awnyaii

Mevin bersandar di headboard tempat tidurnya. Memainkan ponselnya guna melepaskan sedikit penatnya ulah selama beberapa jam tadi ia menghabiskan waktu di Rumah Sakit untuk terapi, sudah hampir satu bulan komunikasi tidak berjalan dengan lancar antara Mevin dan Grace, keduanya sama-sama membatasi diri. Semenjak kecelakaan yang menimpanya, membuat Mevin kehilangan kemampuan berjalannya, beberapa anggota tubuhnya juga kadang mati rasa dan tidak bisa digerakkan.

Banyak kesulitan yang Mevin hadapi sebenarnya, dunianya sudah runtuh semenjak kecelakaan itu, ditambah hubungannya yang harus ada di titik berpisah sementara dengan Grace. Kalau ada kata lebih dari runtuh, mungkin itu yang Mevin rasakan. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Kala itu rumah sepi karena Lea dan Jeremy, kedua orang tua Mevin yang belum juga pulang dari kantor.

Padahal biasanya sebelum pukul lima, kedua orang tua Mevin itu sudah kembali. Tapi Mevin kembali membuka ponselnya, ia sendiri pun tidak tahu harus melakukan apa di tengah kesendiriannya itu. Kadang Mevin juga masih mempertanyakan takdir, apakah ia benar bisa sembuh dan kembali seperti semula atau tidak.

Apakah ia bisa kembali menjalin hubungan dengan Grace atau tidak. Lamunan itu membawa pikiran Mevin melayang jauh, hingga akhirnya suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

“Masuk!” seru Mevin dari sana. Maka saat pintu dibuka, Mevin melihat Papa dan Mamanya serta seorang gadis kecil yang langsung berlari menghampiri Mevin dengan membawa sebuah paper bag.

“Koko Mevin!” seru Kenzie, gadis kecil yang baru akan naik kelas dua sekolah dasar itu.

“Enzi!” Mevin girang dan membuka lengannya lebar, Kenzie langsung naik ke tempat tidur Mevin lalu memeluk Mevin.

“Ada yang kangen kokonya banget ini,” kata Lea yang juga masuk ke kamar Mevin diikuti Jeremy yang berjalan di sebelahnya.

“Ikut Jevin sama Kenzo juga yang dicari Koko Mevin terus, ya?” kata Jeremy sambil tertawa kecil sambil melihat ke arah Kenzie yang masih bergelayut gemas di pelukan Mevin.

“Loh, Kenzo sama Jevin kemana?” tanya Mevin sambil membiarkan Kenzie memeluknya.

“Ada di lapangan basket kompleks. Minta turun di sana basket belum puas mabarnya, ck.” Jeremy berdecak.

“Kak Kenzo sama Koko Jevin main game terus, Zi nggak ngerti, biasanya kalau ada Koko Mevin kan Zi main sama Koko Mevin, beli ice cream sama main ke Timezone.” Kenzie memanyunkan sedikit bibirnya, Mevin tersenyum sambil mengelus rambut Kenzie.

“Ko Mevin lagi nggak bisa main, maaf ya, cantik. Koko belum bisa jalan,” kata Mevin lembut. Kenzie menatap Mevin sambil menggelengkan kepalanya dan masih memanyunkan bibirnya tapi masih memeluk Mevin.

“Kok gitu?” tanya Lea sambil duduk di tepi ranjang Mevin.

“Zi maafin Ko Mevin kalau Koko Mevin makan ice cream ini sama Zi!” seru Kenzie girang sambil menunjukkan paper bag yang ia bawa tadi lalu mengambilnya. Lea dan Jeremy terkekeh melihat tingkah anak temannya ini. Kenzie memang anak bungsu Hazel dan Shasha, rekan mereka, tapi juga Kenzie sangat dekat dengan Mevin, bahkan sudah seperti adik Mevin sendiri. Hal itu membuat kadang Kenzie sering berkunjung atau kadang juga Mevin yang mengajak Kenzie untuk hangout.

Tapi, sudah beberapa minggu semenjak Mevin kehilangan kemampuan menggerakkan beberapa bagian tubuhnya pasca kecelakaan itu Kenzie tidak pernah bertemu Mevin, di sisi lain juga Mevin tidak bisa mengajak Kenzie bermain atau sekedar menggendongnya seperti biasa. Tapi raut wajah Mevin berubah semenjak kedatangan Kenzie tadi.

Satu cercah senyum teruntai di wajah Mevin. Lea dan Jeremy menyadari dan memahami perubahan sikap dan mood Mevin selama ia tidak bisa melakukan apapun. Bersyukur hari ini Kenzie ikut datang setelah Lea dan Jeremy menjemputnya saat Kenzie tengah bersama Jevin dan Kenzo, Mevin bisa tersenyum lagi.

“Ya udah, Aunty sama Uncle tinggal dulu siapin makan, ya? Zi disini sama Koko Mevin ya?” ucap Lea sambil membelai rambut panjang Kenzie. Gadis cilik itu mengangguk gemas, sementara Mevin masih bergelut membuka cup ice cream itu dan bersiap mengambil sendokan pertama dan menyuapinya untuk Kenzie.

“Anak pinter!” ucap Jeremy juga sambil menunjukkan telapak tangannya untuk mengajak Kenzie melakukan tos dan dibalas oleh Kenzie sambil tersenyum.

“Good girl!” kata Jeremy lagi sambil mengacak pelan rambut Kenzie. Maka Jeremy dan Lea meninggalkan Kenzie dan Mevin disana. Mevin dengan sabar dan telaten menyuapi sendok demi sendok ice cream untuk Kenzie.

“Maaf ya, koko nggak bisa nemenin Kenzie main, nggak bisa ke timezone,” kata Mevin sambil membersihkan sisa ice cream di bibir Kenzie.

“Iya, kata Aunty Ko Mevin lagi sakit, Zi sedih kalau Ko Mevin sakit tapi Zi lebih sedih kalau nggak ketemu Ko Mevin, udah lama nggak ketemu.” Kenzie berkata dengan nada lesu. Hal itu mengundang rasa gemas di hati Mevin. Maka Mevin menaruh cup ice cream tadi di sebelahnya lalu meminta Kenzie duduk di pangkuannya.

“Sini sama Koko,” kata Mevin. Kenzie pun menurut. Mevin memangku Kenzie dan gadis kecil itu menyandarkan kepalanya di dada Mevin lalu Kenzie dengan raut muka sedikit cemberut memainkan ujung rambutnya dan sedikit menunduk.

“Kenapa? Kok cemberut?” tanya Mevin.

Kenzie pun mendongakkan sedikit kepalanya menatap Mevin, “Ko Mevin kapan bisa main sama Zi lagi, ya? Kenapa koko Mevin sakitnya lama? Siapa yang bikin koko sakit? Zi kesel,” kata Kenzie ngomel tapi masih dengan raut muka gemas.

“Belum tahu, doain aja biar Koko bisa jalan lagi, ya?” ujar Mevin lalu mengecup puncak kepala Kenzie.

“Koko Mevin dokter, kenapa Koko sakit? Nanti yang sembuhin orang yang sakit siapa? Zi kesal sama yang bikin Ko Mevin sakit gini,” ujar Kenzie seraya menyandarkan tubuhnya lagi di dada Mevin, “Kak Kenzo main sama Ko Jevin selalu main game, berisik kalau main, Zi disogok ice cream sama cotton candy terus, tapi tetep aja, Zi kangennya sama Ko Mevin,” lanjutnya.

Mevin mencubit pelan pipi Kenzie, “haha, kan sama aja Ko Jevin kan kokonya Kenzie juga, tadi kesini nggak bawa homework? Biasanya kan kamu minta Ko Mevin ajarin kamu,” katanya.

Kenzie menggeleng, “nggak mau sama kakak nggak mau sama Ko Jevin, udah Zi kerjain sebelum kesini, Zi kesini kan mau main sama Ko Mevin,” balasnya.

“Kalau Ko Mevin nggak mau?” goda Mevin.

“Koko nggak mau main sama Zi? Kenapa? Ih, kok gitu?” tanya Kenzie lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Mevin menggeleng, Kenzie melengkungkan bibirnya membuatnya cemberut. Mevin menjadi tidak tega.

“Kenapa kok nggak mau?” Mata Kenzie membulat dan bibirnya mengerucut. Mevin tidak menjawab, ia memasang muka acuh kepada Kenzie yang membuat gadis kecil itu mencubit lengan Mevin sejenak.

“Aduh! Sakit! Haha―” rintih Mevin, lalu ia meraih kepala Kenzie dan membelai rambut Kenzie lembut, “bercanda, Ko Mevin bercanda, kan Koko juga kangen kamu.” perkataan Mevin itu membuat Kenzie sedikit kesal hingga memalingkan wajahnya tidak mau menatap Mevin, hidungnya memerah dan Kenzie mengerjapkan matanya.

“Aduh, aduh, kesayangan Ko Mevin kenapa nangis? Bercanda, Zi, Koko bercanda,” kata Mevin sedikit terkikik melihat tingkah gemas Kenzie yang hampir menangis. Kenzie menatap Mevin dengan wajah yang masih cemberut tapi Mevin memeluknya.

“Bercanda Zi, jangan nangis, hehe.”

“Koko nyebelin!!” seru Kenzie kesal saat itu sambil berusaha melepaskan pelukan Mevin tapi Mevin menahannya.

“Haha, kamu nih, mau koko suapin lagi ice creamnya?” tanya Mevin.

Kenzie yang tadinya cemberut kini perlahan tersenyum, Mevin pun meraih cup ice cream itu lagi dan menyuapi Kenzie. Sementara itu, Kenzie juga membuka iPadnya dan membuka youtube kids lalu memperlihatkan kepada Mevin sebuah video.

“Ko, lihat ini, lucu,” ujarnya sembari menunjukkan video cocomelon kepada Mevin yang saat itu juga melahap satu suapan ice cream sambil memperhatikan Kenzie yang menjelaskan satu per satu tentang apa yang ia lihat di video itu.

“Tapi masih lucuan aku sama Ko Mevin,” kata Kenzie lagi sambil terkekeh yang membuat Mevin tertawa. Kehadiran Kenzie memang bak pengobat kesepian bagi Mevin. Adik kecilnya itu bisa membuat Mevin tertawa lagi. Usai menghabiskan satu cup ice cream bersama, Mevin menaruh cup ice cream itu di nakas sebelah tempat tidurnya. Kenzie masih fokus ke iPadnya dan bersandar di tubuh Mevin.

Tangan Mevin juga melingar memeluk tubuh gadis kecil itu. Selama video ke sekian diputar, Mevin tidak mendengar ocehan Kenzie lagi. Mevin menundukkan kepalanya, melihat ternyata Kenzie sudah terpejam di pelukannya.

“Yaampun, ketiduran.” Mevin pun menyingkirkan iPad di genggaman Kenzie, bersamaan dengan Kenzie yang menggeliat di pelukan Mevin seakan sangat rindu kepada Mevin, sudut bibir Mevin terangkat melihat tingkah gadis kecil itu.

Namun, pandangan Mevin tertuju kepada salah satu notifikasi yang muncul di layar gadget Kenzie itu.

“Selamat main sama Ko Mevin, ya, cantik. Nanti kita ketemu ya bertiga kalau Cici udah sembuh.”

Notifikasi itu adalah notifikasi chat dari Grace. Seseorang yang juga mengenal Kenzie, seseorang yang merajai seluruh hati dan perasaan Mevin, seseorang yang Mevin sebut di setiap doa di setiap malamnya. Seseorang yang secara tidak sengaja Mevin lukai. Maka Mevin alihkan pandangannya dari iPad Kenzie lalu memeluk gadis kecil di pangkuannya itu.

Mevin menempelkan pipinya di puncak kepala Kenzie, pikirannya kembali menerwang mengingat kebersamaannya dengan Grace dan sebesar apa ia merindukan wanita itu.


Mevin bersandar di headboard tempat tidurnya. Memainkan ponselnya guna melepaskan sedikit penatnya ulah selama beberapa jam tadi ia menghabiskan waktu di Rumah Sakit untuk terapi. Semenjak kecelakaan yang menimpanya, membuat Mevin kehilangan kemampuan berjalannya, beberapa anggota tubuhnya juga kadang mati rasa dan tidak bisa digerakkan.

Banyak kesulitan yang Mevin hadapi sebenarnya, dunianya sudah runtuh semenjak kecelakaan itu, ditambah hubungannya yang harus ada di titik berpisah sementara dengan Grace. Kalau ada kata lebih dari runtuh, mungkin itu yang Mevin rasakan. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Kala itu rumah sepi karena Lea dan Jeremy, kedua orang tua Mevin yang belum juga pulang dari kantor.

Padahal biasanya sebelum pukul lima, kedua orang tua Mevin itu sudah kembali. Tapi Mevin kembali membuka ponselnya, ia sendiri pun tidak tahu harus melakukan apa di tengah kesendiriannya itu. Kadang Mevin juga masih mempertanyakan takdir, apakah ia benar bisa sembuh dan kembali seperti semula atau tidak.

Apakah ia bisa kembali menjalin hubungan dengan Grace atau tidak. Lamunan itu membawa pikiran Mevin melayang jauh, hingga akhirnya suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

“Masuk!” seru Mevin dari sana. Maka saat pintu dibuka, Mevin melihat Papa dan Mamanya serta seorang gadis kecil yang langsung berlari menghampiri Mevin dengan membawa sebuah paper bag.

“Koko Mevin!” seru Kenzie, gadis kecil yang baru akan naik kelas dua sekolah dasar itu.

“Enzi!” Mevin girang dan membuka lengannya lebar, Kenzie langsung naik ke tempat tidur Mevin lalu memeluk Mevin.

“Ada yang kangen kokonya banget ini,” kata Lea yang juga masuk ke kamar Mevin diikuti Jeremy yang berjalan di sebelahnya.

“Ikut Jevin sama Kenzo juga yang dicari Koko Mevin terus, ya?” kata Jeremy sambil tertawa kecil sambil melihat ke arah Kenzie yang masih bergelayut gemas di pelukan Mevin.

“Loh, Kenzo sama Jevin kemana?” tanya Mevin sambil membiarkan Kenzie memeluknya.

“Ada di lapangan basket kompleks. Minta turun di sana basket belum puas mabarnya, ck.” Jeremy berdecak.

“Kak Kenzo sama Koko Jevin main game terus, Zi nggak ngerti, biasanya kalau ada Koko Mevin kan Zi main sama Koko Mevin, beli ice cream sama main ke Timezone.” Kenzie memanyunkan sedikit bibirnya, Mevin tersenyum sambil mengelus rambut Kenzie.

“Ko Mevin lagi nggak bisa main, maaf ya, cantik. Koko belum bisa jalan,” kata Mevin lembut. Kenzie menatap Mevin sambil menggelengkan kepalanya dan masih memanyunkan bibirnya tapi masih memeluk Mevin.

“Kok gitu?” tanya Lea sambil duduk di tepi ranjang Mevin.

“Zi maafin Ko Mevin kalau Koko Mevin makan ice cream ini sama Zi!” seru Kenzie girang sambil menunjukkan paper bag yang ia bawa tadi lalu mengambilnya. Lea dan Jeremy terkekeh melihat tingkah anak temannya ini. Kenzie memang anak bungsu Hazel dan Shasha, rekan mereka, tapi juga Kenzie sangat dekat dengan Mevin, bahkan sudah seperti adik Mevin sendiri. Hal itu membuat kadang Kenzie sering berkunjung atau kadang juga Mevin yang mengajak Kenzie untuk hangout.

Tapi, sudah beberapa minggu semenjak Mevin kehilangan kemampuan menggerakkan beberapa bagian tubuhnya pasca kecelakaan itu Kenzie tidak pernah bertemu Mevin, di sisi lain juga Mevin tidak bisa mengajak Kenzie bermain atau sekedar menggendongnya seperti biasa. Tapi raut wajah Mevin berubah semenjak kedatangan Kenzie tadi.

Satu cercah senyum teruntai di wajah Mevin. Lea dan Jeremy menyadari dan memahami perubahan sikap dan mood Mevin selama ia tidak bisa melakukan apapun. Bersyukur hari ini Kenzie ikut datang setelah Lea dan Jeremy menjemputnya saat Kenzie tengah bersama Jevin dan Kenzo, Mevin bisa tersenyum lagi.

“Ya udah, Aunty sama Uncle tinggal dulu siapin makan, ya? Zi disini sama Koko Mevin ya?” ucap Lea sambil membelai rambut panjang Kenzie. Gadis cilik itu mengangguk gemas, sementara Mevin masih bergelut membuka cup ice cream itu dan bersiap mengambil sendokan pertama dan menyuapinya untuk Kenzie.

“Anak pinter!” ucap Jeremy juga sambil menunjukkan telapak tangannya untuk mengajak Kenzie melakukan tos dan dibalas oleh Kenzie sambil tersenyum.

“Good girl!” kata Jeremy lagi sambil mengacak pelan rambut Kenzie. Maka Jeremy dan Lea meninggalkan Kenzie dan Mevin disana. Mevin dengan sabar dan telaten menyuapi sendok demi sendok ice cream untuk Kenzie.

“Maaf ya, koko nggak bisa nemenin Kenzie main, nggak bisa ke timezone,” kata Mevin sambil membersihkan sisa ice cream di bibir Kenzie.

“Iya, kata Aunty Ko Mevin lagi sakit, Zi sedih kalau Ko Mevin sakit tapi Zi lebih sedih kalau nggak ketemu Ko Mevin, udah lama nggak ketemu.” Kenzie berkata dengan nada lesu. Hal itu mengundang rasa gemas di hati Mevin. Maka Mevin menaruh cup ice cream tadi di sebelahnya lalu meminta Kenzie duduk di pangkuannya.

“Sini sama Koko,” kata Mevin. Kenzie pun menurut. Mevin memangku Kenzie dan gadis kecil itu menyandarkan kepalanya di dada Mevin lalu Kenzie dengan raut muka sedikit cemberut memainkan ujung rambutnya dan sedikit menunduk.

“Kenapa? Kok cemberut?” tanya Mevin.

Kenzie pun mendongakkan sedikit kepalanya menatap Mevin, “Ko Mevin kapan bisa main sama Zi lagi, ya? Kenapa koko Mevin sakitnya lama? Siapa yang bikin koko sakit? Zi kesel,” kata Kenzie ngomel tapi masih dengan raut muka gemas.

“Belum tahu, doain aja biar Koko bisa jalan lagi, ya?” ujar Mevin lalu mengecup puncak kepala Kenzie.

“Koko Mevin dokter, kenapa Koko sakit? Nanti yang sembuhin orang yang sakit siapa? Zi kesal sama yang bikin Ko Mevin sakit gini,” ujar Kenzie seraya menyandarkan tubuhnya lagi di dada Mevin, “Kak Kenzo main sama Ko Jevin selalu main game, berisik kalau main, Zi disogok ice cream sama cotton candy terus, tapi tetep aja, Zi kangennya sama Ko Mevin,” lanjutnya.

Mevin mencubit pelan pipi Kenzie, “haha, kan sama aja Ko Jevin kan kokonya Kenzie juga, tadi kesini nggak bawa homework? Biasanya kan kamu minta Ko Mevin ajarin kamu,” katanya.

Kenzie menggeleng, “nggak mau sama kakak nggak mau sama Ko Jevin, udah Zi kerjain sebelum kesini, Zi kesini kan mau main sama Ko Mevin,” balasnya.

“Kalau Ko Mevin nggak mau?” goda Mevin.

“Koko nggak mau main sama Zi? Kenapa? Ih, kok gitu?” tanya Kenzie lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Mevin menggeleng, Kenzie melengkungkan bibirnya membuatnya cemberut. Mevin menjadi tidak tega.

“Kenapa kok nggak mau?” Mata Kenzie membulat dan bibirnya mengerucut. Mevin tidak menjawab, ia memasang muka acuh kepada Kenzie yang membuat gadis kecil itu mencubit lengan Mevin sejenak.

“Aduh! Sakit! Haha―” rintih Mevin, lalu ia meraih kepala Kenzie dan membelai rambut Kenzie lembut, “bercanda, Ko Mevin bercanda, kan Koko juga kangen kamu.” perkataan Mevin itu membuat Kenzie sedikit kesal hingga memalingkan wajahnya tidak mau menatap Mevin, hidungnya memerah dan Kenzie mengerjapkan matanya.

“Aduh, aduh, kesayangan Ko Mevin kenapa nangis? Bercanda, Zi, Koko bercanda,” kata Mevin sedikit terkikik melihat tingkah gemas Kenzie yang hampir menangis. Kenzie menatap Mevin dengan wajah yang masih cemberut tapi Mevin memeluknya.

“Bercanda Zi, jangan nangis, hehe.”

“Koko nyebelin!!” seru Kenzie kesal saat itu sambil berusaha melepaskan pelukan Mevin tapi Mevin menahannya.

“Haha, kamu nih, mau koko suapin lagi ice creamnya?” tanya Mevin.

Kenzie yang tadinya cemberut kini perlahan tersenyum, Mevin pun meraih cup ice cream itu lagi dan menyuapi Kenzie. Sementara itu, Kenzie juga membuka iPadnya dan membuka youtube kids lalu memperlihatkan kepada Mevin sebuah video.

“Ko, lihat ini, lucu,” ujarnya sembari menunjukkan video cocomelon kepada Mevin yang saat itu juga melahap satu suapan ice cream sambil memperhatikan Kenzie yang menjelaskan satu per satu tentang apa yang ia lihat di video itu.

“Tapi masih lucuan aku sama Ko Mevin,” kata Kenzie lagi sambil terkekeh yang membuat Mevin tertawa. Kehadiran Kenzie memang bak pengobat kesepian bagi Mevin. Adik kecilnya itu bisa membuat Mevin tertawa lagi. Usai menghabiskan satu cup ice cream bersama, Mevin menaruh cup ice cream itu di nakas sebelah tempat tidurnya. Kenzie masih fokus ke iPadnya dan bersandar di tubuh Mevin.

Tangan Mevin juga melingar memeluk tubuh gadis kecil itu. Selama video ke sekian diputar, Mevin tidak mendengar ocehan Kenzie lagi. Mevin menundukkan kepalanya, melihat ternyata Kenzie sudah terpejam di pelukannya.

“Yaampun, ketiduran.” Mevin pun menyingkirkan iPad di genggaman Kenzie, bersamaan dengan Kenzie yang menggeliat di pelukan Mevin seakan sangat rindu kepada Mevin, sudut bibir Mevin terangkat melihat tingkah gadis kecil itu.

Namun, pandangan Mevin tertuju kepada salah satu notifikasi yang muncul di layar gadget Kenzie itu.

“Selamat main sama Ko Mevin, ya, cantik. Nanti kita ketemu ya bertiga kalau Cici udah sembuh.”

Notifikasi itu adalah notifikasi chat dari Grace. Seseorang yang juga mengenal Kenzie, seseorang yang merajai seluruh hati dan perasaan Mevin, seseorang yang Mevin sebut di setiap doa di setiap malamnya. Seseorang yang secara tidak sengaja Mevin lukai. Maka Mevin alihkan pandangannya dari iPad Kenzie lalu memeluk gadis kecil di pangkuannya itu.

Mevin menempelkan pipinya di puncak kepala Kenzie, pikirannya kembali menerwang mengingat kebersamaannya dengan Grace dan sebesar apa ia merindukan wanita itu.


Saat menelfon Grace, Mevin berusaha tahan tangisnya tapi tidak bisa lagi. Emosinya tidak bisa ia kendalikan lagi, ia berada di dasar jurang luka dan kesakitan paling palung saat ini.

Mevin tengah berada di kamarnya, ia duduk di lantai dan bersandar di tempat tidurnya, ia meraih vas bunga yang ada di nakas yang ada di sebelahnya yang masih terjangkau tangannya lalu ia banting keras-keras di depannya.

“Arghhhhh!! Brengseekkk!!” jerit Mevin saat itu, lalu ia juga menarik sprei serta bed covernya hingga membuat kamarnya berantakan, barang-barang di dekatnya yang sekiranya masih terjangkau tangannya ia banting dan serakkan begitu saja, ia kesusahan dan tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya dari pinggang hingga kakinya.

Mevin pukuli bagian pahanya dan lututnya, ia menangis disana sejadinya, tumpahkan semua perasaannya. Perasaan dimana ia tidak bisa menerima dirinya sendiri sekarang.

Mevin yang selama ini berusaha menjaga senyumnya dan Grace agar tetap utuh, kini, bak seakan perlahan dibunuh kenyataan dan kesakitan yang menggerogoti jiwanya. Suara bising dari kamar Mevin ternyata membuat Lea dan Jeremy bergegas ke sana. Malam itu, untuk pertama kalinya, Lea dan Jeremy melihat kehancuran anak mereka. Lea dan Jeremy sebenarnya baru saja menelfon Jovian untuk memberitahukan keadaan Mevin sekarang karena sampai saat ini pun Mevin belum memberitahu keadaannya kepada Papa kandungnya itu.

Jovian shock bukan main, panik dan khawatir tapi Lea dan Jeremy berusaha meyakinkan bahwa sebisa mungkin mereka akan mendampingi Mevin, bahkan Jeremy juga mengingatkan Jovian kalau sekiranya ia bisa berkunjung dari Australia, Jeremy berharap Jovian bisa datang dan menengok keadaan Mevin.

Baru saja Jeremy dan Lea hendak beritakan kabar itu kepada Mevin tapi yang mereka lihat adalah Mevin yang tengah hancur. Lea dan Jeremy kaget bukan main saat membuka pintu kamar Mevin. Bahkan kini Mevin tengah menyeret tubuhnya sekuat tenaga tapi beberapa tetes darah terlihat di lantai. “Mevin!” Jeremy berteriak dan langsung meraih tubuh Mevin, tapi anaknya itu memberontak, beberapa pecahan kaca vas tadi mengenai kaki Mevin saat ia menyeret tubuhnya sehingga menimbulkan luka dan goresan di kulit Mevin.

“Vin, kamu ngapain?!” tanya Jeremy panik, sedangkan Lea masih berdiri disana, membeku karena tidak tega melihat keadaan Mevin saat ini.

Jeremy berusaha meraih tubuh anaknya itu berniat mengangkat tubuh Mevin tapi Mevin memberontak. “Papa keluar aja sama Mama!”

“Kamu kenapa kaya gini?” tanya Jeremy sambil mencengkram kedua bahu Mevin tapi anaknya itu memalingkan wajahnya. Lea perlahan berjalan mendekati Mevin dari sisi sebelahnya, Lea tangkup pipi anaknya itu, ia bawa Mevin dengan matanya yang merah itu menatap wajah Lea.

“Anak Mama kenapa kaya gini?” tanya Lea lembut. Mevin hanya bisa menunduk, perlahan Lea raih tangan Mevin, Lea satukan jemari Mevin dan miliknya dalam satu genggaman.

“Jangan kaya gini, sayang, jangan―” Jeremy hanya bisa mengatur napasnya dan menahan air matanya yang menumpuk, ia pun beranjak mengambil obat dan kapas untuk membersihkan luka di tubuh Mevin.

“Kuat itu perlu, kan, Ma? Lemah itu bukan suatu kesalahan, kan? Kali ini Mevin kalah sama keadaan.” Mevin tertunduk lesu.

Bibir Lea bergetar saat menjawab penuturan anaknya itu, “iya, nggak salah, tapi jangan sampai lukain diri sendiri, sayang.” “Capek, Ma.”

Mevin kini melepaskan genggaman tangan Mamanya itu. Lea tidak menjawab apa-apa ia langsung menarik tubuh Mevin, mencium pipi Mevin dan memeluknya erat. Pada sebuah masa, tidak pernah sekalipun Lea tega melihat anak-anaknya menangis. Saat Lauren harus menangis karena Willy, saat Jevin menangis karena merasa bersalah terhadap Letta dan Mevin, dan saat Mevin ada di titik terendahnya seperti ini.

“Ada Mama, ada Papa,” kata Lea sambil merenggangkan pelukan perlahan, Jeremy yang datang membawa kapas dan obat pun langsung mengobati goresan dan luka di kaki Mevin di beberapa titik.

Mevin hanya diam dan tertunduk menahan tangisannya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, kini Jeremy mengangkat tubuh Mevin dan ia gendong di punggungnya dan ia baringkan Mevin di tempat tidurnya, lalu Jeremy tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengelus puncak kepala Mevin sebentar lalu melenggang keluar dari sana. Lea masih disana duduk di sebelah Mevin dan menggenggam tangan anaknya.

“Temenin Mevin sampai tidur, boleh, Ma?” tanya Mevin.

“Tidur aja, Mama temenin Mevin sampai tidur.” Lea mengangguk lalu mengecup punggung tangan anaknya itu. Mevin memejam perlahan dan Lea masih disana sampai anaknya itu benar-benar terlelap. Lea juga menyelimuti tubuh Mevin baru ia beranjak keluar dari sana.


Betapa terkejutnya Lea saat ia melangkah masuk ke kamarnya, ia melihat Jeremy yang tengah duduk di kursi di meja kerjanya, tangannya ia gunakan untuk menopang kepalanya yang agak tertunduk, tapi punggungnya bergetar.

Lea berjalan mendekat tanpa kata, perlahan ia melingkarkan lengan di tubuh Jeremy. Lengan Lea melingkar di leher Jeremy dan Lea mengecup puncak kepala Jeremy.

“Jeremy―sayang, jangan nangis,” kata Lea lirih. Jeremy tidak membalas perkataan itu, melainkan kini ia menyandarkan tubuhnya kepada Lea.

“Nggak kuat lihatnya, nggak bisa, Lea―terlalu sakit.” Lea memberikan beberapa usapan berulang di pundak Jeremy, ia kehilangan kata-katanya, seketika bisu, seluruh keluarganya merasa sakit sekarang.

Sejenak Lea juga terpikir oleh keadaan Grace di Singapore, lalu ia memikirkan Mevin lagi. Sungguh keadaan sedang ada di titik kacau dan kalutnya sekarang. Bahkan Jeremy menangis keras lebih keras dan menyakitkan daripada tangisan Jeremy saat hendak mengajukan surat gugatan cerai dengan Lea dulu.

Hati Grace bak dibilah belati usai melihat video singkat yang Mevin kirimkan itu. Di bawah jingga yang memudar, Grace masuk ke kamar mandi apartemennya, mencuci wajahnya lalu menatap cermin yang ada di sana. Ia belum menangis tapi dadanya sangat sesak.

Bagaimana keadaan Mevin sekarang?

Sesakit apa yang Mevin rasakan sekarang?

Bagaimana mungkin Mevin kehilangan kemampuan menggerakkan bagian tubuhnya?

Mengapa harus Mevin?

Pikiran Grace melalangbuana dalam lamunannya yang membawanya ke antah berantah―jauh. Ia belum menemukan titik untuk dirinya kembali, ia baru saja merangkak hendak mengembalikan dirinya seperti sedia kala, tapi keadaan memaksanya jatuh lagi. Satu kenyataan pahit yang ia terima, berkas senyuman di wajah ayu Grace kini pudar.

Sebuah tamparan keras untuk hidup dan dirinya seakan diberikan Sang Kuasa bertubi-tubi. Belum selesai ia dengan urusan batinnya, sekarang ditambah Mevin.

Grace menatap dirinya yang kacau dan kalut di cermin, ia ingin menangis meraung tapi tidak bisa. Sungguh, itu rasanya lebih menyiksa dari apapun. Maka Grace keluar dari kamar mandi lalu menuju tempat tidurnya, ia duduk di lantai dan bersandar pada tempat tidurnya, Grace meraih ponselnya, tangannya masih gemetar tapi ia beranikan diri untuk menelfon Mevin.

Beberapa kali percobaan panggilan Mevin abaikan bahkan Mevin putus panggilan itu sepihak.

Grace masih mencobanya, hingga akhirnya...

“Apa?” suara Mevin yang berat di seberang sana terdengar. Grace membeku, ia dengar suara kekasihnya sekarang, tunggu―entah keduanya masih bisa disebut sepasang kekasih atau tidak?

You okay?” tanya Grace dengan suara gemetar. Mevin diam. Grace diam. Grace mengatur napasnya yang mulai berat, sementara Mevin terdengar gusar.

“Mevin ....” Grace sekali lagi memanggil lirih kekasihnya. Tidak ada jawaban beberapa detik hingga akhirnya Grace hanya mendengar suara isakan tangis pedih yang menyayat hati. Awalnya lirih, Grace gigit bibir bawahnya.

Isakan di seberang sana terdengar lagi, isakan tangis jiwa Mevin yang rapuh pada akhirnya Grace dengar, Grace mengepalkan tangannya, jantungnya berdegup tak beraturan, sesak dan sakit.

“Aku mau sendiri,” kata Mevin di seberang sana, terdengar ia berpura-pura kuat. Tembok kokoh itu rubuh juga.

“Iya, sendiri dulu. Tapi kalau mau nangis nggak papa, jangan ditahan, jangan sendiri, jangan sakit sendiri―”

Belum usai Grace dengan kalimatnya, sebuah raungan histeris dan tangisan keras terdengar jelas di telinga Grace. Maka saat itu juga air mata Grace turun tanpa komando. Dadanya sesak mendengar tangisan keras Mevin di telepon saat itu. Bibir Grace bergetar, tangan dan kakinya dingin seketika.

Baru kali ini Grace mendengar Mevin sehancur ini di atas tangisannya, baru kali ini Grace merasakan sakit dan sesaknya Mevin. Sosok kuat dan berhati besar di hidup Grace itu kini juga rapuh, sakit, ada di titik terendahnya.

“Mevin―”

PYARRR

Suara pecahan benda di sambungan telepon Mevin terdengar dan membuat Grace panik.

“Mevin!! Mevin!!”

“Arghhhhh!! Brengseekkk!!” jerit Mevin di sebelah sana sambil membanting barang-barang yang membuat Grace juga ketakutan. Tiba-tiba sambungan telepon itu terputus sepihak. Grace dengan tangannya yang dingin dan gemetar masih mencoba menghubungi Mevin lagi tapi Mevin menonaktifkan ponselnya.

Grace kelimpungan bukan main, ia bangkit berdiri dan terus mencoba menelfon Mevin lagi tapi nihil. Saat itu juga Grace menangis, baru ia bisa menangis, ia belum pernah mendengar teriakan se depresi itu dari Mevin, ia belum pernah mendengar Mevin menangis sebegitu kerasnya. Grace bungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangannya, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan memeluk guling dan menangis di sana seorang diri, tak ada yang bisa ia lakukan saat ini, entah berapa jam Grace menangis hingga ia tertidur di sana. Dua jiwa yang terpisah jarak sedang berada di titik terendah mereka. Sama sama terluka dan tidak bisa menyembuhkan luka satu sama lain.  

Denting jam selalu membawa Mevin mengingat Grace. Setiap ia membuka mata hanya ada bayang Grace yang terlintas di benaknya. Pada kenyataannya, Mevin berubah sikap menjadi dingin karena ia sendiri pun belum bisa menerima keadaan dirinya sekarang. Banyak kemungkinan yang susah untuk ditiadakan Mevin saat ini.

Bagaimana kalau Grace menjauh?

Bagaimana kalau Grace tidak bisa menerimanya?

Kalaupun Grace tetap tinggal, atas dasar cinta atau iba?

Bahkan jika Grace masih menerima Mevin, diri Mevin sendiri pun masih sulit menerima kenyataannya.

Sekarang Mevin paham bagaiamana rasanya menjadi Grace selama ini. Kali ini Mevin hanya duduk di ranjangnya bersandar pada headboard sambil memainkan ponselnya. Kembali memutar video kebersamaannya dengan Grace dan melihat beberapa foto mereka berdua. Mevin terbiasa memastikan Grace dalam keadaan baik, tapi kali ini ia tidak bisa memastikan itu, bahkan memastikan dirinya baik saja pun tidak bisa. Ia anggap keadaannya sekarang yang lumpuh adalah kekurangan dan sesuatu yang membuatnya malu. Bukankah wajar merasa seperti itu?

Kali ini Mevin kehilangan dirinya. Yang lebih menyedihkan dari tersiksa rindu dan lara di sekali waktu karena bentangan jarak yang membentang adalah keduanya tidak bisa saling mengetahui keadaan dan lara satu sama lain. Mengadakan segala pikiran yang semula tidak pernah ada, meniadakan suatu kepercayaan yang semula ada.

“Mevin...” Suara Jevin dari luar kamar Mevin membuyarkan lamunan Mevin.

Mevin mendengus kesal, rasanya ia tidak ingin bertemu siapapun, ia ingin menyendiri, entah sampai kapan. Jam makan ia abaikan, beberapa lecet di lengan dan sikunya juga tidak terhindar, karena kadang Mevin nekat menggerakkan dirinya dan membuat ia terjatuh hingga beberapa kali terluka. Untuk meminta tolong kepada anggota keluarganya ia enggan―malu dan merepotkan.

“Apa?” balas Mevin sedikit berteriak lalu menutup ponselnya dan menaruhnya di atas bantal.

“Kenapa lo kunci pintu?!”

“Biar nggak ada yang masuk!” Maka suara Jevin tidak terdengar lagi.

Sejenak berlalu, tapi kini yang terdengar adalah suara beberapa orang di depan pintu kamar Mevin, ia bingung tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya pintu didobrak oleh Jeremy dan Jevin. Papa Mevin dan saudara kembar Mevin itu melihat Mevin yang nampak melayangkan tatapan malas kepada Papanya dan Jevin yang masuk ke sana kala itu.

“Makan dulu, ya? Belum makan dari siang, kan?” tanya Jeremy lembut.

“Nggak mau, nanti aja.” Mevin berkata dengan ketus.

“Mev, Mama udah masak buat lo. Ayo lah,” kata Jevin sambil mendorong kursi roda mendekat ke arah tempat tidur Mevin hingga kini kursi roda itu sudah ada tepat di sebelah Mevin.

BRAKKKK Mevin menghempaskan kursi roda itu dengan tangannya, Jevin dan Jeremy kaget melihat tingkah Mevin saat itu.

“Nak!” pekik Jeremy lalu membenarkan posisi kursi roda itu, sementara Jevin langsung mendekat ke arah Mevin, ia taruh tangan Mevin melingkar di leher dan pundaknya dan berniat ingin mengangkat tubuh saudara kembarnya itu, tapi Mevin malah memberontak melepaskan paksa tangannya dari Jevin.

“Lepasin gue nggak?!” sergah Mevin, hal itu diacuhkan Jevin. Ia masih berusaha mengangkat tubuh Mevin tapi Mevin sekali lagi berteriak, “LEPASIN GUE!” dengan napas yang memburu.

Jevin memejamkan mata sesaat dan mencoba mengatur napasnya sesaat, atmosfer di kamar itu terasa mencekam sesaat. Jeremy sudah tidak tahu harus mengatakan apa. Kini Jeremy meninggalkan kamar Mevin, meninggalkan kedua anak kembarnya disana.

“Keluar lo dari sini!” kata Mevin kepada Jevin. Tapi, Jevin masih disana berdiri mematung. Melihat Mevin sekarang, sangat hancur rasanya bagi Jevin. Sosok terkuat di keluarganya setelah Mama Lea kini rapuh bak diruntuhkan badai.

Ketabahan dan kesabaran Mevin gugur perlahan. Malam-malam setelah kejadian itu, setelah kelumpuhan Mevin adalah malam yang buruk bagi Mevin setiap harinya. Kini Mevin membuang pandangannya ke arah lain.

“Lo sama aja nyiksa diri sendiri dan orang-orang sekitar lo, keluarga lo!” Jevin menekankan kalimatnya.

“Gue nyiksa diri sendiri, bukan nyiksa keluarga.”

“TAPI KITA TERSIKSA LIHAT LO KAYA GINI!” Jevin berteriak nyaring yang membuat Mevin kaget dan membulatkan matanya, lalu Mevin mendengus dan terkekeh diatas kepedihan.

“Yang lumpuh gue, kalian nggak perlu tersiksa, gue yang tersiksa nggak bisa ngapa-ngapain.” Mevin masih berkata dengan ketus.

“Karena lo kaya gitu! Sikap lo itu yang bikin kita tersiksa! Lihat lo kaya gitu bikin kita tersiksa, lo nggak ngerti kan sesakit apa kita semua? Lo nggak pernah tahu kan seberapa Mama, Cici bahkan Letta nangis? Lo nggak pernah tahu gimana Papa batalin beberapa rencana bisnis ke luar kota cuma mau nemenin lo!”

“See? Gue kan nyusahin keluarga doang.” Mendengar perkataan Mevin itu, rahang Jevin mengeras ia tahan emosinya dengan kepalan tangannya. Ia mencoba mengatur napas karena ia paham betul bagaiamana posisi Mevin sekarang.

“Bukan gitu―”

“Keluar aja, Jev.” Mevin membuang pandangannya ke arah depan dengan tatapan kosong.

Jevin masih disana, berdiri mematung dan mengatur napas serta emosinya.

“GUE BILANG KELUAR, YA KELUAR!” pekik Mevin nyaring.

Jevin tidak bisa menahan emosinya lagi. Kini ia mengangkat tubuh Mevin sekuat tenaga, ia dudukkan Mevin di kursi roda dan mendorong Mevin keluar kamar menuju ruang tamu. Mevin terkejut disana ada Mamanya yang tengah menangis di pelukan Papanya. Lea tersedu dan terisak di pelukan Jeremy, tapi saat melihat Mevin dan Jevin, Lea buru-buru menghapus air matanya dan menegakkan posisi duduknya.

“Mevin maunya makan tapi disuapin Mama.” Jevin berbohong, saat itu juga Jevin beranjak meraih kunci mobilnya.

“Pa, Ma, Mev, pulang dulu ya.” Jevin mencium tangan kedua orang tuanya itu.

“Hati-hati, sayang, jangan ngebut.” Lea memeluk dan mencium kening anaknya itu. Jevin tersenyum lalu memeluk Jeremy sejenak. Mevin sedikit kesal dengan tindak nekat Jevin itu. Dan Jevin berlalu dari sana. Kini, Lea beranjak ke meja makan mengambilkan makanan untuk Mevin lalu kembali lagi ke sana. Jeremy duduk di sofa hanya memandangi Lea di sebelahnya yang dengan telaten dan sabar menyuapi Mevin.

“Udah, aja, Ma.” Mevin meminta Mamanya menghentikan suapan untuk dirinya.

“Baru tiga sendok, boy.” Jeremy mendekat memberikan gelas minuman kepada Mevin. Mevin menerimanya dan meneguk minuman itu sebelum Jeremy menaruh gelas di meja.

“Udah, Mevin nggak laper.”

“Mevin, anak Mama, lagi mau makan apa? Mama beliin sama Papa, ya?” Lea berlutut di depan Mevin sambil meraih tangan anaknya itu.

“Nggak mau apa-apa, Ma.”

“Atau kita mau keluar bertiga? Makan di luar mumpung jam segini?” tanya Jeremy sambil beranjak berdiri berniat ingin mengambil kunci mobil.

“Haha―” tawa Mevin menghentikan langkah Papanya itu.

“Mau ngajak anak yang nggak bisa jalan ini buat keluar? Cuma bikin repot aja,” kata Mevin sambil memundurkan kursi rodanya perlahan dan hendak masuk ke kamarnya. Lea yang tadinya hendak mendorong kursi roda Mevin itu juga menghentikan tindakannya karena Mevin sudah melayangkan tatapan tajam kepadanya.

“Mevin―” Lea menatap anaknya itu dengan mata berkaca-kaca.

“Jangan lihat Mevin kaya gitu, Ma. Mevin nggak mau dikasihani.”

“Mevin!” Jeremy berkata dengan nyaring. Mevin menghentikan pergerakannya.

“Siapa yang kasihan? Ini udah kewajiban Papa dan Mama rawat kamu, rawat anak Papa sama Mama.” Jeremy berkata dengan menahan amarah, ia kontrol dirinya sebisa mungkin.

“Maaf, Pa, Ma. Kalau Mevin jadi anak angkat yang bisanya ngerepotin Papa sama Mama aja.” Tanpa kata lagi, Mevin sudah mengerakkan kursi rodanya memasuki kamar dan menutup pintu kamarnya itu.

“Mevin!” panggil Jeremy dan hendak berjalan mengikuti Mevin tapi Lea menahannya.

“Jangan,” kata Lea sambil menangis. Jeremy yang melihat istrinya menangis itu langsung memeluk Lea erat. Membiarkan Lea menangis di pelukannya. Kalimat Mevin tadi benar-benar membuat Lea tersentuh, sedikit pilu.

“Aku sedih denger kata-kata Mevin, label anak angkat masih dia ingat disaat seperti ini, buatku, Jer―Lauren, Jevin dan Mevin itu sama-sama anakku. Aku paham posisi dan keadaan Mevin, tapi kalau dia ingat hal itu terus, bukannya itu juga nyiksa dia? Bahkan dia yang paling tersiksa dan ngerasa sakit, kan? Anak itu terlalu banyak nahan sakit bahkan sejak dia lahir.” Kalimat Lea nyatanya membuat Jeremy meneteskan air mata juga saat itu. Jeremy tidak bisa mengatakan apapun selain hanya bisa memberikan tepuakan dan kecupan penenang bagi Lea.

Everything gonna be okay, doain Mevin, ya?” bisik Jeremy saat itu, Lea mengangguk dan membenamkan wajah di pelukan Jeremy serta menumpahkan segala tangisannya disana. Sebenarnya Mevin masih ada di balik pintu kamarnya, ia mendengar suara Mamanya yang menangis terisak. Hal itu membuat Mevin yang tengah memegang figura fotonya bersama Papa Mamanya itu juga meneteskan air mata.

Lahir bukan dari rahim Lea nyatanya juga tidak membuat Mevin diperlakukan berbeda. Mevin merasa sesak di dadanya. Ia merasa sakit, ternyata keluarganya juga, belum lagi pikiran tentang penerimaan Grace terhadapnya yang masih ia sembunyikan rapat-rapat. Semua berkecamuk.

“Kenapa, Tuhan.... Kenapa aku?” isak Mevin perlahan. Ia tertunduk dan memejamkan matanya. Belum juga ia jumpai sebuah jawab atau sebuah titik terang, semua terasa gelap dan kalut. Mevin hancur, menerima dirinya sendiri saja tidak bisa, Mevin yang kuat kini ada di titik terlemahnya. Rapuh. Kehilangan dirinya.  

Denting jam selalu membawa Mevin mengingat Grace. Setiap ia membuka mata hanya ada bayang Grace yang terlintas di benaknya. Pada kenyataannya, Mevin berubah sikap menjadi dingin karena ia sendiri pun belum bisa menerima keadaan dirinya sekarang. Banyak kemungkinan yang susah untuk ditiadakan Mevin saat ini.

Bagaimana kalau Grace menjauh?

Bagaimana kalau Grace tidak bisa menerimanya?

Kalaupun Grace tetap tinggal, atas dasar cinta atau iba?

Bahkan jika Grace masih menerima Mevin, diri Mevin sendiri pun masih sulit menerima kenyataannya.

Sekarang Mevin paham bagaiamana rasanya menjadi Grace selama ini. Kali ini Mevin hanya duduk di ranjangnya bersandar pada headboard sambil memainkan ponselnya. Kembali memutar video kebersamaannya dengan Grace dan melihat beberapa foto mereka berdua. Mevin terbiasa memastikan Grace dalam keadaan baik, tapi kali ini ia tidak bisa memastikan itu, bahkan memastikan dirinya baik saja pun tidak bisa. Ia anggap keadaannya sekarang yang lumpuh adalah kekurangan dan sesuatu yang membuatnya malu. Bukankah wajar merasa seperti itu?

Kali ini Mevin kehilangan dirinya. Yang lebih menyedihkan dari tersiksa rindu dan lara di sekali waktu karena bentangan jarak yang membentang adalah keduanya tidak bisa saling mengetahui keadaan dan lara satu sama lain. Mengadakan segala pikiran yang semula tidak pernah ada, meniadakan suatu kepercayaan yang semula ada.

“Mevin...” Suara Jevin dari luar kamar Mevin membuyarkan lamunan Mevin.

Mevin mendengus kesal, rasanya ia tidak ingin bertemu siapapun, ia ingin menyendiri, entah sampai kapan. Jam makan ia abaikan, beberapa lecet di lengan dan sikunya juga tidak terhindar, karena kadang Mevin nekat menggerakkan dirinya dan membuat ia terjatuh hingga beberapa kali terluka. Untuk meminta tolong kepada anggota keluarganya ia enggan―malu dan merepotkan.

“Apa?” balas Mevin sedikit berteriak lalu menutup ponselnya dan menaruhnya di atas bantal.

“Kenapa lo kunci pintu?!”

“Biar nggak ada yang masuk!” Maka suara Jevin tidak terdengar lagi.

Sejenak berlalu, tapi kini yang terdengar adalah suara beberapa orang di depan pintu kamar Mevin, ia bingung tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya pintu didobrak oleh Jeremy dan Jevin. Papa Mevin dan saudara kembar Mevin itu melihat Mevin yang nampak melayangkan tatapan malas kepada Papanya dan Jevin yang masuk ke sana kala itu.

“Makan dulu, ya? Belum makan dari siang, kan?” tanya Jeremy lembut.

“Nggak mau, nanti aja.” Mevin berkata dengan ketus.

“Mev, Mama udah masak buat lo. Ayo lah,” kata Jevin sambil mendorong kursi roda mendekat ke arah tempat tidur Mevin hingga kini kursi roda itu sudah ada tepat di sebelah Mevin.

BRAKKKK Mevin menghempaskan kursi roda itu dengan tangannya, Jevin dan Jeremy kaget melihat tingkah Mevin saat itu.

“Nak!” pekik Jeremy lalu membenarkan posisi kursi roda itu, sementara Jevin langsung mendekat ke arah Mevin, ia taruh tangan Mevin melingkar di leher dan pundaknya dan berniat ingin mengangkat tubuh saudara kembarnya itu, tapi Mevin malah memberontak melepaskan paksa tangannya dari Jevin.

“Lepasin gue nggak?!” sergah Mevin, hal itu diacuhkan Jevin. Ia masih berusaha mengangkat tubuh Mevin tapi Mevin sekali lagi berteriak, “LEPASIN GUE!” dengan napas yang memburu.

Jevin memejamkan mata sesaat dan mencoba mengatur napasnya sesaat, atmosfer di kamar itu terasa mencekam sesaat. Jeremy sudah tidak tahu harus mengatakan apa. Kini Jeremy meninggalkan kamar Mevin, meninggalkan kedua anak kembarnya disana.

“Keluar lo dari sini!” kata Mevin kepada Jevin. Tapi, Jevin masih disana berdiri mematung. Melihat Mevin sekarang, sangat hancur rasanya bagi Jevin. Sosok terkuat di keluarganya setelah Mama Lea kini rapuh bak diruntuhkan badai.

Ketabahan dan kesabaran Mevin gugur perlahan. Malam-malam setelah kejadian itu, setelah kelumpuhan Mevin adalah malam yang buruk bagi Mevin setiap harinya. Kini Mevin membuang pandangannya ke arah lain.

“Lo sama aja nyiksa diri sendiri dan orang-orang sekitar lo, keluarga lo!” Jevin menekankan kalimatnya.

“Gue nyiksa diri sendiri, bukan nyiksa keluarga.”

“TAPI KITA TERSIKSA LIHAT LO KAYA GINI!” Jevin berteriak nyaring yang membuat Mevin kaget dan membulatkan matanya, lalu Mevin mendengus dan terkekeh diatas kepedihan.

“Yang lumpuh gue, kalian nggak perlu tersiksa, gue yang tersiksa nggak bisa ngapa-ngapain.” Mevin masih berkata dengan ketus.

“Karena lo kaya gitu! Sikap lo itu yang bikin kita tersiksa! Lihat lo kaya gitu bikin kita tersiksa, lo nggak ngerti kan sesakit apa kita semua? Lo nggak pernah tahu kan seberapa Mama, Cici bahkan Letta nangis? Lo nggak pernah tahu gimana Papa batalin beberapa rencana bisnis ke luar kota cuma mau nemenin lo!”

“See? Gue kan nyusahin keluarga doang.” Mendengar perkataan Mevin itu, rahang Jevin mengeras ia tahan emosinya dengan kepalan tangannya. Ia mencoba mengatur napas karena ia paham betul bagaiamana posisi Mevin sekarang.

“Bukan gitu―”

“Keluar aja, Jev.” Mevin membuang pandangannya ke arah depan dengan tatapan kosong.

Jevin masih disana, berdiri mematung dan mengatur napas serta emosinya.

“GUE BILANG KELUAR, YA KELUAR!” pekik Mevin nyaring.

Jevin tidak bisa menahan emosinya lagi. Kini ia mengangkat tubuh Mevin sekuat tenaga, ia dudukkan Mevin di kursi roda dan mendorong Mevin keluar kamar menuju ruang tamu. Mevin terkejut disana ada Mamanya yang tengah menangis di pelukan Papanya. Lea tersedu dan terisak di pelukan Jeremy, tapi saat melihat Mevin dan Jevin, Lea buru-buru menghapus air matanya dan menegakkan posisi duduknya.

“Mevin maunya makan tapi disuapin Mama.” Jevin berbohong, saat itu juga Jevin beranjak meraih kunci mobilnya.

“Pa, Ma, Mev, pulang dulu ya.” Jevin mencium tangan kedua orang tuanya itu.

“Hati-hati, sayang, jangan ngebut.” Lea memeluk dan mencium kening anaknya itu. Jevin tersenyum lalu memeluk Jeremy sejenak. Mevin sedikit kesal dengan tindak nekat Jevin itu. Dan Jevin berlalu dari sana. Kini, Lea beranjak ke meja makan mengambilkan makanan untuk Mevin lalu kembali lagi ke sana. Jeremy duduk di sofa hanya memandangi Lea di sebelahnya yang dengan telaten dan sabar menyuapi Mevin.

“Udah, aja, Ma.” Mevin meminta Mamanya menghentikan suapan untuk dirinya.

“Baru tiga sendok, boy.” Jeremy mendekat memberikan gelas minuman kepada Mevin. Mevin menerimanya dan meneguk minuman itu sebelum Jeremy menaruh gelas di meja.

“Udah, Mevin nggak laper.”

“Mevin, anak Mama, lagi mau makan apa? Mama beliin sama Papa, ya?” Lea berlutut di depan Mevin sambil meraih tangan anaknya itu.

“Nggak mau apa-apa, Ma.”

“Atau kita mau keluar bertiga? Makan di luar mumpung jam segini?” tanya Jeremy sambil beranjak berdiri berniat ingin mengambil kunci mobil.

“Haha―” tawa Mevin menghentikan langkah Papanya itu.

“Mau ngajak anak yang nggak bisa jalan ini buat keluar? Cuma bikin repot aja,” kata Mevin sambil memundurkan kursi rodanya perlahan dan hendak masuk ke kamarnya. Lea yang tadinya hendak mendorong kursi roda Mevin itu juga menghentikan tindakannya karena Mevin sudah melayangkan tatapan tajam kepadanya.

“Mevin―” Lea menatap anaknya itu dengan mata berkaca-kaca.

“Jangan lihat Mevin kaya gitu, Ma. Mevin nggak mau dikasihani.”

“Mevin!” Jeremy berkata dengan nyaring. Mevin menghentikan pergerakannya.

“Siapa yang kasihan? Ini udah kewajiban Papa dan Mama rawat kamu, rawat anak Papa sama Mama.” Jeremy berkata dengan menahan amarah, ia kontrol dirinya sebisa mungkin.

“Maaf, Pa, Ma. Kalau Mevin jadi anak angkat yang bisanya ngerepotin Papa sama Mama aja.” Tanpa kata lagi, Mevin sudah mengerakkan kursi rodanya memasuki kamar dan menutup pintu kamarnya itu.

“Mevin!” panggil Jeremy dan hendak berjalan mengikuti Mevin tapi Lea menahannya.

“Jangan,” kata Lea sambil menangis. Jeremy yang melihat istrinya menangis itu langsung memeluk Lea erat. Membiarkan Lea menangis di pelukannya. Kalimat Mevin tadi benar-benar membuat Lea tersentuh, sedikit pilu.

“Aku sedih denger kata-kata Mevin, label anak angkat masih dia ingat disaat seperti ini, buatku, Jer―Lauren, Jevin dan Mevin itu sama-sama anakku. Aku paham posisi dan keadaan Mevin, tapi kalau dia ingat hal itu terus, bukannya itu juga nyiksa dia? Bahkan dia yang paling tersiksa dan ngerasa sakit, kan? Anak itu terlalu banyak nahan sakit bahkan sejak dia lahir.” Kalimat Lea nyatanya membuat Jeremy meneteskan air mata juga saat itu. Jeremy tidak bisa mengatakan apapun selain hanya bisa memberikan tepuakan dan kecupan penenang bagi Lea.

Everything gonna be okay, doain Mevin, ya?” bisik Jeremy saat itu, Lea mengangguk dan membenamkan wajah di pelukan Jeremy serta menumpahkan segala tangisannya disana. Sebenarnya Mevin masih ada di balik pintu kamarnya, ia mendengar suara Mamanya yang menangis terisak. Hal itu membuat Mevin yang tengah memegang figura fotonya bersama Papa Mamanya itu juga meneteskan air mata.

Lahir bukan dari rahim Lea nyatanya juga tidak membuat Mevin diperlakukan berbeda. Mevin merasa sesak di dadanya. Ia merasa sakit, ternyata keluarganya juga, belum lagi pikiran tentang penerimaan Grace terhadapnya yang masih ia sembunyikan rapat-rapat. Semua berkecamuk.

“Kenapa, Tuhan.... Kenapa aku?” isak Mevin perlahan. Ia tertunduk dan memejamkan matanya. Belum juga ia jumpai sebuah jawab atau sebuah titik terang, semua terasa gelap dan kalut. Mevin hancur, menerima dirinya sendiri saja tidak bisa, Mevin yang kuat kini ada di titik terlemahnya. Rapuh. Kehilangan dirinya.  

Mevin bersandar di headboard tempat tidurnya. Memainkan ponselnya guna melepaskan sedikit penatnya ulah selama beberapa jam tadi ia menghabiskan waktu di Rumah Sakit untuk terapi. Semenjak kecelakaan yang menimpanya, membuat Mevin kehilangan kemampuan berjalannya, beberapa anggota tubuhnya juga kadang mati rasa dan tidak bisa digerakkan.

Banyak kesulitan yang Mevin hadapi sebenarnya, dunianya sudah runtuh semenjak kecelakaan itu, ditambah hubungannya yang harus ada di titik berpisah sementara dengan Grace. Kalau ada kata lebih dari runtuh, mungkin itu yang Mevin rasakan.

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Kala itu rumah sepi karena Lea dan Jeremy, kedua orang tua Mevin yang belum juga pulang dari kantor. Padahal biasanya sebelum pukul lima, kedua orang tua Mevin itu sudah kembali. Tapi Mevin kembali membuka ponselnya, ia sendiri pun tidak tahu harus melakukan apa di tengah kesendiriannya itu.

Kadang Mevin juga masih mempertanyakan takdir, apakah ia benar bisa sembuh dan kembali seperti semula atau tidak. Apakah ia bisa kembali menjalin hubungan dengan Grace atau tidak.

Lamunan itu membawa pikiran Mevin melayang jauh, hingga akhirnya suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

“Masuk!” seru Mevin dari sana. Maka saat pintu dibuka, Mevin melihat Kenzo dan Jevin serta seorang gadis kecil yang langsung berlari menghampiri Mevin dengan membawa sebuah paper bag.

“Koko Mevin!” seru Kenzie, gadis kecil yang baru akan naik kelas dua sekolah dasar itu.

“Enzi!” Mevin girang dan membuka lengannya lebar, Kenzie langsung naik ke tempat tidur Mevin lalu memeluk Mevin.

“Ada yang kangen kokonya banget ini,” kata Jevin yang juga masuk ke kamar Mevin diikuti Kenzo.

“Ikut ko Jevin sama kakak Kenzo juga yang dicari Koko Mevin terus, ya?” kata Jevin sambil tertawa kecil sambil melihat ke arah Kenzie yang masih bergelayut gemas di pelukan Mevin.

“Kak Kenzo sama Koko Jevin main game terus, Zi nggak ngerti, biasanya kalau ada Koko Mevin kan Zi main sama Koko Mevin, beli ice cream sama main ke Timezone.” Kenzie memanyunkan sedikit bibirnya, Mevin tersenyum sambil mengelus rambut Kenzie.

“Ko Mevin lagi nggak bisa main, maaf ya, cantik.” Kenzie menatap Mevin sambil menggelengkan kepalanya dan masih memanyunkan bibirnya.

“Kok gitu? Kan ini udah dianterin ke Ko Mevin, kok masih nggak mau?” tanya Kenzo sambil duduk di tepi ranjang Mevin.

“Zi maafin Ko Mevin kalau Koko Mevin makan ice cream ini sama Zi!” seru Kenzie girang sambil menunjukkan paper bag yang ia bawa tadi. Jevin dan Kenzo terkekeh melihat tingkah gadis kecil ini.

Keluarga Kenzie dan Kenzo yang dekat dengan keluarga Mevin serta Jevin membuat kadang Kenzie sering berkunjung atau kadang juga Mevin yang mengajak Kenzie untuk hangout.

Sudah beberapa minggu semenjak Mevin kehilangan kemampuan menggerakkan beberapa bagian tubuhnya pasca kecelakaan itu Kenzie tidak pernah bertemu Mevin, di sisi lain juga Mevin tidak bisa mengajak Kenzie bermain atau sekedar menggendongnya seperti biasa. Tapi raut wajah Mevin berubah semenjak kedatangan Kenzie tadi.

Satu cercah senyum teruntai di wajah Mevin. Bersyukur hari ini Kenzie ikut datang setelah Jevin dan Kenzo mengantar Kenzie, akhirnya Mevin tersenyum lagi.

“Ya udah, kakak sama Ko Jevin tinggal dulu ke depan, ya? Zi disini sama Koko Mevin ya?” ucap Jevin sambil membelai rambut panjang Kenzie. Gadis cilik itu mengangguk gemas, sementara Mevin masih bergelut membuka cup ice cream itu dan bersiap mengambil sendokan pertama dan menyuapinya untuk Kenzie.

“Anak pinter!” ucap Kenzo juga sambil menunjukkan telapak tangannya untuk mengajak Kenzie melakukan tos dan dibalas oleh Kenzie sambil tersenyum.

“Good girl!” kata Kenzo lagi. Maka Jevin dan Kenzo meninggalkan Kenzie dan Mevin disana. Mevin dengan sabar dan telaten menyuapi sendok demi sendok ice cream untuk Kenzie.

“Maaf ya, koko nggak bisa nemenin Kenzie main, nggak bisa ke timezone,” kata Mevin sambil membersihkan sisa ice cream di bibir Kenzie.

“Iya, kata Aunty Ko Mevin lagi sakit, Zi sedih kalau Ko Mevin sakit tapi Zi lebih sedih kalau nggak ketemu Ko Mevin.” Kenzie berkata dengan nada lesu. Hal itu mengundang rasa gemas di hati Mevin. Maka Mevin menaruh cup ice cream tadi di sebelahnya lalu meminta Kenzie duduk di pangkuannya.

“Sini sama Koko,” kata Mevin. Kenzie pun menurut. Mevin memangku Kenzie dan gadis kecil itu menyandarkan kepalanya di dada Mevin lalu Kenzie dengan raut muka sedikit cemberut memainkan ujung rambutnya dan sedikit menunduk.

“Kenapa? Kok cemberut?” tanya Mevin.

Kenzie pun mendongakkan sedikit kepalanya menatap Mevin, “Ko Mevin kapan bisa main sama Zi lagi?” tanyanya.

“Belum tahu, doain biar Koko bisa jalan lagi, ya?”

“Koko Mevin dokter, kenapa Koko sakit? Nanti yang sembuhin orang yang sakit siapa? Zi kesal sama yang bikin Ko Mevin sakit gini,” ujar Kenzie seraya menyandarkan tubuhnya lagi di dada Mevin.

“Kak Kenzo main sama Ko Jevin selalu main game, berisik kalau main, Zi disogok ice cream sama cotton candy terus, tapi tetep aja, Zi kangennya sama Ko Mevin.”

Mevin mencubit pelan pipi Kenzie, “tadi kesini nggak bawa homework? Biasanya kan kamu minta Ko Mevin ajarin kamu,” katanya.

Kenzie menggeleng, “udah Zi kerjain sebelum kesini, Zi kesini kan mau main sama Ko Mevin,” balasnya.

“Kalau Ko Mevin nggak mau?” goda Mevin.

“Koko nggak mau main sama Zi?” tanya Kenzie lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Mevin menggeleng, Kenzie melengkungkan bibirnya membuatnya cemberut. Mevin menjadi tidak tgea

“Kenapa kok nggak mau?” Mata Kenzie membulat dan bibirnya mengerucut. Mevin tidak menjawab, ia memasang muka acuh kepada Kenzie yang membuat gadis kecil itu mencubit lengan Mevin sejenak.

“Aduh! Sakit! Haha―” rintih Mevin, lalu ia meraih kepala Kenzie dan membelai rambut Kenzie lembut, “bercanda, Ko Mevin bercanda, kan Koko juga kangen kamu.” perkataan Mevin itu membuat Kenzie sedikit kesal hingga memalingkan wajahnya tidak mau menatap Mevin, hidungnya memerah dan Kenzie mengerjapkan matanya.

“Aduh, aduh, kesayangan Ko Mevin kenapa nangis? Bercanda, Zi, Koko bercanda,” kata Mevin sedikit terkikik melihat tingkah gemas Kenzie yang hampir menangis. Kenzie menatap Mevin dengan wajah yang masih cemberut tapi Mevin memeluknya.

“Bercanda Zi, jangan nangis, hehe.”

“Koko nyebelin!!” seru Kenzie kesal saat itu sambil berusaha melepaskan pelukan Mevin.

“Haha, kamu nih, mau koko suapin lagi ice creamnya?”

Kenzie yang tadinya cemberut kini perlahan tersenyum, Mevin pun meraih cup ice cream itu lagi dan menyuapi Kenzie. Sementara itu, Kenzie juga membuka iPadnya dan membuka youtube kids lalu memperlihatkan kepada Mevin sebuah video.

“Ko, lihat ini, lucu,” ujarnya sembari menunjukkan video cocomelon kepada Mevin yang saat itu juga melahap satu suapan ice cream sambil memperhatikan Kenzie yang menjelaskan satu per satu tentang apa yang ia lihat di video itu.

“Tapi masih lucuan aku sama Ko Mevin,” kata Kenzie lagi sambil terkekeh yang membuat Mevin tertawa.

Kehadiran Kenzie memang bak pengobat kesepian bagi Mevin. Adik kecilnya itu bisa membuat Mevin tertawa lagi. Usai menghabiskan satu cup ice cream bersama, Mevin menaruh cup ice cream itu di nakas sebelah tempat tidurnya. Kenzie masih fokus ke iPadnya dan bersandar di tubuh Mevin. Tangan Mevin juga melingar memeluk tubuh gadis kecil itu. Selama video ke sekian diputar, Mevin tidak mendengar ocehan Kenzie lagi. Mevin menundukkan kepalanya, melihat ternyata Kenzie sudah terpejam di pelukannya.

“Yaampun, ketiduran.” Mevin pun menyingkirkan iPad di genggaman Kenzie, bersamaan dengan Kenzie yang menggeliat di pelukan Mevin seakan sangat rindu kepada Mevin, sudut bibir Mevin terangkat melihat tingkah gadis kecil itu. Namun, pandangan Mevin tertuju kepada salah satu notifikasi yang muncul di layar gadget Kenzie itu.

“Selamat main sama Ko Mevin, ya, cantik. Nanti kita ketemu ya bertiga kalau Cici udah sembuh.” Notifikasi itu adalah notifikasi chat dari Grace. Seseorang yang juga mengenal Kenzie, seseorang yang merajai seluruh hati dan perasaan Mevin, seseorang yang Mevin sebut di setiap doa di setiap malamnya. Seseorang yang secara tidak sengaja Mevin lukai. Maka Mevin alihkan pandangannya dari iPad Kenzie lalu memeluk gadis kecil di pangkuannya itu. Mevin menempelkan pipinya di puncak kepala Kenzie, pikirannya kembali menerwang mengingat kebersamaannya dengan Grace dan sebesar apa ia merindukan wanita itu.

Taksi yang Mevin naiki usai pulang dari Singapore saat Mevin hendak kembali ke rumah dari bandara mengalami kecelakaan dan Mevin langsung dilarikan ke Rumah Sakit dimana tempat ia bekerja oleh orang-orang yang membantu di lokasi kejadian. Mendengar kabar dari Rumah Sakit, Lea dan Jeremy langsung panik dan bergegas ke rumah sakit. Mevin belum sadarkan diri. Tapi pihak dokter sudah mengatakan satu hal yang meremukkan hati Lea dan Jeremy.

“Mevin mengalami kelumpuhan karena tulang belakang yang cedera dan merusak beberapa sarafnya, meski sifatnya sementara, tapi belum bisa dipastikan berapa lama dan kapan akan kembali. Semua tergantung perkembangan keadaan Mevin sendiri. Setelah ini semoga semua terapi dan pengobatan yang diberikan dapat mempercepat kesembuhannya.” Kalimat itu disampaikan oleh dokter usai menangani Mevin dan menemui Lea serta Jeremy yang masih menunggu di bangku panjang di koridor Rumah Sakit itu.

Alhasil, Lea yang mendengar hal itu langsung menangis di pelukan Jeremy.

“Kenapa harus Mevin? Kenapa anak sebaik itu harus dapet banyak cobaan? Kenapa?!!” tangisnya di pelukan Jeremy sambil mengepalkan tangan dan memukul pelan dada Jeremy. Yang diberi perlakun tidak berkutik karena hati Jeremy sebagai seorang ayah juga hancur.

“Lea―”

“Harus ngomong apa ke Mevin nanti? Harus gimana?!” pekik Lea dengan nada tinggi sambil merenggangkan rengkuh, Jeremy mencoba menenangkan istrinya itu tapi Lea masih kalut. Senja ataupun siang hari selalu terasa gelap selama Lea mendapati keadaan Mevin yang belum kunjung sadar, bahkan bagaimana jadinya jika Mevin harus menerima kenyataan buruk ini setelahnya.

“Harus jujur, jangan ada yang ditutupi. Harus kita terima, sayang.”

“Silahkan kamu yang ngomong ke Mevin, aku nggak sanggup, Jeremy... Nggak sanggup!”

“Terus gimana?” Lea berbalik badan, memijit keningnya dan masih menangis, tak lama brankar rumah sakit didorong keluar, Mevin disana.

Dan akhirnya Mevin dipindahkan ke ruangan rawatnya, diikuti Lea dan Jeremy. Sepanjang hari itu kedua orang tua Mevin menjagai anak lelakinya itu di Rumah Sakit. Jeremy hanya memandangi Lea dari sofa. Lea masih disana memegang tangan Mevin, mengecupnya, membelai kening Mevin sesekali, lalu terisak lagi bahkan hingga Lea terlelap di sana menjaga Mevin, tiba-tiba Lea terbangun setelah lama waktu berlalu, membenamkan wajah di sebelah tangan Mevin.

Lea merasakan Mevin sedikit gusar. Hal itu membuat Lea mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Lea langsung mendekat kepada Mevin.

“Mevin... anak Mama―” kata Lea dengan suara parau.

“Jeremy, Mevin bangun, Jer!” panggil Lea yang membangunkan Jeremy yang juga terlelap di sofa.

“Mama...” ujar Mevin dengan suara beratnya dan mengerjapkan mata menatap Mamanya.

“Iya, Mama disini, nak. Ini Mama sama Papa.” Lea mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Mevin.

“Papa..” ujar Mevin lirih juga saat melihat Papanya ada disana.

“Iya, Mevin, Papa sama Mama disini. Thanks God kamu udah sadar, Nak.” Jeremy tersenyum haru. Mevin berusaha bergerak, ia ingin bangun tapi sulit rasanya. Mevin coba gerakkan kakinya, namun tidak bisa. Mevin coba sentuh kakinya dan gerakkan lagi, tapi tidak bisa.

“Ma, Pa, kaki Mevin kenapa nggak bisa gerak?” tanya Mevin sambil menatap nanar kedua orang tuanya yang kini tertunduk. Tidak ada jawaban dari Jeremy ataupun Lea. Mevin yang mulai mengerti keadaan pun mendengus lalu tersenyum pedih.

“Mama sama Papa pulang aja nggak papa. Mevin sendiri nggak papa.” Mevin berkata dengan nada tenang.

“Nggak, Mama mau disini nemenin kamu.” Lea bersikukuh ingin tetap disana.

“Mama pulang aja sama Papa. Mevin mau sendiri.”

“Nak, Papa sama Mama temenin aja,” sela Jeremy.

Mevin menatap Papanya dengan tatapan tajam, “Mevin mau sendiri.” kata demi kata ia lafalkan dengan penuh penekanan.

Jeremy pun berbisik kepada Lea, “give him space, sebentar aja.”

Lea sempat menepis tangan Jeremy, tapi Jeremy yang paham Mevin ingin diberi ruang sendiri, dan Jeremy yakin Mevin sudah tahu apa yang terjadi kepadanya. Jeremy dan Lea tidak sampai hati mengatakan apapun barang satu kata kepada anak mereka itu. Sulit dan kelu rasanya lidah Jeremy dan Lea. Kini Mevin memalingkan wajah dari kedua orang tuanya itu.

“Mevin mau sendiri.” Mevin berkata lalu memejamkan mata. Lea masih ingin tinggal disana, Lea sedikit terisak saat Jeremy memaksanya keluar dari sana. Tapi pada akhirnya Lea menurut saja. Jeremy dan Lea hancur hati saat menutup pintu ruangan itu.

Saat Mevin memastikan kedua orang tuanya sudah meninggalkan ruangan itu, ia berusaha sekuat tenaga memaksa dirinya sedikit bangun lebih keras hingga ia ada di posisi setengah duduk dan bersandar. Mevin mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana―sendirian.

“Nggak berguna!” gumamnya lirih. Matanya terasa panas, sejenak ia melihat ponselnya yang ada di atas nakas, ponselnya menyala dan berdering, nama Grace terpampang disana. Mevin menundukkan kepalanya, kini matanya tidak bisa lagi menahan antrean air mata yang hendak tumpah ruah. Ia terisak disana, mengabaikan panggilan Grace, bahkan ia meraih ponselnya dan membantingnya ke lantai keras-keras.

“Arghhhh!” teriak Mevin saat itu juga sambil melepas paksa dengan gerakan kasar infus yang terpasang di punggung tangannya, dadanya sesak, Mevin memaksakan diri bergerak memaksa kakinya untuk bergerak, ia layangkan beberapa pukulan ke kakinya sendiri, benar-benar Mevin tidak bisa menggerakkan kakinya kali ini.

Mevin menyerakkan bantal dan selimutnya hingga ia ikut terjatuh tersungkur ke lantai, hal itu membuat Jeremy dan Lea yang sebenarnya masih menunggu di luar di balik pintu langsung masuk dan mendapati Mevin menangis di lantai dengan keadaan kacau.

“Mevin!”

“Nak!” Pekik Jeremy dan Lea hampir bersamaan lalu berlutut langsung menghampiri Mevin.

“Mevin!” Jeremy memegang kedua pundak Mevin tapi anaknya itu memberontak.

“Lepasin Mevin!” teriak Mevin nyaring.

“Nak, jangan kaya gini, Mevin... anak Mama...” Lea kini mencoba memeluk Mevin dari belakang dan menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya. Mevin juga masih memberontak, bahkan sekarang tangisan Mevin mengeras.

“Dunia Mevin―Grace, udah hancur, dunia Mevin sendiri juga hancur!” Teriak Mevin histeris.

Everything gonna be okay, Mevin!” sela Jeremy.

“Apa yang mau diharapin dari Mevin yang nggak bisa apa-apa lagi ini? Mevin nggak bisa jalan, nggak berguna, nggak bisa apa-apa!”

“Mevin... jangan gitu, anak Mama....” Lea menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya dan mendekap anaknya itu serta mengecup puncak kepala Mevin beberapa kali berharap Mevin sedikit tenang.

Mevin memukuli kakinya sendiri lagi, tapi Jeremy mencegahnya, Mevin malah mendorong tubuh Papanya itu, Jeremy sekarang menjadi bisu, segala perasaannya diberingkus oleh rasa sakit yang melanda hatinya. Melihat anaknya yang paling kuat dan ikhlas harus mengalami hal seperti ini.

“Anak Mama, nggak ada yang nggak berguna, Mevin hebat, Tuhan nggak akan biarin Mevin jatuh, Mevin special, Mevin bisa, ya ... yang kuat sayang, ada Mama sama Papa. Mama yakin Grace juga akan ngerti keadaan.”

“Mevin nggak mau Grace tahu!” kata Mevin nyaring.

“Kenapa?” tanya Jeremy dengan nada lesu.

“Grace nggak boleh tahu!” balas Mevin mendelik menatap ayahnya itu, Jeremy hanya bisa diam dan menundukkan wajahnya menahan rasa pilu.

“Iya sayang, iya. Kalau itu maunya Mevin, iya, nggak boleh Grace tahu. Tapi Mevin jangan kaya gini, Mama sedih. Mama, Papa, semua keluarga bakalan ada buat Mevin,” kata Lea. Setelahnya, Mevin sedikit tenang setelah mendengar perkataan Lea, lalu Mevin bersandar di tubuh Lea, kini Mevin juga memegang erat lengan lea yang melingkar di tubuhnya. Mevin masih menangis tapi tidak sekeras tadi. Napasnya terasa berat seketika.

“Kuat sayang, kuat―” Lea mengecup puncak kepala anaknya itu. Jeremy melihat anaknya itu terpejam dan wajahnya memucat. Perlahan pegangan tangan Mevin terhadap tangan Lea terlepas, “Mevin!” pekik Jeremy panik saat mendapati Mevin terkulai lemas tidak sadarkan diri.

Jika bisa meminta kesempatan kepada sang empunya kehidupan mungkin Grace ingin meminta kepada sang empunya kehidupan agar tidak menjatuhkan hati kepada Mevin.

Entah apa yang terjadi, perubahan sikap Mevin mulai membuat Grace menerka hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mevin yang tidak pernah mau mengangkat telepon, membalas pesan Grace, tidak pernah menanyakan keadaan Grace, menjadi dingin, seperti bukan Mevin yang ia kenal.

Petang ini, mentari meredup pulang ke peraduannya, bisik angin perlahan membelai wajah ayu Grace kala ia menunggu kedatangan seseorang di sebuah bangku di Garden by The Bays, tempat terakhir yang ia kunjungi dengan Mevin.

Grace disana menunggu Alicia, mata Grace menyapu seluruh pemandangan disana. Sembari mengingat hal-hal yang ia lakukan bersama Mevin terakhir kali kala itu. Mata Grace sedikit panas saat bayangan Mevin lewat di pikirannya, bayangan saat Mevin menggandeng tangannya, bayangan saat Mevin mendekap erat tubuhnya dan berulang kali mengatakan cinta.

Tak lama Alicia datang dari kejauhan dan melambaikan tangan kepada Grace, dan Grace bangkit berdiri saat Alicia datang. Keduanya saling memeluk sejenak saat sudah berhadapan.

Happy Birthday, Grace. Terima kasih ya, sudah lahir ke dunia,” kata Alicia saat merenggangkan pelukan lalu duduk di sebelah Grace.

Thank you so much,” balas Grace tersenyum.

“Kenapa? Kok tumben ketemunya mau disini?” tanya Alicia bingung.

“Pulang dari sini, Mevin berubah. Dingin, nggak peduli apapun, kaya pribadi yang lain.”

Alicia merangkul dan menepuk punggung Grace lembut.

“Ada masalah mungkin, atau ada hal lain?” katanya.

“Biasanya dia cerita.”

“Ada hal-hal yang bisa diceritain, ada yang enggak.”

Grace menghela napas panjang, “Mevin bukan pribadi yang kaya gini, ini bukan Mevin.” Alicia menggeser posisinya hingga benar-benar merangkul Grace erat saat melihat lengan Grace dimana disana ada bekas cakaran dan sayatan yang nampak belum lama.

Even Mevin hurt you, jangan sakitin diri kamu lagi, kamu lahir bukan untuk disakiti, sayangi diri kamu lagi, kan waktu itu udah janji, ya? Kita belum bisa dapet jawaban pasti kan kenapa Mevin kaya gitu? Tunggu sebentar lagi, ya?” Grace merenggangkan pelukan, “sampai kapan nunggunya? Capek sama semuanya.”

“Nggak semua hal harus kamu pikirin, Grace. Walaupun itu tentang Mevin sekalipun.” Alicia berkata dengan penuh penekanan.

“Aku mau mulai treatment besok,” kata Grace.

“Iya, kita fokus ke treatment kamu dulu, ya? Janji ya?” ucap Alicia yang dibalas anggukan kepala oleh Grace. Kali ini mungkin benar apa kata Mevin dan Alicia, lebih baik Grace fokus ke pengobatannya dan berhenti menerka apa yang terjadi kepada Mevin. Kalau sudah waktunya juga mungkin Mevin akan jujur tentang apa yang terjadi kepada Grace.

“Kamu tidur di kamar, aku tidur di sofa. Ya?” kata Mevin saat memasuki unit apartemen Grace. Gadisnya mengangguk.

“Tapi temenin sampai tidur?”

“Iya, sampai kamu tidur.” Mevin tersenyum lebar lalu mengacak pelan rambut Grace. Pintu apartemen ditutup, Mevin dan Grace mengganti bajunya masing-masing lalu mereka bergulung dibawah selimut yang sama di kamar Grace. Kali ini Grace aman di pelukan Mevin sampai ia terlelap. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya, hanya berbagi rengkuh, Grace juga menelusupkan wajahnya di dada bidang Mevin, serta Mevin yang memastikan kekasihnya ia dekap hangat dan penuh perasaan.

“Vin, rasanya pengen kamu disini, rasanya juga mau ikut kamu pulang ke Indonesia.”

Sebuah belaian penuh kasih sayang Mevin berikan untuk mengusap lembut punggung Grace.

“Nanti, ya. Akan ada saatnya kamu pulang.”

“Mevin, jangan pernah tinggal hanya karena iba.”

“Kata siapa iba? Aku masih disini karena cinta, dan karena kamu, nama kamu yang selalu aku sampaikan ke Tuhan lewat doa.”

Grace mendongak menatap Mevin, pria itu menundukkan sedikit kepalanya dan menatap mata Grace yang berkaca-kaca.

“Kadang aku ngerasa takut sendiri, kadang aku nggak mau ketemu orang, sekeras itu diriku berdebat sama hati dan pikiranku. Mevin, maaf untuk hal-hal bodoh yang aku lakuin kemarin. Suicide isn’t a good way to ended all things.

Kini ibu jari mevin mengusap lembut pipi Grace karena Mevin menopang dagu Grace dengan jemari gagahnya. Ia masih terus membiarkan sang puan bertutur.

“Aku pikir nggak ada yang peduli sama aku, aku pikir nggak ada yang mau aku tetap ada di dunia ini, sampai akhirnya aku ketemu Alicia, Tela bahkan keluarganya. Kamu, keluarga kamu, James, Aveline. Masih ada alasan kenapa aku harus tetap hidup, Vin. Walaupun bukan keluarga kandungku, walaupun bukan orang tuaku yang peduli sama aku. Ada, Vin. Ada!” Kata-kata penuh penekanan itu diungkapkan Grace dengan nada semangat tapi air mata mengucur dari pelupuk matanya.

Mevin tidak tahu lagi harus berkata apa, ia juga menahan air matanya yang hendak luruh, maka yang ada hanya Mevin mendekap erat Grace sambil mengecup puncak kepala Grace berkali-kali dengan lembut, memastikan sang puan aman dan nyaman di dekapannya. Meski Grace sedikit terisak tapi Mevin merasakan Grace membalas pelukannya.

“I’ll do anything for you, sayang. I promise. I beg you, please be strong, ya?” Sebuah anggukan Mevin rasakan kini, dan malam itu entah bagaimana ceritanya keduanya terlelap disana, saling merengkuh dan menjaga hingga pagi menjelang.