Lacalychee

Baskara Untuk Selamanya

“Halo selamat siang. Apa benar ini dengan saudara Baskara?”

“Iya benar. Maaf, ini siapa ya?”

“Kami dari pihak kepolisian ingin menginfokan bahwa mobil dengan pelat nomor F 7211 AB telah mengalami kecelakaan di ruas jalan tol Jagorawi. Saat ini para korban sudah dilarikan ke RSUD Ciawi.”

“Tu-tunggu ... Ayah, Buna dan Adik saya gimana? Mereka baik-baik saja kan, Pak?”

“Mohon maaf Mas, tapi hanya ada 1 korban selamat.”

***

Pertahanan Aska runtuh. Kedua kakinya sudah tak bisa lagi menopang raga yang seakan ikut lenyap saat mendengar berita buruk tersebut. Tubuhnya melemas dan hatinya hancur. Badannya perlahan jatuh ke lantai bersamaan dengan terlepasnya ponsel dari genggaman tangannya. Pikiran Aska melayang. Perkataan Pak Polisi yang meneleponnya barusan terus menghantuinya. ‘Hanya ada 1 korban selamat.’ Tapi siapa? Siapa 1 orang yang selamat itu? Dan siapa yang meninggal? Tanpa ia sadari, air mata telah turun membanjiri pipinya. Aska masih tidak percaya bahwa hal seperti ini akan terjadi pada keluarga yang sangat ia sayangi. ‘Ayah, Buna, Aruna ... Abang enggak mau pisah sama kalian. Jangan tinggalin Abang sendirian, bawa Abang juga ...’

Aarav yang sedari tadi berada didekat Aska—mengerjakan skripsi bersama di indekos mereka— langsung menghampiri Aska setelah melihatnya jatuh tersungkur dan genggaman ponselnya terlepas begitu saja.

“Aska? Kenapa? Ayah, Buna sama Adek kenapa, Ska?” “Aska jawab!!!” teriak Aarav seraya mengguncangkan badan Aska untuk menyadarkannya dari lamunan nan sendu dengan air mata yang terus berderai membasahi pipinya.

“Rav ... Ayah, Buna, Adek, Rav ... enggak boleh Rav ...” racau Aska.

“Iya mereka kenapa, Aska? Jelasin biar gua paham!”

“Enggak mungkin kan, Rav? Rav ini mimpi kan? Gua baru ketemu mereka satu jam yang lalu Rav!”

Aarav langsung mengerti arah pembicaraan Aska kali ini, “Ayah, Buna, sama Adek ... kecelakaan, Ska?”

“Hanya ada 1 korban selamat,” jawab Aska sambil perlahan mulai mengarahkan pandangan sendunya pada Aarav.

“Kata Pak Polisi tadi hanya ada 1 korban selamat. Rav ... gua harus gimana?” lanjut Aska kembali.

“Hah?” Aarav pun jatuh terduduk lemas di samping Aska.

“HANYA ADA 1 KORBAN SELAMAT RAV!! GUA BAHKAN ENGGAK TAU SIAPA YANG SELAMAT!! GUA HARUS GIMANA RAV? GUA HARUS GIMANA???” Aska menjerit, tangan kanannya tak henti ia hantamkan ke lantai untuk menyalurkan emosi.

“Aska ... jangan gitu, Ska. Lo tenang dulu, ya? Kita ke rumah sakit sekarang. Lo dikasih tau enggak mereka dibawa ke rumah sakit mana?” ucap Aarav seraya memeluk Aska—berusaha menenangkan sahabatnya yang tengah hancur.

“RS ... UD Ci .. awi , Rav,” ucap Aska terbatah-batah.

“Coy pesenan lo berdua gak ad— ASKA LO KENAPA??” kata Farhan sesampainya dia dan Jendra di indekos mereka.

Aarav mengabaikan perkataan Farhan, dan memilih untuk menghampiri Jendra—menjelaskan kepada Jendra perihal apa yang sedang terjadi di luar kamar indekos mereka. Farhan dibuat terheran-heran karena tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaannya dan memilih untuk mengabaikannya.

“Rav, kenapa sih? Ada apa? Kok pertanyaan gua enggak dijawab?” tanya Farhan untuk yang kedua kalinya pada Aarav.

“Han, lo mending kasih air hangat ke Aska dulu ya. Gua minta tolong banget, Han. Gua mau ngomong berdua dulu sama Jendra. Baru nanti Jendra yang bakal jelasin ke lo.” Melihat kondisi Aska yang tidak keruan juga gelagat aneh kedua temannya, mau tidak mau Farhan menuruti perintah Aarav—mengambil segelas air hangat untuk Aska.

“Ayah, Buna dan Adek kecelakaan dan hanya ada 1 orang doang yang selamat. Kita masih belum tau siapa yang selamat. Tolong kasih tau Farhan pelan-pelan ya, Jen, gua takut dia hancur kayak Aska. Lo minggu ini lagi bawa mobil kan? Kita ke RSUD Ciawi ya abis ini buat pastiin. Nanti biar gua yang chat Ayya. Gua urus Aska, lo urus Farhan ya, Jen,” jelas Aarav kepada Jendra yang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Jendra pun ikut terkejut mendengar berita tersebut dan kini ia harus menjelaskan dengan hati-hati kepada Farhan perihal kecelakaan yang dialami pacar sahabatnya itu.

“Udah kalian ngobrolnya? Sekarang coba jelasin ke gua,” kata Farhan setelah melihat Aarav dan Jendra telah memasuki kamar indekos mereka kembali.

“Han ... lo tenang dulu ya tapi.” Kali ini Jendra yang bersuara, mencoba memberitahu Farhan dengan pelan-pelan perihal hal yang tengah terjadi saat ini. “Lah? Kenapa jadi harus gua yang tenang sih? Kan kita lagi bah—“

“—Aruna kecelakaan ... sama Ayah dan Buna. Hanya ada 1 korban selamat dan kita masih belum tau siapa 1 orang yang selamat itu. Sekarang kita tungguin Ayya dulu ya abis itu kita berangkat ke RSUD Ciawi buat mastiin semuanya. Lo tenang dulu ya, Han,” sahut Jendra memotong perkataan Farhan.

“Hah? Apaansih? Pada mau nge-prank gua kan lo semua? Enggak lucu ya anjir bawa-bawa Aruna kecelakaan kayak gitu. Ska, masa Adek lo dibercandain gitu lo enggak marah sih?”

“Han ... Jendra enggak bercanda. Ayah ... Buna ... Adek gua, Han ... Aruna ... gua ... takut,” racau Aska masih dengan posisinya—terduduk lemas bersandar pada dinding kamar. Sorot matanya masih kosong, matanya sembab, air mata sesekali mengalir kembali membasahi pipi.

“Enggak ... enggak mungkin. Tadi pas lagi beli nasi padang gua masih chat-an sama Aruna kok!! Dia bilang mau ke Kopi Daong sama Ayah dan Buna. Itu bukan mobil Ayah dan Buna kali, Ska!!!”

“Tapi, Han, yang ngabarin gua tadi itu dari pihak kepolisian dan mereka juga udah nyebutin dengan lengkap pelat nomor kendaraan orang tua gua. Mobil dengan pelat nomor F 7211 AB, itu mobil yang suka gua sama Aruna pake buat pergi kalo lagi di Bogor, Han!!”

“AH ANJING! GAK MUNGKIN LAH ITU GAK MUNGKIN. JANGAN AMBIL ARUNA GUA. SKA, TOLONGIN ARUNA GUA SKA!!!” Farhan masih dengan pendiriannya, menolak percaya pada kabar yang ia dengar. Farhan terus mengguncang-guncangkan tubuh Aska, berharap Aska meralat kabar kecelakaan yang melibatkan kekasihnya, Aruna.

“Han, jangan gitu, udah stop, Han. Kita pastiin dulu ya di rumah sakit. Lo tenang dulu, Han,” ucap Jendra, berusaha menenangkan Farhan.

“Jen, Aruna gua, Ayah, Buna, Jen ... orang-orang yang gua sayang, Jen ... jangan mereka, Jen.”

“Iya, Han, gua ngerti. Gua juga berharap ini enggak bener-bener terjadi sama mereka, Han. Kita semua enggak ada yang mau. Sabar ya. Kita tunggu Ayya dul— nah itu Ayya udah sampe.”

“Aska?? Aska mana? Ya ampun Aska.” Ayya berlari menghampiri dan memeluk Aska—mencoba menenangkan kekasihnya.

“Ayya ... Ayah, Buna aku ... Adek, Yya ... gimana ...” Aska pun mencurahkan segala perasaan sedih, takut, marah, kecewa, sakit, juga khawatirnya. Ia menangis hebat untuk yang kedua kalinya di pelukan Ayya.

“Iya iya sayang iya aku tahu. Kamu tenang dulu sekarang. Kita pastiin dulu ke rumah sakit ya? Yuk kita ke rumah sakit sama yang lain,” ucap Ayya mencoba menenangkan Aska walau sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama dengan Aska dan Farhan, sedih, khawatir dan terluka. Dan Ayya pun menangis hebat, di dalam hatinya.


17 September 2022

Ayah, Buna, Aruna, tunggu Abang ya. Abang yakin kalian baik-baik aja kok. Jadi, disaat Abang udah sampe sana, kalian harus peluk Abang dengan erat ya? -Baskara Akhza Malik

Aruna sayang, tunggu aku ya? Aku jemput kamu sekarang. Kamu katanya mau makan taichan abis itu night riding kan? Ayuk hari ini yuk cantik, aku bisa kok. Tapi kamu harus janji satu hal dulu sama aku. Saat aku sampai disana, kamu harus ketemu aku dengan keadaan hidup ya? -Ravenio Farhan Nandana

Setelah mendapatkan pesan dari Aruna yang mengatakan bahwa dirinya akan segera pulang ke Bogor—dijemput oleh Ayah dan Buna yang hanya dalam hitungan beberapa menit lagi akan sampai di indekosnya Aruna—Aska segera berangkat menuju indekos Aruna dengan menggunakan motor vespa kesayangannya.

“Ayah, Buna, tunggu sebentar ya. Abang katanya mau kesini. Mau ketemu sama Ayah dan Buna dulu.” Aruna menyampaikan pesan dari Abang kepada kedua orang tuanya yang kini tengah berada di depan pagar indekos Aruna—meminta agar Ayah dan Buna bertahan sedikit lebih lama di indekos Aruna, menunggu kedatangan Si Abang, begitu isi pesannya.

“Nah itu Abang udah sampe!!!” pekik Aruna saat kedua matanya menangkap sosok raga beserta vespa milik Abangnya yang telah terlihat bahkan dari jarak 20 meter. Aruna sudah hafal dengan suara yang dikeluarkan oleh motor vespa berwarna putih tersebut. Bahkan Aruna sudah mendapatkan feel terlebih dahulu jika motor beserta Sang Pemilik tersebut mendekati indekos Aruna. Tunggu, Aruna tidak sendiri kan? Kalian suka merasakan hal seperti itu juga enggak sih?

By the way, jarak yang ditempuh Aska dari indekosnya menuju indekos Aruna terbilang dekat. Alasannya hanya karena Aska yang tidak ingin berjauhan dengan Aruna. ‘Biar lebih gampang ngejaga dan nengokin Aruna. Jadi, yaa amit-amit kalo ada apa-apa kan aku bisa langsung cepet datenginnya.’ Kalau kata Aska sih begitu kepada kedua orang tuanya.

“Ini nih jagoannya Ayah udah resmi loh sekarang namanya udah ada gelarnya, Bun. Keren banget ini anak Ayah.”

“Apa deh, Bang, gelarnya? Buna lupa.”

“S.Ars., Bun.”

“Wuih anak Buna nanti namanya jadi Baskara Akhza Malik S.Ars. loh, Yah. Keren banget ya anak kita. Selamat ya Abang sayang. Buna bangga sekali sama Abang,” ucap Buna seraya memeluk lalu mencium kedua pipi anak sulungnya itu.

“Abang anak Ayah, jagoan Ayah. Hebat kamu, Nak, Ayah bangga sekali sama Abang. Terima kasih ya, Abang. Semoga ilmunya berguna bagi diri kamu, berguna untuk orang lain, agama, bangsa dan negara ya, Nak,” timpal Ayah seraya memeluk anak laki satu-satunya itu.

“Adek, kamu enggak ucapin Abangnya juga?” tanya Buna.

“Adek udah ngucapin Abang tauuuu. Adek kan nungguin Abang sidang juga hehe. Tapi yaudah deh biar samaan kayak Ayah sama Buna, Adek peluk Abang lagi,” kata Aruna sambil menghampiri lalu memeluk Abangnya itu, “sekali lagi selamat yaaa Abang jelek!”

“Makasih yaaa Ayah, Buna, Adek. Gelar ini Abang dedikasikan buat kalian—satu-satunya harta Abang yang paling berharga.”

“Dih gaya banget omongannya,” celetuk Aruna yang dibalas Buna dengan omelan dari sorot matanya, ‘Adek! Enggak boleh ngomong seperti itu ke Abang.’

“Ini Ayah, Buna sama Adek mau langsung pulang? Apa mau pergi lagi dulu?” tanya Aska.

“Si Adek katanya mau ke Kopi Daong, Bang,” jawab Ayah seraya mencubit pelan pipi Aruna.

“Abisnya aku mau kesana dari bulan lalu sama Raven tapi ada orang nyebelin yang enggak ngebolehin aku pergi, Yah!!” sindir Aruna.

“Hahaha yaudah tapi kan sekarang Adek jadi perginya malah sama Ayah dan Buna. Lebih seneng pergi berdua sama Raven atau pergi bertiga sama Ayah Buna?” tanya Buna kepada Aruna.

“Pergi bertiga sama Ayah dan Buna donggg!!” jawab Aruna sambil mengalungkan lengannya pada lengan Buna.

Aska pun hanya bisa terkekeh melihat tingkah laku Adiknya yang menurutnya malah semakin menggemaskan, “dasar cimoool,” ledek Aska kembali.

“Oh iya Abang, Buna cuma ingin berpesan satu hal. Selalu jadi anak yang baik ya, Abang. Sekali pun kamu tidak bisa membahagiakan seseorang, jangan pernah menjadi penghalang seseorang dalam menggapai bahagianya, jangan merugikan orang lain ya, Nak. Kalau anak Buna berhasil menjadi orang hebat itu hanya bonus, Nak. Kamu masih terus hidup bersama Buna dan Ayah, sehat selalu, bahagia, memiliki tata krama dan budi pekerti yang baik, itu sudah cukup bagi Buna sayang. Ini berlaku juga untuk Adek ya sayang.”

“Ayah dan Buna sayang sekali sama kalian. Saling menjaga, melindungi, dan mendukung satu sama lain ya anak-anaknya Ayah. Abang, selagi Ayah dan Buna jauh dari kalian, selagi Ayah dan Buna tidak bisa menggapai kalian, Abang jagain Adeknya terus ya, Adeknya diperhatikan dan disayang, lindungi Adek ya, Nak. Adek juga harus begitu ke Abang. Adek harus perhatikan Abang juga, harus mendukung Abang, temani Abang, dan harus dengarkan omongan Abang ya, Nak, enggak boleh nakal. Karena kalau Abang menasehati dan ngomelin Adek itu pasti untuk kebaikan Adek kok. Karena Abang sayang sama Adek. Seperti layaknya Ayah dan Buna sayang sama Abang dan Adek. Saling mengingatkan satu sama lain juga ya, Nak, kalau diantara kalian ada yang melakukan kesalahan. Dan jangan berantem terus. Okay sayang-sayangnya Ayah?”

“Okeeey Ayah!! Okeeey Buna!!” ucap Aska dan Aruna bersamaan.

“Yaudah, Bang, Ayah berangkat dulu ya. Nanti keburu sore nih ke Daongnya, Adekmu nanti keburu ngambek,” ucap Ayah seraya memeluk Aska. Pelukan erat dari Ayah yang akhir-akhir ini jarang ia rasakan karena perbedaan jarak diantara keduanya. Sesungguhnya Aska sangat rindu dengan Ayah. Rindu pada hal-hal kecil yang biasa dilakukan berdua dengan Ayahnya. Seperti ngopi di teras bersama Ayah, membantu Ayah mencuci mobil, bahkan ikut memancing bersama Ayah dan teman-temannya. Aska berharap bahwa ia dapat melakukan hal-hal tersebut kembali bersama Ayah setelah ia benar-benar menyelesaikan persoalan kuliahnya disini.

“Kalo ngambek turunin aja, Yah, ditengah jalan.” Aska sengaja mengencangkan suaranya agar Aruna dapat mendengarnya; membuat kesal Aruna adalah hobi Aska.

“Aku denger ya, Abang!!!” Hal tersebut pun ternyata memang berhasil membuat Aruna kesal.

“Hush hush udah ah berantem terus. Abang, Buna berangkat dulu ya sayang. Pulangnya nanti jangan malem-malem ya, Abang.”

“Iyaaa Buna. Hati-hati ya, Bun, dijalan,” ucap Aska seraya memeluk erat Bunanya. Pelukan erat yang Aska berikan kepada Buna seakan tidak ingin melepasnya barang sedetik. Aska pun juga sangat merindukan Bunanya. Aska rindu menemani Buna belanja bulanan, rindu dengan omelan Buna jika Aska malas mandi, rindu melakukan eksperimen dalam membuat kue dengan Buna. ‘Buna, Abang janji, setelah Abang benar-benar menyelesaikan sekolah Abang disini, nanti Abang temani Buna lagi yaaa kemana pun Buna ingin pergi. Sebentar lagi ya, Buna,’ batin Aska.

Satu hal yang tidak diketahui oleh Aska bahwa kata-kata dan pelukan-pelukan itu merupakan hal terakhir yang dapat Aska dengar dan rasakan dari Ayah dan Bunanya. Aska tidak mengetahui bahwa sejak hari itu hidupnya akan berubah drastis. Bahwa segala harapan-harapan yang Aska lantunkan dalam hatinya tidak akan pernah terwujud. Harapan itu akan selalu bersemayam di dalam hatinya, dan akan-selalu-hanya menjadi sebuah harapan dan ilusi belaka. Tanpa adanya kepastian untuk terwujud. Oh maaf ralat, bukan tanpa adanya melainkan tidak akan pernah ada kepastian untuk terwujud. Hari itu, dunia Aska berhenti.


17 September 2022

Jiwa dan ragaku telah mati.

Tertanda, Baskara Akhza Malik

Hari jumat merupakan hari kesukaannya Aruna nomor satu. Hanya di hari jumat murid-murid dipulangkan lebih awal, sehingga Aruna bisa lebih cepat sampai rumah dan bisa berleha-leha lebih lama dari hari-hari biasanya. Selain itu, Abang Aska pulang pada hari jumat setiap minggunya— hal yang paling ditunggu Aruna. Happy Friday, Happy Aruna!

Namun, untuk hari jumat kali ini sedikit berbeda. Ayah memutuskan untuk mengambil cuti kerja dan menemani Buna untuk pergi menginap di Bandung selama tiga hari—mengurus Ibu dari Buna (Nenek) yang sedang sakit.

Suara gemuruh dari dalam perut Aruna pun mulai terdengar, tanda ia mulai kelaparan. Seingatnya, ia hanya memakan satu bungkus plastik batagor beserta susu kotak rasa stroberi kesukaannya tadi pagi. Di rumah pun tidak ada makanan, Buna dan Ayah pergi pagi-pagi sekali setelah mengantar Aruna ke sekolah sehingga tidak sempat untuk memasak makanan untuk makan siang dan makan malam Aruna.

“Cantiknya Ayah, nanti siang beli makanan aja dulu ya, Dek, di dekat sekolah atau kamu go-food aja, nanti uangnya Ayah transfer. Harus makan ya, Dek, jangan sampai enggak.” Begitulah perintah Ayah sebelum Aruna turun dari mobil dan memasuki lingkungan sekolahnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, memang tidak salah bila hari jumat itu adalah hari berkah. Laki-laki yang digadang-gadang tengah dekat dengan Aruna ini tiba-tiba mengirimkan pesan, berniat membelikan Aruna salah satu makanan kesukaannya, tepat di hari ini, hari jumat.

“Abangnya udah sampe tuh. Ambil yaaa ke depan.”

Sesaat setelah Aruna mendapatkan chat tersebut, ia bergegas turun untuk menemui abang go-food dan mengambil makanan yang telah dipesan oleh Abang Farhan.

Aruna berlari kecil—khawatir membuat abang go-food menunggu terlalu lama— seraya menggenggam uang pecahan lima ribuan di tangan kanannya, “Abang, maaf ya jadi nunggu, ini tip— LOH ABANG FARHAN?” pekik Aruna sebab yang dilihatnya bukanlah seorang abang go-food melainkan seorang laki-laki yang telah mengisi hari-harinya beberapa bulan belakangan ini.

“Ini pesenannya ya neng, ayam richeese level 2, gopaynya udah dibayar kok neng sama pacarnya.”

“Bhuahahaahaha.” Aruna pun tertawa lepas setelah mendengar penuturan Farhan yang menurutnya sangat mendalami peran sebagai abang go-food.

“Kok ketawa?” tanya Farhan seraya menatap Aruna bingung.

“Abang mirip banget sama abang go-food, cocok bang, approved deh dari aku,” jawab Aruna sambil mengacungkan dua ibu jarinya.

“Songong. Nih ambil buruan ayamnya, tangan abang pegel tau. Eh tunggu— ada syaratnya.”

“Apaaaa ih buruan aku laper.”

“Gopaynya udah dibayar tadi sama pacarnya.”

“Ya, terus?”

” ... “

” ... “

” Berarti ini Adek ngeiyain kalo Abang pacarnya Adek?”

“Hah?”

“Adek, ini Abang nanya ke kamu loh.”

” ... “

“Kalo Adek ambil ayamnya terus nyuruh Abang masuk, berarti Adek mau ya jadi pacar Abang. Tapi kalo adek ambil ayamnya terus langsung nutup pintunya, ya Abang pulang aja ke Jakarta, berarti Adek nolak Abang,” tutur Farhan panjang lebar yang membuat Aruna semakin bingung. 'Abang Farhan ngomong apasih?' . Ya kira kira begitulah kata Aruna dalam hati.

“Aduh Abang aku kebelet pipis ... aduh Abang buruan masuk dulu ... aduh masuk sendiri ya Abang buruan taro ayamnya di meja aja aku udah kebelet banget plis ... JANGAN LUPA TUTUP PAGERNYA ABANGGG,” teriak Aruna dari kejauhan— yang sudah lebih dulu memasuki rumah karena kebelet pipis— dan membiarkan Farhan sendirian di depan pintu pagar, masih dengan sebungkus ayam richeese di tangan kanannya dan helm dengan corak hitam dan merah yang masih bertengger di kepalanya. Farhan dibuat tak percaya dengan tingkah laku Aruna barusan. 'Bisa-bisanya ini anak ninggalin gua lagi begini, mana lagi ngomong serius. Hidup gua emang sebercanda itu ya? Ini Aruna nolak gua apa nerima gua sih?' batin Farhan seraya menampilkan wajah murungnya.


“Hehehe maaf.”

“Udah ke toiletnya?” Karena kebingungan, akhirnya Farhan pun menuruti omongan Aruna untuk masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu— tidak lupa menutup pintu pagar rumahnya juga.

“Udah hehe.” Aruna pun menggaruk pelan tengkuknya yang tak gatal itu.

“Eh iya aku baru sadar kok Abang sendirian ke sini? Abang Aska mana?” lanjut Aruna memecah kecanggungan diantara mereka.

“Nanti Aska agak maleman, Dek. Udah buru sini makan, tadi katanya laper. Udah cuci tangan belom?”

“Udahhh. Abang makan juga sama aku sini.”

“Kan Abang tadi udah sama Jendra.”

“Ohh iya.”

Aruna segera memakan ayam richeese yang telah dibeli Farhan, keheningan pun mulai menyeruak kembali diantara mereka.

“Adek.”

“Iya?”

“Hmm ... soal yang tadi ... Abang tanya ... gimana?”

Aruna terlihat berpikir, “emang Abang suka sama aku?”

“Daridulu Adeeeekkk.”

“Daridulu? Bukannya dulu Abang sempet punya pacar?”

“Bohong.”

“Gimana?”

“Abang bohong. Sesya bukan pacar Abang. Itu ... karena Abang mau nyoba move on dari kamu hehe karena kamu udah sama Hisyam. Jadi Abang pura-pura ngeiyain kalo Sesya pacar Abang.”

“Please H word dilarang.”

“Hahahaha oke oke. Terus gimana, Dek?”

“Gimana apanya, Bang?”

“Ih kamu mah masa Abang harus ngomong berulang-ulang sih Aruna yang cantikkk?”

“Hahaha iya iya aku bercanda. Abang, abang tuh emang orangnya enggak peka banget ya atau cuman pura-pura enggak peka?”

“Maksudnya?”

“Abang kan udah masuk ke rumah aku. Tadi syaratnya apa?”

“Kalo kamu ambil ayamnya terus nyuruh Abang masuk, berarti kamu mau jadi pacarnya Abang?”

“Nah itu.”

“Hah ... ini ... serius dek ... kamu .... SERIUS?”

“Iyaaaa. Satu rius dua rius sagitarius.”

“Wow ... ini mah fix Abang nginep!!!!”

“Dih mau ngapain nginep nginep. Emang Abang Aska udah bilang oke?”

“Oke enggak oke pokoknya harus oke. Abang mau first date sama Adek besok fix enggak bisa diganggu gugat,” ucapnya sambil memeluk Aruna dari samping. Aruna pun hanya bisa tertawa melihat kelakuan Abang— hmm pacarnya yang luar biasa (ab)normal ini.


“Dih rapi amat lo Han. Mau kemana? Pulang?” tanya Aska yang sedang menonton televisi di ruang tengah kepada Farhan. Farhan tidak main-main saat berkata bahwa ia ingin menginap, dan akan melaksanakan first datenya dengan Aruna keesokan harinya—yang berarti hari ini.

“Enggak. Mau nge-date lah sama pacar gua.”

“Gak usah banyak gaya. Lo kan jomblo.”

“Cih siapa bilang gua jomblo.”

“Lho? Adek kok udah rapi juga? Mau kemana?” Kali ini Aska bertanya kepada Adik kesayangannya yang sudah terlihat rapi dengan mengenakan blus panjang berwarna abu-abu dan celana jeans berwarna hitam.

“Mau nge-date lah sama pacar adek.”

“Hah?” Aska pun dibuat keheranan dengan dua orang manusia didepannya ini.

“Tunggu tunggu. Ini maksudnya gimana sih? Kalian ... jangan bilang .... eyyyy enggak kan?” kata Aska, memastikan bahwa apa yang ada di dalam pikirannya tidaklah benar.

“Yaudah Adek berangkat dulu ya, Bang,” kata Aruna berusaha meninggalkan Aska dalam kebingungannya.

“STOP!! ABANG IKUT!”

“Ih enggak boleh Adek mau nge-date!!”

“Han, ini lo beneran pacarin Adek gua?”

“Hehehe.”

“Kapan anjir lo nembaknya?? Kok gua enggak tau?”

“Kemaren. Udah ah jangan banyak tanya. Gua izin bawa pacar gua ya—eh adek lo maksudnya. Entar gua pulangin, tenang aja.”

“Gak gak gak. Gua mau ikut pokoknya!!”

“Ah Abang mah jangan rusuh kenapa sih. Jaga rumah aja enggak usah ikut.”

“Abang ikut atau Abang enggak bolehin kamu keluar?”

“Ish terserah deh.”

“Rusuh banget anjing lo Aska.”

“Bodo. Tunggu gua ganti baju dulu. Kita naik mobil aja.”


“Aska mana, Dek?”

“Abang Aska katanya yang beli minum sama popcornnya, Bang.”

“Oh yaudah. Mbak, Venom yang jam 15:30 ya,” kata Farhan kepada Mbak penjaga loket karcis bioskop.

“Oke baik, Kak. Untuk berapa orang?”

“3 orang Mbak.”

“Oke, Kak. Film Venomnya 3 tiket di jam 15:30 ya. Silakan dipilih tempat duduknya. Yang berwarna hijau yang masih available.”

“Adek, kamu mau duduk di sebelah mana?”

“Di G10, G11, G12 aja, Bang.”

“Oke di G10, G11, G12 ya. Totalnya jadi Rp150.000,00. Abang adek ya, Kak? Lucu banget mukanya mirip hehe.”

“Hah? enggak, Mbak. Ini pacar saya,” jawab Farhan seraya mengalungkan lengannya pada pundak Sang Pacar yang terlihat mulai mengerucutkan bibirnya. Iya, Aruna bete.

“Oh hehe maaf, Kak. Ini tiket venomnya jam 15:30, di theatre 1 ya. Terima kasih.”

“Makasih ya, Mbak.”

Tanpa Aruna dan Farhan sadari, sudah ada Aska yang berdiri disamping Aruna, menahan tawanya setelah mendengar perkataan Mbak penjaga loket kasir tadi, “yhaaa padahal udah jadian, tapi masih dikira Abang – Adek, kasian deh,” ledek Aska.

“Diem deh Abang. Tau gitu enggak usah diajak aja ini orang ih nyebelin banget.”

“Diem lo Ska. Entar Adek lo bete nih.”

“Yaelah anying lo berdua, beneran nyamuk banget gua.”

Kesabaran Aska memang sedang diuji. Belum selesai mengurus adik satu-satunya yang tengah mengalami pubertas, Sang Kekasihnya pun turut andil dalam mengoyak perasaan dan emosinya. Tugas-tugas, project, rapat divisi organisasi, dan turnamen telah menyita perhatian Aska belakangan ini sehingga ia pun tidak bisa memberikan atensi yang seharusnya kepada dua perempuan kesayangannya itu.

Mengesampingkan perihal Ayya yang sedang berada di cafe dengan seorang laki-laki yang tidak diketahuinya—Aarav atau Arab, Aska tidak peduli dan tidak mau tahu tentang itu—setidaknya untuk saat ini. Sekarang yang menjadi prioritasnya adalah Adik kesayangannya; Athasya Aruna.

Aska menyadari bahwa ia melakukan kesalahan; tidak membalas chat Aruna yang membuat Adiknya itu merajuk kesudahannya. Aruna sedang berada di masa pubertas; masa peralihan dari remaja menjadi dewasa, masa yang meliputi perubahan fisik, emosi, sikap serta perilaku yang masih belum stabil. Aska sudah lebih dulu mengalaminya sehingga ia dapat memaklumi perubahan sikap Adik kesayangannya itu.

Namun menurut Aska, kali ini Aruna sudah keterlaluan. Adiknya berubah menjadi seseorang yang sulit diatur dan tidak pernah mendengarkan perkataan Aska. Entah hanya untuk mencari perhatiannya saja atau memang dia ingin bertindak semaunya. Sejujurnya Aska sedih dan kecewa. Sedih karena sekarang ia merasa bahwa hubungannya dengan Aruna semakin menjauh, kecewa pada dirinya sendiri karena gagal dalam mendidik dan menjaga adiknya. Gemuruh menyelimuti dada dan pikirannya tatkala ia melajukan motor vespa miliknya—kabarnya dibelikan Ayah sebagai hadiah karena sudah berhasil masuk ke salah satu universitas terbaik di Indonesia—menuju rumahnya di Bogor. Aska terus mempertimbangkan dengan baik bagaimana ia harus memperlakukan Aruna, bagaimana penyampaian dan kata-kata apa yang harus ia ucapkan agar Aruna mau mengerti dan mendengarkan perkataannya tanpa menyakiti perasaan Aruna. Bagaimana ia harus mendidik dan menasehati Aruna yang sudah mulai beranjak dewasa ini.

Satu jam telah berlalu dan Aska pun telah sampai di rumahnya. Ia segera memarkirkan motornya di garasi dan memilih untuk berdiam diri—menetralkan emosi dan nafasnya sebelum masuk ke dalam rumah. Ia berusaha meredam emosinya agar tidak menuturkan kata-kata yang tidak diinginkan sehingga dapat menyakiti Adiknya lebih jauh dan membuat hubungan keduanya semakin renggang.

“Assalamualaikum, Buna. Abang pulang.” Suara Aska menggemai tatkala ia memasuki kediamannya.

“Waalaikumsalam. Abanggg?” tanya Buna memastikan apakah suara yang menyergap telinganya benar milik anak sulung kesayangannya.

Aska pun melangkahkan kakinya menuju sumber suara guna meyakinkan Buna bahwa dirinya benar sudah berada di rumah, “Iya ini Abang, Buna.”

“Yaampun anak Buna sayang. Kangen banget loh Buna ini sama Abang.” Buna menghampiri Aska seraya memberikan pelukan hangat untuk anak laki-laki kesayangannya yang akhir-akhir ini jarang terlihat dalam jangkauan pandangannya.

“Abang juga kangeeeen banget sama Buna.” Aska pun membalas pelukan Buna. Pelukan yang berminggu-minggu ini tidak ia dapatkan; pelukan hangat penenang segala kegundahan dalam hidupnya.

“Buna, Adek mana? Jadi dia pergi Bun?”

“Adeknya diapain sih Abang? Tadi dia udah rapi tuh mau pergi sama Hisyam. Tiba-tiba teriak “Buna, Abang jahat!!!!”, terus ngambek naik ke kamarnya sambil banting pintu. Buna udah ketuk pintu kamarnya, Buna bilang “Adek sayang kenapa nak?”, tapi enggak dijawab sama dia. Kenapa sih Bang?” jelas Buna panjang lebar.

Aska pun menjelaskan dengan detail kepada Buna mulai dari perihal Aruna yang sudah tidak mau mendengarkan nasihat Aska, Aruna yang sulit diatur, Aruna yang sering judes, dan akhirnya bagaimana Aruna bisa merajuk yang berujung dengan renggangnya hubungan Aruna dengan dirinya.

“Aruna kenapa ya? Kok dia jadi kayak gitu sih ke aku, Bun? Dia masih marah sama aku? Padahal aku udah minta maaf sama dia berkali-kali.”

“Adek tuh kangen sama kamu, dia nyari perhatian kamu, Abang. Mungkin Adek mau menunjukkan, mau bilang kalau dia itu kangen, butuh kamu, minta perhatian kamu tapi dia enggak tau caranya, enggak tau cara mengekspresikannya ke kamu dan juga nggak mau bikin kamu kepikiran, enggak mau bikin kamu repot jadinya dia diem aja. Semuanya numpuk jadi satu, ditambah dia lagi masa puber, emosinya gak stabil, Bang, jadinya dia malah judes dan marah-marah terus sama kamu.”

Buna mengelus rambut Aska dengan lembut, “Yasudah Adeknya dibiarin aja dulu ya sayang, jangan dilarang-larang terus. Boleh sesekali Abang menasehati Adek, diberikan penjelasan dan pengertian yang baik, pelan-pelan bicaranya, jangan dimarahi. Buna yakin Adek itu anak yang baik kok, Bang. Dia tau mana yang baik dan mana yang buruk. Sana coba ke kamarnya, gih. Ngobrol sama Adek, abis itu ajak turun ya, kita makan malam bareng, Ayah sebentar lagi pulang nak.”

“Iya, Buna.”

Dengan langkah gontai, Aska berjalan perlahan, mendekati pintu kamar Aruna. Diketuk pelan pintu kamar berwarna pink pastel dengan gantungan kayu putih bertuliskan “Aruna's Room” itu.

Tok tok tok

“Adek?”

Tok tok tok

“Adek, ini Abang pulang sayang.”

1 detik ... 2 detik ... 3 detik berlalu namun tetap tak ada sahutan dari si empunya kamar.

“Adek? Abang izin masuk kamar Adek ya?”

Aska menggenggam hendel pintu kamar Aruna dan membukanya dengan perlahan.

“Aruna?” Aska menyembulkan kepalanya dan segera melangkahkan kakinya ke dalam kamar Aruna yang gelap gulita. Ia menghampiri adiknya—masih menggunakan pakaian rapi dan riasan wajah yang belum dihapus—yang telah tertidur nyenyak. Aska pun berlutut untuk menyetarakan tingginya dengan tempat tidur Aruna, lalu dipandangi wajah Adiknya lekat yang tengah beranjak dewasa itu.

“Aruna, Adeknya Abang yang paling cantik. Abang enggak sadar Adek sekarang udah gede banget ya, udah jadi ABG nih Adeknya Abang, udah tambah cantik, tapi tetep sih bakalan selalu jadi cimolnya Abang. Adek, maafin Abang ya. Adek kangen ya sama Abang? Abang juga kangen banget sama Adek. Maafin Abang yang enggak ada waktu buat Adek. Kamu itu Adek satu-satunya Abang, Abang sayang sekali sama Adek. Adek enggak perlu takut kehilangan Abang ya, karena Abang ada di sini, Abang janji bakalan selalu ada buat Adek. Adek harus inget ya, walaupun Abang jauh, Abang bakalan selalu ada di hati Adek,” kata Aska seraya mengelus rambut Adiknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia membawa wajahnya mendekati wajah Aruna, dan diciumnya dengan lembut kening Adik kesayangannya itu.

Aska pun beranjak bangun dari posisi berlututnya yang terasa sudah mulai keram, lalu bermaksud untuk meninggalkan kamar Aruna. Tepat disaat Aska menutup pintu kamar Aruna, secara bersamaan Aruna membuka kedua matanya dan bulir air bening pun meluncur perlahan melewati kedua pipinya. Iya, Aruna menangis. Sedari tadi Aruna tidak tertidur, dia mendengar semua perkataan Abangnya. Namun Aruna memilih untuk tetap berpura-pura tidur agar dia tau segala hal yang selama ini ingin disampaikan oleh Abang Aska kepada dirinya. “Abang, maafin Adek juga ya. Adek udah keterlaluan sama Abang. Abang, Adek kangen sama Abang. Adek pengen peluk Abang,” kata Aruna pelan sambil menahan suara tangisannya.


Menu makan malam hari ini agak special karena merupakan salah satu menu makanan kesukaan Aska, yaitu ayam goreng mentega dan capcay! Ayah sudah sampai di rumah dengan selamat setelah seharian mengabdi pada perusahaannya—yang sekarang tengah membersihkan badannya di kamar mandi. Sedangkan Aruna, seperti yang telah diketahui sebelumnya, ia masih berada di kamarnya—(pura-pura) tertidur. Akhirnya, hanya Aska lah yang membantu Buna dalam menyiapkan makan malam keluarga mereka.

“Arunaaa! Adekkk! Bangun sayang makan malam dulu sini nak.” Buna berteriak membangunkan Adik dari lantai satu disaat makanan sudah siap dan semua anggota keluarga sudah berada di meja makan, termasuk Ayah yang telah menyelesaikan mandinya.

“Abang, Buna minta tolong bangunin Adeknya, Bang. Kasihan kalau enggak makan malam nanti dia tengah malam kelaperan nak. Minta tolong ya nak,” pinta Buna kepada Aska.

Belum sampai Aska bangkit dari duduknya, terdengar bunyi pintu yang terbuka dan semua orang melihat ke arah sumber suara itu. Iya, itu suara pintu kamar Aruna yang terbuka. Aruna melangkahkan kakinya turun ke lantai satu untuk makan malam bersama keluarganya. Lalu Aruna pun menduduki dirinya pada kursi disamping Aska. Ada rasa canggung pada diri mereka.

“Abang, gimana kuliahnya, nak? Lancar?” tanya Ayah kepada Aska.

“Lancar, Yah. Cuman ya emang tugasnya banyak, ditambah aku lagi sibuk ngurusin organisasi, jadi maaf ya Yah aku baru sempet pulang sekarang.” Aska pun melirik Aruna yang tengah mengaduk-aduk makanan di pirjngnya dengan tatapan yang kosong.

“Gak apa-apa nak. Justru bagus itu kamu aktif di kampus, enggak hanya belajar saja. Aktif dalam berorganisasi itu penting juga loh, Bang, banyak manfaatnya. Pesan Ayah cuma satu, jangan sampai kegiatan organisasi itu mengganggu perkuliahanmu dan proses belajarmu ya nak.”

“Iyaa Ayah, siappp!”

“Adek, kalau Adek gimana sekolahnya nak? Adek sudah punya teman dekat belum?” Kini giliran Aruna yang mendapatkan pertanyaan dari Ayah.

“Sudah Yah. Si Hisyam Hisyam itu yang sering datang ke sini buat jemput dan antar Adek sekolah, kadang suka ngajak Adek pergi juga dia tuh,” sahut Buna mengompori.

“Ohhh si Hisyam itu teman Adek? Ayah kira malah pacarnya Adek,” ledek Ayah sambil tertawa.

“Ihhh apa sih Buna, Ayah. Hisyam itu teman aku. Cuma-teman-aja-enggak-lebih-oke-titik,” jawab Aruna bersungut-sungut.

“Kok Abang enggak dikenalin sih Dek sama pacar kamu?”

“Bukan pacar aku ihhhh! Enggak mau aku ngenalin Hisyam ke Abang. Entar Hisyam disidang. Abang kan galak.”

“Abang galak darimananya coba? Penyanyang gini.”

“Buktinya Abang ngomelin aku mulu dari kemarin! Ayah, aku diomelin terus sama Abang nih Yah!!!”

“Adek nakal kali makanya Abang ngomelin kamu terus,” kata Ayah meledeki anak perempuan satu-satunya itu untuk yang kesekian kalinya.

“Tau ah! Ayah sama Abang sama aja. Semua laki-laki tuh sama aja tau gak,” ambek Aruna.

“Adek sayang enggak boleh gitu dong ngomongnya sama Ayah dan Abang. Ayah sama Abang juga, udah jangan ngeledekin Aruna terus ah,” ucap Buna sebagai penengah.

“Yaampun utuk-utuk Adek satu-satunya Abang yang ini ngambek terus siyyyy,” kata Aska sambil menowel-nowel pipi tembam Aruna.

“Diem Abang ihh!” gerutu Aruna seraya menepis tangan Aska.

“Jangan ngambek. Abis ini mau ikut Abang enggak?”

“Kemana?”

“JJM.”

“Apaan tuh Bang JJM? Ayah baru tau ada istilah JJM.”

“Jalan-jalan malem Yah,” jawab Aska sambil menaik-naikkan alisnya.

“Mau,” ucap Aruna pelan.

“Hah? Apa? Abang enggak dengar,” tanya Aska kepada Aruna seraya mendekatkan telinganya ke Aruna.

“Iya, Adek mau ikut.”

“Yaudah abis ini bantuin Buna dulu cuci piring. Abis itu siap-siap kamu. Dipake ya jaketnya Adikku yang cantik jelita.”

“Bawel.”

“Yaudah enggak jadi. Abang mau tidur aja.”

“IYA IYA ABANGKU SAYANG.”

Ucapan Aruna tersebut akhirnya berhasil mengundang gelak tawa Buna, Ayah dan Aska yang sedari tadi bersekongkol untuk terus meledek Aruna.  Dan dengan begitu saja dapat membuat kecanggungan diantara Aska dan Aruna pun berhasil terkikis. Sekarang Aska menyadari bahwa sesibuk apapun dirinya, sejauh apapun dia pergi, keluarganya adalah satu-satunya tempat ia pulang. Bukanlah kemewahan yang Aska incar, namun hanya keluarga yang utuhlah yang menjadi sumber utama kebahagiaannya. Karena kehangatan sebuah keluarga tidak akan pernah bisa terbayarkan oleh apapun di dunia ini.

Jam kosong atau yang biasa disebut dengan free class oleh anak-anak zaman sekarang merupakan waktu yang paling ditunggu oleh mayoritas anak sekolah, termasuk bagi ketiga anak Jakarta yang hobinya adalah selalu bertengkar ini. Jam kosong yang berakhir dengan dipulangkannya murid-murid lebih cepat dari waktu yang seharusnya membuat otak dari seorang jenius Ravenio Farhan Nandana bekerja lebih keras dan cepat daripada biasanya, memunculkan ide cemerlang yang dapat membuat sahabat-sahabatnya ini senang.

“Jen! Gua ada ide!!!” seru Farhan kepada Jendra dengan menunjukkan muka nan angkuh penuh bangga layaknya penerima penghargaan tahunan orang tercerdas sedunia sambil melipat tangannya di depan dada.

“Jangan aneh-aneh dah lo,” jawab Jendra ketus. Ia sudah sangat lelah menghadapi perilaku dan ide-ide ajaib sahabatnya yang satu ini.

“Aelah gitu banget. Dengerin dulu apaaaa,” rengek Farhan.

“Apaan cepet.”

“Kerumah Aska yuk. Jenguk. Lagi sakit kan anaknya.”

“Anaknya Aska sakit? Kapan nikahnya sama Ayya?”

“Ah anjing dongonya lebih-lebih dari gua ternyata. Askanya yang sakit.”

“Seriusan lo mau ke Bogor sekarang?”

“Iya serius lah. Mumpung kita pulang cepet, masih siang gini. Lo gak liat noh temen lo di belakang?”

“Siapa?”

“Si berbi. Ngelamun aja daritadi, galau sambil ngeliatin hpnya terus. Kayaknya chatnya gak dibales-bales Aska deh karena masih sakit. Tadi gua chat Aska juga gak dibales. Kata Aruna gak kuat pegang hp, pusing banget si Aska.”

Jendra pun langsung menengok ke arah belakang kursinya. Terlihat Ayya yang sedang menatap kosong ke arah handphone yang digenggam pada tangan kirinya sedang tangan kanannya ia pakai sebagai alas kepalanya untuk bersandar.

“Ayya,” panggil Jendra.

“Ayyaaaa. Woy!” Farhan pun ikut memanggil Ayya yang masih terlihat melamun tidak mengindahkan panggilan Jendra.

“Hmm?” jawab Ayya sambil menaikkan satu alisnya tanpa merubah posisinya sedikit pun.

“Mau kerumah Aska gak?” tanya Jendra.

Ayya pun segera bangkit dari posisi tidurnya, matanya terlihat berbinar. Tidak butuh waktu lama untuk Ayya menjawab pertanyaan Jendra tersebut.

“MAUU!!!!” jawab Ayya berteriak.

“Jangan teriak teriak dugong!!!” tegur Farhan.

“Ayukkkk! Berangkat sekarang!!!!” kata Ayya yang dengan cepat sudah menjinjing jaket dan tasnya lalu menarik tangan kedua sahabatnya ini untuk segera berangkat ke rumah Aska.

“Tuhkan liat tuh. Diajak ke rumah Aska aja langsung cerah banget mukanya, bahagia banget temen lo Jen,” kata Farhan sambil menunjuk ke arah Ayya yang sudah lebih dulu berlari ke parkiran sekolah mereka.

“Hahahaha iya kangen banget dia sama Aska. By the way kayaknya sahabat gua yang satu ini juga kangen banget sama adeknya Aska,” ledek Jendra sambil menaik-naikkan alisnya dan mengalungkan lengannya pada leher Farhan.

“Kan adek gua juga itu Jen,” jawab Farhan mengelak pernyataan Jendra.

“Alah gak usah alesan lo. Gua tau ya lo suka sama Aruna,” kata Jendra tidak percaya.

“Apaansih ya enggak lah. Ada-ada aja lo.”

Sepersekian detik kemudian yang pada awalnya Jendra hanya mengalungkan lengannya pada leher Farhan berubah menjadi memiting batang leher Farhan kuat.

“Anjing anjing Jendra lepas!”

“Ngaku gak lo. Suka kan lo sama Aruna,” kata Jendra sambil tertawa.

“Enggak! Apaansih orang enggak juga!” “Aaaakkk iya iya iya suka iya,” jawab Farhan pasrah, bila tidak, Jendra akan terus memiting batang leher Farhan hingga patah. Tenaga seorang Jendra itu tidak main-main. Kalau bisa Farhan daftarkan sekarang juga, ia akan mendaftarkan sahabatnya itu pada kompetisi tinju nasional.

“Anjing emang lo Jen,” keluh Farhan sambil mengelus lehernya pelan.

“Lo kalo gak digituin gak bakal ngaku Han.”

“Li kili gik digitiin gik bikil ngiki Hin,” cibir Farhan.

“IH CEPETAN DONG JALANNYA NANTI KEBURU SORE!!!” teriak Ayya.

“Tuh ayuk udah buruan Han. Entar keburu temen lo ngambek lagi,” kata Jendra sambil berjalan cepat ke arah parkiran meninggalkan Farhan yang masih menggerutu.


Kota hujan memang istimewa. Begitupun juga laki-laki yang memilih untuk hidup dan menetap disana, sama istimewanya. Dijuluki sebagai kota hujan pun bukan tanpa alasan, hal tersebut dikarenakan intensitas hujan yang tinggi dan turun secara tidak terduga. Selain itu, Kota Bogor berada di ketinggian 190-330 meter di atas permukaan laut, sehingga membuat cuaca di Bogor termasuk sejuk. “Suasana dan cuacanya sejuk banget, enak deh. Pantes ya Aska betah,” batin Ayya dalam hati sambil memperhatikan jalanan sekitar menuju komplek rumah Aska.

“Ayya, nanti kalo nikah sama Aska, tinggalnya disini aja, enak Yya, adem banget. Nanti kita tetanggaan, rumah lo sama Aska, rumah Farhan terus rumah gua. Biar kalo mau main kita gampang haha,” kata Jendra membuyarkan lamunan Ayya.

For your information, untuk perjalanan dari Jakarta – Bogor kali ini, Ayya memilih untuk berboncengan bersama Jendra dikarenakan Farhan yang masih sedikit mengambek karena kejadian di sekolah siang tadi.

“Hahahaha iyayaa. Seru kali ya Jen kalo nanti kita kayak gitu. Aamiinin dulu aja iya gak sih? Nanti kita beli rumah samping-sampingan, tapi disini! Biar ademmmmm.”

“Hahahaha aamiin!”


Aska adalah tipikal orang yang harus tidur dalam kondisi gelap. Oleh karena itu, tidak ada satu pun lampu yang menyala saat Ayya memasuki kamar milik Aska.

Aska sedang tidur. Bunda bilang kalau tadi sehabis makan siang, Aska meminum obatnya lalu terlelap. Ayya pun dengan hati-hati menghampiri Aska, tanpa suara, takut membangunkan tidur lelapnya. Dielusnya surai rambut coklat milik Aska pelan seraya menatap lekat segala sudut wajah Aska. Wajah dari seorang laki-laki istimewa yang sangat Ayya sayangi. Ayya memberikan usapan tangan yang lembut dan dengan rasa penuh kasih sayang pada segala sudut wajah Aska, dari mulai rambut, dahi, alis, hidung, pipinya. Ayya menyukai semua hal yang ada pada diri Aska, tanpa terkecuali. Laki-laki pertama dan satu-satunya yang telah berhasil mendapatkan hatinya dengan cara-cara unik dan sederhana namun syarat akan makna. Mungkin Aska tidak se-romantis laki-laki lainnya yang dapat dengan mudah memberikan kata-kata manis dan rayuan yang dapat menghidupkan kupu-kupu dalam perut wanita mana pun yang mendengarnya namun tidak lain hanyalah pemanis dan tipuan belaka. Aska mempunyai caranya tersendiri dalam membahagiakan kekasihnya.

Kamu tidak perlu berusaha menjadi seseorang yang sama sekali bukan dirimu hanya untuk mendapatkan perhatian dan menjadi kebanggaan orang lain. Jadilah diri sendiri. Mau bagaimana pun dirimu, kamu akan cukup dimata orang yang tepat. Dan bagi Ayya, Aska itu jauh melebihi cukup.

“Maafin aku ya Aska, kemarin-kemarin aku rewel terus ke kamu tanpa mau tau kalau ternyata kamu pun juga capek dan banyak hal yang harus dilakuin,” ucap Ayya pelan yang duduk di bawah lantai samping kasur Aska, menatap wajah Aska yang pucat pasi seraya mengelus surai rambutnya.

“Hng? Ayya?” gumam Aska lalu mengambil tangan Ayya pada puncak kepalanya dan menggenggam erat tangan Ayya dengan mata yang masih terpejam.

“Iyaa Aska ini aku Ayya,” balas Ayya mengelus tangan Aska.

”...ngan pe..gi,” racau Aska.

“Kenapa sayang?”

“Jangan......pergi,”

“Iya sayang aku disini. Aku gak pergi kemana-mana. Kamu istirahat aja yang banyak biar cepet sembuh oke jagoan!”

Aska pun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan tanda menyetujui ucapan Ayya dan mengeratkan genggaman tangannya pada Ayya.

“Aska, aku enggak akan pernah ninggalin kamu, kecuali kamu yang nyuruh aku. Sekali pun suatu hari nanti aku berani buat ninggalin kamu, tolong benci aku Ska, benci aku seumur hidup kamu. Karena kalau aku sampai berani ngelakuin hal itu ke kamu, demi Tuhan, aku adalah orang paling bodoh di dunia ini karena udah menyia-nyiakan laki-laki sebaik dan setulus kamu.”

Jalanan Jakarta masih saja sama dan akan selalu sama. Macet. Itulah yang Aska dan Aruna rasakan diperjalanan mereka dari Bogor ke Jakarta kali ini. Walau baru beberapan bulan meninggalkan kota metropolitan dan beralih ke kota hujan, Aska tidak menampik bahwa dia merindukan kota ini, kota yang memiliki sejuta kenangan yang ia bawa sejak lahir. Kota yang menghadirkan banyak keberkahan dihidupnya. Dari mulai lahirnya adik kecil kesayangannya ke dunia yaitu Aruna, memiliki Farhan dan Jendra sebagai sahabatnya, dan juga memiliki Ayya sebagai kekasihnya merupakan berkah terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.


Untuk keberangkatan dari Bogor menuju Jakarta kali ini, Aska memilih untuk mengendarai mobil milik Ayahnya daripada mengendarai motor miliknya. Tidak lain dan tidak bukan ialah karena ia membawa adik kesayangannya. “Adek gak boleh keujanan, kasian, nanti sakit. Jadi Abang bawa mobil aja ya Bun, Yah, boleh kan?” tanya Aska meminta izin untuk membawa mobil ke Buna dan Ayahnya.

“Adek, udah bilang Farhan kita udah sampe?” tanya Aska kepada Aruna saat menarik handle pintu mobil untuk Aruna.

“Hati hati kepalanya”, sela Aska sambil meletakkan tangannya pada atas kap mobil agar kepala Aruna tidak terbentur.

“Udah Abanggg.”

“Si Farhan sama Jendra udah sampe Dek?”

“Lagi otw, bentar lagi sampe katanya.”

“Oh yaudah. Kita nunggu di starbucks aja dulu yuk Dek.”

“Okeeeyy Abang.”


Setelah menunggu kurang lebih selama 30 menit, akhirnya Farhan dan Jendra pun sampai di Starbucks, tempat dimana Aska dan Aruna menunggu mereka.

“Lama banget anjir, katanya dikit lagi sampe,” keluh Aska kepada Farhan dan Jendra.

“Kayak gak tau Jakarta aja lo,” jawab Jendra yang menampakkan wajah frustasinya akibat macet.

“Abaaaaangg!!!!” teriak Aruna sambil merentangkan tangannya tanda ingin memeluk Abang-abangnya yang baru sampai.

“Adekkk, Abang Farhan kangennn!!!” kata Farhan sambil memeluk Aruna.

“Adek jugaaa kangen banget sama Abang!!”. Aruna pun membalas pelukan Farhan.

“Gantian dong. Gua kan juga kangen sama Adek!!” ucap Jendra kepada Farhan.

“Awas, awas, minggir gantian!” ucap Jendra kembali sambil menarik badan Farhan agar menjauh dan melepaskan pelukannya pada Aruna.

“Adeeeeekk Abang Jendra kangen Adekkk!!”

“Abaaang ih Adek juga kangen banget sama Abang!!!”. Aruna pun juga memeluk Jendra.

“Ini gak ada yang mau bilang kangen plus meluk gua?” tanya Aska menyela kegiatan kangen-kangenan antara Farhan, Jendra, dan Aruna.

“Gak!” jawab Farhan.

“Skip.” jawab Jendra.

“Gitu banget lo pada sama gua,”

“Apa kabar Aska sayang?” tanya Farhan.

“Gak gitu juga ya, geli gua bangsat!”

“Ewww,” cibir Aruna kepada Farhan.

“Adek aja jadi jijik sama lo Han hahahaha,” sahut Jendra.

“Salah mulu gua heran,” kata Farhan.

“Eh yaudah ayok makan dulu lah, laper banget gua asli,” ujar Aska.

“Bentar dulu, tunggu 15 menitan,” jawab Farhan.

“Mau ngapain lagi sih? Gua aja udah lama ya nungguin lo berdua daritadi.”

“Bentar. Sabar kenapa. Gua mau COD-an dulu sekalian sama orang disini.”

“Astaga Parhan bener-bener lo ya.”

“Hehehehehe.”


15 menit kemudian

Setelah kurang lebih 15 menit menunggu, datanglah seseorang yang Farhan tunggu. Seseorang yang akan melakukan COD (Cash On Delivery) dengan Farhan. Entah barang apa yang akan Farhan beli. Farhan dan Jendra duduk menghadap ke arah pintu masuk Starbucks, oleh karena itu seseorang tersebut bisa dengan mudah menemukan Farhan lalu berjalan tergesa-gesa menuju meja Farhan.

“Loh kok itu Farhan berempat ya? 2 orang lagi itu siapa deh? duduknya pake madep sana sih jadi gak keliatan kan mukanya. Si Farhan bawa siapa lagi sih itu, katanya mau quality time bertiga doang. Emang paling gak jelas jadi manusia tu anak,” batin seseorang tersebut saat menghampiri meja Farhan.

“Hai!! Sini!!” teriak Farhan sambil melambaikan tangannya.

“Sorry ya gue agak telat Han, Jen...” jawab seseorang tersebut dengan napas tersengal-sengal.

“Loh? Ayya?” kata Aska kaget saat ia tiba-tiba melihat Ayya sudah berdiri di depan meja antara Aska-Aruna dan Farhan-Jendra.

“Eh Aska?” sahut Ayya tak kalah kaget dengan Aska.

“Oh lo mau COD-an sama Farhan, Yya?”

“Hah? COD-an? COD-an apa?” jawab Ayya bingung sambil melihat ke arah Farhan dan Aska bergantian.

“Eh Adek main timezone yuk sama Abang Jendra juga!!” seru Farhan kepada Aruna secara tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Ayya dan membiarkan Aska dan Ayya yang masih tetap pada kebingungannya mereka sendiri.

Aruna yang sebenarnya sudah mengetahui semuanya dan turut andil dalam menyusun secret missionnya dengan Farhan dan Jendra pun segera menyetujui ajakan Farhan.

“Ayukkkk Abang! Adek mau main timezone!!!” jawab Aruna sambil bangkit dari duduknya.

Farhan pun segera menarik tangan Aruna dan Jendra agar segera menjauhi dan meninggalkan Aska dan Ayya hanya berdua.

“Daaahh. Take your time guys,” seru Jendra tersenyum menampilkan eyes smile khasnya sambil melambaikan tangannya pada Aska dan Ayya.

“Anjir emang bener bener ya mereka. Awas aja ya Adek, Parhan goblok, Jendra bangsat,” batin Aska menggerutu sambil melihat sinis ke arah Farhan, Jendra dan Aruna yang semakin jauh dari pandangannya.

ekhem

“Eh Yya. Duduk Yya. Jangan diri aja, capek,” ucap Aska kepada Ayya.

“Hehe kirain gak dibolehin duduk disini,” jawab Ayya canggung kepada Aska.

Bagaimana tidak canggung, Aska memutuskan untuk break dengan Ayya selama kurang lebih 2 bulan tanpa adanya komunikasi sedikit pun. Ayya sebenarnya sudah berusaha untuk menjangkau dan membicarakan hubungan mereka kembali, namun Aska selalu menghindari Ayya dari segi apapun, chat maupun telepon. “Mungkin memang aku udah terlalu nyakitin Aska jadi Aska butuh waktu lebih kali ya?” tanya Ayya pada dirinya sendiri didalam hati.

“Ayya, apa kabar?” tanya Aska memecah keheningan di antara mereka berdua.

“Aku baik Ska. Kamu?”

“Baik-baik aja.”

Suasana pun kembali hening.

“Aska, kemarin kamu lomba ya? Terus menang juara 1?” tanya Ayya basa basi kepada Aska. Padahal Ayya sudah mengetahui kalau Aska mendapatkan juara pada lomba bandnya minggu lalu. Ayya pun juga mengetahui segala kegiatan Aska, tidak lain dan tidak bukan adalah berkat Aruna yang telah menjadi informannya Ayya selama ini.

“Hehe iya kemarin juara 1. Tau dari Adek ya?”

“Iya dari Adek. Padahal dulu aku janji yaa kalau kamu ada lomba, aku bakalan nonton penampilan kamu paling depan,” kata Ayya sambil tersenyum teringat kembali janjinya dulu kepada Aska.

“Aska, kita udah lama ya gak ketemu? 2 bulan bagi aku lama banget tau. Kita pun gak ada komunikasi sama sekali. Aku......kangen,” lanjut Ayya.

“Ayya.....”

“Aska, kamu gak kangen aku?” sela Ayya.

Aska pun terdiam. Diam seribu bahasa yang membuat hati Ayya mencelos.

“Kamu beneran gak kangen aku Ska? Kamu beneran udah gak cinta lagi ya sama aku?”

“Enggak gitu Ayya.”

“Terus gimana? dibicarain sekarang Aska, mumpung kita ketemu kayak gini. Kalo aku ngechat atau telepon kamu pun pasti kamu bakalan ngehindarin aku lagi,”

“Semua keputusan kamu aku terima, apapun itu, mau kamu mau lanjut sama aku atau udahan,” tutur Ayya.

“Ayya, sejujurnya aku pun kangen sama kamu. Kangen banget. Aku masih cinta sama kamu, cinta banget. Perasaan aku ke kamu gak pernah berubah sedikit pun. Tapi....”

“Tapi apa?”

“Aku bingung harus apa. Aku masih belum tau gimana yang terbaik buat kita berdua. Kita bener-bener bisa ldr apa enggak Yya. Aku takut hal kayak kemarin keulang lagi. Aku takut gak bisa ngasih kasih sayang dan perhatian yang kamu butuhin. Kadang aku mikir, kalau ada laki-laki yang bisa cinta dan bahagiain kamu lebih dari aku di Jakarta, aku rela dan ikhlas asal kamu bahagia.”

“Aska gak gitu.....” Ayya pun menghembuskan nafasnya panjang.

“Aska dengerin aku ya, yang aku mau cuman kamu, bukan orang lain. Dan kamu pun udah ngasih kasih sayang dan perhatian yang lebih dari cukup ke aku. Aku yang minta maaf. Maaf kemarin aku sempet ngecewain dan bohongin kamu. Tapi aku bener-bener gak ada maksud apa-apa apalagi selingkuhin kamu. Gak pernah sedikit pun aku mikir kayak gitu Ska. Aska, kita coba dan mulai semuanya lagi dari awal yaa?”

“Kamu beneran gak apa-apa kalo kita ldr kayak gini Yya? Kamu sanggup dan yakin?”

“Aku yakin, asal sama kamu, asal orangnya itu kamu Ska.”

Mereka berdua pun terdiam sejenak.

“Ayya....”

“Iya, Aska?”

“Makasih yaa....”

Sejenak Ayya terdiam dan hanya menatap Aska penuh arti. Pelupuk mata Ayya sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang sedari tadi ia tahan dan tanpa terasa air matanya pun sudah mengalir deras membasahi pipinya.

“Eh eh eh kok nangis sih. Jangan nangisssss. Nanti aku disangka ngapa-ngapain kamu Ayya,” ucap Aska bangkit dari tempat duduknya dan beralih untuk duduk disamping Ayya dan mengelus puncak kepalanya lembut.

“A-aku hiks Aska maafin aku. Makasih Aska hiks,” ucap Ayya terbata-bata sambil menangis.

“Iya iya udah ya jangan nangis. Maafin aku juga ya. Jahat ya aku ngediemin kamu 2 bulan? Maaf ya sayang,” kata Aska sambil memeluk Ayya dari samping dan menyangga dagunya pada kepala Ayya lembut.

Ayya pun memukul-mukul dada Aska pelan dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Aska, “tau jahat! aku didiemin 2 bulan, tega banget jadi orang, aku sebel.”

“Maaf sayanggg. Udah ah jangan nangis. Jelek banget ih tuh liat mukanya jadi tambah jelek,” ledek Aska.

“Bodo!!”

“Hahahaha makan yuk? Kamu laper gak? Aku laper banget ini abis macet-macetan terus abis itu nungguin orang yang mau COD-an sama Farhan lamaaaaaa banget datengnya,” sindir Aska sambil terkekeh pelan.

“Ih iya sumpah ya si Farhan ngerjain kita. Eh enggak Farhan doang berarti, si Jendra sama Adek ikutan! Si Farhan tuh awalnya mau ngajakin aku sama Jendra buat quality time bertiga, terus aku kaget tau-tau kok ada kamu,” oceh Ayya sambil bangkit dari dada Aska dan beralih untuk langsung menatap Aska.

“Hahahaha gemessss banget sih kamu, bawelnya langsung keluar,” kekeh Aska sambil memainkan kedua pipi Ayya kemudian mencubitnya gemas.

“Ihhh sakit!!!!” rengek Ayya.

“Udah ah yuk makan, aku laper,” kata Aska sambil bangkit dari duduknya lalu menarik tangan Ayya yang masih memasang wajah kesalnya karena kesakitan sehabis dicubit pipinya oleh Aska.


Farhan, Jendra dan Aruna memang sengaja merencanakan secret mission ini dengan meninggalkan Aska dan Ayya berdua agar bisa membicarakan kejelasan hubungan mereka berdua. Di lain sisi pun Farhan, Jendra dan Aruna malah asyik bermain di timezone, menikmati waktu mereka bersama dan saling melepas rindu.

“Adekkk adek videoin Abang sama Abang Jendra main basket.”

“Abanggg!! Ayok main air hockey.”

“Han Han sini, Adek sini ayok kita tanding bertiga main arcade games yang mobil buruan mumpung kosonggg!”

“Abang, ada photobox gak sih disini? Kalo ada ayok kita photobox!!!”

“Adekkk ayok udahan Abang capek.”

“Adekk udahan yuk makan dulu yuk.”

“Abanggg!!! Adek mau main itu ayuukk!!!”