My First And Last✔

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Jaehyun, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Choi Yoonji

Semenjak tahu soal Ara sakit dan Mama yang nyuruh Ara buat ngelakuin test kehamilan, Yuno jadi agak sedikit enggak tenang, rasanya campur aduk banget di hati dan pikirannya. Rasanya kaya dia kepikiran Ara banget terutama sama kondisinya itu, rasanya juga senang kalau semisal Istrinya itu hamil.

Jujur aja Yuno emang mengidamkan memiliki momongan secepatnya, Yuno itu suka banget sama anak kecil, dia sebenarnya ada rencana buat ambil spesialis anak tapi Papa nya justru mengarahkan Yuno untuk mengambil spesialis jantung kelak.

Hari ini Yuno berjaga malam, jam kerja nya sebagai dokter koas tuh bisa di bilang lumayan panjang kalau di total pun bisa 13 jam dia berjaga sebelum ganti shift. Ini juga yang bikin berat badan Yuno makin turun selain karena capek, pikirannya juga terbagi-bagi. Rasanya dia pengen banget cepet selesain studi nya disini dan pulang ke Indonesia.

Setelah senior nya itu ngasih tau Yuno kalau sekarang giliran dia yang istirahat, Yuno langsung keluar dari ruangan dia berjaga. Karena masih stase awal, Yuno masih menjalani stase mayor dan dia lagi berada di stase penyakit dalam, Enggak kaya awal-awal kuliah yang cukup bikin kepala Yuno nyeri. Masa koas ini bisa di bilang Yuno cukup menikmati kok.

Walau yah bisa di bilang konsulen nya di stase ini terkenal galak, yah buktinya beberapa kali Yuno pernah di tegur. Tapi Yuno sendiri gak masalah sama hal itu kok, selain karena sudah terima kelak dia akan menjadi seorang dokter, ada istrinya juga yang selalu menyemangati dan semangat Yuno akan bertambah jika kelak ia tahu sebentar lagi ia akan memiliki anak.

“Kok belum di bales juga yah?” gumam Yuno waktu dia sampai di ruang Istirahat dokter koas.

Saking gemas nya menunggu kabar dari Ara, Yuno sampai enggak nafsu buat makan, buat tidur sebentar aja juga gak bisa matanya enggak ngantuk sama sekali, Padahal bisa di bilang dia kurang tidur, setelah pulang berjaga kemarin Yuno sempat baca-baca jurnal online dulu dan belajar sebentar. Waktu jalan ke rumah sakit pun dia sedikit ngantuk, tapi rasanya ngantuk itu hilang karena dia nunggu kabar dari Istrinya banget.

“Apa gue telfon aja yah?” Yuno meremas ponselnya. Sekarang ini di Bandung sudah jam 8 pagi, harusnya Ara sudah bangun. Apa mungkin istrinya itu belum bangun makanya belum ngabarin apa-apa? Pikir Yuno.

Gak lama kemudian pintu ruangan terbuka, ada mahasiswa koas lain nya yang juga akan beristirahat. Mahasiswa dari kampus Yuno juga namun beda kelompok dan beda stase dengannya.

“Makan, No. Malah merhatiin room chat lagi.” kata Anggara, kebetulan Anggara juga mahasiswa kedokteran asal Indonesia sama seperti Yuno.

“Gak laper gue.”

Cowok itu duduk di sebelah Yuno, membagi roti yang ia bawa pada Yuno meski mata Yuno enggak menoleh sedikit pun ke arahnya. Agak bikin Anggara bingung sih sebenarnya, apalagi muka Yuno yang kelihatan gugup banget. Waktu ngasih roti ke Yuno pun Anggara cuma naruh roti itu ke pangkuannya.

“Abis di omelin sama Prof. Yah lo?” tebak Anggara.

“Enggak, gue lagi kalut aja,” jawab Yuno jujur. Anggara sama Yuno tuh cukup dekat, yah walau enggak sedekat sama teman-teman Yuno di Jakarta, selama di Jerman Yuno ngerasa individualitas nya kenceng banget, awalnya Yuno kaget sama hal itu namun lama kelamaan dia mulai terbiasa sama budaya individualitasnya, makanya selama di Jerman Yuno enggak punya teman yang sedekat itu juga.

“Kenapa?”

“Istri gue kayanya hamil, Ga.” bisik Yuno.

“Lah, bagus dong? Terus kenapa kalut?” menurut Anggara harusnya itu kabar baik kan? Atau jangan-jangan Yuno belum siap punya anak? Pikirnya.

“Iya bagus, dia belum periksa sih. Cuma dugaan gue aja, kemarin bilang dia mau ngabarin kalo udah tau hasil pemeriksaanya. Tapi sampe jam segini belum ngabarin juga.” kayanya kalo Ara udah ngabarin gimana hasil test nya Yuno baru bisa bernafas lega deh.

“Belum bangun kali, No. Di Indo juga baru jam 8 pagi,” ucap Anggara sembari melihat arloji di tangannya.

“Harusnya udah sih, dia emang biasa bangun pagi.”

“Yaudah, coba telfon sana.” Anggara menyenggol bahu Yuno.

Yuno tadinya memang mau nelfon Ara tapi rasanya ragu banget, takut benar Istrinya itu masih tidur dan Yuno malah mengganggunya. Tapi rasanya hatinya enggak tenang banget, karena kepalang khawatir akhirnya Yuno coba telfon Ara. Dia sedikit menjauh dari sana dan lebih memilih menelfon di lorong menunju ke ruang istirahatnya tadi.

Cukup lama Yuno menunggu namun Ara enggak mengangkat telfon nya, Yuno juga udah coba chat lagi tapi enggak di balas, Ara juga belum baca chat-chat dari dia sebelumnya, rasanya Yuno khawatir banget.

“Apa gue telfon Gita aja? Tapi enggak enak banget ini masih pagi.” gumam nya putus asa.

Akhirnya Yuno memutuskan untuk tetap menunggu kabar dari Ara, dia memberi jeda sampai nanti siang waktu Jerman, kalau Ara belum memberinya kabar juga, Ara akan menyuruh Arial untuk memeriksa istrinya itu di rumah.


“Mas Julian gak makan siang?” sapa salah satu karyawan yang berlalu lalang di dekat meja Julian.

Sudah jam makan siang, namun Julian enggan beranjak dari meja nya. Dia masih asik berkutat dengan berkas-berkas yang ada di meja nya, lagi pula Julian juga belum lapar-lapar banget dia juga masih ada punya 2 bungkus cemilan di meja nya yang belum ia makan.

“Nanti aja, Mbak. Duluan, lagi tanggung,” ucap Julian sekena nya.

“Kalau sudah waktunya istirahat, istirahat yah, Jul. Ngurusin kerjaan itu enggak ada habisnya,” sahut yang lainnya. Julian hanya mengangguk saja.

Sudah sebulan Julian bekerja di kantor milik pacarnya Jordan, Jenara juga cukup puas sama kerja nya Julian. Sejauh ini menurut Julian cukup nyaman bekerja di sana, enggak ada kendala apapun terutama soal gaji bahkan waktu pertama kali bertemu mereka sempat negosiasi gaji dulu. Karena Julian enggak punya pengalaman magang yang cukup banyak, jadi lah dia menyerahkan perihal gaji itu sama Jenara saja.

Julian juga sudah punya teman dekat di sana meski terbilang rentang umur nya dan karyawan di tempatnya bekerja lumayan jauh, Julian pikir jika sibuk seperti ini perasaan kosongnya akan hilang, namun rasanya sama saja pada waktu-waktu tertentu seperti di waktu istirahat atau waktu ia mengambil waktu lembur sampai malam pun dia masih suka kepikiran Ara.

“Jul, ayo makan lah. Minimal ngopi lah di luar. Jangan ngurus kerjaan melulu lo.” itu Kian, senior nya Julian di kantor. Umur nya hanya berjarak 4 tahun dari Julian makanya Kian ini yang paling akrab dengannya. Sering kali mereka hang out dan makan siang bareng, Kian itu belum menikah. Dari yang Julian tangkap soal rumor di kantor tuh Kian terkenal di cap sebagai seorang player.

“Tanggung, Mas.”

“Udeh, kerjain aja lagi nanti. Yuk, gue pengen ngopi banget nih. Sekalian ada yang mau gue omongin nih.”

Kalau sudah begini Julian kan enggak bisa nolak, dia emang orang yang gak enakan. Akhirnya Julian menutup map berisi kerjaannya dulu dan melenggang pergi ke coffee shop yang ada di sebrang kantor mereka. Di sana cukup ramai sama karyawan-karyawan dari kantor lain, karna daerah kantor Julian bekerja ini bisa di bilang daerah perkantoran.

Enggak heran sih kalau sudah menjelang makan siang dan jam pulang, coffee shop di daerah sini memang pasti ramai. Mereka duduk di lantai 2 karena lantai 1 sudah penuh, Julian sama Kian cuma berduaan aja, Kian juga sudah reservasi tempat sama barista nya yang udah dia kenal banget, jadi enggak ada deh mereka drama-drama nyari tempat.

“Mau ngomong apaan sih, Mas?” tanya Julian.

“Lo kenal Bianca kan?” tanya Kian to the point.

Ya tentu aja Julian kenal, Bianca ini dari divisi marketing. Cewek itu juga terkenal cantik dan modis di kantor, salah satu karyawan yang dekat juga sama Jenara Kim masa iya Julian enggak kenal.

Selain cantik, Bianca juga seorang influencer dengan followers lebih dari satu juta di akun instagram nya. Konten nya pun sederhana cuma membahas daily life nya aja sebagai wanita independen yang bekerja di kantor brand Ruby Jane. Mungkin karena Bianca ini spek model makanya dia bisa lebih cepat terkenal.

“tau, kenapa emang?”

“Dia minta nomer lo nih, gila gue kaget banget pas ketemu di pantry dia manggil gue terus langsung nanya-nanya soal lo.” bisik Kian, cowok itu senyum-senyum sendiri senyum bangga sama Julian karna menurutnya cuma dengan diam aja, Julian bisa mengambil alih perhatian Bianca. Soal nya Bianca ini terkenal jutek, yang dekatin dan tergila-gila di kantor banyak tapi enggak ada satu pun yang jadian sama dia.

“Buat apaan?” Julian mengerutkan alisnya bingung.

“Gak tau, kasih gak? Sumpah, Jul. Jarang banget dia nanya-nanya soal anak baru kaya lo gini. Baru lo doang.”

“Yaudah kasih aja, Mas. Buat kerjaan kali yah.”

Walau Kian bilang kaya gitu, Julian sama sekali enggak ada excited nya. Dia juga gak mikir macem-macem kaya Bianca yang bisa aja tertarik sama dia, Julian beneran mikirnya mungkin wanita itu mau nanya soal kerjaan aja.

“Tapi nih, semisal lo di deketin Bianca udah langsung sikat aja lah. Kapan lagi jir. body nya mantep gitu.” tangan Mas Kian meliuk-liuk membuat gerakan erotis seolah-olah bentuk tubuh perempuan, jujur aja Julian agak gak nyaman liat nya tapi karena itu senior nya dan dia masih anak baru Julian cuma terkekeh aja.

“Gak mungkin lah, Mas. Gila kali lo.”

“Lah siapa tau? Bianca itu terkenal nya suka sama brondong. Nah mungkin aja muka-muka kaya lo gini yang dia cari.”

Julian cuma menggeleng aja, dia sama sekali enggak tertarik sama obrolan kaya gini. Dia juga sama sekali enggak mikirin cewek, pikirannya masih tersita mikirin Ara dan hatinya masih belum siap buat mengenal orang baru. Julian masih belum siap sama penolakan atau rasa sakit karena suka sama orang.

Pagi ini Ara kebangun dari tidur nya dengan perutnya yang masih terus mual, dia bahkan udah muntah 2 kali padahal belum ada makanan apapun yang masuk ke perutnya. Setelah membasuh wajahnya dengan air, Ara sempat duduk di atas closet dulu. Menimang benda persegi panjang yang tadi ia bawa dari laci kamarnya.

Dengan perasaan yang enggak karuan, Ara nyoba buat ngelakuin test kehamilan kaya yang di saranin sama Mama mertua nya itu. Ara coba naruh urine nya di wadah yang udah di kasih di dalam alat test kehamilan itu, dan masukin benda pipih itu ke dalam nya.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya benda itu nunjukin hasil. Dan sesuai dugaan nya garis yang ada di testpack itu nunjukin garis 2 yang cukup jelas yang artinya positif. Yup, Ara hamil. Perasaanya pagi itu tentu aja makin enggak karuan, dia senang, sedih tapi juga takut bercampur jadi satu.

Ara masih belum keluar dari toilet, dia masih duduk di atas closet sembari terus memperhatikan dua garis merah yang ada di testpack itu. Sampai akhirnya, tangannya terulur mengusap perutnya yang masih rata itu, ah enggak. Gak bisa di bilang rata juga karena perut nya sekarang ini lebih mirip orang kekenyangan yang kalau kita pake celana jeans sampe harus buka kancing celana.

Entah kenapa rasanya perasaan Ara menghangat waktu dia nyentuh perut nya sendiri, Ara senyum waktu dia sadar dia sudah menjadi Ibu, ada dua nyawa di tubuhnya dan tiap kali ia makan ia bukan hanya memberi makan untuk dirinya sendiri, Setelah membersihkan tangan nya, Ara balik lagi ke kamarnya. Dia mau ngabarin Yuno soal kabar baik ini tapi dia tahan dulu.

Ara milih buat pergi ke dokter dulu dan bakalan ngabarin Yuno setelah dia pulang dari dokter, hari ini untung nya Ara enggak ada kelas apa-apa. rencana nya setelah pulang dari rumah sakit juga dia cuma mau masak dan istirahat di rumah.

Setelah mendapatkan saran dokter obgyn yang bagus di Bandung dari Gita, Ara mutusin buat ke rumah sakit sendiri, tadinya Gita nawarin buat dia temenin ke rumah sakit tapi Ara bilang kalau dia bisa pergi sendiri.

“Atas nama Ibu Arumi Naura Shalika?” panggil seorang perawat yang keluar dari ruangan pemeriksaan.

Mendengar nama nya di panggil, Ara berdiri. Dia masuk ke ruangan pemeriksaan, dokter yang meriksa Ara ini perempuan. Nama nya dokter Asoka, beliau ini senyum ramah banget waktu Ara masuk.

“Ini sudah positif yah, Mbak. Saat ini yang di rasain apa saja?” tanya dokter Asoka, Ara belum di periksa kok. Dia masih konsul aja sama yang dia rasain dan ngasih testpack yang tadi pagi dia pakai.

“Mual, dok. Ada pusing sih tapi bukan yang pusing banget, kaya pening aja dan sedikit kliyengan.”

“Tapi nafsu makan masih bagus kan?”

Ara ngangguk, “masih, dok.”

Ara memang masih nafsu makan kok, walau ada beberapa makanan yang enggak bisa dia makan karena mual kaya ikan, daging, telur pokoknya yang menurut Ara bau nya amis dia sama sekali enggak bisa makan.

“Mungkin ada makanan yang gak bisa di makan akhir-akhir ini?”

Ara jadi inget dia gak tahan banget sama bau ikan, telur dan daging. Ara tuh tahu banget cara ngelola masakan, dan dia juga udah mastiin ikan, daging dan telur yang dia masak enggak bau amis lagi. Tapi tetap aja waktu masuk ke mulut rasanya bau amis nya muncul lagi sampai Ara enggak bisa makan sama sekali.

“Telur, daging sama ikan sih, dok. Saya enggak kuat sama bau amis nya, padahal ngelola nya udah benar kok. Waktu sebelum hamil saya ngerasa biasa aja makan itu semua,” jelas Ara.

Dokter Asoka mengangguk, beliau udah paham banget sama kelakuan Ibu hamil yang tiap datang beda-beda keluhan.

“Okey, tapi saran saya tetap di coba yah, Mbak. Karna makanan itu semua yang yang bagus buat pertumbuhan janin. Vitamin dan olahraga jangan lupa untuk susu, boleh minum susu biasa dulu baru setelah itu kalau mau minum susu Ibu hamil juga gapapa tapi nanti kita pantau berat badannya dulu yah, biar saya bisa sarankan minum susu ibu hamil atau tidak, karena kalau nafsu makannya bagus. Minum susu biasa pun enggak papa. kita bisa konsul lagi di pemeriksaan berikutnya yah. Sekarang kita cek dulu kondisi janin nya yah.”

Perawat yang menjadi asisten dokter Asoka ini ngarahin Ara buat tiduran di ranjang pemeriksaan, tirai yang memisahkan ruang pemeriksaan dan ruang konsultasi tadi juga di tutup. Rasanya periksa kandungan gini cukup bikin Ara deg-deg an, apalagi dia periksa sendirian enggak kaya Ibu hamil lain nya yang di temani sama Suaminya.

Dalam hati Ara cuma berdoa semoga dokter Asoka enggak mikir kalau Ara lagi periksain anak dari hasil hubungan gelap deh, mengingat dia datang sendirian. Perawat yang ngarahin Ara tadi, sedikit menyingkap baju yang Ara pakai dan mengoleskan gel yang bikin Ara bergidik karena ternyata gel itu lumayan dingin.

“Kita USG dulu yah,” kata dokter Asoka yang di jawab anggukan kecil oleh Ara.

Dokter Asoka ngarahin alat USG yang bentuknya mirip mikrofon itu ke atas perut Ara, Ara juga spontan lihat ke monitor yang nampakin rahim nya. Yang Ara lihat, di monitor itu ada bentuk putih dan titik hitam yang terlihat cukup jelas.

“Kamu hamil sudah masuk minggu ke 8 yah, janin nya juga sehat banget.”

Ars senyum waktu dengar penjelasan dokter Asoka, dia bahkan nitihin air matanya bayangin ada sosok kecil yang hadir di dalam rahim nya. Ara beneran bahagia banget rasanya, bisa di bilang ini jadi hadiah terbaik di umur nya yang baru 23 tahun.

“Kamu mau dengar detak jantung nya gak?” tanya dokter Asoka, beliau senyum pas liat Ara lagi nyeka air matanya sendiri.

“Ma..mau, dok.” rasanya Ara malu banget ketahuan nangis kaya gini, tapi dia juga bahagia banget rasanya sampai cuma bisa nitihin air mata karena pipi nya udah pegal banget buat senyum.

“Kita dengarin detak jantungnya yah.”

Gak lama kemudian, terdengar suara gemuruh yang masih agak samar-smar namun semakin lama cukup jelas. Detak jantung anaknya dan Yuno, rasanya Ara makin bahagia dengarnya. Enggak ada lagu yang bikin dia bisa senyum kaya sekarang ini.

“Karena baru masuk 8 minggu, detaknya hanya terdengar 90-110 permenit. Nanti akan lebih jelas lagi kalau sudah masuk minggu ke 10 dan sebelas.”

Setelah melakukan USG, Ara sempat di resepkan beberapa vitamin dan cara mengatasi mual nya. Ara juga di beri saran olahraga apa yang baik untuk Ibu hamil di trisemester awal dan apa saja yang enggak di sarankan di kehamilan awal.

“Kalau untuk kegiatan kamu kuliah sih saya enggak masalah yah, selama badan kamu vit. Saya rasa kamu bisa kuliah seperti biasa, nah. Untuk penetrasi yah, saya sarankan sih buat jangan dulu, karna walau janin kamu sehat, kondisi janin di awal kehamilan itu rentan banget. Apalagi ini kehamilan pertama kamu.”

Sejujurnya Ara malu banget waktu dokter Asoka bahas soal berhubungan badan, tapi karena ini juga termasuk edukasi buat dia dan Yuno. Jadi Ara dengerin aja, toh ia juga di beri tahu oleh yang ahlinya kan.

“Terima kasih banyak yah, dok.”

Disini lah Julian malam ini, masih terduduk di kursi nya dengan setumpuk berkas-berkas yang masih ia kerjakan. Masih setia dengan MacBook dan beberapa kertas yang berserakan di atas meja kerjanya, lampu-lampu ruang kerja yang mengusung konsep co-working space itu mulai di redupkan satu persatu oleh security yang berjaga malam itu.

Julian enggak lembur sendirian, ada 3 orang lainnya di ujung sana yang juga lembur. Mereka dari divisi marketing, Julian memang sudah sebulan kerja di Ruby Jane. Tapi cowok itu juga enggak begitu banyak interaksi sama karyawan-karyawan lainnya untuk hal yang bukan pekerjaan.

Di temani secangkir kopi yang sempat ia bikin di pantry, Julian mulai mengerjakan kembali pekerjaannya. Sesekali matanya melirik ke arah luar yang mulai gelap namun tampak gemerlap karena berasal dari lampu-lampu jalan dan mobil, di luar hujan deras. Pulang pun Julian akan kehujanan, makanya dia memutuskan untuk lembur saja di kantor.

Sedang asik berkutat dengan pekerjaannya, tiba-tiba saja pesan dari grup teman-teman kosan Abah itu menampilkan satu notifikasi. Julian memang menyambungkan aplikasi pesan singkatnya ke MacBook, ini semua untuk memudahkannya berkomunikasi. Kan repot kalau dia harus memeriksa pesan di ponsel.

“Haa..” ia menghela nafas, tersenyum miris seperti mendapatkan sebuah tamparan untuk kesekian kalinya.

Ucapan selamat dari teman-temannya itu untuk Ara atas kehamilannya, rasanya hal itu membuat Julian semakin nyeri, kepalanya yang penuh akan pekerjaan sedari tadi siang itu rasanya lenyap entah kemana tergantikan oleh perempuan yang selalu memenuhi isi kepalanya.

Julian benci ini, harusnya Julian tau hari seperti ini akan tiba. Namun tetap saja rasanya ia tidak akan pernah siap, seketika dia jadi teringat sama celetukan dari Andra Adiknya itu. Andra masih suka mengejeknya untuk melupakan Ara dan jangan menunggu Ara sampai jadi janda.

Julian menggeleng, ia tidak lagi membuka ruang obrolan itu yang masih ramai. Ia justru membuka album fotonya saat masih kuliah yang ada di sosial media miliknya, ingin bernostalgia sebentar saja. Akhir-akhir ini kesibukan bekerja membuat Julian sedikit merindukan saat-saat ia kuliah.

Di sana Julian tersenyum saat melihat foto dirinya mengenakan kemeja hitam putih khas mahasiswa baru yang sedang ospek, ada Ara, Gita, Chaka, Kevin, Januar dan juga Echa yang berfoto bersama sebelum pagi itu mereka berangkat ke kampus. Lalu foto selanjutnya waktu ia dan Ara mengikuti kegiatan HIMA ada Jonas juga di sana.

Ah iya Jonas, cowok itu sudah bekerja di luar kota. Jonas menetap di Semarang karena ia bekerja di sana, Julian masih berkomunikasi sama Jonas kok kadang-kadang. Cowok itu baik-baik saja, dan yang terakhir Julian dengar tahun depan Jonas akan segera bertunangan.

Tanpa Julian sadari, ada sepasang heels melangkah menuju ke meja nya. Seorang wanita dengan paras anggun dan rambut pendek sebahu itu menghampiri Julian. Saat semakin dekat julian menyipitkan matanya, awal nya ia kira ia salah lihat namun ternyata benar. Dia adalah Bianca dari divisi marketing.

“Julian ya?” sapa nya pada Julian, Julian hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Iya, Mbak.”

Wanita itu menjulurkan tangannya ke depan Julian. “kenalin, gue Bianca dari divisi marketing.”

Tentu saja Julian menyambut hangat uluran tangan itu, Bianca senior nya dan ia masih anak baru disini. “Julian, Mbak. Panggil Ijul aja.”

“Jangan manggil gue, Mbak. Panggil Bianca aja. Lagi pula kita cuma beda 3 tahun.” melihat kursi dari meja di sebelah Julian itu kosong Bianca akhirnya menarik kursi itu dan duduk di depan Julian. “Santai aja yah, udah selesai juga jam kerjanya. By the way lo lembur?”

Julian mengangguk, “iya, lembur. Sebenernya bisa gue bawa balik sih, tapi di luar hujan. Gue gak bawa jas hujan.”

“Oh, lo bawa motor?”

“Iya, lo sendiri masih lembur? Tadi kayanya ada 2 orang lagi dari divisi marketing pada kemana?

Bianca mengangguk, “lagi pada beli makanan di mini market bawah. Gue sih nitip aja, hmm... Gini deh, kalo mau launching product. Pasti hectic banget.”

Julian cuma ngangguk aja, tapi perlu ia akui memang akhir-akhir ini di kantor sibuk sekali karena mau launching product terbaru. Sebenarnya Julian juga lumayan sibuk karena Jenara Kim meminta Julian untuk menyeleksi benar-benar kadidat untuk bagian admin marketplace, ada beberapa orang yang terpaksa di keluarkan karena kinerja nya yang kurang baik. Jadi harus segera di cari penggantinya.

“Lo udah lama kerja disini yah?” tanya Julian basa basi, enggak enak karena dari tadi yang bertanya Bianca terus. Dia enggak mau di cap kaku hanya karena diam aja.

“Lumayan, udah sekitar 3 tahunan. Lo sendiri gimana, betah gak kerja disini?”

Julian mengangguk, dia betah kok. Walau kadang numpuknya pekerjaan bikin kepala Julian sakit tapi Julian cukup menikmati pekerjaannya.

“Lumayan.”

Kedua nya sempat mengobrol berbagai macam hal mulai dari soal pekerjaan, hobi Bianca yang ternyata suka banget ngegym, sampai soal masa-masa mereka kuliah. Ternyata Bianca ini juga pernah tinggal di Bandung dan berkuliah di Elite university, sejak beberapa jam bicara sama Bianca, Julian pikir Bianca enggak sejutek yang di bilang sama Kian kemarin, wanita itu cukup ramah untuk penampilannya yang terkesan dingin.

Karena hari sudah semakin malam, keduanya memutuskan untuk pulang. Untung saja hujan malam itu sudah redah waktu Julian dan Bianca keluar dari kantor mereka. Julian sempat mengantar Bianca ke parkiran mobil dulu, parkiran mobil dan motor itu agak jauh jaraknya. Karena keadaan parkiran kantor sudah sepi, jadi lah Julian nemenin Bianca lebih dulu.

“Gimana bisa?” tanya Julian waktu Bianca nyoba buat nyalain mobilnya lagi.

“Gak bisa.” desahnya putus asa, padahal Bianca sudah rajin menyervis mobilnya dan rajin melakukan pengecekan secara berkala tapi kenapa masih saja ada yang rusak? Pikirnya.

“Mau gue anterin aja? Rumah lo daerah mana?” Julian cuma kasihan aja sama Bianca kalau harus naik taksi online di jam 11 malam begini, mana masih gerimis. Lebih baik dia antar pulang saja, gak papa lah Bianca basah sedikit toh dia juga mau pulang ke rumah kan.

“Daerah Kuningan, lo serius mau nganter? Jauh lagi dari sini tuh.” Bianca cuma enggak enak aja sama Julian, mereka memang rekan kerja. Tapi dia dan Julian baru dekat hari ini.

“Iya serius, dari pada lo pulang naik taksi online. Udah malem begini, gue juga gak yakin driver ambil orderan lo bakalan cepet.”

Bianca kelihatan menimang-nimang tawaran itu sebentar, sampai akhirnya dia mengangguk setuju. Dari pada semakin malam, lebih baik dia pulang sama Julian aja, yah walau basah dikit gapapa lah yah. Tapi yang menjadi pikirannya saat ini adalah, dia mengenakan rok di atas lutut yang kalau dia naik motor, rok itu akan semakin naik dan memperlihatkan kaki nya.

“Yaudah deh,” jawab Bianca pada akhirnya, persetan soal rok. Nanti dia bisa tutupi kakinya dengan tas miliknya saja.

Mereka akhirnya jalan ke parkiran motor, Bianca tau Julian itu bawa motor ke kantor tapi dia juga enggak berekspektasi kalau motor yang di bawa Julian itu adalah motor bergaya klasik yang harga nya sudah seharga mobil.

“Nih pake jaket gue buat nutupin kaki lo.” Julian ngasihin jaket yang dia pakai ke Bianca, dia gak mau kakinya Bianca kemana-mana apalagi sampe wanita itu masuk angin.

“Serius? Kalo kecipratan genangan air gimana?”

“Kan bisa gue cuci, dari pada lo kedinginan.”

Dalam hati Bianca gak bisa berhenti berdecap kagum sama Julian, cowok itu sangat sopan dan ia kagum sekali sama Julian. Enggak seperti kebanyakan cowok yang mendekatinya, Julian ini beda banget.

Di perjalanan, mereka enggak banyak ngobrol karena Julian bawa motornya lumayan kencang. Yah sebenarnya dia juga enggak mau bawa motor agak ngebut, Julian terpaksa karena gerimis nya semakin deras. Sampai akhirnya motor yang di bawa Julian memasuki wilayah apartemen Bianca, Bianca baru bisa bernapas lega karena setelah itu barulah hujan turun lumayan lebat.

“Lo masuk dulu aja yuk, tunggu di unit gue dari pada disini kedinginan,” Bianca cuma gak enak aja sama Julian gara-gara harus anterin dia dulu Julian jadi kejebak hujan kaya gini.

“Gausah, bentar lagi juga berhenti hujan nya.”

“Apaan berhenti, tambah deres ini. Udah yuk masuk dulu aja, gue bikinin teh buat lo.”

Karena Julian juga ngerasa kedinginan, akhirnya Julian mengiyakan ajakan itu. Ternyata unit milik Bianca berada di lantai 5, unit nya cukup luas dengan barang-barang mewah yang cukup bikin Julian bisa menebak-nebak bagaimana gaya hidup wanita itu.

Julian duduk di sofa ruang tamu apartemen Bianca sembari menunggu wanita itu berganti baju dan membuatkannya teh. Ternyata benar, hujan nya semakin deras dan sial nya batre ponsel Julian lowbat.

“Lo mau charger HP lo? Sini gue chargerin.” tiba-tiba saja Bianca datang, membawa secangkir teh manis hangat dan menaruhnya di meja ruang TV.

“Sampe 20% aja yang penting bisa nyala.” Julian ngasih ponsel nya itu dan Bianca ambil ponselnya untuk kemudian dia charger.

Bianca cukup kaget sama wallpaper yang ada di ponsel Julian, foto Julian dengan seorang cewek. Tapi rasanya kaya enggak asing, Bianca pernah liat cewek itu tapi entah dimana atau ini hanya perasaanya saja.

“Gue boleh numpang ke kamar mandi lo gak?” tanya Julian yang bikin Bianca kaget, pasalnya dia masih memandangi wajah cewek yang ada di wallpaper Julian.

“Ah, bo..boleh kok. Ada di belakang sana.” Bianca nunjuk arah dapur yang memang letak toiletnya itu ada di belakang dapur miliknya, tanpa menjawab apapun lagi akhirnya Julian langsung melesat ke toilet.

“Kaya pernah liat, tapi siapa yah. Muka nya enggak asing banget,” gumam Bianca.

Gak lama kemudian Julian keluar dari kamar mandi, cowok itu kembali duduk di sofa bareng sama Bianca. Mereka berdua sama-sama nonton TV sambil nunggu hujan di luar reda, namun tidak lama kemudian Bianca teringat sesuatu. Dia masih punya minuman yang dia dapat dari Jenara, belum sempat dia minum. Bianca enggak suka minum sendirian, Jenara emang suka ngasih dia minuman atau barang-barang mewah karena kinerja nya yang bagus.

by the way Jul, mau minum gak?” tanya Bianca, badannya yang tadinya duduk tegap kedepan itu menyamping agar ia bisa melihat Julian di sebelahnya.

“Minum apa?”

“Jenara ngasih gue wine, belum sempat gue minum. Gue gak suka minum sendirian.”

Sejujurnya malam ini Julian juga sedang mumet, pekerjaannya memang sudah selesai namun hatinya masih panas mengingat kabar terbaru dari Ara. Katakanlah Julian masih cemburu, yah meski ini konyol karena dia cemburu sama Istri orang.

“Boleh-boleh udah lama juga,” ucapnya langsung setuju.

Bianca pun langsung mengajak Julian untuk duduk di meja pantry nya, menyiapkan dua gelas wine berserta sebotol wine dari Jenara Kim itu. Keduanya sama-sama menikmati rasa dari wine yang mereka tenggak, terkadang Bianca juga cerita tentang kesehariannya dan club yang biasa dia datangi kala suntuk menghadang.

Julian sih cuma dengerin aja, dia gak pernah datang ke club malam. Kalau cuma minum sih Julian pernah minum beberapa kali sama anak kosan.

“Kapan-kapan ke sana sama gue yuk,” ajak Bianca, dia cuma mau ngajak Julian aja ke club yang biasa dia datangi. Bianca itu orang nya ramah banget, dia sebenarnya enggak milih-milih teman, ya asalkan orang itu enggak kurang ajar sama dia. Selama ini cowok yang mendekatinya itu isi kepala nya sama menurut Bianca.

“Boleh, gue juga udah lama gak ke club.” ah, lebih tepatnya Julian enggak pernah main ke tempat seperti itu. Namun saat ini rasanya ia ingin keluar dari zona nyaman, anggap ia sedang mencari pelarian dari rasa sakitnya.

“Lusa gimana?”

“Boleh.”

“Jemput yah.”

Julian hanya mengangguk, kepalanya juga sudah agak pening sedikit. Julian terakhir kali minum itu waktu sebelum skripsian, itu juga nemenin Kevin sama Chaka. Dan berakhir dia muntah di balkon kosan dan di marahin sama Januar yang pagi itu mau jemurin pakaian.

Melihat Julian yang sudah memegangi kepalanya, Bianca naruh gelas wine miliknya itu. Dia gak mungkin biarin Julian pulang dalam keadaan teler kaya gini, minimal Julian bisa pulang besok pagi kalau kesadarannya udah membaik. Jadi Bianca ingin membawa cowok itu ke sofa ruang tamunya.

“Lo udah mabuk, gue anter ke sofa yah. Baliknya besok aja.” Bianca megang tangan Julian, rangkul cowok itu ke pundaknya namun siapa sangka Julian yang udah teler itu justru jatuhin kepala nya ke tengkuk leher Bianca, nafasnya yang gak beraturan itu bikin bulu kuduk Bianca bergedik.

“Um... Gue tidur dimana?” racau Julian.

“Di..di sofa.”

Tidak lama kemudian, Julian menaikan kepala nya. Dia berdiri tegap dan narik tangan nya dari rangkulan Bianca, malam itu bagi Bianca, Julian tampak lebih menarik dari biasanya, rambutnya yang separuh basah itu sedikit acak-acakan, kemeja yang sudah keluar dari balik celana nya, sampai mata sayu cowok itu mampu menerbangkan kewarasan Bianca.

“Brondong sialan!!” pekik Bianca waktu Julian tiba-tiba rangkul pinggang dia.

“Ara..” desis Julian, cowok itu tersenyum. Namun tanpa aba-aba lagi, Julian langsung mencium Bianca dengan gerakan terbata-bata.

Bianca tentu nya kaget dengan hal itu, namun baginya, Julian sudah menyulut gairahnya juga dengan menciumnya tiba-tiba, Bianca enggak diam, dia bawa kedua tangannya ke bahu tegap Julian dan melumat bibir bawah cowok itu.

Tangan Bianca di belakang kepala Julian enggak tinggal diam, dia usap kepala belakang Julian sembari sesekali kakinya melangkah menuntun Julian ke kamarnya. Deru nafas Julian yang cukup berat itu membuat Bianca tahu kalau Julian menginginkannya, tapi tunggu. Julian tadi menyebutkan nama cewek lain, siapa katanya? Ara?

Begitu mereka sampai di kamar, Bianca melepaskan ciuman itu lebih dulu. Dia mendorong Julian ke ranjangnya sampai cowok itu jatuh tiduran di ranjangnya, kemudian dengan sigap Bianca naik ke atas tubuh Julian dan membuka satu persatu kancing kemeja Julian.

Malam itu mereka benar-benar menghabiskan malam yang panjang, yang Julian sendiri enggak menyangka dia akan melakukannya dengan Bianca di ambang kesadarannya yang enggak seberapa itu. Ini pertama kalinya untuk Julian namun bukan yang pertama untuk Bianca, gesekan antar kulit keduanya itu membuat gairah Julian makin meletup-letup.

Apalagi saat Bianca mendesah dan membisikan namannya, rasanya Julian udah semakin di buat enggak waras. Keringat yang mengucur dari tubuh atletis nya itu membuat Bianca masih terus menginginkan Julian.

“Mmhh.. Jul..”

“Ara...” Julian memejamkan matanya, untuk yang kedua kalinya ia lepaskan benih miliknya itu di dalam sana, membuat kedua anak manusia itu saling memejamkan matanya setelah pelepasan itu tiba.

setelahnya Julian ambruk, ia mengatur nafasnya berat sembari memeluk wanita yang ia yakini itu adalah cewek yang dia sayang mati-matian.

“Aku sayang kamu, Ra.”

Bianca yang mendengar itu cuma bisa terkekeh, dia enggak sakit hati atau cemburu. Baginya hal seperti malam ini biasa, lagi pula di mata Bianca saat ini Julian hanya mainanya.

“Lo naksir bini orang yah, Jul?” Bianca baru ingat cewek yang di wallpaper ponsel milik Julian itu adalah Istri dari sepupunya Gita, creative direktur di Ruby Jane, dan Suaminya adalah teman dekatnya Jordan kekasihnya Jenara Kim.

“Gue capek.” Julian melepaskan pelukan itu, kemudian tidur membelakangi Bianca. Dia udah gak perduli lagi Bianca yang terkekeh pelan melihatnya.

“Dasar brondong sinting naksir kok sama bini orang.”

Siang ini Ara lagi face time sama Yuno, Yuno dapat shift siang sedangkan Ara sudah selesai dengan kelas online nya. Siang ini Ara lagi makan siang dan Yuno yang lagi sarapan pagi, mereka udah melakukan face time selama satu jam. Banyak banget hal-hal yang mereka obrolin berdua termasuk soal rencana Ara yang akan pindah ke Jakarta untuk tinggal bersama orang tua Yuno dulu.

Yuno setuju sama ide orang tua nya itu, ini cucu pertama keluarganya dan anak pertama Yuno. Jadi wajar saja kalau kedua orang tua nya itu jadi lebih protektif ke Ara kan? Mungkin ceritanya akan beda kalau Yuno bisa berada di samping Ara lebih sering.

Makannya pelan-pelan aja sayang, kamu tuh tetap harus ada protein,” ucap Yuno. Dia nyuruh Ara buat makan ikan karena Ara cerita kalau dia gak bisa makan ikan, ayam atau pun telur. Padahal itu sumber protein hewani yang bagus buat janin mereka.

“Mual banget, Mas. Hoekk sama bau nya.”

Pakein sambel nya lagi biar bau nya gak ke cium,” Yuno udah ngasih ide buat buat ngolah makannya, mulai dari kasih jeruk, ngolah makanannya pakai banyak rempah biar bau nya samar sampai ngasih ide buat makan pakai sambel terasi.

“Mas Yuno?” panggil Ara

“Ya, sayang?”

“Aku kepengen rujak, abis ini order rujak boleh yah?” di bayangan Ara tuh rujak buah agak pedas terus kacangnya yang di ulek kasar beneran menggugah selera nya banget. Dari kemarin tuh Ara udah mulai ngidam ini itu, mulai dari kepengen makan pancong di Lengkong, makan bubur di jalan Sabang sampe nitip mochi puncak sama A Ari temannya Arial yang kebetulan lagi di puncak kemarin.

Di sebrang sana Yuno tersenyum dan mengangguk pelan, tiap kali Ara telfon atau chat dia buat bilang lagi kepengen makan apa tuh rasanya Yuno pengen langsung terbang ke Bandung dan dia beliin makanan itu sendiri buat Istrinya.

Boleh, sayang. Jangan pedes-pedes yah.

“Yeayy!!!” pekik Ara girang, dia langsung ambil ponsel nya dan liat aplikasi pesan antar buat order rujak buah.

Namun perhatian Ara justru teralihkan karena ada banyak notifikasi dari sosial media miliknya, Ara memang mengabari hal baik ini ke penggemar-penggemar nya di sosial media. Dia cuma mengunggah foto hasil USG nya saja dan memberi tahu kalau dia sudah hamil, tapi Ara sama sekali gak berekpektasi sama respon orang-orang di internet sana.

Ada yang merespon nya dengan baik dengan mendoakan kesehatan Ara dan bayi nya, namun enggak jarang juga Ara justru nemu ujaran kebencian untuknya, Ara tuh jarang banget meriksa comment section di sosial media nya, baru kali ini malahan. Dan dia enggak nyangka kalau yang benci sama dia itu banyak juga.

Selama ini Ara selalu ngasih edukasi tentang kesehatan mental, ilmu yang juga dia dapat di bangku kuliah dia kasih itu cuma-cuma ke orang-orang di luar sana. Memang sih akhir-akhir ini Ara juga sering mengunggah konten seputar kehidupannya sehari-hari serta hubungan jarak jauhnya dengan Yuno. Mungkin karna hal ini lah yang memicu orang-orang di internet mulai mengorek kehidupan pribadinya.

Di sebrang sana Yuno jadi bingung sendiri melihat Ara yang nampak serius dengan ponsel nya, apalagi saat melihat raut wajah cewek itu yang semakin gak karuan.

Sayang? Udah pesan rujak nya?” tanya Yuno karena Ara enggak kunjung selesai menggulir layar ponselnya.

“Mas..” Ara naruh ponselnya, matanya sedikit berair karena dia ngerasa sedih banget sama reaksi orang-orang yang gak suka sama kabar bahagia nya. Emang mereka siapa bisa ngata-ngatain Ara? Mereka enggak tahu apapun itu tentangnya dan Yuno.

kenapa sayang? Kok nangis?” Yuno bingung banget kenapa Ara nangis, iya dia tau kok hormon Ibu hamil memang acak-acakan banget dan itu mempengaruhi mood Ara tapi Yuno gak tahu kalau dengan pesan rujak aja Ara bisa menangis.

“Kamu baca deh comment section di X di postingan terakhir aku,” Ara mengadu.

sebentar yah, aku cek dulu.” Yuno akhirnya meriksa komen yang ada di unggahan terakhir Ara di sosial media nya, jujur Yuno juga kesal membacanya. Tapi buat balas satu persatu hate comment itu juga hanya akan menghabiskan energi saja dan justru memperkeruh keadaan. “Kamu ngapain sih baca-baca komen kaya gini?”

Ara yang di tanya gitu cuma nunduk aja, dia juga nyingkirin piring nya ke meja pantry. Nafsu makannya udah hilang, apalagi nafsu sama rujak yang dari tadi dia idam-idamkan banget. Sekarang rasanya Ara cuma mau nangis dan butuh semangat dari Suaminya itu.

“Gapapa, cuma penasaran aja, Mas. Selama ini aku gak pernah cek comment section sedetail itu makanya enggak tahu kalau banyak yang gak suka sama aku.”

udah lah lupain aja, ngapain sih kamu tanggapin? Gak penting tau gak?” Yuno hatinya jadi ikutan panas bacanya, selama ini Yuno enggak cukup perduli sama kehidupannya di sosial media. Yah dia tentunya enggak sekuper itu buat enggak main sosial media, tapi Yuno cuma enggak seaktif itu aja. Lagi pula dia gak punya waktu buat ngurusin citra nya di sosial media.

“Lupain? Mas, aku tuh habis baca hate comment loh. Kamu pikir gampang lupain hal yang udah bikin hati aku sakit?” Ara jadi kesel sendiri, dia pikir Yuno bakalan nyemangatin di atau belain. Tapi Yuno justru anggap enteng itu semua dengan bilang lupain, ah. Ara lupa, Yuno hampir enggak punya pembenci kaya dia. Semua komen di sosial media milik Yuno itu isi nya cuma penggemar nya aja.

“*sayang, kamu tuh kebanyakan main sosmed tau gak? Aku udah bilang kan buat jangan terlalu sering share kehidupan pribadi di sosmed, ini dampaknya tau gak?*”

“Ya emangnya aku salah kalo aku cuma mau berbagi berita bahagia ini?”

“*yah tapi kaya gini kan jadinya, gak semua hal bisa kamu share disana. Gak semua orang bisa respon berita baik sama hal baik juga. Harusnya kamu paham itu, dunia gak berputar di kamu aja tau gak?*”

Ara yang dengar Yuno ngomong pakai nada yang agak tinggi menurut nya itu, langsung nangis. Hatinya lagi panas tapi suaminya itu justru nambah kekesalannya.

Sayang maaf aku—

“Ngeselin kamu tau gak?! Kamu tuh gak pernah dapet komen jelek kaya gitu, kamu gak tau rasanya jadi aku gimana soalnya kamu terlalu sering di puji sama fans-fans kamu!!”

Ara, aku gak mau yah kita berantem karena hal sepele ini. Yang hatinya lagi panas itu bukan cuma kamu, di rumah sakit konsulen aku gak enak, dia galak dan aku pernah di omelin sama dia habis-habisan di depan pasien. Aku face time sama kamu kaya gini karna aku mau lupain hal itu, jadi tolong jangan nyari gara-gara.

“Kamu tuh yang nyari gara-gara!” bentak Ara, dia beneran gak sengaja ngebentak Yuno kaya gitu karena hatinya bener-bener lagi kesel. Dia sadar kok sama apa yang dia lakuin dan sejujurnya Ara juga ngerasa bersalah, tapi buat minta maaf ke Yuno juga dia gengsi karena menurutnya Yuno duluan lah yang ngomong ke dia pake nada tinggi.

Ara, gak sopan kamu kaya gitu. Aku suami kamu yah!” ucap Yuno enggak kalah tinggi, mereka sekarang jadi ngomong sama-sama pake urat.

Karena udah gak tahan sama pembahasan ini, Ara tutup MacBook nya. Enggak ada ucapan apa-apa lagi yang keluar dari mulutnya karena saat ini Ara cuma bisa nangis. Saking kesel nya sama Yuno, dia gak beresin lagi piring bekas makan dan MacBook nya. Dia langsung pergi ke kamar dan sembunyiin muka di bantal nya.

Dia tau mungkin hari-hari Yuno waktu koas enggak mulus-mulus aja, kaya yang tadi Yuno bilang kan kalau dia dapat konsulen galak. Tapi kan bisa dia gak marah-marah kaya tadi sama Ara, dia juga lagi sedih dan butuh di hibur karena udah baca semua hate comment yang dia terima.

Karena kecapekan nangis, akhirnya Ara ketiduran. Dia baru bangun setelah adzan magrib berkumandang, keadaan apartemen nya juga jadi gelap banget karena dia belum nyalain lampu. Waktu dia bangun, dia sempat memeriksa ponsel nya dulu. Ternyata Yuno nelfon dia lagi sepuluh kali dan ngirimin beberapa pesan singkat yang Ara sendiri malas bacanya, hatinya masih dongkol dia gak mau ngehubungin Yuno dulu.

Gak lama kemudian setelah Ara nyalain lampu di kamar dan ruang tamunya, bel apartemen nya berbunyi. Ara jadi buru-buru buat bukain pintu, tapi sebelum dia buka, Dia intip dulu dari lubang kecil pintu apartemennya buat liat siapa yang ada di luar.

“Mas Iyal?” gumam Ara, dia langsung bukain pintu buat Kakaknya itu.

“Mas Iyal, tumben ke sini?” Ara nyuruh Arial masuk, cowok itu kelihatannya baru pulang kerja karena Arial masih pakai kemeja dan tas kerja yang dia tenteng di tangan kirinya, sementara tangan kanan nya bawa plastik dengan kotak makanan yang Ara gak tau isinya apa.

“Yuno nyuruh Mas jengukin kamu sekalian bawain rujak, katanya kamu kepengen rujak? Ini Mas beliin,” Arial naruh kotak berisi rujak itu di meja makan Ara, habis itu dia duduk dan nuangin air putih yang ada di cangkir. Arial haus banget, dari tadi dia belum minum. Begitu pulang dia langsung di cecar telfon dari Yuno yang minta tolong jengukin Ara sekalian beliin rujak buat Ara.

“Udah gak napsu sama rujak,” jawab Ara ketus. Rasa kepengen makan rujak nya beneran udah hilang, tapi rujak dari Arial itu bakalan tetap Ara makan kok. Kasian Mas nya itu capek-capek beliin rujak kalo enggak dia makan.

“Ih gimana, Mas udah beliin ini. Suami kamu tuh bawel banget.”

“Gausah di bales aja kalo dia ngechat, gak usah di angkat juga telfon nya!”

Arial jadi bingung sendiri, soalnya Ara ngomong nya tuh ketus banget. Dalam hati Arial menebak-nebak kalau Adik sepupunya itu kelihatannya emang lagi berantem sama Yuno suaminya.

“Kamu lagi berantem sama Yuno, dek?” tanya Arial.

“Kesel!! Mas Yuno tuh malah balik marahin aku waktu aku lagi sedih banget habis dapat komen jelek di sosmed.” jawab Ara.

Arial enggak tahu soal hate comment yang di dapat sama Ara. Gak beda jauh kaya Yuno, Arial juga enggak perduli-perduli banget sama sosial media. Dia juga privacy in akun instagram nya cuma buat orang-orang yang kenal dia aja, bahkan request di akun nya itu enggak di gubris sama Arial, padahal sudah menumpuk sampe ribuan sejak dia kuliah.

hate comment yang mana sih, dek? Kok Mas Iyal gak liat?”

“Ihhhh yang postingan terbaru aku!!” rajuk Ara, dia ngelap wajahnya yang udah basah karena air matanya sendiri. Belum lega aja rasanya, setiap kali dia bengong cuma bisa keinget sama komen-komen jahat di akun nya. Walau banyak yang bela, tapi rasanya tetap aja sakit.

“Tuh, kamu malah ikutan ngomel ke Mas, kan Mas Iyal gatau. Udah jangan nangis mulu ah, ntar anak nya ikutan cengeng gimana. Makan dulu nih rujak nya.” Arial bingung harus respon gimana, karena dia enggak pernah mendapatkan ujaran kebencian. Jadi dari pada Ara terus mengingat komen buruk tentangnya, lebih baik Arial bukain kotak berisi rujak buah yang dari tadi udah di anggurin adiknya itu.

“Pokoknya kalo Mas Yuno telfon gak usah di angkat!” ancam Ara.

“Dek, gak boleh gitu ah. Gak baik, Yuno udah jadi Suami kamu loh, dia khawatir sama kamu tau, dia kan jauh gak bisa jagain kamu kalo kamu kaya gitu nanti dia kepikiran gimana?”

“Biarin aja siapa suruh ngeselin.”

Arial cuma geleng-geleng kepala aja, dia udah paham kalau Ara ngambek tuh gimana. Lebih baik di dengerin aja kalo kita gak bisa kasih nasihat, gak lama kemudian ponsel Arial berdering. Baik Ara maupun Arial sama-sama menoleh ke layar ponsel milik Arial itu yang menampakan nama Yuno di sana.

“Gak usah di angkat!” ucap Ara waktu Arial udah mau geser layar ponselnya untuk mengangkat panggilan dari Yuno.

“Mas aja yang ngomong, gak enak dek.”

“Tapi jangan di kasih ke aku!”

Arial hanya mengangguk, dia geser layar ponsel nya dan mengaktifkan pengeras suara di ponselnya biar Ara bisa dengar Yuno ngomong apa.

Ril, udah di apart gue belum?” tanya Yuno dari sebrang sana, dari nada bicaranya Ara tau kok Suaminya itu khawatir sama dia. Tapi Ara masih dongkol rasanya.

“Udeh, No. Ini bocahnya lagi makan rujak.”

boleh kasihin HP nya ke Ara gak, Ril? Gue pengen ngomong sama dia sebentar.

Belum sempat Arial menjawab Ara yang duduk di sebrang Arial itu udah menggeleng kepalanya pelan sebagai jawaban.

“Gak mau, No. Masih mogok ngomong dia. Tapi kalo lo mau ngomong, ngomong aja gue loud speaker kok.”

oke thanks yah, Ril.” Yuno narik nafasnya sebentar, agak lega waktu tahu Arial udah di apartemen nya dia sejujurnya enggak enak bawelin Arial waktu Arial lagi kerja cuma demi memastikan Istrinya itu baik-baik saja di apartement, Yuno sadar kok dia tadi udah keterlaluan. Tapi beneran itu semua terjadi karena Yuno juga ikutan kesal sama orang-orang yang komen di sosial media istrinya itu. Yuno mau bela pun takutnya itu justru akan menjadi bumerang untuk Ara.

“*sayang, maafin aku yah, aku gak ngertiin hati kamu yang lagi sedih banget karna baca hate comment. Aku minta maaf, jangan di bacain lagi yah, gak usah di dengerin omongan dari orang yang kenal sama kamu aja enggak, tadi aku suruh Iyal beli rujak buat kamu, di makan yah. Nanti habis selesai shift aku, aku telfon yah. Aku khawatir sama kamu kalo kamu kaya gini. *”

Ara diem aja, tapi dia nyimak apa yang di omongin Yuno kok. Dia juga gak tega denger Yuno yang benar-benar khawatir sama dia, biar bagaimana pun Yuno Suaminya. Yuno juga bilang kan kalau dia lagi ngalamin hari yang berat karna konsulen nya galak, mereka cuma lagi sama-sama capek aja sama keadaan.

Selesai dengan shift nya hari ini Yuno enggak langsung pulang ke apartement nya, dia mau jalan-jalan dulu sebentar sekaligus membeli beberapa keperluan untuk mengisi kulkasnya. Lagi pula ini sudah masuk musim semi, musim semi di Jerman itu indah banget ada banyak Frühlingsfest atau festival musim semi juga.

Tapi siang ini Yuno enggak mau ke festival, dia cuma mau jalan-jalan ke mall buat mampir ke supermarket dan melihat-lihat baju sebentar. Bukan untuknya, tapi untuk anaknya kelak. Katakan ini terlalu cepat, tapi Yuno pernah melihat toko baju bayi di mall yang semua koleksinya lucu-lucu. Terutama untuk bayi perempuan.

Yuno enggak tahu anaknya berjenis kelamin apa, apapun yang Tuhan kasih Yuno akan sangat bersyukur. Jadi rencana nya ia hanya akan membeli baju dengan warna dan model yang bisa di pakai untuk bayi perempuan dan laki-laki saja.

Ah iya, ngomong-ngomong Ara sudah mulai bersiap untuk pindah ke Jakarta. Beberapa barang-barangnya juga sudah di kirimkan ke rumah orang tua Yuno, jadi tinggal nunggu saja Ara untuk pindah ke Jakarta sepenuhnya. Agak sedikit lega sebenarnya tahu Ara setuju untuk pindah ke Jakarta dan tinggal di rumahnya, itu artinya akan ada banyak orang yang menjaga Istrinya itu. Enggak seperti di Bandung, Ara hanya tinggal sendiri meski Gita dan Arial berada di Bandung juga. Tapi kan tetap saja enggak enak merepotkan sepupunya itu terus.

Setelah Yuno selesai belaja kebutuhan untuk dapur nya, dia langsung melesat ke toko pakaian bayi. Baru sampai depannya saja Yuno sudah tersenyum, gak pernah dia bayangin sebelumnya kalau masuk toko baju bayi akan semenyenangkan ini ternyata.

Waktu masuk, ada pelayan yang nyambut Yuno dan bersedia membantu Yuno, tapi Yuno bilang dia masih mau liat-liat dulu, ah. Mungkin nanti dia mau telfon Gita buat nanya baju apa yang cocok buat anaknya.

Yuno enggak mau telfon Ara karena ini bakalan jadi hadiah buat istrinya itu, rencana nya saat libur kuliah nanti Ara berencana untuk liburan ke Jerman sebentar. Makanya baju bayi ini mungkin akan Yuno kasih saat istrinya itu di Jerman.

Entah ini hanya naluri Yuno saja atau memang baju bayi perempuan di ujung sana begitu menarik, Yuno menghampiri baju bayi berwarna putih dan pink itu, warna yang sebenarnya perempuan banget dengan motif pita dan asesoris topi berbentuk kuping kelinci di sana, modelnya jumpsuit yang menutupi badan hingga kakinya.

Yuno ambil baju itu, wajahnya tersenyun membayangkan kalau anaknya dan Ara adalah anak perempuan, pasti bakalan lucu banget kalau dia pakain ini, batinnya. Dengan cepat Yuno ambil ponselnya dan langsung melakukan panggilan video sama Gita, ah kayanya dia juga mau beliin baju buat keponakannya itu deh. Elios dan Eloise si kembar yang selalu bikin Yuno pengen gigit pipi gembulnya itu.

ih lo dimana, Kak?” pekik Gita waktu perempuan itu angkat panggilan video nya, Yuno memang enggak menyoroti wajahnya. Kamera ponselnya langsung menyorot ke baju bayi.

“Di toko baju bayi, Git. Ini lucu gak?” tanya Yuno.

lucu kok, buat siapa?

“Buat anak gue lah,” jawab Yuno dengan bangga nya, katakan ini memang konyol tapi Yuno beneran se excited itu buat belanja perlengkapan bayi. Selain itu Yuno juga belajar cara parenting yang baik dan baca-baca buku tentang Ibu hamil dan bayi yang baru lahir. Dia mau jadi orang tua yang baik untuk anaknya.

“*Kak, please deh. Ara itu hamil baru 3 bulan yah, itu janin jenis kelaminya juga belum kelihatan, masih terlalu cepat buat beli baju bayi tau.” Gita jadi ingat soal mitos beli baju bayi di awal usia kandungan yang masih muda, tapi sayangnya dia enggak percaya sama mitos. Yah ngasih tau ke Yuno soal mitos ini juga percuma, Yuno saja enggak percaya sama hantu apalagi sama mitos.

“Ya gapapa, gue lagi excited aja buat nyiapin banyak hal buat anak gue. Nanti si kembar gue beliin juga kok, jadi ayo bantuin gue pilih baju.”

itu baju bayi buat ukuran 6 bulan yang lo pegang, minta cariin yang buat new born.

“Oke sebentar.”

Di layar ponsel Gita, Yuno tampak memanggil seorang pelayan toko untuk meminta di ambilkan baju bayi untuk ukuran bayi baru lahir, enggak lama kemudian kamera ponsel Yuno menyoroti baju bayi lagi.

“Yang ini kan?”

iya,” Gita mengangguk. “kenapa gak cari yang unisex aja sih? Kan jadi gak repot kalo misalnya anak lo laki-laki, Kak.*” Gita cuma mikir aja bakalan sia-sia kalau Yuno beli baju bayi cewek tapi ternyata anaknya lahir cowok, yah walau mungkin bisa di pakai buat adikknya kelak.

“Emang niatnya gitu, ini cuma mau beli satu aja karena lucu banget, gue langsung jatuh cinta pas liatnya.”

lo gak nanya Ara emang?

“Buat kejutan dia nanti pas ke Jerman, makanya gue nanya ke lo. Bantuin pilihin lagi yah, sekalian nanti buat si kembar gue paketin aja.”

Cukup lama Yuno dan Gita melakukan panggilan video, bahkan dari jauh pun Gita bisa ngerasain betapa bahagianya Yuno karna sebentar lagi akan menjadi seorang Ayah. Gita tau banget Yuno suka banget sama anak kecil, di tempatnya Gita cuma berharap kakak sepupunya itu bisa terus bahagia seperti ini.


Sudah seminggu ini Julian bekerja seperti biasanya, yang tidak biasa adalah dia masih suka kepikiran malam itu dengan Bianca. Sudah beberapa hari ini Bianca enggak kelihatan di kantor, katanya wanita itu sedang ada kerjaan di luar kota. Jika kalian bertanya kenapa Julian tidak menghubungi Bianca saja? Tentu saja itu sudah dia lakukan.

Tapi hasilnya nihil, enggak ada balasan dari Bianca. Julian sebenarnya merasa bersalah malam itu, dia juga membenci dirinya sendiri dan berniat meminta maaf dengan tulus atas apa yang ia lakukan pada Bianca. Kemungkinan terburuknya adalah Julian siap bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Bianca.

Pada jam makan siang hari ini, Julian hanya mengaduk-aduk makan siangnya saja tanpa berniat untuk memakannya. Kian yang duduk bersebrangan denganya hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, Julian akhir-akhir ini nampak murung dan terlihat bingung, entah apa yang cowok itu pikirkan sebenarnya.

“Jul!!” Kian menendang kaki Julian dari bawah, dan itu berhasil membuat lamunan Julian buyar begitu saja. “Makan, ye... Malah di aduk-aduk aja itu makanan. Mikirin apaan sih?”

Julian menghela nafasnya pelan, kepalanya agak pening rasanya. Andai malam itu dia gak menerima ajakan minum dari Bianca mungkin masalah di hidupnya enggak akan sekacau ini, ah tidak. Andai malam itu Julian pulang saja dan menerobos hujan, mungkin kejadiannya enggak akan seperti ini.

“Gapapa, Mas.” Julian sebenarnya mau cerita soal dia dan Bianca sama orang lain, tapi Julian benar-benar bingung harus cerita sama siapa. Dia sebenarnya kepikiran buat cerita sama Januar, tapi rasanya ada perasaan malu untuk mengubungi Januar apalagi menceritakan hal ini. Januar pasti akan kaget mendengarnya.

Melihat Julian yang hanya memakan sedikit makananya saja membuat Kian makin penasaran sama apa yang di pikirin Julian, dia cuma mikir takutnya Julian punya masalah di kantor, siapa tahu kan dia bisa bantu.

“Ada masalah, Jul? Cerita coba dari pada elu kelihatan hidup segan mati belum saatnya begini,” ucap Kian.

“Kelihatanya begitu emangnya, Mas?”

Kian mengangguk, “ada apa sih? Di marahin Jenara?”

Julian menggeleng. “Bukan, Mas.”

“Belum dapet kadidat buat admin e-commerce?”

Lagi-lagi Julian menggeleng, dia sudah mendapatkan pengganti untuk divisi itu kok. Malahan orangnya sudah mulai bekerja sejak 3 hari yang lalu, kinerja nya juga baik dengan pengalaman yang cukup sepertinya Julian enggak perlu lagi meragukan kemampuannya.

“Lah terus kenapa?”

“Gue enggak bisa ceritain ini, Mas.”

“Masalah pribadi ye?” tebak Kian, dan Julian mengangguk.

Kian memang baik, namun rasanya Julian belum bisa bercerita banyak pada Kian. Apalagi ini tentang Bianca, dia takut Kian keceplosan soal masalahnya dengan Bianca ke karyawan lain. Dia gak mau reputasinya dan Bianca di kantor jadi ternodai karena masalah ini, terutama dengan karir yang sudah Bianca bangun susah payah.

“Yaudah kalo gitu, cuma kalo lo mau cerita, cerita aja yah. Terutama soal kerjaan kali aja kan gue bisa bantu.”

thank you, Mas.”

Sudah 3 hari Ara ada di Jakarta, ah. Lebih tepatnya berada di rumah Yuno. Ara masih kuliah kok, beberapa mata kuliah memang ada kelas online nya. Mama Lastri bilang kalau lebih baik Ara cuti kuliah saat menjelang melahirkan saja, biar enggak kelamaan.

Pagi ini yang Ara lakuin setelah sarapan biasanya hanya berjemur, sesekali membantu Budhe yang bekerja di rumah Yuno buat nyiram tanaman, agak sedikit bosan sebenarnya karna mertua nya itu enggak mengizinkan Ara buat ngelakuin banyak aktifitas.

Oh iya, Mama Lastri juga sampai cuti 1 minggu demi bisa menemani Ara di rumah dulu, Mama dan Papa Yuno itu benar-benar merawat Ara dengan baik. Yah walau kadang menurut Ara agak sedikit berlebihan sih, mengingat kandunganya juga belum sebesar itu dan ia masih bisa melakukan banyak aktifitas sebenarnya.

“Ara.”

Ara yang lagi nyiram tanaman sambil bersenandung itu jadi menoleh, itu Mama. Mama membawa kotak yang ukurannya lumayan besar ke teras, dan melambaikan tangan menyuruh Ara untuk menghampirinya.

“Kenapa, Mah?” tanya Ara, dia langsung matiin keran nya dan beresin selang yang dia pakai buat nyiram tanaman.

Kedua wanita itu duduk di kursi taman sembari Mama memangku kotak berukuran sedang itu, kalau tidak salah waktu Ara mau nyiram tanaman. Mama memang sedang berada di kamar, Mama bilang mau bongkar lemari bajunya dan memilah baju yang sudah jarang Mama pakai untuk di sumbangkan ke yayasan.

Selain punya rumah sakit, keluarga dari pihak Papa nya Yuno juga punya yayasan amal yang di kelola sendiri, khusus yayasan itu yang mengelola Pakdhe Darmo. Kalau Mama hanya bantu-bantu saja kadang.

“Mama mau ngasih kamu sesuatu.”

“Ngasih apa, Mah?” Ara jadi deg-deg an gini.

Mama buka kotak yang ada di pangkuannya dan ngeluarin baju bayi di sana, baju bayi yang masih bagus banget menurut Ara. Bahkan masih wangi, hanya saja modelnya mirip baju bayi jaman dulu. Yah walau kalau di pakai untuk tahun sekarang juga enggak akan ketinggalan jaman kok.

“Ini tuh baju bayinya Yuno, Mama masih simpan beberapa disini buat kenang-kenangan.” mata Mama berkilau banget waktu nyeritainnya, mandang baju bayi itu juga sambil tersenyum. Bagi Mama memiliki Yuno seperti hal terbaik yang pernah ia dapatkan.

“Masih bagus yah, Mah.” Ara ngambil satu baju bayi dengan model jumpsuit warna nya biru dengan gambar beruang di sana. Bajunya masih bagus, enggak ada cacat sedikit pun padahal ini baju dari 24 tahun yang lalu bahkan gak ada tuh yang namanya noda kuning yang suka ada di lipatan baju yang udah lama di taruh lemari.

“Masih, sayang. Mama jaga banget barang-barang Yuno kecil disini. Masih suka Mama cuci biar wangi terus” selain baju ada dot bayi dan mainan bayi juga yang Mama keluarkan dari sana.

“Ara?” panggil Mama.

“Ya, Mah?”

“Simpan yah, kalau anak kamu lahir. Baju ini masih bisa di pakai lagi kok. Atau kalau kamu mau simpan aja juga boleh kok, baju ini tuh punya arti yang besar banget buat Mama.”

Ara tahu maksud dari ucapan Mama, dulu Mama pernah cerita kalau Mama dan Papa lama sekali menunggu seorang anak. Bahkan di pernikahan mereka yang sudah menginjak 6 tahun pun keduanya belum di karuniai bayi, sampai akhirnya Mama dan Papa memutuskan untuk mengikuti program bayi tabung.

Itu pun enggak langsung berhasil dalam sekali percobaan, karena pada percobaan pertama Mama gagal melakukannya. Makanya waktu Yuno lahir, Mama benar-benar bahagia. Ah, Mama pernah cerita soal ini sama Ara waktu mereka habis pulang mengantar Yuno ke bandara.

“Pasti bahagia banget yah, Mah. Waktu itu,” ucap Ara, kalau Mama cerita perjuanganya dulu buat punya Yuno. Ara tuh selalu tersentuh hatinya dan salut banget sama perjuangan seorang Ibu.

“Yuno itu hidup Mama, Ra. Yuno yang kasih Mama kesempatan buat jadi seorang Ibu. Yuno kecil tuh pendiam banget, gak neko-neko nurut banget anaknya, bahkan Yuno kecil kalau di jahilin temannya cuma diam aja gak pernah ngebalas, yang emosi justru Gita.” Mama terkekeh, mengingat masa-masa Yuno kecil sembari menimang mainan milik Yuno di pangkuannya itu. Mama gak nyangka Yuno sudah sebesar ini, Yuno bahkan sebentar lagi akan menjadi orang tua juga.

“Sampai sekarang Mas Yuno juga enggak pernah neko-neko, Mah. Walau enggak pendiam juga.”

“Oh ya?” tanya Mama, karna ucapan Ara. Mama jadi penasaran bagaimana Yuno di mata menantunya itu.

Ara mengangguk, “Mas Yuno tuh kadang suka jahil kalau sama aku, kadang sikap nya suka bikin aku bingung apalagi kalau udah mendam masalahnya sendiri. Makanya aku selalu bilang buat cerita apapun itu karna aku gak pernah keberatan Mas Yuno bagi susahnya ke aku.”

Mama baru tahu fakta ini, anak laki-laki satu-satunya itu suka memendam apa yang ia rasa sendiri? Mama jadi sadar kalau selama ini Yuno memang enggak pernah mengeluh, padahal Papa suka sekali menuntut Yuno. Yang Mama tahu selama ini Yuno bahagia-bahagia saja melakukan apa yang di minta Papa nya dan Mama sadar semua itu untuk kebaikan Yuno.

“Tapi Yuno mau cerita kan, Ra?”

Ara tersenyum, mengingat bagaimana susahnya dia membujuk Yuno buat cerita. Ara cuma enggak mau Yuno mendam masalahnya sendiri dan menjadikan itu bom waktu, apalagi kalau Jeff sampai muncul. Ah, mungkin dengan mengobrol seperti ini dengan Mama, Mama bisa lebih mengerti Yuno, pikir Ara.

“Cerita kok, Mah. Walau kadang susah banget bujuknya, Mas Yuno itu emang kelihatan enggak pernah ngeluh dia gak pernah mau bebanin orang lain sama ceritanya, tapi justru itu yang jadi bom waktu buat dia sendiri. Karena udah sifat bawaan, gak mudah buat ngubah itu. Tapi Ara janji gak akan biarin Mas Yuno ngerasa kesusahan sendiri, Mah.”

Ara sayang banget sama Yuno, dia selalu siap di bagi cerita apapun itu sama Yuno. Ara sama sekali enggak keberatan kalau suaminya itu mengeluh, Ara cuma gak mau Yuno ngerasa sendirian dan kesepian lagi karena sekarang mereka saling memiliki, ya. Ara harap Yuno akan selalu mau bersandar dengannya.

“Ara?”

“Ya, Mah?”

“Terima kasih yah sudah jadi Istrinya Yuno, sudah mau dengerin cerita-cerita dia, Yuno enggak pernah cerita apapun sama Mama bahkan masalahnya sekalipun. Mama lega banget kalau dia bisa percaya kamu buat cerita tentang masalahnya.” Mama benar-benar lega banget Yuno bisa di pertemukan sama perempuan sebaik Ara, Mama ngerasa Yuno bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama Ara. Mungkin karena ini jugalah Yuno enggak pernah bisa membuka hati lagi waktu hubunganya dengan Ara berakhir.

Setelah ngobrol-ngobrol sama Mama sebentar, Ara kembali ke kamar Yuno. Tiduran di ranjang suaminya itu sembari mengusap-usap perutnya, perut Ara memang belum kelihatan besar kalau pakai baju. Apalagi selama di Jakarta Ara suka banget pakai bajunya Yuno yang benar-benar kebesaran di tubuhnya.

Tapi Ara bisa rasain perubahan di perutnya, agak lebih buncit sampai kadang Ara memilih buat enggak pakai celana yang ada kancing nya. Rasanya begah banget, ini baru 3 bulan bagaimana nanti kalau sudah 9 bulan? Pikirnya.

“Sayang nya Ibu mau mam apa nanti siang?” Ara terkekeh, ini pertama kalinya dia ngajak ngobrol janin nya itu. Ara sempat baca-baca buku kalau janin nya itu sudah bisa mendengar di usia 3 bulan.

“Ibu kepengen makan rujak lagi, kamu mau gak? Kenapa yah rujak tuh enak banget.”

Semenjak hamil Ara emang jadi suka banget makan buah dan olahanya terutama rujak, kayanya gak ada hari dimana dia gak makan rujak. Pokoknya harus ada rujak buah.

“Kangen Mas Yuno..” gumam Ara, dia lihat jam di ponselnya yang sekarang udah nunjukin jam 1 siang, di Jerman ini masih shift nya Yuno. Suaminya itu bilang kalau akan menelfon Ara duluan saat jam istirahat atau saat shift nya habis. Jadi Ara enggak berani nelfon duluan, gak pengen ganggu suaminya itu.


“Bianca!” panggil Julian. Cowok itu lari dari parkiran hingga ke loby demi nyamperin Bianca.

Hari ini Julian baru lihat Bianca lagi di kantor, wanita itu baru kembali bekerja setelah dinas di luar kota beberapa hari. Waktu Julian manggil, Bianca senyum raut wajahnya juga terlihat biasa saja, kaya enggak pernah terjadi apa-apa sama mereka sebelumnya. Dan jujur itu yang membuat Julian bingung.

“Hai, good morning.” sapa Bianca.

“Gue bisa ngomong sama lo sebentar?” ucap Julian tanpa menjawab sapaan Bianca, dia juga masih mengatur nafasnya karena berlari dari parkiran motor sampai ke loby.

“Boleh, mau ngomong dimana?” Bianca udah bisa tebak pasti Julian mau bicara soal malam mereka waktu itu, ah Bianca pikir Julian sudah lupa soal itu.

“Di rooftop.”

Keduanya akhirnya naik ke rooftop, masih ada 30 menit lagi sebelum jam kerja mereka mulai. Dan Julian rasa ini cukup untuk membicarakan tentang masalah mereka waktu itu, beruntung nya rooftop pagi itu sepi, enggak ada orang lain di atas selain mereka berdua, iya lah. Ini kan masih pagi, lagi pula mendung ngapain juga karyawan lain di atas? Pikir Julian.

“Bi, gue minta maaf soal malam itu. Gue benar-benar minta maaf,” ucap Julian to the point dia benar-benar nyesal udah kurang ajar sama Bianca yang malam itu cuma nolongin dia dari hujan.

Bianca yang liat Julian nunduk itu cuma bisa terkekeh pelan, enggak ada raut wajah kesal, benci apalagi jijik sama Julian. Dia justru makin gemas sama sikap Julian yang ia anggap polos itu.

“Jul, lo minta maaf karna udah nidurin gue?” tebak Bianca.

“Ssstttt!!” karna takut ada yang dengar Julian naruh telunjuknya di bibirnya sendiri, menyuruh Bianca untuk diam. Dia benar-benar takut ada orang lain yang dengar.

“Kenapa sih? Gak ada siapa-siapa juga.”

“Ya tetap aja jangan keras-keras ngomongnya gue malu.”

Bianca menggeleng pelan, Julian benar-benar kaya mainan baru buat dia. Walau sebenarnya Bianca sendiri enggak tega karena Julian terlalu polos dan agak sedikit menyedihkan buat dia, ya gimana enggak. Bianca udah tau fakta kalau Julian suka sama cewek yang udah punya Suami.

“Santai aja, Jul.”

“APA?!” pekik Julian, sekarang malah gantian dia yang ngeggas.

“Tuh, yang teriak siapa coba?” sindir Bianca.

Julian memejamkan matanya, “enggak, tadi lo bilang apa barusan? Santai?”

Bianca mengangguk, “kenapa sih emang? Gue enggak merasa lo perkosa. Karena malam itu juga gue mau. Kita pakai consent walau elo mabuk.”

Julian terdiam, dia benar-benar enggak habis pikir sama yang Bianca omongin, jadi malam itu Bianca juga menginginkannya? Padahal Julian mikirin hal ini sampai rasanya dia setress sendiri. Dia gak bisa bayangin kalau Bianca hamil dan dia harus tanggung jawab.

“Bi, tapi—”

“Lo gak usah takut gue hamil, Jul. Gue juga gak akan biarin itu, gak usah lo ambil pusing yah.”

Julian masih diam aja, dia justru bersandar pada dinding. Masih sulit mencerna kaya apa Bianca sebenarnya. Dan itu justru membuat Bianca tambah gemas, dia tepuk pundak Julian pelan sampai lamunan cowok itu buyar dan kini menatapnya.

“tapi gue boleh nanya sesuatu gak?” tanya Bianca.

Julian mengangguk, “tanya apa?”

“Ara itu siapa lo? Soalnya malam itu lo nyebut-nyebut dia terus.”

Ah benarkah? Kalau begitu ini justru lebih memalukan lagi dari yang Julian pikir. Bisa-bisanya malam itu dia menyebut nama Ara? Tapi kalau boleh jujur, malam itu saat ia mabuk yang ia lihat memang ada Ara, cewek yang tidur bersama nya itu terlihat seperti Ara makanya waktu Julian bangun rasanya kaget banget waktu dia tahu Bianca tidur di sebelahnya.

Ting

Ting

Pada bunyi bel kedua apartement nya, Bianca membiarkan adonan roti nya itu ia tinggalkan sebentar untuk membukakan pintu apartement nya. Sebelum membukakanya, seperti biasa Bianca mengintip dulu dari lubang kecil di pintunya, di luar sana ada seorang cowok dengan perawakan tinggi besar dengan masker wajah menutupi separuh wajahnya. Namun dari matanya saja Bianca sudah bisa mengenali laki-laki itu siapa.

Ting

Ting

Bianca mengehala nafas, akhirnya dengan separuh hati ia bukakan pintu itu dan si laki-laki langsung tersenyum begitu Bianca membukakan pintu. Tidak ada senyum di wajah Bianca, ia hanya berjalan ke dapur nya dan kembali menguleni adonan roti yang tadi sedang ia kerjakan.

“Kok lama banget bukain pintu nya?” tanya si laki-laki, itu Damian. Pacar Bianca, ah. Lebih tepatnya pacar sembunyi-sembunyinya Bianca.

“Lagi nguleni adonan roti.” tanpa memperhatikan Damian, Bianca terus fokus pada adonan di depannya itu.

“Kok kaya gak suka gitu aku ke sini?” karena dari tadi enggak ada senyum di wajah Bianca, Damian jadi sedikit tersinggung. Seperti dia merasa kehadirannya tidak di harapkan oleh wanita itu padahal sudah hampir 2 minggu mereka enggak ketemu.

Bianca menghela nafasnya, lagi-lagi adonan rotinya harus ia abaikan demi berbicara serius sama Damian. Ini sudah yang kesekian kalinya Bianca harus menahan amarahnya begini. Sebelum mengobrol serius dengan Damian, Bianca cuci dulu tanganya kemudian berjalan ke pantry dan duduk berhadapan dengan laki-laki di depannya itu.

“Dam, udah berapa kali sih aku bilang ke kamu kalo aku udah capek sama hubungan kita?” tanya Bianca. Laki-laki di depannya itu hanya menyeringai kemudian menenggak sekaleng bir yang tadi dia ambil di kulkas dapur Bianca.

Setelah pertemuan terakhir mereka di apartemen Bianca, Bianca sempat bilang jika ia ingin mengakhiri hubungan mereka. Bianca sudah lelah, hubungan mereka tidak sehat dan ia ingin semuanya berakhir. Bianca hanya ingin hidup tenang.

“Tapi gue enggak!” jawab Damian tegas.

“Dam, please lo masih betah sama hubungan ngumpet-ngumpet kita kaya gini?”

“Iya,” Damian mengangguk tegas, enggak ada keraguan di matanya sedikit pun sama jawabannya. “Gue mau kita kaya gini terus, kenapa emang?”

Bianca menghela nafasnya, susah sekali berhadapan sama laki-laki egois seperti Damian ini. Kepalanya sampai pening rasanya, jika di tanya masih ada perasaan atau tidak dengan Damian. Jawaban Bianca adalah tidak, dia udah capek hidup seperti ini. Dia capek harus jadi pacar gelap nya Damian, yup. Pacar gelap karena Damian itu sudah berumah tangga.

Gak sekali atau dua kali Bianca dapat ancaman dari Istrinya Damian, bahkan mobil Bianca pernah di rusak atau bahkan rem nya di buat blong oleh orang suruhan istrinya Damian. Yang paling parah adalah, ia pernah di pukuli oleh Istrinya langsung hingga babak belur.

“Gue capek, Dam. Lo tau gak kalo Sherly nyuruh orang akhir-akhir ini buat mata-matain gue? Dia ngacam mau bunuh gue!” alasan Bianca menghilang dari Jakarta seminggu ini selain ada kerjaan dari Jenara, ia juga menghindari orang suruhan Sherly, istrinya Damian. Bianca sempat dapat ancaman akan di bunuh jika terus menghubungi Damian, itu juga yang jadi alasan Bianca enggak membalas pesan dari Julian karena dia sempat takut melihat ponselnya sendiri setelah mendapat ancaman itu.

“Sherly istri gue, dia mungkin sinting. Tapi gue tau banget dia gak mungkin ngebunuh elo.” Damian sempat diam, dia menelisik wajah Bianca bahkan dari atas sampai bawah kakinya.

“Kenapa? Udah bosen lo sama gue? Udah nemu laki-laki lain? Udah tidur lo sama cowok lain kan?”

“Dam, apaan sih?!”

“Gausah bohong lo! Tidur kan lo sama cowok lain?!”

Tidak ada jawaban dari bibir Bianca, jujur ia takut. Apa jangan-jangan Damian sudah mengetahuinya? Atau jangan-jangan Damian menaruh kamera tersembunyi di apartemennya sampai dia tahu kalau Bianca pernah tidur sama cowok lain? Pikir Bianca.

“JAWAB!!!”

“IYAAA GUE TIDUR SAMA COWOK LAIN PUAS LO?!” bentak Bianca, dia udah muak di tuduh terus walau kali ini tuduhan Damian ada benarnya. Ia harap dengan ia jujur seperti ini Damian bisa meninggalkannya. Karena berbohong pun percuma, kalau Damian tahu dari orang lain itu artinya Julian dalam bahaya.

“Wah..” Damian terkejut, matanya membulat kemudian tersenyum miris. “Udah banyak cowok yang tidur sama lo, iya?”

Karena Damian semakin mendekat, Bianca berjalan mundur. dia udah bisa membaca apa yang akan Damian lakukan padanya. Ini udah jadi pemandangan sehari-hari bagi Bianca jika ia menginginkan pisah dari cowok itu, 3 tahun yang lalu Bianca bertemu Damian di sebuah club.

Awalnya mereka cuma dekat sebagai teman ngobrol karena waktu itu Bianca habis putus sama pacarnya sewaktu SMA. Tapi siapa sangka justru dengan cepat Bianca melupakan mantan pacarnya itu dan menjalin hubungan sama Damian, awalnya Damian bagi Bianca itu adalah cowok yang manis, perhatian, penyayang, lembut dan sangat amat royal. Buktinya saja apartemen dan mobil milik Bianca itu adalah pemberian Damian, sampai akhirnya Damian berubah jadi monster mengerikan seperti di depannya saat ini.

Waktu itu Damian cemburu karena Bianca di antar pulang oleh teman kantor nya, waktu itu mobil Bianca ada di bengkel. Damian yang tahu itu marah banget dan nuduh Bianca yang enggak-enggak sampai Bianca berakhir di pukuli.

Dan titik terparahnya adalah saat diam-diam Bianca nyari tahu soal Damian, awalnya Bianca curiga karena Damian enggak pernah mau buat kencan di luar, seperti nonton bioskop, makan malam di restoran atau apapun itu yang memperlihatkan bahwa mereka pacaran. Dan ternyata Bianca telat menyadari kalau Damian sudah memiliki keluarga, Damian punya istri dan anak di rumahnya.

Awalnya Bianca masa bodo dengan hal itu karena jujur Damian sangat royal dengannya, Bianca bisa beli apapun yang dia mau dari Damian bahkan liburan sekalipun. Yah, meski enggak di pungkiri kalau gaji yang ia dapat dari bekerja sebagai divisi marketing di brand milik Jenara Kim juga dapat menghidupinya. Tapi rasanya akan beda kalau bukan pakai uang dari hasil kerja kerasnya, ia bisa menghambur-hamburkan uang itu sesuka hatinya.

Tapi lama kelamaan setiap hari Bianca ngerasa capek, enggak nyaman dan dia ingin mengakhiri semuanya bersama Damian. Bahkan Bianca bilang kalau ia siap meninggalkan apartemen dan mobil yang di berikan untuknya dari Damian.

“Kasih tau gue siapa cowoknya!!” teriak Damian setelah laki-laki itu puas memukuli Bianca. Enggak ada sama sekali perasaan bersalah melihat wajah Bianca yang lebam dan bibirnya yang sobek.

“Yang jelas dia lebih baik dari pada lo.” biarpun sudah babak belur Bianca enggak takut lagi sama Damian, dia bahkan rela di bunuh sekalipun asalkan ini semua berakhir.

“Brengsekkk!!!” Karena kesal, Damian mengeluarkan ponselnya. Dia nunjukin sebuah video dan foto-foto Bianca yang berhasil bikin Bianca takut setengah mati.

“Bilang ke gue siapa cowoknya atau foto sama video lo ini gue sebar!!” dan ancaman dari Damian tersebut mampu meluruhkan pertahanan Bianca, dia diam. Tapi Bianca juga kekeuh buat gak ngasih tau siapa cowok yang sudah tidur dengannya. Julian enggak salah apa-apa, bocah polos itu. Bianca enggak mau nyeret orang lain lagi ke masalahnya.


“Kok tumben jam segini baru pulang, Mas?” ucap Ibu waktu bukain pintu buat Julian.

Ini sudah jam 12 malam, Julian emang enggak langsung pulang sehabis kerja. Dia sempat mampir ke rumah Naufal dulu, temannya waktu SMP dan mengobrol sebentar. Gak di sangka obrolan dengan teman lamanya itu justru membuat Julian enggak sadar sampai tahu-tahu sudah malam.

“Abis main basket sama Naufal, Buk.” Julian duduk di sofa ruang tamunya, mengusap wajahnya dengan kasar kemudian tersenyum ke arah Ibu nya yang duduk di sebelahnya.

“Baik kabarnya dia?” tanya Ibu.

“Baik, Buk.”

Ibu tersenyum, ia mengusap bahu anak sulungnya itu. “Makan gih, Mas udah makan?”

Julian menggeleng pelan, ia sebenarnya sudah makan. Namun enggak apa-apa makan sedikit saja karena Ibu sudah memasak untuknya.

“Belum, Buk.”

“Makan gih.”

Julian mengangguk, “Mas mandi sama ganti baju dulu yah, Buk.”

“Mas?”

“Kenapa, Buk?” baru saja Julian ingin ke kamarnya namun Ibu justru memanggilnya.

“tadi Ara telfon.” ucap Ibu yang berhasil membuat hati Julian mencelos.

“Hm, bilang apa?” Ara memang dekat sama Ibu, meski enggak pernah menjalin hubungan. Julian memang pernah mengenalkan Ara pada Ibunya, selain itu Ara juga lah yang membantu usaha catering Ibu yang waktu itu hampir bangkrut, Papa nya Ara yang mempromosikan catering Ibu sampai akhirnya banyak kantor-kantor yang mau bekerja sama dengan Ibu untuk makan siang karyawannya.

“Nanyain kabar Ibu aja, sama sekalian mau catering buat acara pengajian empat bulan kandunganya, bulan depan.”

Julian mengangguk ada perasaan perih bercampur kangen sama cewek itu, Julian senang Ara masih menghubungi Ibu nya walau itu juga yang membuat Julian semakin sulit melupakannya.

“um..” Julian mengangguk.

“Ara sudah bahagia, Mas. Sekarang Mas juga harus bahagia yah.”

Julian menunduk, sejak hari dimana Ara ngasih tahu kalau dia akan menikah dengan Yuno. Julian lupa bagaimana caranya membahagiakan dirinya sendiri, dia terlalu menjadikan Ara sebagai pusat dunia nya dan sumber kebahagiaanya.

“Malam, Mah, Pah.” sapa Ara yang baru saja turun dari lantai dua kamar Yuno.

Malam ini mereka makan malam bersama di meja makan, ada Mama dan Papa Yuno, biasanya Ara hanya makan sendiri karena mertua nya itu biasanya pulang agak sedikit larut. Biasanya kalau makan malam, Ara suka ngajak Budhe yang bekerja di rumah Yuno itu makan bersama menemaninya. Ara itu enggak suka makan sendirian.

Kadang kalau Yuno sedang tidak jaga di rumah sakit, ia akan melakukan panggilan video dengan Suaminya itu. Akhir-akhir ini Ara lagi ngerasa sedih terus, dia gak tahu ini hormon Ibu hamil atau memang ia benar-benar merindukan Yuno.

Rasanya pengen banget terbang ke Jerman, tapi sayangnya kuliahnya belum libur. Selama tinggal di rumah keluarga Yuno, Ara sedikit banyaknya jadi tahu bagaimana rasa kesepian Suaminya itu dulu. Karena baru tinggal 2 minggu disini saja rasanya Ara sudah sangat kesepian, makanya kadang dia suka pulang ke rumahnya sendiri. Atau mengajak Cindy dan Kinan jalan-jalan, apapun itu asalkan dia enggak merasakan kesepian di rumah yang besar ini.

“Malam, nak.” jawab Papa.

“Ara?” suara halus dari Mama mertua nya itu membuat Ara menoleh, ternyata dari tadi Mama merhatiin Ara yang nampak lesu dengan mata sedikit memerah. Wajahnya juga sembab, seperti habis menangis semalaman. “Kamu habis nangis, Nak?”

Ara mengangguk, dia gak mau bohong. Toh wajahnya tidak bisa di sembunyikan kalau dia memang habis menangis.

“Kenapa, Nak?” kali ini Papa yang bertanya.

“Ara kangen Mas Yuno, Mah, Pah.” baru menjawab satu pertanyaan saja air mata Ara kembali mengalir, untungnya Mama buru-buru membawa Ara ke pelukannya.

“Sabar yah, sayang. Cuti kamu dikit lagi, nanti kalau sudah ngajuin cuti ke kampus, Mama temenin jenguk Yuno yah?” Mama mengusap-usap punggung menantunya itu, berharap Ara bisa sedikit lebih tenang.

“Tapi Yuno ngabarin kamu terus kan, Nak?”

Ara mengangguk, Yuno memang enggak pernah absen buat ngabarinnya. Sebentar pun Yuno akan menyempatkan untuk menelfon Ara atau mengirimi Istrinya itu voice note. tapi, yang Ara butuhkan lebih dari itu. Dia butuh Suaminya ada bersamanya, Ara tahu ini terdengar kekanakan tapi rasanya cuma kehadiran Yuno yang bisa membuat dia jauh lebih tenang.

“Ngabarin, Pah. Tapi emang Mas Yuno lagi sibuk banget, jadi enggak bisa sering-sering face time.” jawab Ara di tengah-tengah sesegukkanya.

“Yuno kan memang lagi koas, Nak. Kamu masih kuliah kan?” Papa cuma mau mastiin kalau Ara masih ada kegiatan, maksudnya enggak cuma berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa, karna itu mungkin bisa membuat menantunya itu jenuh dan lebih merindukan Suaminya.

“Masih, Pah. Tapi hari ini cuma kelas online dan 1 mata kuliah.”

“Mau Papa daftarkan yoga? Atau kamu mau ikut workshop? Biar Ara enggak jenuh di rumah terus.”

Ara enggak langsung menjawab, dia justru natap Mama mertuanya itu sampai beliau mengangguk, Mama pikir itu ide bagus. Setidaknya kalau punya kesibukan selain kuliah, Ara jadi enggak merasa jenuh di rumah. Mama tau Ara suka keluar bersama teman-temannya, tapi itu pun enggak sering karena kedua temannya juga bekerja.

“Boleh, Pah.”

“Nanti Papa kirimkan alamatnya yah, ikut kelas yoga saja dulu. Memang kamu mau ikut apa?”

“Ara mau ikut kelas memasak sebenarnya, Pah. Sama akhir-akhir ini tertarik buat bikin parfum.”

Kini obrolan di meja makan jadi lebih santai, mertua nya itu banyak menyarankan Ara berbagai macam workshop menarik yang bisa Ara ikuti, kolega Papa juga ada yang memiliki beberapa kelas yang bisa Ara ikuti salah satunya adalah kelas memasak, parenting dan juga merangkai bunga.

“Kamu masih aktif di akun youtube mu, sayang?” Mama tahu Ara cukup terkenal di internet, bahkan Mama juga pernah mengajak Ara untuk menjadi pembicara di beberapa seminar tentang mental health.

“Masih, Mah. Cuma aku ngurangi jadwal upload video biasanya kan seminggu sekali ini jadi 10 hari sekali aja.”

“Kenapa, Nak? Ara capek? Mungkin butuh tim buat kamu bikin video?” Mama juga tahu Ara melakukan semuanya sendiri, mulai dari take video, mengedit nya bahkan untuk make up dan mencari ide untuk kontennya, setahu Mama biasanya konten kreator itu punya tim nya sendiri. Mungkin saja Ara kerepotan melakukan itu semua sendiri.

“Enggak juga sih, Mah. Ara memang lagi fokus aja sama kuliah, sama Mas Yuno gak terlalu suka sering update kehidupan pribadi, sedangkan akhir-akhir ini Ara kehabisan ide buat konten.” Ara meringis, Yuno memang melarangnya membuat konten seputar kehidupan sehari-harinya. Ara tahu kok maksud Yuno baik, dia cuma gak mau orang-orang di internet jadi ngorek-ngorek kehidupan mereka lagi.

Yuno bukan ngelarang Ara sepenuhnya buat jalanin chanel youtube nya, hanya saja Ara tahu batasan apa yang bisa dia upload dan apa yang enggak perlu dia upload. Dan menurut Ara ada benar nya juga, karena semenjak kembali pada tujuannya membuat chanel yaitu untuk mengedukasi, enggak ada lagi tuh komen-komen buruk atau komen yang menyinggung kehidupan pribadinya lagi. Terutama hubungan nya dengan Yuno.

“Kamu kalau butuh apa-apa bilang Mama dan Papa yah, Ra. Kami kan juga orang tua kamu.”


Hari ini IGD sibuk sekali, bahkan ini sudah terhitung lewat dari jam shift nya namun Yuno urung pulang, ada kecelakaan mobil yang menyebabkan beberapa korban di larikan ke rumah sakit tempat Yuno koas.

Yuno bahkan melupakan kalau kepalanya sedikit nyeri karena melewatkan jam istirahatnya, dia terlalu sibuk untuk bisa merasakan sakit di kepalanya karena sedari tadi dia sibuk membantu dokter di IGD seperti memasang infus, memberikan transfusi darah bahkan menyiapkan ruang operasi.

“Yuno!”

Panggil dokter Smith beliau adalah konsulen Yuno di stase bedah, terkenal tegas dan jarang sekali tersenyum. dokter Smith ini orang Jerman keturunan Indonesia, Ibu nya berasal dari Indonesia makanya dokter Smith ini lumayan fasih berbahasa Indonesia walau logat nya tetap terdengar aneh di telinga Yuno.

Dengan cepat Yuno berlari ke arah dokter Smith yang sedang sibuk dengan pasien yang tengah ia tangani, padahal Yuno baru mengatur nafasnya sebentar setelah dia selesai menjahit luka di kaki pasien yang tadi ia tangani.

“Ya, dok?” ucap Yuno terengah-engah.

“Bantu saya.”

Yuno menghela nafasnya lagi, namun dokter Smith menoleh ke arahnya yang berhasil membuat Yuno buru-buru menyiapkan segala alat-alat yang akan mereka pakai untuk menangani pasien.

“Stetoskop,” ucap dokter Smith, dengan sigap Yuno langsung mengambil stetoskop dan memberikannya pada konsulen nya itu.

Sembari menunggu dokter Smith memeriksa pasien, Yuno memejamkan matanya. Kepala nya makin pusing rasanya dan perut nya benar-benar lapar.

“Di paru-paru kanan nya tidak ada suara nafas, kenapa?”

“Yah?” jawab Yuno spontan, dia memang sedang tidak fokus dan itu membuat dokter Smith menghela nafasnya kemudian membulatkan matanya memperingati Yuno.

“Fokus, Yuno!”

“Ma..maaf, dok.” Yuno menunduk, dia jadi merasa bersalah karena enggak fokus sama apa yang di omongin dokter Smith.

“Di paru-paru kanan tidak ada suara nafas, kenapa?” dokter Smith mengulangi ucapannya lagi.

Pneumotoraks¹” jawab Yuno lantang.

“Lalu?”

“Pneumotoraks ketegangan.” Yuno memang percaya diri dalam mendiagnosis pasien nya. Dan itu membuat dokter Smith suka mengajak Yuno untuk membantunya, meski kadang Yuno kerap kali menguji kesabaranya karena sering sekali tidak fokus.

“Apa yang akan kamu lakukan sama pasien ini?”

“Penusukan, udara harus di keluarkan dari paru-paru.”

Yuno mengambil jarum dan memberikannya pada dokter Smith, kepalanya yang tadi nyeri itu rasanya hilang. Yuno harus kembali fokus pada pasien yang sedang ia tangani ini.

dokter Smith akhirnya melakukan penusukan di bagian dada kanan pasien laki-laki tersebut, memang ada udara yang keluar dari sana namun pasien laki-laki tersebut belum kunjung sadar. Dan itu membuat Yuno sedikit panik, dia takut salah diagnosis

“dok, kalau ini penumotoraks harusnya pasien sadar dan batuk.” jujur tangan Yuno bergetar, selain karena lapar dia juga takut diagnosis nya salah.

Akhirnya dokter Smith memeriksa mata pasien laki-laki tersebut, raut wajahnya tenang. Enggak ada keraguan sama sekali, seperti ini memang menjadi makanan sehari-hari nya selama praktik di rumah sakit.

“Enggak ada respons, dok.” ucap Yuno.

“Pembedahan otak papiledema, apa itu?” tanya dokter Smith yang membuat Yuno semakin bingung.

“Ah, pembuatan sayatan kecil pada selubung saraf optik, apa mungkin ada pendarahan di otaknya? Kalau gitu harusnya kita lakukan CT kan, dok?” jelas Yuno.

Setelah melakukan tindakan pada pasien barusan sampai selesai, Yuno baru bisa keluar dari ruang operasi dengan nafas lega. Operasi kedua nya hari ini, benar-benar hari yang panjang dan membuat badannya benar-benar letih.

Dia jalan dengan gontai ke ruang istirahat sebelum nantinya dia akan pulang ke apartemen nya, sebelum berganti pakaian Yuno memeriksa ponselnya dulu.

Ia tersenyum mendapati pesan dari Ara dan foto istrinya itu yang sangat dia rindukan, jujur akhir-akhir ini lumayan berat untuk Yuno. Tapi celotehan-celotehan dari Istrinya itu membuat Yuno tetap semangat dan bertahan, dia harus jauh lebih kuat karena sebentar lagi dia akan menjadi orang tua.

“Sabar yah, Sayang. Aku janji bakalan bikin kamu bangga,” gumam nya.

¹Pneumotoraks: udara yang terhimpun karena paru-paru berlubang

part ini di terispirasi dari drama The Trauma Code 2025

Bukan Julian enggak dengar soal desas desus di kantor nya pagi ini, dia hanya mengabaikan dari beberapa mulut yang sedari tadi berbisik sembari melayangkan makian yang masih dapat Julian dengar. Begitu sampai di meja nya Julian menelisik keadaan sekitar, semua karyawan fokus pada ponsel mereka sembari sesekali berbisik.

Julian penasaran, namun enggak ada yang memberi tahunya ada apa sebenarnya. Jadi Julian berusaha untuk berpura-pura enggak peduli, ia langsung membuka laptop miliknya dan membuka surel nya untuk memeriksa beberapa pekerjaan.

Sampai akhirnya Kian menghampiri meja Julian dan menepuk pundak laki-laki itu, membuat atensi Julian teralihkan dari laptop miliknya yang sudah menampakan sederet surel pekerjaan yang harus Julian selesaikan hari ini.

“Lo udah tau belum?” bisik Kian, kepalanya menoleh ke kanan kiri memastikan tidak ada orang lain yang mendengar ucapanya pada Julian, padahal sekitarnya juga melakukan hal yang sama.

“Ada apaan sih, Mas?” Julian penasaran, tapi dia emang sengaja enggak mau nanya-nanya. Masih sungkan, toh ia yakin ini bukan soal kerjaan. Paling-paling gosip di kantor saja dugaanya.

“Ini liat!!”

Kian memberikan ponselnya pada Julian, ada beberapa foto disana yang membuat Julian tercengang. Tangannya sedikit bergetar dan jantungnya berdetak lebih kencang, bagaimana tidak disana ada foto-foto Bianca tanpa busana, bahkan enggak cuma satu tapi ada beberapa. Bahkan ada video 10 dengan durasi 10 detik yang membuat Julian mencelos, Julian enggak putar video itu. Ia hanya melihat cover depan video itu saja, tidak sampai hati membukanya.

“Bianca, Jul..” bisik Kian sekali lagi.

“Ini dari mana?” tanya Julian, kalau di lihat-lihat sepertinya video dan foto-foto itu di ambil dari kamera tersembunyi. Apa ini revenge porn? pikir Julian.

“Ini udah kesebar banget di internet please, elo gak buka sosmed pagi ini?”

Julian menggeleng, dia sama sekali enggak mikirin soal video dan foto-foto itu. Yang dia pikirkan sekarang adalah Bianca, kemana wanita itu dan bagaimana keadaanya?

Ekor mata Julian melirik ke meja Bianca yang kosong, teman-teman Bianca yang lain juga tidak menggubris beberapa karyawan yang bertanya soal kebenaran foto-foto itu dan video yang tersebar. Bianca memang agak sedikit membuat Julian bingung, tapi wanita itu baik. Julian juga banyak cerita soal Ara pada Bianca.

“Te..terus sekarang dia kemana?” tanya Julian pada Kian.

“Enggak tau, Jenara aja gak tau dia dimana. resign kali yah?”

Julian memejamkan matanya, seharian ini bekerja pun rasanya enggak fokus. Dia mikirin gimana nasib Bianca temannya itu, jadi, setelah jam pulang kantor Julian buru-buru membereskan barang-barangnya dan bertanya pada dua teman dekat Bianca, ia menjegal jalan kedua perempuan itu menuju parkiran mobil.

sorry gue boleh nanya sesuatu sama kalian?” sapa Julian, ini pertama kalinya Julian bicara pada dua teman Bianca di luar perihal kerjaan.

Kedua perempuan itu memandang Julian dengan tidak nyaman, bahkan ada raut wajah tidak suka pada perempuan yang memakai hijab itu. Keduanya sudah lelah di tanya-tanya mengenai Bianca seharian ini, mereka berdua tidak mau terseret dalam masalah Bianca hanya karena mereka berdua temannya.

“Kalo lo mau nanya soal foto dan video itu beneran Bianca apa bukan, sorry gue enggak mau jawab itu.”

“O..ohh bukan-bukan, gue bukan mau nanya itu. Emang masih soal Bianca tapi bukan soal apa yang lagi di omongin sama yang lain,” jelas Julian, wajahnya panik. Dia takut dua teman Bianca itu pergi. Dan dia kehilangan orang untuk di tanyai dimana sekarang Bianca.

“Nanya apa?” tanya perempuan berhijab yang sedari tadi menampakan wajah tidak sukanya pada Julian.

“Bianca sekarang dimana?”

Keduanya saling melempar pandangan satu sama lain, kemudian menelisik wajah Julian. seperti sedang bingung harus memberi tahu Julian atau tidak, pasalnya mereka berdua juga tidak mengenal Julian dekat. Mereka hanya tau Julian dan Bianca memang baru berkenalan, itu pun mereka lihat sendiri saat jam lembur bukan karena Bianca yang bercerita.

“Kenapa lo mau tau Binaca dimana?”

“Gue cuma mau mastiin kondisinya aja, gue temannya. Akhir-akhir ini gue banyak cerita ke Bianca, makanya gue mau tau kabar dia gimana” Julian memejamkan matanya, mutar otak bagaimana cara meyakinkan dirinya tidak ada niat jahat pada kedua teman Bianca.

“Gini, gue sama sekali gak mau nyinggung soal foto itu. Gue cuma mau tau keadaan Bianca aja.”

“Bianca di rumah sakit, Jul.”

“Rumah sakit?”

Kedua teman Bianca itu mengangguk, keduanya menceritakan apa yang terjadi pada Bianca dan bagaimana kondisinya sampai sekarang, memang enggak semuanya. Tapi sedikit banyaknya Julian bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang terjadi pada Bianca.

Karena ingin melihat langsung kondisi Bianca, Julian langsung pergi ke rumah sakit yang teman Bianca beri tahu. Dia mau tahu keadaan wanita itu, Bianca emang gak pernah cerita banyak tentang dirinya pada Julian. Ada banyak hal yang bikin Julian bertanya-tanya seperti apa Bianca itu.

Dia bukan tertarik pada Bianca karena malam itu, hanya saja, Julian cukup bersimpati sama Bianca, wanita itu cukup baik. Enggak seperti apa yang karyawan-karyawan gosipkan tentang dirinya.

Begitu sampai di rumah sakit, Julian berdiri di depan kamar rawat Bianca. Dia enggak langsung masuk, dia menimang dulu bagaimana reaksi Bianca nanti. Dia takut di usir karena mungkin saja Bianca malu, tapi rasanya dia benar-benar butuh memastikan kondisi wanita itu. Persetan dengan Bianca yang bisa jadi mengusir nya, yang penting sekarang dia harus tahu kondisi wanita itu.

Jadi dengan pelan-pelan Julian buka pintu ruang rawat Bianca, waktu Julian masuk. Bianca lagi duduk di ranjangnya membelakanginya, wanita itu sedang melamun menatap gedung-gedung tinggi dari jendela kamar rawatnya.

“Bi, ini gue Ijul.” sapa Julian.

Bianca menoleh sedikit, hanya setengah wajahnya saja yang bisa Julian lihat. Kayanya Bianca sedang menangis, Julian bisa mendengar dari tarikan nafasnya yang berat dan sisa isak nya yang wanita itu tahan.

“Duduk, Jul.” Bianca membalikan badannya, duduk bersila di atas ranjangnya menghadap Julian. Masih ada senyum disana, walau kedua matanya sembab. Bianca emang gak ngusir Julian walau sebenarnya dia ingin sendiri, toh biar bagaimana pun Julian enggak salah dia gak tau apa-apa dan Bianca cukup lega ada orang lain yang menjenguknya, setelah 2 hari dia di rawat.

Setelah Julian perhatikan, dia baru sadar kalau wajah Bianca lebam-lebam. Bibirnya juga tampak seperti ada jahitan, jadi, dalam hati Julian menyupah serapahi laki-laki yang berani memukuli perempuan seperti ini.

“Gue tadi ke sini bawa roti, bingung lo sukanya apaan.” Julian nyengir, rasanya agak canggung dia takut salah bicara dan menyinggung Bianca.

thanks yah, Jul.”

Julian mengangguk, “lo sakit apa, Bi?” tanya Julian hati-hati.

“Gue abis di pukulin, Jul.” rasanya seperti ada kawat berduri yang melilit tenggorokan Bianca, sakit dan sulit membuatnya untuk membicarakan tentang hari itu.

“Kalau lo belum siap cerita gapapa, Bi. Gue cuma mau tau kondisi lo aja.” Julian cuma gak mau bikin Bianca enggak nyaman, dia memang enggak pernah berada di posisi ini. Tapi Julian paham kalau ini enggak mudah bagi Bianca.

“Lo sama siapa ke sini, Jul?” Bianca emang belum siap cerita, makanya dia ngalihin ke topik pembicaraan yang lain.

“Sendiri, sorry yah gue nanya soal lo dimana sama Dinda dan Mia. Abis HP lo gak bisa di hubungin.”

Bianca mengangguk, meski wajahnya masih nyeri dia berusaha untuk tersenyum. Ternyata Juliam benar-benar perduli dengannya, Bianca menyesal sempat ingin menjadikan Julian sebagai mainanya. Padahal Julian benar-benar baik dan agak sedikit polos.

“Gapapa, Jul.”

“Ka..lo masih sakit jangan di paksain nyengir gapapa.”

Ucapan Julian itu terdengar lucu di telinga Bianca, dia jadi tertawa meski berakhir meringis karena bibirnya yang masih ngilu.

“Malah ketawa lagi lu.” padahal ucapannya enggak lucu tapi Julian heran kenapa Bianca ketawa.

“Gapapa, lo lucu aja.”

“Ye.. Emangnya gue Komeng.”

Karena makin asal bicara, Bianca jadi nepuk pundak Julian yang lagi-lagi bikin dia kepengen ketawa. Sifat Bianca aslinya itu receh, dia mudah banget ketawa sama hal-hal sederhana seperti ini.

“Sakit anjir. Lo tuh lagi sakit tapi tenaga nya udah kaya kuli tau gak,” hardik Julian.

“Makanya jangan asal ngomong!”

Julian tersenyum, agak sedikit bersyukur karena Bianca mau ketawa karena nya. “Lo sendirian disini?”

Biasanya kan rumah sakit akan menyarankan untuk setidaknya satu keluarga pasien berjaga menunggu pasien yang sedang di rawat inap, tapi Julian enggak liat ada keluarga Bianca.

“Mau sama siapa lagi emang? Gue yatim piatu,” jawab Bianca enteng, seolah-olah itu bukan hal yang menyedihkan lagi baginya.

“Ah—” Julian menggaruk kepala belakangnya, dia jadi enggak enak karna udah nanya begini. “sorry, Bi. Gue enggak tau.”

“Gapapa, Jul. Gue enggak kesinggung kok, gue emang anak yatim piatu dari kecil. Gue itu besar di panti.”

Bianca memang besar di panti asuhan, lebih tepatnya dia sebatang kara, enggak tahu dimana keberadaan keluarga aslinya. Bianca bisa keluar dari panti asuhan karena dia di adopsi waktu umurnya 15 tahun, Bianca di sekolahin sampai akhirnya di kuliahin. Tapi sayangnya dia enggak pernah tahu siapa orang yang sudah mengadopsinya.

Bianca hanya di beri rumah, di beri uang jajan, makanan dan di sekolahkan tanpa tahu orang tua adopsi nya. Bagi Bianca rasanya ia seperti menjadi peliharaan saja, Bianca benci itu. Sampai akhirnya Bianca memutuskan untuk pergi dari kotanya dulu dan hidup mandiri di Jakarta.

Semua kelakuan nyeleneh Bianca selama ini itu hanya karena dia kurang perhatian, dia ingin orang tua adopsi nya itu memunjukan dirinya pada Bianca. Ia ingin rasa penasaranya terjawab, Bianca tadinya enggak mau cerita hal ini sama siapa pun, tapi entah kenapa ia bisa percaya pada Julian. Toh, kartu Julian tentang ia yang suka sama Istri orang juga sudah Bianca pegang.

“Gue jadi peliharaan orang waktu umur 15 tahun sampai 21—”

“Peliharaan?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

Bianca mengangguk. “Um, karena gue enggak pernah liat muka orang yang udah adopsi gue dari panti.”

“Orang tua angkat lo?”

“Kalo dia orang tua angkat gue, harusnya dia muncul, Jul. Bukan cuma menuhin kebutuhan gue kaya hewan peliharaanya dan biarin gue kesepian.”

“Bi, sorry.

Bianca menggeleng, “gapapa, Jul. Lo masih mau dengar cerita gue?”

“Kalau lo nyaman ceritanya, gue masih mau dengar kok.”

Bianca tersenyum, dia sungguh tersentuh karena Julian sebaik itu padanya. Dia jadi mikir, kenapa gadis bernama Ara itu bisa dengan bodohnya enggak milih Julian aja.

“Karena gue kesal, gue pergi dari kota gue tinggal, Jul. Gue hidup sendiri dan kerja buat menuhin kebutuhan gue. Gue sering kesepian, Jul. Makanya gue sering pergi ke club malam” Bianca enggak lihat ada perubahaan ekspresi di wajah Julian yang tenang, sama sekali enggak kaget sama apa yang dia ceritain.

“Sampai akhirnya gue ketemu sama Damian.”

“Damian?”

Bianca mengangguk. “Cowok gue. Orang yang bikin gue kaya sekarang ini.”

Julian menunduk, dia jadi bisa menyimpukan garis besarnya jika cowok bernama Damian itu adalah orang yang membuat Bianca berakhir seperti ini. Atau Damian juga lah laki-laki yang sudah menyebarkan foto-foto Bianca? Pikir Julian.

“Gue udah sering minta putus sama Damian sejak Istrinya neror gue terus, Jul. Gue capek, gue pengen hidup yang normal tapi lepas dari Damian ternyata enggak semudah itu.”

“Lo kenapa gak coba lapor polisi aja, Bi? Ini udah kekerasan namanya, lo korban disini.”

“Gak bisa, Jul. Orang tua Damian itu justru orang yang punya pengaruh di kepolisian.”

“Terus lo mau biarin dia lakuin ini terus-terusan ke lo?”

“Dia udah ngerusak gue, Jul. Dia udah hancurin badan gue, reputasi gue, harga diri gue. Semuanya, dan sekarang gue udah gak takut apa-apa lagi karena dia udah gak punya alasan buat ngancem gue.”

Julian ngusap wajahnya, dia gak tau kalau hidup Bianca serumit ini. Selama ini Julian cuma mikir Bianca adalah wanita yang hidupnya bahagia-bahagia aja, karena selama ini hanya ada senyum dan tawa nya di kantor, Julian gak tau semua itu untuk menutupi kesulitan hidupnya.

Bianca sengaja enggak mau ceritain soal permintaan Damian yang nanya siapa cowok yang udah tidur sama dia, dia gak mau Julian jadi korban selanjutnya. Julian baik, ia yang sudah menyeret Julian ke hidupnya, dan Bianca gak ingin itu semua lebih jauh.

“Terus selanjut nya apa rencana lo, Bi?”

“Gue mungkin bakalan ngundurin diri dari Ruby Jane, Jul. Gue gak mau bisnis nya Jenara rusak karna gue tetap jadi karyawan nya. Setelah itu mungkin gue mau cari apartemen baru.”

Julian menghela nafasnya pelan, dia jadi gak tega sendiri sama Bianca. “Bi, kalo lo butuh bantuan gue, bilang ya. Gue pasti bantuin lo sebisa gue.”

Kata-kata itu berhasil membuat hati Bianca tersentuh, dia menangis dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tanganya. Dia nyesal udah berniat buruk ke Julian, dan dia terharu karena ini pertama kalinya dia merasa ada orang yang tulus dengannya.

thanks yah, Jul. Dan maaf,” ucap Bianca di sela-sela isaknya.

“Segitu aja info dari aku, sempai ketemu di video selanjutnya, bye bye.

Setelah selesai take video untuk hari ini, Ara merenggangkan tubuhnya sebentar. Agak sedikit kaku dan nyeri terutama di bagian pinggang, dia tersenyum waktu liat hasilnya bahkan dalam satu kali take saja sudah membuat Ara ngerasa puas.

Setelah ini Ara masih ada kelas terakhir nya, jadi dia harus buru-buru membereskan lighting dan alat-alat lainnya buat dia bikin konten. Waktunya tinggal 35 menit lagi sebelum waktunya di mulai, Ara ngerasa akhir-akhir ini dia sibuk banget yah walaupun dia juga nikmatin banget kegiatan barunya sih.

Ngomong-ngomong soal kelas memasak dan parenting, Papa mertua nya itu sudah mendaftarkan Ara. Besok adalah kelas pertamanya untuk memasak, makanya Ara lumayan deg-deg an walau sebenarnya dia juga gak sabar banget buat ikut kelasnya besok.

“Ara?”

Begitu mendengar suara Mama mertuanya itu, Ara langsung buru-buru membukakan pintu kamar Yuno. Ada Mama di depan pintu membawa nampan berisi cemilan untuknya, setiap kali Mama membawakan cemilan untuk teman Ara belajar atau mengerjakan konten. Ara tuh selalu ngerasa gak enak, padahal dia udah sering bilang kalau dia bisa ambil sendiri. Tapi Mama tetap saja membawakan cemilan-cemilan untuknya.

“Makasih yah, Mah. Sini, Mah. Masuk dulu. Maaf yah kamar nya berantakan, aku baru selesai take video.” Ara naruh nampan berisi cemilan dan jus untuknya, kemudian membersihkan sofa dari baju-baju miliknya, baju-baju itu adalah baju dari beberapa olshop yang mengendorsenya. Tadi itu Ara sekalian promosiin olshop nya di instagram nya makanya dia sempat cobain satu persatu.

“Habis buat konten, Nak?”

“Iya, Mah. Besok malam harus udah di upload jadi habis dari rumah sakit kayanya aku mau langsung pulang terus edit video.” setelah selesai menaruh baju-baju miliknya ke dalam lemari, Ara duduk di sofa bareng Mama mertua nya itu.

“Kamu beneran gak mau Mama hire karyawan buat bantuin kamu edit video, Ra?” Mama cuma takut Ara kecapekan aja, apalagi semenjak hamil Ara sering banget terlihat pucat. Apalagi Mama tahu kalo Ara itu punya asma yang bisa aja kambuh kalo dia kecapekan.

“Gak usah, Mah. Aku masih bisa handle semuanya sendiri kok. Lagian semakin banyak kegiatan kan, makin bagus juga. Aku jadi gak sibuk ngangenin Mas Yuno terus.” Ara meringis, semenjak sibuk dia lumayan bisa mengalihkan pikirannya. Walau tetap saja kalau terbangun tengah malam ia akan menangis karena merindukan Yuno.

“Mama cuma gak mau kamu kecapekan, Nak. Mama gak mau cucu Mama kenapa-kenapa. Ini kan cucu pertama Mama dan Papa, anaknya pertamanya Yuno.”

Ara tahu mertua nya itu baik banget sama dia, tapi entah kenapa rasanya pagi ini dia sensitif banget. Ara jadi mikir Mama dan Papa nya Yuno perhatian sama dia hanya karena dia lagi mengandung cucu mereka, bagaimana seandainya kalau dia gak hamil atau bahkan gak bisa hamil, apa perlakuan mereka tetap sama? Pikir Ara.

Ara hanya mengangguk kecil dengan senyum canggung sebagai jawaban, rasanya pengen nangis banget dengar nya. Ara tersinggung banget, rasanya kalau dia balas omongan itu nanti takut akan membuat mertua nya tersinggung. Karena bisa saja ucapan yang keluar dari mulut nya itu pedas.

“Yaudah, lanjut yah. Mama mau siap-siap dulu. Nanti Mama antar kamu ke rumah sakit.” Mama berdiri dan mengusap bahu Ara sebelum keluar dari kamar Yuno.

Begitu Mama mertua nya itu keluar dari kamarnya, Ara buru-buru mengunci pintu. mood nya buat ikut kelas daring rasanya udah buyar, dia cuma duduk di sofa dan nangis sesegukan. Hati dan otaknya enggak sinkron rasanya, hatinya sakit karna menurutnya mertua nya itu hanya perduli pada bayi yang di kandungnya, tapi otak Ara bilang kalau itu semua wajar dan bukan sesuatu yang bisa di anggap jahat.

Rasanya pusing banget kalau udah begini, karena enggak tahu mau cerita ke siapa. Ara justru nelfon Yuno, persetan di Heidelberg masih pagi buta atau malam. Dia cuma mau dengar suara Suaminya saja supaya hatinya sedikit lega. Sekalian lampiasin kesal nya.

hallo, sayang?

“Mas Yuno... Hiks hiks.” sembari menelfon Yuno, Ara sibuk mengusapi air matanya yang rasanya enggak mau berhenti.

sayang, kok nangis? Kenapa?

“Kesel aku tuh!!” hardik Ara, padahal kan bukan salah Yuno tapi nada nya kaya dia lagi marahin Yuno.

hei, kenapa? Tarik nafas dulu yah, kalo kamu nangis gini gimana mau ceritanya?

Ara enggak jawab lagi, isaknya malah semakin menyesakkan waktu dia denger suara Yuno. Mungkin kalau Yuno ada di sebelahnya, dia akan memeluk Yuno dan menangis sejadi-jadinya. Gak tau deh ini Ara yang super duper sensitif atau emang lebay aja, tapi sedihnya tuh kaya dia lagi di sakitin sama satu dunia.

Di sebrang sana, Yuno enggak jawab lagi. Dengan penuh perasaan khawatir nya dia dengerin Ara nangis, walau matanya juga mengantuk karena dia baru saja tidur beberapa jam. Dan pagi nanti dia masih harus ke rumah sakit.

Yuno mau Ara nangis sampai puas dulu baru setelah itu ia akan bertanya ada apa sebenarnya.

“Mas? Bobo yah?” setelah di rasa cukup lega menangis, Ara mulai membuka mulut nya lagi. Dia udah siap-siap meledak andai Yuno di sebrang sana ternyata tidur.

enggak sayangku, dengerin kamu nangis. Aku tungguin sampai berenti, sampai kamu lega terus bisa cerita sama aku. Ada apa sih?

“Mas?”

ya, sayang?

“Aku kesel banget sama Mama.”

hm? Kenapa?

“Tadi kan.. Mama masuk ke kamar bawain cemilan, terus nawarin aku buat di bantu hire karyawan buat tim aku atau gak. Aku ngerasa belum perlu karna aku bisa lakuin semuanya sendiri, tapi Mama malah bilang kalau dia gak mau cucu nya kenapa-kenapa kalo aku kecapekan. Orang tua kamu tuh cuma perduli sama bayi kita aja yah? Sama aku enggak? Kalau aku gak bisa hamil apa mereka tetap sayang aku? Emangnya aku ini di nikahin kamu cuma buat pabrik bayi aja yah? Aku tuh istri kamu, Mas. Bukan pabrik bayi!!”

Di sebrang sana Yuno memijat pelipisnya, dia tau Ara emang sensitif banget semenjak hamil. Tapi menurut nya kata-kata Mama nya itu memang agak sedikit menyinggung, Yuno pun kalau jadi Ara akan tetap tersinggung. Yuno sayang sama Ara, dia juga sayang calon bayi nya. Bagi Yuno dia nikahin Ara untuk menjadi teman hidupnya, nemenin dia sampai kapanpun dan dia mau terus sama Ara selama nya.

Dia nikahin Ara bukan cuma buat jadi Ibu dari anak-anaknya aja, bagi Yuno, Ara itu segala nya. Ara bisa hamil atau tidak itu enggak akan mengurangi rasa sayangnya.

sayang? Udah marah-marahnya?

“Udah..” cicit Ara.

maafin Mamaku yah, aku paham kamu kesinggung sama kata-kata Mama. Aku pun kalo jadi kamu kesinggung kok, walau sebenarnya maksud Mama baik. Mama mau bantu kamu, tapi pemilihan katanya aja yang salah. Gapapa, kalau kamu enggak butuh tim. Tapi kalau kamu mulai kecapekan jangan di paksain yah.

Denger Yuno ngomong gitu Ara malah senyum-senyum sendiri, hatinya yang tadinya panas dan kesal itu berubah menghangat. Yuno emang paling bisa meredam emosinya.

sayang?” panggil Yuno karena Ara sama sekali enggak nyautin ucapannya, padahal istrinya di sebrang sana lagi sibuk senyum-senyum sendiri.

“Gak, Mas. Gak aku paksain. Maaf yah aku lebay banget pake nangis segala padahal cuma gitu aja.”

gapapa dong, kok di bilang lebay sih?

Walau lega rasanya Ara tetap mau nanya sama Yuno, bagaimana seandainya dia gak bisa hamil? Apa Yuno bakalan tetap sayang sama dia? Ah, ini kayanya Ara jadi overthinking karena habis baca-baca kisah rumah tangga orang di internet, kayanya sekarang lagi marak banget perceraian karena istrinya gak bisa hamil lah, istrinya sakit lah, istrinya kena kanker serviks atau payudara lah.

Sampai hubungan rumah tangga yang di ikut campurin sama orang tua dari kedua belah pihak, Ara yang baca gitu jadi kepikiran aja.

“Mas?”

ya, sayang?

“Aku mau nanya boleh?” Ara ngulum bibirnya.

nanya apa?

“Mas, andai aku gak bisa hamil, atau andai aku sakit dan bikin rahim aku di angkat atau payudara aku di angkat. Kamu bakalan tetap sayang aku gak? Atau malah cerain aku? Apalagi kan kamu anak tunggal, kamu pasti kepengen banget punya anak kan, Mama sama Papa juga berharao kamu bisa kasih cucu ke mereka, Apa kamu bakalan nikah lagi?”

Yuno senyum, kayanya istrinya ini jadi overthinking gara-gara ucapan Mama nya. Tapi bisa-bisa nya Ara ngeraguin dia? Bahkan kepikiran buat cari penggantinya waktu mereka putus aja enggak. Yang Yuno pikirin cuma bagaimana dia bisa meyakinkan Ara kembali, bagaimana cara dia bikin Ara enggak ketemu Jeff lagi. Karena Jeff yang membuat hubungan mereka berakhir.

sayang?

“Ya, Mas?”

kamu enggak bisa punya anak karena kamu gak bisa hamil atau kamu sakit sekali pun, aku tetap sayang sama kamu. Kan aku nikahin kamu buat jadi istri aku, buat nemenin aku sampai tua. Aku bisa ngurusin kamu, bisa rawat kamu, mungkin bisa bantu kamu sembuh karena aku dokter. Aku nikahin kamu bukan semata-mata buat punya keturunan aja, walau aku kepengen juga punya anak. Tapi bagi aku, bisa sama kamu aja aku udah bersyukur. Anak itu jadi bonus buat kita, lagi pula, Punya anak itu gak harus anak kandung kan?

Dengar ucapan Yuno yang manis itu bikin Ara terharu, alih-alih senyum-senyum kaya tadi dia malah nangis. Dia bersyukur banget bisa ketemu Yuno dan menikah sama laki-laki itu, Yuno benar-benar menyayanginya, menghormati dan menghargai Ara sebagai Istrinya.

Setelah marah-marah gini, hatinya lega tapi juga dia jadi ngerasa bersalah karena udah mikir buruk banget ke Yuno dan orang tua nya, ah. Emang serba salah banget rasanya.

sayang? Nangis lagi?” Yuno terkekeh.

“Mas, kapan pulangggg...” rengek Ara, dia malah jadi tambah kangen sama Yuno kan. Kangen banget pokoknya, sama jail nya, harum badannya, masakannya, pelukannya. Kayanya kalo Yuno pulang Ara enggak akan ngomel lagi kalau Yuno naruh handuk basah di atas kasur deh.

ya ampun, cup cup cup. Jangan nangis dong, apa aku pesen tiket sekarang aja kali yah? Aku pulang yah?

“Jangan jugaaa... Kan koas nya belum selesai ihh.”

makanya jangan nangisin aku terus dong.