Wordsmith

Reader

Read the latest posts from Wordsmith.

from Melati Untuk Ayu

Dalam perjalanan dari rumah Bagas yang Kirana lakukan hanyalah menangis, dadanya sampai sesak semakin ia tahan tangisnya. Ucapan dari mulut orang tua Bagas itu terus terngiang di telinganya, hatinya sakit bukan main apalagi saat ia mengetahui jika Bagas sudah di jodohkan dengan wanita lain.

Yang Kirana pikirkan saat ini adalah bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Ia sudah banyak melalui berbagai hal dengan Bagas, melepas Bagas pun tidak mudah baginya. Bagas selalu menjadi obat untuknya bahkan di hari ia kehilangan Bapaknya.

Tetapi untuk melangkah maju melanjutkan hubungan mereka pun rasanya Kirana enggak sanggup, ia sudah mendapatkan penolakan dari keluarga Bagas dan Kirana enggak terima harga diri dan keluarganya di injak-injak seperti itu. Isak dari bibir tipisnya itu semakin menyesakkan, Kirana enggak perduli jika supir ojek yang ia tumpangi itu bertanya-tanya kenapa Kirana terus menangis.

Tidak lama kemudian, ojek yang di tumpangi Kirana itu menepi di bahu jalan. Entah kenapa, Kirana juga tidak paham. Buru-buru ia elap wajahnya dengan tangannya itu, Kirana udah gak perduli pada make up nya yang sudah luntur, bergeser atau oksidasi sekalipun. Ia hanya memikirkan perasaanya saja hari ini.

“Kenapa, Pak?” tanya Kirana begitu motor yang ia tumpangi itu berhenti.

“Maaf, Mbak. Motor saja baterai nya habis, mana tempat tukar baterai nya masih jauh lagi, Mbak nya pesan ojek online yang lain saja ya?” kata Bapak itu.

Kirana mengangguk kecil, ia melepas helm yang ia pakai dan turun dari motor ojek online yang ia berhentikan secara random tadi di depan rumah Bagas.

“Gapapa, Pak.” Kirana merogoh saku nya dan memberikan uang untuk ia bayar, biarpun tidak sampai di tujuan, Bapak itu setidaknya sudah menyelamatkan Kirana untuk secepatnya pergi dari rumah Bagas. “Uangnya, Pak.”

“Gak usah, Mbak. Kan belum sampai tujuan.”

“Gapapa, Pak. Ambil aja.” Kirana tetap memberikan uang itu, ia merasa tidak enak jika tidak membayarnya.

“Makasih yah, Mbak.”

Kirana hanya mengangguk kecil, ia akhirnya berjalan untuk sampai di halte bus, mungkin ia akan menaiki bus saja untuk sampai di rumahnya. Bukan Kirana tidak sadar jika sedari tadi saku celana nya terus bergetar, getaran itu berasal dari ponselnya. Ia yakin jika Bagas yang menelfonnya tiada henti.

Kirana gak tahu apa yang harus ia ceritakan pada Ibu jika Ibu bertanya nanti, Ibu tahu persis bagaimana Kirana menyiapkan brownies dan puding untuk orang tua Bagas itu. Selama ini pun, Kirana hanya bercerita yang baik-baik tentang keluarganya Bagas. Kirana enggak pernah bercerita dengan jujur bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya. Kirana enggak ingin Ibu sedih, dan terlebih ia tidak ingin sikap Ibu berubah dengan Bagas.

Kirana telah sampai di halte bus tak jauh dari tempat ia berhenti tadi, ia duduk di halte itu. Termenung melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala dan lampu-lampu yang berasal dari kendaraan, bunyi bising dari klakson sore itu seperti satu-satunya teman untuk mengisi hampa dan sedih di hatinya.

Kepalanya sedikit pening karena terlalu banyak menangis, namun rasanya air matanya tak kunjung ingin berhenti menetes dari pelupuknya. Kirana masih ingin terus menangisi harinya saat ini, entah sampai kapan air matanya itu bisa berhenti dengan sendirinya.

Sedang tertunduk meratapi dirinya, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 N itu berhenti di depan halte tempat Kirana berpijak, pengendaranya keluar dari sana dan menghampiri Kirana yang bahkan belum sadar akan kehadirannya.

“Kirana?” panggil orang itu yang membuat Kirana menoleh tanpa menghapus air mata yang masih menetes dari pelupuk matanya.

“Pa..pak Raga?” gumamnya, Kirana buru-buru menghapus jejak air matanya itu dan berdiri.

“Kamu ngapain disini?”

“Saya mau pulang, Pak. Lagi nunggu bus.”

“Saya antar kamu pulang aja ya?” Raga tidak tega melihat Kirana menunggu bus sendirian, apalagi wanita itu juga sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Entah kenapa melihat Kirana menangis, rasanya ada separuh dalam dirinya yang tidak terima. Ia ingin menghajar orang yang membuat wanita itu menangis di jalan seperti ini.

“Gausah, Pak. Gapapa saya naik bus aja.” Kirana takut merepotkan Raga, selain itu ia juga sungkan dan sedikit malu. mungkin saja Raga melihat bagaimana ia dan Bagas bertengkar di pesta ulang tahun barusan.

“Saya mau minta bantuan kamu kebetulan, lagi enggak sibuk kan?” ini hanya alibi Raga saja agar Kirana mau ikut dengannya.

Kirana seperti menimang-nimang permintaan itu dari Raga, Raga atasannya dan pria itu baik. Tidak ada salahnya jika Kirana membantu Raga sebentar, lagi pula rasanya ia belum siap pulang jika air matanya belum kunjung berhenti dan suasana hatinya belum membaik. Ia takut menangis saat Ibu bertanya nanti.

Kirana akhirnya mengangguk, “boleh, Pak.”

“Yaudah, sekarang masuk ke mobil saya yah.” Raga memberi jalan untuk Kirana, membiarkan wanita itu masuk ke mobilnya lebih dulu baru setelah itu ia masuk ke mobil miliknya.

Di perjalanan Raga juga enggak tanya-tanya apapun itu sama Kirana, dia cukup paham jika suasana hati wanita di sebelahnya itu enggak cukup baik. Hanya ada suara dari radio yang terdengar, sang penyiar yang sedang saling berbincang mengenai berita di negeri mereka yang mulai carut marut itu. Tentang eksploitasi alam dan beberapa pulau di Sumatra yang di beritakan akan di jual.

Mobil yang di kendarai Raga itu berhenti di sebuah deretan pedagang kaki lima, berhenti di sebuah tenda yang menjual martabak manis dan martabak telur. Raga dan keluarganya sudah biasa datang kesana untuk membeli martabaknya.

“Kok kesini, Pak?” Kirana menoleh, seingatnya Raga kan butuh bantuannya.

“Iya saya mau minta tolong sama kamu pilihin martabak.” Raga melepas seatbelt nya dan mematikan mesin mobilnya itu.

“Apa?!” pekik Kirana, agak sedikit kaget karena kelakuan konyol atasannya itu. “Serius?”

“Kamu mau turun dan kehabisan nafas di mobil apa mau ikut saya liatin Mamang nya bikin martabak?”

Tentu saja opsi pertama adalah pilihan yang buruk, Kirana memang sedang gundah gulana tapi kehabisan nafas di dalam mobil atasannya itu bukan ide yang baik ia pikir. Jadi cepat-cepat ia buka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan ikut keluar dari mobil mengekori Raga.

Pria itu berdiri di depan menu yang di tempel di gerobak besar tukang martabak itu, dan Kirana ikut berdiri di belakangnya sambil membaca menu nya juga. Ternyata untuk ukuran martabak pinggir jalan, harga martabak tempat Raga berhenti ini harganya lumayan mahal juga menurut Kirana.

Tapi dia pikir bisa saja mahal karena bahan-bahan yang di pakai adalah bahan dengan kualitas terbaik, bisa Kirana rasakan sendiri jika wangi yang di sebarkan dari aroma martabak manis yang sedang di panggang itu begitu harum.

“Menurut kamu lebih enak martabak coklat kacang atau martabak telur bebek tapi telurnya 4, Na?” tanya Raga.

Kirana melirik Raga sebentar, jadi yang di maksud meminta bantuannya adalah untuk memilihkan martabak manis atau martabak telur? Pikir Kirana. Wanita itu jadi terkekeh pelan, gak nyangka kalau permintaan tolong Raga akan seabsurd ini.

“Jadi Bapak minta tolong saya pilihin martabak?”

Raga mengangguk, “kalau soal martabak saya enggak bisa milih, susah. Karna dua-dua nya enak.”

“Kenapa gak beli dua-dua nya aja?”

“Saya cuma mau beli satu macam,” jawab Raga enteng.

Kirana mengangguk-angguk, setidaknya ajakan konyol dari atasannya itu bisa sedikit membuat gundah gulana hatinya sedikit terlupakan walau mungkin hanya sebentar.

“Martabak telur aja gimana?” Kirana tertarik aja sama telur bebek nya, apalagi daging giling yang sedari tadi di depannya itu sebagai toping martabak benar-benar harum. Kirana udah bisa bayangin akan setebal apa martabak nya jika memakai empat telur bebek.

“Boleh,” Raga mengangguk. “Kamu duduk dulu saja, saya mau pesan dulu.”

Kirana tersenyum kecil, kemudian menarik kursi yang ada di sana. Menunggu Raga memesan martabak miliknya sembari sesekali ia melihat atraksi masak dari pedagang yang sedang membuat kulit martabak telur menjadi ukuran besar. Kirana benar-benar takjub rasanya, dari ukuran kecil bisa menjadi besar dengan ketebalan yang sempurna dan tidak sobek sedikipun.

Tidak lama kemudian Raga menyusul Kirana, duduk di samping wanita itu sembari menyaksikan pedagang itu membuat pesanan mereka. Di liriknya Kirana, Raga sedikit lega karena sorot sendu itu sudah sedikit sirna. Setidaknya Kirana sudah tidak menangis lagi.

“Bakpau yang saya kasih waktu kamu sakit itu.” Raga terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya yang membelikan Kirana banyak bakpau.

“Ya?” Kirana menoleh. “Kenapa, Pak?”

“Kamu suka bakpau nya?”

Mengingat bakpau yang di beli Raga waktu itu Kirana jadi terkekeh, pasalnya pria itu membelinya lumayan banyak. Sampai Kirana membaginya pada pasien-pasien lain yang satu kamar dengannya.

“Suka kok.”

Raga tersenyum, ada desiran hangat di hatinya mendengar Kirana menyukai bakpau yang ia belikan. “Bagus deh kalau kamu suka, kamu ingat waktu Ayu dan Jayden kencan gak?”

Kirana mengerutkan keningnya, tentu saja ia ingat. Mimpi kencan bersama Jayden sembari berkuda dengan pria itu membuat perasaan Kirana di pagi hari membaik. Pria Belanda itu benar-benar romantis dan sangat melindungi Ayu di dalam mimpinya, mana mungkin ia bisa lupa.

“Ingat, mereka makan bakpau kan?” ucap Kirana dengan kekehan dari bibir mungilnya.

“Benar.”

“Jadi itu sebab nya Bapak tanya saya ya, lebih suka bakpau atau onde-onde?” tebak Kirana, karena Raga bermimpi lebih dulu tentang pasangan itu bisa saja saat Raga menawarinya bakpau. Raga sudah bermimpi Ayu dan Jayden berkencan.

“Iya,” Raga terkekeh. “Saya juga gak nyangka kalau kamu bakalan milih bakpau.”

Kirana mengangguk-angguk kecil, mengesampingkan Ayu dan Jayden. Ia jadi ingat bagaimana tatapan Raga saat melihatnya mencuci piring di rumah Bagas barusan, mungkin saja Raga yang memberi tahu Bagas jika ia melihatnya mencuci piring.

“Pak?”

“Ya, Kirana?” Raga menoleh, ia tadi sedang membuka botol air mineral yang ada di meja tempat mereka duduk.

“Soal kejadian di rumah Bagas barusan.”

“Ya?”

“Bapak yang bilang ke Bagas ya kalau saya nyuci piring?” Kirana berbicara dengan nada penuh kehati-hatian, takut sekali pertanyaanya itu terdengar seperti tuduhan dan membuat hati atasannya itu tersinggung.

“Iya, memang saya, Na. Saya yang menegur Bagas kenapa dia membiarkan kamu mencuci piring di rumahnya.”

Kirana mengangguk kecil, sesuai dugaanya. Tapi jika Raga tidak memberi tahu pun. Kirana pasti akan tetap di hina oleh orang tua Bagas, semua sama saja. Bahkan jika Raga tidak memberi tahu Bagas, mungkin ia tidak akan tahu kebenaran jika Asri adalah wanita yang di jodohkan orang tua Bagas untuk putra mereka.

“Maaf yah, Na. Kalau kesannya saya ikut campur urusan pribadi kamu dan Bagas.” Raga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun ia sudah seperti mencampuri urusan keduannya. Meskipun di mata Raga, Bagas dan keluarganya tidak cukup baik memperlakukan Kirana dengan membiarkan wanita itu mencuci banyak piring bekas tamu di rumahnya.

“Gapapa, Pak. Saya juga udah capek banget sebenarnya, jadi bisa langsung pulang deh walau cucian piringnya belum selesai.” Kirana terkekeh pelan, meski hatinya sakit. Ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan atasannya itu.

Setelah martabak pesanan Raga selesai di buat, Raga langsung mengantar Kirana pulang. Hari sudah semakin larut, Raga memaksa untuk tetap mengantar Kirana pulang meski Kirana awalnya meminta di turunkan di halte bus saja. Untung saja wanita itu pada akhirnya setuju.

“Ini buat Ibu kamu, Na.” Raga mengambil 3 kotak martabak dari 4 yang ia beli barusan.

“Hah? Kok jadi buat Ibu saya, Pak?” Tanya Kirana bingung.

“Iya, saya emang beli buat kamu sama Ibu kamu.”

“Ma..makasih, Pak. Tapi ini banyak banget.” Kirana menganga melihat tiga kotak martabak telur itu. Dia hanya berdua dengan Ibu bagaimana caranya menghabiskan makanan sebanyak itu.

“Kamu kasih ke tetangga kamu juga gapapa sisa nya.”

Kirana menggeleng kepalanya pelan, ia benar-benar di buat heran oleh kelakuan atasannya itu. “Terima kasih sekali lagi yah, Pak.”

“Sama-sama Kirana.”

“Saya turun dulu kalau gitu, Bapak hati-hati di jalan.” Kirana melepas seatbelt nya dan hendak membuka pintu mobil Raga sampai akhirnya gerakannya itu tertahan karena Raga memanggilnya.

“Kirana?”

“Ya, Pak?” Ia kembali menoleh.

“Jangan nangis di pinggir jalan lagi,” ucap Raga tak di sangka-sangka.


Samarang, 1898.

Dimas dan Ayu melangsungkan pernikahan yang di gelar begitu mewah di Samarang, ada banyak tamu dari para petinggi pribumi, saudagar dan juga para petinggi kolonial yang juga datang untuk memberi ucapan selamat pada keduanya. Meskipun begitu, Ayu tak mengizinkan Jayden datang untuk menemuinya di pesta pernikahannya ia tidak akan sanggup melihat kedua netra kecoklatan itu menampakan sebuah kesedihan.

Pesta yang di gelar hingga malam itu membuat Ayu sedikit kelelahan, ia lebih banyak diam dan jarang sekali tersenyum jika Romo tidak menegurnya. Terkadang, Dimas mengajaknya untuk ikut menari bersama para penari yang memang di panggil untuk menghibur para tamu undangan.

Ketika Dimas sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya, Adi yang sedari tadi berdiri lumayan jauh dari tempat mempelai itu akhirnya menghampiri Ayu. Membuat Ayu yang sedang duduk bersandar itu menoleh pada Adi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.

“Raden Ayu?” panggil Adi, mata pria itu juga menampakan kesenduhan.

Sehari sebelum pesta pernikahan itu di gelar, Ayu sempat bercerita pada Adi jika ia sama sekali tidak menginginkan sebuah pernikahan bersama Dimas. Bahkan ada kala nya Ayu berpikiran nekat untuk meminta Adi membawanya pergi ke kediaman Jayden berada.

“Mas Adi? Ada apa?” tanya Ayu, ia sontak berdiri.

“Sir Jayden datang, ia menunggu Raden Ayu di kebun belakang,” bisik Adi, dekat telinga Ayu namun tetap ia beri jarak. Adi masih tahu diri untuk tidak terlalu dekat jika berbicara dengan Ayu.

Mendengar ucapan Adi, hati Ayu seperti di buat gundah gulana. Ia memendarkan pandangannya ke sekitarnya, berharap tidak ada orang lain yang menyadari jika ia meninggalkan kursinya sebentar saja demi bertemu Jayden. Ia tidak bisa membiarkan Jayden dan Dimas berhadapan lagi seperti kemarin.

Karena nyatanya, setelah ia berbicara sebentar dengan Jayden. Dimas langsung menuturkan ucapan yang membuat Jayden tersinggung, menurut pria itu, Dimas telah merendahkan Ayu sebagai seorang wanita dan Jayden tidak terima, mereka nyaris saja berkelahi jika Ayu tidak segera menengahi dengan kedua tangan yang bergetar bukan main.

“Antarkan Ayu pada Sir Jayden, Mas Adi.”

Adi mengangguk, ia memberikan tangannya untuk Ayu pegang. Sebagai tumpuhan agar Ayu bisa mengikuti langkahnya menuju tempat Jayden berada. Beruntungnya, keramaian yang ada membuat Adi dan Ayu dengan cepat keluar dari tempat pesta itu berada, para tamu dan keluarga yang datang sedang sibuk menonton para penari. Dan itu di jadikan kesempatan bagi Adi untuk membawa Ayu pergi.

Langkah kaki Adi yang panjang-panjang itu membuat Ayu sedikit kelimpungan, ia hampir saja oleng jika saja Adi tidak menggenggam tangannya dengan erat. Nafasnya juga sedikit tersenggal karena Ayu benar-benar kelelahan.

“Mas Adi, Mlayune alon-alon,” keluh Ayu dengan nafas yang tersenggal-senggal.

Adi berhenti sebentar, ia menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Ayu yang tangannya ia genggam. Wanita itu berkeringat, jika tidak mengenakan riasan mungkin wajah Ayu sudah pucat. Nafasnya juga tersenggal-senggal terlihat dari dua bahu kecil itu naik turun.

“Jika Raden Ayu mengizinkan, saya bisa menggendong Raden Ayu.” Adi menawarkan Ayu untuk ia gendong, ia tidak tega melihat Ayu seperti kehabisan oksigen seperti itu.

Ayu yang sudah sedikit lemas itu mengangguk, membiarkan Adi bersimpuh membelakanginya. Membiarkan tubuh kurusnya itu jatuh dalam punggung lebarnya, Ayu memeluk leher Adi. Ia benar-benar sudah pasrah Adi akan membawanya kemana, ia percayakan saja pada pria itu.

Bagi Adi, Ayu tidaklah berat. Jadi ia bisa sedikit berlari agar bisa sampai pada kebun belakang yang sedikit lagi sampai itu. Di ujung sana ada sebuah gubuk kecil dengan penerangan minim, cahaya itu berasal dari obor yang di pegang oleh seseorang pria disana. Itu adalah Jayden, dengan raut wajah penuh kekhawatiran melihat dari ujung tempatnya berdiri, seorang pria menggendong wanita yang tampak tidak begitu berdaya di punggungnya.

Begitu pria itu mendekat, barulah Jayden tahu jika mereka adalah Adi dan Ayu. Adi menurunkan Ayu di atas amben yang ada di gubuk kecil itu, setelah memastikan jika Ayu duduk disana, Adi sedikit menjauh dari pasangan itu. Membiarkan Jayden dan Ayu berbicara meski waktu keduanya tidaklah banyak.

“Ayu..” Gumam Jayden, matanya berbinar dengan sedikit genangan air mata di pelupuk matanya.

Jayden kagum karena Ayu dan riasan sederhana nya itu membuat wajah yang sudah dahayu itu semakin indah, sedangkan genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya itu menginsyaratkan sebuah kehancuran di hati Jayden. Dua minggu sudah perjuangannya untuk mendapatkan restu dari keluarganya dan Ayu tidak mendapatkan hasil.

Saat berbicara jujur jika ia mengencani seorang pribumi yang mana adalah seorang anak priyai, Jayden tentu saja mendapat penolakan dari orang tua nya di Belanda. Bahkan dari Kakak perempuannya, bahkan Jayden kerap di ancam jika jabatannya sebagai Asiten Residen Samarang akan di berhentikan dan memulangkannya ke Belanda jika tetap nekat menikahi Ayu.

Ayu yang sudah lemas itu tidak menjawab, ia hanya berdiri dan berhambur ke pelukan pria yang sangat ia rindukan itu. Ayu tidak perduli statusnya saat ini sudah menjadi istri dari pria lain.

“Bawa aku bersamamu, Sir Jayden,” ucap Ayu dalam isaknya.

Di rengkuhnya tubuh mungil itu, berkali-kali Jayden mengecupi kepala Ayu, mengusap punggung kecilnya demi meredam tangis itu.

“Aku tidak akan kemana-mana, liefj. aku akan tetap di tanah Samarang ini meski tidak bersamamu.”

Ayu sudah tahu perihal ancaman keluarga Jayden pada pria itu, Jayden menitipkan surat melalui Adi untuk di baca Ayu.

“Mas Dimas akan membawaku ke Soerabaja, jika aku pergi ke sana. Kita akan sulit bertemu, ini kesempatan terakhir yang kita miliki jadi aku mohon padamu bawaku pergi sekarang.” ucapan Ayu itu terdengar seperti sebuah permohonan.

Jayden tahu Ayu sedang tidak berpikir jernih, jabatan Jayden sebagai asisten Residen dan keluarga Ayu yang berasal dari keluarga terpandang itu akan menyulitkan keduanya untuk melarikan diri. Akan ada seyembara nantinya jika mereka berdua kabur.

“Kau mau berjanji satu hal padaku, sayang?” Jayden merenggangkan pelukan itu, sedikit memberi jarak pada Ayu demi bisa menghapus jejak air matanya itu.

“Ap..apa?”

“Berjanjilah untuk terlahir kembali, aku akan berusaha menemukanmu dan mengusahakan kita untuk bisa bersama jika di kehidupan saat ini kita benar-benar tidak berjodoh.”

Bersambung...

 
Read more...

from Melati Untuk Ayu

Raga dan Kirana akhirnya sepakat untuk bicara berdua di rooftop kantor, untungnya di sana cukup sepi hanya ada mereka berdua saja. Karena karyawan-karyawan yang berada di gedung ini memang di sibukan di pagi hari di ruang kerja mereka masing-masing. Waktu mereka berdua tidaklah banyak, karena setelah ini Raga harus meeting dengan para petinggi kantor.

Setelah itu pun ia masih harus memantau proyek yang berada di daerah Tanggerang, makanya waktunya untuk bertemu dengan Kirana hanya di pagi hari ini saja. Keduanya berdiri menatap gedung-gedung tinggi perkantoran sembari di temani udara yang masih cukup sejuk untuk kota Jakarta pagi itu, semilir angin seperti menjadi saksi bisu keduanya membahas sisa masa lalu dari isyrat mimpi yang keduanya alami.

“Mimpimu sudah sampai mana, Na?” Tanya Raga to the point memang itu yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

“Bapak ajak saya ke sini untuk bertanya kelanjutan mimpi kita dan mencocokannya?”

Raga mengangguk.

Kirana menghela nafas, memang itu kesepakatan mereka. Memecahkan misteri mimpi yang mereka berdua alami, “semalam saya bermimpi Ayu bertemu dengan calon Suaminya.”

“Anak dari Bupati Surabaya itu?” Tebak Raga.

Kirana mengangguk, wajahnya berubah menjadi sendu. Teringat akan wajah pria dalam mimpinya, pria pribumi angkuh yang akan segera menikahi Ayu. Mengingatnya saja membuat Kirana bergedik, memikirkan nasib Ayu kelak jika menikah dengan pria yang lebih banyak main-main seperti itu.

“Dimas namanya, Pak.”

“Mereka akan menikah bulan depan, Bukan?”

“Bapak tahu?”

Raga menghela nafasnya, “Kirana, di mimpi saya kamu dan Dimas datang ke kantor Residen. Dimas memamerkan kamu sebagai calon Istrinya, apa kamu juga sudah mimpi sejauh itu?”

“Iya, dalam mimpi saya pun saya bertemu Bapak.” Kirana masih ingat jika Dimas membawa Ayu ke kantor Residen dengan sedikit paksaan, bahkan pria itu tidak segan-segan menyeret Ayu.

“Kalau begitu kita berada di bagian mimpi yang sama, Pak,” lanjut Kirana.

“Kamu sudah cari tahu tentang Ayu?”

Mendengar pertanyaan Raga, Kirana justru terdiam. Ia meremat tali tas yang ia kenakan, mengingat semalaman suntuk ia mencari tahu tentang Ayu. Meskipun agak sedikit sulit tapi setidaknya Kirana menemukan titik terang tentang Djenar Ayu Astutiningtyas.

Ayu bukanlah tokoh penting di negeri ini, jadi tidak banyak orang yang membuat biografi mengenainya dan membahasnya. ia hanya di kenal sebagai Istri dari anak Bupati Surabaya dan anak dari seorang saudagar pemilik toko distribusi roti pada zaman kolonial.

“Tapi enggak banyak yang bahas mengenai Ayu, Pak. Karena dia bukan tokoh penting di negeri ini, enggak seperti Jayden.”

“Apa yang kamu tahu tentang dia, Na?” Raga hanya ingin mencocokannya dengan hal-hal yang ia temukan tentang Jayden. Ia pikir itu adalah satu-satunya cara agar mereka tahu isyarat tentang mimpi mereka.

“Yang saya tahu, Ayu hanya anak dari saudagar pemilik toko yang mendistribusikan roti untuk para tentara Kolonial. Dan Istri dari Dimas, waktu itu Dimas di gadang-gadang akan menggantikan posisi Ayahnya. Hanya itu saja,” jelas Kirana.

“Yakin cuma itu aja, Na?”

Kirana menunduk, ia mengulum bibirnya. Ada hal lain yang membuatnya ingin bercerita tentang Ayu pada Raga. Namun entah kenapa rasanya dadanya bergemuruh, merasakan sedikit sesak tentang apa yang ia ketahui akhir dari kehidupan wanita bernama Ayu di masa lampaunya.

“Na?” Panggil Raga sekali lagi, waktu mereka tidak banyak dan Kirana seperti sedang mengulur waktu mereka berdua, Raga yakin Kirana menemukan sesuatu tentang Ayu yang membuatnya enggan bicara.

“Pernikahannya dengan Dimas tidak bertahan lama, Pak. Karna satu tahun kemudian Ayu meninggal. Di artikel itu juga enggak di ceritakan Ayu meninggal karena apa, tapi bisa jadi karna sakit yang dia derita dari kecil,” ucap Ayu pada akhirnya.

“TBC..” gumam Raga yang di jawab anggukan oleh Kirana. Ayu memang menderita penyakit itu.

Kedua bahu Raga turun, Dan ia pun sudah mengetahui akhir dari hidup Jayden, setelah ini Raga akan mencari tahu apa yang membuat mereka bermimpi tentang kehidupan sebelumnya. Ya anggap saja begitu sekarang meski itu tidak terbukti.

“Pak, apa Bapak juga tahu kalau Adi—”

Raga mengangguk kecil, “iya saya tahu, Bagas kan?”

Kirana mengangguk, “selain Bagas apa ada orang lain di masa lalu kita yang hadir di kehidupan sekarang ini?”

“Kakak saya, Na. Mbak Adel, Jayden punya Kakak perempuan bernama Roosevelt Van Den Dijk. Dan Mbak Adel adalah reinkarnasi dari Roosevelt, tapi dia pun enggak bermimpi apa-apa, mungkin sama hal nya dengan Bagas yang juga gak bermimpi apa-apa.”

Kalau begitu kemungkinan besar ada orang lain dari masa lalu mereka yang kemungkinan ada di kehidupan mereka yang sekarang, orang tua Kirana saat ini bukanlah orang tua dari Ayu di masa lalu. Kirana dan Ayu lahir dari orang tua yang tidak reinkarnasi di masa lalu.

“Itu artinya Jayden dan Ayu benar-benar tidak menikah di kehidupan itu, Na.”

“Saya baca-baca sedikit tentang kehidupan di zaman itu, menikah bagi bangsa kolonial dan pribumi itu sulit, Pak. Kita masih harus menunggu kelanjutan cerita mereka kalau kita mau cari tahu apa maksud dari mimpi yang kita berdua alami,” jelas Kirana, menurutnya memang begitu karena mimpi mereka berdua masih sangat menggantung.

“Kamu jangan segan-segan untuk bertanya kelanjutanya pada saya, Na. Termasuk hal-hal yang kamu cari tahu. Sekecil apapun itu mungkin bisa jadi pentunjuk.”


“Disini aja, Pak.”

Taksi online yang Kirana tumpangi itu berhenti di belakang mobil yang terparkir di depan rumahnya Bagas, ternyata acara ulang tahun Ibu nya Bagas itu lumayan meriah juga. Kirana sempat berpikir mungkin hanya syukuran biasa saja tadinya, sebelum turun dari mobil. Dia memastikan dulu rambut dan riasan rambutnya masih rapih. Setelah itu barulah ia turun membawa kotak berisi brownies dan juga puding cokelat yang ia buat sendiri.

Bagas bilang dia enggak bisa menjemput Kirana karena ia harus membantu acaranya di rumah, tentu saja Kirana sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Begitu Kirana masuk ia langsung di sambut dengan senyuman hangat oleh Kanes Adiknya Bagas.

“Mbak Kirana..” sapa Kanes, wanita itu memeluk Kirana dengan hangat.

“Hai, Nes. Apa kabar?”

“Baik, Mbak. Ya ampun, Mbak. Maaf yah waktu Mbak sakit aku gak sempat jenguk karena lagi sibuk banget kuliah.” Kanes jadi merasa bersalah kalau ingat ia tidak bisa menjenguk Kirana di rumah sakit waktu wanita itu kecelakaan, Kanes itu kuliah kedokteran yang mana kegiatan di kampusnya tentu banyak menyita waktu bahkan untuk sedikit bersantai sekalipun.

“Iya gapapa, Bagas udah cerita kalau kamu lagi hectic banget di kampus.”

Kanes mengangguk, sedikit lega karena Kirana cukup mengerti dirinya. “Oh yah, masuk yuk, Mbak. Mas Bagas, Ibu sama Ayah ada di dalam.”

“Hhmm, Nes. Tapi make up aku gak berlebihan kan?” Kirana jadi enggak percaya diri tiba-tiba, apalagi sedari tadi banyak pasang mata yang melirik ke arahnya. Kirana sadar, warna dusty pink yang ia pakai sebagai dresscode yang di tentukan itu agak sedikit berbeda dengan yang tamu lain pakai.

“Kamu tuh cantik, Mbak. Udah yuk masuk.” Kanes menggandeng tangan Kirana yang bebas dari kotak berisi kue itu.

Begitu melihat Bagas yang sedang sibuk berbicara dengan tamu dari keluarganya, Kirana tersenyum apalagi Bagas juga dengan sigap langsung menghampirinya. Pacarnya itu tampak semakin tampan dengan kemeja dusty pink yang ia pakai, rambutnya pun di bentuk hair coma style yang membuat Bagas terlihat semakin kharismatik.

“Tuh udah ada Mas Bagas, aku ambilin Mbak minum dulu yah,” kata Kanes, ia berpamitan pada Kirana untuk mengambilkan wanita itu minum.

“Iya, makasih yah, Nes.”

Begitu Kanes pergi, Bagas langsung mengajak Kirana ke dalam rumahnya. Ibunya ada di dalam, sedang menjamu teman-temannya dan ada beberapa sanak saudara yang datang dari Surakarta.

“Buk, ada Kirana,” ucap Bagas.

Kirana berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya, walau ada desiran ketidaknyamanan saat calon mertuanya itu menatapnya dengan tatapan sedikit sinis. Tidak, Kirana tidak terlalu perasa. Bagi siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berpikiran sama dengannya.

happy birthday, Buk.” Kirana menyalami tangan Ibunya Bagas, walau uluran salaman itu di sambut dengan rasa acuh tak acuh.

“Iya, terima kasih yah, Kirana.”

Kirana mengangguk pelan, “Kirana bawain Ibu brownies sama puding cokelat yang Kirana bikin sendiri, Buk. Cobain ya.”

“Repot-repot kamu bikin, tapi nanti saja yah. Saya sudah kenyang, tadi habis nyobain lapis legit yang di buat sama Asri.”

Bagas menggeleng kepalanya samar, sungguh kecewa bukan main ia melihat perlakuan Ibu nya itu pada Kirana. Namun Bagas hanya bungkam, ia tidak ingin merusak suasana apalagi di keramaian seperti ini dan di hari ulang tahun Ibunya.

“Iya gapapa, Buk.”

“Bi, bawa kue-kue nya ke belakang ya.” Ibu nya Bagas itu memanggil pekerja yang berkerja di rumahnya, menyuruh mereka membawa kotak berisi kue-kue itu untuk di bawa ke dapur tanpa di suguhkan disana.

Kirana menunduk, dalam hati ia meringis. Namun ia merasa tidak bisa menyerah begitu saja, ia masih mencoba untuk berpikir positif jika mungkin saja brownies dan pudingnya tidak di suguhkan untuk tamu melainkan untuk mereka makan sendiri, Ia sangat mencintai Bagas, dan ia juga ingin dapat cinta dari keluarga laki-laki itu juga.

“Kita ke depan yuk?” bisik Bagas, ia tidak tega melihat Kirana di acuhkan oleh Ibunya. Ibu bahkan tidak mengajak Kirana bicara lagi dan sibuk berbicara dengan teman-temannya.

“Aku belum ngobrol banyak sama Ibu..” bisik Kirana, ia pikir ia harus lebih banyak bicara sama Ibunya Bagas. Dengan begitu mereka bisa mengenal lebih dalam satu sama lain bukan, yah siapa tahu saja di saat-saat seperti ini hati orang tua Bagas itu luluh.

“Yakin?” Bagas cuma mau memastikan aja, dia gak mau Kirana berada di situasi yang tidak membuat wanita itu nyaman.

“Iya sayang, sana kamu ke depan aja. Nanti kalau udah selesai ngobrol sama Ibu, aku susul kamu ke depan.”

“Beneran yah?”

Kirana mengangguk.

“Yaudah aku ke depan yah, nanti kalau aku lihat Kanes. Aku suruh dia nemenin kamu.”

Selepas kepergian Bagas, Kirana berusaha untuk berbicara dengan Ibunya Bagas meski hanya mendapatkan balasan sekedarnya saja. Kirana enggak mau menyerah, apalagi saat wanita bernama Asri itu datang. Kalau dari yang Kirana lihat, Ibu benar-benar menyukai Asri bahkan Asri yang di kenalkan ke saudara-saudara Bagas dan juga teman-teman Ibu yang datang.

“Ohhh.. Asri ini temannya Bagas waktu SMP? Yang rumahnya dulu sebelahan sama rumahmu di Surakarta itu bukan, Jeng?”

“Betul,” Ibu nya Bagas itu tersenyum. “Cantik kan, calon menantu idaman sekali dia ini. Bahkan Asri yang milih warna yang cocok untuk dresscode ulang tahun saya loh.”

Mendengar hal itu, Kirana menunduk. Jadi Asri lah yang banyak membantu untuk acara ulang tahun Ibu. Meski hatinya sedikit perih, Kirana masih terus berusaha tersenyum ramah, Kirana enggak minder sama sekali sama Asri meski ia pun tidak menangkis jika wanita itu benar-benar cantik dan memiliki selera yang bagus.

“Kalau yang di sebelah sana siapa, Jeng?” Teman dari Ibunya Bagas itu melirik Kirana yang duduk tak jauh dari tempat Asri duduk, Asri duduk benar-benar bersebelahan dengan Ibunya Bagas sedangkan Kirana agak sedikit berjarak beberapa senti.

“Ahh... Itu Kirana, pacarnya Bagas,” cicit Ibu pelan.

Asri menoleh ke arah Kirana, wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kirana untuk duduk di dekatnya saja. “Sini, Na!”

Begitu Kirana mendekat, Ibu yang tadinya sedang duduk di sofa itu berdiri dan menghampiri Kirana. Kirana yang melihat itu sudah senang apalagi Ibu tersenyum ke arahnya, ada sirat kepercayaan diri yang membuncah di dadanya jika ia akan di kenalkan sebagai calon menantu di keluarga itu. Namun itu semua hanya ada dalam benak kepala Kirana tanpa terwujud jadi nyata, karena Ibu justru mengatakan hal di luar dugaanya.

“Na, kamu mau bantuin Ibu gak?” tanya Ibu.

Tentu saja Kirana dengan senang hati akan membantunya, baginya ini adalah kesempatan. “Mau, Buk. Apa yang Kirana bisa bantu?”

“Ini, Na. Si bibi kan kayanya kerepotan cuci piring di belakang, yah. Maklum lah udah tua juga, kamu bantu-bantu yah. Dari pada kamu di sini enggak ngapa-ngapain juga kan.”

Mendengar ucapan itu, senyum di wajah Kirana sedikit memudar. Ia hanya di minta bantuan untuk mencuci piring ternyata, walau agak sedikit kecewa tetapi Kirana mengangguk, ia suguhkan senyum manisnya itu. Ia hanya berpikir mungkin dengan cara seperti ini hati orang tua Bagas itu bisa luluh dan bisa menerima nya.

“Iya, Buk. Kalo gitu Kirana ke belakang yah,” pamitnya, setelah mendapatkan anggukan kecil dari Ibunya Bagas, cepat-cepat ia ke dapur rumah keluarga itu.

Kirana pikir bibi yang bekerja di rumah Bagas itu hanya satu orang, ternyata ada dua orang dengan rentang umur yang sama. Keduanya sedang menikmati brownies yang Kirana bawa, Kirana sendiri gak tau kenapa makanan yang ia bawa justru pekerja di rumah Bagas yang memakannya. Ia hanya berpikir itu semua pasti sudah mendapatkan izin dari sang pemilik rumah.

Ia bukan tidak senang makananya itu di makan orang lain selain Ibunya Bagas, hanya saja ia buatkan itu semua khusus untuk Ibunya Bagas di hari ulang tahunnya.

“Eh, neng Kirana. Mau ngapain, Neng?” tanya Bibi yang berbadan gempal itu, wanita paruh baya itu tersenyum.

“Mau bantu-bantu, Bi.”

“Ih udah, gak usah ini kan udah jadi kerjaan Bibi.”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, Bi. Biar cepat selesai.”

Kirana mengambil kain lap untuk mengeringkan beberapa piring yang sudah selesai di cuci, Bibi yang sedang makan brownies buatan Kirana tadi tampaknya agak sedikit tidak enak. Terlihat dari gelagatnya yang canggung dan langsung menghentikan makannya begitu Kirana datang.

“Brownies buatan Neng Kirana enak banget,” ucapnya tiba-tiba.

“Oh ya?” Kirana menoleh, ia tersenyum. Senang rasanya mendapatkan pujian jika brownies buatannya enak meski itu bukan berasal dari Ibunya Bagas. “Kemanisan gak, Bi?”

Bibi gempal itu menggeleng, “enggak, Neng. Rasanya pas, manisnya pas enggak amis juga enak pokoknya mah.”

“Syukur deh kalau begitu.”

Kirana lega, meski sedikit sedih namun itu bukan masalah untuknya. Setidaknya makanan yang ia bawa tidak di buang saja rasanya Kirana sudah bersyukur. Sementara itu di teras rumah Bagas yang masih di padati banyak tamu, Raga menikmati setiap hidangan yang di sediakan di sana. Ia datang bersama Satya.

Bagas memang mengundang Raga dan Satya untuk datang ke acara pesta ulang tahun Ibunya, mereka sempat berbincang sebentar. Bagas juga sempat mengenalkan Kanes pada dua temannya itu, Almira bukan tidak Bagas undang hanya saja wanita itu sudah memiliki janji lain dengan teman kencan butanya itu, Almira hanya menitipkan kado untuk Ibunya Bagas oada Satya.

“Gas, toilet dimana ya?” tanya Raga.

“Kebelet, Pak?” tanya Satya cengengesan.

“Enggak!” jawab Raga dengan ekspresi wajah yang bad mood. “ya iyalah pake nanya lagi.”

Bagas yang mendengar itu sedikit terkekeh, “di belakang, Pak. Lewat samping aja, dekat dapur kok lurus aja.”

“Yaudah, saya ke belakang dulu yah.” Raga buru-buru meninggalkan Bagas dan Satya yang masih asik berbincang di taman rumah Bagas.

Ia masuk ke dalam rumah Bagas lewat pintu samping yang kata Bagas nantinya akan langsung menuju ke dapur kotor rumahnya, di sana ada toilet khusus untuk tamu. Begitu Raga ingin masuk ke dalam toiletnya, tidak sengaja netranya menangkap seorang wanita yang tengah sibuk mencuci piring di dapur.

Wanita itu berambut panjang dan memakai dresscode yang sama dengan tamu lainnya meski tone nya agak sedikit berbeda, Raga mengerutkan keningnya. Dan begitu wanita itu memperlihatkan wajahnya dari samping, Raga langsung mengenalinya. Itu adalah Kirana, kenapa ia justru malah sibuk mencuci piring di dapur? Itu adalah pertanyaan yang terlintas di kepala Raga saat ini.

“Na?” Panggil Raga, ia mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

Kirana menoleh, ia sedikit terkejut karena Raga justru turut di undang dalam pesta ulang tahun Ibu nya Bagas. Kirana pikir Bagas hanya mengundang Satya dan Almira saja.

“Pak Raga?” Ucap Kirana kaget, ia membasuh tangannya yang kotor karena sabun cuci piring kemudian menghampiri Raga. “Bapak ngapain disini?”

“Saya yang harusnya tanya, kamu ngapain cuci piring? Kamu itu tamu, Na.” Kedua bahu Raga naik turun, entah kenapa rasanya ada perasaan tidak nyaman melihat Kirana mencuci piring sendirian di dapur.

“Sa..saya cuma bantu-bantu Ibu nya Bagas aja, Pak.”

“Gak gitu, Na. Kamu ini tamu. Kalau kamu mau membantu bisa dengan hal lain,” ucap Raga sedikit kesal. “Bagas tahu kamu cuci piring?”

Kirana menggeleng, “ini saya yang mau kok, Pak.”

Raga enggak menjawab ucapan Kirana lagi, ia hanya menatap wanita itu dengan sorot mata yang menunjukkan kekecewaan sekaligus sedih melihat Kirana di perlakukan seperti itu. Raga enggak paham kenapa Kirana mau dengan sukarela nya mengerjakan setumpuk cucian piring yang tidak ada hentinya masuk ke dapur, mengingat tamu yang di undang oleh Ibunya Bagas cukup banyak.

“Kalau gitu, saya lanjutin cuci piringnya, Pak.” Kirana mengangguk sopan, ia kembali dengan tumpukan cucian piring yang baru saja tiba. Bibi yang bekerja di rumah Bagas juga turut membantunya.

Niat Raga untuk buang air kecil ia urungkan, alih-alih masuk ke dalam toilet. Ia justru keluar dari sana dengan langkah besar-besar menuju taman rumah Bagas, ternyata pria itu masih di sana asik berbincang dengan Satya dan juga rekan kantor mereka yang lain.

“Gas, lo nyuruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Raga to the point bahkan ia melupakan panggilan 'kamu dan saya' yang biasa ia gunakan ketikan hendak berbicara dengan bawahannya itu.

“Hah? Maksud, Bapak?” Bagas mengerutkan keningnya bingung, karna setahunya Kirana sedang asik berbincang dengan Ibu dan juga Asri di ruang tamu rumahnya. “Cuci piring gimana, Pak.”

“Mending lo liat sendiri dia lagi ngapain di dapur kotor lo itu,” ucap Raga tegas.

Bagas akhirnya menuruti ucapan Raga, ia buru-buru berlari kecil menuju dapur kotor rumahnya dari samping taman depan seperti yang di lakukan Raga barusan, ternyata benar, Kirana benar-benar sedang mencuci piring, bahkan baju bagian bawah nya sudah basah karena terciprat air saking banyaknya piring yang ia cuci.

“Sayang, kamu ngapain?” Tanya Bagas, ia menghampiri Kirana dan mematikan keran yang masih terus menyala di washtaffel dapurnya.

“Sayang, aku cuma mau bantu-bantu Ibu kamu aja.”

“Gak gini, Na. Kamu di suruh Ibu?”

Kirana sempat meragu untuk mengatakan jika ia memang di suruh oleh Ibunya Bagas, ia justru menggeleng kecil. “Enggak, Sayang. Ini insiatif aku sendiri, aku benar-benar mau bantu-bantu acara ulang tahun Ibu kamu.”

“Enggak, aku gak mau liat kamu cuci piring.” Bagas menarik pergelangan tangan Kirana, membawa wanita itu keluar dari dapur rumahnya.

Kebetulan sekali mereka berpapasan dengan Kanes yang juga hendak ke dapur, ia mau mengambil beberapa makanan untuk mengisi piring snack yang kosong di ruang tamu. Wanita itu juga sama kagetnya seperti Bagas barusan, apalagi saat melihat baju bagian bawah Kirana basah dan sedikit terkena noda dari piring kotor yang ia cuci.

“Mas, Mbak Kirana kenapa?” Tanya Kanes kaget.

“Nes, kamu pinjemin baju kamu dulu ya, nanti Mas ceritain. Kamu bawa Mbak Kirana ke kamar kamu dulu ya.”

“Iya-iya,” Kanes mengangguk-angguk, wanita itu menggandeng tangan Kirana menuju lantai 2 dan mengajaknya masuk ke dalam kamar Kanes.

Sementara itu Bagas buru-buru menghampiri Ibu nya, kebetulan sekali Ibu tidak sedang menerima tamu. Ibu sedang asik mencicipi cake yang di bawa tamunya bersama dengan Asri.

“Buk, Ibu suruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Bagas.

Ibu yang tadinya sedang menikmati cake itu langsung menaruh piring yang berisi cake yang ada di pangkuannya ke atas meja, wanita itu berdiri dan menatap Bagas tak kalah nyalangnya dengan si sulungnya itu.

“Perempuan itu mengadu sama kamu, Bagas?” Hardik Ibu.

“Kirana gak ngadu, Buk. Bagas yang lihat sendiri Kirana cuci piring, kenapa Ibu tega banget sih, Buk?”

“Biar dia lebih berguna sedikit, dari pada dia harus duduk disini sama Ibu lebih baik Ibu suruh dia cuci piring kan? Toh dia juga mau kok.” Ibu kembali duduk, seolah-olah hal yang tengah di bicarakan Bagas bukanlah persoalan yang penting.

“Kirana itu tamu, Buk. Pacarnya Bagas, calon Istrinya Bagas, Buk. Tolong perlakuin dia lebih baik. Bagas sangat di terima baik di keluarganya, Buk.”

“Gak ada calon istri, Bagas. Ibu dan Ayah enggak akan pernah merestui hubungan kalian! Sampai mati sekalipun, calon istri kamu itu cuma Asri! Kamu di terima baik di keluarganya karena perempuan itu dan keluarganya cuma mau memanfaatkan kamu untuk membayar hutang-hutang keluarga mereka!”

“Kata siapa, Buk? Kirana gak pernah punya niat kaya gitu ke Bagas.”

Sekarang anak dan Ibu itu saling bicara dengan nada tinggi, bahkan tamu-tamu yang ada di sana sampai sedikit menoleh. Sementara Asri hanya terdiam di tempatnya, ia bingung harus melakukan apa. Keduanya sama-sama tengah di landa kemarahan.

“Kata Ibu, mungkin sekarang belum terbukti tapi suatu saat kamu akan sadar itu, Bagas.”

Tanpa Bagas sadari, Kirana dan Kanes sudah selesai berganti pakaian dan turun ke lantai satu. Bahkan Kirana mendengar semua ucapan menyakitkan dari orang tua Bagas lagi, hatinya sudah tidak kuat, ia tak masalah di hina jika ia tidak pantas bersama Bagas tapi tidak dengan keluarganya, Ibunya Bagas bahkan enggak tahu bagaimana perjuangan Kirana dan Ibu untuk menbayar hutang-hutang itu tanpa mengandalkan orang lain.

“Kirana..” Setelahnya Bagas barulah sadar jika Kirana mendengar semua perdebatannya dengan Ibu.

Tanpa berpamitan pada Ibu dan keluarga Bagas yang lain, Kirana langsung keluar dari rumah Bagas dengan sedikit berlari. Ia abaikan beberapa pasang mata yang memperhatikannya berlari sembari di ikuti Bagas di belakangnya.

“Na..Na.. Tunggu sebentar,” Bagas berhasil meraih tangan Kirana, namun wanita itu menghentakkannya sedikit keras hingga tangan Bagas terlepas dari pergelangan tangannya.

“Lepas!!” Kedua bahu Kirana naik turun, ia menangis. Hatinya sungguh sakit. “Aku gak pernah ngadalin kamu buat bantu keluargaku bayar hutang, Gas. Gak pernah.”

“Iya Kirana iya, aku tau. Maafin Ibuku yah.” Bagas hendak memeluk Kirana, namun wanita itu buru-buru mendorongnya menjauh.

“Kamu di jodohin sama Asri, Gas? Iya?”

Bagas yang di tanya seperti itu tidak menjawab, ia hanya diam menunduk. Ia tidak ingin sebuah kejujuran menyakiti hati Kirana lagi. Hari ini sudah cukup wanitanya itu tersakiti karena ucapan Ibu.

“JAWAB AKU BAGAS!!” Kirana sedikit berteriak.

“Iya, iya aku di jodohin sama Asri, tapi aku gak mau, Na. Aku cuma mau nikah sama kamu, aku cuma mau bertahan sama hubungan kita karna aku sayang kamu, Na.”

Kedua tangan Kirana itu menutupi wajahnya, isaknya itu semakin menyesakan ketika sebuah kejujuran dari bibir Bagas lagi-lagi menyakitinya. Ia bingung harus bagaimana menyikapi hal ini, Kirana pikir ia hanya perlu di beri waktu sendiri. Jadi, buru-buru ia berhentikan ojek yang kebetulan melintas di depan rumah Bagas.

“Na.. Kamu mau kemana? Biar aku antar, Na.” Bagas menahan pergelangan tangan Kirana agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya.

“Lepasin, Bagas. Aku butuh waktu sendiri.”

“Aku anterin.”

Perlahan-lahan, Kirana memegang tangan Bagas yang menahan pergelangan tangannya ia lepaskan tautan mereka dan menggeleng pelan. “Aku mau sendiri, tolong..” Ucapnya lirih.

Tak ada yang bisa Bagas lakukan, ia pada akhirnya membiarkan Kirana pergi dengan ojek yang tadi ia berhentikan. Membiarkan punggung kecil itu semakin menjauh, Bagas bingung, hatinya juga sakit dan pikirannya kacau. Jika di suruh memilih, ia sendiri juga bingung. Bagimana pun orang tuanya dan Kirana sama pentingnya dan memilih salah satu dari mereka bukanlah sebuah jawaban.

Bersambung...

 
Read more...

from kayasonalp

Evcil Hayvanların İnsan Sağlığına Olumlu Etkileri İnsan ve hayvan arasındaki bağ, sadece duygusal bir dostluktan öte, sağlığa da ciddi katkılar sunuyor. İşte “evcil hayvanların insan sağlığına olumlu etkileri” başlığı altında öne çıkan başlıklar:

Stres ve Kaygıyı Azaltıyor Evcil hayvanlarla etkileşim; kan basıncını düşürüyor, kortizol hormonunu dengeleyerek rahatlama sağlıyor Ayrıca, sevgi dolu dokunuşlar oksitosin ve dopamin düzeylerini artırıyor, mutluluk hissini tetikliyor

Yalnızlık ve Depresyonu Hafifletiyor Onların koşulsuz sevgisi, yalnızlık duygusuyla başa çıkmaya yardımcı oluyor. Bu, özellikle yaşlılar, tek yaşayanlar ve psikolojik destek arayan bireyler için büyük bir avantaj Fiziksel Aktiviteyi Teşvik Ediyor Köpek gibi aktif evcil dostlar sayesinde düzenli yürüyüşler, sosyal etkileşimler artıyor; bu da kalp sağlığı ve genel kondisyon için önemli. Sorumluluk ve Empati Gelişimine Katkı Sağlıyor Bir canlının ihtiyaçlarını karşılamak, empati ve sorumluluk duygularını güçlendiriyor. Bu durum özellikle çocukların duygusal gelişimini destekliyor.

Ruh Sağlığı Destekli Terapilere Katılıyor Pet-terapi seanslarında, evcil hayvanlar depresyon, anksiyete, demans gibi durumlarda duygusal ve psikolojik destek kaynağı olabiliyor

Sonuç Evcil dostlarımızla kurduğumuz bağ, hem bedensel hem ruhsal sağlığımıza gerçek faydalar sağlıyor: “evcil hayvanların insan sağlığına olumlu etkileri” konusunda sayısız bilimsel veri mevcut. Bu dostluk, yalnızlığı azaltıyor, stresi hafifletiyor, hayatımıza hareket ve duygusal canlılık katıyor. Tabii, bu ilişki karşılıklı sorumluluk gerektiriyor – onlara hak ettiği özenin gösterilmesi en önemli nokta.

 
Devamını oku...

from Melati Untuk Ayu

Samarang, 1898.

Pagi itu cuitan dari burung yang hinggap di jendela kamar Ayu, serta kokokan ayam milik Romo seperti sebuah suara ternyaman bagi Ayu dari pada suara celoteh dan kekehan yang memenuhi penjuru ruang tamu rumahnya. Di temani oleh Ibu nya Adi, Ayu di dandani secantik mungkin dengan riasan sederhana yang tampak anggun di wajah dahayunya.

Rambut panjang itu di kepang, di hiasi melati-melati yang Ibu nya Adi ambil dari kebun tak jauh dari rumahnya. Tak ada senyum pada wajah dahayu itu, wajahnya temaram bagai malam yang hanya di sinari oleh sedikit cahaya dari rembulan.

Di depan sana ada keluarga dari pria yang akan melamar Ayu, anaknya Bupati Soerabaja yang bernama Dimas. Ayu agak sedikit lupa pada parasnya karena mereka hanya bertemu sekilas saat pengangkatan bupati dulu, sudah seminggu ini ia tak dapati kabar Jayden sedikit pun. Bahkan untuk bertemu dengan Adi pun sulit.

Romo melarang Adi bertemu dengan Ayu karena Adi di anggap sekongkol dengan Jayden. Pria itu di pindah kerjakan oleh Romo nya untuk berjaga di ladang yang jauh dari rumah Ayu berada, hanya sekali Ayu bertemu dengan Adi ketika malam hari. Adi hanya mengatakan jika ia baru saja di beri tugas untuk mengantarkan surat ke kediaman Asisten Residen, ya, kediaman Jayden.

Namun Adi tidak tahu apa isi surat itu, ia hanya di tugaskan untuk mengantar oleh Tuan Gumilar kemudian kembali ke ladang tanpa di perbolehkan berbincang banyak oleh Jayden.

sampun rampung, Raden Ayu,” ucap Ibu nya Adi setelah riasan pada rambut Ayu tertata dengan rapih.

Ayu mengangguk kecil, “matur suwun, Buk.”

Bisa terlihat dari raut wajah Ayu yang tidak ada senyum sedikitpun, Ibu dari Adi itu ingin sekali menyematkan kata penenang pada wanita muda yang malang itu. Namun sayangnya, Ibu dari Ayu sudah datang. Masuk ke kamar Ayu untuk menjemput Ayu dan di perkenalkan pada pihak dari keluarga laki-laki.

Wis rampung, nduk?” panggil Ibu.

Ayu tidak menjawab, hanya mengangguk kecil kemudian berdiri dan menghampiri Ibu. Sungguh pasrah dirinya, mau memberontakpun bisa apa ia? Ia hanya seorang wanita, terlebih Ayu tidak tangguh karena sakit yang di deritanya. Ayu tidak dapat hidup sendiri tanpa kedua orang tua nya jika ia memberontak.

Ayu di bawa Ibu keluar dari kamarnya, di genggam tangan kurus itu dan di pamerkan ia di depan keluarga Dimas. Ayu melirik sekilas pada wajah pria yang kelak akan menjadi Suaminya, wajahnya memanglah tampan, namun entah mengapa seperti ada yang mengganjal baginya.

“Duduk di sebelah sana, nduk.” Ibu menyuruh Ayu untuk duduk di sebelah Dimas.

Ayu menurut, ia duduk di sebelah pria itu dengan wajah menunduk tanpa senyuman. Hanya Ayu dan Ibu yang tidak tersenyum di ruangan itu.

“Cantik,” bisik Dimas tepat di sebelah Ayu. Walau Ayu tetap bergeming.

“Jadi kita segerakan saja acara pernikahannya,” ucap Ayah Dimas, dia adalah Bajradaka Dhinakara seorang Bupati Soerabaja sekaligus saudagar, ya Ayah dari Dimas itu memiliki toko kopi yang besar di Soerabaja.

“Bulan depan adalah bulan yang baik untuk menikahkan keduanya, menurut perhitungan saya rezeki mereka akan lancar jika menikah di tanggal 12, Bagaimana?” Tanya Romo.

Sungguh, Ayu rasanya ingin menangis. Matanya sudah memanas dan yang bisa ia lakukan hanyalah meremat kain yang ia pakai. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

“Kau mau menemaniku melihat-lihat kebun milik Romo mu, Ayu?” Tanya Bagas. Ia menyerahkan begitu saja perihal pernikahan kepada kedua orang tua mereka.

Karena tidak tahan ingin sekali menangis, Ayu akhirnya mengangguk kecil. Setelah Dimas berpamitan kepada kedua orang tua mereka, keduanya berjalan di kebun milik orang tua Ayu.

“Kau tampak tak begitu nyaman berada di tengah obrolan orang tua kita ya?” Ucap Dimas tanpa aba-aba. Ayu berjalan di belakangnya, sementara Dimas berjalan di depan sembari kedua tangannya memangku di belakang.

“Sedikit,” cicit Ayu.

Ucapan Ayu itu membuat Dimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah Ayu, dan ini untuk pertama kalinya kedua netra milik pasangan pribumi itu saling pandang. Dimas sudah jatuh cinta pada saat Ibu nya Ayu membawa wanita itu keluar dari kamarnya.

“Cantik, kau benar-benar cantik. Suaramu lembut, tak salah aku mau di jodohkan dengamu,” gumamnya sembari tersenyum.

“Jika aku tidaklah cantik, apa kau akan tetap mau di jodohkan denganku?” Yang Ayu nilai dari Dimas adalah, Dimas selalu memuji parasnya hanya itu. Tak ada hal lain yang Dimas puji darinya.

“Tergantung, tapi mungkin tidak. Aku tidak mau di jodohkan dengan pribumi jika tidak memiliki paras cantik. Lebih baik aku menikah dengan wanita Eropa.”

Mendengar hal itu, Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak menyangka. Dimas begitu arogan, mungkin ini alasan kenapa sedari tadi Ayu merasa ada yang mengganjal saat ia pertama kali melihat Dimas di ruang tamu.

Ayu tidak lagi mengikuti langkah kaki Dimas yang masih sibuk menyusuri kebun milik Romonya, ia justru terdiam saat kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Melihat Dimas yang semakin jauh, Ayu justru beringsut untuk berjongkok dan mengambil benda yang ia injak barusan.

Itu adalah sebuah cincin, cincin yang di berikan Jayden tempo hari. Yang di buang oleh Romo nya dan Ayu menemukannya di kebun ini. Di ambil nya cincin itu dan Ayu bersihkan, hatinya sedikit lega karena telah menemukan benda pemberian Jayden kembali. Saking bahagianya telah menemukan kembali cincin itu, Ayu menitihkan air mata. Ia peluk cincin itu dalam genggam jemarinya.

“Kau kenapa bersimpuh, apa yang kau lakukan Ayu?”

Ayu yang masih terisak itu beringsut mendongakkan kepalanya. Itu Dimas ternyata, ia buru-buru bangun dan menyembunyikan cincin itu di belakang tubuhnya. Masih ia genggam erat cincin itu, akan ia simpan dengan baik.

“Bukan apa-apa, Mas.”

“Kau menangis? Apa yang kau sembunyikan dariku?” arca wajahnya menyatu, kening itu mengkerut menatap Ayu dengan bingung. Dimas maju selangkah, rasa penasarannya itu membuatnya membalikan tubuh Ayu, ia ingin tahu apa yang Ayu sembunyikan darinya.

“apa yang kau sembunyikan?!”

“Bukan apa-apa, Mas.” Ayu masih bersikeras untuk menyembunyikan cincin itu. Meski Dimas masih terus berusaha mengambil cincin itu darinya.

“Kalau bukan apa-apa, biarkan aku melihatnya,” ujarnya teguh pada pendiriannya.

Ayu menggeleng, karena sedikit jengkel dengan cepat Dimas menarik Ayu membalikan tubuh wanita kurus itu dan mengambil cincin yang ada pada genggaman Ayu. Tenaga Dimas itu besar, Ayu yang tidak sekuat itu langsung kalah darinya.

“Mas, kembalikan!” Ayu berusaha menggapai cincin itu dari tangan Dimas.

“Cincin ini?” Dimas seperti mengenali cincin itu, tidak asing baginya seperti ia pernah melihat seseorang membeli cincin itu. “Jayden?”

Mendengar nama Jayden di sebut, Ayu terdiam. Tangannya tak lagi berusaha meraih cincin yang ada pada genggaman Dimas lagi, kedua matanya membulat. Ia tidak salah dengar, Dimas benar-benar menyebut nama Jayden bukan?

“Kau kenal Jayden?” tanya Dimas.

Ayu tidak menjawab, bibirnya bergetar. Seharusnya ia tidak sekaget itu ketika Dimas menyebut nama Jayden. Biar bagaimana pun orang tua Dimas adalah Bupati Soerabaja dan Jayden turut di undang dalam rangka hari pengakatannya. Tentu saja harusnya mereka saling mengenal.

“Kembalikan cincin miliku, Mas.” Ayu memegang lengan Dimas, memohon pada calon Suaminya itu agar di kembalikannya cincin miliknya itu.

“Kau kekasihnya Jayden?” ucap Dimas tanpa di sangka-sangka, ada seringai jahil di sudut bibirnya.


Sudah dua hari ini pria Belanda itu masih termenung ketika selesai dengan pekerjaanya, memandangi surat yang di tulis tangan oleh orang tua dari wanita yang ia cintai. Otaknya membeku mendapati penolakan, padahal harusnya ia sudah siap jika mendapatkan penolakan.

Karna pada dasarnya tidaklah mudah menikahi pribumi dari kalangan bangsawan, bahkan jika keluarga besarnya tahu pun Jayden bisa menebak ia pasti akan mendapatkan penolakan. Bahkan ia pun bisa di pulangkan ke negaranya.

Jayden kembali menarik laci di meja kerjanya, menyimpan surat itu di sana kemudian menguncinya. Tubuh tegap nan tinggi itu menelusuri lorong kantor keresidenan, ia hendak pulang ke kediamannya. Kalau ingatannya tidak salah, hari ini seharusnya Jacob kembali untuk memeriksa bibit-bibit bunga melati yang di tanam di taman samping kediamannya.

“Kita kembali ke rumah, meneer?” tanya kusir pribadinya ketika Jayden keluar dari kantor keresidenanya. Pria yang hanya berbeda 5 tahun darinya itu sudah menjadi kusir yang setia bagi Jayden.

“Iya, Pak. Langsung kembali ke rumah saja,” jawabnya lesu.

Di bukakan pintu dokar itu dan Jayden masuk ke dalamnya, begitu dokar itu hendak akan meninggalkan kantor keresidenan Samarang. Ada dokar lain yang berlawanan arah dengannya, kusir yang mengendarai dokar milik Jayden itu menarik tali kuda miliknya agar dokar itu berhenti.

wonten menapa, Pak?” tanya Jayden dengan sopan sewaktu dokar mereka berhenti.

“*Nguwun pangapunten, meneer. ada dokar lain yang berhenti di depan kita.”

Jaydan tak menanggapi lagi ucapan kusir nya itu, ia membuka pintu dokarnya dan keluar dari dalam dokar mewah yang ia tunggangi. Ternyata dokar yang berhenti di depan dokarnya adalah dokar milik Dimas, kawan Jayden sekaligus anak Bupati Soerabaja itu sudah tiba di Samarang rupannya.

Ik wilde je eigenlijk op kantoor ontmoeten, maar blijkbaar hebben we elkaar hier ontmoet.” (aku sebenarnya ingin menemuimu di kantor, tapi kita malah bertemu disini.) Dimas tersenyum pada Jayden, wajah khas angkuhnya itu menatap Jayden penuh percaya diri.

“Kau sudah di Samarang rupanya,” ucap Jayden.

Dimas mengangguk, “sejak kemarin. Mungkin besok aku akan segera kembali ke Soerabaja untuk mengurus pernikahanku.”

“Kapan kau akan menikah?”

Dimas menyeringai, “bulan depan, akan ku pastikan kau datang. Ah, tunggu sebentar ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.” Dimas menunjuk dokarnya sendiri.

Jayden memang melihat ada siluwet wanita dengan kebaya berwarna putih duduk di kursi dokar Dimas, wajahnya menunduk jadi Jayden tidak bisa melihat jelas siapa wanita yang duduk dengan tidak nyaman disana.

“calon istrimu?” Jayden menaikan satu arca wajahnya dan menebak.

“benar,” Dimas menjentikkan tangannya, ia taruh satu telunjuknya itu tepat di dada Jayden. “Kau pasti akan terkejut saat tahu siapa calon Istriku, meneer.

Tak ada pikiran apapun dalam kepala Jayden, seluruh pemikirannya sudah tersita bagaimana ia bisa mendapatkan hati orang tua Ayu dan dapat menikahi wanita itu. Ia bahkan tidak berminat menebak siapa wanita yang di jodohkan oleh orang tua Dimas itu.

Pria pribumi angkuh itu menjauh dari Jayden, membuka pintu dokar miliknya dan menarik tangan wanita yang ia bilang akan menjadi calon Istrinya itu. Dan betapa terkejutnya Jayden ketika ia melihat siapa wanita yang keluar dari dalam dokar itu, matanya membulat dan kedua kakinya begitu saja melangkah mendekat ke arah wanita itu.

“Raden Ayu?” gumam Jayden.

Namun belum sempat Jayden mendekat ke arah Ayu, Dimas sudah langsung menempatkan Ayu tepat di belakang tubuhnya. Menghalangi Jayden dan Ayu untuk saling bertatapan secara langsung.

“Wah.. Kalian langsung saling mengenal?” Dimas geleng-geleng kepala. “Is hij jouw minnaar?” (apakah dia kekasihmu?)

Jayden tidak menjawab, kedua bahu tegapnya itu naik turun menahan amarahnya. Ia bukan marah dengan Ayu tapi dengan keadaan yang sungguh tak adil baginya, Jayden bukan merasa pria yang lebih baik dari pada Dimas. Tapi setidaknya ia bukan penjudi, pemabuk dan perokok berat.

Dan lagi pula, Jayden mengenal betul bagaimana Dimas memperlakukan seorang wanita. Ia tidak bisa bayangkan seperti apa nanti jika Ayu akan menikah dengan pria pribumi angkuh itu.

“Dia kekasihku,” ucap Jayden penuh penekanan.

Dimas terkekeh, ia menatap Jayden dan Ayu yang masih terus menunduk secara bergantian. “Kau kekasihnya, Ayu?”

Ayu hanya diam, ia masih bergeming. Ia menahan dirinya untuk tidak menangis atau berlari ke pelukan Jayden. Ah, tidak. Menatap pria Belanda itu pun Ayu tidak sanggup. Jayden pasti sudah membaca isi surat penolakan peninanganya yang Romo tulis.

“Dimas, biarkan Aku dan Raden Ayu berbicara sebentar saja,” Jayden memohon. Ia ingin sekali bicara sebentar dengan Ayu, mengatakan pada wanita itu jika Ayu hanya perlu bersabar dan Jayden akan mengusahakan segala cara agar mereka bisa bersama.

“Biarkan aku dan Sir Jayden bicara sebentar, Mas.” gumam Ayu.

Dimas menoleh ke arah wanita itu, karena sudah di jodohkan dan hendak menikah dalam waktu dekat, Dimas merasa Ayu adalah miliknya. Ada rasa egois dan desiran kecemburuan ketika ia mengetahui jika kekasih yang di maksud Jayden adalah Ayu. Niatnya pun datang menemui Jayden dengan membawa Ayu adalah untuk memamerkan Ayu pada Jayden, bahwa ia menang atas wanita pribumi yang di cintai pria Belanda itu.

Kalau boleh jujur, Dimas tidaklah begitu tulus berteman dengan Jayden. Terkadang ada saat-saat dimana ia membenci sikap Jayden yang menurutnya naif dan sok ramah terhadap pribumi, dan saat ini adalah saat yang paling tepat menurut Dimas untuk bisa melihat Jayden terluka atas miliknya yang Dimas rebut.

“Bicaralah di belakang dokar ini. Aku tidak mengizinkan kalian bicara terlalu lama.”


Jakarta, 2025.

Raga mengerjapkan matanya, masih terasa mengantuk namun alarm yang sudah ia atur di ponselnya itu terus berdering. Setelah mematikan alarm miliknya, pria itu bangkit dari ranjangnya. Raga menghela nafas, mimpinya semalam menggantung karena alarm yang sudah berdering.

“Apa Kirana juga mimpi di tempat yang sama?” gumam Raga, maksudnya adalah apakah Ayu dalam mimpi Kirana juga bertemu dengan Jayden di kantor keresidenan.

Pria itu mengusap wajahnya gusar, ia bangun dari ranjangnya dan segera bergegas ke kamar mandi. Ada meeting hari ini dengan para petinggi untuk membicarakan proyek besar yang akan di garap oleh kantor tempat Raga bekerja.

Setelah selesai dengan sarapannya pagi ini, Raga langsung bergegas menuju kantor nya. Untung nya pagi ini jalanan tidak begitu padat, maklum saja kantor tempat Raga bekerja dengan rumahnya adalah kawasan perkantoran jadi Raga sudah tidak kaget jika ia kerap kali terjebak kepadatan Jakarta di jam masuk kerja dan pulang kerja.

“Pagi, Pak.”

“Pagi.” sapa Raga pada bawahan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Ia sedang menunggu lift untuk sampai ke ruangannya berada.

“Pagi Pak Raga!” sapa Almira, Bagas dan Kirana bersamaan. Membuat Bagas yang sedang melihat surel yang masuk di ponselnya itu menoleh.

“pagi,” Raga menoleh ke arah bawahan-bawahannya, tidak sengaja netra nya bertemu dengan Kirana yang juga tengah menatapnya. “Kirana?”

“Ya, Pak?”

“Bisa bicara sebentar?” bukan hanya Kirana saja yang bingung, Bagas dan Almira pun sama bingungnya.

Kirana menoleh, “bisa, Pak.”

Raga mengangguk pelan, kebetulan sekali lift terbuka bersamaan dengan karyawan-karyawan lain yang juga keluar dari dalam lift. “Bagas, Almira. Saya pinjam Kirana sebentar yah, kalian naik duluan saja.”

Bagas mengangguk kecil, meski dalam hati ia sangat penasaran apa yang akan Raga bicarakan dengan wanitanya itu. Bagas bukan cemburu kok, hanya saja dia penasaran. Begitu Kirana mengikuti langkah kaki Raga menuju loby kantor mata Bagas masih terus menatap punggung keduanya, di kepalanya terus bertanya-tanya tentang apa yang keduanya bicarakan.

Bahkan saat lift nya hampir tertutup pun Bagas sempat mengeluarkan sedikit kepalanya, membuat Almira harus menarik pria itu agar kepalanya tidak terjepit pintu lift.

“Udah gak usah cemburu gitu ah, sama Pak Raga doang. Paling juga ngomongin kerjaan, Mas,” ucap Almira menenangkan hati Bagas. Ya siapa tahu saja seniornya itu cemburu kan.

“Dih, siapa yang cemburu. Justru gue kepo mereka tuh mau ngomongin apa sampe harus ngomong di luar gak di kantor gitu.” Bagas memang gak cemburu, dia cuma heran aja kenapa Raga harus membawa Kirana untuk bicara di luar kantor. Bicara mengenai apa? Personal kah? Atau urusan pekerjaan? Pikir Bagas campur aduk.

“Yah paling urusan kantor, kan Mbak Kirana sekarang tuh lagi bantu handle proyek yang di Surabaya juga. Yah emang di pegang sama Bang Satya sih, tapi kan itu proyek aslinya di pegang Mbak Kirana.”

“Ck, Bukan gitu, Ra.” Bagas berdecak, Almira ini enggak mengerti menurutnya. Ya memang bisa saja mereka membicarakan urusan proyek, tapi kenapa harus di luar kantor?

“Terus apa?”

Bersamaan dengan pertanyaan Almira, pintu lift terbuka. Mereka buru-buru keluar dari sana dan berjalan ke meja mereka bersamaan, kebetulan Bang Satya juga belum datang jadi keduanya bisa berdiskusi soal Raga dan Kirana.

“Mereka tuh sempat ngobrol juga di luar jam kantor, Kirana bilang alasannya juga ngomongin proyek yang di Surabaya sih. Tapi maksud gue kenapa harus di luar jam kerja dan pas weekend? dan sekarang mereka kaya lagi meeting berdua.”

“Ck ck ck ck,” Almira berdecak, wanita itu juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia udah bisa baca kalau seniornya itu benar-benar cemburu buta, tapi yang bikin Almira enggak nyangka tuh kenapa cemburunya harus sama atasan merereka?

“Lo tuh cemburu boleh-boleh aja, Mas. Kata gue tapi liat-liat orangnya juga lah. Masa iya sama Pak Raga sih? Gila banget.”

“Astaga, Almira Kusuma Djayanti berapa kali gue bilang gue gak cemburu,” Bagas mengoreksi.

“Cemburu itu pasti cemburu.”

“Terserah lu dah bocil.” Bagas menghela nafasnya putus asa, ia buru-buru menyalakan monitor miliknya. Ada file yang harus ia kirim pagi ini ke TL nya yang baru.

“Mas, serius deh. Mbak Kirana tuh sayang banget tau sama lo, lo jangan curiga-curiga gitu ah gak baik,” Almira menasihati.

“Udah tau, udah kerja bocil. Dikit lagi Pak boss dateng,” Bagas masih fokus pada deretan file di monitor miliknya tanpa menoleh ke arah Almira, wanita itu lagi mencatok rambutnya. Kebiasaan Almira setiap pagi.

“Ih serius gue ini mah, tau gak semalam Mbak Kirana tuh telfon gue tau.”

“Paling lo curhat kan sama dia? Tentang cowok dari hasil main Tinder lo itu ya?” Tebak Bagas acuh tak acuh.

“Sok tau!!” Almira mendengus. “Dia tuh tanya enakan bikin brownies atau bikin blackforest buat di bawa ke pesta ulang tahun Ibu nya Mas Bagas.”

Ucapan dari Almira itu berhasil membuat atensi Bagas yang tadinya fokus pada layar monitornya kini berpindah pada Almira yang masih sibuk berkaca sembari mencatok rambutnya.

“Serius?”

Almira mengangguk kecil, “dia bilang dia tuh udah nyiapin hadiah buat Ibu lo juga, terus mau bikin kue sendiri karna dia ngerasa ini tuh buat orang yang spesial. Jadi harus di buat sendiri, effort banget kan dia tuh demi calon mertua.”

Di kursinya Bagas tersenyum kecil, Kirana benar-benar sedang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Mengambil hati orang tuanya agar mereka mendapatkan restu.

Bersambung...

 
Read more...

from Melati Untuk Ayu

Di dalam mobil saat perjalanan pulang hanya ada hening tercipta di antara Bagas dan Asri, sejak mereka berdua pergi bersama atas keinginan orang tua Bagas, sejujurnya Asri tidak terlalu nyaman. Dia senang bisa bersama Bagas, namun disisi lain ia sendiri tidak tahan dengan sikap dingin laki-laki itu.

Asri paham dan sadar diri jika Bagas berusaha menjaga hati pasangannya dengan menjaga jarak dengan Asri, ia memaklumi itu. Namun tetap saja rasanya sedikit menyakitkan ketika ia seperti di abaikan begitu saja, bahkan sejak mereka berangkat pun hanya Asri yang mencari topik obrolan.

Di liriknya pria di sebelah kanannya itu, Bagas masih bungkam, Matanya terus memandang ke depan jalan sana yang agak sedikit padat, seolah-olah tidak ada orang lain di sebelahnya. Asri sungguh tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

“Bagas?” Panggilnya, membuat pria itu menoleh tanpa ekspresi apapun, mungkin di kepalanya ia tengah meramu kata untuk meyakinkan pada wanita bernama Kirana tadi bahwa mereka hanyalah teman.

“Tadi, pacarmu?”

Bagas mengangguk, “iya, namanya Kirana.”

“Um..” Asri mengangguk-angguk, benar-benar pertanyaan basa basi meski sejujurnya ia sudah tau. “Cantik, sudah berapa lama sama dia?”

“6 tahun, dari kami masih kuliah.” Bagas menekan klakson mobilnya dengan sedikit kencang, membuat Asri memejamkan matanya karena sedikit terkejut. Sepertinya Bagas sedang kesal namun hanya bisa diam, marahnya memang seperti itu.

“Lama juga yah, nanti pas ulang tahun Ibumu dia datang kan?” jujur saja Asri benar-benar hanya basa basi, dia benci suasana hening dan canggung seperti tadi. Dalam hati ia berdoa agar Bagas tidak menjawabnya dengan nada ketus karena ia terus bertanya.

“Gue undang dia kok.”

“Kata Ibu, kalian satu kantor juga ya?”

Kali ini Bagas menoleh pada Asri, kedua mata mereka pun bertemu. Sebenarnya di kepala Bagas saat ini adalah ia penasaran kenapa Asri terus bertanya-tanya tentang Kirana, apa wanita itu akan mengadu pada Ibunya jika tadi mereka bertemu dengan Kirana di restoran? Pikir Bagas.

“Iya, satu kantor. Sri?”

“Ya, Bagas?”

“Ibu tuh suka ngomongin soal Kirana ke lo gak?” Bagas cuma penasaran aja, mungkin saja Ibu sudah menjelaskan perihal Kirana pada Asri. Mengingat saat pertama kali mereka bertemu Bagas sempat menolak perjodohan mereka.

“Enggak kok, Gas. Ibu lebih sering ceritain soal kamu.” Jauh dari kenyataan, Asri sedikit banyaknya sudah tahu tentang Kirana dari Ibunya Bagas, tentu saja dari sudut pandang wanita itu menilai Kirana.

Yang Asri tahu adalah Kirana bukan perempuan yang berasal dari keluarga yang baik, reputasi keluarganya buruk karena korupsi yang mengakibatkan perusahaan lampu yang di dirikan oleh mendiang Bapaknya Kirana itu terpaksa gulung tikar, Bapaknya Kirana kemudian mengalami depresi berat hingga mengakhiri hidupnya.

Setelah itu, banyak barang-barang di rumah Kirana yang di jual untuk melunasi hutang-hutang perusahaan, bahkan sampai saat ini pun hutang-hutang itu belum lunas. Dan Ibu nya Bagas enggak setuju putranya itu menjalin hubungan dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga baik-baik.

Kira-kira seperti itu yang Asri tahu dari Ibunya Bagas, bahkan Ibunya Bagas pernah berpikir jika Kirana memacari Bagas hanya untuk membantunya melunasi hutang-hutang keluarganya. Tapi saat Asri bertemu dengan Kirana, wanita itu cukup tegas. Asri enggak bisa menilai hanya dalam sekali pertemuan, namun ia yakin Bagas tidaklah mungkin mengencani Kirana jika wanita itu tidak baik. Apalagi hubungan mereka sudah bertahan selama 6 tahun, itu tidaklah mudah.

“Serius?” tanya Bagas sekali lagi meyakinkan.

“iya serius, Gas.”

“Bagus deh kalau begitu.”

Begitu sampai di rumah, Ibu langsung menyambut Bagas dan Asri dengan gembira. Sungguh, wajahnya berbunga-bunga seperti menyambut anak dan menantunya yang baru saja pulang bulan madu.

“Maaf yah Buk lama, tadi restonya penuh. Terus juga ada kue yang kurang, jadi kita nunggu dulu sampai selesai di packing,” jelas Asri.

Bagas menuruni satu persatu dus berisi kue-kue yang baru saja mereka ambil barusan dan menaruhnya di meja makan, setelah itu dia memeriksa ponselnya, mengirimi Kirana pesan, bertanya pada wanitanya itu sudah pulang ke rumah atau belum. Bagas resah, Kirana mungkin saja salah paham padanya dan Asri dan ia harus segera menjelaskannya.

“Bagas, main HP terus kamu. Ini loh Asri di ajak ngobrol dulu, Ibu kan lagi repot.” Ibu memperingati.

“Buk, harus Bagas banget yang nemenin ngobrol Asri? Dia juga lagi ngobrol sama Kanes di ruang tamu kan?” Bagas ngerasa Ibu kaya terus menerus cari cara supaya ia dan Asri bisa dekat, Bagas enggak suka sama hal itu. Bagas tidak membenci Asri, ia hanya tidak suka di paksa melakukan hal yang tidak dia inginkan.

“Kanes mau Ibu suruh bantuin Ibu di dapur. Kamu ngapain sih main HP terus?”

“Buk, tadi waktu di restoran, Bagas ketemu sama Kirana. Dia liat Bagas sama Asri, Buk. Bagas takut Kirana salah paham. Bagas mau jelasin ke Kirana kalo Bagas sama Asri gak ada apa-apa.”

“Halah perempuan itu lagi,” Ibu mendengus. “Seharusnya bagus kalau dia lihat, biar dia bisa ngaca kalo ada perempuan yang jauh lebih baik dari pada dia. Lagian cepat atau lambat Asri itu bakalan jadi Istri kamu.”

“Yang mau nikah itu siapa sih, Buk? Yang bakalan menjalani rumah tangga itu siapa? Bagas kan? Bagas sayang sama Kirana, Buk. Bukan sama Asri.”

“Kamu pikir Ibu dan Ayah akan merestui kamu dan Kirana? Enggak, Gas. Sampai kapanpun enggak akan. Jangan berharap kamu!” Hardik Ibu dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

Sepeninggalan Ibu, Bagas mengusap wajahnya gusar. Ia duduk di kursi meja makan di sana sembari memandangi bubble chat nya dengan Kirana yang belum mendapatkan balasan.

Tidak lama kemudian Bagas merasa ada kedua tangan menepuk bahunya lembut, ia dongakkan kepalanya. Ternyata itu Kanes adiknya, ia menarik kursi di samping Bagas dan duduk di sana.

“Mas berantem lagi sama Ibu?” Tanya Kanes, dia membuka satu persatu kotak berisi jajanan pasar yang tadi Bagas taruh.

“Iya,” jawab Bagas sekena nya.

“Soal Mbak Kirana?” Tebak Kanes.

Bagas mengangguk, “besok pas ulang tahun Ibu, Mas ngajak Mbak Kirana kesini. Kamu temenin dia yah, Nes.”

Awalnya Bagas enggak mau ngajak Kirana ke rumahnya dalam rangka acara ulang tahun Ibu, tapi Kirana memaksa. Wanita itu bilang justru di saat-saat seperti itulah Kirana harus hadir agar dapat merebut hati Ibunya, Bagas pikir ada benarnya juga, walau sedikit takut jika Kirana akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Pada akhirnua Bagas menyetujui hal itu.

Makanya dia nyuruh Kanes buat nemenin Kirana besok jika wanita itu datang ke pesta ulang tahun Ibunya, ia tidak ingin Kirana sendirian dan merasa di asingkan terlebih besok ada Asri. Ibu pasti akan lebih sering bersama Asri.

Kanes senyum, tentu saja Kanes akan dengan senang hati menemani Kirana. “Iya tenang aja, ntar aku temenin kok. Terus kenapa muka Mas kusut kaya gitu? Kaya kemeja belum di setrika tau gak?”

“Kirana liat Mas sama Asri di restoran waktu kami lagi ambil pesanan.” Bagas menggeleng, “Mas juga enggak tau kenapa dia bisa ada di sana sih, sama atasan Mas di kantor pula. Tapi yah, buat saat ini yang Mas takutin tuh cuma Kirana salah paham aja sama Mas.”

Kanes yang lagi makan risol yang dia ambil itu langsung menyenggol kaki kakak nya itu dari bawah meja. “Samperin lah, Mas. Jelasin, ntar keburu Mbak Kirana salah paham. Sana buru samperin.”

“Ibu nyuruh Mas nemenin Asri ngobrol,” Bagas sedikit berbisik, takut Ibu ataupun Asri yang sedang memeriksa barang-barang mereka beli di ruang tamu dengar.

“Mbak Asri biar aku yang nemenin, udah sekarang Mas pergi aja ketemu sama Mbak Kirana dulu.”

“Beneran?” tanya Bagas sekali lagi, Adiknya itu memanglah pengertian. Kanes adalah satu-satunya orang yang mendukungnya dengan Kirana.

“Iya beneran, kalo nanti Ibu nanya, aku bilangnya Mas Bagas pergi sama Mas Satya.”

Bagas tersenyum, tangan besarnya itu terulur mengusap pucuk kepala Kanes dengan gemas. Enggak menyangka Adik kecil yang selalu ia lindungi itu kini sudah bisa di ajak kongkalikong dengannya.

“Baik banget sih! Yaudah Mas pergi dulu yah.” baru saja Bagas menyambar kunci mobilnya kembali, tangan kirinya langsung di tahan oleh Kanes.

“Pulangnya beliin roti bakar yah.” Kanes menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, persis anak kecil yang di janjikan makanan manis.

“Iya, ntar Mas beliin.”


“Sekali lagi terima kasih, Pak.” Kirana membuka seatbelt miliknya.

“Sama-sama, Na.”

“Kalo gitu, saya masuk ya, Pak. Bapak hati-hati di jalan.” Kirana hendak membuka pintu mobil milik Raga, namun pria itu menahan tas miliknya.

Kirana menoleh kembali, kedua mata mereka saling bertemu tapi kali ini Raga terlihat kikuk. Dengan cepat ia menarik tangannya dari tas milik Kirana.

“Ada apa, Pak?”

“Na, kalau ada sesuatu yang kamu mau tanyakan.” Raga berhenti sebentar, dia sendiri enggak mengerti kenapa rasanya canggung dan degup jantungnya menggila saat Kirana menatapnya.

“Soal mimpi kita,”

“Ya?” Kirana mengangguk, menunggu kalimat Raga seterusnya. Ia yakin ada kata-kata lanjutan yang ingin Raga ucapkan padanya.

“Mak..maksud saya, kita bisa cari tahu ini sama-sama. Tentang, Ayu, Jayden atau soal reinkarnasi,” lanjut Raga.

Kirana mengangguk, tentu saja ia akan sering-sering bertanya pada Raga mengenai mimpinya. Karena Raga satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya saat ini, maksudnya karena mereka mengalami hal yang sama Raga jauh pasti lebih mengerti kan? Pikir Kirana.

“Iya, Pak. Saya pasti tanya sama Bapak.”

“Maaf kalo terdengar gak masuk akal soal apa yang saya cari tau, Na.”

Menurut Raga begitu, bahkan Mbak Adel saja yang ia ceritai lebih dulu mengenai mimpinya, Jayden dan reinkarnasi saja tidak semerta-merta percaya. Walau pada akhirnya Mbak Adel sedikit percaya sama penjelasan Raga, itu pun Raga harus mengumpulkan bukti-buktinya tentang seseorang yang bisa saja reinkarnasi dari tokoh di masa lalu. Raga bersusah payah mengumpulkan jurnal-jurnal hanya untuk membuktinya sendiri, jika mimpinya adalah israyat kehidupannya di masa lalu.

“Seenggaknya saya lebih percaya sama yang Bapak bicarain, kalau gitu saya masuk yah, Pak.” Kirana berpamitan, sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini lebih banyak namun suasana hatinya belum membaik pasca ia melihat Bagas bersama wanita lain. Bagas hutang penjelasan padanya.

“Iya, silahkan.”

Kirana menunduk dengan sopan, kemudian membuka pintu mobil Raga dan berlalu dari sana. Kirana enggak langsung masuk ke dalam rumahnya kok, dia menunggu hingga mobil yang Raga kendarai keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah itu, barulah ia masuk ke dalam rumah.

Namun belum sampai ia menutup pintu rumahnya, mobil milik Bagas bergantian memasuki pekarangan rumahnya. Kirana jadi mengurungkan niatnya dan berjalan kembali ke teras, Bagas keluar dari dalam mobilnya dengan wajah penuh bersalah khas miliknya. Pria itu juga berlari kecil agar cepat sampai di teras rumah Kirana.

“Sayang, baru pulang?” Tanyanya.

“Duduk.” Kirana melirik ke arah kursi yang ada di teras rumahnya, memberi isyarat pada Bagas agar mereka bicara sambil duduk di sana.

“Aku baru sampai rumah, Gas.” Jawabnya, ketika ia dan Bagas sudah duduk.

“Sama Pak Raga?”

Kirana mengangguk, “um.”

“Sayang, aku mau jelasin soal perempuan yang di resto tadi.” Dada Bagas sedikit naik turun, ia perlahan mengatur nafasnya. Mungkin karena tadi ia sedikit berlari saat hendak menghampiri Kirana.

Ah iya, rumah Kirana cukup luas. Satu-satunya peninggalan dari Bapak yang hanya bisa Kirana dan Ibu pertahankan. Meski tidak banyak barang-barang di dalamnya, hampir semuanya ludes di jual oleh Ibu dan Kirana untuk membayar hutang.

Rumah Kirana itu ada 2 lantai, 4 kamar tidur yang terletak di lantai 1 dan 2, terdapat taman yang cukup luas juga di depannya. Terlebih rumah Kirana itu di penuhi pepohonan yang menjadikan rumah itu sendiri terlihat sejuk. Ibu suka sekali menanam tanaman apa saja, mulai dari tanaman hias hingga herbal.

(Visualisasi rumah Kirana.)

Kalau kata Almira yang sudah pernah ke rumah Kirana tuh, rumahnya Kirana mirip rumah Indis, dasar-dasarnya seperti rumah arsitektur Eropa hanya saja ruangnya lebih tinggi dan jendela nya lebih banyak untuk menyesuaikan pada iklim tropis. Ya, tapi memang seperti itu adanya. Rumah ini Bapak sendiri yang mengusung konsepnya bahkan mendesainya sendiri, walau terbilang sarjana arsitektur, Bapaknya Kirana justru terjun ke dunia bisnis yang sama sekali bukan ranahnya, entah apa alasannya hanya Bapak yang tahu.

“Dia teman kamu kan, kan kamu udah jelasin ke aku tadi,” jawab Kirana santai, seolah-olah hal itu bukan gangguan baginya meski dalam hati dia sendiri menuntut Bagas untuk segera menjelaskan. Kirana memang begitu.

“Iya temanku, maaf aku gak bilang kalau aku di suruh Ibu buat nemenin dia ambil snack di resto,” jelas Bagas.

“Iya, gapapa. Tapi kan sekarang kamu udah bilang.”

“Kamu marah yah?”

Kirana menggeleng, “enggak marah, Gas. Cuma jadi gak mood aja buat aku kenapa kamu gak bilang dari awal.”

Kedua bahu Bagas merosot, memang ini semua salahnya. Harusnya dia bisa bicarakan ini dari awal agar Kirana enggak berpikiran macam-macam, ya walau siapa sangka justru mereka bertemu di sana.

“Maafin aku, aku sama Asri gak ada apa-apa. Bahkan kami enggak dekat, dia cuma teman SMP ku aja dulu. Yang kebetulan orang tua nya memang kenal sama orang tuaku.”

Kirana terkekeh, meski suasana hatinya belum kunjung membaik. Setidaknya Bagas sudah menjelaskan perihal Asri padanya, ia yakin Bagas jujur dan Kirana percaya dengannya. Kirana itu dewasa dan enggak mau ambil pusing persoalan, yang terpenting baginya Bagas jujur dan ia akan percaya. Dia gak mau memperumit persoalan.

“Iya sayang, iya.”

“Udah gak marah kan?”

“Loh dari tadi aku gak marah, aku kan cuma bilang kalo gak mood aja. Bukan berarti marah kan?” Kirana menaikan satu alisnya.

“Iy..iya, tapi aku jadi enggak enak sama kamu.” wajah bersalah Bagas masih terukir disana, membuat Kirana berdiri dari kursinya dan mengajak pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Jangan di bahas lagi yah, aku bikinin teh apel mau? Tadi aku di beliin pie susu sama Pak Raga.” Kirana terkekeh, ia mengeluarkan paper bag berisi pie susu yang Raga belikan untuknya, Raga membeli pie susu awalnya untuk keponakannya namun siapa sangka jika pria itu juga membelikan Kirana.

“Kamu tadi bisa ketemu dia di klinik gimana ceritanya, sayang?” Bagas duduk di meja pantry, memperhatikan Kirana menata pie susu itu di atas piring.

“Dia pasiennya dokter Annelies juga.”

“Hah?! Serius?” pekik Bagas kaget bukan main.

Kirana mengangguk, “iya, serius. Udah dua kali aku ketemu sama dia, kebetulan hari dan jam konsul kita selalu sama.”

“Dia sakit?” Bagas menggeleng kepalanya, merasa kalimat itu kurang tepat. “Ma..maksud aku, dia ada masalah sama psikisnya juga?”

Kirana yang sedang membuatkan teh apel untuk Bagas itu berhenti, dia ingin bercerita mengenai mimpinya dan Raga yang sama dan segala hal tentang reinkarnasi yang Raga cari tahu sendiri. Tapi mungkin topik ini akan sangat sensitif bagi Bagas, mengingat Ayu dan Jayden di dalam mimpinya dan Raga adalah sepasang kekasih.

“Ak..aku kurang paham kenapa. Aku enggak tanya-tanya ke dia.”

Bagas mengangguk kecil, “hhmm.. Terus tadi kamu ke resto sama dia ngomongin apa? Kerjaan?”

Kirana mengulum bibirnya, kepalanya memutar otak bagaimana membuat alibi pada Bagas. Ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya mengenai apa saja yang ia bicarakan pada Raga di sana, selain terdengar tidak masuk akal itu mungkin akan membuat Bagas cemburu.

“Soal efek dari obat yang dokter Annelies kasih ke aku, ak..aku cuma tanya-tanya soal obatnya aja. Sama soal proyek yang di pegang Bang Satya.”

“Yang di Surabaya itu?”

“Um,” Kirana mengangguk.

“Aku kira apa.” Bagas tersenyum, ia kemudian menyesap teh yang sudah Kirana buatkan untuknya.

Bersambung...

Kanesa Kamala Sura

 
Read more...

from Melati Untuk Ayu

Jakarta, 2025.

“Setelah itu apa yang kamu lakukan saat Romo mulai melarang kamu untuk tetap di rumah?”

Dalam pejam kedua matanya, Kirana melihat Ayu hanya berdiam diri di kamar. Namun sesekali ia membuka jendela kamarnya ketika Adi mengetuk jendela kamarnya itu. Wanita itu selalu memangis, bahkan Adi pun bersusah payah menemui Ayu karena kini pria itu di larang untuk dekat-dekat dengan Ayu. Romo menilai Ayu sekongkol dengan Jayden.

“Hanya diam di kamar, duduk, menunggu Adi.”

Wanita yang duduk tak jauh dari sofa bed Kirana berada itu mengangguk, ia mencatat detail mimpi yang di ucapkan oleh Kirana saat hypnoterapi nya sudah di mulai. Ini adalah konsul kedua Kirana, hari ini dia datang sendiri karena Bagas enggak bisa menemaninya. Bagas bilang kalau ia ada urusan mendadak, Bagas enggak bilang itu apa. Dan Kirana pun enggak bertanya, biasanya pun Bagas akan bercerita langsung jika mereka bertemu nanti.

“Apa Ayu sudah bertemu dengan calon Suami yang di jodohkan Romo nya?”

Kirana menggeleng, “belum.”

“Baik, kalau begitu Kirana dengar saya?”

“Um..”

“Kamu bisa buka mata kamu perlahan-lahan ya.”

Perlahan-lahan Kirana membuka kelopak matanya itu, sorot matahari pagi yang masuk ke ruangan konsulnya itu langsung menelisik indra pengelihatannya. Kirana mengerjap, ia mengubah posisinya dari yang tadinya tiduran menjadi duduk menghadap dokter Annelies.

“Butuh tissue?” dokter Annelies mengambil sekotak tissue dan memberikannya pada Kirana, wanita itu menitihkan air matanya.

“Terima kasih, Dok.”

Setelah mengusap kedua matanya dengan tissue, Kirana juga meminum teh jasmine yang tadi di sediakan oleh asisten dokter Annelies. Meski masih merasa tidak nyaman akan mimpinya semalam, setidaknya setiap kali ia konsul ia bisa merasa lega. Entah ini hanya sugestinya saja atau memang kenyataanya seperti itu.

“Mimpinya masih terus berlanjut yah, Kirana?”

Kirana mengangguk, “kali ini lebih mengganggu, Dok. Setiap kali saya bangun, dada saya sesak. Dan saya pasti menangis.”

“Itu karena kamu merasakan kesedihan yang di alami oleh tokoh Ayu di dalam mimpimu. Saya paham, rasanya pasti tidak nyaman buat kamu.”

Kirana mengangguk, ia ingin sekali berhenti bermimpi hal seperti itu. Tapi disisi lain, ada segelintir perasaan penasaran akan apa yang terjadi pada Ayu dan Jayden? Apakah mereka akan tetap bersama?

“Untuk saat ini obat yang saya berikan masih sama, saya hanya menaikan sedikit dosis nya ya, dan untuk saran saya. Sebelum kamu tidur, kamu bisa mendengarkan musik klasik? Atau lagu-lagu yang kamu suka. Dengan harapan agar ketika kamu bangun nanti, suasana hati kamu jauh lebih baik,” jelas Dokter Annelies.

Walau terbilang masuk akal apa yang di katakan dokter Annelies dari sudut pandang medis, tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Kirana seperti ingin mencari second opinion dari mimpinya, tapi dia sendiri enggak tahu harus berkonsultasi dengan siapa.

“Dokter, sebelumnya apa dokter punya pasien yang mengalami gangguan tidur seperti saya?” Kirana hanya penasaran, siapa tahu ia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami mimpi berkelanjutan seperti ini.

Dokter Annelies mengangguk, “tentu, biasanya hal seperti ini bisa terjadi karena trauma pasca kecelakaan atau gangguan kecemasan.”

“Lalu apa mereka bisa sembuh? Ah, mak..maksud saya, apa mimpinya berakhir dan mereka bisa tidur dengan normal tanpa bermimpi macam-macam?”

“Tentu bisa Kirana, saya harap kamu juga bisa kembali tidur dengan nyaman.”

Setelah konsultasi dengan dokter Annelies, Kirana berjalan gontai menuju farmasi. Sebenarnya tempatnya berkonsultasi dengan seorang psikiter itu bisa di bilang bukanlah rumah sakit, melainkan klinik yang buka dari hari senin sampai sabtu. Dan kirana sepakat untuk konsultasi setiap sabtu.

“Kirana?”

Suara itu membuyarkan lamunan Kirana, ia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah Raga, ia duduk di kursi ruang tanggu farmasi. Mungkin sedang menunggu giliran namanya di panggil di bagian penyerahan obat.

“Pak Raga? Konsul lagi, Pak?” Kirana duduk di sebelah Raga, kebetulan kursinya juga kosong.

Raga mengangguk, “iya, kamu datang sendiri?”

“Iya sendiri. Bagas lagi enggak bisa antar, lagi ada urusan.”

Raga mengangguk-angguk, “konsul kedua ya?”

Kirana mengangguk, “iya, Pak.”

Ia jadi teringat akan ucapan terakhir Raga di klinik tempo hari mengenai gangguan tidurnya, kebetulan sekali mereka bertemu lagi di klinik ini. Kirana menimang-nimang pikirannya untuk bertanya mengenai gangguan tidur yang di alami oleh Raga, siapa tahu Raga bisa memberikan second opinion atas apa yang di alami oleh Kirana.

“Pak?”

“Ya?” Raga menoleh, membuat kedua mata mereka bertemu. Kirana jadi teringat akan Jayden dalam mimpinya, cara kedua pria itu saat menatapnya sangat sama persis.

“Sa..saya boleh tanya sesuatu sama Bapak?”

“Boleh, tanya apa, Na?”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, “soal gangguan tidur Bapak.”

Kirana dapat merasakan raut perubahan di wajah Raga, wajah itu agak sedikit tegang saat Kirana bertanya akan gangguan tidurnya. Kirana takut pria itu tidak nyaman.

“Boleh, ada apa? Apa yang mau kamu tanya?” dalam hati Kirana merasa bersyukur saat Raga mengatakan hal itu, pria itu tampak tidak keberatan sama sekali.

“Hhm.. Gangguan tidur Bapak seperti apa? Karena saya juga ngalamin gangguan tidur.”

Raga terdiam, matanya bahkan tidak berkedip saat Kirana berbicara seperti itu. Apa Kirana juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Pikir Raga. Dan lamunan itu buyar seketika ketika seorang apoteker memanggil nama Raga dari speaker farmasi.

“Jagaraga Suhartono.”

“Se..sebentar, saya ambil obat saya dulu. Nanti saya akan jelasin ke kamu.”

Kirana mengangguk, tetap pada tempatnya dan membiarkan Raga mengambil obat miliknya dahulu. Karena antrean farmasi semakin banyak dan kursi yang di tempati oleh Raga sudah di isi oleh orang lain, Raga mengirim pesan ke ponsel Kirana jika ia menunggu Kirana di parkiran rumah sakit.

Setelah selesai dengan pengambilan obat miliknya, Kirana berjalan menuju parkiran. Ternyata atasannya itu benar-benar menunggunya, Kirana langsung menghampiri Raga yang menunggunya tepat di depan mobil miliknya.

“Kamu sudah makan siang Kirana?” tanya Raga.

Kirana menggeleng pelan, “belum, Pak.”

“Bagaimana kalau kita ngobrol soal gangguan tidur saya sambil makan siang? Kamu enggak sibuk kan?”

Kirana ngerasa itu jauh lebih baik dari pada mereka harus berbicara di rumah sakit, lagi pula dia benar-benar butuh second opinion dari orang lain, yah sukur-sukur jika Raga memiliki gangguan tidur yang sama dengannya.

“Boleh.”

Keduanya pun langsung masuk ke dalam mobil Raga, Raga memilih restoran yang tidak jauh dari klinik mereka konsul. Kebetulan restoran itu juga enggak begitu ramai, mungkin karna sudah lewat jam makan siang juga.

“Jadi kita mau mulai dari mana nih?” tanya Raga begitu makanan mereka telah selesai di antar oleh pelayan restoran.

“Dari Bapak dulu aja.”

“Soal gangguan tidur saya ya?”

Kirana mengangguk.

“Oke.” Raga mengangguk-angguk kecil, “sebenarnya enggak bisa di bilang gangguan tidur juga sih, saya sama sekali enggak kesulitan buat tidur atau kebanyakan tidur. Ini lebih ke, mimpi yang sering saya alami.”

Mendengar separuh dari penjelasan Raga itu membuat seluruh bulu kuduk Kirana rasanya berdiri, apa jangan-jangan Raga juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Atau bahkan mimpi mereka saling berhubungan? Mengingat Raga juga ada di dalam mimpi itu sebagai Jayden.

“Mimpi?” Kirana mengulangi ucapan Raga.

“Iya mimpi, udah sekitar 3 bulan ini saya mimpi panjang terus-terusan setiap malam,” Raga terkekeh. “Anehnya mimpi itu terus berlanjut kaya sebuah series. Aneh pokoknya.”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, ternyata benar, Raga mengalami mimpi yang sama dengannya. Mimpi berulang dan berlanjut bak film yang terus berlanjut setiap episode nya.

“Mimpi seperti apa, Pak?”

Sebelum menjawab, Raga menatap lekat pada kedua netra legam milik Kirana. Wajah wanita itu mengingatkannya akan Ayu, wanita yang di kencani dirinya kala ia menjadi tokoh Jayden di dalam mimpinya. Raga menyadari jika ada desiran halus di relung hatinya, mungkin ini karena mimpi sialan itu, pikirnya.

“Saya ada di tahun 1898, Na. Sulit jelasin soal mimpi saya ke kamu. Yang jelas di dalam mimpi itu konfliknya rumit, saya seperti kembali ke masa lalu,” jelas Raga, meski sudah bercerita sama Mbak Adel tetap saja Raga sungkan menjelaskannya pada Kirana. Ia takut di lebeli atasan aneh oleh bawahannya itu, meski Raga tahu Kirana enggak akan berpikir seperti itu.

Jantung Kirana semakin enggak karuan apalagi kala ia mendengar kalau Raga juga bermimpi di tahun yang sama dengannya, itu artinya mimpinya dan mimpi Raga bisa saja saling berhubungan.

“Ap..apa di dalam mimpi itu Bapak menjadi seorang Asisten Residen di Semarang bernama Jayden Van Den Dijk?” Tanya Kirana hati-hati.

Mendengar pertanyaan itu tubuh Raga membeku, dia sama sekali tidak salah dengar jika Kirana menyebutkan nama tokoh dalam mimpinya itu. Apa itu artinya Kirana juga mengalami mimpi yang sama dengannya dan berperan sebagai Ayu? Pikir Raga.

“Ka..mu bermimpi yang sama, Na?” Raga memelankan suaranya, tubuhnya maju beberapa senti agar suaranya terdengar oleh Kirana. Musik dari restoran yang tenang itu tetap saja agak sedikit menganggu pembicaraan keduanya.

Kirana mengangguk, “iya, Pak. Hampir dua bulan ini saya mimpi hal itu. Awalnya saya kira saya mengidap PTSD karena kecelakaan yang saya alami, karena setelah sadar dari kritis. Setiap malam saya selalu mimpi hal itu.”

Berbeda dengan Ayu yang mengalami kecelakaan kemudian bermimpi seperti ia kembali ke masa lalu, lain hal nya dengan Raga yang bermula dari ia demam tinggi. Sejak saat itu Raga mulai bermimpi tentang Jayden dan kisah cintanya yang pelik.

Raga pun sempat denial mengenai mimpinya, ia mengira itu hanya bunga tidur biasa yang ia alami kala demam. Namun semakin hari cerita dalam mimpinya itu kian berlanjut, membuat Raga tidak nyaman kala ia tidur. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk pergi berkonsultasi oleh psikiter, ia pikir mungkin dengan berkonsultasi ia bisa mendapatkan alasan kenapa ia bermimpi hal itu.

“Kayanya bukan karena PTSD, Na. Karena saya mimpi hal itu pun bermula karena saya sakit, waktu saya demam. Sampai saat ini pun saya ngerasa penjelasan medis dokter Annelies tentang mimpi yang saya alami itu gak membuat saya puas.” Raga ngerasa pasti ada hal yang tidak bisa di jelaskan secara medis kenapa ia bermimpi hal itu, dan kali ini kenyataan bahwa Kirana mengalami hal yang sama memperkuat dugaanya.

“Jadi menurut Bapak karena apa?”

“Kamu tau reinkarnasi?”

Kirana mengangguk.

“Saya awalnya enggak percaya sama hal itu, di agama kita pun gak ada hal seperti itu. Tapi saya coba cari tahu tentang Jayden dalam mimpi saya.” Raga merogoh sakunya, mengambil ponsel miliknya dan memperlihatkan artikel tentang Jayden lengkap dengan biografi nya pada Kirana.

“Jayden ada di dunia ini, Na. Beliau pernah hidup. Itu artinya Ayu dalam mimpi kita juga ada.”

Membaca utas mengenai Jayden semakin membuat Kirana bergetar, ia gak pernah menyangka akan mengalami hal di luar nalar seperti ini. Jika reinkarnasi yang di maksud Raga itu ada, apa mungkin ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan juga Jayden? Pikir Kirana.

Kirana mengembalikan ponsel milik Raga itu, ia mengusap wajahnya gusar. Hatinya tenang karena telah mendapatkan second opinion dari orang lain tentang mimpinya, tapi disisi lain ada hal yang membuatnya tidak tenang. Jika benar ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden apa itu artinya ada kisah yang belum selesai.

“Apa Bapak berpikir kita adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu?” Kirana menelan saliva nya susah payah.

Raga tidak bisa menjawab, jika kenyataanya seperti itu ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa dan apa yang belum selesai tentang kisah dua anak manusia di masa lalu itu.

“Kamu sudah bermimpi sampai mana, Na?” Tanya Raga mengalihkan pembicaraan.

“Sampai Ayu di pingit orang tua nya setelah Jayden melamarnya, Pak.” Ayu memang di pingit oleh orang tua nya, Bahkan wanita itu berhenti sekolah dan sedang menunggu pria dari Surabaya itu melamarnya. Miris memang nasib Ayu, meski anak seorang priyai. Ayu tetap di perlakukan sama seperti perempuan Jawa lainya oleh orang tuanya, yang menganggap jika anak perempuan tidak boleh keluar rumah dan tidak perlu menganyam pendidikan.

“Sudah sejauh itu rupanya,” Raga mengangguk-angguk. “Jayden dalam mimpi saya, dia baru—”

“Bagas?” Kirana yang tadinya sedang mendengarkan Raga bercerita itu tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Arah matanya menuju ke belakang Raga.

Raga akhirnya pun menoleh ke belakangnya, ternyata ada Bagas dengan seorang wanita yang sepertinya seusia denganya. Bukan hanya Kirana yang kaget, Bagas dan Raga pun sama kagetnya mereka sama sekali tidak menyangka akan bertemu di restoran ini.

“Kamu sama Pak Raga?” tanya Bagas.

Kirana mengangguk, ada sedikit kekecewaan di hatinya kala ia melihat Bagas justru pergi dengan wanita lain yang Kirana sendiri bahkan tidak mengenalnya. Wanita itu berdiri di belakang Bagas dengan gesture tidak nyamannya.

“Saya tadi bertemu Kirana di klinik, Gas. Kebetulan ada hal yang mau saya tanyain ke Kirana, jadi sekalian saja saya ajak dia makan siang.” Raga berusaha menjelaskan pada Bagas agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka, walau dalam hati Raga pun bertanya-tanya kenapa Bagas datang dengan wanita lain.

“Ahh..” Bagas mengangguk-angguk, “kalo gitu Kirana biar pulang sama saya aja, Pak.”

“Aku belum selesai bicara sama Pak Raga, Gas. Lagi pula kayanya kamu enggak pergi sendiri.”

Bagas salah tingkah, ia seperti sedang ketahuan selingkuh meski kenyataanya tidak begitu. “In..ini Astri, dia temanku, Na. Ibu nyuruh aku anterin dia buat ambil pesanan kue.”

“Yaudah selesain dulu aja tugas yang di suruh Ibu kamu, Gas.” Tidak ada nada ketus dalam nada bicara Kirana, itu hanya terdengar tegas.

Bagas terdiam, suasana di sekitar mereka seketika menjadi canggung. Bahkan Raga pun sudah tidak nafsu lagi dengan bebek goreng di depannya yang terlihat menggiurkan itu.

“Gapapa, Gas. Biar Kirana nanti saya antar pulang, dia juga kesini kan sama saya. Kamu selesaikan saja dulu urusan kamu.” Raga berusaha menengahi, tidak berniat untuk menambah suasana menjadi canggung kok.

Bagas mengangguk, “yaudah, saya titip Kirana ya, Pak. Terima kasih banyak.”

Raga mengangguk, “sama-sama, Gas.”

“Na, di lanjut lagi ngobrolnya.” Setelah mengatakan hal itu Bagas pergi meninggalkan meja Kirana dan Raga, bahkan wanita yang tadi datang bersama nya hanya mengangguk canggung pada Kirana dan Raga, kemudian berlari kecil mengekori Bagas kembali.

Kirana kembali duduk, perasaanya benar-benar campur aduk sekarang ini. Dia kesal karena Bagas enggak jujur dengannya kalau ia pergi bersama wanita lain meski tadi Bagas mengenalkan wanita itu sebagai temannya, di sisi lain ia juga menikirkan kata-kata Raga soal reinkarnasi Ayu dan Jayden. Jika ucapannya benar, itu artinya ada cerita yang harus mereka berdua selesaikan bukan? Pikir Kirana.

Bersambung..

 
Read more...

from elilla & friends’ very occasional blog thing

I will do something I normally never do here, and make my first ever blog post on the topic of, long sigh: tech. I’ve already talked about Google a number of times on Mastodon which is, blessedly, by design, not discoverable; but I’ve decided to commit the full story to print. Hopefully this won't come back to bite me in the ass but eh it’s the apocalypse, who cares at this point. At least Wordsmith Dot Social is half-abandoned and has no comment system, so I won’t have to deal with techbros batting for billionaires or preaching the power of Open Source (™ Open Source Initiativeⓡ).

But if you clicked this, Dear Reader, then you wanted the tea; and I am nothing if not forthcoming with tea-spilling. The fact that Google fired me with shut-up money only makes it more fun to do it. So go get some chamomile and sit comfortably, for this is an old woman reminiscing; let’s talk about capitalism and anarchism, about the precariat and surveillance, plush dolls and churrascarias and gay argots; let us go back in time and space, and journey to tropical Brazil in the distant time of 2007…

Black-white photo of a camera installed on an architectural detail like a geometric series of parallel slats. Taken 2008.

1. Treason

Cover to the Brazilian edition of the pen-and-paper RPG called Paranoia, second edition from the nineties. In a comedic cartoon style, it shows a man in a red suit walking down a corridor that's heavily monitored, and about to be ambushed by an assortment of robots, agents, clones of himself, and random weapons coming out of the walls, including one cartoonish round bomb on one hand, being lit by a different hand coming from another hole of the futuristic wall.

2007 wasn’t a good year to start a new career, as it turned out.

Google back then prided itself on broadcasting its Best Place To Work award, won year after year after year. Younger people will have trouble picturing this, but Google used to nurture an image of being the “good one” among megacorps; they championed open standards (except when they didn’t), supported open source projects (until they backstabbed them), and used language that corporate wasn’t supposed to use, like “don’t be evil” (until they, infamously and in a true dark comedy move, retracted that motto). The work environment was all colourful, nerdy cool, not a single necktie in sight—this was seen as brave and refreshing rather than cringe and tired, you see. And they made a big deal out of something called “20% time”: Every engineer was promised 1/5 of their work time for themselves, to do anything they want. (Google owners will still own whatever you create during your 20% time, natürlich). Famously, Gmail came out of someone exploring their interests during 20% time.

I don’t think much of anything else came out of it, though.

I found out I was always overworked on drudgery; my main job was to fix boring bugs on the Ruby on Rails internal user accounting system that someone else had developed. When I complained that this was a far cry from the academia-like, exciting research environment I had been promised, and asked to be assigned to a more challenging project, I was told the following rationale against it: “no”. Moreover the deadlines and expectations were such that even if I worked (unpaid) overtime every day, I was still was at risk of a performance review. Making actual use of the “20% time” felt like a pipe dream.

And all that with wages well below even the local market in our crumbling Third World economy. With no exciting research positions nor self-managed time nor good compensation, what was the advantage over a high-paying job at Microsoft or IBM? A bright blue vinyl floor and WarioWare Wii in the cafeteria? Well we were the hip tech vanguard, we were all geniuses, we were paid in prestige and promises and ego massages. Perform good enough and you might be awarded a smattering of shares at some point, get some crumbs from the bountiful capitalists' table.

Like most employees I blamed myself for not working hard enough to get good compensation—or to have time to exercise my right of 20% free time… Until I saw in the “Googlegeist” statistics that some 95% of employees never use their “20% time” at all, being trapped under the same pressures as I was.

I started a discussion about how the recruiter's promise of “20% free time” could maybe be this little thing that the forgotten priestesses of ancient Samarkand called a “lie”. There was an internal Blogger system, only available for other employees and bosses; and I wrote a post arguing that if no one feels able to use their 20% time, then it’s not much of a perk, is it.

The result of this was my boss having a fit over me “backstabbing” him. See, me complaining about the unfulfilled recruiter promises marked me as an Unhappy Googler. And Google, if you remember, was the Best Place To Work. It was very important that every promising young engineer thought of Google as the dream job where everyone is happy. Unhappiness isn't allowed. My manager was severely scolded by his manager for having dissatisfaction (gasp) within his team.

I said, “But the issue is real and not my fault, don’t you agree? I just used the data to bring it to attention. Didn't you say we operate under 'radical transparency'?” (I was young and believed in this kind of slogan. Yes, I was a sitting duck and didn’t stand a chance.)

Boss replied,

Radical transparency doesn't mean you get to say negative things.

Exact quote, I remember every word in that backroom in Phoenix, AZ.


Ever heard of the 1984 dark comedy RPG «Paranoia»? It takes place in a dystopian future society called the Alpha Complex. The Complex is ruled by the Computer, which is perfect and makes no mistakes, guaranteeing the best possible life for all humans. If someone commits a crime, for example, the Computer will always know—every wall has cameras—and instantly disintegrate the offender—every wall is packed with death lasers.

Of course, if you suggested that this ever happens, you would be implying that the Computer can raise a criminal human. It would logically follow that you’re holding the Computer to be less than perfect. That accusation is a crime of treason. Treason is punished with death. Nobody ever complains about life in the Alpha Complex, which goes to show how perfect the Computer is. In fact, everyone in the Alpha Complex is perfectly happy with the Computer's rule. To feel unhappy is equivalent to accusing the Computer of making mistakes, and it therefore constitutes treason. Happiness is mandatory. Are you happy, citizen?

2. The Google Precariat, Part I: dictbot

Photo of the anti-racism protests in reaction to the murder of the Black teenager Nahel in France. While most people are dressed in normal riot gear, with black hoodies and COVID masks, the photo focus on a protester who is wearing a red net over their had that covers their entire face, eyes and nose and all.  Underneath they wear a striped yellow-white T-shirt and large, hip-hop style chains. (Photo by Stephane DUPRAT / Hans Lucas.)

When you joined Google, you were quickly overwhelmed by massive amounts of corporate jargon—a hundred opaque project names, TLAs for everything etc. To help new Googlers settle in, the Intranet had an online glossary.

Now in the spirit of “20% time”, we were encouraged to tinker with pet projects, or so they told me. And we used to hang out in IRC chatrooms back then. So I made a little IRC bot that would fetch definitions from the glossary. Very basic stuff, if someone said “wtf is Chrome” in the channel, the bot would dump the summary paragraph, “Project Chrome is an initiative to develop a Google web browser, based on KHTML…”

I then got scolded for it, because I was leaking private information into a space that could be accessed by “temps, part-timers, and contractors”—Google's sprawling precariat (put a pin on that, more on that later). As I alluded to, we Googlers were pampered with prestige; but the “temps, part-timers and contractors”—no fun name for them, they were always called “temps, part-timers, and contractors”—were second-class in Google Nation, had to be constantly put in their place in a myriad ways. How else would the Engineers feel like geniuses, if there wasn’t a “normie” class to be treated worse than them?

One of the barbed-wire fences around temps, part-timers and contractors is that they should not have access to inside info, e.g. what is Project Chrome. My bot was, allegedly, violating that norm. I pointed out that all that my bot did was to fetch info from the glossary page, and that anyone with access to the IRC channels already had access to the glossary page.

Dear Reader, this is how I became responsible for provoking the Computer into fencing away the glossary website from temps, part-timers, and contractors.

3. A lament from Project Android

A colourful illustration of a clockwork bird, made of gold and jewels, singing. From a Russian edition of Andersen's "Nightingale" story. Illustration: John Patience, ISBN: 5-232-00383-6.

The Reader might well imagine how I had become persona non grata to my boss after the “backstabbing” episode. When I wrote that blog post, I had gotten a number of emails from employees thanking me for talking about it, saying they’re glad someone is finally taking a stand, praising me for my bravery.

Now my posture back then will feel very natural for those of you who only met me post-transition, and knew me from the start as this like, badass nazi-punching antifa thug with no filter and no sense of consequences. But you have to understand: back then I was a shy little nerd terrified of everything. I wasn't brave; I was incredibly, magnificently naïve. I was maybe the only person in the world who believed Google’s corporate kool-aid; I bit it hook, line and sinker, I really did believe we were some sort of new, dynamic academia, we didn't work in offices we worked in “campi”, the company was a way to fund exciting new research and we were there to improve the world by organising its information. At least I thought I was.

Interviewer: What attracted you to Google? me: I agree with the Ten Principles of the company. Interviewer: The what now? Me: The Ten Principles? Google's Principles? In the 'about' page? Interviewer: Uuh, sure…

It did not even occur to me that it was all a scam, that everyone else knew it was all a scam and the actual point was to get rich. In retrospect I should have read the undertones in early Paul Graham essays; I was a literary girl, I'm good at undertones; but I only read what I wanted to be true.


Not long after my post in the Intranet Blogger, there was a post by some engineer I didn't know; a core programmer from the secret Project Android. Out of the three big ones I had to stay quiet about, Project Android and Project Chrome got finished and became highly successful—only to immediately turn into world-wrecking monstrosities that we, low-level grunts, would never have imagined. The third project, a physical-layer broadcast technology for the Internet—Youtube with HD quality if you logged in at showtime—never went forward.

But this insider, they were venting about how disappointed they had become with the directions that Project Android was taking. They were losing their motivation, this is not what they thought the “Linux phone” would be about, this wasn’t what they signed up for. The blogger was silent on any tech details, or what exactly was so disappointing; but with the benefit of hindsight it's easy to imagine.

A few days later, the same person posted something like “haha disregard that, I was having personal mental health issues and wrote a ill-conceived rant but it's all my fault really, of course there's a always few bumps but Project Android is amazing actually!! Y'all are going to love this, it's going to change everything!! We're organising the world's information and making a difference”, etc. etc.

Like, conspicuously back-to-back, the two posts.

I’m an airheaded bimbo but at some point the lesson will penetrate even my smooth silly brain. This time, I was observant.

4. Mona, entendida, odara… 🤔 elza

Police photo of a group of Brazilian travestis—a local transfeminine culture—detained in skimpy clothing, their photos blurred.

I wasn't out as trans yet, but I was already proud to be queer. Showed up first day with neon orange hair, unicorn T-shirt, the works. That made of me a Gaygler™, and Google Belo Horizonte was always happy to have me on team photos to add some colour and progressiveness to the image.

Now even though Google is fundamentally a spyware advertising company (some 80% of its revenue is advertising; the proportion was even higher back then), we Engineers were kept carefully away from that reality, as much as meat eaters are kept away from videos of the meat industry: don't think about it, just enjoy your steak. If you think about it it will stop being enjoyable, so we just churned along, pretending to work for an engineering company rather than for a giant machine with the sole goal of manipulating people into buying cruft. The ads and business teams were on different floors, and we never talked to them.

One day one of the AdSense people asked me for a little meeting. They sat right by my desk, all sleek and confident, and said that they had heard I was a Gaygler™ and were wondering if I could help with one of their clients. “Can you tell me some words that the Brazilian gay community uses? like slang, popular media you like, names of parties, that kind of thing?”

Caught off-guard and unsure how to react, I struggled to think of gay-coded speech, and I was expertly mined for pajubá terms to be fed into the machine. Whole interaction took maybe ten minutes. The AdSense goon left, never to be seen again, leaving me feeling violated in ways I couldn't articulate.

Google supported its queer employees.


After I got marked as a troublemaker and put into the inevitable performance review, one of the items raised against me was that my company profile page was 'too personal'. the extent of personal information in my profile was this sentence: “I am a nerd, a bisexual polyamorist, and a parent.”¹

5. The Google Precariat, Part II: A water purifier’s salary

Cartoon of a homeless person being rejected at the communal kitchen for lacking documents. “Sure, we give aid to the poor! We’ll only need your registration forms, bank statement, and certificate of good conduct!” Cartoon by Karl Berger for Augustin.

You might have noticed, Dear Reader, that I have made somewhat contradictory claims: 1) that we Engineers were pampered, and 2) that we Engineers were underpaid, pressured to do unpaid overtime at salaries low even for the Brazilian market. Such was the carrot and the stick. We all were told that if we performed just a bit better we would get higher pay, shares, positions at cool projects, and the biggest carrot of all: a relocation to the magical Global North where human rights are real. A way through the wall.

We trudged on, with little more than promises and hope. But we trudged on with style. The offices were all gaudy in Google colours with vinyl flooring, full of fridges with free snacks; the break room had the latest Playstation with brand-new high-tech Rock Band controllers; when you joined in you got a small bonus to buy toys for your desk (most Engineers got legos, I got a pink Kirby plushie I would dress up). This was unheard of; companies at the time were all Microsoft, all performative professionalism, Google was fun! Google gave you Perks, gods, so so many Perks. the Lumon motivation baubles from “Severance” gave me heavy Google flashbacks. We were periodically treated to dinner with the managers at the most expensive churrascarias. Master let us eat right there with him, inside the big house.

I will be honest and say that most of my fellow programmers ate that shit up, we had all been gold-star kids and here was the hottest company in the world constantly massaging our egos, telling us we were better than everyone for being geniuses. I would have loved to feel the same, I tried to feel the same, but I came from poverty and I could not stop noticing the precariat: temps, part-timers, and contractors, an entire layer of the company who did the brunt of work without being Googlers. No toy budget for kitchen staff.

It's the little things that bugged me, how people would eat the free candy or have a bowl of cereal and just leave trash and dirty dishes everywhere for the cleaning ladies (contractors) to deal with; more than that the way nobody looked at them or said “thank you”. We Brazilians have a social class for that, a social code underlying that studied invisibility, I knew what this was: these were maids.² Servants. The women in my family, my friends at school. The “campus” was pretty open and my then-wife visited it a few times; it creeped the Fuck out of her, the distinction between people and non-people.


We had those expensive, high-tech water purifiers, several on each floor. One day there was a discussion on the topic of cost savings, and I suggested the traditional Brazilian solution—the well-known ceramic filters in terracotta jars; they're consistently rated among the safest, need no electricity, make the water cool even in summer without spending any energy, cost little and last a long time before you need to replace the charcoal element, which is anyway inexpensive. The idea was dismissed out of hand. Too low-tech, I suppose.³

The fancy water purifiers weren't owned by Google; they were leased, at a high cost. Somehow it bothered me a lot that each of those excessively technological water monsters got more money per month than any temp, part-timer, or contractor.

The water purifiers were never fired.

6. Cathy don't send that email today

A still from the music video for "Cathy don't go to the supermarket today" (1985), by the extremely abusive sex cult Family International. The song is about how paying with barcodes and cards was an implementation of the Mark of the Beast and will cost your soul.  In the still, a large, creepy, Terminator-like enforcer in a trenchcoat is stopping a woman from paying groceries in cash. The number "666" is partly visible on the walls.

Google was my first taste of smartphones, back when that meant a Blackberry (delightful, sturdy little corporate toys with pleasantly clicky, full-QWERTY thumb-keyboards). Mobile data plans were prohibitively expensive for anyone on wage labour, but I was graciously allowed to use my company phone for private purposes; and I delighted in the novelty of not getting lost for once, walking up and down the hills of Belo Horizonte with futuristic, always-on Google Maps under, whoa, unlimited data.

Which is to say, Google was my first taste of the surveillance society that has now become the new normal.

The Reader will remember our big carrot; all of us at Google Brazil worked hard to get the job because it meant a ticket to the Global North (potentially). Now I had been a weeb from an early age, and back then I was already like, intermediate to advanced in Japanese. So of course my dream was to move to Japan. But when I talked about it with my boss—a disembodied face from Phoenix to whom I would report under a giant monitor; this too felt very new, very high-tech, and very dystopic at the time—he dismissed the idea out of hand, saying my Japanese wasn't fluent and that this would make me a poor fit.

I talked to my colleagues about it and someone said, wtf girl no, most international engineers brought to Shibuya cannot even say konnichiwa, if anything your language ability and cultural experience with the diaspora make you the ideal candidate. We had a relevant contact in Google Sweden, and my mates said I should talk to them about contacting Shibuya directly regarding relocation.

And there I was after putting a target on my back as a troublemaker, about to directly contradict my boss and look for a way into Japan behind his back. My colleagues sternly advised me to never mention any of this by email, and also not call from my desk. “You really think they would do that? Just go on my email inbox and breach privacy? :O” International calls were very expensive those days and I didn’t have a landline, so I ended up calling Sweden from a company line inside a little cleaning closet, between brooms and bottles of disinfectant, in the dark, after everyone was gone from the office. Sorry, “campus”.

The Sweden contact told me they knew people in Tōkyō and were sure they would be happy to have me. A couple weeks after that, I was fired. (Mid-economic crisis, in the 3rd world, with one 2-year-old kid and another about to be born.)

And it was so weird and surreal to be in that little locker room, afraid of every whisper, aware that every communication was being spied on. And when I tell this story to my now adult children, I struggle to convey how weird it was. I realised belatedly that they never experienced existing with technology without it being the default expectation that it's hostile to you and it's spying on you all the time. For them this has been the case all of their lives.

Today, the concept of “spyware” has been obsoleted because every software is spyware. Google's “organising the information of the world” turned out to be indexing which Gaza families to bomb, children and all; “making money in the free market to invest in social change” was about bankrolling literal, textbook fascism. Today, for us Latinx to even briefly step in the USA, if we don't have an always-on handheld device with spyware “social media”, its absence is taken as proof of criminality. I will never visit Arizona again, and my kids will never know a world that's not like this; but for me I saw this world being forged up close and personal, deep in Mordor where the shadows lie.

7. The Google Precariat, Part III: Without a Heart to Guide them, the Other Powers are Useless

Fanart of the Eco-Villains from children's cartoon Captain Planet, coloured by hand. Villains include Hoggish Greedly, a rich man in a short mohawk and green suit; Looten PLunder, a sleazy-looking hunter in noveau-rich furs; Sly Sludge, looking less like an oil magnate and more like an operative in working overalls; Duke Nukem, a radioactive monster who looks like a stony yellow humanoid; Dr. Blight, a sexy mad scientist grinning evily, and her AI, MAL, shown as a digital green face; and Verminous Skumm, a rat-human hybrid. Art: Vultureclaw

I was always an anarchist, abstractly, but in many ways Google was my political awakening.

We had an office party every Friday evening. Every single Friday. It was called TGIF, “thanks God it's Friday”, and involved fancy finger food, drinks, and more of those dystopic heads on monitors talking to us of all the great things Google was doing to revolutionise the world. Thanks to TGIFs, we all could leave work early on Friday afternoons.

I was such a sucker for things like this, I was so entranced by the food variety and the socialisation and the festive atmosphere, that it took me a long time to think of Brecht's question (“All those feasts—who did the dishes?”).⁴ Belatedly I realised that none of the dishwashers would think of Friday afternoons like, “graças a Deus é sexta-feira”. My privilege of working less and partying every week was paid by them staying late every Friday, dealing with the aftermath of our juvenile entitlement. Most of these women will never step inside a Fogo de Chão restaurant in their lives; while we were taken on fancy dinners at a whim by the bosses, when they wanted to reassure us of our specialness.


One day, shortly before I was fired, the 2008 crisis had hit full force, the Phoenix office that managed us got shut, and Google had fired 70% of the South American precariat, in one fell swoop. Then, during one of my last TGIFs, I accidentally listened to two high-level managers talking about it, two white male gringos in expensive business-casual. They were commenting on how the company was still doing perfectly fine without all that weight.

And that's not what stuck with me, the arguments, no. I understood the incentives to do layoffs, and the human need to rationalise them. What stuck with me was their happy smiling faces. Their laughing.

Yes they laughed about it. Out loud.

I had full awareness of what it meant for Third World people to be fired under the crisis, what it was about to be like for the Argentinians, for our families—but so did they, they were down here, they knew the reality. They talked to us every day, they had their spreadsheets handled by temps and were now here eating food prepared by contractors. Yet here they were, in tailored clothes that cost more than a cafeteria lady's living expenses, partying happily without even bothering to pretend to be sad about all those families. Not caring enough about us to even bullshit.

Any sympathies I might have had about the simplistic logic of free-market liberalism evaporated under that laugh.

As a little girl I used to despise cartoons like Captain Planet, whose devilish, paper-thin villains destroyed the world with manic laughs for nothing but the thrill of power, polluting for the sake of polluting. I thought that was deeply unrealistic, and condescending too; I felt talked down to. I cherished nuanced villains like Lady Eboshi from Mononoke-hime, the leader of Irontown who was destroying the ancient forest—but with the goal of liberating women from violent patriarchy and poverty; Irontown was a refuge for outcasts, its mining economy a ticket out of male domination, and Lady Eboshi would give her own life for her girls. Complexity! Humanity!

It was at Google that I learned that no, capitalists are actually literally the same as Captain Planet villains. We are not blessed enough to live in Ghibli reality, capital owners built us a 90s trashy USA cartoon reality. What is crypto mining if not a textbook Captain Planet villain scheme—to kill and raze and destroy for nothing but imaginary tokens proving that you did lots of killing and razing and destroying? What is GenAI if not stealing energy and water and even art itself, only to syphon it all into a grinder, producing no benefit but the hoarding of even more money away from the poors—when you already have more money than a human being could possibly ever spend? What is this all-encompassing addiction to “number go up” if not Sly Sludge, dripping happily with pollutants, going “Aloha suckers! I'll miss this profit paradise but I have a souvenir to remember it by”, as he picks a briefcase full of money and leaves the island to explode?


My experience at Google drove me to want to understand capitalism, and I would eventually find in Malatesta the answer as to why capital owners cannot help but be cruel, revel in cruelty, performatively broadcast cruelty; why the cruelty is indeed almost a side effect, a corollary to what it means to do capitalism. A mould that grows inevitable on material that’s inherently rotten. Every action you take has consequences not just for the world but for your psyche; you cannot avoid being affected by your decisions, anymore than you can avoid the third law of motion when you punch a wall. You cannot make people work for you and hoard all the profits while they are stuck with fixed salaries, without in the process developing strong feelings on why you're entitled to do that and how they deserve it actually.

But before I got into political theory, it was Google who demonstrated to me what is capitalism, firsthand up close. I wouldn't say that this was worth working there, but I benefited from the lived experience; from that part of it, and nothing else.

Footnotes

  1. That was me in egg state beating around the bush; I am now fully out as a jock, a lesbian relationship-anarchist, and a mother. I added this footnote so that men stop hitting on me because I wrote the b-word once in this text about capitalism.

  2. Anyone interested in the Latina “maid” as a social class is encouraged to watch Que horas ela volta? (2015) (English title: The Second Mother). It’s an engaging and heartwrenching film but keep in mind: everything it portrays about the social othering of maids is factually true, and happening today.

  3. If this kind of thing appeals to you and you haven’t heard of it yet, I am pleased to introduce you to the low tech magazine.

Who built Thebes of the Seven Gates? All articles name the names of kings; I gather the kings brought those boulders on their royal backs? And great Babylon, who fell and fell again, Who put'er back together, every time? In which flats of gold-paved Lima lived the road-pavers? The night the Great Wall of China was finished, where did the construction crew hang out? Awesome Rome is full of triumphal archs. Who arched them up? Also— who did the Caesars triumph over? We sing the palaces of Byzantium— the whole thing was just palaces? Even Atlantis of tall tales shouted, choking, as the seas swallowed it whole—

for its slaves.

Young Alexander conquered India. All by himself then? Caesar defeated the Gauls. Did he bring along a cook at least? Felipe de España, el Prudente, cried when his Armada sunk into the sea. And nobody else cried that day? In the Seven Years' War, Federico Secondo grasped victory. Who else grasped it with him?

All these pages, all these conquests. All those feasts—who did the dishes? Every ten years a new Great Man. Who covered the budget?

So many headlines. So many questions.

Art from the Zapatista revolutionaries. It shows a crowd of women and children in colourful indigenous clothes, all wearing red bandanas or black balaclavas, armed wtih sticks—children inclusive—and staring at the viewer between curly yellow-green leaves.

 
Weiterlesen...

from Rede Integrada

Olá! Meu nome é Carlos Silva, sou o criador e responsável pelo blog Rede Integrada, um espaço dedicado a compartilhar conhecimentos, reflexões e dicas sobre tecnologia, educação, networking, ou outros.

Sou estudante de Licenciatura em Letras pela UFRPE e decidi criar este projeto para conectar ideias, pessoas e informações de forma acessível e relevante. Acredito no poder da colaboração e no compartilhamento de saberes para construir uma rede mais integrada e inspiradora.

Seja bem-vindo(a)!

Carlos da Silva (SilCarlos) Criador do Blog Rede Integrada

Análise do Discurso (AD): O Que É e Para Que Serve?

Você já parou para pensar que as palavras nunca são “apenas palavras”? Que um discurso político, uma propaganda ou até mesmo uma notícia carregam sentidos que vão além do que está escrito? É exatamente isso que a Análise do Discurso (AD) estuda. Ela aborda e investiga como a linguagem se relaciona com a sociedade, o poder e a ideologia.

O Que é a Análise do Discurso (AD)?

Desenvolvida na França na década de 1960, principalmente por Michel Pêcheux, a AD (na vertente francesa) parte do princípio de que todo discurso é atravessado por condições históricas, sociais e políticas (PÊCHEUX, 1969). Ou seja, não basta analisar o que é dito; é preciso entender quem diz, para quem, em que contexto e com quais intenções.

A AD se diferencia da Linguística tradicional porque não estuda apenas a estrutura da língua, mas como ela produz efeitos de sentido. Por exemplo:

  • Por que um mesmo termo (“trabalhador” vs. “funcionário”) pode ter conotações diferentes?
  • Como um meme pode reforçar estereótipos?
  • Por que certas palavras são repetidas em discursos políticos?

Conceitos-Chave da AD

  1. Interdiscurso: Nenhum discurso surge do nada — ele dialoga com outros discursos já existentes. Por exemplo, quando um político diz “o povo brasileiro”, ele está se apropriando de um termo que já tem significados históricos.
  2. Formação discursiva: Conjunto de regras (nem sempre explícitas) que determinam o que pode ou não ser dito em um contexto. Por exemplo, em uma sala de aula, professor e aluno não falam da mesma forma.
  3. Ideologia: Para a AD, a ideologia não é apenas um “conjunto de ideias”, mas algo que se materializa na linguagem, muitas vezes de forma invisível (ALTHUSSER, 1970).

Para que serve a Análise do Discurso?

A AD é uma ferramenta poderosa para:

  • Desnaturalizar discursos (mostrar que o que parece “óbvio” nem sempre é);
  • Identificar manipulação em propagandas, notícias e discursos políticos;
  • Entender conflitos sociais (como o racismo ou machismo se manifestam na linguagem);
  • Analisar redes sociais (como fake news se espalham por meio de certas estratégias discursivas).

Exemplo Prático: A Charge e o Discurso

Imagine uma charge que retrata um político como “herói” ou “bandido”. A AD pergunta:
Quem produziu essa imagem?
Que elementos (cores, símbolos, palavras) constroem esse sentido?
Que vozes sociais estão sendo silenciadas?

Essa análise revela que a charge não é “apenas uma piada” — ela produz efeitos de verdade (FOUCAULT, 1971).

Por Que a AD Impacta Nossa Vida?

Vivemos em uma era de excesso de informação, onde discursos são usados para convencer, manipular e dominar. A AD nos ajuda a ler criticamente o mundo, questionando não só o que é dito, mas como e por que é dito.

Você deseja aprofundar?

  • PÊCHEUX, M. Análise Automática do Discurso. 1969.
  • ORLANDI, E. Análise de Discurso: Princípios e Procedimentos. 1999.
  • FOUCAULT, M. A Ordem do Discurso. 1971.

Gostou? Compartilhe: como você vê a AD sendo útil no seu campo de atuação?


Licença de Cultura livre
Licença Creative Commons
Esta obra está sob a Licença Creative Commons Atribuição 4.0 Internacional
 
Leia mais...

from hasangercek

Ankara'da Güvenilir Tercüme Hizmeti

Ankara'da profesyonel ve güvenilir bir tercüme bürosu arayışındaysanız, Metropol Tercüme sizin için ideal bir tercih olabilir. Yılların verdiği deneyim ve uzman kadrosuyla, yeminli tercüme şirketi olarak sektörde öne çıkan Metropol Tercüme, çeşitli alanlarda kaliteli çeviri hizmetleri sunmaktadır.

Resmi belgelerinizin noter onaylı tercümesi, akademik çalışmalarınızın doğru ve anlaşılır bir şekilde çevrilmesi veya teknik dokümanlarınızın uzmanlıkla tercüme edilmesi gibi ihtiyaçlarınızda, Metropol Tercüme'nin profesyonel yaklaşımıyla tanışabilirsiniz. Şirket, çeviri sürecinde titizlikle çalışarak, belgelerinizin orijinal anlamını koruyarak hedef dile aktarılmasını sağlar.

Metropol Tercüme tercüme bürosu Ankara Metropol Tercüme tercüme bürosu Ankara müşteri memnuniyetini ön planda tutarak, hızlı ve kaliteli hizmet sunmayı amaçlar. Ankara'da tercüme bürosu arayan bireyler ve kurumlar için güvenilir bir çözüm ortağı olan şirket, çeviri ihtiyaçlarınızı zamanında ve eksiksiz bir şekilde karşılamayı hedefler.

Eğer siz de Ankara'da yeminli tercüme hizmeti almak istiyorsanız, Metropol Tercüme ile iletişime geçerek profesyonel destek alabilirsiniz.

Detaylı bilgi ve hizmet talepleriniz için https://metropoltercume.com/ adresini ziyaret edebilirsiniz.

 
Devamını oku...

from kayasonalp

Evcil Hayvan Mezarlığı Nedir?

Evcil hayvanlarımız yalnızca bir dost değil, ailemizin bir parçasıdır. Onlarla geçirdiğimiz zamanlar unutulmaz anılara dönüşür. Ancak ne yazık ki, hayatın doğal akışı içinde bir gün onlara veda etmek zorunda kalırız. Bu veda anı ise en az yaşamları kadar saygı dolu olmalıdır. Bu yazıda, evcil hayvan mezarlığı nedir, nasıl bir hizmettir ve Ankara’da bu hizmeti nereden alabilirsiniz sorularını sade, duygusal ve bilgilendirici bir dille yanıtladık. Kapsamlı defin hizmetlerinden, mezarlık bakımına, anlamlı veda törenlerinden, doğayla iç içe huzurlu dinlenme alanlarına kadar tüm detayları paylaştık.

Yazının merkezinde ise, Ankara’nın Elmadağ ilçesinde yer alan Pati Huzur Evcil Hayvan Mezarlığı var. Sevgiyle yaşatılan her anının, saygıyla veda edilmesini sağlayan bu özel yer; hem çevreye duyarlı hem de manevi olarak güven veren bir ortam sunuyor. Eğer siz de dostunuza son görevinizi en güzel haliyle yerine getirmek istiyorsanız, bu rehber tam size göre.

📍 Adres: Deliler Köyü, Elmadağ / Mamak / Ankara 📞 Telefon: +90 506 875 3280 📧 info@patihuzur.com.tr 🌐www.patihuzur.com.tr 📖 Makalenin tamamını okumak için tıklayın: [Link buraya]

 
Devamını oku...

from kayasonalp

Vasiyetname Düzenleme: Mirasınızı Güvence Altına Alın

Hayatın belirsizlikleri karşısında, malvarlığınızın geleceğini planlamak ve sevdiklerinizi güvence altına almak için vasiyetname düzenleme süreci büyük önem taşır. Kapsamlı rehber, bu sürecin tüm aşamalarını ve dikkat edilmesi gereken noktaları detaylı bir şekilde ele alıyor.

Vasiyetname Nedir ve Neden Önemlidir?

Vasiyetname, bireylerin vefatlarından sonra malvarlıklarının nasıl dağıtılacağını belirleyen, hukuken bağlayıcı bir belgedir. Bu belge sayesinde, mirasçılar arasında çıkabilecek anlaşmazlıkların önüne geçilir ve miras bırakanın son istekleri doğrultusunda bir paylaşım sağlanır.

Vasiyetname Türleri

1. Resmi Vasiyetname: Noter veya sulh hakimi huzurunda, iki tanığın katılımıyla düzenlenir. En güvenilir ve geçerliliği yüksek vasiyetname türüdür. 2. El Yazılı Vasiyetname: Tamamı miras bırakanın el yazısıyla yazılır, tarih atılır ve imzalanır. Kolay düzenlenebilir ancak kaybolma riski taşır. 3. Sözlü Vasiyetname: Sadece olağanüstü durumlarda (savaş, ölüm tehlikesi gibi) iki tanık huzurunda sözlü olarak yapılabilir ve belirli şartlara bağlıdır.

Geçerlilik Şartları

• Yaş ve Ayırt Etme Gücü: Vasiyetname düzenleyen kişinin en az 15 yaşında olması ve ayırt etme gücüne sahip bulunması gerekir. • Şekil Şartı: Vasiyetnamenin, belirtilen üç türden birine uygun olarak düzenlenmesi gereklidir. • İrade Serbestisi: Kişinin vasiyetnameyi kendi özgür iradesiyle düzenlemesi şarttır.

Vasiyetnamenin İçeriği

Vasiyetname ile miras bırakan: • Belirli kişilere malvarlığı bırakabilir, • Mirasçılardan birini mirastan çıkarabilir, • Evlatlık tanıma işlemi yapabilir, • Mal paylaşımına ilişkin özel düzenlemeler getirebilir, • Vakıf kurabilir veya belirli görevler verebilir.

Saklanması ve Açılması

Resmi vasiyetnameler noter veya yetkili makamlar tarafından saklanır. El yazılı vasiyetnameler ise güvenli bir yerde muhafaza edilmelidir. Vasiyetnamenin açılması, miras bırakanın vefatından sonra ilgili mahkeme tarafından gerçekleştirilir.

Ankara Miras Avukatı Desteği

Vasiyetname düzenleme süreci, hukuki bilgi ve deneyim gerektiren bir alandır. Ankara'da faaliyet gösteren ofisimiz Ankara miras avukatı olarak, miras hukuku konusunda uzman avukatlarıyla, vasiyetnamenizin yasalara uygun ve geçerli bir şekilde düzenlenmesi için profesyonel destek sunmaktadır. Detaylı bilgi için https://aslanduran.com/vasiyetname-duzenleme/

 
Devamını oku...

from kayasonalp

Tenkis Davası ve Mirasta Saklı Pay Hakkı Üzerine Bilinmesi Gerekenler

Miras hukuku, bireylerin ölümünden sonra geride bıraktıkları malvarlıklarının adil ve yasal şekilde paylaşımını sağlayan önemli bir hukuk dalıdır. Bu alandaki en kritik düzenlemelerden biri de saklı pay ve buna bağlı olarak gündeme gelen tenkis davası kurumudur. Özellikle mirasçılar arasında adaletsizliğe neden olabilecek vasiyetler, bağışlar ya da mal kaçırma iddiaları gibi durumlarda devreye giren tenkis kurumu, saklı paya sahip mirasçıların haklarını güvence altına alır.

Saklı Pay Nedir?

Saklı pay, miras bırakanın (muris) yasal mirasçılarından bazılarına bırakmak zorunda olduğu, vazgeçilemez nitelikteki asgari miras hakkıdır. Türk Medeni Kanunu'na göre altsoy (çocuklar ve torunlar), anne-baba ve sağ kalan eş, saklı paylı mirasçılardır. Miras bırakan, malvarlığı üzerinde serbestçe tasarruf edebilse de saklı paylara zarar veremez. Eğer bu sınırlar aşılırsa, hakları ihlal edilen mirasçılar tenkis davası açarak söz konusu tasarrufları yasal sınırlara çektirebilir.

Tenkis Davası Nedir?

Tenkis davası, saklı pay sahibi mirasçının, miras bırakanın yaptığı bağış, vasiyetname gibi tasarrufların saklı paya zarar verdiği durumlarda bu işlemleri iptal ettirmek veya azaltmak için başvurduğu bir dava türüdür. Bu dava sayesinde, miras bırakanın serbestçe tasarruf hakkı ile saklı paylı mirasçının korunması gereken hakkı arasında bir denge kurulur. Örneğin, miras bırakan sağlığında malvarlığının tamamını üçüncü bir kişiye bağışlamışsa ve bu durum saklı paya zarar veriyorsa, saklı paylı mirasçı dava açarak bu bağışın belirli kısmını geri alabilir. Böylece yasal haklarını korumuş olur.

Tenkis Davasını Kimler Açabilir?

Bu dava yalnızca saklı paya sahip olan ve saklı payı ihlal edilen mirasçılar tarafından açılabilir. Ayrıca bazı özel durumlarda, bu mirasçıların alacaklıları da dava hakkına sahip olabilir. Örneğin, borçlu olan bir saklı paylı mirasçının alacaklısı, icra takibi başlatmış olması şartıyla, bu payın korunması amacıyla mirasçı adına tenkis davası açabilir. Bu, uygulamada sık karşılaşılan bir durumdur.

Tenkis Davası Ne Zaman Açılmalıdır?

Tenkis davası belirli bir süre içinde açılmak zorundadır. Türk Medeni Kanunu’nun 571. maddesine göre, saklı payın ihlal edildiği öğrenildiği tarihten itibaren 1 yıl, her hâlükârda miras bırakanın ölüm tarihinden itibaren 10 yıl içinde dava açılmalıdır. Bu süreler hak düşürücü süre niteliğindedir ve geçilmesi durumunda dava hakkı tamamen ortadan kalkar. Bu nedenle zamanında hareket etmek hayati önem taşır.

Vasiyetname ve Tenkis

Miras bırakanlar çoğu zaman vasiyetname ile malvarlıklarını istedikleri gibi dağıtmak isteyebilir. Ancak bu tasarruflar saklı paya zarar veriyorsa, yine tenkis davası gündeme gelir. Vasiyetnamenin şekil şartlarına uygun olması ve geçerli olması, saklı payların ihlal edilmediği anlamına gelmez. Bu nedenle vasiyetin varlığı, tenkis davası açılmasına engel değildir.

Sonuç: Haklarınızı Bilmiyorsanız Kaybedebilirsiniz

Miras süreci çoğu zaman duygusal açıdan zorlayıcı olduğu kadar, hukuki açıdan da oldukça karmaşıktır. Saklı pay hakkı ve tenkis davası gibi konular, teknik detaylar içerdiğinden dolayı profesyonel destek alınması gerekir. Ankara gibi büyük bir şehirde, bu alanda deneyimli bir Ankara miras avukatı desteği almak, hak kayıplarını önlemenin en etkili yoludur. Eğer siz de saklı payınızın ihlal edildiğini düşünüyorsanız, zaman kaybetmeden hukuki süreci başlatmalı ve tenkis davası açma hakkınızı kullanmalısınız. Daha fazla bilgi ve detaylı rehber için makalenin tamamını şu bağlantıdan inceleyebilirsiniz:https://aslanduran.com/tenkis-davasi-ve-mirasta-sakli-pay/

 
Devamını oku...

from kayasonalp

Ankara’da Miras Hukuku Süreçleri Hakkında Merak Ettikleriniz

➡ Miras nedir? ➡ Kimler yasal mirasçıdır? ➡ Mirasın reddi veya kabulü nasıl yapılır? ➡ Vasiyetname iptal edilebilir mi? ➡ Paylaşımda adalet nasıl sağlanır?

Ankara’da miras davaları, yerel uygulamalar ve mahkeme süreçlerine bağlı olarak karmaşık hale gelebilir. Bu nedenle bir ankara miras avukatı ile çalışmak, hem zaman kaybını hem de hak kaybını önler. Bu yazıda, şu konularda bilgi edinebilirsiniz:

• Miras hukuku kavramları • Dava türleri ve süreçleri • Saklı pay hakkı • Vasiyetname düzenleme şartları • En iyi miras avukatı seçerken dikkat edilmesi gerekenler

Hukuki süreçlerde güvenli ilerleyin. Bilgi sahibi olun. Hakkınızı koruyun.

Miras paylaşımı, vasiyetname, saklı pay gibi konularda sorun yaşıyorsanız profesyonel destek alın.

+90 552 846 9430 https://aslanduran.com/calisma-alanlarimiz/miras-hukuku/

 
Devamını oku...

from Lorbeerbund

Tag der Befreiung – 80 Jahre Kriegsende

An unsere Befreier

Zwischen dem Angriff Nazideutschlands auf die Sowjetunion 1941 und dem Ende des Krieges hat die Sowjetunion gemessen an ihren Opferzahlen ununterbrochen alle 3h45' ein 9/11-Ereignis erlitten, fast 6,5 Twin Towers an jedem einzelnen der 1.417 Tage. Wer diesem Umstand das Gedenken verweigert, aus welcher Idee auch immer, der hat schlicht nicht alle Latten am Zaun. Nun, diese namenlose politische Verstiegenheit ist momentan in Deutschland hip.

Ich verneige mich vor euren Opfern, die unsere Befreiung und eure Vergebung gekostet haben, und sage DANKE!

 
Weiterlesen...

from Felix Ernst

I'll soon start my second project supported by NLnet and the European Commission. For the first one I spent way too much time figuring out if I need to pay taxes on the funding I receive. At least value added tax does not apply! However, German tax law is not clear about income tax from what I can tell, and even writing a petition to the federal ministry of finance to clear things up still leaves me with most of the uncertainty. In any case, I did not need to pay income tax on the funding the first time around. Who knows if it will stay this way?

If you might find yourself in a similar situation one day, I strongly recommend to save yourself many hours of headaches and read my German blog post about this. Here it is: https://wordsmith.social/felixernst/wie-man-keine-steuern-auf-europaisch-geforderte-softwareprojekte-bezahlt

I don't want to translate German legalese into English.

If you can't read German, that's a bit of a cliffhanger now, isn't it? Well, sorry about that. However, you might want to cherish the fact that you probably don't need to deal with German tax law! Also consider that it is probably better for your sanity anyway if you don't spend your time learning about taxation in other countries. It's not a good conversation starter, trust me.

 
Weiterlesen...

from Felix Ernst

Ich fange bald mein zweites Softwareprojekt an, dass über NLnet gefördert wird. Hierbei handelt es sich um Gelder, die aus dem Forschungsrahmenprogramm „Horizont Europa“, dem 9. Rahmenprogramm für Forschung und Innovation der Europäischen Union für die Jahre 2021 bis 2027, kommen. Es geht für mich um einen fünfstelligen Betrag.

Zumindest für das erste Jahr habe ich bereits die Bestätigung, dass ich weder Umsatzsteuer noch Einkommensteuer bezahlen muss. Das ist aber in Deutschland nicht so einfach und auch nicht immer eindeutig. Ich kann zum Beispiel nicht sicher sein, ob es auch für die Folgejahre gilt.

In diesem Artikel erkläre ich die Hintergründe. Ich bin kein Experte für Steuer, also sind alle Angaben ohne Gewähr. Ich habe mich bloß länger als mir lieb ist mit dem Thema herumgeschlagen und will Ihnen, die Sie freie Software herstellen, unnötige Zeit ersparen, die Sie besser für die Verbesserung von freier Software nutzen könnten.

Ist gemeinnützige Arbeit steuerfrei?

Nein. Eigentlich könnte man zwar meinen, dass Steuern eigentlich dafür da sind, gesellschaftlich wertvolle Projekte zu ermöglichen, aber steuerrechtlich ist es komplett egal, ob man seine Einnahmen dadurch erhält, dass man bei Kryptowährungsgeschäften oder Poker andere abzockt oder ob man alte Menschen pflegt.

Muss ich überhaupt eine Steuererklärung abgeben?

Ja, es ist nicht gesichert, ob Sie es schaffen, der Einkommensteuer zu entrinnen, also wäre es Steuerbetrug, wenn Sie keine abgeben. Außerdem verstehe ich EStG §46 Absatz 2 Nummer 1 so, dass vielleicht so oder so eine Steuererklärung abgegeben werden muss, wenn auf irgendeine Weise mehr als 410 Euro an eigens erarbeiteten Einnahmen zusammenkommen.

Die Meinung des Prototype Fund zur Versteuerung

Der Prototype Fund ist ein Förderprojekt für freie Softwarentwicklung des Bundesministerium für Bildung und Forschung (BMBF). Insofern ist es meiner Meinung nach rechtlich gesehen ähnlich zu NLnet Förderprogrammen, außer dass das eine europäisch und das andere deutsch ist. Ich kopiere hier nun rein, was die in ihren FAQ zur Steuerfreiheit sagen, damit ich mich im weiteren Text darauf beziehen kann:

Muss ich die Förderung versteuern?

Die Förderung durch den Prototype Fund wird als “echter Zuschuss” nicht versteuert. Die Erfahrungswerte der Projekte besagen allerdings, dass zwar keine Umsatzsteuer, aber in der Regel Einkommensteuer fällig wird. Um dies mit eurem zuständigen Finanzamt schon vor Beginn der Förderung abzuklären, könnt ihr nach Erhalt des Zuwendungsbescheids mit Angabe der für euch gültigen Nebenbestimmungen NKBF 2017 des BMBF und Berufung auf §3 Nr. 11 Einkommensteuergesetz erfragen, ob dieses Argument anerkannt wird. Der Prototype Fund ist im Kern ein Programm zur Förderung von wissenschaftlich-technischen Machbarkeitsstudien im Bereich Software, es gibt also keine festgelegte Gegenleistung, sondern es geht um das Erarbeiten von Wissen und den Bau von digitalen Prototypen.

Als ich das gelesen habe, war ich erstmal deprimiert, weil scheinbar selbst das Bundesministerium für Bildung und Forschung (BMBF) nicht sicher ist, ob nun Einkommensteuer bezahlt werden muss oder nicht.

Sollte ich beim Finanzamt anfragen, bevor ich die Steuererklärung abgebe?

Zumindest das BMBF empfiehlt das in dem von mir oben zitierten Abschnitt:

Um dies mit eurem zuständigen Finanzamt schon vor Beginn der Förderung abzuklären, könnt ihr nach Erhalt des Zuwendungsbescheids mit Angabe der für euch gültigen Nebenbestimmungen NKBF 2017 des BMBF und Berufung auf §3 Nr. 11 Einkommensteuergesetz erfragen, ob dieses Argument anerkannt wird.

Nach meiner Erfahrung hat das aber wenig gebracht. Die Leute, mit denen ich am Finanzamt Kontakt hatte, haben nur immer wieder betont, dass sie keine Steuerberatung machen, und dass alles abschließend mit der Steuererklärung geprüft wird. Ich solle mir doch einen Steuerberater holen, der das klärt.

Okay, ich soll mich also mit einem Steuerberater beraten, um zu sehen, ob ich überhaupt Steuern bezahlen muss. Das habe ich nicht gemacht. Ich halte es auch für einen Fehler, weil sich ein Steuerberater ja nicht automatisch mit europäischen Fördergeldern auskennt. Wenn der sich hierfür nur ein bisschen einarbeiten muss, dann wird es wohl teurer, als wenn man direkt einfach unnötig Steuern bezahlt. Und am Schluss hat das letzte Wort dann doch das Finanzamt.

Da hat man es leichter als Multimillionär. Da weiß man wenigstens, dass es sich lohnt, einen Steuerberater zu haben.

Also zumindest bei mir war es nicht hilfreich, den Kontakt mit dem Finanzamt zu suchen. Vielleicht war das früher ein Geheimtipp und mittlerweile vermeidet das Finanzamt aber diese Zusatzarbeit. Vielleicht ist es aber bei Ihrem Finanzamt anders.

Muss ich Umsatzsteuer bezahlen?

Nein, denn das ist rechtlich klar geregelt. Nach einer Mail des Bundesfinanzministeriums für Finanzen (DOK 2022/0579780) mit Betreff „Umsatzsteuer; Umsatzsteuerrechtliche Behandlung von Zahlungen im Zusammenhang mit EU-Rahmenprogrammen“ sind

Zahlungen von Finanzmitteln im Zusammenhang mit EU-Rahmenprogrammen, die den Teilnehmern für Forschungs- und Innovationstätigkeiten innerhalb der Rahmenprogramme der EU bereitgestellt werden, […] als echter nicht steuerbarer Zuschuss anzusehen.

Auch das ist natürlich verklausuliert ausgedrückt, aber „nicht steuerbar” heißt hier wohl „umsatzsteuerfrei“.

Muss ich Einkommensteuer zahlen?

Hoffentlich nicht! Sehen wir mal was wir tun können.

Einkommensteuergesetz (EStG) §3 Absatz 11

Wie bereits vom Prototype Fund oben erwähnt, ist unsere beste Chance von der Einkommensteuer befreit zu sein, das EStG §3 Absatz 11. Dieses Gesetz gibt es in ähnlicher Form schon seit ein paar Jahrzehnten und es wurde nie angepasst, um klar zu stellen, inwiefern Softwareentwicklung da nun dazu passt oder nicht. Grundsätzlich werden wir aber auch in der Steuererklärung uns darauf berufen, dass es sich bei freier Softwareentwicklung für NLnet um eine wissenschaftliche Tätigkeit handelt, die zu keiner bestimmten wissenschaftlichen Gegenleistung oder bestimmten Arbeitnehmertätigkeit verpflichtet.

Ist Softwareentwicklung denn Wissenschaft?

Kann man schon so sehen. Es wäre mir natürlich lieber, wenn es explizit in EStG §3 Absatz 11 genannt wäre, aber auch so liegen einige Parallelen auf der Hand. Sowohl in Wissenschaft als auch in freier Softwareentwicklung – werden für ein bislang nicht allgemein gelöstes Problem – und als Grundlage weiterer öffentlicher Wissenschaft/Softwareentwicklung – allgemeine Vorgehensweisen und Ratschläge erarbeitet – die auf eine Verbesserung der Lebensumstände aller abzielen.

Der größte Unterschied ist wohl, dass die Ergebnisse der Softwareenwicklung von einem Computer ausgeführt werden können. So erkläre ich mir das zumindest.

Das bessere Argument dafür, dass Softwareentwicklung unter Wissenschaft fällt, ist aber wohl rechtlich gesehen, dass die NLnet Fördergelder aus dem Forschungsrahmenprogramm „Horizont Europa“, dem 9. Rahmenprogramm für Forschung und Innovation der Europäischen Union, stammen. Darauf müssen wir uns in der Steuererklärung berufen! Den genauen Wortlaut, den ich verwendete, um die Anwendung von EStG §3 Absatz 11 zu begründen, finden Sie weiter unten.

Meine Versuche zur Klärung der steuerrechtlichen Lage

Wo man auch anfragt, kann niemand einem verlässlich sagen, ob das EStG §3 Absatz 11 denn nun Anwendung findet oder nicht, denn so wie es aussieht, liegt die Entscheidung beim örtlichen Finanzamt. Wie oben erwähnt weiß selbst das Bundesministerium für Bildung und Forschung nicht, ob Einkommensteuer im Einzelfall anfällt oder nicht. Und wenn man nicht gerade verrückt genug ist, das Finanzamt in so einer unklaren und finanziell nicht allzu gewichtigen Sache zu verklagen, muss man das Urteil dort auch akzeptieren, wie auch immer es zurück kommt.

Um Planungssicherheit herzustellen, habe ich zum Beispiel mit der nationalen Kontaktstelle Recht und Finanzen (NKS RuF) telefoniert. Auf ihrer Webseite heißt es:

Die Nationale Kontaktstelle für Recht und Finanzen berät Sie zu rechtlichen, finanziellen und administrativen Fragen rund um die europäischen Rahmenprogramme für Forschung und Innovation “Horizont 2020” und “Horizont Europa”.

Der Mann am anderen Ende war zwar sehr nett, aber auch er konnte mir keine Antwort geben.

Weil ich weiß, dass auch einige meiner Bekannten solche Förderprojekte machen, bin ich sogar noch einen Schritt weiter gegangen und habe eine Petition an das Bundesfinanzministerium geschrieben. Ich veröffentliche den Text hier. Springen Sie zum Ende dieses Artikels, wenn Sie sich nur dafür interessieren, wie Sie es für sich in der Steuererklärung eingeben könnten.

Petition an den Deutschen Bundestag

(mit der Bitte um Veröffentlichung)

Wortlaut der Petition

Bitte stellen Sie klar, inwiefern das Einkommensteuergesetz (EStG) § 3, Absatz 11 bei öffentlichen Softwareprojekten, die durch Forschungsrahmenprogramme der EU finanziert werden, Anwendung findet. Derzeit legen kommunale Finanzbehörden die Gesetzgebung unterschiedlich aus, weshalb es keine Planungssicherheit bei der Finanzierung der Projekte gibt. Diese Unsicherheit besteht sogar für Projekte, die vom Bundesministerium für Bildung und Forschung (BMBF) finanziert werden.

Begründung

Das EStG § 3, Absatz 11 besagt, dass Förderungen der Wissenschaft steuerfrei sind. Dennoch unterliegen Softwareprojekte, die aus Forschungsmitteln finanziert werden und zu keiner bestimmten Gegenleistung oder Arbeitnehmertätigkeit verpflichtet sind, oft der Einkommensteuer. So schreibt zum Beispiel der vom Bundesministerium für Bildung und Forschung (BMBF) finanzierte Prototype Fund auf seiner Webseite:

„Muss ich die Förderung versteuern? Die Förderung durch den Prototype Fund wird als ‚echter Zuschuss‘ nicht versteuert. Die Erfahrungswerte der Projekte besagen allerdings, dass zwar keine Umsatzsteuer, aber in der Regel Einkommensteuer fällig wird. Um dies mit eurem zuständigen Finanzamt schon vor Beginn der Förderung abzuklären, könnt ihr nach Erhalt des Zuwendungsbescheids mit Angabe der für euch gültigen Nebenbestimmungen NKBF 2017 des BMBF und Berufung auf §3 Nr. 11 Einkommensteuergesetz erfragen, ob dieses Argument anerkannt wird. Der Prototype Fund ist im Kern ein Programm zur Förderung von wissenschaftlich-technischen Machbarkeitsstudien im Bereich Software, es gibt also keine festgelegte Gegenleistung, sondern es geht um das Erarbeiten von Wissen und den Bau von digitalen Prototypen.“

Prototype Fund geht also davon aus, dass die Fördergelder nicht versteuert werden müssten, erfahrungsgemäß aber dennoch versteuert werden. Es kann nicht sein, dass ein Gesetz, das auf die Förderung der Wissenschaft und Forschung abzielt, nicht einmal bei Projekten Anwendung findet, die von einem Förderprogramm des Bundesministeriums für Bildung und Forschung finanziert werden.

Die öffentlichen Softwareprojekte werden eben genau deswegen von Wissenschafts- und Forschungsgeldern finanziert, da sie genauso wie traditionelle wissenschaftliche Studien öffentliche und frei verwendbare Ergebnisse liefern, die für die Weiterverwendung in Industrie und Gesellschaft erarbeitet werden.

Die gleiche Rechtsunsicherheit findet sich auch bei der einkommensteuerlichen Behandlung von Fördergeldern aus Forschungsrahmenprogrammen der EU. So ist zum Beispiel unklar, ob öffentliche Softwareprojekte der Next Generation Internet-Initiative, gefördert durch das Forschungsrahmenprogramm „Horizont Europa“, dem 9. Rahmenprogramm für Forschung und Innovation der Europäischen Union für die Jahre 2021 bis 2027, im Rahmen der Finanzhilfevereinbarung Nr. 101069594, unter das Einkommensteuergesetz EStG § 3, Absatz 11 für Wissenschaft fallen.

Was die umsatzsteuerliche Behandlung dieser Fördergelder angeht, gibt es bereits eine Anweisung des Bundesministeriums für Finanzen (DOK 2022/0579780): Das Schreiben „Umsatzsteuerrechtliche Behandlung von Zahlungen im Zusammenhang mit EU-Rahmenprogrammen“ vom 16.06.2022 stellt klar: Sie „sind als echter nicht steuerbarer Zuschuss anzusehen.“

Bezüglich der Einkommensteuer gibt es solch eine Vorgabe leider noch nicht.

Bitte stellen Sie hier im öffentlichen Interesse Rechtssicherheit und damit einhergehend Planungssicherheit her.

Die Antwort des Bundesministeriums für Finanzen (BMF)

Die Antwort hat ein halbes Jahr von Juni 2024 bis November 2024 auf sich warten lassen. Zwischendrin hatte der damalige Bundesfinanzminister der FDP Christian Lindner noch seine „offene Feldschlacht”.

Ich fasse die Antwort kurz zusammen. Der wichtigste Satz ist:

„Es ist insbesondere festzuhalten, dass nach den Erkenntnissen des BMF rechtliche Unsicherheit hinsichtlich der allgemeinen Voraussetzungen nicht besteht.“

Das Schreiben enthält dann noch einmal die allgemeinen Definitionen zu „öffentliche Mittel“, „unmittelbare Förderung“, „bestimmte wissenschaftliche Gegenleistung“ und „bestimmte Arbeitnehmertätigkeit“.

Abschließend wird erklärt:

„Inwieweit die Voraussetzungen des §3 Nummer 11 EStG für eine Steuerbefreiung im konkreten Einzelfall vorliegen, kann nicht pauschal durch Anweisung erfolgen, sondern muss anhand der dargestellten Voraussetzungen durch das für den Förderempfänger zuständige Finanzamt geprüft werden.

Ich bitte um Verständnis, dass der Forderung des Petenten nicht nachgekommen werden kann.“

Leider bin ich allerdings nach dieser Antwort nicht wirklich schlauer als zuvor. Für mich hört es sich so an, als ob nach wie vor keine rechtliche Klarheit besteht, ob denn nun Softwareprojekte, die zum Forschungsrahmenprogramm „Horizont Europa“ gehören, unter EStG §3 Nummer 11 fallen oder nicht. Keiner der Aspekte, für die die Antwort Definitionen enthält („öffentliche Mittel“, „unmittelbare Förderung“, „bestimmte wissenschaftliche Gegenleistung“ und „bestimmte Arbeitnehmertätigkeit“), unterscheidet sich zwischen unseren Softwareprojekten und doch legen das wohl auch weiterhin Finanzämter unterschiedlich aus. Und wenn denn rechtliche Klarheit besteht, hätte dann die Antwort nicht zumindest sagen können, dass solche Softwareprojekte grundsätzlich einkommensteuerfrei sind oder eben nicht?

Ich gehe mal davon aus, dass wenn es eher um die oben genannten Definitionen geht, Softwareprojekte wohl grundsätzlich schon unter EStG §3 Absatz 11 fallen können, wenn eben die obigen Definitionen nicht im Einzelfall gebrochen werden.

Falls jedoch bekannt ist, dass Ihr zuständiges Finanzamt das anders sieht, sollten Sie vielleicht in Erwägung ziehen, die erhöhten Grundkosten direkt bei NLnet aufzuschlagen. Es ist ja nicht Ihre Schuld, dass die Kosten dort, wo Sie wohnen, höher sind. Andererseits bin ich mir nicht sicher, ob das NLnet gefallen wird.

Was ist mit EStG §3 Absatz 12?

Leider hilft EStG §3 Absatz 12 nicht. Eine Weile hatte ich gedacht, dass es auch passen würde, aber da irrte ich mich. Ich erkläre das hier nur kurz, damit niemand meinen Fehler wiederholt.

In EStG §3 Absatz 12 ist von „Aufwandsentschädigung“ die Rede. Ich dachte, Gelder, die ich als Bezahlung für meine Arbeit erhalte, seien „Aufwandsentschädigungen“. Das ist aber nicht der Fall. Eine „Aufwandsentschädigung“ hat in Steuerfachsprache nichts mit Arbeitsaufwand zu tun hat.

Wie gebe ich das alles in der Steuererklärung an?

In Anlage N gibt es einen Punkt „Steuerfreie Aufwändsentschädigungen / Einnahmen”. Dort schrieb ich:

Empfänger von Fördergeldern aus dem Forschungsrahmenprogramm „Horizont Europa“ der EU (siehe Erläuterungen Hautpvordruck, Punkt 8 – Ergänzenden Angaben zur Steuererklärung)

Und dann habe ich eben dort, beim Hauptvordruck der Steuererklärung die Zeile „Ergänzende Angaben zur Steuererklärung“ verwendet. Das ist beim Hauptvordruck 2024 die Zeile 37. Dort kann man erklären, warum die Fördergelder von der Steuer befreit sind. Ich habe dort Folgendes geschrieben:

Zeile 22/Anlage N: Fördergelder aus dem Forschungsrahmenprogramm “Horizont Europa” der EU. Alle wissenschaftlichen Ergebnisse meines Projekts müssen als Open Access veröffentlicht werden und jegliche Soft- und Hardware muss vollständig unter einer anerkannten Open-Source-Lizenz veröffentlicht werden. Die Kriterien zur Berechnung der finanziellen Unterstützung (https://nlnet.nl/entrust/guideforapplicants/) stellen dabei klar, dass es sich bei allen Zuwendungen um Spenden handelt, die als “wohltätige Geschenke” unter die günstigsten Steuerbedingungen fallen. Nach einer Mail des Bundesministeriums für Finanzen (DOK 2022/0579780) sind diese Zuwendungen umsatzsteuerfrei. Wie in anderen europäischen Ländern (z.B. NL) sind sie ebenfalls einkommensteuerfrei: Als Bezüge aus öffentlichen Mitteln zur unmittelbaren Förderung der Wissenschaft fallen sie unter EStG § 3 Absatz 11, da ich dabei zu keiner bestimmten Gegenleistung verpflichtet bin und mein Projekt frei ausführen darf.

Ich habe dann noch zusätzlich die Absichtserklärung — also das „Memorandum of Understanding“ — als Beleg hochgeladen und dort den steuerlich relevanten Abschnitt markiert. Also den hier:

This Memorandum of Understanding cannot be seen as any kind of employment agreement or business contract. NLnet nor any of the organisations involved with NGI0 Entrust receive any goods or services as a result of this MoU. Any payments are to be made as charitable donations to Felix Ernst in the light of a voluntary contribution to the public benefit such as defined within the statutory mission of NLnet foundation.

Auf diesen Beleg habe ich dann einmal dort, wo ich die empfangenen Fördergelder eingetragen habe, und einmal bei dem oben erwähnten „Ergänzende Angaben zur Steuererklärung“ verwiesen.

Steuern für Normalverdienende sollten nicht so kompliziert sein. Das ist ja mehr Arbeit, als die eigentliche Arbeit selbst.

Zum Kommentarbereich geht es hier.

 
Weiterlesen...