Jeremy dan Lea, dua anak adam yang sudah membina rumah tangga cukup lama itu tengah sumringah usai mengantar Jovian ke bandara bersama Mevin juga, mereka pun kembali ke rumah karena Mevin sudah boleh pulang dari perawatan di Rumah Sakit.
Seorang ibu memang dituntut mumpuni dalam segala hal, sebagai tulang rusuk sang suami dan sebagai penolong, menjadi pelindung juga bagi anak-anaknya, itulah yang Lea lakukan selama dua puluh tahun lebih ini. Dunia begitu sempit kala kita tidak beranjak dan menjajal segala hal yang disiapkan sang empunya kehidupan.
Lea mendorong kursi roda Mevin dan Jeremy membawa tas dan beberapa barang-barang Mevin di tangan kanan dan tangan kirinya.
Sebuah untai senyum tergambar jelas di wajah Mevin saat hendak memasuki rumah. Di depan pintu sudah ada Willy, Lauren, Letta serta Jevin.
“Welcome home!” seru keempat saudaranya itu, Mevin terkekeh, begitu juga dengan Lea dan Jeremy. Sampai di depan pintu rumah, Mevin disambut pelukan bergantian dari Willy, Lauren, Jevin dan Letta.
“Ini jangan pada peluk Mevin doang, Papa dibantuin juga,” kata Jeremy ngomel. Jevin dan Willy pun sigap membantu dan langsung mengambil alih bawaan Jeremy seluruhnya. Sementara itu, Lauren langsung menghampiri Mevin dan memeluk adiknya itu.
“Gue tepatin janji gue buat peluk lo, gue sayang sama lo.” Lauren berkata lirih sehingga hanya Mevin yang mendengarnya, Mevin tersenyum dan membalas pelukan Lauren itu erat. Semua anggota keluarga nampak bingung karena tidak biasanya Lauren dan Mevin akur seperti ini.
“Ini kenapa? Tumben banget,” kekeh Jeremy.
“Jangan sakit, jangan, ya. Nggak boleh ya, dek?” ucapan Lauren nyatanya bisa membuat hati Mevin berdesir haru. Lauren merasakan Mevin mengangguk di pelukannya. Tidak bisa berbohong, meski tengah hamil, bagi Lauren, Mevin tetap adik kecilnya. Lauren memeluk Mevin sekali lagi sebelum merenggangkannya, Lauren ambil alih untuk mendorong kursi roda Mevin dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Semuanya masuk ke dalam rumah, Lea dan Jeremy masih mematung di sana melihat anak-anak bahkan menantu mereka saling menyayangi seperti itu. Jeremy merangkul Lea yang tengah melingkarkan peluk di tubuh Jeremy, keduanya melihat Willy yang membantu Lauren untuk mendudukkan Mevin di sofa. Letta yang mengambilkan minum dan makan untuk Mevin, serta Jevin yang langsung duduk di sebelah Mevin di sofa, menyandarkan tubuhnya pada Mevin dengan iseng. Meski sudah menikah, kedua saudara kembar yang sebenarnya tidak kembar itu tetap saja seperti anak kecil.
“Sayang, ajaib banget kehidupan kita dan keluarga kita, ya?” kata Jeremy lalu memeluk dan mengecup kening Lea, untuk sejenak keduanya bertukar peluk.
“Iya, as long as we surrender all to God, pasti ada jalannya dan ada pelangi setelah badai.” Lea membalas ucapan suaminya itu. Jeremy termasuk pria yang kuat bertahan dan mempertahankan pernikahannya dengan segala kondisi dan guncangan yang ada.
Keduanya telah mengucap janji untuk saling menjaga walau rapuh. Sejauh ini Lea adalah satu, tidak akan ada satu perempuan yang dapat menggantikannya. Banyak hal yang sudah mereka berdua lewati melewati suka, tetap ada kala sehat dan kala lara. Berbagi secangkir kopi berdua bercerita, saling menggenggam tangan dan berbagi dekap, bertukar peluk dan kecup sebelum memejam. Kala memeluk Lea hati Jeremy memang lebur dalam berbagai perasaan.
Mevin penuh teka teki, tawanya kadang menyembunyikan luka. Senyumnya menyembunyikan duka. Sederhana dan hangat pelukan Lea selalu menjadi tempat Mevin pulang dan mengadu. Malam ini, Mevin tengah duduk di tempat tidurnya sambil memainkan gitarnya, tidak ada yang ia bisa lakukan lagi. Maka untuk mengisi kebosanan, Mevin raih gitarnya dan mainkan gitarnya yang ternyata terdengar hingga ke luar. Masih ada Jevin di rumah itu, Jevin yang mendengarnya pun memasuki kamar Mevin lalu mengambil posisi di sebelah Mevin.
“Kenapa lo? Lesu amat mukanya?” tanya Mevin. Jevin pun mengulungkan tangan seakan meminta gitar kepada Mevin, maka Mevin pun memberikannya.
“Lagi melow,” kata Jevin sambil tersenyum yang membuat matanya menyipit.
“Gaya banget, melow kenapa, coba.”
“Bercanda bro,” balas Jevin sambil tersenyum. Mevin sedikit terkikik.
“Mevin.”
“Apa?”
“Lo sama Grace gimana?” Pertanyaan Jevin membuat Mevin membeku dan merasa tercekat.
“Masih kaya gitu. Dia itu ibarat tiga tambah dua, hasilnya lima. Sedangkan gue lima kali satu.”
Jevin mengernyitkan dahi. Sejuta tanya ada di benaknya sekarang.
“Maksudnya? Kan hasilnya sama-sama lima”
“Proses gue sama Grace dan beban gue sama Grace itu beda, tapi yang sama dari kita itu hasilnya. Hasilnya ya, luka. Kita sama-sama terluka. Tapi nggak bisa nyalahin proses dan duka yang ada.” Ucapan Mevin itu membawa Jevin kepada sebongkah kekaguman besar kepada sosok Mevin saat itu, ia menaruh gitarnya, memusatkan pandangannya kepada Mevin.
“Kok bisa ya, ada laki-laki dengan hati seluas lo gitu, bener, gue kagum.” Jevin sedikit geleng-geleng. Kalau berkaca lagi, kesalahannya terhadap Mevin sudah sangat banyak.
“Lo juga, nggak usah kaya gitu,” cibir Mevin.
“Enggak, gue brengsek dan banyak lakuin kesalahan, apalagi sama lo, banyak kesalahan gue sama lo.” Suara Jevin memelan. Hingga akhirnya tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan keduanya, Lea berdiri disana, di ambang pintu.
“Mama boleh masuk?” tanya Lea.
“Haha, boleh dong, Ma.” Mevin tersenyum, maka, Lea mendekat dan duduk di
sebelah Mevin di tepi ranjang. Lea mengelus kaki Mevin dan tersenyum menatap kedua anak kembarnya itu.
“Mama ganggu kalian nggak?” tanya Lea. Jevin mulai mencondongkan badannya ke arah Lea, ia menggeleng, begitu juga dengan Mevin.
“Enggak, lah, Ma,” kata Jevin.
Lea membelai puncak kepala anak laki-lakinya itu bergantian. Menatap paras keduanya lamat-lamat.
“Makasih anak-anak Mama udah tumbuh dengan baik, makasih Jevin sudah jadi pribadi yang lebih baik bahkan jauh lebih baik, Jevin hebat, Mama bangga sama Jevin di segala hal di usia Jevin sekarang.” ucapan Lea terhenti saat butiran kristal berjatuhan membentuk sungai kecil di wajah Lea.
“Ma ....” Jevin meraih jemari Mamanya itu.
“Mevin, terima kasih udah memilih tinggal di keluarga ini, kapanpun mau ikut Papa Jo, Mama nggak akan larang Mevin. Tapi Mevin janji, jangan sakit lagi. Jangan sakitin diri Mevin lagi, kalau Mama bisa minta sama Tuhan, biar Mama yang gantiin sakitnya Mevin. Tapi nggak bisa, Mevin bertahan sebentar lagi, ya? Jangan nyalahin diri Mevin sendiri terus, ya?” Lea yang mulanya tertunduk, di akhir kalimatnya membawa wajahnya memandang Mevin sekali lagi sambil tersenyum.
“Kalau Jevin bisa juga Jevin bersedia kok gantiin sakitnya Mevin.” Kalimat yang Jevin lontarkan membuat Lea dan Mevin heran, belum sempat keduanya merespon, Jevin melanjutkan kalimatnya lagi.
“Jevin nggak tahu, Mama tahu atau enggak kalau dulu selama SMA, Jevin sering banget kurang ajar ke Mevin. Jevin bentak-bentak sama marah-marah ke Mevin. Bahkan waktu dulu Jevin juga pernah bilang kalau Mevin anak―”
“Jev, udah, nggak papa. Udah lewat.” Mevin memotong kalimat Jevin.
Jevin mengabaikan Mevin dan menatap Mamanya, “dulu Jevin bilang Mevin anak pungut, karena itu Mevin pernah nggak pulang ke rumah,” katanya.
Lea mendelik kaget seakan tak percaya tapi Lea juga kagum, Jevin berani sejujur itu terhadapnya. Mevin tertunduk lesu, Jevin melanjutkan penuturannya lagi, “Jevin malu, bukan maksud apa-apa tapi Jevin yang lahir dari rahim Mama Lea nyatanya mengecewkan keluarga jauh lebih dalam dari siapapun juga. Jevin having sex, merokok, mabuk-mabukan, balapan, kabur, harus di skors. Sedangkan Mevin? Jauh banget sama Jevin. Disitu kadang Jevin iri, pada saat itu. Sekarang Jevin sadar, Tuhan kasih Mevin di tengah keluarga kita bukan biar Jevin iri, tapi biar Jevin ngerti arti kehidupan. Bahkan kebahagiaan Mevin pun juga Jevin renggut. Makanya waktu tahu Grace dalam bahaya kemarin, Jevin nggak bisa diem aja. Tapi Jevin juga terlambat dateng, Sorry.” Kalimat itu dirapalkan Jevin dengan sendu. Membawa Mevin kepada rasa terharu dan tidak bisa berkata apapun lagi. Lea juga kaget dengan penuturan Jevin dan pengakuannya saat itu tentang Jevin yang berkata kepada Mevin dengan sebutan “Anak Pungut”.
“Jevin―” Lea genggam tangan Jevin kala itu.
“Jevin juga hancur, Ma. Jevin hancur lihat Mevin kaya gini, lihat Grace, lihat Mama dan Papa, lihat Cici nangis, ada ketakutan kalau Om Jovian bawa Mevin lagi, Jevin nggak siap menghadapi mimpi buruk lagi seperti saat waktu Mevin di Aussie. Nggak kuat, Ma. Nggak kuat ....” Jevin tidak mau mata basahnya dilihat oleh Mevin ataupun Mamanya.
“Ma, kadang Mevin mikir, lahir dari rahim ibu lain dan diasuh sama Mama Lea sama Papa Jeremy itu suatu kesalahan atau bukan. Mevin nggak bisa menerima diri Mevin saat itu, bahkan saat ini, dengan semua keadaan Mevin dan kekurangan Mevin. Tapi disaat Tuhan kasih Mevin banyak kekurangan itu, Mevin malah semakin lihat ketulusan dan kasih sayang keluarga ini buat Mevin. Harus dengan apa Mevin balas kalian, kasih sayang dan semua cinta yang udah Cici, Mama, Papa bahkan Jevin tunjukin buat Mevin.” Kalimat Mevin terhenti karena melihat Mamanya yang kini terisak dan menunduk. Jevin mengerjap beberapa kali menahan air mata yang tumpah.
“Mevin pernah merasa gagal jadi anak waktu Mevin juga bohong ke Mama waktu SMA, dimana Mevin balapan, bikin Cici berantem sama teman Mevin, terus waktu Mevin pilih ikut Papa Jo ke Aussie. Mevin merasa gagal dan salah, waktu Mevin ikut Papa Jo di Bali, Papa Jeremy kecelakaan dan kritis. Waktu Mevin kuliah di Aussie, Mama Lea juga sakit. Bahkan semua dimulai sejak Mevin lahir, Mama Petra harus pergi... selamanya ...” Mevin terisak di ujung kalimatnya. Atmosfer haru dan pedih mengukung Lea dan kedua anak kembarnya saat itu. Jevin juga menangis disana, tanpa suara.
“Waktu hancur-hancurnya, Mevin sempat kepikiran mau nyusul Mama Petra. Tapi kalau Mevin lakukan itu bukannya malah bikin Mevin nggak ketemu Mama Petra? Situasi apapun itu, akhirnya Mevin terima, termasuk kelumpuhan Mevin sekarang. Tuhan nggak selalu jawab doa Mevin, Ma. Tapi, entah, selalu hadirkan hal lain, entah suka atau duka. Semuanya beriringan.” Mevin menghentikan kalimatnya. Satu tangan Lea juga meraih tangan Mevin dan menggenggamnya. Satu tangan Lea masing-masing menggenggam satu tangan anaknya. Lea terisak hebat.
“Kalau Mevin paksa untuk pergi saat itu, Mevin nggak ketemu Mama Petra, Mevin kehilangan keluarga Adrian, juga Grace.”
“Lo nggak boleh pergi duluan, lo belum bawa Grace pulang, kan lo udah janji. Jangan kaya gitu, gue nggak suka, gue nggak mau. Lo itu spesial, sampai hari ini itu Tuhan selalu nolong dan topang hidup lo setiap detiknya. Sampai seterusnya, selamanya, sampai Tuhan bilang untuk PULANG pada waktuNya, jangan diduluin, nggak boleh. Lo tuh―argh!” Jevin mengacak rambutnya kasar.
“Jevin, Mevin,” panggil Lea lirih.
“God is good all the times. Jevin, kesalahan Jevin yang udah lewat, ya udah, itu prosesnya Jevin dan jangan diulangin, jangan jatuh di kesalahan itu lagi, Nak. Jevin yang dulu dan sekarang tetap anak Mama. Jevin dan Mevin dari lahir sampai sekarang tetap anak Mama. Mevin, boleh kecewa sama situasi, tangan Mama, Papa, Jevin, Cici, Papa Jo nggak bisa pegang tangan Mevin terus. Tapi tangan Tuhan itu nggak kurang panjang buat pegang kamu. Nggak pernah kurang panjang juga buat pegang tangan Jevin, Cici, bahkan Mama sama Papa juga. Tuhan lebih tahu jauh melampaui siapapun. Jevin, Mevin, kalian bisa bohong ke Papa sama Mama tentang apa yang kalian rasain tapi, sekalipun kalian nggak ngomong, Tuhan tahu. Nak, Mama dan Papa minta maaf kalau masih kurang mumpuni sebagai orang tua. Tapi kebahagiaan anak-anak Mama itu yang utama, kebahagiaan kalian yang utama. Kalau kalian sakit dan jatuh, Papa sama Mama sedih, please, surrender all of your life and your fears to God. Cuma Tuhan tempat berharap, bukan manusia. Jangan ijinkan kalian dikuasai ego, tapi ijinkan Tuhan bekerja di hati kalian. Mama nggak mau lihat kalian nangis, kalau bisa, Mama bersedia tampung semua luka dan air mata kalian, Mama bersedia, Mama mau ....” Lea berhenti menghela napas panjang di ujung kalimatnya, tapi ia terisak tersedu setelahnya. Tubuh Lea membungkuk dan punggungnya bergetar, Lea memukul dadanya dengan kepalan tangannya pelan. Saat Lea mengangkat wajahnya ia melihat Mevin dan Jevin yang sama-sama terisak. Perlahan Mevin meraih pundak Lea dan memeluk Mamanya itu. Lea menangis sejadinya di pelukan Mevin.
Lalu, Jevin ikut memeluk juga, mereka bertiga memeluk dan saling mencurahkan perasaan sayang, cinta, takut kehilangan, bersalah, dan lainnya. Ketahuilah, hati seorang ibu hancur melihat anaknya menangis, dan hati seorang anak juga hancur saat melihat malaikat yang melahirkannya menangis.
“Mevin sayang keluarga ini, Mevin mau disini, sama keluarga ini.” Pada kalimatnya kala itu Mevin titipkan segala asa dan harap agar Tuhan kabulkan doanya. Sedetik kemudian Lea pun mengecup pipi Mevin dan Jevin bergantian yang tengah ia peluk raganya itu.
“Maafin Jevin, Ma selama ini Jevin banyak banget salah.”
“Nak,” kata Lea lalu merenggangkan pelukan. Lea hapus dan usap air mata yang membasahi pipi Jevin dan Mevin saat itu, ia menyeka pipi anak-anaknya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang.
“Janji sama Mama, berserah ya, pokoknya semua udah ada yang atur, hidup yang ada dijalani. Oke? Ada buat satu sama lain, ya? Janji?” tanya Lea, kedua anaknya itu mengangguk hampir bersamaan. Maka Lea kecup kening Mevin dan Jevin bergantian, ia tersenyum menatap satu per satu anaknya yang tersenyum diatas mata yang sembab saat itu juga.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar lagi, Jeremy di sana, ada di ambang pintu.
“Papa?” Jevin dan Mevin berkata hampir bersamaan.
Jeremy melangkah masuk ke sana duduk di sebelah Jevin.
“Maafin Papa juga kalau kurang baik jadi seorang Ayah buat kalian. Tapi setiap kalian sakit atau sedih, kadang Papa malu mau nanya, takut, Papa takut kalian merasa gimana. Papa nggak bisa lihat dan dengar kalian nangis, Papa sayang kalian tanpa terkecuali.” Jeremy menambah suasana haru saat itu.
Jevin tersedu lagi, anak lelaki Jeremy yang satu itu teringat bagaimana ia dan Papanya itu sempat berdebat hebat setelah mengetahui fakta Jevin melakukan sex dengan mantan pacarnya diluar nikah. Jevin teringat bagaimana ia menghancurkan hati keluarganya saat itu.
Jeremy dan Lea menyadari anak-anaknya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik.
Salah satu hal besar dalam hidup Lea―bayi mungilnya yang ia timang dengan sejuta kisah dibalik kelahirannya tumbuh dengan baik dan menjadi anugerah untuk keluarganya memang sebaik-baiknya didikan yang telah ia dan Jeremy berikan selama ini. Lea gapai salah satu pipi Mevin dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk meraih pipi Jevin.
“Sampai kapanpun, apapun yang terjadi, Jevin dan Mevin tetap anak kembar Mama Lea sama Papa Jeremy,” kata Lea dengan tersenyum.
“Papa sayang kalian.” Jeremy berkata lirih tapi cukup menyentuh hati anak-anaknya itu dan juga istrinya.
“You both are a miracle for Mama, Jevin also Mevin .... one of many reasons that I can survive this life.” Lea memeluk erat kedua anaknya itu, sedangkan Jeremy bangkit berdiri dan membelai puncak kepala Jevin dan Mevin bergantian dan mengecup kepala Lea.
Sungguh, kehidupan keluarga ini tidak berjalan baik-baik saja dari awal, tapi selalu ada yang reda setelah badai melanda. Dalam kesesakan dan kebimbangan selalu mereka andalkan Tuhan meski susah dan mustahil, walaupun penuh keraguan, nyatanya mereka bisa sampai di titik ini. Belaian kasih yang Jeremy dan Lea berikan juga nyatanya penuh cinta dan tidak pernah kurang. Mereka semua titipkan harap agar keluarga ini bahagia sampai akhir, selalu bersama sampai akhir.