Wordsmith

Reader

Read the latest posts from Wordsmith.

from small medic mini-blog

There's something rather satisfying about being one of the many sets of hands to stabilise someone really unwell on ICU.

“Did you save any lives this week?” my parents often ask. Well, not directly. It's unlikely any one thing I do directly saves someone's life definitively. The seniors might, by spotting a pattern in a critically unwell patient and acting promptly. The nurses might, by actually giving the treatments and – well, good nursing care goes a long, long way.

Did I save any lives this week? Not directly. Not dramatically. But I did put in the lines to allow for lifesaving renal replacement and vasopressors, I guess. I did keep things safe as much as I could (prescribing, handovers, making sure there were good senior plans for important things). And if that sounds like working on a regular medical ward, then yes, it is! The stakes tend to be a little higher (if you don't fix the problem, that's it – you can't escalate to anyone else. (Transfers don't count)

It's changeover week, and I leave having learned so much, done quite a lot, and received overwhelming kindness from unexpected corners.

#ICU #reflections

 
Read more...

from JazzyExpert

1XBET eSports Betting: How to Get Started

1XBET is one of the major on the web betting tools, offering a wide variety of activities betting, casino activities, and electronic betting options. Established in 2007, the program has acquired global recognition for the extensive betting areas,

aggressive odds, and lucrative promotions. In this informative article, we will discover why is 1XBET a premier selection for bettors, how to get started, and the best techniques to maximize your profits.

1XBET stands out because diverse betting choices, user-friendly interface, and beautiful bonuses. Some of the major causes people choose 1XBET contain:

From baseball and hockey to esports and electronic activities, 1XBET presents a thorough selection of betting options.The program gives some of the greatest chances in the market, raising your potential winnings.

1XBET enables customers to put bets on live fits, putting pleasure and more proper betting opportunities.Apart from activities betting, customers may enjoy slots, poker, blackjack, and different casino games.1XBET presents delightful bonuses, cashback, and free bets to enhance your experience.

Getting to grips with 1XBET is simple. Follow these steps:Head to the 1XBET web site or download the cellular app.Click on the subscription key and pick your chosen strategy (phone, email, or cultural media).

Give your individual information and pick your chosen currency.Choose from various payment strategies, including charge cards, e-wallets, and cryptocurrencies.Once your account is financed, browse through the available sports or casino activities and position your bets.

1XBET is known for its good bonuses, including:New users receive a 100% advantage on the first deposit.Earn free bets by participating in several promotions.Frequent consumers may take advantage of cashback offers and VIP programs.

To increase your likelihood of earning, contemplate these strategies:Before placing bets, study group data, player kind, and famous performance.

Accumulator bets and program bets may increase your winnings.Use free bets and bonuses 1xbet فارسی to maximize your profits.Set a budget and stick to it to avoid losses.

1XBET is a reliable and fascinating betting program with something for everyone. Whether you're in to sports betting or casino games, it provides numerous possibilities to win.

But, bear in mind to bet reliably and use techniques to boost your chances of success.Would you like me to add more details or focus on a certain facet of 1XBET betting?

 
Read more...

from My First And Last ✅

Hari ini Bianca senang banget karena dia udah bisa pulang dari rumah sakit, dari tadi dia bersenandung kecil sembari memasukan barang-barang nya ke dalam tas miliknya, hari ini juga Bianca di jemput sama Julian. Julian yang bantuin Bianca buat dapat kos-kosan yang jauh lebih murah dari pada dia harus sewa apartemen lagi.

Tabungan Bianca memang masih cukup buat sewa apartemen sampai 6 bulan ke depan, tapi Julian bilang dia harus lebih pintar lagi mengatur keuanganya karena sekarang Bianca belum punya pekerjaan. Yup, Bianca mengundurkan diri dari Ruby Jane. Bianca cerita ke Jenara soal apa yang terjadi sama dia.

Jenara juga enggak keberatan kalau Bianca tetap bekerja bersamanya, karena sejauh ini Jenara puas sama pekerjaan Bianca. Tapi Bianca tetap pada keputusannya, banyak karyawan lain yang merasa keberatan kalau harus bekerja bersamannya, belum lagi stigma dari karyawan-karyawan lainnya yang sekarang pasti memandangnya sebagai cewek gak bener.

Jadi demi kesehatan mental nya, Bianca tetap mengundurkan diri. Dia baru punya rencana kalau satu bulan ini dia mau menghabiskan waktu untuk memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya.

“Udah selesai?” pintu ruang rawat Bianca terbuka, menampakan Julian di sana yang baru mengurus administrasi Bianca dan mengambil obat yang akan di bawa pulang olehnya.

“Udah kok, ah, iya. Lo bawa motor yah, Jul?”

Bianca belum bisa naik motor, kaki nya masih di gips karena patah tulang. Damian sempat menghajarnya dengan kursi kayu yang ada di ruang tamu nya waktu itu, makanya bakalan ngerepotin dan susah banget kalau dia harus naik motor sama Julian. Walau naik motor Julian tuh Bianca punya kesenangan sendiri.

“Enggak, gue minjem mobil Ibu gue.”

“Ahh.” Bianca ngangguk-ngangguk. “Yuk, gue udah gak sabar mau liat kos-kosan baru gue.”

Julian mengangguk, dia ngambil travel bag punya Bianca dan membawa nya. Sementara Bianca naik kursi roda di bantu oleh perawat yang akan mengantar nya ke loby rumah sakit.

Soal mobil dan apartemen yang di berikan Damian untuknya, Bianca pulangin itu semua ke Damian. Termasuk barang-barang branded yang di berikan laki-laki itu, enggak ada satu pun yang Bianca bawa ke kosannya. Dia gak mau berurusan sama laki-laki itu lagi.

“Lo tunggu disini yah, gue ambil mobil dulu.”

“Jangan lama-lama, Jul.” teriak Bianca.

Sembari nunggu Julian, Bianca liat-liat ponsel nya yang berisi foto-foto kamar kost nya yang baru. Nampak lebih sederhana, tapi Julian bilang cukup nyaman disana dan terlebih dekat dari rumah Julian berada, Julian juga bilang kalau Bianca bosan di kosan dia bisa main ke rumahnya dan ngobrol sama Ibu nya.

Sementara itu, Julian jalan ke parkiran mobil. Parkiran mobilnya itu luas dan outdoor maksud nya enggak ada basement di sana, tapi baru beberapa langkah lagi ia sampai di depan mobilnya langkah Julian justru terhenti.

Di depan nya sekarang ada Ara dan Karina pacarnya Reno, dua-dua nya sama-sama terdiam, baru saja Julian sedikit teralihkan sama perasaanya tapi sekarang Ara muncul lagi di depannya.

“Kak?” panggil Karina, dia nyadarin Ara karena Ara malah diem aja.

“Rin, kamu duluan yah. Nanti Kakak nyusul.” menurut Ara ini kesempatan dia buat ngobrol sama Julian sebentar, makanya dia nyuruh Karina masuk lebih dulu.

“Kakak mau ngapain?”

“Dia teman Kakak di Bandung, mau ngobrol sebentar.”

“Ohhh.” Karina manggut-manggut. “Yaudah nanti nyusul yah, Kak.” dia gak kepikiran Mas-Mas di depannya temennya Ara, karena keduanya enggak saling sapa dan atmostfer di sekitar mereka berubah jadi enggak nyaman banget.

Setelah Karina menjauh dari Julian dan Ara, barulah Ara berani melangkah mendekat ke arah Julian. Cowok itu masih diam aja, Ara sendiri bingung kenapa Julian ada di rumah sakit milik keluarga Yuno. Apa cowok itu sedang sakit? Pikirnya.

“Jul?” sapa Ara.

Julian enggak jawab dia cuma diam aja, tapi sekarang cowok itu nunduk. Dia gak mau liatin Ara, karena liat cewek itu sekarang cuma ngingetin dia sama hal-hal manis yang pernah mereka lakuin berdua di Bandung. Ah, Bandung, kayanya kota itu sekarang juga jadi kota yang enggan Julian singgahi lagi. Dia akan menghindari Bandung sebisa nya.

“Siapa yang sakit?” tanya Ara, dia bingung harus nanya apa karena Julian malah diam aja.

“Temen gue,” jawab Julian.

“Hm..” rasanya canggung banget, sikap Julian juga dingin banget beda sama Julian yang dia kenal dulu. “Gue boleh ngomong—”

sorry yah, Ra. Tapi gue buru-buru.” sela Julian, dia gak mau ngobrol apapun itu sama Ara. Walau rasanya dia kangen banget sama cewek itu, tapi Julian rasa menghindari Ara sekarang lebih baik.

“Jul,” sebelum Julian pergi, Ara menahan lengan cowok itu dia cuma mau ngobrol sama Julian dan nanya kabarnya aja. “Gue cuma mau ngobrol sebentar aja.”

“Gue buru-buru, Ra.”

Tatapan Julian tajam, walau Ara bisa lihat ada raut kesenduhan juga di sana. Akhirnya Ara mengangguk, dia lepasin tanganya dan biarin Julian pergi. Ara enggak langsung pergi, dia masih diam di tempatnya sembari memperhatikan punggung lebar Julian, namun tidak lama kemudian cowok itu berbalik dan berjalan ke arah Ara lagi.

“Gue boleh minta tolong sesuatu sama lo, Ra?” tanya Julian, samar-samar suaranya agak parau dan penuh keraguan.

“A..apa?”

“Kalau seandainya kita ketemu lagi, tolong pura-pura enggak kenal sama gue. Jangan negur gue lagi, tolong.”

Setelah mengatakan itu, Julian langsung pergi ke mobilnya. Sementara Ara masih diam aja di tempatnya, hatinya sakit banget dengar Julian ngomong kaya gitu. Kenapa harus pura-pura enggak kenal? Apa Julian benar-benar benci sampai enggak mau kenal dia lagi? Pikir Ara.


Di perjalanan menuju kosan Bianca pun Julian diam aja, dia gak menyahuti celotehan dari Bianca yang sekarang duduk di sebelahnya. Lagi-lagi pikirannya tersita sama Ara, katakan Julian memang brengsek sudah bicara seperti itu sama Ara.

Tapi menurut nya itu jadi hal yang paling adil untuknya, meski sekarang rasanya dia bukan lagi kaya nyakitin hati Ara aja tapi juga lagi nyakitin diri nya sendiri.

“Jul?” panggil Bianca karena dari tadi Julian enggak menimpali ucapannya. “Diem aja? Boker lo yah?”

Julian menghela nafasnya berat, jalanan sedang. macet mobil yang berada di depan juga berjalan lebih lambat. Dari tadi Julian cuma diam sambil liatin mobil-mobil di depannya.

“Enggak.”

“Terus kenapa diem aja?” Bianca ngerasa perubahan Julian drastis banget, padahal waktu datang Julian tuh kaya biasanya aja. Masa waktu balik dari parkiran rumah sakit ke loby Julian langsung bad mood kaya gini.

“Gapapa.”

“Bohong! Lo tuh beda banget sama pas baru datang tadi tau, lo tuh gak jago bohong. Makanya gausah bohong deh. Biarin aja kalo bohong gue sumpahin berak di celana.”

Julian ngelirik Bianca yang ada di sebelahnya, cewek itu lagi sibuk ngaca sekarang. Julian jadi mikir lagi, apa dia cerita aja soal ketemu Ara di parkiran? Karna sejauh ini cerita sama Bianca lah yang paling bikin Julian nyaman.

“Gue boleh manggil lo pake sebutan Mbak gak sih?” tanya Julian random, dia ngerasa Bianca kaya Kakak nya aja gitu. Ya walau kadang kelakuannya juga bikin kepala Julian pening. Tapi Bianca cukup dewasa kok.

“Gak karna gue bukan Mbak lo, udah ah apaan sih kok malah ngomong random begini. Tadi gue nanya apa coba?”

Julian nyandarin tangannya ke jendela mobil dan sedikit mijat pelipis nya, kalau udah ketemu Ara gini rasanya pikirannya benar-benar tersita lagi.

“Gue tadi ketemu Ara, Bi.”

“Hah?!” sentak Bianca, namun sedetik kamudian dia mengangguk. Dia paham sekarang kenapa Julian berubah kaya gini. “Dimana?”

“Parkiran.”

“Ahhh pantes, lagi pula enggak kaget sih. Itu rumah sakit kan punya mertua nya.”

ah benar juga..

Julian baru sadar kalau rumah sakit tempat Bianca di rawat itu milik keluarga Yuno, dia lupa kalau nama belakang Yuno adalah wijaya. Sama seperti nama rumah sakit tempat Bianca di rawat, mungkin saja Ara ke sana untuk memeriksakan kandunganya kan? Dia sedang hamil kan? Pikir Julian.

“Gue udah jahat banget kayanya sama dia, Bi.”

“Lah, jahat kenapa? Yang ada tuh dia yang jahat, sikap nya ke lo bikin lo bingung kaya ngasih harapan tapi tiba-tiba balikan sama mantan nya.”

“Bukan gitu..” Julian gusar banget.

“Lah terus?”

“Gue bilang ke dia kalau buat pura-pura gak kenal sama gue aja kalo nanti ketemu lagi. Waktu gue ngomong kaya gitu, dia kelihatan sedih banget, Bi. Setelah itu gue ngerasa gue jahat banget.” suara Julian bergetar, dia kaya lagi nahan nangis nya. Muka nya juga gusar dan merah banget, Julian menyesali ucapannya pada Ara.

“Jul.” suara Bianca melembut, dia usap-usap bahu Julian. “Gue pikir yang lo minta dari dia gak ada salahnya.”

Bianca cuma mikir Julian udah melakukan hal yang benar, mereka memang berteman tapi Ara tahu bagaimana perasaan Julian padanya. Hubungan mereka enggak murni berteman, ada cinta di antaranya, dan sekarang Ara sudah menikah.

Selain sakit untuk Julian tiap kali bertemu Ara, Ara juga harus menjaga perasaan suami nya kan? Bagaimana perasaan suaminya kalau tahu istrinya masih main bareng sama cowok yang pernah suka sama dia?

“Gue harap lo gak ketemu dia lagi, Jul. Supaya lo gak ngerasain sakit lagi karna harus bersikap seolah-olah kalian enggak pernah kenal,” lanjut Bianca.

Dan hal itu yang membuat tangis Julian pecah, dia gak pernah ngerasain patah hati segini nya. Dan kini yang di lakukan Bianca cuma membawa kepala Julian ke pelukannya, Julian udah banyak bantu dia biarkan sekarang giliran Bianca yang membantu Julian walau hanya dengan mendengar.

 
Read more...

from JazzyExpert

spada demon slayer

https://www.anticaportadeltitano.com/it/demon-slayer/c2808

Demon Slayer: Kimetsu number Yaiba” has taken the planet by surprise, getting among the most popular and significant anime and manga group of recent years. Created by Koyoharu Gotouge, the series has fascinated audiences using its convincing heroes, spectacular movement, and emotionally resounding storytelling. But what is it about “Devil Slayer” that has managed to get this kind of global phenomenon?

 
Read more...

from JazzyExpert

Slot Online Free Spins Guide: How to Get and Use Them

In today's electronic age, the entire world of gaming has transcended the limits of old-fashioned brick-and-mortar casinos. With the development of the web, various on line gaming options has surfaced, offering fanatics the chance to see the enjoyment of the casino from the comfort of their very own homes.

Among these virtual options, Slot On the web has appeared as one of the most used and interesting kinds of on the web gambling. In this short article, we shall discover the intriguing world of Slot On line, delving into its history, technicians, recognition, and the causes behind their enduring appeal.

The roots of slot products, or “one-armed bandits” as they were when affectionately named, could be followed back again to the late 19th century. The first mechanical slot equipment was created by Charles Fey in 1895,

presenting three rotating reels and a limited quantity of symbols. Through the years, slot products developed, incorporating various styles, icons, and improvements to improve the player experience.

The change to the electronic region happened in the 1970s, when the very first video slot machines were introduced. That critical time noted the start of a new era for slots, because they began to gain recognition both in conventional casinos and on the growing online gambling platforms.

At its key, Slot On the web remains loyal to the fundamental maxims of their physical predecessor. It contains a set of spinning reels, each adorned with numerous symbols. People position bets and rotate the reels,

looking to land earning mixtures of representations on predefined paylines. The end result of each spin is determined by a Arbitrary Quantity Turbine (RNG), ensuring that the overall game remains good and unpredictable.

The wonder of Slot On line lies in their simplicity. People don't need sophisticated strategies or complicated principles to take pleasure from the game; it's accessible to equally beginners and experienced gamblers alike.

The excitement of anticipation while the reels spin and the pleasure of reaching a profitable combination are common, creating slots an enduring favorite among casino enthusiasts.

One of the major reasons for the enduring reputation of Slot Online is their accessibility. Unlike table activities such as for example poker or blackjack, slots need no special skills or knowledge. Players may merely choose their preferred sport,

modify their guess measurement, and begin spinning the reels. This availability makes slots an attractive selection for those seeking to unwind and have a blast minus the pressure of understanding complex strategies.

Moreover, the wide variety of slot subjects and styles keeps players employed and entertained. Whether you're in to historical civilizations, mythology, pop culture, or traditional fresh fruit representations, there's a slot game tailored to your interests. That range ensures that people may always find a game that resonates making use of their preferences.

The possibility of considerable payouts is yet another attractive aspect of Slot Online. Progressive jackpot slots, in particular, offer the opportunity to gain life-changing sums of income with an individual spin. That tantalizing probability maintains people finding its way back for more, wanting which they would be the fortunate one going to the jackpot.

While gaming is often seen as a solitary task, Slot On the web has integrated cultural elements to improve the gamer experience. Many on the web casinos today present talk characteristics and multiplayer choices,

letting participants to interact with each other and reveal their excitement all through 먹튀폴리스 . This cultural aspect assists reproduce some of the camaraderie present in standard casinos, even yet in the virtual world.

In the ever-evolving landscape of online gaming, Slot On the web remains to be noticeable as a favorite and enduring type of entertainment. Its simplicity, supply, varied themes, and possibility of big benefits have solidified their devote the spirits of gamblers worldwide.

Whether you're a professional participant or even a newcomer trying to soak your feet in to the planet of online gaming, Slot On line provides an exhilarating and fascinating experience that will captivate you from the initial rotate of the reels.

 
Read more...

from My First And Last ✅

Selesai istirahat hari ini Yuno kembali ke ruangan istirahat dokter, udah beberapa hari ini dia di bikin enggak nyaman sama beberapa dokter residen di rumah sakit. Yuno ngerasa dia sedikit di pelonco akhir-akhir ini. Emang enggak ada kekerasan fisik, hanya saja mereka senang menyuruh-nyuruh Yuno membeli kopi, menahan Yuno untuk pulang lebih lama dari jam jaga nya.

Sampai kadang mereka menyuruh Yuno menangani pasien dan melepasnya begitu saja, sejujur nya Yuno lumayan percaya diri sama diagnosis-diagnosis nya. Dia juga kompeten untuk menangani pasien, hanya saja kan prosedurnya dia tetap harus dalam bimbingan dokter senior.

“Aryuno?” panggil salah satu dokter residen yang tadi sedang mengobrol di belakang kursi Yuno. Yuno tadinya sedang baca-baca buku, dia enggak mau nelfon Ara kalau lagi ramai begini. Dia takut di ledekin.

Sembari mengehela nafas, Yuno menoleh ke arah mereka yang kini tersenyum meledek ke arahnya. “Ya, ada apa dok?”

“Lagi nganggur kan? Bisa beliin kopi gak ke bawah?”

Yuno memejamkan matanya, kupingnya sedikit berdenging dengan suara samar-samar yang ia dengar. Kepalanya juga berkedut, seperti ada berbisik ke telinganya untuk tidak melakukan apa yang di suruh oleh senior nya itu.

Yuno masih menahan dirinya, dengan sekuat tenaga dia remas pulpen yang ada di tanganya, menarik nafas kemudian menghembuskanya perlahan-lahan.

jangan sekarang, Jeff.

“Aryuno?!” sentak dokter senior laki-laki yang kini berdiri di depan Yuno, suaranya benar-benar mengintrupsi Yuno hingga ia membuka matanya.

“Gak bisa, dok.”

Laki-laki itu terkekeh, menatap Yuno dari atas hingga bawah seperti sedang meremehkan atau membaca kemampuan Yuno.

“Kemarin-marin mau, kenapa sekarang enggak?” tanyanya.

“Tugas saya kan bukan beliin kopi, saya mau dokter, tugas saya nyelametin pasien bukan pesanin kopi,” jawab Yuno lantang, kesabarannya nyaris habis. Dia gak perduli nantinya dia bakalan di cap sebagai anak koas yang enggak sopan sama senior sekalipun, menurut nya ini sudah masuk ke perpeloncoan.

“Wahh...” laki-laki itu tersenyum, menepuk pundak Yuno dua kali dengan wajah tidak menyangkanya, seperti dia enggak menduga kalau Yuno akan berani melawannya seperti itu.

“Yuno, jadi dokter itu bukan cuma tentang menyelamatkan pasien. Sebelum itu, lo harus punya hubungan yang baik dulu sama senior-senior lo di rumah sakit,” ucap laki-laki itu.

“Mungkin karena sekarang dia anak murid nya dokter Smith, dok. Makanya dia berani ngelawan kita.”

“Dia ngerasa udah enggak butuh senior kah karena diagnosis nya ke pasien selama koas selalu benar?”

“Dok, dia itu anak orang kaya di negara nya. Bapaknya direktur rumah sakit, pantas dia gak mau di suruh-suruh.”

Kalimat-kalimat itu membuat telinga Yuno sakit, dari pada berujung pada perdebatan lebih baik Yuno mengalah. Dia keluar dari ruangan itu dan lebih memilih duduk di kursi ruang tunggu sembari memonton televisi.

Disana dia menyandarkan tubuhnya, memijat pelipis nya pelan. Kepala nya sudah tidak berdenyut, sekuat tenaga Yuno menahan Jeff untuk tidak muncul. Yuno sadar akhir-akhir ini dia lumayan tertekan, pikiranya terbagi-bagi dan kadang bikin dia sering kali enggak fokus.

“Jangan gini, No..” gumam nya.

Untuk berjaga-jaga akhirnya Yuno menuliskan surat untuk Jeff di buku miliknya, andai Jeff menggantikannya dia memohon pada laki-laki itu untuk tidak membuat kekacauan. Dia ingin koas nya berjalan lancar tanpa drama apa-apa lagi.

Setelah di rasa cukup tenang, Yuno kembali masuk ke IGD. Jam jaga nya masih ada, ada beberapa pasien yang harus ia tangani juga. Walau tetap dalam pengawasan dokter residen. Kali ini Yuno di berikan kesempatan lagi untuk memeriksa pasien, kebetulan dokter Smith sedang keluar sebentar.

“Saya demam sejak pagi, perut juga terasa berat. Seperti kena gangguan pencernaan,” ucap pasien laki-laki yang sedang Yuno periksa itu.

Umur nya 40 tahun, datang dengan keluhan demam dan nyeri perut. Datang bersama istri dan anaknya yang kini menunggu di sebelahnya, Yuno hanya mengangguk dia fokus memeriksa area perut pasien.

“dokter Yuno mau saya hubungi dokter Smith?” tanya perawat yang ikut mengawasi Yuno.

“Akan ada pemeriksaan dasar, nanti kami akan melakukan rontgen dada dan pengambilan darah,” ucap Yuno pada keluarga pasien.

Setelah itu Yuno berjalan ke arah nurse station dan menghubungi dokter Smith sendiri. Dia mau nanya tindakkan yang dia ambil sudah benar atau belum.

“dokter Yuno?”

Yuno menoleh ke arah perawat yang membantu nya, dia perempuan. Nama nya Sabrina. Dia sudah 5 tahun menjadi perawat di rumah sakit, Yuno justru lebih respect sama Sabrina dari pada sama residen nya di rumah sakit. Walau terbilang senior, Sabrina enggak pernah melakukan senioritas.

“Ya?” tanya Yuno.

“Jangan di pikirin soal yang di ruangan tadi, dokter Yuno jauh lebih baik dari mereka,” jawab Sabrina.

Yuno hanya mengangguk, meski enggak bisa di bohongi kalau itu juga sedikit menganggunya. “Saya enggak pikirin kok.”

“dokter tolongg!!!” tiba-tiba saja keluarga pasien yang tadi Yuno tangani berteriak, membuat Yuno dan Sabrina berlari kembali ke ranjang pasien yang tadi mereka tangani.

Yuno menghela saliva nya, pasien laki-laki nya itu tidak sadarkan diri. Dia langsung memeriksa denyut nadi nya, dan betapa panik nya Yuno saat dia tidak dapat merasakan denyut nadi pasiennya.

“Lakukan CPR, dokter Yuno!” kata Sabrina enggak kalah panik, dia berusaha manggil perawat yang lain untuk menghubungi dokter Smith atau dokter spesialis yang sedang berjaga di poli.

Sembari menunggu dokter yang lain tiba, Yuno melakukan CPR sebisanya. Setidaknya sampai denyut nadi pasien itu kembali, dalam hati Yuno terus merapalkan doa agar dia di beri kesempatan untuk menyelamatkan pasiennya. Enggak lama kemudian dokter Smith datang bersamaan dengan perawat yang baru saja selesai istirahat.

“Kenapa ini?” tanya dokter Smith, sebelum menangani dia harus tahu apa yang terjadi sama pasien nya lebih dulu.

“Beliau demam dan nyeri perut, dok. Kemudian mengalami henti jantung.” jawab Yuno, dia masih terus melakukan CPR.

dokter Smith diam sebentar, memperhatikan pasiennya yang terbaring sembari Yuno masih melakukan CPR.

“Demam? Dia mengalami miokarditis? Sudah berapa lama Yuno?”

Yuno memberi isyarat pada Sabrina untuk menggantikannya melakukan CPR, dia mau menghitung berapa lama pasien mengalami henti jantung dari arlojinya.

“Sudah satu menit, dok.”

“Hubungi bedah toraks!” dokter Smith memejamkan matanya, dia jadi enggak fokus karena keluarga pasien yang menunggu menangis. Fokus nya jadi terpecah.

“Maaf, dok. dokter dari bedah toraks sedang keluar, butuh 30 menit buat beliau kembali ke rumah sakit,” ucap perawat lainnya.

“Yuno, bawakan defibrator dan selang intubasi, epinerfin setiap 3 menit!”

Yuno mengangguk, “baik, dok.”

Dengan sigap dia berlari mengambil defibrator dan membawanya ke dokter Smith, setiap kali mendapatkan pasien yang colaps seperti ini tangan Yuno selalu bergetar. Dan itu sering kali terlihat oleh dokter Smith, makanya beliau sebisa mungkin menenangkan Yuno.

“Fibrilasi ventrikular kekuatan 200 joule!!” teriak dokter Smith, sembari fokus pada pasien beliau juga melirik Yuno yang tampak berkeringat, Yuno sudah mulai enggak fokus menurutnya.

“YUNO PERIKSA DENYUT NADINYA!!”

Karena mendengar bentakan dari dokter Smith, Yuno jadi sadar, dia buru-buru periksa denyut nadi pasien yang sampai sekarang belum terasa.

“Enggak ada, dok.”

“Sudah berapa lama, Yuno?”

Yuno kembali memeriksa arloji nya dan menghitung sudah berapa lama pasien mengalami henti jantung. “Tiga menit tiga puluh detik, dok.”

Tidak lama kemudian datang dokter bedah lain yang juga turut andil menangani pasien yang dokter Smith tangani.

“Ada apa ini?”

“Demam dan dispenea, mengalami henti jantung kemungkinan besar miokarditis. Bisa bertahan dengan ECMO, kalau habiskan waktu lebih lama dia bisa mengalami mati otak, bangkitkan jantung setelah mati otak itu tindakan yang sia-sia. Yuno, ambilkan ECMO!” ucap dokter Smith.

“Jangan gegabah! kita tunggu dokter Laura dulu, Smith. Ini bukan bagianmu!”

“YUNO CEPAT AMBILKAN!!”

Yuno bingung, dia disini hanya dokter koas tapi rasanya beban nya juga lebih berat. Namun karena dokter Smith sudah berteriak menyuruhnya, mau enggak mau Yuno menuruti perintah itu. Hari itu rasanya berjalan panjang sekali bagi Yuno tapi setelahnya dia juga bisa tersenyum bahagia setelah mengetahui pasien yang di tolong dokter Smith selamat, tindakanya dalam mengambil ECMO enggak salah.

Setelah sampai apartemen, Yuno telfon Ara. Dia rasa dengar suara Istrinya itu bisa lebih menenangkan pikirannya saat ini dan hatinya yang rasanya gusar itu. Kadang Yuno bertanya-tanya, apa dia bisa jadi dokter yang bak nantinya?

Mas, lagi apa?” Ara senyum di sebrang sana, Ara udah rebahan di ranjang nya dengan lampu kamar nya yang sudah temaram. Hari ini Ara pulang ke rumahnya, Bunda bilang kalau kangen sama Ara.

“Baru sampai apart, sayang.” Yuno duduk di sofa, bersandar sembari mengusap wajahnya dengan gusar, wajahnya lelah namun ia tetap tersenyum melihat istrinya dilayar ponsel.

Mas bersih-bersih dulu gih, habis itu makan.

“Masih mau liatin muka kamu, kangen.”

Ara terkekeh, dia mengusap layar ponselnya yang menampakan wajah Yuno itu. Dia juga kangen banget sama Yuno, rasanya kalau Jakarta ke Heidelberg itu dekat kayanya Ara gak keberatan kalau dia yang harus nyamperin Yuno.

Mas, capek yah?

“Banget.”

nanti kalau aku ke sana, aku pijitin yah? Aku buatin teh manis juga.

“Kapan tuh?” tanya Yuno meledek.

besok yah? Sekarang udah malam disini.

Kedua nya terkekeh pelan, setiap hari yang di lakukan Ara sama Yuno kalau kangen cuma face time kaya gini. Kadang Yuno ngerasa bersalah, di saat-saat seperti ini harus nya ia yang selalu ada buat Ara. Tapi Yuno juga sangat bersyukur karena Ara sangat amat pengertian padanya.

“Sayang?”

ya, Mas?

“Kata Papa hari ini periksa yah? Apa kata dokter nya?”

Ara baru ingat kalau dia ke dokter obgyn yang baru, ya, karna obgyn lama nya itu di Bandung. Papa juga menyarankan Ara buat periksa di rumah sakit miliknya aja, tapi Ara baru ingat kalau dokter yang memeriksa nya ternyata senior Yuno di kampus.

Namanya doktee Bagas, beliau sendiri yang bercerita dengan Ara kalau mengenal Yuno dengan baik di kampus.

baik, anak kita sehat kok. Tapi tensi aku agak tinggi, Mas.

Mendengar itu Yuno jadi khawatir, dia tau kalau tekanan darah tinggi untuk Ibu hamil itu bahaya banget. Dan seingat Yuno, Ara itu sebelum hamil enggak punya riwayat hypertensi malahan dia termasuk ke golongan yang tensi nya rendah.

“Loh, kenapa sayang? Kecapekan kah? Apa tugas di kampus bikin kamu jadi kepikiran?” Yuno cuma takut aja kalau Ara yang bolak balik ke Bandung tiap ada kelas itu jadi mempengaruhi kesehatannya.

kayanya banyak pikiran, Mas. Apa aku kangenin kamu terus yah?

“Sayang..” kedua bahu Yuno merosot. “Jangan gitu dong, aku jadi gak tenang disini.”

maaf yah, Mas.

“Kamu masih yoga?”

masih, Mas.

“Lanjutin aja yah, makan buah naga, pisang, semangka biar tensi nya cepat stabil lagi.”

Ara mengangguk. “Mas Yuno?

“Ya, sayang?”

dokter obgyn aku tuh ternyata senior kamu di kampus loh, Mas. Dia belum lama di rumah sakit.

Dahi Yuno berkerut, dia jadi kepikiran siapa senior nya di kampus yang sekarang menjadi dokter istrinya itu sekaligus praktik di rumah sakit Papa nya. Selama ini Yuno enggak dekat-dekat banget sama senior nya di kampus, bahkan yang sesama orang Indonesia sekalipun.

nama nya dokter Bagas, Mas kenal kan?

“Bagas?” gumam Yuno.

 
Read more...

from My First And Last ✅

Habis pulang dari kampus nya, Ara enggak langsung pulang ke Bandung. Dia mampir dulu ke rumah Gita karena teman-temannya semua lagi ngumpul di rumah Gita, Ada Chaka, Kevin, Januar dan Elara. Cuma minus Julian aja karena cowok itu bilang gak bisa datang, Julian bilang lagi ada tugas dari kantor nya ke luar kota.

Mereka ngumpul di rumah Gita itu cuma mau ngumpul aja, sekalian bantuin Elara milih konsep buat wedding nya tahun depan. Soalnya kata Elara, Januar gak bisa milih karena konsep nya bagus semua.

Ara yang habis pulang ngampus cuma bisa rebahan aja di sofa, perut nya mual lagi karena nyium wangi bakso. Gak tau kenapa tiba-tiba mual nya jadi kumat gini, dia cuma bisa merem-merem di sofa sambil pakai minyak angin. Oiya, Arial enggak ada karena masih di kantor.

“*gimana kalo ini aja? Bagus nih. vintage wedding kayanya sekarang lagi jaman deh orang nikah pake konsep begini.” kata Elara.

vintage? nenek gue juga vintage tuh, El.” ledek Chaka, dia dari tadi gak bantu ngasih saran tapi malah ngeledek mulu, gabut banget soalnya Niken enggak bisa datang karena lagi sibuk ngurus surat-surat buat praktik psikolog nya.

“IHHHH DIEM LUHHH, SEKALI LAGI NGOMONG GUE TIMPUK PAKE BOTOL MARJAN!” hardik Elara, udah emosi banget sama Chaka. Walau yang di emosiin cuma cengar cengir aja.

“Hmm... Chaka, jangan godain El terus berisik ihhh kepala gue tambah pusing denger dia teriak!!” tiap Elara teriak gara-gara emosi sama Chaka atau kesel sama Janu karena semua nya dia bilang bagus, kepala Ara rasanya tambah nyut-nyutan.

“Lo kalo gak mau di amuk sama bumil terus sama orang yang lagi mumet ngurusin wedding mending diem deh, Ka.” Gita memperingati, selain kasian liat Ara si kembar Eloise dan Elios juga lagi tidur.

“Iya, sorry-sorry.

Chaka diam akhirnya, dia milih buat duduk di bawah sofa tempat Ara tiduran sambil liatin story instagram temen-temenya satu persatu. Beneran gabut banget, selain itu Chaka jadi kepikiran juga mau cari konsep buat nikahan dia sama Niken.

Waktu di pernikahan Ara, yang dapat bunga pengantin itu Chaka. Jadi hari itu juga Chaka lamar Niken buat nikah, tapi sayangnya Niken mau menikah kalau Kakak nya itu sudah lebih dulu menikah. Niken itu punya Kakak cowok, dia gak mau ngelangkahin Kakaknya. Jadi ya mau enggak mau Chaka harus nunggu buat nikahin Niken sampai satu atau dua tahun lagi.

Chaka berani ngelamar niken gini karena dia udah ngerasa siap kok emang, dia emang belum dapat kerjaan sebagai arsitek. Tapi pendapatannya dari kanal Youtube miliknya dan endorse nya sebagai selebgram tuh bisa di bilang lebih dari cukup buat dia hidup berdua sama Niken sambil merintis karir mereka.

“Ka?” panggil Ara.

“Kenape?” Chaka gak nengok, dia masih sibuk ngemil cheese ball sambil liatin story instagram orang satu-satu.

“Pijitin kaki gue dong.”

“Gak mau ahhh, elu panggil tukang pijit aja sana. Atau telfon Bang Yuno suruh pulang terus mijitin elu.”

“Ihhhh!! Gak mau, ini kayanya anak gue yang mintah deh.”

Chaka menghela nafasnya, “emang anak lo sama Bang Yuno udah bisa ngomong apa? Itu janin juga bentuknya palinh masih segede botol air mineral yang dua ribuan.*”

“Ihhh ini tuh insting, yang bisa komunikasi cuma gue sama bayi gue.”

Kevin yang duduk di sofa sebelah Ara sambil ikut liatin satu persatu, dari konsep pernikahan yang di kasih wedding organizer nya Elara sama Janu itu nendang kaki Chaka.

“Udah pijitin, lo mau anaknya Ara ileran gara-gara maunya gak di turutin?” samber Kevin. Kan Chaka jadi tambah sebel kalo kaya gini.

“Mana ada begitu.”

“Ada, bego. Tetangga gue begitu anaknya ileran semua gara-gara ngidam emaknya gak kesampean. Lo tega sama Ara, Ka? Lo tega mengkhiati persahabatan kita cuma gara-gara gak mau mijitin Ara? Lo tega—”

“Bacot!!” Chaka nimpuk Januar pake cushion yang tadi dia pangku buat naruh toples cheese ball.

Walau separuh hati Chaka duduk di sofa dan naruh kaki Ara di atas pangkuannya, persahabatan mereka tuh udah kental banget. Orang yang liat pun bakal kepikirannya mereka tuh sepupuan bukan lagi berteman, enggak ada tuh yang namanya pasangan mereka saling cemburu cuma buat hal-hal kaya gini. Karna saking percayanya.

Ngeliat Chaka yang mau nurutin kemauan dia, Ara senyum-senyum. Dia tau Chaka gak akan setega itu. Selain Ara, Kevin sama Januar juga cengengesan karena berhasil ngerjain Chaka.

“Nah gitu dong, baik banget deh Om Chaka,” ledek Ara sambil nepuk-nepuk bahu Chaka.

“Gue gak mau di panggil Om, masa selucu ini anak lu harus manggil gue Om.”

“Yaudah, pakdhe aja yah?”

“Itu lebih tua lagi, emang lu pikir muka gue udah berkerut?” Chaka nih garem banget heran, kayanya orang yang baru kenal bakalan mikir Chaka ini darah tinggi deh soal nya emosi terus.

“Ihhhh... Gitaaaa, Chaka marah-marah melulu nih..” rengek Ara, dia seneng banget kalau liat Gita ngomelin Chaka. Gak tau kenapa bahagia aja, apalagi kalau Chaka udah merengut.

Gita yang di panggil gitu jadi noleh ke arah Chaka dan melototin cowok itu, Chaka jadi tambah dongkol tapi dia gak bisa marah gak tega juga sama Ara dan takut ama Gita.

Gita juga jadi agak repot, si kembar tidur tapi malah Ara dan Elara yang rewel nya bergantian ngalahin anak-anaknya. Kalo kaya gini sama aja Gita ngemong bayi gede kan, mana Arial belum pulang.

“Iye iyeee Pakdhe.”

“Gitu donggg!!”


Waktu teman-temannya udah pada pulang, Ara masih di rumah Gita dan Arial pusing dan mual nya udah hilang. Jadi dia bisa bantuin Gita ngurusin si kembar. Ara kan juga mau belajar caranya mandiin anak, makein baju ya walau udah ikut kelas parenting. Ara tetap minta tips-tips dari Gita yang udah lebih dulu jadi Ibu.

Si kembar tuh udah bisa ngomong, umur nya udah 2 tahun juga. Jadi bisa Ara ajak ngobrol sedikit-sedikit walau masih agak cadel juga.

“Kalau aunty di kasih gak?”

“Di kacih.”

“Ihhh baik sekali.”

“Emang Eloise ini lagi goreng apa sih?”

Mereka tuh lagi main masak-masakan gitu, kalau Elios lagi di kamar mandi sama Gita. Tadi dia pup, jadi harus bersih-bersih dulu makanya Ara main berdua aja sama Eloise.

“Yayam, kecukaan Abi,” kata Eloise, tahu banget Abi nya suka sama ayam. Ya gimana gak tau yang di makan ayam melulu. Kayanya Arial ini kalau punya peternakan ayam cocok deh.

“Aunty juga suka ayam. Eloise suka gak?”

“Cuka.”

Ara terkekeh, gemes banget sama anaknya Arial ini. Apalagi Gita tuh kalau dandanin anak-anaknya beneran pas banget, sesuai sama kepribadian mereka. Beneran lucu banget, rasanya dia pengen bawa pulang si kembar buat mainan dia di rumah kalau lagi gabut.

“Dah, kita main lagi yeayyy!!” gak lama Gita datang sama Elios, mereka jadi main berempat deh. Masih main masak-masakan, Eloise yang masak sementara Gita, Ara dan Elios jadi pembeli dan nanti pura-pura nyicipin makanan nya Eloise.

bye the way, Ra? Gue baru tau deh kalau Ijul kerja di Ruby Jane.”

Gita juga baru tahu soal ini, kemarin dia sempat ke kantor Ruby Jane dan dia ketemu sama Julian ya walau Julian enggak ngeliat dia sih. Waktu di panggil juga Julian gak noleh karena cowok itu emang kelihatan lagi sibuk, sambil nelfon juga. Dan Gita juga gak lama ke sana, dia baru pulang meeting sama Jenara habis itu di ajak makan bareng sama Jenara dan Jordan.

“Oh, ya? Gue baru tau, Git. Lo ketemu dia?” Ara cuma mikir mungkin Gita ketemu Julian di kantor Ruby Jane, Gita ini creative director disana.

Gita manggut, “iya ketemu, tapi dia gak liat gue sih. Pas mau gue panggil buat ajak ngobrol juga dia kelihatannya lagi sibuk banget.”

“Git?”

“Hm?”

“Menurut lo, Ijul marah sama gue gak yah, Git?” Ara jadi kepikiran soal Julian lagi, dia masih ngerasa ada yang mengganjal tiap kali inget Julian yang rasanya sekarang kaya menghindari dia dan teman-teman yang lainnya. Dia mau pertemanan mereka kaya dulu lagi.

“Lo mau gue jawab jujur apa enggak?” Gita tuh realistis aja. Kalau menurut nya Julian bukannya marah, hanya saja cowok itu patah hati. Gita tahu kok Julian menghindar, dan ia anggap itu wajar. Cowok itu mungkin butuh waktu sampai dia bisa melupakan perasaanya sama Ara.

“Jujur aja gapapa.”

“Hmmm..” Gita narik nafasnya pelan. “Kalau menurut gue, dia bukanya marah, Ra. Lo tau kan Ijul suka sama lo? Terus dia tahu sekarang lo nikah sama Kak Yuno. bukan ke sakit hati sih ya gue mikirnya dia patah hati aja dan butuh waktu buat ngelupain perasaanya sama lo.”

Ara nunduk aja, benarkah Julian cuma butuh waktu? Tapi bagaimana kalo Julian benar-benar ingin memutus kontak dengan teman-teman mereka? Rasanya tiap mikirin masalahnya sama Julian pikiran Ara jadi tambah gak karuan banget.

Kalau Julian memang butuh maaf darinya, Ara bersedia kok minta maaf asalkan Julian enggak menghindar seperti ini lagi, atau minimal dia enggak menjauhi teman-temannya.

“Kalo gue ketemu sama dia, kira-kira gue harus minta maaf gak yah, Git?”

“Sekarang gue tanya, salah lo apa sampe harus minta maaf ke Ijul? Karna udah nolak dia?” tebak Gita, menurut nya itu kan bukan kesalahan. Ini soal hati, akan lebih mengenaskan lagi Julian kalau Ara nerima Julian hanya karena kasihan.

Ara menggedikan bahu nya, mungkin karna itu tapi Ara sendiri gak tahu apa itu benar-benar salahnya, dia nolak Julian baik-baik dan lebih memilih berteman dengannya.

“Atau karna udah nikah sama Kak Yuno?” tanya Gita sekali lagi, wanita itu menggeleng kepalanya pelan dan menghela nafasnya. “Ra, bukan salah lo. Lo tuh berhak milih pasangan. Perasaan Ijul emang bukan tanggung jawab lo, biarin dia ngabisin waktunya sendiri dulu sampe dia bisa nerima semua nya.”

“Tapi kalo Ijul gak mau kenal kita lagi gimana, Git?” Ara cuma gak mau kehilangan teman baiknya. Anak-anak kosan sudah dia anggap seperti keluarga keduanya dan Julian, Cowok itu emang enggak punya tempat di hatinya, tapi Julian menjadi teman berarti yang paling baik yang pernah Ara kenal.

“Nanti kalau ketemu dia lagi, gue coba ngomong yah. Tapi gue enggak janji.”

Ara mengangguk, sejauh ini Gita cukup bisa di andalkan jadi penengah di antara mereka. Mungkin kalau Gita yang bicara Julian bisa mengerti, pikir Ara.

thank you, ya Git.”

 
Read more...

from My First And Last ✅

“Segitu aja info dari aku, sempai ketemu di video selanjutnya, bye bye.

Setelah selesai take video untuk hari ini, Ara merenggangkan tubuhnya sebentar. Agak sedikit kaku dan nyeri terutama di bagian pinggang, dia tersenyum waktu liat hasilnya bahkan dalam satu kali take saja sudah membuat Ara ngerasa puas.

Setelah ini Ara masih ada kelas terakhir nya, jadi dia harus buru-buru membereskan lighting dan alat-alat lainnya buat dia bikin konten. Waktunya tinggal 35 menit lagi sebelum waktunya di mulai, Ara ngerasa akhir-akhir ini dia sibuk banget yah walaupun dia juga nikmatin banget kegiatan barunya sih.

Ngomong-ngomong soal kelas memasak dan parenting, Papa mertua nya itu sudah mendaftarkan Ara. Besok adalah kelas pertamanya untuk memasak, makanya Ara lumayan deg-deg an walau sebenarnya dia juga gak sabar banget buat ikut kelasnya besok.

“Ara?”

Begitu mendengar suara Mama mertuanya itu, Ara langsung buru-buru membukakan pintu kamar Yuno. Ada Mama di depan pintu membawa nampan berisi cemilan untuknya, setiap kali Mama membawakan cemilan untuk teman Ara belajar atau mengerjakan konten. Ara tuh selalu ngerasa gak enak, padahal dia udah sering bilang kalau dia bisa ambil sendiri. Tapi Mama tetap saja membawakan cemilan-cemilan untuknya.

“Makasih yah, Mah. Sini, Mah. Masuk dulu. Maaf yah kamar nya berantakan, aku baru selesai take video.” Ara naruh nampan berisi cemilan dan jus untuknya, kemudian membersihkan sofa dari baju-baju miliknya, baju-baju itu adalah baju dari beberapa olshop yang mengendorsenya. Tadi itu Ara sekalian promosiin olshop nya di instagram nya makanya dia sempat cobain satu persatu.

“Habis buat konten, Nak?”

“Iya, Mah. Besok malam harus udah di upload jadi habis dari rumah sakit kayanya aku mau langsung pulang terus edit video.” setelah selesai menaruh baju-baju miliknya ke dalam lemari, Ara duduk di sofa bareng Mama mertua nya itu.

“Kamu beneran gak mau Mama hire karyawan buat bantuin kamu edit video, Ra?” Mama cuma takut Ara kecapekan aja, apalagi semenjak hamil Ara sering banget terlihat pucat. Apalagi Mama tahu kalo Ara itu punya asma yang bisa aja kambuh kalo dia kecapekan.

“Gak usah, Mah. Aku masih bisa handle semuanya sendiri kok. Lagian semakin banyak kegiatan kan, makin bagus juga. Aku jadi gak sibuk ngangenin Mas Yuno terus.” Ara meringis, semenjak sibuk dia lumayan bisa mengalihkan pikirannya. Walau tetap saja kalau terbangun tengah malam ia akan menangis karena merindukan Yuno.

“Mama cuma gak mau kamu kecapekan, Nak. Mama gak mau cucu Mama kenapa-kenapa. Ini kan cucu pertama Mama dan Papa, anaknya pertamanya Yuno.”

Ara tahu mertua nya itu baik banget sama dia, tapi entah kenapa rasanya pagi ini dia sensitif banget. Ara jadi mikir Mama dan Papa nya Yuno perhatian sama dia hanya karena dia lagi mengandung cucu mereka, bagaimana seandainya kalau dia gak hamil atau bahkan gak bisa hamil, apa perlakuan mereka tetap sama? Pikir Ara.

Ara hanya mengangguk kecil dengan senyum canggung sebagai jawaban, rasanya pengen nangis banget dengar nya. Ara tersinggung banget, rasanya kalau dia balas omongan itu nanti takut akan membuat mertua nya tersinggung. Karena bisa saja ucapan yang keluar dari mulut nya itu pedas.

“Yaudah, lanjut yah. Mama mau siap-siap dulu. Nanti Mama antar kamu ke rumah sakit.” Mama berdiri dan mengusap bahu Ara sebelum keluar dari kamar Yuno.

Begitu Mama mertua nya itu keluar dari kamarnya, Ara buru-buru mengunci pintu. mood nya buat ikut kelas daring rasanya udah buyar, dia cuma duduk di sofa dan nangis sesegukan. Hati dan otaknya enggak sinkron rasanya, hatinya sakit karna menurutnya mertua nya itu hanya perduli pada bayi yang di kandungnya, tapi otak Ara bilang kalau itu semua wajar dan bukan sesuatu yang bisa di anggap jahat.

Rasanya pusing banget kalau udah begini, karena enggak tahu mau cerita ke siapa. Ara justru nelfon Yuno, persetan di Heidelberg masih pagi buta atau malam. Dia cuma mau dengar suara Suaminya saja supaya hatinya sedikit lega. Sekalian lampiasin kesal nya.

hallo, sayang?

“Mas Yuno... Hiks hiks.” sembari menelfon Yuno, Ara sibuk mengusapi air matanya yang rasanya enggak mau berhenti.

sayang, kok nangis? Kenapa?

“Kesel aku tuh!!” hardik Ara, padahal kan bukan salah Yuno tapi nada nya kaya dia lagi marahin Yuno.

hei, kenapa? Tarik nafas dulu yah, kalo kamu nangis gini gimana mau ceritanya?

Ara enggak jawab lagi, isaknya malah semakin menyesakkan waktu dia denger suara Yuno. Mungkin kalau Yuno ada di sebelahnya, dia akan memeluk Yuno dan menangis sejadi-jadinya. Gak tau deh ini Ara yang super duper sensitif atau emang lebay aja, tapi sedihnya tuh kaya dia lagi di sakitin sama satu dunia.

Di sebrang sana, Yuno enggak jawab lagi. Dengan penuh perasaan khawatir nya dia dengerin Ara nangis, walau matanya juga mengantuk karena dia baru saja tidur beberapa jam. Dan pagi nanti dia masih harus ke rumah sakit.

Yuno mau Ara nangis sampai puas dulu baru setelah itu ia akan bertanya ada apa sebenarnya.

“Mas? Bobo yah?” setelah di rasa cukup lega menangis, Ara mulai membuka mulut nya lagi. Dia udah siap-siap meledak andai Yuno di sebrang sana ternyata tidur.

enggak sayangku, dengerin kamu nangis. Aku tungguin sampai berenti, sampai kamu lega terus bisa cerita sama aku. Ada apa sih?

“Mas?”

ya, sayang?

“Aku kesel banget sama Mama.”

hm? Kenapa?

“Tadi kan.. Mama masuk ke kamar bawain cemilan, terus nawarin aku buat di bantu hire karyawan buat tim aku atau gak. Aku ngerasa belum perlu karna aku bisa lakuin semuanya sendiri, tapi Mama malah bilang kalau dia gak mau cucu nya kenapa-kenapa kalo aku kecapekan. Orang tua kamu tuh cuma perduli sama bayi kita aja yah? Sama aku enggak? Kalau aku gak bisa hamil apa mereka tetap sayang aku? Emangnya aku ini di nikahin kamu cuma buat pabrik bayi aja yah? Aku tuh istri kamu, Mas. Bukan pabrik bayi!!”

Di sebrang sana Yuno memijat pelipisnya, dia tau Ara emang sensitif banget semenjak hamil. Tapi menurut nya kata-kata Mama nya itu memang agak sedikit menyinggung, Yuno pun kalau jadi Ara akan tetap tersinggung. Yuno sayang sama Ara, dia juga sayang calon bayi nya. Bagi Yuno dia nikahin Ara untuk menjadi teman hidupnya, nemenin dia sampai kapanpun dan dia mau terus sama Ara selama nya.

Dia nikahin Ara bukan cuma buat jadi Ibu dari anak-anaknya aja, bagi Yuno, Ara itu segala nya. Ara bisa hamil atau tidak itu enggak akan mengurangi rasa sayangnya.

sayang? Udah marah-marahnya?

“Udah..” cicit Ara.

maafin Mamaku yah, aku paham kamu kesinggung sama kata-kata Mama. Aku pun kalo jadi kamu kesinggung kok, walau sebenarnya maksud Mama baik. Mama mau bantu kamu, tapi pemilihan katanya aja yang salah. Gapapa, kalau kamu enggak butuh tim. Tapi kalau kamu mulai kecapekan jangan di paksain yah.

Denger Yuno ngomong gitu Ara malah senyum-senyum sendiri, hatinya yang tadinya panas dan kesal itu berubah menghangat. Yuno emang paling bisa meredam emosinya.

sayang?” panggil Yuno karena Ara sama sekali enggak nyautin ucapannya, padahal istrinya di sebrang sana lagi sibuk senyum-senyum sendiri.

“Gak, Mas. Gak aku paksain. Maaf yah aku lebay banget pake nangis segala padahal cuma gitu aja.”

gapapa dong, kok di bilang lebay sih?

Walau lega rasanya Ara tetap mau nanya sama Yuno, bagaimana seandainya dia gak bisa hamil? Apa Yuno bakalan tetap sayang sama dia? Ah, ini kayanya Ara jadi overthinking karena habis baca-baca kisah rumah tangga orang di internet, kayanya sekarang lagi marak banget perceraian karena istrinya gak bisa hamil lah, istrinya sakit lah, istrinya kena kanker serviks atau payudara lah.

Sampai hubungan rumah tangga yang di ikut campurin sama orang tua dari kedua belah pihak, Ara yang baca gitu jadi kepikiran aja.

“Mas?”

ya, sayang?

“Aku mau nanya boleh?” Ara ngulum bibirnya.

nanya apa?

“Mas, andai aku gak bisa hamil, atau andai aku sakit dan bikin rahim aku di angkat atau payudara aku di angkat. Kamu bakalan tetap sayang aku gak? Atau malah cerain aku? Apalagi kan kamu anak tunggal, kamu pasti kepengen banget punya anak kan, Mama sama Papa juga berharao kamu bisa kasih cucu ke mereka, Apa kamu bakalan nikah lagi?”

Yuno senyum, kayanya istrinya ini jadi overthinking gara-gara ucapan Mama nya. Tapi bisa-bisa nya Ara ngeraguin dia? Bahkan kepikiran buat cari penggantinya waktu mereka putus aja enggak. Yang Yuno pikirin cuma bagaimana dia bisa meyakinkan Ara kembali, bagaimana cara dia bikin Ara enggak ketemu Jeff lagi. Karena Jeff yang membuat hubungan mereka berakhir.

sayang?

“Ya, Mas?”

kamu enggak bisa punya anak karena kamu gak bisa hamil atau kamu sakit sekali pun, aku tetap sayang sama kamu. Kan aku nikahin kamu buat jadi istri aku, buat nemenin aku sampai tua. Aku bisa ngurusin kamu, bisa rawat kamu, mungkin bisa bantu kamu sembuh karena aku dokter. Aku nikahin kamu bukan semata-mata buat punya keturunan aja, walau aku kepengen juga punya anak. Tapi bagi aku, bisa sama kamu aja aku udah bersyukur. Anak itu jadi bonus buat kita, lagi pula, Punya anak itu gak harus anak kandung kan?

Dengar ucapan Yuno yang manis itu bikin Ara terharu, alih-alih senyum-senyum kaya tadi dia malah nangis. Dia bersyukur banget bisa ketemu Yuno dan menikah sama laki-laki itu, Yuno benar-benar menyayanginya, menghormati dan menghargai Ara sebagai Istrinya.

Setelah marah-marah gini, hatinya lega tapi juga dia jadi ngerasa bersalah karena udah mikir buruk banget ke Yuno dan orang tua nya, ah. Emang serba salah banget rasanya.

sayang? Nangis lagi?” Yuno terkekeh.

“Mas, kapan pulangggg...” rengek Ara, dia malah jadi tambah kangen sama Yuno kan. Kangen banget pokoknya, sama jail nya, harum badannya, masakannya, pelukannya. Kayanya kalo Yuno pulang Ara enggak akan ngomel lagi kalau Yuno naruh handuk basah di atas kasur deh.

ya ampun, cup cup cup. Jangan nangis dong, apa aku pesen tiket sekarang aja kali yah? Aku pulang yah?

“Jangan jugaaa... Kan koas nya belum selesai ihh.”

makanya jangan nangisin aku terus dong.

 
Read more...

from My First And Last ✅

Bukan Julian enggak dengar soal desas desus di kantor nya pagi ini, dia hanya mengabaikan dari beberapa mulut yang sedari tadi berbisik sembari melayangkan makian yang masih dapat Julian dengar. Begitu sampai di meja nya Julian menelisik keadaan sekitar, semua karyawan fokus pada ponsel mereka sembari sesekali berbisik.

Julian penasaran, namun enggak ada yang memberi tahunya ada apa sebenarnya. Jadi Julian berusaha untuk berpura-pura enggak peduli, ia langsung membuka laptop miliknya dan membuka surel nya untuk memeriksa beberapa pekerjaan.

Sampai akhirnya Kian menghampiri meja Julian dan menepuk pundak laki-laki itu, membuat atensi Julian teralihkan dari laptop miliknya yang sudah menampakan sederet surel pekerjaan yang harus Julian selesaikan hari ini.

“Lo udah tau belum?” bisik Kian, kepalanya menoleh ke kanan kiri memastikan tidak ada orang lain yang mendengar ucapanya pada Julian, padahal sekitarnya juga melakukan hal yang sama.

“Ada apaan sih, Mas?” Julian penasaran, tapi dia emang sengaja enggak mau nanya-nanya. Masih sungkan, toh ia yakin ini bukan soal kerjaan. Paling-paling gosip di kantor saja dugaanya.

“Ini liat!!”

Kian memberikan ponselnya pada Julian, ada beberapa foto disana yang membuat Julian tercengang. Tangannya sedikit bergetar dan jantungnya berdetak lebih kencang, bagaimana tidak disana ada foto-foto Bianca tanpa busana, bahkan enggak cuma satu tapi ada beberapa. Bahkan ada video 10 dengan durasi 10 detik yang membuat Julian mencelos, Julian enggak putar video itu. Ia hanya melihat cover depan video itu saja, tidak sampai hati membukanya.

“Bianca, Jul..” bisik Kian sekali lagi.

“Ini dari mana?” tanya Julian, kalau di lihat-lihat sepertinya video dan foto-foto itu di ambil dari kamera tersembunyi. Apa ini revenge porn? pikir Julian.

“Ini udah kesebar banget di internet please, elo gak buka sosmed pagi ini?”

Julian menggeleng, dia sama sekali enggak mikirin soal video dan foto-foto itu. Yang dia pikirkan sekarang adalah Bianca, kemana wanita itu dan bagaimana keadaanya?

Ekor mata Julian melirik ke meja Bianca yang kosong, teman-teman Bianca yang lain juga tidak menggubris beberapa karyawan yang bertanya soal kebenaran foto-foto itu dan video yang tersebar. Bianca memang agak sedikit membuat Julian bingung, tapi wanita itu baik. Julian juga banyak cerita soal Ara pada Bianca.

“Te..terus sekarang dia kemana?” tanya Julian pada Kian.

“Enggak tau, Jenara aja gak tau dia dimana. resign kali yah?”

Julian memejamkan matanya, seharian ini bekerja pun rasanya enggak fokus. Dia mikirin gimana nasib Bianca temannya itu, jadi, setelah jam pulang kantor Julian buru-buru membereskan barang-barangnya dan bertanya pada dua teman dekat Bianca, ia menjegal jalan kedua perempuan itu menuju parkiran mobil.

sorry gue boleh nanya sesuatu sama kalian?” sapa Julian, ini pertama kalinya Julian bicara pada dua teman Bianca di luar perihal kerjaan.

Kedua perempuan itu memandang Julian dengan tidak nyaman, bahkan ada raut wajah tidak suka pada perempuan yang memakai hijab itu. Keduanya sudah lelah di tanya-tanya mengenai Bianca seharian ini, mereka berdua tidak mau terseret dalam masalah Bianca hanya karena mereka berdua temannya.

“Kalo lo mau nanya soal foto dan video itu beneran Bianca apa bukan, sorry gue enggak mau jawab itu.”

“O..ohh bukan-bukan, gue bukan mau nanya itu. Emang masih soal Bianca tapi bukan soal apa yang lagi di omongin sama yang lain,” jelas Julian, wajahnya panik. Dia takut dua teman Bianca itu pergi. Dan dia kehilangan orang untuk di tanyai dimana sekarang Bianca.

“Nanya apa?” tanya perempuan berhijab yang sedari tadi menampakan wajah tidak sukanya pada Julian.

“Bianca sekarang dimana?”

Keduanya saling melempar pandangan satu sama lain, kemudian menelisik wajah Julian. seperti sedang bingung harus memberi tahu Julian atau tidak, pasalnya mereka berdua juga tidak mengenal Julian dekat. Mereka hanya tau Julian dan Bianca memang baru berkenalan, itu pun mereka lihat sendiri saat jam lembur bukan karena Bianca yang bercerita.

“Kenapa lo mau tau Binaca dimana?”

“Gue cuma mau mastiin kondisinya aja, gue temannya. Akhir-akhir ini gue banyak cerita ke Bianca, makanya gue mau tau kabar dia gimana” Julian memejamkan matanya, mutar otak bagaimana cara meyakinkan dirinya tidak ada niat jahat pada kedua teman Bianca.

“Gini, gue sama sekali gak mau nyinggung soal foto itu. Gue cuma mau tau keadaan Bianca aja.”

“Bianca di rumah sakit, Jul.”

“Rumah sakit?”

Kedua teman Bianca itu mengangguk, keduanya menceritakan apa yang terjadi pada Bianca dan bagaimana kondisinya sampai sekarang, memang enggak semuanya. Tapi sedikit banyaknya Julian bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang terjadi pada Bianca.

Karena ingin melihat langsung kondisi Bianca, Julian langsung pergi ke rumah sakit yang teman Bianca beri tahu. Dia mau tahu keadaan wanita itu, Bianca emang gak pernah cerita banyak tentang dirinya pada Julian. Ada banyak hal yang bikin Julian bertanya-tanya seperti apa Bianca itu.

Dia bukan tertarik pada Bianca karena malam itu, hanya saja, Julian cukup bersimpati sama Bianca, wanita itu cukup baik. Enggak seperti apa yang karyawan-karyawan gosipkan tentang dirinya.

Begitu sampai di rumah sakit, Julian berdiri di depan kamar rawat Bianca. Dia enggak langsung masuk, dia menimang dulu bagaimana reaksi Bianca nanti. Dia takut di usir karena mungkin saja Bianca malu, tapi rasanya dia benar-benar butuh memastikan kondisi wanita itu. Persetan dengan Bianca yang bisa jadi mengusir nya, yang penting sekarang dia harus tahu kondisi wanita itu.

Jadi dengan pelan-pelan Julian buka pintu ruang rawat Bianca, waktu Julian masuk. Bianca lagi duduk di ranjangnya membelakanginya, wanita itu sedang melamun menatap gedung-gedung tinggi dari jendela kamar rawatnya.

“Bi, ini gue Ijul.” sapa Julian.

Bianca menoleh sedikit, hanya setengah wajahnya saja yang bisa Julian lihat. Kayanya Bianca sedang menangis, Julian bisa mendengar dari tarikan nafasnya yang berat dan sisa isak nya yang wanita itu tahan.

“Duduk, Jul.” Bianca membalikan badannya, duduk bersila di atas ranjangnya menghadap Julian. Masih ada senyum disana, walau kedua matanya sembab. Bianca emang gak ngusir Julian walau sebenarnya dia ingin sendiri, toh biar bagaimana pun Julian enggak salah dia gak tau apa-apa dan Bianca cukup lega ada orang lain yang menjenguknya, setelah 2 hari dia di rawat.

Setelah Julian perhatikan, dia baru sadar kalau wajah Bianca lebam-lebam. Bibirnya juga tampak seperti ada jahitan, jadi, dalam hati Julian menyupah serapahi laki-laki yang berani memukuli perempuan seperti ini.

“Gue tadi ke sini bawa roti, bingung lo sukanya apaan.” Julian nyengir, rasanya agak canggung dia takut salah bicara dan menyinggung Bianca.

thanks yah, Jul.”

Julian mengangguk, “lo sakit apa, Bi?” tanya Julian hati-hati.

“Gue abis di pukulin, Jul.” rasanya seperti ada kawat berduri yang melilit tenggorokan Bianca, sakit dan sulit membuatnya untuk membicarakan tentang hari itu.

“Kalau lo belum siap cerita gapapa, Bi. Gue cuma mau tau kondisi lo aja.” Julian cuma gak mau bikin Bianca enggak nyaman, dia memang enggak pernah berada di posisi ini. Tapi Julian paham kalau ini enggak mudah bagi Bianca.

“Lo sama siapa ke sini, Jul?” Bianca emang belum siap cerita, makanya dia ngalihin ke topik pembicaraan yang lain.

“Sendiri, sorry yah gue nanya soal lo dimana sama Dinda dan Mia. Abis HP lo gak bisa di hubungin.”

Bianca mengangguk, meski wajahnya masih nyeri dia berusaha untuk tersenyum. Ternyata Juliam benar-benar perduli dengannya, Bianca menyesal sempat ingin menjadikan Julian sebagai mainanya. Padahal Julian benar-benar baik dan agak sedikit polos.

“Gapapa, Jul.”

“Ka..lo masih sakit jangan di paksain nyengir gapapa.”

Ucapan Julian itu terdengar lucu di telinga Bianca, dia jadi tertawa meski berakhir meringis karena bibirnya yang masih ngilu.

“Malah ketawa lagi lu.” padahal ucapannya enggak lucu tapi Julian heran kenapa Bianca ketawa.

“Gapapa, lo lucu aja.”

“Ye.. Emangnya gue Komeng.”

Karena makin asal bicara, Bianca jadi nepuk pundak Julian yang lagi-lagi bikin dia kepengen ketawa. Sifat Bianca aslinya itu receh, dia mudah banget ketawa sama hal-hal sederhana seperti ini.

“Sakit anjir. Lo tuh lagi sakit tapi tenaga nya udah kaya kuli tau gak,” hardik Julian.

“Makanya jangan asal ngomong!”

Julian tersenyum, agak sedikit bersyukur karena Bianca mau ketawa karena nya. “Lo sendirian disini?”

Biasanya kan rumah sakit akan menyarankan untuk setidaknya satu keluarga pasien berjaga menunggu pasien yang sedang di rawat inap, tapi Julian enggak liat ada keluarga Bianca.

“Mau sama siapa lagi emang? Gue yatim piatu,” jawab Bianca enteng, seolah-olah itu bukan hal yang menyedihkan lagi baginya.

“Ah—” Julian menggaruk kepala belakangnya, dia jadi enggak enak karna udah nanya begini. “sorry, Bi. Gue enggak tau.”

“Gapapa, Jul. Gue enggak kesinggung kok, gue emang anak yatim piatu dari kecil. Gue itu besar di panti.”

Bianca memang besar di panti asuhan, lebih tepatnya dia sebatang kara, enggak tahu dimana keberadaan keluarga aslinya. Bianca bisa keluar dari panti asuhan karena dia di adopsi waktu umurnya 15 tahun, Bianca di sekolahin sampai akhirnya di kuliahin. Tapi sayangnya dia enggak pernah tahu siapa orang yang sudah mengadopsinya.

Bianca hanya di beri rumah, di beri uang jajan, makanan dan di sekolahkan tanpa tahu orang tua adopsi nya. Bagi Bianca rasanya ia seperti menjadi peliharaan saja, Bianca benci itu. Sampai akhirnya Bianca memutuskan untuk pergi dari kotanya dulu dan hidup mandiri di Jakarta.

Semua kelakuan nyeleneh Bianca selama ini itu hanya karena dia kurang perhatian, dia ingin orang tua adopsi nya itu memunjukan dirinya pada Bianca. Ia ingin rasa penasaranya terjawab, Bianca tadinya enggak mau cerita hal ini sama siapa pun, tapi entah kenapa ia bisa percaya pada Julian. Toh, kartu Julian tentang ia yang suka sama Istri orang juga sudah Bianca pegang.

“Gue jadi peliharaan orang waktu umur 15 tahun sampai 21—”

“Peliharaan?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

Bianca mengangguk. “Um, karena gue enggak pernah liat muka orang yang udah adopsi gue dari panti.”

“Orang tua angkat lo?”

“Kalo dia orang tua angkat gue, harusnya dia muncul, Jul. Bukan cuma menuhin kebutuhan gue kaya hewan peliharaanya dan biarin gue kesepian.”

“Bi, sorry.

Bianca menggeleng, “gapapa, Jul. Lo masih mau dengar cerita gue?”

“Kalau lo nyaman ceritanya, gue masih mau dengar kok.”

Bianca tersenyum, dia sungguh tersentuh karena Julian sebaik itu padanya. Dia jadi mikir, kenapa gadis bernama Ara itu bisa dengan bodohnya enggak milih Julian aja.

“Karena gue kesal, gue pergi dari kota gue tinggal, Jul. Gue hidup sendiri dan kerja buat menuhin kebutuhan gue. Gue sering kesepian, Jul. Makanya gue sering pergi ke club malam” Bianca enggak lihat ada perubahaan ekspresi di wajah Julian yang tenang, sama sekali enggak kaget sama apa yang dia ceritain.

“Sampai akhirnya gue ketemu sama Damian.”

“Damian?”

Bianca mengangguk. “Cowok gue. Orang yang bikin gue kaya sekarang ini.”

Julian menunduk, dia jadi bisa menyimpukan garis besarnya jika cowok bernama Damian itu adalah orang yang membuat Bianca berakhir seperti ini. Atau Damian juga lah laki-laki yang sudah menyebarkan foto-foto Bianca? Pikir Julian.

“Gue udah sering minta putus sama Damian sejak Istrinya neror gue terus, Jul. Gue capek, gue pengen hidup yang normal tapi lepas dari Damian ternyata enggak semudah itu.”

“Lo kenapa gak coba lapor polisi aja, Bi? Ini udah kekerasan namanya, lo korban disini.”

“Gak bisa, Jul. Orang tua Damian itu justru orang yang punya pengaruh di kepolisian.”

“Terus lo mau biarin dia lakuin ini terus-terusan ke lo?”

“Dia udah ngerusak gue, Jul. Dia udah hancurin badan gue, reputasi gue, harga diri gue. Semuanya, dan sekarang gue udah gak takut apa-apa lagi karena dia udah gak punya alasan buat ngancem gue.”

Julian ngusap wajahnya, dia gak tau kalau hidup Bianca serumit ini. Selama ini Julian cuma mikir Bianca adalah wanita yang hidupnya bahagia-bahagia aja, karena selama ini hanya ada senyum dan tawa nya di kantor, Julian gak tau semua itu untuk menutupi kesulitan hidupnya.

Bianca sengaja enggak mau ceritain soal permintaan Damian yang nanya siapa cowok yang udah tidur sama dia, dia gak mau Julian jadi korban selanjutnya. Julian baik, ia yang sudah menyeret Julian ke hidupnya, dan Bianca gak ingin itu semua lebih jauh.

“Terus selanjut nya apa rencana lo, Bi?”

“Gue mungkin bakalan ngundurin diri dari Ruby Jane, Jul. Gue gak mau bisnis nya Jenara rusak karna gue tetap jadi karyawan nya. Setelah itu mungkin gue mau cari apartemen baru.”

Julian menghela nafasnya pelan, dia jadi gak tega sendiri sama Bianca. “Bi, kalo lo butuh bantuan gue, bilang ya. Gue pasti bantuin lo sebisa gue.”

Kata-kata itu berhasil membuat hati Bianca tersentuh, dia menangis dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tanganya. Dia nyesal udah berniat buruk ke Julian, dan dia terharu karena ini pertama kalinya dia merasa ada orang yang tulus dengannya.

thanks yah, Jul. Dan maaf,” ucap Bianca di sela-sela isaknya.

 
Read more...

from Drado, the Hobbit

Me fazendo de advogado do diabo aqui nessa rede, mas vamos lá... Isso não é necessariamente uma resposta ao conteúdo que eu li nesse post aqui: https://alineonline.bearblog.dev/eu-queria-uma-nova-rede-soci-ah-nao/, mas vamos tentar nos basear nele para tirarmos algumas conclusões.

Primeiramente: qual o objetivo de uma rede social? De verdade, destrinchando o termo, é encontrar pessoas através de uma rede, ou seja, se conectar com elas, se conectar com os seus interesses e com as coisas que estas mesmas pessoas gostam. Isso é o intuito de uma rede social, em essência.

Convenhamos que, o fediverso em geral, é uma plataforma muito útil, cheia de propósitos lindos, mas falha na questão da usabilidade e, justamente, na questão de conectar pessoas. Tomemos a instância do mastodon.social como exemplo. Nela, podemos encontrar muitas pessoas, de muitos lugares e montar, minimamente, uma rede de contatos. É divertido conhecer outras culturas e tentar se aventurar num inglês ou coreano. Uma das coisas que as redes não federadas não nos estimula, dado seus algoritmos super restritivos. Mas e as pessoas conhecidas? E a sua tia, seu primo, seu colega da escola, da faculdade, um artista famoso? Não se acha nem um pseudônimo tamanho o desconhecimento das pessoas com relação a ela (a rede).

Isso porque estou falando de uma plataforma “conhecida”, com vários contatos entre outras instâncias, mas e aquelas mais nichadas? Com propósitos e ferramentas tão próprias entre elas, que nem deixam as pessoas entrarem, nem dão a possibilidade das pessoas conhecerem outras. É um inferno! Não me lembro quantas vezes já desfiz algumas contas justamente porque ficou tão enjoativo, só um mesmo tema, com as mesmas pessoas... Enfim, não quero me alongar mais nessa parte.

Essa complexidade entre os temas, entre as redes, afasta e deixa mais difícil ainda a adaptação dos novos usuários à ferramenta. Imagine você ter que explicar para sua mãe, uma senhora, que terá de fazer uma conta numa rede “a”, mas o artista que ela gosta está na rede “b” e que, agora, para ela se conectar com ele, terá de fazer uma migração, exportando os dados de uma rede para outra. No mínimo, ela vai perguntar: “Mas não é tudo Mastodon?”. E você terá de responder: “Não, mas são instâncias diferentes...”. Até lá, ela já voltou para o X.

Entendem como é complicado? Ainda mais para o grande público que não tem afinidade com tecnologia. Não importa você falar que “é igual ao e-mail, com várias contas diferentes”. No primeiro momento que a pessoa não conseguir achar alguém, seja porque não está na mesma rede que ela ou porque os nomes de usuário parecem grandes demais, elas irão partir. A natureza tende ao menor ponto de energia.

Aí está o sucesso das grandes corporações. Das nazistas às fascistas. Elas tem o poder da grande massa. E, aliás, todo o poder para chamar mais pessoas. Mas e a privacidade? Mas e a venda de dados? Amigos, se considere sortudo se encontrar alguém que saiba, minimamente, o que é um dado. E a importância dele.

 
Leia mais...

from Drado, the Hobbit

As postagens abaixo, do dia 23 de janeiro de 2025, são referentes ao blog que tenho no Tumblr e pretendo descontinuar. As datas não são precisas, mas são postagens dentre os anos de 2023 e 2024. Nada mais a compartilhar sobre elas. Estarei postando só aqui, agora.

 
Leia mais...

from Drado, the Hobbit

Hoje, teremos apenas sentimentos sobre o que eu vejo por aqui. Hoje, serei direto e falarei para aqueles que amam, que sofrem por amor, que amam amar...

Gente, uma mensagem: amar é difícil. Amar é complicado e exige tempo, exige respeito, exige um monte de coisa além do simples sentimento de amar. Amar, por amar, é fácil. Amar, por completo, e dificílimo.

Suas palavras são válidas. Seus amores doem e isso é algo que vocês devem saber. Antes de ir no profundo lago do amor, saibam que vocês precisaram de oxigênio.

 
Leia mais...

from Drado, the Hobbit

Não sei o que está acontecendo. Acho que nunca vou saber, na realidade. O ano de 2024 está sendo um ano cheio de realizações e, como o título desse post sugere, mudanças.

De todas as coisas que eu achava que poderia acontecer, ser pai não estava no meu escopo. Não que eu estivesse fazendo alguma coisa para me proteger, longe disso, mas acho que é daquele tipo de notícia que ninguém nunca está muito pronto para receber. Óbvio que, sem sombra de dúvidas, essa é a notícia mais feliz da minha vida, tanto por conta da nossa rotina/desafio quando pelo milagre por conta da minha cirurgia, mas mesmo assim me sinto ansioso com essa nova colocação.

Pai. Nunca me vi assim. Para ser bem sincero, nunca nem me vi com tantas responsabilidades quanto essa, mas agora, literalmente do dia para noite, tenho que arcar com todos os pesos de ser pai. De ser referência para uma outra pessoa, assim como o meu próprio pai é pra mim. Não é algo que, pelo menos para mim, se planeja. Um ser tão complexo e desenvolvido, com as suas próprias inseguranças, ansiedades, medos, sonhos, feitos... tudo isso se apoiando na minha figura. Eu estou longe de ser perfeito, eu não deveria ser esse tipo de exemplo.

De qualquer forma, creio que essa última parte tenha sido mais a minha ansiedade falando. Não sou o tipo de pessoa que se olha e se pensa “nossa, que ser humano horrível”, mas mesmo assim acho que ainda tenho que trabalhar essa minha parte.

Meu casamento é agora dia 26. Tudo mudou. Antes o foco ainda fosse os gastos com o casamento. Enfim, acho que a partir daqui eu vou falar merda e não estou nem um pouco afim de ter que me explicar depois.

Só quero que saibam que eu estou muito feliz com essa notícia, só estou com um pouco de medo e ansiedade por não me sentir suficiente o bastante para outra pessoa.

 
Leia mais...

from Drado, the Hobbit

Eu não sei, mas vocês também já perceberam que a internet, atualmente, tem se tornado um terreno que mata a criatividade? Faz um tempo que eu não vejo mais, pelo menos no mainstream, alguma parte da internet que nos permita ser o que queremos ser. No caso, ao menos personalizar a página inicial das nossas redes sociais.

Eu lembro quando existia o MySpace, o Twitter e até o Orkut onde eram comuns os perfis cheios de efeitos, cores e imagens da pessoa, coisas que mais do que as postagens, identificasse o usuário em meio a tanta gente.

Hoje em dia (e eu posso estar sendo preciosista aqui) perdemos isso, em prol do quê? Eu não sei, mas não acho que demorará muito até vermos redes sociais que nem a foto de perfil personalizar mais. Estranho...

 
Leia mais...