from JazzyExpert
mcw casino
https://jeetbuzzpk.asia/ Log in to Jeetbuzz, register, and join the affiliate program. Download Jeetbuzz in Pakistan for exciting gameplay. Explore Crickex, MCW Casino, K9win, and Bajilive today!
Read the latest posts from Wordsmith.
from JazzyExpert
mcw casino
https://jeetbuzzpk.asia/ Log in to Jeetbuzz, register, and join the affiliate program. Download Jeetbuzz in Pakistan for exciting gameplay. Explore Crickex, MCW Casino, K9win, and Bajilive today!
from JazzyExpert
tavoli refrigerati
Vendita di attrezzature ristorazione per hotel, ristoranti, pizzerie e bar. Shop online con migliaia di Macchine alimentari selezionate. Guarda le offerte!
from JazzyExpert
occhiali da sole tiffany
Scopri il nostro blog dedicato al mondo della moda, dove esploriamo tendenze, stili e passioni personali. Unisciti a noi per approfondire argomenti affascinanti e consigli pratici”
from JazzyExpert
fototrappole
Notizie per i lettori interessati a esplorare le complessità e le opportunità del mondo moderno . Notizie che sfidano le convenzioni e aprono la porta a discussioni stimolanti e provocatorie.
from JazzyExpert
padelle in rame
TechnoNews ti offre uno sguardo leggero ma curioso sulle contaminazioni della tecnologia con tutti gli altri settori, la moda, il cibo, il tempo libero. Non perdere l'occasione dis coprire cose utili e divertenti
from Meaning Of Love ☑️
seminggu yang lalu
Drrtt...
Drrtt...
Yuno mengerjabkan matanya, cahaya matahari pagi sudah masuk menelisik dari balik kordennya. Serta bunyi getar pada benda persegi panjang yang ia taruh di nakas samping ranjangnya berada, mengucek matanya yang masih terasa pedih. Tangan Yuno meraba nakas itu, mencari ponselnya yang masih bunyi karena telfon dari seseorang.
Keningnya berkerut, berusaha fokus pada nama seseorang yang memanggil ke ponselnya.
“Rosalie?” gumamnya. Yuno akhirnya mengangkat telfon itu, mendengarkan si penelpon bicara padanya. Sampai akhirnya ia seperti di paksa untuk sadar sepenuhnya dari tidur.
Kedua mata Yuno membulat, tanpa memperdulikan dirinya yang belum mandi pagi atau sekedar berganti baju. Yuno buru-buru bangun dari ranjangnya, menyambar jaket yang ia taruh di balik pintu kemudian berlari keluar apartemen nya.
“Yuno, ini aku Rosalie. Maaf harus menelfonmu sepagi ini, aku hanya ingin memberi tahu kalau Ann kecelakaan pagi ini. Dia di tabrak mobil saat keluar dari stasiun, polisi sudah membawanya ke rumah sakit. Namun sayangnya nyawa Ann tidak tertolong, dia meninggal saat di bawa ke rumah sakit.“
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Yuno, dia ada di dalam taksi menuju stasiun. Yuno akan segera ke Berlin untuk menemui Ann, ah tidak. Ia akan memberikan penghormatan terakhir pada gadis itu sebelum jasad nya akan di terbangkan ke Indonesia.
Di dalam taksi, Yuno berusaha menelfon Josep namun panggilannya itu tidak membuahkan hasil karena Josep tidak mengangkatnya. Jarak antara Heidelberg dan Berlin begitu terasa lebih lama bagi Yuno, sesampainya di Berlin pun Yuno langsung menuju rumah sakit tempat jasad Ann berada.
Di sana ada Josep, Rosalie kedua orang tua Ann dan teman-teman Ann di kampusnya. Yuno langsung menghampiri Rosalie dan Josep lebih dulu.
“Rose, ini semua bohong kan? Ann masih ketemu sama gue sebelum dia pulang ke Berlin. Dia bahkan masih baik-baik aja, kami juga rayain ulang tahunnya bareng!” ucap Yuno penuh dengan frustasi.
“Yuno, gue tau ini bikin lo kaget banget. Kita semua juga sama terpukulnya, tapi Ann benar-benar udah gak ada, No.” ucap Josep.
Wajah Yuno memerah, ia rasanya ingin menangis. Mengingat pertemuan terakhirnya dengan Ann yang mungkin membuat gadis itu merasa sedih dan sakit, Yuno enggak tahu kalau itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Ann.
Jika Yuno tahu ia tidak akan bisa melihat Ann lagi, Yuno akan memberikan pelukan perpisahan untuk gadis itu saat ia pergi. Tapi nyatanya? Yuno menolak permintaan terakhir Ann itu.
Di sebelah Josep, Rosalie mengeluarkan sebuah kotak yang ada di tas miliknya. Kotak dengan pita berwarna biru itu ia berikan pada Yuno.
“ini apa?” tanya Yuno bingung.
“hadiah dari Ann yang belum sempat dia kasih ke kamu, No.” jawab Rosalie.
Yuno mengambil kotak itu tanpa sempat ia buka dahulu, di rumah sakit ia sempat meminta izin pada keluarga Ann untuk melihat jasad Ann yang terakhir kalinya. Ia juga ingin memastikan jika ini semua bukan mimpi.
Begitu peti jenazahnya di buka, Yuno benar-benar luruh. Yang berada di dalam sana benar-benar Ann yang sudah kaku dan pucat, sahabatnya itu benar-benar meninggalkannya tanpa ucapan perpisahan apapun itu.
Setelah hari itu, Yuno terus merasa bersalah karena mungkin penolakannya sudah menyakiti Ann. Bahkan saking merasa bersalahnya, setiap malam Yuno harus bertarung dengan kaleng-kaleng beer hingga kepalanya berdenyut nyeri dan ia baru bisa tertidur.
Jadwal kuliah yang semula tertata rapih seperti apartemennya itu kini berantakan, Yuno berhari-hari izin untuk tidak masuk kuliah. Bahkan cowok itu juga enggak menyalakan ponselnya sama sekali agar tidak ada yang bisa mengganggunya.
Sampai ada hari dimana ia memberanikan diri untuk membuka kotak pemberian dari Ann. Itu adalah sebuah Stetoskop yang Ann pesan sendiri, ada inisial nama Yuno di bagian Bell nya, tubingnya berwarna biru muda dengan tag nama Yuno serta gelarnya sebagai seorang dokter kelak.
Tidak ada surat atau apapun itu di dalamnya, namun benda itu berhasil membuat pertahanan Yuno kembali tumbang. Ia menangis memeluk benda itu, Yuno benar-benar merasa bersalah pada Ann.
Saat itu yang ada di kepala Yuno hanya kata seandainya, seperti. Seandainya hari itu ia menahan Ann untuk tetap tinggal hingga keesokan harinya, apa Ann akan tetap hidup? Atau seandainya ia mengantar Ann sampai Berlin. Apakah saat ini Ann masih ada bersamanya?
Atau opsi seandainya terakhir, apa akhirnya akan tetap ada penyesalan jika di stasiun saat itu ia membiarkan Ann memeluknya?
Setelah puas menangis, Yuno akhirnya menyalakan ponselnya ia harus segera berdamai pada keadaan. Kepergian Ann memang sangat memukulnya, tapi walaupun begitu hidupnya harus tetap berjalan bukan?
Ada sederet panggilan tak terjawab masuk di ponsel Yuno dan beberapa pesan singkat yang belum sempat ia baca, namun nama Ara dulu lah yang menjadi tujuan pertamanya sebagai seseorang yang ingin ia hubungi.
Yuno pikir, saat itu ia mungkin bisa mendapatkan kekuatan dari Ara. Yup, gadis yang selalu ada untuknya di saat Yuno merasa sendiri dan kehilangan arah.
Saat Ara mengakat panggilan darinya, Yuno tersenyum. Ia lega walau wajah gadisnya di sebrang sana terlihat tidak bersahabat, Yuno paham. Ara pasti marah karena ia sudah menghilang berhari-hari.
“Kamu lagi dimana?” Yuno ngerasa Ara bukan lagi di kosan hari itu, suasana nya agak sedikit berbeda. Meski belum pernah mengunjungi kosan Ara di Bandung, tapi Yuno hapal betul warna dinding dan interior nya. Ara pernah membuatkan video room tour untuk Yuno, Gita juga pernah memamerkan setiap sudut ruangan kosannya pada Yuno waktu mereka melakukan face time.
“Lagi di puncak,” jawab Ara ketus.
“Acara apa sayang?”
“HIMA.”
Yuno gak pernah tahu kalau Ara bergabung ke HIMA, Ara juga enggak pernah cerita hal ini. Yuno sadar, semenjak masuk kuliah Ara memang enggak pernah cerita kesehariannya lagi termasuk hal-hal yang akan ia ikuti berbeda saat dulu gadis itu masih SMA. Ara selalu terbuka, selalu meminta pendapat Yuno dahulu. Tapi Yuno gak mau mempersalahkan hal-hal seperti itu.
Namun Yuno senang mendengarnya, itu artinya Ara menepati janjinya untuk aktif di organisasi kampus.
“Sayang, maaf yah aku baru bisa ngabarin kamu.”
“Gapapa, Kak. Aku juga udah terbiasa tanpa kabar dari kamu, gak perlu merasa bersalah.“
Kata-kata Ara itu berhasil membuat hati Yuno mencelos. Gadisnya benar-benar marah, Yuno bisa terima hal itu karena ia benar-benar kelewatan. Tapi Yuno punya alasan kenapa ia menghilang berhari-hari, dan ia rasa Ara perlu tahu hal ini agar gadis itu tidak salah paham.
“Ra, aku bisa jelasin kenapa aku ngilang beberapa hari ini.”
“Gak usah, Kak. Gak penting juga, udah berlalu juga kan? Aku juga udah tau kamu kemana sampe HP kamu gak aktif berhari-hari.“
Jadi Ara sudah tahu? Siapa yang memberi tahu Ara? Apa Josep yang memberi tahunya? Yang Yuno tahu, Josep memang lumayan dekat dengan Ara. Cowok itu juga mengikuti akun sosial media milik gadisnya itu, apa mungkin Ara tahu kabar nya dari Josep?
“Kamu udah tau?” tanya Yuno.
Ara mengangguk, “aku juga udah tau jepit rambut siapa yang ada di kamar tamu kamu, aku udah tahu semua.“
Jepit rambut? Yuno mengerutkan keningnya. Seingatnya tidak ada jepit rambut di kamar tamunya, saat Ara sudah pulang ke Indonesia. Yuno sempat membenahi kamar tamunya dan tidak ia dapati jepit rambut milik siapapun disana.
“Jepit rambut? Maksud kamu apa sih, Ra? Aku gak ngerti.”
“Gak ngerti?” Ara terlihat tertawa hambar di sebrang sana. “Aku kelihatan kaya orang bodoh banget yah, Kak? Atau aku aja yang emang bodoh banget percaya aja sama kamu?“
Yuno menghela nafasnya kasar, kepalanya sudah berdenyut nyeri akibat beer yang ia tenggak tadi. Dan sekarang di saat ia ingin mendapatkan kekuatan dari Ara, gadis itu justru mengajaknya berdebat.
“Ra, kamu tuh ngomong apa sih sebenernya? Jepit rambut apa?”
“Kamu selingkuh sama cewek lain kan?” ucap Ara yang membuat Yuno membulatkan kedua matanya, sungguh. Kalimat itu enggak pernah terbayangkan di kepala Yuno jika Ara akan mengatakannya. Bagaimana bisa gadis itu menuduhnya selingkuh jika di hidupnya Yuno baru bisa jatuh cinta ketika bertemu dengannya.
“Apa kamu bilang? Selingkuh?” Yuno menggeleng. “Kamu kok bisa mikir aku kaya gitu, Ra?”
“Kalo kamu udah gak sayang sama aku, Kak. Gak perlu jadi pengecut ngilang gak ada kabar berhari-hari kaya gini, kamu harusnya jujur ke aku biar aku enggak jadi orang tolol yang setiap hari nungguin kabar kamu.“
Yuno naik pitam rasanya, namun sebisa mungkin ia meredam emosinya. Dia gak mau emosinya sesaat membuat hubunganya dengan Ara semakin kacau.
“Ra, pengecut apa sih? Aku ngilang berhari-hari karena ada kejadian gak enak nimpa aku, kamu tau gak apa?” Yuno tidak sengaja menaikan nada bicaranya, emosi yang ia pendam itu kelepasan juga. Namun Yuno buru-buru menyadari itu.
“Sayang, maaf aku gak bermaksud bentak kamu.” lanjutnya.
“Kejadian gak enak apa kalo nyatanya kamu kelihatan nikmatin itu semua! Kamu nikmatin jalan sama cewek itu kan? Kamu pikir aku bodoh? Kamu jalan sama Ann kan?“
Ann? Dari mana Ara tahu? Bahkan Yuno belum sempat mengabari Ara jika hari itu ia memang bertemu dengan Ann, begitu sampai apartemennya. Yuno langsung menyelesaikan tugas kuliahnya hingga ia ketiduran, kalau begitu Ara tahu dari mana? Pikir Yuno.
“Kamu tau dari mana?”
“Kamu gak perlu tau, Kak. Aku tau dari mana,” di sebrang sana Ara menangis, matanya memerah dan nada suaranya bergetar. Yuno sungguh gak pernah terpikirkan hubunganya akan sampai di tahap bertengkar hebat seperti ini.
“aku capek, Kak. Aku gak kuat kaya gini terus.“
“Sayang, aku bisa jelasin semua—”
“aku mau putus, Kak.“
Saat Yuno berusaha untuk meluruskan semuanya, Ara justru mengeluarkan kalimat yang sangat tidak ingin Yuno dengar. Sungguh, hatinya sakit. Seperti luka menganga di sana kembali di sayat semakin lebar.
Ara masih menangis di sebrang sana, dan itu membuat hati Yuno semakin sadar jika ia telah gagal untuk membahagiakan orang yang paling ia sayangi. Saat itu, di pikiran Yuno hanya Ia tidak ingin melihat Ara semakin sedih dan tersakiti karena dirinya.
Jika benar Ara sudah tidak kuat dengannya lagi, apa ini saat nya ia mundur? Ia tidak ingin menahan gadis itu yang justru semakin menyiksanya, jika melepaskan adalah cara terbaik. Meski sakit, Yuno akan tetap melakukannya.
“Yaudah kalau itu yang kamu mau, Ra. Maafin aku, maaf karena udah brengsek sampai bikin kamu sakit.” ucap Yuno, hanya itu yang bisa ia sampaikan sebelum ia memutuskan sepihak panggilan itu.
Setelah panggilan itu terputus, Yuno melempar ponselnya ke sofa dan melempar semua kaleng beer ke sembarang arah hingga isinya berserakan. Yuno menangis di sana hingga memukuli dadanya yang terasa sakit.
“Brengsek lo, No. Brengsekkk!!” teriak Yuno.
And as previously, they remain a one sided document intended to solely protect the company and award it any rights they seem fit to claim.
I think it is interesting to read them. It is a long, legalese, mind boggling read, but a careful analysis can give you insights on important points. You can see the current, latest version (revised as of Sept 13, 2024) HERE.
And I did read it briefly, and noticed some worthy points.
Kevin Wong, Slowly's creator and CEO, has moved to London UK about a year ago. I had not looked at the ToS but now it shows the company no longer being Hong Kong based, but located in the address shown above.
This has good points, there were some concerns from users over Slowly's ability to deny user data access requests in Hong Kong, as Chinese mainland laws clearly state all companies operating in the PRC must comply promptly with any official requests.
Well, they apparently are no longer under PRC's jurisdiction. BUT their data is stored in Amazon Web Services machines, physically located in the USA, which brings them under a jurisdiction where intelligence agencies DO act to get access to data they feel is needed. Not ideal, clearly, but convenient for Slowly as AWS is a major Cloud provider.
I used Microsoft's Copilot, and would encourage you to read the document and even experiment with it. My request:
I use a software called Slowly. Could you review the Terms of Service for it, and give me some notes regarding noticeable impositions it places on its users? The Terms of Service page is at https://slowly.app/terms/
Sure, I reviewed the Terms of Service for Slowly. Here are some key points and noticeable impositions:
These points highlight some of the more restrictive aspects of the Terms of Service. If you have any specific concerns or need further clarification, feel free to ask!
Source: Conversation with Copilot, 03/10/2024
(1) Terms of Service – Slowly. https://slowly.app/terms/. (2) Privacy Policy – Slowly. https://slowly.app/privacy/. (3) Slowly's home page. https://slowly.app/.
is there any mention of their obligation under GDPR user data protection act ?
Yes, the Slowly Terms of Service do mention their obligations under the GDPR (General Data Protection Regulation). Here are some key points related to GDPR compliance:
[ 4 ] : The Data Protection Act, at gov.uk
These points highlight Slowly’s commitment to complying with GDPR and protecting user data. If you have specific concerns or need more detailed information, you might want to review their full Terms of Service or contact their support team directly.
Can I request a copy of my user data (letters and responses) for backup under GDPR ?
Yes, under GDPR, you have the right to request a copy of your personal data, which includes your letters and responses on Slowly. This is known as a data subject access request (DSAR). You can contact Slowly’s support team to make this request. They are obligated to provide you with a copy of your data within one month of your request. [ 4 ].
If you need help with how to phrase your request or any other details, feel free to ask!
How do I initiate a DSAR on Slowly?
To initiate a Data Subject Access Request (DSAR) on Slowly, follow these steps:
Subject: Data Subject Access Request (DSAR)
Dear Slowly Support Team,
I am writing to formally request access to my personal data under the General Data Protection Regulation (GDPR). Specifically, I am requesting a copy of all my letters and responses stored on your platform.
For verification purposes, my account details are as follows:
Please let me know if you require any further information to process this request. I look forward to your response within the statutory timeframe.
Thank you, [Your Name]
If you need further assistance, feel free to ask!
...in this latest revision of the Terms of Service. I enjoyed using Copilot and getting focused, simple answers to some of my questions. I think there is a lot more to read and investigate so we can better understand the document's meanings and implications.
I will stop here – getting backup copies of our user data was always a concern for me, and it seems there are ways we can act to request that, which Slowly is legally obligated to respond and fulfil.
Any other notable items in the page as you see it? (hint – there are notes regarding AI usage in the app, along with other meaningful paragraphs.
Special Thank You to the folks behind this wonderful app — all the hard working people at Slowly Communications.
Letters we share, with pen pals all over the World, via the magic of the Slowly App. A modern day take in the traditional penpal experience.
Come and join us, if you are not yet using Slowly.
This page created entirely in MarkDown language. Thank you for reading, feel free to comment, via a direct message to my Twitter account – or the Reddit one.
You can also post a public comment in the Reddit thread for it here.
from Meaning Of Love ☑️
Hari ini Ara dan Julian berada di Bogor dalam rangka acara HIMA PSI, hanya semalam saja dan besok siangnya mereka sudah kembali ke Bandung. Sampai saat ini Yuno belum juga mengabari Ara, ponselnya pun masih belum aktif.
Soal Ara dan kekecewaannya pada Arial, gadis itu juga belum mengajak Arial bicara. Ya selain karena masih dongkol dengan Kakak nya itu, akhir-akhir ini Ara juga sibuk dengan kegiatannya di kampus dan juga di HIMA.
Gadis itu sengaja menyibukkan dirinya agar tidak memikirkan Yuno, tapi walaupun begitu Ara enggak bisa membohongi jika ia masih sangat mengkhawatirkan cowok itu. Berharap Yuno akan segera menelfonnya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
sebenarnya terjadi? apa yang kemarin belum cukup jelas? Pikir Ara.
“nah buat lo Ra, lo dapet bagian Subdivisi Eksternal. Lo bisa handle sendiri kan? Atau mau berdua? Tapi gue gak akan kasih partner lo kating. Lo sama Sharen aja gimana jalanin proker ini?” tanya Agung selaku Kadep Humas.
Ara menarik nafasnya pelan, semua di divisi Humas dapat partner Kakak Tingkat, tapi kenapa hanya dirinya yang menjalani program kerja ini bersama teman seangkatannya? Pikir Ara.
“punten A, aku kan masih maba. Kalo aku gak bisa handle dan proker Eksternal nya gak jalan gimana? Mana aku juga bakalan banyak keluar buat ketemu sama FKHMPI. Belum ada pengalaman bangun relasi sebesar itu kayanya, A.” Ara sedikit meragukan kemampuannya, di SMA dulu. Dia gak aktif di OSIS. Ara cuma ikut paduan suara saja, makanya HIMA ini adalah organisasi pertamannya.
“lo bisa tanya gue, Teh Chika, Teh Ilra Humas banyak orangnya, Ra. masa baru gue suruh handle 1 proker aja lo udah nyerah? Lo join Hima di approach sama Kang Damar kan? Itu artinya lo ada potensi disini. Kang Damar gak asal comot orang aja buat join disini,” jelas Agung tegas. Meski kelihatan bingung. Agung yakin Ara cuma perlu meyakinkan dirinya. Agung memang terkenal tegas, semua tugas yang dia bagi pada anggotanya sudah ia pikirkan matang-matang dengan melihat kemampuan anggotanya lebih dulu.
Ara akhirnya mengangguk, meski dalam hati ia sudah menyumpah serapahi Agung. Dia juga gak punya power buat nolak, dia gak mau di bilang manja atau gak punya potensi di HIMA.
“Iya, A. Paham.”
“Kalo lo butuh bantuan gue, nanti gue bantuin.” bisik Julian yang duduk di sebelah Ara. “Bilang aja.”
Mereka sedang rapat di ruang tengah Villa, posisinya melingkar dan Julian berada tepat di sisi kanan Ara, sementara Sharen ada di sisi kiri dan di sebelahnya ada Jonas. Yup, mereka sering banget berempat sampai kadang-kadang di juluki rantang saking seringnya terlihat bersama.
“Dia keknya emang numbalin gue dari awal gue join di Humas. Kemarin aja waktu raker di rumahnya Sharen. Dia nyuruh gue buat bantu kating Humas yang lain bikin upgrade Proker Humas. Dia kan tau gue maba,” keluh Ara sembari melirik ke arah Agung yang sedang menjelaskan proker ke anggota HIMA yang lain.
Ara sama sekali gak nyangka bergabung di HIMA akan seberat ini, tau gitu dia bisa tanya sama Arial dulu kan? Tapi mau gimana lagi. Dia sudah kepalang berjalan di kubangan, jadi mau tidak mau dia harus menceburkan diri saja sekalian.
“Nanti gue bantuin, lagian Teh Ilra juga asik kok anaknya. Dia pasti mau bantuin lo,” Julian mengusap bahu Ara, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak kesal lagi.
“Guys, selesai makan malam. Kita kumpul di lapangan yah, ada acara api unggun dan pembacaan aturan di HIMA.” teriak Teressa. Teressa ini adalah Wakil ketua Himpunan.
Malam itu, Ara enggak banyak makan kaya yang lain. Bukan karena dia lagi diet juga, dia cuma kepikiran sama prokernya aja dan juga hubunganya dengan Yuno, begitu kumpul di api unggun pun Ara sampai lupa enggak bawa jaketnya yang dia taruh di kamar. Alhasil dia kedinginan dan cuma bisa mengandalkan api unggun yang berada di tengah-tengah.
“Jaket lo mana, Ra?” tanya Sharen.
“Ketinggalan,” bisik Ara. Dia duduk deketin Sharen supaya bisa masukin tangannya ke saku jaket gadis itu.
Tapi gak lama kemudian, seseorang menaruh jaket tepat di kedua bahu Ara dan memakaikan gadis itu kupluk. Ara yang kaget cuma bisa membalikan badannya ke belakang, ternyata itu Julian. Begitu sudah menaruh jaket miliknya ke Ara, cowok itu kembali ke tempat duduknya bersama Jonas dan juga anggota divisi keuangan yang lain.
“Ijul tuh perhatian banget gak sih?” bisik Sharen.
“Dia emang baik, Ren.”
“Ihhhh, bego ah. Dia tuh naksir sama lo tau, Ra. Masa lo gak nyadar?”
“Na..naksir?” Ara mengerutkan keningnya bingung.
Sharen mengangguk, “nih yah dengerin. Cowok kalo perhatiannya udah sampe kaya gitu tuh udah pasti naksir. Lo inget gak Ijul di hukum gara-gara gak pake gesper?”
Ara mengangguk, bagaimana dia bisa lupa hal itu. Julian telah menyelamatkannya dari hukuman saat OSPEK. “Tapi itu kan—”
“Sssttt dengerin gue dulu,” sela Sharen. “Terus waktu asma lo kambuh? Ijul rela gak ikut kuis biospychology demi anterin lo ke klinik. Dia juga yang gendong elo sepanjang lorong fakultas terus sampe ke klinik kampus yang adanya deket FEB. Lo tau kan itu lumayan jauh dari gedung fakultas kita?”
Ara terdiam, dia gak pernah kepikiran kalau Julian menyukainya. Dia cuma selalu mikir Julian baik ke semua orang, gak cuma ke dirinya aja. Ara yang mendengar penjelasan Sharen itu memperhatikan Julian dari jauh.
Telat ia sadari, peran-peran menemani dan menjaganya kini di isi oleh Julian. Cowok itu selalu ada di saat Ara membutuhkannya, kenapa ia bisa setidak sadar itu? Tapi apa benar semua perlakuan baik Julian di dasari dengan perasaan suka? Buka semata-mata karena Julian memang menganggap Ara adalah sahabatnya? Pikir Ara.
Selama pembacaan peraturan yang ada di HIMA, pikiran Ara benar-benar melayang. Bercabang memikirkan banyak hal hingga kepalanya sedikit berdenyut, pembacaan peraturan di HIMA sudah selesai. Kini semua anggota HIMA sedang menikmati api unggun sembari bernyanyi bersama di lapangan.
Namun Ara justru menyingkir dari sana, dia berjalan ke arah kolam renang karena tiba-tiba saja Yuno menelfonnya. Jujur, Ara lega cowok itu mengabarinya. Tapi perasaan sedih sekaligus kecewa masih memenuhi hatinya.
Karena di rasa ia memang perlu bicara pada Yuno, akhirnya Ara mengangkat panggilan itu. Di sebrang sana, tampak wajah Yuno yang sedikit pucat dengan lingkar hitam di bawah matanya yang agak sedikit terlihat jelas. Namun, cowok itu masih menampakan senyumnya saat melihat wajah gadis yang ia rindukan itu.
“kamu dimana?” tanyanya to the point.
“Lagi di puncak,” Ara menjawab sekena nya. Dia mau Yuno tahu kalau dia marah.
“acara apa, sayang?“
“HIMA.”
Yuno mengangguk, Yuno paham Ara marah. Terlihat dari raut wajah dan nada bicaranya. “sayang? Maaf yah aku baru bisa ngabarin kamu.“
Di tempatnya Ara mendengus, permintaan maaf lagi? Dan Yuno akan terus mengulanginya lagi, menghilang tanpa kabar apa-apa hingga membuatnya bertanya-tanya sesibuk apa Yuno disana. “Gapapa, Kak. Aku juga udah terbiasa tanpa kabar dari kamu. Gak perlu merasa bersalah.”
“Ra, aku bisa jelasin kenapa aku ngilang beberapa hari ini.“
“Gak usah, Kak. Gak penting juga, udah berlalu juga kan? Aku juga udah tahu kamu kemana dan sama siapa sampe HP kamu gak aktif berhari-hari,” cecar Ara.
Meski bingung dengan ucapan Ara, Yuno rasa dia perlu bertanya, apa benar Ara tahu apa yang terjadi selama beberapa hari ini padanya? Tapi dari mana gadis itu bisa tahu? Pikir Yuno.
“kamu udah tau?“
Ara mengangguk, “aku juga udah tau jepit rambut siapa yang ada di kamar tamu kamu. Aku udah tau semua.”
Ara menahan dirinya sebisa mungkin untuk tidak menangis, sejujurnya ia tidak ingin membahas hal ini sekarang. Tapi entah kenapa kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutnya.
“jepit rambut? Maksud kamu apa sih, Ra. Aku gak ngerti.“
“Gak ngerti?” Ara terkekeh hambar. “Aku kelihatan kaya orang bodoh banget yah, Kak? Atau aku emang bodoh banget percaya aja sama kamu.”
“Ra, apa sih. Kamu tuh ngomongin apa sebenernya? Jepit rambut apa?” Yuno gak tahu soal jepit rambut di kamar tamunya karena dia gak pernah sekalipun lihat jepit rambut itu. Setelah menemukan jepit rambut milik Ann, Ara juga membawa jepit rambut itu pulang ke Indonesia. Dia mau simpan itu sebagai barang bukti.
“Kamu selingkuh sama cewek lain kan?” ucap Ara pada akhirnya.
“apa kamu bilang? Selingkuh?” pekik Yuno kaget. “kamu kok bisa mikir aku kaya gitu, Ra?“
Yuno tahu banget Ara lagi marah sama dia karena sudah menghilang berhari-hari, walau enggak terima sama tuduhan gadis itu. Yuno berusaha buat kontrol emosinya sendiri, dia gak mau marah bikin semuanya jadi tambah kacau. Yuno selalu ingin menjadi air kalau gadisnya itu sedang menjadi api seperti ini.
“Kalo kamu udah gak sayang sama aku, Kak. Gak perlu jadi pengecut ngilang gak ada kabar berhari-hari kaya gini, kamu harusnya jujur ke aku biar aku gak jadi orang tolol yang setiap hari nungguin kabar kamu.”
“Ra, pengecut apa sih? Aku ngilang berhari-hari karena ada kejadian yang gak enak nimpa aku. Kamu tau gak apa?” Yuno tidak sengaja kelepasan membentak Ara, sungguh ini untuk pertama kalinya mereka berantem hebat seperti ini sampai-sampai Yuno lepas kendali.
“Ra, ak..aku minta maaf, aku gak bermaksud neriakin kamu kaya tadi.” Yuno sadar dia kelepasan.
“Kejadian gak enak apa kalo nyatanya kamu kelihatan nikmatin itu semua! Kamu nikmatin jalan sama cewek itu kan? Kamu pikir aku bodoh? Kamu jalan sama Ann kan?!” pekik Ara.
Jujur, Yuno kaget. Dia gak tau gimana Ara bisa tahu kalau dia memang jalan berdua bersama Ann, tapi apa dia bilang? Yuno menikmatinya? Ara bilang dia tahu semuanya, harusnya Ara juga tahu kalau beberapa hari ini Yuno di liputi perasaan bersalah pada Ann.
Karena setelah berpisah dengan Yuno di stasiun, keesokan paginya Yuno mendapat kabar dari Rosalie kalau Ann meninggal karena di tabrak mobil saat gadis itu hendak berjalan keluar dari stasiun.
“kamu tau dari mana?“
“Kamu gak perlu tau, Kak. Aku tau dari mana,” tangis yang Ara tahan akhirnya luruh juga, hatinya benar-benar sakit sekarang. Sedikit Ara kecewakan karena nampaknya Yuno tidak ada pembelaan sedikit pun atas semua ucapannya.
“Aku capek, Kak. Aku gak kuat kaya gini terus.”
“Ra dengerin aku dul—“
“Aku mau putus.”
“Lo liat Ara gak?”
“Tadi ke sana deh, tapi gatau lagi.”
“Yaudah, makasih yah.”
Sejak 15 menit yang lalu Julian nyariin Ara setelah dia gak lihat cewek itu lagi di lapangan atau di dalam villa, Sharen bilang juga Ara enggak sama dia sejak tadi.
“Jul!” panggil Jonas tiba-tiba, cowok itu sedang ada di gazebo bersama 2 orang lainnya. Jonas itu ngerokok, makannya dia sedikit menjauh dari anak-anak yang lain.
Karena Jonas memanggil, akhirnya Julian menghampiri cowok itu dulu. Siapa tahu Jonas ngelihat Ara, Julian udah coba hubungin ponsel gadis itu. Namun ponsel Ara sedang sibuk, gadis itu sepertinya memang sedang menelfon seseorang.
“Ngapain sih lu mondar mandir? Nyari siape?” tanya Jonas seraya menghisap satu batang rokok miliknya.
“Ara, lo liat dia gak?”
Jonas menawari Julian sebatang rokok miliknya, namun cowok itu menggeleng. Julian enggak merokok, Jonas tahu itu namun tetap saja menawari rokok saat sedang menghisapnya sudah menjadi kebiasaan tersendiri dari cowok itu.
“Kayanya tadi ke arah kolam renang deh, buru-buru juga kaya lagi nelfon, kenapa sih?” tanya Jonas.
“Gapapa.”
Julian menunduk, dia mau nyamperin Ara tapi niatnya ia urungkan karena Jonas bilang Ara seperti sedang menelfon seseorang. Mungkin 10 menit lagi jika Ara belum kunjung kelihatan juga, Julian akan menghampiri gadis itu untuk memastikan Ara baik-baik saja.
“Lo udah usaha lupain perasaan lo belum?” tanya Jonas, karena sejauh ini Julian seperti enggak berusaha buat melupakan perasaanya dengan Ara. Keduanya justru malah terlihat semakin dekat.
“Susah, Jon. Akhir-akhir ini dia lagi kelihatan banyak masalah banget.”
“Masalah?”
Julian mengangguk. “Lagian gue sama sekali gak ada niat buat ngerebut dia dari siapapun.”
“Kalo begini gue ngeri ujung-ujungnya lo yang sakit hati, nyet.“
benarkah? tapi bagaimana cara melupakan perasaanya pada Ara? Dia gak ingin membohongi dirinya sendiri. Dia lah yang paling tahu perasaanya, dan ia menikmati perasaan menyukai gadis itu meskipun tidak berbalas. Julian sudah paham konsekuensinya, toh dia bisa mengendalikan rasa sakitnya sendiri.
“Kalo emang akhirnya gue sama Ara cuma di takdirin buat temenan. Yaudah gak masalah.”
“Yakin?”
Julian mengangguk mantap.
“kalo seandainya malam ini dia putus sama cowoknya gimana?” tanya Jonas yang berhasil membuat kedua mata Julian membulat.
“Maksud lo?” pekik Julian.
“Gue tadinya mau nyebat di kolam renang, tapi pas gue ke sana. Ada Ara lagi video call sama cowoknya, sambil nangis dan bilang cowoknya selingkuh. Pas gue mau pergi, gak sengaja tuh gue denger dia bilang mau putus.”
Sungguh, Julian kaget bukan main. Tanpa mendengarkan ucapan Jonas lagi, cowok itu berlari ke arah kolam renang. Dia punya firasat kalo Ara pasti sedang tidak baik-baik saja. Dan benar saja, begitu ia sampai di kolam renang. Ara sedang menangis di pinggirannya dengan sangat menyesakkan.
Gadis itu bahkan berjongkok sembari memeluk dirinya sendiri. Melihat pemandangan di depannya itu, Julian mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Dia marah bukan main jika penyebab Ara menangis seperti itu karena laki-laki bernama Aryuno.
Julian akhirnya mendekati Ara, ikut berjongkok di sebelahnya dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya sekali lagi. Merasa ada yang memeluknya dan mengenali aroma tubuhnya, Ara tahu kalau itu adalah Julian. Tangis gadis itu menjadi semakin menyesakkan disana.
“Gue.. Gue putus sama Kak Yuno, Jul.” ucapnya di sela-sela isak tangisnya sendiri.
from Meaning Of Love ☑️
Karena ucapan Chaka barusan, Gita jadi berpikir bagaimana hubungan Ara sama Yuno sebenarnya. Gita sama sekali gak ada niat ikut campur sama hubungan keduanya kok, dia cuma tiba-tiba kepikiran aja gimana kalo seandainya Yuno tahu Julian meluk Ara?
Gita tahu banget Yuno bukan tipekal cowok macam-macam dan genit, dia kenal sekali Kakak sepupunya itu. Maka dari itu Gita enggak ingin Yuno sakit hati. Entah lah, ini perasaanya saja atau memang ada sesuatu di antara Julian dan Ara. Keduanya memang dekat, tapi Gita pikir Ara hanya menganggap Julian temannya dan tidak lebih. Lalu, untuk apa Julian memeluk Ara?
“Hon?” panggil Kevin, keduanya dari tadi di depan TV lantai 1. Kevin dari tadi bicara soal film yang sedang mereka tonton puluhan kali itu namun tampaknya Gita sedang memikirkan hal lain sampai tidak menyimak ucapannya.
“Hon?” panggil Kevin sekali lagi, dan panggilan itu berhasil membuyarkan lamunannya.
“Ngagetin gue aja lo.”
“Lo mikirin apaan? Dari tadi gue ngomong juga malah ngalamun sendiri.”
“Gapapa, pikiran gue aja yang lagi ngelantur kayanya.” Gita pikir dia gak perlu cerita ke siapa-siapa dulu soal pikirannya ini, Gita mau nyari tahu dari Yuno dulu tentang hubungan keduanya.
“Dih, rahasia-rahasiaan sama gue nih?” Kevin menaikan sebelah alisnya, merasa Gita sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Tapi sekali lagi Gita mikir, dia butuh sudut pandang lain juga soal kenapa Julian bisa meluk Ara? Ini baru dugaan Gita aja, tapi kayanya Julian memang menyukai Ara. Terlihat dari bagaimana cowok itu pertama kali datang ke kosan Abah. Cara menatap Julian ke Ara dengan ke Echa dan juga dirinya sendiri itu berbeda, atau ini hanya perasaanya saja?
“Kalo menurut lo nih yah, Kev. Ijul ngapain meluk-meluk Ara?” tanya Gita pada akhirnya, toh ini Kevin. Dia gak akan ngember kaya Januar kok, Gita percaya itu.
“Lo curiga sama Ara?”
“Ck,” Gita berdecak. “Jawab dulu aja.”
“Hhmm,” Kevin bergumam, seraya mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya itu. Dia gak lihat langsung, lagi pula peluk itu kan bisa menyiratkan banyak makna bukan?
“Kalo tadi Chaka bilang Ara nangis terus Julian meluk, bisa jadi sih ada sesuatu yang gak baik. Bisa jadi Julian cuma nenangin Ara aja? who knows,” Kevin menggedikan bahunya.
“Bisa jadi sih, tapi lo suka mikir gak sih kalau Ijul tuh ngasih perlakuan ke Ara beda?”
“Maksudnya?”
“Ya beda aja, kaya perhatian banget gitu.”
“Naksir maksud lo?”
Gita menaikan kedua bahunya, ya dia mikirnya gitu. Tapi Gita kan mau lihat pendapat Kevin juga.
“Yah kalo naksir itu hak dia gak sih? Lagian Ara juga kelihatan biasa aja ke Ijul.” jawab Kevin sekena nya, dia sendiri saja sudah pusing sama hubungannya. Boro-boro harus memperhatikan hubungan orang lain.
“Gue ngerasa hubungan Ara sama Kak Yuno kok kaya ada yang enggak beres yah?”
“Lo tuh kebanyakan overthinking, Hon.”
“Gue serius, Kev.”
Kevin menatap Gita, kali ini wajah gadis itu sedang mendadak serius. “Yaudah, coba lo tanya langsung aja ke Bang Yuno. Yah basa basi nanyain kabarnya kek, minggu ini juga lo belum telfon dia kan?”
Gita mengangguk, Kevin ada benarnya juga. Biasanya kalau Gita sibuk dan lupa mengabari Yuno, Yuno lah yang suka menelponnya duluan. Atau terkadang kalau sedang face time dengan Ara, Yuno suka minta di panggilkan Gita. Tapi akhir-akhir ini sepertinya Ara jarang melakukan face time dengan Yuno.
Gita akhirnya mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Yuno ke ponsel cowok itu. Namun ponselnya tidak aktif, beberapa kali dia mencoba melakukannya namun masih sama. Bahkan Gita juga mengirimi cowok itu pesan singkat untuk menelepon balik ketika sudah tidak sibuk.
“Kak Yuno HP nya gak aktif,” gumam Gita, dan itu menambah keresahan dirinya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu di atas motor Julian dengan terpaan angin yang menerpa wajahnya, Ara berusaha melupakan kesedihannya akan Yuno. Untuk kelanjutan hubungannya, Ara masih bimbang mau dia bawa kemana. Toh sampai saat ini Yuno masih belum menghubunginya lagi.
Sejak sore Ara dan Julian keliling Bandung, kemudian makan jagung bakar di dekat Ranca Upas. Lalu melanjutkan perjalanan lagi mengitari Bandung mencari makanan berat untuk mereka makan malam.
Julian sudah mengajak Ara untuk pulang, namun gadis itu masih enggan untuk pulang rasanya. Kalau masuk ke dalam kamar, dan sendiri dia takut teringat akan Yuno lagi.
“Ra?” Julian melirik Ara dari kaca spion nya yang tampak sedang melamun itu.
“Ra?” panggilnya sekali lagi, kali ini Julian sedikit menoleh. Dan mata keduanya bertemu.
“Mau kemana lagi kita, Buk?” tanya Julian.
“Gak tau, Pak. Kemana aja yang penting enggak pulang,” jawab Ara mengawang. Hidungnya sudah memerah karena dingin, tapi rasanya masih enggan untuk pulang. kepalanya akan berisik jika di tempat sepi.
“Kenapa sih gak mau pulang?”
“Gapapa, lagi bosen aja.”
“Masih sedih?”
Julian lagi-lagi melirik dari kaca spion, dan Ara hanya terdiam menunduk. Dan ia anggap itu sebagai jawaban. “Mau ke tempat gue biasa latihan gak?”
“Kemana?”
“Ikut aja yah.”
Karena sudah enggak tahu mau ngajak Ara kemana lagi, akhirnya Julian mengajak gadis itu ke Black Box. Yup, tempat tanding tinju ilegal. Dari Black Box akhirnya Julian bisa memperbaiki motornya tanpa harus meminta uang ke Ibu.
Dia juga bisa punya tabungan sendiri, bahkan Julian bilang ke Ibu kalau Ibu gak perlu mengiriminya uang lagi. Ya tapi walau begitu, Ibu tetap mengirimi Julian uang saku untuknya sehari-hari.
Motor yang Julian kendarai itu berhenti di sebuah minimarket, cowok itu membantu Ara melepaskan helm miliknya dan mengajaknya masuk ke dalam gang sempit, becek dan berpenerangan minim itu.
“Kita mau kemana sih, Jul?” tanya Ara, dia megangin kaus lengan panjang yang Julian pakai agar tidak terpeleset, jalananya agak licin.
“Ikut aja.”
“Lo gak ngajak gue ke tempat aneh-aneh kan?” walau dia tahu Julian gak mungkin aneh-aneh, tapi tetap aja Julian itu cowok. Wajar kan Ara mikir yang negatif kalau di ajak ke tempat sepi dan berada di gang sempit seperti ini? Ini instingnya sebagai perempuan.
“Emang muka gue tuh muka cowok mesum apa? Gue emang pernah ngambil celana tidur lo, tapi gue gak mesum yah.” ucap Julian tidak terima, dan Ara hanya terkekeh saja. Julian lucu kalau lagi marah.
Dan sampailah keduanya di Black Box, malam itu gedung tua itu agak sedikit sepi. Hanya ada beberapa petarung saja di sana yang sedang berlatih, bahkan Kang Ian saja sudah pulang dari sana.
Setelah menyuruh Ara menunggunya di bawah ring, Julian berganti baju sebentar kemudian kembali lagi. Dia akan melakukan latihan sebentar, seminggu lagi ia akan ada pertandingan dan bayaran nya bisa di bilang lumayan. Karena kali ini Julian minta 80% dari bayarannya jika biasanya ia hanya dapat setengahnya.
“Jul, lo tinju?” pekik Ara begitu melihat Julian di atas ring. Cowok itu hanya mengangguk saja.
Ara yang di buat kaget itu justru gak bisa berkata-kata lagi, gak nyangka muka Julian yang kalem kaya gitu ternyata bisa tinju juga. Dan saat cowok itu latihan, Ara semakin terperangah karena dimatanya Julian sangat keren.
Beberapa kali juga Julian di bantu oleh petinju lainnya untuk berlatih, dan mendapatkan pujian atas pukulannya. Setelah latihannya sudah selesai, cowok jangkung itu turun san menghampiri Ara yang masih terperangah di bawah ring.
“Jul?”
“Hm?” Julian yang lagi minum sembari menyeka keringatnya dengan handuk kecil itu melirik ke arah Ara.
“Ini tuh ilegal yah?”
Mendengar itu Julian menelan saliva nya mati-matian. Namun pada akhirnya cowok itu mengangguk, yah mau di sembunyikan pun rasanya Ara enggak sebodoh itu buat menafsirkan kalau gedung tua ini adalah area tinju ilegal.
“Gue enggak akan lama disini kok, sampai gue dapat part time aja.”
“Jadi ini alasan lo kadang suka memar-memar yah?” tebak Ara.
“Gue belum pernah kena tonjok di muka.”
Ara menunjuk tangan Julian, yup. Tangan cowok itu kerap kali memerah bahkan membiru yang dulu Ara pikir tanpa sebab, dan sekarang gadis itu tahu apa sebabnya.
“Iya, tapi gapapa lah.”
“Lo kan bisa nyari kerjaan lain, Jul.”
“Kepepet, Ra. Kemarin gue lagi butuh duit buat benerin motor.”
“Awas yah kalo gue liat setelah dapet part time lo masih tinju lagi.” ancam Ara, Julian temannya. Dia enggak ingin Julian kenapa-kenapa apalagi sampai kena cidera.
Julian yang mendengar itu hanya terkekeh pelan, “enggak akan.”
“Gak boleh sombong!”
Julian hanya menggeleng, dari samping dia memperhatikan wajah Ara yang sudah sedikit lebih cerah. Yah walau agak sedikit cemberut karena sepertinya Ara enggak setuju Julian ikut tinju ilegal.
“Masih sedih gak? Kita mau pulang?” tanya Julian.
“Udah enggak terlalu sih.”
“Pulang yah? Gue ganti baju dulu habis ini.”
“Jul?”
“Hm?”
Ara mengulum bibirnya sendiri, kepalanya menunduk dengan tatapan mengarah pada sandal pink bergambar Patrick di ujungnya.
“Gue harus gimana sama hubungan gue yah, Jul?” kini Ara menatapnya lagi dengan pandangan nanar.
Julian yang di tanya begitu hanya bisa membuang nafasnya kasar, dia sadar bukan penasihat yang baik di dalam hubungan seseorang. Julian pun belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
“Lo masih sayang sama dia, Ra?”
Ara mengangguk, Ara masih sayang sekali dengan Yuno. Meski sudah di kecewakan dia sendiri bingung kenapa rasa sayangnya sama sekali enggak berkurang. “tapi rasanya kenapa lebih banyak gue yang sakit dan nunggu.”
“Sekarang gue tanya balik, apa lo masih kuat? Pertahanin kalo lo masih kuat, tapi sebaliknya, Ra. Kalo cuma ngerasa lebih banyak sakit lepasin. Jangan ngorbanin diri lo sendiri.”
Mendengar pertanyaan itu, Ara malah terdiam. Matanya menatap netra legam milik Julian yang kini juga tengah menatapnya dengan teduh, Ara berusaha mencari jawaban di kepalanya. Namun sekali lagi dia bertanya kepada dirinya sendiri, apa ia masih kuat jika Yuno masih terus seperti ini?
It comes down to lost revenue – from the sale of the multitude of regional commemoratives (free for a limited time in some location) and Location stamps (always free in that location).
Both regional commemoratives and location stamps are available to people all over the globe – via the Time Machine and World Explorer 'sales counters'. Each try at the random sale mechanism costs the user 25 Coins, which at my local currency works out exactly to 50 cents CAD or half a Canadian Dollar.
Slowly has released an immense number of regional commemoratives – many being really obscure, with some portrait of a local person. In some cases even local users seem surprise at some of their choices.
The portrait stamps are generally not their best designs – not so attractive, but still desirable as the app has built a core of active stamp collectors, and many are complectionists; they want to have ALL the stamps, no matter how ugly or obscure it be.
The one which could be had if the user bought these myriad commemoratives via Time Machine. Or even the location stamps, via the less popular World Explorer feature.
I am personally a big fan of Location stamps, and filed many ideas for new and interesting ones for countries which did not have ANY yet – some of them came to light and we were happy to see more African nations specially having some local stamps.
... compared to World Explorer?
My theory here is that Time Machine has a LOT more sales than W.E. – there is simply a lot more interesting stamps, nice designs there. The World Explorer suffers from the abundance of old, ugly location designs – the original, 'minimalist' design with a few lines and even fewer colours. Example: Brandenburg Gate in Germany, which is a great landmark and has an UGLY stamp.
Slowly could replace any designs easily, they simply replace the image file on their server and voilá, done – new design is what people will see. They done this a few times with quick revisions on small errors in new stamps as we have observed. But they won't revise the old ugly location stamps – the cost of that work in time and money does not benefit them much, they would rather design and issue some more new stamps.
The sheer abundance of regional commemoratives would not make sense, if Slowly did not have a sales mechanism for these stamps. The Time Machine does capitalize on the almost 600 stamps it currently offers, and the number is still growing.
Although a bit slower now, as we have seen a major push for Premium Singles – stamps that have a higher sale value, 50 Coins being a full Dollar in my country.
A single stamp going for one Dollar, while a full 6 stamps set is 100 Coins, or 2 Dollars in my market. Stamp sets are clearly a BETTER deal for the users. But we don't get many new sets, either global or regional.
We had Castles of Europe at first, and that was interesting, well accepted and quite collectable. At a full dollar per stamp, it could generate some funds. There are 52 Castle stamps in total.
After the Castles, an even better idea came out – something that was available in many more countries. Easier to find a local one and offer a stamp even in smaller countries. The Beautiful Lighthouses series was born. And it currently has 63 stamps, they just added 9 more for October 2024.
On the same idea, another series called Sound of the World started, and equally can offer ideas for stamps in many countries, as long as they have some original musical instrument developed locally. Ca-xing, voilá, and in a short time it grew to 54 stamps as of October 1, 2024.
They don't mind people who virtually 'travel' and use purchased coins to purchase regional premium stamps or stamp sets in remote places. This is money the company would not see otherwise.
Kevin's annoyance is with people collecting all of the location stamps, and any available regional commemoratives at the remote places. Either a location or comm stamp is worth Half a Dollar (Canadian) each via TM or WE sale features.
So, it's a dilemma – they win some cash on travelling collectors who just must have these foreign stamps. But they lose some on the forgone sales.
We have seen some countermeasures – it has been getting harder to do mock locations, some Slowly versions are hardened to block that. And, some users received stern warnings or even 3 day suspensions from the app once they triggered the mobile client's 'abuse detection'.
....at the whim of the company, and you lose all the stamps, all the coins, and more importantly – all of the letters and pen pals you originally started up on Slowly for.
The Slowly Terms of Service is an extensive legal document, created by lawyers simply to protect the company and acting in their interests. A careful reading is recommended, and you could notice there is mention they could terminate ANY user's account for ANY or NO reason, at their sole discretion. (paraphrasing here, but this is the harsh truth).
A more detailed Reddit discussion on past incidents with user suspension is HERE.
Special Thank You to the folks behind this wonderful app — all the hard working people at Slowly Communications.
Letters we share, with pen pals all over the World, via the magic of the Slowly App. A modern day take in the traditional penpal experience.
Come and join us, if you are not yet using Slowly.
This page created entirely in MarkDown language. Thank you for reading, feel free to comment, via a direct message to my Twitter account – or the Reddit one.
You can also post a public comment in the Reddit thread for it here.
from Meaning Of Love ☑️
Sudah beberapa hari ini Ara nampak lebih diam dari biasanya, ah. Enggak, lebih tepatnya dia seperti sedang memusuhi Arial dan Gita. Ara masih dongkol karena Arial yang ia rasa banyak berubah semenjak mengenal Gita. Meski sudah berulang kali di ajak bicara, Ara masih enggan. Gadis itu lebih memilih bungkam dari pada harus bicara sama Kakak nya itu.
Seperti saat ini, waktu sedang mengerjakan tugasnya bersama Julian di meja makan lantai 1. Arial datang membawa nasi padang dengan lauk ayam bakar kesukaan Ara, Arial biasanya tahu itu cara ampuh untuk merayu Adiknya.
Namun kali ini rayuannya seperti tidak berjalan sebagaimana mestinya, Ara kembali mengacuhkannya dan malah mengajak Julian untuk belajar di balkon kamar cowok itu. Masa bodo dengan Arial yang menegurnya karena masuk kamar laki-laki, toh ini Julian temannya sendiri.
“Ra, itu lo di panggil Mas Ril.” Julian nyamperin Ara yang udah masuk ke balkon kamarnya duluan.
“Cuekin aja. Gue males sama dia, udah kita nugas disini aja. Gausah mikirin Mas Iyal gak penting dia.”
“Dosa loh, lo marah-marah mulu. Dia kan udah minta maaf.” Julian menasihati, Julian gak nyangka kalau gadis yang ia sukai itu akan sekeras kepala ini.
“Dia juga dosa gak nepatin janjinya, udah sini duduk ah. Mau nugas gak?” Ara yang mood nya lagi enggak bagus itu dalam beberapa hari ini ngasih tatapan mata yang tajam ke Julian, agak heran kadang Julian sama cewek-cewek di kosan. Mereka kelihatan imut-imut tapi kalau udah marah seramnya melebihi dedemit kosan.
Julian akhirnya pasrah duduk di depan gadis itu, dia mencoba fokus buat ngerjain bagian tugasnya lagi meski sesekali dia curi-curi pandang ke Ara. Yah buat mastiin aja kalau dia bukan target kengambekan gadis itu selanjutnya.
Keduanya mengerjakan tugas dalam diam, Julian yang konsentrasinya udah mulai kumpul lagi itu khidmat banget ngerjainnya, sementara Ara. Konsentrasi gadis itu masih terpecah belah, karna beberapa hari ini Yuno kembali menghilang.
Akhirnya Ara harus kembali memakai caranya sendiri untuk mendapatkan kabar dari cowok itu, seperti saat ini. Dia kembali memeriksa satu persatu akun sosial media milik teman-teman Yuno di kampus, tapi enggak ada tanda-tanda satupun Yuno sedang bersama mereka.
Gadis itu mendesah, mengigit bibir terdalamnya sendiri sampai akhirnya satu nama muncul di kepalanya. Ann, yup. Gadis itu, entah kenapa Ara kepikiran buat meriksa akun sosial media milik Ann. Awalnya tidak ada yang aneh dari sosial media milik Ann, sampai akhirnya Ara berinisiatif untuk memeriksa ikon sorotan di sana, yang gadis itu beri nama 'special day.'
Dari foto-foto di sorotan itu, awalnya enggak ada yang mencurigakan sampai akhirnya ia melihat ada satu foto yang membuat Ara terkejut. Postingan 3 hari yang lalu, saat Ara jatuh sakit karena asma nya yang kambuh. Hari itu adalah ulang tahun Ann, dan di foto itu ada Yuno yang sedang menikmati birthday cake dengan senyuman yang merekah di wajahnya.
Mereka merayakan hari itu berdua, bahkan Ann juga memotret Yuno beberapa kali. Sungguh, rasanya siang itu Ara seperti tersambar petir disiang bolong. Kecurigaannya pada Ann itu akhirnya terjawab, gadis itu benar-benar bersama pacarnya.
Apa ini alasan Yuno menghilang beberapa hari ini? Pikir Ara.
“Gue udah ngerjain yang bagian ini, tinggal di sambungin aja sama bagian lo—” ucapan Julian mengatung, dia mengerutkan keningnya bingung waktu lihat tiba-tiba Ara udah menangis sembari menekan tombol di MacBook nya dengan kasar.
“Ra?” panggil Julian.
“Brengsek!!” gumam Ara, dia menghapus air matanya dengan kesal.
Hal itu juga yang membuat Julian jadi bergeser untuk melihat apa yang tengah Ara lihat di MacBook nya. Awalnya Julian gak paham kedua pasangan itu siapa, sampai akhirnya Julian ingat kalau cowok yang ada di dalam foto itu adalah Aryuno. Pacarnya Ara, yup.
“Ra?” panggil Julian sekali lagi.
“Dia tuh ngilang udah 3 hari, Jul. Gak taunya sama cewek ini. Sialan banget kan!!”
Julian hanya diam, dia membiarkan Ara terus memeriksa satu persatu slide di foto itu sampai akhirnya Ara memukul MacBook nya sendiri karena kesal.
“Ra.. Ra.. Udah Ra..” Julian menghentikan aksi itu, ya apalagi karena takut Ara kelepasan dan takut MacBook gadis itu rusak juga.
“Udah cukup nyari taunya,” ucap Julian lagi.
“Gue kurang apa sih, Jul? Gue salah apa? Kenapa Kak Yuno bisa lakuin ini ke gue?” tangis Ara kembali pecah, tangan gadis itu bergetar. Sungguh rasanya Julian ingin sekali menghajar laki-laki bernama Aryuno itu.
“Lo nangis-nangis kaya gini juga gak merubah keadaan, Ra. Lo juga gak tau kan mereka kenapa bisa berdua kalau lo sendiri belum nanya ke dia langsung, semua asumsi di kepala lo itu belum tentu benar.” Julian berusaha mengingatkan Ara, dia gak mau Ara menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dan membuat skenario yang padahal belum tentu benar di kepalanya.
“Itu kurang jelas apa, Jul? Dia ngerayain ulang tahun cewek itu berdua! Berdua Jul. Di hari gue sakit, dia matiin HP nya supaya gue enggak ganggu. Dan sampe sekarang dia gak ngabarin gue apa-apa, Jul.”
Ara luruh, tangisnya semakin pecah apalagi saat Julian menarik gadis itu kedalam pelukannya. Ara semakin menangis menjadi-jadi disana, dan Julian yang sudah tidak menanggapi ucapan gadis itu lagi. Julian hanya memeluk Ara sembari mengusap-usap punggung gadis itu agar lebih tenang.
“IJUL LO PARAH BANGET—” pekik Chaka waktu gak sengaja memergoki Julian sama Ara pelukan, kebetulan balkon kamar Julian dan Chaka memang bersebelahan.
Tapi begitu melihat Ara yang masih menangis dan Julian yang memberi kode pada Chaka untuk menyingkir dari sana, Chaka akhirnya mengerti. Cowok itu menyingkir dari balkon.
Begitu di rasa sudah lebih baik, Julian melepaskan pelukkanya ke Ara. Dia menghapus jejak-jejak air mata di pipi gadis itu seperti anak kecil.
“Mau lanjutin tugasnya atau lo mau sendiri dulu?” tanya Julian.
“Jul?”
“Hm?”
“Boleh gak kalo kita lanjutin tugasnya besok aja?”
Julian mengangguk, dia gak masalah dengan itu. “Gapapa, lo mau gue anterin ke kamar?”
“Gue gak mau sendirian, Jul. Temenin gue yah. Gue gak mau kepikiran dia lagi.”
“Mau jalan sama gue? Kita beli apa gitu buat makan malam?”
Ara akhirnya mengangguk, dia pikir keluar sebentar mungkin bisa sedikit menenangkan hatinya. “Pinjam jaket lo yah? Gue lagi males ke atas.”
“Gue cari yah yang pas buat lo, sini ke dalam jangan disitu. Nanti demit dari kamar Chaka yang nemenin lo lagi,” Julian terkekeh, berusaha mengeluarkan guyonan yang agak garing itu demi menghibur Ara.
Sembari Julian mencari jaket yang pas untuk Ara, Ara berkeliling kamar Julian. Kamar cowok itu enggak banyak barang tambahan, Julian hanya menambah rak buku kecil yang dia taruh dekat lemari bajunya. Lemari berisi novel-novel, buku sejarah dan juga buku pelajaran.
Sampai akhirnya mata Ara tertuju ke foto-foto yang Julian taruh di dekat ranjang tidurnya, ada foto Julian, seorang wanita yang Ara pikir itu Ibu nya dan Adiknya?
“Ini Ibu sama Adek lo yah, Jul?” tebak Ara.
Julian menoleh sebentar, ia tersenyum. Sebelum akhirnya kembali mencari jaket miliknya yang bisa Ara kenakan. “Iya, itu Ibu gue sama Andra. Adek gue.”
Ara mengangguk-angguk, Julian dan Adiknya tampak sedikit berbeda. Andra ini lebih mirip Ibunya, sedangkan Julian mungkin mirip Ayahnya? Pikir Ara.
Pandangan gadis itu kemudian beralih ke foto laki-laki yang mengenakan seragam pilot, wajahnya seperti menyiratkan ketampanan di masa lalu. Wajah yang dominan Julian itu mungkin menggambarkan jika Julian sudah mulai berusia 35 tahunan nanti, yup. Ara pikir laki-laki itu berusia sekitar 35 tahunan.
“Kalo ini Ayah lo, Jul?” tanya Ara, dan Julian mengangguk.
“Iya, itu almarhum Bapak. Bapak itu pilot, Ra.”
“Pilot?”
Julian mengangguk. “Dulu gue kepengen banget jadi pilot kaya Bapak.”
“Terus kenapa gak jadi pilot? Kalo di lihat-lihat juga lo cocok lagi, Jul.”
Mendengar ucapan Ara itu, Julian meringis. Ia meremat jaket yang sudah ia cari untuk di berikan ke Ara itu.
“Sama Ibu gue enggak boleh, lagi pula. Gak ada pilot yang takut naik pesawat kan?”
“Lo takut naik pesawat? Kenapa?” Ara berjalan mendekat ke arah Julian dan duduk di sebelah cowok itu.
“Karena Bapak meninggal akibat kecelakaan pesawat, Ra. Laut meluk Bapak gue dan gak ngembaliin raganya lagi buat dikembalikan ke bumi.” jelas Julian yang membuat Ara mematung di tempatnya.
Malam itu Echa, Gita, Kevin, Chaka, Januar dan Arial makan malam di kosan bersama. Sebenarnya Arial enggak sengaja datang ke kosan Abah pas penghuninya lagi makan malam bersama, dia niatnya mau ngerayu Ara lagi tapi kali ini pakai tiramisu cake. Tapi Adiknya itu malah enggak ada di rumah.
“Ara sama Ijul kemane sih? Dari tadi enggak balik-balik buset,” celetuk Janu di sela-sela makannya.
Chaka yang tahu keduanya pergi bersama entah kemana itu hanya menggerakkan kedua bahunya, “gue cuma liat mereka pergi berdua. Tadi juga kayanya Ara sempet nangis deh, terus di peluk sama Ijul.”
Ucapan Chaka itu sontak membuat Gita, Arial, Echa, Kevin dan Januar itu menoleh ke arahnya. Seketika Chaka yang di tatap secara bersamaan oleh teman-temannya itu menghentikan makannya.
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Ara? Nangis? Kok bisa Ijul meluk?” pekik Gita. Dia mikirnya kedua temannya itu memang dekat, tapi Gita gak sampe kepikiran Julian meluk-meluk Ara. Kenapa harus meluk? Kenapa Ara juga mau aja di peluk Julian? Pikir Gita.
“Duh, gue kagak tau. Orang pas gue kagetin si Ijul ngusir gue. Ara juga nangisnya kaya nyesek banget.”
“Lo serius, Ka?” tanya Arial.
“Ngapain sih gue bohong bang? Orang mereka pelukan di balkon.”
“Ijul kok bisa-bisanya meluk Ara sih?” gumam Echa.
“Ya mereka kan temenan.” jawab Janu, cowok itu jadi menoleh ke arah Echa pacarnya.
“Yah tapi Ijul kan tau Ara udah punya Kak Yuno, Nu.”
“Ya itu dia lagi nangis, kita juga kagak tau kenapa Ara bisa nangis. Kok elu jadi kaya nyudutin Ijul gitu sih?”
Kevin yang tahu arah pembicaraan Januar dan Echa yang udah kemana-mana itu akhirnya merelai. “Eh apaan sih udah-udah, kita gak ada yang tau disini Ara kenapa. Yang berhak nanya juga cuma Bang Ril disini, mendingan jangan pada bikin asumsi dah.”
“Yeee, gimana mau nanya ke Bang Ril. Ara aja masih ngambek sama Bang Ril.” celetuk Chaka lagi.
“Ngambek kenapa Ril?” tanya Gita. Dia enggak tahu kalau Kakak Beradik itu hubunganya sedang tidak baik-baik aja, sedari pulang rumah sakit. Gita belum ketemu Ara lagi. Dia juga baru malam ini makan di meja makan setelah kemarin-marin cuma bisa berbaring istirahat di kamarnya.
“Gapapa, udah gak usah di pikirin. Udah pada makan deh,” ucap Arial mengalihkan pembicaraan, dia pikir Gita enggak perlu tahu soal ini.
from Meaning Of Love ☑️
Dengan langkah terburu-buru Yuno lari menuju pintu keluar stasiun melewati padatnya orang yang berlalu lalang sepulang bekerja sore itu. hari ini setelah jam kuliahnya sudah berakhir, Yuno ada janji untuk bertemu dengan Ann, Ann bilang dia ada di Heidelberg karena urusan kuliahnya. Dan Ann bilang dia ingin bertemu Yuno sebentar karena harus ada yang gadis itu bicarakan dengannya.
Yuno berlari karena dia sudah telat 1 jam, ini semua karena dosen yang memintanya menjadi asistennya itu memberikan pekerjaan baru, Yuno sudah mengabari Ann jika ia akan datang terlambat. Tapi Yuno gak akan menyangka jika ia akan seterlambat ini.
Hari itu Heidelberg sudah turun salju, salju pertama di tahun ini. Dan udara semakin dingin hingga membuat kuping dan hidung Yuno memerah, matanya juga sedikit pedih karena terlalu kering. Yuno baru bisa bernafas sedikit lega ketika ia melihat Ann masih menunggunya setia di caffe dekat stasiun.
Gadis itu duduk di dekat jendela, menyesap coklat panas sembari membaca buku, entah buku apa yang tengah gadis itu baca, namun tampaknya buku itu mampu membuatnya bertahan menunggu Yuno. Tanpa memperdulikan nafasnya yang masih terengah-engah, Yuno langsung masuk ke dalam cafe itu dan menghampiri Ann.
“sorry gue telat banget, Ann. Pasti lo udah lama banget yah nunggunya?” tanya Yuno, dia menaruh tas miliknya dan duduk di depan Ann. Sungguh rasanya tidak enak sekali membuat sahabatnya itu menunggu lama.
Gadis berambut blonde itu menggeleng, menyunggingkan senyumnya dan merasa lega begitu melihat Yuno akhirnya datang juga.
“Lumayan lah, tapi enggak papa sih. Gue juga masih balik besok, dan enggak BT juga karena sambil nugas dan baca buku.” Ann sama sekali enggak masalah menunggu Yuno selama itu, asal laki-laki itu tetap datang.
“Serius? Gue jadi enggak enak, gue traktir aja yah?”
“Serius?” Ann terkekeh, Yuno seperti terdengar sedang menyogoknya. Padahal Ann enggak keberatan apalagi marah karena sudah menunggunya lama.
“Iya serius, mau makan apa? Udah makan belum?” tanya Yuno tanpa melihat ke arah Ann, dia sibuk mengeluarkan ponsel dari sakunya dan sibuk mencari stop kontak yang biasanya ada di pojok, Namun sayangnya tidak ada stop kontak disana. “sia,” batin Yuno
“Gue belum makan, baru minum coklat panas. Lo mau pesan apa, No?”
Yang di tanya masih sibuk mencari stop kontak, Yuno sedikit mendesah ketika benda yang di carinya itu tidak ada. Dia ingin mengisi daya ponselnya, benda itu mati dan ia tidak bisa mengabari Ara jika ia tidak langsung pulang.
Melainkan bertemu dengan Ann dulu sebentar, Yuno udah berjanji akan selalu memberi kabar dengan gadisnya itu setiap memiliki waktu senggang, sesebentar apapun itu. Ia sudah berjanji ingin memperbaiki hubungan komunikasinya yang kemarin sempat renggang dengan kekasihnya itu.
“Lo cari apa sih, No?” karena tidak kunjung menjawab, akhirnya Ann bertanya pada Yuno apa yang sedang ia cari.
“Stop kontak, Ann. Gue mau ngcharge HP gue. Mati ini, gue mau ngabarin Ara kalau gue udah balik dari kampus dan lagi sama lo.”
Mendengar nama itu, senyum yang sedari tadi mengembang di wajah Ann jadi pudar. Yuno sejujur itu dengan pacarnya sampai-sampai bertemu dengannya saja Yuno harus memberi tahunnya, apa gadis itu sangat posesif Pikir Ann.
“Ya kan bisa nanti, No. Atau lo mau pakai power bank gue? Gue bawa kok.”
“Lo ada?” pekik Yuno, dia seperti tengah menemukan harta karun saking girangnya.
Ann mengangguk, dia mengambil power bank miliknya itu dan memberinya ke Yuno. Begitu daya ponselnya sudah terisi, barulah Yuno bisa fokus pada obrolan mereka. Mereka sempat bertukar kabar dan saling bercerita kehidupan mereka selama perkulihan, Ann juga cerita kalau dua hari yang lalu dia sempat hang out dengan Josep dan pacarnya.
Kehidupan perkuliahan Ann sangat lancar, dia memiliki teman yang baik di kampusnya. Ah, lagi pula gadis itu sangat supel. Ann pandai beradaptasi di lingkungan baru dan mudah mempunyai banyak teman. Lagi pula, Ann sudah sering bulak balik Indonesia dan Jerman, gadis itu sudah tidak lagi merasakan home sick karena ia lebih sering berada di Jerman ketimbang di Indonesia.
Enggak seperti Yuno yang kadang masih penuh dengan struggle nya ketika ia mulai merindukan Indonesia dan rumahnya, yah meski Yuno akui jika ia benci kalau di rumah waktu istirahat atau sekedar bermusiknya sangat terbatas. Apalagi jika Papa sedang berada di rumah.
“Lo sih gak bisa ikut, padahal asik banget lagi kemarin tuh.”
“Sumpah, Ann. Gue sibuk banget, semenjak jadi asisten dosen. Bahkan buat makan aja gue suka lupa, kalo Ara gak ingetin kayanya gue bakalan sering gak makan deh.”
“Beruntung yah Ara perhatian banget, masih mau ingetin lo buat makan. Pasti effort banget kan komunikasi kalau rentang waktu nya aja 5 jam sendiri, tapi hubungan kalian baik-baik aja kan, No?” tanya Ann basa basi.
Yuno mengangguk. “Baik kok, Ann. Dia juga udah aktif kuliah, makanya kemarin kita sempat berantem soal komunikasi ini. sorry yah kalau awal datang tadi gue sempet nyuekin lo perkara stop kontak, gue emang lagi memperbaiki komunikasi gue sama Ara yang kemarin sempat renggang.” Yuno ngejelasin ini supaya Ann gak salah paham.
Ann terkekeh, mengulum bibirnya sendiri. Dia menoleh ke arah jendela cafe yang malam itu semakin terasa romantis karena salju turun, pertokoan di sekitar sana dan jalanan juga mobil-mobil di penuhi salju. Ann suka musim dingin, karena baginya musim dingin itu indah. Ulang tahunnya juga bertepatan dengan musim dingin.
“Santai aja, No. Gue bisa ngerti kok. Gue kan juga pernah pacaran.”
“Oh iya, sampe lupa gue mau nanya lo mau ngomong apa ke gue? Kayanya penting banget? Keasikan cerita sih kita.” tanya Yuno setelah ia menghabiskan makanannya.
“Ah, iya. Tapi ngobrolnya sambil jalan aja mau gak, No? Gue mau nyari birthday cake lo tau gak di sekitar sini ada bakery shop gitu?”
Yuno mengangguk, “tau kok, ada toko bread and cake shop favorite gue juga. Mau gue anter?”
Ann tersenyum dan memiringkan kepalanya, memberi isyarat jika mereka harus jalan sekarang. Di perjalanan menuju bakery shop, Ann berkali-kali mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan apa yang sangat ingin ia katakan pada Yuno.
Ann ingin damai, ia ingin selesai dengan perasaanya untuk cowok itu. Dan dia merasa jika ia ingin selesai dengan itu semua, setidaknya Yuno harus tahu apa yang ia rasakan selama ini. Persetan jika Yuno nanti marah, itu sudah menjadi konsekuensinya. Yang penting perasaanya lega, lagi pula. Ann yakin Yuno bukan tipekal cowok dangkal yang akan marah ketika tahu teman perempuannya menyukainya kan? Pikir Ann.
Begitu sampai di bakery shop, Ann melihat-lihat birthday cake dengan berbagai macam dekorasi disana. Sampai akhirnya pilihannya jatuh pada cake dengan banyak hiasan strawberry di atasnya. Ann suka sekali dengan strawberry meski rasanya sedikit asam terkadang.
“Siapa yang ulang tahun?” tanya Yuno begitu Ann datang di kursi yang sudah Yuno duduki tadi.
“Gue, hari ini gue ulang tahun. Makanya minta temenin lo buat rayain.”
“really?” tanya Yuno memastikan.
“Yup.”
“Wahh, happy birthday Ann. Sumpah gue enggak tahu kalau hari ini lo ulang tahun.”
Ann tersenyum. “Santai aja kali, No. Orang tua gue bahkan lupa.”
“Cobain cake nya dong, gue tadi minta tolong sama staff nya buat sekalian potongin.”
“Ah, jadi makan mulu gue kalo sama lo.”
Ann tersenyum, apalagi saat Yuno mengambil satu slice birthday cake miliknya ke piring kecil dan memakannya, diam-diam Ann memotret itu dan mengunggahnya di akun sosial media miliknya. Hari yang manis, hari yang special dengan laki-laki yang Ann cintai dalam diam.
“No?” panggil Ann.
“Hm?” Yuno hanya berdeham, dia masih menikmati birthday cake itu.
Ann menarik nafasnya pelan, mengeratkan pegangannya di ujung meja demi memantapkan hatinya untuk segera menyatakan perasaanya pada Yuno.
“Gue mungkin salah dan lancang banget buat bicara kaya gini ke lo, No. Gue juga tahu mungkin ini bakalan nyakitin Ara kalau dia tahu.”
Yuno menghentikan makannya, dia menatap Ann dengan pandangan bingung. Enggak ngerti apa yang akan Ann bicarakan padanya.
“Maksud lo?”
“No, pertama kali gue kenal lo dan kita dekat, gue ngerasa nyaman dan kepengen kenal lo lebih dekat. Semua perhatian gue ke lo itu tulus karena gue sayang sama lo, No. Gue sayang banget sama lo, No. Lebih dari teman,” ucap Ann pada akhirnya.
Yuno yang mendengar itu hanya bisa terdiam, badannya seketika membeku dan otaknya terasa berhenti berpikir. Yuno bukan gugup karena seorang gadis menyatakan perasaan padannya, bukannya sombong, Sedari SMA ini sudah menjadi hal yang biasa Yuno rasakan hampir sebulan sekali.
Tapi kali ini berbeda jika perempuan yang sudah ia anggap seperti sahabatnya sendiri itu yang menyatakannya, apalagi Ann tahu jika Yuno sudah memiliki Ara. Dan Yuno sayang sekali dengan gadisnnya.
“Gue awalnya ragu mau ngomong gini ke lo, No. Gue takut lo kecewa, tapi sisi lain gue bilang kalau gue mau damai dan selesai sama perasaan gue. Setidaknya lo harus tahu, setelah ini, No. Gue janji akan lupain perasaan gue buat lo, tapi bisa kan, No. Kita tetap sahabatan?” tanya Ann, air wajahnya mendung setelah dari tadi gadis itu banyak tersenyum.
Ada sirat kecemasan yang tergambar di matanya, takut, sedih dan juga bimbang. Ann takut jika pertemananya dengan Yuno selesai karena tindakknya barusan, tapi disisi lain beban yang ia pikul di pundaknya juga terasa luruh. Hatinya seperti tidak menanggung apa-apa lagi.
“Lo—” Yuno menarik nafasnya, ia seperti kehilangan kata-katanya sendiri. “Jujur, gue bingung dan gak nyangka, Ann.”
“Gue tahu, No. Maaf.”
“Karena?” Yuno gak paham Ann minta maaf untuk apa? Karena menyukainnya? Apa itu sebuah kesalahan?
“Karena udah bilang gini ke lo di saat gue udah tahu kalo lo milik Ara.”
Yuno sedikit lega, Ann setidaknya paham jika tindakannya salah. “Ann, thank you for loving me, but sorry. you are just a friend to me and i already have another girl. lo tau kan, Ann. Gue sesayang itu sama Ara.”
Ann mengangguk. “Paham, No.”
“Gue yakin ada laki-laki lain yang lebih baik dari gue yang pantas sama lo, Ann.”
Sekali lagi Ann hanya mengangguk, ia sungguh menahan air matanya agar tidak menetes. Meski sakit, tapi hatinya lega.
“Gue gak marah, Ann. Kita tetap bisa sahabatan kaya biasa.”
Yuno sempat mengantar Ann ke stasiun dulu sebelum ia kembali ke apartemennya, Yuno enggak setega itu membiarkan Ann berjalan ke stasiun sendirian. Meski dalam keadaan canggung, Yuno berusaha untuk mencarikan suasana dengan mengajak Ann ngobrol selama di perjalanan.
Begitu kereta yang akan di tumpangi Ann telah tiba, Ann berhenti sebentar sebelum langkahnya semakin jauh meninggalkan Yuno yang masih setia berdiri di belakangnya.
“No? Gue boleh minta hadiah ulang tahun dari lo? Mungkin ini bakalan jadi yang terakhir.” ucap Ann, yang di beri anggukan oleh Yuno.
“Apa?”
“Gue boleh meluk lo sekali aja, No?”
Yuno menahan nafasnya sebentar, ia menunduk. Merasa salah jika ia memberikan hal itu, Yuno tahu ini mungkin akan mengecewakan Ann. Namun pada akhirnya ia tetap menggeleng, Yuno menolak permintaan itu.
“sorry, Ann. Untuk yang ini enggak bisa. Lo boleh minta hal lain, tapi enggak dengan ini Ann.” ucapnya tegas.
Ann mengangguk, ia meringis. “Gapapa, No. sorry, ah. Kalau gitu gue balik yah, take care, No. Sampai ketemu lagi.” Ann berlari ke arah pintu masuk kereta sembari melambaikan tangannya ke arah Yuno.
Sampai pintu kereta itu di tutup dan keretanya pergi meninggalkan stasiun, Yuno masih mematung di tempatnya. Memilin ujung jaket tebalnya sendiri, rasanya aneh, Ada perasaan bersalah dengan Ara sekaligus perasaan tidak enak karena mungkin tindakannya barusan sudah menyakiti hati Ann.
Tapi tidak apa, menurut Yuno ini yang paling benar. Meskipun ada yang tersakiti tapi itu bukan gadisnya.
from Rede Integrada
por A.I. e Revisado por SilCarlos
O Movimento Software Livre (MSL) é um fenômeno social e tecnológico que busca garantir liberdades essenciais para os usuários de software. Surgido formalmente em 1983 com o lançamento do Projeto GNU por Richard Stallman, o movimento se fundamenta na ideia de que os usuários devem ter a liberdade de executar, estudar, modificar e redistribuir software, sem restrições impostas por software proprietário.
O MSL não se limita apenas à tecnologia; ele reflete uma luta mais ampla por liberdade de expressão e justiça social. A conexão entre liberdade e tecnologia é profunda, pois a restrição ao desenvolvimento de software também restringe direitos econômicos, políticos e culturais dos cidadãos. O movimento propõe que a informatização deve ser um meio de empoderamento social, permitindo que mais pessoas tenham acesso às ferramentas necessárias para participar ativamente da sociedade digital.
Apesar de seu impacto positivo, o movimento enfrenta críticas e desafios. Alguns argumentam que a distinção entre software livre e software de código aberto pode causar confusão, já que ambos os movimentos têm objetivos diferentes: enquanto o MSL enfatiza questões éticas e sociais, o movimento de código aberto foca em aspectos práticos do desenvolvimento. Além disso, há um debate contínuo sobre a moralidade do software proprietário, com algumas vozes dentro do movimento reconhecendo que nem todos os softwares não livres são necessariamente imorais[.
O Movimento Software Livre (MSL) é uma revolução digital que emergiu como resposta a um contexto histórico e social específico. Suas raízes estão profundamente entrelaçadas com a cultura hacker dos anos 70 e 80, especialmente em ambientes acadêmicos como o MIT (Massachusetts Institute of Technology).
Cultura Hacker: Nos anos 60 e 70, a comunidade de programadores começou a compartilhar software livremente, promovendo um ambiente colaborativo que favorecia a inovação. Este compartilhamento era visto como uma prática natural entre pesquisadores, que frequentemente construíam sobre o trabalho uns dos outros.
Regras de Propriedade: Com o aumento do software proprietário, surgiram restrições que dificultavam o acesso ao código-fonte. Essa mudança foi percebida como uma ameaça à liberdade dos usuários e ao progresso tecnológico. Richard Stallman, um dos principais fundadores do movimento, vivenciou essa transição durante seu tempo no MIT, onde se deparou com dificuldades para corrigir falhas em softwares devido à falta de acesso ao código.
Projeto GNU: Em 1983, Stallman lançou o Projeto GNU com o objetivo de criar um sistema operacional completamente livre. A ideia central era garantir que os usuários tivessem a liberdade de usar, estudar, modificar e redistribuir software. O Manifesto GNU, publicado em 1985, delineou os princípios éticos do movimento e introduziu o conceito de “copyleft”, que protege as liberdades do software.
Free Software Foundation (FSF): Para institucionalizar o movimento e arrecadar fundos para o desenvolvimento de software livre, Stallman fundou a FSF em 1985. Essa organização se tornou um pilar fundamental na promoção e defesa do software livre.
O conceito de software livre é fundamentado em quatro liberdades essenciais que garantem aos usuários controle e autonomia sobre o software que utilizam. Essas liberdades são cruciais para promover uma cultura de colaboração, inovação e inclusão digital.
Liberdade 0: Executar o programa para qualquer propósito
Os usuários têm a liberdade de usar o software da maneira que desejarem, sem restrições sobre o propósito ou o contexto em que ele é utilizado.
Liberdade 1: Estudar como o programa funciona e adaptá-lo às suas necessidades
Esta liberdade permite que os usuários acessem o código-fonte do software, possibilitando a modificação e personalização conforme suas necessidades específicas.
Liberdade 2: Redistribuir cópias do software
Os usuários podem compartilhar cópias do software, seja na forma original ou modificada, ajudando outros a se beneficiarem da mesma tecnologia.
Liberdade 3: Distribuir versões modificadas do software
Essa liberdade permite que os usuários compartilhem suas melhorias e adaptações, contribuindo para o avanço coletivo do conhecimento e da tecnologia.
Essas liberdades não apenas garantem que os usuários tenham controle sobre as ferramentas que utilizam, mas também promovem um ambiente de aprendizado e inovação contínua. O acesso ao código-fonte é um pré-requisito para as liberdades 1 e 3, assegurando que todos possam participar ativamente no desenvolvimento e aprimoramento do software.
O movimento de software livre defende que a inclusão digital deve ser realizada através do uso de software livre, pois isso garante que todos os cidadãos tenham acesso ao conhecimento digital e possam se tornar participantes ativos na sociedade da informação. A dependência de soluções proprietárias pode levar à exclusão digital, limitando a capacidade das pessoas de compreender e modificar as tecnologias que utilizam.
O Movimento Software Livre (MSL) está provocando uma transformação significativa na indústria de tecnologia, alterando padrões de propriedade intelectual, práticas de desenvolvimento e modelos de negócios. A adoção crescente de software livre por empresas em diversos setores é um reflexo dessa mudança.
Adoção Significativa: Uma pesquisa revelou que 64% das empresas que utilizam software livre no Brasil têm faturamento superior a R$ 1 milhão por ano, com destaque para setores como comunicação, educação e tecnologia da informação. Empresas renomadas como Carrefour, Itaú e Petrobras estão entre os casos de sucesso na implementação de soluções de código aberto.
Concentração Regional: O avanço do software livre é mais evidente nas regiões Sul e Sudeste do Brasil, onde 81% das empresas desenvolvedoras e 85% das usuárias estão localizadas. Essa concentração tem impulsionado um ecossistema robusto para o desenvolvimento e uso de software livre.
Redução de Custos: A economia em licenciamento é uma das principais motivações para a adoção do software livre. As empresas podem redirecionar esses recursos para áreas críticas como pesquisa e desenvolvimento.
Flexibilidade e Customização: O software livre permite que as empresas modifiquem e personalizem soluções para atender às suas necessidades específicas, promovendo maior agilidade nos processos.
Ambiente Colaborativo: O modelo de desenvolvimento do software livre favorece a colaboração entre desenvolvedores, resultando em melhorias contínuas na qualidade do código. Essa abordagem também atrai profissionais talentosos que contribuem com novas ideias e habilidades.
Crowdsourcing: Muitas empresas estão adotando práticas de crowdsourcing, onde consumidores colaboram na criação de produtos, refletindo um novo modelo de produção descentralizado.
Apesar dos avanços, o movimento enfrenta desafios, como a resistência à mudança por parte de algumas instituições que ainda preferem soluções proprietárias. No entanto, a crescente conscientização sobre os benefícios do software livre está criando oportunidades para o fortalecimento do mercado local de tecnologia.
O movimento de software livre tem gerado um impacto significativo na indústria de tecnologia, com várias empresas se destacando como líderes nesse segmento. Essas “gigantes do software livre” não apenas promovem a filosofia de liberdade e colaboração, mas também oferecem soluções inovadoras que têm transformado o mercado.
Red Hat
Canonical
SUSE
Mozilla
MySQL (Oracle)
No Brasil, diversas empresas também se destacam na utilização e desenvolvimento de software livre:
O movimento de software livre enfrenta um debate crescente sobre como garantir sua sustentabilidade financeira, ao mesmo tempo em que preserva os princípios de liberdade e colaboração. A monetização é um tema central, pois muitas iniciativas de software livre dependem de modelos que equilibram a oferta gratuita com a necessidade de recursos para manutenção e desenvolvimento.
Serviços Agregados
Crowdfunding
Modelos SaaS (Software as a Service)
Doações e Patrocínios
https://www.gnu.org/philosophy/free-sw.pt-br.html
https://pt.wikipedia.org/wiki/Hist%C3%B3ria_do_software_livre
https://pt.wikipedia.org/wiki/Movimento_software_livre
https://www.scielo.br/j/ha/a/HtMLzNdrPGvb9nwRLvvJCkP/
https://escola.mpu.mp.br/publicacoescientificas/index.php/boletim/article/download/179/160
https://www.gnu.org/philosophy/free-sw.pt-br.html
https://vecam.org/2002-2014/article710.html
https://revistapesquisa.fapesp.br/o-avanco-do-software-livre/
https://www.dio.me/articles/quais-sao-as-maiores-empresas-no-ramo-de-programacaoti-no-brasil
https://revistapesquisa.fapesp.br/o-avanco-do-software-livre/
https://blog.apoia.se/ganhar-dinheiro-com-open-source/
https://www.gnu.org/philosophy/free-sw.pt-br.html
https://engsoftmoderna.info/artigos/como-monetizar.html
https://www.ibm.com/br-pt/topics/open-source
from TechnoSpacecraft
I know that it's a word salad of a title, but if you're reading this, then I'm sure you're A) old enough to read, B) have some idea of the topic, C) in the know that word salad titles are click-bait.
I cut my teeth on functional programming in Elixir. While it is a great language for many things and it is a fun language to use, ... functional it is not. When compared to something like Ocaml, there are many features of a more 'pure' functional language that Elixir lacks. These same features are also either missing in Python, or poorly implemented.
I like Python, I'll admit it. I can do many things quickly without much dev overhead. It's a good thing that I like it because my job is roughly 98% Python development. But I'm always on the search on how do do things a bit faster without making the code hard to read or maintain.
One trick that I have picked up from Ocaml is the use of partial function applications. In Ocaml you can do some weird stuff like so:
let adder x y = x + y;;
let add_five = adder 5;;
add_five 7;;
12
This seems like a strange and an unnecessary thing to do, but partial function applications are basically simple closures on-the-fly which is quite useful; a point that I will flesh out a bit later.
How Ocaml does this is quite unique. In the Ocaml world there are, technically, no multi argument functions, but a function that is a chain of functions. If you take a look at the signature of adder
above it will look like the following:
x => y => x+y
To your eyes , this is a bit weird and a little hard to grok unless you understand that there are no variables only functions. The signature basically says “adder is a function that yields x. X is a function that takes an input and returns function y. Y is a function that takes an input and returns x+y.” This also explains why, typically, functional languages don't use parenthesis for functions, because they would get overused quite quickly and would be semantically difficult.
You may be saying “But the partial
class exists in Pythons functools
package.” That is true, but using it can give you some pretty wild results.
For example let's say you have a function like so:
def foo(a, b, c):
return f"{a=}, {b=}, {c=}"
Now lets also say that you need to make 2 partials from this one function because you're going to get the data you need at different times and you want to pass these partials around to other functions. And, let's also say that you get a, b and c out of order. You might do something like this:
bar = partial(foo, c=5)
# some other code
foobar = partial(bar, a=2)
# some more other code
foobar(1)
And I will tell you that the above won't work the way you think it will. In fact, it won't work at all. When you use a partial of a partial and then use keywords on positional arguments for out of order assignment (which is a totally bad thing to do in Python), all of your arguments must be keyword arguments. In the situation above the partial class will try to apply 2 to a
, then 1 to a
(not b
like you would expect) and then throw an TypeError exception.
But the problem is that I still need that hot, sweet partial fix. A better solution is to just make our own partial wrapper that behaves a bit more sanely. For this let's implement a generic wrapper that implements recursion to do the job:
from functools import wraps, cache
from inspect import signature
@cache
def _get_required_arguments(func):
parameters = inspect.signature(func).parameters
positional_args = 0
keyword_args = 0
for k, v in parameters.items():
match v.kind:
case v.POSITIONAL_OR_KEYWORD:
if v.default == inspect._empty:
positional_args += 1
else:
keyword_args += 1
case v.VAR_POSITIONAL:
# if there are no positional args,
# then we are only expecting variadic arguments
# if there are positional args,
# then a variadic argument is optional
# and doesn't increment the required amount
if positional_args == 0:
positional_args += 1
case v.VAR_KEYWORD:
if keyword_args == 0:
keyword_args += 1
return (positional_args, keyword_args)
def partialize(func, *args, **kwargs):
@wraps(func)
def recurse(*nargs, **nkwargs):
return partialize(func, *args, *nargs, **kwargs, **nkwargs)
p_args, k_args = _get_required_arguments(func)
if len(args) < p_args:
return recurse
return func(*args, **kwargs)
Now we can do funny things like this which works in a similar fashion to what Ocaml offers:
@partialize
def foo(a, b, c):
return f"{a=}, {b=}, {c=}"
foo(1, 2, 3)
foo(1)(2, 3)
foo(1, 2)(3)
foo(1)(2)(3)
However, it does not fix the out of order problem from above. Nor does it fix the double application to a
because of mixed keyword/positionals problem. What it does do is allow you to do is to wrap a function to make it partialable (not a word, I know) at function definition, something the partial
class cannot offer.
To fix the out of order problem we would need to make a one-off combinator like so:
def foo(a, b, c):
return (a, b, c)
@partialize
def bar_combinator(c, a, b):
return foo(a, b, c)
bar_1 = bar_combinator(5)
bar_2 = bar_1(2)
result1 = bar_1(5, 10)
result2 = bar_2(1)
This of course does mean that you must know the order of application ahead of time. If you're in a situation where you have no idea what order you will be getting your arguments applied, then you should stick with only keyword arguments like so:
@partialize
def bar_combinator(a=None, b=None, c=None):
return foo(a, b, c)
Now, that's a real simple combinator. In fact, it doesn't really combine anything, but just rearranges arguments. So let's look at a real world use case that I had just t'other day.
I needed to build multiple Mac objects that take different argument and treat them in the same way. The two objects were ISO9797-algo3 and ISO9797-algo5 (aka: CMAC). Algo3 requires that the data to be macked is padded first in one of three different methods also defined in ISO9797. CMAC does not need padding, but it does need to know what crypto algorithm to use. The class definitions for each are like so:
class MacAlgo3:
def __init__(self, key: bytes):
self.key = key
def __call__(self, data: bytes) -> bytes:
return how_the_mac_is_made
class Cmac:
def __init__(self, key: bytes, algo: Literal["AES", "TDES"]):
self.key = key
self.algo = get_algo(algo)
def __call__(self, data: bytes) -> bytes:
return how_the_cmac_is_made
I knew that I needed my mac objects first, and my key and data would come later. To make this work:
@partialize
def comb1(cls, padder, key, data):
return cls(key)(padder(data))
@partialize
def comb2(cls, algo, key, data):
return cls(key, algo)(data)
def do_something(macker):
# derive key and get data
macker_loaded = macker(key)
mac = macker_loaded(data)
if option.a:
macker = comb1(Mac3, algo2)
else:
macker = comb2(Cmac, 'AES')
do_something(macker)
In this way I can shoehorn various objects into other objects that share the same signature. If I were to do this just using the partial
class without combinators, I'm not sure it could be done. If I were to use combinators but use the partial
class, it would probably be a mess. If I had to make a combinator without any partialization and only use hand-rolled closures, then I would probably shoot myself and my foot in the process.
Combinators can make your life EZ, but you have to make partial functions. Make that EZ too.
from oh... hello, fédefo.
I said this aloud as I was vacuuming my house earlier today.
For the past little while, I've been chastising myself for being too self-absorbed in wallowing to tend to the disaster that is my living space. I can tell I'm beginning to metamorphize into myself—again, and quite frankly not even a notable depressive episode of my ouroboric phoenix sitcom life—not just when I have the executive functioning to do chores, but when I start caring enough about them that they stop feeling like chores. When I start pouring my love into cooking, cleaning...
When it's no longer housework, but housecraft. The art of homemaking. The practice of domestic magic. Which includes aero constructs designed to dispel dirt from the dungeon floor of my mini-boss lair. Which is to say, I was vacuuming my house earlier today.
The first thing I said aloud was: “What a mess!” Remember the disaster that is my living space?
Here are the contents of that disaster:
When I realized this, I had to stop cleaning for a minute.
I thought of the grimy places I used to willingly take myself, often. The Superfund site I subjected myself to living in for years, the health hazards that didn't register to me as so bad... then at all, in that way new pieces of furniture fade from view when their novelty wears off, and you forget about them entirely even as you're sitting on or staring right at them.
Sitting on the floor... staring at visibly clean, visible tiles... and the scattered crumbs of a lived life, that arguably exist for there to be something miscellaneous that ends up on floors.
That's when I said it aloud... “The mess is relative.” and finished vacuuming.
I wonder what sorts of crumbs will wind up on the floor of my lived life for me to vacuum up next...!
from Die Eisenbahn – das unbekannte Verkehrswesen
Wie armselig die Eisenbahn in Deutschland aufgestellt ist, zeigt sich aktuell im Norden. Da ist nämlich zwischen Hamburg, Schwerin und Wittenberge vier Monate lang alles gesperrt und damit auch die direkteste und leistungsfähigste Verbindung von Hamburg und Rostock nach Berlin. Das ist aber noch nicht die Generalsanierung, sondern nur die gerade eben nötigsten dringenden Reparaturen – an einer Strecke, die seit 1993 kurioserweise schon etliche Male modernisiert und saniert worden ist. Das zeigt, wie morsch die Strecke trotzdem ist. Aber ausreichende reelle Ersatzkapazitäten gibt’s nicht einmal ansatzweise.
Gerade die Strecke Hamburg–Hagenow Land–Ludwigslust–Wittenberge–Nauen–Berlin ist normalerweise sehr stark ausgelastet. Neben Regionalverkehr – der wohl auch aus Streckenkapazitätsgründen ausschließlich mit RegionalExpressen abgefackelt wird, die dafür aber an jeder Milchkanne halten – gibt es eigentlich zwei Fernreisezüge pro Stunde und Richtung und praktisch den gesamten Güterverkehr zwischen dem Hamburger Hafen und Osteuropa.
Reelle Ausweichmöglichkeiten halten sich in Grenzen. Nördlich der Schnellfahrstrecke Hannover–Oebisfelde–Stendal gibt es nur noch drei Eisenbahnstrecken, die die ehemalige deutsch-deutsche Grenze überqueren:
Kurzum: Die einzige gangbare Option, den Ausweichverkehr mit einigermaßen Durchsatz zu fahren, wäre gewesen, ganz über den Großraum Hannover zu fahren. Verständlicherweise wäre das Wahnwitz.
Der Personenfernverkehr wird nun zur Hälfte über Uelzen–Salzwedel–Stendal gefahren und zur Hälfte im Abschnitt Hamburg–Berlin eben überhaupt nicht. Zunächst einmal heißt das, daß die Züge zwischen Hamburg und Uelzen mit auf die eh schon um 30% überlastete Strecke nach Hannover geschickt werden. Die 45 Minuten zusätzliche Fahrzeit sind ziemlich optimistisch.
Uelzen–Salzwedel wiederum hat gerade genug Kapazitäten für den Regionalverkehr und gelegentliche Güterzüge. Um da auch den Personenfernverkehr fahren zu können, hat man den Regionalverkehr kurzerhand westlich von Salzwedel komplett eingestellt und durch Busse ersetzt. Da werden allerdings stündliche und gut ausgelastete Doppelstockzüge durch ebenfalls stündliche Überlandbusse ersetzt. Weil es für einen dichteren Takt nicht reicht, gibt es keine Mitnahmegarantie.
Für den „Hanse-Expreß“ zwischen Hamburg und Rostock besteht ein Busersatzverkehr von und nach Schwerin. Aber zum einen fährt der mal ab Bergedorf, mal ab Wandsbeker Chaussee. Man muß also vorher wissen, von wo der jeweilige Bus jetzt fährt. Sollte man einen verpassen oder der Platz nicht reichen, dauert es auch eine Zeit, bis man an der jeweils anderen Station ist.
Zusätzlich fahren pro Tag und Richtung sechs InterCity-Busse zwischen Hamburg und Schwerin, aber wohl ungetaktet und mit miesen Anschlüssen. Und weil sie als Fernverkehr gelten, gilt auch das Deutschlandticket nicht.
Ansonsten ist nur noch die Verbindung von Lübeck nach Bad Kleinen übrig. Einmal am Tag fährt da pro Richtung ein InterCity von Hamburg über Lübeck an der Ostsee entlang. Aber erstens fährt der nur einmal am Tag. Zweitens ist da wohl mit einem „Restangebot“ mit sechs oder sieben Wagen zu rechnen statt mit einer ausgewachsenen Garnitur von mindestens zehn Wagen, zumal Kiel nicht mehr genügend Dieselloks hat, um die zwei notwendigen Maschinen für einen so langen Zug zur Verfügung zu stellen. Drittens ist auch das Fernverkehr. Und viertens hat man nach Berlin trotzdem noch einen Riesenumweg. Noch einmal zur Erinnerung: Das Gleisdreieck Hagenow Land–Ludwigslust–Holthusen ist komplett gesperrt.
Darüber hinaus fährt im Stundentakt die „Stadttore-Linie“, von der einzelne Züge bis hinter die polnische Grenze laufen. Die fährt im Stundentakt. Aber die fährt mit Dieseltriebwagen, Alstom Coradia LINT 41, was heutzutage das „Besser-als-nix“-Grundangebot ist. Den Tag über fahren die Züge in Doppeltraktion, und selbst die sind so schon ziemlich gut ausgelastet. Die stellen aber nördlich von Oebisfelde den einzigen Schienenverkehr über die ehemalige Zonengrenze überhaupt dar, der mit dem Deutschlandticket nutzbar ist.
Verstärken kann man da genau gar nichts. Die Züge verlängern kann man nicht, weil man dafür mehr exakt baugleiche Fahrzeuge bräuchte. Selbst LINT der neueren Generation von anderen Betreibern können mit den hier eingesetzten Triebwagen wahrscheinlich allenfalls mechanisch gekuppelt werden, aber wegen abweichender und daher inkompatibler Firmware nicht in Vielfachtraktion fahren.
Mehr oder andere Züge zu fahren, ist auch schlecht. Man bräuchte geeignete Dieselloks, die aus dem halben Bundesgebiet zusammengekarrt werden müssen, weil Kiel schon seinen eigenen Bedarf mit eigenen Loks nicht mehr decken kann. Wagen wären wohl das kleinste Übel, die könnten in riesigen Mengen vom Stillstandsmanagement in Mukran geholt werden. Aber dann bräuchte man auch noch Führerstandspersonal, das a) auf den Loks und b) auf der von den Loks zu befahrenden Strecke zugelassen ist und c) Zeit hat. Und zwar mit Rückfallebene. Schon wenn man die Züge in Rostock brechen und zwischen Lübeck und Rostock lokbespannte Doppelstockzüge fahren wollte, bräuchte es sechs Loks, zwei pro Garnitur, um an die Beschleunigungswerte der LINTe ranzukommen, und genug Triebfahrzeugführer für zwei Schichten pro Tag.
Wer jetzt mit dem Deutschlandticket von Hamburg nach Berlin will, hat im Prinzip folgende Optionen:
Da wünscht man sich wirklich, damals im Krieg wäre die Elbbrücke bei Dömitz nicht gesprengt worden. Oder zumindest die Kleptomanen der Roten Armee hätten nicht 1947 die komplette Strecke von Wittenberge bis Dömitz abgebaut und mitgenommen. Man bedenke, die Strecke ging mal von Wittenberge über Lüneburg bis nach Buchholz in der Nordheide. Das hätte nach der Wende ein schönes Verkehrsprojekt Deutsche Einheit abgegeben als bevorzugte Güterverbindung zwischen Hamburg und Berlin und natürlich für den Regionalverkehr. Das immer vorgesehene zweite Gleis hätte man auch bauen können; die Elbbrücke war ja zweigleisig. Nebeneffekt wäre gewesen, daß Hamburg–Wittenberge und Uelzen–Stendal eine Ausweichroute gehabt hätten.
Aber im Grunde grenzt es ja schon an ein Wunder, daß alleine die Strecke von Uelzen nach Stendal wieder durchgängig befahrbar ist und dafür praktisch komplett neu gebaut wurde. Es war ja angedacht, sie nach der Transrapid-Absage – ein Jahr nach ihrer Fertigstellung – für den ICE-Verkehr zwischen Hamburg und Berlin zu ertüchtigen, zumal das tatsächlich eine kürzere Route gewesen wäre als über Ludwigslust und Wittenberge. Statt dessen hat man die eh schon beinahe komplett zweigleisige letztere Route bevorzugt.
In knapp einem Jahr kommt dann für satte acht Monate die Generalsanierung der kompletten Strecke vom Berliner Tor in Hamburg bis mindestens nach Berlin-Spandau. Man kann nur hoffen, daß die Nahverkehrsträger aus dem aktuellen Debakel gelernt haben und ein deutlich leistungsfähigeres Ersatzkonzept anbieten. Mehr Ersatzbusse zwischen Uelzen und Salzwedel. Mehr Ersatzbusse zwischen Hamburg und Schwerin. Idealerweise dann auch höhere Kapazitäten durch völlig anderes Rollmaterial zwischen Lübeck und Rostock. Und aufgrund der Flut an Passagieren, die auf dem Wege den Süden Mecklenburgs komplett umfahren müssen, auch erhöhte Kapazitäten von Rostock über Neustrelitz nach Berlin.
Klar, den Aufriß wie zwischen Lübeck und Puttgarden, wo für den jahrelangen Ersatzverkehr eigens mehrere Busse in entsprechender Farbgebung gekauft wurden und in Lensahn sogar eine ganz neue Haltestelle nebst Wendeschleife gebaut wurde, wird man für acht Monate nicht machen. Aber jetzt haben sie noch ein knappes Jahr, um einen amtlichen Ersatzverkehr aufzuziehen, der die sich jetzt zeigenden tatsächlichen Bedarfe aufnehmen kann. Mit „Seid froh, daß überhaupt was fährt, wo ihr vielleicht irgendwann mit reinpaßt“ hält man nämlich niemanden bei der Schienenverkehrsstange.
#Eisenbahn #Aktuelles #Hamburg #Berlin