awnyaii

Mendapat pesan dari Mamanya secara tiba-tiba membuat Grace merasa trigger dan cemas. Ia tengah berada di apartemennya sendirian, Grace merasakan dadanya sesak, ia menggigit kukunya sendiri, kakinya gemetar, tangannya dingin. Ia hendak menangis tapi tidak bisa, padahal hanya satu kalimat yang Mama Grace kirimkan tapi cukup mengacaukan diri Grace. Mengingat pertemuan terakhir Grace dan Mamanya saat itu sangat tidak baik, masih teringat jelas di benak Grace bahwa Mamanya mengatakan bahwa Grace adalah Aib Keluarga bahkan menamparnya.

Grace berjalan dengan sempoyongan menuju nakas dekat tempat tidurnya. Ia mencari obat yang sudah lama tidak ia konsumsi. Setelah beberapa lama merogoh laci, ia menemukan obat yang ia cari. Benzodiazepine, sebuah obat yang masuk ke golongan anti cemas yang telah menemaninya belakangan ini. Grace memang selama ini membatasi dirinya mengonsumsi obat, terlebih Alicia juga tidak banyak menganjurkan banyak obat. Tapi kali ini, Grace kalah dengan keadaan.

Bisa dibilang ia cemas akut, cara kerja obat ini adalah untuk meningkatkan sensitivitas otak terhadap salah satu zat kimia di otak kita. Efek dari obat ini adalah inhibitor, atau efeknya membuat kita lebih rileks dan membuat kita sedikit tenang saat merasa cemas berlebih, meredakan gejala-gejala fisik dari kecemasan. Tapi obat ini tidak boleh dikonsumsi untuk waktu yang lama, karena jika lebih lama akan menimbulkan adiktif. Contohnya, ketegangan otot, debaran jantung yang berlebihan seperti apa yang Grace alami.

Grace tidak dapat mengontrol kecemasannya yang berlebih. Debaran jantungnya semakin kuat disana. Tubuhnya seketika kaku dan beku. Tanpa berpikir panjang, sebelum efek kecemasan berlebihnya semakin menjadi, Grace meneguknya, meski Alicia membuatnya lepas dari konsumsi obat perlahan, kali ini Grace sangat membutuhkannya, karena Grace sendiri tidak menyangka bahwa Mamanya akan datang lagi menghubunginya. Grace baru saja menerima dirinya, apa yang ia alami, tidak mudah untuk membuka diri dan menerima dirinya. Baru saja Grace memulai menemukan kedamaian dirinya sendiri, tapi selalu saja ada penghalang yang muncul, termasuk pesan singkat dari Mamanya saat ini.

Usai meneguk obat itu, Grace duduk di lantai menyandar pada tembok, ia meremat rambutya lalu menjambaknya beberapa kali. Grace memejamkan mata dan mencoba mengatur napasnya. Handphone Grace kembali berdering. Kali ini bukan dari Mamanya, kali ini dari nama yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.

“Tante Lea”

Mama Mevin menelfonnya? Dengan kepala yang masih pening, Grace mengangkatnya dengan suara bergetarnya.

“Halo, Tante?” kata Grace.

“Grace, maaf tiba-tiba nelfon, nggak ada maksud apa-apa. Mevin juga nggak tahu kalau Tante telfon kamu. Tante cuma mau tahu keadaan Grace. Grace gimana keadaannya? Grace udah makan, Nak?” kalimat itu dirapalkan Lea dengan nada teduh. Grace yang mendengarnya langsung menangis sejadinya. Tak butuh waktu lama, Grace terisak di sana.

“Grace? Kenapa, Nak? Grace?” tanya Lea panik di seberang sana.

Grace merasakan perbedaan yang sangat jauh saat ia menerima pesan dari Mamanya dan dari Tante Lea. Ia bisa merasakan sesuatu yang jauh berbeda. Grac membungkam mulutnya dengan telapak tangannya sendiri.

“Grace?” ujar Lea lagi.

“Nggak pernah ada yang nanya Grace kaya gitu, keluarga Grace nggak ada yang nanya Grace kaya gitu, Tante ....” ucap Grace dengan suara paraunya.

“Nangis aja, Nak... nangis aja, Tante temenin, jangan nangis sendiri.” Ucapan Lea saat itu membawa Grace menangis sejadinya, dan ponselnya masih ia genggam dan ia tempelkan di telinganya, Grace memegangi dan kadang menepuk dadanya sendiri meluapkan segala perasaannya. Lea di seberang sana mendengar tangisan Grace juga merasa berdesir nyeri. Hatinya pedih mendengar tangisan anak itu.

“Luapin semua sampai Grace tenang,” kata Lea lagi.

“Grace udah mau nyerah, tapi semua orang bilang ada harapan, Grace udah mau pasrah tapi masih harus berjuang. Doa Grace belum dijawab Tuhan untuk kembalikan keadaan seperti semula, Tuhan belum pulihkan keadaan. Tapi selalu ada cercah harapan lewat orang-orang sekitar, seperti Tela, Alicia bahkan Tante yang nggak pernah Grace duga sebelumnya.” Grace merapalkan kalimatnya dengan napas yang tersengal. Jika mau bertaruh, Lea sudah menangis sekarang.

“Grace, God doesn’t always answer the prayers, but He gave his best at the right time, we just need to allow God to work. Grace, God heard more than you prayed and He will answer more than you expected. Remember, He will provide all things, in His way at the right time, we will see Him make it all. Tunggu sebentar lagi, ya? Grace kuat?” pertanyaan Lea membawa Grace semakin menangis, kalimat seperti ini belum pernah ia dengar dari siapapun di dalam hidupnya selama dua puluh tahun lebih, ini pertama kalinya. Jika diselami, kadang kita tidak pernah menyangka orang yang Tuhan kirimkan untuk menjadi penolong untuk kita itu seperti apa. Yang memanusiakan kita juga kadang bukan berasal dari keluarga kandung yang terikat karena ikatan darah. Keluarga adalah mereka yang ada di setiap saat yang ada di saat terendah hidup kita. Yang bersedia mengulurkan tangan dan membantu kita berjalan meski harus sama-sama berdarah, tidak hanya dari ikatan darah.

“Tante, tunggu Grace pulang, ya? Doain Grace ya, Tante. Nanti kalau udah sembuh dan pulang ke Indonesia, Grace mau peluk tante, boleh?”

“Tante duluan aja yang peluk Grace, boleh? Tante tunggu Grace pulang, ya? Kita semua nunggu Grace pulang, termasuk Mevin.”

Grace menangis keras saat mendengar nama kekasihnya disebut oleh Lea. Maka Lea membiarkan Grace menangis dulu, tak ada kata yang terucap dari Lea. Hening. Grace masih terisak. Bahkan ia kadang menggigit lengannya guna menahan tangis dan tangannya yang mulai gemetar.

“Lanjutin dulu nangisnya, aku temenin sampai akhir.” Sebuah suara menusuk rungu Grace, bukan suara Lea yang ia dengar. Tangannya dingin dan gemetar.

“Grace?” suara itu terdengar lagi. Sekujur tubuh Grace menjadi dingin, tangannya gemetar, ia genggam ponselnya erat napasnya tersengal.

“Take a deep breath, Gracelline. Tenang, ambil minum dulu kalau bisa, and then talk to me.”

“Me ... vin?”

“Ini aku, Mevin. I miss ... you ....”

Maka saat itu menangislah Grace saat ia mendengar pria di seberang sana juga terisak. Tangis keduanya lebur jadi satu

Mendapat pesan dari Mamanya secara tiba-tiba membuat Grace merasa trigger dan cemas. Ia tengah berada di apartemennya sendirian, Grace merasakan dadanya sesak, ia menggigit kukunya sendiri, kakinya gemetar, tangannya dingin. Ia hendak menangis tapi tidak bisa, padahal hanya satu kalimat yang Mama Grace kirimkan tapi cukup mengacaukan diri Grace. Mengingat pertemuan terakhir Grace dan Mamanya saat itu sangat tidak baik, masih teringat jelas di benak Grace bahwa Mamanya mengatakan bahwa Grace adalah Aib Keluarga bahkan menamparnya.

Grace berjalan dengan sempoyongan menuju nakas dekat tempat tidurnya. Ia mencari obat yang sudah lama tidak ia konsumsi. Setelah beberapa lama merogoh laci, ia menemukan obat yang ia cari. Benzodiazepine, sebuah obat yang masuk ke golongan anti cemas yang telah menemaninya belakangan ini. Grace memang selama ini membatasi dirinya mengonsumsi obat, terlebih Alicia juga tidak banyak menganjurkan banyak obat. Tapi kali ini, Grace kalah dengan keadaan.

Bisa dibilang ia cemas akut, cara kerja obat ini adalah untuk meningkatkan sensitivitas otak terhadap salah satu zat kimia di otak kita. Efek dari obat ini adalah inhibitor, atau efeknya membuat kita lebih rileks dan membuat kita sedikit tenang saat merasa cemas berlebih, meredakan gejala-gejala fisik dari kecemasan. Tapi obat ini tidak boleh dikonsumsi untuk waktu yang lama, karena jika lebih lama akan menimbulkan adiktif. Contohnya, ketegangan otot, debaran jantung yang berlebihan seperti apa yang Grace alami.

Grace tidak dapat mengontrol kecemasannya yang berlebih. Debaran jantungnya semakin kuat disana. Tubuhnya seketika kaku dan beku. Tanpa berpikir panjang, sebelum efek kecemasan berlebihnya semakin menjadi, Grace meneguknya, meski Alicia membuatnya lepas dari konsumsi obat perlahan, kali ini Grace sangat membutuhkannya, karena Grace sendiri tidak menyangka bahwa Mamanya akan datang lagi menghubunginya. Grace baru saja menerima dirinya, apa yang ia alami, tidak mudah untuk membuka diri dan menerima dirinya. Baru saja Grace memulai menemukan kedamaian dirinya sendiri, tapi selalu saja ada penghalang yang muncul, termasuk pesan singkat dari Mamanya saat ini.

Usai meneguk obat itu, Grace duduk di lantai menyandar pada tembok, ia meremat rambutya lalu menjambaknya beberapa kali. Grace memejamkan mata dan mencoba mengatur napasnya. Handphone Grace kembali berdering. Kali ini bukan dari Mamanya, kali ini dari nama yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.

“Tante Lea”

Mama Mevin menelfonnya? Dengan kepala yang masih pening, Grace mengangkatnya dengan suara bergetarnya.

“Halo, Tante?” kata Grace.

“Grace, maaf tiba-tiba nelfon, nggak ada maksud apa-apa. Mevin juga nggak tahu kalau Tante telfon kamu. Tante cuma mau tahu keadaan Grace. Grace gimana keadaannya? Grace udah makan, Nak?” kalimat itu dirapalkan Lea dengan nada teduh. Grace yang mendengarnya langsung menangis sejadinya. Tak butuh waktu lama, Grace terisak di sana.

“Grace? Kenapa, Nak? Grace?” tanya Lea panik di seberang sana.

Grace merasakan perbedaan yang sangat jauh saat ia menerima pesan dari Mamanya dan dari Tante Lea. Ia bisa merasakan sesuatu yang jauh berbeda. Grac membungkam mulutnya dengan telapak tangannya sendiri.

“Grace?” ujar Lea lagi.

“Nggak pernah ada yang nanya Grace kaya gitu, keluarga Grace nggak ada yang nanya Grace kaya gitu, Tante ....” ucap Grace dengan suara paraunya.

“Nangis aja, Nak... nangis aja, Tante temenin, jangan nangis sendiri.” Ucapan Lea saat itu membawa Grace menangis sejadinya, dan ponselnya masih ia genggam dan ia tempelkan di telinganya, Grace memegangi dan kadang menepuk dadanya sendiri meluapkan segala perasaannya. Lea di seberang sana mendengar tangisan Grace juga merasa berdesir nyeri. Hatinya pedih mendengar tangisan anak itu.

“Luapin semua sampai Grace tenang,” kata Lea lagi.

“Grace udah mau nyerah, tapi semua orang bilang ada harapan, Grace udah mau pasrah tapi masih harus berjuang. Doa Grace belum dijawab Tuhan untuk kembalikan keadaan seperti semula, Tuhan belum pulihkan keadaan. Tapi selalu ada cercah harapan lewat orang-orang sekitar, seperti Tela, Alicia bahkan Tante yang nggak pernah Grace duga sebelumnya.” Grace merapalkan kalimatnya dengan napas yang tersengal. Jika mau bertaruh, Lea sudah menangis sekarang.

“Grace, God doesn’t always answer the prayers, but He gave his best at the right time, we just need to allow God to work. Grace, God heard more than you prayed and He will answer more than you expected. Remember, He will provide all things, in His way at the right time, we will see Him make it all. Tunggu sebentar lagi, ya? Grace kuat?” pertanyaan Lea membawa Grace semakin menangis, kalimat seperti ini belum pernah ia dengar dari siapapun di dalam hidupnya selama dua puluh tahun lebih, ini pertama kalinya. Jika diselami, kadang kita tidak pernah menyangka orang yang Tuhan kirimkan untuk menjadi penolong untuk kita itu seperti apa. Yang memanusiakan kita juga kadang bukan berasal dari keluarga kandung yang terikat karena ikatan darah. Keluarga adalah mereka yang ada di setiap saat yang ada di saat terendah hidup kita. Yang bersedia mengulurkan tangan dan membantu kita berjalan meski harus sama-sama berdarah, tidak hanya dari ikatan darah.

“Tante, tunggu Grace pulang, ya? Doain Grace ya, Tante. Nanti kalau udah sembuh dan pulang ke Indonesia, Grace mau peluk tante, boleh?”

“Tante duluan aja yang peluk Grace, boleh? Tante tunggu Grace pulang, ya? Kita semua nunggu Grace pulang, termasuk Mevin.”

Grace menangis keras saat mendengar nama kekasihnya disebut oleh Lea. Maka Lea membiarkan Grace menangis dulu, tak ada kata yang terucap dari Lea. Hening. Grace masih terisak. Bahkan ia kadang menggigit lengannya guna menahan tangis dan tangannya yang mulai gemetar.

“Lanjutin dulu nangisnya, aku temenin sampai akhir.” Sebuah suara menusuk rungu Grace, bukan suara Lea yang ia dengar. Tangannya dingin dan gemetar.

“Grace?” suara itu terdengar lagi. Sekujur tubuh Grace menjadi dingin, tangannya gemetar, ia genggam ponselnya erat napasnya tersengal.

“Take a deep breath, Gracelline. Tenang, ambil minum dulu kalau bisa, and then talk to me.”

“Me ... vin?”

“Ini aku, Mevin. *I miss ... you ....”

Maka saat itu menangislah Grace saat ia mendengar pria di seberang sana juga terisak. Tangis keduanya lebur jadi satu

Pada binar mata Mevin yang Lea tatap selalu muncul bayangan Jovian. Paras Mevin bagaimanapun juga sangat mewarisi perawakan Jovian. Setiap kali Lea memandang Mevin ia selalu mendapatkan bayangan paras Petra dan Jovian bergantian. Setiap malam Lea selalu menitipkan doa dan harap lewat doa untuk ketiga anaknya dan keutuhan keluarganya terlebih untuk kesembuhan Mevin. Kali ini Jeremy yang menemani Mevin untuk melakukan terapi. Mevin memang akhir-akhir ini masih harus menggunakan kursi roda, geraknya terbatas dan harus dibantu dalam segalanya.

Kali ini Lea tengah berada di ruang tamu ia tengah menunggu Jeremy dan Mevin yang pulang dari Rumah Sakit untuk terapi, kerusakan saraf motorik Mevin memang masih mempengaruhi gerak tubuhnya bagian bawah. Keadaan memang banyak berubah, tak henti Lea titipkan harap lewat rapalan doanya setiap malam agar keadaan kembali seperti sedia kala terutama untuk Mevin.

Lea sempat terpikir hendak menelfon Grace memastikan keadaan anak itu baik-baik saja. Tapi Lea takut kalau Grace mungkin tidak atau belum berkenan, mengingat Grace dan Mevin yang belum berhubungan lagi. Lea pun menyesap minuman hangat yang ia buat, bersandar pada sofa dan berulang kali mengecek ponselnya menunggu kabar dari Jeremy. Tidak biasanya Jeremy dan Mevin kembali dari rumah sakit selama ini. Lea pun mencoba menelfon Jeremy lagi, tapi suara mobil yang memasuki pekarangan rumahnya membuyarkannya. Mobil Jeremy di sana, Lea pun beranjak dan menunggu di ambang pintu. Saat itu, Jeremy keluar dari mobil seorang diri, ia mendekat ke arah Lea.

“Mevin mana, kok sendiri?” tanya Lea.

Tak ada jawaban dari Jeremy karena kini Jeremy mengecup pipi Lea lalu menatapnya dan menangkup pipi Lea.

I have something for you,” kata Jeremy. Lea mengernyitkan dahinya bingung.

“Mevin mana? Aku nggak minta apa-apa, Mevin mana?” tanya Lea lagi.

Jeremy hanya tersenyum dan mengacak pelan rambut Lea, Jeremy menarik tangan Lea untuk menuju mobil. Jeremy membuka pintu mobil, Mevin ada di sana, anak Lea itu tersenyum. Lea menjadi bingung. Bukankah Jeremy harusnya menyiapkan kursi roda dan membantu Mevin turun?

“Mana kursi rodanya Mevin? Kok kamu diem aja?” tanya Lea nerocos. Jeremy hanya mengedikkan bahunya dan bertukar tatap dengan Mevin. Lea menjadi semakin bingung. Mevin meraih sesuatu di belakang jok mobil yang ia duduki, dua buah tongkat ia ambil dan ia daratkan ujung tongkat itu ke lantai, Lea mendelik kaget saat Jeremy memegangi satu lengan Mevin, anaknya itu turun dari mobil dengan bantuan Jeremy, Mevin menggunakan tongkatnya sebagai tumpuan.

Mevin berdiri dengan tongkat disana kedua kaki Mevin menapak tegak dan Mevin menggunakan tongkatnya sebagai sanggahan tubuhnya yang ia himpit dan pegang dengan tangan dan lengan kanan dan kirinya. Cahaya yang datang taklukan silau yang menghampiri, hati memekik terjamah rasa teduh saat netra bersua. Senyum Lea terhenti bersamaan dengan detak jantung yang tidak karuan saat melihat anaknya sudah bisa berdiri meski dengan bantuan tongkat. Air matanya hendak tumpah ruah saat itu, tidak, sudah tumpah seketika itu juga.

“Mevin bisa berdiri, Ma!” seru Mevin di depan Lea saat itu.

“Nak ....” Nada bicara Lea memelan, ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

“Here we go, our son, sayang.” Jeremy berkata dengan nada terharu. Secepat kilat Lea langsung memeluk Mevin, mencium pipi Mevin lembut, Mevin hanya bisa tersenyum haru. Jeremy merasakan hangat dalam hatinya melihat suasana itu.

“Mama makasih udah selalu doain Mevin, jangan bosen doain biar Mevin cepet bisa jalan lagi, ya?” kata Mevin saat pelukan direnggangkan dan ia membawa wajahnya memandang Lea dan menahan kuat-kuat air mata yang hendak tumpah saat itu. Selanjutnya tangan Lea meraba wajah anak di depannya walaupun dengan sedikit gemetar.

“Nggak pernah ada kata capek untuk doain Mevin. Makasih anak Mama udah kuat sampai saat ini. Sebentar lagi Mevin sembuh, ya, Nak?” suara Lea terdengar gemetar kala itu. Sebuah senyum hangat menyambut ucapan Lea saat itu.

Benar saja, Mevin―ada disana dengan kondisi yang lebih baik saat ini. Lea menatap senyuman yang terlihat di depannya kala itu, air matanya tumpah saat ia merapalkan kalimat “Ini bukan mimpi kan? Anak Mama udah mulai sembuh kan?” kata Lea sambil menangkup kedua pipi Mevin, keduanya sudah saling berhadapan sekarang. Lea berulang kali menatap Jeremy dan Mevin bergantian.

Gift for you, our son, Mevin.” Jeremy tersenyum menatap Lea.

Hati Lea berdesir haru, penuh sesak dengan rasa bahagia.

“Mama,” ujar Mevin sekali lagi. Tanpa kata Lea memeluk Mevin saat itu. Mevin juga tidak bisa membendung beberapa butiran kristal yang sudah tumpah tanpa komando begitu memeluk Mamanya. Jeremy yang ada disana pun merasa terharu menyaksikan keduanya merengkuh nestapa yang kini melebur dalam satu peluk bersama―hanya air mata bahagia yang berbicara.

Kasih sayang seorang ibu lebur dalam dekap dan derai air mata. Sepenuh-penuhnya cinta yang Lea dan Jeremy berikan tak bisa dipungkiri cinta dari Lea sebagai sosok ibu yang merawat Mevin juga tak terhingga. Saat itu juga Mevin berkata dalam pelukan Lea, “maaf Mevin ngerepotin mama, maaf kalau Mevin bikin mama sakit dengan sikap Mevin selama sakit. Ma, walaupun Mevin bukan anak kandung Mama, sakit rasanya lihat Mama ikut sakit, hancur rasanya lihat Mama nangis. Mevin sayang Mama Lea.”

Saat itu Lea menangis sejadinya, tidak bisa berkata-kata hanya bisa mengangguk beberapa kali sambil mencium pipi anaknya berulang kali dan terus memeluk Mevin erat―sungguh, ia tidak menyangka salah satu hal yang membelenggu Mevin bisa lepas, meski belum sempurna, sudah ada kemajuan di kondisi Mevin. Sebenar-benarnya dan senyaman-nyamannya tempat Mevin pulang dan rumah adalah keluarga ini. Namun mereka kembali direkatkan dan diberi sebuah berkat dimana kemajuan keadaan Mevin sudah terlihat sekarang, asa dan harap Lea dan Jeremy titipkan disetiap pejam agar Mevin kembali pulih seperti semula.  

Pernikahan bukan suatu hal yang mudah diarungi. Membesarkan anak-anak dengan baik juga sebuah hal yang bisa dilakukan siapa saja. Semua membutuhkan hati yang lapang dan luas, semua itu membutuhkan telinga yang mau mendengar, hati yang penuh kasih, serta pribadi yang mau ditempa. Meskipun segala perbedaan dan perselisihan tidak bisa dihindarkan, tapi jika sudah berkomitmen dengan apa yang kita sudah janjikan di hadapan Tuhan, pasti akan ada jalan untuk setiap kebuntuan yang kita hadapi.

Keluarga Jeremy berangsur mendapatkan secercah sukacita, sepulang Mevin ke rumah, suasana hati Mevin membaik, semua anggota keluarga juga ambil andil jika menunggui Mevin fisioterapi atau sekadar menengok Mevin ke rumah. Letta dan Jevin kadang berkunjung begitu juga dengan Willy dan Lauren yang sedang ada di masa kehamilannya. Bahkan juga kadang Lauren dan Jevin yang berkunjung hanya berdua untuk menunggui Mevin. Di batas akhir kekuatan Mevin saat itu, Tuhan hadirkan dan pulihkan keadaan keluarga Adrian.

Hari ini, Jevin, Mevin dan Lauren tengah berada di kamar Mevin menunggui Mevin yang saat ini sedang sendiri di rumah karena kedua orang tua mereka yang belum pulang. Jevin dan Mevin tengah bermain game online di ponsel mereka sedangkan Lauren menyiapkan makan siang untuk keduanya. Usai menyiapkan makanan, Lauren membawa dua piring kwetiaw goreng untuk adik-adiknya itu. Tidak bisa dipungkiri, meski sudah menikah, Jevin ataupun Mevin tetap adik kecil Lauren, adik kembarnya, sampai kapanpun.

“Dek, ini bantuin dulu,” ucap Lauren saat memasuki kamar Mevin. Jevin yang sedang duduk di ranjang Mevin langsung sigap mengambil salah satu piring itu dan kembali duduk di ranjang Mevin. Lauren juga duduk di sebelah Mevin.

“Masih aja main game kaya bocah, ck,” decak Lauren sambil geleng-geleng kepala.

“Ya, hiburan lah, buat Mevin, iya kan, bro?” Jevin menyenggol lengan Mevin.

“Iya, habis mau ngapain juga gue nggak tau, mau ngapa-ngapain nggak bisa.” Mevin mendengus tapi tersenyum.

Lauren pun mengelus kaki Mevin, “nanti bisa, sebentar lagi pasti bisa,” katanya.

“Iya, kata dokter nggak tahu kapan tapi kan ada dokter diatas segala dokter―Tuhan.” Mevin merapalkan kalimatnya dengan untai senyum yang Lauren dan Jevin sudah lama tidak mereka lihat. Jevin merinding dengan ucapan Mevin saat itu, bagaimana bisa saudara kembarnya ini memiliki kesabaran seluas itu.

You have a big faith, I adore you, itu yang memang seharusnya dilakukan. Miris gue kadang lihat diri gue, yang dikasih cobaan nggak sebesar lo, nggak ada apa-apanya dibanding lo tapi udah ngeluh, malah lari ke hal-hal yang Tuhan sendiri benci dan larang.” Jevin mendengus pedih, ia tertunduk sambil memutar garpunya di piring.

Lauren menaruh piring yang ia pegang, tangan kanannya memegang jemari Jevin, dan tangan kirinya memegang jemari Mevin, ia menatap satu per satu adik-adiknya itu.

“Tahu nggak sih, kalau kalian ada sesuatu dan lagi hancur, siapa yang sedih selain kalian sendiri atau Papa Mama? Ada gue, gue tahu waktu Jevin sama Stella, tapi gue diem, gue nggak sampai hati mau negur Jevin, gue nggak sampai hati mau ngadu ke Papa, gue nggak se gila itu untuk langsung ngadu ke Papa. Tapi, satu sisi gue nangis, bener-bener gue nangis sendirian berdoa sama Tuhan, tangan gue kurang panjang untuk peluk Jevin, mulut gue ini nggak bisa berkata-kata lagi waktu lihat Jevin berantakan banget, waktu lihat Jevin pulang babak belur. Waktu tahu Mevin bukan anak kandung Mama, yang di rumah siapa? Gue sama Papa, Mevin kabur, Jevin sama Mama nyusulin, Papa nangis di kamar, kakinya berdarah kena pecahan Vas yang Mama banting. Gue nangis disitu meluk lutut Papa sama obatin telapak kaki Papa, gue sama Papa nangis, nggak bisa ngapa-ngapain.” Penuturan Lauren itu membawa Mevin dan Jevin berkaca-kaca. Jika ditilik kembali, memang perjalanan keluarga mereka tidak mudah, jauh dari kata mudah.

Tangan Jevin bergerak menepuk pundak Mevin yang kini tertunduk, “Mevin is a blessing for our family, gue sadar, brengsek banget gue dulu, sekarang lihat kita udah sampai di titik ini, gue bersyukur sama Tuhan. Ajaib banget jalanNya, kalau saat itu gue bertindak lebih jauh mungkin gue nggak ada disini sekarang,” kata Jevin.

Lauren membiarkan air mata membasahi pipinya karena masih memusatkan fokus pandangannya kepada kedua adiknya ini. Mevin menghela napas, tersenyum haru menatap satu per satu saudaranya itu tanpa bisa berucap apapun.

“Janji ya, kalau ada apa-apa share ke gue, jangan dipendem sendiri. Gue itu kakak kalian, bukan orang lain. Ya, dek?” kata Lauren yang dibalas anggukan kepala dari Jevin dan Mevin yang hampir bersamaan.

“Gue nggak bisa bayangin kalau gue nggak ada di keluarga ini gue jadi apa,” kata Mevin dengan nada lesu.

“Makanya nggak usah dibayangin, lo ada disini, di keluarga ini, di rumah ini, jangan bikin sedih ah elah.” Jevin menyenggol lengan Mevin, hal itu membuat Lauren sedikit terkikik. Lauren melepaskan genggaman, ia menyeka air matanya lalu merentangkan tangan membuka dekap.

“Boleh peluk?” ucap Lauren yang langsung dibalas Jevin dan Mevin yang memajukan tubuh mereka untuk memeluk Lauren. Ketiganya mengeluarkan air mata saat memeluk. Tapi Lauren yang paling menangis kali ini.

“Adik-adik gue udah dewasa, udah besar, kesalahan yang udah lewat jangan pernah diulang lagi. Ya? Jangan gegabah ambil keputusan dalam hidup, ada Tuhan yang lebih tahu tentang hidup kalian. Gue sayang sama kalian, sayang ba.. nget ....” Ucapan Lauren bahkan terbata karena tangisnya. Pelukan Mevin dan Jevin di tubuh Lauren semakin erat. Saat pelukan direnggangkan, ketiganya saling menertawai karena melihat mata masing-masing dari mereka yang merah dan basah.

“Anjir gue nggak percaya gue nangis di depan kalian,” kata Jevin sambil mengusap matanya dengan punggung tangannya.

Lauren memotongnya, “Kemarin nangis di depan gue sama mukul set―” “Ci!!” Jevin memekik nyaring, Lauren dan Mevin saling menatap lalu menahan tawa sedangkan Jevin sedikit terlihat malu.

Akhirnya mereka pun melanjutkan kegiatan makan mereka, Lauren hanya melihat kedua adiknya yang tengah makan sambil membuat beberapa guyonan. Hati Lauren tenang melihat keadaan Mevin dan Jevin yang sekarang. Lauren melihat senyum yang teruntai di wajah kedua adiknya itu benar dan nyata adanya, bukti tulus cinta kasih keluarga yang sebenar-benarnya ada. Usai menikmati makanan itu, Jevin menaruh piringnya dan Mevin ke dapur lalu ia kembali lagi ke kamar Mevin.

Saat ketiganya tengah asik bercengkrama, suara pintu kamar Mevin yang terbuka membuyarkan mereka, Jeremy, Papa mereka ada di sana.

“Buset, ini kumpul-kumpul gathering Adrian fams, ya?” celetuk Jeremy lalu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Mevin dan menariknya mendekat kepada ketiga anak mereka yang duduk di ranjang Mevin saat itu.

“Eh, Pak Jeremy, udah pulang, Pak? Bu Lea mana?” tanya Jevin dengan nada bercanda.

“Ada, lagi ganti baju, kenapa nanyain istri saya tercinta itu?” balas Jeremy.

“Geli banget, geli, idih!” cibir Jevin. Mevin dan Lauren hanya bisa tertawa melihat tingkah Jeremy dan Jevin.

“Sirik aja,” balas Jeremy sambil terkekeh.

“Mevin udah makan? Yang bukan Mevin langsung mandi aja,” ucap Jeremy lagi.

“Rese banget ini calon Opa, sumpah,” ucap Lauren sambil menggerutu.

“Eits, ibu hamil nggak boleh ngomel,” kata Jeremy sambil membelai puncak kepala Lauren.

Jevin pun beranjak dari tempat tidur Mevin, “mau kemana?” tanya Jeremy.

“Yang bukan Mevin langsung mandi, ini mau mandi,” kata Jevin dengan polosnya. Sontak mengundang tawa Mevin, Jeremy dan Lauren saat itu.

“Sini lo gue plintir!” seru Mevin, Jevin pun terkekeh dan kembali duduk lagi.

“Pa ....” Lauren mengawali kalimatnya yang terdengar sedikit ragu.

“Ya?” tanya Jeremy.

“Ini,” kata Lauren sambil mengulungkan sebuah flashdisk untuk Papanya itu.

“Apa ini?” tanya Jeremy bingung sambil menerimanya.

“Hadiah kecil dari Lauren, Jevin sama Mevin.” Lauren merapalkan kalimatnya dengan tenang lalu menatap kedua adiknya bergantian dan tersenyum.

“Papa makasih udah jadi Papa yang kita kenal, Papa makasih udah sabar dan bijak jadi kepala keluarga kita yang banyak huru-hara dan badai ini. Papa juga nggak pernah ngeluh, Papa ngeluh aja, sekali-kali teriak ANAK GUE BIKIN PUSING BANGET, gitu nggak papa,” kata Lauren dengan nada lesu tapi malah mengundang gelak tawa anggota keluarganya itu.

“Nggak capek, kan udah tugas Papa,” balas Jeremy.

“Papa kalau emosi banting pot aja, nggak papa, apalagi yang janda bolong,” tambah Jevin sambil tersenyum.

“Iya, habis itu pot lain melayang ke kepala Papa karena itu kesayangan Mama kamu, heh!” balas Jeremy, Mevin dan Lauren terbahak.

“Ini apa? Papa suruh nonton video kah?” tanya Jeremy sambil menggerakkan flashdisk di tangannya.

“Iya, ada folder disitu namanya, apa sih, dek?” tanya Lauren kepada Mevin.

“Orderan Pak Jeremy,” balas Mevin.

“Oh iya, itu!” kata Lauren sambil tersenyum.

“Emang Papa pesen apa? Perasaan nggak pesen apa-apa, haha,” tawa Jeremy.

“Dibuka aja, hehe,” kata Lauren lagi. Jeremy menatap satu per satu anak-anaknya itu.

“Papa nggak tahu isinya apa, tapi hati Papa udah deg-degan nerimanya, kaya mau buka apaan. Apapun ini, Papa mau bilang terima kasih banyak buat Lauren, Jevin sama Mevin. Makasih udah jadi anak-anak yang membanggakan, bukan dari prestasi dan materi, tapi dari perubahan kalian. Perjalanan hidup kalian masing-masing jadi pribadi yang seperti sekarang. Kalian udah lewatin banyak fase kehidupan, kalau dunia jahat sama kalian, tolong ya ... kalian jangan jadi sama jahatnya kaya dunia. Papa terbatas dalam hal tahu apapun yang kalian rasakan, tapi tolong, ya, sekiranya kalian butuh, sharing ke Papa, apapun itu. Ya? Papa terbatas dalam menjaga kalian, but your Heavenly Father never. God never leave you alone, even Mama sama Papa nggak ada di dekat kalian please remember that God is always inside your heart, your deepest heart. Makasih anak-anak Papa.” Usai Jeremy mengatakan kalimatnya, ia beranjak dan mengecup puncak kepala ketiga anaknya bergantian. Hati Lauren, Jevin dan Mevin menghangat.

“Lauren sayang Papa,” kata Lauren sambil meraih jemari Papanya sambil menggoyangkan tangannya bak anak kecil.

“I love you,” balas Jeremy.

“Jevin juga, hehe,” nada bicara Jevin masih sama, malu-malu dan sedikit gengsi.

“Makasih boy!” balas Jeremy.

Semua menatap Mevin, lelaki itu diam sambil menggigit bibirnya, menatap balik Jevin, Lauren dan Papa Jeremy. Lidah Mevin seakan kelu, lidah Mevin tidak bisa berkata apapun, tenggorokannya terasa tercekat. Jeremy hanya tersenyum sambil menepuk pelan lutut Mevin.

“Cepet sembuh, Papa sama semuanya sayang Mevin.” kalimat itu diucapkan Jeremy sambil netranya terus menatap Mevin yang juga menatapnya.

“Mevin sayang Papa, Mama, Adrian fams. This is my home. Forever.” kata-kata Mevin menghantarkan Jeremy memeluknya, melihat itu, hati Lauren dan Jevin juga bedesir haru, maka Jevin memeluk Mevin dari samping, diikuti Lauren yang memeluk juga dari belakang Jeremy.

Tanpa mereka sadari, Lea sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar Mevin, mengintip dari balik pintu meneteskan air mata haru melihat keluarganya itu. Betapa ajaib kehidupannya selama ini dan sejauh ini. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dengan siapa kita akan hidup bersama, bagaimana kita akan menghadapi kejamnya sekitar. Kita diperhadapkan dengan pilihan demi pilihan. Tak jarang pilihan yang dihadirkan hanya pilihan yang menyakitkan. Namun bagaimana pilihan itu akan menyakitkan atau tidak pada akhirnya tergantung bagaimana kita menyikapi dan melewatinya. Dalam hal hubungan maupun keluarga, semua hal itu berlaku. Tidak bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri, ada sang perenda takdir kehidupan yang sudah mengatur semua jauh melampaui apa yang bisa kita pikirkan.

Jeremy dan Lea, dua anak adam yang sudah membina rumah tangga cukup lama itu tengah sumringah usai mengantar Jovian ke bandara bersama Mevin juga, mereka pun kembali ke rumah karena Mevin sudah boleh pulang dari perawatan di Rumah Sakit.

Seorang ibu memang dituntut mumpuni dalam segala hal, sebagai tulang rusuk sang suami dan sebagai penolong, menjadi pelindung juga bagi anak-anaknya, itulah yang Lea lakukan selama dua puluh tahun lebih ini. Dunia begitu sempit kala kita tidak beranjak dan menjajal segala hal yang disiapkan sang empunya kehidupan. Lea mendorong kursi roda Mevin dan Jeremy membawa tas dan beberapa barang-barang Mevin di tangan kanan dan tangan kirinya.

Sebuah untai senyum tergambar jelas di wajah Mevin saat hendak memasuki rumah. Di depan pintu sudah ada Willy, Lauren, Letta serta Jevin.

“Welcome home!” seru keempat saudaranya itu, Mevin terkekeh, begitu juga dengan Lea dan Jeremy. Sampai di depan pintu rumah, Mevin disambut pelukan bergantian dari Willy, Lauren, Jevin dan Letta.

“Ini jangan pada peluk Mevin doang, Papa dibantuin juga,” kata Jeremy ngomel. Jevin dan Willy pun sigap membantu dan langsung mengambil alih bawaan Jeremy seluruhnya. Sementara itu, Lauren langsung menghampiri Mevin dan memeluk adiknya itu.

“Gue tepatin janji gue buat peluk lo, gue sayang sama lo.” Lauren berkata lirih sehingga hanya Mevin yang mendengarnya, Mevin tersenyum dan membalas pelukan Lauren itu erat. Semua anggota keluarga nampak bingung karena tidak biasanya Lauren dan Mevin akur seperti ini.

“Ini kenapa? Tumben banget,” kekeh Jeremy.

“Jangan sakit, jangan, ya. Nggak boleh ya, dek?” ucapan Lauren nyatanya bisa membuat hati Mevin berdesir haru. Lauren merasakan Mevin mengangguk di pelukannya. Tidak bisa berbohong, meski tengah hamil, bagi Lauren, Mevin tetap adik kecilnya. Lauren memeluk Mevin sekali lagi sebelum merenggangkannya, Lauren ambil alih untuk mendorong kursi roda Mevin dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Semuanya masuk ke dalam rumah, Lea dan Jeremy masih mematung di sana melihat anak-anak bahkan menantu mereka saling menyayangi seperti itu. Jeremy merangkul Lea yang tengah melingkarkan peluk di tubuh Jeremy, keduanya melihat Willy yang membantu Lauren untuk mendudukkan Mevin di sofa. Letta yang mengambilkan minum dan makan untuk Mevin, serta Jevin yang langsung duduk di sebelah Mevin di sofa, menyandarkan tubuhnya pada Mevin dengan iseng. Meski sudah menikah, kedua saudara kembar yang sebenarnya tidak kembar itu tetap saja seperti anak kecil.

“Sayang, ajaib banget kehidupan kita dan keluarga kita, ya?” kata Jeremy lalu memeluk dan mengecup kening Lea, untuk sejenak keduanya bertukar peluk.

“Iya, as long as we surrender all to God, pasti ada jalannya dan ada pelangi setelah badai.” Lea membalas ucapan suaminya itu. Jeremy termasuk pria yang kuat bertahan dan mempertahankan pernikahannya dengan segala kondisi dan guncangan yang ada.

Keduanya telah mengucap janji untuk saling menjaga walau rapuh. Sejauh ini Lea adalah satu, tidak akan ada satu perempuan yang dapat menggantikannya. Banyak hal yang sudah mereka berdua lewati melewati suka, tetap ada kala sehat dan kala lara. Berbagi secangkir kopi berdua bercerita, saling menggenggam tangan dan berbagi dekap, bertukar peluk dan kecup sebelum memejam. Kala memeluk Lea hati Jeremy memang lebur dalam berbagai perasaan.


Mevin penuh teka teki, tawanya kadang menyembunyikan luka. Senyumnya menyembunyikan duka. Sederhana dan hangat pelukan Lea selalu menjadi tempat Mevin pulang dan mengadu. Malam ini, Mevin tengah duduk di tempat tidurnya sambil memainkan gitarnya, tidak ada yang ia bisa lakukan lagi. Maka untuk mengisi kebosanan, Mevin raih gitarnya dan mainkan gitarnya yang ternyata terdengar hingga ke luar. Masih ada Jevin di rumah itu, Jevin yang mendengarnya pun memasuki kamar Mevin lalu mengambil posisi di sebelah Mevin.

“Kenapa lo? Lesu amat mukanya?” tanya Mevin. Jevin pun mengulungkan tangan seakan meminta gitar kepada Mevin, maka Mevin pun memberikannya.

“Lagi melow,” kata Jevin sambil tersenyum yang membuat matanya menyipit.

“Gaya banget, melow kenapa, coba.”

“Bercanda bro,” balas Jevin sambil tersenyum. Mevin sedikit terkikik.

“Mevin.”

“Apa?”

“Lo sama Grace gimana?” Pertanyaan Jevin membuat Mevin membeku dan merasa tercekat.

“Masih kaya gitu. Dia itu ibarat tiga tambah dua, hasilnya lima. Sedangkan gue lima kali satu.”

Jevin mengernyitkan dahi. Sejuta tanya ada di benaknya sekarang. “Maksudnya? Kan hasilnya sama-sama lima”

“Proses gue sama Grace dan beban gue sama Grace itu beda, tapi yang sama dari kita itu hasilnya. Hasilnya ya, luka. Kita sama-sama terluka. Tapi nggak bisa nyalahin proses dan duka yang ada.” Ucapan Mevin itu membawa Jevin kepada sebongkah kekaguman besar kepada sosok Mevin saat itu, ia menaruh gitarnya, memusatkan pandangannya kepada Mevin.

“Kok bisa ya, ada laki-laki dengan hati seluas lo gitu, bener, gue kagum.” Jevin sedikit geleng-geleng. Kalau berkaca lagi, kesalahannya terhadap Mevin sudah sangat banyak.

“Lo juga, nggak usah kaya gitu,” cibir Mevin.

“Enggak, gue brengsek dan banyak lakuin kesalahan, apalagi sama lo, banyak kesalahan gue sama lo.” Suara Jevin memelan. Hingga akhirnya tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan keduanya, Lea berdiri disana, di ambang pintu.

“Mama boleh masuk?” tanya Lea.

“Haha, boleh dong, Ma.” Mevin tersenyum, maka, Lea mendekat dan duduk di sebelah Mevin di tepi ranjang. Lea mengelus kaki Mevin dan tersenyum menatap kedua anak kembarnya itu.

“Mama ganggu kalian nggak?” tanya Lea. Jevin mulai mencondongkan badannya ke arah Lea, ia menggeleng, begitu juga dengan Mevin.

“Enggak, lah, Ma,” kata Jevin. Lea membelai puncak kepala anak laki-lakinya itu bergantian. Menatap paras keduanya lamat-lamat.

“Makasih anak-anak Mama udah tumbuh dengan baik, makasih Jevin sudah jadi pribadi yang lebih baik bahkan jauh lebih baik, Jevin hebat, Mama bangga sama Jevin di segala hal di usia Jevin sekarang.” ucapan Lea terhenti saat butiran kristal berjatuhan membentuk sungai kecil di wajah Lea.

“Ma ....” Jevin meraih jemari Mamanya itu.

“Mevin, terima kasih udah memilih tinggal di keluarga ini, kapanpun mau ikut Papa Jo, Mama nggak akan larang Mevin. Tapi Mevin janji, jangan sakit lagi. Jangan sakitin diri Mevin lagi, kalau Mama bisa minta sama Tuhan, biar Mama yang gantiin sakitnya Mevin. Tapi nggak bisa, Mevin bertahan sebentar lagi, ya? Jangan nyalahin diri Mevin sendiri terus, ya?” Lea yang mulanya tertunduk, di akhir kalimatnya membawa wajahnya memandang Mevin sekali lagi sambil tersenyum.

“Kalau Jevin bisa juga Jevin bersedia kok gantiin sakitnya Mevin.” Kalimat yang Jevin lontarkan membuat Lea dan Mevin heran, belum sempat keduanya merespon, Jevin melanjutkan kalimatnya lagi.

“Jevin nggak tahu, Mama tahu atau enggak kalau dulu selama SMA, Jevin sering banget kurang ajar ke Mevin. Jevin bentak-bentak sama marah-marah ke Mevin. Bahkan waktu dulu Jevin juga pernah bilang kalau Mevin anak―”

“Jev, udah, nggak papa. Udah lewat.” Mevin memotong kalimat Jevin. Jevin mengabaikan Mevin dan menatap Mamanya, “dulu Jevin bilang Mevin anak pungut, karena itu Mevin pernah nggak pulang ke rumah,” katanya.

Lea mendelik kaget seakan tak percaya tapi Lea juga kagum, Jevin berani sejujur itu terhadapnya. Mevin tertunduk lesu, Jevin melanjutkan penuturannya lagi, “Jevin malu, bukan maksud apa-apa tapi Jevin yang lahir dari rahim Mama Lea nyatanya mengecewkan keluarga jauh lebih dalam dari siapapun juga. Jevin having sex, merokok, mabuk-mabukan, balapan, kabur, harus di skors. Sedangkan Mevin? Jauh banget sama Jevin. Disitu kadang Jevin iri, pada saat itu. Sekarang Jevin sadar, Tuhan kasih Mevin di tengah keluarga kita bukan biar Jevin iri, tapi biar Jevin ngerti arti kehidupan. Bahkan kebahagiaan Mevin pun juga Jevin renggut. Makanya waktu tahu Grace dalam bahaya kemarin, Jevin nggak bisa diem aja. Tapi Jevin juga terlambat dateng, Sorry.” Kalimat itu dirapalkan Jevin dengan sendu. Membawa Mevin kepada rasa terharu dan tidak bisa berkata apapun lagi. Lea juga kaget dengan penuturan Jevin dan pengakuannya saat itu tentang Jevin yang berkata kepada Mevin dengan sebutan “Anak Pungut”.

“Jevin―” Lea genggam tangan Jevin kala itu.

“Jevin juga hancur, Ma. Jevin hancur lihat Mevin kaya gini, lihat Grace, lihat Mama dan Papa, lihat Cici nangis, ada ketakutan kalau Om Jovian bawa Mevin lagi, Jevin nggak siap menghadapi mimpi buruk lagi seperti saat waktu Mevin di Aussie. Nggak kuat, Ma. Nggak kuat ....” Jevin tidak mau mata basahnya dilihat oleh Mevin ataupun Mamanya.

“Ma, kadang Mevin mikir, lahir dari rahim ibu lain dan diasuh sama Mama Lea sama Papa Jeremy itu suatu kesalahan atau bukan. Mevin nggak bisa menerima diri Mevin saat itu, bahkan saat ini, dengan semua keadaan Mevin dan kekurangan Mevin. Tapi disaat Tuhan kasih Mevin banyak kekurangan itu, Mevin malah semakin lihat ketulusan dan kasih sayang keluarga ini buat Mevin. Harus dengan apa Mevin balas kalian, kasih sayang dan semua cinta yang udah Cici, Mama, Papa bahkan Jevin tunjukin buat Mevin.” Kalimat Mevin terhenti karena melihat Mamanya yang kini terisak dan menunduk. Jevin mengerjap beberapa kali menahan air mata yang tumpah.

“Mevin pernah merasa gagal jadi anak waktu Mevin juga bohong ke Mama waktu SMA, dimana Mevin balapan, bikin Cici berantem sama teman Mevin, terus waktu Mevin pilih ikut Papa Jo ke Aussie. Mevin merasa gagal dan salah, waktu Mevin ikut Papa Jo di Bali, Papa Jeremy kecelakaan dan kritis. Waktu Mevin kuliah di Aussie, Mama Lea juga sakit. Bahkan semua dimulai sejak Mevin lahir, Mama Petra harus pergi... selamanya ...” Mevin terisak di ujung kalimatnya. Atmosfer haru dan pedih mengukung Lea dan kedua anak kembarnya saat itu. Jevin juga menangis disana, tanpa suara.

“Waktu hancur-hancurnya, Mevin sempat kepikiran mau nyusul Mama Petra. Tapi kalau Mevin lakukan itu bukannya malah bikin Mevin nggak ketemu Mama Petra? Situasi apapun itu, akhirnya Mevin terima, termasuk kelumpuhan Mevin sekarang. Tuhan nggak selalu jawab doa Mevin, Ma. Tapi, entah, selalu hadirkan hal lain, entah suka atau duka. Semuanya beriringan.” Mevin menghentikan kalimatnya. Satu tangan Lea juga meraih tangan Mevin dan menggenggamnya. Satu tangan Lea masing-masing menggenggam satu tangan anaknya. Lea terisak hebat.

“Kalau Mevin paksa untuk pergi saat itu, Mevin nggak ketemu Mama Petra, Mevin kehilangan keluarga Adrian, juga Grace.” “Lo nggak boleh pergi duluan, lo belum bawa Grace pulang, kan lo udah janji. Jangan kaya gitu, gue nggak suka, gue nggak mau. Lo itu spesial, sampai hari ini itu Tuhan selalu nolong dan topang hidup lo setiap detiknya. Sampai seterusnya, selamanya, sampai Tuhan bilang untuk PULANG pada waktuNya, jangan diduluin, nggak boleh. Lo tuh―argh!” Jevin mengacak rambutnya kasar.

“Jevin, Mevin,” panggil Lea lirih.

God is good all the times. Jevin, kesalahan Jevin yang udah lewat, ya udah, itu prosesnya Jevin dan jangan diulangin, jangan jatuh di kesalahan itu lagi, Nak. Jevin yang dulu dan sekarang tetap anak Mama. Jevin dan Mevin dari lahir sampai sekarang tetap anak Mama. Mevin, boleh kecewa sama situasi, tangan Mama, Papa, Jevin, Cici, Papa Jo nggak bisa pegang tangan Mevin terus. Tapi tangan Tuhan itu nggak kurang panjang buat pegang kamu. Nggak pernah kurang panjang juga buat pegang tangan Jevin, Cici, bahkan Mama sama Papa juga. Tuhan lebih tahu jauh melampaui siapapun. Jevin, Mevin, kalian bisa bohong ke Papa sama Mama tentang apa yang kalian rasain tapi, sekalipun kalian nggak ngomong, Tuhan tahu. Nak, Mama dan Papa minta maaf kalau masih kurang mumpuni sebagai orang tua. Tapi kebahagiaan anak-anak Mama itu yang utama, kebahagiaan kalian yang utama. Kalau kalian sakit dan jatuh, Papa sama Mama sedih, please, surrender all of your life and your fears to God. Cuma Tuhan tempat berharap, bukan manusia. Jangan ijinkan kalian dikuasai ego, tapi ijinkan Tuhan bekerja di hati kalian. Mama nggak mau lihat kalian nangis, kalau bisa, Mama bersedia tampung semua luka dan air mata kalian, Mama bersedia, Mama mau ....” Lea berhenti menghela napas panjang di ujung kalimatnya, tapi ia terisak tersedu setelahnya. Tubuh Lea membungkuk dan punggungnya bergetar, Lea memukul dadanya dengan kepalan tangannya pelan. Saat Lea mengangkat wajahnya ia melihat Mevin dan Jevin yang sama-sama terisak. Perlahan Mevin meraih pundak Lea dan memeluk Mamanya itu. Lea menangis sejadinya di pelukan Mevin.

Lalu, Jevin ikut memeluk juga, mereka bertiga memeluk dan saling mencurahkan perasaan sayang, cinta, takut kehilangan, bersalah, dan lainnya. Ketahuilah, hati seorang ibu hancur melihat anaknya menangis, dan hati seorang anak juga hancur saat melihat malaikat yang melahirkannya menangis.

“Mevin sayang keluarga ini, Mevin mau disini, sama keluarga ini.” Pada kalimatnya kala itu Mevin titipkan segala asa dan harap agar Tuhan kabulkan doanya. Sedetik kemudian Lea pun mengecup pipi Mevin dan Jevin bergantian yang tengah ia peluk raganya itu.

“Maafin Jevin, Ma selama ini Jevin banyak banget salah.”

“Nak,” kata Lea lalu merenggangkan pelukan. Lea hapus dan usap air mata yang membasahi pipi Jevin dan Mevin saat itu, ia menyeka pipi anak-anaknya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang.

“Janji sama Mama, berserah ya, pokoknya semua udah ada yang atur, hidup yang ada dijalani. Oke? Ada buat satu sama lain, ya? Janji?” tanya Lea, kedua anaknya itu mengangguk hampir bersamaan. Maka Lea kecup kening Mevin dan Jevin bergantian, ia tersenyum menatap satu per satu anaknya yang tersenyum diatas mata yang sembab saat itu juga.

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar lagi, Jeremy di sana, ada di ambang pintu. “Papa?” Jevin dan Mevin berkata hampir bersamaan.

Jeremy melangkah masuk ke sana duduk di sebelah Jevin.

“Maafin Papa juga kalau kurang baik jadi seorang Ayah buat kalian. Tapi setiap kalian sakit atau sedih, kadang Papa malu mau nanya, takut, Papa takut kalian merasa gimana. Papa nggak bisa lihat dan dengar kalian nangis, Papa sayang kalian tanpa terkecuali.” Jeremy menambah suasana haru saat itu.

Jevin tersedu lagi, anak lelaki Jeremy yang satu itu teringat bagaimana ia dan Papanya itu sempat berdebat hebat setelah mengetahui fakta Jevin melakukan sex dengan mantan pacarnya diluar nikah. Jevin teringat bagaimana ia menghancurkan hati keluarganya saat itu. Jeremy dan Lea menyadari anak-anaknya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik.

Salah satu hal besar dalam hidup Lea―bayi mungilnya yang ia timang dengan sejuta kisah dibalik kelahirannya tumbuh dengan baik dan menjadi anugerah untuk keluarganya memang sebaik-baiknya didikan yang telah ia dan Jeremy berikan selama ini. Lea gapai salah satu pipi Mevin dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk meraih pipi Jevin.

“Sampai kapanpun, apapun yang terjadi, Jevin dan Mevin tetap anak kembar Mama Lea sama Papa Jeremy,” kata Lea dengan tersenyum.

“Papa sayang kalian.” Jeremy berkata lirih tapi cukup menyentuh hati anak-anaknya itu dan juga istrinya.

You both are a miracle for Mama, Jevin also Mevin .... one of many reasons that I can survive this life.” Lea memeluk erat kedua anaknya itu, sedangkan Jeremy bangkit berdiri dan membelai puncak kepala Jevin dan Mevin bergantian dan mengecup kepala Lea.

Sungguh, kehidupan keluarga ini tidak berjalan baik-baik saja dari awal, tapi selalu ada yang reda setelah badai melanda. Dalam kesesakan dan kebimbangan selalu mereka andalkan Tuhan meski susah dan mustahil, walaupun penuh keraguan, nyatanya mereka bisa sampai di titik ini. Belaian kasih yang Jeremy dan Lea berikan juga nyatanya penuh cinta dan tidak pernah kurang. Mereka semua titipkan harap agar keluarga ini bahagia sampai akhir, selalu bersama sampai akhir.

Hari terakhir Mevin di Rumah Sakit masih ditemani oleh Jovian dan Jovian masih telaten mengurus Mevin dengan sepenuh hatinya, memaksimalkan hari terakhirnya di Indonesia. Kali ini sebelum pulang, Mevin menjalani terapi terlebih dahulu. Jovian dengan sabar menemani dan menuntun serta kadang mendorong kursi roda Mevin.

Jovian juga kadang menyuapi Mevin walaupun kadang Mevin segan karena ia merasa sudah cukup dewasa tapi di mata Jovian, Mevin tetap anak lelakinya yang menjadi kesayangannya.

“Pa, nggak usah disuapin.” Mevin menjauhkan wajahnya sedikit kala Jovian menyuapinya.

“Aduh, emang kenapa?” tanya Jovian.

“Udah gede.” Mevin terkikik.

“Biarin,” kata Jovian sambil mengedikkan bahu.

“Makasih, Pa. Maaf kalau keputusan Mevin mengecewakan Papa.”

“Nggak papa, semua kan hak Mevin, sebenernya juga Papa pengen rawat Mevin. Tapi even Mevin Papa bawa ke Aussie pun, nggak menjamin suasana hati Mevin membaik juga. Gimanapun, suasana hati itu juga penting, kan? Kemauan Papa kesini murni dari Papa sendiri, kemauan Papa untuk rawat Mevin disini, sebagai seorang Ayah, pasti juga merasa khawatir dan sedih. Tapi kebahagiaan Mevin yang utama, bukan ego Papa.” Mevin berhenti berucap sebentar, ia masih menelaah perkataan ayahnya, memang ada benarnya yang dikatakan Papanya memang benar.

“Pa, terima kasih, ya, udah berkorban buat kebahagiaan Mevin. Terima kasih, ya, Pa. Mevin beruntung punya dua Papa dan dua Mama yang semuanya sayang sama Mevin walaupun Mevin belum sempat ketemu mama kandung Mevin. Kata Mama Lea, malaikat baik yang melahirkan Mevin itu cantik dan hebat, bahkan sekalupun nyawa mama terenggut, semua itu bagian supaya mama Lea selamat.” Mevin mendaratkan pernyataan yang menyentuh hati Jovian lagi.

“Nak, terima kasih, ya, sudah jadi anak yang baik. Please be a good son for mama Lea sama papa Jeremy. Both of them love you so much, so do I. Mevin, cepet sembuh ya, Nak. Cepet sembuh juga buat Grace, perjuangan kalian nggak boleh berakhir kaya Papa Jo dan Mama Petra.” Pandangan mata Jovian belum berpindah dari paras anak lelakinya. Ia belum beranjak, mata Jovian berkaca-kaca.

“Papa sama Mama Petra itu nggak gagal.”

“Kenapa Mevin bisa bilang gitu?”

“Karena Mevin bukti nyata keberhasilan kalian, hidup Papa sekarang wujud perjuangan Papa berjuang walaupun setelah kepergian Mama, gimana Papa bertahan, gimana Papa ikhlas sama semua keputusan yang Mevin kasih, Papa juga sadar Papa nggak secakap Mama Lea dan PapaJeremy dalam mendidik kamu. Yang penting, apa yang bisa Papa Jo lakukan buat Mevin pasti Papa lakukan, semua untuk kebahagiaan Mevin.”

“Papa bahagia dengan kaya gitu?”

“Sure, justru Papa sedih kalau misalkan Mevin ikut Papa dan Mevin nggak bahagia dan nggak nyaman.”

“Papa terbaik.” Mevin memberikan senyum terbaiknya setelah berucap. Jovian mengangguk, menaruh piring berisi makanan Mevin di sebelahnya lalu tangannya bergerak mengusap kedua lutut Mevin, Jovian memejamkan matanya, menunduk.

“Tuhan sembuhkan anakku―” kalimat itu terucap lirih nyaris tak terdengar tapi masih bisa ditangkap oleh rungu Mevin. Kalimat itu berulang kali diucapkan Jovian, lalu ia membawa pandangannya ke wajah Mevin. Sungguh, ia jumpai senyum hangat mendiang istrinya pada paras tampan anak lelakinya itu. Selama menunggui Mevin di rumah sakit, Jovian memang telaten dan sabar, mengangkat tubuh Mevin, mendorong kursi rodanya, memapah Mevin, menyuapi bahkan menunggui Mevin sampai anaknya benar-benar terlelap.

“Anak Papa pasti sembuh,” kata Jovian lagi. Mevin mengangguk menahan haru. Sejuk dan tenangnya pembicaraan kala itu menyuarakan kebahagiaan di hati masing-masing dari Mevin dan Jovian. Mevin merogoh saku jaketnya, ia mengeluarkan sebuah kotak lalu memberikannya kepada Jovian.

“Ini apa, Vin?” Jovian mengernyitkan dahinya seraya tangannya menerima pemberian Mevin itu. Mevin hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum, ia memberi isyarat agar Jovian membuka kotak tersebut. Jovian mulai bergerak membuka kotak kecil itu, wajahnya berbinar kala melihat sebuah jam tangan ada di sana dengan secarik kertas.

“Papa Jo, selama ini hari ayah berkali-kali dan bertahun-tahun, juga ulang tahun Papa, Mevin nggak bisa ucapin ke Papa Jo secara langsung. Now let me paid it all, this is a small gift from me. thank you for being my father.” Mevin berkata mengiringi ayahnya yang memasang jam tangan itu di pergelangan kirinya.

The more I know you, the more I feel how great and how thankful I am to be your son. Thanks for being a great person who always encourage me to do my best in everthing. I wonder sometimes how can be a person be so patient and dealing with a lot of hard condition. I know you still care with mama Lea and of course you love mama Petra so much. I never imagine that someone who was once a stranger to me could have a vey big impact in my life. I love you, thank yu for hold me as my father. Papa Jo!” Mevin menyelesaikan kalimat yang sangat ingin ia ucapkan kepada ayahnya itu selama ini.

“Papa bangga sama Mevin. Papa nggak tahu hidup Papa akan jadi seperti apa kalau saat itu kamu sama Mama kamu pergi dari Papa. Mevin, ingat nak, semua hal yang kamu alami udah diatur sama Tuhan, semua air mata yang kamu keluarkan akan digantikan bahagia yang nggak ternilai nanti, jangan lupa kita masih dan akan selalu butuh Tuhan, ya? Lebih dari segalanya, lebih dari apapun, taruh Tuhan diatas segalanya. Semua ketakutan dan kecemasan kamu serahkan sama Tuhan, Papa terbatas, Mama Lea terbatas, Papa Jeremy, Jevin, Lauren, semuanya terbatas dalam mengerti kamu dan apa yang kamu alami atau sembunyikan. Tapi Tuhan enggak, nak. Ingat itu, ya? Berjuang sama Grace ya, Papa tahu kamu bahagia sama dia.” Tanpa ada kecanggungan lagi dan untuk sekali lagi Jovian memeluk Mevin erat.

Keduanya lebur dalam perasaan haru kala itu, sebagai seorang ayah dan anak yang saling membagi duka dan saling menguatkan. Berbagai kerapuhan sudah Jovian jajal selama ini, berbagai kesakitan dan kehilangan sudah Jovian alami selama hidupnya. Jovian mengerti dan paham apa yang dirasakan Mevin kali ini, Jovian hanya ingin kebahagiaan untuk Mevin sebagai caranya menebus semua kesalahannya terhadap Petra selama ini.

Tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah mendekati mereka bersamaan dengan Mevin serta Jovian yang merenggangkan rengkuh. Benar saja, itu adalah Jeremy dan Lea.

“Halo Jo!” seru Jeremy yang berjalan mendekat sembari merangkul Lea. Mevin tersenyum kepada kedua orang tuanya itu.

“Eh, Jer! Halo Lea!” sahut Jovian lalu berdiri dan menyambut kedatangan keduanya. Jovian dan Jeremy berdiri bersebelahan seraya Lea menghampiri Mevin dan mengecup puncak kepala anaknya itu, lalu mengobrol dengan Mevin.

“Jo, pulang hari ini?” tanya Jeremy.

“Iya, next kesini lagi sama Auryn sama Mikayla, deh.”

“Iya, harus, makasih ya, Jo udah kesini.” Jovian menepuk pundak Jeremy, “my pleasure and my responsibility karena menyangkut Mevin.” Jeremy mengangguk dan tersenyum, ia sadar Jovian memang sudah sangat berbeda, jauh berbeda dengan Jovian yang ia kenal di masa berpacaran dengan Lea dahulu.

“Ditemenin Papa Jo, ya, terapinya?” ujar Lea sambil membelai rambut Mevin. Anak lelaki itu mengangguk tanda mengiyakan.

“Are you sure that you want to stay here?” tanya Jeremy sambil mendekati Mevin. Mevin mencium tangan dan tersenyum kepada Jeremy, ia mengangguk dan berkata, “iya.”

“Mevin baik-baik sama mama Lea dan Papa Jeremy. Yang nurut, ya, nak.” Jovian mendekat juga ke arah Mevin.

“Iya, pasti,” balas Mevin.

“Makasih ya Papa Jo, Mama Lea, Papa Jeremy, pasti sekarang Mama Petra lagi senyum lihat kita semua ada di sini, masih bisa lihat satu sama lain sampai sekarang.” Nyatanya, ucapan Mevin saat itu membawa ketiga orang tuanya ke dalam rasa haru dan sedih di saat yang bersamaan.

Sore ini langit tampak kelabu, semburat jingga di ufuk barat memang ada, tapi beradu, lebur bersama sang kelabu yang menggantung di mega. Pertanda sebentar lagi rinai akan turun. Maka seorang wanita pun bergegas mempercepat langkahnya untuk sampai di kediamannya. Benar saja, sampai di teras rumahnya, hujan langsung turun dengan derasnya. Ia menghela napas lega. Ia masuk ke rumah itu. Langkah pelannya menyusuri setiap sudut rumah itu. Mencari suami dan buah hatinya.

“Stuart anak mami, Jason sayang!” seru Felice mencari keberadaan suami dan anaknya.

Akhirnya, langkah Felice terhenti saat melihat suami dan anaknya yang sudah berusia tujuh belas tahun itu makan di ruang makan. Bercakap dan bercanda dengan hangat. Atmosfer hangat itu dapat Felice rasakan meski hanya duduk dan melihat wajah suami dan anaknya bergantian. Ia lega bahwa suami dan anaknya baik-baik saja.

Melihat pertumbuhan anak sematawayangnya yang pesat membuat hati Felice berdesir. Mengingat perjuangan melahirkannya.

“Stuart, dulu waktu mama hamil kamu, Mama bener-bener jadi superwoman. Karena Mama kerja harus naik bis kesana sini sendirian, kadang enggak dapat tempat duduk, pergi pagi-pagi buta, pulangnya malem. Papa juga sama,” tutur Jason sambil mengacak rambut Stuart pelan.

“Makanya Stuart mau jadi dosen juga kaya Mama. Tapi tetep jalanin hobi dan kesenangan jadi atlet.” Stuart berikan seuntai senyum lebar setelahnya. Felice tersenyum bangga dan penuh haru. Sungguh, anaknya tumbuh dewasa dan baik. Makan bersama selesai, Stuart dan Jason berjanji akan pergi ke suatu tempat. Maka beranjaklah mereka dari sana.

Stuart masuk ke mobil, Jason siap di bagian kemudi, Felice ada di bangku belakang. Tak banyak kata yang terucap karena ketiganya hanyut dalam lamunan masing-masing dan nyala lampu di seluruh penjuru kota yang mulai menampakkan gemerlapnya di ujung senja. Felice tidak henti tatap anaknya dan suaminya bergantian, anaknya tumbuh dengan baik, didikan Jason tidak pernah salah.

“Jason, jangan ngebut.” Felice bergumam dari arah belakang, mengingatkan suaminya agar tidak terlalu kencang melajukan mobilnya.

“Stuart, jaketnya dipakai nanti, ya.” Felice menambahkan perintah bagi sang anak. Stuart masih fokus memandang jendela luar, sejenak berhenti di lampu merah, suara burung besi yang melintas di langit membuat Stuart memejamkan matanya dan meremaa jaket yang ia pegang.

Tangan Jason meraih pundak Stuart, ia tepuk dan berikan belaian pelan disana. “It’s okay, nak. Papa disini.” kata Jason. Maka Stuart buka matanya dan menganggukkan kepalanya. Stuart pun mulai mengenakan Jaket yang sedari tadi hanya ia taruh di atas pangkuannya.

Sampai di suatu tempat, mereka turun dari mobil. Sebuah pantai tujuan mereka. Ketiganya berjala beriringan dengan posisi Stuart ada di antara Jason dan Felice. Entah mengapa deburan ombak memberikan kesan sedih dalam tiap deburannya, angin malam hari ini menemani seperti alunan instrumen piano yang mengalun malam itu, seperti yang Felice selalu mainkan, nadanya tenang, dan teduh, bak elegi tapi selalu diiringi harapan kebahagiaan yang dititipkan sebuah hati.

Jason membawa sebuah keranjang, entah isinya apa, Felice pun tidak tahu. Sampai di tepi pantai, mereka berhenti, menghentikan langkah lalu menyapu hamparan laut luas dengan netra mereka. Jason hembuskan napas lalu memejamkan mata, sedangkan Stuart masih mengedarkan pandang ke pemandangan yang terlalu indah untuk dilewatkan ini.

Hamparan pasir yang mereka injak seakan mulai berteriak dan mengudarakan sajak penuh duka karena saat itu juga Jason dan Stuart memejamkan mata mengucap bait kata lirih yang nyaris tak terdengar.

Felice hanya bisa menatap kedua orang terpenting dalam hidupnya itu yang kini mulai berkaca-kaca. Felice hanya diam, terlebih saat Stuart ambil sebuah medali emas dari kantong jaket denim yang ia kenakan. Stuart mulai mengerjapkan mata, mungkin hampir menangis. Tidak—Stuart sudah menangis sekarang. Jason ambil sesuatu dari dalam keranjangnya, mulai taburkan dan titipkan kelopak bunga segar pada deburan ombak yang datang. Begitu juga dengan Stuart.

Jason raih pundak anaknya lalu ia usap lembut dan rangkul, tak lupa ia berikan senyum kepada sang anak. Jason juga acak pelan rambut Stuart sambil berkata, “Anak Papa hebat, kaya Mamanya.”

“Waktu Mama bangga Stuart menang lomba renang waktu itu usia Stuart masih empat tahun. Waktu Mama nemenin Stuart lomba nyanyi waktu itu usia Stuart sebelas tahun. Waktu Mama datang ke turnamen basket Stuart waktu itu usia Stuart lima belas tahun dan Mama bilang kemenangan Stuart adalah kado untuk hari ulang tahun Mama yang ke tiga puluh tujuh. Sekarang Stuart datang kesini dengan pencapaian menang turnamen basket tingkat nasional di usia tujuh belas tahun dan Mama udah dua tahun ninggalin Stuart sama Papa. I miss you, Mom. Happy birthday, Mama Felice.”

Saat itu juga Jason hancur hati mendengar penuturan sang anak. Hatinya bak disayat belati tajam berkali-kali. Jason kuatkan hati sebisa mungkin tapi air matanya jatuh lagi, dan kini ia luruh ke hamparan pasir dan terduduk di sana. Ia tidak peduli lagi jika celananya basah terkena deburan ombak yang membawa pergi kelopak bunga segar yang ia taburkan tadi. Stuart ikut berlutut dan merangkul Papanya yang saat itu berkata, “Tenang di sana Felice sayang.” Bayangan Felice memudar, perlahan hilang, Jason mendongakkan kepalanya tersenyum menatap langit dan pejamkan matanya setelahnya.

Laut sudah bawa jasad Felice pergi saat kecelakaan pesawat dua tahun silam. Membawa semua asa untuk Jason berumah tangga untuk waktu yang lama. Bawa semua harap Stuart untuk jadi kebanggaan kedua orang tuanya. Jasad Felice tidak pernah ditemukan. Maka untuk setiap taburan bunga yang Jason dan Stuart buat, mereka titip doa untuk yang tercinta.

—End

Grace mendorong vacum cleaner dan merapikan segala sesuatu yang ada di meja apartemennya. Sampai Grace tiba di depan figura yang menggantung di tembok―foto kebersamaannya dengan Mevin—ia mendekat dan jemarinya bergerak menyentuh figura tersebut. “Mevin aku kangen, are you okay now?” gumamnya dalam hati.

Mevin adalah pria yang ia pilih dan ia harap bisa menemaninya seumur hidup dan ia dekap sepanjang malam. Begitu juga saat Grace masuk ke kamar, ia melihat beberapa barang yang Mevin berikan. Beberapa hari tanpa kabar dari Mevin menjadikan Grace larut dalam kalut pikirannya.

“Kangen, Vin, kangen.” Mata Grace terasa panas setelahnya, ia mengerjap dan membuang pandangan ke sembarang arah. Sesekali menangis bukan hal yang salah. Lamunan Grace buyar tatkala bel berbunyi nyaring. Ia langsung menyeka air matanya dan membukakan pintu, ternyata yang berkunjung adalah Alicia.

“Alicia―”

“Are you busy today? Boleh berkunjung?” tanya Alicia ramah.

“Of course!” seru Grace girang karena ia pikir ia akan larut dan kesepian hari ini tapi untunglah Alicia datang.

Sementara Alicia duduk di sofa, Grace melenggang ke dapur untuk mengambil dua kaleng soda dari kulkas dan berjalan lagi ke ruang tamu, menyodorkan soda itu untuk Alicia. “Ini minumnya,” kata Grace.

“Thank you!” balas Alicia. Ia membuka lalu meneguk minumannya.

“Nggak hangout atau jalan-jalan?” tanya Alicia.

“Capek, mau di rumah aja, santai.”

“How do you feel?”

“Feel about what?” tanya Grace sambil mengerutkan dahi.

“About everything.” Sejenak terpikir di dalam benak Grace tentang perubahan sikap Mevin yang masih menjadi beban pikirannya. Saat sorot mata keduanya bertemu, Grace melihat sorot mata teduh dari Alicia yang seakan membius Grace untuk mengatakan kejujurannya.

“I miss him, he’s wounded by those conditions, aku nggak tahu apa yang terjadi sama dia sekarang,” kata Grace lesu.

“Belum kamu coba hubungi lagi?” tanya Alicia, Grace menggeleng.

“Call him, now. Lemme hear his voice.” Grace bingung, bahkan kali terakhir ia menghubungi Mevin tidak membuahkan hasil, tapi Alicia mengangkat alisnya seakan mengatakan Grace untuk mencobanya saja. Maka Grace raih ponselnya, ia duduk di sebelah Alicia dan mulai mencari nama Mevin dan menelfonnya. Jantungnya berdegup tidak karuan saat telepon itu mulai tersambung.

“Halo.” Suara Mevin terdengar berat di seberang sana. Grace langsung menekan menu loudspeaker agar suara Mevin juga bisa didengar oleh Alicia. Grace menatap Alicia seakan ketakutan. Alicia tidak bersuara tapi dari gerak bibirnya, Grace bisa membaca kalimat “tanya dia kenapa.” terucap di gerak bibir Alicia.

“Are you okay? Mevin?” tanya Grace.

“Nope.” Balasan singkat itu cukup membuat Grace lesu. Tapi Alicia menggenggam tangan Grace dan mengangguk memberikan semangat dan energi positif untuk Grace agar berani.

“Kenapa ngilang setelah nanya kabar? Udah cukup tahu kalau aku hancur terus udah?” kalimat Grace terdengar sedikit emosi tapi masih bisa ia kontrol.

“Aku di Rumah Sakit, maaf.” Mevin berkata dengan terbata-bata dan sedikit tersirat ketakutan dalam kalimatnya. Mata Grace membulat, tidak bisa dibohongi, ia panik bukan main.

“Kenapa? Kamu kenapa lagi? Sakit apa? Kenapa kamu nggak ngomong? Sekarang gimana?” Tanya Grace yang membuat Mevin terkekeh pedih.

“Ya gini, Papa Jo datang, mau bawa aku ke Aussie tapi aku nggak mau, kalau ditanya sekarang gimana, jawabannya masih sama, kok. Aku masih belum bisa jalan, pikirin diri kamu aja, fokus sama dirimu jangan mikirin aku.”

“Mevin!”

“Apa?” nada Mevin terdengar malas.

“Aku sa―”

“Sorry, aku ada terapi.” Belum usai Grace menyelesaikan kalimatnya, telepon diputus oleh Mevin sepihak. Hal itu langsung membuata Grace menunduk lesu, membenamkan wajahnya di telapak tangannya.

“See? Everything is getting worst,” kata Grace dengan suaranya yang bergetar, Alicia pun menggeser posisi duduknya lalu merangkul Grace.

“Dia masuk Rumah Sakit lagi, aku nggak tahu apa-apa, semua orang pasti sembunyiin juga dari aku, entah itu James atau Ave. Kenapa aku nggak pernah tahu? Kenapa aku harus tahu paling akhir?” Grace mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata untuk menatap Alicia.

Alicia menyeka air mata Grace perlahan, “Everything can be better, jangan fokus sama all those worst things aja, kita lihat yang lain, masih bisa, Grace.”

“Bisa apa? Hancur semuanya, hancur.”

“Listen.” Alicia mencengkeram bahu Grace dan ditatapnya lekat wanita itu.

“Aku punya dua jar,” Alicia mulai mengeluarkan dua buah jar dari tasnya. Ia juga mengeluarkan beberapa lembar kertas gulung kecil yang sesuai dengan ukuran jar tersebut.

“Tulis di salah satu jar setiap kebaikan yang pernah kamu lakukan, jar satu lagi kamu isi dengan catatan hal buruk apa yang pernah terjadi dan yang pernah kamu lakukan. Aku nggak minta banyak hal, itu aja. Jujur dari dalam hati kamu. Ingat kata Mevin, fokus sama diri kamu. Mungkin Mevin juga masih mau fokus sama dirinya, penerimaan terhadap diri sendiri itu susah, kan? Selama ini mungkin dari lahir, Mevin sudah menerima dirinya, kali ini dia lemah. Kita nggak bisa menuntut Mevin selalu kuat, kalau dia minta kamu kuat dan fokus, lakuin aja. Mungkin juga itu bisa jadi penyemangat buat dia. Okay?” ucapan Alicia nyatanya membawa Grace kepada sebuah tanya besar.

“Biar apa?” tanya Grace.

“Biar kamu nggak fokus sama worst things yang kamu titikberatkan itu. Kita lihat diri Grace yang lain, katanya mau? Mevin suruh gitu juga, kan? Kita cari obat kamu sama-sama, kita coba.” Beberapa usapan di punggung Grace dari Alicia membuat Grace menganggukkan kepala. Maka Alicia memeluk Grace untuk sesaat, memberikan ketenangan bagi Grace.

Sementara itu di Indonesia...

Di ruangan rawat Mevin, tangan Mevin gemetar menutup telepon, ia berbohong. Tangannya dingin, detak jantungnya tak beraturan, ia terpaksa berbohong padahal belum saatnya untuk terapi, Mevin menyerakkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia mengangkat kakinya satu per satu dengan tangannya. Napasnya memburu, ia hendak meraih sebuah gelas yang ada di nakas sebelah tempat tidurnya, tangannya terulur, bisa menyentuh gelas itu tapi tidak bisa menggenggamnya, tubuh Mevin terjatuh ke lantai begitu juga gelas berisi air itu. Pecahan kacanya berserakan bahkan ada yang mengenai kulit Mevin di bagian kaki, menggores kulit Mevin menimbulkan luka yang mengeluarkan darah. Mevin mengerjapkan matanya berkali-kali karena harus menahan air mata. Jantungnya berdegup kencang, seakan cemas dan ketakutan serta sedikit mual bak diserang kepanikan berlebih saat Grace menelfon.

“Mevin!” teriak Jovian panik yang saat itu baru saja memasuki ruangan rawat Mevin. Bagaimana tidak panik? Jovian melihat anaknya sudah tersungkur di lantai dengan wajah pucat dan bercak darah di sekitarnya.

“Mevin, kamu kenapa?!” tanya Jovian khawatir, tapi Mevin tidak bisa menjawab, Mevin hanya seperti orang linglung. Jovian pun mengangkat tubuh anaknya itu dan ia baringkan lagi di tempat tidur lalu Jovian hendak memanggil dokter untuk menangani Mevin, tapi Mevin memekik “Papa!” hal itu membuat Jovian menghentikan langkahnya. Jovian berbalik dan menghampiri Mevin.

“Kenapa? Kamu butuh apa? Mau apa, nak?” Mevin menggeleng, napasnya masih tersengal, dadanya masih naik turun. Maka Jovian berikan belaian di punggung Mevin agar anaknya tenang dan memberikan minum juga untuk Mevin, anaknya itu meneguknya dan Jovian kini duduk di sebelah Mevin, mengusap darah akibat goresan pecahan kaca tadi di kaki Mevin.

“Grace nelfon Mevin, hancur denger suaranya.” Suara Mevin terdengar berat. “Mevin mau bisa jalan, bisa jemput Grace ke Singapore dan bawa dia pulang,” lanjutnya.

“Nanti, ya. Ada saatnya kalau sudah ditakdirkan dan digariskan pasti ada jalannya. Asalkan kalian sama-sama tulus, akan ada jalannya, jangan kaya Papa ke Mama Petra dulu. Papa mau kamu bahagia, Vin. It’s okay kamu stay disini seterusnya, sama Mama Lea dan Papa Jeremy. Tapi, batin kamu juga harus bahagia, kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri juga. Kuncinya di hati kamu, berdamai sama keadaan, berdamai sama diri sendiri.” Jovian membelai puncak kepala Mevin kala itu.

“Grace sakit, dia diperkosa, dijual sama Papanya, dia nggak bisa nerima dirinya, dia depresi, dia self harm. Grace sempat overdosis di depan mata Mevin, Grace sekarat di depan mata Mevin, di pelukan Mevin, Grace takut untuk ketemu orang, Mamanya datang hanya untuk nampar dia dan bilang kalau dia aib keluarga. Jevin sempat kritis juga karena Jevin yang pertama tolongin Grace, Mevin kaya gini, dunia kenapa nggak adil sama Mevin sama Grace?” tatapan nanar Mevin berhasil membuat hati Jovian pedih. Ternyata hal pelik yang dialami Grace dan Mevin sama peliknya, tidak, bahkan lebih pelik daripada yang ia alami saat bersama Petra. Tidak ada kata yang terucap dari Jovian, ia terlalu kaget dengan kenyataan yang Mevin katakan, ia hanya meraih pundak anaknya dan peluk anaknya itu. Untuk kali pertama, Mevin menangis keras di pelukan Jovian, Papa kandungnya. Hati Jovian rapuh dan tersayat.

“Nangis aja, Mevin. Nangis, nak. Maaf Papa nggak pernah tahu hal seperti ini dari Mevin, luapin semuanya ke Papa. Jangan bikin Papa menyesal seperti waktu sama Mama Petra, Nak...” Jovian merasakan pundaknya basah oleh air mata Mevin saat ini, ia peluk anaknya itu yang menangis semakin keras. Baru kali ini Jovian melihat Mevin sehancur ini.

“Nggak kuat, Pa―” tangis Mevin. Ternyata di balik ambang pintu berdiri Jevin dan Lauren yang tadinya hendak melihat keadaan Mevin tapi keduanya melihat keadaan itu. Jevin kembali tutup pintu ruangan rawat Mevin itu. Hendak beranjak dari sana, Lauren langsung menarik tangan Jevin.

“Lepas!” pekik Jevin sambil menghempaskan tangan Lauren, Jevin berjalan cepat menuju parkiran mobil dan masuk ke mobilnya, hari ini memang Lauren dan Jevin sengaja untuk datang kesana berniat membuat quality time yang sudah lama mereka tidak rasakan bertiga. Tidak bisa dipungkiri hati keduanya juga hancur melihat Mevin menangis rapuh seperti tadi.

Saat sudah berada di dalam mobil, Jevin menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan mengepalkan tangannya menghantam setir mobil itu lagi. Lauren kaget bukan main.

“Jevin!” pekik Lauren sambil menahan tubuh Jevin.

“Jangan kaya gitu!” kata Lauren lagi. Jevin menatap Lauren dengan mata berkaca-kaca.

“Ci, lo nggak sakit lihatnya? Gue sakit banget, Ci! Selama ini gue iri sama Mevin, iri karena semua orang fokus ke dia, gue iri sama dia yang pinter bisa jadi dokter, gue pernah ngatain dia anak pungut. Gila ya, sejahat itu gue sama anak sebaik dia. Dia nggak pernah benci gue! Argh!” Jevin geram dan marah akan dirinya sendiri, kini ia tertunduk, mengacak rambutnya kasar, sementara Lauren menggigit bibirnya dan menelan ludah karena tenggorokannya seakan tercekat saat itu juga. Lauren baru kali ini melihat Jevin seperti ini. Lauren juga sakit melihat keadaan yang tidak baik-baik saja ini. Saat Lauren menempelkan telapak tangannya di punggung Jevin dan menggerakkannya pelan untuk menenangkan Jevin, yang terjadi adalah Jevin yang menangis tersedu. Lauren tidak tega, ia tarik tangan adiknya itu, Jevin luruh di pelukan Lauren, Jevin menangis di sana―Lauren juga.

“Udah, kesalahan di masa lalu udah terjadi, lupain.” Lauren berbisik pelan. Jevin pun memeluk kakaknya itu erat menumpahkan tangis di sana.

“Di depan Papa Mama jangan nangis, di depan Mevin juga, nangis ke gue, dek. Ya?” kata Lauren lembut. Sejak dahulu memang Lauren seringkali menahan semuanya sendiri. Menjadi anak pertama yang dari lahir sudah mendapat banyak kesulitan memang sangat membuat Lauren terbentuk menjadi pribadi yang dewasa. Jauh di dalam lubuk hati keduanya, walaupun sudah ada di usia yang dewasa seperti sekarang, mereka tetap ingin keluarganya utuh, anggota keluarganya utuh dan Mevin tetap disini.

Seorang wanita yang pernah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan bayi kembar yang salah satunya harus pergi kini tengah menemani seorang anak lelki yang menggantikan posisi mendiang anaknya itu. Lea semalam suntuk menunggui Mevin dengan sabar dan membuahkan hasil.

Anaknya sadar pada pukul tujuh pagi, tepat dimana hari ini adalah hari kedatangan Jovian, Ayah kandung Mevin ke Indonesia. Entah kenyataan apa yang harus Lea dan Jeremy terima setelah ini, tidak tahu akan sehancur apa kalau Mevin mengiyakan ajakan Jovian untuk tinggal bersama di Australia, walaupun sebenarnya itu juga untuk melakukan pengobatan. Lea tidak siap ditinggal lagi oleh Mevin.

Tapi hal itu Lea tepis sejenak, semua demi kebaikan dan kesembuhan Mevin. Hal itu yang utama sekarang, bukan ego untuk siapa yang berhak mengurus dan merawat Mevin. Karena, pada dasarnya yang paling berhak adalah Jovian. Lea menangis haru saat mendapati Mevin membuka matanya, Jeremy yang saat itu sedang dalam perjalanan ke kantor memutar balik mobilnya dan langsung kembali menuju rumah sakit.

Lea genggam tangan anaknya itu serta belai kening Mevin yang masih terbalut perban akibat ada luka di kepalanya.

“Anak Mama, akhirnya Mevin bangun, ya, Nak ....” Lea berkata dengan suara paraunya, tangannya membelai pipi anaknya itu matanya berkaca-kaca, ia mendekatkan dirinya kepada Mevin dan mengecup pipi anaknya itu.

“Mama jangan nangis,” kata Mevin lirih nyaris tak terdengar. Lea mengerjapkan matanya berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Lea tidak ingin memperlihatkan sisi lemahnya. Tangan Mevin terulur bergerak perlahan menyeka air mata yang jatuh di pipi Lea.

“Ma, jangan nangis, Mevin sedih. Mevin masih disini.” Hal itu nyatanya malah membuat Lea menangis begitu saja disana. Hal itu membuat Lea menangis tersedu disana sambil memeluk Mevin. Lea tidak bisa membendung air matanya lagi.

“Mama takut, Nak. Mama takut, Mama belum siap kalau ada apa-apa sama Mevin. Mama sayang Mevin, Mama sayang Me... Vin ....” Bahkan untuk berkata-kata pun Lea terbata karena tangisnya.

“Kemarin Mevin kira juga itu akhir dari kehidupan Mevin. Ma, Mevin juga takut, tapi Mevin tahu, Tuhan baik. Belum saatnya Mevin pulang, kan?”

Mendengar hal itu, Lea mengangkat wajahnya, menatap setiap inchi wajah Mevin, membelainya, ia mengangguk, “iya, belum saatnya, belum, sayang,” katanya.

Ketangguhan mereka teruji tapi terbukti, ketabahan mereka dicobai tapi selalu temui jalan keluar lagi.

Suasana haru saat itu dibuyarkan oleh suara ketukan pintu, Lea menegakkan badannya dan berbalik badan melihat dua pria ada di sana. Jovian dan Jeremy―keduanya adalah sosok Papa bagi Mevin. Lea sempat kaget bahwa mendapati Jovian sudah ada di sana, tidak peduli mengapa mereka datang di saat yang bersamaan. Mevin pun kaget mendapati Papa kandungnya ada di sana. Lea berjalan mundur, seakan mempersilakan Jovian mendekat ke arah anaknya.

Sementara Jeremy berjalan mendekati Lea dan merangkulnya. Jeremy dan Lea menyaksikan momen haru saat itu dimana Jovian memeluk Mevin, keduanya tumpah ruah dalam tangis. Jovian maupun Mevin saling memberi pelukan erat.

“Maafin Papa baru dateng, maafin Papa.” Jovian berkata lirih.

“Mevin nggak bisa jalan, nggak bisa, Pa ....” Tangisan Mevin terdengar menggema. Lambat laun yang awalnya samar kini mulai pecah dan terdengar lagi, apa lagi kalau bukan tangisan Lea di pelukan Jeremy. Wanita itu menyaksikan pertemuan Jovian dan Mevin untuk yang kesekian kali tapi rasanya masih sama, terharu dan takut beradu menjadi satu.

Maka setelahnya, Jovian membantu Mevin untuk duduk di tempat tidur, mengangkat tubuh anaknya perlahan lalu Jovian duduk di sebelah anaknya itu. Jeremy dan Lea mendekat ke sana, berdiri di sebelah tempat tidur Mevin.

“Nak, ada yang mau Papa Jo omongin ke Mevin,” kata Lea saat itu yang membuat Jovian membulatkan matanya.

“Sekarang, Lea?” tanya Jovian, Lea mengangguk.

Mevin nampak bingung, sedangkan Jeremy hanya bisa merangkul dan memberikan usapan bak penenang di bahu Lea.

“Kedatangan Papa Jo kesini mungkin terlambat, tapi hancurnya Papa Jo, Papa Jeremy bahkan Mama Lea itu sama. Mama Auryn di Aussie juga sama, khawatir dan sedih. Makanya Papa datang kesini mau ajak Mevin ke Aussie, untuk berobat disana, pengobatan disana lebih memadai. Kalau Mevin mau, sampai Mevin sembuh, Nak. Tapi semua keputusan ada di kamu, Papa nggak maksain.” Ucapan Jovian membuat Mevin tertunduk lesu.

“Ikuti apa kata hati Mevin, nggak ada salahnya juga Mevin ikut Papa Jo, tim medis disana dan pengobatan disana lebih memadai juga, Nak. Semua buat kebaikan Mevin.” Jeremy berkata dengan suara beratnya. Mevin pun bergantian melihat satu per satu orang tuanya. Pada setiap binar mata Lea, Jeremy bahkan Jovian tersirat sebuah harap besar agar Mevin tinggal. Mevin tertunduk merasa hatinya nyeri dan pedih.

“Mevin senang Papa Jo ada disini, Mevin juga selalu bahagia kalau setiap hari bisa lihat senyum Papa Jeremy dan Mama Lea.” Kalimatnya terhenti karena saat ini Lea menatapnya nanar dengan mata yang basah, Lea memaksakan senyum kepada Mevin sekuat tenaganya.

“Papa Jo, Mevin sendiri belum bisa menerima keadaan Mevin sekarang, jujur aja. Mevin disini aja belum bisa berdamai sama diri sendiri. Obat untuk fisik Mevin memang ada banyak, dengan berbagai kualitas dan jaminan kesembuhan serta tim medis yang menangani. Tapi yang nggak kalah penting juga obat untuk diri Mevin sendiri, jiwa dan hati Mevin. Kalau ditanya, Mevin mau atau nggak tinggal sama Papa Jo, Papa kandung Mevin. Jawabannya, mau. Kalau ditanya apa Mevin nggak sayang Papa Jeremy sama Mama Lea, jawabannya, sayang. Apa Mevin nggak sayang Ci Lauren atau Jevin, jawabannya, sayang. Semuanya Mevin sayang tanpa alasan. Semuanya keluarga, susah untuk milih salah satu.” Kalimat Mevin terhenti sejenak, Jovian hanya menunduk sambil mengelus kaki anaknya itu.

“Sekarang semua keputusan di Mevin, Papa Jo nggak akan maksa. Semua keputusan ada di Mevin,” kata Jovian sambil tersenyum. Sejenak Mevin menatap Mamanya yang kini tengah membenamkan wajahnya di dada bidang Jeremy. Dan Jeremy juga menggiring tubuh Lea dalam dekapnya. Mevin tersenyum menatap Jovian, Papa kandungnya sambil tersenyum, Jovian membelai kepala Mevin pelan sambil tersenyum.

“Mevin mau disini, di Indonesia aja.”

  Bahasa cinta yang Lea dan Jeremy berikan mungkin tidak akan pernah sama seperti apa yang Jovian berikan, tapi semua itu sejatinya tidak pernah dipelajari semesta. Bahasa cinta dan ikatan antara orang tua dan anak mengalahkan segala hal yang terlampau pelik di dunia.

Ketangguhan Lea dan Jeremy banyak teruji selama berumah tangga dan mengurus ketiga anak mereka. Telinga yang mau mendengar segala keluh kesah anak-anak mereka Lea dan Jeremy selalu berikan. Begitu pula dengan Jovian, ia melakukan apapun dan memberikan Mevin apapun. Meski telambat, setidaknya Jovan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.

Sedikit sakit di hati Jovian mendengar keputusan Mevin. Jovian teringat kegagalannya sebagai sosok suami bagi mendiang Petra, Jovian teringat kegagalannya sebagai sosok Ayah bagi Mevin. Hidup Jovian di masa lalu dikukung oleh ketakutan dan keraguan yang ia buat dan bangun sendiri. Karena kesalahannya di masa lalu kepada Petra dan kepada Mevin mungkin tidak akan pernah menemui ujung maaf jika dijelaskan.

Jovian paham, Jovian mengerti dan Jovian akan selalu mengerti alasan mereka terikat satu sama lain. Memang pada ujungnya hati tidak pernah salah untuk menetap, dalam hal apapun itu, entah pasangan atau keluarga. Dikukung rasa cemas dan takut selama ini, akhirnya semua ketakutan Lea terjawab. Mevin memeluk Jovian, sebuah kelegaan bersemayam di hati Jeremy dan Lea. Maka saat itu Lea dan Jeremy memberikan waktu bagi Mevin dan Jovian lebih banyak untuk berdua.

You can stay here as long as you want, Jo. You can take care of Mevin,” kata Jeremy.

Thanks, ya.” Jovian tersenyum, maka Lea dan Jeremy bergantian memeluk Mevin sesaat sebelum memberikan waktu bagi Jovian dan Mevin untuk berdua.

“Seharusnya lo bisa jalan, bisa ke Singapore dan peluk Grace, minta maaf sama dia. Argh!” Gerutu Mevin. Seumur waktu hidup Mevin, tidak pernah ia menjatuhkan diri sedalam ini dalam perasaan cinta.

Seumur hidup Mevin hanya Grace yang membuatnya jatuh dan merasa luruh seluruh dalam setiap belaian kasih sayang yang diberikan. Keduanya sama-sama memiliki luka di keluarga. Mevin dengan latar belakang yang ditinggalkan sosok Mamanya sejak ia lahir, tidak diurus oleh Papa kandungnya, dibesarkan di keluarga yang lain. Serta Grace yang mengalami kehancuran keluarganya di saat ia sudah dewasa, diabaikan Mamanya, dijual oleh Papanya sendiri, menghidupi diri sendiri dan menafkahi diri sendiri dengan usaha sendiri.

Mereka berdua jauh dari kata baik-baik saja sebenarnya. Ketabahan Mevin dan Grace diuji, sama-sama diuji. Selalu ada rengkuh untuk berbagi lelah selama mereka berdua, tapi sudah beberapa lama ini keduanya berjalan masing-masing. Sibuk menata hidup dan hati mereka masing-masing. Sama-sama terluka ternyata juga bukan pilihan yang baik untuk bersama, sama-sama terluka juga bisa hanya menambah duka kala berdua dan menjatuhkan hati lebih dalam lagi.

Pesan Grace di chat yang mengatakan bahwa Grace “hancur” nyatanya cukup membuat Mevin sedih dan merasa bersalah. Berjalan bersama hanya mengundang duka dan rasa sakit, tapi berjalan masing-masing nyatanya Mevin yang tengah hancur itu juga menghancurkan Grace yang belum sembuh.

Tak ada pilihan terbaik untuk saat ini. “Ko Mevin!” panggil Kenzie yang terdengar menusuk rungu Mevin tapi untuk menjawabnya saja Mevin tidak sanggup.

Mevin tengah berada di kamar mandi, masih dengan kursi rodanya, ia menatap dirinya di cermin wastafel yang ada, ia basuh wajahnya yang sayu lalu tatap dirinya di cermin lagi. Mevin seringkali melewatkan jam makannya dengan sengaja. Mevin tidak pernah melakukan kekerasan apapun kepada siapapun, tapi kepada dirinya sendiri, tanpa ia sadari yang ia lakukan membuatnya sakit dan rapuh.

Sekarang ia paham betul bagaimana rasanya ada di titik terendah seperti Grace selama ini, Mevin sakiti dirinya dengan pukul kaca yang menggantung atau langsung memukul tembok. Sengaja tidak makan, atau memang kehilangan nafsu makannya. Mevin kehilangan empat angka dari berat badannya, hal itu sangat terlihat jelas di perubahan di tubuh Mevin yang menjadi agak kurus.

Mevin sedikit memejam saat ia merasakan pusing di kepalanya karena sebenarnya ia berbohong kepada Mamanya mengatakan bahwa tadi malam dan tadi pagi sebelum ke rumah sakit ia sudah makan, kebohongan yang sering Mevin lakukan belakangan ini, bukan tanpa alasan, jelas psikis dan batin Mevin masih belum bisa seperti semula, bahkan mungkin sulit dikembalikan.

Kini Mevin merasa pusing semakin melanda bahkan hingga ke otot matanya, sesuatu di dalam perutnya seakan naik dan memaksa keluar, tubuhnya dingin, semua terasa berputar, dadanya sesak, ia dekatkan dirinya ke wastafel dan ia berpegang di sisi tepi wastafel. Sesuatu dalam perutnya seakan terasa sakit tapi sangat susah untuk ia keluarkan, beberapa kali Mevin mencoba membuka mulutnya memberikan akses agar semua isi perutnya keluar tapi tetap saja susah.

“Koko Mevin!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tapi Mevin tidak menjawabnya, rasanya tidak karuan. Akhirnya karena keringat dingin mulai bercucuran, Mevin nekat membuka mulutnya dan memasukkan satu jarinya memasuki mulutnya hingga ke pangkal tenggorokannya.

Benar saja, saat itu Mevin mengeluarkan semua isi perutnya, beberapa kali muntah, ia menyalakan keran air, berkumur tapi lagi dan lagi ia memuntahkan semuanya, peluh semakin membasahi wajah dan tubuhnya terasa seperti hampir pingsan.

“Koko kenapa? Ko!!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi.

“Koko nggak―” “―arghh!” rintih Mevin, lagi, ia memuntahkan isi perutnya lagi lebih banyak dari sebelumnya, maka ia membasuh wajahnya, ia kehilangan keseimbangan, tubuh Mevin jatuh rebah, ia terjatuh dari kursi rodanya, kepalanya menghantam tepian wastafel sebelum jatuh keras ke lantai dan membuatnya mengeluarkan darah.

Suara jatuhnya tubuh Mevin membuat Kenzie kaget, karena saat itu juga Kenzie membuka kenop pintu kamar mandi Mevin.

“KOKO MEVIN!! AAAAA!!” teriak Kenzie panik dan langsung menangis histeris karena yang ia lihat saat ini adalah Mevin yang tergeletak dengan darah yang bercucuran di lantai dan mengenai beberapa sisi wajah Mevin. Kenzie jatuh ke lantai dan menangis meraung yang membuat Lea dan Jeremy datang langsung.

Kepanikan melanda serta suasana mencekam kala teriakan Jeremy dan Lea terdengar hampir bersamaan meneriakkan nama anaknya itu, Lea langsung meraih tubuh Enzi yang masih gemetar dan menangis itu, Lea peluk erat Enzi dalam gendongannya.

“Mevin!” Lea masih meneriakkan nama Mevin, ia menangis juga disana. “Koko Mevin... Koko Mevin kenapa? Enzi mau sama Koko!” teriak Enzi dalam tangisnya. Sementara Jeremy menyingkirkan kursi roda Mevin dengan kasar lalu meraih tubuh Mevin, tidak butuh waktu lama, Jeremy langsung membopong tubuh Mevin, “ke rumah sakit!” pekik Jeremy dengan wajahnya yang mulai memucat karena panik.

Lea mengikuti di belakang. Lea menyambar kunci mobil sambil masih menggendong Kenzie.

“Enzi, aunty anter pulang aja, ya?” kata Lea sambil mengusap air mata yang masih jatuh di pipi gadis kecil itu.

“Nggak mau, Aunty! Zi mau sama Koko Mevin, Zi mau temenin Ko Mevin. Zi mau ikut Uncle mau sama Koko!” tangis Enzi, tangannya terulur seakan ingin meraih tubuh Mevin yang kini sedang diangkat oleh Papanya itu.

“Enzi...”

“Nggak mau, Zi mau sama Ko Mevin! Koko Mevinn!!” tangisan Enzi bahkan nafas yang sedikit tersengal itu membuat hati Lea luruh seluruhnya. Ia memeluk Enzi dan langsung membawa Enzi ke dalam mobil. Tubuh lemah Mevin ditidurkan di jok belakang, Lea mendudukkan Enzi di depan di sebelah Jeremy, memasangkan seat belt untuk gadis kecil itu dan Lea bergegas ke kursi belakang, menidurkan kepala Mevin dan menyadarkan kepala Mevin di tubuhnya.

Persetan dengan darah yang masih mengucur itu. Lea menangis tanpa suara, Jeremy mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali Kenzie menengok ke belakang dengan takut, ia meremas seat belt menahan tangis dan takut melihat kondisi Mevin. Lea berdoa sepanjang jalan, bibirnya bergerak tanpa suara tapi bergetar bukan main.

Ia rangkul tubuh Mevin bahkan genggam tangan Mevin yang dingin saat ini. Lea pejamkan mata, *“God, please protect my son... don’t ever let him go, please safe him.. please.. please...” *

“Ma...” rintih Mevin sesaat tanpa membuka mata, bibirnya memucat.

“Mama disini, Mama disini, sayang, Mevin bertahan nak...” Lea panik, ia tangkup pipi Mevin dengan satu tangannya, tangan satunya masih ia gunakan untuk menggenggam tangan Mevin erat.

“Jeremy! Cepet dikit, Jer!” kata Lea panik dengan suaranya yang parau. Jeremy tidak menjawab, sesekali satu tangannya ia gunakan untuk menyentuh pundak Kenzie agar gadis itu tenang, Jeremy juga mencoba menghubungi Hazel dan Shasha serta Jevin untuk menyusul ke Rumah Sakit. Hazel dan Shasha adalah orang tua Kenzie tapi hubungan dua keluarga yang tidak sedarah ini sudah seperti keluarga kandung.

Gadis sekecil Kenzie bisa menangis histeris melihat keadaan Mevin, ia bisa merasakan ketulusan yang Mevin berikan kepada setiap orang di sekitarnya. Lea masih kalut, ia hanya bisa menangis saat ini, air matanya jatuh tanpa henti dan tanpa komando.

Sungguh, hati ibu mana yang tidak hancur. Mevin yang ia rawat sejak lahir, menerima kasih sayangnya tanpa perbedaan dengan Lauren dan Jevin kini tengah hancur dan keadaannya menyayat hati Lea. Kalau Lea boleh memohon kepada Sang Kuasa, biar ia gantikan tempat Mevin dan semua kesakitan Mevin saat ini dengannya. Kini ia taruh punggung tangan Mevin di pipinya, Lea terisak bukan main karena kini Mevin tidak merespon apa-apa lagi Mevin benar-benar tidak sadarkan diri.

Tidak sampai hati Lea melihat anaknya bersimbah darah saat ini, tidak pernah ia bayangkan Mevin harus mengalami banyak hal yang sebenarnya tidak ia inginkan pastinya sejak lahir. Tapi begitulah cara kerja semesta. Tangan Mevin semakin dingin dan wajahnya memucat, pakaian Lea bahkan sudah berlumur darah yang terus mengucur dari kepala Mevin.

Sempat Lea rasakan Mevin seakan ingin genggam tangannya, bahkan sebelum benar-benar menggenggam, tangan Mevin sudah jatuh terkulai.

“Mevin!!” tangis Lea histeris sambil memeluk anaknya itu, ia menempelkan wajahnya dengan Mevin meski sudah terkena aliran darah, Lea tidak peduli.

“Mevin―nak, sebentar lagi, bertahan, ya, sayang... anak mama... anak Mama Lea... Mevin...”

“Mevin, bertahan, ya? Mama nggak akan pernah siap hadapi kehilangan, stay with us, please―jangan pergi, jangan pernah pergi sebelum Mama, jangan, Nak...”