17 September 2022 (Part 2)
“Halo selamat siang. Apa benar ini dengan saudara Baskara?”
“Iya benar. Maaf, ini siapa ya?”
“Kami dari pihak kepolisian ingin menginfokan bahwa mobil dengan pelat nomor F 7211 AB telah mengalami kecelakaan di ruas jalan tol Jagorawi. Saat ini para korban sudah dilarikan ke RSUD Ciawi.”
“Tu-tunggu ... Ayah, Buna dan Adik saya gimana? Mereka baik-baik saja kan, Pak?”
“Mohon maaf Mas, tapi hanya ada 1 korban selamat.”
***
Pertahanan Aska runtuh. Kedua kakinya sudah tak bisa lagi menopang raga yang seakan ikut lenyap saat mendengar berita buruk tersebut. Tubuhnya melemas dan hatinya hancur. Badannya perlahan jatuh ke lantai bersamaan dengan terlepasnya ponsel dari genggaman tangannya. Pikiran Aska melayang. Perkataan Pak Polisi yang meneleponnya barusan terus menghantuinya. ‘Hanya ada 1 korban selamat.’ Tapi siapa? Siapa 1 orang yang selamat itu? Dan siapa yang meninggal? Tanpa ia sadari, air mata telah turun membanjiri pipinya. Aska masih tidak percaya bahwa hal seperti ini akan terjadi pada keluarga yang sangat ia sayangi. ‘Ayah, Buna, Aruna ... Abang enggak mau pisah sama kalian. Jangan tinggalin Abang sendirian, bawa Abang juga ...’
Aarav yang sedari tadi berada didekat Aska—mengerjakan skripsi bersama di indekos mereka— langsung menghampiri Aska setelah melihatnya jatuh tersungkur dan genggaman ponselnya terlepas begitu saja.
“Aska? Kenapa? Ayah, Buna sama Adek kenapa, Ska?” “Aska jawab!!!” teriak Aarav seraya mengguncangkan badan Aska untuk menyadarkannya dari lamunan nan sendu dengan air mata yang terus berderai membasahi pipinya.
“Rav ... Ayah, Buna, Adek, Rav ... enggak boleh Rav ...” racau Aska.
“Iya mereka kenapa, Aska? Jelasin biar gua paham!”
“Enggak mungkin kan, Rav? Rav ini mimpi kan? Gua baru ketemu mereka satu jam yang lalu Rav!”
Aarav langsung mengerti arah pembicaraan Aska kali ini, “Ayah, Buna, sama Adek ... kecelakaan, Ska?”
“Hanya ada 1 korban selamat,” jawab Aska sambil perlahan mulai mengarahkan pandangan sendunya pada Aarav.
“Kata Pak Polisi tadi hanya ada 1 korban selamat. Rav ... gua harus gimana?” lanjut Aska kembali.
“Hah?” Aarav pun jatuh terduduk lemas di samping Aska.
“HANYA ADA 1 KORBAN SELAMAT RAV!! GUA BAHKAN ENGGAK TAU SIAPA YANG SELAMAT!! GUA HARUS GIMANA RAV? GUA HARUS GIMANA???” Aska menjerit, tangan kanannya tak henti ia hantamkan ke lantai untuk menyalurkan emosi.
“Aska ... jangan gitu, Ska. Lo tenang dulu, ya? Kita ke rumah sakit sekarang. Lo dikasih tau enggak mereka dibawa ke rumah sakit mana?” ucap Aarav seraya memeluk Aska—berusaha menenangkan sahabatnya yang tengah hancur.
“RS ... UD Ci .. awi , Rav,” ucap Aska terbatah-batah.
“Coy pesenan lo berdua gak ad— ASKA LO KENAPA??” kata Farhan sesampainya dia dan Jendra di indekos mereka.
Aarav mengabaikan perkataan Farhan, dan memilih untuk menghampiri Jendra—menjelaskan kepada Jendra perihal apa yang sedang terjadi di luar kamar indekos mereka. Farhan dibuat terheran-heran karena tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaannya dan memilih untuk mengabaikannya.
“Rav, kenapa sih? Ada apa? Kok pertanyaan gua enggak dijawab?” tanya Farhan untuk yang kedua kalinya pada Aarav.
“Han, lo mending kasih air hangat ke Aska dulu ya. Gua minta tolong banget, Han. Gua mau ngomong berdua dulu sama Jendra. Baru nanti Jendra yang bakal jelasin ke lo.” Melihat kondisi Aska yang tidak keruan juga gelagat aneh kedua temannya, mau tidak mau Farhan menuruti perintah Aarav—mengambil segelas air hangat untuk Aska.
“Ayah, Buna dan Adek kecelakaan dan hanya ada 1 orang doang yang selamat. Kita masih belum tau siapa yang selamat. Tolong kasih tau Farhan pelan-pelan ya, Jen, gua takut dia hancur kayak Aska. Lo minggu ini lagi bawa mobil kan? Kita ke RSUD Ciawi ya abis ini buat pastiin. Nanti biar gua yang chat Ayya. Gua urus Aska, lo urus Farhan ya, Jen,” jelas Aarav kepada Jendra yang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Jendra pun ikut terkejut mendengar berita tersebut dan kini ia harus menjelaskan dengan hati-hati kepada Farhan perihal kecelakaan yang dialami pacar sahabatnya itu.
“Udah kalian ngobrolnya? Sekarang coba jelasin ke gua,” kata Farhan setelah melihat Aarav dan Jendra telah memasuki kamar indekos mereka kembali.
“Han ... lo tenang dulu ya tapi.” Kali ini Jendra yang bersuara, mencoba memberitahu Farhan dengan pelan-pelan perihal hal yang tengah terjadi saat ini. “Lah? Kenapa jadi harus gua yang tenang sih? Kan kita lagi bah—“
“—Aruna kecelakaan ... sama Ayah dan Buna. Hanya ada 1 korban selamat dan kita masih belum tau siapa 1 orang yang selamat itu. Sekarang kita tungguin Ayya dulu ya abis itu kita berangkat ke RSUD Ciawi buat mastiin semuanya. Lo tenang dulu ya, Han,” sahut Jendra memotong perkataan Farhan.
“Hah? Apaansih? Pada mau nge-prank gua kan lo semua? Enggak lucu ya anjir bawa-bawa Aruna kecelakaan kayak gitu. Ska, masa Adek lo dibercandain gitu lo enggak marah sih?”
“Han ... Jendra enggak bercanda. Ayah ... Buna ... Adek gua, Han ... Aruna ... gua ... takut,” racau Aska masih dengan posisinya—terduduk lemas bersandar pada dinding kamar. Sorot matanya masih kosong, matanya sembab, air mata sesekali mengalir kembali membasahi pipi.
“Enggak ... enggak mungkin. Tadi pas lagi beli nasi padang gua masih chat-an sama Aruna kok!! Dia bilang mau ke Kopi Daong sama Ayah dan Buna. Itu bukan mobil Ayah dan Buna kali, Ska!!!”
“Tapi, Han, yang ngabarin gua tadi itu dari pihak kepolisian dan mereka juga udah nyebutin dengan lengkap pelat nomor kendaraan orang tua gua. Mobil dengan pelat nomor F 7211 AB, itu mobil yang suka gua sama Aruna pake buat pergi kalo lagi di Bogor, Han!!”
“AH ANJING! GAK MUNGKIN LAH ITU GAK MUNGKIN. JANGAN AMBIL ARUNA GUA. SKA, TOLONGIN ARUNA GUA SKA!!!” Farhan masih dengan pendiriannya, menolak percaya pada kabar yang ia dengar. Farhan terus mengguncang-guncangkan tubuh Aska, berharap Aska meralat kabar kecelakaan yang melibatkan kekasihnya, Aruna.
“Han, jangan gitu, udah stop, Han. Kita pastiin dulu ya di rumah sakit. Lo tenang dulu, Han,” ucap Jendra, berusaha menenangkan Farhan.
“Jen, Aruna gua, Ayah, Buna, Jen ... orang-orang yang gua sayang, Jen ... jangan mereka, Jen.”
“Iya, Han, gua ngerti. Gua juga berharap ini enggak bener-bener terjadi sama mereka, Han. Kita semua enggak ada yang mau. Sabar ya. Kita tunggu Ayya dul— nah itu Ayya udah sampe.”
“Aska?? Aska mana? Ya ampun Aska.” Ayya berlari menghampiri dan memeluk Aska—mencoba menenangkan kekasihnya.
“Ayya ... Ayah, Buna aku ... Adek, Yya ... gimana ...” Aska pun mencurahkan segala perasaan sedih, takut, marah, kecewa, sakit, juga khawatirnya. Ia menangis hebat untuk yang kedua kalinya di pelukan Ayya.
“Iya iya sayang iya aku tahu. Kamu tenang dulu sekarang. Kita pastiin dulu ke rumah sakit ya? Yuk kita ke rumah sakit sama yang lain,” ucap Ayya mencoba menenangkan Aska walau sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama dengan Aska dan Farhan, sedih, khawatir dan terluka. Dan Ayya pun menangis hebat, di dalam hatinya.
17 September 2022
Ayah, Buna, Aruna, tunggu Abang ya. Abang yakin kalian baik-baik aja kok. Jadi, disaat Abang udah sampe sana, kalian harus peluk Abang dengan erat ya? -Baskara Akhza Malik
Aruna sayang, tunggu aku ya? Aku jemput kamu sekarang. Kamu katanya mau makan taichan abis itu night riding kan? Ayuk hari ini yuk cantik, aku bisa kok. Tapi kamu harus janji satu hal dulu sama aku. Saat aku sampai disana, kamu harus ketemu aku dengan keadaan hidup ya? -Ravenio Farhan Nandana