Keras Kepala (31)
Reno sedikit merenggangkan badan nya setelah tugas-tugas nya selesai, dia habisin kopi yang dia pesan dan cheese cake yang di berikan barista untuknya. Hari ini Reno cuma ada 2 mata kuliah di kampus, ada tugas yang di berikan oleh dosen nya secara online karena tidak bisa hadir di kelas. Jadi Reno kerjakan saja dulu di cafe dekat kampus sekalian menunggu jam mata kuliah selanjutnya di mulai.
Baru dia ingin memberesi laptop dan buku-buku miliknya tiba-tiba saja ponsel Reno berdering, menampakan nama Yuno di sana. Awal nya keningnya mengkerut, karena enggak biasanya Yuno telfon dia kalau enggak penting-penting banget. Biasanya juga hanya lewat chat saja.
“Hallo, Mas Yuno?”
“Hallo, Ren. Di mana? Lagi sibuk gak?“
“Enggak sih, Mas. Tapi lagi gak gabut juga, ada apa, Mas?”
“Mas boleh minta tolong gak sama kamu, Ren?“
Begitu mendengar ucapan Yuno, Reno langsung cengar cengir. Pasalnya Yuno selalu minta bantuan nya untuk hal-hal ringan, sesudahnya pun pasti Yuno ngasih sesuatu buat adik ipar nya itu, makanya waktu Yuno bilang mau minta tolong lagi Reno tuh langsung nyengir.
“Minta tolong apa tuh, Mas? Kaya sama siapa aja Mas Yuno nih.” Reno malu-malu kucing.
“bulan depan kan Kakak mau ke tempat Mas, dia ngotot banget mau pergi sendiri aja. Cuma tuh hati Mas gak tenang, Ren. Orang tua Mas juga lagi sibuk jadi enggak bisa antar. Kira-kira kamu atau Karina sibuk gak? Bisa nemenin Kakak mungkin salah satu dari kalian, tenang aja kok Mas yang bayar tiket pesawat nya. Nanti Mas kasih uang jajan juga kalau mau jalan-jalan.“
Reno menjauhkan ponsel nya dari telinga nya setelah mendengar ucapan Yuno itu, dia menaikan kedua tangannya ke atas kemudian berdiri dan berjoget enggak jelas kegirangan. Kalau lagi enggak nelfon dan lagi enggak di cafe rasanya Reno kepengen teriak yang kenceng saking senang nya.
“Hallo, Ren?” panggil Yuno karena Reno enggak kunjung menjawab.
“BISA, MAS. hehehe. Tapi kalau Karin enggak bisa kayanya, bulan depan dia ada acara keluarga Mas. Reno aja gapapa kan?”
“gapapa kok, kamu ada passport kan, Ren?“
“Ada, Mas tahun lalu Reno bikin di suruh Papa.”
“yaudah, siap-siap aja yah. Kalo butuh apa-apa kabarin, Mas.“
“Hahaha siap Mas ku.”
“oh iya, Ren?“
“Apa Mas?”
“rahasia kita yah, jangan sampe Kakak tahu dulu. Mas masih minta tolong ke Bunda sama Papa buat bujuk Kakak dulu.“
“Beres, Mas.”
Begitu sambungan telfon nya terputus, Reno langsung buru-buru membereskan barang-barangnya dan berlari keluar cafe kegirangan. Ini adalah pertama kalinya Reno ke luar negeri, dan langsung ke Jerman pula. Padahal rencana Reno itu mau ke Jepang dulu buat liburan, dia juga udah nabung lama banget buat ke sana.
Sesampai nya di rumah, Reno liat Ara, Bunda dan Papa nya di ruang tamu. Muka Kakak nya itu cemberut aja, dari kemarin Kakak nya memang sudah menginap di rumah mereka karena mertua nya itu sedang dinas di luar kota. Ara gak suka sendirian di rumah Yuno karena rasanya membosankan, ya walaupun ada Budhe yang menemani nya.
“Pokoknya Kakak mau nya pergi sendiri, Bun. Emang kenapa sih? Kan Kakak udah pernah ke tempat Mas Yuno juga, ini bukan pertama kali,” rengek Ara.
Ara tuh cuma ngerasa kalau dia ajak orang lain, dia gak akan merasa bisa berduaan dengan leluasa sama Yuno. Ara tuh kangen banget sama Yuno, dia mau ngabisin waktu nya di Jerman cuma dengan berduaan sama Suaminya itu. Ya walau ngajak satu orang pun Yuno bakal bersedia aja buat nyewain hotel atau kamar apartemen, tapi jiwa kritis Ara tuh meronta-ronta.
Dia mau Yuno simpan uangnya buat biaya mereka berdua, apalagi mereka akan segera punya anak yang mana kebutuhan pasti semakin banyak. Belum lagi soal tabungan Yuno untuk beli rumah, toh biaya nya sendiri ke Jerman saja sudah sangat mahal.
“Bunda tuh kepikiran, Kak. Apalagi kamu tuh semenjak hamil juga lebih ringkih kan badan nya, kalo kenapa-kenapa di jalan gimana?” Bunda tuh agak senewen juga ngadepin Ara kalau lagi keras kepala kaya gini, Ara enggak bisa di kerasin karena dia bakalan tambah keras.
“Ya makanya jangan di doain kenapa-kenapa, Bun...” kedua bahu Ara merosot, bingung banget dia gimana cara yakini orang tua nya, mertua dan Suaminya sendiri.
“Kak, jangan keras kepala gitu lah. Bunda, Papa, orang tua nya Yuno dan Yuno sendiri itu khawatir sama kamu. Apalagi kamu harus transit di Singapur dulu kan. Penerbangan nya juga makan waktu 20 jam loh, itu gak sebentar, Kak. Gak kaya dari sini ke Bandung,” Papa menyela, biasanya Ara akan lemah sama Papa nya apalagi kalau Papa nya sudah berubah lebih tegas.
“Sama Reno aja gak sih, Kak? Reno belum pernah keluar negeri,” samber Reno dari meja makan. Dia dari tadi cuma nyimak aja, yah ikut ngebujuk juga sekarang siapa tahu Kakak nya itu luluh jadi gak perlu main kucing-kucingan kan? Pikir Reno.
“GAKKKKKKK, KAMU BAKALAN NGEGANGGU BANGET.”
“Dih, Reno bisa tidur di hotel.”
“Dari mana uangnya? Bukan nya kamu mau ke Jepang?”
“Uang nya minta Papa lah. Ke Jepang itu pasti tapi kan bisa tahun depan.”
Papa yang mendengar itu cuma bisa memijat keningnya aja, agak pening kalau Reno sama Ara udah berdebat kaya gini. Tapi Papa bersyukur, selama menikah walau Yuno jauh. Laki-laki itu tetap bertanggung jawab pada putri nya, ah. Bukan hanya Yuno tapi keluarganya pun begitu.
“Pokoknya Kakak mau sendiri titik!!”
Ara berdiri dan naik ke lantai 2 ke kamar nya sambil hentak-hentakin kaki. Kebiasaan dia kalau lagi ngambek, Bunda sama Papa yang lihat cuma bisa geleng-geleng kepala aja kalau keras kepala dan manja nya Ara udah kumat, Bunda cuma mikir mungkin Ara akan berubah lebih dewasa waktu tahu akan menjadi Ibu, tapi tetap saja gak banyak yang berubah dari anak tengahnya itu.
Yuno ketuk pintu ruang konsulen nya itu berada, tadi ada perawat yang nyuruh dia buat bertemu sama konsulen nya di ruangannya itu. Yuno masih koas, tapi dia juga sudah naik ke stase berikut nya.
“Bapak panggil saya?” ucap Yuno waktu pintu itu terbuka. Sopan santun khas orang Asia nya enggak pernah dia lupakan meski sudah lama tinggal di Jerman.
“Duduk, Aryuno.”
Yuno masuk kemudian duduk di kursi depan meja konsulen nya itu, Yuno udah enggak di stase penyakit dalam lagi. Dia sudah pindah ke stase bedah meski tetap saja dia di beri waktu untuk berjaga di IGD. Konsulen nya pun sudah ganti dari dokter Smith menjadi dokter James yang enggak kalah tegas nya.
Kadang Yuno ngiri kalau teman-teman nya dapat konsulen yang baik, sementara dia terasa bekerja di bawah tekanan banget. Enggak jarang Yuno suka melewatkan jam makan nya karena saking sibuknya dia di IGD.
“Yuno, saya gak mengerti kenapa kamu akhir-akhir ini sering sekali melamun, kamu juga kurang cekatan Yuno,” ucap dokter James.
Yuno akui memang dia sering melamun akhir-akhir ini, itu semua karena dia mikirin Ara, mikirin dirinya sendiri, dan tekanan yang dia dapat dari senior-senior nya. Yuno itu masih suka di suruh-suruh kadang, walau bukan hanya dia yang mengalami ini.
“Maaf, dok.”
“Kata dokter Smith, kamu itu mahasiswa yang pintar di kampus nya. Dia pernah ngajar kamu, kan?”
Yuno mengangguk, beberapa kali memang Yuno pernah di ajar langsung oleh dokter Smith. Tapi cara mengajarnya dengan praktiknya di rumah sakit beda banget, di kampus dokter Smith itu mengayomi dan baik banget makanya waktu bertemu di rumah sakit dan menjadi konsulen nya Yuno kaget banget.
“Saya enggak tahu kamu lagi ada masalah apa Yuno, tapi kalau kamu sudah sampai di rumah sakit. Tolong kesampingkan itu semua, tolong fokus. Kita ini kelak akan kerja dengan resiko dan jam kerja yang panjang nantinya. Konsentrasi dan tanggung jawab itu nomer 1 selain nyawa pasien, jadi tolong konsentrasi dan cekatan, saya harap kamu bisa berubah Yuno.”
Setelah keluar dari ruangan konsulen nya, Yuno melamun sebentar di rooftop rumah sakit. Dia memang masih istirahat, Yuno memejamkan matanya. Menikmati semilir angin dan kopi yang baru saja ia beli di cafe.
Tangannya kemudian meraba saku yang ada di baju OKA nya. Ada buku kecil yang biasa ia gunakan untuk mencatat ketika dokter senior atau konsulen sedang menjelaskan sesuatu. Namun di halaman paling terakhir ada tulisan yang bukan tulisan tangannya, Yuno sangat mengenali tulisan itu.
Kalau lo gak bisa tegas, biar gue yang ngasih pelajaran ke mereka. Dasar payah!!