awnyaii

“Kamu tidur di kamar, aku tidur di sofa. Ya?” kata Mevin saat memasuki unit apartemen Grace. Gadisnya mengangguk.

“Tapi temenin sampai tidur?”

“Iya, sampai kamu tidur.” Mevin tersenyum lebar lalu mengacak pelan rambut Grace. Pintu apartemen ditutup, Mevin dan Grace mengganti bajunya masing-masing lalu mereka bergulung dibawah selimut yang sama di kamar Grace. Kali ini Grace aman di pelukan Mevin sampai ia terlelap. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya, hanya berbagi rengkuh, Grace juga menelusupkan wajahnya di dada bidang Mevin, serta Mevin yang memastikan kekasihnya ia dekap hangat dan penuh perasaan.

“Vin, rasanya pengen kamu disini, rasanya juga mau ikut kamu pulang ke Indonesia.”

Sebuah belaian penuh kasih sayang Mevin berikan untuk mengusap lembut punggung Grace.

“Nanti, ya. Akan ada saatnya kamu pulang.”

“Mevin, jangan pernah tinggal hanya karena iba.”

“Kata siapa iba? Aku masih disini karena cinta, dan karena kamu, nama kamu yang selalu aku sampaikan ke Tuhan lewat doa.”

Grace mendongak menatap Mevin, pria itu menundukkan sedikit kepalanya dan menatap mata Grace yang berkaca-kaca.

“Kadang aku ngerasa takut sendiri, kadang aku nggak mau ketemu orang, sekeras itu diriku berdebat sama hati dan pikiranku. Mevin, maaf untuk hal-hal bodoh yang aku lakuin kemarin. Suicide isn’t a good way to ended all things.

Kini ibu jari mevin mengusap lembut pipi Grace karena Mevin menopang dagu Grace dengan jemari gagahnya. Ia masih terus membiarkan sang puan bertutur.

“Aku pikir nggak ada yang peduli sama aku, aku pikir nggak ada yang mau aku tetap ada di dunia ini, sampai akhirnya aku ketemu Alicia, Tela bahkan keluarganya. Kamu, keluarga kamu, James, Aveline. Masih ada alasan kenapa aku harus tetap hidup, Vin. Walaupun bukan keluarga kandungku, walaupun bukan orang tuaku yang peduli sama aku. Ada, Vin. Ada!” Kata-kata penuh penekanan itu diungkapkan Grace dengan nada semangat tapi air mata mengucur dari pelupuk matanya.

Mevin tidak tahu lagi harus berkata apa, ia juga menahan air matanya yang hendak luruh, maka yang ada hanya Mevin mendekap erat Grace sambil mengecup puncak kepala Grace berkali-kali dengan lembut, memastikan sang puan aman dan nyaman di dekapannya. Meski Grace sedikit terisak tapi Mevin merasakan Grace membalas pelukannya.

“I’ll do anything for you, sayang. I promise. I beg you, please be strong, ya?” Sebuah anggukan Mevin rasakan kini, dan malam itu entah bagaimana ceritanya keduanya terlelap disana, saling merengkuh dan menjaga hingga pagi menjelang.

Malam itu, usai menikmati candle light dinner, Mevin mengajak Grace ke Gardens By The Bay Light Show. Waktu menunjukkan pukul 8.45 malam hari, tepat di jam show terakhir tempat itu. Gemerlap lampu, hiruk pikuk orang-orang, serta keindahan tempat tersebut di malam hari menambah bahagia perasaan Grace di hari ulang tahunnya. Tanpa kemewahan tapi kesederhanaan yang lahir dari keduanya, dari diri dan hati Grace serta Mevin sudah menjadi kado terindah bagi Grace.

Ditambah saat Grace sedang bersama Mevin, James dan Aveline melakukan video call dengan mereka. Grace merasa bahagia karena kedua sahabatnya itu ternyata tidak melupakan hari spesialnya.

Pada sisa malam hari itu, Mevin dan Grace berjalan bergandengan tangan, erat. Sesekali juga mereka berjalan dengan Mevin yang merangkul pinggang Grace serta Grace yang melingkarkan lengannya di pinggang dan memeluk Mevin serta menyandarkan kepalanya di dada bidang Mevin. Hangat.

Grace juga kadang menggandeng dan menarik tangan Mevin bak anak kecil yang kegirangan, Mevin juga menurutinya dengan semangat dan sumringah. Mevin mengambil gambar Grace juga beberapa kali tanpa sepengetahuan Grace. Mevin dan Grace juga mengambil foto mereka berdua. Malam itu hanya ada Grace, Mevin dan kebahagiaan.

Mata cokelat tua Grace kini tengah berhadapan dengan iris legam milik Mevin. Satu tangan Mevin membelai surai panjang Grace dan satu tangan Mevin membelai pipi hingga ke dagu Grace.

“Dateng kesini bikin aku males pulang, mau disini aja nemenin kamu.” Mevin berkata dengan nada lesu.

“Sama,” balas Grace sambil memanyunkan bibirnya.

“Tapi nggak bisa ninggal kerjaan lama-lama.”

“Mevin, makasih ya udah mau berjuang, tadinya dari awal aku sempat ragu, masa, sih orang kaya kamu beneran cinta sama aku beneran nerima aku dan berjuang buat aku, tapi Tuhan jawab itu. Lebih dari kata berjuang yang kamu lakukan itu, Vin. Untuk menerima diriku sendiri aja aku masih belum bisa, kok kamu bisa, kok kamu mau, kok kamu sudi?”

Mevin tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan malah bergerak memajukan langkahnya dan mengecup kening Grace sesaat lalu membelai rambut Grace lagi, “percaya sama jalan Tuhan?” tanyanya. Grace mengangguk dan tersenyum.

“Yaudah, kita jalanin jalan Tuhan, oke? Do our best in every step and let God do the rest, for me, for you and for us. Ya?” Sekali lagi Mevin memberikan tatapan teduh yang menembus hati Grace hingga titik terdalam palung hatinya. Sungguh, pria di depannya ini adalah wujud nyata ilusi paling liar dalam pikirannya selama ini. Segala kelemahlembutan, kesabaran dan kebaikan ada pada Mevin.

“Aku besok pulang, ya? Karena cuma ambil waktu weekend ini,” kata Mevin sambil melanjutkan langkah lagi menuju mobil bersama Grace. Gadisnya itu sedikit tertunduk lalu memberanikan diri menatap Mevin.

“Iya, nanti aku pasti pengobatannya cepet, biar kita nggak berjarak lagi, aku janji!” Perkataan Grace itu malah membuat Mevin terharu bukan main, ia justru merasa bersalah karena membiarka Grace disini sendiri, tapi memang begitu jalannya, belum bisa bersama untuk waktu yang lama. Tapi Grace sudah menjatuhkan hati kepada Mevin, seseorang yang memang sudah siap menjatuhkan hati dan menyiapkan hati kapan saja jika harus dipisahkan jarak untuk sementara.

“Iya, pasti cepet, semangat ya, sayang.” Perkataan Mevin itu diakhiri dengan Mevin yang menutup pintu mobil untuk Grace.

“Vin,” kata Grace saat Mevin mengenakan seat belt. “Ya?”

“Mau temenin aku malem ini? Tinggal beberapa jam lagi kita bareng.” Sebuah pinta dititipkan Grace pada sorot matanya yang mengeja harap dalam setiap kerlingannya. Mevin tersenyum dan mengangguk.

“Mau, sayang. Mau banget.”

Kalau semua hal yang ada di dunia itu adalah takdir, semua pasti sudah digariskan sejak awal. Dengan apa pilu harus direngkuh? Entah apa yang direncanakan sang empunya kehidupan dengan segala pertemuan dan hal-hal yang dititipkan. Mevin sebagai seorang pria yang datang dengan segala luka yang ada bahkan sejak ia dilahirkan. Grace yang menjelma sebagai juwita yang mengisi kekosongan hati Mevin selepas perpisahan dengan Letta nyatanya juga belum menjumpai titik bahagia seutuhnya.

Tapi segala hal yang terjadi kepada mereka selalu diterima dan dilalui. Untuk mereka, saling mengenal tidak menimbulkan sesal, untuk saling mencintai tidak menimbulkan sakit hati. Masing-masing dari mereka dijadikan alasan untuk saling merasa utuh dan menjadi utuh.

Hari ini adalah hari kedatangan Mevin di Singapore. Tanpa sepengetahuan Grace tentunya. Kejutan singkat sudah Mevin rencanakan hari ini. Hanya dirinya sendiri, tanpa siapapun. Sungguh kerinduan Mevin sudah membuncah terhadap kekasihnya itu. Saat ini Mevin sudah menyiapkan canle light dinner di sebuah restoran yang tak jauh dari Apartemen Grace.

Mevin meminta bantuan party planner yang ada di sana untuk menyiapkan segala dekorasi dan perlengkapan. Memang, hanya ada mereka berdua tapi Mevin ingin makan malam ini menjadi romantis dan berkesan, terlebih ini adalah ulang tahun Grace.

Setelah semuanya siap, Mevin sudah ada di sana dengan celana jeans panjangnya dan kemeja putih berlengan pendek miliknya, Mevin menyiapkan sebuah kue ulang tahun bernuansa putih dan sebuah kado yang masih ia rahasiakan. Mevin menyewa sebuah rooftop restoran hanya untuknya dan Grace malam ini sehingga tidak ada seorangpun yang mengganggu. Mevin juga siapkan sebuah bouquet bunga mawar merah untuk gadisnya itu.

Mevin mengirim lokasi kepada Grace dan meminta Grace datang sendirian, tanpa Tela dan siapapun. Grace tanpa rasa curiga menuruti perkataan Mevin yang mengatakan bahwa Grace harus menemui seseorang di restoran ini, Grace pun datang dengan tanpa rasa curiga, hanya menuruti apa perintah kekasihnya.

Excuse me,” kata Grace kepada seorang pelayan disana.

“Yas, can I help you?”

“I’m looking for table number ten, can you help me? Someone said that it’s already reserved.”

“Oh, you can follow me,” kata sang pelayan lalu menunjukkan jalan kepada Grace dan meminta Grace mengikutinya, kekasih Mevin itu pun mengangguk dan menurut. Tiba di rooftop, sang pelayan meninggalkan Grace sambil tersenyum. Grace kebingungan, di ujung sana Grace melihat seorang pria tengah berdiri membelakanginya.

“Hello, sir? excuse me?” ujar Grace sambil berjalan mendekat, pria itu berbalik badan, sorot mata itu menghantarkan Grace membeku di tempatnya dan matanya membulat memandang pria yang ada di depannya sekarang. Sebuah untai senyum yang membuat Grace tenggelam dan merasakan matanya, hidungnya dan pipinya menghangat.

Ia ada disana. Mevin ada disana! Mevin langsung berjalan cepat dan langsung menghampiri Grace dan memeluk kekasihnya dengan mencurahkan segala kerinduan dan perasaan yang tertahan selama ini.

Grace langsung membenamkan wajahnya di ceruk leher Mevin dan menangis haru karena kekesalannya terhadap Mevin di hari spesialnya kini terjawab, dijumpai lagi sang pemilik raga dan hati. Setiap pertemuan memang menyediakan segala perpisahan, begitu juga perpisahan juga tidak akan menutup kemungkinan akan ada pertemuan lagi.

Di dalam hidup, banyak misteri, kejutan dan hal tidak terduga lainnya. Selagi mereka berdua, Mevin renggangkan pelukan lalu peluk pinggang Grace erat. Ditatapnya lekat wajah Grace yang ayu, dibelainya lembut rambut dan pipi Grace, dikecupnya untuk beberapa detik kening Grace, maka Grace juga mengeratkan cengkeramannya di baju Mevin.

“Happy Birthday, sayang. Maaf udah jadi nyebelin, maaf udah jadi orang rese hari ini, makasih udah bertahan sampai sekarang, makasih udah lahir.” Mevin berkata lirih.

“Makasih udah nemuin aku, makasih udah bertambah usia, aku pastikan di usia kamu selanjutnya bahkan seterusnya aku akan selalu ada.”

“Nggak mau.” Perkataan Grace membuat Mevin bertanya-tanya.

“Kok gitu?”

“Maunya sampai tutup usia.” Kalimat itu tidak dijawab apapun oleh Mevin, karena Mevin sudah mendaratkan kecupan di bibir Grace. Kecupan lama dengan racikan rindu dan pilu kini beradu. Grace membalasnya, Grace membalas kecupan Mevin dengan lembut, segala rindu diberingkus dan kini yang ada hanyalah kecupan yang berangsur menjadi lumatan mesra. Hal itu Mevin hentikan saat menyadari pipi Grace yang basah.

“Kenapa, sayang?” tanya Mevin panik.

“Beberapa waktu lalu, aku hampir milih jalan buat mendahului takdir, kalau aja saat itu Papanya Tela nggak manggil aku, mungkin sekarang aku dan kamu nggak disini. Kalau aku nggak ketemu Alicia mungkin aku nggak disini. Kalau saat itu aku nggak ketemu kamu, mungkin saat ini aku hanya akan dikenang sama Aveline sama James. Tapi semua berbeda, karena kamu hadir, keluarga kamu, Alicia, Tela dan semua orang yang nggak pernah sedikitpun aku duga, Mevin.” Air mata yang berjatuhan itu diseka oleh jemari Mevin dengan lembut. Sekali lagi, Mevin memeluk kekasihnya itu erat-erat. Mencium puncak kepala Grace berkali-kali dan membisikkan kata cinta dan terima kasih kepada kekasihnya yang sudah berjuang hingga saat ini.

Mevin akhirnya mengajak Grace untuk duduk di meja dan kursi yang sudah disiapkan. Mevin juga meminta Grace meniup lilin dan memotong kue dan diakhiri oleh kecupan di punggung tangan Grace dari Mevin. Hiasan sederhana dari tempat itu menambah kesan romantis saat malam itu. Alunan musik instrumen romantis juga mengalun menambah kesyahduan kala itu. Kedua orang tua Grace memang tidak mengingat hari spesial anaknya, tapi masih banyak orang yang mengingat dan bahkan Tuhan berikan lebih banyak orang untuk membuat Grace lebih bersyukur di usianya sekarang.  

Untuk pertama kalinya Grace bertemu Alicia tanpa ditemani Tela karena Tela harus bekerja hari ini. Sedikit tidak bergairah sebenarnya tapi entah mengapa Grace merasa ia harus bertemu Alicia hari ini. Alicia mengajaknya untuk makan malam bersama, Grace menuju tempat yang Alicia kirimkan, kakinya melangkah seakan tanpa beban, dengan sukarela.

Mendung tidak mengganggu dan membuat Grace mengurungkan niatnya untuk bertemu Alicia. Maka sampailah Grace di tempat yang dijanjikan. Grace masuk ke sebuah restoran dan benar saja disana sudah ada Alicia di sebuah meja bersama seorang pria, tunggu, siapa itu?

Maka saat Grace melangkah kesana, Alicia langsung menyambut Grace dengan senyum sumringah dan sebuah pelukan hangat, Grace membalasnya. Lalu saat Grace duduk di hadapan Alicia, dokter itu memperkenalkan pria di sebelahnya.

“Grace, ini Rick, suami saya.” Rick adalah pria dewasa yang menikahi Alicia beberapa tahun silam. Ia juga bekerja di Singapore tapi bukan sebagai dokter seperti Alicia.

“Halo, Grace, saya Rick.” Pria itu berjabat tangan dengan Grace.

“Grace.”

Maka selama makan malam itu, suasana hangat dan ketiganya bisa memiliki bahan obrolan yang tidak habisnya. Grace lebih banyak menjawab pertanyaan dari Rick dan Alicia, seputar keseharian dan kegiatan yang dilakukan. Rick dan Alicia juga menceritakan bagaimana mereka bertemu di Indonesia. Sungguh, suasana cair tidak seperti dugaan Grace sebelumnya yang mengira bahwa mungkin pertemuan itu akan canggung. Nyatanya tidak.

“Kalian udah lama berumah tangga?” tanya Grace.

“Sudah, hitungan tahun. Tapi ya kami masih berdua aja,” jawab Alicia tersenyum.

“Masih menunda momongan? Atau ada hal lain?” tanya Grace.

“Belum dikasih, udah sama-sama berjuang, tapi belum dikasih. Kalaupun nggak dikasih nggak masalah.” Rick tersenyum lalu meneguk minumannya.

“Tuhan nggak jawab doa?”Grace mengernyitkan dahinya, Alicia terkekeh kecil lalu menepuk pundak Rick, “he said, kalaupun seterusnya harus berdua nggak masalah. Kita bisa adopsi anak kalau udah siap.”

“Saya menikahi Alicia, waktu itu saya hanya berdoa kalau saya hanya mau Alicia, saya mau hidup sama dia. Dalam segala kondisi, termasuk punya anak atau enggak. Saya sama Alicia juga bisa adopsi anak kalau kita sama-sama siap. Dengan segala kesibukan saat ini masih belum mungkin kayaknya. Tapi itu nggak melunturkan sedikitpun niat dari diri saya untuk hidup sama Alicia.” Kalimat itu Rick ucapkan selagi Alicia dan Grace memandangnya lekat, terhipnotis akan setiap kalimat tulus yang mereka dengar dari Rick.

“Kalau Tuhan nggak kasih aku dan Rick anak juga nggak papa, yang penting dia ada di setiap saya buka mata dan tutup mata waktu mau tidur, mendampingi di segala kondisi seperti apa yang dia udah janjikan di hadapan Tuhan. Karena janji di hadapan Tuhan itu nggak main-main, right?” tanya Alicia. Grace mengangguk.

“Ketika Tuhan nggak jawab doa kita itu hanya ditunda, bukan Tuhan nggak jawab. Disiapin kok sama Tuhan sama rencana dan hal indah lain, waktunya aja yang berbeda. Ujiannya Tuhan itu special, jadi untuk semua yang kamu hadapi berarti Tuhan pilih kamu buat alami itu, bukan saya atau kami berdua.” Rick berkata dengan nada teduh.

“Tapi Tuhan kasih semua kesakitan ke aku, capek, lelah secara manusia, lelah sama diri sendiri,” balas Grace.

“Kalau lelah sama diri kamu yang ini, yang lama, kenapa nggak kamu coba untuk lihat diri kamu yang baru. Coba sebentar, belum pernah, kan?” tanya Alicia lagi yang membuat Grace berpikir menerawang. Masih mencerna perkataan Alicia.

“Sama kaya kamu, apapun yang kamu hadapi. Sekali kamu janji di hadapan Tuhan tentang apa yang akan kamu kerjakan ke depannya, pegang itu, Tuhan akan pelihara kamu. He will provide. And please remember that kematian hanya menyelesaikan masalah kita saat itu juga, yang kamu pikir itu selesai. Nyatanya enggak, akan banyak masalah lagi bahkan setelah kepergian. Tapi masalah abadi dan kesakitan abadi setelah itu juga akan kamu alami, in afterlife.” Kalimat penutup dari Alicia membuat Grace sadar, kehangatan pembicaraan seperti ini sudah jarang ia dapatkan, sudah jarang ia rasakan, nyaris tidak pernah. Bahkan sekarang Grace menangis saat itu juga, di hadapan Alicia dan Rick. Setiap kalimat yang mereka lontarkan memang membuka pikiran Grace lebih luas.

Alicia berpindah ke bangku sebelah Grace dan memeluknya, Grace menumpahkan segala tangisnya di pelukan Alicia. Kebaikan demi kebaikan dari orang-orang sekitar Grace mulai Grace rasakan, setelah segala duka dan kesakitannya selama ini. Karena memang Tuhan tidak selalu janji kalau setelah hujan akan ada pelangi, tapi Tuhan selalu janji jika usai hujan bahkan badai sekalipun perlahan itu semua akan reda.

Selama ini Grace juga berdebat dengan dirinya sendiri karena belum bisa menerima kalau dirinya tidak sempurna karena banyak kejadian. Tapi ketidaksempurnaan itu jangan dijadikan alasan untuk tidak menerima diri sendiri. Grace dianggap aib oleh Mamanya, tapi Grace adalah pribadi yang special di mata Tuhan. Maka Tuhan juga berikan Mevin untuk Grace, mereka berdua adalah hambaNya yang sama-sama special.

Mendahului takdir Tuhan apa ada jaminan di kehidupan kekal setelah ini? Tidak. Pikirkan lagi sebelum melangkah. Dan jika keluarga Grace ataupun siapapun yang mengalami hal serupa seperti Grace yang tengah membaca tulisan ini, ingatlah, Keluarga bukan hanya yang sedarah atau terikat karena ikatan darah. Keluarga adalah mereka yang memeluk kita penuh kasih saat kita berada di titik terendah dalam hidup kita.

Kecanggungan antara Jeremy dan Jevin masih terasa sampai hari ke tujuh Jevin di skors. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Jeremy sedang berkutat dengan laptopnya suasana rumah tampak lengang karena Lauren yang sedang membantu Mevin mengerjakan tugas dan Lea yang tengah membereskan kamar. Jevin berjalan mengendap lalu duduk di sofa kosong sebelah Jeremy.

Jantung Jevin berdegup kencang saat duduk bersebelahan dengan ayahnya itu. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Jeremy. Akhirnya Jevin berinisiatf untuk membuka percakapan. Diantara Jevin dan Jeremy bagaikan ada pembatas yang diiringi rintik sedu yang mengundang gemuruh dalam hati dan kepala Jevin, akankah Papanya memberi maaf untuknya?

“Pa..” Jevin menatap ayahnya yang masih fokus ke layar laptop. Jeremy hanya berdeham saja menanggapi kalimat yang dilontarkan Jevin.

“Pa, maafin Jevin ya. Jevin mau dihukum apa aja asal Papa maafin Jevin. Tapi yang bikin Jevin paling sedih didiemin papa kaya gini. Jevin bener-bener nyesel.” Mendengar perkataan anaknya itu, Jeremy menghentikan kegiatannya dan menoleh menatap Jevin, anak lelaki itu tertunduk takut.

“Alkohol iya, ngerokok iya, having sex iya. Apa yang kamu kejar dari hal-hal itu?” Jeremy menatap tajam Jevin.

“Lihat Mevin, dia nggak pernah sentuh hal-hal itu. Ngerti?” lanjut Jeremy.

Mendengar hal itu, Jevin mendongak dan menatap mata Papanya tajam.

“Yang anak kandung papa itu Jevin, kenapa yang selalu dilihat Mevin?” Ucapan Jevin membuat Jeremy terbelalak.

“Ulangi sekali lagi!” suara Jeremy meninggi.

“Mevin terus yang dibanggain, Jevin nggak pernah! Jevin anak kandung papa!” saat itu juga satu tamparan hendak melayang ke pipi Jevin namun tangan Jeremy yang sudah terangkat di udara terhenti sejenak lalu mengepal dan ia mengatur napasnya. Ia sudah tidak sanggup berkata-kata sepertinya.

“Kalian bertiga itu sama, stop bahas anak kandung dan bukan! Gimana kalau kamu di posisi Mevin? Papa Cuma mau kamu sadar dan lihat contoh nyata dari cici dan Mevin!”

Jevin terkekeh diatas tangisnya, “Karena Mevin pinter dan nggak brengsek kaya Jevin?” kalimat itu terdengar sangat nelangsa. Udara malam itu terasa berbeda karena seakan ada lara yang menyapa mereka berdua.

“Kalau Jevin ada di posisi papa gimana rasanya? Kamu ngerti kamu itu udah kelewat batas?” kata Jeremy datar lalu bangkit berdiri.

“Tapi Mevin terus yang dibanggain!” Suara Jevin gemetar.

“Papa nggak bangga-banggain Mevin. Cuma setidaknya kamu lihat dia, lihat! Bukan untuk menjadi seperti Mevin karena nggak akan bisa, Mevin dengan keadaan batin yang beda dari kamu. Dia nggak pernah tahu sosok mamanya siapa. Papa dan Mama cuma jembatan untuk Mevin bertahan hidup. Papa sama Mama sebisa mungkin ingin anak-anak ada di jalan yang seharusnya, lihat dari sisi lain jangan dari sisi ego kamu!”

“Tapi memang Mevin yang diutamakan kan?”

“Ada nggak hal yang Mevin dapet tapi kamu nggak dapet selama ini? Papa always try to treat all of you fair, not equal..”

Jevin terdiam, lambat laun ia terisak. Ia mulai menyadari bahkan kadang ia merasa mendapatkan lebih dari apa yang Mevin dapatkan karena Mevin tidak pernah protes dan meminta lebih dari apa yang kedua orang tuanya berikan. Seketika kenangan dan segala pemberian untuknya dari kedua orang tuanya lewat di pikirannya.

Jevin tertunduk, Jeremy merapalkan kalimatnya lagi, “Dimana letak nggak adilnya Papa dan Mama, nak? Papa sama Mama nggak minta balas apa-apa, tapi jangan hancurin hati Papa dan Mama dengan hal kaya gini.” Jeremy mengerjapkan mata beberapa kali menahan air matanya.

Hening melanda dan berkuasa untuk sesaat. Pikiran Jevin berkelana jauh.

“Jevin nyesel Jevin udah hancurin perasaan Mama sama Papa, nggak ada satu orang yang mau anaknya lakuin hal-hal yang enggak-enggak. Dan ini murni salah Jevin, Papa sama Mama udah didik Jevin dengan baik selama ini memang Jevin yang brengsek.” Ketika mendengar Jevin berbicara dengan suara yang parau, pikiran Jeremy menerawang jauh sampai ia tidak bisa lagi berkata-kata. Ia sangat menyayangi anaknya itu tapi hatinya dibuat hancur oleh Jevin. Jeremy pun melepas kacamatanya lalu memijit keningnya dengan ibu jari dan telunjuknya sambil menunduk lalu menghela napas.

“Papa nggak ngerti harus gimana lagi, Vin.” Suara Jeremy memelan. Jevin langsung mengubah posisinya bersimpuh di depan Jeremy dan membenamkan wajahnya di salah satu lutut ayahnya itu. Jeremy sontak kaget,

“Maafin Jevin, nggak ada kalimat selain Jevin minta maaf sama papa. Please forgive me, Pa,” lanjut Jevin dengan nada penuh penyesalan. Napas Jevin memburu, tubuhnya bergetar dan tangisnya tiba-tiba pecah.

Jeremy merasakan matanya panas, ia memegang kedua bahu Jevin agar tegak namun anaknya itu menolak. Jevin masih kekeuh dengan posisinya agar Papanya itu memaafkannya.

“Mama yang notabenenya dengan latar belakang yang kalian tahu sendiri pun bisa menjaga dirinya sampai menikah dengan Papa, apa yang bikin Jevin seberani itu? Pernah Papa suruh kamu jadi berandalan aja? Pernah?! Jevin, papa malu dan kecewa. Bukan malu karena kamu, tapi diri papa sendiri yang masih kurang mumpuni sebagai seorang ayah dan suami, nak.”

“Jadi laki-laki harus angkat kepala jangan lemah. Nggak boleh nangis!” kata Jeremy sedikit membentak. Perlahan Jevin mengangkat wajahnya dan membawa pandangannya kepada ayahnya. Sesekali Jevin menyeka air matanya. Jevin mengumpulkan keberanian menatap ayahnya, masih teringat jelas bagaimana satu tamparan mendarat di pipinya untuk pertama kali.

“Maafin Jevin, Pa..”

“Nyesel?”

“Jevin nyesel banget. Kalau sekali lagi Jevin lakuin kesalahan yang sama Papa boleh usir Jevin dari rumah ini,” bisa diartikan kalimat Jevin disampaikan dengan kesungguhan hatinya. Jeremy menempelkan tangannya di pundak anaknya itu memajukan dan mencondongkan badannya sedikit mendekat kepada Jevin.

“Usir? Bisa papa usir kamu sekarang kok nggak usah nunggu kamu ulang kesalahan kamu.” Tangan Jevin tergenggam erat-erat dan menahan diri agar tidak meledak dalam tangis. Ia sangat takut dengan perkataan Papanya itu.

“Papa memang bisa usir kamu, tapi papa nggak mau. Kenapa harus ngusir anak sendiri?” perlahan sembirat senyum terbentuk di wajah Jeremy. Senyum yang teduh saat iris cokelatnya memandang anaknya. Jeremy menyadari anak lelakinya itu sudah menyesali perbuatannya, bahkan sangat menyesalinya. Salah satu hal besar menyakitkan dalam hidup Jeremy―melihat Jevin memilih jalan yang seharusnya tidak anak lelaki itu pilih. Tangan Jeremy menyentuh puncak kepala Jevin dan membelainya beberapa kali. Jeremy tersenyum. Ia berkata,

“Maafin Papa juga ya?” Jevin tersenyum dan menghela napas sebelum ia benar benar meledak dalam tangisnya dan langsung memeluk erat Papanya itu.

“Pa, terima kasih ya. Terima kasih udah mau maafin Jevin. Pa.. pa..”

“Hancur nak hati papa saat itu. Hancur sekali melihat Jevin hancur, lihat mama juga hancur, Papa yang paling hancur lihat orang yang papa sayang terluka.” Jeremy mengeratkan pelukannya.

“Papa tetap papanya Jevin dan Jevin anaknya papa apapun yang terjadi, seburuk apapun yang terjadi. Buat ke depannya jangan lagi ya, Nak. Papa mohon, ya?” Jeremy bisa merasakan Jevin mengangguk di pelukannya. Tanpa disadari Lauren dan Mevin sedikit mengintip dari balik pintu kamar.

“Akhirnya Papa sama Jevin akur ya, Ci?” kata Mevin lirih sambil menoleh ke kakaknya yang berada di sebelahnya. Lauren mengangguk, “seneng ya lihat pemandangan kaya gini?” tanya Lauren, Mevin mengangguk sambil masih memandangi Jevin dan Papanya yang masih ada di ruang tamu.

“Makanya jangan pernah tinggalin kita ya? Disini aja ya, dirumah ini aja, please..” gumam Lauren lirih. Mevin refleks menoleh ke arah kakak perempuannya itu dengan wajah sendu. Sejatinya keluarga adalah tempat kita pulang dan mengadu sejauh apapun kita pergi. Tidak akan pernah ada istilah “Mantan orang tua” ataupun “Mantan Anak”.

Tuhan memberikan kita kehendak bebas untuk hidup di dunia, memilih diantara banyak persimpangan jalan yang kita temui, namun setidaknya kita juga diberi akal budi untuk melakukan dan memilih hal apa yang harus dan tidak harus kita lakukan. Berbagai hal yang kita pilih untuk mengukir peristiwa kehidupan sejatinya adalah buah dari apa yang kita lakukan. Sekiranya itu menghancurkan bukankah lebih baik ditinggalkan?  

Sudah beberapa hari berlalu, hubungan Jeremy sebagai ayah dengan Jevin anaknya sejak perdebatan terakhir kali masih belum membaik. Jeremy masih tidak mau mengajak Jevin berbicara begitu juga sebaliknya. Hanya Lea yang mau mengajak Jevin berbicara.

Padahal Jeremy menunjukkan sikap yang biasa saja terhadap Lauren dan Mevin tapi kali ini tidak dengan Jevin. Kebijaksanaan dan kelembutan hati Lea membawa hubungannya dan Jevin kembali menjadi hangat seperti biasanya bahkan Lea memberi perhatian khusus untuk Jevin saat ini.

Karena sejak saat itu terakhir kali Jeremy marah kepada Jevin, anaknya itu tidak mau makan, ditambah keadaan Jevin yang di skors membuat Jevin sebenarnya juga tertekan. Bak tersesat di belantara kabut menemukan secercah sinar yang membuat pandangan kabur menjadi larut. Lea dengan mata yang basah tersenyum memandangi pemandangan di depan matanya dimana Jevin, Lauren dan Mevin saling memeluk satu sama lain, Lea mengintip dari balik pintu kamar Jevin karena mendengar sepertinya Lauren dan kedua adiknya sedang berbicara serius. Akhirnya Lea berinisiatif untuk mengetuk pintu dan menghapus air matanya.

“Mama!” seru Lauren, Lea memasuki kamar anaknya itu dan duduk di sebelah mereka. Walaupun duduk beralas karpet namun suasana kehangatan diantara ketiganya bisa Lea rasakan. Tidak ada yang memaksa untuk saling bersalah, tidak ada yang saling membantah untuk meluapkan amarah.

“Mama mau ngomong sama Mevin, sama kalian juga deh Cici sama Jevin,” kata Lea.

“Apa, Ma?” tanya Mevin. Lea menggeser badannya mendekat ke arah Mevin dan merangkulnya dengan tangan kanannya namun mata Lea bergantian menatap Jevin dan Lauren.

“Kalian kalau lihat sosok Mama gimana sih? Mama masih banyak kekurangannya ya?” ujar Lea lembut.

“Loh kenapa Mama nanya kaya gitu?” tanya Lauren. Lea menatap Jevin sekilas yang seakan kaget mendengar ucapannya itu,

“Jawab aja, coba Mama mau denger dari Lauren, Jevin sama Mevin.” satu tangan Lea membelai rambut Lauren. Jevin dan Lauren mengangguk mengiyakan perkataan mamanya itu.

“Mama walaupun sangar, dengan tatto dan penampilan mama yang kadang bikin orang takut lihatnya, tapi buat Lauren, Mama segalanya, mama itu udah jadi versi terbaik dari diri Mama sendiri. Mama itu bukti kebaikan Tuhan ditengah dunia yang menyakitkan. Waktu Mama cerita gimana hidup Mama selama Lauren kecil atau bahkan Lauren masih di kandungan bikin hati Lauren hancur banget, kenapa orang-orang sejahat itu sama Mama? Tapi mama bisa bertahan sampai sekarang, Mama bukti nyata malaikat baik yang ada di dunia yang Tuhan kirim, Mama harus ada di ambang perceraian sama Papa waktu Lauren baru lahir, dengan segala kecelakaan dan omongan orang, Ma.. nggak ada kata yang bisa ungkapin gimana beruntungnya Lauren lahir di keluarga ini.”

Sedikit perasaan haru menyeruak di dalam hati Lea kala mendengar perkataan Lauren.

“Mevin?”

“Mevin nggak pinter merangkai kata, tapi kalau saat itu Mevin nggak dibesarkan di keluarga ini mungkin keberadaan Mevin juga masih dipertanyakan di dunia ini. Walaupun Mevin lahir bukan dari rahim Mama, kalau setiap ditanya siapa Mama Mevin Cuma wajah Mama Lea yang Mevin ingat. Mevin bahkan nggak pernah tahu muka dan wajah Mama Petra, Mama adalah sebenar-benarnya kasih Tuhan buat Mevin.” Mendengar perkataan Mevin dan melihat kebersamaan ketiga anaknya ini tidak bisa Lea bayangkan jika suatu saat Mevin hilang dari tengah-tengah Jevin dan Lauren, ia menahan air matanya sekuat tenaga.

“Maafin mama ya sayang―mama belum bisa jadi mama yang baik buat kalian,” ujar Lea memecah hening.

“Mama itu mama terbaik di dunia, tapi Jevin anak terbangsat di dunia. Maafin Jevin...” suara Jevin memelan dan ia perlahan tertunduk.

“Jevin, mama mnta maaf, mama nggak cukup cakap dalam merawat, sebisa mungkin Mama udah memberikan semua perhatian secara adil. Maaf sayang, mama belum sempurna,” ujar Lea sambil terisak, air matanya tumpah tanpa komando.

“Kesalahan besar yang Jevin buat bukan salah Mama, karena itu Jevin lakukan sendiri. bukan karena Mama, nggak pernah sekalipun Mama nyuruh Jevin lakuin suatu hal yang diluar batas. Ini murni kesalahan Jevin, bukan salah Mama. Bukan salah Mama...”

“Aku sama Cici udah tahu apa yang terjadi,” sela Mevin.

“Mama stop minta maaf, mama nggak salah,” lanjut Lauren.

“Mama sadar, banyak hal dari masa lalu mama yang nggak bisa diterima orang biasa. Mama tahu juga itu menyulitkan Cici, Jevin sama Mevin. Pandangan tentang seorang ibu yang masa lalunya kelam. Mama pengen kalian lebih baik dan jauh lebih baik dari mama. Ya?” kalimat itu seketika menembus hati ketiga anaknya dan membuat mereka menahan rasa sedih.

“Jev, Mev.. maafin gue juga kalau kadang sebagai kakak nggak peka, nggak inisiatif nanya mau kalian atau apa yang kalian rasain.” Lauren menahan kuat-kuat air mata yang hampir keluar.

“Jujur, gue juga sakit dan sedih kalau kalian kenapa-kenapa atau ada hal yang terjadi sama kalian. Sedih dan ngerasa gagal jadi kakak,” lanjutnya.

Tangan Jevin bergerak menepuk pelan pundak Lauren. Lauren menunduk sedih, Jevin juga ikut tertunduk menyesali perbuatannya. Bahkan secara tidak sadar apa yang ia lakukan sudah menyakiti hati anggota keluarganya.

“Jevin minta maaf, sebenernya disini yang paling salah Jevin apalagi sampai bikin papa semarah itu, Jevin udah hancurin perasaan papa sama mama.. Jevin juga sedih karena sampai sekarang papa belum mau ngomong sama Jevin.” Kali ini Jevin yang berkata-kata dengan sekuat tenaga menahan emosinya agar tidak meledak dalam tangis.

“Maafin Jevin, Ma,” katanya berulang-ulang, ia menunduk lesu tak lama punggung Jevin bergetar hebat. Lea langsung sigap memeluk anaknya itu, Jevin menangis sejadinya di pelukan Lea. Air matanya membasahi lengan Lea. Mevin dan Lauren yang melihat kejadian itu juga ikut menitikan air mata.

“Jangan pernah diulang ya? Mau bagaimanapun anak apapun yang dilakukan Jevin tetap anak mama sama papa dan seburuk apapun masa lalu mama, tetap mama ini mamanya Jevin. Yang perlu kita lakukan hanya berdamai dengan diri sendiri dan jangan mengulangi kesalahan. Ya sayang? Mama sayang Je..vin. mama sayang kalian..” Lea yang tengah memeluk Jevin itu juga menangis,

“Maafin Jevin..”

“Jangan diulang ya sayang? Janji sama Mama?” Jevin mengangguk, anggukannya nyaris tersamarkan karena tubuhnya yang berguncang hebat karena isak tangisnya.

“Besok kalau kamu udah siap Jevin mau coba minta maaf sama papa? Nanti mama coba bujuk papa juga.” ujar Lea sambil membantu Jevin duduk dengan tegak. Perlahan Jevin mengangguk. Lauren dan Mevin tidak bisa mengatakan apapun selain air mata yang keluar dari pelupuk mata mereka. Memang takdir tak pernah berjanji seusai hujan ada pelangi, tapi setidaknya hujan selalu menemukan reda, bukan?

Kenalkan, aku anak dari Papa dan Mama. Kalau boleh dibilang mungkin aku anak paling brengsek diantara Cici dan Mevin, keduanya saudaraku. Cici Lauren adalah kakak kandungku, sedangkan Mevin adalah saudara kembarku, tapi kami bukan saudara kandung. Silahkan bertemu di kisahku yang lain agar kalian mengerti mengapa aku dan Mevin bukan anak kandung Papa Jeremy dan Mama Lea.

Hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tapi aku masih berada di depan gerbang rumahku. Aku menunggu segenap keberanianku terkumpul untuk mengakui suatu hal yang menghancurkan hati keluargaku. Sungguh, aku merasa seperti sampah. Dosa apa yang belum aku jajal di usia tujuh belas tahun ini? Bahkan mungkin aku melakukannya sebelum usia tujuh belas tahun.

Merokok? Kenal dengan alkohol? Membolos? BK sudah jadi seperti tempat rutin untuk aku kunjungi. Melakukan hubungan sex dengan kekasihku? Ya. Aku melakukannya. Sejak pulang sekolah Aku memang sudah mengingatkan Mama agar menungguku pulang karena ada hal penting yang ingin aku katakan. Aku harap kekhawatiran Mama dan kecemasannya itu sirna kala matanya melihatku memasuki garasi. Mama menghela napas lega, aku melepas helm dan menenteng jaket serta tas dan memasuki rumah. Mama menyambut aku dan juga memelukku lalu mengajakku duduk di ruang tamu, namun ada yang berbeda dariku dan aku yakin Mama menyadarinya. Aku pulang dengan mata sembab dan mata yang sayu.

“Vin kamu kenapa?” tanya Mama sambil mendekati dan duduk di sebelahku, tangan Mama bergerak memeriksa wajahku dan memegang daguku lalu menggesernya ke kanan dan kiri guna melihat keadaan anaknya yang pasti sedang tidak baik-baik saja ini.

“Jevin jujur ke mama.” Saat Mama berkata dengan lirih saat itu juga Papa keluar dari kamar dan melihatku serta Mama yang nampak serius di ruang tamu, Papa pun melangkah mendekati kami berdua. Papa geram karena aku pergi tanpa ijin dan baru saja kembali bahkan pesan dan telepon dari Papa tidak digubris olehku seharian tadi. Aku takut, jangan beritahu Papa, ya?

“Dari mana kamu?!” kata Papa dengan nada membentak. Aku bangkit berdiri melihat Papa yang mendekatiku, Papa berjalan hingga ia kini ada di hadapanku yang menunduk.

“Ditanyain itu dijawab! Pergi malem terus, mau ngapain sih? Berantem di sekolah kan tadi? Bisa nggak sehari aja nggak bikin masalah?!” Aku bergidik tersentak mendengar ucapan Papa saat itu.

“Jangan keras-keras, Lauren sama Mevin nanti denger,” lerai Mama.

“Kamu jangan belain dia terus, kebiasaan!” nada Papa semakin meninggi.

“Jagoan kamu ya? Bonyok terus itu wajahnya, berantem terus, mau jadi jawara? Udah hebat sih ya?” Papa berkacak pinggang di hadapanku, seketika atmosfer terasa mencekam, aku tidak berbohong, aku belum pernah melihat Papa semarah ini.

Aku tidak menjawab, aku pun merogoh saku jaketku dan mengeluarkan secarik surat, tanpa aku sadari ada benda lain yang keluar saat aku mengeluarkan surat tadi yang kuberikan kepada Mama namun Papa menyambarnya. Bola mata Papa mendelik tajam ke arahku sebelum bergerak membaca barisan kalimat yang tertuang dalam surat dari sekolahku itu.

“Jevin!” pekik Papa lalu membuang surat tadi ke sembarang arah. Papa mencengkeram bahuku erat, sangat erat. Aku sontak menggigit bibir bawahku dan memejamkan mata. . “Skors? Sebulan? Apa lagi? Nggak DO sekalian?!”

“Jeremy udah! Nggak usah kasar!” pekik Mama.

“Kamu bikin ulah apalagi sih? Papa capek, Jevin!” teriak Papa kepadaku, sungguh untuk menatap mata papa aku tidak sanggup, aku masih tercekat, aku sudah terlampau jauh.

“Maaf.. maafin Jevin, papa mama berhak marah sama Jevin,” ucapku, lalu dengan secepat kilat aku berlutut memeluk kaki Papa. Pandangan Papa tertuju kepada benda kecil di sebelahku yang berlutut, saat Papa hendak mengambilnya, Mama sudah mendahuluinya. Aku hendak merebutnya, namun Mama mengangkatnya tinggi-tinggi agar Aku tidak bisa meraihnya. Mama menurunkan benda itu tepat di hadapanku.

“Jevin, ini apa nak..” suara Mama bergetar. Aku semakin terisak.

“Jawab pertanyaan mama yang bener!” bentak Papa sambil mencengkeram bahuku.

“Itu punya pacar Jevin.. tapi pacar Jevin hamil bukan sama Jevin.”

“Nak..” Mama langsung pecah dalam tangis. Mama duduk di sofa dan memijit keningnya dengan jarinya.

“Ulangi sekali lagi, kamu bilang apa? Lihat mata papa kalau ngomong lihat wajah lawan bicara kamu!” nada Papa masih emosi. Aku mendongakkan kepala dan menatap Papa dengan mata yang sudah basah dan ketakutan yang menyelimutiku sekarang.

“Pa.. pacar Jevin hamil, dia di DO dari sekolah tapi bukan hamil sama aku, Pa.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipiku dari Papa.

“Jer!” Mama bangkit berdiri dan menengahi Papa dan aku dalam keadaan masih menangis.

“Apa? Kamu mau belain dia?!” bentak Papa kepada Mama. Sebisa mungkin Mama mengendalikan dirinya walaupun ada sungai kecil yang mengalir di pipinya.

“Jangan pernah pakai kekerasan fisik ke anak, please.”

“Dia keterlaluan! Secara nggak langsung dia ngakuin juga kalau dia having sex sama pacarnya! Iya kan?! Iya kan, Jevin?!” tanya Papa dengan amarah yang membara. Aku kembali berlutut di hadapan Papa dan tidak bisa berkata apa-apa hanya terisak, punggungku bergetar hebat.

Saat itu gemuruh riuh di langit beradu dengan amarah Papa kepadaku. Satu hal paling menyakitkan didengar Mama dan Papa kali ini, aku yakin hati Papa dan Mama adalah ada di posisi sehancur-hancurnya saat ini. Tak ada kalimat lain yang Papa ucapkan selain “Papa kecewa.” kepadaku. Saat itu seakan ada sebuah jarak semu yang terbentang antara aku dan Papa serta Mama.

“Nggak usah kaya gitu! Papa bilang bangun!” Papa memaksaku bangun.

“Jer!” sergah Mama.

“Kenapa sih Jev? Kenapa bisa? Kenapa bisa sampai sejauh itu?!! Papa pernah ngajarin itu? Enggak kan? Kenapa bisa kamu berani sejauh itu?!” tanya Papa yang membuatku ketakutan.

“Maafin Jevin, Pa.” Aku hendak meraih tangan Papa namun Papa menepisku kasar.

“Papa kecewa sama kamu! Atur hidupmu sendiri kalau nggak bisa diarahin orang tua! Papa kurang apa ke kamu? Lihat itu Mevin! Pernah dia lakuin hal-hal kaya gini?!” selesai mengucapkan kalimat itu, Papa berlalu dari sana meninggalkan Aku yang terisak terduduk di lantai, Papa masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Mama masih ada berdiri disana namun aku yakin mama juga hancur ia menangis dan membelakangiku.

“Mama, maafin Je..vin...” sesalku sambil menunduk dan mengepalkan tangan erat karena aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Dalam hati Mama.. sekarang mama cuma bisa mengutuki diri mama sendiri, Mama merasa gagal menjadi seorang ibu. Hati Mama sakit denger Jevin kaya gitu, nak. Mama kecewa, sangat kecewa tapi mama juga kecewa, apa mama masih ada kelalaian sebagai seorang ibu? Kasih tahu Mama, nak.” Mama semakin terisak, bahkan gelengan kepalanya tersamarkan oleh getaran punggungnya yang hebat.

“Kamu renungin apa kesalahan kamu, think twice before you act, Jevin. Mama kecewa sama kamu, sangat kecewa. Walaupun kalian semua tahu bagaimana masa lalu Mama, tapi mama nggak pernah membenarkan melakukan sex before marriage, Jevin. Mama tahu mama bukan berasal dari latar belakang yang baik sebagai seorang wanita tapi mama mencoba memperbaiki semuanya dan menghindari hal-hal seperti itu. Sekarang mama sadar betapa gagalnya mama dalam mendidik dan kamu masih tujuh belas tahun. Can you imagine how broke my heart right now as your mom?

“Ma..” Aku menarik tangan Mama namun Mama menepisnya dan meninggalkanku sendirian disana. Rasa dalam hati berubah menjadi hampir habis tertikam rasa yang sia-sia. Hanya aku sendiri di ruang tamu ditemani riuh detak jantung dan raungan dalam tangis. Aku sadar tak ada yang lebih mengecewakan daripada peranku sebagai anak dalam keluarga ini.  

Untuk kesekian kalinya, Mevin dan Grace kekasihnya menikmati staycation. Mevin memesan sebuah kamar hotel untuk mereka berdua, sebuah kamar hotel yang langsung menghadirkan pemandangan laut yang indah. Keduanya tengah berada di balkon kamar hotel untuk menatap langit senja.

Mendung diusir senja yang indah, udara tidak begitu panas dan tidak begitu dingin tapi cukup hangat karena kini Mevin melingkarkan lengan di perut Grace dan menaruh dagunya di pundak Grace. Mata mereka berdua memandang hamparan laut luas, mengedarkan pandang ke seluruh permukaan berwarna biru itu.

“Mevin,” ucap Grace lirih sambil mengelus lengan yang melingkar di tubuhnya. “Ya?” jawab Mevin sambil memberi sebuah kecupan di pipi Grace.

“Yakin mau menikah sama aku?”

Mevin memutar tubuh Grace untuk menghadapnya, diusapnya lembut pipi Grace sebelum Mevin memegang wajah Grace untuk dikecup di bagian kening dan pipi serta ujung hidungnya lalu Mevin cubit kedua sisi pipi Grace sedikit keras hingga sang puan meringis kesakitan.

“Sakit!” pekik Grace sambil berusaha melepaskan tangan Mevin dari pipinya.

“Lagian, nanya begituan ngapain sih?”

“Ya namanya juga overthinking.”

Mevin menarik pinggang Grace lebih dekat kepadanya lalu menatap lekat wanita di depannya, “kalau nggak yakin aku sekarang udah sama orang lain,” jawabnya.

Grace tersenyum puas lalu ia berjinjit sedikit untuk mengecup kening Mevin yang lebih tinggi darinya itu, “I love you, dokter Mevin.” Mevin langsung mendekap erat Grace membuat gadis itu sedikit kesusahan bergerak dan terkekeh.

Maka Mevin langsung gendong tubuh Grace ala bridal style dan bawa sang puan masuk ke kamar dengan beberapa kali mengecup bibir Grace. Sementara itu Grace mengalungkan tangannya di leher Mevin.

“Mau ngapain?” tanya Grace sambil memicingkan mata.

Nope, I just need you.” Mevin menyeringai, Grace mengernyitkan dahinya.

I need you, me and bed, now.” Maka setelahnya tubuh Grace direbahkan di ranjang perlahan. Mevin langsung mengukung tubuh Grace dan berada tepat di atas wanita itu, menopang beban tubuhnya dengan kedua tangannya. Mata Grace membulat dan jantungnya berdebar.

What?” tanya Grace kikuk.

I get what I want, all those things, you and me, and this bed.”

So?” Maka Mevin memberikan kecupan singkat di bibir Grace dua kali sebelum merebahkan dirinya di sebelah Grace lalu memeluknya erat, Mevin menciumi puncak kepala Grace, sementara itu Grace juga membalas pelukan Mevin erat.

“Nanti, sebentar lagi kita bisa kaya gini setiap pulang kerja, bisa sama ngomongin besok masak apa, tagihan listrik sama air yang melonjak tinggi, ngomongin anak mau dikasih nama siapa, banyak deh pokoknya, just wait a little bit longer, okay?

“Terus kita bisa lakuin apa lagi?” tanya Grace. Maka Mevin bersandar pada headboard ranjang itu dan meminta Grace duduk di pangkuannya. Grace menurutinya, iris legam Mevin nyatanya membawa Grace pada sebuah senyum yang terutai di wajahnya tanpa ia sadari. Mevin masih disana memeluk pinggang ramping itu.

“Terus habis itu aku bisa pakai semua gombalan aku buat mancing kamu.”

“Contohnya?”

Roses are red, violets are blue, I’m up for head or we could screw,” jawab Mevin sambil menunggingkan senyum smirk yang membuat Grace terbahak. Grace memutar bola matanya sebelum membawanya kembali ke tumpuan netra Mevin, “aku juga punya.”

“Apa? Try to flirt me leggo!” ucapan Mevin terdengar bersemangat lalu ia menyilangkan tangan di depan dadanya dan mengangkat satu alisnya.

Ujung jari telunjuk Grace begerak dari dahi dan turun hingga ke hidung Mevin lalu turun hingga mengusap bibir Mevin, “Sometimes if you said that you’re in your room and me too, I feel like one of us in a wrong place,”

“Haha, so we should together in one room?

On the same bed, exactly.” Grace mengangkat kedua alisnya seakan bangga dengan apa yang ia katakan karena saat itu juga Mevin terbahak dan mengangguk-angguk mengakui kehebatan Grace. Lalu Grace mengusap lembut pipi Mevin dan berhenti di dagu Mevin lalu membuat dagu Mevin sedikit terangkat.

*“I’m not horse but―” *

“But you don’t mind at all if I ride you, right?” Mevin menyambar ucapan Grace sebelum Grace menyelesaikan kalimatnya. Grace terbahak lalu mencubit keras perut Mevin. “Kan aku mau selesaiin kalimatnya!!” ucapnya kesal, Mevin hanya terkekeh lalu memeluk sang puan lagi.

“Jangan dilanjutin apalagi sama godain gitu, aku takut, nggak kuat, sayang.” Mevin berbisik di teliga Grace lalu mengecupi leher dan pundak Grace.

“Mevin kalau kamu kaya gitu malah lebih parah, stop it, huh,” kata Grace sambil berusaha melepaskan pelukan tapi Mevin masih menahannya.

Okay, fine, udah semua, udah tahu sama-sama nggak kuat, jadi udah, ya? Okay?” Mevin merenggangkan pelukan lalu menangkup kedua pipi Grace.

“Nah, yaudah!”

But for the last can I borrow something from you?” tanya Mevin.

“Iya, apa?”

“Can I borrow your kiss? I promise I’ll give it back―” Sekarang gantian sebelum Mevin menyelesaikan kalimatnya, Grace sudah menyambar bibir Mevin dengan kecupan singkat. Mevin terdiam lalu tersenyum, saat kecupan direnggangkan, Mevin memberikan tiga kecupan berturut-turut kepada Grace.

Maka Grace membulatkan matanya lalu keduanya saling menangkup pipi pasangan mereka, disaat yang bersamaan keduanya menyatukan belah bibir mereka bersamaan. Seringai muncul dari wajah keduanya namun tetap mereka lanjutkan kecupan tanpa melumat itu.

Saat kecupan direnggangkan, Grace menatap Mevin dan saling tersenyum satu sama lain, masih tidak percaya keduanya menjalin hubungan sejauh ini. Setelahnya, Mevin membawa tubuh Grace untuk direbahkan di ranjang lagi dan mereka saling berbagi pelukan lagi. Kalau saja waktu itu jarak membuat keduanya berakhir dalam sebuah kata “usai” pastilah mereka tidak saling merengkuh saat ini. Nada sumbang dalam hidup mereka saling disambung jadi satu, nada rumpang saling diisi sehingga semuanya―rampung.

Mevin sayang... Janji dulu untuk nggak merasa kasihan waktu kamu baca catatan ini, okay? Pagi itu aku masih ingat bagaimana aku berangkat ke Singapore dengan hati dan pikiran yang kosong. Yang aku ingin hanya pergi dan pergi sejauh-jauhnya. Dari Mama, dari Papa dari Brandon, sekalipun nyatanya aku juga akhirnya berjarak dengan kamu.

Maaf untuk menahan diri untuk menceritakan suatu hal besar yang terjadi waktu itu. Waktu aku menghindar dari kamu. Maaf, maaf, sekali lagi maaf. Aku sendiri masih belum ngerti kenapa Tuhan pertemukan aku dengan kamu. Sekiranya kamu lelah tolong beritahu aku.

Mevin, ada satu malam dimana aku bertekad pulang. Ke rumah abadi, Vin. Jangan marah dulu!

Semuanya gagal, Vin, sekeras aku menyakiti diri dan tubuhku sendiri sekalipun, sekuat aku melangkahkan kaki agar bus itu menghantam tubuhku―yang mungkin hanya akan menimbulkan bunyi dentuman dan tabrakan antara besi dan daging, semuanya gagal.

Padahal dua langkah lagi. Nalarku sendiri pun masih jauh menerawang, sehebat itu cara Tuhan gagalkan rencanaku pulang. Mevin, kata pertama yang terucap saat aku menulis surat ini adalah “hidup”. Aku harus hidup, kamu harus hidup, kita harus hidup untuk jangka waktu yang lama. Right? Sakit yang paling palung itu masih aku rasakan, Vin, masih sampai sekarang.

Malam itu aku berjalan―sendirian. Tidak, aku ditemani gemerlap lampu dan hiruk pikuk kota malam hari, aku juga berteman kesepian di jiwaku dan keributan di isi kepalaku. Bertolak belakang memang, tapi itu kenyataannya.

Mevin, aku selalu berdoa agar suatu saat kamu ada disini. Banyaknya perban tidak akan bisa membalut luka dan sakit yang sedalam palung ini, Vin. Tapi satu pelukan penuh cinta dan kasih sayang berhasil membuat aku merasa dimanusiakan dan luka itu lenyap saat itu―mesi sesaat. Pelukan tertulus yang pernah ada, yang aku rasakan selama ini ada di kamu, Mama kamu, dan Tela serta keluarganya.

Semua orang yang tidak memiliki ikatan darah denganku bahkan. Masih sulit untuk nalarku terima. Aku menjumpai hal-hal yang nggak biasa, Vin. Jangan marah tentang cerita ini, jangan maki-maki aku. Ya? Aku minta maaf. Aku masih dan akan selalu bawa nama kamu dalam doa, keluargamu juga, Vin.

Andai kamu disini, Vin. Aku mau peluk sama nangis di pelukan kamu yang lama. Aku kangen, Vin... Nggak bisa nggak nangis... Mevin Maaf udah selalu menghindar selama di Rumah sakit, maaf untuk kata-kata kasarku dan sikap kasarku yang selalu usir kamu. Sekarang rindunya berkali lipat, Vin...

Janji kesini, ya? Janji temui aku disini, waktu aku ulang tahun. Pastikan aku masih bisa peluk kamu saat itu.

―Yang merindukan kamu, Bernadetta Gracelline C―

Saat Grace dan Uncle tiba di apartemen milik Tela, pintu dibuka dan Grace disambut dengan senyum sumringah dari Mama Tela dan Tela. Bahkan Tela langsung memeluk Grace, “gue nyariin, lo kemana aja?” tanya Tela saat melepaskan pelukan dan mencengkram lengan Grace.

Grace hanya tersenyum tipis, “keluar cari angin terus ketemu Uncle.”

Mama Tela yang kerap Grace panggil dengan sebutan Aunty juga membelai rambut Grace pelan, “udah makan, nak?” tanya beliau lembut.

“Nggak usah ditanya, kita makan bareng aja berempat, oke?” celetuk Uncle.

Maka Tela langsung menarik tangan Grace dan mengajaknya masuk menuju meja makan. Grace benar-benar terharu, lagi dan lagi, ia seakan menemukan keluarga baru disini. Yang bukan keluarga kandung karena ikatan darah malah memanusiakannya. Andai saja Uncle tidak memekik nama Grace tadi, mungkin Grace saat ini sudah tidak ada lagi disini.

Ternyata malam itu Grace habiskan di rumah Tela untuk menikmati makan malam bersama dan tidur bermalam di sana. Berbagi tempat tidur dengan Tela. Mereka juga bercerita banyak hal. Yang jelas malam itu sebelum tidur, Aunty memeluk Tela dan Grace bergantian serta mengucapkan selamat malam. Grace hampir menangis mendapat pelukan dari seorang ibu. Hati dan seisi kepalanya sulit diterjemahkan. Sebelum tidur Grace dan Tela memandang ke langit-langit kamar Tela yang berhiaskan hiasan tempelan bintang yang bisa menyala di saat keadaan remang atau gelap.

“Grace,” panggil Tela lirih.

“Ya?”

Keduanya tidak saling menatap, tapi tidur dengan posisi terlentang sambil menatap langit-langit kamar Tela.

“Jangan pernah ngerasa sendiri, sejauh apapun lo pergi, akan ada satu orang paling enggak yang bakalan peduli sama lo. Tuhan nggak akan biarin lo bener-bener sendiri. Sekalipun lo di kamar sendirian, ngelukain diri lo, ada yang nemenin, God alone. God and God alone. Manusia terbatas untuk mengerti satu sama lain, manusia terbatas untuk bertanya atau memahami satu sama lain. Tapi Tuhan enggak.” Ucapan itu terlontar dari mulut Tela yang membuat Grace beranjak duduk dan Tela mengikutinya.

“Kenapa lo bisa bilang gitu ke gue?”

“Nggak tahu, kaya pengen ngomong gitu aja.”

Grace menghela napas panjang lalu tertunduk lesu, Tela meraih lengan Grace dan menurunkan lengan hoodie Grace menutupi lengan yang penuh sayatan dan cakaran itu.

“Luka demi luka nanti sembuh sendiri, antara lo nyari obat dan nemuin itu atau obat itu yang dateng ke lo. Jangan pernah lari dari kenyataan, dijalani meski berdarah-darah. Dulu gue juga pernah self harm bahkan sampai sekarang orang tua gue nggak tahu kalau gue pernah lakuin itu. Sssttt keep it secret.” Tela memelankan nada bicaranya di kalimat terakhirnya. Mata Grace membelalak tak percaya, keluarga harmonis, anak tunggal yang disayang oleh kedua orang tuanya, lantas mengapa Tela masih melakukan hal itu?

“Tel―”

“Gue temenin sampai lo dapet obat buat diri lo, hati lo, jiwa lo. Inget ada gue, ada Mevin, James, Aveline, bahkan keluarga Mevin dan keluarga gue, jahat lo kalau nggak inget kita semuanya. Ya? Kita keluarga, we are sister, unbiological sister. Okay? Jangan pergi kemanapun kalau Tuhan belum suruh lo―termasuk pulang.”

Maka Grace merasa dadanya sesak, tanpa kata-kata Grace memeluk Tela, dan Tela juga membalas pelukan Grace erat. Berbalas peluk untuk malam itu. Ternyata Grace tidak perlu menanyakan kepada orang-orang tentang apa yang ada di isi kepalanya. Tapi Tuhan akan kirim orang-orang di sekitar kita untuk menyampaikan apa maksud Tuhan untuk kita lewat berbagai caraNya yang ajaib dan sulit dimengerti.