalu kita beranjak ke main dishes yang aku bilang tadi. Macem-macem dan ternyata lumayan enak semua.

Sampe di akhir kita makan beberapa pie buat hidangan penutup.

“Mau coba bakar marshmallow nggak?” Jeno nawarin sambil nusuk marshmallow pake stik yang udah disediain juga.

“Mau, mau.” aku ngangguk heboh dan ngambil stik ngikutin Jeno.

Waktu lagi sama-sama liatin api yang manggang marshmallow kita, Jeno tiba-tiba nanya, “kamu kalo disuruh ke London tinggal sama aku, pacar kamu nggak marah?”

Seolah ngerti gimana kagetnya aku, tiba-tiba ada angin yang berhembus lumayan kenceng sampe bikin poni rambutku terbang nutupin mata.

Belum sempet mengembalikan diri dari rasa kaget akibat pertanyaan Jeno, dia tiba-tiba nyingkirin rambut yang nutupin mataku pake tangan kanannya yang nggak megang stik marshmalllow.

Deg-degannya double!

“Aku nggak punya pacar.”

Dia keliatan ngangguk-angguk terus nanya lagi, “tapi udah pernah pacaran?”

Aku ketawa, dong. Boro-boro pacaran. Kayaknya orang satu sekolah juga nggak ada yang naksir sama aku.

Aku geleng-geleng doang buat nanggepin pertanyaan Jeno.

Marshmallow dia kayaknya udah mateng, tapi dibanding memilih buat makan marshmallow itu sendiri, dia tiup marshmallownya dan suapin ke aku.

Jangan tanya gimana jiwaku sekarang? Aku udah lumer mirip marshmallow yang ada di mulutku.

“Kalo crush gitu? Orang yang kamu suka?”

Mungkin ini pertanda dari Yang Maha Esa, soalnya pas dia nanya gitu, satu-satunya wajah yang lewat di pikiranku ya cuma wajah dia sih. Tapi yang bener aja, mana berani aku jawab gitu?

“Belom ada,” kataku pas abis nelen marshmallow yang abis aku kunyah.

Dia ngangguk-angguk lagi. Nggak ngerti apa motifnya nanya gituan.

Selepas itu, dia nggak nyinggung-nyinggung lagi soal pacar atau semacemnya. Kita jadi ngomongin banyak hal yang nggak nyinggung soal kehidupan kita di Indonesia sebelumnya. Lebih fokus ke apa yang seharian ini kita liat aja, sih.

Sampe akhirnya suhu di luar kerasa makin dingin.

Jeno ngajak aku buat udahan dan matiin perapian yang ternyata tadi dia nyalain sendiri.

Aduh, aku jadi pusing lagi gara-gara keinget malem ini aku harus tidur sekasur sama Jeno. Gimana, dong?

Mana tadi pasti bau asep gara-gara abis berduaan di depan perapian.

Sambil nunggu Jeno sikat gigi, aku ciumin baju piyamaku, untuk mastiin apakah bajunya bau asep, tapi untungnya nggak ada sih.

Terus aku gantian sikat gigi di toilet dan berdoa supaya malem ini nggak ada kejadian aneh-aneh yang bisa bikin Jeno illfeel.

Jantungku nggak karuan rasanya waktu liat Jeno lagi duduk di kasur sambil baca buku, lampu utama udah mati dan sisa lampu kuning yang dia biarin nyala sama desk lamp di sebelah kasur juga dia nyalain.

“Tidur aja dulu kalo udah ngantuk,” dia peka banget buat matiin lampu kuning di tengah, Jeno tau kalo aku tidurnya harus gelap.

“Kamu masih baca buku, nyalain aja nggak papa. Aku belum ngantuk kok.” kataku sambil pelan-pelan duduk di pinggir kasur. Sambil nata hatiku biar nggak tiba-tiba jebol.

Dia senyum lagi. Terus nutup bukunya dan dia simpen di deket lampu.

“Yaudah, ayo tidur aja kalo gitu. Besok perjalanannya lebih jauh lagi.”

Ohiya, ngomong-ngomong soal perjalanan, Jeno udah ngasih tau kalo setelah besok kita balik lagi ke Oxenholme, kita akan naik kereta ke Edinburgh.

Lumayan lama katanya, sekitar lima sampe tujuh jam.

Dari Edinburgh, kita bakal naik mobil lagi buat roadtrip keliling Scottish Highlands, dan balik ke Edinburgh lagi sampe akhir minggu.

Mikir kalo aku bakal habisin waktu seminggu ini cuma berdua sama Jeno yang tingkahnya udah jauh berbeda dari biasanya, bikin mataku berkaca-kaca. Aku nggak nyangka banget ternyata kita udah sejauh ini.

Aku ngelirik Jeno yang lagi mainin HPnya, kayaknya lagi serius banget karena dia sampe harus ambil lagi kacamata bacanya di atas buku sebelum fokus buat ngetik cepet di HP.

Dia gantian ngelirik aku, terus senyum dan—

...tiba-tiba ngusap rambut aku, terus cium pucuk rambutku sambil ngomong, “have a good night.”

Bikin aku buru-buru merem karena udah pengen nangis!

Jeno ini kenapa, sih?

Jeno: I sit and watch you

Seumur hidup gue, waktu tercepat yang gue perlukan untuk ngerjain tugas kuliah yang require gue untuk menganalisis study case dari kejadian nyata dan perlu ditelaah dari berbagai kacamata adalah waktu gue berada di tahun terakhir undergrad. Di mata kuliah Green Financing, gue bisa menyelesaikan tugas itu dalam kurun waktu delapan jam empat puluh menit sembilan belas detik. Tanpa jeda.

Tapi hari ini, rekor itu terpecahkan setelah gue berhasil nyelesaiin tugas essay seribu kata ini dalam waktu lima jam sebelas menit. Gara-gara text singkat dari Alexi di jam makan siang tadi.

Tepat jam lima sore, gue udah lari-larian nembus hujan untuk pergi dari kampus menuju ke rumah. Handphone gue udah dering berkali-kali daritadi, nggak gue gubris telfon dari siapapun itu.

Mungkin sih dari Reneé, yang chatnya udah gue anggurin dua hari terakhir.

Pusing sih kepala gue. Tugas masih banyak, kerjaan di Jakarta juga kacau semua gara-gara asistennya Jaemin cuti melahirkan, jadi mau nggak mau si Jaemin harus kerjain semua sendirian plus harus bantu gue, belum lagi si Jisung kayaknya lagi sibuk juggling antara ujian akhirnya di Korea sama bantu ngurusin kantor.

Ditambah Reneé yang beberapa hari lalu bilang kalo Jonathan—mantannya, tiba-tiba dateng ke rumah orang tua Reneé di Colorado dan minta mereka buat bujuk Reneé supaya mau balik sama dia. Dan tau apa yang surprising? She didn't mind to get back to her ex.

Bajingan.

Kayaknya kalo mood manusia beneran ada warnanya kayak di film Inside Out, muka gue dan sebadan-badan sekarang ini pasti warnanya merah menyala. Dari pagi sampe sore, non-stop!

Jiwa gue makin terguncang gara-gara si Alexi ngadu ke gue soal 'asisten yang jualan makanan'. Dan otak gue, immediately, langsung kepikiran kalo ini ulahnya Renjun.

Gue udah nggak ngerti lagi gimana gue harus tolerate banyak hal dari dia. Ini baru dua bulan dia di sini, di hidup gue, menginvasi privasi dan ruang gerak gue yang dari dulu udah sangat sempit ini. Gimana kalo gue harus hidup selamanya sama dia?

Bisa mati lima tahun lagi, kali.

Gue pikir, kesialan gue hari ini nggak berhenti saat hati gue harus mencelos waktu liat foto Jesse—anak cowoknya Reneé yang mukanya memble abis gara-gara abis nangis seharian. Hahhh, dia pasti tantrum dan nyusahin ibunya waktu gue nggak dateng ke sana seminggu ini.

Buat si Jonathan bangsat yang mau manisnya doang, tuh, liat anak lo! Bisa lo bikin dia berhenti tantrum as the way I do? Makanya punya otak dipake, jangan dijadiin alat buat berat-beratin kepala doang mentang-mentang lo lebih terkenal dan punya lebih banyak power dibanding gue.

Ah tapi kadang gue juga mikir, apa iya ya perilaku Reneé yang selalu jadiin anaknya tameng supaya gue nggak ninggalin dia kayak kata Mark dan Jaemin ini bener? Rasanya dia nggak se-despicable itu untuk jadiin anaknya alat? Ah, bodo lah!

Ohiya, balik ke kesialan terbaru dalam hidup gue.

Di stasiun terakhir yang bisa ditempuh dengan jalan kaki sejauh lima menit dari rumah, gue kepleset.

Kalo kepleset dan jatoh doang, mungkin gue nggak terlalu sebel. Paling malu.

Tapi kali ini, gue kepleset dan bikin beberapa kertas coretan tugas statistika gue kerendem kubangan air. Kalo gue nggak inget umur gue bentar lagi tiga puluh, udah nangis gue di depan stasiun.

Gue pungut kertasnya dengan penuh rasa emosi, dan lari-lari ngehindarin gerimis sampe ke rumah.

Sesampainya gue di rumah, kosong. Nggak ada tanda-tanda Renjun lagi di rumah juga.

Gimana gue bisa tau? Sepatu dia—converse-hi chuck taylor warna item putih ukuran 40 yang talinya diganti warna kuning stabilo, satu-satunya punya dia, lagi nggak ada di rak sepatu.

Keadaan rumah sih bersih, ya. Minus pas gue lihat ke dapur, ada beberapa lembar daun pisang yang lagi dikeringin di deket wastafel. Sama ada sisa beberapa piring yang masih kotor di bak wastafel.

Nggak papa. Gue nggak akan marah soal itu. Gue juga sering ninggalin cucian di sana. Tapi gue jadi paham dan punya self-realisation kalo apa yang diomongin sama Alexi ke gue lewat chat tadi siang bener adanya.

Seseorang di rumah gue, berjualan makanan tanpa sepengetahuan gue. Dan orang itu adalah Renjun.

“Panjang umur!” gue teriak dengan nada sarkas waktu Renjun buka pintu dan—gue bisa tebak, mukanya kaget banget karena gue udah ada di rumah at this hour.

Tanpa berbalik dari munggungin dia pun gue udah tau, dia pasti takut banget.

“Gimana lo jelasin ini semua ke gue?” woah, suara gue udah nggak bisa dikontrol lagi. Marah banget. Akumulasi segala kemarahan gue seharian ini rasanya bisa gue luapin sore ini.

“M-maaf, iya ak-aku seharusnya ngom—” suara dia udah gemeteran.

“Bukan seharusnya. Memang lo harus izin gue.” gue meng-emphasize kata 'harus' kali ini. Buat nunjukin kalo langkah yang dia ambil bener-bener lancang.

“Iy-iya ak-u ngerti, Jeno, tapi aku kan cuma mau cari waktu yang tepat buat ngomong.” gue mencoba ngasih dia kesempatan untuk jelasin.

Tadi apa dia bilang? Waktu yang tepat?

Eh, gini, deh. Kalian boleh nganggep gue lebay atau gimana. Tapi coba kalian ada di posisi gue, kalian harus—kasarnya—menampung orang asing yang sama sekali nggak kalian kenal, secara nggak langsung harus bertanggung jawab soal keselamatan dia, dan ternyata dia malah menyalahgunakan kepercayaan yang kalian kasih dengan melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan kalian menggunakan resource yang jadi hak milik kalian. Marah nggak?

“Waktu yang tepat? Maksud lo sampe gue denger kabar dari orang lain?”

Bibir dia udah getar banget, gue jelas paham dia udah gelagapan waktu mau jawab.

“Anak-anak di luar sana, itu semua kenal gue lebih lama. Bertahun-tahun mereka tau Jeno itu siapa, Jeno itu wataknya kayak gimana. Jadi lo jelas nggak bisa sembunyi-sembunyi dari gue.”

Dia masih diem, kayaknya bingung juga mau membela diri kayak apa lagi, atau mungkin malah udah nggak ada nyali buat bela diri karena gue nggak ngasih kesempatan dia untuk ngomong.

“Lo menyalahgunakan kepercayaan gue buat beraktivitas di rumah ini dengan membiarkan orang lain dateng dan pergi ke sini tanpa sepengetahuan gue dengan dalih jualan. Itu satu,”

Gue mengubah posisi untuk leaning on ke kulkas yang ada di samping kanan gue, ngasih gue ruang untuk lebih dekat sama Renjun.

“Yang kedua, lo tau risikonya jualan makanan di sini?” gue merendahkan nada bicara gue.

“Jawab.” perintah gue buat Renjun yang udah nunduk dalem banget sekarang.

“Jangan diem aja, jawab.” suara gue agak meninggi.

“Enggak, aku nggak tau.” suaranya udah jauh lebih bergetar dan parau daripada tadi. Dia takut, pasti.

“Nggak tau kok gaya banget jualan nggak pake ngomong dulu ke gue.” gue selipin kekehan sarcastic buat dia di akhirnya.

“Yang jelas, lo harus tau kalo untuk mulai bisnis rumahan, ada banyak banget hal yang harus bisa lo penuhin. Termasuk gimana cara lo mengolah makanan, status lo sebagai seorang permanent resident yang sekaligus juga self-employed, sampe hal seremeh buang minyak dan sampah bekas ngolah makanan yang lo jual dalam skala besar itu.”

Dadanya udah keliatan turun naik, mungkin bentar lagi dia akan nangis.

“Jangan lo samain kayak apa yang biasa dilakuin orang-orang di kampung halaman lo. Once lo ada di sini, buang jauh-jauh tuh kebiasaan nggak bener orang-orang di sana. Di sini semuanya pake aturan, ada policynya.” gue mulai merendahkan suara gue.

“Belom lagi soal gimana lo ngepack makanan lo, dan prosesnya udah higienis atau belom. Lo mikir sampe ke risiko orang bakal keracunan makanan gara-gara pemrosesan makanan lo salah nggak sih? Kalo orang sakit gara-gara makanan lo, dan lo diminta ganti rugi sama mereka. Siapa yang ikutan susah? Gue. Karena lo cuma tinggal sama gue di sini.” lanjut gue sambil nunjuk dada gue sendiri. Emosi gue rasanya udah bener-bener ada di puncaknya.

“Terus lagi lo ngapain ngaku-ngaku jadi pembantu di sini? Ngapain juga lo nyusahin diri sendiri buat jualan kayak gitu? Duit dari nyokap gue kurang—”

“Udah ngomongnya?” Renjun teriak, ngebentak gue pake suara bergetarnya yang muncul akibat dia nangis daritadi.

“Udah?” gue kaget. Dia bener-bener bentak gue lagi. Tepat di muka.

“Kamu bilang, aku harus ngomong sama kamu dulu sebelum apa-apa. Tapi pernah kamu ada di rumah dan ngajak aku ngomong?”

Shit. Gue mendingan ditampar pake tangan daripada harus denger seseorang ngomong sambil nangis kayak gini.

“Pernah kamu nanya gimana kabar aku? Apa aku seneng ada di sini hidup sama kamu? Jadi beban kamu, kamu bilang.” dia lanjutin omongannya sambil tetep sesenggukan.

Jelas gue nggak bisa jawab karena—yeah, gue nggak pernah akrab sama itu semua.

“Jeno, aku jualan makanan yang mungkin akan kamu ketawain dan kamu sebut sebagai makanan sampah itu juga karena aku nggak pernah kamu anggap ada di sini. Aku bosen sampe rasanya aku mau jadi gila di rumah yang nggak pernah pengen aku tinggalin ini.”

Dia nyebut rumah ini sebagai rumah yang nggak pengen dia tinggalin?

“Semua nggak melulu soal uang kamu dan uang Mami kamu, Jeno. Aku capek ada di tempat yang bukan seharusnya jadi tempatku—”

Then why don't you just go away and get back to your darn home?”

Goddamn. Gue nggak percaya gue bisa ngomong gitu ke Renjun.

Sialnya, dia ngerti maksud gue. Dan air matanya makin kenceng keluar dari dua bola matanya yang kadang bikin gue—I don't think ini waktu yang tepat.

“Aku juga mau pulang. Tapi kamu pikir aku punya power sebanyak kamu? Kamu pikir aku dan keluargaku bisa segampang itu ngelakuin apapun yang kita mau?”

Kadang, gue benci sama diri gue sendiri yang nggak bisa think straight ketika lagi dikuasain sama emosi.

“Kamu nggak pernah tau karena selama ini kamu selalu ada di tempat paling atas. Tempat semua orang-orang sombong dan egois bangun sangkar mereka.”

And with that, gue cuma bisa liat punggung kecil Renjun yang bergetar waktu naik ke kamarnya di lantai dua.

Ya Tuhan. Gue bikin satu dosa lagi hari ini. Gue bikin satu anak manusia nangis lagi gara-gara emosi gue.

Gue sandarin badan gue yang basah kena air hujan tadi ke kulkas, gue berusaha rileks dengan ngatur nafas gue pelan-pelan.

Setelah cukup oke, gue lirik ke sisi kanan tubuh gue yang ternyata ada tas ransel punya Renjun yang basah kuyup dia tinggalin gitu aja di lantai.

Tas punggung yang—entahlah, kayaknya semua anak SMA di Jakarta punya ini. Very common.

Bukan maksud lancang, emang resletingnya udah agak rusak kayaknya, dan di dalem gue bisa liat ada satu plastik warna putih yang isinya satu styrofoam yang masih berat.

Gue senyum miris waktu liat bahkan dia udah sempet print stiker merek buat jualannya. “RJN”, inisial nama dia mungkin. Warnanya kuning, cerah kayak persona dia.

Rasa bersalah menjalari dada gue waktu sadar bahwa gue mungkin udah keterlaluan.

Dan mencoba buat reflect on myself kalo kayaknya gue nggak seharusnya ngasih tau dia dengan cara kayak gitu. Tapi apa boleh buat? Nasi udah jadi bubur, semua omongan jelek gue yang sama sekali nggak pantes didenger anak sepolos Renjun udah terlanjur keluar.

Dada gue makin sakit waktu denger suara dia nangis dari dalam kamarnya. Yang ternyata nggak bisa keredam berisik suara hujan di luar saking kencengnya.

Gue nggak punya tenaga untuk defend diri gue lagi di depan Tuhan, bahkan di depan kalian yang tau cerita kita.

Iya, mungkin emang bener kata kalian, gue jahat.

Sangat jahat sampe-sampe selama berhari-hari pasca kejadian itu, Renjun udah nggak sudi lagi ngomong sama gue. Atau bahkan sekadar nyapa atau natap gue kayak biasanya.

Nggak ada lagi aroma wangi masakan dia di setiap jam delapan pagi atau jam sepuluh malam waktu dia bela-belain bangun lagi dari tidurnya demi angetin makanan buat gue yang lagi sibuk ngerjain tugas di ruang kerja gue yang nyambung sama ruang tengah.

Kalo udah gini, gue jadi ngerasa kalo gue ini “kecil” tanpa dia.

Biasanya, gue tinggal buka kulkas setelah olahraga dan bisa minum susu kotak yang selalu dia beli tiap 3 hari sekali di minimarket. Sekarang? Gue harus repot-repot jalan sendiri tiap pulang kampus untuk mampir beli susu ke minimarket yang berlawanan arah sama stasiun.

Laundry pun juga gitu, biasanya gue tinggal masukin baju-baju yang udah wangi dan dilipet rapi tiap malem ke lemari. Tentu Renjun yang nyuci dan ngelipetin satu-satu, bahkan dia repot-repot setrika baju untuk kemeja dan celana formal yang tiap Senin-Selasa gue pake ngampus.

Sekarang gue harus do the laundry sambil baca materi kuliah tiap lewat jam 12 malem. Karena sempetnya cuma di waktu itu.

Kalo ada mesin waktu, rasanya gue mau minta ampun karena udah ngebentak Renjun sore itu, kalo pada akhirnya gue akan ada di titik ini tanpa dia—meskipun secara fisik, dia ada di sini, di deket gue.

Sebelum ada Renjun di rumah, gue udah sangat biasa kalo harus takeaway makanan dari restaurant chain berbagai kelas. Kadang kalo gue pengen makanan enak, ya gue tinggal cari resto high-end. Kalo pengen makan sehat, tinggal pergi aja ke resto vegan. Kalo pengen makan junk food, tinggal jalan aja ke McD atau apapun yang gue pengen—asalkan dalam masa cheating day.

Tapi di bulan ini kayaknya gue harus rela kena sial berkali-kali. Karena, hari ini, di hari yang sangat penting buat gue karena harus ada meeting sama calon investor dari Shanghai, gue tiba-tiba lemes nggak berdaya di atas kasur.

Gara-garanya, kemaren sore gue takeaway makanan Thailand di tempat yang beda dari resto langganan gue. Entah karena bumbu atau proses masaknya yang kurang sempurna, sejak jam delapan malem sampe subuh, gue udah sembilan kali bolak-balik kamar mandi.

Bukan cuma buat buang air besar, tapi buat muntahin isi perut gue yang rasanya udah bener-bener eneg nggak ada penawarnya.

Lidah gue udah pahit banget. Ditambah badan udah panas, dan kepala gue berkunang-kunang.

Gue telfon Johnny, berharap dia cepet-cepet ngangkat dan bisa bawa gue ke emergency karena cuma dia yang bisa gue andelin di saat kayak gini.

Telfon ketujuh pagi ini, dan sama sekali nggak diangkat. Perut gue rasanya udah bereaksi lagi, mau nggak mau gue harus ngibrit ke kamar mandi, padahal meeting akan dimulai dalam satu setengah jam lagi.

Kepala gue udah sakit banget waktu keluar dari kamar mandi, rasanya semuanya udah item di mata gue. Gue berusaha meraih kursi terdekat yang bisa gue raih, supaya seenggaknya gue nggak pingsan di lantai, sebelum bisa gue rasain ada tangan yang tiba-tiba lingkarin badan gue.

Rasa pusingnya masih ada, cuma indera penciuman gue bisa ngenalin aroma ini. Vanila dan chamomile. Ini Renjun. Renjun yang bawa gue untuk tiduran di sofa dan ngasih bantal di kepala dan kaki gue.

Gue nggak bisa buka mata, cuma gue bisa rasain dia mondar-mandir panik kesana-kemari saat itu. Gerakannya cepet banget, gue bisa ngerasain banyak hal dia lakuin ke badan gue, termasuk naruh kompresan di kening, dan balurin minyak macem-macem ke perut gue.

Damn, gue pasti malu banget kalo harus dipegang-pegang Renjun dalam keadaan sadar. And to think that gue udah ngebentak dia abis-abisan minggu lalu. Untung gue udah mau pingsan.

Thank God, Tuhan mendengar doa gue. Gue pingsan beneran.

Ternyata gue masih bisa bangun, dan nggak perlu dibawa ke emergency karena—nggak tau Renjun ngasih apaan.

Hal pertama yang gue lihat waktu gue buka mata adalah ... of course, Renjun.

Dia pake piyama warna biru. Warm banget. Gue baru tau kali ini dia punya piyama warna gitu.

Haters gonna say, “apa sih Jen yang lo tau dari dia?” and I'd just, “iya, nggak ada.”

Kecuali fakta kalo dia bener-bener masih mau bantuin gue di saat hal terakhir yang gue lakuin ke dia adalah nyuruh dia pulang ke rumah.

“Hei, udah sadar?” suaranya lembut banget, lembut banget.

Ternyata dia lagi nyalain lilin di kamar gue. Lilinnya bau vanila dan ada hint apple di sana. Enak banget.

Gue cuma dehem karena suara gue tiba-tiba nggak keluar.

“Sekarang udah jam 7. Maaf ya tadi aku angkat telfon dari Jaemin dan Kak Mark yang nanyain kamu di mana.” Renjun ngedeket dan duduk di lantai sebelah tempat tidur gue.

Buru-buru gue tarik lengan dia dan gue geser badan supaya dia bisa duduk di sebelah. Tapi dia nolak dan masih kekeuh duduk di bawah.

“Nggak papa, di sini aja. Ada karpetnya. Lebih enak kalo mau ngobrol.”

Gue mencoba dehem lagi supaya bisa keluarin suara gue. Emang gini ya kalo abis pingsan dan kekurangan cairan?

Renjun yang sadar daritadi gue dehem-dehem terus, dengan sangat peka ngambilin gue air minum yang ada di gelas. Kayaknya dia udah nyiapin supaya bisa langsung dikasi ke gue once gue udah bangun. Karena seumur hidup gue nggak pernah bawa air ke kamar.

Gue abisin airnya, dan rasanya tenggorokan gue udah lega banget.

“Jaemin bilang apa tadi pas nelfon?” emang dasar otak gue nggak bisa jauh-jauh dari mikirin kerjaan. Bangun dari pingsan juga fokus gue ke kerjaan, bukan ke gimana ceritanya gue bisa pindah dari sofa ke kamar padahal seharian kayaknya cuma ada Renjun yang badannya nggak lebih besar dari gue.

“Dia nanya kamu ke mana. Terus ya aku bilang kamu pingsan, kamu abis keracunan ya? Tadi sih aku bilangnya gitu soalnya dari semalem aku denger kamu muntah-muntah di kamar mandi.”

Gue cuma ngangguk lemah. Masih lumayan lemes sih.

“Katanya dia udah selesaiin kerjaannya dengan baik sih, tadi dia nelfon lagi jam 4 sore. Dia panik waktu aku bilang kamu belum bangun, cuma ya dia kan nggak bisa langsung ke sini juga.”

Lagi-lagi gue cuma bisa nanggepin pake anggukan lemah.

“Kalo Kak Mark?”

“Sama. Nanyain kamu di mana juga, tapi tadi setelah Jaemin telfon, Kak Mark telfon lagi bilang kalo dia udah nyuruh temen kamu Matthew buat ke sini nganterin obat dan niatnya mau bawa ke ... apa tuh sebutannya kalo dokter umum?”

“GP.”

“Iya, GP.”

“Terus?” gue tertarik sama cerita Renjun karena wow—gue nggak tau kalo kakak gue bakal sepeduli itu.

“Ya nggak jadi soalnya badan kamu udah nggak panas, mungkin kalo minum obat udah lebih baik. Kata Matthew juga kalo nanti harus diopname, aku kalo ditinggal sendirian takutnya malah nggak ngerti apa-apa.”

“Terus dia yang angkat ke sini?”

Kali ini Renjun yang ngangguk-angguk sambil bibirnya ngerucut. Ini anak kenapa?

“Maaf ya, kamu jadi keracunan karena beli makanan dari luar. Maaf aku ngambeknya jelek semingguan ini.” well, seminggu lebih sih, tapi intinya Renjun nyesel kayaknya. Bikin gue jadi agak nggak enak hati, padahal harusnya gue yang minta ma—

Holy shit, gue baru kepikiran. Selama tinggal sama Renjun, setiap gue bikin kesalahan, nggak pernah tuh gue bilang maaf ke dia.

Gila, Jeno, Jeno. Gengsi lo tinggi banget!

Anjir ternyata bener kata guru SMP gue, besarnya IQ tidak selalu diikuti sama besarnya EQ—dan SQ gue yang jelas-jelas jongkok.

Gue senyum. Bener-bener refleks karena muka Renjun sekarang lucu banget. Won't defend myself anymore, emang gue akuin dia lucu—sekarang, nggak tau kalo besok.

Bener kata iklan di TV, apapun makanannya, minumnya ludah sendiri. Seberapa ngeselin pun Renjun menurut gue, ternyata kalo udah tangan Tuhan yang gerakin, gue cuma bisa pasrah.

Buktinya sekarang gue dengan tanpa sadar udah ngelus tangan dia yang entah sejak kapan udah megang tangan kanan gue.

Anjir gue mungkin bakal malu banget sih besok, tapi yaudah lah, mungkin dia bakal maklum karena gue lagi dalam keadaan setengah sadar.

Tangannya kecil banget dan lembut banget kalo dibandingkan sama tangan gue. Punggung tangannya bener-bener lembut, dan wajah dia juga jadi bersemu merah waktu gue elus tangannya naik turun pake ibu jari.

Don't get me wrong, gestur ini selalu gue tunjukin tiap kali gue lagi merasa nyaman sama seseorang atau gue mau initiate pembicaraan yang lebih serius sama orang. Bukan ada maksud yang lainnya.

Itu artinya, boleh jadi, gue udah mulai nyaman sama keberadaan Renjun di sekeliling gue yang sebelumnya asing banget.

“Maaf, ya.” gue bisa liat dia agak berjengit dari lamunannya. Iya, dia ngelamun dari tadi, sambil liatin tautan tangan kita yang ada di sisi kanan badan gue.

“Selama ini gue nggak pernah fully present buat lo.” suara gue lirih, tapi gue yakin Renjun bisa denger dengan baik.

Dia diem lumayan lama.

Kayaknya lagi mikir juga, menimbang juga, baiknya dia maafin gue atau enggak. Tapi masa iya dia nggak mau maafin gue?

It's okay, semua orang pernah salah kok.”

Senyumnya manis banget waktu selesai ngomong gitu. Air mukanya juga berubah dari yang sebelumnya sendu, jadi hangat banget. Gue bisa liat mata buletnya kelihatan tulus banget waktu akhirnya dia maafin gue.

Hembusan nafas kasar gue kerasa lebih berat kali ini, bisa-bisanya Renjun yang sebaik ini, nggak pernah gue anggep ada.

Seenggaknya setelah ini, gue berharap kalo otak gue yang katanya encer ini bisa diajak kerja sama. Karena Renjun cuma punya gue di sini, and vice versa, dan ... mungkin bener kata Mami, Renjun dikirim—meskipun dengan sedikit paksaan—buat bikin gue menjadi orang yang lebih baik lagi.

Nggak bisa instan, gue aware, tapi pelan-pelan juga pasti bisa.

Renjun: Jumat yang Melelahkan

Udah jam 10. Tapi tanda-tanda bakal ada temennya Jeno dateng ke rumah masih nihil.

Yaelah, boro-boro temennya, Jeno aja belum keluar kamar dari tadi pagi. Katanya orang-orang ini sekolah jadi mahasiswa internasional, masa janjian ngumpul aja ngaret?

Bukan apa-apa, sih. Sayang ntar kalo bakwan sayurnya keburu letoy. Nggak kriuk lagi.

Aku udah niat mau bangunin Jeno pas denger tiba-tiba pintu kamar dia kebuka dan dia buru-buru masuk kamar mandi tanpa nyapa aku. Ya sebenernya tiap hari juga dia nggak pernah nyapa, sih...

Setelah aku tinggal ke atas buat ngambil beberapa mangkok dan sendok plastik yang sengaja aku simpen di kamar biar nggak ketahuan Jeno, ternyata dia udah selesai mandi dan cuma pake handuk doang lari ke kamarnya.

Dia tuh aneh, deh. Padahal kan kemaren dia sendiri yang bikin janji, kok bisa-bisanya lupa dan berakhir bangun kesiangan?

Aku lagi sibuk nyuci peralatan masak pas Jeno keluar kamar pake baju yang rapi banget. Celana jeans warna abu-abu muda, kemeja putih yang nempel banget ke badannya, sama bawa coat warna abu-abu juga. Heh? Bukannya acaranya di rumah ya? Kok dia bawa coat?

Sebelum aku sempet nanya, “mau ke mana?” dia udah ngomong duluan.

“Gue mau ke stasiun jemput temen gue. Lo di rumah aja ya, nanti kalo ada yang ke sini bukain pintu aja. Mereka semua orang Indo, kok. Bilang aja gue masih ke stasiun, kalo mereka mau minum biar ambil sendiri di kulkas.”

Jeno nggak ngasih aku kesempatan buat ngomong karena dia udah keburu lari keluar dan nutup pintu.

“Oh iya! Tolong cariin piring sama spork di cabinet atas, ya. Nanti makanannya sekalian gue ambil abis dari stasiun. Bantu siapin nanti kalo gue udah dateng.”

Wait ... makanan?

Udah dibeli?

Ah, tapi kayaknya pasti Jeno mesennya makanan yang bukan makanan Indo, deh. Nggak papa, orang-orang juga pasti yang dateng mau kok makan masakan aku. Kan mereka udah kangen makanan Indo, belom lagi anak-anak kos pasti doyan makan hihi.

Aku lanjut nyari alat makan yang diperintahin buat Jeno tadi. Aku susun rapi di meja makan dan meja ruang tengah. Pasti nanti mereka bakal makan di situ, deh.

Untung aja tadi pagi aku udah sempet lari ke Morrisons buat beli bunga. Jadinya ruang tamu sama ruang tengah agak sedikit cerah ada warnanya. Pasti temen-temennya Jeno seneng.

Tapi aduh, aku nggak sengaja liat kaca dan ternyata aku kucel banget. Harusnya aku pake baju yang pernah dibeliin Jeno aja, ya, biar rapi. Terus mukaku kayaknya juga pucet banget. Aduh tapi aku di sini nggak punya alat buat dandan...

Pas aku lagi sibuk mikir enaknya aku mau pake baju kayak gimana kayak gimana biar nggak bikin Jeno malu, tiba-tiba pintu depan diketuk dari luar.

Aduh itu pasti temennya Jeno, deh. Semoga beneran mereka bisa Bahasa Indonesia biar aku nggak a-e-a-e pas lagi ngomong.

Aku ragu-ragu buka pintunya, dan pas udah kebuka, ada dua orang cewek-cowok yang dandanannya rapi banget di depan pintu.

Ceweknya pake rok kulit warna coklat pendek banget, pake stocking item, sepatu boots, sama sweater warna krem. Plus pake kacamata item dan topi.

Sementara cowoknya pake celana item, kaos item, plus jaket warna coklat. Kayaknya mereka pacaran.

“Ya?” aku ngomong sambil senyum ke mereka.

“Jeno ada?”

“Eh ... lagi ke stasiun, Pak, Bu.”

What?” muka mereka kaget banget, nggak tau kaget karena denger kabar Jeno lagi ke stasiun atau karena aku manggil mereka Pak sama Bu.

“Lo ... siapanya Jeno ya?” si cowok nanya gitu pake tatapan menyelidik. Kayaknya dia nggak percaya Jeno punya—wait, iya juga ya ... gimana ngomongnya kalo aku ini calon suaminya Jeno?

Eh, Jeno pasti geli banget nggak sih kalo di depan temen-temennya aku ngaku kalo aku ini orang yang dijodohin sama dia?

Aduh, mana orang-orang ini kelihatan kaya banget lagi. Agak serem kalo aku harus ngaku gini tanpa persetujuan Jeno. Bisa-bisa dia malu lagi.

“Eh ... saya asistennya Jeno.” nggak papa kali ya boong?

“Oh ... dia bawa asisten sekarang dari Indo.” si cowok kedengeran lagi ngomong sendiri.

“Mari mari, masuk, Pak, Bu.” aku mempersilakan mereka masuk ke rumah dan agak sedikit minggir dari pintu.

“Jangan panggil, Pak sama Bu, dong. Kita ini masih muda, lho. Panggil Kak aja. Kamu masih kecil banget sih kelihatannya. So cute.” si cewek tiba-tiba ngomong gitu ke aku.

Agak geli, sih. Cute dari mananya orang aku kayak kucing kedinginan gini.

Aku akhirnya cuma nanggepin pake ketawa garing sambil ngekorin mereka yang duduk di sofa ruang tamu.

“Mau minum apa, Kak?” anjir kok aku menghayati peran banget sih? Pake nawarin minum segala lagi.

“Oh nggak usah, nanti kalo haus kita ambil sendiri kok di kulkas.” si cewek jawab sambil ngelepas kacamata hitamnya.

“Yaudah, kalo gitu saya ke belakang dul—” yah sialan, belom juga jadi pergi ke belakang, udah ada yang ketuk pintu lagi.

Ternyata ada lagi yang dateng. Temen mereka juga soalnya langsung ngobrol bareng mereka dan setelahnya makin banyak yang dateng.

Karena kayaknya aku udah nggak dibutuhin di sana, aku balik pergi ke dapur buat ngambil beberapa soft drink yang semalem dibeli Jeno dan disimpen di kulkas.

Kayaknya emang harus aku simpen di meja tengah biar mereka mau minum. Bakal sungkan sih kalo mereka harus ambil ke kulkas sendiri.

Pas aku lagi nyusun kaleng minuman di meja tengah, tiba-tiba ada cowok yang datengin meja terus nanya, “wih siapa ini?”

Aku yang kaget cuma bisa senyum lagi ke dia. Hampir aja aku mau jawab, eh udah disela sama cowok yang pertama aku temuin tadi.

“Itu asistennya Jeno yang dibawa dari Jakarta.”

“Lah? Kok gue nggak pernah denger sih?” itu orang lain yang nyautin.

“Iya sama. Kayaknya suruhan Maminya.” si cowok tadi bales lagi.

Terus setelah itu mereka jadi kepo banget sama aku. Nanya nama lah, nanya asalnya mana lah, semua deh pokoknya, sampe aku takut sendiri ... Jeno juga aneh banget nggak pulang-pulang. Ah, pengen nangis!

Untung aja pas mereka lagi heboh godain aku, tiba-tiba ada satu cowok nyeletuk, “ini Jeno nggak beli beer ya?”

Dan semua orang ngasih tatapan bertanya ke aku.

Aduh nggak jadi untung. Ini membingungkan soalnya aku nggak ngerti.

“Eh ... kayaknya sih lagi dibeli ya, Kakak-kakak.” otakku masih bisa diajak kompromi rupanya.

“Yaudah, I'll text him, I'll text him.” ada satu cewek yang bajunya cuma sampe udel ngomong gini. Makasih, Kak, kamu udah nyelametin aku.

Aku deg-degan banget pas lagi ngumpet di kamar mandi. Sumpah aku pikir temennya Jeno bakal nggak kayak gini ... jujur tapi ini serem banget, sih. Aku nggak pernah ketemu orang yang keliatan ... apa sih sebutannya? Intimidatif?

Pokoknya itu, lah.

Belom lagi baju-baju mereka pada bagus. Badan dan wajahnya juga keliatan terawat banget. Aku jadi minder karena bajuku jelek, mukaku jelek, dan badanku nggak tinggi besar kayak mereka.

Aku bertahan sembunyi di kamar mandi sampe aku denger ada suara Jeno sama ... nggak tahu sih dia siapa, tapi dia ngomong Bahasa Inggris buat nyapa orang-orang. Terus mereka heboh banget.

Aku mau keluar makin deg-degan...

Tapi lebih konyol lagi kalo aku di sini sampe nanti sore.

Pas aku keluar dari kamar mandi, aku langsung ngibrit ke dapur dan siap-siapin makanan bikinanku yang aku sembunyiin di cabinet. Aku pelan-pelan mindahin makanan dari wadah aluminium ke piring keramik yang kata Jeno suka dibeliin sama Maminya. Biar kayak makanan orang kaya nggak sih meskipun yang disajiin cuma tempe goreng sama bakwan. Hihihi.

Orang-orang masih ribut di ruang tengah, aku ngintip bentar buat ngitung jumlah mereka ada berapa. Buat persiapan nyajiin bakmie sama mastiin kalo gorengannya nggak kurang.

Oh tapi ternyata mereka lagi ada di meja makan buat ngambil makanan yang kayaknya dibeli sama Jeno tadi. Dan yang bikin aku kaget, ternyata meja makannya udah penuh banget. Ada sayur, ada pizza, ada kue-kue warna-warni, ada makanan yang aku nggak pernah liat seumur hidup juga. Tapi yang jelas, semua makanannya warnanya cantik banget dan kayaknya sehat banget.

Terus juga, aku bisa denger mereka nyebut 'vegan' gitu-gitu. Yang kalo nggak salah sih emang makanan yang dibuat untuk orang yang nggak makan daging.

Masuk akal, sih, orang kaya kan emang nggak suka makan makanan yang nggak sehat dan kotor.

Dari balik tembok, aku lirik makanan yang dari tadi pagi aku bikin.

Hehe, kayaknya jauh sih kalo dibanding sama makanan yang udah ada di meja itu. Jadi ... ya, nggak mungkin aku sajiin juga. Bisa-bisa mereka keracunan nanti.

Aku balik lagi ke dapur. Ngeliatin bakwan sayur sama tempe goreng yang udah aku susun rapi melingkar di piring saji. Sayang banget, sih, sebenernya. Cuma lebih nggak sopan lagi kalo aku tiba-tiba sajiin ini di sana. Jelas levelnya beda, sih.

Kasian hati aku, nanti lebih sakit lagi kalo makanannya nggak dimakan dan harus berujung dibuang ke tempat sampah.

Kasian Jeno juga, nanti dia malu kalo diketawain temen-temennya karena aku masakin makanan yang nggak enak kayak gini.

Yaudah, lah. Mau gimana lagi, ini masih bisa dimakan buat beberapa hari ke depan juga kok. Semoga aja aku nggak bosen.

Dengan berat hati, aku nyari tisu buat keringin wadah makanan plastik yang barusan aku cuci. Mau aku pake buat nyimpen makanannya di kulkas, biar nanti awet dan tinggal aku goreng kalo pengen makan.

Eh ternyata, belum sempet aku masukin bakwan pertama ke dalem wadah masakan, ada yang dateng ke dapur.

“Misi, Kak.” ada satu anak cowok yang kayaknya umurnya lebih muda dari aku dateng. Dia pake baju santai, hoodie warna biru tua dan jogger pants warna item.

“Ya? Ada yang bisa aku bantu?”

“Kak, aku sama adekku mau numpang bikin ramen. Boleh nggak?” dia nanya gitu dan tiba-tiba ada anak cewek yang mukanya mirip sama dia dan lebih pendek dari dia dateng bawa Samyang 2 bungkus.

“B-boleh. Sini-sini aku bikinin.” aku sejenak lupain makanan yang mau aku masukin ke wadah buat bantu mereka bikin ramen.

“Eh jangan, Kak, kita bikin sendiri aja. Tapi kalo Kakak mau nemenin, nggak papa.” si adeknya bilang sambil naro ramennya di deket kompor.

“Oke, deh.” aku buru-buru ngambilin mereka dua panci dari atas cabinet, terus masing-masing dari mereka gantian ngisi pancinya pake air keran terus nyalain kompornya.

“Kakak siapanya Om Jeno?” si anak cewek nanya gitu ke aku.

“Om?!” aku kaget dikit, sih, emang anak-anak ini umur berapa sampe-sampe dia manggil Jeno pake sebutan 'Om'.

“Hehe enggak, kita bercanda aja manggil dia gitu. Soalnya dia yang paling tua dan udah cocok jadi bapak-bapak.”

Aduh anak-anak ini lucu banget.

“A-aku asistennya.”

Mereka ngangguk-ngangguk kompak.

“Eh? Ini apa, Kak?” si anak cewek yang kayaknya lebih peka sama lingkungan sekitarnya itu tiba-tiba nunjuk bakwan sama tempe bikinanku.

“Oh ini tempe sama bakwan. Kalian mau?” aku tawarin soalnya muka si kakaknya—si cowok kayak udah BM banget pas liatin bakwannya.

“Mau, Kak, mau.” tuh kan, dia antusias banget.

Akhirnya dia nyoba bakwan yang untungnya masih krispi banget itu dan ekspresi mukanya kayak abis menemukan keajaiban dunia ke delapan.

“Enak banget, Kak.” kata dia sambil ngunyah abis satu buletan bakwan.

Adeknya ngikutin kakaknya buat ambil bakwan terus dicocol sama sambel kecap yang sebenernya aku bikin buat tempe. Tapi yaudahlah, suka-suka mereka aja.

Tanpa sadar, aku senyum lebar banget waktu mereka masing-masing udah habis tiga biji tempe dan bakwan. Mereka baru berhenti makan waktu airnya udah agak mendidih.

“Eh aku juga masak bakmie loh tadi. Kalian mau coba?” ya aku beraniin diri aja buat nawarin masakanku ke mereka, siapa tau kan mereka doyan?

Ternyata sesuai dugaan, mereka antusias banget mau nyoba. Malah buru-buru matiin kompor karena lebih penasaran sama bakmie daripada mau repot-repot bikin Samyang.

Selama aku nyiapin bakmie dan pendampingnya, mereka nanya macem-macem ke aku soal masakan-masakan yang aku bikin. Mereka katanya seneng banget kalo bisa nemu makanan Indonesia yang buatan rumahan kayak gini, karena jarang-jarang mereka bisa makan lahap kayak gini. Selain karena sibuk kuliah, mereka juga susah nemu orang yang bisa masak makanan Indo dengan rasa yang cocok sama lidah mereka.

Pas mereka nyobain bakmie bikinanku, mereka gayanya beneran kayak orang yang suka review makanan di TikTok itu tau nggak? Excited banget. Mukanya juga mendukung banget. Kata mereka rasa bakmienya mirip bakmie yang biasa mereka makan di Jakarta.

Ya iyalah, dulu kan aku pernah bantuin Ayah sama Ibu jualan bakmie di Tanjung Duren. Ya meskipun akhirnya bangkrut, sih.

“Kakak nggak mau jualan aja abis ini? Ini enak banget loh, Kak. Nanti aku promosiin ke temen-temenku biar beli di Kakak. Gratis aku promoinnya.” si anak cewek yang keliatan kayak selebgram itu tiba-tiba ngasih ide ke aku.

Hmm, bener juga sih, daripada aku tidur-tiduran mulu mending aku masak dan jualan bakmie sama bakwan ke orang-orang.

“Gitu ya, Ci?” aku nanya balik ke dia.

Ohiya, kita udah kenalan. Nama mereka Eca—yang cowok dan Eci—yang cewek. Mereka kembar.

“Iya, Kak. Lumayan loh buat kesibukan kalo Om Jeno nggak lagi butuh banyak dibantu.”

Aku dalem hati ngebatin sih, justru Jeno nggak perlu dibantu makanya aku punya banyak waktu luang sampe bingung mau ngapain.

“Terus nganter makanannya gimana, Ci? Kan di sini nggak ada semacem Go-send gitu.” pertanyaanku mungkin bakal polos banget di telinga Eci, tapi ya wajar kan aku nanya gini? Aku kan nggak tahu.

“Itumah gampang, Kak. Tinggal Kakak suruh aja mereka ke sini. Atau Kakak dateng ke kampusnya Om Jeno dan COD an di sana. Anak-anak yang beli pasti mau, Kok. Nanti kita temenin, deh. Kita sekampus kok sama Om Jeno.”

Aduh mimpi apa ya aku semalem? Bisa-bisanya aku ketemu anak-anak baik kayak mereka.

Sebagai tanda terima kasih, aku bilang ke mereka kalo aku akan bikinin bakmie gratis buat mereka sampe nanti aku pulang ke Indonesia.

Setelah ngobrol dan ketawa-ketawa banyak sama Eca dan Eci yang ternyata umurnya tiga tahun di bawahku, mereka pamit pulang karena orang-orang yang ada di ruang tengah udah teriak manggil-manggil mereka buat diajakin foto bareng.

Mereka ngajakin aku, sih. Tapi aku nolak soalnya ya ... malu aja penampilanku kayak babu gini masa harus foto-foto bareng mereka yang pada dandan cakep dan keren?

Sebelum mereka pergi, aku udah minta nomor HP mereka biar bisa bikin grup buat jualan.

Sekitar jam dua belas lewat lima belas menit, semua orang udah gantian keluar rumah dan nyisain Jeno sama tiga orang lain. Dua cewek dan satu cowok yang pertama kali dateng tadi pagi.

Mereka masih ketawa-ketawa waktu aku diem-diem bersihin meja dan lantai ruang tengah yang kena tumpahan makanan di sana-sini.

Jeno kayaknya nggak sadar waktu ada aku yang bersihin ruang tengah, sampe akhirnya nengok waktu temen cowoknya lambaiin tangan ke aku sebelum pamit pulang.

Waktu nengok, Jeno nggak ngomong apa-apa, tatapannya juga biasa banget. Tapi aku langsung nunduk soalnya takut. Nggak tahu tuh, takut kenapa.

Di ruang tengah kayaknya cuma sisa Jeno dan satu cewek yang rambutnya panjang dan pake baju merah. Mereka ngobrol pake Bahasa Inggris yang aku nggak ngerti. Suara ceweknya juga lembut banget. Sampe-sampe aku nggak bisa denger pas lagi nyuci alat makan kotor di wastafel.

Aku nyuci kayaknya cuma sebentar, tapi mereka udah nggak kedengeran ngobrol lagi. Jadinya ya mau nggak mau aku tengok dikit deh sebelum aku naik ke atas.

Pas aku nengok, astaga!

Badan mereka udah deket banget. Jeno lagi meluk cewek itu dan si cewek lagi naruh lengannya di atas pundak Jeno. Kayaknya mereka juga lagi ciuman yang kayak di film-film gitu.

Tapi aku nggak yakin juga ya, soalnya aku buru-buru lari ke lantai dua karena nggak mau nonton sesuatu yang aneh-aneh. Mana siang bolong lagi.

Selama di atas sampe sore, aku bener-bener nggak berani keluar kamar soalnya pas terakhir aku keluar kamar karena terpaksa harus ambil headset, ada suara-suara aneh dari bawah.

Sumpah aku merinding banget. Belum lagi kayaknya dadaku lagi korslet soalnya tiba-tiba sakit dan sesek gitu. Aneh banget tapi mau gimana lagi? Aku mau keluar juga pasti lewatin ruang tamu dan kamar Jeno. Bisa pingsan aku kalo denger dan lihat yang aneh-aneh lagi.

Jadi yang paling aman ya aku tutup telinga pake headset dan nyalain lagunya NCT dua album. Berharap semoga mereka selesai melakukan apapun itu di bawah pas lagunya udah habis.

Nah, tapi untungnya, aku ketiduran sebelum albumnya selesai diputer semua.

Kayaknya cukup lama sih soalnya tiba-tiba di luar udah gelap padahal tadi pas aku mulai dengerin lagu dan sembunyi di bawah selimut, masih jam setengah dua siang dan di luar masih terang banget meskipun agak mendung.

Baterai HP ku abis kayaknya. Soalnya pas aku mau lihat jam, udah nggak bisa dinyalain.

Tenggorokanku juga kering banget. Kayaknya aku butuh minum tapi itu artinya aku harus ... turun...

Sebelum buka pintu, aku pasang bener-bener telingaku supaya bisa denger kalo ada suara orang di bawah. Tapi kayaknya udah nggak ada, sih. Cuma kedengeran suara mobil di jalanan depan rumah sama kedengeran suara sirine di kejauhan—suara yang normal buat didengerin sama telinga suci Renjun.

Waktu aku udah sampe di bawah, aku lumayan kaget soalnya di bawah nggak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Lampu ruang tengah juga mati, lampu luar di depan udah nyala tapi.

“Jeno?” aku berusaha manggil Jeno supaya bisa antisipasi kalo jangan-jangan dia lagi di ruang tamu bareng sama cewek yang tadi.

Aku jalan pelan-pelan ke ruang tamu, sambil tutup mata. Takut kalo liat Jeno atau cewek itu nggak pake baju.

Dan pas udah nyalain lampu, ternyata nggak ada siapa-siapa. Ruang tamu juga udah bersih.

Aku nggak mau ngetuk pintu kamar Jeno. Takutnya dia lagi tidur di dalem tapi keganggu gara-gara aku manggil dia. Udahlah biarin aja, aku mau minum terus mandi, terus tidur lagi.

Waktu aku baru aja buka kulkas, tiba-tiba ada yang buka pintu depan.

Ternyata Jeno yang dateng. Masih pake coat yang kayak tadi siang, cuma celana dan kemejanya udah berubah jadi setelan lebih santai yang biasa dia pake buat lari.

“Ngapain?” dia nanya sambil cuci tangan di keran dapur. Sementara aku cuma liatin dia dengan horor karena keinget kejadian tadi siang.

“M-minum.”

“Oh...” dia ikutan ngambil gelas dan ngambil air dari kulkas.

“Ahh...” astaga Tuhan suaranya mirip banget lagi kayak yang tadi siang—padahal sekarang dia cuma nunjukin rasa lega abis minum air dingi. Kayaknya ada yang salah sama otakku.

“Kenapa sih?” muka dia heran waktu aku mukul-mukul kecil kepalaku.

“Oh nggak papa kok. Kamu abis dari mana?” aku coba buat ngalihin pembicaraan supaya nggak canggung. Nggak sih, aku doang yang canggung.

“Dari stasiun.” ah, pasti nganterin cewek yang tadi pulang. Hm, kalo gitu yang tadi pagi dia jemput juga cewek yang sama mungkin ya?

Sebenernya aku penasaran sih mau nanya dia siapa, tapi kok agak nggak sopan ya? Emangnya aku siapa nanya-nanya gitu?

“Katanya Eca sama Eci, mereka abis makan bakmie bikinan lo. Masih ada nggak?”

“Huh?” aku kaget banget untuk ke sekian kalinya di hari ini.

Seorang Jeno? Nanyain makanan masakan aku?

“M-masih. Masih ada dua porsi sih yang udah mateng. Sisanya belom direbus mienya.” aku jawab sambil gemeteran karena Jeno deket banget sama aku.

“Yaudah. Mau makan bareng nggak?”

Hah??! Dia sehat?

“Makan bareng?”

“Iya. Gue mau mandi dulu tapi, abis kena gerimis di luar, lo udah mandi kan?” dia nanya sambil ngelepas coat abu-abunya.

“Be-belom. Tapi nanti aja. I-ini aku panasin dulu bakmienya.” aku ngomong terbata-bata banget sumpah. Campur aduk isi otakku, mana jantungku kayaknya bener-bener kena penyakit ini, cepet banget dag-dig-dug-nya.

“Oke.” dia udah berbalik mau pergi ke kamarnya.

Sebelum ngomong 'oh' pelan dan jalan balik lagi ke aku sambil ngomong, “lain kali, kalo udah masak jangan disimpen sendiri. Bagi-bagi sama yang lain.”

Renjun: Rasa ini apa namanya?

Aku pura-pura tidur lagi pas denger Jeno nutup laptopnya dan berdiri dari kursi untuk jalan ke dapur. Mungkin dia mau bikin kopi.

Aku pikir aku nggak akan ketiduran, ternyata malah baru bisa buka mata lagi pas di luar udah terang banget. Jendela di dapur yang menghadap langsung ke sofa ruang tamu tempat aku tidur udah dibuka, kayaknya Jeno yang buka tadi pagi.

Kakiku masih kerasa baal saat digerakin. Waktu copot gips juga masih sekitar dua mingguan lagi. Cuman aku udah capek banget tidur di bawah terus, lebih susah lagi kalo aku harus ke atas. Nggak mungkin aku minta Pak Jo sama Pak Jae buat angkat aku dari lantai bawah ke lantai atas. Nggak sopan banget.

Aku langsung duduk tegak waktu denger pintu kamar mandi dibuka dengan agak sedikit brutal. Dan sesuai dugaanku, Jeno baru selesai mandi.

Nggak keliatan dengan jelas sih ekspresi dia kayak gimana, soalnya masih agak remang-remang di ruang tamu. Cuma kayaknya dia kaget waktu liat aku tiba-tiba duduk tegak di kursiku—eh tapi dia kan belum tau ya kalo kakiku sakit.

Waduh, aku harus pake alasan apa coba kalo nanti dia tanya?

“Mau sarapan apa?”

Heh? Nggak salah dia nanya gitu?

“Eh ... Jeno kapan pulang?”

“Jam dua tadi.”

Eh sumpah aku takut. Kok dia mau jawab pertanyaanku, sih?

“Aku masak sarapan sendiri aja Jeno, kalo Jeno mau dimasakin sekalian boleh kok? Mau makan apa?”

Jeno berhenti ngusap rambutnya yang masih basah dan balik naro bungkus sereal yang sebelumnya dia pegang ke meja ruang tengah. Ada beberapa bungkus makanan juga di meja warna putih itu, kayaknya Jeno abis belanja semalem.

Dia jalan ke arahku dan tiba-tiba duduk di sofa, di dekat kakiku.

Aku udah berdoa sama Tuhan supaya dia nggak tiba-tiba nyibak selimutku terus ketauan kalo aku—

Telat.

Dia udah megang gips yang bikin kaki kananku kaku seminggu terakhir.

“Mami udah cerita.”

Dia diem. Aku juga diem.

Nggak berani nanya-nanya lagi atau ngomong yang nggak penting lagi. Beneran takut dia marah-marah atau tersinggung karena kesannya aku yang ceroboh tapi bikin dia ikut-ikutan kena siraman rohani dari Maminya.

“Mau ke kamar mandi? Atau mau sarapan dulu?”

Hah? Dia kenapa sih?

“Aku bisa sendiri kok, Jeno. Semalem aku juga udah ke kamar mandi sendiri bisa.”

Kayaknya bener, Jeno nggak suka denger orang banyak omong. Dia tiba-tiba deketin aku, dan aku bener-bener nggak nyangka kalo dia segampang itu ngangkat aku dari sofa.

Tangan kanannya dia pake untuk nyangga badan kecilku yang kayaknya makin kecil karena nggak pernah lagi makan 3x sehari di sini. Terus tangan kirinya dia pake buat nyangga bawah lututku.

Aku cuma bisa gigit bibir, saking takut dan merindingnya.

Jeno nurunin aku di atas kloset yang masih ketutup. Aku bingung gimana ngomongnya tapi sumpah aku malu banget. Masa iya aku harus buka celana di depan dia? Kan dia bukan siapa-siapanya aku...

“Bisa sendiri kan? Gue tunggu di luar, nanti kalo udah teriak aja.”

Hehe ... kirain dia mau nungguin di dalem...

Setelah selesai buang air kecil dan buang air besar—sekalian biar nggak ngerepotin Jeno lagi. Aku agak teriak supaya Jeno denger di luar.

“Udah?”

Aku cuma ngangguk-ngangguk di atas kloset. Persis kayak keponakanku yang masih balita kalo abis buang air besar dan mau dibantuin Mamanya pake celana.

Tapi jangan mikir aneh-aneh ya, sekarang aku udah pake celana tau.

“Mau sikat gigi dulu sama cuci muka?”

“Iya.” aku jawab lirih banget, kayaknya hampir nggak kedengeran. Tapi Jeno langsung bawa aku buat berdiri di depan wastafel. Bantu juga ngambilin sikat gigi dan pasta giginya di ujung kanan wastafel. Ini nih yang nggak enak dari rumah Jeno, meja wastafelnya besar banget, jadi susah kalo mau ngambil ini itu.

Aku sikat gigi sambil tetep dipegangin sama Jeno. Tapi aku heran banget kok dia bisa ya megangin aku cuma pake tangan kiri yang seluruhnya bisa lingkarin perut aku? Badan dia besar banget, jadi pengen nanya dia makan apa tiap hari.

Setelah selesai sama sikat gigi, aku langsung cepet-cepet cuci muka pake air. Kasian nanti kalo Jeno harus nunggu lama, pegel kayaknya.

“Udah, Jeno.”

“Oke.” dia ngangkat aku lagi pake cara tadi, agak deg-degan sih nggak tau kenapa. Padahal Jeno bisa dipercaya, loh. Nggak mungkin juga dia bakal tiba-tiba ngelempar aku ke lantai.

Aku lebih kaget lagi waktu sofa yang aku pake buat tidur semalem udah jauh lebih rapi. Jeno udah ganti juga bedcover sama duvetnya pake yang baru. Aku jadi merasa bersalah sama Jeno.

“Kamu ganti semuanya Jeno? Maaf ya kamu padahal udah capek-capek masih harus ngurusin aku.”

Dia nggak jawab apa-apa lagi. Kayaknya dia ragu mau bilang capek.

“Gue beli sarapan dulu ya keluar? Mau minum air dulu? Badan lo agak panas, harus banyak minum air.”

Wow aku nggak nyangka sih Jeno bisa rasain kalo suhu tubuhku agak naik. Soalnya dia ngangkat aku juga cuma sebentar kan tadi.

“Boleh, Jeno. Makasih ya.” dia cuma ngangguk dan bawa dua botol air mineral ke tempat gue duduk sekarang. Sebelum pamit lagi kalo dia mau nyari sarapan keluar.

Jadi penasaran, di sini kan nggak ada yang jualan lontong sayur atau bubur ayam tiap pagi. Mau beli apa ya Jeno?

Sambil nungguin Jeno, aku buka iPad dan mulai nonton video-video prank di YouTube. Aku suka banget sih nonton orang ngeprank, seru aja. Tapi kalo sekarang sih bikin aku jadi berharap kalo aku juga lagi di-prank, terus besok dianterin pulang ke Indonesia. Hehe.

Kayaknya aku udah selesai nonton tiga video waktu Jeno nyampe rumah dengan bawa beberapa bungkus di tangan kanan dan kirinya. Baunya wangi banget, ada manis dan ada asin. Kayaknya dia beli macem-macem, sih.

“Bentar gue panasin dulu sarapannya.”

Kayaknya siapapun yang nanti jadi pasangan hidupnya Jeno bakal seneng terus, deh. Udah cakep, punya uang banyak, mandiri, mau repot masak sarapan sendiri lagi...

Oh iya sih, itu juga yang bikin aku heran waktu mikir kenapa ya Jeno harus dijodohin sama aku? Dia kan kayaknya udah sangat mampu buat cari pasangan sendiri ya? Kenapa harus dipilihin orang kayak aku?

Ya mungkin untuk menghormati perjanjian Kakek aku sama Opanya Jeno sih, cuma kayaknya kok ... ah nggak tau lah aku pusing.

“Nih, bangun dulu ayo makan.” aku ngiranya Jeno bakal ngasih piring yang isinya roti sama sup warna merah itu ke aku. Ternyata enggak, soalnya dia malah duduk di sebelahku dan ngambil satu potong roti buat dicolek ke sup merah itu dan ngarahin rotinya ke mulutku.

Kaget banget.

“Ak-aku bisa makan sendiri kok, Jeno.”

Aku masih nutup mulut setelah ngomong gitu, tapi pas Jeno ngerutin alisnya, aku agak takut jadinya aku mau nggak mau buka mulut. Takut disiram sup.

Jujur waktu ngunyah rotinya, menurutku agak aneh. Enak sih, rotinya kerasa banget bawangnya, dan kejunya juga masih tebel ngelapisin rotinya. Tapi ... aku kayaknya emang nggak cocok sih sama rasa-rasa sup atau saus di sini. Cuma rasa asin doang atau manis doang, jadinya kurang nendang.

Tapi ya aku juga nggak berani ngelepeh makanannya di depan Jeno. Satu, nggak menghargai usaha dia pagi-pagi keluar beli sarapan. Dan kedua, nggak sopan pastinya.

Aku nggak berani komentar juga sih soal rasanya. Karena aku nggak pinter bohong kalo di depan Jeno, dia pasti tau kalo aku lagi ngibulin dia. Jadi ya aku cuma terus-terusan ngunyah aja.

“Siapa yang gambar-gambar di perbannya?”

Jeno nanyain pertanyaan yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya. Dia ternyata merhatiin juga ya coret-coretan yang ada di perbanku.

“Digambarin sama Val, anaknya Pak Jo sama Pak Jaehyun. Dia sering ke sini. Maaf ya aku nerima tamu pas Jeno nggak ada.”

“Mereka sering ke sini?” aku agak bingung sih sejujurnya, kenapa ya Jeno nggak pernah jawab pertanyaan dulu baru nanya, dia hobi langsung nanya tanpa jawab pertanyaan sebelumnya. Jujur aku agak kesel sih kalo dia begini.

“Sering. Seminggu ini hampir tiap pagi sama sore ke sini kecuali Sabtu sama Minggu kemarin.”

Jeno ngangguk-ngangguk doang sambil tetep nyuapin roti dan sup tomat buat aku.

“Akrab banget sama Val?”

“Hu-um. Dia lucu banget kayak ponakanku. Kamu udah berapa kali ketemu Val?”

Val itu anaknya Pak Jo sama Pak Jaehyun yang mukanya mirip banget sama Pak Jaehyun. Pipinya juga gembil lucu merah kayak Papinya. Kata Pak Jaehyun sih dia umurnya baru empat setengah, tapi badannya udah tinggi banget. Mungkin ngikut Pak Jo yang tinggi besar gitu.

Val ini lucu banget. Meskipun dia nggak bisa Bahasa Indonesia dan di telingaku dia cuman kedengeran ngoceh-ngoceh nggak jelas gitu, tapi dia bener-bener menghibur aku banget waktu aku lagi berharap tiba-tiba Ayah atau Ibu jemput aku pulang.

“Dua kali. Pas dia lahir sama pas dia sakit.”

Aku kaget lah. Bisa-bisanya Jeno yang kata Pak Jo udah kenal mereka selama belasan tahun baru ketemu si lucu Val dua kali? Sementara aku yang baru di sini seminggu udah kayak tiap hari ketemu Val dan main sama dia.

Eh atau jangan-jangan, “kamu nggak suka anak kecil ya, Jeno?”

Muka dia berubah kaget. Aku cepet-cepet minta maaf dan ngomong 'nggak usah dijawab' karena takut dia tersinggung.

Setelahnya kita cuma ngobrol sedikit-sedikit soal gimana Pak Jo dan Pak Jaehyun ngerawat aku seminggu ini sementara Jeno lagi nggak ada. Tapi aku sebisa mungkin nggak nyinggung kejadian malem itu, sih. Soalnya aku nggak mau bikin Jeno kepikiran, kan yang dia pikirin ada banyak.

Hari-hari kami jadi agak membaik. Jeno nggak lagi ketus sama aku, dia beberapa kali juga udah bisa ngomong panjang-panjang sama aku. Lebih dari tiga kalimat.

Dia juga jadi sering ada di rumah.

Kalo biasanya dia baru pulang jam dua belas ke atas, sekarang pasti tiap jam tujuh dia udah di rumah dan bikinin aku makan malem yang ... sebenernya rasanya nggak hancur-hancur amat, sih, tapi aku kurang cocok aja karena dia nggak bisa masak makanan Indonesia.

Tapi ya lagi-lagi aku harus bersyukur karena Jeno udah mau masakin padahal sangat mungkin dia udah capek seharian kuliah sambil kerja.

Nanti kalo aku udah sehat, aku bakal masak lebih enak buat Jeno. Biar dia seneng.

Sebenernya punya hubungan kayak gini sama Jeno menyenangkan sih. Aku jadi bisa lebih ngerti soal dia. Aku jadi lebih sering denger dia bicara. Yang entah kenapa bikin aku seneng banget sampe kadang senyum-senyum kayak orang gila.

Tapi masalah lain yang lebih bikin aku bingung adalah, kenapa aku selalu ngerasa deg-degan ya tiap kali aku di samping Jeno?

Belum lagi kayaknya dadaku suka tiba-tiba sesek, penuh, dan nggak enak banget tiap kali Jeno lagi liatin aku atau lagi ada di dalam jarak dekat dari aku.

Kayak sekarang waktu Jeno lagi ngangkat aku seperti biasa dari kamar mandi buat balik ke kamar atas sebelum tidur.

Bagusnya sih aku udah nggak canggung lagi buat pegangan sama leher Jeno tiap kali dia ngangkat aku ngelewatin tangga ke lantai dua yang agak curam.

Wajah dia deket banget sama aku, semuanya menurutku sempurna banget. Semua orang bilang Jeno cakep, termasuk Ibu, Ayah, dan bahkan aku juga sadar kok kalo Jeno ini cakep. Tapi malam ini, lampu temaram di tangga menuju lantai dua bikin wajah dia jadi kelihatan berkali-kali lebih cakep.

Rasanya nyaman banget kayak gini—nyaman banget ada di dekat Jeno, nyaman banget tiap kali ngeliat dia tenang dan nggak marah-marah kayak biasanya.

Lagi-lagi aku bisa ngerasain gimana jantungku mulai berdetak kenceng banget buat Jeno, terlalu kenceng sampe kayaknya aku bisa pingsan sewaktu-waktu kalo gini terus.

Nggak tahu ya, tapi hal terakhir yang aku inget adalah aku manggil nama dia tepat waktu Jeno nurunin aku di tempat tidur.

Kening dia berkerut, mungkin heran karena aku nggak cepet-cepet lepasin peganganku di belakang kepala dia kayak biasanya.

Sebelum akhirnya dia lepas paksa peganganku di lehernya yang refleks bawa bibir dan hidungku buat lebih dekat sama pipinya.

Kemudian, aku ngerasa kepalaku ringan banget setelah cium pipi dia.

Jeno: Summer, 1976

“Oke, gini. Kita prioritise dulu mana yang mau dijalanin duluan campaignnya. Gue nggak mau over promising and ended-up under delivering our product.” anak-anak di Jakarta mungkin nggak bisa liat betapa fucked-up nya gue siang ini yang dari tadi udah garuk-garuk kepala sambil corat-coret di kertas yang udah nggak karuan bentuknya, tapi surely mereka ngerti kalo nada bicara gue udah semakin mengkhawatirkan gara-gara meeting yang seharusnya bisa selesai dalam satu jam harus molor sampe dua jam.

“Iya, Pak, nanti kita akan set meeting lagi secara internal buat ngobrolin ini. By this week kayaknya kita udah bisa report ke—”

By tomorrow.”

Pasti salah satu dari mereka udah ada yang gebrak meja denger gue ngomong gitu. Nggak, gue bukan kejam. Gue realistis. Campaign ini bakal jadi salah satu materi gue di gathering Jumat ini. Jadi mau nggak mau harus selesai dibahas sebelum Kamis.

“Iya, Pak. Besok kita kabarin.”

Good. Yaudah, dari gue cukup.”

“Oke, Pak. Dari saya dan yang lainnya juga udah cukup. Thank you, Pak Jeno.”

Yes, thank you, all. Have a good night.

Tanpa nunggu balesan mereka. Gue leave duluan.

Gue lirik jam dinding yang ternyata udah jalan secepet itu sampe udah hampir nyentuh angka 1. Kayaknya udah pas juga kalo gue sama Renjun mau pergi, jalanan dan tube nggak terlalu macet karena lunch time udah selesai, dan kantor bank udah balik beroperasi lagi after lunch break.

Niat hati, gue mau keluar kamar untuk cuci muka sebelum ganti baju dan bikin kopi karena mata gue beler banget. Tapi yang bikin gue kaget, Renjun udah duduk di sofa ruang tamu dan udah siap sedia pake baju hangat yang dibeliin sama Mami. Dan yang bikin lebih kaget, dia bawa tas ransel.

“Ngapain bawa tas?” tanya gue ke dia yang kayaknya nggak sadar gue udah keluar dari kamar. Keasikan ngelamun.

“Eh? Jeno udah selesai meeting? Mau makan siang dulu berarti? Aku panasin—” dia udah ribut sendiri ngelepas tas dan jaketnya yang kayaknya berat banget itu dan mau jalan ke dapur sebelum gue potong omongannya.

“Gue nanya, lo ngapain bawa tas? Bukan minta makan.”

Dia berhenti mencoba ngeluarin tangan dari lengan jaket yang kayaknya kegedean itu.

“Uh? Em ... kan mau pergi katanya? Nggak jadi pergi?” bisa gue pastikan dia lagi takut banget. Kenapa sih semua orang takut sama gue? Perasaan gue ngomongnya biasa aja loh.

“Ya jadi. Cuma nggak perlu bawa tas ransel kayak gitu. Kita nggak lagi mau hiking.”

Dia senyum kikuk sampe keliatan giginya, tapi senyumnya jelas gue tau adalah bentuk senyum terpaksa.

“Ini isinya notebook, payung, tas belanja, jas hujan, obat-obatan, pokoknya yang semuanya penting buat kita, Jeno. Aku bingung mau pake tas yang mana.”

“Kan ada banyak tas yang dibeliin Mami.”

“Aku takut nanti kotor, takut diambil orang juga.”

What?

Never have I ever ketemu orang sejujur dia. Ini anak ngeri kalo ditinggalin di alam terbuka, gampang dimanipulasi.

“Yaudah gue aja yang bawa tas. Pake lagi jaketnya, kita berangkat abis ini.” ucap gue sebelum dia sempet nanya sesuatu lagi.

Kita keluar dari rumah tepat jam 1 siang. Waktu gerimis udah berhenti dan matahari mulai agak keliatan terik.

Sepanjang perjalanan ke stasiun, Renjun keliatan amazed banget sama banyak hal di sekitarnya. Dia bener-bener persis kayak anak kecil yang baru pertama kali diajak keluar rumah, minus dia nggak dinaikin ke stroller aja sih.

Belom lagi dia kayak kesulitan banget ngikutin pace jalan gue yang kayaknya terlalu cepet kalo dibandingin sama langkah-langkah pendek dia. Yang makin diperparah sama jaket tebel pemberian Mami yang pasti berat banget buat dia pake.

Ohiya, gue nyuruh dia pake jaket tebel sementara gue sendiri cuma pake leather jacket tuh bukan tanpa alasan atau buat mempersulit dia ya.

Cuma ... sebagai orang yang udah lebih lama tinggal di sini, gue paham banget kalo cuaca London itu kayak mood Mami gue yang suka berubah-ubah tiap jam. Sekarang bisa jadi cerah, tapi siapa yang tau kalo dalam sejam tiba-tiba hujan deres badai angin kenceng? Better safe than sorry.

Selama di dalem tube yang akan bawa kita ke central pun Renjun nggak berhenti liatin orang lalu lalang. Dia akan tiba-tiba senyum kalo ada orang liatin dia, atau tiba-tiba nunduk pura-pura nggak liat tiap ada anak kuliahan lagi ciuman di deket pintu kereta.

Gue cuma bisa ngulum senyum liatnya.

Our first stop supposed to be that one fabulous banking chain. Gue niatnya mau bikinin dia rekening supaya uang dari Mami bisa gue transfer ke dia dan dia bisa pake uangnya buat beli kebutuhan dia sendiri.

Tapi hal yang bikin gue tercengang adalah, saat sampe di depan bank asal Hongkong itu dan gue udah ceritain apa tujuan gue bawa dia ke sini, Renjun tiba-tiba bilang, “boleh nggak kamu aja yang kasih uang ke aku tiap bulan? Kalo bawa sendiri sebanyak itu aku takut ilang.”

Sebenernya gue juga kepikiran gitu. Dia aja nggak mau ke mana-mana nenteng designer bag yang harganya cuma sepersembilan dari nominal uang saku dari Mami untuk dia, apalagi bawa uang sebanyak itu sendiri?

Akhirnya gue pake opsi kedua, ngasih credit card gue ke Renjun. Seenggaknya gue masih bisa memantau dia beli apa aja, sesuai permintaan dia.

Setelahnya kita jalan sebentar untuk sampe ke outdoor mall yang sebenernya lebih cocok disebut ... apa ya?

Well, screw that, gue bukan ahli etnologi, antropologi budaya, atau ilmu sosiologi, tapi intinya kalo ada toko-toko yang heterogen di satu area tertentu, sebutannya sama—mall.

Gue bawa Renjun ke toko gadget yang tahun ini menang Best Places to Work in Bay Area dan mulai pilih-pilihin gadget yang seharusnya cocok buat dia.

Renjun kayaknya nggak nyangka kita ke sini untuk beliin sesuatu yang akan jadi hak milik dia, soalnya dia malah tertarik gambar-gambar random di barisan display iPad waktu gue tinggal dia dealing sama sales associate di sini.

See? Insting gue bener. Mungkin gue jarang bersinggungan sama dia, tapi beberapa kali gue nemuin ada kertas gambar dan pewarna yang kayaknya lupa dia tinggalin di meja ruang tamu. So, gue asumsiin dia suka gambar, makanya gue inisiatif beliin dia ini gadget buat gambar.

Kasian juga kalo dia kesepian.

“Nih. Mau dibawa sendiri atau gue yang bawain?” gue tanya ke Renjun sambil nyodorin paper bag isi iPad dan pencil ke dia.

“Huh? Kamu beli iPad? Aku yang bawa?” dia masih clueless ternyata.

Gue bingung mikir kalimat jawaban yang tepat supaya nggak kedenger terlalu ... serem? Ngeselin?

Jadi, ya, gue bawa aja sendiri sambil ngajak dia buru-buru keluar.

“Terus abis ini kita ke mana?” seperti dugaan, dia nanya lagi. Lumayan berisik ya ternyata anak ini.

“Belanja baju buat lo.”

“Lagi?” muka dia keliatan heran banget, padahal harusnya dia seneng nggak sih dibeliin baju gini?

“Aku kan nggak mau pergi ke mana-mana Jeno. Kenapa harus beli baju? Nanti kan sayang nggak kepake.”

Jujur ya, kalo dia punya kualifikasi lebih tinggi dari apa yang dia punya sekarang, gue yakin Greta Thunberg nggak bakalan ada apa-apanya dibanding sama Renjun.

Gimana nggak kebanting? Dia aja sadar kalo cuma di rumah aja, nggak seharusnya banyak numpuk baju yang akhirnya jadi sampah. Belom lagi mikirin energi yang habis dipake buat produksi satu lembar baju yang maksimal cuma akan dipake 100 kali seumur hidup sama seseorang. Apa besok gue daftarin dia ke green peace aja ya?

Well, anyway, put Greta Thunberg aside, gue tetep bawa Renjun ke salah satu designer boutique yang biasanya gue kunjungin untuk beliin dia a pair of clothes yang cukup proper—sesuai standar gue tentunya, dan bisa dia pakai once nanti tiba-tiba ada acara penting di sini yang require gue untuk bawa dia.

Sebenernya dia ini cocok loh kalo dikasih baju macem-macem. Sampe gue bingung kenapa dia nggak pernah eksplorasi baju-bajunya dan lebih milih pake kemeja polos atau kaos belel atau hoodie kedodoran?

Oh atau mungkin karena gue lebih sering liat dia di rumah doang?

Renjun nggak banyak rewel waktu gue tanya ke dia mana preferensi baju yang harus gue bayar buat dia. Katanya dia suka semua. Hingga akhirnya gue yang harus turun tangan milihin satu trench coat, satu slack item yang kayaknya bakal versatile buat dia, dan entah kenapa gue pengen dia pake scarf warna merah marun yang sekarang lagi dibungkus rapi sama sales associate yang sedari tadi bantuin kita.

Gue nggak tau pasti apa yang barusan kejadian sama Renjun, dan gue nggak yakin apa iya di toko barusan ada setannya?

Soalnya selama commute pake Uber dari mall tadi ke sekitaran King's Cross buat nyari makan di salah satu steakhouse paling digemari anak muda seantero London raya, dia nggak berhenti senyum.

Gue juga mau ngajakin dia ngomong agak bingung sih, gue ... buruk dalam nyari topik obrolan. Istilah bekennya, convo killer.

Untung aja Uber kita nyampe di depan Flatiron sebelum gue mendidih gara-gara sepanjang perjalanan diem aja, dan ngebiarin Renjun amazed sendirian tiap liat segala hal mampir di pandangan mata dia.

Sebelumnya gue udah ada planning buat makan di sini, tapi sama Reneé. Di hari Rabu besok karena dia mau nyari buku di London. Tapi ternyata supervisor dia ngajakin lunch meeting di hari Rabu, batal deh ketemu sama gue. Makanya gue majuin reservasinya ke hari Senin jam lima sore ini.

Nanggung banget emang, makan malam belom, makan siang kesorean. Tapi mau gimana lagi? Slot yang kesisa cuma di jam ini.

Untung aja ada Renjun yang iya-iya aja diajakin makan steak.

Gue aware banget pasti begitu kita duduk, akan ada waitress yang akan take order kita, dan pasti nanyain minum dulu.

Gue udah pesen sesuatu yang aman buat Renjun, dan sedikit nggak aman buat gue—tapi masih ada di ambang batas toleransi, of course, we're still in a broad daylight jadi nggak mungkin gue mabuk.

“Nanti kalo ada yang ke sini lagi nawarin minum, lo bilang, “we're good” ya. Jangan mesen apa-apa. Tadi gue udah pesenin, gue ke kamar mandi dulu.”

Thankfully pesan gue ke Renjun sebelum buang air kecil ke toilet tadi bener-bener dia mengerti. Karena pas banget waktu gue dateng, si waitress lagi nyiapin soda sama es buat Renjun, dan Belgian Ale buat gue. Ditambah dua cup popcorn yang jadi ciri khas makan steak di tempat ini.

Kita lagi-lagi makan kayak lagi ujian. Anteng banget.

Renjun kayaknya bener-bener menikmati pengalaman baru dia di sini. Sementara gue lagi sibuk balesin e-mail di handphone dan lagi-lagi nyuekin dia. Sampe dia manggil gue tiba-tiba setelah steaknya habis.

“Aku boleh minta minuman kamu nggak?”

What?! Dia tau nggak sih ini apaan?

“Jangan lah, ini alkohol. Lo kalo masih haus gue mintain Cola lagi.” gue refleks narik botol Ale gue dari jangkauan dia.

“Hmm, jangan deh.”

“Emang kenapa? Kurang minumnya?”

“Iya udah habis. Cuma aku ngerasa sausnya nggak enak banget, di mulutku rasanya jadi aneh.”

Crap! Gue salah milihin saus buat dia apa gimana sih?

“Y-Yaudah gue pesenin Cola lagi. Tapi abis ini kita bakal dapet es krim sih.”

“Hmm ... boleh pulang sekarang berarti?” aduh mukanya polos banget pas nanya kayak gini. Baru kali ini gue nemu anak umur dua puluhan sepolos ini.

“Y-ya boleh. Kalo lo udah selesai.”

And with that, kita berdiri dari kursi terus jalan ke kasir buat bayar dan ngambil es krim complementary kita.

Gue ngajak Renjun jalan dikit ke King's Cross. Sekalian biar makanannya tercerna dan kita bisa istirahat pas udah sampe rumah. Unless ternyata Renjun kecil-kecil makannya banyak dan berakhir laper lagi terus bikin Indomie di rumah.

Tapi life isn't always about sunshine and rainbows, karena ternyata gue melupakan sebuah fakta bahwa hari ini masih hari Senin. Means, jam enam sore kayak gini pasti tube lagi sesek banget sama orang-orang yang mau pulang. Dan parahnya, kita lagi ada di zona satu yang pasti segala jenis manusia akan nyampur jadi satu di dalem tube.

Gue refleks banget gandeng tangan Renjun waktu harus nyelip-nyelip di tengah lautan manusia yang udah jalan nggak beraturan.

Karena gue kasian sama dia yang bawa banyak paper bags, plus emang pada dasarnya kata sabar nggak pernah ada dalam sendi kehidupan gue, akhirnya sekalian gue bawa tiga buah paper bags besar itu di tangan kanan gue. Sementara tangan kiri gue pake buat gandeng—atau nyeret—Renjun all the way dari pintu masuk sampe ke peron tube di bawah tanah.

“Rame banget kepalaku pusing. Kayak di Manggarai ya?”

Jujur gue nggak tau ada apa di Manggarai, tapi gue iyain aja biar cepet. Karena kereta yang bakal bawa kita ke rumah udah dateng.

Kondisi di kereta juga doesn't seem to be any better. Semua orang dempet-dempetan with their formal office attire dan sebagian lagi masih pake seragam sekolah.

Please jangan ngatain gue pervy, apalagi ini konteksnya sama anak—underage kayak Renjun, tapi karena keadaan, gue terpaksa harus bawa dia buat dempet-dempet ke badan gue.

Karena demi apapun. Keretanya sesek banget.

Cuma mungkin posisinya nggak bagus karena jadinya Renjun berdiri menghadap gue yang tangan kirinya penuh sama paper bag dan punggung yang nempel ke dinding kereta.

There's no other way, buat jaga keseimbangan, akhirnya gue taruh tangan kanan gue to circle his waist.

Sesekali bisa gue rasain Renjun megang ujung depan jaket gue karena harus jaga keseimbangan ngikutin tube yang lagi jalan—belum lagi kalo lagi ngerem, agak ngeri. Plus orang-orang suka sembarangan jalan nyenggol-nyenggol, ya no one to blame sih, memang keadaannya lagi sesek banget.

Berdiri selama dua puluh menitan dengan Renjun sedeket ini sama gue bikin gue sadar kalo ternyata badan dia kecil banget.

Dan ... rambutnya wangi.

Untung aja kita nggak terjebak dalam satu scene super sinetron-esque di mana gue sama dia tatap-tatapan dalam jarak dekat terus terjadi hal-hal super cliche gitu deh. Karena sebelum itu kejadian, kita udah sampe di stasiun deket rumah. Thank God karena gue bisa lepas dari situasi paling awkward buat gue di tahun ini sama seseorang yang baru gue kenal selama kurang dari seminggu.

Kita cuma tinggal jalan beberapa blok buat sampe di wholesale supermarket yang tadi sore gue janjiin ke Renjun buat kita datengin. Gue paham mungkin memasak bisa jadi salah satu coping mechanism Renjun while I'm away. Ya meskipun gue di rumah pun dia juga bakal tetep kesepian sih.

Renjun lagi-lagi keliatan amazed dan ketawa sendiri waktu gue masukin koin lima puluh pence ke trolley buat buka kuncinya.

“Aku baru liat ini pertama kali.” tuh kan? Apa gue bilang.

Selanjutnya kita masuk ke supermarket dan ngobrol-ngobrol sedikit soal apa yang mau Renjun beli, yang ternyata udah dia catet di notebook yang bersikukuh dia bawa tadi siang.

Ternyata kata dia, “ini buat aku nyatet apa aja yang mau dibeli di sini. Sama ... buat nyatet apa aja yang kamu suka dan nggak suka, biar kamu nggak marah.”

Kalo dalam kondisi normal, gue pasti akan nyolot dengan bilang, “lo ngatain gue sering marah-marah?!”

Tapi thanks to hidung gue yang barusan abis mencium bau vanilla dan chamomile pas di kereta, jadinya otak gue lagi nggak berada di normal state, makanya gue cuma dengus aja waktu denger dia ngomong gitu.

“Gue suka makan croissant atau toast pake sunny side egg tiap pagi.”

Dia nulis beneran di notebook!

“Gue lebih suka kopi dibanding teh.”

Dia nulis lagi sambil jalan ngekorin gue.

“Biasanya gue harus minum susu coklat rendah lemak kalo mau tidur atau kalo lagi stress.”

Masih ditulis sama dia.

“Dan paling penting, gue lebih suka orang nanya dulu apa preferensi gue daripada nyimpulin sendirian.”

Dia berhenti nulis, bisa keliatan dari ekor mata gue.

“Huh? Udah? Itu aja?” matanya jadi bulet banget waktu ngomong gitu. Bikin gue tanpa sadar gigit pipi gue dari dalem.

“Udah.”

Mukanya berubah jadi sumringah dan tiba-tiba dahuluin gue lagi buat milih bahan makanan di supermarket.

Emang kayaknya dia ini agak ajaib.

Karena lagi-lagi bikin gue senyum di balik pintu kamar pas inget-inget gimana dia bilang 'makasih ya'—cutely sebelum naik ke kamarnya di lantai dua pas kita udah selesai masukin groceries hari ini ke kulkas.