Sejak kemarin Liliana enggak masuk kerja, dia sudah izin sama atasannya dengan alasan anaknya sakit. Untungnya atasannya itu memberikan Liliana izin, walau kadang-kadang dia juga masih handle kerjaan dari rumah.
Siang ini Liliana sedang bermain bersama Bella di ruang tengah rumahnya, ia juga menyuapi anak itu walau kadang Bella benar-benar menguji kesabarannya. Bella bukan enggak bisa makan sendiri, dia bisa kok makan sendiri hanya saja bocah itu sering kali enggak fokus dan beralih mengerjakan hal lain.
Demam Bella juga sudah redah, anak itu sudah aktif bermain lagi tapi Liliana hanya ingin menghabiskan waktunya beberapa hari ini bersama Bella.
“Bella.. Bella, enggak boleh nyoret-nyoret dinding lagi. Kan Mama udah bilang nyoret-nyoretnya di papan.” Liliana memperingati Bella, sudah banyak sekali coretan anak itu di dinding rumahnya. Bella sudah sering kali Liliana ingatkan namun anak itu tetap melanggar dengan terus mencoret dinding.
“Gamau!!” pekik Bella, bocah itu berlari mengambil kerayon miliknya dan beralih mencoret-coret pintu.
“Bela—”
belum sempat Liliana melanjutkan kata-katanya, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia akhirnya memutuskan untuk melihat ponselnya dulu, takut-takut ada telepon penting dari kantor. Dan benar saja kan, panggilan itu berasal dari Julian senior di kantornya.
“Pak Julian?” gumam Liliana, dia langsung mengangkat panggilan itu. “Hallo, Pak?”
“Hallo, Li. Lagi sibuk gak?“
“Lumayan, Pak. Ada apa yah?” sembari menjepit ponselnya di antara telinga dan bahunya, Liliana menghampiri Bella dan menyuapi anak itu lagi. Kali ini ia membiarkan Bella mencoret-coret pintu, karena kalau dia larang Bella pasti akan mencari objek lain untuk ia coret. Toh noda di pintu rumahnya bisa di hapus nanti.
“ini, Li. Saya tadi meeting sama Buk Cassandra, dia minta desain produk buat tint balm yang kemarin kamu buat itu ada beberapa bagian yang di revisi. Saya sih sudah kasih pemasukan kalau desain yang kamu kerjakan kemarin enggak ada yang kurang, overall bagus. Dan cocok banget sama branding remaja, tapi dia bilang ada beberapa bagian yang dia enggak suka,” jelas Julian di sebrang sana.
“Oh, gitu, Pak. Gapapa, Bapak kirim ke email saya aja biar nanti saya revisi lagi bagian-bagian yang mau di ubah sama Buk Cassandra.”
“oke, nanti saya email ke kamu yah, Li. By the way, kamu kemana dua hari ini gak ke kantor?“
Pertanyaan sederhana dan sewajarnya itu dari seniornya berhasil membuat Liliana tersenyum, namun dengan sigap ia menyadarkan dirinya bahwa hal ini wajar karena pasti Julian butuh banyak berdiskusi dengannya perihal desain-desain yang sedang ia kerjakan.
“Anak saya sakit, Pak. Besok saya udah masuk kok.”
“oh, oke. Maaf yah saya gak tahu. Semoga cepat sembuh anaknya, Li. Kalau gitu terima kasih yah, bisa langsung di cek emailnya.“
Setelah sambungan telfon itu terputus, Liliana tersenyum. Julian memang perhatian dan baik, dia sadar hal ini bukan hanya terjadi padannya tapi pada hampir semua karyawan kantor yang mengenal Julian juga beranggapan hal yang sama.
Setelah selesai menyuapi Bella dan memastikan bocah itu tidur siang setelah meminum obat, kini Liliana beralih membersihkan rumahnya yang berantakan karena Bella mengeluarkan semua mainannya.
Kadang Liliana berpikir, apa jika Suaminya masih ada ia tidak akan mengalami hal ini? Maksudnya merawat Bella sendirian, mengasuh dan juga bekerja. Kadang ada hari di mana Liliana kelepasan meninggikan suaranya di depan Bella karena tingkah anak itu yang menguji kesabarannya.
Tapi jika sudah sadar atas apa yang ia lakukan, Liliana buru-buru meminta maaf pada Bella dan memeluknya. Setelah selesai membersihkan rumah, kini saatnya Liliana memeriksa surel miliknya yang sudah ada pesan dari Julian mengenai desain produknya yang harus ia revisi.
Sembari sesekali melihat ke arah kamar Bella, ia mengubah beberapa bagian yang atasannya itu minta. dan siapa sangka ketika ia sedang fokus mengubah beberapa elemen desainnya ia justru mendapati pesan dari Julian, laki-laki itu bilang mereka akan ada meeting besok pagi untuk campaign yang akan di adakan perusahaan.
hal kecil itu justru kini mendistraksi pikiran Liliana, ia malah jadi iseng untuk melihat akun sosial media milik seniornya itu di kantor. oiya, Julian itu bisa di bilang lumayan aktif di sosial media nya, dia bukan influencer seperti Istrinya kok. hanya saja ketenaran Istrinya di dunia maya itu membuat Julian kecipratan juga.
akun sosial media nya memiliki jumlah pengikut yang lumayan banyak, Julian juga suka mengunggah moment-moment bersama Istrinya. seperti sedang makan malam, foto bersama saat mereka liburan, atau membuat video singkat Julian yang pernah membuat kejutan untuk Istrinya itu. hal itu juga yang membuat Liliana agaknya iri dengan Ara yang menjadi Istri Julian, wanita itu benar-benar di perlakukan dengan baik dengan Suaminya.
Enggak jarang komentar di sosial media milik Julian itu di banjiri dengan pujian seperti mengatakan kalau mereka adalah couple goals atau memuji sifat gentleman Julian.
Tok tok tok tok
Mata Julian melirik ke pintu ruangannya, ternyata itu Ferdy temannya. Laki-laki itu langsung masuk begitu Julian nyengir ke arahnya, oiya ruangan Julian tadinya itu berdua sama Ferdy tapi berhubung Ferdy lebih senior darinya Ferdy mendapat promosi lebih dulu dan kini menjabat sebagai R&D manager. Jadi sekarang Julian cuma sendirian aja tapi masih tetap ada dua meja di ruangannya kok.
Mungkin perusahaan nantinya akan mencari karyawan baru untuk mengisi posisi itu.
“Belum balik lu, Jul?” tanya Ferdy, dia duduk di kursi nya dulu sembari memperhatikan Julian yang sedang sibuk di depan komputernya.
“Masih ada kerjaan, Fer. Duh gue jadi kagak sopan kalo manggil nama lo doang sekarang rasanya,” ledek Julian.
“Lebay banget anjir.”
Julian hanya terkekeh, “lo sendiri kenapa belum balik?”
“Males balik, mau tidur di kantor aja gue.” Ferdy pindah posisi, dia jadi menghampiri sofa yang letaknya di dekat pintu masuk dan menidurkan dirinya di sana tanpa melepas sepatunya.
“Lah kenapa?” Julian mengerutkan keningnya, sesekali ia melirik Ferdy yang sedang memijat keningnya sendiri. Kemudian beralih pada mesin print dan mengambil beberapa hasil print miliknya.
“Lagi ribut sama bini gue.”
“Ngeributin apaan sih?”
Julian sebenarnya udah enggak kaget sama cerita Ferdy yang sering banget ribut sama Istrinya. Mereka sudah menikah sekitar 3 tahun, Ferdy juga sudah memiliki 1 orang anak perempuan berumur 2 tahun. Ara pun mengenal Istri Ferdy dengan baik karena Istrinya adalah senior Ara di fakultasnya dulu. Namanya Teh Jessi. Iya, Jessi komdis yang dulu pernah negur Ara waktu ospek karena bawa lip tint sama BB cream.
“Biasa lah, namanya juga rumah tangga, Jul. Entar juga lo rasain deh. Lo sih sekarang pasti masih manis-manis aja sama bini lo, orang baru 7 bulan nikah. Lagi hot-hot nya juga kan.”
Mendengar itu Julian cuma geleng-geleng kepala aja, dia bukan gak pernah berantem sama Ara kok walau masih 7 bulan nikah. Berantem itu pasti, apalagi kalau Ara lagi keras kepala. Tapi menurut Julian semua hal kan bisa di selesaikan kalau komunikasinya baik.
“Kata siapa? Gue sama Ara suka ribut kok, cuma yah balik lagi kita mau komunikasi. Lo ajak lah bini lo ngobrol mau nya apa,” kata Julian menasihati.
“Susah, dia tuh terlalu overthinking sama gue. Pikirannya negatif mulu kalo udah soal gue.”
“Pasti ada sebab nya kan, Fer.”
“Iya, ada tapi kan gue udah enggak kaya apa yang dia pikirin.”
“Masih soal yang sama?” Julian sudah selesai dengan kerjaannya, dia nyamperin Ferdy dan ngasih kopi kaleng yang ada di kulkas kecil ruangannya. Julian emang suka nyetok kopi di kulkas ruang kerjanya, soalnya kalo lagi banyak kerjaan dia suka ngantuk.
“Iya, gue emang pernah salah. Jalan sama cewek padahal dua hari lagi kita akad. Tapi gue sama itu cewek cuma main-main aja, Jul. Gak serius, gila kali. Gue juga udah enggak begitu lagi. Tapi tiap kali gue lembur atau ada dinas keluar kota dia pasti langsung ngira nya gue selingkuh. Gitu aja terus sampe gue capek,” keluh Ferdy bersungut-sungut.
Julian menghela nafasnya pelan, kadang dia bingung kenapa dia sering banget di curhatin masalah rumah tangga temannya. Padahal Julian juga bukan orang yang cukup berpengalaman, bahkan ia dan Ara baru menikah dalam hitungan bulan.
“Kertas yang udah lecek emang gak akan bisa balik rapih kaya semula, Fer. Menurut gue lo banyak ngobrol sama Jessi deh. Kaya kalo lo lagi lembur tuh lo ngomong, kalau perlu lo foto biar dia percaya. Ini bukan berarti lo Suami yang takut Istri yah, cuma kan gak ada salahnya saling menjaga kepercayaan.”
“Lo sama Ara kaya gitu?”
Julian mengangguk. “Walau udah nikah gue sama Ara kaya pacaran tiap hari, masih suka ngirim-ngirim foto kalo lagi jauh. Masih suka ngobrol panjang pas kita sama-sama ada waktu kosong, dan nyempetin buat jalan-jalan keluar tiap weekend pokoknya jalan-jalan pas weekend itu kaya jadi wajib buat gue sama dia.”
“Ah itu sih karna Ara nya aja yang gak pernah negatif thinking kaya Jessi.”
Julian terkekeh, Ara emang gak pernah curiga sama Julian yang enggak-enggak tapi bukan berarti pikiran Istrinya itu selalu positif terus. Kaya sekarang ini, obrolan tiap malam menjelang tidur mereka selalu mengenai penyakit Ara dan kemungkinan dia hamil.
Julian sudah berkali-kali meyakinkan Ara kalau semua akan baik-baik saja, jika pun tidak Julian enggak masalah sama itu semua. Tapi jawaban Ara tetap sama, dia masih suka berandai-andai bagaimana kalau dia enggak bisa memberikan keturunan buat Julian. Pokoknya kemungkinan-kemungkinan jelek yang enggak tahu kejadian atau enggak deh.
“Kata siapa, Ara juga manusia, Fer. Dia sama kok suka negatif thinking juga. Yah bedanya kalau Jessi kan soal lo, karna lo udah pernah kecewain dia.”
Ferdy terlihat menghela nafasnya pelan, dia juga gak nyangka kalau tindakannya waktu itu akan berdampak pada keharmonisan rumah tangganya sampai sekarang. Jessi jadi hilang kepercayaan dan selalu berpikiran buruk tentangnya hanya karena satu kesalahan.
“Menurut gue, lo bisa ke konselor pernikahan deh. Atau kalau lo mau pakai cara lo sendiri, lo bisa ajak Jessi liburan kemana gitu terus ngobrolin banyak hal tentang hal yang ganggu pikiran dia. Disitu lo yakinin deh supaya dia percaya lagi sama lo.”
Ferdy enggak jawab ucapan Julian lagi, dia hanya memperhatikan embun yang berubah menjadi air di kaleng kopi yang Julian berikan padannya barusan. Ucapan Julian ada benarnya juga, mungkin dia mau mencoba dulu dengan caranya sendiri.