Ada titik dimana Bagas sangat amat bahagia dalam hidupnya, bisa terbilang dari kecil hidupnya berjalan sudah cukup mulus. Seperti ia selalu bisa masuk ke sekolah yang ia inginkan, mendapatkan nilai yang baik, di sukai oleh teman-teman di manapun ia berada, masuk ke universitas yang ia impikan, ikut organisasi di sana dan berhasil mengecani wanita yang ia sukai. Bisa terbilang hanya ada badai kecil yang singgah hanya sebentar di hidupnya, sampai di mana badai itu datang dan tak singgah sebentar di hidupnya ia saat ini ada di titik di mana ia merasa tak lagi hidup.
Ia hanya bernafas mengikuti alur semesta yang entah akan membawanya kemana, sudah 8 bulan sejak berpisah dengan Kirana ia belum juga kembali ke rumahnya. Ia tidak tahu di mana sekarang Kirana bekerja, tapi yang cukup membuatnya lega adalah wanita itu masih tinggal di rumah sewa Gambir. Terkadang, jika sangat amat merindukan Kirana. Ia melajukan mobilnya ke dekat rumah sewa itu hanya demi melihat Kirana dari kejauhan. Memastikan wanita yang masih sangat ia cintai itu hidup dengan baik, Bagas tidak berani menyapa Kirana lagi. Bukan tidak berani sebenarnya, hanya saja Bagas tidak memiliki muka untuk menemui wanita itu setelah tahu apa yang dilakukan orang tua nya.
Bagas tahu jika Ibunya menemui Kirana dan meminta wanita itu melepaskan hubungan mereka dari Kanes, Kanes tidak sengaja mendengar obrolan Ibu dengan Asri. Yang dilaporkan dari Kanes ke Bagas nyatanya jauh lebih menyakitkan dari pada yang Bagas tahu, sejak ia mengetahui hal itu. Ia tidak ingin bertemu dengan Kirana lagi. Karena tanpa ia sadari, dirinya lah penyebab Kirana merasakan sakit hati. Ia sudah kalah telak dalam melindungi wanitanya.
Selama 8 bulan ini pula hidup Bagas hanya berjalan begitu datar, bekerja hingga larut, olahraga sampai membuat dirinya kelelahan dan beberapa kali pingsan dan itu semua berputar seperti sebuah roda setiap harinya. Bagas terus membuat dirinya sibuk demi bisa melupakan Kirana, tapi nyatanya sesibuk apapun ia. Pada celah kecil waktunya bahkan ketika makan sekalipun kepalanya masih mengingat Kirana dengan baik.
Hari ini, Kanes menjemputnya ke rumah yang Bagas sewa setelah mengetahui kakak laki-lakinya itu sakit. Kanes yang memaksa Bagas untuk kembali ke rumah mereka, mengingat keadaan Bagas cukup memperhatikan saat ini, pria itu kehilangan banyak berat badannya, matanya berkantung, tidak makan dengan baik dan bahkan Bagas berani menyentuh rokok. Barang yang sangat ia benci, bahkan saat Kanes menjemputnya Bagas hanya pasrah saja karena tubuhnya lemas.
Seumur-umur Kanes tidak pernah menyangka jika patah hati akan menghancurkan jiwa kakaknya seperti ini.
Begitu sampai rumah, Ibu menyambut Bagas dengan penuh keprihatinan. Tidak menyangka jika putra sulungnya itu akan sehancur ini, Ibu sudah tahu soal Kirana dan Bagas berakhir berpisah. Karena keduanya pernah bertemu kembali setelah perpisahan itu.
“Ya ampun, Gas. Kok sampai sebegininya kamu..” Ibu membantu Kanes memapah Bagas ke sofa, tubuh Bagas yang terbilang cukup tinggi itu agak menyulitkan keduanya.
Setelah Bagas sudah duduk di sofa, Kanes membantu Ibu mengambilkan minum untuk Bagas. Ibu masih memperhatikan wajah si sulung itu, yang pucat dengan mata berkantung, rambut yang sedikit gondrong, kumis yang tidak dicukurnya. Sangat amat berbeda dari Bagas yang terakhir kali kembali ke rumah itu.
“Minum dulu, Mas.” Kanes kembali, memberikan teh hangat untuk kakaknya itu.
“Kita ke dokter yah?” setelah membantu Bagas minum ibu kembali menaruh cangkir itu ke meja. Mencoba peruntungannya untuk membawa Bagas ke dokter, karena Kanes sudah beberapa kali memaksa Bagas untuk ke dokter tapi tetap saja hal itu di tolak mentah-mentah oleh Bagas.
“Gak usah, Buk.”
“Kamu tuh sakit, Gas. Mukamu ini loh pucat banget, kurus.”
Bagas menggeleng, ia merasa hanya butuh sendiri. Memikirkan kelanjutan hidupnya, atau justru Bagas hanya membutuhkan Kirana di sebelahnya? Entahlah, Bagas sendiri bingung. Ia tidak tahu apa yang ia inginkan, ia hanya tidak bernafsu pada apapun.
“Kanes panggil dokter Mawardi aja ke rumah yah?”
Bagas tetap menggeleng, “gausah.”
“Jangan begini, Nak. Ibu sedih sekali lihat kamu sakit begini.”
Mendengar ucapan Ibu alih-alih merasa tersentuh, Bagas justru terkekeh pelan. Ucapan Ibunya seperti terdengar sebuah lelucon saat ini di telinganya. “Kan Ibu yang buat Bagas seperti ini, Buk.”
“Maksud kamu?” Ibu mengerutkan keningnya bingung.
“Yang Bagas butuhin bukan dokter, Buk. Bukan obat atau bukan pulang ke rumah ini. Bagas cuma butuh Kirana.”
Ibu mendengus, sudah menduga sejak awal jika Bagas sakit seperti ini karena frustasi wanita itu meninggalkan putra sulungnya. Karena tidak ingin berdebat pada Bagas yang sedang sakit, Ibu akhirnya berdiri dan pergi dari ruang tamu. Meninggalkan Bagas yang masih bersandar pada sofa ditemani oleh Kanes.
“Mas mau Kanes telfonin Mbak Kirana?” Mungkin dengan cara ini, dengan Kirana datang menjenguk Bagas. Kakaknya itu bisa pulih atau minimal dapat mengumpulkan semangat hidupnya lagi.
Bagas menggeleng, “gak usah, Nes. Mas gak mau bikin dia susah lagi.”
“Mas yakin? Putus kan bukan berarti kalian jadi gak saling komunikasi, Mas. Kanes tau ini gak mudah juga buat kalian.”
“Mas cuma mau menghargai keputusan dia” Bagas mengulurkan tangannya dan mengusap kepala Kanes. “Antar Mas ke kamar aja yah, Mas mau istirahat.”
🍃🍃🍃
Mobil yang dikemudikan oleh Adel berhenti di sebuah toko kue yang sudah menjadi langganan Ibu mertuanya itu, hari ini Adel mengajak Raga untuk membantunya mengambil kue dan berbelanja air minum untuk acara arisan keluarga dari pihak keluarga Ethan. Tadinya Raga menolak dengan alasan dia agak sedikit lelah tapi Adel memaksanya, ia sudah lelah melihat Raga yang setiap kali hari libur hanya bergerumul di rumah saja, sedikit banyaknya Adel mengkhawatirkan umur Raga yang sudah terbilang cukup matang itu. Adiknya belum sama sekali memiliki seseorang wanita untuk dikencaninya.
Adel sudah mencoba peruntungannya dengan mengenalkan kenalan-kenalannya dengan Ethan pada Raga, namun itu semua berakhir asam karena tak ada satu pun dari wanita-wanita yang ia kenalkan berakhir memiliki hubungan serius dengan Raga. Adel sadar Raga sama sekali tidak memiliki progress untuk hubunganya pada setiap wanita yang dikenalkannya entah seperti apa selera adiknya itu, Adel pernah bertanya pada Raga secara gamblang tentang kriteria wanita idamannya, namun Raga hanya menjawab dengan enteng seperti, “yang penting yang baik aja.” tanpa menyebutkan spesifiknya.
Yang lebih melantur lagi adalah Ethan pernah menyangka jika Raga penyuka sesama jenis, yang tentu saja ucapan ngelantur Ethan itu dihadiahi sebuah cubitan maut di perut suaminya itu. Raga bukan pria seperti itu, ia yakin Adiknya hanya terlalu pemilih saja.
“Mbak, gue tunggu di sini aja deh gak usah keluar.” keluh Raga, dia agak sedikit segan sebenarnya menemani Adel. Ia ingin berbaring di ranjang seharian. Raga sudah pindah ke kantornya Ethan dan pekerjaan di sana cukup membuat waktu istirahatnya tersita.
“Dih, tega yah lo. Bantuin banyak banget ini loh belanjaanya tega yah?” Adel memasang wajah melasnya.
Raga mendengus, ia melepaskan seatbelt nya dan membuka pintu mobilnya. Pria jangkung itu turun lebih dulu dengan Adel di belakangnya, walau melakukannya setengah hati tapi Raga tidak menampakan ekspresi keterpaksaanya itu. Waktu ia membuka pintu toko kue itu, tercium khas butter dan aneka jajanan pasar tersaji di etalase toko itu. Raga sempat tertarik untuk melihat-lihat kue apa saja yang dijual di sana, seketika tidak ada rasa menyesal karena sudah ikut Adel untuk mengambil pesanannya karena ia dapat menemukan kue tradisional yang ia suka.
Toko yang dari luar terlihat kecil dan sedikit menyempil di ujung gang itu ternyata cukup luas bagian dalamnya, dari luar memang tidak nampak seperti sebuah toko kue jajanan pasar. Ada banyak bunga dan tanaman sulur yang merambat dari atap hingga turun memanjang di dinding depannya, kalau di lihat dari depan orang pasti akan mengira itu adalah toko bunga. Tapi begitu berdiri di depan pintunya saja pasti sudah tercium aroma khas butter yang membuat orang akan tersihir hingga masuk ke dalamnya.
“Mbak, mau kue nagasarinya yah.” melihat kue dengan isian buah pisang itu membuat Raga menelan saliva nya. Perutnya bergejolak meminta kue itu segera dimasukan ke dalam mulutnya. Ada sebagian dirinya dari masa lalu yang menginginkan sekali kue itu.
“Mau berapa, Mas?”
“5 yah.”
Pelayan itu mengambil 5 buah kue nagasari dari etalase dan menaruhnya disebuah kotak, kemudian Raga di arahkan ke kasir. Namun langkah kakinya itu tiba-tiba saja menjadi lebih berat dan tubuhnya seketika membeku ketika ia melihat siapa wanita yang tengah berdiri di depan mesin kasir tersebut. Wanita itu sama terkejutnya dengannya, namun sedetik kemudian senyum manisnya merekah.
“Mau bayar, Pak Raga?” ucapnya.
Raga hanya mengangguk tanpa menjawab, ia terlihat kikuk dan sangat bodoh rasanya kalau tadi ia tetap kekeuh menolah ajakan Adel untuk mengambil pesanan di toko ini. “Kamu kerja di sini, Na?”
Raga mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya dan memberikannya ke Kirana, tatapannya tak berpindah dan tetap pada wanita itu. Sejak Kirana mengundurkan diri dari kantor dan ia fokus untuk menyelesaikan proyek-proyeknya, Raga sama sekali tak menghubungi Kirana lagi. Bahkan soal pembayaran rumah yang wanita itu sewa ia serahkan pada Adel.
Raga hanya saja tidak memiliki alasan untuk bertemu dengan Kirana, lagi pula waktu itu tekad nya sudah bulat untuk melupakan perasaanya pada Kirana. Mengabaikan mimpi dan kenyataan jika ia adalah reinkarnasi dari Jayden dimasa lalu. Toh sepertinya yang mengingat memori masa lalu mereka hanya Raga saja, tapi siapa sangka jika takdir justru mempertemukan mereka di sebuah toko kue yang tak disangka-sangka.
“Iya, Pak. Toko kue ini tempat dulu Ibu saya bekerja.” Kirana memberikan uang kembalian untuk Raga sekaligus setruk pembayaran dan juga kue yang sudah ia kemas dengan kotak dan juga paper bag.
“Ahh...” Raga mengangguk-angguk. “Gimana kabar kamu?”
“Baik, Pak. Bapak sendiri?”
“Baik, Na. Ah, jangan manggil saya pakai sebutan Bapak lagi bisa? Saya kan udah bukan atasan kamu lagi.” Raga hanya ingin mengobrol pada Kirana dengan santai saja, toh mereka hanya berbeda 3 tahun dan sudah tidak ada sekat atasan dan bawahan diantara mereka.
“Sa..saya harus panggil apa?” Kirana gugup, rasanya aneh sekali harus memanggil Raga tanpa embel-embel “Pak.”
“Raga aja.”
“Eng..gak enak, Pak. Kedengarannya aneh.”
Raga sempat menyingkir sebentar karena ada pelanggan lain yang ingin melakukan transaksi, akhirnya Raga memilih untuk duduk di salah satu kursi di sana sembari memperhatikan Kirana dari kursi itu. Tidak lama kemudian, Adel sudah selesai dengan pesanannya dan menghampiri Raga yang tengah asik memakan kue nagasari di kursinya.
“Yuk, kita balik. Bawain kotak-kotaknya, Ga. Gue mau ngaso di sini dulu.” Adel mengambil satu kue nagasari yang ada atas meja dan memakannya.
“Mbak?”
“Hm?”
“Gue gak ikut balik ke rumah yah, gue mau di sini dulu sebentar.”
“Hah? Ngapain?” pekik Adel.
“Kirana kerja di sini, Mbak. Gue mau ngobrol sama dia sebentar.” Raga menunjuk Kirana yang masih berada di depan meja kasir, melayani pembeli dengan senyuman ramahnya.
Adel menoleh ke arah yang Raga tunjuk, dan seketika senyum jahil merekah pada wajahnya. “Elu yah, masih belum move on juga? Itu cewek orang Raga astaga..”
“Apasih, Mbak. Gue cuma mau ngobrol, cuma mau tanya kabarnya aja.” Raga memang hanya ingin tahu kabar Kirana saja, memastikan wanita itu baik-baik saja setelah pengunduran dirinya dari kantor.
Adel memutar bola matanya, agak sedikit frustasi memberitahu Raga bahwa tidak baik terus melambungkan harapan pada wanita yang sebentar lagi resmi menjadi milik orang lain. “Yaudah, habis itu buruan nyusul yah.”
“Iya, Mbak.”
“Tapi bantuin gue bawain kotak-kotak itu ke mobil dulu.”
Raga mengangguk dengan cepat, kemudian berdiri dan segera membawa kotak-kotak berisi kue itu ke dalam mobil. Adel sempat menyapa Kirana, tidak lama memang. karena pelanggan yang datang cukup ramai dan membuat Kirana tidak bisa berlama-lama untuk mengobrol karena takut menganggu Kirana yang sedang bekerja. Setelah Adel kembali ke rumah, Raga tetap pada kursinya. Sesekali ia membeli kue lain di sana dan juga es cendol. Ia masih menunggu Kirana hingga jam istirahat atau bahkan jam shift nya berakhir hanya untuk mengajaknya bicara.
Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya Kirana menyingkir dari meja kasirnya dan menghampiri Raga yang masih setia duduk di kursinya. Di atas meja nya itu bukan hanya ada kotak yang tadinya terisi oleh kue nagasari tapi ada dua gelas es cendol, dua piring yang tadinya berisi risol, pastel dan kue cucur. Perut Raga sudah kenyang rasanya mencicipi kue-kue itu.
“Maaf yah Pak lama, shift saya baru aja selesai jam dua.” Kirana duduk di depan kursi Raga.
“Jadi kamu udah pulang, Na?”
Kirana mengangguk, “sudah, Pak.”
“Yaudah kalo gitu kita ngobrol di tempat lain aja yah, gak enak saya sudah duduk di sini dua jam.” Raga tersenyum kikuk dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali, karyawan lain memang tidak memperdulikannya mau duduk di sana berapa lama pun selama ia membeli. Hanya saja, Raga yang malu.
“Iya, boleh, Pak. Tunggu sebentar yah, saya ambil tas saya dulu.” Kirana berlalu dari sana, berganti pakaiannya, mengambil tas dan berpamitan pada rekannya yang lain.
Setelah itu ia menghampiri Raga kembali dan mereka pergi dari toko itu, keduanya menaiki bus yang akan membawa mereka ke sebuah pusat bisnis, kuliner, perbelanjaan dan hiburan di kawasan Jakarta Selatan. Di dalam bus mereka sempat agak canggung karena harus duduk bersebelahan, terutama Raga dengan detak jantungnya yang semakin menggila. Ingatnya berkelana pada masa lampau dimana keduanya masih bernama Ayu dan Jayden. Tapi buru-buru ia tepis hal itu dengan mencoba mengajak Kirana berbincang lagi.
“Ah, soal panggilan itu, Na.” Raga memulai pembicaraan lebih dulu.
“Ya, Pak gimana?”
“Kamu panggil saya Raga aja bisa kan?”
Kirana meringis, “sungkan, Pak. Rasanya aneh.”
Raga memejamkan matanya, ia sendiri juga bingung ingin di panggil apa dengan Kirana. “Umur kamu berapa, Na?”
“28, Pak.”
“Panggil saya Mas aja kalau begitu, bisa?”
Kirana melirik ke arah Raga sebelum benar-benar menoleh kearahnya, kedua mata mereka bertemu. Udara dingin yang berasal dari AC bus itu rasanya tidak mempan bagi keduanya karena ada setitik keringat membasahi kening Raga, ia benar-benar gugup. Belum sempat Kirana menjawab sontak Raga berdiri dan memberi kursinya pada penumpang yang baru saja masuk, lansia. Ia berdiri di samping kursinya tadi sembari berpegangan pada handle grip agar dirinya tidak terhuyung kedepan ketika supir bus menginjak rem.
Sementara itu Kirana menoleh ke arah lain, melihat jalanan jakarta siang itu yang tidak terlalu padat. Jalanan masih agak terik hingga sinar matahari menyorot menembus melalui kaca bus yang ditumpangi keduanya. Sesampainya di pemberhentian terakhir keduanya turun, berjalan sedikit untuk sampai ke pusat kuliner. Kirana sempat menebak mungkin tempat itu tidak akan terlalu ramai, mengingat ini bukan jam makan siang dan juga belum terlalu gelap untuk di sebut sore atau bahkan malam. Tapi sudah banyak pengunjung di sana yang mendatangi berbagai macam pilihan restoran dan cafe-cafe yang berjejer di sepanjang jalan.
Kirana lupa ini masih hari libur, dalam langkah yang sejajar itu keduanya berjalan tanpa ada obrolan sedikit pun. Bibir Kirana terasa kaku hanya untuk bertanya pada Raga kemana mereka hendak pergi.
“Kamu suka pancake gak?” tanya Raga tiba-tiba, ucapan itu berhasil membuat Kirana menoleh ke arah pria jangkung di sebelahnya itu.
“Suka, Mas.”
Nyaris saja biji mata Raga keluar karena ia membulatkan matanya tiba-tiba, napasnya terasa tercekat hanya karena terkejut ketika Kirana memanggilnya dengan sebutan “Mas.” ini memang permintaanya, tapi kenapa rasanya terdengar sangat meluluhkan hatinya, jutaan kupu-kupu gila terasa terbang berkeliaran di perutnya.
“Ki..kita makan pancake aja ya?”
Kirana mengangguk, Raga jalan lebih dulu. Membiarkan Kirana berjalan di belakangnya. Tak ada maksud lain di balik tindakannya selain ia ingin menetralkan degub jantung nya lebih dulu. Begitu sampai di sebuah cafe, Raga mencari tempat duduk untuk ia dan juga Kirana. namun sialnya cafe itu agak penuh dan mereka terpaksa menunggu untuk mendapatkan 2 kursi itu.
“Mau makan di tempat lain aja, Na?” Raga menawarkan alternatif lain, siapa tahu Kirana sudah kepalang lapar.
“Gapapa, Mas. Saya mau nyobain pancake nya, katanya kalau rame itu tandanya enak.”
“Beneran?”
Kirana mengangguk, “ah, iya. Saya dengar dari Almira, Mas Raga pindah kantor?”
Almira sempat bercerita pada Kirana jika Raga pindah bekerja, pindah ke perusahaan lain. Waktu itu Almira bercerita dengan wajah yang sedikit masam, Raga memang dikenal sebagai atasan yang agak kaku, tidak seperti kebanyakan atasan yang berusia muda lainnya, Raga itu jarang sekali mengetahui hal-hal yang sedang ramai di bicarakan, makanya tak jarang ia tidak dapat berbicara banyak dengan karyawannya yang lain diluar obrolan kerjaan mereka. Tapi terlepas dari sikapnya yang membosankan, Raga adalah atasan yang baik dan juga sangat menghargai bawahannya.
“Iya, Na. Saya pindah dari kantor. Saya kerja bareng sama Mas Ethan kakak ipar saya.”
“Suaminya Mbak Adel yah?”
“Yup.” Raga mengangguk, “kamu sendiri gimana? Saya pikir kamu kerja di firma lain.”
Kirana tersenyum, ia memang tidak mengatakan pada siapapun selain Almira jika ia bekerja di toko tempat ibunya bekerja dulu. “Enggak, Mas. Sejak kepergian Ibu, saya mutusin buat kerja di toko itu karena toko itu tempat ibu bekerja dulu. Sederhananya saya ngerasa dekat sama Ibu kalau berada di sana.”
“Ahhh...” Raga mengangguk-angguk, “tapi keadaan kamu baik-baik aja sekarang kan, Na?”
“Baik, Mas. Jauh lebih baik kok.” keduanya bersandar di dinding cafe itu, setapak demi setapak mereka maju ketika pelayan cafe itu keluar dan mengantar satu persatu pelanggan yang antre lebih dulu dari mereka ke kursi yang sudah tersedia.
“Sebenarnya, Na. Di hari terakhir kita bertemu, waktu itu saya mau tanya sesuatu ke kamu.”
“Oh ya? Tanya apa, Mas?” Kirana menoleh ke arah Raga, membuat Raga yang berdiri di sebelahnya itu sedikit salah tingkah. Dalam hati Raga terus meruntuki dirinya yang tampak tidak keren sama sekali di depan Kirana.
“Soal, mimpi—” Raga menarik nafasnya sebentar. “Saya—”
Kirana mengangguk, setelah hari terakhirnya bekerja pun Kirana kembali bermimpi tentang Ayu dan Jayden kembali. Mimpi yang selama ini ia alami berputar kembali begitu cepat bagaikan sebuah kaset di kepalanya, dan paginya ketika ia terjaga ia bukan lagi merasa itu semua adalah mimpi. Melainkan potongan dari kisah masa lalunya, pagi itu Kirana tersadar jika ia adalah Ayu yang terlahir kembali. Kilasan itu sebuah cerita yang belum selesai.
“Sir Jayden.”
“Ka..kamu ingat saya?” Raga terperangah, ia yang tadinya berdiri di sebelah Kirana itu kini berpindah berdiri di depannya. “Kamu ingat saya Ayu?”
Kirana tidak menjawab, tenggorokannya rasanya tercekat, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu perasaan ini apa, namun ketika menyebutkan nama Jayden barusan dan melihat reaksi Raga yang justru menunjukan jika dirinya adalah Jayden dari masa lalu. Kirana ingin sekali berlari memeluk Raga, seperti ingin melepas rindu yang bertahun-tahun membuncah dalam hatinya yang terpaksa ia tahan.
Petang itu, di bawah sorot matahari menjelang sore di bawah rerimbunan pohon kedua anak manusia itu saling menatap.
Seperti berkomunikasi hanya dengan tatapan itu, seperti tengah mengisi rindu satu sama lain. Sampai akhirnya Raga menarik tangan Kirana dan membawa wanita itu dalam pelukannya, beberapa pasang mata yang melewati mereka sempat melirik ke arah Raga dan Kirana namun keduanya abaikan begitu saja.
“Tolong jangan tinggalin saya lagi, tolong hidup lebih lama lagi..” ucap Kirana lirih, ia tenggelamkan wajahnya di dada bidang Raga. Sama sekali tidak menyangka jika pria kolonial itu kini terlahir kembali menjadi seorang pribumi yang tak kalah jauh menawan. Hatinya masih bersih dan telat ia menyadari jika semesta kembali mempertemukan mereka.
Bersambung...