My First And Last✔

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Jaehyun, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Choi Yoonji

Reno sedikit merenggangkan badan nya setelah tugas-tugas nya selesai, dia habisin kopi yang dia pesan dan cheese cake yang di berikan barista untuknya. Hari ini Reno cuma ada 2 mata kuliah di kampus, ada tugas yang di berikan oleh dosen nya secara online karena tidak bisa hadir di kelas. Jadi Reno kerjakan saja dulu di cafe dekat kampus sekalian menunggu jam mata kuliah selanjutnya di mulai.

Baru dia ingin memberesi laptop dan buku-buku miliknya tiba-tiba saja ponsel Reno berdering, menampakan nama Yuno di sana. Awal nya keningnya mengkerut, karena enggak biasanya Yuno telfon dia kalau enggak penting-penting banget. Biasanya juga hanya lewat chat saja.

“Hallo, Mas Yuno?”

Hallo, Ren. Di mana? Lagi sibuk gak?

“Enggak sih, Mas. Tapi lagi gak gabut juga, ada apa, Mas?”

Mas boleh minta tolong gak sama kamu, Ren?

Begitu mendengar ucapan Yuno, Reno langsung cengar cengir. Pasalnya Yuno selalu minta bantuan nya untuk hal-hal ringan, sesudahnya pun pasti Yuno ngasih sesuatu buat adik ipar nya itu, makanya waktu Yuno bilang mau minta tolong lagi Reno tuh langsung nyengir.

“Minta tolong apa tuh, Mas? Kaya sama siapa aja Mas Yuno nih.” Reno malu-malu kucing.

bulan depan kan Kakak mau ke tempat Mas, dia ngotot banget mau pergi sendiri aja. Cuma tuh hati Mas gak tenang, Ren. Orang tua Mas juga lagi sibuk jadi enggak bisa antar. Kira-kira kamu atau Karina sibuk gak? Bisa nemenin Kakak mungkin salah satu dari kalian, tenang aja kok Mas yang bayar tiket pesawat nya. Nanti Mas kasih uang jajan juga kalau mau jalan-jalan.

Reno menjauhkan ponsel nya dari telinga nya setelah mendengar ucapan Yuno itu, dia menaikan kedua tangannya ke atas kemudian berdiri dan berjoget enggak jelas kegirangan. Kalau lagi enggak nelfon dan lagi enggak di cafe rasanya Reno kepengen teriak yang kenceng saking senang nya.

Hallo, Ren?” panggil Yuno karena Reno enggak kunjung menjawab.

“BISA, MAS. hehehe. Tapi kalau Karin enggak bisa kayanya, bulan depan dia ada acara keluarga Mas. Reno aja gapapa kan?”

gapapa kok, kamu ada passport kan, Ren?

“Ada, Mas tahun lalu Reno bikin di suruh Papa.”

yaudah, siap-siap aja yah. Kalo butuh apa-apa kabarin, Mas.

“Hahaha siap Mas ku.”

oh iya, Ren?

“Apa Mas?”

rahasia kita yah, jangan sampe Kakak tahu dulu. Mas masih minta tolong ke Bunda sama Papa buat bujuk Kakak dulu.

“Beres, Mas.”

Begitu sambungan telfon nya terputus, Reno langsung buru-buru membereskan barang-barangnya dan berlari keluar cafe kegirangan. Ini adalah pertama kalinya Reno ke luar negeri, dan langsung ke Jerman pula. Padahal rencana Reno itu mau ke Jepang dulu buat liburan, dia juga udah nabung lama banget buat ke sana.

Sesampai nya di rumah, Reno liat Ara, Bunda dan Papa nya di ruang tamu. Muka Kakak nya itu cemberut aja, dari kemarin Kakak nya memang sudah menginap di rumah mereka karena mertua nya itu sedang dinas di luar kota. Ara gak suka sendirian di rumah Yuno karena rasanya membosankan, ya walaupun ada Budhe yang menemani nya.

“Pokoknya Kakak mau nya pergi sendiri, Bun. Emang kenapa sih? Kan Kakak udah pernah ke tempat Mas Yuno juga, ini bukan pertama kali,” rengek Ara.

Ara tuh cuma ngerasa kalau dia ajak orang lain, dia gak akan merasa bisa berduaan dengan leluasa sama Yuno. Ara tuh kangen banget sama Yuno, dia mau ngabisin waktu nya di Jerman cuma dengan berduaan sama Suaminya itu. Ya walau ngajak satu orang pun Yuno bakal bersedia aja buat nyewain hotel atau kamar apartemen, tapi jiwa kritis Ara tuh meronta-ronta.

Dia mau Yuno simpan uangnya buat biaya mereka berdua, apalagi mereka akan segera punya anak yang mana kebutuhan pasti semakin banyak. Belum lagi soal tabungan Yuno untuk beli rumah, toh biaya nya sendiri ke Jerman saja sudah sangat mahal.

“Bunda tuh kepikiran, Kak. Apalagi kamu tuh semenjak hamil juga lebih ringkih kan badan nya, kalo kenapa-kenapa di jalan gimana?” Bunda tuh agak senewen juga ngadepin Ara kalau lagi keras kepala kaya gini, Ara enggak bisa di kerasin karena dia bakalan tambah keras.

“Ya makanya jangan di doain kenapa-kenapa, Bun...” kedua bahu Ara merosot, bingung banget dia gimana cara yakini orang tua nya, mertua dan Suaminya sendiri.

“Kak, jangan keras kepala gitu lah. Bunda, Papa, orang tua nya Yuno dan Yuno sendiri itu khawatir sama kamu. Apalagi kamu harus transit di Singapur dulu kan. Penerbangan nya juga makan waktu 20 jam loh, itu gak sebentar, Kak. Gak kaya dari sini ke Bandung,” Papa menyela, biasanya Ara akan lemah sama Papa nya apalagi kalau Papa nya sudah berubah lebih tegas.

“Sama Reno aja gak sih, Kak? Reno belum pernah keluar negeri,” samber Reno dari meja makan. Dia dari tadi cuma nyimak aja, yah ikut ngebujuk juga sekarang siapa tahu Kakak nya itu luluh jadi gak perlu main kucing-kucingan kan? Pikir Reno.

“GAKKKKKKK, KAMU BAKALAN NGEGANGGU BANGET.”

“Dih, Reno bisa tidur di hotel.”

“Dari mana uangnya? Bukan nya kamu mau ke Jepang?”

“Uang nya minta Papa lah. Ke Jepang itu pasti tapi kan bisa tahun depan.”

Papa yang mendengar itu cuma bisa memijat keningnya aja, agak pening kalau Reno sama Ara udah berdebat kaya gini. Tapi Papa bersyukur, selama menikah walau Yuno jauh. Laki-laki itu tetap bertanggung jawab pada putri nya, ah. Bukan hanya Yuno tapi keluarganya pun begitu.

“Pokoknya Kakak mau sendiri titik!!”

Ara berdiri dan naik ke lantai 2 ke kamar nya sambil hentak-hentakin kaki. Kebiasaan dia kalau lagi ngambek, Bunda sama Papa yang lihat cuma bisa geleng-geleng kepala aja kalau keras kepala dan manja nya Ara udah kumat, Bunda cuma mikir mungkin Ara akan berubah lebih dewasa waktu tahu akan menjadi Ibu, tapi tetap saja gak banyak yang berubah dari anak tengahnya itu.


Yuno ketuk pintu ruang konsulen nya itu berada, tadi ada perawat yang nyuruh dia buat bertemu sama konsulen nya di ruangannya itu. Yuno masih koas, tapi dia juga sudah naik ke stase berikut nya.

“Bapak panggil saya?” ucap Yuno waktu pintu itu terbuka. Sopan santun khas orang Asia nya enggak pernah dia lupakan meski sudah lama tinggal di Jerman.

“Duduk, Aryuno.”

Yuno masuk kemudian duduk di kursi depan meja konsulen nya itu, Yuno udah enggak di stase penyakit dalam lagi. Dia sudah pindah ke stase bedah meski tetap saja dia di beri waktu untuk berjaga di IGD. Konsulen nya pun sudah ganti dari dokter Smith menjadi dokter James yang enggak kalah tegas nya.

Kadang Yuno ngiri kalau teman-teman nya dapat konsulen yang baik, sementara dia terasa bekerja di bawah tekanan banget. Enggak jarang Yuno suka melewatkan jam makan nya karena saking sibuknya dia di IGD.

“Yuno, saya gak mengerti kenapa kamu akhir-akhir ini sering sekali melamun, kamu juga kurang cekatan Yuno,” ucap dokter James.

Yuno akui memang dia sering melamun akhir-akhir ini, itu semua karena dia mikirin Ara, mikirin dirinya sendiri, dan tekanan yang dia dapat dari senior-senior nya. Yuno itu masih suka di suruh-suruh kadang, walau bukan hanya dia yang mengalami ini.

“Maaf, dok.”

“Kata dokter Smith, kamu itu mahasiswa yang pintar di kampus nya. Dia pernah ngajar kamu, kan?”

Yuno mengangguk, beberapa kali memang Yuno pernah di ajar langsung oleh dokter Smith. Tapi cara mengajarnya dengan praktiknya di rumah sakit beda banget, di kampus dokter Smith itu mengayomi dan baik banget makanya waktu bertemu di rumah sakit dan menjadi konsulen nya Yuno kaget banget.

“Saya enggak tahu kamu lagi ada masalah apa Yuno, tapi kalau kamu sudah sampai di rumah sakit. Tolong kesampingkan itu semua, tolong fokus. Kita ini kelak akan kerja dengan resiko dan jam kerja yang panjang nantinya. Konsentrasi dan tanggung jawab itu nomer 1 selain nyawa pasien, jadi tolong konsentrasi dan cekatan, saya harap kamu bisa berubah Yuno.”

Setelah keluar dari ruangan konsulen nya, Yuno melamun sebentar di rooftop rumah sakit. Dia memang masih istirahat, Yuno memejamkan matanya. Menikmati semilir angin dan kopi yang baru saja ia beli di cafe.

Tangannya kemudian meraba saku yang ada di baju OKA nya. Ada buku kecil yang biasa ia gunakan untuk mencatat ketika dokter senior atau konsulen sedang menjelaskan sesuatu. Namun di halaman paling terakhir ada tulisan yang bukan tulisan tangannya, Yuno sangat mengenali tulisan itu.

Kalau lo gak bisa tegas, biar gue yang ngasih pelajaran ke mereka. Dasar payah!!

“Kenapa sih tiba-tiba resign begini, Jul? Padahal saya suka banget kamu kerja di sini. Enggak ada masalah kan?” tanya Jenara lagi.

Pagi ini Julian masuk kerja seperti biasanya, yang enggak biasa itu justru bagi Jenara karena Julian tiba-tiba saja menyerahkan surat pengunduran dirinya hari ini. Kepergian Bianca serta reputasi brand nya saja sudah membuat kepala Jenara pusing, dan sekarang di tambah dia harus kehilangan satu karyawan lagi yang bisa dia andalkan.

“Iya, Mbak. Maaf sekali lagi. Gak ada masalah apa-apa, Mbak. Saya cuma mau fokus bantu catering Ibu saja dulu, soal nya lagi keteter kayanya.” ini hanya alasan Julian saja, enggak ada yang keteter dari usaha catering Ibu. Semua nya stabil, hanya saja Julian bingung harus memberi alasan apa.

Julian juga belum mendapatkan pekerjaan lagi, dia masih sibuk mencari pekerjaan di banyak platform. Sejauh ini Julian hanya ingin fokus pada dirinya sendiri sembari membantu usaha Ibu nya, dia juga masih proses memperbaiki hubungannya dengan Ibu.

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu, sudah seminggu juga Ibu enggak pernah ngajak Julian ngomong. Jujur saja suasana di rumah jadi enggak nyaman, di tambah Andra pun mengabaikannya. Makanya Julian mau fokus pada Ibu dan Adiknya dulu meski kepala nya masih belum mendapatkan jawaban dari siapa Ibu tahu soal dia dan Bianca.

“Yaudah kalau itu keputusan kamu, Jul. Saya juga enggak bisa nahan kamu, tapi saya tetap menyayangkan loh, Jul.”

Julian mengangguk, dia sejujur nya juga enggak enak sama Jenara. Atasannya itu udah cukup baik mau menerima dia bekerja di perusahaanya, seandainya dari awal Julian enggak pernah neko-neko mungkin dia masih bisa bertahan di kantor nya.

Setelah memberikan surat resign nya ke ruangan Jenara, Julian keluar. Dia kembali lagi ke meja kerja nya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Gak lama kemudian, Kian yang baru saja dari pantry itu mengekori Julian. Kian masih belum tahu kalau Julian habis memberikan surat pengunduran diri.

“Di panggil sama Buk boss lo, Jul?” bisik kian sembari mengekori Julian.

“Enggak, Mas.”

“Terus ngapain?”

Julian kembali duduk di kursinya dengan Kian yang menarik kursi milik meja lain agar bisa duduk di depan meja Julian, dia kepalang kepo sama apa yang Julian lakuin di ruangan Jenara. Ah, Kian emang selalu mau tau urusan orang.

“Gue abis ngajuin surat resign.”

“HAH??? RESIGN?!” pekik Kian yang berhasil membuat karyawan lain menoleh ke arah mereka.

“Lu bisa gak sih Mas gak usah over reaction?” Julian kan jadi kesal, kalau sudah begini pasti karyawan lain jadi tau kalau Julian akan mengundurkan diri. Pasalnya, dia malas banget di tanyain apa alasannya resign belum lagi kalau di mintai donat resign, ya gak masalah sih kalau soal makanan tapi di tanya-tanyanya itu loh.

Kian menaruh kopi miliknya di meja Julian dan mencondongkan badan nya ke meja Julian, mukanya juga tampak serius. “Kenapa sih tiba-tiba resign? Ada masalah?”

Julian menggeleng, “enggak ada, Mas. Gue cuma mau fokus kembangin usaha Ibu gue.”

“Ahhh...” Kian manggut-manggut, “ah iya ngomong-ngomong ada yang mau gue tanyain sama lo.”

Julian yang tadinya baru membuka email nya, jadi melirik ke arah Kian. Dia memang baru bertemu laki-laki itu hari ini, karena sejak kemarin Kian itu dinas di luar kota. Setelah pulang dari luar kota pun dia sibuk meeting di luar bareng sama tim nya.

“Ada apa?” tanya Julian penasaran.

“Soal malam waktu lo mabuk itu,” Kian melirik ke sekitarnya, mastiin meja kanan kiri yang ada di dekat meja Julian itu kosong enggak ada karyawan nya. Kian takut ada yang menguping percakapannya dengan Julian ini.

“Kenapa?”

“Lo ngeracau banyak banget.”

Deg...

Perasaan Julian semakin enggak karuan, dia enggak ingat sama sekali dia meracau apa saja. Yang ia ingat hanya ia di antar sama Kian, soal meracau dan di antar ke rumah alih-alih ke hotel pun Julian sama sekali gak ingat.

“Gue.. Ngeracau apa aja?” bisik Julian.

“Banyak banget, Jul. Lo jadi oversharing kalau mabuk. Mulai dari soal Ara, Ara itu siapa sih? Kayanya lo patah hati banget.” tuh kan Kian kepo lagi, tapi dia cuma sebatas kepo aja kok. Kalau Julian enggak mau jawab pun dia enggak akan ngorek-ngorek lagi.

“Temen gue, terus gue ngeracau apa lagi?” jawab Julian sekena nya, enggak perlu lah dia jabarin Ara itu siapa sama Kian.

Kian menghela nafasnya pelan, dia natap Julian yang sekarang ini kelihatan keringat dingin sekaligus penasaran sama jawaban dari Kian.

“Lo sama Bianca, lo bilang kalau lo nyesel udah tidur sama dia.”

Dan benar dugaan Julian, dia sendiri yang justru mengatakannya saat mabuk. Saat mendengar ini, kedua bahu Julian merosot dia menghela nafasnya dan mengusap wajahnya dengan gusar.

“Itu bener, Jul? Ya.. Kalau lo enggak mau jawab juga gapapa, tapi Ibu lo dengar soal ini. Beliau kecewa banget kayanya, gue juga nyesel sih gak anter lo ke hotel.”

Julian enggak jawab, dia terus menunduk. Merasa malu dan gak punya muka buat ngobrol sama Kian rasanya. “Selain itu ada lagi, Mas?”

“Gak ada, selebihnya lo cuma nangis doang.”

Julian mengangguk, “Mas, gue mohon sama lo jangan sampai ada yang tau lagi selain lo yah. Gue sama Bianca gak ada hubungan apa-apa, kemarin itu—”

Ucapan Julian tertahan, dia gak mau bahas soal Bianca lagi. Selain itu membuatnya membenci dirinya sendiri, dia juga jadi teringat sama kelakuan brengsek dan kata-kata terakhir yang Bianca ucapkan padannya. Rasa bersalah itu jadi muncul lagi.

“Pokoknya jangan kasih tau siapa-siapa yah, Mas. Tolong rahasiain ini.” Julian memohon, dia takut banget kalau berita ini sudah tersebar di kantor. Pasalnya Kian itu kadang terlihat tidak meyakinkan walau cukup baik dan dapat di andalkan.

“Iyee, lagian mau ngapain gue cerita-cerita sama yang lain? Tapi, Jul. Ini juga yang jadi alasan lo resign?”

“Itu juga, Mas. Gue mungkin mau keluar kota buat nenangin diri gue. Gue udah lari terlalu jauh banget.”

Kian paham Julian sedang patah hati meski laki-laki itu enggak bercerita secara langsung, gamang, Kian tahu hanya dari racauan Julian saja malam itu. Soal Bianca juga Kian enggak tanya-tanya lagi karena dari raut wajah Julian saja dia terlihat tidak nyaman.

Jadi sekarang Julian tahu dari mana Ibu nya bisa tahu tentang dia dan Bianca, jadi itu semua karena mulut nya sendiri. Tapi dengan kurang ajar nya dia nuduh Andra bahkan Bianca yang padahal kedua nya enggak tahu apa-apa, kalau sudah begini Julian jadi bingung harus bagaimana memperbaikinya.

“Jangan lari sebelum masalahnya selesai, Jul. Hadapin, kalau perlu minta maaf yah lo minta maaf, gue gak paham lo sama Bianca gimana. Tapi gue berharap kasus Bianca kemarin itu bukan karena ulah lo.”

“Enggak, Mas. Bukan gue, gue gak sejahat itu.”

Kian mengangguk, “yaudah, lanjut deh. Gue mau ke bawah dulu.”

Kian menepuk pundak Julian dan berlalu dari sana meninggalkan Julian yang masih di lingkupi perasaan bersalahnya, dia ngerasa harus datang ke kosan Bianca buat minta maaf. Mungkin dengan itu dia bisa sedikit lebih lega, persetan jika Bianca tidak mau bertemu atau bahkan memaafkannya, yang terpenting dia mau usaha dulu buat itu.

Setelah itu dia akan fokus memperbaiki hubungannya dengan Ibu dan juga Andra. Ah, rasanya kepala Julian mau pecah banget. Dia enggak menyangka patah hati akan memporak porandakan hidupnya begini.

Setelah membereskan semua barang-barangnya, Bianca memastikan kondisi kosan yang belum genap ia tempati sebulan itu sudah seperti semula saat ingin ia tempati. Beberapa hari ini Bianca memang terpuruk sekali, selain Ibu kost yang sudah tahu soal dirinya di internet. Sebagian anak kost lain juga sudah tahu.

Gak jarang mereka ngomongin Bianca di depan pintu kosan Bianca langsung, Bianca gak berani keluar. Kadang mengambil makanan dari layanan pesan antar yang ia pesan pun ia harus memastikan tidak ada siapa-siapa di sekitar depan pintu kosannya.

Selama itu juga Bianca mikir kalau dia enggak bisa hidup seperti ini terus, sampai akhirnya nama Ibu panti nya terlintas di kepala Bianca. Bianca akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi panti asuhannya lagi, bahkan gak menyangka kalau Ibu panti nya akan dengan senang hati menerima Bianca tinggal di sana untuk mengurus panti.

Besok Bianca akan pergi meninggalkan Jakarta, dia akan kembali ke kota tempat ia lahir dan di besarkan, Salatiga. Mungkin di sana Bianca bisa sembunyi sebentar sampai dunia mulai melupakan dirinya. Hari ini, Bianca juga memberanikan diri untuk bertemu dengan pria yang mengaku Ayah kandungnya itu.

Meski Bianca sendiri masih bingung dengan semuanya, tapi dia pikir dia enggak bisa terus menerus menghindari pria itu. Pria itu sudah mau datang dan memberikan penjelasan atas kebingungan Bianca, maka ia juga enggak bisa pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan dan berpamitan.

“Udah rapih semua.” Bianca senyum, dia juga ninggalin beberapa barang yang enggak mungkin dia bawa.

Setelah semuanya sudah rapih, Bianca pergi ke tempat ia dan pria itu bertemu. Bianca pikir ia yang terlambat datang dari jam yang sudah mereka sepakati, ternyata pria itu datang lebih dulu dari pada dirinya.

“Siang, Om.” sapa Bianca canggung, lidahnya masih keluh walau beberapa kali pria itu memintanya memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa.' ah, sebutan itu masih terlalu asing. Bianca enggak pernah manggil orang lain dengan sebutan Papa.

“Siang, Bianca. Duduk, kamu sudah makan siang?” tanyanya. Suaranya selalu terdengar ramah di telinga Bianca.

“Belum, Om.”

“Makan yah, Papa juga belum makan siang.”

Bianca mengangguk, dia dan pria itu memesan beberapa makanan untuk makan siang. Bianca memang belum makan, dan hari ini rasanya dia cukup menikmati menu makan siang nya setelah kemarin dia hanya pesan makanan siap saji.

“Saya senang kamu mau bertemu saya Bianca.” pria itu tersenyum, matanya berbinar. Benar-benar menggambarkan jika ia bahagia bisa melihat Bianca lagi setelah berhari-hari anaknya itu hindari.

“Sebenarnya ada yang mau saya omongin sama Om.”

“Mau ngomong apa?”

Bianca menaruh sendok dan garpunya di atas piring miliknya, kebetulan dia juga sudah selesai makan. Ia mengulum bibirnya sendiri, mungkin ini akan terdengar mengecewakan untuk pria di depannya itu. Ah, kenapa rasanya Bianca jadi enggak sanggup buat menyakiti pria di depannya itu. Dia gak mau tatapan berbinar hangat itu hilang setelah ia mengatakan hal ini.

Bianca jadi ingat, beliau pernah bilang ingin menebus waktu-waktu yang telah ia telantarkan selama ini. Ia ingin mengenal Bianca lebih banyak, berbicara lebih banyak, dan menghabiskan waktu lebih banyak. Tapi justru sekarang Bianca memilih menjauh lagi.

“Bianca?” panggilnya karena Bianca diam saja.

“Om?”

“Ya?”

“Saya mau pulang ke Salatiga. Mungkin saya akan tinggal di sana, di panti tempat saya tinggal.” Bianca memberanikan diri untuk melihat wajah pria itu, benar kan. Senyuman itu pudar di gantikan wajah bingungnya.

“ada apa, Bianca?”

“Saya di usir dari kosan, saya enggak tahu mau kemana lagi. Saya juga ngerasa bisa aman kalau saya pulang ke panti.”

“Kamu punya rumah, Bianca. Ikut pulang ke rumah Papa.” pria di depannya itu baru berani mengajak Bianca untuk tinggal di rumahnya setelah Istrinya itu meninggal, soal Damian? Ah, laki-laki brengsek yang menjadi Kakak dari Bianca itu sudah tidak ada lagi. Dia sudah tinggal di luar negeri bersama istrinya setelah menyepakati untuk mengelola bisnis keluarga di sana.

“Saya mau menyembuhkan luka saya dulu, Om. Jujur aja, ini semua bikin saya bingung. Saya masih belum bisa terima semua kenyataan yang terlalu tiba-tiba ini.”

Ini memang sulit buat Bianca, meski enggak bisa di pungkiri kalau dia sendiri memiliki sedikit rasa bahagia karena telah mengetahui asal usulnya. Tapi tetap saja merasakan hari-hari biasa yang ia jalani, tiba-tiba seorang pria datang mengaku sebagai Ayahnya selama ini. Bianca masih sering bingung dan mempertanyakan ini mimpi atau bukan.

“Maafin Papa yah, Bianca.” pria itu menunduk, enggak ada hari dimana dia merasa tidak menyesal atas semua perbuatannya pada putrinya itu.

“Saya enggak nyalahin Om kok, selain tahu kalau saya punya keluarga. Ada masalah yang bikin saya memang harus pergi.”

Melihat pria di depannya merasa bersalah, Bianca jadi enggak enak. Hati nya merasa sakit juga, apakah ini yang di sebut ikatan batin antara Ayah dan putrinya? Pikir Bianca.

“Ada yang bisa Papa bantu, Bi? Papa bisa bantu Bianca.”

Bianca mengalihkan pandanganya ke arah lain, mendengarnya menyebut dirinya sendiri Papa membuat hati Bianca terenyuh. Ia ingin memanggil seseorang dengan sebutan Papa dulu, tapi sekarang rasanya lidahnya terlalu keluh untuk menyebutnya.

Kesendirian, sebatang kara itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Bianca. Bahkan dia sudah berdamai dengan itu semua walau Bianca kecil dulu sering merengek menginginkan orang tua.

Bianca hanya menggeleng. “Saya cuma butuh waktu sebentar.”

Pria itu mengangguk, berusaha untuk menghargai keputusan Bianca. Toh ia masih bisa mengunjungi Bianca sesekali ke Salatiga, pria itu juga tahu soal masalah Bianca dengan foto-foto itu, mungkin saja dengan menjauh dari Jakarta. Putrinya itu bisa pelan-pelan menata hidupnya kembali. Ya, ia harap begitu.


“Eh, Ra. Tapi serius loh Kak Yuno perfect husband banget. Lo ngidam minta beliin tiket konsernya NCT127 langsung di beliin,” ucap Cindy.

Mereka saat ini sedang menuju perjalanan ke Indonesia Arena buat nonton konsernya NCT yang Ara minta sejak 2 bulan yang lalu. Sudah dengan persetujuan Yuno kok, walau Yuno masih suka prengat prengut kalau Ara lagi bahas soal konser apalagi lagi bahas Jaehyun.

“Itu juga gue harus ngerayu-rayu manja-manja dulu ke dia, Cin. Dia tuh cemburuan.” Ara ngolesin tengkuknya pakai minyak angin, kebiasaan banget mabuk darat kalau lagi macet kaya gini. Mana supir taksi online nya bawa mobilnya juga enggak enak, gimana Ara enggak makin mabuk darat coba.

“Cemburu ama siapa?”

“Sama Jaehyun,” gumam Ara.

“Hah? Jaehyun? Mmmpp,” Cindy nahan ketawanya, karena lucu aja seorang Aryuno bisa cemburu sama cowok yang gak mungkin bisa di gapai sama Ara, Jaehyun tau Ara hidup juga enggak. Kalau sama cowok-cowok yang berada di sekitar Ara sih yah wajar-wajar aja menurutnya.

“Iyaaa, aneh kan. Sensi banget dia tuh.” Ara masih inget banget gimana muka Yuno waktu mereka lagi face time dan Ara nunjukin slogan Jaehyun yang baru dia beli buat konser.

“Tapi yah, Ra. Kalau kata lo gantengan Kak Yuno atau Jaehyun?”

Cindy ini emang aneh banget, masa bikin pertanyaan kaya gitu? Ini sih lebih susah dari suruh ngerjain soal kalkulus. Ara mikir sebentar, kalau di lihat sih dua-dua nya ganteng, tinggi dan punya karisma nya sendiri. Apalagi Yuno itu setinggi Jaehyun ya walau sekarang Yuno tuh agak berisi beda sama jaman SMA yang badannya agak kurus buat cowok setinggi 180cm.

“Yah, Jaehyun lah. Tapi Mas Yuno juga ganteng lah, gue kan suka doang sama Jaehyun. Kalo sayang mah tetep sayangan sama Mas Yuno.”

“Yee... Dasar..” Cindy menyenggol bahu Ara.

Sebenarnya dari sebelum berangkat ke venue konser, nafas Ara agak sedikit pendek. Tapi dia tahan karena hari ini konsernya, katakan memang Ara agak sedikit egois kali ini. Dia lebih mentingin konser ketimbang kesehatannya sendiri, tapi ini tuh benar-benar konser impiannya banget. Waktu NCT konser disini, dia masih kuliah dan enggak ada waktu buat sekedar konseran.

Waktu NCT datang lagi di tahun berikutnya, hari itu juga bertepatan sama hari Ara wisuda. Makanya tahun ini tuh dia ngerasa beruntung banget bisa nonton konsernya. Sesampainya di venue, mereka masih nunggu sampai gate nya di buka.

Ara sempat excited banget karena dapat freebies dari fans-fans lain. Ara pikir tadinya dia di suruh bayar, agak malu sebenarnya. Kalau Cindy dia sih udah sering banget konseran berdua sama Kinan kadang juga dia ajak Bintang pacarnya makanya dia udah enggak kaget kalau di kasih freebies, bahkan Cindy juga bawa beberapa freebies yang dia siapin sejak 2 minggu sebelumnya.

“Eh, Ra. Lo kenapa?” tanya Cindy waktu tiba-tiba Ara jongkok.

Ara menggeleng. “Gapapa, Cin.”

“Serius? Lo gak enak badan? Di mobil tadi lo udah pake minyak angin terus jir, gue takut lo kenapa-kenapa. Mana lagi bunting,” oceh Cindy panik, dia beneran khawatir banget Ara kenapa-kenapa. Dia enggak mau di salahin sama Yuno atau keluarganya kalau Ara drop di venue.

“Cin, boleh minta tolong ambilin inhaler gue di tas gak?” Ara ngomong pelan banget karena rasanya napas nya makin susah.

“ASMA LO KAMBUH, RA?” pekik Cindy yang di balas anggukan oleh Ara.

“Cepetan ambilin!!”

Akhirnya Cindy cepat-cepat ambil inhaler milik Ara di tas nya dan bantu Ara buat makai benda itu, Ara menjamin matanya sebentar. Agak sedikit lega walau enggak selega itu, setidaknya dia bisa bernafas sebentar.

“Ra? Pulang aja yuk?” Cindy beneran khawatir banget sama Ara, rasanya dia udah gak perduli lagi kalau tiket nya hangus dan dia gak jadi nonton asal Ara enggak kenapa-kenapa.

“GATE CAT 1 UDAH DI BUKA.”

Staff yang berjaga di gate sudah memberi pengumuman, hal itu juga yang membuat Ara memaksakan dirinya untuk berdiri dan berusaha terlihat baik-baik saja. Walau dalam hati dia merasa bersalah sama bayi nya, Ara yakin kalau dia enggak full make up pasti mukanya udah pucat sekali.

Ara jadi ingat terakhir kali asma nya kambuh itu waktu dia OSPEK di kampus, setelah itu asma nya enggak pernah kambuh lagi.

“Yuk, Cin masuk. Gate nya udah di buka.” Ara narik tangan Cindy buat jalan ke gate nya, nafasnya masih sedikit tersengal-sengal tapi dia paksakan buat terlihat biasa aja. Dia gak mau Cindy maksa dia buat pulang.

“Ra.. Ra balik aja yuk, gue yakin deh lo gak baik-baik aja. Asma lo tuh kambuh, nanti kalau lo kenapa-kenapa gimana?” Cindy nahan tangan Ara buat masuk ke gate.

Ara yang mendengar itu jadi dilema banget, dia ngerasa egois kalau tetap memaksakan masuk. Tapi ini benar-benar konser impiannya, dia juga ngerasa rugi kalau sampai enggak nonton.

“Ra? Lo tuh udah jadi Ibu, lo bukan cuma ngidupin diri lo doang. Ada anak lo juga, ayolah jangan egois. Kita bisa nonton mereka kapan aja, kalo perlu kita samperin ke Korea juga bisa laki lo kan tajir mampus, si Jaehyun suruh ke rumah lo juga bisa nanti.”

Ara mengulum bibirnya sendiri, setelah cukup lama berpikir akhirnya ia mengangguk. Cindy benar, dia enggak boleh egois buat nurutin keinginannya doang tanpa memikirkan anaknya. Karena sesak nya belum kunjung reda, dari venue pun Ara sama Cindy enggak langsung pulang ke rumah Yuno. Cindy antar Ara ke rumah sakit dulu.

Di ruang pemeriksaan, Ara sempat di beri oksigen. Dokter cuma bilang dia kecapean dan memicu asma nya kambuh, dan untungnya enggak ada yang perlu di khawatirkan lagi Ara dan bayi nya enggak kenapa-kenapa.

“Cin, sorry yah. Gara-gara gue lo jadi gak konseran.” Ara ngerasa bersalah banget, dia gak enak sama Cindy karena gara-gara dia sakit Cindy jadi harus rela tiketnya hangus demi bisa nganterin Ara ke rumah sakit.

“Gapapa, Ra. Lagian gue udah sering liat mereka. Yang penting tuh elo gak kenapa-kenapa.”

Ara ngangguk, dia belum ngabarin Yuno. Takut Yuno marah karena tadinya Ara tetap maksa buat konseran. Masalahnya Yuno kalau sudah marah tuh beda banget, muka nya yang full senyum tuh berubah jadi cemberut aja. Belum lagi omongan nya yang beneran tegas banget.

Hari ini setelah pulang bekerja Julian langsung pulang ke rumah, dia juga beli martabak kacang dan keju kesukaan Ibu sama Andra. Dia mau memperbaiki hubungannya dulu sama keluarganya baru lah setelah itu Julian memantapkan diri untuk bertemu dengan Bianca.

Hari ini juga jadi hari terakhir Julian kerja di Ruby Jane, dia sudah pamit dengan semua karyawan di sana dan memberikan kenang-kenangan. Ada gantungan kunci yang Julian beli, bergambar kucing dan dia bagikan sama teman-temannya yang lain. Enggak lupa dia juga beli donat khas karyawan resign buat teman-temannya itu.

“Berapa, Mas?” tanya Julian waktu Abang tukang martabaknya itu ngasih 2 kotak martabak yang sudah jadi ke Julian.

“Jadi 70 ribu, Mas.”

Julian ngambil dompetnya dan ngeluarin uangnya buat bayar martabaknya, setelah itu dia langsung pulang ke rumah. Rasanya masih sepi, tapi hati Julian sedikit tenang setelah mendapati dirinya yang dulu berangsur-angsur kembali.

Sejujurnya, ada rasa rindu akan teman-temannya di kosan. Julian juga enggak enak sama Gita, Janu dan Kevin yang sering kali telfon atau kirim pesan ke Julian buat tanya kabar atau sekedar ngajak ketemuan sebentar, Julian jawab pesan-pesan dari mereka itu setelah beberapa hari kemudian dan mengatakan jika ia sedang sibuk.

kalau Chaka sih pernah beberapa kali, tapi enggak sesering Gita, Kevin dan Janu. Julian tahu Chaka masih di Bandung dan memang sedang mabuk kepayang sama pacarnya itu. kadang Julian suka ngiri sama Chaka, dia pernah ada di posisi yang rumit. suka sama pacar temannya sendiri, tapi itu juga terbayar ketika Chaka bertemu dengan Niken pacarnya sekarang.

ah, mungkin saja memang perjalanan Julian buat bertemu sama gadis yang menerima nya itu sedikit sulit, tapi gapapa. Julian masih mau fokus pada diri dan keluarganya dulu saja, begitu sampai rumah. ibu dan Andra kebetulan sedang makan malam, waktu Julian mengucapkan salam keduanya masih menjawab. namum hanya sekedar itu saja, tidak ada obrolan lagi.

“Buk, Ndra. ini Mas beliin martabak kacang sama keju kesukaan Ibu sama Andra, di makan yah.” Julian membuka dua kotak itu dan menaruhnya di meja makan.

ibu melirik martabak itu, sebenarnya enggak tega diamin Julian kaya gini berhari-hari. apalagi Ibu tahu Julian menjadi semakin pendiam, tapi rasanya Ibu masih kecewa banget sama si sulung itu.

“bukannya belum gajian?” tanya Andra, Andra juga sebenarnya enggak tega sama Mas nya itu. makanya waktu lihat Ibu enggak menanggapi ucapan Julian, Andra yang akhirnya menanggapi ucapan itu.

“emang belum, hari ini kan hari terakhir Mas kerja di Ruby Jane.” Julian senyum, dia buka tas nya dan ikut duduk di kursi meja makan setelah mencuci tangannya.

sontak ucapan Julian barusan membuat Ibu dan Andra saling melemparkan pandanganya satu sama lain, “kenapa? Mas di pecat?”

“enggak, Mas resign.”

“kenapa resign, Mas?” kali ini Ibu menimpali, enggak tega kalau Julian resign karena enggak konsentrasi bekerja karena Ibu mendiami Julian beberapa hari ini.

“gapapa, Buk. Mas mau fokus bantuin Ibu di catering sambil cari-cari kerja lagi, oh iya. Mas ada rencana kerja di Semarang, udah apply lamarannya, tinggal nunggu kabar nya aja lagi. doain yah, Buk.” Julian senyum, dia makan masakan Ibu nya. dari kemarin Julian enggak makan masakan Ibu karena sungkan.

“karna Ibu yah, Mas?” tanya Ibu sekali lagi, tuh kan Ibu jadi merasa bersalah.

Julian yang lagi makan dengan lahap nya itu berhenti, dia naruh sendoknya itu sebentar. “enggak, Buk. bukan karena siapa-siapa. Mas cuma ngerasa Mas terlalu jauh berlari sampai kehilangan diri Mas sendiri. Mas mau menjauh dulu dari Jakarta, Mas mau cari suasana baru.” Jelas Julian.

Andra mengangguk pelan, Julian benar. Andra juga merasa ia seperti kehilangan sosok Julian akhir-akhir ini. Julian Mas nya yang ia kenal itu memang seperti kehilangan dirinya, makanya waktu Julian memutuskan buat mencari suasana baru dengan bekerja di Semarang, Andra senang banget dengarnya.

ia cuma bisa berharap luka yang di rasakan Julian sembuh perlahan-lahan dan ia bisa berdamai sama dirinya sendiri.

“setuju! Andra juga pikir gitu, Buk. kali aja setelah tinggal di Semarang, Mas Ijul bisa lebih baik dan enggak kepikiran kalo di tinggal nikah Mbak Ara lagi. Apalagi sampe nyari pelarian dan nyoba-nyoba jadi anak begajulan enggak jelas.”

“sialan!” hardik Julian, dia nyengir dan menyenggol bahu Adik nya itu.

“yasudah kalau begitu, kebetulan kan Pakle sama Bulek mu itu masih di sana. kamu bisa sekalian nemenin mereka, kan mereka gak punya anak.”

Julian mengangguk, dia pikir juga begitu. “iya, Buk.” Julian menarik nafasnya, dia ngerasa harus minta maaf lagi yang benar sama Ibu dan juga Andra.

“Buk, Ndra?”

“ya, Mas?” ucap Ibu dan Andra bersamaan.

“maafin Mas yah, Mas gak bermaksud kecewain kalian. Mas benar-benar gelap mata kemarin, Mas janji kejadian kemarin enggak akan terulang lagi.” Julian benar-benar lega sekarang, apalagi saat lihat Andra tersenyum dan mengangguk kecil.

“gue maafin, awas aja lo jadi bajingan lagi kaya kemarin. gue tonjok lu, Mas. maaf juga yah kemarin gue udah enggak sopan banget sama lu.” Andra juga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun sikap nya kemarin bikin dia ngerasa kurang ajar banget sama Julian. diam-diaman sama Mas nya itu juga bikin Andra enggak nyaman.

“kalo Ibu gimana? maafin Ijul kan, Buk? a..atau belum?” gumam Julian.

Ibu menghela nafasnya pelan, beliau memberi isyarat dengan menepuk kursi di sebelahnya. mengisyaratkan pada Julian untuk duduk di sebelahnya.

“Ibu mau tanya sama Mas. kenapa Mas bisa sampai melakukan hal itu sama Bianca?”

Julian menunduk, ternyata Ibu masih menuntut jawaban akan hal itu, Pikirnya.

“Mas mabuk, Buk. memang enggak sepenuhnya mabuk waktu itu. tapi semuanya berawal karena mabuk. maaf yah, Buk. Mas enggak akan kaya gitu lagi, nanti Mas juga bakalan minta maaf sama Bianca karena udah kurang ajar sama dia.”

Ibu mengangguk, lega mendengarnya. Ibu enggak paham pergaulan anak sekarang itu seperti apa, tapi menurut Ibu. kelakuan Julian itu sudah kurang ajar, terlepas dari keduanya mau sama mau.

setelah mendengar itu, Ibu merentangkan tangannya memeluk Julian erat. Ibu benar-benar merindukan si sulung itu, si sulung yang terlalu mengcopy dirinya seperti mendiang Ayahnya itu.

“maafin Ibu juga yah, mulai hari ini Mas kalau ada apa-apa tuh cerita. enggak boleh cari pelarian seperti kemarin lagi, yah.”

Julian mengangguk, dia menitihkan sedikit air matanya. menyesal dan merasa lega karena Ibu telah maafkannya. “maafin Ijul yah, Buk.”

“dihh Andra gak di ajak kebiasaan!” gerutu Andra yang membuat Ibu dan Julian tertawa.

Ibu langsung melambaikan tangannya, menyuruh Andra untuk duduk di sebelahnya dan memeluk Ibu juga. malam itu jadi malam yang kembali hangat seperti malam-malam sebelumnya, Julian juga lega banget rasanya. sekarang tinggal ia menyiapkan diri untuk meminta maaf sama Bianca besok.

Julian masih diam berdiri di pagar depan kosan Bianca berada, dia parkirkan motornya begitu saja di depan sana dan menimang-nimang pikirannya untuk tetap masuk ke dalam atau tidak. Julian bukan takut di usir, tidak sama sekali. Kalau pun nantinya Bianca mau mengusirnya itu tidak menjadi masalah untuk Julian. Dia pantas mendapatkan itu, hanya saja.

Julian takut kalau ia akan merusak suasana hati Bianca dengan kembali muncul di depannya, pasalnya terakhir kali mereka bertemu kan Bianca meminta Julian untuk tidak pernah menemuinya lagi. Julian mencabut kunci motornya dan menghela nafasnya, masih memandang pintu kamar kost Bianca tanpa mencobanya masuk, pengecut memang. Julian merasa dirinya juga seperti itu saat ini.

Tidak lama kemudian karena merasa ada orang asing mencurigakan berdiri depan pagar, seorang penghuni keluar untuk bertanya pada Julian. Takut-takut Julian adalah rampok yang sedang membaca situasi keadaan kosan saat lengah.

“Cari siapa, Mas?” tanya Ibu-Ibu paruh baya yang memang di tugaskan untuk menjaga kosan.

Kosan tempat Bianca tinggal itu memang agak sedikit bebas, kosan campuran yang berbentuk leter U dengan sisi kanan di isi oleh kosan laki-laki dan sisi kiri di isi oleh kosan perempuan. Penghuni nya juga di perbolehkan untuk menerima tamu walau tetap saja ada jam malam yang harus di patuhi.

“Cari Mbak Bianca, penghuni baru yang belum lama pindah.”

“Oh.. Mbak Bianca udah pindah, Mas. Di usir sama Ibu.”

Kedua mata Julian membulat, apa katanya? Di usir? Dia enggak salah dengar kan? “Di usir? Kenapa, Buk?”

“Iya, Mas. Soalnya Mbak Bianca bikin gak nyaman penghuni lainya, akhir-akhir ini banyak laki-laki kaya pengawal mondar mandir naruh makanan di depan pintu nya, Mbak Bianca juga enggak mau ngambil sampai pada basi terus bau. Terus ada lagi, waktu itu laki-laki yang agak tua ngetuk-ngetuk rumahnya. Pas di tanya katanya itu Ayah nya Mbak Bianca,” jelas Ibu-Ibu itu yang bikin Julian makin tercengang.

Ayah Bianca? Bukanya Bianca yatim piatu? Julian masih ingat banget bagaimana Bianca cerita kalau dia besar di panti asuhan, apa Ayah yang di maksud ini adalah orang tua yang mengadopsinya? Tapi kenapa baru muncul sekarang? Pikir Julian.

“Te..terus sekarang Mbak Bianca pindah ke mana?” setidaknya Julian harus tahu kemana Bianca pergi, wanita itu enggak punya siapa-siapa lagi. Lalu, kemana Bianca pergi?

“Aduh.. Saya juga enggak tau, Mas. Enggak bilang dia.”

Kedua bahu Julian merosot, sekarang dia kehilangan jejak Bianca. Ah, tidak dia masih bisa menghubungi wanita itu. Ia masih menyimpan nomer Bianca, kalau pun Bianca tidak menjawabnya. Mungkin dua teman Bianca itu tahu kemana Bianca pergi, setidaknya Bianca pasti berpamitan pada keduanya kan.

“Ya..yaudah, makasih banyak, Buk.”

“Sama-sama, Mas.” begitu mendapatkan penjelasan tentang siapa laki-laki yang sedari tadi berdiri di depan kosan. Ibu penjaga nya masuk kembali, tidak lupa ia mengunci pagar kosan kembali.

Sementara Julian masih tetap di sana, ia merogoh kantong celana nya dan mengambil ponselnya dari sana, mencari nomer telfon Bianca dan mencoba menghubunginya lagi. Tapi sayangnya nomer Bianca enggak aktif, di kirimi pesan singkat pun tidak terkirim bahkan sosial media milik wanita itu juga menghilang. Julian jadi tambah lemas, kayanya kalau enggak dapat maaf dari Bianca. Setidaknya dia tahu dimana Bianca berada dan memastikan wanita itu baik-baik saja.


Hari yang di tunggu-tunggu Ara akhirnya tiba, hari ini dia akan pergi ke Jerman untuk menyusul Yuno. Mungkin Ara agak sedikit lama di sana, sekitar 1 sampai 2 bulan mungkin. Ara enggak sendirian kok dia di temani sama Reno. Karena sejak insiden asma nya kambuh orang tua, mertua serta Suaminya itu jadi tambah overprotektif sama dia.

Pagi ini Ara berangkat dari Bandara Soekarno Hatta sama Arial yang kebetulan juga lagi ada di Jakarta, Arial lagi dinas di Jakarta sekaligus jenguk kedua orang tua nya. Ada Gita juga sebenarnya, tapi Gita enggak ikut antar karena pagi ini kedua anak kembarnya itu sedang rewel.

“Pokoknya kalau udah sampai di Singapur kamu harus kabarin, kalo flight lagi juga kabarin. Termasuk kalau udah sampai di Heidelberg,” oceh Arial panjang lebar di ruang tunggu, karena berangkat dari Soekarno Hatta, Ara harus transit dulu di Singapur dan keesokannya baru melanjutkan perjalananya ke Jerman.

“Iya, Mas iya.. Kan aku juga pergi nya sama Reno.”

“Mas Ril mau nitip sesuatu gak sama Reno? Mau open jastip nih,” tanya Reno.

Reno ini ngide buat open jastip buat teman-teman kampus nya kata dia uangnya lumayan buat tambahan dia pergi ke Jepang. Ara sih terserah saja, soalnya nanti pun Reno yang akan pulang duluan. Dia mungkin di Jerman hanya seminggu sampai sepuluh hari, pulang ke Indonesia nya nanti Ara akan di jemput sama orang tua Yuno, sekalian keduanya menjenguk keadaan Yuno di Heidelberg.

“Gaya amat bocil,” ledek Arial.

“Yeee serius ini, Reno buka jastip. Lumayan buat tambah-tambah ke Jepang, abis Papa gak mau nambahin lagi, katanya Reno harus usaha sendiri karna Papa udah bikinin passport sama visa.”

Sebenarnya buat nambahin budget Reno ke Jepang Papa masih sanggup kok, hanya saja Papa mau lihat bagaimana usaha Reno buat dapatin apa yang dia mau. Kadang Reno inisiatif buat bantu Papa kantor biar dapat gaji, bikin usaha brownies sama Karina sampai opsi sekarang ini nih. Buka jastip barang, skincare, make up sama makanan dari Jerman. Kayanya apapun Reno bakalan lakuin supaya bisa nabung ke Jepang deh.

Oh iya, Reno sama Karina itu punya usaha kecil-kecilan. Keduanya open PO brownies, ya tentunya Karina yang buat Reno bantuin kok kadang, walau Reno lebih sering promosiin dan ngatar brownies-brownies buatan Karina. Nama brownies nya tuh Kulacino, yang artinya genangan air yang ada di atas meja ketika minuman dingin di letakan dan embun nya berubah menjadi air.

Reno yang kasih nama, katanya dia dapat ide itu waktu lagi minum kopi dan lihat ada genangan air nya terus tiba-tiba aja jadi punya ide buat buka PO brownies sama karina dan nabung buat ke Jepang. Gak tau deh kenapa Reno pengen banget ke Jepang, apa yang mau dia lihat di sana, pikir Ara.

“Gausah, Mas pesen brownies aja buat teman-teman kantor Mas.”

“Ahhh itu sih pesan nya sama Karin, tapi nanti Reno bilangin. Mau pesan berapa?”

“10 kotak aja gausah banyak-banyak,” jawab Arial enteng, teman-teman kantor nya itu pasti nodong oleh-oleh tiap kali Arial dalam perjalanan dinas.

“Gilaaa, Mas mau jualin? Tapi oke deh. Noted, nanti Karin, Reno suruh ngehubungin Mas buat nanya mau variant apa aja.”

Di perjalanan Ara lebih banyak diam, dia tuh udah nyiapin kejutan buat Yuno nanti. Salah satunya adalah soal gender anak mereka, Papa, Mama, Bunda dan Papa nya sudah tahu karena kemarin Ara USG dan dokter Bagas ngasih tau kalau bayi nya perempuan.

Waktu dengar itu Ara bahagia bukan main, walau gender apapun yang di beri Tuhan, Ara tetap syukuri kok. Dia jadi sering bayangin dan ngajak ngobrol bayi nya akhir-akhir ini. Kaya mikirin lebih dominan dengan siapa nanti wajahnya atau bakalan punya lesung pipi atau engak kaya Yuno. Mikirin itu semua bikin Ara jadi senyum, dia jadi bisa ngerasain anaknya di dalam sana mulai bergerak menendangnya.

“Aw..”

“Kenapa, Kak?” rintihan Ara barusan bikin Reno yang lagi sibuk ngelist jastipan teman-temannya itu menjatuhkan ponselnya ke pangkuannya.

“Gapapa.” Ara menggeleng. “Ini keponakan kamu nendang.”

“Kirain kenapa, bikin kaget aja.”

Mendengar omongan Reno yang nyebelin di telinga Ara itu bikin Ara jadi sensi sendiri, apa katanya? Kirain kenapa? Dia pikir ada bayi di perutnya terus nendang itu enggak bikin risih apa, Pikir Ara.

“Kok gitu? Kamu pikir enak di tendang kaya gitu?” Ara sewot.

“Ih, bukan gitu maksud Reno, Kak.” Reno menggaruk belakang kepalanya yang enggak gatal itu, Kakaknya yang udah demen ambekan itu jadi tambah sesitif semenjak hamil, Reno jadi serba salah. “Maksud Reno tuh—”

“Udah lah, nyebelin kamu. Awas minta jajan di sana gak bakalan Kakak jajanin. Gak bakalan Kakak anterin nyari jastip nya juga.” Ancam Ara.

“Dih, Kakak. Jangan gitu Kakkk.. Usaha Reno ini.”

“Bodo amat.”

Dering dari ponsel Yuno yang ia taruh dimeja sebelah ranjangnya itu membangunkan Yuno dari tidurnya, dia raba benda persegi panjang panjang itu dan dia geser tombol hijau nya ke atas.

“Hallo?” gumamnya, Yuno masih mengantuk. Matanya juga masih terpejam, bahkan dia sendiri enggak tahu siapa yang menelponnya sepagi ini, yang terpenting ia angkat dulu saja Kalau-kalau itu telfon penting.

Mas, aku udah sampai di Berlin yah. Kamu mau jemput, apa aku naik taksi aja ke apart kamu?

Begitu mendengar suara Istrinya di sebrang sana, mata Yuno yang tadinya lengket banget enggak bisa kebuka saking mengantuknya itu langsung terbuka lebar dan membulat. Dia liat jam di ponselnya yang sudah menunjukan jam 9 pagi.

“Eng..gak usah aku jemput aja sayang.” Yuno bangun dari ranjangnya, di samping ranjang tidur Yuno itu ada lemari kayu dengan cermin setengah badan di sana. Setelah melihat pantulan dirinya di cermin, Yuno kaget bukan main waktu mendapati rambutnya berubah warna jadi blonde. Seingatnya dia gak pernah cat rambut.

“HAH???!” pekik Yuno kaget.

Mas, kenapa?

Yuno memejamkan matanya, dia mencoba untuk terdengar biasa saja supaya Ara enggak bingung. Karna dia sendiri pun bingung tapi sudah dapat Yuno pastikan biang kerok mana yang mengubah rambutnya menjadi blonde seperti ini.

Jeff sialan, awas aja gak akan gue biarin lo belanja-belanja lagi.

“Ng..gak papa, Sayang. Hm.. Kamu kok gak landing di Frankfurt? Kan lebih dekat dari sana ke Heidelberg kenapa ke Berlin?” dulu waktu Ara ke Heidelberg pertama kali itu dia langsung landing di Frankfurt jadi Yuno enggak jauh jemputnya.

aku pesan yang transit di singapur, Mas. Mau ada yang di beli, terus juga kan aku berangkatnya dari Soekarno Hatta enggak dari Bali.

Memang ada yang mau di beli dulu di Singapur, Ara kangen makan mie yang sangat terkenal di sana. Dulu dia pernah sekali ke Singapur waktu jaman SMA kelas 11, sama Echa. Berdua doang karena cuma bermodalkan nekat, itu pun mereka ngirit setengah mati karena bawa uang pas-pasan.

Yuno mengangguk, “yaudah, kabarin aku kalau sudah sampai stasiun yah. Nanti aku jemput.”

see you, Mas. I love you.

love you too my wife

Setelah memutuskan sambungan telfonnya, Yuno buru-buru mencari buku penghubungnya dengan Jeff. Ternyata di buku itu memang Jeff menuliskan sesuatu, Jeff bilang dia mengambil alih diri Yuno ketika Yuno sedang istirahat dan tertidur di ruang istirahat dokter. Jeff benci Yuno masih mau di suruh-suruh sama Senior nya di rumah sakit dan sebagai hukuman karena Yuno enggak bisa tegas, Jeff mengubah rambut nya dengan warna blonde.

Membaca tulisan tangan Jeff itu bikin Yuno mengepalkan tangannya, masih pagi saja alter nya itu sudah membuatnya dongkol setengah mati. Kalau begini caranya dia harus segera ke salon untuk mengembalikan rambut hitamnya sebelum Ara tiba di Heidelberg.

Jeff tahu soal seniornya itu karena Jeff membacanya di buku penghubung mereka, selain itu ingatan Yuno saat Jeff mengambil alih tubuhnya itu di rasakan oleh Jeff seperti mimpi atau de javu, makanya Jeff bisa tahu itu semua.

Jadi buru-buru Yuno mandi dan setelah itu pergi mencari salon terdekat, ini akan membutuhkan waktu lama karena rambut nya tebal. Sebenarnya selama Yuno di Jerman, intensitas Jeff menguasai dirinya itu sudah sedikit jarang apalagi di masa ia sudah kembali bersama Ara.

Jeff lebih sering muncul ketika Yuno pertama kali menginjakan kakinya ke Jerman, apalagi waktu dia masih mengikuti kelas bahasanya. Jujur saja, Agak sedikit bersyukur karena Ara landing di Berlin bukan di Frankfurt, kalau Ara melihatnya begini bisa bingung setengah mati dia. Ara bisa nanya-nanya dan Yuno enggak punya jawaban untuk itu. Karena dia enggak pernah ada niatan bahkan rencana sekalipun buat mengubah warna rambutnya.

Setelah rambut nya sudah kembali hitam, Yuno langsung bergegas kembali ke apartemen nya sebentar. Membersihkan apartemen nya yang sedikit berantakan karena kertas-kertas dan buku-buku bekasnya belajar kemarin.

Dan tidak lama kemudian ada pesan masuk dari ponselnya, itu dari Reno. Dia bilang sudah sampai di Heidelberg, jadi buru-buru lah Yuno menyambar kunci mobil miliknya dan pergi menjemput Ara dan Reno. Oh iya, Yuno memang membeli mobil di Jerman. Papa yang suruh dari pada Yuno harus ke kampus naik transportasi umum terus katanya.

Begitu melihat Istrinya sedang duduk di stasiun, Yuno langsung berlari kecil, ia tersenyum dan begitu dekat ia langsung membawa Ara ke pelukannya. Menghirup banyak-banyak aroma yang sangat ia rindukan berbulan-bulan itu, dan Yuno sadar ada yang menghalangi di antara pelukannya dengan Ara, perut Istrinya itu yang bertambah buncit dari foto yang Ara kirimkan 2 bulan yang lalu.

“Gemes, sekarang kalau pelukan udah gak bisa rapet lagi. Udah ada yang ngehalangin,” Yuno terkekeh pelan sembari mengusap perut buncit Istrinya itu.

“Kan jadi meluk dua orang, Mas.”

Yuno mengangguk pelan, “Reno kemana?”

Yuno celingak-celinguk soalnya dia enggak melihat Reno padahal Ara duduk di antara dua koper besar dan juga paper bag yang Yuno sendiri enggak tau apa isinya.

“Lagi ke toilet, Mas. Nanti juga balik kok.”

Malam nya Yuno banyak ngobrol sama Reno, mulai dari kuliah anak itu, usaha kecil-kecilan Reno sama Karina, tentang bola ah, apa saja. Kalau keduanya sudah bertemu memang pasti ada saja yang bisa di bicarakan. Selain akrab sama Yuda karena memang mereka berteman, Yuno itu juga akrab banget sama Reno dan Papa mertua nya. Mereka seperti perkumpulan orang-orang yang satu frekuensi kalau sudah mengobrol, sampai lupa waktu kadang.

Sementara Ara sibuk nyiapin sup ayam yang lagi dia buat, tadi mereka sempat belanja. Yuno sudah bilang kalau mereka bisa makan di luar saja tapi Ara ngotot buat masak aja, enggak mau Yuno bantu pula. Padahal Yuno khawatir banget, takut istrinya itu kecapekan karena perjalanan dari Jakarta ke Heidelberg itu 25 jam kalau di total.

“Nih, Mas jeruknya. Tadi aku sempat ke toko buah-buahan di Berlin.” Ara naruh piring berisi jeruk yang udah dia kupas bersih biar Yuno bisa langsung makan, sup nya dia tinggal dulu karena ayam nya belum begitu empuk.

“Suapin, sayang.”

Sebelum nyuapin Yuno, Ara ngelirik Reno dulu yang lagi fokus sama ponselnya. Bocah itu lagi sibuk sama daftar belanjaan yang sempat dia beli seadanya dulu di Berlin. Setelah memastikan Reno gak perduli sama apa yang di lakuin Ara dan Yuno, barulah Ara menyuapi Suaminya itu jeruk yang dia udah kupas.

Yuno senyum, tapi enggak lama kemudian rasa ngilu menyerang pipi hingga rahangnya akibat rasa jeruk yang begitu asam. Tapi sebisa mungkin Yuno menjaga ekspresi wajahnya biar enggak kelihatan mengernyit.

“Manis gak, Mas?” tanya Ara.

“Manis kok. Enak, mau lagi sayang.”

Ara senyum, dia senang banget Yuno suka sama jeruknya dan ngerasa bangga karena udah berhasil milih-milih buah. Selama ini Ara tuh kalau milih buah payah banget sering banget dia milih buah yang belum matang lah, busuk lah, sampai rasanya yang asam.

Ara nyuapin satu jeruk lagi buat Yuno tapi pas dia mau cobain sendiri Yuno malah nahan tangannya dan masukin jeruk yang Ara pegang ke mulutnya sendiri.

“Ihh Mas aku kan juga mau,” rengek Ara.

“Kamu makan apel aja gih, di kulkas aku ada apel enak deh.”

Yuno naikin satu alisnya, deg-deg an banget takut Ara nyobain jeruk yang dia beli yang asam nya sampe bikin orang yang ngantuk berat kayanya langsung melek seketika.

“Aku mau cek sup nya dulu deh biar kita bisa cepat makan malam.” Ara berdiri dan ninggalin ruang tengah, dia balik lagi ke dapur buat memeriksa sup yang tadi dia tinggal.

“Aku bantuin ya sayang.” Yuno akhirnya menyusul, dia mau nyiapin makanan yang sudah matang itu ke meja makan. Biar Ara enggak kecapekan nyiapin semuanya sendiri.

Tapi di ruang tengah, Reno yang tadinya lagi asik memeriksa catatan jastip nya itu mengambil satu jeruk yang tadi Ara taruh di meja. Begitu satu suapan masuk, wajah cowok itu mengernyit dan memegangi wajahnya yang tampak linu.

“Kakak... Yang bener aje, ini jeruknya asem banget. Yang makan juga bisa kena asam lambung ini mah,” teriak Reno.

“Loh, Mas. Tadi kata kamu manis?” Ara natap Yuno yang sekarang sedang nyengir ke dia.

“Manis kok, sayang. Reno kayanya lagi apes aja sampai dapat yang asam deh.” alibi Yuno aja ini sih. Padahal dia tahu kalau Ara ngupas jeruknya cuma satu dan emang ukurannya lumayan besar sayang aja rasanya asam.

“Jangan di makan lagi ah kalau gitu, aku tuh emang gak bakat kayanya milih buah.”

Melihat Ara yang cemberut gitu bikin Yuno ngerasa gak nyaman, dia gak suka ngeliat Istrinya ngerasa enggak percaya diri karna suatu hal kecil yang gagal ia lakukan. Menurut Yuno itu wajar kok, hal-hal yang enggak bisa Ara lakukan lagi pula menjadi hal yang bisa Yuno lakukan. Yuno ngerasa pernikahan mereka itu saling melengkapi.

“Nanti aku ajarin yah caranya milih buah yang bagus tuh gimana, jangan cemberut gitu dong.” Yuno meluk Ara dari belakang yang lagi sibuk nyicipi rasa sup yang lagi dia masak, takut ada yang kurang. Tangannya mengusap lembut perut buncit Istrinya itu.

“Tapi tuh harusnya kamu gak usah makan tau kalau jeruknya asam kaya gitu, kalau sakit perut gimana?”

“Ini sekarang gak sakit, baik-baik aja.”

“Ih sekarang, kalo sakitnya nanti gimana?” Ara mengulum bibirnya sendiri, nyaman banget lagi masak di peluk sama Suaminya kaya gini.

“Ya jangan doain gitu dong.” Yuno senyum, dagu nya yang tadi dia tumpukan di atas kepala Ara itu kini pindah ke ceruk leher Istrinya. Menghirup aroma yang selalu bisa menyenangkan bagi Yuno itu dan mengecup lehernya.

“Ihh.. Geli, Mas. Centil banget sih.”

“Biarin, kan lagi nepatin janji kalau kamu udah disini mau aku ciumin terus.”

Keduanya terkekeh pelan, tapi enggak lama kemudian Reno masuk ke dapur buat ambil minum. Pantulan Reno yang masuk ke dapur itu kelihatan dari kaca yang ada di depan kompor listrik, dapur Yuno memang ada kacanya. Seketika pelukan itu terlepas, Yuno juga jadi sibuk ngambil-ngambilin piring dan dia taruh di meja.

Reno juga lihat kok apa yang tengah di lakukan Kakak dan Ipar nya itu, dia juga canggung tapi berusaha buat terlihat biasa aja. Lagi pula wajar saja kalau keduanya ingin bermesraan, sudah lama juga tidak bertemu dan lagi pula mereka adalah pengantin baru. Reno kan sudah dewasa, dia sudah bisa memaklumi apa yang keduanya lakukan kok, ya walaupun enggak lihat tempat sih. Mungkin ini juga jadi alasan awalnya Kakaknya itu enggak mau di antar siapa-siapa.

“Makan, Ren.” Yuno basa basi, soalnya Reno sekarang duduk di meja makan.

“Iya, Mas.”

“Mas Julian, besok menu makan siangnya apa?”

“Sayur capcay, ayam kalasan, sambel bawang sama buah nya ada pisang, Buk.” jelas Julian.

Seperti yang Julian bilang kalau dia bakalan fokus sama catering Ibu nya setelah mengundurkan diri dari Ruby Jane, Julian masih nunggu lamaran pekerjaan nya di terima di perusahaan yang ia lamar. Setiap hari yang Julian lakukan adalah belanja bahan-bahan, mengantar catering ke kantor-kantor untuk makan siang karyawan dan sore nya dia ambil lagi kotak makanan nya itu.

Akhir-akhir ini Julian juga nampak hidup kembali dan menikmati harinya, kadang kalau ada waktu dia sempatkan mengajak Ibu dan Andra jalan-jalan keliling Jakarta atau sekadar makan malam di luar. Ngomong-ngomong soal Bianca, Julian udah nyari tahu soal wanita itu ke temannya dulu di Ruby Jane tapi keduanya juga enggak tahu Bianca pindah ke mana.

Mereka bilang Bianca enggak pamitan dan bahkan sejak kejadian fotonya tersebar itu Bianca berhenti mengotak teman-temannya, perasaan Julian memang belum lega. Dan yang hanya bisa dia lakukan saat ini adalah berdoa, semoga dimana pun Bianca berada wanita itu tetap bertemu dengan orang-orang baik.

Setelah sampai rumah, Julian naruh tempat makan kosong dan menaruhnya di tempat cuci piring belakang agar karyawan Ibu nya itu bisa mencuci nya nanti.

“Mas, kayanya harus cari karyawan lagi deh.” Ibu yang duduk di meja makan itu tadi lagi megang catatannya, akhir-akhir ini memang hectic. Catering Ibu banyak yang memesan untuk acara pernikahan dan banyak kantor yang ingin bekerja sama untuk membuatkan makan siang karyawannya, makanya Julian juga kadang suka meeting keluar mewakilkan Ibu.

“Keteter yah, Buk?” Julian duduk di sebelah Ibu dan nuang air di gelas miliknya, haus banget habis ngambil box makanan ke kantor-kantor.

“Iya, terus Buk ijah yang biasa masak juga lagi sakit makanya Ibu bingung.”

“Yaudah, nanti Mas cari yah, Buk. Karyawannya.”

“Makasih yah, Mas.”

Julian mengangguk, “Mas ke kamar dulu yah, Buk. Capek banget.”

Julian masuk ke kamarnya, dia buka baju nya dan gantung baju itu di belakang pintu nya. Julian baru ingat seharian dia enggak buka surel miliknya, siapa tahu kan ada surel masuk dari perusahaan yang ingin merekrutnya.

Sembari bersiul Julian periksa satu persatu pesan di surel miliknya, ternyata masih banyak pesan masuk dari orang yang mau melamar pekerjaan di Ruby Jane, padahal lowongan itu sudah kadaluarsa, Julian sendiri enggak tahu kenapa. Tapi ada satu pesan balasan yang membuat Julian melongok kaget, itu adalah pesan balasan dari perusahaan yang menerima lamaran pekerjaan nya.

2 hari yang lalu memang Julian sempat interview, namun perusahaan yang ingin merekrutnya itu bilang bahwa nanti ia akan di kabari lagi. Julian sempat pesimis jika ia di tolak, namun siapa sangka kalau besok Julian sudah bisa mengambil surat dinas ke kantor nya.

“Buk.. Ibu..” Julian buru-buru keluar dari kamarnya buat nyari Ibu, berita baik ini harus Ibu dulu yang mendengarnya.

“Kenapa, Mas?”

Ternyata Ibu sedang ada di dapur, lagi memilah sayuran yang bagus untuk besok di olah. Dan begitu melihat Julian masuk dengan wajah sumringah sembari langsung memeluknya, Ibu jadi bingung ada apa dengan si sulungnya itu.

“Buk, Mas di terima di perusahaan yang waktu itu Mas lamar, besok Mas udah bisa ambil surat jalannya dan siap-siap ke Semarang,” jelas Julian.

alhamdulillah selamat yah, Mas. Ibu ikutan senang.” Ibu lepasin pelukan si sulung itu dan memegang wajahnya. “Pesan Ibu cuma 1 jangan aneh-aneh lagi yah, baik-baik di sana, jaga diri, jaga omongan kamu tinggal di kampung orang yah.”

“Iya, Buk. Siap, yang kemarin itu hari terakhir Ijul aneh-aneh kok.”

Julian harap ini bisa menjadi awal mula yang baik untuk dia, lagi pula dia bisa selalu pulang ke Jakarta buat jenguk Ibu. Di hari-hari terakhir ia di Jakarta, sejujurnya Julian ingin bertemu dengan teman-temannya. Ia ingin berkumpul sama Janu, Kevin, Chaka dan Gita. Tapi rasanya akan lebih baik kalau dia enggak menemui mereka, Julian takut semua memori tentang Bandung dan Ara akan terputar lagi di kepala nya.


Hari ini karena Yuno ada shift pagi, jadi Ara nemenin Reno keliling-keliling Heidelberg alih-alih gabut di apartemen. Gak lupa Reno juga yang merengek-rengek minta di temenin buat nyari jastip orang yang udah dia catat.

Awalnya Ara enggak mau, tapi tiba-tiba dia jadi teringat kalau dia mau beli baju bayi juga. Kayanya beli 1 atau 2 pasang enggak masalah, sebelum nanti dia belanja banyak baju bayi nya di Jakarta. Lagi pula udara di Heidelberg segar sekali, cuaca nya sedang cantik-cantiknya karena sudah memasuki musim panas.

“Yang ini sama ini emang beda nya apa, Kak? Perasaan sama aja deh.” Reno megang dua lipstik dari brand asli Jerman yang ada ditangannya, dia lagi nyari jastipannya Karina buat kado ulang tahun temannya bulan depan.

“Beda lah, yang ini nude yang ini berry kamu swatch di tangan juga warna nya kelihatan beda,” jelas Ara.

Selain nemenin Reno belanja, dia juga jadi ikutan milih lipstik kan tuh. Padahal tadinya Ara sama sekali enggak niat beli make up, dia cuma mau beli baju bayi dan baju untuk dirinya saja setelah itu mampir ke kedai gelato. Udaranya panas jadi pasti akan segar sekali kalau makan gelato siang-siang.

“Kalau ini juga sama kan sama yang ini.” Reno ambil satu lipstik dengan warna peach itu dan nunjukin ke Ara, dia bandingin warna nude sama peach yang ada di tangannya itu.

“Ish, beda Reno. Ini tuh nude lebih pucat dari pada peach, itu Karin nyuruhnya warna apa? Jangan nanya-nanya terus ah, kan Kakak udah bilang kalau itu warna nya beda.” Ara jadi dongkol sendiri soalnya Reno kebanyakan nanya dan ngeyel banget kalau di kasih tau.

“Ish galak banget!!”

Ara jalan ke lorong berisi foundation dan juga cushion, dia ambil satu foundation merk Dior di sana karna lagi diskon walau cuma 5% tapi kan lumayan. Sekalian dia mau review buat konten, akhir-akhir ini jadwal konten chanel Youtube nya jadi berantakan karna Ara hectic banget.

Padahal dia udah nyiapin materi apa saja yang mau di sampaikan buat konten nya, ah iya, dia lupa bawa tripod dan segala macam alat-alat penunjang bikin video. Biar lah nanti dia bisa suruh Reno bantuin.

“Kak?” tiba-tiba saja Reno nyamperin Ara, Ara udah mutar bola matanya malas aja karena pasti Reno mau nanya-nanya lagi.

“Kenapa?”

“Ternyata tinggal di Jerman enak juga yah, pantes aja Mas Yuno betah.”

Ara nyengir aja waktu Reno bilang gitu, ya memang nyaman untuk di tinggali. Tapi kalau awal-awal memang berniat tinggal dalam jangka waktu yang lama, bakalan banyak kesulitan juga kok salah satunya adalah budaya, bahasa, makanan dan kebiasaan orang Jerman yang sangat individualitas. Yuno pernah cerita soal kendala nya tinggal di Jerman waktu awal-awal pindah ke sana, apalagi waktu itu bahasa Jerman Yuno enggak sebagus sekarang.

Kalau Ara pribadi sih dia emang gak ada niatan buat merantau jauh ke negeri lain, dia udah cukup nyaman tinggal di negara nya dengan budaya yang beragam serta makanannya yang selalu cocok di lidah Ara.

“Ya kalau pertama kali kaya kamu tuh emang enak kelihatannya, tapi kalau kata Mas Yuno tuh sebenarnya agak susah juga terutama kalau ada kendala bahasa. Mas Yuno juga bilang kalau sampai sekarang lidah dia masih belum terbiasa sama makanan di Jerman.” jelas Ara, dia masih milih-milih shade cushion yang cocok sama kulitnya, ini kenapa jadi kalap belanja make up gini sih?

“Ya itu mah pasti, tapi seru aja lagi, Kak. Jadi anak rantau. Coba aja dulu Papa setuju Reno kuliah di Jogja pasti sekarang udah jadi anak rantau nih.” Papa emang gak setuju anaknya merantau jauh dari rumah, Ara merantau ke Bandung pun itu semua berkat Arial. Karna kalau enggak ada Arial enggak akan tuh Ara masuk ke kampus nya dulu.

“Ntar LDR sama Karin emang sanggup?” Ara noleh ke arah Reno yang tampak mengikuti langkahnya perlahan-lahan, Reno sudah selesai belanja lebih dulu tinggal bayar ke kasir aja tapi nunggu Kakaknya itu selesai belanja biar sekalian.

“Gatau deh, gak pernah LDR sama Karin. Emang LDR sesusah itu yah, Kak?”

“Susah banget, makanya dulu Kakak sama Mas Yuno sempat putus kan. Apalagi perbedaan waktunya yang cukup jauh. Tapi kalau cuma Jakarta Jogja sih yah kayanya enggak masalah.”

Reno menghela nafasnya pelan, dia jadi ingat waktu asma kakak nya itu kambuh gara-gara putus sama Yuno. Reno sempat kesal sama Kakak Iparnya dulu karena sudah bikin Kakak nya sakit, tapi waktu dengar kabar mereka balikan Reno ikut senang kok. Karena cowok yang bisa mengerti Kakaknya dan bikin Kakaknya bahagia itu cuma Yuno.

“Sebenarnya habis lulus kuliah juga Reno masih bingung mau ngapain, Kak.” Reno jadi curcol sama ke gundah gulana hatinya ini akhir-akhir ini, dia memang sudah memasuki semester tua. Berbeda dengan Karina yang sudah punya plan untuk lanjut S2, Reno ini masih bingung sama apa yang mau dia lakuin.

Kalau orang-orang di internet tuh nyebut ini fase quarter life crisis. Ara yang paham sedikit tentang hal ini tuh ngerti kok sama apa yang sedang Reno alami, karena ini semua wajar. Ara juga pernah berada di posisi ini dulu.

“Kenapa enggak kembangin Kulacino aja sama Karin? Kali aja bisa jadi toko bakery kan. Atau kerja sama Papa, kasian loh bisnis Papa kalau enggak ada yang nerusin. Kamu tau kan Mas Yuda udah jelas nolak karna alasan bisnis bukan passion dia?”

Reno juga sempat mikir gitu sih, buat bantu bisnis Papa nya itu. Soalnya Mas Yuda sendiri enggak pandai berkecimpung di dunia bisnis, toh di kampus Reno juga belajar tentang bisnis sedikit-sedikit. Tapi dia tuh cuma ngerasa kalau melanjutkan usaha Papa nya, sama saja dia enggak bisa berdiri di kakinya sendiri kan sama saja dia cuma melanjutkan aja enggak merintis dari nol.

Reno ngerasa kaya cuma dia yang di suapi, sedangkan Ara dan Yuda itu pandai di bidang mereka masing-masing. Mereka punya cita-cita yang mereka gapai karna usahanya sendiri yang di mulai dari nol.

“Iya sih, tapi takut jadi omongan karna cuma nerusin bisnis Papa. Kan Reno juga kepengen punya sesuatu yang Reno rintis dari nol, Kak.”

Ara berhenti sebentar dan noleh ke arah Reno, tumbenan banget adiknya itu curhat panjang lebar kaya gini. Biasanya Reno itu gengsian, anaknya lebih suka mendam atau lebih banyak cerita ke Bunda. Reno dan Ara itu lebih dekat sama Bunda, kalau Mas Yuda lebih dekat sama Papa tapi tetap aja Ara dan Reno kalau merengek meminta sesuatu pasti sama Papa, karna pasti langsung di kasih beda sama Bunda yang proses setuju nya lama banget.

“Yaudah, kembangin Kulacino sama Karin. Kakak lihat tuh usaha kamu sama Karina tuh bisa gede loh, Ren. Kalau di seriusin.”

“Emang iya, Kak?” Reno cuma enggak yakin aja, soalnya niat dia open PO brownies yang di beri nama Kulacino itu cuma buat tambahan budget dia ke Jepang liburan sama Karina.

“Beneran Reno, kamu tuh kenapa sih gak yakin banget? Karin aja sering keteteran bikin PO nya kan, apalagi kalo punya toko offline sendiri. Siapa tau dari usaha kecil-kecilan yang kamu bilang sementara itu bisa punya banyak cabang nantinya.”

“Iya juga sih yah, Kak. Tapi kalau Reno sama Karin niat seriusin, Kakak mau bantuin kan?”

“Iya, nanti Kakak bantuin promosi di instagram.”

Mendengar itu Reno jadi ketawa, dia sampai melupakan kalau Kakaknya itu influencer yang pengaruhnya besar banget. Bisa di bayangin kalau Ara promosikan Kulacino bakalan se membludak apa pesanannya.

“Bakalan Reno remember.” ucap Reno.

Malam ini Ara duduk di pinggir jendela kamar Yuno berada, menyesap teh yang ia buat sembari melihat rintik hujan yang masih turun namun tidak sederas tadi. Yuno baru pulang, Suaminya itu sudah makan dan sekarang sedang mandi. Dari earphone yang ia selipkan di telinganya, Ara bisa mendengarkan lagu-lagu yang cocok di dengarkan ketika sedang hujan.

Sampai-sampai dia enggak sadar kalau Yuno sudah selesai mandi, Suaminya itu sudah rapih dengan kaos oblong dan celana pendek sedengkul miliknya. Ia kemudian memeluk bahu Istrinya itu dari belakang sembari mengecupi pucuk kepalanya, hal itu juga yang membuat Ara tersenyum dan melepas earphone yang ia pakai.

“Udah wangi,” gumam Ara, ia dapat mencium aroma jasmine yang menyeruak masuk ke hidungnya yang berasal dari tubuh Yuno. Itu wangi sabun yang biasa Ara pakai, kayanya Yuno pakai sabun punyanya deh.

“Mau cium gak hm?” Yuno menaikan satu alisnya menggoda.

“Mau, tapi tunggu sebentar aku punya sesuatu buat kamu.”

“Apa?”

“Sebentar yah.” Ara bangun dari kursinya, mengambil amplop berwarna merah muda dan memberikannya ke Yuno.

Kursi yang Ara duduki tadi kini di ambil alih oleh Yuno, setelah mengambil amplop itu Yuno menepuk paha nya, memberi isyarat pada Istrinya itu untuk duduk di atas paha nya. Tentu saja Ara langsung nurut, dia duduk di pangkuan Yuno dan mengalungkan tangannya di bahu Suaminya itu.

“Buka deh, itu isinya bagus tau.”

“Aku buka yah.”

Ara mengangguk, membiarkan Yuno membuka amplop darinya. Amplop itu berisi foto USG nya, ada keterangan jenis kelamin bayi mereka juga di sana serta nama lengkap yang Ara janjikan pada Yuno di telepon waktu itu.

Waktu melihat fotonya Yuno tersenyum, wajah anaknya sudah terlihat jelas karena itu USG 4D Dan waktu dia membaca keterangan yang ada di balik fotonya Yuno tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, firasatnya selama ini benar. Anaknya berjenis kelamin perempuan pantas saja rasanya Yuno ingin membeli sesuatu yang berwarna cerah terus, terutama warna merah muda. Yuno mikirnya ini mungkin cuma feeling yang kuat dari seorang Ayah.

“Sayang ini serius? Anak kita perempuan?” tanya Yuno, suaranya bergetar dengan mata yang berkaca-kaca. Namun dengan sigap Yuno menghapus air mata di ujung matanya sebelum jatuh ke pipinya.

Ara mengangguk, “serius, Mas. Ayura Hana Putri Wijaya. Nama anak kita, bagus gak?”

Yuno mengangguk dengan cepat, perpaduan nama yang indah terdengar di telinganya. “Ayura? Cantik?”

“Itu juga termasuk kok, tapi Ayura itu singkatan nama kita. Aryuno dan Ara,” Ara senyum dan Yuno terkekeh pelan, dia gak kepikiran kalau Ara bikin nama depan anak mereka pakai singkatan nama mereka yang terdengar cocok.

“Lucu sayang, kok kamu kepikiran aja sih?”

“Kepikiran lah, tapi kamu suka gak namanya?”

“Suka, suka banget malahan. Yang nambahin Putri di tengahnya juga kamu?”

“Bunda, katanya biar artinya semakin bagus Hana anak dari Aryuno dan Ara yang cantik dan putri dari keluarga Wijaya.”

Mengetahui nama dan jenis kelamin anaknya itu bikin perasaan Yuno menghangat, rasa lelah sehabis seharian koas di rumah sakit rasanya hilang gitu aja, apalagi waktu lihat senyum Istrinya itu. Rasanya kaya seluruh dunia berserta isinya sedang memeluknya, Yuno jadi makin enggak sabar buat ketemu sama anaknya itu. Walau kemungkinan terburuknya adalah ia tidak bisa menemani Ara sat proses persalinan.

“Makasih yah, udah kasih keluarga kecil buat aku.” bisik Yuno, tangannya mengusap-usap pinggang Ara dan kini beralih ke perutnya.

Ara senyum, rasanya bahagia banget bisa kumpul kaya gini lagi sama Suaminya itu. Rasa rindu yang hampir 6 bulan ia pendam itu benar-benar terbayarkan. Kalau udah kaya gini rasanya Ara jadi semakin berat buat ninggalin Yuno lagi, apalago waktu dia datang pertama kali tuh Yuno agak kurus dari yang terakhir dia lihat, mungkin juga karena kesibukan Yuno jadwal makannya jadi enggak teratur.

“Makasih juga udah jadi Suami yang baik yah, Mas.” Ara menyatukan keningnya dengan Yuno, hidung mereka saling bertabrakan dan dengan jahilnya Yuno menggesek nya.

“Kamu tau gak kenapa aku bisa sayang banget sama kamu?”

“Kenapa?”

“Karena kamu wanita paling care lebih dari siapapun, Istriku lebih sukses dari aku dan aku bangga, aku suka fotoin kamu diam-diam kalau kamu lagi makan dan lagi tidur karena kamu tau kenapa?”

Ara menggeleng, jantungnya berdebar banget waktu Yuno jelasin itu semua. Dia bisa ngerasain seluruh cinta yang Yuno punya dan dia berikan itu semua buat Ara.

“Karena di saat itu kamu benar-benar lagi cantik, sayang?”

“Iya, Mas?”

“Aku selalu bawa notes kecil yang kamu kasih ke aku waktu pertama kali aku ke Jerman, walau notes itu udah habis kertasnya karena udah aku isi sama catatan-catatan aku, tapi aku bisa lebih semangat dan ngerasa di temanin kamu kalo bawa notes itu. Kamu wanita yang paling baik, paling hebat yang itu semua gak ada di wanita manapun.”

Ara tersenyum, rasanya bahagia dan ada perasaan sedih sedikit. Ah, lebih tepatnya dia terharu banget dengar ucapan Yuno itu. Suaminya memang romantis, tapi Yuno lebih suka mengungkapkan itu semua dengan bentuk aksi dan perhatian alih-alih ucapan.

“Aku sayang kamu, Ara.” bisik Yuno, ia mendekatkan wajahnya ke Istrinya itu.

Ara memejamkan matanya, ia bisa merasakan sapuan hangat nafas Suaminya itu menyapu wajahnya. Perhalahan-lahan Yuno mengecup bibir Istrinya itu, memberi jeda sebentar sebelum akhirnya kembali mengecup bibir mungil itu lagi.

Dengan gerakan terbata-bata dan rasa malu yang masih selalu hinggap pada dirinya, Ara membalas kecupan-kecupan yang Suaminya berikan itu. Tanganya yang berada di bahu Yuno itu sedikit meremas bahu Suaminya, kecupan yang perlahan-lahan itu membuat Ara merasa sangat di sayang dan di hargai sebagai Istrinya.

Masih sembari mengecup dan melumati bibir bawah Istrinya itu, tangan besar milik Yuno kini mengusap pinggang Ara hingga ke perut buncitnya. Membuat gerakan berputar sampai akhirnya ia menemukan resleting gaun tidur yang di kenakan Ara, ia turunkan resleting itu hingga kini tanganya bersentuhan dengan kulit punggung Ara yang mulus.

Ciuman Yuno yang semula hanya di bibir itu kini turun mengecup pipi Istrinya itu hingga ke leher jenjangnya, membuat Ara memejamkan matanya tiap bibir Suaminya itu mengecupi setiap jengkal kulit lehernya.

“Aahh..”

Desahan yang baru saja di loloskan dari bibir mungil Istrinya itu membuat tubuh Yuno meremang, rasanya sudah lama sekali ia mendambakan saat-saat seperti ini. Perlahan-lahan ia turunkan gaun tidur itu hingga kini hanya menyisakan bra berwarna merah maroon yang Ara kenakan.

“Mas?”

“Hm?” Yuno mendongak, ia menghentikan aksinya sebentar. “Apa sayang?”

“Kunci dulu pintunya.”

Yuno tersenyum, ia hampir saja lupa kalau saat ini Reno masih tinggal di apartemen miliknya. Untung saja Ara mengingatkannya, jadi dengan sigap Yuno gendong Istrinya itu dan ia tidurkan pelan-pelan ke ranjang mereka.

“Sayang?”

“Ya, Mas?”

“Sama dokter udah boleh kan?” waktu mengatakan hal ini telinga Yuno merah, ia tersipu malu meski bicara pada Istrinya sendiri.

Ara mengangguk, waktu terakhir kali check up sama dokter Bagas. Dokter Obgyn nya itu memang sudah memberi tahu kalau ia sudah boleh melakukan aktifitas Suami Istri dengan Yuno asalkan di lakukan hati-hati agar tidak menganggu bayi mereka.

“Boleh kok.”

Mendengar itu Yuno tersenyum, ia kemudian dengan segera mengunci pintu kamarnya dan kembali ke ranjangnya lagi. Malam itu menjadi malam yang panjang bagi keduanya, di temani suasana yang semakin dingin karena habis turun hujan keduanya saling mencurahkan kerinduan dengan saling bersentuhan.

Ara berusaha mengatur nafasnya, mulutnya terbuka kecil dengan tangan yang bertengger di bahu Suaminya itu ia remas. Gerakan Yuno di atas tubuhnya memang pelan, tapi itu berhasil membuat Ara di mabuk kepayang.

i love you. aaahh..”

Bisikan dari suara berat Yuno itu berhasil menggelitik telinga kanan Ara, membuat bulu kuduknya seketika meremang. Membuat kepalanya mendadak pening dan tubuhnya yang semakin mendambakan Yuno lebih dalam lagi. Ara tancapkan kuku-kukunya di punggung Suaminya itu, gerakan Yuno yang pelan itu justru membuatnya seperti menggelitik.

“Nnghh... Mas..”

Di bawah rengkuhan tubuh Suaminya itu, Ara berani bersumpah kalau Yuno jauh lebih tampan dari malam pertama mereka. Dengan rambut yang setengah basah karena habis keramas, tubuh atletisnya dan bibirnya terbentuk sempurna itu ia gigit menahan seluruh nikmat yang ia ciptakan.

“Ahhh...” Yuno mendongakkan kepala nya, kedua tangannya berusaha menahan bobot tubuhnya dengan gerakan pinggangnya yang masih terus bergerak di atas tubuh Istrinya itu.

Ara mati-matian menahan desahannya agar tidak lolos, ia kencangkan otot-ototnya dan mencium bibir Suaminya itu dengan gerakan yang cukup agresif. Sampai di rasa gerakan Yuno yang tadinya lembut itu kini agak sedikit dia tergesa-gesa Yuno tengah mengejar pelepasannya.

“Mas... Aahhh.”

“Sayang—”

Saat di rasa pelepasannya semakin dekat, Yuno keluarkan miliknya. Ia memakai pengaman karena tidak ingin benihnya membuat Ara mengalami kontraksi palsu. Kedua anak manusia itu saling mengatur nafas mereka, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

are you okay hm? ada yang sakit gak? Aku kasar yah?” Yuno memeriksa tubuh istrinya itu, takut-takut ia kelepasan hingga menyakiti Istri dan calon bayi mereka.

Ara yang masih tiduran itu menggeleng, ia ambil bantal yang tadi ia pakai di bawah tubuhnya sebagai penyangga agar pinggangnya tidak sakit saat berhubungan tadi.

“Enggak, Mas. i'm fine.” Ara mengusap-usap lengan Yuno.

Setelah memastikan Istrinya tidak kenapa-kenapa, Yuno tiduran di sebelah istrinya itu. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka, dan ia kecupi pucuk kepala Istrinya itu.

“Makasih yah.”

“Mas?”

“Hmm?”

Ara mengambil tangan Yuno dan mengarahkannya ke atas perutnya, bayi mereka bergerak dan itu membuat Yuno tersenyum hingga bolongan di pipinya itu muncul.

“Hana? Sayang? Ini Papa nak..” bisik Yuno. “Sakit gak, sayang?”

Yuno enggak tahu rasanya mengandung itu seperti apa, tapi ia yakin enggak mudah. Apalagi hormon di tubuh Ara pasti kacau banget, belum lagi dia harus mengalami perubahan bentuk tubuh yang drastis dan rasa tidak nyaman akibat bayi mereka mulai bisa bergerak.

“Kadang-kadang.”

“Makasih yah udah mau ngandung anak aku, kamu wanita paling hebat yang aku punya.”

Sudah sekitar 3 minggu Ara berada di Jerman dan selama itu juga lah waktunya lebih banyak di habiskan di apartemen, ya walaupun kadang-kadang Ara suka pamit sama Yuno buat jalan-jalan atau sekedar belanja bahan makanan buat stok di kulkas. Selain itu, karena lebih banyak waktu luang. Ara juga jadi sering take video buat kontennya, tentang Heidelberg, tentang ceritanya mengikuti banyak kelas sampai take video buat brand yang endorse dia.

Sampai ada satu konten dia sama Yuno yang nyeritain bagaimana sulitnya masuk jurusan psikologi dan kedokteran waktu itu, dan siapa sangka kalau sejak konten itu Ara upload subcribes nya langsung naik drastis hingga 10 juta subcribers. Sejak itu juga kolom komentarnya langsung di banjiri sama permintaan Ara buat bikin vlog lagi sama Yuno, emang dasar yah cewek-cewek enggak bisa liat manusia ganteng dikit.

Oiya, Reno udah pulang 3 hari yang lalu. Yuno juga masih koas kaya biasanya, kalau lagi dapat jatah shift malam. Biasanya pagi mereka akan jalan-jalan sebentar atau kadang menghabiskan waktu di rumah buat ngobrol. Kalau Yuno lagi dapat shift pagi biasanya mereka akan lebih banyak waktu di malam hari.

Dan begitu pun seterusnya, yang agak merepotkan paling kalau Yuno dapat shift siang, kadang Yuno pulang larut banget dan bisa tidur sampai siang, sampai waktunya dia mau berangkat lagi. walau Yuno sibuk banget, Ara enggak pernah sekalipun ngerasa di cuekin kok, karna Yuno masih menyempatkan waktu buat bikinin Ara susu, pijitin pinggangnya atau bahkan jemur pakaian mereka. Yuno dan Ara masih melakukan pekerjaan rumah berdua, enggak ada tuh yang namanya jadi raja dan ratu pokoknya mereka kerjain berdua.

Pagi ini Ara bangun agak telat, Yuno kemarin libur dan hari ini kedapatan shift malam. Jadi paginya Yuno masih ada di rumah, kebiasaan Yuno tiap pagi tuh kalau bangun duluan adalah bukain korden kamarnya biar sirkulasi udaranya lancar bertukar sama udara baru.

Biasanya dia juga suka matiin AC tapi kali ini enggak, soalnya di Jerman sedang musim panas jadi matahari nya pun terik banget. Ara yang tadinya masih tidur itu mengerjapkan matanya, dia ngeraba ranjang sebelahnya buat nyari Yuno.

“Mas Yuno..” gumam nya dengan mata tertutup.

Begitu tidak mendapati jawaban dari Suaminya itu, Ara membuka matanya. Melihat jam dinding yang di pasang Yuno di dekat pintu yang sudah menunjukan jam 8 pagi.

“Ihh gak bangunin,” gerutunya.

Sembari menguap Ara bangun dan iket rambutnya asal. Dia enggak lupa buat beresin tempat tidurnya dan langsung berjalan keluar kamar, Suaminya itu lagi masak ternyata. Waktu Ara buka kamar pun wangi harum dari masakan Yuno sudah menyebar ke seluruh ruangan.

“Pagi..” sapa nya waktu liat Ara keluar dari kamar. Yuno nuangin air putih buat Ara dan kasih gelas itu ke Istrinya, katanya minum air putih di pagi hari pas perut masih kosong tuh sehat banget. “Minum dulu sayang.”

“Mas bangun jam berapa?” Ara minum air yang di kasih Yuno itu hingga tandas setengah dari gelasnya.

“Jam 6 kayanya, kebelet, mules banget terus enggak bisa tidur lagi.”

Setelah minum Ara justru jalan mendekati Yuno dan memeluk Suaminya dari belakang, Yuno udah mandi ternyata. Ara baru sadar Suaminya itu udah berganti baju dari baju yang ia pakai semalam.

Yuno yang di peluk dari belakang sama Istrinya itu senyum, dia masak pakai satu tangan sementara tangan lainnya mengusap punggung tangan Ara yang melingkari pinggangnya.

“Lagi manja banget, sayangku.” walau biasanya manja, tapi jarang banget Ara tiba-tiba meluk kaya gini pas Yuno lagi masak. Semalam Ara memang susah tidur, dia bolak balik ke kamar mandi terus buat buang air kecil dan ngeluh pinggangnya sakit.

Terkadang sambil ngantuk-ngantuk Yuno mijitin pinggang Istrinya itu, walau kalau berhenti Ara suka ngambek dan nyubit dia. Tenang aja, enggak kencang kok malah cubitannya di pinggang Yuno itu lebih terasa geli karna itu titik sensitif Yuno.

“Kangen sama Mas..”

“Kan aku disini dari kemarin juga, mau jalan-jalan? Atau mau di rumah aja hm?” Yuno cuma takut Ara ngerasa jenuh sering dia tinggal, makanya walau sudah serumah dengan Yuno pun kadang Ara masih suka ngerasa kangen karena dia sering banget enggak ada di rumah.

“Mau di rumah aja, Mas. Kaki aku pegel banget soalnya.” Ara tuh kadang suka ngerasa sedih karena semenjak hamil badannya benar-benar ringkih, kaya ada aja yang dia rasain. Entar mual lah, pusing lah, sakit pinggang lah, pegal-pegal lah pokoknya beda-beda tiap harinya sampai kadang bisa tidur dengan mudah aja suatu keajaiban banget buat dia.

“Yaudah, nanti aku pijitin lagi yah. Kayanya di kotak obat aku ada koyo deh, ambil gih, aku selesain masak dulu sebentar.” Yuno nepuk punggung tangan Ara yang masih ada di pinggangnya.

Yuno pagi ini cuma masak beef brokoli saus tiram sama mopo tahu, yang simpel-simpel aja pokoknya biar bisa cepat sarapan. Buat siang nanti dia sebenarnya kepengen buatin Ara sup merah, ada larutan tomat nya dengan toping ayam, kacang polong, sosis dan wortel. Yuno pernah makan di kantin rumah sakit waktu itu, makanya dia jadi sering buat karna rasanya cocok di lidahnya.

“Mas?”

“Ya sayang?”

“Nanti pas mau kerja baju yang ini jangan di cuci yah.”

Yuno terkekeh, tapi dia juga bingung kenapa enggak boleh di cuci? Pikirnya. “Kenapa emangnya?”

“Nanti malam kan aku tidur sendiri ih, gak ada kamu. Biar berasa di temenin ini baju nya kan udah bau kamu nanti.” bukan cuma Yuno aja kok yang ngerasa Ara pagi ini manja banget, Ara sendiri pun ngerasa begitu. Tapi tuh rasanya dia beneran kangen dan gak mau lepas dari Suaminya itu.

“Iya, nanti enggak aku cuci. Apa lagi sayangku.”

“Gapapa itu aja.” Ara lepasin pelukannya dan merhatiin Suaminya itu dari samping, Yuno kalau lagi masak itu serius banget sampai-sampai dia sendiri enggak perduli sama kacamatanya yang berembun.

“Mas itu kaca mata nya berembun ihhh..”

“Tolong elap sayang.” Yuno agak sedikit membungkuk biar Ara enggak perlu berjinjit biar bisa ngambil kacamatanya, namun setelah kacamata itu di lepas oleh Istrinya. Yuno malah mencuri ciuman dari Istrinya itu sampai Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Ihhh, Mas. Aku belum mandi!” rengeknya.

“Kenapa emangnya? Aku suka nyiumin kamu belum mandi.”

“Belum sikat gigi juga ih.”

“Biarin.”

Ara cemberut, tapi sedetik kemudian dia senyum-senyum akting nya buat pura-pura ngambek itu enggak bisa ternyata, akhirnya dia pergi dari dapur. Niatnya cuma mau cuci muka habis itu nonton TV sambil nunggu Suaminya itu masak.

“Sayang?” panggil Yuno dari dapur.

“Apa?”

“Di laci kecil lemari baju, paling bawah. Kan ada tempat kaus kaki, di sana ada paper bag. Ambil deh, itu ada sesuatu yang aku beli buat Hana.” Yuno baru ingat soal baju bayi yang pertama kali dia beli, saking sibuknya dia sampai lupa kasihin itu ke Ara buat di pakai anak mereka.

“Mas beli apa?” Ara yang tadinya mau duduk di sofa jadi balik lagi nyamperin Yuno.

“Di liat dong.”

Ara akhirnya kembali ke kamar, mencari paper bag yang Yuno maksud itu di lemari pakaiannya. Begitu mendapati paper bag itu, Ara membuka nya. Ternyata itu adalah baju bayi perempuan berwarna merah muda. Modelnya jumpsuit, ada topi juga berbentuk kuping kelinci. Ara langsung buru-buru keluar dari kamar dan nunjukin baju buat bayi mereka itu ke Yuno.

“Mas beli ini kapan?” tanya Ara, karna selama Ara di Jerman enggak pernah lihat Yuno pulang bawa paper bag dari toko baju, seringan juga bawa kotak berisi makanan yang Ara idam-idamkan.

“Aku belinya udah agak lama sayang, jauh sebelum aku tau kalau bayi kita perempuan. Kayanya pas usia kandungan kamu masih 3 bulan deh.”

“Ihhh, Mas. Ini lucu banget, kok kamu bisa beli yang ini? Ini tuh cewek banget, kalau ternyata anak kita laki-laki gimana?” Ara cuma heran aja, kenapa Yuno bisa beli baju bayi perempuan padahal dia sendiri belum tahu jenis kelamin anaknya. Bahkan Ara pun baru belanja baju bayi pas dia sudah tahu jenis kelamin anaknya, kemarin-kemarin cuma Mama dan Bunda nya yang sibuk belanja peralatan bayi, itu pun yang warna nya netral.

“Gatau sayang, kaya feeling aja kalo anak kita perempuan. Terus juga sebenernya baju itu lucu banget, makanya aku beli.” Yuno terkekeh, malu banget kalau di ingat kekonyolannya beli baju bayi perempuan hanya karena modelnya lucu. “Kalau anak kita laki-laki yah gapapa, kan bisa kita pakain nanti ke Adik nya. Siapa tahu adiknya perempuan kan?”

Mendengar ucapan Yuno barusan pipi Ara langsung merona, apa dia bilang Adiknya? Tapi Ara jadi penasaran Yuno punya rencana buat memiliki anak berapa, karena terus terang Ara enggak ada planing buat punya anak berapa yah pokoknya sedikasihnya aja.

Ara udah pernah nanya sih soal ini dulu, tapi siapa tahu kan Yuno berubah pikiran setelah liat dia hamil yang jadi super manja ini.

“Tapi, Mas. Kamu mau kita punya anak berapa deh? Atau jawabnnya masih sama?” Ara duduk di meja makan sembari ngelipat baju bayinya tadi.

“Hhm... Aku sebenarnya kepengen punya anak 2 tapi enggak tega liat kamu selama hamil, apalagi aku jarang nemenin.”

“Jadi?” Ara menaikan satu alisnya. “Katanya kamu gak mau anak kita kesepian, kan kamu udah ngerasain jadi anak tunggal.”

“Tapi gak tega liat kamu, sayang. Kalau kamu sendiri gimana?”

“Sedikasihnya aja, kalau Tuhan kasih kita anak 2 atau bahkan 4 juga ya gapapa.”

“Bener??” Yuno menyeringai, dia naikin alisnya satu yang bikin Ara jadi panik sendiri, kayanya dia salah ngomong deh. Yuno kalau pikirannya lagi dirty tuh beneran bikin kepala Ara pening.

“Eng...mak..sud aku.”

“Nanti malam kita kerjain kisi-kisinya.”

“Ihhhh Mas!” rengek Ara.

Betah yah lo di sana, sampe nggak pulang-pulang. Gimana jadi baby moon gak?

Pagi ini Ara lagi masak sambil di temenin Gita lewat panggilan video, tadi nya dia masak sambil nonton drama Korea tapi enggak lama kemudian Gita telfon. Dia bilang si kembar Eloise dan Elios kangen banget sama aunty nya.

“Betah lah, ada Suami gue di sini soalnya. Tapi gue tuh belum jadi baby moon tau, Git.” Ara menghela nafasnya, boro-boro baby moon. Bisa seharian berduaan sama Suaminya itu aja rasanya Ara udah sangat bersyukur.

Kak Yuno masih sibuk banget yah?” di sebrang sana Gita lagi jagain anak-anaknya yang lagi main, tadi sih si kembar full ngobrol sama Ara. Tapi sekarang dua bocah itu udah agak bosan dan lebih milih bermain, walau kadang tiba-tiba muncul di layar ponsel Gita waktu Gita lagi ngobrol sama Ara.

“Banget, kalo libur pun kadang dia udah tepar atau di pakai buat belajar. Yah paling cuma manja-manjaan doang, udah. Tapi gapapa lah asalkan dia di deket gue.”

Karena biasa jauh dari Yuno, Yuno di rumah walau tidur pun rasanya itu udah cukup buat Ara. Makanya dia enggak ngomongin soal baby moon sama Yuno lagi, biar nanti lah gampang di Jakarta dia bisa baby moon sendirian. Emang ada yah yang begitu? Pikirnya.

kasian resiko punya Suami kaya Bang Toyib yah, Ra.

“Lo gimana sama Mas Iyal di Bandung, sehat kan?”

sehat kok, Chaka juga baru balik dari rumah gue. Semalem dia nginep di sini.” Chaka emang suka nginap di rumah Gita kadang, terutama kalau lagi galau perkara berantem sama Niken pacarnya pasti merengek nya ke Gita. Kadang Ara suka mikir, Gita sama Arial ini udah kaya punya peran orang tua selama di Bandung.

Ya gimana enggak, waktu mereka liburan ke Malang. Gita sama Arial juga yang sibuk ngurus tiket, pesan villa, nyari destinasi wisata. Belum lagi kalau anak kosan banyak request kaya Chaka, dia ngotot banget harus dapat vila yang view nya bagus dan instagramable katanya buat kepentingan feeds Instagramnya dia.

Waktu ke Korea juga gitu, walau yang pesan tiket pesawat, hotel dan destinasi wisata itu Kevin sama Chaka. Begitu sampai di Korea juga Gita yang lebih banyak peran buat jagain anak-anak kosan, belum lagi soal Chaka sama Janu yang hampir aja di culik sama perempuan asing yang ngajakin dia masuk komunitas enggak jelas gitu.

“Kenapa lagi dia?” Ara terkekeh, udah bisa menebak kok Chaka kenapa tapi bingung aja kali ini masalahnya apa.

Chaka tuh cerita kalau Aa nya Teh Niken udah ada rencana nikah, tapi yah gak dalam waktu dekat. Gak 1-2 tahun lagi gitu loh, Ra. Chaka udah ketemu kok sama Aa nya Teh Niken, waktu di tanya kenapa dia ngebet banget ngajak Teh Niken nikah yah gitu. Jawaban dia gak bisa bikin Aa nya Teh Niken yakin buat ngelepas Teh Niken nikah duluan, dia kayanya sih nyesel aja sama jawaban yang dia kasih,” jelas Gita.

“Emang dia jawab apa deh?”

Sembari mengangkat ayam yang sudah matang, Ara sesekali melirik ke arah jam yang ada di dekat kulkas. Sudah jam setengah sembilan pagi, 30 menit lagi mungkin Suaminya itu sudah pulang. Yuno itu kedapatan shift malam jadi pulangnya pagi kalau enggak terlambat sih seharusnya Yuno sudah sampai jam sembilan pas nanti.

jadi Chaka tuh awalnya kelihatan mikir gitu loh, sampe akhirnya Aa nya Teh Niken ini nyeletuk apa karna temen-temannya Chaka udah nikah makanya dia kepengen nikah juga, terus lo tau gak? Si Chaka loyo itu bilang, karena itu juga.

“Hah? Serius lo, Git?”

iya serius, dia sih ngomong ke gue keceplosan yah. Tapi gatau juga deh, karena itu Teh Niken jadi kesel sama Chaka terus mereka berantem deh.

Ara geleng-geleng aja, Chaka emang paling muda di antara mereka enggak jarang kadang mereka semua kaya manjain Chaka, ngemong cowok itu supaya lebih dewasa lagi. Padahal Chaka itu punya adek cewek, tapi menurut Ara justru lebih dewasaan Cherry adiknya Chaka ketimbang Chaka sendiri.

Enggak lama kemudian bunyi bip kecil dari pintu apartemen Yuno itu terdengar, ternyata itu Yuno, Suaminya Yuno pulang lebih awal ternyata.

“Hm, Git. Mas Yuno udah pulang. Gue lanjutin masak dulu yah, nanti gue telfon lagi.”

oke deh, bye, Ra..

Setelah sambungan telfon itu mati, Ara ngecilin api kompor nya. Dia lagi masak soto ayam buat sarapan mereka, Ara juga sudah buat teh manis hangat buat Yuno kok, karena tiap pulang dari rumah sakit pasti Yuno selalu minum teh manis hangat.

Kalau biasanya Yuno pulang dengan senyum dan langsung memeluknya, kali ini Suaminya itu tampak lesu dengan raut muka yang kalut. Enggak ada sapaan untuk Ara, Yuno langsung melempar tasnya ke sofa kemudian duduk di sana.

“Mas udah pulang?” sapa Ara, dia ambil teh manis hangat punya Yuno dan naruh cangkir itu di atas meja. Ara juga duduk di samping Yuno karena suaminya itu tampak enggak baik-baik aja.

“Mas?” panggil Ara.

Tidak ada sahutan dari bibir Yuno, namun bahu lebarnya itu bergetar dan terdengar isakan keluar dari bibir nya. Hal itu juga yang membuat Ara bingung, tapi dari reaksi yang di tunjukan Yuno ia bisa tahu kalau Suaminya itu sedang tidak baik-baik saja.

Tapi Yuno kenapa? Atau dia buat kesalahan di rumah sakit? Apa dia di marahi seniornya? Atau Yuno lelah karena pasien yang terlalu banyak? Atau Yuno gagal dalam presentase koas nya? Setahu Ara minggu depan Yuno sudah melanjutkan ke stase berikutnya.

“Sayang, kenapa?” Ara naruh kepala Yuno di bahunya, meluk Suaminya itu dan mengusap punggungnya supaya Yuno jauh lebih tenang.

“Ak..aku gak..bisa—” Yuno enggak sanggup melanjutkan kata-katanya, dia terisak sampai-sampai meluk Ara kenceng banget.

“Sssttt...”

Ara biarin Yuno numpuhin seluruh berat badannya, dia enggak nanya Yuno kenapa lagi. Dia malah biarin Yuno lampiasin semua kesedihannya di pundak Ara, ya walau itu bikin bajunya agak basah karena air mata Suaminya itu.

Dulu Yuno pernah nangis kok, Ara pernah lihat. Itu pun waktu mereka putus, tapi tangis Yuno kali ini benar-benar terdengar menyakitkan sekali. Seperti ia habis di tinggal mati seseorang. Setelah di rasa cukup tenang, Yuno melonggarkan pelukannya itu. Memejamkan kedua matanya ketika Ara menghapus jejak air mata yang tersisa di pelupuk matanya.

“Kamu kenapa?” tanya Ara sekali lagi.

“Sayang, aku gak bisa selamatin pasien...” ucap Yuno lirih. Dia menggeleng pelan dan ngusap wajahnya gusar. “Ada korban kecelakaan beruntun subuh tadi, ada anak kecil yang sekarat pas udah datang. Aku sama dokter yang lain berusaha nolong dia, tapi dia meninggal waktu dalam perjalanan ke ruang operasi. Dia meninggal megang tanganku kaya gini.”

Yuno nunjukin cara pasien nya itu megang tangannya, dan itu bikin air matanya mengalir lagi. Ara bisa lihat ada kekecewaan di mata Yuno dan juga penyesalan, tapi menurutnya dokter itu bukan Tuhan. Dokter hanya bisa berusaha menyelamatkan tapi umur seseorang itu tetap Tuhan yang menentukan.

“Aku ngerasa bersalah banget sama dia, tatapan mata dia tuh, dia lihat ke aku seolah-olah dia minta tolong, sayang..”

Ara mengangguk pelan, dia ngusap-ngusap bahu Yuno lagi. Yuno memang paling enggak bisa kalau sudah menyangkut soal anak kecil dan lansia, makanya waktu itu Yuno pernah berencana untuk mengambil spesialis anak, saking suka nya dia sama anak-anak.

“Aku bukan dokter yang baik..”

Ara bukan diam aja kok, dia cuma lagi dengarin semua curahan hati Yuno dan keluh kesahnya hari ini. Karena dia tahu hari ini hari yang enggak mudah buat Yuno lalui, dan ini juga pertama kalinya Yuno melihat pasien yang ia tangani bersama senior nya yang lain tidak selamat, makanya ini jadi penyesalan pertama untuk Yuno.

Di rumah sakit pun teman-teman sesama dokter koas dan senior nya sudah menasihati Yuno kalau ini bukan salahnya, anak itu juga mengalami gagal jantung setelah kecelakaan yang menyebabkannya meninggal.

“Minum dulu yah.” setelah di rasa jauh lebih tenang, Ara nyuruh Yuno minum. Suaminya itu juga sudah bersandar pada sofa sekarang.

“Mas udah berusaha nyelamatin nyawanya, tapi kalau Tuhan berkata lain mau gimana lagi? Dokter itu bukan bukan Tuhan, Mas.”

“Aku cuma keinget gimana dia megang tangan aku sama liatin aku, sayang. Aku cuma ngebayangin gimana kalau itu anak kita.”

Ara senyum, tuh kan. Kalau sudah soal anak kecil Yuno pasti gak tegaan kaya gini. Apalagi sekarang dia sudah menjadi seorang Ayah, naluri kebapakan nya semakin muncul walau itu bukan sama anaknya sendiri.

“Dia pasti masih kecil banget yah?” tanya Ara.

“Umur nya baru 5 tahun, cantik banget.”

“Kamu sama dokter yang lain udah cukup berusaha nyelamatin nyawanya, dia pasti tahu kalian berusaha keras buat itu.”

Yuno diam aja, dia genggam tangan Ara karena itu bikin dia nyaman. Walau masih sedikit terbayang sama wajah anak itu, tapi perasaan Yuno sudah cukup membaik.

“Makasih yah, sayang. Maaf pulang-pulang bikin kamu bingung.” Yuno ngusap punggung tangan Ara yang ada di genggamannya.

“Gapapa dong, Mas. Mandi yah, habis itu sarapan terus istirahat.”

“Aku udah mandi di rumah sakit.”

“Ganti baju kalau gitu.”

“Sayang?”

“Hm?”

“Mau peluk lagi,” ucap Yuno yang bikin Ara terkekeh. Manja Suaminya itu kumat ternyata setelah menangis.

Akhirnya Ara memeluk Yuno dengan gemas, menciumi telinga Suaminya itu sampai Yuno terkekeh karena geli. “Hana, kamu bisa rasain gak Papa nya manja banget nih.”

“Aku mau puas-puasin manja sama kamu sebelum kamu pulang pokoknya!” rajuknya.