Setelah selesai meeting sama brand yang mau bekerja sama dengannya, Ara masih nunggu sampai pemilik dompet itu sampai di cafe tempat mereka bertemu. Kebetulan dia juga bawa tugas kuliahnya ke cafe itu, niatnya memang mau belajar di sana karena Ara ngerasa jenuh banget di rumah.
Kalau lagi ngerjain tugas gini, dia jadi kangen masa-masa waktu dia selesain S1 nya di Bandung. Terutama di tahun pertama nya kuliah, Ara masih rajin banget bangun pagi bikin bekal sarapan buat ke kampus. Ada kelas siang pun dia tetap bangun pagi dan datang satu jam sebelum kelasnya di mulai.
Sekarang juga dia masih rajin kok, tapi rasanya suasana waktu ngejalanin S1 dan S2 beda banget. Terutama di teman-temannya, dulu kebanyakan temannya itu seumuran dengannya. Kalau pun lebih tua kayanya cuma beda satu sampai dua tahun, tapi waktu S2 ini beda bahkan ada mahasiswa yang umur nya jauh banget sama Ara.
Makanya dia juga enggak punya banyak teman dekat, bukannya Ara enggak suka bergaul dengan orang yang lebih dewasa. Hanya saja rasanya canggung, ada beberapa candaan dan obrolan yang rasanya kurang relate buat dia.
“Mbak Ara yah?”
Begitu mendengar suara wanita memanggil nama nya, Ara mendongak dia tadi lagi fokus liat ke tab miliknya buat ngerjain tugas yang di kasih dosennya hari ini. Wanita itu tersenyum manis ke Ara, tapi enggak dengan Ara. Dia justru kaget bukan karena wanita yang berdiri dengan kruk dan gips di kaki kirinya, melainkan karena laki-laki yang berdiri di sebelah wanita itu.
Sama hal nya dengan Ara, laki-laki itu juga mematung. Ada sirat keterkejutannya samar namun wajah datarnya lebih mendominasi, mata mereka sempat bertemu sebelum akhirnya si laki-laki memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Hallo, Mbak Ara bukan yah?” Bianca melambaikan tangannya karena Ara malah melamun.
“Aahhh, Iya. saya Ara, duduk Mbak. Ini Mbak Bianca yah?”
Bianca mengangguk, kedua nya duduk bersebrangan dengan Ara. Ada atmosfer kecanggungan yang tercipta di antara Ara dan Julian, namun Bianca berusaha mencairkannya. Dia juga berusaha buat pura-pura enggak tahu tentang Ara dan Julian yang memang sebenarnya kenal.
“Lama yah? Maaf yah tadi jalanan macet.” Bianca emang telat, Julian menjemputnya telat karena ada kerjaan yang harus laki-laki itu kerjakan lebih dulu.
Ara menggeleng, dia berusaha tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Gapapa, Mbak.”
Gak lama Ara ngeluarin dompet milik Bianca dari tas nya dan memberikannya ke wanita itu. Ara gak berniat lama-lama, dia gak nyaman dekat Julian dan berpura-pura sebagai orang yang enggak saling mengenal. Ara yakin Julian juga merasakan hal yang sama, tapi siapa Bianca ini? Kenapa Julian mengantarnya? Pikir Ara.
Sebenarnya wajar saja mereka saling mengenal, toh kata Gita, Julian bekerja di Ruby Jane kan? Dan wanita yang bersama nya ini adalah divisi marketing di brand itu. Jadi, yang di maksud teman di parkiran rumah sakit oleh Julian itu adalah Bianca?
“Ahh, makasih banyak Mbak Ara, sumpah loh. Kalo enggak ada kamu aku gak tau harus gimana, takut banget ketemu nya sama orang jahat yang manfaatin identitas aku.”
“Sama-sama, Mbak.”
“Ah iya, ngomong-ngomong gak buru-buru kan?” Bianca cuma mau traktir Ara sebagai ucapan terima kasih sama cewek itu, enggak enak kan kalau langsung pulang. Meski Bianca tahu suasana di sekitarnya sangat tidak nyaman, mau ngasih uang ke Ara sebagai ucapan terima kasih pun Bianca yakin cewek itu enggak kekurangan.
“Eng—” Ara meringis, dia liat ke jam tangannya. Mau bikin alasan supaya dia bisa cepat-cepat pulang, rasanya udah enggak mood lagi buat ngerjain tugas di cafe. “Aku ada—”
“Enggak lah yah, sebentar aja yah kita ngobrol-ngobrol dulu. Aku mau traktir Mbak Ara sebagai ucapan terima kasih, boleh yah please... “ Bianca mengatupkan tangannya, sejujurnya selain mau mengucapkan terima kasih Bianca juga penasaran seperti apa cewek yang berhasil membuat Julian patah hati.
“Gak usah repot-repot, Mbak.”
“Gak repot kok, aku tuh seneng banget dompetnya ketemu. Sebentar yah, kamu mau pesan apa? Kopi atau Sangria? Disini ada juga ternyata.”
“Jangan dia lagi hamil!!” sela Julian tiba-tiba, dan itu juga yang membuat Bianca dan Ara melihat ke arah cowok itu secara bersamaan.
“Ohh...okey..” Bianca mengangguk-angguk, berusaha menyembunyikan senyum nya. “Maaf yah, Mbak. Aku gak tau kamu lagi hamil, by the way berapa bulan? Belum begitu kelihatan soalnya.”
“4 bulan.” jawab Ara singkat, mood nya benar-benar enggak baik siang itu. Tapi dia berusaha menahan itu semua karena enggak enak sama Bianca, biar bagaimana pun mereka baru kenal kan. “Mungkin gak kelihatan karena aku pakai baju over size.“
Bianca senyum, dia emang enggak tahu kok kalau Ara lagi hamil. “Aahhh cute, selamat yah. Aku doain persalinannya lancar.”
“Makasih, Mbak.”
Mereka sempat ngobrol-ngobrol sebentar, walau yang ngobrol cuma Ara sama Bianca aja. Julian lebih banyak diam dan main ponsel nya aja, dari obrolan Ara dan Bianca, Julian baru tahu kalau Gita ternyata bekerja di Ruby Jane juga sebagai creative director.
Kalau sudah begini, itu artinya dia masih berkecimpung di lingkungan teman-teman kuliahnya juga. Atau lebih baik Julian mengundurkan diri? Tapi kenapa? Toh Gita enggak ke kantor setiap hari, cewek itu bekerja jarak jauh dari Bandung. Tapi entah kenapa rasanya Julian ingin menghindari itu semua, dan sial nya semesta seperti tidak mendukung usahanya.
“Jadi kamu S2 di Bandung, sementara suami kamu selesain koas di Jerman?” Bianca menggeleng, memandang Ara dengan tatapan kagum. “Wah, gila yah. Kamu kuat banget LDM.”
Ara cuma senyum aja, dia mau nyari waktu yang pas buat pamitan sama Bianca. Selain ngerasa gak nyaman, kepalanya juga agak berdenyut nyeri.
“Ah iya sampe lupa mau ngenalin dia nih,” Tiba-tiba saja Bianca menepuk pundak Julian. “Kenalin, Mbak Ara. Ini Julian cowokku.”
Raut wajah Ara enggak berubah, wajahnya masih datar walau sebenarnya dia agak sedikit terkejut. Pacar? Jadi Julian sudah punya pacar? Tapi syukurlah kalau begitu, Ara senang mendengarnya.
Tapi lain hal nya dengan raut wajah Julian, cowok itu membulatkan matanya ke Bianca walau Bianca justru menarik tangan Julian untuk menjabat tangan Ara.
“Ara..” ucap Ara mengambang waktu mereka berjabat tangan.
“Julian.”
“Ah, Mbak Bianca. Maaf aku gak bisa lama-lama, aku harus pulang karena masih ada kerjaan yang harus aku kerjain, gapapa?” Ara memasukan tab dan ponsel miliknya ke tasnya, dia berdiri dan hendak berpamitan dengan Bianca.
“Ah, gapapa dong Mbak Ara, sekali lagi terima kasih banyak yah.”
“Sama-sama, Mbak.”
Keduanya saling berjabat tangan, namun Ara hanya mengangguk kecil sama Julian. Dia langsung membawa tas nya dan hendak pergi dari sana, namun baru dua langkah ia meninggalkan kursi nya Ara enggak sengaja kepeleset. Dia pikir dia bakalan berakhir di lantai, namun justru ada seseorang yang menahan tubuhnya.
Itu tangan Julian, Ara buru-buru bangun dan nepis tangan Julian dengan kasar. Dia juga enggak bilang makasih ke Julian dan langsung pergi gitu aja, Julian masih berdiri di tempatnya. Dia menghela nafasnya pelan dan berbalik melihat Bianca yang kini menatapnya dengan mengangkat sebelah alisnya.
“Lo kenapa harus bilang kita pacaran sih?” Julian agak kesal karena Bianca seenaknya kaya gini.
“Biar lo gak ngenes-ngenes banget kelihatannya, lagi emang kenapa sih? Lo takut dia cemburu?” Bianca agak sewot, maksud dia kan baik biar Julian enggak kelihatan semenyedihkan itu setelah Ara tinggal nikah. Bianca cuma berniat menyelamatkan harga diri Julian.
“Bukan gitu, Bi. Itu nama nya bohong, kita kan emang gak pacaran.”
“Ya terus? Niat gue tuh baik yah.”
Julian mengusap wajahnya dengan gusar, dia udah gak punya tenaga buat berdebat rasanya. Pikiran dan hatinya enggak karuan, ternyata sesusah ini buat pura-pura saling tidak mengenal dengan Ara.
“Jul, lupain dia. Lo ngerep apa sih dari cewek yang udah nikah? Lo mau nungguin dia terus? Lo ngarep dia jadi janda secepatnya? Atau lo ngarep bisa jadi selingkuhannya?”
“Gak gitu!!” sentak Julian, dia jadi kehilangan kendalinya karena ucapan Bianca terdengar menyebalkan untuknya. “Gue gak pernah doain dia yang buruk-buruk. Gue gak segila itu, Bi.”
“Ya terus?” Bianca enggak kalah nyolot.
“Lo liat gak tadi dia gak nyaman? Lo gak bilang kalau orang yang nemuin dompet lo itu dia? Lo sengaja mau ketemuin gue sama dia?”
“Heh? Lo pikir gue tau kalo yang nemuin dompet gue itu Ara? Lo pikir yang namanya Ara dia doang?!”
Julian diam sebentar, dia nutupin muka nya pakai tangan buat meredam emosinya. Bianca enggak salah, dia emang gak tahu kalau yang nemuin dompetnya itu Ara yang Julian kenal. Ini memang Julian nya saja yang sensitif.
“sorry, Bi. Gue lagi sensitif aja kayanya. Gue anterin lo balik ya.”
Di perjalanan pulang, baik Bianca maupun Julian diam saja. Satu-satunya sumber suara dari mobil yang Julian bawa itu cuma dari radio yang sedang menyiarkan seputar ramalan cuaca hari ini sampai seminggu ke depan.
Begitu sampai kosan Bianca, Julian sempat membantu Bianca masuk. Dia juga keluar-keluarin barang-barang Bianca yang ada di mobilnya dan menyusunnya di kamar kost wanita itu.
“Bi.” panggil Julian, dia jadi enggak enak sama wanita itu.
“Apaan?” jawab Bianca dengan helaan nafasnya.
“Gue minta maaf.”
“Lo udah minta maaf tadi.”
Julian diam aja, dia merhatiin Bianca yang sedang menyusun barang-barang dari kantor ke meja yang ada di dekat meja TV.
“Bi.”
Bianca menghela nafasnya lagi. “Apa lagi?”
“Bantuin gue lupain Ara,” ucap Julian dengan suara parau nya.
Bianca yang mendengar itu sontak menoleh ke arah Julian, dia lihat wajah cowok itu yang tambah gusar, ada raut merasa bersalah dengan mata berkaca-kaca. Bianca mendekat, dia udah gak perduli lagi sama kakinya yang masih di gips. Dia usap wajah dan rahang Julian, sampai akhirnya Bianca memberanikan diri mencium laki-laki itu lebih dulu.
Awalnya Julian kaget, dia diam saja waktu Bianca melumat bibirnya. Namun sedetik kemudian Julian memejamkan matanya, menarik pinggang Bianca untuk duduk di pangkuannya. Julian tahu dia brengsek, dia akui itu. Namun biarkan kali ini saja dia menjadi laki-laki jahat di cerita wanita lain.
Siang itu Bianca kembali memejamkan matanya, merasakan tangan besar itu menanggalkan baju nya satu persatu dan menyentuh setiap jengkal kulitnya.
“Aahh..”
“You're so damn hot..” bisik Julian tepat di telinga Bianca.
Kecupan yang tadinya hanya bermula di bibir ranum nya itu kini turun ke pipi, rahang dan kini leher jenjangnya. Bulu kuduk Bianca berdiri, tubuhnya meremang dan kepalanya di buat pening karena bibir Julian.
Mati-matian Bianca menahan dirinya untuk tidak meloloskan desahan, namun seketika usahanya gagal ketika kedua lengan besar itu membawa tubuhnya ke atas ranjang dan menguncinya. Bibir Bianca terbuka sempurna saat sentuhan tangan Julian di dadanya itu mampu menerbangkannya.
“Tell, me if you want me too.” bisik Julian, dia menahan bobot tubuhnya dengan kedua lengannya.
“I want you.. I want you right now please..” Bianca sadar dia bukan lagi meminta, namun ucapannya itu terdengar seperti memohon.
Dan semua semakin tidak terkendali, tidak peduli pada hujan di luar atau bahkan pada ponsel Julian yang bergetar di atas meja rias Bianca, keduanya saling di banjiri oleh peluh. Suara di kamar Bianca itu tidak lagi di dominasi oleh suara pendingin ruangan dan hujan, namun juga kecupan-kecupan yang berasal dari bibir keduanya.
“Ahhh....”
“Mmhh..”
Setelah pelepasan, gak ada lagi obrolan di antara keduanya. Julian justru buru-buru memakai baju nya dan pergi meninggalkan Bianca, dia gak perduli pada hujan siang itu karena dia harus secepatnya kembali ke kantor.
Sementara Bianca, dia masih terdiam di ranjangnya. Meringkuk dengan selimut tebal menutupi tubuh polos nya, tidak lama kemudian dia menangis. Katakan dia juga menginginkannya, tapi apa perlu Julian meninggalkannya setelah keduanya selesai? Bahkan tanpa kata-kata sedikit pun.