My First And Last✔

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Jaehyun, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Choi Yoonji

Hari ini setelah pulang bekerja Julian langsung pulang ke rumah, dia juga beli martabak kacang dan keju kesukaan Ibu sama Andra. Dia mau memperbaiki hubungannya dulu sama keluarganya baru lah setelah itu Julian memantapkan diri untuk bertemu dengan Bianca.

Hari ini juga jadi hari terakhir Julian kerja di Ruby Jane, dia sudah pamit dengan semua karyawan di sana dan memberikan kenang-kenangan. Ada gantungan kunci yang Julian beli, bergambar kucing dan dia bagikan sama teman-temannya yang lain. Enggak lupa dia juga beli donat khas karyawan resign buat teman-temannya itu.

“Berapa, Mas?” tanya Julian waktu Abang tukang martabaknya itu ngasih 2 kotak martabak yang sudah jadi ke Julian.

“Jadi 70 ribu, Mas.”

Julian ngambil dompetnya dan ngeluarin uangnya buat bayar martabaknya, setelah itu dia langsung pulang ke rumah. Rasanya masih sepi, tapi hati Julian sedikit tenang setelah mendapati dirinya yang dulu berangsur-angsur kembali.

Sejujurnya, ada rasa rindu akan teman-temannya di kosan. Julian juga enggak enak sama Gita, Janu dan Kevin yang sering kali telfon atau kirim pesan ke Julian buat tanya kabar atau sekedar ngajak ketemuan sebentar, Julian jawab pesan-pesan dari mereka itu setelah beberapa hari kemudian dan mengatakan jika ia sedang sibuk.

kalau Chaka sih pernah beberapa kali, tapi enggak sesering Gita, Kevin dan Janu. Julian tahu Chaka masih di Bandung dan memang sedang mabuk kepayang sama pacarnya itu. kadang Julian suka ngiri sama Chaka, dia pernah ada di posisi yang rumit. suka sama pacar temannya sendiri, tapi itu juga terbayar ketika Chaka bertemu dengan Niken pacarnya sekarang.

ah, mungkin saja memang perjalanan Julian buat bertemu sama gadis yang menerima nya itu sedikit sulit, tapi gapapa. Julian masih mau fokus pada diri dan keluarganya dulu saja, begitu sampai rumah. ibu dan Andra kebetulan sedang makan malam, waktu Julian mengucapkan salam keduanya masih menjawab. namum hanya sekedar itu saja, tidak ada obrolan lagi.

“Buk, Ndra. ini Mas beliin martabak kacang sama keju kesukaan Ibu sama Andra, di makan yah.” Julian membuka dua kotak itu dan menaruhnya di meja makan.

ibu melirik martabak itu, sebenarnya enggak tega diamin Julian kaya gini berhari-hari. apalagi Ibu tahu Julian menjadi semakin pendiam, tapi rasanya Ibu masih kecewa banget sama si sulung itu.

“bukannya belum gajian?” tanya Andra, Andra juga sebenarnya enggak tega sama Mas nya itu. makanya waktu lihat Ibu enggak menanggapi ucapan Julian, Andra yang akhirnya menanggapi ucapan itu.

“emang belum, hari ini kan hari terakhir Mas kerja di Ruby Jane.” Julian senyum, dia buka tas nya dan ikut duduk di kursi meja makan setelah mencuci tangannya.

sontak ucapan Julian barusan membuat Ibu dan Andra saling melemparkan pandanganya satu sama lain, “kenapa? Mas di pecat?”

“enggak, Mas resign.”

“kenapa resign, Mas?” kali ini Ibu menimpali, enggak tega kalau Julian resign karena enggak konsentrasi bekerja karena Ibu mendiami Julian beberapa hari ini.

“gapapa, Buk. Mas mau fokus bantuin Ibu di catering sambil cari-cari kerja lagi, oh iya. Mas ada rencana kerja di Semarang, udah apply lamarannya, tinggal nunggu kabar nya aja lagi. doain yah, Buk.” Julian senyum, dia makan masakan Ibu nya. dari kemarin Julian enggak makan masakan Ibu karena sungkan.

“karna Ibu yah, Mas?” tanya Ibu sekali lagi, tuh kan Ibu jadi merasa bersalah.

Julian yang lagi makan dengan lahap nya itu berhenti, dia naruh sendoknya itu sebentar. “enggak, Buk. bukan karena siapa-siapa. Mas cuma ngerasa Mas terlalu jauh berlari sampai kehilangan diri Mas sendiri. Mas mau menjauh dulu dari Jakarta, Mas mau cari suasana baru.” Jelas Julian.

Andra mengangguk pelan, Julian benar. Andra juga merasa ia seperti kehilangan sosok Julian akhir-akhir ini. Julian Mas nya yang ia kenal itu memang seperti kehilangan dirinya, makanya waktu Julian memutuskan buat mencari suasana baru dengan bekerja di Semarang, Andra senang banget dengarnya.

ia cuma bisa berharap luka yang di rasakan Julian sembuh perlahan-lahan dan ia bisa berdamai sama dirinya sendiri.

“setuju! Andra juga pikir gitu, Buk. kali aja setelah tinggal di Semarang, Mas Ijul bisa lebih baik dan enggak kepikiran kalo di tinggal nikah Mbak Ara lagi. Apalagi sampe nyari pelarian dan nyoba-nyoba jadi anak begajulan enggak jelas.”

“sialan!” hardik Julian, dia nyengir dan menyenggol bahu Adik nya itu.

“yasudah kalau begitu, kebetulan kan Pakle sama Bulek mu itu masih di sana. kamu bisa sekalian nemenin mereka, kan mereka gak punya anak.”

Julian mengangguk, dia pikir juga begitu. “iya, Buk.” Julian menarik nafasnya, dia ngerasa harus minta maaf lagi yang benar sama Ibu dan juga Andra.

“Buk, Ndra?”

“ya, Mas?” ucap Ibu dan Andra bersamaan.

“maafin Mas yah, Mas gak bermaksud kecewain kalian. Mas benar-benar gelap mata kemarin, Mas janji kejadian kemarin enggak akan terulang lagi.” Julian benar-benar lega sekarang, apalagi saat lihat Andra tersenyum dan mengangguk kecil.

“gue maafin, awas aja lo jadi bajingan lagi kaya kemarin. gue tonjok lu, Mas. maaf juga yah kemarin gue udah enggak sopan banget sama lu.” Andra juga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun sikap nya kemarin bikin dia ngerasa kurang ajar banget sama Julian. diam-diaman sama Mas nya itu juga bikin Andra enggak nyaman.

“kalo Ibu gimana? maafin Ijul kan, Buk? a..atau belum?” gumam Julian.

Ibu menghela nafasnya pelan, beliau memberi isyarat dengan menepuk kursi di sebelahnya. mengisyaratkan pada Julian untuk duduk di sebelahnya.

“Ibu mau tanya sama Mas. kenapa Mas bisa sampai melakukan hal itu sama Bianca?”

Julian menunduk, ternyata Ibu masih menuntut jawaban akan hal itu, Pikirnya.

“Mas mabuk, Buk. memang enggak sepenuhnya mabuk waktu itu. tapi semuanya berawal karena mabuk. maaf yah, Buk. Mas enggak akan kaya gitu lagi, nanti Mas juga bakalan minta maaf sama Bianca karena udah kurang ajar sama dia.”

Ibu mengangguk, lega mendengarnya. Ibu enggak paham pergaulan anak sekarang itu seperti apa, tapi menurut Ibu. kelakuan Julian itu sudah kurang ajar, terlepas dari keduanya mau sama mau.

setelah mendengar itu, Ibu merentangkan tangannya memeluk Julian erat. Ibu benar-benar merindukan si sulung itu, si sulung yang terlalu mengcopy dirinya seperti mendiang Ayahnya itu.

“maafin Ibu juga yah, mulai hari ini Mas kalau ada apa-apa tuh cerita. enggak boleh cari pelarian seperti kemarin lagi, yah.”

Julian mengangguk, dia menitihkan sedikit air matanya. menyesal dan merasa lega karena Ibu telah maafkannya. “maafin Ijul yah, Buk.”

“dihh Andra gak di ajak kebiasaan!” gerutu Andra yang membuat Ibu dan Julian tertawa.

Ibu langsung melambaikan tangannya, menyuruh Andra untuk duduk di sebelahnya dan memeluk Ibu juga. malam itu jadi malam yang kembali hangat seperti malam-malam sebelumnya, Julian juga lega banget rasanya. sekarang tinggal ia menyiapkan diri untuk meminta maaf sama Bianca besok.

Setelah membereskan semua barang-barangnya, Bianca memastikan kondisi kosan yang belum genap ia tempati sebulan itu sudah seperti semula saat ingin ia tempati. Beberapa hari ini Bianca memang terpuruk sekali, selain Ibu kost yang sudah tahu soal dirinya di internet. Sebagian anak kost lain juga sudah tahu.

Gak jarang mereka ngomongin Bianca di depan pintu kosan Bianca langsung, Bianca gak berani keluar. Kadang mengambil makanan dari layanan pesan antar yang ia pesan pun ia harus memastikan tidak ada siapa-siapa di sekitar depan pintu kosannya.

Selama itu juga Bianca mikir kalau dia enggak bisa hidup seperti ini terus, sampai akhirnya nama Ibu panti nya terlintas di kepala Bianca. Bianca akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi panti asuhannya lagi, bahkan gak menyangka kalau Ibu panti nya akan dengan senang hati menerima Bianca tinggal di sana untuk mengurus panti.

Besok Bianca akan pergi meninggalkan Jakarta, dia akan kembali ke kota tempat ia lahir dan di besarkan, Salatiga. Mungkin di sana Bianca bisa sembunyi sebentar sampai dunia mulai melupakan dirinya. Hari ini, Bianca juga memberanikan diri untuk bertemu dengan pria yang mengaku Ayah kandungnya itu.

Meski Bianca sendiri masih bingung dengan semuanya, tapi dia pikir dia enggak bisa terus menerus menghindari pria itu. Pria itu sudah mau datang dan memberikan penjelasan atas kebingungan Bianca, maka ia juga enggak bisa pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan dan berpamitan.

“Udah rapih semua.” Bianca senyum, dia juga ninggalin beberapa barang yang enggak mungkin dia bawa.

Setelah semuanya sudah rapih, Bianca pergi ke tempat ia dan pria itu bertemu. Bianca pikir ia yang terlambat datang dari jam yang sudah mereka sepakati, ternyata pria itu datang lebih dulu dari pada dirinya.

“Siang, Om.” sapa Bianca canggung, lidahnya masih keluh walau beberapa kali pria itu memintanya memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa.' ah, sebutan itu masih terlalu asing. Bianca enggak pernah manggil orang lain dengan sebutan Papa.

“Siang, Bianca. Duduk, kamu sudah makan siang?” tanyanya. Suaranya selalu terdengar ramah di telinga Bianca.

“Belum, Om.”

“Makan yah, Papa juga belum makan siang.”

Bianca mengangguk, dia dan pria itu memesan beberapa makanan untuk makan siang. Bianca memang belum makan, dan hari ini rasanya dia cukup menikmati menu makan siang nya setelah kemarin dia hanya pesan makanan siap saji.

“Saya senang kamu mau bertemu saya Bianca.” pria itu tersenyum, matanya berbinar. Benar-benar menggambarkan jika ia bahagia bisa melihat Bianca lagi setelah berhari-hari anaknya itu hindari.

“Sebenarnya ada yang mau saya omongin sama Om.”

“Mau ngomong apa?”

Bianca menaruh sendok dan garpunya di atas piring miliknya, kebetulan dia juga sudah selesai makan. Ia mengulum bibirnya sendiri, mungkin ini akan terdengar mengecewakan untuk pria di depannya itu. Ah, kenapa rasanya Bianca jadi enggak sanggup buat menyakiti pria di depannya itu. Dia gak mau tatapan berbinar hangat itu hilang setelah ia mengatakan hal ini.

Bianca jadi ingat, beliau pernah bilang ingin menebus waktu-waktu yang telah ia telantarkan selama ini. Ia ingin mengenal Bianca lebih banyak, berbicara lebih banyak, dan menghabiskan waktu lebih banyak. Tapi justru sekarang Bianca memilih menjauh lagi.

“Bianca?” panggilnya karena Bianca diam saja.

“Om?”

“Ya?”

“Saya mau pulang ke Salatiga. Mungkin saya akan tinggal di sana, di panti tempat saya tinggal.” Bianca memberanikan diri untuk melihat wajah pria itu, benar kan. Senyuman itu pudar di gantikan wajah bingungnya.

“ada apa, Bianca?”

“Saya di usir dari kosan, saya enggak tahu mau kemana lagi. Saya juga ngerasa bisa aman kalau saya pulang ke panti.”

“Kamu punya rumah, Bianca. Ikut pulang ke rumah Papa.” pria di depannya itu baru berani mengajak Bianca untuk tinggal di rumahnya setelah Istrinya itu meninggal, soal Damian? Ah, laki-laki brengsek yang menjadi Kakak dari Bianca itu sudah tidak ada lagi. Dia sudah tinggal di luar negeri bersama istrinya setelah menyepakati untuk mengelola bisnis keluarga di sana.

“Saya mau menyembuhkan luka saya dulu, Om. Jujur aja, ini semua bikin saya bingung. Saya masih belum bisa terima semua kenyataan yang terlalu tiba-tiba ini.”

Ini memang sulit buat Bianca, meski enggak bisa di pungkiri kalau dia sendiri memiliki sedikit rasa bahagia karena telah mengetahui asal usulnya. Tapi tetap saja merasakan hari-hari biasa yang ia jalani, tiba-tiba seorang pria datang mengaku sebagai Ayahnya selama ini. Bianca masih sering bingung dan mempertanyakan ini mimpi atau bukan.

“Maafin Papa yah, Bianca.” pria itu menunduk, enggak ada hari dimana dia merasa tidak menyesal atas semua perbuatannya pada putrinya itu.

“Saya enggak nyalahin Om kok, selain tahu kalau saya punya keluarga. Ada masalah yang bikin saya memang harus pergi.”

Melihat pria di depannya merasa bersalah, Bianca jadi enggak enak. Hati nya merasa sakit juga, apakah ini yang di sebut ikatan batin antara Ayah dan putrinya? Pikir Bianca.

“Ada yang bisa Papa bantu, Bi? Papa bisa bantu Bianca.”

Bianca mengalihkan pandanganya ke arah lain, mendengarnya menyebut dirinya sendiri Papa membuat hati Bianca terenyuh. Ia ingin memanggil seseorang dengan sebutan Papa dulu, tapi sekarang rasanya lidahnya terlalu keluh untuk menyebutnya.

Kesendirian, sebatang kara itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Bianca. Bahkan dia sudah berdamai dengan itu semua walau Bianca kecil dulu sering merengek menginginkan orang tua.

Bianca hanya menggeleng. “Saya cuma butuh waktu sebentar.”

Pria itu mengangguk, berusaha untuk menghargai keputusan Bianca. Toh ia masih bisa mengunjungi Bianca sesekali ke Salatiga, pria itu juga tahu soal masalah Bianca dengan foto-foto itu, mungkin saja dengan menjauh dari Jakarta. Putrinya itu bisa pelan-pelan menata hidupnya kembali. Ya, ia harap begitu.


“Eh, Ra. Tapi serius loh Kak Yuno perfect husband banget. Lo ngidam minta beliin tiket konsernya NCT127 langsung di beliin,” ucap Cindy.

Mereka saat ini sedang menuju perjalanan ke Indonesia Arena buat nonton konsernya NCT yang Ara minta sejak 2 bulan yang lalu. Sudah dengan persetujuan Yuno kok, walau Yuno masih suka prengat prengut kalau Ara lagi bahas soal konser apalagi lagi bahas Jaehyun.

“Itu juga gue harus ngerayu-rayu manja-manja dulu ke dia, Cin. Dia tuh cemburuan.” Ara ngolesin tengkuknya pakai minyak angin, kebiasaan banget mabuk darat kalau lagi macet kaya gini. Mana supir taksi online nya bawa mobilnya juga enggak enak, gimana Ara enggak makin mabuk darat coba.

“Cemburu ama siapa?”

“Sama Jaehyun,” gumam Ara.

“Hah? Jaehyun? Mmmpp,” Cindy nahan ketawanya, karena lucu aja seorang Aryuno bisa cemburu sama cowok yang gak mungkin bisa di gapai sama Ara, Jaehyun tau Ara hidup juga enggak. Kalau sama cowok-cowok yang berada di sekitar Ara sih yah wajar-wajar aja menurutnya.

“Iyaaa, aneh kan. Sensi banget dia tuh.” Ara masih inget banget gimana muka Yuno waktu mereka lagi face time dan Ara nunjukin slogan Jaehyun yang baru dia beli buat konser.

“Tapi yah, Ra. Kalau kata lo gantengan Kak Yuno atau Jaehyun?”

Cindy ini emang aneh banget, masa bikin pertanyaan kaya gitu? Ini sih lebih susah dari suruh ngerjain soal kalkulus. Ara mikir sebentar, kalau di lihat sih dua-dua nya ganteng, tinggi dan punya karisma nya sendiri. Apalagi Yuno itu setinggi Jaehyun ya walau sekarang Yuno tuh agak berisi beda sama jaman SMA yang badannya agak kurus buat cowok setinggi 180cm.

“Yah, Jaehyun lah. Tapi Mas Yuno juga ganteng lah, gue kan suka doang sama Jaehyun. Kalo sayang mah tetep sayangan sama Mas Yuno.”

“Yee... Dasar..” Cindy menyenggol bahu Ara.

Sebenarnya dari sebelum berangkat ke venue konser, nafas Ara agak sedikit pendek. Tapi dia tahan karena hari ini konsernya, katakan memang Ara agak sedikit egois kali ini. Dia lebih mentingin konser ketimbang kesehatannya sendiri, tapi ini tuh benar-benar konser impiannya banget. Waktu NCT konser disini, dia masih kuliah dan enggak ada waktu buat sekedar konseran.

Waktu NCT datang lagi di tahun berikutnya, hari itu juga bertepatan sama hari Ara wisuda. Makanya tahun ini tuh dia ngerasa beruntung banget bisa nonton konsernya. Sesampainya di venue, mereka masih nunggu sampai gate nya di buka.

Ara sempat excited banget karena dapat freebies dari fans-fans lain. Ara pikir tadinya dia di suruh bayar, agak malu sebenarnya. Kalau Cindy dia sih udah sering banget konseran berdua sama Kinan kadang juga dia ajak Bintang pacarnya makanya dia udah enggak kaget kalau di kasih freebies, bahkan Cindy juga bawa beberapa freebies yang dia siapin sejak 2 minggu sebelumnya.

“Eh, Ra. Lo kenapa?” tanya Cindy waktu tiba-tiba Ara jongkok.

Ara menggeleng. “Gapapa, Cin.”

“Serius? Lo gak enak badan? Di mobil tadi lo udah pake minyak angin terus jir, gue takut lo kenapa-kenapa. Mana lagi bunting,” oceh Cindy panik, dia beneran khawatir banget Ara kenapa-kenapa. Dia enggak mau di salahin sama Yuno atau keluarganya kalau Ara drop di venue.

“Cin, boleh minta tolong ambilin inhaler gue di tas gak?” Ara ngomong pelan banget karena rasanya napas nya makin susah.

“ASMA LO KAMBUH, RA?” pekik Cindy yang di balas anggukan oleh Ara.

“Cepetan ambilin!!”

Akhirnya Cindy cepat-cepat ambil inhaler milik Ara di tas nya dan bantu Ara buat makai benda itu, Ara menjamin matanya sebentar. Agak sedikit lega walau enggak selega itu, setidaknya dia bisa bernafas sebentar.

“Ra? Pulang aja yuk?” Cindy beneran khawatir banget sama Ara, rasanya dia udah gak perduli lagi kalau tiket nya hangus dan dia gak jadi nonton asal Ara enggak kenapa-kenapa.

“GATE CAT 1 UDAH DI BUKA.”

Staff yang berjaga di gate sudah memberi pengumuman, hal itu juga yang membuat Ara memaksakan dirinya untuk berdiri dan berusaha terlihat baik-baik saja. Walau dalam hati dia merasa bersalah sama bayi nya, Ara yakin kalau dia enggak full make up pasti mukanya udah pucat sekali.

Ara jadi ingat terakhir kali asma nya kambuh itu waktu dia OSPEK di kampus, setelah itu asma nya enggak pernah kambuh lagi.

“Yuk, Cin masuk. Gate nya udah di buka.” Ara narik tangan Cindy buat jalan ke gate nya, nafasnya masih sedikit tersengal-sengal tapi dia paksakan buat terlihat biasa aja. Dia gak mau Cindy maksa dia buat pulang.

“Ra.. Ra balik aja yuk, gue yakin deh lo gak baik-baik aja. Asma lo tuh kambuh, nanti kalau lo kenapa-kenapa gimana?” Cindy nahan tangan Ara buat masuk ke gate.

Ara yang mendengar itu jadi dilema banget, dia ngerasa egois kalau tetap memaksakan masuk. Tapi ini benar-benar konser impiannya, dia juga ngerasa rugi kalau sampai enggak nonton.

“Ra? Lo tuh udah jadi Ibu, lo bukan cuma ngidupin diri lo doang. Ada anak lo juga, ayolah jangan egois. Kita bisa nonton mereka kapan aja, kalo perlu kita samperin ke Korea juga bisa laki lo kan tajir mampus, si Jaehyun suruh ke rumah lo juga bisa nanti.”

Ara mengulum bibirnya sendiri, setelah cukup lama berpikir akhirnya ia mengangguk. Cindy benar, dia enggak boleh egois buat nurutin keinginannya doang tanpa memikirkan anaknya. Karena sesak nya belum kunjung reda, dari venue pun Ara sama Cindy enggak langsung pulang ke rumah Yuno. Cindy antar Ara ke rumah sakit dulu.

Di ruang pemeriksaan, Ara sempat di beri oksigen. Dokter cuma bilang dia kecapean dan memicu asma nya kambuh, dan untungnya enggak ada yang perlu di khawatirkan lagi Ara dan bayi nya enggak kenapa-kenapa.

“Cin, sorry yah. Gara-gara gue lo jadi gak konseran.” Ara ngerasa bersalah banget, dia gak enak sama Cindy karena gara-gara dia sakit Cindy jadi harus rela tiketnya hangus demi bisa nganterin Ara ke rumah sakit.

“Gapapa, Ra. Lagian gue udah sering liat mereka. Yang penting tuh elo gak kenapa-kenapa.”

Ara ngangguk, dia belum ngabarin Yuno. Takut Yuno marah karena tadinya Ara tetap maksa buat konseran. Masalahnya Yuno kalau sudah marah tuh beda banget, muka nya yang full senyum tuh berubah jadi cemberut aja. Belum lagi omongan nya yang beneran tegas banget.

“Kenapa sih tiba-tiba resign begini, Jul? Padahal saya suka banget kamu kerja di sini. Enggak ada masalah kan?” tanya Jenara lagi.

Pagi ini Julian masuk kerja seperti biasanya, yang enggak biasa itu justru bagi Jenara karena Julian tiba-tiba saja menyerahkan surat pengunduran dirinya hari ini. Kepergian Bianca serta reputasi brand nya saja sudah membuat kepala Jenara pusing, dan sekarang di tambah dia harus kehilangan satu karyawan lagi yang bisa dia andalkan.

“Iya, Mbak. Maaf sekali lagi. Gak ada masalah apa-apa, Mbak. Saya cuma mau fokus bantu catering Ibu saja dulu, soal nya lagi keteter kayanya.” ini hanya alasan Julian saja, enggak ada yang keteter dari usaha catering Ibu. Semua nya stabil, hanya saja Julian bingung harus memberi alasan apa.

Julian juga belum mendapatkan pekerjaan lagi, dia masih sibuk mencari pekerjaan di banyak platform. Sejauh ini Julian hanya ingin fokus pada dirinya sendiri sembari membantu usaha Ibu nya, dia juga masih proses memperbaiki hubungannya dengan Ibu.

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu, sudah seminggu juga Ibu enggak pernah ngajak Julian ngomong. Jujur saja suasana di rumah jadi enggak nyaman, di tambah Andra pun mengabaikannya. Makanya Julian mau fokus pada Ibu dan Adiknya dulu meski kepala nya masih belum mendapatkan jawaban dari siapa Ibu tahu soal dia dan Bianca.

“Yaudah kalau itu keputusan kamu, Jul. Saya juga enggak bisa nahan kamu, tapi saya tetap menyayangkan loh, Jul.”

Julian mengangguk, dia sejujur nya juga enggak enak sama Jenara. Atasannya itu udah cukup baik mau menerima dia bekerja di perusahaanya, seandainya dari awal Julian enggak pernah neko-neko mungkin dia masih bisa bertahan di kantor nya.

Setelah memberikan surat resign nya ke ruangan Jenara, Julian keluar. Dia kembali lagi ke meja kerja nya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Gak lama kemudian, Kian yang baru saja dari pantry itu mengekori Julian. Kian masih belum tahu kalau Julian habis memberikan surat pengunduran diri.

“Di panggil sama Buk boss lo, Jul?” bisik kian sembari mengekori Julian.

“Enggak, Mas.”

“Terus ngapain?”

Julian kembali duduk di kursinya dengan Kian yang menarik kursi milik meja lain agar bisa duduk di depan meja Julian, dia kepalang kepo sama apa yang Julian lakuin di ruangan Jenara. Ah, Kian emang selalu mau tau urusan orang.

“Gue abis ngajuin surat resign.”

“HAH??? RESIGN?!” pekik Kian yang berhasil membuat karyawan lain menoleh ke arah mereka.

“Lu bisa gak sih Mas gak usah over reaction?” Julian kan jadi kesal, kalau sudah begini pasti karyawan lain jadi tau kalau Julian akan mengundurkan diri. Pasalnya, dia malas banget di tanyain apa alasannya resign belum lagi kalau di mintai donat resign, ya gak masalah sih kalau soal makanan tapi di tanya-tanyanya itu loh.

Kian menaruh kopi miliknya di meja Julian dan mencondongkan badan nya ke meja Julian, mukanya juga tampak serius. “Kenapa sih tiba-tiba resign? Ada masalah?”

Julian menggeleng, “enggak ada, Mas. Gue cuma mau fokus kembangin usaha Ibu gue.”

“Ahhh...” Kian manggut-manggut, “ah iya ngomong-ngomong ada yang mau gue tanyain sama lo.”

Julian yang tadinya baru membuka email nya, jadi melirik ke arah Kian. Dia memang baru bertemu laki-laki itu hari ini, karena sejak kemarin Kian itu dinas di luar kota. Setelah pulang dari luar kota pun dia sibuk meeting di luar bareng sama tim nya.

“Ada apa?” tanya Julian penasaran.

“Soal malam waktu lo mabuk itu,” Kian melirik ke sekitarnya, mastiin meja kanan kiri yang ada di dekat meja Julian itu kosong enggak ada karyawan nya. Kian takut ada yang menguping percakapannya dengan Julian ini.

“Kenapa?”

“Lo ngeracau banyak banget.”

Deg...

Perasaan Julian semakin enggak karuan, dia enggak ingat sama sekali dia meracau apa saja. Yang ia ingat hanya ia di antar sama Kian, soal meracau dan di antar ke rumah alih-alih ke hotel pun Julian sama sekali gak ingat.

“Gue.. Ngeracau apa aja?” bisik Julian.

“Banyak banget, Jul. Lo jadi oversharing kalau mabuk. Mulai dari soal Ara, Ara itu siapa sih? Kayanya lo patah hati banget.” tuh kan Kian kepo lagi, tapi dia cuma sebatas kepo aja kok. Kalau Julian enggak mau jawab pun dia enggak akan ngorek-ngorek lagi.

“Temen gue, terus gue ngeracau apa lagi?” jawab Julian sekena nya, enggak perlu lah dia jabarin Ara itu siapa sama Kian.

Kian menghela nafasnya pelan, dia natap Julian yang sekarang ini kelihatan keringat dingin sekaligus penasaran sama jawaban dari Kian.

“Lo sama Bianca, lo bilang kalau lo nyesel udah tidur sama dia.”

Dan benar dugaan Julian, dia sendiri yang justru mengatakannya saat mabuk. Saat mendengar ini, kedua bahu Julian merosot dia menghela nafasnya dan mengusap wajahnya dengan gusar.

“Itu bener, Jul? Ya.. Kalau lo enggak mau jawab juga gapapa, tapi Ibu lo dengar soal ini. Beliau kecewa banget kayanya, gue juga nyesel sih gak anter lo ke hotel.”

Julian enggak jawab, dia terus menunduk. Merasa malu dan gak punya muka buat ngobrol sama Kian rasanya. “Selain itu ada lagi, Mas?”

“Gak ada, selebihnya lo cuma nangis doang.”

Julian mengangguk, “Mas, gue mohon sama lo jangan sampai ada yang tau lagi selain lo yah. Gue sama Bianca gak ada hubungan apa-apa, kemarin itu—”

Ucapan Julian tertahan, dia gak mau bahas soal Bianca lagi. Selain itu membuatnya membenci dirinya sendiri, dia juga jadi teringat sama kelakuan brengsek dan kata-kata terakhir yang Bianca ucapkan padannya. Rasa bersalah itu jadi muncul lagi.

“Pokoknya jangan kasih tau siapa-siapa yah, Mas. Tolong rahasiain ini.” Julian memohon, dia takut banget kalau berita ini sudah tersebar di kantor. Pasalnya Kian itu kadang terlihat tidak meyakinkan walau cukup baik dan dapat di andalkan.

“Iyee, lagian mau ngapain gue cerita-cerita sama yang lain? Tapi, Jul. Ini juga yang jadi alasan lo resign?”

“Itu juga, Mas. Gue mungkin mau keluar kota buat nenangin diri gue. Gue udah lari terlalu jauh banget.”

Kian paham Julian sedang patah hati meski laki-laki itu enggak bercerita secara langsung, gamang, Kian tahu hanya dari racauan Julian saja malam itu. Soal Bianca juga Kian enggak tanya-tanya lagi karena dari raut wajah Julian saja dia terlihat tidak nyaman.

Jadi sekarang Julian tahu dari mana Ibu nya bisa tahu tentang dia dan Bianca, jadi itu semua karena mulut nya sendiri. Tapi dengan kurang ajar nya dia nuduh Andra bahkan Bianca yang padahal kedua nya enggak tahu apa-apa, kalau sudah begini Julian jadi bingung harus bagaimana memperbaikinya.

“Jangan lari sebelum masalahnya selesai, Jul. Hadapin, kalau perlu minta maaf yah lo minta maaf, gue gak paham lo sama Bianca gimana. Tapi gue berharap kasus Bianca kemarin itu bukan karena ulah lo.”

“Enggak, Mas. Bukan gue, gue gak sejahat itu.”

Kian mengangguk, “yaudah, lanjut deh. Gue mau ke bawah dulu.”

Kian menepuk pundak Julian dan berlalu dari sana meninggalkan Julian yang masih di lingkupi perasaan bersalahnya, dia ngerasa harus datang ke kosan Bianca buat minta maaf. Mungkin dengan itu dia bisa sedikit lebih lega, persetan jika Bianca tidak mau bertemu atau bahkan memaafkannya, yang terpenting dia mau usaha dulu buat itu.

Setelah itu dia akan fokus memperbaiki hubungannya dengan Ibu dan juga Andra. Ah, rasanya kepala Julian mau pecah banget. Dia enggak menyangka patah hati akan memporak porandakan hidupnya begini.

Reno sedikit merenggangkan badan nya setelah tugas-tugas nya selesai, dia habisin kopi yang dia pesan dan cheese cake yang di berikan barista untuknya. Hari ini Reno cuma ada 2 mata kuliah di kampus, ada tugas yang di berikan oleh dosen nya secara online karena tidak bisa hadir di kelas. Jadi Reno kerjakan saja dulu di cafe dekat kampus sekalian menunggu jam mata kuliah selanjutnya di mulai.

Baru dia ingin memberesi laptop dan buku-buku miliknya tiba-tiba saja ponsel Reno berdering, menampakan nama Yuno di sana. Awal nya keningnya mengkerut, karena enggak biasanya Yuno telfon dia kalau enggak penting-penting banget. Biasanya juga hanya lewat chat saja.

“Hallo, Mas Yuno?”

Hallo, Ren. Di mana? Lagi sibuk gak?

“Enggak sih, Mas. Tapi lagi gak gabut juga, ada apa, Mas?”

Mas boleh minta tolong gak sama kamu, Ren?

Begitu mendengar ucapan Yuno, Reno langsung cengar cengir. Pasalnya Yuno selalu minta bantuan nya untuk hal-hal ringan, sesudahnya pun pasti Yuno ngasih sesuatu buat adik ipar nya itu, makanya waktu Yuno bilang mau minta tolong lagi Reno tuh langsung nyengir.

“Minta tolong apa tuh, Mas? Kaya sama siapa aja Mas Yuno nih.” Reno malu-malu kucing.

bulan depan kan Kakak mau ke tempat Mas, dia ngotot banget mau pergi sendiri aja. Cuma tuh hati Mas gak tenang, Ren. Orang tua Mas juga lagi sibuk jadi enggak bisa antar. Kira-kira kamu atau Karina sibuk gak? Bisa nemenin Kakak mungkin salah satu dari kalian, tenang aja kok Mas yang bayar tiket pesawat nya. Nanti Mas kasih uang jajan juga kalau mau jalan-jalan.

Reno menjauhkan ponsel nya dari telinga nya setelah mendengar ucapan Yuno itu, dia menaikan kedua tangannya ke atas kemudian berdiri dan berjoget enggak jelas kegirangan. Kalau lagi enggak nelfon dan lagi enggak di cafe rasanya Reno kepengen teriak yang kenceng saking senang nya.

Hallo, Ren?” panggil Yuno karena Reno enggak kunjung menjawab.

“BISA, MAS. hehehe. Tapi kalau Karin enggak bisa kayanya, bulan depan dia ada acara keluarga Mas. Reno aja gapapa kan?”

gapapa kok, kamu ada passport kan, Ren?

“Ada, Mas tahun lalu Reno bikin di suruh Papa.”

yaudah, siap-siap aja yah. Kalo butuh apa-apa kabarin, Mas.

“Hahaha siap Mas ku.”

oh iya, Ren?

“Apa Mas?”

rahasia kita yah, jangan sampe Kakak tahu dulu. Mas masih minta tolong ke Bunda sama Papa buat bujuk Kakak dulu.

“Beres, Mas.”

Begitu sambungan telfon nya terputus, Reno langsung buru-buru membereskan barang-barangnya dan berlari keluar cafe kegirangan. Ini adalah pertama kalinya Reno ke luar negeri, dan langsung ke Jerman pula. Padahal rencana Reno itu mau ke Jepang dulu buat liburan, dia juga udah nabung lama banget buat ke sana.

Sesampai nya di rumah, Reno liat Ara, Bunda dan Papa nya di ruang tamu. Muka Kakak nya itu cemberut aja, dari kemarin Kakak nya memang sudah menginap di rumah mereka karena mertua nya itu sedang dinas di luar kota. Ara gak suka sendirian di rumah Yuno karena rasanya membosankan, ya walaupun ada Budhe yang menemani nya.

“Pokoknya Kakak mau nya pergi sendiri, Bun. Emang kenapa sih? Kan Kakak udah pernah ke tempat Mas Yuno juga, ini bukan pertama kali,” rengek Ara.

Ara tuh cuma ngerasa kalau dia ajak orang lain, dia gak akan merasa bisa berduaan dengan leluasa sama Yuno. Ara tuh kangen banget sama Yuno, dia mau ngabisin waktu nya di Jerman cuma dengan berduaan sama Suaminya itu. Ya walau ngajak satu orang pun Yuno bakal bersedia aja buat nyewain hotel atau kamar apartemen, tapi jiwa kritis Ara tuh meronta-ronta.

Dia mau Yuno simpan uangnya buat biaya mereka berdua, apalagi mereka akan segera punya anak yang mana kebutuhan pasti semakin banyak. Belum lagi soal tabungan Yuno untuk beli rumah, toh biaya nya sendiri ke Jerman saja sudah sangat mahal.

“Bunda tuh kepikiran, Kak. Apalagi kamu tuh semenjak hamil juga lebih ringkih kan badan nya, kalo kenapa-kenapa di jalan gimana?” Bunda tuh agak senewen juga ngadepin Ara kalau lagi keras kepala kaya gini, Ara enggak bisa di kerasin karena dia bakalan tambah keras.

“Ya makanya jangan di doain kenapa-kenapa, Bun...” kedua bahu Ara merosot, bingung banget dia gimana cara yakini orang tua nya, mertua dan Suaminya sendiri.

“Kak, jangan keras kepala gitu lah. Bunda, Papa, orang tua nya Yuno dan Yuno sendiri itu khawatir sama kamu. Apalagi kamu harus transit di Singapur dulu kan. Penerbangan nya juga makan waktu 20 jam loh, itu gak sebentar, Kak. Gak kaya dari sini ke Bandung,” Papa menyela, biasanya Ara akan lemah sama Papa nya apalagi kalau Papa nya sudah berubah lebih tegas.

“Sama Reno aja gak sih, Kak? Reno belum pernah keluar negeri,” samber Reno dari meja makan. Dia dari tadi cuma nyimak aja, yah ikut ngebujuk juga sekarang siapa tahu Kakak nya itu luluh jadi gak perlu main kucing-kucingan kan? Pikir Reno.

“GAKKKKKKK, KAMU BAKALAN NGEGANGGU BANGET.”

“Dih, Reno bisa tidur di hotel.”

“Dari mana uangnya? Bukan nya kamu mau ke Jepang?”

“Uang nya minta Papa lah. Ke Jepang itu pasti tapi kan bisa tahun depan.”

Papa yang mendengar itu cuma bisa memijat keningnya aja, agak pening kalau Reno sama Ara udah berdebat kaya gini. Tapi Papa bersyukur, selama menikah walau Yuno jauh. Laki-laki itu tetap bertanggung jawab pada putri nya, ah. Bukan hanya Yuno tapi keluarganya pun begitu.

“Pokoknya Kakak mau sendiri titik!!”

Ara berdiri dan naik ke lantai 2 ke kamar nya sambil hentak-hentakin kaki. Kebiasaan dia kalau lagi ngambek, Bunda sama Papa yang lihat cuma bisa geleng-geleng kepala aja kalau keras kepala dan manja nya Ara udah kumat, Bunda cuma mikir mungkin Ara akan berubah lebih dewasa waktu tahu akan menjadi Ibu, tapi tetap saja gak banyak yang berubah dari anak tengahnya itu.


Yuno ketuk pintu ruang konsulen nya itu berada, tadi ada perawat yang nyuruh dia buat bertemu sama konsulen nya di ruangannya itu. Yuno masih koas, tapi dia juga sudah naik ke stase berikut nya.

“Bapak panggil saya?” ucap Yuno waktu pintu itu terbuka. Sopan santun khas orang Asia nya enggak pernah dia lupakan meski sudah lama tinggal di Jerman.

“Duduk, Aryuno.”

Yuno masuk kemudian duduk di kursi depan meja konsulen nya itu, Yuno udah enggak di stase penyakit dalam lagi. Dia sudah pindah ke stase bedah meski tetap saja dia di beri waktu untuk berjaga di IGD. Konsulen nya pun sudah ganti dari dokter Smith menjadi dokter James yang enggak kalah tegas nya.

Kadang Yuno ngiri kalau teman-teman nya dapat konsulen yang baik, sementara dia terasa bekerja di bawah tekanan banget. Enggak jarang Yuno suka melewatkan jam makan nya karena saking sibuknya dia di IGD.

“Yuno, saya gak mengerti kenapa kamu akhir-akhir ini sering sekali melamun, kamu juga kurang cekatan Yuno,” ucap dokter James.

Yuno akui memang dia sering melamun akhir-akhir ini, itu semua karena dia mikirin Ara, mikirin dirinya sendiri, dan tekanan yang dia dapat dari senior-senior nya. Yuno itu masih suka di suruh-suruh kadang, walau bukan hanya dia yang mengalami ini.

“Maaf, dok.”

“Kata dokter Smith, kamu itu mahasiswa yang pintar di kampus nya. Dia pernah ngajar kamu, kan?”

Yuno mengangguk, beberapa kali memang Yuno pernah di ajar langsung oleh dokter Smith. Tapi cara mengajarnya dengan praktiknya di rumah sakit beda banget, di kampus dokter Smith itu mengayomi dan baik banget makanya waktu bertemu di rumah sakit dan menjadi konsulen nya Yuno kaget banget.

“Saya enggak tahu kamu lagi ada masalah apa Yuno, tapi kalau kamu sudah sampai di rumah sakit. Tolong kesampingkan itu semua, tolong fokus. Kita ini kelak akan kerja dengan resiko dan jam kerja yang panjang nantinya. Konsentrasi dan tanggung jawab itu nomer 1 selain nyawa pasien, jadi tolong konsentrasi dan cekatan, saya harap kamu bisa berubah Yuno.”

Setelah keluar dari ruangan konsulen nya, Yuno melamun sebentar di rooftop rumah sakit. Dia memang masih istirahat, Yuno memejamkan matanya. Menikmati semilir angin dan kopi yang baru saja ia beli di cafe.

Tangannya kemudian meraba saku yang ada di baju OKA nya. Ada buku kecil yang biasa ia gunakan untuk mencatat ketika dokter senior atau konsulen sedang menjelaskan sesuatu. Namun di halaman paling terakhir ada tulisan yang bukan tulisan tangannya, Yuno sangat mengenali tulisan itu.

Kalau lo gak bisa tegas, biar gue yang ngasih pelajaran ke mereka. Dasar payah!!

“Berkas yang ini di foto copy yah, Mbak. Nanti kalau udah di foto copy. Mbak nya ke sini lagi kasihin berkas aslinya, sekalian nanti transfer nya ke nomer rekening ini.”

“Oke, sebentar yah, Mbak.”

Setelah ngomong sama bagian administrasi buat ngajuin cuti kuliahnya, Ara enggak langsung ke tukang foto copy buat copy semua berkasnya. Dia duduk dulu sebentar di gazebo yang dekat sama gedung dekan. Rasanya capek banget, padahal cuma nunggu sebentar dari gedung administrasi ke tukang foto copy an juga enggak jauh.

Ara ke kampus tadi di anter sama Arial, tapi setelah itu Arial pergi ke kantor nya. Mungkin nanti pulangnya Ara bakalan naik taksi online atau nanti dia telfon Chaka, Chaka emang tinggal di Bandung, selain lagi merintis karir nya di sini. Dia juga masih nungguin Niken pacarnya.

Katanya enggak sanggup kalau harus LDR dari Bandung ke Jakarta, oh iya, Chaka juga masih tinggal di kosan. Yup, cuma dia yang bertahan disana. Walau sekarang kosan juga isi nya mahasiswa baru semua.

Lagi asik kipas-kipas sambil scroll video, gak lama kemudian ada panggilan video dari Yuno. Wajah Ara langsung sumringah banget, dia langsung angkat telfon itu karena udah kangen banget sama Yuno. Sejak kemarin Yuno sibuk terus, mereka jadi enggak bisa telfonan atau melakukan panggilan video.

sayang? Lagi dimana?” Yuno mengerutkan alisnya, soalnya Ara pakai baju rapih dengan latar tempat yang asing buat Yuno.

“Lagi di kampus, Mas. Belum jalan ke rumah sakit?”

Yuno menggeleng, “baru bangun, mau makan dulu habis itu baru jalan. Kamu ngajuin cuti nya hari ini? Di temenin siapa?

“Tadi di anter sama Mas Iyal, tapi dia langsung ke kantor.”

pulangnya?

“Sama Chaka kayanya, atau gak nanti aku pesan taksi online.”

Yuno meringis, dia gak pernah gak enak dan gak tega kalau lihat Ara ngelakuin banyak hal sendirian, Kemana-mana sendirian, rasanya Yuno kaya gak berguna jadi Suami. Kaya cuma bisa nafkahin aja dari jarak jauh, nemenin ke dokter kandungan pun enggak.

“Mas kok muka nya gitu?” Ara nanya gini soalnya raut muka Yuno beda banget sama pertama kali dia angkat telfon, wajah Yuno jadi tampak gusar.

ngerasa bersalah aja sama kamu, aku cuma bisa ngasih uang doang tapi gak bisa ada di samping kamu. Maaf yah, Sayang.

Setiap malam atau saat ada waktu luang waktu dia berjaga, kadang Yuno mikir kalau Ara udah cukup jadi istri yang baik. Dia mandiri, punya penghasilan sendiri, cukup bisa mengerti Yuno dan keluarganya, selalu mendukung Yuno dan menghormati Yuno sebagai suaminya, Bahkan itu yang membuat Yuno kadang minder sama Istrinya sendiri, Yuno belum punya penghasilan tetap buat nafkahin Ara. Jujur saja, dia masih bergantung sama uang saku yang di kasih sama kedua orang tua nya.

Memang lebih dari cukup buat menghidupi dia dan Ara, tapi rasanya Yuno jadi enggak percaya diri karena dia nafkahin Ara bukan dari hasil kerja kerasnya. Yuno sebenarnya punya kok penghasilan sendiri dulu waktu awal-awal kuliah, dia pernah di tunjuk sebagai asisten dosen di kampusnya.

Gaji nya juga lumayan banget, Yuno enggak pernah pakai uang itu karena mau dia tabung buat beli rumah sama Ara. Dulu, Yuno juga pernah izin sama orang tua nya kalau dia mau ambil pekerjaan paruh waktu di Jerman. Dia mau kerja di kedai pizza, tapi sayangnya Papa dan Mama nya melarang Yuno.

Mereka bilang enggak mau waktu belajar Yuno terganggu dan mempengaruhi nilai nya di kampus, mereka bilang Yuno hanya perlu fokus belajar saja. Sebenarnya keputusan Yuno menikah sama Ara juga terkesan buru-buru, anggap Yuno egois. Dia cuma enggak mau kehilangan Ara lagi.

“Mas..” kedua bahu Ara merosot. “Tuh kan gitu lagi, kan aku udah bilang aku gapapa.”

tapi tetap aja aku enggak enak sama kamu, sayang.

“Kan cuma sementara, besok-besok kalau Mas udah pulang juga Mas sama aku terus kan.”

Yuno tersenyum kemudian mengangguk pelan, Ara emang paling bisa membuat perasaanya lega. “sayang?

“Ya, Mas?”

Kamu yakin enggak mau di antar siapa-siapa ke Heidelberg? Sama Reno ya? Atau sama Mbak Ola juga gapapa, aku gak masalah anak-anak nya di ajak juga.

“Ihhhh, Mas. Gak papa. Kan aku udah pernah nyamperin kamu sendirian ke sana waktu itu, kamu nih.”

tapi kan beda sayang, waktu itu kamu enggak lagi hamil. Sama Gita aja gimana? Atau sama Chaka juga gapapa, dia pengangguran kan?” kata Yuno sembarangan.

“Yah itu artinya kalau sekarang juga aku gak sendirian dong? Kan berdua sama baby. Lagian Mas, Gita tuh kasian. Dia di rumah aja udah repot sama si kembar, terus Chaka? Kamu nih sembarangan aja ngatain dia pengangguran, Chaka tuh kerja tau di firma arsitektur. Gitu-gitu dia lagi merintis karir nya.”

Yuno terkekeh, Ara enggak salah. Tapi ucapannya juga enggak bener juga, maksud Yuno kan bukan begitu. Yuno tau Ara berani ke Heidelberg sendirian tapi rasanya Yuno baru akan merasa lega kalau Ara ada yang nemenin.

Gak gitu dong.

“Ihhh, Mas-Mas. Minggu depan kan aku ke dokter Bagas lagi yah, kata dokter Bagas bayi kita udah bisa di lihat jenis kelamin nya, udah masuk 5 bulan juga kan. Kalau anak kita cewek Mas mau kasih nama siapa?” Ara ngalihin pembicaraan, dia gak mau di temenin siapa-siapa. Dia berani sendirian nyamperin Yuno, lagi pula ini waktunya dia bersama Yuno lagi dia enggak mau di ganggu siapapun.

Mendengar pertanyaan istrinya itu Yuno jadi senyum-senyum salah tingkah, dia baru kepikiran buat nyari nama buat anak mereka. Dari kemarin rasanya dia lupa karena saking sibuknya, Ara juga baru ingetin sekarang.

Hana?

cuma itu yang terlintas di kepala Yuno. Hana yang dalam bahasa Korea artinya satu, ini memang anak pertama mereka kan. Dan dalam bahasa Jepang artinya bunga di agama mereka juga Hana berarti keindahan dan kebahagiaan. Nama yang sederhana tapi punya makna yang baik dan indah.

“Hana?” pekik Ara “apa artinya, Mas?”

Dalam bahasa Korea artinya satu atau pertama, dalam bahasa Jepang artinya bunga. Hana juga punya makna yang bagus yang artinya keindahan dan kebahagiaan, bagus gak? Kamu ada nama lain?

“Bagus!! Aku suka nama nya. Aku sejauh ini belum ada nama, Mas. Tapi Papa minta nama keluarga kamu harus di taruh di belakang nama anak kita.” Ara mengulum bibirnya sendiri, Papa nya Yuno sudah mewanti-wanti ini sejak tahu Ara hamil. Ara baru cerita sama Yuno sekarang.

gak usah juga gapapa, lagi pula ini kan anak kita. Kita yang orang tua nya bukan Papa.” Yuno cuma enggak mau anaknya kelak akan menjadi seperti dia, terikat oleh tali tak kasat mata dan harus menerima fakta harus meninggalkan cita-cita nya demi meneruskan profesi keluarga. Yuno mau anaknya hidup sebagai dirinya sendiri, cukup dia yang jadi boneka orang tua nya.

“Ih gapapa, Mas. Lagi pula Wijaya kan juga nama belakang kamu.” Ara menaikan satu alisnya. “Nanti aku cari lagi ya nama lengkap nya buat baby.”

Yaudah, kamu hati-hati yah. Kabarin aku kalau udah sampai rumah Gita.

“Siap Papa sayang!!”

Apa?” pekik Yuno kaget.

“Hehe” Ara nyengir, dia malu banget dan akhirnya matiin sambungan panggilan video nya lebih dulu. Takut banget Yuno minta dia buat ngulang ucapannya barusan.


Sudah beberapa hari ini Bianca enggak keluar dari kamar kost nya, dia juga batalin check up kaki nya dan lebih milih di rumah. Setiap hari nya orang-orang dari pria yang mengaku Ayah kandungnya itu bolak balik ke kosan nya buat mastiin Bianca enggak kenapa-kenapa.

Orang-orang itu juga yang bawain makanan buat Bianca dan menaruh nya di depan pintu kamar Bianca, ya walau berakhir enggak Bianca ambil. Bianca masih bingung, dia masih sulit mencerna semua nya. Dia senang akhirnya dia tahu bagaimana asal usul dirinya, tapi lebih menyakitkan lagi ketika dia tahu kalau dia adalah anak dari selingkuhan dan Ibu nya sudah meninggal.

Wajah Bianca udah enggak karuan, apalagi kalau ingat fakta bahwa dia dan Damian adalah saudara satu Ayah. Rasanya dia jijik banget sama dirinya sendiri, Bianca ingin hilang ingatan aja rasanya.

“Mbak Bianca!!” gak lama kemudian terdengar suara Ibu-Ibu dari depan kamar kost Bianca, itu kayanya suara Ibu kost deh.

“Iya, sebentar.”

Mau enggak mau Bianca harus bukain pintu buat Ibu kost nya, waktu Bianca buka pintu. Wajah Ibu kost yang biasa nya ramah itu enggak kaya biasanya, liat Bianca pun sinis banget.

“Ada apa, Buk?”

“Duh, Mbak. Ini makanan-makanan yang di kasih sama orang udah ngalangin jalanan tau gak? Banyak yang udah basi juga dan bikin bau.”

“Maaf yah, Buk. Nanti saya bersihin.”

“Selain itu juga, Mbak. Orang-orang yang suka ke sini itu bikin gak nyaman penghuni lain, saya tiap hari dapat komplain terus. Yang tinggal di kosan saya kan bukan Mbak Bianca aja jadi tolong dong Mbak jaga kenyamanan bersama.”

Bianca mengangguk, dia jadi enggak enak sama Ibu kost dan penghuni lain yang terganggu sama masalah Bianca ini. Mungkin kalau orang-orang itu datang lagi Bianca akan usir dan bilang buat enggak datang ke kosan nya lagi. Meski rasanya Bianca enggak punya tenaga buat marahin mereka.

“Oh iya, satu lagi. Ini Mbak Bianca yah?” Ibu kost ngeluarin ponsel nya yang nunjukin foto-foto tanpa busana Bianca yang waktu itu tersebar, Bianca kaget dan dia enggak berucap sepatah kata pun. “Bener?”

“Maaf yah, Buk. Nanti saya beresin semua nya, maaf udah bikin Ibu sama penghuni lain nya enggak nyaman.”

Bianca langsung buru-buru nutup pintu kosan, dia tahu ini enggak sopan tapi Bianca bingung harus menjelaskannya bagaimana. Toh di jelaskan juga percuma, enggak ada yang percaya sama dia. Dan masyarakat sudah menyematkan nya sebagai 'cewek enggak bener' udah terlambat Bianca perbaiki, dan harapan Bianca sekarang semoga orang-orang cepat melupakan wajahnya.

Baru saja Bianca ingin merapihkan kamar kost nya, enggak lama kemudian pintu kamar nya di ketuk. Bianca sempat lihat dari jendela, Bianca pikir itu orang suruhan pria yang mengaku sebagai Ayah nya atau Ibu kost nya lagi. Tapi ternyata itu Julian, mau ngapain dia ke sini? Pikir Bianca.

Bianca akhirnya bukain pintu buat cowok itu, Bianca masih marah sama Julian. Tapi dia juga mau tau kenapa Julian baru muncul sekarang.

“Ngapain lo—”

“Lo yang bilang sama Ibu gue?” hardik Julian tiba-tiba, Bianca sama sekali enggak ngerti apa yang Julian bicarain.

“Maksudnya?”

“Gak usah pura-pura bego, Bi. Lo datang kan ke rumah gue dan ngomong tentang kita sama Ibu gue, lo bilang kan kalo gue udh tidur sama lo?”

Ucapan Julian semakin bikin hati Bianca sakit, dia tiba-tiba saja di tuduh seperti ini? “Gue gak pernah datang ke rumah lo, apalagi ngadu sama Ibu lo.”

“Terus kalau bukan lo siapa lagi? Lo marah sama gue karna gue ninggalin lo hari itu? Lo dendam sama gue kan, Bi? Atau lo hamil?” Julian naikin nada bicaranya, dia kelihatan marah dan sewot banget sama Bianca.

PLAK

Karena kesal sama ucapan Julian, tangan Bianca melayang menampar sisi wajah Julian sampai wajah cowok itu terhuyung ke samping. Dia gak ngerti Julian ngomong apa, dia juga enggak merasa datang ke rumah Julian apalagi ngadu sama Ibu nya.

“Gue gak pernah datang ke rumah lo apalagi ngadu sama Ibu lo! Gue bahkan enggak punya muka buat datang ke sana,” ucap Bianca penuh penekanan.

“Gue emang cewek murahan, Jul. Gue emang sakit dan marah banget lo udah ninggalin gue gitu aja, tapi buat kepikiran balas dendam aja enggak.”

Julian diam aja, kupingnya berdenging nyaring karna tamparan Bianca. Kalau bukan Bianca lalu siapa? Pikir Julian.

“Dan satu lagi, lo gak perlu takut gue hamil, Jul. Karna buat punya anak dari lo juga gue enggak sudi!!”

Bianca mundur, dia mau nutup pintu kamar nya. Rasanya sudah babak belur sekali dia seharian ini. Kepala nya pening, rasanya Bianca udah gak tahan buat hidup kalau begini cara nya. Masalahnya kenapa enggak ada yang selesai dan justru bertambah, bahkan orang yang akhir-akhir ini Bianca andalkan pun juga mengecewakannya.

“Jangan pernah munculin muka lo di depan gue lagi, Jul. Sekarang gue tau kenapa Ara nolak lo, karena cowok brengsek kaya lo. Emang gak pantes buat cewek sebaik dia,” ucap Bianca sebelum akhirnya dia nutup pintu kamar nya, meninggalkan Julian yang masih mematung di depan kamar Bianca. Cowok itu masih menyesali perbuatan dan ucapannya barusan.

“Andra, angkat ini ke dalam, nak.”

Samar-samar Julian mendengar suara Ibu, matanya juga mengerjap karena sinar matahari yang masuk melalui celah-celah korden kamarnya. Ia ingin bangun namun tidak jadi, kepala nya terlalu sakit. Jadi yang Julian lakukan adalah meraba kantung celana nya untuk mencari ponsel nya.

Julian ingin tahu sekarang jam berapa, dan sial nya saat menemukan ponsel nya di kantung celana nya. Ponsel nya mati, Julian mendesah putus asa dan mengusap wajahnya, dia baru ingat kalau semalam ia mabuk dan Kian mengantarkannya pulang ke rumah alih-alih ke hotel. Itu artinya Ibu dan Andra tahu kalau dia mabuk parah semalam kan? Pikir Julian.

sialan Mas Kian.

Tanpa pikir panjang ia langsung bangun dari ranjangnya, Julian mengabaikan kepala nya yang sakit dan tubuhnya yang lengket bau minuman bercampur keringat. Dia membuka pintu kamarnya, mendapati Ibu dan Andra sedang menaruh belanjaan di dapur.

Ibu memang belanja untuk catering nya, biasanya kalau Julian libur, Julian yang mengantar Ibu tapi berhubung Julian semalam mabuk, akhirnya Ibu di antar oleh Andra. Begitu melihat Julian bangun, Ibu langsung membuang pandanganya ke arah lain. Ibu bahkan pergi ke dapur mengabaikan Julian yang terlihat merasa bersalah.

“Dra?” panggil Julian waktu Andra keluar dari dapur.

“Ibu kecewa banget sama lo, Mas.” itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Andra. Julian tahu itu, terlihat dari bagaimana raut wajah Ibu dan sikap nya pagi ini yang memang menyadarkan Julian bahwa Ibu sangat marah.

Julian diam aja, dia nunduk. Ngerasa bersalah banget sama Ibu dan enggak enak sama Andra. Karena dia mabuk Andra jadi harus mengambil alih pekerjaannya bantu Ibu, mereka itu udah bagi-bagi tugas buat bantu Ibu dari dulu.

“Biar gue aja yang bawa ke dapur, Dra.” Julian nahan tangan Andra waktu adiknya itu mau bawa karung kecil berisi bawang bombay yang di beli Ibu.

“Yaudah, gue tinggal yah. Gue mau pesen gas dulu.”

Julian mengangguk, dia mengambil alih pekerjaan itu dan berjalan ke dapur. Di dapur, Ibu sedang memeriksa catatan dan belanjaan yang dia beli sama Andra, namun begitu melihat Julian masuk Ibu langsung berdiri dan hendak keluar dari dapur.

“Buk?” panggil Julian setelah dia naruh karung berisi bawangnya.

“Mandi, sholat, habis itu makan.” hanya itu yang Ibu ucapkan setelah itu Ibu pergi mengabaikan Julian lagi.

Julian yang mendengar nada tegas dari suara Ibu nya itu mengusap wajahnya, dia nyesal. Julian sadar kok dia sudah lari terlalu jauh, dia juga sadar kalau dia banyak berubah. Bahkan Julian sadar dia seperti tidak mengenali dirinya sendiri lagi.

Karena enggak ingin bikin Ibu tambah marah, Julian akhirnya lakuin apa yang Ibu suruh. Dia mandi, sholat dan kemudian makan. Perut nya juga lapar karena seingatnya terakhir ia hanya makan siang di kantor.

Setelah makan, Julian sempat masuk ke dalam kamar nya. Dia belum sempat ngomong sama Ibu empat mata karena Ibu sedang sibuk di catering, jadi yang Julian lakukan adalah membuka MacBook miliknya untuk mencari lowongan pekerjaan. Julian mau berubah, dia juga mau menjauh dari semua hal yang menyakitinya, dia mau menjauhi orang-orang yang mengenalnya. Dan mencari suasana baru.

Beberapa plat form lowongan pekerjaan Julian jelajahi, ada beberapa perusahaan yang menjadi kandidat Julian. Enggak berada di Jakarta, tempatnya ada di Semarang. Julian ingin meninggalkan Jakarta dan tinggal di Semarang untuk sementara waktu, kebetulan di Semarang juga masih ada rumah peninggalan Bapak yang di tempati sama Pakle dan Bulek nya.

Sedang asik melihat-lihat lowongan pekerjaan, tiba-tiba saja pintu kamar Julian terbuka. Menampakan Ibu dengan wajah datar nya, Julian langsung berdiri

“Ibu mau ngomong sama, Mas. Ke depan, jangan di kamar terus!” ucap Ibu tegas.

“Iya, Buk.”

Ibu jalan ke ruang tamu di ekori Julian di belakangnya, kedua nya duduk di sofa yang sama. Julian hanya menunduk sementara Ibu menelisik wajah si sulung itu dengan rasa kesal sekaligus kecewa.

“Ijul minta maaf, Buk.” ucap Julian penuh penyesalan. “Ijul nyesal banget.”

“Sejak kapan anak Ibu banyak berubah begini? Sejak kapan, Jul...” suara Ibu berubah jadi lirih, Ibu menangis. Ibu kaget banget waktu tengah malam seseorang mengetuk rumahnya dan mengantarkan Julian dalam keadaan mabuk. Ibu enggak pernah liat Julian minum, aneh-aneh waktu jaman sekolah pun enggak bahkan waktu Julian kost di Bandung dan jauh dari Ibu pun Julian enggak pernah macam-macam, Makanya rasanya Ibu kecewa dan gagal banget mendidik Julian.

“Maafin Ijul, Buk.. Ijul janji gak akan kaya gitu lagi.”

Julian yang tadi nya duduk di sofa sekarang pindah duduk di lantai, dia bersimpuh di depan kaki Ibu nya. Memeluk kaki Ibu demi mendapatkan maaf dari wanita itu. Julian menyesal banget, selain itu dia juga marah tapi juga enggak bisa marah sama Kian, karna biar bagaimana pun Kian sudah ia repotkan untuk mengantarnya ke rumah.

“Kenapa kamu jadi begini, Jul.. Perasaan Bapakmu gak pernah kaya gitu.. Bapak gak pernah ngajarin kamu aneh-aneh.”

“Salahnya Ijul, Buk. Bapak sama Ibu enggak salah.”

Karena terlanjur kesal, Ibu menyingkirkan tangan Julian yang menggenggam tangannya. “Kamu tau gak salah mu apa?!”

“Ijul mabuk, Buk..”

“Bukan cuma mabuk!!” hardik Ibu naik pitam.

Mendengar suara Ibu membentaknya, Julian menengadahkan kepala nya. Matanya memerah karena dia menangis, kalau bukan hanya mabuk? Lalu salah apa lagi dia? Pikir Julian. Julian menggeleng pelan, dia memang enggak tahu kesalahan apa yang Ibu maksud.

“Kamu tidur sama perempuan bernama Bianca itu, Jul? Iya?”

Julian panik bukan main, dari mana Ibu tahu? Ia hanya bercerita hal ini pada Andra bahkan Kian pun enggak dia ceritain sama sekali, atau jangan-jangan Bianca ke rumahnya? Apa wanita itu hamil dan meminta pertanggung jawabannya? Pikiran Julian rasanya penuh banget, dia sampai enggak berani ngeluarin kata-kata sedikit pun. Otak nya kaya berhenti berpikir, yang di kepala Julian sekarang hanya dia merasa gagal karena sudah mengecewakan Ibu.

“Ibu kecewa banget sama kamu, Jul. Bapak selalu bilang buat jangan sampai berbuat seperti itu, sudah berapa kali kamu kaya gitu sama dia?”

“Buk—”

“BERAPA KALI JULIAN!!” teriak Ibu.

“Buk, nanti gas nya di antar sama Pak Kar—” tidak lama kemudian Andra datang, namun kata-katanya mengambang karena dia lihat Ibu dan Mas nya itu sedang menangis di ruang tamu.

“Ini ada apa sih?”

“JAWAB IBU JULIAN!!”

“Lo yah?!” Julian berdiri, Julian natap Andra nyalang dengan sorot mata kecewa sekaligus marah. Saat ini dia masih mencurigai Andra kalau Andra keceplosan ngomong sama Ibu.

“Apaan sih, Mas? Gue apa?”

“Lo yang cerita sama Ibu soal gue sama Bianca, iya?!” sentak Julian.

“Jadi Andra sudah tahu?” Ibu yang mendengar itu berdiri, beliau natap kedua anak laki-laki nya itu dengan kecewa. Bukan Andra yang ngomong, Ibu gak pernah tahu soal Julian dan Bianca dari Andra.

“Buk..”

“Benar apa yang di bilang Mas mu, Dra?”

Julian yang tadi nya menatap Andra dengan marah kini jadi tambah bingung, kalau bukan tahu dari Andra lalu Ibu tahu dari siapa? Dan saat ini dugaan paling kuatnya adalah Bianca, Bianca yang datang ke rumahnya lalu cerita sama Ibu, apa Bianca sakit hati karena di hari terakhir mereka bertemu, ia langsung meninggalkan Bianca tanpa berucap sedikit pun? Pikir Julian, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.

“Ya Allah,” Ibu memejamkan matanya. “Ibu benar-benar kecewa sama kalian! Sakit banget hati Ibu di bohongin sama kalian.” ucap Ibu sebelum beliau pergi masuk ke dalam kamarnya.

“Buk.. Ibu...” Julian ingin menyusul Ibu namun Andra menahan bahu nya.

“Gara-gara lo, Mas. Kalo sampe Ibu kenapa-kenapa, lo orang pertama yang gue hajar!! Asal lo tau yah, gue gak pernah sekalipun ngember tentang aib lo sama itu cewek!” Andra nunjuk-nunjuk bahu Mas nya itu dengan telunjuknya, sekalipun Andra enggak pernah ngerasa kurang ajar kaya gini, dia sangat menghormati Julian. Tapi kali ini rasanya Julian sudah kelewatan.

“Urus masalah lo sama itu cewek sendiri, jangan bawa-bawa gue!” setelah mengatakan itu, Andra pergi menyusul Ibu.

Meninggalkan Julian yang terduduk lemas di atas sofa sembari meremas rambut nya sendiri, jika benar ini semua karena Bianca. Dia enggak akan tinggal diam, dia akan nyamperin cewek itu dan nanya apa maksud nya dia sudah cerita tentang mereka ke Ibu, tapi bagaimana kalau ternyata Bianca hamil? Pikir Julian enggak karuan.

Selama enggak bertemu lagi dan gak menghubungi Julian lagi, Bianca lebih banyak menghabiskan waktu di kosan nya. Mulai dari baca-baca buku, masak sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti poterry class. Bianca masih bingung mau bagaimana sama karir nya setelah keluar dari Ruby Jane, dia cuma mau menikmati hidupnya sebentar.

Setiap kali dia keluar, kadang Bianca juga masih suka di perhatikan orang-orang. Makanya dia sering pakai masker kalau mau keluar, hari ini Bianca pergi sendiri ke tempat poterry class nya. Dia gak punya siapa-siapa lagi buat di ajak ikut kelas seperti ini.

Waktu baru datang, Bianca di kasih berbagai macam barang seperti celemek, masker, buku panduan dan brosur dari tempatnya. Oh iya, Bianca masih pakai kruk dan dia masih belum terbiasa sama itu. Makanya buat bawa barang-barang yang di kasih sama kelas nya juga dia kerepotan. Sampai-sampai celemek yang nantinya akan dia pakai itu jatuh.

Di tempat menuju kelas nya agak ramai, tapi enggak ada satu orang pun yang membantu nya untuk mengambil celemek itu. Bianca juga enggak mau minta bantuan siapa-siapa, takut ada yang mengenali dia. Sampai akhirnya ada tangan kurus yang membantunya mengambil celemek itu.

“Makasih yah, Mbak—” ucapan Bianca tertahan, dia kaget karena ternyata Ara ada di kelas ini juga. “Mbak Ara? Kok bisa ada disini?”

Ara senyum, dia juga sama gak nyangka nya kalau akan ketemu sama Bianca. “Aku ikut kelas ini, Mbak. Kamu disini juga?”

Bianca mengangguk. “Iya.”

“Sendiri?”

Lagi-lagi Bianca mengangguk, Ara enggak nanya Julian kok. Dia cuma kasihan saja sama Bianca karena kaki nya masih sakit dan harus pakai kruk tapi justru wanita itu pergi sendirian, dia pasti kesusahan banget kalau mau ngapa-ngapain sendiri. Geraknya enggak sebebas biasanya.

“Sama aku aja yah, duduk di sebelah aku.”

“Boleh?”

“Boleh dong, sini aku bantuin bawa.” karena liat Bianca kerepotan, akhirnya Ara yang bawain barang-barang yang di bawa Bianca.

Mereka juga duduk bersebelahan waktu mengikuti kelasnya, tutor nya baik menurut Bianca, orangnya ramah dan peserta lain juga menyenangkan. Dia gak pernah menyangka ikut kelas seperti ini membuat kekosongan di hatinya sedikit terisi, tapi sejujurnya Bianca enggak begitu konsentrasi karena beberapa kali dia melirik Ara terus.

Ternyata cewek yang di sukai Julian sebaik itu, Ara bukan cuma cantik tapi juga baik dan perhatian. Kalau di liat dari akun-akun sosial media miliknya yang setiap malam Bianca stalk, Ara emang bukan tipe cewek banyak tingkah, reputasi nya bagus banget dan ternyata dia influencer yang suka mengedukasi tentang kesehatan mental.

Pantas saja Julian bisa sesayang itu sama Ara sampai-sampai melihat cewek itu nikah sama orang lain jadi patah hati terparahnya, kadang Bianca jadi suka membandingkan dirinya dan Ara. Kalau di bandingin rasanya dia bukan apa-apa, Bianca kaya cuma wanita dengan asal usul enggak jelas, suka dugem, pernah jadi selingkuhan dan sering kali mabuk.

Setelah selesai mengikuti kelas nya, Ara sempat ngajak Bianca makan sore dulu. Kebetulan Bianca juga belum makan dari siang, dia juga bosan makan sendirian jadi akhirnya dia ikut Ara saja.

“Nanti pas ambil hasil nya Mbak mau bareng sama aku?” tanya Ara di sela-sela makannya.

“Boleh, nanti kamu kabarin aku yah, Ra.”

Ara mengangguk, “punya Mbak tuh keren deh, aku suka banget. Padahal baru sekali ikut yah?”

“Aku pernah belajar dulu.”

“Oh yah?” pekik Ara kaget, pantas saja Bianca kelihatan telaten dan bagus banget buatannya. Kaya memang udah pernah buat atau pernah mengikuti kelas.

“Iya, dulu Ibu panti aku pengerajin tembikar. Aku pernah belajar, makanya aku lumayan bisa bikinnya.”

Waktu di panti, Bianca kecil itu banyak ingin mengetahui hal-hal baru. Termasuk ngelihatin Ibu pantinya bikin gelas dan guci, Bianca pernah di ajari. Makanya dia lumayan bisa. Bianca ikut kelas ini karena dia emang mau mengisi kekosongan aja sekaligus merindukan pantinya yang dulu.

Waktu dengar Bianca pernah belajar, Ara natap Bianca kagum. Dia sampai tepuk tangan nya kecil, tuh kan benar dugaannya gak mungkin Bianca bisa sejago itu kalau baru pertama kali.

“Pantesan jago banget.” Ara senyum “oh iya, selain ikut kelas ini Mbak mau ikut kelas apa lagi?”

Bianca jadi kepikiran kalau dia kayanya mau ikut kelas lagi, tapi dia masih bingung mau mengikuti kelas apa. “Pengen sih, kamu ada saran gak?”

“Ikut kelas baking mau gak, Mbak? Kebetulan aku udah daftar, tapi sayangnya minggu depan aku harus ke Bandung buat ngajuin cuti kuliah Makanya enggak bisa ikut kelas nya, kalau Mbak mau aku bisa kasih ke Mbak, jadi nanti Mbak yang gantiin aku, gimana?”

“Boleh, dimana tuh?”

“Di Senayan, nanti aku share alamatnya ke kamu yah, Mbak.”

Bianca mengangguk, sembari makan Bianca masih sesekali memperhatikan Ara, senyum cewek itu kelihatan tulus banget. Boleh Bianca jujur? Waktu dia berantem sama Julian soal bilang pacarnya, dia sempat membenci Ara, apalagi waktu Julian tiba-tiba pergi meninggalkannya tanpa kata sedikit pun Bianca juga membenci Ara.

Bianca cuma mikir kalau dia bertemu Julian lebih dulu, kalau saja dia Julian enggak ketemu Ara lagi. Dia dan Julian enggak akan berantem, Julian juga gak akan meninggalkannya seperti itu. Katakan Bianca sudah bergantung dan menggantungkan kebahagiaanya pada Julian, tapi apa dia salah? Dia cuma merasa nyaman sama cowok itu.

Tapi hari ini, untuk yang kedua kalinya dia ketemu sama Ara. Bianca jadi sadar kalau Ara sama sekali enggak pantas dia benci, cewek itu baik. Bianca justru rasanya ingin menjadi temannya, tapi ngeliat kehidupan Ara pun rasanya bikin Bianca iri, karena setelah pulang dari cafe, Bianca tahu kalau Ara di jemput Ibu mertua nya Bianca tahu itu mertua Ara karena Ara pernah memposting foto dia dan Ibu mertua nya di instagram.

Dia punya kehidupan yang baik, jauh di banding Bianca. Di perjalanan pulang pun Bianca menangis, dia mengasihani dirinya sendiri. Dia baru sadar kalau selama ini dia hanya punya dirinya sendiri. Namun saat sampai di depan kosan nya, Bianca justru sedikit kaget karena ada 2 orang pria duduk di teras kosannya.

Dua pria yang berbeda usia, yang satunya berusia sekitar 55 tahun dan yang satunya lagi terlihat seperti 30 an. Awalnya Bianca sempat mengira mereka adalah orang-orang suruhan Damian.

“siapa yah?” tanya Bianca. “Ada apa di depan kamar kost saya?”

“Bianca, bisa kita ngobrol sebentar?” tanya pria yang terlihat lebih tua itu.

Bianca mengangguk, pria itu mengajak Bianca untuk mengobrol di mobilnya. Sementara pria yang berdiri bersamanya tadi berdiri di luar mobil. Seperti nya itu pengawalnya? Tebak Bianca.

“Di kepala kamu pasti sekarang banyak pertanyaan yah? Tapi boleh saya tanya kabar kamu lebih dulu?” ucap pria itu sopan.

“Kabar saya baik, anda siapa yah?”

“Kenalkan Bianca, nama saya Dion Pratama Sijabat.”

Pria itu mengulurkan tangannya ke depan Bianca, tapi Bianca enggak menjabat tangan itu. Dia justru menatap pria itu dengan pandangan bingung, yang ada di kepala Bianca saat ini adalah kenapa nama belakang pria itu sama seperti nama nya?

“Kamu tambah bingung yah, Bianca?”

Bianca enggak menjawab, dia justru membuang pandanganya ke arah lain. Pria itu memang enggak menatapnya dengan kurang ajar, tapi Bianca enggak nyaman saja rasanya.

“Bianca, maaf kalau selama ini saya baru muncul.”

Bianca menoleh, kening nya berkerut menandakan kebingungannya. “Maksudnya?”

“Saya Ayah sekaligus wali kamu Bianca, saya yang mengadopsi kamu dari panti asuhan.” jawab pria itu dengan nada tenangnya.

Setelah mendengar itu, Bianca sempat terdiam. Namun sedetik kemudian ia tertawa hambar dan menggeleng kepalanya, ternyata selama ini pria itu adalah orang yang 'memeliharanya' kenapa baru muncul sekarang? Pikir Bianca.

“Jadi anda yang melihara saya? Wah...” Bianca menepuk-nepuk tangannya. “Dan sekarang anda sedang menjenguk peliharaanya?”

“Bianca—”

“Kenapa baru muncul sekarang?”

“Saya bisa jelaskan Bianca.”

Bianca menarik nafasnya, berusaha untuk tetap tenang agar pria di sampingnya itu bisa menjelaskan semuanya. Lagi pula ada banyak pertanyaan di kepala Bianca yang menuntut jawaban, dia harus sedikit bersabar.

“Maaf karena saya baru muncul di depan kamu sekarang Bianca, saya punya alasan untuk itu.” wajah pria bernama Dion itu penuh penyesalan, dia menunduk. Namun tidak lama kemudian menatap Bianca, cara melihat Bianca seperti cara seorang Ayah menatap anak perempuannya.

“Kamu itu anak kandung saya Bianca.” lanjutnya.

Bianca menoleh dengan cepat ke arah pria itu, matanya membulat dan kepalanya berusaha mencerna kata-kata pria itu. Kupingnya tidak salah dengar kan? Apa katanya? Anak kandung? Pikir Bianca.

“Ma..maksudnya?”

“Saya Papa kamu, boleh saya cerita dulu?” tanyanya yang membuat Bianca mengangguk. “Dewi, itu nama Ibu kamu. Kami itu dulu berpacaran, tapi sayangnya hubungan kami enggak di setujui oleh keluarga saya karen Dewi berasal dari keluarga tidak mampu. Saya di jodohin sama anak dari teman Ayah saya, tapi selama kami menikah. Saya masih berhubungan sama Dewi sampai akhirnya saya tau kami memiliki anak.”

“Dewi memilih untuk mempertahankan kandungannya, saat saya juga sudah memiliki anak dari Istri sah saya. Dia bilang dia hanya punya kamu, tapi saat kamu berumur 1 tahun, Dewi meninggal. Dia titipin kamu di panti asuhan itu. Saya tahu semuanya, saya enggak bisa bawa kamu ke rumah karena istri saya enggak suka. Makanya, saya cuma bisa jadi wali yang mengadopsi kamu dari panti. Menafkahi kamu tanpa saya berani muncul di depan kamu”

“Yang saya lakukan itu demi melindungi kamu, tapi sayangnya kamu bertemu sama Damian.”

“Damian?” tanya Bianca.

Pria itu mengangguk, “Bianca, Damian itu kakak kamu. Anak saya bersama istri sah saya, saya sudah tahu semua yang dia lakukan ke kamu walau terlambat, saya minta maaf Bianca.”

Mendengar semua penjelasan itu, hati Bianca rasanya seperti di remas. Matanya memanas dan tanpa sadar dia mengeluarkan air matanya, Bianca punya keluarga selama ini dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ternyata Damian, si brengsek itu adalah Kakaknya.

“Omong kosong kan? Ini semua gak benar kan?” hardik Bianca, dia lepas kendali.

“Maafkan saya, Bianca. Maafkan saya.”

Bianca sudah tidak tahan mendengar semuanya, jadi buru-buru dia keluar dari mobil itu dan berusaha berlari kecil masuk ke dalam kamar kost nya sambil menangis, walau itu bikin kakinya tambah ngilu. Persetan dengan kruk miliknya yang jatuh di depan teras, yang penting Bianca bisa menjauhi laki-laki dengan omong kosong itu dulu.

Begitu sampai di dalam kamar kost nya, Bianca mengunci pintu nya dan merosot di belakang pintu. Dia memeluk dirinya sendiri, dia kecewa, dia marah tapi Bianca gak tahu harus menyalahkan siapa. Siapa yang harus di salahkan?

Kediaman rumah keluarga Yuno hari ini tampak begitu ramai, semua keluarga besar Yuno dan Ara datang. Ada teman dan tetangga juga yang di undang sama orang tua Yuno buat datang ke pengajian acara 4 bulan menantu mereka.

Ara masih di kamar aja, di temenin Gita, Elara sama Teh Niken yang bela-belain dateng dari Bandung. Sementara teman-teman cowok nya bantu-bantu di lantai 1, sebenarnya orang tua Yuno udah ngelarang sih biar bagaimana pun juga mereka kan tamu, tapi mereka nya saja yang berinsiatif buat bantu.

Di kamar Yuno yang sekarang jadi kamar Ara itu, keempat perempuan itu saling bertukar cerita. Apa saja, mulai dari Gita dan kesibukannya mengurus si kembar, Ara yang cerita kalau dia ikut workshop, Elara yang cerita soal persiapan pernikahan dia sama Janu sampai soal Teh Niken yang cerita soal Chaka yang pengen juga menikah dalam waktu dekat.

“Aku tuh bingung, Chaka bilang siap nunggu sampai Aa aku nikah. Tapi hampir tiap bulan tuh kita ngeributinnya soal itu terus,” Teh Niken menghela nafasnya, dia akhir-akhir ini sering berantem sama Chaka karena kalau sudah menyinggung soal nikah Chaka pasti langsung nanya kira-kira kapan mereka bisa menikah juga, pasalnya Niken enggak bisa pastiin itu kapan karena Kakak nya pun masih menunggu sampai pacarnya itu lulus S2.

“Jadi pacar Aa nya Teh Niken tuh mau nikah setelah lulus S2?” tanya Elara, yang di jawab dengan anggukan.

“Berarti masih sekitar 1-2 tahun lagi yah, harusnya sih di umur segitu juga kalian lebih matang gak sih, Teh?” timpal Gita.

“Maksud aku juga gitu, Git. Sambil nunggu Aa ku, kan kita bisa sama-sama bangun karir dan explore banyak hal. Yah walau aku juga sebenarnya siap-siap aja nikah sekarang tuh, tapi ini tuh kesepakatan yang udah di buat sama keluarga aku. Gak boleh ngelangkahin Aa harus Aa duluan yang nikah.”

Orang tua Niken tuh udah bikin kesepakatan sama anak-anak mereka bahwa Niken enggak boleh mendahului Kakak tertua nya dulu, toh menunggu 1-2 tahun juga enggak lama kan? Yah walau Aa nya juga enggak masalah kalau Niken mau melangkahinya, Niken sudah bicarakan ini sama Chaka. Chaka hanya cukup meyakinkan Kakak dan orang tua nya saja.

Chaka sendiri bilang dia gak mau mendahului Kakak nya Niken tapi setiap kali bahas soal nikah, Chaka juga yang kadang sewot. Niken jadi bingung sendiri, yah walau ujung-ujungnya Chaka juga yang bakalan mengalah minta maaf.

“Susah juga ternyata yah ngomongin soal nikah tuh, gue juga kalo lagi ngobrol soal nikah sama Janu kadang suka ribut-ribut kecil,” Elara menghela nafasnya, dia tiduran di ranjang Ara. Gak nyangka nikah tuh bakalan serepot ini.

“Kamu mah enak yah, Ra. Kayanya Yuno juga gak neko-neko gak sih? Kelihatan jarang marah juga kan?” ucap Teh Niken, dari tadi Ara cuma nyimak aja soalnya kepala nya pusing. Tensi nya belum juga turun, mungkin besok dia bakalan balik lagi ke dokternya buat konsul soal ini.

“Mas Yuno emang jarang marah sih, kalau marah juga enggak pernah lama. Tapi yah gitu.”

Gita udah tau jawaban Ara, makanya dia cuma nyengir aja. Oh iya soal Gita yang mau bicara soal Julian, mereka sudah sempat ketemu lagi kemarin di Ruby Jane. Tapi sayangnya Julian enggak bisa di ajak bicara sebentar, cowok itu bilang lagi sibuk. Entah memang benar atau memang Julian yang menghindar.

“Kenapa-kenapa?” Elara bangun dari ranjang saking penasarannya.

“Di tinggal melulu..” gumam Ara, wajahnya jadi cemberut lagi. Semalaman ini Ara gak bisa tidur karena pinggangnya sakit, dia ngerasa semakin besar kandungannya semakin sering sakit pinggangnya.

Selain itu dia juga merindukan Yuno, Ara gak bisa telfon Yuno karena Yuno masih dalam waktu jaga nya. selain itu besok paginya Yuno juga harus menyiapkan presentasi ke konsulen nya agar dia bisa lanjut ke stase selanjutnya.

“Iya yah.. Baru nikah belum sebulan udah di tinggal aja, sabar yah, Ra. Kan dikit lagi ketemu, lo jadi cuti kan?” Gita mengusap-usap bahu Ara. Bulan depan itu Ara berniat buat cuti, sekaligus jenguk suaminya itu di Jerman. Mau baby moon itu pun kalau sempat.

“Jadi, udah nyiapin berkas nya kok. Mungkin minggu depan gue ke Bandung buat ngajuin cuti.”

Setelah ngobrol random mereka berempat turun, Mama nya Yuno udah manggil Ara buat turun karena Pak Ustad nya sudah datang. Acaranya juga akan segera di mulai, acaranya itu di ruang tamu rumah Yuno. Lesehan kaya acara pengajian pada umumnya kok, dan Ara duduk di antara Mama dan Bunda nya.

Di sebrang tempatnya duduk, Ara baru sadar kalau ada Ibu nya Julian juga. Dia memang pesan catering sama Ibu nya Julian, dan rasanya Ara senang Ibu nya Julian bisa nyempatin datang ke acara pengajiannya.

Setelah acara pengajian itu selesai, Ara baru sempat buat nyapa sama Ibu nya Julian. Soalnya dari tadi dia di ajak ngobrol sama keluarga dari pihak Papa nya Yuno terus.

“Buk,” Ara cium tangan Ibu nya Julian, beliau ada di teras tadi sedang duduk sambil ngobrol sama Gita dan Teh Niken. Tapi sekarang sendiri karena Gita balik ke kamar nya di rumah Yuno, si kembar bangun. Sementara Teh Niken pulang duluan sama Chaka.

“Gimana kabar kamu, Ra?” tanya Ibu.

“Sehat, Buk. Ibu gimana sehat?”

alhamdulillah, sehat. Andra juga sehat.”

Ara senyum, “senang dengarnya, Buk.”

“Kamu kapan mau main ke rumah Ibu, Ra? Kangen Ibu tuh sama kamu. Katanya mau belajar bikin lapis legit?” waktu main ke rumah Julian, Ara emang nyobain lapis legit buatan Ibu. setelah itu dia jadi tertarik buat belajar bikin lapis legit, tapi sayangnya waktu nya belum sempat.

“Kapan yah, Buk. Kepengen banget padahal.” Ara senyum canggung, dia juga enggak tahu kapan bisa main ke rumah Julian lagi. Melihat dia di rumahnya mungkin Julian enggak akan suka.

“Kapanpun, kalau kamu mau belajar bikin kue. Datang yah, Ra. Ibu senang banget kalo bisa ngajarin kamu.” tangan Ibu terulur, masukin anak rambut Ara yang keluar dari hijab yang hari ini dia pakai.

Ibu tuh suka dan sayang banget sama Ara, waktu Julian cerita Ara mau menikah. Ibu agak sedih, karena Ibu berharap Julian bisa melamar Ara untuk menjadi istrinya. Tapi walaupun begitu Ibu tetap berdoa demi kebahagiaan Ara.

“Kamu sehat kan, Ra?” Ibu nanya gini soalnya muka nya Ara pucat, Ara emang enggak pakai lip product apapun. Dia cuma make up tipis pakai foundation sama ngalis aja.

“Tensi Ara lagi agak tinggi, Buk.”

“Kenapa?”

Ara menggeleng, “kayanya kecapekan aja, Buk.”

“Nanti Ibu kirimin jus mau? Ibu punya resep jus yang bikin tensi cepat normal. Nanti Ibu suruh Andra yang anterin untukmu yah.”

Ara ngangguk, Ibu emang selalu perhatian sama Ara. Dulu, tiap kali Julian pulang dari Jakarta ke Bandung habis liburan, Ibu pasti nitipin makanan kesukaan Ara yang di titipkan Ibu ke Julian. Ara senang Ibu enggak berubah meski pertemanan Julian dan Ara renggang.

Setelah ngobrol sebentar sama Ibu, Ara antar Ibu sampai depan pagar rumah nya. Ibu pamitan mau pulang, kebetulan Andra sudah menjemputnya juga. Sebelum masuk ke mobil, Ibu sempat meluk Ara erat. Ibu kaya lagi ngeluarin rasa kangen nya lewat pelukan itu.

“Sehat-sehat yah, Ra. Ibu tuh sayang banget sama kamu, sudah Ibu anggap kaya anak Ibu.”

“Ibu juga yah.”

Sebelum Ibu masuk, Ara menimang-nimang pikirannya untuk menyampaikan ucapan terima kasih pada Julian. Dia rasa dia harus mengatakan itu, karna kalau tidak ada Julian kemarin. Ara mungkin bisa keguguran, lantai cafe nya licin. Dan Julian menahannya agar ia tidak jatuh.

“Buk?” panggil Ara, dia jalan ke arah Ibu. “Bilang sama Julian, terima kasih banyak yah, Buk.”

“Memang Julian kasih apa ke kamu, Ra? Kalian sudah ketemu yah?”

Ara meringis, dia menggeleng pelan. Enggak mau bahas Julian terlalu jauh karna itu hanya akan membuatnya teringat sama kata-kata Julian di parkiran rumah sakit.

“Ara masuk yah, Buk. Ibu hati-hati sama Andra.”


Malam itu Julian kembali menenggak segelas wine di tangannya, sudah 3 hari belakangan ini setelah lembur bekerja dia langsung pergi ke club sama Kian. Julian juga enggak berani pulang ke rumah kalau mabuk kaya gini, dia minta tolong ke Kian buat bawa dia ke penginapan terdekat.

Gak perduli sama kencangnya suara musik dan gelak tawa orang di club malam itu, serta beberapa tubuh yang berdansa sedikit menyenggolnya. Julian tetap fokus pada gelas kecil di tangannya, menuang cairan yang dapat menghilangkan akal sehatnya itu dan menenggaknya.

Cuma ini yang bisa Julian lakuin buat ngelupain kebodohannya kemarin, cuma dengan ke tempat ini, berada di keramaian dan mabuk sampai dia benar-benar bisa lupa semuanya. Julian tahu ini gak baik, tapi sebentar saja dia mau keluar dari zona nyamannya dulu.

“Jul, lo udah teler banget ini.” Kian ngambil gelas yang ada di tangan Julian dan menjauhkan botol wine dari tangan temannya itu. Untung saja Kian mau di repotin.

“Balikin, Mas. Gue masih haus, siniin.” Julian meracau, dia memegangi kepala nya yang udah mulai pusing itu.

“Haus minum air putih, udah yuk balik. Besok kita ada meeting anjrit!!”

“Lo balik duluan aja.. Sana sana hush hush!” Julian senyum, dia dorong-dorong punggung Kian biar menjauh darinya. Kemudian ambil gelas dan botol wine miliknya lagi.

“Sumpah deh, lo sekalinya bertingkah malah kelewatan begini!!”

Salah Kian memang yang ngajak Julian ke club, dia kan niatnya mau di temenin ketemu sama gebetannya aja. Dia gak tau Julian kemarin-kemarin justru mesan minuman dan berakhir teler, dan sialnya cowok itu memang seperti melampiaskan segala masalahnya di club. Apes banget Kian ini.

“Kelewatan kan bisa putar balik.” Julian cengengesan, dia muter-muter tangannya kemudian kembali menenggak wine miliknya.

“Pala lu muter balik, udah ayo pulang. Gue anterin elu balik.” karena kepalang kesal, Kian narik tangan Julian dan bopong cowok itu keluar dari club.

Julian itu tinggi, badan nya berisi. Kian yang tingginya hanya 176 itu dan agak kurus jadi kuwalahan buat bawa Julian sampai ke dalam mobilnya. Belum lagi Julian suka narik-narik orang di sekitarnya terus mau dia cium, kan Kian jadi tambah pening.

Dan sialnya saat di parkiran Julian muntah sampai akhirnya tertidur, untung saja security club malam itu mau membantunya masukin Julian ke dalam mobil. Kalau enggak kayanya Kian lebih baik ninggalin Julian di parkiran, persetan Julian di anggap gelandangan.

“Hadehhh, Jul.. Jul.. Masalah apa sih yang lu hadepin sampe jadi kaya begini?!” hardik Kian, dia baru masuk mobilnya. Nafasnya masih tersengal-sengal karena capek bopong Julian ke mobilnya.

“Ara..” Julian mulai meracau lagi. “Gue minta maaf..”

Gak lama kemudian Julian nangis, matanya masih terpejam tapi cowok itu menangis seperti anak kecil yang enggak di beliin mainan sama Ibu nya. Selain ngerasa bersalah sama Kian, sebenarnya Julian juga merasa bersalah sama Bianca. Sejak hari itu, Bianca dan Julian gak pernah ketemu lagi. Sudah terhitung 3 hari malahan, Bianca juga enggak pernah mengabarinya lagi.

“Ara Ara tiap mabuk yang lo panggil dia mulu, siape sih? Gue samperin juga lama-lama.”

“Gue udah brengsek banget..”

“Selain brengsek elu juga nyusahin,” timpal Kian.

Setelah selesai meeting sama brand yang mau bekerja sama dengannya, Ara masih nunggu sampai pemilik dompet itu sampai di cafe tempat mereka bertemu. Kebetulan dia juga bawa tugas kuliahnya ke cafe itu, niatnya memang mau belajar di sana karena Ara ngerasa jenuh banget di rumah.

Kalau lagi ngerjain tugas gini, dia jadi kangen masa-masa waktu dia selesain S1 nya di Bandung. Terutama di tahun pertama nya kuliah, Ara masih rajin banget bangun pagi bikin bekal sarapan buat ke kampus. Ada kelas siang pun dia tetap bangun pagi dan datang satu jam sebelum kelasnya di mulai.

Sekarang juga dia masih rajin kok, tapi rasanya suasana waktu ngejalanin S1 dan S2 beda banget. Terutama di teman-temannya, dulu kebanyakan temannya itu seumuran dengannya. Kalau pun lebih tua kayanya cuma beda satu sampai dua tahun, tapi waktu S2 ini beda bahkan ada mahasiswa yang umur nya jauh banget sama Ara.

Makanya dia juga enggak punya banyak teman dekat, bukannya Ara enggak suka bergaul dengan orang yang lebih dewasa. Hanya saja rasanya canggung, ada beberapa candaan dan obrolan yang rasanya kurang relate buat dia.

“Mbak Ara yah?”

Begitu mendengar suara wanita memanggil nama nya, Ara mendongak dia tadi lagi fokus liat ke tab miliknya buat ngerjain tugas yang di kasih dosennya hari ini. Wanita itu tersenyum manis ke Ara, tapi enggak dengan Ara. Dia justru kaget bukan karena wanita yang berdiri dengan kruk dan gips di kaki kirinya, melainkan karena laki-laki yang berdiri di sebelah wanita itu.

Sama hal nya dengan Ara, laki-laki itu juga mematung. Ada sirat keterkejutannya samar namun wajah datarnya lebih mendominasi, mata mereka sempat bertemu sebelum akhirnya si laki-laki memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Hallo, Mbak Ara bukan yah?” Bianca melambaikan tangannya karena Ara malah melamun.

“Aahhh, Iya. saya Ara, duduk Mbak. Ini Mbak Bianca yah?”

Bianca mengangguk, kedua nya duduk bersebrangan dengan Ara. Ada atmosfer kecanggungan yang tercipta di antara Ara dan Julian, namun Bianca berusaha mencairkannya. Dia juga berusaha buat pura-pura enggak tahu tentang Ara dan Julian yang memang sebenarnya kenal.

“Lama yah? Maaf yah tadi jalanan macet.” Bianca emang telat, Julian menjemputnya telat karena ada kerjaan yang harus laki-laki itu kerjakan lebih dulu.

Ara menggeleng, dia berusaha tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Gapapa, Mbak.”

Gak lama Ara ngeluarin dompet milik Bianca dari tas nya dan memberikannya ke wanita itu. Ara gak berniat lama-lama, dia gak nyaman dekat Julian dan berpura-pura sebagai orang yang enggak saling mengenal. Ara yakin Julian juga merasakan hal yang sama, tapi siapa Bianca ini? Kenapa Julian mengantarnya? Pikir Ara.

Sebenarnya wajar saja mereka saling mengenal, toh kata Gita, Julian bekerja di Ruby Jane kan? Dan wanita yang bersama nya ini adalah divisi marketing di brand itu. Jadi, yang di maksud teman di parkiran rumah sakit oleh Julian itu adalah Bianca?

“Ahh, makasih banyak Mbak Ara, sumpah loh. Kalo enggak ada kamu aku gak tau harus gimana, takut banget ketemu nya sama orang jahat yang manfaatin identitas aku.”

“Sama-sama, Mbak.”

“Ah iya, ngomong-ngomong gak buru-buru kan?” Bianca cuma mau traktir Ara sebagai ucapan terima kasih sama cewek itu, enggak enak kan kalau langsung pulang. Meski Bianca tahu suasana di sekitarnya sangat tidak nyaman, mau ngasih uang ke Ara sebagai ucapan terima kasih pun Bianca yakin cewek itu enggak kekurangan.

“Eng—” Ara meringis, dia liat ke jam tangannya. Mau bikin alasan supaya dia bisa cepat-cepat pulang, rasanya udah enggak mood lagi buat ngerjain tugas di cafe. “Aku ada—”

“Enggak lah yah, sebentar aja yah kita ngobrol-ngobrol dulu. Aku mau traktir Mbak Ara sebagai ucapan terima kasih, boleh yah please... “ Bianca mengatupkan tangannya, sejujurnya selain mau mengucapkan terima kasih Bianca juga penasaran seperti apa cewek yang berhasil membuat Julian patah hati.

“Gak usah repot-repot, Mbak.”

“Gak repot kok, aku tuh seneng banget dompetnya ketemu. Sebentar yah, kamu mau pesan apa? Kopi atau Sangria? Disini ada juga ternyata.”

“Jangan dia lagi hamil!!” sela Julian tiba-tiba, dan itu juga yang membuat Bianca dan Ara melihat ke arah cowok itu secara bersamaan.

“Ohh...okey..” Bianca mengangguk-angguk, berusaha menyembunyikan senyum nya. “Maaf yah, Mbak. Aku gak tau kamu lagi hamil, by the way berapa bulan? Belum begitu kelihatan soalnya.”

“4 bulan.” jawab Ara singkat, mood nya benar-benar enggak baik siang itu. Tapi dia berusaha menahan itu semua karena enggak enak sama Bianca, biar bagaimana pun mereka baru kenal kan. “Mungkin gak kelihatan karena aku pakai baju over size.

Bianca senyum, dia emang enggak tahu kok kalau Ara lagi hamil. “Aahhh cute, selamat yah. Aku doain persalinannya lancar.”

“Makasih, Mbak.”

Mereka sempat ngobrol-ngobrol sebentar, walau yang ngobrol cuma Ara sama Bianca aja. Julian lebih banyak diam dan main ponsel nya aja, dari obrolan Ara dan Bianca, Julian baru tahu kalau Gita ternyata bekerja di Ruby Jane juga sebagai creative director.

Kalau sudah begini, itu artinya dia masih berkecimpung di lingkungan teman-teman kuliahnya juga. Atau lebih baik Julian mengundurkan diri? Tapi kenapa? Toh Gita enggak ke kantor setiap hari, cewek itu bekerja jarak jauh dari Bandung. Tapi entah kenapa rasanya Julian ingin menghindari itu semua, dan sial nya semesta seperti tidak mendukung usahanya.

“Jadi kamu S2 di Bandung, sementara suami kamu selesain koas di Jerman?” Bianca menggeleng, memandang Ara dengan tatapan kagum. “Wah, gila yah. Kamu kuat banget LDM.”

Ara cuma senyum aja, dia mau nyari waktu yang pas buat pamitan sama Bianca. Selain ngerasa gak nyaman, kepalanya juga agak berdenyut nyeri.

“Ah iya sampe lupa mau ngenalin dia nih,” Tiba-tiba saja Bianca menepuk pundak Julian. “Kenalin, Mbak Ara. Ini Julian cowokku.”

Raut wajah Ara enggak berubah, wajahnya masih datar walau sebenarnya dia agak sedikit terkejut. Pacar? Jadi Julian sudah punya pacar? Tapi syukurlah kalau begitu, Ara senang mendengarnya.

Tapi lain hal nya dengan raut wajah Julian, cowok itu membulatkan matanya ke Bianca walau Bianca justru menarik tangan Julian untuk menjabat tangan Ara.

“Ara..” ucap Ara mengambang waktu mereka berjabat tangan.

“Julian.”

“Ah, Mbak Bianca. Maaf aku gak bisa lama-lama, aku harus pulang karena masih ada kerjaan yang harus aku kerjain, gapapa?” Ara memasukan tab dan ponsel miliknya ke tasnya, dia berdiri dan hendak berpamitan dengan Bianca.

“Ah, gapapa dong Mbak Ara, sekali lagi terima kasih banyak yah.”

“Sama-sama, Mbak.”

Keduanya saling berjabat tangan, namun Ara hanya mengangguk kecil sama Julian. Dia langsung membawa tas nya dan hendak pergi dari sana, namun baru dua langkah ia meninggalkan kursi nya Ara enggak sengaja kepeleset. Dia pikir dia bakalan berakhir di lantai, namun justru ada seseorang yang menahan tubuhnya.

Itu tangan Julian, Ara buru-buru bangun dan nepis tangan Julian dengan kasar. Dia juga enggak bilang makasih ke Julian dan langsung pergi gitu aja, Julian masih berdiri di tempatnya. Dia menghela nafasnya pelan dan berbalik melihat Bianca yang kini menatapnya dengan mengangkat sebelah alisnya.

“Lo kenapa harus bilang kita pacaran sih?” Julian agak kesal karena Bianca seenaknya kaya gini.

“Biar lo gak ngenes-ngenes banget kelihatannya, lagi emang kenapa sih? Lo takut dia cemburu?” Bianca agak sewot, maksud dia kan baik biar Julian enggak kelihatan semenyedihkan itu setelah Ara tinggal nikah. Bianca cuma berniat menyelamatkan harga diri Julian.

“Bukan gitu, Bi. Itu nama nya bohong, kita kan emang gak pacaran.”

“Ya terus? Niat gue tuh baik yah.”

Julian mengusap wajahnya dengan gusar, dia udah gak punya tenaga buat berdebat rasanya. Pikiran dan hatinya enggak karuan, ternyata sesusah ini buat pura-pura saling tidak mengenal dengan Ara.

“Jul, lupain dia. Lo ngerep apa sih dari cewek yang udah nikah? Lo mau nungguin dia terus? Lo ngarep dia jadi janda secepatnya? Atau lo ngarep bisa jadi selingkuhannya?”

“Gak gitu!!” sentak Julian, dia jadi kehilangan kendalinya karena ucapan Bianca terdengar menyebalkan untuknya. “Gue gak pernah doain dia yang buruk-buruk. Gue gak segila itu, Bi.”

“Ya terus?” Bianca enggak kalah nyolot.

“Lo liat gak tadi dia gak nyaman? Lo gak bilang kalau orang yang nemuin dompet lo itu dia? Lo sengaja mau ketemuin gue sama dia?”

“Heh? Lo pikir gue tau kalo yang nemuin dompet gue itu Ara? Lo pikir yang namanya Ara dia doang?!”

Julian diam sebentar, dia nutupin muka nya pakai tangan buat meredam emosinya. Bianca enggak salah, dia emang gak tahu kalau yang nemuin dompetnya itu Ara yang Julian kenal. Ini memang Julian nya saja yang sensitif.

sorry, Bi. Gue lagi sensitif aja kayanya. Gue anterin lo balik ya.”

Di perjalanan pulang, baik Bianca maupun Julian diam saja. Satu-satunya sumber suara dari mobil yang Julian bawa itu cuma dari radio yang sedang menyiarkan seputar ramalan cuaca hari ini sampai seminggu ke depan.

Begitu sampai kosan Bianca, Julian sempat membantu Bianca masuk. Dia juga keluar-keluarin barang-barang Bianca yang ada di mobilnya dan menyusunnya di kamar kost wanita itu.

“Bi.” panggil Julian, dia jadi enggak enak sama wanita itu.

“Apaan?” jawab Bianca dengan helaan nafasnya.

“Gue minta maaf.”

“Lo udah minta maaf tadi.”

Julian diam aja, dia merhatiin Bianca yang sedang menyusun barang-barang dari kantor ke meja yang ada di dekat meja TV.

“Bi.”

Bianca menghela nafasnya lagi. “Apa lagi?”

“Bantuin gue lupain Ara,” ucap Julian dengan suara parau nya.

Bianca yang mendengar itu sontak menoleh ke arah Julian, dia lihat wajah cowok itu yang tambah gusar, ada raut merasa bersalah dengan mata berkaca-kaca. Bianca mendekat, dia udah gak perduli lagi sama kakinya yang masih di gips. Dia usap wajah dan rahang Julian, sampai akhirnya Bianca memberanikan diri mencium laki-laki itu lebih dulu.

Awalnya Julian kaget, dia diam saja waktu Bianca melumat bibirnya. Namun sedetik kemudian Julian memejamkan matanya, menarik pinggang Bianca untuk duduk di pangkuannya. Julian tahu dia brengsek, dia akui itu. Namun biarkan kali ini saja dia menjadi laki-laki jahat di cerita wanita lain.

Siang itu Bianca kembali memejamkan matanya, merasakan tangan besar itu menanggalkan baju nya satu persatu dan menyentuh setiap jengkal kulitnya.

“Aahh..”

You're so damn hot..” bisik Julian tepat di telinga Bianca.

Kecupan yang tadinya hanya bermula di bibir ranum nya itu kini turun ke pipi, rahang dan kini leher jenjangnya. Bulu kuduk Bianca berdiri, tubuhnya meremang dan kepalanya di buat pening karena bibir Julian.

Mati-matian Bianca menahan dirinya untuk tidak meloloskan desahan, namun seketika usahanya gagal ketika kedua lengan besar itu membawa tubuhnya ke atas ranjang dan menguncinya. Bibir Bianca terbuka sempurna saat sentuhan tangan Julian di dadanya itu mampu menerbangkannya.

Tell, me if you want me too.” bisik Julian, dia menahan bobot tubuhnya dengan kedua lengannya.

I want you.. I want you right now please..” Bianca sadar dia bukan lagi meminta, namun ucapannya itu terdengar seperti memohon.

Dan semua semakin tidak terkendali, tidak peduli pada hujan di luar atau bahkan pada ponsel Julian yang bergetar di atas meja rias Bianca, keduanya saling di banjiri oleh peluh. Suara di kamar Bianca itu tidak lagi di dominasi oleh suara pendingin ruangan dan hujan, namun juga kecupan-kecupan yang berasal dari bibir keduanya.

“Ahhh....”

“Mmhh..”

Setelah pelepasan, gak ada lagi obrolan di antara keduanya. Julian justru buru-buru memakai baju nya dan pergi meninggalkan Bianca, dia gak perduli pada hujan siang itu karena dia harus secepatnya kembali ke kantor.

Sementara Bianca, dia masih terdiam di ranjangnya. Meringkuk dengan selimut tebal menutupi tubuh polos nya, tidak lama kemudian dia menangis. Katakan dia juga menginginkannya, tapi apa perlu Julian meninggalkannya setelah keduanya selesai? Bahkan tanpa kata-kata sedikit pun.

“Assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsalam, baru pulang, Mas.”

Julian masuk ke dalam rumahnya, dia salaman dulu sama Ibu nya kemudian duduk di sofa ruang tamu. Ibu lagi sibuk masuk-masukin kue jajanan pasar ke dalam box, emang sedang ada pesanan untuk pengajian. Ibu enggak sendiri, enggak sama karyawan catering nya juga Ada Andra yang bantu.

“Iya, Buk. Buat pesanan di mana, Buk?” tanya Julian.

“Iya, buat pengajian Ibu-Ibu komplek.” Ibu ngampil satu nampan berisi risol yang di buatnya seharian ini kepada Julian. “Ambil 1.”

Julian senyum, dari dulu kalau Ibu nyuruh dia ambil jajanan pasar yang di buatnya tuh rasanya Julian senang banget, soalnya kadang kalau Julian minta sendiri tuh suka enggak di kasih sama Ibu. Alasannya tuh pasti takut kurang, atau kalau ada sisa nanti di kasih.

“tumben,” Julian nyengir, dia ambil satu risol buatan Ibu itu dan langsung memakannya.

“Ibu buatnya emang lebih, Mas boleh ambil 2 kok. Tadi Andra sudah makan 2, biar adil.”

“Mas boleh cobain pastel nya juga, Buk?” selain risol, Julian tuh suka banget sama pastel buatan Ibu. Kulitnya enggak tipis, pas banget terus dalam nya itu sayuran, ayam sama telur. Makanya pastel buatan Ibu tuh agak gede dari ukuran pastel biasanya.

“Ambil, Mas.” Ibu senyum. Semenjak Julian lulus SMA dan memutuskan merantau di Bandung, Ibu jadi kangen kalau lagi packing jajanan ke box gini di godain sama si sulung itu. Soalnya Julian yang makan kue nya paling banyak, kalau Andra itu lebih suka sama bolu atau puding.

“Ihh, Ibu. Mas aja di tawarin pastel, Andra tadi cuma suruh ambil risol sama kue lumpur doang,” protes Andra, si bungsu yang walau udah dewasa itu masih suka ngiri sama Mas nya kalau soal masakan Ibu. Kalau soal yang lain-lain si Andra masa bodo asalkan enggak dengan masakan Ibu mereka.

“Andra juga ambil, satu-satu yah.”

Julian terkekeh dia menggeleng kepalanya, Adik dan Ibu nya itu enggak pernah berubah. Semenjak di tinggal Bapak, yang sempat berubah hanya ekonomi mereka saja. Waktu itu Ibu sempat bingung mau ngapain setelah di tinggal Bapak, karna selama ini Ibu itu cuma Ibu rumah tangga biasa.

Gaji Bapak sebagai pilot penerbangan domestik bisa di bilang cukup buat memenuhi kebutuhan mereka, makanya Ibu juga enggak bekerja. Setelah di tinggal Bapak 2 tahun barulah Ibu bisa bangkit dan memutuskan untuk membuka catering.

“Mas kok tumben akhir-akhir ini pulang malam terus?” tanya Ibu, Julian emang sering pulang malam akhir-akhir ini. Biasanya tuh paling telat jam 7 malam, tapi sekarang jam 10 Julian baru sampai rumah.

“Habis bantuin Bianca pindahan, Buk.”

“Cewek yang kemarin itu? Yang kamu cariin kosan?”

Julian emang sempat tanya soal kosan sama Ibu, Ibu juga yang ngasih tahu kalau pelanggan Ibu itu punya kost-kostan. Makanya Ibu tahu Julian nyari kosan itu buat siapa, yah walau belum sempat melihat Bianca. Julian cuma ngasih tahu fotonya aja. Soalnya Ibu nanya temannya yang mana, dan semua teman perempuan Julian tuh dia kenalin ke Ibu.

“Iya, Buk. Kan kakinya masih sakit, jadi belum bisa angkat-angkat. Makanya Mas yang bantuin.”

“Eh, Mas. Cewek yang lo kasih tau itu kaya pernah liat deh, tapi dimana yah?” celetuk Andra, dia ngerasa muka Bianca itu familiar aja kaya pernah lihat tapi Andra sendiri enggak yakin.

Dan ucapan Andra itu sekaligus bikin Julian ketar ketir, mungkin saja Andra sudah melihat foto-foto Bianca. Karena memang secepat itu tersebar luasnya, tapi semoga saja ini baru dugaan Julian saja.

“Ah, gue inget!!” pekik Andra.

“Apaan deh lu?”

“Mas? Sumpah? Itu cewek yang—”

“Temen kerja gue, dia emang pernah masuk feeds instagram nya Mbak Jenara. Lo mungkin liat di instagram nya Mbak Jenara kan?” mata Julian melirik Ibu, memberi isyarat pada Andra untuk berhenti membicarakan Bianca di depan Ibu. Untung saja bocah tengil itu ngerti.

“Eh—iya deh gue baru inget.”

Ibu yang melihat itu cuma geleng-geleng kepala saja, beruntung nya Andra bisa di ajak kerja sama. Pasalnya, jika Ibu tahu mungkin saja Ibu bisa mikir Bianca wanita enggak benar dan menyuruh Julian untuk menjauhinya, Julian bukan sudah jatuh hati pada Bianca. Dia cuma simpati sama wanita itu, Bianca baik dan Bianca yang sejauh ini bisa ngerti perasaan dia.

“Mas ke kamar dulu yah, Buk. Mau mandi.” setelah mencium pipi Ibu nya, Julian buru-buru masuk ke kamar nya. Tapi Andra yang udah kepalang kepo itu akhirnya membuntuti Mas nya, dia sih izin ke Ibu mau ke kamar mandi.

“Heh, ngapain lu?!” hardik Julian waktu Andra nyerobot masuk ke kamarnya. “Gue mau mandi.”

“Eh, Mas. Serius Mbak Bianca itu cewek yang fotonya kese—”

“Jangan di lanjutin lagi.” Julian memperingati, benar kan dugaan dia kalau Andra sudah lihat. “Lo liat semuanya? Termasuk videonya?”

Andra menggeleng. “Kagak, cuma liat fotonya doang, itu juga di kasih liat sama temen kampus gue, jadi bener?”

Julian menarik nafasnya berat dan mengangguk, “iya itu dia.”

“Wah....” Andra menggeleng kepalanya, dia yang tadinya duduk di kursi meja belajar Julian itu berdiri. “Kok bisa lu deket sama dia, Mas? Parah lu, kalau Ibu tau pasti Ibu marah.”

“Bianca enggak kaya yang lo pikir, Ndra. Gue sama dia juga cuma temenan.” walau dalam hati juga Julian ngerasa bersalah, dia ke ingat kejadian waktu dia mabuk sampai tidur sama Bianca. Anggap saja itu kecelakaan, dan akan Julian pastikan itu tidak akan terjadi lagi.

“Temen apa temen?” ledek Andra.

“Temen, udeh sono ah gue mau mandi.” Julian dorong-dorong punggung Andra biar bocah itu mau keluar, udah sebel banget dia di tanya-tanya gitu.

“Mas, gue gak tau yah lo sama Mbak Bianca itu temenan atau PDKTan aja. Gue juga gak mau ngejudge Mbak Bianca, tapi gue juga cuma mau ingetin kalau Ibu sampe tau, Ibu pasti gak seneng banget dengernya, Mas. Lu tau kan Ibu kalau udah soal—”

“Iya tau, makanya lo gak usah bahas-bahas lagi soal Bianca.”

Andra mengangguk, dia emang gak mikir hal yang macam-macam soal wanita bernama Bianca itu karena Andra sendiri belum kenal. Andra cuma ingatin Mas nya itu, Andra tahu Julian masih dalam masa-masa patah hati. Dia gak mau Julian salah dalam pergaulan atau bahkan menjadikan Bianca pelampiasan perasaanya saja.

“Yaudeh, gue keluar nih, ngab.”

Tapi sebelum Andra keluar, Julian malah nahan bahu Adiknya itu. Soal dia yang tidur sama Bianca itu, Julian enggak pernah cerita ke siapa-siapa walau jujur tiap kali ingat itu membuatnya merasa bersalah. Bukan hanya pada Bianca namun pada dirinya sendiri dan juga Ibu.

“Dra?” panggil Julian.

“Kenapa? Tadi nyuruh gue keluar.” Andra menggerutu, dia kembali lagi duduk di kursi meja belajar Mas nya itu. “Gue tau lo mau cerita, buru. Ada apaan?”

Muka Julian kalau lagi bingung atau lagi kesal tuh enggak bisa di bohongin, kelihatan banget soalnya. Andra udah paham Mas nya banget, kalau muka nya udah kelihatan bingung gini pasti mau ada yang di ceritain.

“Soal Bianca..”

“Kenape?”

Julian duduk di ranjangnya, bersebrangan dengan kursi tempat Andra duduk. Cowok itu menunduk, menebak bagaimana reaksi Andra kalau tahu bagaimana dia sama Bianca sudah sejauh apa, ah tidak. Ini kecelakaan ya kecelakaan, Julian tidak menginginkannya.

“Gue sama Bianca...” Julian menghela nafasnya lagi. “Udah sejauh itu.”

“Maksudnya?” Andra yang tadi nya enggak serius-serius banget kini raut wajahnya berubah jadi lebih serius. Agak deg-deg an sedikit sebenarnya.

“Gue sama dia emang gak ada hubungan apa-apa, Dra. Gue cuma nolongin dia, anterin dia pulang tapi waktu itu gue kejebak hujan—”

“Mas lu langsung ngomong ke inti nya aja bisa gak?” Andra udah penasaran banget, sekaligus takut dugaan dia soal Julian yang menjadikan Bianca sebagai pelampiasan perasaanya itu benar. Selama ini Julian di mata Andra itu adalah Mas yang baik dan gak neko-neko, semoga saja pandangan Andra pada Julian itu enggak pernah berubah.

“Gue tidur sama Bianca,” ucap Julian kemudian.

Dan ucapan itu berhasil membuat Andra melongo, dia enggak bisa menyembunyikan raut kekecewaan nya pada Mas nya itu.

“Lo mau sama mau kan, Mas?”

“Enggak, Dra.”

“Gila lo!!” pekik Andra.

“Dengerin gue dulu.” suara Julian meninggi, dia tau Andra kecewa. Julian pun rasanya kecewa sama dirinya sendiri. Tapi Andra pasti sekarang mikirnya Julian yang maksa Bianca karena jawaban dia tadi.

“Gue sama dia minum, kita berdua mabuk. Tapi gue berani sumpah dia gak kenapa-kenapa, Dra. Gue cuma ngerasa bersalah aja sama dia, walau dia bilang kalau gapapa karna dia juga mau. Gue enggak sadar banget.”

Andra menggeleng kepalanya, pantas saja akhir-akhir ini Julian tampak lebih diam dari biasanya. Ternyata memang ada hal yang di sembunyikan Mas nya itu.

“Mas lo tau kan kalo Ibu tau dia pasti marah? Gue udah duga yah lo jadiin dia pelampiasan, gue tau Mas lo lagi patah hati banget liat Mbak Ara nikah. Tapi jangan kaya gitu, Mas.” Andra cuma enggak mau Mas nya itu terjerumus ke hal-hal buruk, apalagi kalau sampai sering melakukan hal seperti itu.

“Gue gak jadiin dia pelampiasan, Dra.” menurut Julian, dia emang gak sadar. Dia cuma terbawa suasana malam itu, Julian juga benar-benar menyesalinya. Enggak ada sama sekali niatan buruk Julian buat manfaatin Bianca atas perasaan patah hatinya. Julian enggak setega itu.

Andra menghela nafasnya, dia hargai keputusan Julian yang udah mau cerita sama dia. Andra mungkin kecewa tapi dia harap kalau Mas nya itu sudah mengatakan hal yang jujur padanya.

“Jangan gitu lagi, Mas. Lo gak tau Bianca kaya apa lo juga belum kenal lama sama dia kan? Gue cuma gak mau lo keseret sama masalah yang lagi dia hadapin.” Andra ingat Julian pernah cerita sama Ibu kalau Bianca sedang ada masalah dengan pacarnya, yang mengharuskan wanita itu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Belum lagi soal foto dan video itu, ah entah lah. Andra enggak mau menilai sembarangan hanya saja perasaanya tidak enak.

“Iya, tau kok. Jangan cerita ke Ibu ya.”

Andra mengangguk, “terus lo bantuin dia sampai kaya gini karna ngerasa bersalah? Atau tanggung jawab aja?”

“Karna kasian.. Dia baik, Dra.”