Liliana berjalan di lorong kamar rawat dan mencari nomer kamar yang di kirimkan oleh temannya itu, hari ini dia menjenguk Istri senior nya itu sendirian setelah pulang bekerja, Liliana juga bawa buah-buahan yang sempat ia beli dulu sebelum ke rumah sakit.
“Kamar 201,” gumam nya.
Ia sempat mengintip dulu dari celah kaca yang ada di pintu kamarnya. Dan ternyata benar itu kamar rawat Istri senior nya itu, karena di depan pintu nya enggak ada nama pasien. Jadi Liliana mau memastikan saja dia enggak salah masuk kamar.
Liliana membuka pintunya, tersenyum manis dan mendapatkan sapaan hangat dari senior nya itu. Ternyata Julian sedang menyuapi Istrinya makan malam, terlihat sangat manis menurut Liliana.
“Malam, Pak, Buk.” Liliana menundukan kepalanya kecil, mendekat ke ranjang Ara dan menaruh buah yang ia beli di meja samping ranjangnya.
“Malam,” balas Ara dan juga Julian bersamaan.
“Datang sendiri, Li?” tanya Julian.
Liliana mengangguk, “iya, Pak. Kemarin kan anak-anak yang lain sudah jenguk duluan. Kebetulan saya bisa nya sekarang jadi saya sendirian deh.”
“Makasih udah jenguk yah, Li.” ucap Ara, dia senang banget karna teman-teman kantor nya Julian tuh perhatian banget buat jengukin dia dari kemarin, semuanya datang bergantian.
“Sama-sama, Buk.”
“Jangan manggil, Ibu, Li. Panggil Mbak aja ya.” menurut Ara panggilan Ibu tuh agak aneh aja buat dia, toh Liliana tidak bekerja dengannya. Lain hal nya dengan Julian yang bekerja dengannya dan Julian adalah senior nya di kantor.
“Iya, Mbak. Oiya, Mbak Ara gimana kondisinya? Udah baikan?”
Kondisi Ara di hari ketiga pasca operasi tuh benar-benar membaik, dia udah bisa duduk dan jalan-jalan sebentar, ya masih di kamar sih. Pusing dan mualnya juga sudah hilang walau bekas sayatan di perutnya masih suka ngilu, oiya Ara juga dapat nasihat dari dokter Irene soal program hamilnya. Dokter Irene nyaranin Ara buat jaga pola makan dan berat badan jika ingin hamil.
Intinya sih dia harus jaga badannya biar bugar terus, selain itu juga dokter Irene ngasih tips buat Julian sama Ara. Ya setelah Ara pulih nanti mereka baru bisa menjalankan tips dari dokter Irene dan juga saran-saran lainnya.
“Udah mendingan kok, Li. Udah bisa jalan juga udah gak lemas, tapi yah bekas sayatannya masih agak ngilu dikit.” Ara sedikit mendekatkan ibu jari dan telunjuknya itu, membentuk huruf C kecil sebagai isyarat sedikit.
“Syukur deh, Mbak. Saya senang dengar nya kalau Mbak Ara udah membaik. Cepat sembuh yah, Mbak.”
“Makasih yah, Li.” Ara senyum.
Cukup lama Liliana berada di ruang rawat itu, dia juga lebih banyak ngobrol sama Ara dari pada sama Julian. Menurutnya Ara ini orangnya ramah banget, pintar mencari topik obrolan dengan orang yang baru di kenalnya.
Bahkan Liliana sudah merasa nyaman dan banyak bercerita, apalagi soal Bella. Sembari bercerita, sesekali Liliana menyimak apa yang Julian lakukan untuk Istrinya itu. Seperti mengupasi jeruk, mengusap sela bibirnya yang terkena makanan, memperbaiki tinggi ranjang agar istrinya terlihat nyaman.
Pokoknya ada saja yang di lakukan Julian, Liliana cuma mikir senior nya itu lebih manis dari yang dia duga. Dia jadi kepikiran, apa jika mendiang suaminya itu masih ada. Liliana bisa merasakan hal seperti itu juga ketika sakit? Kadang, ada hari dimana ia ingin di perlakukan seperti itu juga. Ia ingin bahagia lagi dan memiliki sandaran hidup lagi.
“Aku gak nyangka ngobrol sama kamu senyaman ini, Li. Padahal aku pikir kamu tuh pendiam loh kalo di kantor.”
Ara sempat mikir gini, beberapa kali dia ke kantor Liliana itu selalu terlihat sendirian. Bahkan saat jam makan siang sekalipun, Ara pernah beberapa kali memergoki Liliana makan di meja kerjanya sementara kebanyakan karyawan lain keluar makan siang. Ara sempat bilang ke Julian buat sesekali ngajak Liliana makan bersama teman-temannya yang lain.
Ara tuh cuma gak tega aja kalau liat orang sendirian, ya Ara sempat berpikir kalau Liliana kurang di terima baik di kantor. Karna beberapa kali teman-teman Julian pun suka berbicara mengenai Liliana yang memang memiliki sifat tertutup dan pendiam.
“Emang pendiam banget, sayang. Lili tuh beneran ngomong yang penting-penting aja,” celetuk Julian. Sementara Liliana hanya tersenyum kecil.
“Kapan-kapan kita hangout bareng yuk, Li. Nanti aku kenalin ke teman-temanku.” Ara genggam tangan Liliana, entah kenapa Ara bisa lihat ada celah kesepian dan kerapuhan di raut wajah dan pancaran mata Liliana. Apalagi wakti Ara tahu kalau Liliana enggak punya Suami dan harus membesarkan anaknya sendiri, Ara berpikir dia cuma mau jadi teman Liliana aja.
Liliana mengangguk, ini untuk pertama kalinya setelah Bella lahir ada seseorang yang meminta dirinya untuk menjadi temannya. “Boleh, Mbak.”
Setelah berbincang banyak hal dan sempat mengambil foto bersama Liliana, wanita itu melirik jam yang ada di tangannya. Sudah nyaris pukul 8 ternyata, dia harus segera berpamitan sebelum Bella mencari nya.
“Yaudah, Mbak. Saya pamit dulu yah, udah malam kasian Bella di rumah.” Liliana mengambil tas miliknya dan memakai nya.
“Makasih sekali lagi yah, Li. Ingat yah, kamu boleh kok ajak Bella ketemu aku siapa tau kalau aku kasih sedikit terapi buat dia, dia bisa lebih terarah lagi kan.”
Liliana mengangguk kecil, “iya, Mbak. Makasih yah.”
“Bang, anterin Liliana turun ke bawah ya, kayanya staff rumah sakit udah pada keliling kamar rawat buat berganti shift.” lorong kamar rawat nya Ara itu punya pintu yang hanya bisa di akses oleh staff rumah sakit dan keluarga pasien, biasanya keluarga pasien yang berjaga akan di beri kartu untuk akses keluar masuk.
“Iya, yaudah aku anterin Liliana dulu yah, sayang.”
Sebelum mengantar Liliana, Julian sempat mengambil topi miliknya dulu dan mengecup kening Istrinya. Liliana yang menyaksikan itu hanya bisa menunduk dan salah tingkah sendiri. Dia canggung, di perjalanan menuju lobby rumah sakit Julian sempat mengajak Liliana bicara soal pekerjaan karena Liliana itu lebih banyak diam, Julian cuma enggak suka aja ada suasana yang canggung di antara mereka berdua.
“Kamis ini saya juga udah masuk kok, Li. Nanti saya cek semua ya design dari kamu,” ucap Julian.
“Iya, Pak. Kalau ada yang harus di revisi. Bilang saya secepatnya yah, Pak.”
“Pasti.”
Begitu mereka sampai di lobby rumah sakit, ternyata di luar hujan deras. Julian sempat menemani Liliana dulu untuk memesan taksi online namun sayangnya semua orderannya di tolak. Julian cuma mikir dia agaknya sedikit kasihan sama Liliana kalau harus naik bus sendirian, apalagi dari rumah sakit ke halte bus itu lumayan jauh.
“Saya anterin aja yah, Li.” tanya Julian.
“Engg..gak usah, Pak. Saya bisa naik bus, nanti juga hujannya reda.”
“Gapapa, nanti malah kemaleman kasian Bella.”
Liliana sempat menimang-nimang penawaran dari senior nya itu, Julian benar, kasian Bella jika ia pulang lebih malam lagi karena hujan. Dan biasanya juga Bibi yang mengasuhnya itu sudah bersiap-siap akan pulang.
“Mbak Ara gimana, Pak? Kasihan sendirian kalau Bapak anterin saya.” Liliana cuma enggak enak aja sama Ara karena sendirian di ruang rawatnya kalau Julian anterin dia pulang.
“Ada Mas sepupu nya yang mau anterin makan malam buat saya, Li. Udah naik di lift, emang enggak ketemu sama kita tadi soalnya dia ke kafetaria dulu.”
Arial memang datang untuk mengantar makanan buat Julian, beberapa hari ini antara Arial, Chaka, Kevin dan Januar sering bergantian buat bawain makan malam buat Julian. Karena hanya Julian yang berjaga sendirian, sebenarnya bisa sih Julian order makanan lewat layanan pesan antar atau makan di kantin rumah sakit. Tapi teman-temannya itu yang berinisiatif untuk membawakan makanan.
Liliana akhirnya mengangguk, enggak ada pilihan lain karena rasanya hujannya semakin deras. “Yaudah, Pak.”
“Kamu tunggu disini yah, saya izin istri saya dulu sekalian ambil mobil.” setelah mengatakan itu, Julian berlari kecil masuk ke dalam lobby lagi. Kebetulan ada jalan masuk ke basement parkiran lewat dalam rumah sakit.
Di perjalanan, Liliana cukup merasakan kecanggungan di antaranya dan Julian. Karena enggak tercipta obrolan lagi di antara mereka, Julian sibuk fokus pada kemudinya karena malam itu hujan cukup deras hingga kabut.
Tapi beruntunglah mereka karena jalanan tidak macet, 20 menit perjalanan akhirnya mobil yang Julian kendarai sampai di depan pekarangan rumah Liliana. Hujan nya juga sudah reda, namun ada yang aneh dari rumah yang terlihat seperti bangunan lama itu.
Di depan pintu ada seorang Ibu-Ibu berbadan gempal yang seperti sedang marah-marah sembari menyeret anak kecil perempuan di depan rumah Liliana, ada Ibu-Ibu lain juga yang seperti sedang berusaha melepaskan anak perempuan itu dari cengkraman Ibu-Ibu yang menyeretnya.
Dari samping, Julian bisa melihat raut wajah Liliana yang terlihat panik ketika melihat pemandangan itu. Tidak lama kemudian Liliana membuka seatbelt nya dan turun dari mobil.
“Ada apa, Li?” tanya Julian bingung.
“Astagaa, Bella!!” pekik Liliana, tanpa menjawab pertanyaan dari Julian itu. Liliana buru-buru keluar dari mobil dan menghampiri Bella yang sudah menangis di depan pintu rumahnya.
“Mama!!” begitu melihat Ibu nya itu pulang, Bella menangkis tangan Ibu-Ibu yang mencengkram baju nya dan berlari ke arah Liliana.
Julian yang melihat itu akhirnya turun dari mobilnya dahulu, dia ngerasa ada yang enggak beres. Dan benar saja kan, Ibu-Ibu yang menyeret seorang anak kecil tadi kelihatan benar-benar marah. Dan ternyata anak itu adalah Bella, anaknya Liliana yang selama ini seperti Liliana sembunyikan.
“Eh Mbak Lili, ajarin anaknya buat enggak ngelempar-ngelemparin kerikil ke jendela rumah orang!” pekik Ibu-Ibu berbadan gempal itu.
“Maksud nya, Buk? Bi? Ini ada apa sebenarnya?” tanya Liliana sama Bi Narsih yang mengasuh Bella.
“Ini, Buk. Ibu Ijah marah-marah dan tiba-tiba aja nyeret non Bella, dia bilang kalau non Bella ngelemparin kerikil kecil ke jendela rumahnya dari dalam kamar non Bella, Buk. Bibi lagi nyuci piring bekas non Bella makan, Bibi juga udah pastiin non Bella tidur. Ternyata non Bella belum tidur dan buka jendela kamar nya sambil lemparin batu kerikil ke jendela kamar nya Ibu Ijah,” jelas Bi Narsih.
“Gara-gara anak kamu yang kelakuannya kaya setan ini, jendela kamar saya pecah tau gak?!” sentak Bu Ijah naik pitam.
“Nanti saya ganti yah, Buk. Maafin Bella.”
“Kemarin nyabutin tanaman saya, sekarang mecahin jendela rumah saya, besok apa lagi? Kalau kamu gak bisa didik anak kamu dengan benar, mendingan pindah rumah aja. Anak kamu ini sudah menganggu tau gak? Mau saya laporin polisi?”
“Saya ganti kaca jendela Ibu sama besok pagi saya kirim tukang kebun buat perbaikin tanaman-tanaman Ibu.”
Suara halus yang berasal dari seorang laki-laki itu berhasil membuat atensi Liliana, Buk Ijah dan Bi Narsih teralihkan. Itu Julian, dari kejauhan dia merasa tidak nyaman mendengar bentakan serta perilaku kasar Buk Ijah ke Bella dan juga Liliana.
Bella mungkin salah, tapi haruskah Bu Ijah menyeret anak itu sampai-sampai kaki Bella pun saat di seretnya tidak menapak ke tanah, dan lagi Bella sampai nangis ketakutan.
“Siapa kamu? Pacarnya Liliana?” Bu Ijah menelisik penampilan Julian dari atas sampai bawah, menerka-nerka berapa uang yang bisa ia hasilkan dari laki-laki yang siap mengganti rugi ini. “Anaknya bikin susah tetangga, Mama nya malah asik-asikan pacaran sampai pulang malam.”
“Saya teman kerjanya Liliana, Buk. Besok pagi saya bawa tukang buat beresin rumah Ibu ya.” Julian enggak banyak bicara, dia cuma mempertegas ucapannya saja jika ia yang bersedia bertanggung jawab.
“Awas aja yah sampai bohong saya tunggu!! Saya mau uang kompensasi juga karena bukan sekali dua kali Bella kaya guni.” setelah mengatakan itu Buk Ijah pergi dan masuk ke dalam rumahnya.
“Pak, saya jadi enggak enak. Gapapa, Pak biar saya aja nanti yang ganti. Ini kan salahnya Bella dan Bella itu anak saya.” Liliana cuma enggak mau berhutang apa-apa sama orang lain. Ini bukan pertama kalinya Bella seperti ini, dulu saat mengajak Bella berbelanja baju di mall. Liliana juga pernah ganti rugi karena Bella tidak sengaja memecahkan meja kaca yang ada di departeman store, meja itu di gunakan untuk mendisplay sepatu.
“Gapapa, Li. Santai aja yah, saya cuma enggak suka aja Bella di seret kaya gitu. Dia masih kecil terlepas dari Bella memang salah.”
Setelah di rasa cukup tenang, Bella baru berani melepaskan pelukannya dari tubuh Ibu nya itu. Begitu melihat Julian dan Julian tersenyum saat mata mereka bertemu, kedua mata Bella membulat. Sosok laki-laki di depannya itu sekilas mirip seseorang yang selalu Liliana kenalkan pada Bella lewat foto jika itu adalah Papa nya.
“Papa? Mah, itu Papa kan? Papa nya Bella kan?”
“Pa..papa?” gumam Julian bingung.
Bella yang tadinya berada pada rengkuhan Liliana kini berlari ke arah Julian dan memeluk kaki Julian erat. Julian yang di panggil seperti itu hanya bisa menatap Liliana dengan wajah bingungnya, sekaligus ia menuntut penjelasan.
“Papa.. Kenapa Papa baru pulang sekarang? Bella sama Mama kan nungguin Papa pulang,” ucap Bella yang berhasil membuat pertahanan Liliana runtuh.