Wordsmith

Reader

Read the latest posts from Wordsmith.

from My First Love Story! [The End]

Ini sudah jam sembilan malam dan Yuno masih harus belajar setelah ia pulang dari bimbel nya, saat sedang asik belajar tiba-tiba ia berhenti ketika sadar ada tetesan darah yang jatuh ke buku miliknya. Yuno langsung meraba hidungnya dan benar saja dugaannya, itu adalah darah miliknya. Yuno mimisan lagi untuk kedua kalinya hari ini.

Besok adalah hari terakhir ujian semester, Yuno sudah cukup merasa percaya diri jika ia bisa mempertahankan peringkatnya tapi nyatanya, Yuno tidak bisa berhenti memikirkan kemarahan Papa nya jika nantinya prediksinya itu meleset.

“Mimisan lagi,” ucapnya sembari menahan darah yang keluar itu dengan tissue di kamarnya.

Jika sudah begini, kepala Yuno akan semakin sakit. Konsentrasinya juga menurun, apalagi ketika ia membaca sticky note yang di tempel di meja belajarnya. Yuno tahu itu tulisan siapa, hanya sticky note bertuliskan 'Yuno tolol' dan itu berhasil membuat pertahanannya sedikit lagi runtuh.

“Gue udah gak butuh lo lagi,” kata Yuno, dengan kesal dia merobek sticky note itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Yuno sempat berbaring di ranjangnya sebentar, kemudian menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Kepalanya yang tadinya sedikit berdenyut itu semakin sakit rasanya, kemudian terbesit satu nama yang akhir-akhir ini bisa mengalihkan rasa sakitnya.

Di ambil nya ponsel miliknya dan Yuno ketik nama Ara di sana, ya. Yuno menelfon Ara. Semoga saja gadis itu belum tidur karna malam ini rasanya Yuno benar-benar butuh seseorang untuk ia ajak bicara. Mama sedang berada di luar kota untuk sebuah seminar di fakultas kedokteran, makanya Yuno tidak ada teman ngobrol yang cukup mengerti dirinya.

halo?

Begitu mendengar suara Ara di sebrang sana, Yuno tersenyum. Hatinya lega ketika Ara mengangkat panggilan nya.

“Ra, kamu belum tidur?”

belum, Kak. Aku habis siapin seragam buat besok, kenapa Kak Yuno?

“Gapapa.. Aku lagi belajar, tapi lagi istirahat dulu.”

“Kak Yuno gak istirahat? Ini kan udah hampir jam sepuluh

Di tempatnya Yuno bisa mendengarkan jika suara Ara sedikit menjauh, kadang juga ada bunyi-bunyi lain di sana selain suaranya. Yuno tebak, gadis itu mungkin sedang memakai skincare sebelum tidur.

“Aku harus ngulang pelajaran yang aku dapat di bimbel, Ra.”

hmm.. Kenapa gak besok pagi lagi aja, Kak? Kalo aku di ajarin sama Mas Iyal gitu, bangun lebih pagi buat ngulang pelajaran yang semalam di pelajarin, katanya biar enggak lupa, Mas Yuda malah gak belajar lagi.” di sebrang sana Yuno mendengar Ara terkekeh.

“Kamu juga gitu?”

yapp, kalo Kak Yuno mau sama kaya aku, besok pagi setelah subuh aku bangunin.

Yuno tersenyum, Ara terlalu mengerti dirinya. Jujur saja Yuno memang sudah lelah, akhir-akhir ini ia selalu memforsir dirinya sendiri. Terkadang juga Papa suka memeriksa kamarnya. Jika sebelum jam sepuluh Yuno sudah tidur dan tidak berada di meja belajarnya, Papa bisa marah.

“Boleh, tolong telfon aku besok yah.”

oke deh, yaudah kalau gitu Kak Yuno tidur gih, aku gak mau Kak Yuno sakit lagi.

“Ra?”

“Ya Kak? Besok ujian hari terakhir, kamu mau pergi bawa aku lari gak?”

maksud Kakak?

“Kita pergi besok, habis pulang sekolah.”

kemana, Kak?

Yuno tidak menyahut, cowok itu hanya tersenyum kecil kemudian melirik jam di atas nakas nya. Sudah jam sepuluh, ia tidak ingin Ara tidur terlalu larut karena dirinya. Lagi pula, sakit di kepalanya sudah sembuh, mimisan nya juga sudah berhenti.

“Besok juga tahu, yaudah, aku tutup yah besok pagi kan kita harus bangun pagi buat belajar lagi.”

hhmm.. Oke, sampai besok Kak Yuno.

Begitu sambungan telfonnya terputus, Yuno memejamkan matanya. Ia tersenyum lega, Ara benar-benar bisa mengalihkan pikirannya. Kini Yuno lebih baik, setelah itu ia membereskan semua buku-buku miliknya dan mematikan lampu kamarnya, ia harus segera tidur.

 
Read more...

from dierja & dias

story details: 1,900 words, nah no details just go straight to the reading.

notes: enhance your reading experience by listening to limbo by keshi.


Dierja is there, Dierja is everywhere

Dierja sepertinya diberitahu oleh Bagaskara bahwa dirinya mampir. Pemuda itu melambai riang kepada Jana yang berjalan ke arahnya meski jarak mereka masih terbilang jauh. Tubuhnya ikut bergoyang ke kiri dan kanan saking antusiasnya ia melambai. “Janaaa!!” Dierja berseru memanggil namanya, memicu atensi dari orang sekitar yang tak sadar akan kehadirannya. Ia meringis, setengah malu, tapi juga lucu. Reaksi Dierja yang begitu sumringah membuatnya melebarkan senyum. Dierja meraih ponsel di sakunya, mengetik sesuatu di layar gawai tersebut. Beberapa detik kemudian, ponsel Jana berbunyi notifikasi pesan baru.

Dierja Rahagi: Saya ke sana setelah ini, it’s nice to see you here Dierja Rahagi: Kamu tunggu di dalam rumah aja, minta dianter Bagaskara ke salah satu ruangan kalau capek berdiri

Jana tak membalas, memilih untuk menonton di pinggiran, di bawah pohon yang lumayan rindang. Dierja melirik padanya sesekali ketika make up artist merapikan riasan di wajahnya. Juga ketika menanggapi sutradara yang mengarahkan sesuatu padanya. Jana belum menemukan Gane di sana, sepertinya ia hanya memantau secara umum, dan datang jika dibutuhkan.

Dierja, Gane, Riza … ternyata banyak juga orang yang ia kenal berkecimpung di dunia hiburan, meski dengan role berbeda. Ia dan Hemish adalah outliers.

Ia lupa hari ini, entah kenapa, kalau ada orang lain lagi yang juga bekerja di sini.

“Mas Dias.”

Speak of the devil.

SLATE IN, seru asisten sutradara yang menggenggam gulungan kertas. Seorang crew dengan clapper board berdiri tepat di depan kamera.

ROLL SOUND, ROLL CAMERA! komando asisten sutradara.

ROLLING! sahut sound recordist.

Dierja melihat ke arah Jana lagi sekilas, mendapati dirinya dan Banu berdiri di tempat yang sama. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan pada lawan mainnya. Ekspresinya berubah menyesuaikan skrip.

“Mas Dias,” panggil Banu untuk kedua kali. Akan tetapi Jana tetap tak menoleh padanya, ia ke sana untuk makan siang dengan Dierja, bukan hal lain.

“Aku minta maaf,” suaranya begitu lirih dan menyedihkan, sarat penyesalan yang membuat Jana memiliki campuran perasaan tak menyenangkan.

“Saya lagi ndak pengin bahas apa pun yang mau kamu omongin. Please, leave?” pintanya sopan, pada akhirnya memandang Banu.

Wajah yang tak ia lihat tiga tahun itu memancarkan rasa bersalah. Jana memejamkan matanya, menghitung sampai tiga dan mengatur napas. Marah Jana di enam bulan pertama kepergian Banu yang sudah menguap, kini seperti mengembun kembali karena pemuda itu datang. Sebagian dirinya bersyukur bahwa Banu tampak baik-baik saja, sisanya ia tetap dikelabui amarah. Permintaan maaf dari Banu belum bisa meredam perasaan itu.

“Aku minta maaf, tapi kasih aku lima menit. Cukup lima menit. Aku mau jelasin kenapa aku tiba-tiba perg—”

“Seharusnya kamu jelasin itu tiga tahun lalu, Nuni,” panggilan khusus itu terasa familier namun asing di saat bersamaan, kaku dan membelit lidahnya. “Bukan tiba-tiba minta putus, tiba-tiba ngilang, iya, kan?”

Jana meninggalkan Banu yang terdiam di tempatnya. Juga meninggalkan rasa penasaran mengenai alasan yang ingin Banu utarakan. Saat ini ia sudah memutuskan untuk tak peduli pada masa lalu. Sebab apa pun alasannya, hal itu tak bisa memperbaiki apa yang ia alami. Tak bisa memperbaiki rasa putus asa Jana mencari kabar Banu yang tenggelam ditelan bumi. Tak bisa memperbaiki rasa terpuruk, tak cukup, tak baik, dan hal negatif lainnya yang melingkupi dirinya waktu itu.

Ia menarik tungkainya, hanya menyusuri halaman rumah sewaan yang jadi lokasi syuting, sebab tak tahu harus melangkah ke mana. Akan tetapi beruntungnya ia menemukan Bagaskara yang sepertinya tengah mencari Jana. “Wah, Mas Dias, saya nyariin sampai ke mobil ternyata di sini. Tadi di-chat Dierja suruh nganter ke ruang tunggu, takutnya Mas Dias sungkan.”

“Saya pengin lihat Mas Dierja di sana, tapi panas,” jawabnya berkilah.

“Mending di rumah aja, Mas, adem. Kalau mau nonton Dierja akting lagi, kapan-kapan saya kasih tau pas dia take scene di dalem ruangan. Soalnya hari ini nggak ada yang di dalem. Gosong dah tuh dia kena matahari seharian, sukurin.”

Sontak Jana melepaskan tawa sebab komentar dari Bagaskara, sepertinya pemuda itu lebih dianggap sebagai teman oleh Dierja ketimbang manajer karena cara berbicaranya sangat kasual. Pemuda itu menggiringnya ke rumah, lantas izin pergi ke mobil untuk mengisap rokok elektrik yang mengalung di lehernya.

Ruang tunggu itu kosong sebab semua orang sibuk di luar. Di sana juga tak ada pendingin ruangan maka dari itu tak jadi pilihan crew untuk singgah. Jana mengamati ruangan itu, mendapati ransel Jansport hitam milik Dierja yang pernah ia lihat di jok belakang mobil pemuda tersebut. Ia juga ingat dirinya pernah mendapati Dierja mengenakan ransel serupa ketika di Melbourne. Tak tahu memang sama, atau itu ransel berbeda.

Entah kenapa ia jadi ingat banyak hal tentang Dierja ketika kuliah. Memori itu terkubur karena memang ia tak pernah sengaja untuk menelusuri. Sekarang memorinya dipantik dengan eksistensi Dierja yang mengisi harinya. Pemuda itu bukan sekadar pelanggan ayam gepreknya dulu, namun juga bukan teman, bukan juga hanya Dierja Rahagi yang meledeknya di salah satu acara PPI.

Dierja selalu satu meja dengannya jika Gane dan Riza berjanjian di Revolver Upstairs. Juga jadi teman nongkrong tanpa sengaja jika Dierja diusir dari apartemennya di Lonsdale—yang ia bagi dengan Riza—saat Gane datang untuk bermalam. Juga suka muncul di Giblin Eunson Library padahal bukan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Pemuda itu selalu ada, namun Jana tak terlalu memperhatikan sebab sibuk dengan dunianya sendiri. Dierja sering duduk di sebelahnya meski tak bertukar kata, atau menghampirinya untuk sekadar menyapa kemudian lalu. Sekarang pemuda itu tak hanya lalu, ia menghampirinya dan tinggal. Berdiri di hadapan Jana dengan senyum yang selalu menular. “Janaa, what brings you here?”

Lunch,” ia tersenyum simpul.

Akan tetapi senyumnya luntur ketika ada seseorang yang lewat, langkahnya berhenti di ambang pintu ruang tersebut, seperti menunggu Jana untuk mengizinkannya masuk, atau Dierja membalik badan dan mengajaknya makan siang bersama untuk formalitas.

Ia berharap Dierja terus memunggungi Banu dan tak memutar kepalanya.

Ia yakin Banu tahu hubungannya dengan Dierja, tak mungkin ia tak mendapati berita kencannya di media sosial. Pemuda itu lantas melangkah perlahan, meski tak diberi izin untuk masuk.

“Mas, sorry.”

Dierja mengangkat kening bingung karena dirinya tiba-tiba mengucapkan maaf. “Kenapa? Kamu lagi ada masalah?”

Mata Jana yang semula melirik Banu dari balik bahu Dierja, kini memandang Dierja yang menunggu jawabannya. Raut cemasnya memicu perasaan bersalah, namun ia segera menangkup rahang Dierja, pemuda itu berjengit. “Jana?” panggilnya.

Hemish pernah bilang Jana agak gila ketika ingin mencapai tujuannya. Ia melakukan banyak hal yang orang biasa tak akan pikirkan. Misal, tiba-tiba berkencan dengan Dierja hanya untuk terlepas dari kencan buta, atau seperti sekarang mencondongkan wajahnya pada Dierja, pura-pura menciumnya agar Banu pergi. Bibir mereka tak bertemu karena dibatasi ibu jarinya.

Banu membeku di tempatnya berdiri. Tak maju lagi untuk mendekat. Kemudian, Jana memejamkan mata seolah-olah memang tengah mencium Dierja. Telinganya dengan seksama mendengar langkah kaki terburu-buru yang pergi dari ambang pintu ruangan tersebut.

Ketika suara langkah kaki tersebut tak lagi mencapai frekuensi telinganya, ia segera menjauhkan wajah. Ia mendapati mata Dierja membola, wajahnya terkejut bukan main.

“M-maaf, Mas, ada Banu tadi. Dia mau ke sini, jadi aku pengin usir dia secara halus– maksudnya karena dia tetap ke sini meskipun tau kita lagi berdua jadi aku coba pakai cara lain. Maaf tiba-tiba begitu. Mas Dierja ndak apa-apa, kan? Pasti kaget banget ya? Sorryyy, Mas.”

Wajah Dierja yang tercengang perlahan kembali ke sedia kala, mencoba paham dengan situasinya. Jana memundurkan diri untuk kembali menjaga jarak, namun Dierja menahan tubuhnya untuk bergerak. Tangannya yang bertengger di pinggang Jana sebab reaksi spontan—meremas pakaiannya karena kaget—kini melingkar di punggung bawah, lebih lugas merangkulnya.

Tubuhnya kaku di pelukan Dierja.

“Kamu inget kamu harus ngabulin tiga permintaan saya?”

Jana mengerutkan kening sebab pertanyaan Dierja yang tak nyambung. Pemuda di hadapannya tampak tak merasa kesal atau marah karena perbuatannya yang tak ia diskusikan sebelumnya. Ekspresinya amat serius, dan membuatnya tak mengerti. “Maksudnya gimana, Mas?”

“Ini yang pertama.”

Dierja mencondongkan wajahnya begitu cepat sampai-sampai Jana tak mampu memproses bahwa bibir mereka kini menempel, tanpa dibatasi ibu jari.

Ia bisa mendorong Dierja.

Ia bisa mendorong Dierja.

Ia bisa mendorong Dierja.

Alih-alih melakukan itu, ia mulai membalas ciumannya.

Ia belum pernah disentuh Dierja selain tangannya. Kini seluruh tubuhnya seperti gemetar ketika Dierja menciumnya, telapak tangan Dierja mengelus naik-turun punggungnya yang melengkung sebab tergelitik. Jemarinya seolah menyusuri setiap inci tubuh Jana yang bisa ia capai. Lekuk pinggangnya ia remas, usap, rengkuh dengan erat, keduanya melekat tanpa distansi sedikit pun. Dierja menarik bibirnya di antara gigi, lantas melepaskan diri untuk bernapas sekaligus menyeringai mendapati Jana yang terengah tak keruan.

“Gimana?” bisiknya.

“Apanya?”

Jantung Jana memompa dengan gila, wajahnya merah entah kehabisan napas atau sebab berciuman. Dierja kemudian memiringkan kepala ke sudut lain untuk melumat bibirnya lagi. Tak segan menggigit bibirnya agar ia membuka mulut dan menginvasi, menyelusupkan lidahnya untuk membelit milik Jana. Ia mengerang memalukan di belakang kerongkongan. Menarik rambut Dierja dengan lemas karena tenaganya seperti diserap habis, kepalanya kosong. Bunyi kecipak ciuman mereka begitu memenuhi gendang telinganya. Dierja sungguhan bercumbu seperti melabuhkan seluruh hasrat terpendamnya.

Pemuda itu memanuver tubuh Jana, sehingga ia perlu berjalan mundur. Tanpa melepaskan Jana, Dierja menutup pintu di belakang punggungnya.

Jana didorong lembut untuk bersandar seluruhnya pada pintu. Kedua paha belakangnya digenggam kuat lantas dirinya diangkat. Reflek ia melingkarkan kakinya di pinggang Dierja. Punggungnya terus-menerus bersinggungan dengan pintu karena ciuman Dierja begitu menuntut, ia mengejar bibirnya seolah merasa tak pernah cukup.

Sudah berapa banyak lawan main yang dicium Dierja hingga ia sehandal ini? Ia tak ingin memikirkannya. Berusaha mengeratkan tangan dan kakinya yang melingkari Dierja takut jatuh.

Tiba-tiba muncul dering ponsel yang bukan miliknya.

“Mas … telepon,” ujarnya susah payah karena bibirnya masih dikerjai. “Mas.”

Dierja terus menyesap bibirnya, tak peduli pada ponselnya yang berdering. Jana yang mulai merasa terganggu mencoba menjauhkan wajahnya dari Dierja. Pemuda itu menatap Jana dengan pupil mata yang melebar. Sungguhan bertanya dengan bingung, dan tak sadar kenapa ia menarik diri.

“Telepon, Mas,” bisiknya.

Ia diturunkan dengan hati-hati, saat Dierja menunduk seraya merogoh saku celananya, dering teleponnya sudah mati. Ia mengangkat kepalanya lagi, mengamati Jana. Jemarinya naik untuk membelai rahangnya, ia mengecup lagi bibir Jana yang terasa bengkak dan kebas.

Akan tetapi Jana sepertinya memang sudah gila. Ia terbuai lagi oleh Dierja. Kaos putihnya ditarik oleh Dierja dari kungkungan ikat pinggang. Lelaki itu menyusupkan jemarinya untuk merasakan kulit Jana. Ia menggeliat, semuanya terasa geli entah di perutnya, kulitnya, kepalanya, setiap sel-sel di dalam dirinya. Bulu kuduknya meremang karena sensasi yang Dierja berikan sekarang.

Lagi ponsel Dierja berdering. Pemuda itu sepertinya jengkel setengah mati, ia melebarkan jarak dengannya dan merotasikan bola mata.

Fuck, saya nggak suka diganggu kayak gini,” sungutnya. Rahangnya mengeras kesal.

Oh, Jana baru pertama kali mendengar Dierja mengumpat. Ia baru sadar pemuda itu santun sekali dan Jana tak ingat Dierja pernah berkata kasar. Anehnya, Dierja jadi tampak … seksi? Mungkin karena ini keterbalikan dari sikap Dierja biasanya.

Aktor itu mengeluarkan ponselnya hanya untuk menekan dengan gusar tombol Do Not Disturb. Raut wajahnya melunak ketika kembali menoleh pada Jana.

“Saya harus keluar, Jana.”

“Iya,” Jana menjawab linglung.

“Kita perlu ngobrol.”

“Iya.”

“Bibir kamu merah kena make up saya.”

Ia sontak mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Dierja hanya mengamati Jana dengan dalam. Matanya yang sering kali tampak ceria dan berkilau seperti konstelasi kini hanya gelap. Amat serius. Jana merasa seperti ditelanjangi dengan tatapan tersebut. Tak ada tanda bahwa Dierja menyesal telah menciumnya.

Tangan Dierja terangkat sejenak ke arah wajahnya dengan ragu, sepertinya ingin membantunya menghapus noda yang tak tersentuh tangannya sendiri, namun turun lagi. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat di sisi tubuh, seolah menahan semua perasaannya yang meluap dan menyalurkannya ke sana.

“Maaf saya cium kamu tanpa izin, tapi saya nggak nyesel karena saya memang mau. Kita omongin ini nanti, karena saya harus ke set sekarang, talk to you later?

Jana hanya mampu mengangguk kaku sebagai jawaban. Dierja menarik senyum untuknya, sangat amat tenang, kejadian itu tak mengguncangnya sama sekali, lantas ia memintanya berpindah dari belakang pintu, pergi dengan langkah besar.

Sontak Jana merosot usai Dierja tak terlihat, disorientasi, berjongkok di ruangan itu. Ia menarik rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Jantungnya masih berdegup tak wajar. Ia tak tahu apa yang terjadi.

What the hell.

© litamateur

 
Read more...

from My First Love Story! [The End]

Begitu sampai di depan gerbang SMA Anggada, Ara langsung mengetikkan pesan pada Genta agar menjemputnya. Dan benar saja tidak membutuhkan waktu lama bagi Ara, Echa, Cindy dan Kinan. Genta langsung muncul di depan mereka, Genta memberikan akses untuk ke empat gadis itu masuk, maklum tuan rumah hanya memberikan beberapa akses masuk untuk SMA BN400.

Begitu mereka masuk ke lapangan, semua penonton sudah bersorak. Pertandingan belum mulai, namun para pemain sudah memasuki lapangan. Di dalam Ara juga melihat Janu, Arino dan beberapa alumni SMA BN400 seperti Kak Tio dan Kak Jo, Mas Yuda enggak hadir di sana karena dia sedang sibuk dengan perkuliahannya.

“Cielah Ara.. Liat noh calon cowok lo,” pekik Cindy menggoda Ara begitu gadis itu memotret Kak Yuno dari kursinya.

“Eh, tapi lo sama Kak Yuno tuh belum jadian yah, Ra?” kali ini Kinan yang bertanya, ya siapa sih yang enggak tahu kedekatan mereka? Ara pun kini seperti menjadi buah bibir di sekolah.

Ara hanya menggeleng pelan, “baru deket doang kok.”

“Eh, eh tandingnya di mulai anjir!!” pekik Echa.

Mereka pun berdiri untuk menyayikan lagu Indonesia Raya untuk pembukaan pertandingan, kemudian ada beberapa anak cheer yang ikut merayakan pembukaan pertandingan itu. Semua penonton bersorak, di kursinya Ara sibuk memperhatikan Kak Yuno, yang tampak gugup di pinggir lapangan. Cowok itu bahkan terlihat beberapa kali memilin ujung celana basketnya dan berkeringat. Padahal main saja belum tapi Kak Yuno sudah berkeringat sebanyak itu.

“Kak Yuno kenapa yah..” gumam Ara pelan.

Begitu pertandingan di mulai, semua kembali bersorak. Apalagi saat sang bintang lapangan berhasil memberikan point pertama di babak pertama, itu Kak Yuno. Walau tampak terlihat gugup di awal, tapi cara bermain Yuno cukup baik. Kini cowok itu juga tampak lebih tenang.

“KAK YUNO SEMANGATTTTTT!!” teriak Ara.

Walau Ara yakin Yuno tidak mendengarnya, tapi ia beberapa kali menyerukan nama cowok itu. Kemudian di kursi belakang para siswa dari SMA nya menyanyikan yel yel demi menyemangati tim basket mereka, begitu pula dengan Ara dan teman-temanya.

“Kok mereka mainya mulai loyo sih?” ucap Cindy yang mulai khawatir, skor SMA BN400 mulai menurun.

“Tenang aja, kita pasti menang kan ada Kak Yuno!” pekik Kinan yakin.

“Tapi liat deh Kak Yuno aja mulai kuwalahn kaya gitu,” ucap Cindy.

Di kursinya Echa hanya melirik Ara sebentar, gadis itu juga tampak khawatir. Apalagi beberapa kali Kak Yuno terlihat kelelahan, bahkan cowok itu seperti kehilangan konsentrasinya di tengah-tengah permainan.

“Eh, Ra.. Ra.. Kak Yuno kenapa tuh?” tanya Echa.

Ara yang panik jadi reflek berdiri, dia juga kaget waktu liat Kak Yuno duduk dan megangin kepalanya. Cowok itu kelihatan enggak baik-baik aja, wasit yang berada di sana juga menyuruh tim kesehatan untuk membawa Yuno keluar dari lapangan, dan kemudian di gantikan oleh pemain cadangan yang lain.

“Cha, gue harus ke sana sekarang. Gue khawatir banget sama Kak Yuno,” ucap Ara.

Echa hanya mengangguk, “yaudah, Ra. Gue sama anak-anak disini yah.”

Begitu berpamitan pada Echa, Ara langsung lari keluar dari lapangan dan berlari kecil menuju UKS. Di sana ada Kak Genta juga yang nampak khawatir dengan keadaan Kak Yuno, cowok itu berada di ranjang. Masih tampak berkeringat sembari memegangi kepalanya yang sakit.

“Kak Gen, Kak Yuno kenapa?” tanya Ara panik begitu ia sampai di sana.

“Kepalanya Yuno sakit, Ra,” jawab Kak Genta.

Tidak lama kemudian, seorang wanita dengan penampilan anggun datang. Beliau langsung masuk dan menghampiri Kak Yuno yang masih berbaring, Ara gak bisa masuk mendekat, tim kesehatan menyuruhnya untuk menunggu di depan saja sampai dokter selesai memeriksa Yuno.

“Itu Nyokapnya Yuno, Ra,” bisik Kak Genta pada Ara.

“Ma..Mama?”

Kak Genta mengangguk pelan, “Mama nya Dokter.”

Ara sempat menunggu di depan UKS, menunggu dokter atau siapapun itu keluar dari sana. Hatinya belum cukup tenang kalau belum tahu bagaimana keadaan Kak Yuno sekarang, sedang asik melamun tiba-tiba saja pintu UKS terbuka, itu adalah orang tua Kak Yuno. Wanita itu tersenyum ramah pada Ara. Senyumnya begitu menenangkan sama seperti Kak Yuno ketika cowok itu tersenyum.

“Ara?” panggilnya.

“Ya..ya Tante?”

“Sini masuk, Yuno nyariin kamu.”

Ara mengangguk, kemudian mengikuti Mama Kak Yuno masuk ke dalam ruang UKS. Saat Ara masuk, Kak Yuno sudah jauh lebih tenang. Cowok itu duduk di ranjangnya walau dalam keadaan pucat.

“Kak Yuno kenapa?” tanya Ara khawatir.

“Kepalaku cuma sedikit sakit, Ra. Gapapa.”

“Sekarang masih sakit?”

Yuno tersenyum, kemudian menggeleng kepalanya pelan. “Udah enggak kok, Ra?”

“Hm?”

“Maaf yah, Maaf aku gak bisa kasih kemenangan buat sekolah kita, buat kamu, dan buat Mama juga,” ucap Kak Yuno penuh penyesalan, di tengah-tengah sakitnya ia masih sempat-sempatnya memikirkan pertandingan?

Kak Yuno juga sepertinya sudah tahu jika SMA BN400 kalah telak, SMA Anggada jauh lebih unggul kali ini. Benar-benar bukan lawan yang bisa di remehkan, jujur, Yuno menyesal. Ia benci kalah, namun rasa sakit di kepala dan gumpalan ketidaknyamanan di hatinya juga terus mengamggunya.

“Kak Yuno, gapapa. Kalah dan menang dalam pertandingan kan wajar, lagian siapa sih yang mau sakit, aku yakin, pelatih, anak-anak, Mama Kak Yuno dan juga aku. Juga lebih mentingin kesehatan Kak Yuno dulu dari pada kemenangan, ya kan Tante?” tanya Ara pada orang tua Yuno itu.

Namanya Tante Lastri, wanita itu tersenyum dan mengusap bahu Ara penuh kehangatan. “Benar apa yang Ara bilang, Yuno. Mama lebih mementingkan kesehatan kamu dulu dari pada kemenangan. Toh, selama ini juga sudah banyak piala yang kamu bawa pulang untuk sekolah.”

 
Read more...

from My First Love Story! [The End]

Begitu sampai di depan gerbang SMA Anggada, Ara langsung mengetikkan pesan pada Genta agar menjemputnya. Dan benar saja tidak membutuhkan waktu lama bagi Ara, Echa, Cindy dan Kinan. Genta langsung muncul di depan mereka, Genta memberikan akses untuk ke empat gadis itu masuk, maklum tuan rumah hanya memberikan beberapa akses masuk untuk SMA lawan.

Begitu mereka masuk ke lapangan, semua penonton sudah bersorak. Pertandingan belum mulai, namun para pemain sudah memasuki lapangan. Di dalam Ara juga melihat Janu, Arino dan beberapa alumni SMA BN400 seperti Kak Tio dan Kak Jo, Mas Yuda enggak hadir di sana karena dia sedang sibuk dengan perkuliahannya.

“Cielah Ara.. Liat noh calon cowok lo,” pekik Cindy menggoda Ara begitu gadis itu memotret Kak Yuno dari kursinya.

“Eh, tapi lo sama Kak Yuno tuh belum jadian yah, Ra?” kali ini Kinan yang bertanya, ya siapa sih yang enggak tahu kedekatan mereka? Ara pun kini seperti menjadi buah bibir di sekolah.

Ara hanya menggeleng pelan, “baru deket doang kok.”

“Eh, eh tandingnya di mulai anjir!!” pekik Echa.

Mereka pun berdiri untuk menyayikan lagu Indonesia Raya untuk pembukaan pertandingan, kemudian ada beberapa anak cheer yang ikut meramaikan pembukaan pertandingan itu. Semua penonton bersorak, di kursinya Ara sibuk memperhatikan Kak Yuno yang tampak gugup di pinggir lapangan. Cowok itu bahkan terlihat beberapa kali memilin ujung celana basketnya dan berkeringat. Padahal main saja belum tapi Kak Yuno sudah berkeringat sebanyak itu.

“Kak Yuno kenapa yah..” gumam Ara pelan.

Begitu pertandingan di mulai, semua kembali bersorak. Apalagi saat sang bintang lapangan berhasil memberikan point pertama di babak pertama, itu Kak Yuno. Walau tampak terlihat gugup di awal, tapi cara bermain Yuno cukup baik. Kini cowok itu juga tampak lebih tenang.

“KAK YUNO SEMANGATTTTTT!!” teriak Ara.

Walau Ara yakin Yuno tidak mendengarnya, tapi ia beberapa kali menyerukan nama cowok itu. Kemudian di kursi belakang para siswa dari SMA nya menyanyikan yel yel demi menyemangati tim basket mereka, begitu pula dengan Ara dan teman-temanya.

“Kok mereka mainya mulai loyo sih?” ucap Cindy yang mulai khawatir, skor SMA BN400 mulai menurun.

“Tenang aja, kita pasti menang kan ada Kak Yuno!” pekik Kinan yakin.

“Tapi liat deh Kak Yuno aja mulai kuwalahn kaya gitu,” ucap Cindy.

Di kursinya Echa hanya melirik Ara sebentar, gadis itu juga tampak khawatir. Apalagi beberapa kali Kak Yuno terlihat kelelahan, bahkan cowok itu seperti kehilangan konsentrasinya di tengah-tengah permainan.

“Eh, Ra.. Ra.. Kak Yuno kenapa tuh?” tanya Echa.

Ara yang panik jadi reflek berdiri, dia juga kaget waktu liat Kak Yuno duduk dan megangin kepalanya. Cowok itu kelihatan enggak baik-baik aja, wasit yang berada di sana juga menyuruh tim kesehatan untuk membawa Yuno keluar dari lapangan, dan kemudian di gantikan oleh pemain cadangan yang lain.

“Cha, gue harus ke sana sekarang. Gue khawatir banget sama Kak Yuno,” ucap Ara.

Echa hanya mengangguk, “yaudah, Ra. Gue sama anak-anak disini yah.”

Begitu berpamitan pada Echa, Ara langsung lari keluar dari lapangan dan berlari kecil menuju UKS. Di sana ada Kak Genta juga yang nampak khawatir dengan keadaan Kak Yuno, cowok itu berada di ranjang. Masih tampak berkeringat sembari memegangi kepalanya yang sakit.

“Kak Gen, Kak Yuno kenapa?” tanya Ara panik begitu ia sampai di sana.

“Kepalanya Yuno sakit, Ra,” jawab Kak Genta.

Tidak lama kemudian, seorang wanita dengan penampilan anggun datang. Beliau langsung masuk dan menghampiri Kak Yuno yang masih berbaring, Ara gak bisa masuk mendekat, tim kesehatan menyuruhnya untuk menunggu di depan saja sampai dokter selesai memeriksa Yuno.

“Itu Nyokapnya Yuno, Ra,” bisik Kak Genta pada Ara.

“Ma..Mama?”

Kak Genta mengangguk pelan, “Mama nya Dokter.”

Ara sempat menunggu di depan UKS, menunggu dokter atau siapapun itu keluar dari sana. Hatinya belum cukup tenang kalau belum tahu bagaimana keadaan Kak Yuno sekarang, sedang asik melamun tiba-tiba saja pintu UKS terbuka, itu adalah orang tua Kak Yuno. Wanita itu tersenyum ramah pada Ara. Senyumnya begitu menenangkan sama seperti Kak Yuno ketika cowok itu tersenyum.

“Ara?” panggilnya.

“Ya..ya Tante?”

“Sini masuk, Yuno nyariin kamu.”

Ara mengangguk, kemudian mengikuti Mama Kak Yuno masuk ke dalam ruang UKS. Saat Ara masuk, Kak Yuno sudah jauh lebih tenang. Cowok itu duduk di ranjangnya walau dalam keadaan pucat.

“Kak Yuno kenapa?” tanya Ara khawatir.

“Kepalaku cuma sedikit sakit, Ra. Gapapa.”

“Sekarang masih sakit?”

Yuno tersenyum, kemudian menggeleng kepalanya pelan. “Udah enggak kok, Ra?”

“Hm?”

“Maaf yah, Maaf aku gak bisa kasih kemenangan buat sekolah kita, buat kamu, dan buat Mama juga,” ucap Kak Yuno penuh penyesalan, di tengah-tengah sakitnya ia masih sempat-sempatnya memikirkan pertandingan?

Kak Yuno juga sepertinya sudah tahu jika SMA BN400 kalah telak, SMA Anggada jauh lebih unggul kali ini. Benar-benar bukan lawan yang bisa di remehkan. jujur, Yuno menyesal. Ia benci kalah, namun rasa sakit di kepala dan gumpalan ketidaknyamanan di hatinya juga terus mengganggunya.

“Kak Yuno, gapapa. Kalah dan menang dalam pertandingan kan wajar, lagian siapa sih yang mau sakit, aku yakin, pelatih, anak-anak, Mama Kak Yuno dan juga aku. Juga lebih mentingin kesehatan Kak Yuno dulu dari pada kemenangan, ya kan Tante?” tanya Ara pada orang tua Yuno itu.

Namanya Tante Lastri, wanita itu tersenyum dan mengusap bahu Ara penuh kehangatan. “Benar apa yang Ara bilang, Yuno. Mama lebih mementingkan kesehatan kamu dulu dari pada kemenangan. Toh, selama ini juga sudah banyak piala yang kamu bawa pulang untuk sekolah.”

Setelah itu, Ara berpisah dengan Echa, Kinan dan Cindy. Dia di ajak Tante Lastri untuk main ke rumah Kak Yuno. Sungguh, Ara enggak pernah menyangka jika ia akan di sambut sebaik ini oleh orang tua dari laki-laki yang dekat dengannya. Rumah Kak Yuno itu besar, rapih dan banyak foto keluarga, piala serta piagam milik orang tua Kak Yuno dan juga milik Kak Yuno.

“Ini foto Yuno waktu umur 4 tahun, lucu yah. Pipi nya chubby banget. Yuno kecil tuh hobi nya ngambek, Ra. Apalagi waktu Papa nya motong rambut dia kependekan,” jelas Tante Lastri yang membuat Ara terkekeh.

Gadis itu mengambil bingkai foto Kak Yuno kecil yang sedang cemberut duduk di atas kursi dengan sebelah kakinya naik ke atas meja, wajah Kak Yuno kala itu dan sekarang tidak berbeda jauh. Hanya saja, Kak Yuno yang sekarang terlihat sedikit tirus.

“Lucu, Kak Yuno kaya enggak puber yah. Mukanya gak jauh beda sama yang sekarang,” gumam Ara.

“Nah, kalau yang ini. Waktu dia masuk SD waktu itu Yuno pernah ngajakin guru bimbel nya buat enggak belajar, dia malah ngajak guru nya buat main basket sama dia.”

Ara melirik Kak Yuno, cowok yang duduk di sebelahnya itu hanya terkekeh sembari mengusap belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Mama nih, jangan jelek-jelekin Yuno depan Ara dong,” rajuknya.

Tante Lastri hanya tertawa, kemudian menepuk pundak anak laki-laki kesayangannya itu dan berdiri dari tempatnya duduk.

“Mama mau ambil cookies sama teh dulu buat Ara, temani dia ya Yuno.”

“Ah, Tante Lastri?” panggil Ara.

“Iya, sayang?”

“Aku boleh gak punya satu permintaan?”

Tante Lastri melirik Yuno sebentar, anak itu hanya menggedikan bahu nya kemudian melirik Ara sebentar.

“Apa?” tanya Tante Lastri.

“Ara boleh manggil Tante pakai sebutan Bunda gak?”

Awalnya Tante Lastri terlihat bingung, namun sedetik kemudian wanita itu tersenyum dan mengangguk mengiyakan. “Boleh, Tante justru senang bisa di panggil dengan sebutan itu.”

Ara tersenyum, dia senang banget dengarnya. Apalagi waktu wanita itu merentangkan tangannya dan menyuruh Ara memeluknya, gadis itu langsung berhamburan memeluk wanita yang kini di panggilnya Bunda selain orang tua kandungnya itu.

“Bunda...”

 
Read more...

from My First Love Story! [The End]

“Mas Iyal?” panggil Ara, gadis itu mengintip ke kamar Arial.

“Masuk aja, Dek.”

Begitu Arial menyuruhnya masuk, Ara langsung masuk ke dalam kamar cowok itu, ternyata Arial sedang belajar juga. Cowok itu belajar sembari mendengarkan lagu, Arial memasang earphone di telinganya. Hanya sebelah, yang satu lagi tidak pakai karena ia takut ada orang yang memanggilnya dan Arial tidak dengar.

“Kenapa?” tanya Arial.

“Mau minta ajarin PR, Mas Iyal sibuk gak?”

Arial menggeleng pelan, dia sudah menyelesaikan tugas-tugasnya. Arial hanya sedang sedikit belajar saja, biasanya jika sedang suntuk atau mengalihkan pikiran dari masalah orang tua nya, Arial akan mencari pelampiasan dengan belajar sekeras mungkin.

Arial tidak merasa belajar menjadi suatu beban untuknya, ia malah menjadikan itu sebagai pengalihan dari rasa kesepian dan kecewa dengan orang tua nya. Makanya gak heran kalau Arial ini pintar banget, bahkan orang tua nya sudah sering menawarinya untuk bimbel, tapi Arial menolak dengan mengatakan ia lebih nyaman belajar sendiri.

“Enggak kok, lagi gabut aja terus belajar. Tadi Reno juga habis ngerjain PR nya disini,” jelas Arial.

Ara hanya mengangguk, memperhatikan setumpuk buku-buku tebal milik Arial yang ada di atas meja.

“Ada tugas apa? Coba sini Mas Iyal liat.”

Ara memberikan buku pelajaran miliknya, kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah Arial. Ada beberapa soal matematika yang tidak Ara mengerti. Sembari mendengarkan Arial menjelaskan, terkadang Ara mencuri-curi waktu untuk memikirkan Kak yuno.

Sekelebatan ingatan akan Kak Yuno hari ini juga terus menyita pikirannya, rasanya Ara tidak sabar ingin cepat-cepat minggu depan demi bisa melihat Kak Yuno bertanding di SMA Anggada.

“Ra? Dengerin gak sih? Dari tadi cengar cengir,” Arial menggerutu, dia ngerasa Ara enggak konsentrasi saat ia menjelaskan soal pada Adik sepupunya itu.

“Mas Iyal?”

“Hm?”

“Mas tau gak, tadi pagi ada yang salah paham sama aku gara-gara Mas Iyal anterin aku ke sekolah.”

Arial mengerutkan dahinya bingung, “salah paham? Siapa? Kamu punya pacar?”

“Enggg, salah!” Ara menyilangkan tangannya di depan wajah, kemudian menghela nafasnya pelan. “Belum jadi pacar sih, masih PDKT.”

“Cih, masih kelas sepuluh udah cinta-cintaan.”

“Ihhh emang kenapa sih? Kan ini tuh biar aku semangat sekolahnya, lagian emang Mas Iyal gak punya pacar atau gebetan apa di sekolah? Kayanya gak mungkin banget,” Ara melirik Arial, memperhatikan wajah Kakak sepupunya itu.

Ara cuma mikir aja dengan wajah yang nyaris sempurna, otak yang pintar dan tinggi badan yang menjulang. Rasanya enggak mungkin Arial enggak punya pacar atau minimal gebetan di sekolah, apa jangan-jangan Arial hanya mengenal belajar saja dalam hidupnya? Boring banget gak sih? Pikir Ara.

“Gak ada, Mas Iyal mana sempet mikirin gituan.”

“Kebanyakan belajar sih, makanya Mas Iyal kadang ngebosenin,” Ara mencibir. “Tapi serius deh, Mas. Mas gak naksir satu cewek pun di sekolah?”

Arial yang awalnya tidak memusingkan pertanyaan Adiknya itu jdi terdiam sebentar, dia jadi ingat gadis manis yang akhir-akhir ini baik padanya, ah tidak, gadis itu selalu baik. Bukan hanya padanya, tapi pada semua orang.

“Enggak, udah belajar lagi ah, malah ngomongin cewek lagi.”

“Ihhh Mas Iyal, mah.”

“Lagian, kaya apa sih cowok yang lagi kamu taksir itu? Emang dia lebih keren dari Mas Iyal apa?”

Ara mendengus, dia gak menyangkal jika Arial memang sekeren itu. Ara lebih mengakui Arial memang keren dari pada Mas Yuda, ya meskipun Mas Yuda juga keren, tapi Ara terlalu gengsi mengatakan itu secara terang-terangan.

“Namanya Kak Yuno, dia tuh pinter banget. Kelas sebelas. Seumuran Mas Iyal, terus tinggi, terus jago main basket lagi, ahhh.. Yang jelas dia ganteng terus baik,” jelas Ara.

“Cih,” Arial mencibir. “Awas yah dia sampe bikin kamu nangis, Mas samperin dia awas aja!!”

“Ihhh Mas Iyal, Kak Yuno tuh gak gitu orangnya.”

Setelah Ara keluar dari kamarnya, Arial jadi memikirkan kata-kata Adiknya itu. Ara benar, kadang hari-hari nya sedikit terasa membosankan. Tidak ada hal yang membuat Arial merasakan debaran jantung seperti orang jatuh cinta. Ah, tidak. Arial tidak memikirkan itu.

Dia terlalu takut untuk jatuh cinta, dia takut sakit hati. Dia takut memiliki hubungan yang buruk seperti kedua orang tua nya, lebih baik untuk saat ini dia fokus pada dirinya sendiri dulu alih-alih memikirkan percintaan.

 
Read more...