Wordsmith

Reader

Read the latest posts from Wordsmith.

from Melati Untuk Ayu

Kala Raga sedang melewati panjangnya jalan menuju rumahnya, tidak sengaja ekor matanya melihat Bagas dan Kirana tengah duduk berdua di halte bus. Entah apa yang sedang keduanya bicarakan, tampak serasi, tampak melempar senyum satu sama lain. Layaknya seorang remaja yang tengah puber dan dimabuk cinta.

Mobil yang dikendarain terhenti, entah apa yang membuat Raga menginjak rem untuk menelisik apa yang pasangan itu lakukan. Meski hatinya sendiri seperti tercabik-cabik, Raga masih menyangkal terkadang jika ia sudah jatuh cinta dengan Kirana karena mimpi sialan itu. Namun terkadang juga ia membiarkan dirinya menyerah dan mengakui jika ia memang jatuh cinta.

Boleh dikatakan ia bodoh, baper, tidak tahu malu atau umpatan apapun tentang seorang pria yang menyukai wanita milik pria lain. Tapi tidak ada keinginan lebih dari Raga selain hanya memastikan Kirana baik-baik saja, tersenyum dan memandangnya dari jauh. Ia tak ada niatan untuk merebut apalagi menghancurkan hubungan keduanya.

Ketika sebuah bus datang dan berhenti di halte, pasangan itu saling bergandeng tangan dan masuk ke dalamnya. Dan Raga masih terpaku di tempatnya, meremat setir mobilnya sembari menata kepingan hatinya yang hancur setelah diterpa rasa cemburu. Setelah bus itu sedikit menjauh, ia kemudikan lagi mobil miliknya untuk segera pulang.

Ia sudah lelah dan ingin segera istirahat, sesampainya di rumah justru rasa malas mendera Raga hingga ia hanya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Menatap dengan pandangan kosong pada langit-langit gipsum ruang tamunya sembari mempertimbangkan keputusan besar yang akan merubah karirnya.

Ini soal tawaran Ethan, Raga masih mempertimbangkannya dan Ethan sudah meminta keputusan Raga. Dalam hati ia tidak membenarkan perasaan ini, ia harus melupakan Kirana. Tapi jika terus bertemu dengan wanita itu setiap hari di kantor apakah itu akan menjadi mudah? Katakanlah ia pindah kantor hanya demi move on dari wanita itu.

Lalu tanganya merogoh kantong celana miliknya, mengambil benda persegi itu dan mengetikkan sebuah nama di sana. Raga akan menelfon Ethan, tak lama untuk membuat Raga dapat mendengar suara iparnya dari sebrang sana. Karena pada bunyi nada sambung ketiga Ethan sudah mengangkat panggilannya.

hallo, Ga? Ada apa?

“Malam, Mas Ethan. Raga mau ngomongin soal tawaran Mas Ethan.” Raga bangkit dari tidurnya dan mengubah posisinya menjadi duduk.

ah, iya. Gimana-gimana? Sudah punya keputusan, Ga?

“Raga ambil, Mas. Raga bersedia pindah ke kantor Mas Ethan. Tapi tolong beri waktu sampai Raga menyelesaikan pekerjaan Raga di kantor yang sekarang ini, bagaimana?”

ah serius kamu?!” pekik Ethan tidak menyangka saking susahnya Raga diajak untuk bekerja di kantornya. “*boleh lah, Ga. Selesaikan saja dulu, Ga. Tidak usah buru-buru kapanpun kamu ingin pindah Mas selalu menyambut.”

Raga mengangguk kecil, meski ia yakin Ethan tidak akan melihatnya. “Tapi rahasiain dulu dari Mbak Adel ya, Mas.”

Raga hanya tidak ingin Adel mengintrogasinya dengan rentetan pertanyaan mengapa pada akhirnya ia berlabuh pada kantor iparnya itu, apalagi kalau sampai kakaknya itu menebak alasannya bukan hanya ingin keluar dari zona nya. Melainkan demi melupakan perasaanya pada Kirana, maklum lah terlampau sering Adel menebak, dan sialnya semua tebakannya adalah sebenar-benarnya diri Raga.

iya, tenang aja. Tapi, Ga. Ini kamu mau pindah kantor beneran? Haha sampe kaget Mas loh, tadinya udah pesimis banget.”

Raga terdiam, menghela nafasnya sendiri dengan kasar. Ia sendiri masih setengah hati, namun tak ada salahnya mencoba keluar dari bubble nya sendiri. Ia ingin melindungi hatinya yang sudah kalah, ia harus tahu diri untuk tidak jatuh lebih dalam pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain.

Ga?” panggil Mas Ethan karena Raga tidak kunjung menyahut.

“Gapapa, Mas. Raga mau keluar dari zona nyaman aja.”

Setelah selesai sedikit mengobrol pada Ethan, Raga melangkah masuk ke dalam kamarnya. Matanya sontak melihat bunga yang Raga bawa dari cafe, bunga yang dibawa Kirana sewaktu Kirana bertemu dengan orang tua Bagas. Saat pertama kali orang tua Bagas menyuruhnya menjauhi putra mereka secara terang-terangan. Waktu itu Raga duduk di belakang Kirana, sewaktu itu Raga sendiri kaget jika ia bertemu Kirana di sana.

Raga ambil bunga itu dan ia bawa pulang, bunga cantik yang dirangkai khusus namun justru tidak diberikan pada orang yang seharusnya menjadi pemiliknya. Bunga itu sudah layu, menghitam, mengecil dan sebentar lagi mungkin akan jatuh ke dalam vas bunga yang Raga isi air. Namun ia enggan membuangnya, biarlah bunga itu mati sendiri, jika sudah mati, mungkin Raga akan menjemurnya dan tetap menyimpan kelopak demi kelopak yang berjatuhan itu, atau tidak masalah meski ia hanya menyimpan tali yang meggabungkan setiap tangkai bunga itu.

Mimpi itu masih terngiang, tentang janji Jayden dan Ayu untuk terlahir kembali dan menikah. Tapi jika dugaan itu memang benar, mungkin Jayden dan Ayu kembali tidak berjodoh dikehidupan sekarang ini. Raga sempat menelusuri asal usulnya, tentang keluarga besar dari Papa nya yang juga berkebangsaan Belanda. Namun ia tak mencari tahu lagi lebih dalam, 127 tahun. Sangat sulit jika Raga menyelami sampai sejauh itu.

Itu pun jika benar, jika benar ia adalah keturunan dari keluarga Jayden. Atau ini semua hanya kebetulan saja, entahlah kepala Raga sudah pening rasanya. Lebih baik ia melupakan segala mimpi itu, menguburnya bersama bayang-bayang kecintaanya pada Kirana.


Minggu pagi itu Kirana bangun lebih dulu, ia merenggangkan tubuhnya dan kemudian keluar dari kamarnya. Biasanya minggu pagi seperti ini, Ibu sudah bangun lebih dulu. Entah itu untuk memasak atau menyiram tanaman, Ibu selalu bangun saat menjelang subuh. Saat ini sudah setengah enam dan Ibu belum bangun, Kirana berinsiatif untuk melihat ke kamar Ibunya itu.

Saat pintu kamar Ibu terbuka, wanita itu masih terlelap dengan wajah tenanganya. Kirana tersenyum dan kembali menutup pintu kamar Ibunya kembali. Ia mencuci muka, dan segera membuat teh dan cemilan untuk sarapan di pagi hari. Hari ini dia sudah mengagendakan untuk berbelanja ke pasar bersama Ibu.

Kirana hanya membuat pancake pisang dan teh tawar, kemudian menyiram tanaman di depan rumah mereka sembari menyapa tetangga yang melewati depan rumahnya untuk sekedar berlari pagi atau ingin berbelanja ke pasar. Setelah sudah pukul setengah tujuh, Kirana ingin membangunkan Ibu. Karena jika terlambat sedikit saja ke pasar bisa-bisa ia dan Ibu mendapat ikan yang kurang segar.

Kirana membuka kamar Ibunya lagi, melangkah mendekat ranjang Ibunya itu dan duduk di pinggir kasur Ibunya. “Buk?”

Tak ada sahutan dari Ibu, tapi ada sesuatu yang aneh saat Kirana memegang tangan Ibu untuk sedikit mengguncang tubuhnya. Tangan Ibu dingin, padahal mereka tidak memakai AC. Kening Kirana mengekerut, ada kepanikan menderanya seketika ketika ia memperhatikan tubuh Ibunya.

Tak ada gerakan pada perutnya seperti pada umumnya orang bernafas, tidak kembang kempis. Hanya diam dengan wajah tenang dan pucat serta dingin, Kirana menelan saliva nya susah payah dan kembali membangunkan Ibu nya. Ada sedikit pikiran buruk namun ia tepis dengan segera.

“Buk? Ibu? Udah setengah tujuh, Buk. Katanya mau ke pasar? Kita jadi kan masak pecak?” Sekali lagi, Kirana mengguncang kecil tubuh Ibunya. Jantungnya ingin lepas dari tempatnya ketika tubuh di depannya itu tetap bergeming.

“Buk?” Kirana menggeleng, ia mencoba mendekatkan telapak tanganya pada cuping hidung Ibu. Dan lara kini mendera Kirana ketika tak ia dapati helaan nafas berhembus disana.

“IBU!!!” Kirana panik bukan main, matanya memanas dan air matanya dengan mudahnya menguncur dari pelupuk matanya itu.

Kirana berlari keluar rumahnya, berteriak memanggil siapa saja yang datang atau sekedar lewat rumahnya untuk membantu memastikan Ibunya masih hidup, atau setidaknya membantunya membawa Ibu ke rumah sakit.

“Pak, Buk!! Tolongin Ibu saya!” Pekik Kirana lirih, dadanya sakit bukan main. Ia harap Ibu hanya kelelahan saja dan bukan meninggalkan dirinya.

“Ada apa, Neng?” Tanya seorang Ibu-Ibu yang sepertinya baru saja pulang dari pasar.

“Tolong.. Tolong Ibu..saya..” Kirana terisak, ia menarik tangan Ibu-Ibu itu dan mengajak beberapa warga lain untuk memeriksa keadaan Ibunya.

Meski sudah mendapati pernyataan dari warga yang membantunya jika Ibunya sudah meninggal dunia, Kirana masih enggan mempercayai itu. Ia bersikukuh membawa Ibu ke rumah sakit agar ia bisa mendapatkan peryataan yang legit dari seorang dokter. Warga membantu Kirana membawa Ibu ke rumah sakit terdekat, dalam perjalanan meski matanya buram karena air matanya yang terus mengalir. Kirana berusaha tabah, ia menelfon sanak saudaranya dan juga teman-temannya.

Namun kekecewaan dan kepedihan menerpanya kembali ketika pintu IGD terbuka dan menampakan seorang dokter, dengan wajah yang sulit Kirana artikan. Ia harap Ibunya masih ada, Ibu tidak meninggalkannya, Ibu hanya memerlukan waktu untuk beristirahat sebentar. Namun yang Kirana dengar justru sebaliknya.

“Mbak, Ibu Rahayu sudah meninggal dunia. Ibu sudah meninggal sekitar 4 jam yang lalu.”

Seorang diri Kirana di depan pintu IGD tubuhnya gemetar, seperti tengah tersengat aliran listrik puluhan volt yang siap membuatnya berpindah ke alam lain, ia merosot, menangis dan memegangi dadanya yang terasa di remas dengan kejamnya oleh takdir yang tidak pernah berpihak padanya.

Satu-satunya orang yang Kirana miliki di dunia ini, diambil paksa darinya. Membuat Kirana semakin merana hidup dalam kesendirian tanpa orang tua. Ia menangis, begitu lirih sampai beberapa penunggu pasien dan warga yang mengantarnya barusan merasa iba pada Kirana.

Kirana masih belum sanggup untuk berdiri, untuk sekedar mengurus administrasi dan membawa jenazah Ibu nya pulang. Ia masih menunggu Budhe nya untuk datang ke Jakarta dari Semarang, tak lama kemudian dari lorong rumah sakit. Terlihat seorang pria berjalan dengan langkah panjang-panjang mengarah ke padanya.

Persetan dengan siapa pria itu, Kirana masih meratapi nasibnya. Kepalanya pening bukan main, sirna sudah berbelanja ke pasar dan memasak pecak untuk makan siang minggu ini. Pria itu mendekat, tak mampu membuat Kirana menoleh sedikitpun untuk mencari tahu siapa gerangan pria di depannya itu.

“Kirana..” Panggil pria itu dengan suara beratnya, suara yang terlampau Kirana kenal betul itu milik siapa.

Kirana mengadahkan kepalanya, menatap sepasang sandal berbeda warna yang ada di hadapannya itu dan melihat wajah sang empunya. Dugaanya salah jika orang pertama yang datang ke rumah sakit menjemputnya adalah Bagas, justru pria di depannya itu adalah Raga. Dengan nafas tersenggal, kaos oblong, celana training hitam dan sandal jepit yang bahkan berbeda warna. Terlihat compang camping layaknya seorang tuna wisma jika saja Raga tidak kelihatan lebih bersih dan terurus.

Kirana masih bergeming, kemudian Raga berjongkok di depan wanita itu dan menarik kepalanya ke dalam pelukannya. Seketika Kirana luruh, kehancuran dalam dirinya ia tampakan begitu saja. Ia benar-benar membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat ini. Ia menangis, merajuk, merasa kehilangan yang teramat sangat dalam pada pelukan atasannya itu. Ah, tidak. Seharusnya tidak ada sekat lagi diantara mereka karena mereka bukan berada di kantor.

“Ibu saya sudah tidak ada, Pak. Saya yatim piatu,” lirih Kirana dengan suara paraunya.

“Kamu gak sendiri Kirana, kamu masih punya teman-temanmu. Saya juga janji enggak akan membiarkan kamu susah sendirian.”

Kirana tidak menjawab lagi, ia masih terus menangis, menggerung dan meratapi setelah ini ia harus hidup seperti apa karena ia merasa hidupnya sudahlah selesai. 30 menit kemudian datanglah Satya dan Almira, keduanya menemani Kirana di ruang tunggu sementara Raga mengurus administrasi untuk kepulangan jenazah Ibunya Kirana. Ia juga telah meminta bantuan orang suruhannya untuk menyiapkan pemakaman.

Kirana masih melamun dalam pelukan Almira, wanita itu terus mengusap-usap bahu Kirana agar wanita itu tetaplah tabah. Sedangkan Satya, ia sibuk menelfon Bagas. Pria itu bahkan belum datang dan mengangkat telefonnya.

“Gimana, Mas?” Tanya Almira.

“HP nya gak aktif.” Satya berbisik agar Kirana tidak mendengarnya.

Almira menghela nafasnya pelan dan mengigit bibir terdalamnya, bagaimana bisa di saat-saat Kirana membutuhkannya justru Bagas tidak ada. Bahkan Almira dan Satya tidak menyangka jika Raga lah orang pertama yang menyusul Kirana ke rumah sakit setelah Satya mengabarinnya.

Jenazah Ibunya Kirana di bawa pulang, di rumahnya sudah ramai oleh para pelayat, dan orang yang akan memandikan serta mengkafani jenazah. Kirana sempat cuci muka dan berganti baju dahulu ditemani Almira. Ia masih menangis kala menatap cermin dan menampakan dirinya yang mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk berkabung.

“Setelah ini hidupku gimana yah, Mir. Aku gak bisa hidup tanpa Ibu..” Air mata Kirana kembali jatuh, ia menutup wajahnya dengan jilbab yang ia kenakan.

“Mbak, aku tahu ini gak mudah, tapi Mbak masih punya aku Mbak, masih ada Mas Bagas, Mas Satya dan Pak Raga. Kami disini buatmu, Mbak.”

Kata Raga, penyebab kematian Ibunya Kirana adalah cardiac arrest atau henti jantung. Rencananya setelah adzan dzuhur, jenazahnya akan dimakamkan di TPU Karet Bivak. Dan sampai saat ini, Bagas belumlah datang. Dan Satya memutuskan untuk menjemput pria itu ke rumahnya.

Kirana didampingi oleh Almira yang terus menerus berada di sampingnya itu menyalami satu persatu pelayat yang datang, sementara Raga membantu mengurus berkas-berkas untuk pemakaman. Ada Adel dan Ethan juga kakak dari Raga yang turut melayat.

Setelah adzan dzuhur dan di shalatkan, jenazah Ibunya Kirana akhirnya di kebumikan. Kirana sempat nyaris pingsan kalau saja Almira tidak memeganginya, ia sempat berdoa dan masih menangis ketika para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman.

Kirana sempat mengusap nisan Ibunya, bertuliskan nama Ibunya di sana. Mengaduh terakhir kalinya karena Ibu telah meninggalaknya seorang diri demi bersatu kembali dengan Bapak. Makam kedua orang tua Kirana bersebelahan.

“Kirana sendirian, Buk. Kenapa Ibu gak sempat pamit sama Kirana, Buk.” hari itu langit seperti ikut berdua, mendung, rintih hujan bagai air mata yang jatuh dari pelupuk mata Kirana. Langit ikut menangis mengantar kepergian wanita yang sudah melahirkannya itu.

Dan ketika Kirana, Almira dan Raga ingin pulang. Dari kejauhan Kirana melihat Bagas yang berlari ke arahnya di ikuti Satya di belakangnya, wajahnya panik setengah mati dan matanya memerah. Ia juga merasakan kehilangan sosok Ibu yang bahkan belum sempat ia sebut sebagai 'Ibu Mertua.'

“Na..” Ucap Bagas, pria ingin memeluk Kirana namun Kirana menjauhkan tangan Bagas dari tubuhnya.

“Aku mau pulang, Gas. Nanti malam ada pengajian untuk Ibu.” Kirana kemudian berjalan lebih dulu melewati Bagas yang masih terpaku di tempatnya dan juga Satya yang berada di belakangnya.

Bagas mengepalkan tangannya, ketika ia melihat Raga justru melangkah menyusul Kirana. Namun ia harus menyingkirkan perasaan cemburunya itu, sangat tidak pantas membahasnya sekarang ini.

“Lo dari mana sih, Mas? Kita semua nungguin elo, Mbak Kirana hancur banget tau gak?” Ucap Almira ikut kesal.

“Mir, gue.. Gue rencana mau bikin kejutan buat Kirana, Mir. Gue. Sengaja matiin HP gue karena lagi nyiapin itu semua, gue mau melamar dia malam ini, Mir. Gur gatau kalau akhirnya kaya gini,” jelas Bagas dengan suaranya yang bergetar.

Bersambung...

 
Read more...

from Melati Untuk Ayu

Pernah dengar istilah orang yang dulunya kita benci, justru jadi orang yang sekarang bisa deket dengan kita? Mungkin itulah yang dialami oleh Kirana saat ini, ia pernah membenci Raka hanya karena alasan konyol dan kekanakannya. Hanya karena Raka mirip sekali dengan suaminya Ayu di mimpi, pria kasar, arogan, suka berjudi, dan gemar menghabiskan uang milik orang tua nya.

Setiap kali bertemu dengan Raka sepanjang mereka berdua bekerja bersama, Kirana selalu menanamkan dalam dirinya jika pria di hadapannya itu Raka. Yang sangat berbeda dari Dimas, mereka berbeda kepribadian. Dan selama itu pula, Kirana bisa mengenal Raka lebih dekat.

Seperti ia yang kini tahu Raka asik sekali diajak bicara, apapun itu menurut Kirana, Raka dengan mudah menyeimbangi. Misalnya saja mereka pernah dalam situasi canggung ketika mereka berdua sedang dalam mobil Raka sehabis memantau proyek mereka, atau sedang dalam perjalanan bertemu klien mereka. Bermodalkan melihat billboard yang menampakan sebuah film romansa saja Raka sudah bisa membangun obrolan dengan Kirana.

Pria itu bertanya apa genre film kesukaan Kirana, dan siapa sangka jika mereka memiliki selera pada genre film yang sama. Raka banyak merekomendasikan film-film yang menurutnya bagus dan kemungkinan masuk ke dalam selera Kirana. Atau pernah, saat mereka meeting di luar kantor dengan klien mereka disebuah mall. Saat itu sedang ada pameran buku.

Dan dengan melihat tumpukan buku-buku itu saja, Raka tiba-tiba menceletukkan sebuah judul buku yang menurutnya bagus. Dan Kirana yang juga tertarik akhirnya bertukar judul buku yang pernah dibacanya dan menurutnya bagus, meski tidak satu selera bacaan. Raka adalah seseorang yang gemar membaca apapun yang menurutnya menarik dan terbukti, pria itu membeli 1 novel yang direkomendasikan oleh Kirana.

Dan ia lumayan menyukainya, sejak itu setiap kali keduanya bertemu untuk membicarakan perihal pekerjaan, Raka dan Kirana enggak pernah ada dalam situasi yang canggung lagi, selalu ada saja topik yang mereka bahas soal film dan buku yang mereka bagi satu sama lain. Hari ini, masa kerja sama mereka terlibat dalam satu proyek yang sama sudah selesai. Untuk merayakan kesuksesan itu semua, Raka mengajak Kirana untuk makan di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor mereka berada.

Tadinya, Kirana mengajak Almira. Namun apa daya wanita itu sudah ada janji dengan mutual dari fandom boygrup kesukaanya. Jadilah keduanya bertemu di restoran tempat mereka membuat janji, tentu saja Kirana sudah bilang ke Bagas agar pria itu tidak salah paham. Meski berniat melepas pelan-pelan pria yang ia sayangi, Kirana tidak mau membuat Bagas sakit seperti berpikir ia berselingkuh hanya karena bertemu berdua dengan Raka di luar pekerjaan, Kirana ingin Bagas paham bahwa mereka tidak bersama hanya karena Kirana tidak ingin memaksakan restu yang tidak pernah mereka berdua dapat dari keluarga Bagas.

“Pesan yang banyak, Na. Saya yang traktir ini.” Raka tersenyum begitu Kirana mengambil nampan untuk mengambil berbagai jenis daging dan juga sayuran.

Kirana yang diberi kesempatan oleh Raka untuk memilih ingin merayakan keberhasilan mereka direstoran mana, Dan Kirana memakai kesempatan itu untuk memilih All You Can Eat. Kirana sudah mengidam-idamkan makan disana, sebenarnya ia pernah kesana dengan Bagas waktu itu sebelum ia kecelakaan.

“Harus yang banyak, Mas Raka. Biar enggak rugi.” Kirana terkekeh pelan, setelah selesai mengambil apa saja yang ingin ia makan, keduanya langsung menuju meja mereka. Memasak makanan yang mereka inginkan sesuai dengan selera masing-masing.

“Saya baru pertama kali makan kaya gini loh.” Raka itu tipe pria yang jarang sekali menjelajah kuliner, yang ia makan hanya itu-itu saja. Lebih banyak masakan rumahan, ia tidak pernah mengikuti makanan-makanan yang sedang naik daun. Ia bisa terbilang jarang menjelajah sosial media.

“Mininal sekali seumur hidup sih, Mas. Itupun kalau enggak ketagihan. Apalagi kalau Mas Raka suka daging, ini kesempatan banget sih.” Kirana memasukan satu suapan daging dan sayu-sayuran ke mulutnya, ia tersenyum senang begitu rasa gurih dan segar dari daging dan sayuran itu masuk ke dalam mulutnya.

“Kayanya saya bakalan ngajak anak saya kesini deh kapan-kapan soalnya dia suka banget juga makan daging.”

“Oh ya?”

Raka mengangguk, sambil sesekali meracik bumbu-bumbu untuk makanannya. “Iya, dari kecil suka banget sama daging, kamu sudah lihat foto anak saya kan, Na?”

“Udah kok, yang mirip banget sama Mas Raka itu kan?” Kirana jadi teringat, wajah anak itu bukan hanya mirip Raka. Namun mirip wajah seseorang yang tidak asing baginya, namun Kirana belum yakin betul orang itu siapa.

Semenjak mengalami mimpi yang terus berlanjut setiap harinya, kadang Kirana suka linglung mengenali orang. Seperti apakah orang ini ia kenal dari mimpinya atau dimasa sekarang ia hidup.

Raka terkekeh pelan, baginya juga begitu. Kirana bahkan orang kesekian yang mengatakan jika Reisaka adalah foto kopiannya. “Betul.”

“Kapan-kapan ajak main dong, Mas. Kalau ada outing kantor ajak aja. Biasanya karyawan lain juga pada ngajak anak atau istrinya.”

“Ya nanti kapan-kapan saya ajak dia.”

Kirana terkekeh saat melihat cara makan Raka yang menurutnya agak aneh, yup, pria itu justru mau memasukan daun perilla kedalam kuah tomyum. Padahal daun itu bisa menjadi wadah bungkus untuk disatukan dengan daging, jamur, bawang putih dan juga aneka toping lainnya.

“Mas Raka, bukan gitu caranya. Nih saya kasih tau ya liatin.”

Kirana mengambil satu lembar daun perilla miliknya, memasukan daging yang sudah matang dipanggang, bawang putih, sedikit nasi, dan bumbu ssamjang kemudian membungkusnya dengan rapih, dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Gitu, saya pernah diajarin sama Almira dan beberapa kali nonton dari drama juga sih, ini itu namanya 쌈 (Ssam) yang artinya bungkus. Cobain deh enak tau!” Mata Kirana bersinar sewaktu menjelaskannya membuat Raka beberapa kali tertawa karena kalau diingat tentang betapa juteknya Kirana dulu sangatlah lucu.

“Oke saya coba ya.” Raka mengambil daun perilla itu dan mempraktikannya seperti yang Kirana peragakan barusan, dalam satu kali suapan semua itu masuk ke dalam mulut Raka dan pria itu tersenyum, bahkan matanya tidak bisa berbohong jika cara makan yang ditunjukkan oleh Kirana itu begitu nikmat. “Iya benar, ini enak banget.”

“Ya kan!!”

Keduanya makan begitu lahap, seolah-oalah tidak ingin waktu yang tersisa tidak mereka manfaatkan untuk mengisi perut mereka dengan mencicipi hampir seluruh hidangan. Mereka sempat membicarakan tentang novel yang Kirana rekomendasikan pada Raka, tentang tokoh dalam novel tersebut, tentang jalan cerita dan alurnya. Sampai dimana Raka mendapati panggilan dari Reisaka, bocah itu menitip sesuatu pada Raka.

“Anak saya nitip es krim, Na.” Raka menaruh ponselnya dan kemudian memakan kembali es krim dengan toping cococruch dan sprinkle di atasnya yang Raka ambil sendiri bersama Kirana.

“Oh ya? Gara-gara Mas Raka kirim foto es krim ini ke dia ya?”

Raka mengangguk, “kalau saya ajak jalan-jalan nih, yang dia minta pertama pasti es krim. Suka banget dia sama makanan manis dan dingin.”

“Khas anak-anak banget yah, Mas. Ah, tapi saya udah segede ini juga masih suka es krim sih.” Kirana tersenyum dan kembali menyendok es krim rasa strawberry miliknya itu.

Getar pada ponsel yang ia taruh di mejanya itu menyita lirikan Kirana, ada pesan singkat dari Bagas, pria itu bilang ia menunggunya di halte bus dekat dengan restoran tempat Kirana dan Raka makan-makan. Kirana hanya menghela nafasnya pelan, hampir 2 minggu tidak bicara banyak dengan pria itu membuatnya rindu. Rindu akan berceloteh dengan Bagas, mencari makanan setelah pulang bekerja, menemani pria itu mencari buku kesukaanya atau memasakan sesuatu untuknya.

Melihat perubahan wajahnya membuat kening Raka mengkerut bingung, karena sedrastis itu perubahan wajah Kirana, wanita itu yang tadinya tersenyum menjadi sedikit murung dan tatapannya kosong sembari mengaduk-aduk es krim yang mereka ambil tadi. Seperti tengah mengisi kekosongan hatinya dengan mengaduk isi es krim tersebut menjadi satu tanpa ia berniat menyendokan lagi makanan dingin itu ke dalam mulutnya.

“Kenapa, Na? Kok BT gitu?” Tak lama kemudian Kirana mengadahkan wajahnya menatap Raka, wanita itu tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan agar ia terlihat baik-baik saja.

“Gapapa, Mas. by the way saya balik duluan boleh? Bagas udah nunggu.”

“Oh boleh dong boleh.” Raka mengangguk-angguk. “Kita juga udah selesai makannya kan, sana kamu samperin kasian cowokmu sering galau akhir-akhir ini kayanya.”

Kirana yang tadi hendak memakai tas itu jadi menghentikan geraknya, ia menoleh pada Raka dan membuat Raka menaikan sebelah alisnya.

“Gimana, Mas?”

“Apanya?” Raka bingung.

“Bagas suka galau?”

Raka mengangguk pelan, “iya kelihatannya.”

Benarkah? Kirana menghela nafasnya dengan kasar, kalau benar apa yang dikatakan Raka barusan jika Bagas sering kelihatan galau itu artinya ia sudah menyakiti hati pria itu dengan sengaja. Selama berkencan dengan Bagas, sebenarnya hubungan mereka terbilang sehat jauh dari kata toxic, Bagas adalah pria yang mendukung penuh apa yang di lakukan oleh Kirana.

Begitu pun sebaliknya, saat sedang tertimpa masalah mereka akan saling bantu, menyelesaikannya bersama dengan banyak mengobrol. Isi kepalanya tak selalu sama, tapi keduanya mau belajar untuk saling menghargai. Malam itu, Kirana berjalan keluar restoran setelah mengucapkan terima kasih pada Raka, jalan gontai yang diselingi dengan keresahan hatinya, tanganya sibuk memilin cardigan kuning yang ia kenakan.

Ia biarkan angin malam itu meniup sedang rambutnya yang mulai panjang, isi kepalanya penuh, ramai, gaduh. Seperti isi jalanan Jakarta yang sampai jam tujuh malam pun masih begitu padat. Langkahnya membawa Kirana pada halte bus tempat Bagas menunggu, pria itu ada di sana, duduk menunggu dengan buku di pangkuannya. Tidak Kirana dapati mobil Bagas di sana, naik apakah pria itu untuk sampai di sini?

“Hai?” Sapa nya ketika ia sudah berada di halte bus itu, tidak begitu ramai. Hanya ada pekerja kantoran yang duduk agak jauh dari tempat Bagas duduk, memakai earphone dan nampak fokus pada ponsel digenggamannya seperti tidak tertarik pada hal-hal lain di sekitarnya selain ponsel yang terus menyita perhatiannya.

“Hai, sini duduk.” Bagas bergeser, menaruh pembatas buku dibuku miliknya dan tersenyum manis menatap Kirana. Ia rindu, wanita itu sangat amat merindukannya. “Udah selesai ditraktirnya?”

“Um.” Kirana mengangguk, “kamu baca apa?”

Bagas tersenyum, ia memberikan buku yang sedang ia baca pada Kirana. “The Daily Stoic.”

Kirana tersenyum, membaca cover depan pada buku yang diberikan oleh pria itu. Buku khas yang Bagas sukai sekali. “Kamu udah selesai baca The Stranger dari Albert Camus?”

“Udah, sayang. Mau pinjam?”

Kirana tersenyum dan mengangguk kecil, selera bacaan keduanya berbeda. Kirana yang gemar membaca dari penulis-penulis lokal dan Bagas yang menyukai penulis-penulis Prancis. Namun walaupun begitu, setiap kali membaca buku mereka akan bercerita satu sama lain, saling meracuni siapa salah satu di antara mereka terpikat.

“Tumben, biasanya kamu suka penulis-penulis lokal.” Tangan Bagas terulur mengusap kepala Kirana.

“Lagi kepengen aja, boleh ya? Kita ambil sekarang?”

“Um, tapi kita ke rumahku naik bus gapapa ya? Mobilku lagi di bengkel.”

“Gapapa,” Kirana menautkan jemari tangannya pada Bagas, keduanya berdiri dan masuk ke dalam bus yang akan membawanya ke rumah yang Bagas sewa, sembari mendengarkan Bagas berceloteh tentang buku yang ia baca barusan. Kirana tidak banyak berkomentar, ia hanya mengangguk dan terus mendengar suara yang sangat ia rindukan itu.


Berceloteh, berpegangan tangan, saling memandang. Itu yang dilakukan Kirana dan Bagas malam itu, setelah turun dari bus yang membawa mereka sampai daerah rumah Bagas keduanya turun dan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Bagas masih menceritakan tentang buku yang tengah ia baca, sambil sesekali Kirana menimpali buku yang ingin ia beli segera.

Terkadang mereka tertawa, tidak lepas namun tawa itu cukup mengisi ruang kosong setelah beberapa hari Kirana menghindar. Mengisi ruang rindu yang tersisa, biarkan kali ini Kirana egois, biarkan malam ini wanita itu bersama pria yang ia cintai. Kirana hanya ingin menghabiskan waktu bersama Bagas saja malam ini, melakukan apa saja bahkan Kirana bersedia jika mereka tidak melakukan apa-apa.

Begitu sampai di rumah, Kirana duduk di kursi ruang tamu yang di belakangnya terdapat rak buku besar milik Bagas. Ada banyak sekali koleksi buku milik pria itu, mulai dari buku mereka jaman kuliah, buku filsafat, novel-novel terjemahan karya penulis-penulis Prancis yang selalu Bagas sukai, buku berisi cerpen milik penulis lokal ataupun buku-buku kumpulan puisi.

“Sayang, mau makan gak?” teriak Bagas dari dalam dapurnya, ia sedikit menoleh ke arah ruang tamu demi melihat apa yang wanitanya sedang lakukan. Kirana tengah berjongkok dihadapan rak-rak besar disana, mencari buku yang ingin ia pinjam.

“Gausah, aku masih kenyang.”

“Cemilan mau?”

“Apa?”

“Aku punya bolu kukus.” Bagas membuka kulkas miliknya, memastikan persediaan bolu yang kemarin ia beli masih ada.

“Iya boleh.”

Kirana masih terpanah akan rak buku dan koleksi buku-buku milik pria itu, Bagas sangat menyukai novel-novel romantis. Mungkin itu adalah alasan mengapa ia selalu mempunya sejuta cara memperlakukan Kirana dengan sangat manis, Kirana pernah berpikir jika pria itu terinspirasi dari tokoh-tokoh yang ia baca bagaimana mereka memperlakukan wanita. Namun pernyataan itu ditepis oleh prianya karna pada dasarnya sikap alami Bagas memanglah seperti itu.

Pria itu menata bolu ketan hitam di piring kecil dan menyajikannya bersama teh hangat dalam satu nampan, ia kemudian berjalan ke ruang tamu dan menaruh nampan itu di meja. Langkahnya kemudian terhenti tepat di belakang Kirana yang masih asik membaca bagian belakang buku miliknya.

“Udah ketemu buku yang kamu mau?” tanyanya, tangannya yang panjang itu menghalau bagian samping Kirana. Seperti tengah mengurung tubuh kecil itu di sana tanpa mengintimidasinya.

Kirana tersenyum dan mengangguk, “tapi kamu naruhnya di atas situ. Aku gak sampe, ambilin ya?”

Bagas mengangguk, tubuhnya yang jangkung serta tanganya yang panjang itu dengan mudahnya mengambil buku miliknya. Tanpa drama harus berjinjit, berpegangan apalagi harus naik ke kursi. Semudah itu dan ia memberikannya pada Kirana.

“Mau baca sekarang?”

Kirana menggeleng, “aku mau baca di rumah.”

Keduanya saling menatap, Bagas jatuh pada kubangan rindu didadanya. Mata teduh yang terlihat sendu itu kini menatapnya, seperti berharap entah apa yang wanitanya itu harapkan. Tangan Bagas terbebas, tidak ada benda digenggamannya maka ia dengan leluasa mengusap lembut pipi kekasihnya itu.

“Aku kangen kamu, Na,” bisiknya, terdengar lirih di telinga Kirana. Hatinya sakit dengan buncahan belati yang seperti tengah menghunus hatinya. Ia ingin sekali memeluk Bagas erat tanpa melepaskannya dan mengatakan dengan lantang jika ia jauh lebih merindukan pria itu.

“Bagas?”

“Hm?”

“Aku mau ciuman.” entah hasutan dari mana sampai-sampai Kirana yang dikenal lugu di usianya yang 27 tahun itu dengan percaya dirinya meminta sebuah ciuman pada pria di depannya itu.

Bagas tersipu, bibirnya tertarik kecil membentuk sebuah senyuman dan kepalanya mengangguk kecil. Dengan mudahnya ia sedikit membungkukkan tubuhnya, demi mensejajarkan wajahnya dengan bibir Kirana. Semakin dekat, hingga nafas Bagas behasil menyapu wajah Kirana.

Dua anak manusia itu saling memejamkan mata, kedua bibir mereka bertemu. Saling mengecup, melumat sesekali dengan kepala yang saling miring secara berlawanan. Buku yang tadinya ada di tangan Kirana itu jatuh begitu saja, tangannya kini dengan leluasa bertengger di bahu Bagas, mengusapnya pelan hingga kebelakang punggung lebar pria itu.

Kedua pipi Kirana merah padam menahan gairahnya, tangannya dengan lantang membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Bagas, pria itu tentulah kaget dalam ciuman penuh menuntutnya, bagaimana bisa tangan kecil, putih dengan kuku-kuku bersih itu yang selalu terbungkus dalam rasa segan dan sopan bisa diluar imajinasinya.

Kemaja Bagas terlepas, menampakan tubuh gagah pria itu. Keduanya saling melucuti, menelanjangi hingga Bagas berani menghimpit tubuh mungil itu ke rak penuh buku. Jauh dari bayangan Kirana jika Bagas memiliki daya ledak yang cukup tinggi, sehingga pria itu terlalu paham bagian mana dari tubuhnya yang membuatnya selalu menyeruhkan nama Bagas dengan nada terputus-putus penuh keputus asaan dan penekanan itu.

Bagas dengan leluasanya mengangkat tubuh mungil itu, membawanya ke kamar dan menjatuhkan tubuh Kirana ke ranjangnya penuh kehati-hatian seoalah-olah Kirana adalah sebuah porselen yang bisa saja hancur jika ia mengguncangnya agak keras. Ketika tubuh Bagas memasuki tubuhnya, memasuki diri Kirana. Barulah Kirana sadar jika ia telah meninggalkan dunia yang terlalu kejam padanya.

Bersambung

 
Read more...

from Melati Untuk Ayu

Sudah satu minggu ini Bagas merasa ada yang aneh dari Kirana, wanita itu kerap kali bersikap dingin padanya. Meski mereka masih mengobrol tapi rasanya berbeda, senyum wanitanya terlampau redup, Kirana sering sekali menghindar saat Bagas hendak mengantarnya pulang. Selalu ada saja alasan agar Bagas berakhir tidak mengantarnya pulang.

Misalnya saja kemarin, saat jam kerja mereka sudah berakhir. Kirana bilang ia dan Almira ingin pergi bersama, dan Bagas akhirnya membiarkannya. Tapi alasan itu terus saja berlanjut, pernah juga Kirana sedang memantau proyeknya dengan Raka dan Bagas sudah mengatakan padanya akan menjemput wanita itu di lokasi proyeknya.

Tiba-tiba saja saat Bagas dalam perjalanan, Kirana bilang jika ia akan janjian dengan temannya. Bagas tidak berpikir macam-macam misalnya saja seperti Kirana selingkuh, Bagas lebih berpikir apa ia telah membuat kesalahan atau Kirana benar-benar sedang sibuk, atau wanita itu memang benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri.

Yang jelas perubahan sikap Kirana ini cukup membuat Bagas nyaris kelimpungan, hari ini karena lebih sering melihat wajah Bagas yang kusut, Satya berinisiatif untuk mengajak pria itu nongkorong di sebuah pagelaran musik indie yang berada di kawasan Taman Ismail Marzuki, rencananya sih Satya hanya ingin bertemu dengan temannya saja di sana. Namun Bagas justru mengajaknya menonton pagelaran itu di sana, pria itu mencoba menghalau pikiran tentang mengapa Kirana menghindarinya.

“Minum nih biar gak kusut.” Satya memberikan segelas es kelapa dengan gula merah pada Bagas dan pria itu langsung mengaduk isinya dan menyeruputnya. Seketika rasa haus dan perpaduan antara gurihnya kelapa dan manis dari gula merah itu cukup sedikit menghiburnya.

thanks ya, Mas.”

Satya mengangguk, pria itu duduk di sebelah Bagas sembari melihat pagelaran musik indie tersebut. Banyak sekali remaja dan orang-orang seumuran mereka yang datang dan memenuhi tempat itu, berlomba-lomba untuk berdiri paling depan. Mengingat band yang akan tampil itu sedang naik daun, namun Bagas dan Satya tetap asik memilih tempat di paling belakang agar bisa duduk dan sesekali berbincang dengan para seniman disana.

“Ada apa sih, Gas? Lagi ribut sama Kirana?” Mengingat di kantor pun Kirana dan Bagas jarang berbicara dan terlihat berdua, lebih tepatnya Kirana yang lebih sering bersama dengan Almira. Satya berpikir mungkin Kirana dan Bagas sedang bertengkar, hal lumrah yang di alami oleh kebanyakan pasangan.

“Enggak ngerti, Mas.” Bagas menatap lurus pada setiap punggung orang-orang disana yang mulai melambaikan tangan ke kanan dan kiri ketika band indie tersebut mulai menyanyikan lagu. “Kirana kaya lagi ngehindarin gue atau perasaan gue aja kali ya, sikapnya enggak kaya biasanya.”

“Udah coba di ajak ngobrol belum?”

Bagas menghela nafasnya kasar, “gimana mau di ajak ngobrol, kalo gue dateng ke rumahnya, dia gak ada, kadang kalo pun ada dia pasti sambil ngerjain sesuatu, ya masak lah, ya ngerjain laporan dia lah, yang nanti tiba-tiba nerima telfon lah.”

“Bisa begitu kenapa awalnya? Gak mungkin kan dia tiba-tiba begitu? Cewek begitu tuh pasti ada sebabnya, Gas.” Satya seperti seorang petuah, padahal pengalaman percintaanya pun enggak banyak. Hanya sekali berkencan lalu melamar kekasihnya itu walau sempat di tolak dengan alasan belum siap.

“Kalau gue bilang Kirana kaya gitu dengan tiba-tiba lo percaya gak, Mas?” Bagas menoleh ke arah Satya dan Satya mengangkat kedua bahu nya.

“Tapi masa iya Kirana kek bocah begitu sih, Gas? Kayanya dia bukan tipe cewek yang tiba-tiba ngediemin gak jelas deh.”

Bagas mengusap wajahnya dengan gusar, berusaha menghalau kerisauan hatinya dengan menikmati lantunan musik indie yang sedang dibawakan. Sesekali ia memeriksa ponselnya, kali-kali Kirana telah membalas pesannya atau bahkan menelfonnya. Namun hanya ada pesan dari Asri yang tidak sama sekali Bagas berniat membalasnya dan pesan dari Kanes yang bertanya kapan ia akan segera menemuinya.

Sementara Satya asik berbincang dengan salah satu seniman yang duduk di sebelahnya, Bagas tidak menyimak apa saja yang mereka obrolkan. Pikirannya terlalu rumit, ia sudah menentukan kapan ia akan melamar Kirana dan dengan cara apa ia akan melamarnya, bahkan minggu ini ia meminta bantuan Kanes untuk menemaninya membeli cincin untuk melamar Kirana.

“Tapi lo jadi kan, Gas. Buat ngelamar Kirana? Coba deh, sebelum ngelamar dia lo ajak dia ngobrol dulu? Tanya ada apa. Atau lo coba tanya sama Almira, kali aja cewek lo cerita sesuatu ke Almira kan?” Usul Satya yang dijawab anggukan kecil oleh Bagas, ada benarnya juga ucapan Satya tersebut. Mungkin Almira tahu sesuatu.

“Nanti gue coba nemuin Almira kali ya, Mas.”

Satya menepuk bahu Bagas, mencoba menenangkan kawannya itu. Satya tidak paham bagaimana risaunya Bagas karena ia sendiri tidak pernah mengalaminya, sakit nya tentang asmaranya yang tak berjalan mulus hanya tentang penolakan lamaran kekasihnya dulu, dan itu semua beralasan yang masuk akal dan dapat Satya terima.

Perlahan satu persatu orang yang memadati Taman Ismail Marzuki telah meninggalkan tempat, hari hampir malam tapi Bagas enggan pulang. Ia sempat mengajak Satya mengitari Jakarta malam hari, membeli beberapa minuman kaleng di minimarket dan ngobrol berdua di hutan kota. Untungnya Satya mau, ya mungkin karena pria itu juga sedang senewen dengan urusan pekerjaan dan pernikahannya yang akan di selenggarakan tahun depan.

“Lo ngerasa ada yang aneh gak, Mas?” Bagas ingin melihat tentang Raga dari kacamata orang lain. Bisa saja penilaiannya tentang pria itu salah kan.

“Aneh apaan?” entah hisapan ke berapa dari rokok yang Satya pegang di sela jari nya, asapnya ia kepulkan ke udara setelah itu ia tenggak kembali kaleng minuman berisi soft drink tersebut. Satya sempat bergedik, karena sensasi dingin serta soda yang seperti meletup-letup di tenggorokannya itu.

“Soal Pak Raga.”

“Kenapa sama Raga?” Satya memang sering memanggil Raga dengan namanya saja, karena mereka memanglah seumuran. Lagi pula, ini bukan di kantor jadi ia tidak memanggilnya dengan sebutan “Pak.”

“Sikap Pak Raga ke Kirana, apa gak berlebihan ya?”

Satya mengerutkan keningnya bingung, “berlebihan gimana maksudnya?”

“Lo ingat waktu Pak Raga masuk rumah sakit gak?” Bagas menoleh ke arah Satya dan pria itu mengangguk. “Pak Raga sebelum pingsan dia telfon Kirana dulu, Kirana yang bawa dia ke rumah sakit. Maksud gue, kenapa harus cewek gue sih? Dia kan juga deket sama lo ya? Ada gue juga. Atau siapa kek temen dia yang lain, keluarga kek? Kenapa harus Kirana.”

Satya mengangguk-angguk, dalam hati ia membenarkan ucapan Bagas. “Iya juga sih, ah. Tapi bisa aja itu karena Kirana kontak terakhir yang dia hubungin? Karena setahu gue, waktu Raga di rawat kan, mereka sempat mantau proyek bareng gak sih? Ya mungkin entah Kirana atah Raga sempat telfonan, makanya Raga jadi ngehubungin nomer terakhir yang dia hubungin buat minta tolong?”

“Itu yang pertama, ya gue anggap alasan ini masih masuk akal. Yang kedua, Pak Raga yang sewain rumah Kakaknya buat Kirana, Mas. Dia kasih harga sewa yang menurut gue gak masuk akal buat rumah yang bagus kaya gitu.”

“Lu kok jadi kaya gak seneng gitu sih, Gas. Cewek lu dapet rumah sewaan bagus dan murah?”

“Bukan gitu, Mas. Gue seneng kok, tapi gue lagi tanya soal perlakuan Pak Raga ke Kirana loh.”

“Lo cemburu?” tebak Satya. Yang sebenarnya dibenarkan oleh Raga dalam hatinya. Namun pria itu menggeleng.

“Cuma aneh aja.”

“Cemburu ini mah, fix.” Satya menjentikkan tangannya. “Tapi yah wajar juga sih Kalo elu mikirnya begini, Gas. Tapi coba kita ambil positif nya aja deh, bisa aja kan Raga cuma bersimpati sama Kirana karena Kirana bawahanya di kantor?”

“Berarti gue aja kali ya, Mas. Yang berlebihan?” Bagas merasa perasaanya belum tervalidasi, ia ingin meyakinkan sekali lagi. Tapi ia juga berpikir kalau mungkin ia saja yang menyikapinya berlebihan.

“Cemburu wajar, Gas. Elo cuma terlalu sayang aja ama Kirana.” Satya menepuk-nepuk pundak Bagas layaknya seorang kakak laki-laki kepada Adik laki-lakinya. “Balik yok, udah jangan di pikirin lagi, besok dateng ke rumahnya ajak ngomong.”

Bagas mengangguk pelan, keduanya bangun dari tempat mereka duduk dan segera meninggalkan hutan kota itu yang sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang saja di sana yang masih setia mengobrol ngalur ngidul tengah malam, menikmati semilir angin kota Jakarta dan lampu-lampu kota yang masih setia menyala.


Setelah meninggalkan Bagas di teras rumahnya, Kirana langsung masuk ke kamarnya. Ia tahu Bagas tidak akan langsung pulang, ia bisa mendengar dari balik pintu kamarnya jika ibu sempat mengajaknya masuk dan makan malam sebentar. Tentu saja Bagas akan menurut pada ibu, Kirana bahkan mendengar obrolan keduanya tentang Bagas yang bertanya pada ibu ada apa dengan Kirana dan ibu yang menjelaskan sekedarnya dengan mengatakan bahwa Kirana sedang tidak enak badan saja.

Tentu saja Bagas tidak langsung percaya karena dihari-hari berikutnya, pria itu masih bertanya pada Kirana ada apa dengannya. Sungguh, Kirana tidak marah dengan Bagas. Namun menatap wajah pria yang sangat amat ia cintai itu, selalu saja berhasil mengingatkannya pada ucapan orang tua nya siang itu. Kirana menepi, ia ingin menenangkan dirinya dulu dan berpikir jernih tentang apa yang harus ia lakukan pada hubungannya.

Jika dikatakan ia sedikit menjauhi Bagas, tentu saja bisa dibilang seperti itu. Bahkan Almira saja mengetahui itu karena Kirana meminta bantuan wanita itu untuk selalu bersamannya terus, tiap kali pulang ke rumah dan bertarung dengan sepinya malam dibalik dinding-dinding dingin rumahnya, berteman dengan hanya mendengar deting dari jam dinding kamarnya.

Kirana akan melawan sepi dan sakit dengan menangis semalaman hingga ia kelelahan, kemudian tertidur dengan memeluk erat boneka Mickey Mouse yang Bagas beri padanya saat merayakan hari jadian mereka yang ke 3 tahun. Saat mereka masih muda, masih berkuliah. Di kantor pun, Kirana mengurangi interaksinya dengan Bagas.

Jika Bagas mengajaknya untuk istirahat bersama, maka Almira akan menjadi senjatanya ia akan mengatakan “gak bisa, aku sama Almira mau makan di mall dekat sini, mau nemenin Almira beli make up.” Atau ia mengatakan, “aku bawa bekal, sayang.” Atau, “aku ada janjian sama kontraktor proyek, kamu makan duluan aja ya.”

Dan setiap kali Bagas ke rumah Kirana, jika Kirana sedang ada di rumah maka ia akan meminta tolong pada ibu untuk mengatakan pada Bagas jika ia sedang keluar. Tentunya semua perilaku Kirana menuai tanda tanya pada ibu, namun setiap kali Kirana ditanya ada apa antara dia dan Bagas, maka Kirana hanya akan menjawab “gapapa, Buk. Kirana lagi pengen sendiri dulu aja.”

Hari ini, Kirana memang memantau proyek bersama dengan Raka. Ia menyuruh Raka pulang duluan saja tanpa mengantarnya ke halte bus, karena Almira akan menjemput Kirana. Ia sengaja pulang agak sedikit malam agar jika Bagas ke rumahnya, pria itu tidak akan bertemu dengannya. Dan sejujurnya, Kirana menghalau sepi dengan cara lebih banyak di luar dibanding di rumah, kebetulan Ibu sedang menginap di rumah temannya untuk mengurus pesanan yang jumlahnya enggak sedikit.

sorry ya, Mbak. Aku belum beres-beres kamar kost.” Almira membuka pintu kamar kostnya, menampakan kamar yang berukuran 4x5 itu agak sedikit berantakan.

Kirana masuk ke dalamnya, terlihat dengan jelas jika ranjang gadis itu sedikit berantakan memang. Ada baju-baju yang belum sempat Almira bawa ke laundry dan baju dari laundry yang Almira belum sempat susun di lemari, ada poster-poster dari boygrup dan girl grup yang sering dibicarakan oleh wanita itu juga. Dan tak lupa perintilan Almira tentang dunia fangirl nya.

Seperti gelang konser yang memang ia pajang di meja belajarnya. Kirana tersenyum, ia menyingkirkan novel-novel yang bekas Almira baca di atas sofa wanita itu dan duduk di sana. Cukup nyaman, ukuran kosan itu terbilang besar bisa di sebut semi studio apartement bahkan letaknya ada di lantai 2.

Jika Kirana hidup sendiri seperti Almira, mungkin ia berminat untuk sewa kamar kost seperti ini yang terlentak di lantai 2. Tapi sayangnya, Kirana masih hidup berdua dengan ibunya. Kaki ibu sudah tidak sekokoh dulu yang mampu naik turun tangga, ibu bahkan sering mengeluhkan kakinya sakit.

“Gapapa, Mir.”

“Mbak mau minum apa? Aku pesenin go food deh ya kita makan berdua?” Almira mengambil ponselnya dan nampak menggulir layar ponselnya tersebut.

“Gausah repot-repot, Mir. Aku cuma mau ngaso aja kok.”

“Gak kok, Mbak suka pasta kan?” Almira sedang ingin makan pasta, ah makanan western gitu sepertinya menguggah selera nya setelah tadi siang perutnya panas sehabis makan ayam geprek.

“Apa aja, Mir.” Kirana melihat-lihat gelang-gelang bekas Almira konseran, rata-rata VIP. Mungkin jika Kirana iseng untuk menghitung total berapa uang yang di keluarkan wanita itu, bisa jadi Almira sudah menghabiskan 60jt hanya untuk konser saja. Itu pun belum termasuk merch yang ia simpan di kotak bawah meja nya.

“Mbak, Mas Bagas chat aku nih.” Almira menghampiri Kirana yang masih duduk di sofa dan menunjukan pesan yang dikirimkan oleh Bagas. Pria itu bertanya apakah Kirana sedang bersamanya atau tidak.

“Duh.. Bilang aja gak ya, Mir. Aku lagi gak pengen diganggu dia.”

“Oke.” Almira mengangguk-angguk.

Sesudahnya ia menyimpan ponselnya dan duduk di ranjangnya, ranjang itu bersebrangan dengan sofa tempat Kirana duduk. Dan Almira memperhatikan Kirana, wajah wanita itu nampak risau. Bingung apa yang sedang di lakukannya, kemudian sempat mengintip keluar jendela. Kemudian, begitu sadar Almira memperhatikannya Kirana menatap wanita itu dengan wajah bingungnya.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Harusnya aku loh yang tanya, Mbak. Kamu tuh aneh tau akhir-akhir ini, kenapa sih? Lagi berantem sama Mas Bagas?” Karena sudah tidak tahan sebab selalu dilibatkan dalam pelarian Kirana demi menghindari Bagas, akhirnya Almira bertanya pada wanita di depannya itu.

“Aku sebenarnya sama Bagas baik-baik aja, Mir.” Kirana menghela nafasnya, kembali teringat akan segala penolakan keluarga Bagas dan juga Asri padannya. Kirana rasa ia perlu bercerita dengan seseorang.

“Terus?”

“aku yang menghindari Bagas.”

“Tapi pasti ada alasannya dong, Mbak?”

Kirana mengangguk pelan, “Mir, apa yang akan kamu lakuin seandainya keluarga pacarmu gak merestui hubungan kalian?”

“Hhmm..” Ditanya seperti itu, Almira berpikir dulu sejenak. Pasalnya ia pun belum pernah mengalami hal seperti itu. “Mungkin aku liat dulu kali ya, Mbak. Cowokku gimana, dan tanya ke dia gimana sama hubungan kami. Um, gini loh Mbak. Kan aku menjalin hubungan sama cowokku bukan sama keluarganya, kalo dia mau mempertahankan hubungan kami ya, why not?

Alasan Almira ada benarnya juga, tapi biar bagaimanapun tidak semudah itu bagi Kirana. Ini bukan hanya masalah hanya ia dan Bagas yang menjalani hubungan ini, ia tidak ingin hubungan Bagas dan keluarganya rusak hanya karena Bagas membelanya. Hubungan tanpa restu pihak keluarga itu berat menurut Kirana.

Karena Kirana diam dan hanya menunduk saja, akhirnya Almira pindah duduk ke sebelah wanita itu. “Mbak? Ini bukan tentang hubungan kamu sama Mas Bagas kan?”

“Iya, Mir.” Kirana mengadahkan kepalanya dan menatap Almira dengan air mata yang mengembang di pelupuk matanya. “Ini tentang aku sama Bagas.”

“Mbak...” Almira yang melihat mata Kirana berkaca-maca itu langsung berhambur memeluk temannya itu. “Kenapa kamu gak cerita, Mbak?”

“Aku bingung, Mir. Bagas membelaku di depan keluarganya, dia mempertahankan hubungan kami yang rumit. Tapi seminggu yang lalu orang tua nya bertemu denganku dan meminta aku menjauhi anak mereka, bahkan Bagas sudah dijodohkan dengan perempuan lain, Mir. Yang mungkin jauh lebih baik dariku.”

Tangis Kirana tumpah, ia memeluk Almira erat. Menangis di pundak wanita itu seperti menumpahkan seluru gundahnya, berharap perasaanya sedikit lega dan ia bisa kembali pulang tanpa membawa beban banyak di pundaknya.

“Tapi Mas Bagas tahu soal ini, Mbak?”

Kirana mengurai pelukan Almira dan mengambil tissue yang diberikan Almira padanya. “Bagian dijodohkan Bagas tahu, Mir. Dia menolak, tapi bagian aku bertemu beberapa kali dengan Ibu dan perempuan yang dijodohkan dengannya dia gak tau.”

Almira menatap prihatin pada wanita di depannya itu, Almira gak tau ternyata dibalik sikap aneh Kirana akhir-akhir ini. Wanita itu tengah memendam masalah yang menyulitkannya hingga fokus nya terpecah, beberapa kali Almira mendapati Kirana tengah melamun atau menjadi lebih pendiam dari pada biasanya.

“Kamu gak coba cerita ini ke Mas Bagas, Mbak?”

“Aku gak mau bikin hubungan Bagas dan orang tua nya makin hancur, Mir. Bagas bahkan udah meninggalkan rumah orang tua nya dan gak pernah berkunjung lagi ke sana.”

“Kalau kamu gak cerita, gimana masalah ini mau selesai, Mbak? Kalian menjalani hubungan ini berdua loh. Aku gak kenal kalian lebih lama, tapi Mas Bagas kelihatan bingung banget Mbak dengan perubahan sikap kamu.”

Kirana mengangguk, ia setuju dengan itu. “Aku berniat untuk menjauhi Bagas, Mir. Mungkin, pilihan terberatku adalah melepaskan dia.”

“Mbak..” Kedua bahu Kirana merosot, teringat akan niat Bagas yang akan segera melamar Kirana bulan ini Almira ingin mengatakan niat Bagas itu, bermaksud mungkin Kirana akan mengurungkan niatnya. Namun disisi lain ia sudah berjanji tidak akan membocorkan hal itu pada siapapun, lagi pula, Almira tidak bisa ikut mengurusi hubungan kedua temannya itu lebih jauh, ia hanya bisa mendengarkan cerita keduanya.

“Mas Bagas mau mempertahankan hubungan mu loh, Mbak. Kamu yakin?”

“Aku udah yakin, Mir. Aku udah pikirin ini, aku mungkin gak masalah mereka hina aku, tapi mereka juga hina keluargaku dan kematian Bapakku, Mir. Sulit menjalani hubungan tanpa restu keluarga, memaksakan cuma bakalan nyakitin aku dan Bagas dikemudian hari. Aku gak mau sumpah serapah mereka mungkin buatku terkabul dan makin bikin hidupku susah, Mir. Lebih baik Bagas kembali pada keluarganya.”

Almira sangat amat prihatin pada Kirana, ia kembali memeluk wanita itu dan ikut menangis bersamanya. Hatinya juga sakit, entah hinaan apa yang diucapkan oleh keluarga Bagas sampai-sampai Kirana memilih untuk mundur dalam hubungannya.

Bersambung...

 
Read more...

from General

Need an English-speaking lawyer in Turkey?

Navigating the Turkish legal system as a foreigner can be complex. You need a partner who not only speaks your language fluently but also understands your unique challenges.

At Pi Legal Consultancy, we are a full-service international law firm in Turkey and lawyer in Turkey dedicated to providing clear, reliable, and effective legal support to the expat and investor community.

From setting up your business to securing your family's future through citizenship, our entire team of English-speaking Turkish lawyers is here to ensure your journey in Turkey is a success.

Discover our team, our values, and our client-focused approach on our new page.

Learn More : www.pilc.law/english-speaking-lawyer-in-turkey/

 
Devamını oku...

from Melati Untuk Ayu

Bagas melirik pada arloji miliknya, sudah mendekati makan siang dan Kirana belum sampai di kantor juga. Mereka memang berjanji akan makan siang bersama setelah Kirana dan Raka selesai meeting dengan klien mereka. Jam makan siang kurang 10 menit lagi dan wanita itu belum juga sampai, Bagas menyandarkan punggungnya yang sedikit pegal itu pada kursinya, merenggangkan tubuhnya yang kaku akibat terlalu banyak duduk.

Tak lama kemudian, wanita itu mengiriminya pesan. Mengatakan pada Bagas untuk makan duluan karena ia tidak yakin bisa kembali ke kantor saat jam makan siang. Kirana sudah selesai pindahan, pindahan itu berjalan dengan lancar meski Ibu masih menangis saat meninggalkan rumah, tapi Bagas cukup lega mengetahui Kirana pindah ke rumah yang cukup nyaman bagi mereka.

Rumah yang di tawarkan oleh atasan mereka dengan harga sewa yang sangat murah, meski awalnya Bagas agak sedikit cemburu karena perhatian Raga yang ia anggap sedikit berlebihan. Tapi jauh dari pada pemikiran buruknya, ia lebih percaya pada Kirana. Ia telah mengenal wanitanya lebih dulu.

“Mas Bagas?” panggil Almira yang membuat Bagas menoleh.

“Hm?”

“Makan siang gak? Mas Satya ngajakin makan nasi bebek di depan.”

Bagas mengangguk pelan, “boleh. Turun sekarang aja yuk? Udah laper nih.”

“Ihh bentar gue belum pake lipcream.” Almira mengambil lipcream dari tas miliknya, kemudian mengambil kaca di samping meja nya.

“Lama nih, keburu rame nanti.” Bagas mengeluh, ia mengambil jaket miliknya dan memakainya. Berdiri di kursi Kirana yang kosong di tinggal pemiliknya, dari kursi Kirana ia memperhatikan jika Raga keluar dari ruanganya sembari menelfon. Pria itu berjalan menuju lift, mungkin ingin makan siang juga, pikir Bagas.

“Dah, selesai. Yuk!!” Almira berdiri, keduanya langsung saja keluar dari ruangan mereka menuju lift.

Ternyata mereka bertemu dengan Raga yang juga akan makan siang di luar, pria itu sudah tidak lagi menelfon. Raga bahkan yang menahan pintu lift ketika ingin tertutup agar Almira dan Bagas bisa ikut turun ke lantai satu bersamanya. Satya sudah duluan, tadi pria itu memang sempat keluar sebentar dan saat ini pria itu sudah berada di warung nasi bebek.

“Kalian mau makan apa?” Tanya Raga memecah hening di antara mereka, hanya ada mereka bertiga di lift, tadinya ada seorang cleaning service juga yang ikut bersama mereka namun di lantai 5 orang itu turun.

“Mau makan nasi bebek, Pak,” jawab Almira.

“Kalau gitu bareng ya, saya juga mau makan nasi bebek.”

Bagas hanya diam saja, mood nya tidak terlalu baik untuk bicara dengan Raga. Katakanlah Bagas cemburu buta, memang agak sedikit kekanakan, tapi, pria mana yang tidak cemburu jika wanita yang ia sayangi seperti di beri perhatian khusus dari atasan mereka.

Di warung bebek Madura, Satya sudah menempati 4 kursi di pojok sana. Pria itu sedang merokok, begitu melihat Almira, Bagas dan Raga datang. Pria itu buru-buru mematikan rokoknya.

“Tumben makan nasi bebek, Pak?” Tanya Satya basa basi, pria itu mengambil menu di meja lain dan juga nota untuk mereka pesan. Tempatnya agak sedikit ramai karena memang jam makan siang, agak sedikit panas karena warung itu hanya memakai kipas angin. Makanya Almira langsung mengeluarkan kipas angin portabel nya.

“Di ajak Almira,” jawab Raga santai.

Satya mengangguk-angguk, “mau pesan apa nih? Bebek goreng, bebek bakar, bebek atau bumbu hitam?”

Bagas terlihat membulak balikan menu di depannya, ia juga sempat memeriksa ponselnya. Siapa tahu Kirana mengiriminya pesan dan mengatakan akan menyusulnya, tapi sayangnya tidak ada satu pun pesan dari Kirana.

“Gue pesen bebek bumbu hitam aja deh, Mas.” Bagas akhirnya menetapkan pilihannya pada bebek bumbu hitam, sepertinya memakan makanan pedas akan sangat menguggah selera makannya. Apalagi dengan es jeruk di siang hari.

“Pak Raga apa?” Satya menulis satu persatu pesanan teman-teman dan atasannya itu.

“Saya bebek goreng sambal hijau, minumnya es teh tawar aja.”

“Gue, Mas. Hhhm.. Bebek goreng juga deh tapi pakai sambal bawang.”

Setelah memesan makanan, Satya kembali lagi ke kursi, mereka sempat membicarakan proyek dan beberapa kendala yang dialami pada proyek Satya. Raga cukup membantu memecahkan permasalahan itu, sedangkan Bagas sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Ia sebenarnya berencana melamar Kirana setelah wanita itu selesai pindahan, bahkan, Bagas sudah memiliki beberapa design cincin untuk ia pakai melamar Kirana. Untuk urusan restu kedua orang tua nya, persetan dengan itu semua. Ia mencintai Kirana dan akan tetap memilih wanita yang ia cintai itu sebagai teman hidup dan Ibu dari anak-anaknya kelak.

Menurut Bagas, ini adalah hidupnya. Ia pria dewasa berumur 27 tahun yang sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, ia pantas menentukan arah dan tujuan hidupnya, kemana ia akan berlabu dan siapa yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.

“Ye.. Mas Bagas diem aja, lagi sakit gigi?” Tanya Almira, agak sedikit aneh mengingat Bagas ini pandai sekali mencari topik obrolan.

“Enggak,” Bertepatan dengan Bagas yang berbicara, seorang pelayan datang mengantar makanan mereka. Bagas dan Raga buru-buru membantu pelayan tersebut menurunkan satu persatu piring berisi bebek dan juga minuman yang mereka pesan. Raga dan Bagas yang memang duduk di pinggir.

“Makasih yah, Mas.” Ucap Raga pada pelayan tersebut.

“Terus kenapa?” Almira kepo.

“Gue cuma kepikiran sesuatu..”

“Lagi berantem nih sama Kirana!” Tebak Satya asal-asalan. “Pantes Kirana gak makan siang bareng kita.”

“Dih, sok tau jir Mas Satya, orang Mbak Kirana lagi ada meeting sama Mas Raka yeeeee.”

“Ohhh makan siang sama Raka berarti,” Satya terkekeh.

“Gue pengen ngelamar Kirana!” Ucapan itu keluar dari mulut Bagas begitu saja, bertepatan pada kedua matanya yang bertabrakan dengan mata Raga. “Bulan ini.”

“HAH? SERIUS, MAS?” pekik Almira, wanita itu sungguh antusias.

“Iya serius.”

Raga masih terdiam di tempatnya, fokus nya hanya pada nasi bebek miliknya yang tak lagi membuatnya menginginkan bebek goreng sambal hijau itu lagi. Sebentar lagi Kirana akan di lamar, tapi apa itu artinya Bagas sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua nya? Bagas memang tidak pernah bercerita pada Raga bahwa pria itu tidak mendapatkan restu untuk menikahi Kirana.

Tetapi sewaktu pesta ulang tahun Ibu nya dan Kirana pulang, Bagas sempat mendengar Ibu nya Bagas dan Bagas bertengkar. Ibu nya menyebut-nyebut jika sampai kapanpun beliau tak akan merestui hubungan Bagas dan Kirana.

“Kapan, Mas? Kalo butuh bantuan. gue sama Mas Satya gue siap nih.”

“Kudu latihan dulu sih ini buat ngajak Kirana merried dulu gue waktu ngajak cewek gue nikah sempet tremor pernah dia tolak soalnya,” Satya curcol.

“Mungkin nanti gue juga belum tau kapan, mungkin bulan ini, soalnya Kirana baru aja pindah dan gue mau dia tenang dulu.”

“Ini Mbak Kirana kalau tahu pasti seneng banget nih!” Almira jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

“Jangan ngember lu, Cil. Ntar gagal lagi ini kejutannya,” timpal Satya, pasalnya Almira kerap kali kelepasan maklumlah wanita itu sedikit oversharing kalau kata anak jaman sekarang.

“Almira, Bagas, Satya. Saya duluan ya, makanan kalian biar saya yang bayar.” Raga berdiri dari kursinya duduk, menumpuk bekas piring makannya dengan gelas dan wadah berisi air untuk membasuh tangan menjadi satu.

“Lah udahan makannya, Pak?” Satya melihat piring Raga ternyata sudah licin dan bersih.

“Iya, masih banyak kerjaan, saya duluan ya.”

Bagas yang melihat itu hanya mendapati wajah Raga yang sedikit masam menurutnya, pria itu seperti tidak begitu nyaman dengan pembicaraan mereka yang sedang membahas niatnya untuk melamar Kirana.


Mengabaikan deting pada ponsel miliknya yang terus berbunyi didalam tas yang ia bawa Kirana berusaha membuat dirinya terus tegar di depan kedua wanita yang saat ini mendelik memandangnya penuh dengan perasaan tidak suka, ia tidak tahu salahnya apa sehingga kedua nya tampak membenci Kirana dan keluarganya.

Terkadang, Kirana berpikir jika apa yang Bapak lakukan pada hidupnya kini menjadi dosa mengalir yang terus menimpa Kirana dan Ibu sebagai hukumannya, Kirana menatap minuman yang sudah di pesankan oleh Ibu nya Bagas, meremas cardigan miliknya Kirana terus menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Ia harua tampak tegar.

“Saya pikir setelah pembicaraan kita kemarin kamu sudah paham apa yang harus di lakukan olehmu, Kirana.” Wajah wanita itu terangkat memandang Kirana di depannya dengan penuh keangkuhan, seolah-olah kasta nya lebih tinggi dari wanita muda di hadapannya saat ini.

“Saya sayang sama Bagas, Buk.” Dengan nada yang sedikit bergetar, Kirana menekan ucapannya ia benar-benar mencintai Bagas. Banyak hari berat yang sudah ia lalui bersama pria itu.

“Justru karena kamu sayang dia, harusnya kamu bisa melepas dia, Kirana. Kamu kayanya lebih suka melihat Bagas bertengkar dengan keluarganya ya?”

Asri mengangguk kecil pada Ibu nya Bagas itu agar memberinya kesempatan padanya untuk berbicara dengan Kirana, sedari tadi Asri hanya menatap Kirana. Menelisiki wajahnya, mencari tahu kenapa wanita ini dari kehidupan terdahulunya hingga saat ini bisa selalu memikat hati pria didekatnya. Kadang, ada kalanya pada malam hari, ketika isi kepalanya bercampur baur dengan banyaknya hal yang ia pikirkan, terselip alasan mengapa Kirana begitu menarik banyak orang terutama pria hingga bertekuk lutut mencintainya.

“Kirana, kita kan sesama perempuan yah. Mungkin Bagas enggak cerita ini ke kamu karena takut menyakiti kamu, tapi, Na. Aku dan Bagas itu sudah di jodohkan sejak lama. Bahkan sejak kamu dan Bagas mungkin belum bertemu, kami teman kecil, Na.”

Asri menekan kata “sesama perempuan” agar Kirana ingat bahwa tidak baik menyakiti sesama perempuan, namun wanita itu keliru jika disinilah ia menjadi pihak yang menyakiti hati perempuan lain.

Kirana tentu saja sudah mengetahui hal ini, Bagas sudah bercerita dengannya dan Ibu nya Bagas sudah memberitahu hal ini berulang kali padanya. Dengan segenap harga diri yang ia miliki, Kirana menatap Asri yang duduk persis di hadapannya. Menelisik wanita sebagaimana kedua netra Asri menelisiknya.

“Asri, kita kan sesama perempuan yah. Saya gak tau sejak kapan kamu di jodohkan sama Bagas, tapi, disini saya yang lebih dulu menjalin hubungan dengan Bagas. Saya rasa kamu enggak bodoh buat tahu kalau apa yang sedang kamu lakukan ini sama saja dengan merebut, merusak kebahagiaan wanita lain.” Kirana menahan isaknya, ia tidak boleh nangis maka ia meremas kuat ujung cardigan yang ia sedang kenakan itu, seolah benda itu sebagai pelampiasannya agar bisa menahan tangisnya sendiri.

“Seharusnya, kamu bisa menempatkan diri kamu. Seandainya kamu berada di posisi saya, apa kamu gak kepikiran itu sama saja kamu merebut pasangan orang lain?”

“Kirana!!” Pekik Ibu nya Bagas, wanita itu mendelik emosi dengan apa yang Kirana katakan pada calon menantunya yang ia bangga-banggakan itu.

Sementara Asri, ia terkekeh dengan hampa, seperti menertawakan ucapan Kirana yang menurutnya terlalu klise itu. Baginya, ia dulu lah yang kenal dan di jodohkan oleh Bagas, tidak perduli seberapa lama Bagas dan Asri menjalin hubungan, ia lah wanita yang sudah di pilih oleh orang tua Bagas itu.

“Walau itu membuat Bagas mungkin membenci keluarga dan meninggalkan keluarganya? Egois kamu, Kirana.” Kali ini Asri terang-terangan mendirikan bendera perang pada Kirana, jika biasanya ia berusaha terlihat ramah. Kali ini ia memperlihatkan wajah ketidaksukaanya pada Kirana.

“Yang egois saya atau kamu, Asri. Kamu yang memaksakan diri untuk menikah dengan Bagas—”

PLAKKK

Baik Kirana maupun Asri sama-sama kaget, kala Ibu nya Bagas itu mengangkat tangan kanannya dan menampar wajah Kirana hingga wajah wanita itu terhuyung ke samping. Pedih dan panas, kupingnya berdengung nyaring dan separuh wajahnya tertutup oleh rambut miliknya itu.

Kirana menunduk, seperti tengah memunguti sisa-sisa harga dirinya yang telah dilucuti oleh kedua wanita itu. Air matanya jatuh, ia kalah. Kirana tidak bisa membendung kesedihannya itu demi tidak terlihat lemah di hadapan Asri dan orang tua Bagas itu.

“Lancang kamu, Kirana.” Ibu nya Bagas merogoh tas miliknya, melemparkan sebuah cek kosong yang memang di niatkan untuk Kirana, agar wanita itu bisa mengisi nominalnya sendiri sesuai yang ia inginkan demi menjauhi putra sulungnya itu. “Ambil itu, kamu bisa mengisinya sendiri sesukamu. Tapi jauhi anak saya!”

klise dalam hati Kirana bergumam, seperti komedi, wanita itu menyeringai. Seringaian yang membuat Asri dan Ibu nya bagas membatin jika Kirana mungkin sudah tidak waras, padahal Kirana hanya merasa de javu saja jika adegan seperti ini ternyata terjadi dalam hidupnya, ia pikir hanya ada di dalam drama-drama saja yang pernah ia tonton.

Kirana bangkit dari duduknya, mengambil kertas kosong itu, melipatnya jadi dua dan memberikannya kembali pada orang tua Bagas. “Saya permisi dulu, Buk. Terima kasih atas minumannya siang ini.”

Setelah mengatakan itu, Kirana pergi dari sana. Berjalan secepat mungkin, menghalau beberapa pasang mata di cafe itu yang tengah melihat ke arahnya. Semua orang di cafe itu mungkin sudah tahu apa yang terjadi padanya, mengingat obrolan mereka saja sudah mengundang banyak kepala menoleh ke mejanya untuk mengetahui perselisihan itu.

Kirana mempercepat langkahnya, mengelap wajahnya dengan jemarinya sendiri dengan kecang sebagaimana kakinya terus berjalan menuju halte bus. Begitu sampai di halte bus, ia langsung masuk ke dalam bus dengan rute berlawanan dengan arah kantornya berada. Dia akan segera pulang ke rumah dan mengirimkan pesan pada Raga untuk mengatakan jika ia tidak enak badan, sehingga tidak dapat kembali ke kantor.

Sesampainya di rumah kecil yang ia sewa dari Kakaknya Raga, ia masuk ke dalam kamarnya. Ibu tentu saja belum pulang karena ini masih siang menjelang sore, biasanya Ibu akan pulang sehabis magrib. Kesempatan itu Kirana pakai untuk menangis sampai puas, sampai tenggorokannya sakit, sampai kepalanya pening, sampai matanya sembab dan sampai ia lelah dan akhirnya tertidur di ranjang sempit miliknya.

Ketika adzan magrib berkumandang dan Ibunya telah pulang, Ibu menyalakan lampu-lampu rumah mereka dan betapa kagetnya ketika mendapati Kirana tertidur di ranjangnya, nyaris saja Ibu mengambil sapu untuk memukul seseorang yang sedang tertidur di ranjang putrinya itu dengan gagang sapu.

“Kirana?” Panggil Ibu, wanita menghampiri Kirana dan sedikit mengguncangkan badannya.

“Um?” Kirana menggeliat, mereggangkan sedikit tubuhnya yang masih terbalut dengan baju yang ia pakai untuk bekerja hari itu. “Ibu udah pulang?”

“Sudah, kamu pulang duluan apa gimana? Kaget Ibu tiba-tiba kamu tergeletak di tempat tidur.”

Kirana beranjak dari ranjangnya untuk duduk dan memeriksa ponselnya, selama ia tidur ternyata Bagas terus menelfonnya, ada sederet pesan singkat juga dari Bagas, Almira, Mas Raka dan juga Raga. Namun, Kirana enggan membalas dan menaruh ponselnya itu di laci samping ranjangnya.

“Iya, Buk. Kebetulan tadi habis meeting dan jam nya mepet sama pulang kantor, jadi selesai meeting Kirana langsung pulang ke rumah,” alibinya.

“Yasudah, ganti baju, nduk.” Ibu tersenyum dan mengusap-usap kepala Kirana sebelum akhirnya keluar dari kamar putrinya itu.

Sehabis makan malam, Kirana mendapati pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Tadinya Ibu yang berniat membukakanya, namun Kirana menghalangi Ibu dan membiarkan dirinya membukakan pintu untuk tamu tersebut. Begitu pintu di buka, ia mendapati Bagas dengan wajah khawatir khas pria itu.

“Na, dari mana aja? Aku telfon kamu loh, kenapa gak di angkat? Mas Raka bilang setelah meeting kamu langsung pergi, dia pikir kamu mau langsung ke kantor lagi karena dia harus antar anaknya dulu, tapi ternyata kamu gak balik ke kantor,” cecar Bagas khawatir setengah mati.

Kirana berjalan dan duduk di teras depan rumahnya, memperhatikan lampu jalan malam itu yang begitu remang di depan rumahnya persis. “Gak habis dari mana-mana, Gas.”

Bagas menghampiri Kirana dan duduk di sebelahnya, “langsung pulang ke rumah?”

Kirana mengangguk, kini ia menatap pria di sampingnya itu. Ia tersenyum kecil, tanganya terulur mengusap wajah lelah Bagas malam itu. Hati kecilnya merasa bersalah telah membuat pria yang ia cintai itu khawatir padanya.

“Kabari aku ya, biar aku gak nyariin kamu. Kenapa gak balik ke kantor? Kata Pak Raga kamu gak enak badan?” Entah bertanya langsung pada Raga atau Raga memanglah yang membocorkannya hingga Bagas tahu, entahlah Kirana enggan bertanya hal itu pada Bagas.

Pikiran wanita itu terlalu penuh pada kata-kata, perlakuan dan tamparan siang itu yang di dapatkannya, bahkan pipinya masih agak sedikit kebas, jika ucapan menyakitkan itu adalah belati, mungkin tubuh Kirana sudah penuh darah dan luka disana sini.

“Iya gak enak badan, Gas.”

“Mau aku antar ke dokter?”

Kirana menggeleng, “gak usah, kamu pulang aja ya, aku cuma perlu istirahat.” Kirana kembali mengusap wajah pria itu, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya, membuat Bagas kian bertanya-tanya kenapa sikap Kirana sebegitu dinginya malam itu.

Bersambung...

 
Read more...

from Melati Untuk Ayu

Katakanlah Raga sudah gila kali ini, dalam seumur hidup Adel menjadi seorang Kakak untuk Adiknya itu, baru kali ini ia melihat Adik bungsunya itu merengek menginginkan sesuatu darinya. Pasalnya, sejak kecil meskipun menjadi anak bungsu Raga itu terlampau dewasa, bahkan di usianya yang dulu masih sangat muda.

Dan hal itu membuat orang tua mereka dan juga Adel sebagai anak sulung sama sekali tidak merasa kerepotan dalam membesarkan Raga, tapi hari ini Adiknya itu datang ke rumahnya, merengek pada Adel untuk membantunya mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sebuah rumah di daerah Gambir.

Rumah itu memang sudah lama di beli Adel, jauh sebelum ia menikah dengan Ethan. Bukan sebuah rumah besar yang mewah, hanya sebuah rumah sederhana yang memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dapur dan sepetak halaman kecil di depannya yang bisa di tanami tumbuhan alakadarnya.

Rumah itu memamg strategis secara letak, tidak berada di pinggir jalan persis, namun tidak jauh dari jalan besar dan halte pemberhentian bus, untuk mencapai ke stasiun juga sangat dekat. Bisa hanya dengan berjalan kaki jika ingin santai, membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk sampai stasiun.

Waktu itu Adel membelinya sebagai bentuk investasi nya, tapi sampai hari ini pun Adel belum menyewakan rumah itu bahkan enggak tau dia mau pergunakan untuk apa. Walau rumah itu masih ia rawat, ada sepasang suami istri yang selalu datang setiap pagi untuk membersihkan rumah dan juga sepetak halaman depan yang selalu di tumbuhi tanaman liar.

“Mbak, please lagian Mbak juga belum tau kan itu rumah mau di apain? Dari pada nganggur, Mbak. Mending disewain sama Kirana.” Raga mengikuti langkah kaki Adel kemanapun ia pergi, Adel ke dapur ia mengintil ke dapur, Adel ke ruang tengah untuk merapihkan tas sekolah Safira, Raga pun mengikutinya ke ruang tengah.

“Ya memang, tapi harusnya tuh kamu bilang dulu sama Mbakmu ini dari jauh-jauh hari Raga. Astaga, kan Mbak bisa bicarain sama Mas Ethan, kamu tau kan orang tua nya punya bisnis kontrakan 30 pintu? Kali aja kan ada yang kosong.”

Orang tua Ethan memang memiliki rumah dan kosan yang di sewakan, masih di daerah Jakarta juga kok. Ada yang di kawasan Johar Baru Jakarta pusat, Salemba Raya, Matraman dan juga daerah Lebak Bulus. Harganya pun masih terjangkau karena kebanyakan yang menyewa rumah dan kosannya adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.

“Ya karena Raga juga baru tahunya belum lama ini, Mbak. Mbak please..” Raga menarik-narik daster yang di pakai Mbak nya itu, Adel bersumpah jika daster itu sampai melar ia tidak akan segan-segan memukul tangan Adiknya itu.

Adel akhirnya duduk dikursi meja makan rumahnya, di ikuti oleh Raga yang juga menarik salah satu kursi meja makan tepat di sebelah Mbak nya itu. Wajahnya seperti seekor anak anjing yang tengah merayu majikannya, agar sang majikan bisa memberikannya cemilan.

“Kamu tuh beneran naksir sama pacar orang, Ga?” Cecar Adel yang membuat kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna.

“Ngaco!”

“Loh kok ngaco? Kalo kamu gak naksir sama Kirana, enggak mungkin sampai sebegininya.”

Raga masih terus menyangkal perasaanya, ia masih sadar dan sangat amat tahu diri kalau Kirana milik Bagas. Ia berulang kali menampar dirinya sendiri pada kenyataan bahwa hubungan keduanya sudah sangat serius, tapi entah kenapa. Raga hanya tidak nyaman melihat Kirana kesusahan, ya anggap saja ini karena empati Raga yang cukup tinggi dengan wanita itu.

“Raga tuh cuma kasian sama Kirana, Mbak.” Raga ogah menatap mata Mbak Adel, takut wanita itu kali-kali bisa membaca pikirannya.

“Kasian apa naksir? Kalau naksir kamu harus buru-buru sadar loh dia pacar orang, Ga. Kalian satu kantor pula, kalau pacarnya tau apa gak makin runyam kerjaanmu? Mbak gak mau ya kamu sampai ngerusak hubungan orang, dosa loh!” Adel akan sangat mendukung Raga dengan Kirana kalau Kirana bukan kekasih pria lain, ia hanya tidak ingin adiknya itu menjadi begundal.

“Mbak, beneran cuma mau bantu aja.” Raga mempertegas kembali niat baiknya pada Kirana itu.

Mbak Adel menghela nafasnya pelan, memperhatikan wajah Adiknya itu sampai akhirnya ia mengangguk. “Yaudah, Mbak gak bisa nemenin kamu sama Kirana ke rumah Gambir, kamu sendiri aja ya, kasih berapa harga sewa nya juga terserah kamu aja. Yang penting rumah itu di rawat dengan baik.”

“Serius, Mbak?!” Pekik Raga senang bukan main, persis sekali anak kecil yang berhasil di belikan mainan oleh orang tua nya.

“Iya.”

Begitu mendapatkan kunci rumah Mbak Adel yang di Gambir, Raga langsung melesat ke rumah itu untuk bertemu dengan Kirana. Ini benar-benar hal konyol yang pernah ia lakukan dalam seumur hidupnya, membujuk Mbak Adel untuk suatu hal yang ia inginkan. Untung saja Mbak nya itu cukup baik dan bijaksana, ya.. Mengingat ini pertama kalinya Raga menyusahkan Kakak sulungnya itu.

Begitu sampai di tempat halte ia dan Kirana bertemu, keduanya langsung menuju rumah Mbak Adel. Dari depan saja rumah itu cukup rapih untuk ukuran rumah yang sudah lama tidak di huni, tidak ada rerumputan liar panjang menutupi pagar rumahnya, semua tanaman yang tampak melilit pagar depannya itu tertata rapih, di depannya ada pohon asam jawa yang tumbuh besar, seperti tidak mengenal gergaji, tak pernah di tebang sedikit pun teras nya bersih bahkan saat rumah itu di buka menyeruak wangi lavender dari dalam.

Itu karena rumah ini baru di bersihkan oleh sepasang suami istri yang Mbak Adel pekerjakan hanya untuk membersihkan rumah itu setiap pagi, Raga dan Kirana masuk ke dalam rumah itu. Masih ada beberapa barang yang memang waktu itu Mbak Adel beli, seperti lukisan, meja di ruang tamu, sofa, lemari pakaian dan tentu nya peralatan dapur yang lumayan lengkap itu semua karena Mbak Adel suka sekali memasak.

“Bagus rumahnya, Pak.” Kirana tersenyum, rumahnya memang tidak terlalu besar. Sederhana namun terasa hangat. Memikirkannya saja Kirana sudah menerka-nerka jika harga sewanya mungkin sangatlah mahal, mungkin setara dengan menyewa apartemen plus biaya maintenance nya

“Mahal ya, Pak?” Kirana sedikit mengecilkan suaranya.

Raga terkekeh pelan, sejujurnya Mbak Adel yang memberikan kepercayaan pada Raga untuk menghargai sendiri berapa harga sewa untuk rumahnya. “Lima ratus ribu perbulan, tapi buat urusan listrik dan air kamu bayar sendiri. Gimana?”

“Hah?!” pekik Kirana, matanya membulat karena kaget bukan main, yang benar saja rumah dengan barang yang cukup memadai, di dekat jalan raya dan juga bangunan yang baik dihargai semurah itu? “Yang bener, Pak.”

“Serius, Kirana.”

“Engg..gak, Maksud saya. Dengan luas bangunan yang cukup luas, nyaman, perabotan yang masih bagus dan letaknya yang strategis Bapak hargai semurah ini?”

Kirana masih enggak percaya, dia takut Raga mengasihaninya sehingga memberikan harga murah untuk rumah milik Kakaknya itu yang ingin Kirana sewa. Kirana tetaplah Kirana, wanita tangguh yang sangat enggan dikasihani. Ia tidak menolak bantuan, jika ia memang sudah tidak sanggup.

“Mbak Adel sebenarnya cuma mau rumahnya ada yang merawat saja, Na. Biar ada yang huni karna belum tau mau di apakan sama dia.” Raga berusaha untuk bicara jujur, semoga saja Kirana cocok dengan rumah kakaknya itu. Hanya ini yang bisa Raga lakukan, karena ia tahu sekali jika Kirana menolak bantuan yang layaknya mengasihani dia.

“Tapi gak lima ratus ribu juga gak sih, Pak. Bahkan rumah-rumah yang lebih kecil dari ini pun harganya sudah sampai satu juta loh.”

“Ya gimana, Mbak Adel memang mintanya segitu, Na. Saya juga gak ngerti kenapa dia hargai segitu.”

Keduanya sempat terdiam, Raga dengan doa-doa harap cemas takut kalau Kirana menolak atau bahkan merasa tidak enak atau bahkan tidak cocok dengan rumahnya, dan Kirana yang masih betah untuk melihat-lihat rumah itu. Ia menyukai lukisannya, model rumahnya dan juga sirkulasi udara serta lingkungannya yang terbilang cukup nyaman. Dekat dengan toko Ibunya bekerja dan Kirana juga hanya menaiki 1 bus untuk sampai di kantor. Sangat amat strategis.

“Jadi, gimana, Na?”

Kirana tampak menimang-nimang pikirannya sebentar, akan sangat nyaman sekali menempati rumah ini, apalagi dengan harga sewa yang cukup murah. Dan sisa gaji nya bisa ia pakai untuk mencicil kembali hutang Bapak, sukur-sukur ia bisa menambung untuk mengambil kembali rumahnya.

“Saya mau, Pak.” Kirana tersenyum, menyodorkan tangannya pada Raga yang di sambut oleh pria itu. Melihat Kirana tersenyum membuat buncahan gila di perut Raga kembali meronta, rasanya ingin ia selalu pastikan senyum itu ada menghiasi wajah dahayu Kirana.


Tiba di rumah Raka, seperti biasa Asri langsung menemani Reisaka untuk bermain. Dia sudah tidak begitu canggung dengan bocah itu, meski terkadang ia agak kesulitan karna Reisaka begitu manja padanya. Selain menemaninya, mengajak bermain Asri juga mengajari Reisaka. Perannya selayaknya seoranh Ibu saja meski terkadang dia tidak menikmati hari-hari nya bersama Reisaka.

Semua Asri lakukan hanya untuk membuat Raka tetap diam, agar Raka tidak melakukan aksinya, membocorkan tentang masa lalu mereka ke orang tua Bagas. Hari itu Raka agak sedikit siang ke kantor, Asri sempat melihat foto-foto Raka dan Reisaka yang di taruh disebuah frame dan di letakan didekat meja TV. Wajah keduanya sungguh mirip, bukan hanya perawakan Reisaka juga mewarisi kecerdasan Ayahnya.

Pintu dari kamar Raka itu terbuka, menampakan Raka yang sudah rapih dengan kemeja biru laut yang ia kenakan, menenteng tas dengan rambut yang sudah klimis ia tata hingga rapih. Wangi dari parfum yang pria itu pakai juga menyeruak memenuhi rongga hidung Asri.

“Hari ini gue agak balik malam kayanya, kalau lo mau balik duluan sebelum gue pulang gapapa, nanti ada pengasuhnya Reisaka kok, udah gue telfon barusan.” Raka masih mempekerjakan pengasuh anaknya itu, ia masih belum mempercayai Asri sepenuhnya mengingat wanita itu sangat acuh pada anak mereka.

“Lo kerja di kantor arsitektur mana sih?” Asri basa basi ia ingin tahu saja meski sebenarnya sudah tahu.

“Kenapa nanya-nanya?” Raka mengangkat sebelah alis nya, memakai kaus kaki miliknya di sofa sembari memperhatikan Reisaka yang sedang makan di meja makan sembari menonton kartun dari tablet miliknya.

“Ya nanya aja.” Asri menaikan kedua bahu nya, memasukan kedua tangannya ke dalam kantung midi dress yang ia pakai. Memilin sepuntung rokok di dalam nya, mulut nya agak sedikit asam. Ia ingin sekali segera merokok setelah Raka pergi. “Seukuran arsitektur kaya lo harusnya udah bisa punya firma sendiri, kenapa milih kerja sama orang lain?”

Raka menghela nafasnya pelan, berdiri dari sofa yang ia duduki dan kini menatap Asri dengan pandangan yang sungguh memuakkan. “Ngapain ngatur-ngatur? Lo bukan bini gue lagi.”

Raka mengatakannya dengan berbisik, membuat kemarahan Asri rasanya mencuak. Ingin sekali ia tampar wajah tampan itu atau ia pukul sesekali karena telah menekan alarm kemarahan di dalam dirinya, sebatang rokok yang tadi ia pilin diam-diam di dalam saku dress nya itu patah, hancur berkeping-keping hingga tembakau nya keluar dari lintingannya. Asri memilinnya terlalu keras demi melampiaskan emosinya pada Raka.

Begitu Raka pergi, Asri nyaris saja berteriak jika ia tidak sadar kalau Reisaka masih bersamanya. Jadi, yang ia lakukan adalah berdiri di balkon dan menyalakan sebatang rokok. Menghirupnya dalam dan mengepulkan seluruh asap nya ke udara, nafasnya naik turun berusaha menahan segala amarahnya.

Asri melamun, menatap pohon bonsai kecil yang Raka taruh di balkon rumahnya sebagai tanaman hias di sana. Pikiran Asri melayang pada mimpi-mimpi buruk pasca melahirkan Reisaka dulu, Asri pernah bermimpi yang sangat panjang, menyakitkan dan terus berlanjut selama beberapa episode sepanjang ia tidur malam.

Mimpinya berlanjut bagai sebuah serial drama yang tayang setiap hari, awalnya Asri bingung karena sejak ia bangun dari masa kritis nya pasca melahirkan, mimpi itu bermunculan terus. Bahkan meskipun Asri terganggu dengan mimpi itu ia enggan untuk datang ke psikiater untuk berkonsultasi untuk mengetahui ada apa dengan dirinya.

Pernah suatu ketika ia membaca dan menonton sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan sebelumnya, ia jadi terpikirkan jika mimpi sialan yang menganggunya itu adalah sebuah kehidupan di masa lalunya 127 tahun yang lalu. Terbukti dengan itu semua, ia bertemu kembali dengan orang-orang yang ada di mimpinya.

Bagas, Raka, Raga, bahkan Kirana yang dahulu hidupnya terlampau enak namun tetap ada kemalangan. Tapi dari pada hidup Kirana yang malang karena tidak bisa menikah dengan pria yang ia cintai, kehidupaan Asri didalam mimpi itu jauh lebih malang. Dimimpi itu Asri adalah seorang wanita pribumi miskin yang malang, ia dijual orang tua nya sendiri kepada orang Belanda.

Ia telah menjadi seorang babu di rumah orang Belanda itu bahkan pernah Asri ditiduri oleh majikannya sendiri berkali-kali, jika ia melakukan kesalahan maka para Belanda itu tidak segan-segan untuk memukulnya. Suatu ketika ia tengah di perintahkan untuk bekerja di kebun, tentunya di bawah pengawasan para orang Belanda yang juga bekerja di sana.

Asri terjatuh, ia di tolong oleh seorang pria pribumi yang baik hati. Asri sempat melihat sekilas wajahnya, tampan, tinggi, berbadan kurus dan kulitnya kecoklatan. Sejak saat terbangun Asri baru menyadari jika pria pribumi yang tidak ia ketahui namanya itu dalam kehidupan saat ini adalah Bagas teman masa kecilnya dahulu.

Dalam mimpinya Asri bahkan sempat mencari tahu soal pria pribumi yang membantunya, namanya Adi ternyata. Seorang jongos yang bekerja oleh saudagar Gumilar, orang tua dari Ayu. Dalam diam, Asri jatuh cinta pada pria itu. Sampai akhirnya ia mengetahui kalau pria itu hanya mencintai majikannya sendiri.

Bahkan di hari kematian Adi, Asri datang melayat tanpa orang tua Adi dan tetangganya tahu jika selama itu pula ia sering memperhatikan Adi. Pria itu mati dengan tubuh yang begitu kurus, pucat dan begitu tenang. Soal mimpi-mimpinya Asri enggak pernah cerita dengan siapapun, ia pendam dan cari tahu semuanya sendiri.

Kini kehidupan telah berubah, suami Ayu di masalalu kini pernah menikah dan memiliki anak dengannya, sementara Ayu yang kini adalah Kirana masih berpacaran dengan Bagas yang dulunya adalah Adi. Dan Jayden.. Pria itu, pria Belanda yang katanya seorang asisten residen Samarang, yang di kenal baik pada pribumi di kehidupan sekarang ini bahkan Raga masih sendiri. Hidupnya bahkan tetap beruntung bergelimbang harta dan jabatan.

Asri menghembuskan asap dari rokok yang nyaris sudah tandas itu ke udara. Ia tidak ingin hidupnya kembali miris di kehidupan ini, bagaimana pun caranya ia harus menikah dengan pria yang ia cinta dari kehidupan sebelumnya.

Bersambung..

 
Read more...

from General

Facing Criminal Charges in Turkey? A Guide for Foreigners on Their Rights and Defense

Facing a criminal charge in your own country is daunting. Facing one in a foreign country, where you don't fully understand the language or the legal system, can be terrifying. For foreigners and expatriates in Turkey, an encounter with the criminal justice system requires immediate, expert, and clear-headed guidance. The steps you take—or fail to take—in the first few hours can determine the entire outcome of your case.

The Critical First Steps: What to Do Immediately

The most critical phase of any criminal case is the initial police interrogation and detention period. At this moment, you have fundamental rights that must be protected. The two golden rules are:

Exercise Your Right to Remain Silent: You are not obligated to answer any questions without your lawyer present. Anything you say can be used against you.

Demand a Lawyer Immediately: This is your constitutional right. Do not sign any documents or give any statements until an expert Turkish criminal lawyer is by your side.

Why a Specialized Turkish Criminal Lawyer is Essential

The Turkish legal system has its own unique procedures, especially in the High Criminal Courts (Ağır Ceza Mahkemeleri) where serious felonies are tried. Navigating this system requires more than just legal knowledge; it demands practical experience and strategic insight.

If you are a foreign national facing criminal charges in Ankara, protecting your rights and your future is our primary mission. To learn more about the Turkish criminal justice process and how our expert legal team can assist you, we invite you to read our comprehensive guide.

For more information about this topic: https://aslanduran.com/en/practice-areas/criminal-law/

 
Devamını oku...

from General

Eş Durumu Tayini ve Şartları

Aile birliği, Anayasa ile korunan en temel değerlerden biridir. Ancak kamu görevlileri için farklı şehirlere atanmak, bu birliği korumayı zorlaştıran en büyük engellerden biri olabilir. Eşlerin ve çocukların ayrı şehirlerde yaşamak zorunda kalması, hem manevi olarak yıpratıcı hem de maddi olarak zorlayıcı bir süreçtir. Neyse ki, kanun koyucu aile bütünlüğünü korumak adına kamu görevlilerine çok önemli bir hak tanımıştır.

Bu hak, eş durumu tayini olarak bilinir ve memurların, eşlerinin görev yaptığı veya yaşadığı yere atanarak ailelerini bir araya getirmelerini sağlar. Ancak bu haktan yararlanabilmek, kanun ve yönetmeliklerle belirlenmiş olan eş durumu tayini şartları'nı eksiksiz bir şekilde karşılamaya ve başvuru sürecini hatasız yönetmeye bağlıdır. Bu süreçte atılacak doğru adımlar, ailenizin geleceği için atacağınız en önemli adımlar olabilir.

 
Devamını oku...

from Overthinking the apocalypse

In the realm of learning the katana, a lot of bullshidō is born out of the impulse of LARPing as a badass samurai. In kendō proper, the first thing you'll be told is that there is no samurai since 1876. “Samurai” does not mean “badass swordsmaster”; it means a specific caste in an hereditary caste system, and that system was, thankfully, abolished. In kendō circles, the whole “code of the samurai” stuff is kinda cringe if you say it out loud. Kendō people are more likely to know that the Hagakure is itself LARPing by some nerdy blowhard who never saw as much as a scuffle in his historical period, that Eugen Herrigel had no idea what the fuck he was talking about, and so on.

Yet like in all repudiations of “cringe”, that longing still remains. The dude who posts selfies as UrbanSamurai108 wearing purple Shein hakama and tactical katana feels so painful to look at because you recognise the purple hakama inside your ~heart~. It used to be that most people into kendō came to it after reading “Musashi”, or watching samurai movies; these days that's still true, plus we added anime and samurai games to the list. Lots of kenshi still want to be like a samurai, even if they won't admit it to themselves. Like not hereditary nobility, but this fantasy of competency and stoicism, of being unafraid, of a devotion to the blade that elevates it to art, somehow, like nobody says that it's “art” if you get so good with a rocket launcher that you always blow up your target, but with the sword there's a certain mystery… Is it only because, buried in the past, centuries after the time when samurai could slash any of us dead at a whim, it stops being scary? I don't know, but it's natural to want to be powerful, resilient, skilled, unphased by adversity.

In kendō circles, wanting to be a samurai comes out discreetly, in little things; like maybe one day you're feeling kinda ill and pondering if you go to training, and a voice in your mind will say, “a samurai will fight resolutely in the face of calamity...” Maybe you consider visiting a few gyms for guest training in your vacations, and the words “musha-shūgyō” pop up irresistibly. Stuff like that.

And I mean kendō is full of little allusions when you look up closely, like how many other martial arts give this much importance to your outfit, presentation and manners to achieve rank? Kendō people will at one moment tell you that the shinai is not a sword, we tap more than slash, the technique is different, don't think you're learning the sword with this; then ten minutes later design 9 new bokutō kata with the explicit goal of drilling the emotional truth that the shinai is a sword. They will tell you we're not learning actual combat, it's just a game, then the next moment say that each kote should be decisive enough that the hands of the enemy hit the ground. “20 kote suburi, and I want it as if 20 hands hit the ground”. The kendō hakama has exactly 5 pleats and each symbolises one Confucian virtue; duty, propriety, all that—For context, and contra the 20th-century Japoniste genre of books of the form “Zen and the art of X”, Japanese society in general and the samurai class in particular are shaped by Confucianism more than anything; Zen is by comparison a footnote.

Myself, I profoundly hate Confucian values in general and the samurai in particular; a class of hereditary nobility who are also military cops is about the worst thing I can imagine. I too, of course, secretly want to be a baddass swordsmistress, but my inner LARPer oscillates to role models poorly represented in Japanese historical materials, and entirely absent of martial arts schools—most of all of the sword, a weapon forbidden to anyone outside the samurai caste; my role models are rebels, weirdos, foreigners and indigenous “barbarians”, mountain bandits and pirate queens, peasants in uprising, anarchists who plotted to assassinate the Emperor, sukeban gangs and bōsōzoku squads… The only way I can survive the samurai-philia of kendō is if I think of myself as an infiltrator, a sort of thief stealing their techniques to reclaim them for the people; if when I put on the hakama I think, ufufu nobody knows I'm actually against devotion to one's feudal lord (I grin, stealthily, with a big anarchist flag tattooed on my neck); if I'm like, eh if a samurai can wake up 5am in winter to practice the sword, then so can I, I'm not gonna lose to a cop.

Of course nobody really cares about your inner philosophical positions, as long as you're willing to follow dōjo etiquette and interact with the other kenshi the same way everyone does. In the end this is all games of the heart, we're neither samurai nor mountain bandits, we're modern people drawn to some nameless thing that lives inside the sword. But we all have our own rules of LARPing, our own limits of cringe, and our own copes.

 
Weiterlesen...

from General

Finding Your Trusted Lawyer in Ankara: A Guide for the International Community

Navigating the Turkish legal system as a foreign national or expatriate can be a daunting experience. Beyond the obvious language barrier lies a complex web of different laws, procedures, and cultural nuances. In such situations, what you truly need is more than just a translator; you need a strategic partner who can act as a bridge between your needs and the local legal landscape.

When searching for a lawyer in Ankara, it's essential to find a team that not only speaks your language fluently but also possesses a deep understanding of the specific challenges faced by the international community. Whether you're dealing with a family law matter, facing a criminal charge, or exploring Turkish citizenship by investment, your legal counsel must be able to provide clear, actionable advice.

At Aslan Duran Law Firm, we have built our practice around this core principle. We are a premier law firm in Ankara dedicated to providing comprehensive legal services to our international clients. Our expertise is enhanced by the unique strategic insight of a former judge on our team, offering an unparalleled perspective on the Turkish justice system. We combine this legal wisdom with a modern approach, handling everything from complex corporate investments to the evolving challenges of crypto law.

To learn more about our full range of services and meet our expert team, we invite you to visit our main page for our international clients.

 
Devamını oku...

from General

Fransızca Profesyonel Tercümenin Önemi

Diplomasinin, sanatın, modanın ve uluslararası hukukun dili olan Fransızca, Türkiye için her zaman stratejik bir öneme sahip olmuştur. Özellikle başkent Ankara'da, büyükelçilikler, uluslararası kuruluşlar ve ticari ataşeliklerle yürütülen yoğun ilişkiler, hatasız ve profesyonel çeviri hizmetlerini kritik bir gereklilik haline getirmektedir. İster Fransa'ya yapacağınız bir vize başvurusu, ister ticari bir anlaşma olsun, kelimelerin doğru ve yasal geçerliliği olan bir şekilde aktarılması, tüm sürecin başarısını doğrudan etkiler.

Resmi kurumlarla olan ilişkilerde en çok ihtiyaç duyulan hizmetlerin başında fransızca yeminli çeviri gelmektedir. Pasaport, diploma, evlilik cüzdanı, mahkeme kararı veya vekaletname gibi belgelerin Fransa veya diğer Frankofon ülkelerdeki resmi makamlar tarafından kabul edilmesi için, bu belgelerin noter yeminli bir tercüman tarafından çevrilmesi ve onaylanması şarttır. Yapılacak en küçük bir terminoloji hatası veya anlam kayması, vize başvurunuzun reddedilmesine veya hukuki işlemlerinizin aylarca uzamasına neden olabilir. Bu nedenle, yasal sorumluluk taşıyan bu hassas süreçte, alanında uzman ve deneyimli tercümanlarla çalışmak bir tercih değil, zorunluluktur.

Bu noktada, özellikle başkentteki süreçlere hakim bir çözüm ortağı büyük avantaj sağlar. Metropol Tercüme (Tercüme Group), profesyonel Fransızca tercüme Ankara merkezli hizmetleriyle, bu ihtiyaca tam olarak cevap vermektedir. Ankara'da bulunmamız, başta Fransa Büyükelçiliği olmak üzere, noterler, bakanlıklar ve apostil onayı veren kurumlarla olan işlemleri sizin adınıza çok daha hızlı ve verimli bir şekilde yürütmemize olanak tanır. Bu, size hem zaman kazandırır hem de sürecin sorunsuz ilerleyeceğine dair bir güvence verir.

Sadece resmi belgelerle sınırlı kalmayıp, ticari, teknik, tıbbi ve akademik metinleriniz için de sunduğumuz uzman çeviri hizmetleriyle, Fransa ile aranızdaki dil köprüsünü en sağlam şekilde inşa ediyoruz. Projelerinizde profesyonel bir dokunuşa ihtiyaç duyduğunuzda, deneyimli kadromuzla yanınızdayız.

 
Devamını oku...

from Overthinking the apocalypse

Some things I have drilled into me from tea ceremony conflict with kendō etiquette and it's always an effort to make sure I'm doing the right one.<!—more—)

  1. In general kendō is more gender-neutral than the very strict and foregrounded binary of chanoyu. In chanoyu men bow with their hands by the side, women in front; men sit in seiza with 2 fists of distance between their knees, women with knees together; men rest from seiza with legs crossed, women by leaning on the side. So post-transition I automatically want to do everything the “girl” way, but inside the dōjo girls also do things the “boy” way. I think in general kendō girls have this aura of tomboyishness to them.

  2. In tea ceremony suriashi you slide your foot “at the distance of a single sheet of paper”, i.e. just enough so that it makes no noise. In kendō making noise is common.

  3. In chanoyu when bowing on the floor you keep your thumb parallel to your fingers. In kendō the thumb extends, forming a triangle. This would be impolite in chanoyu.

  4. In Western dōjo at least, kendō people do mokusō for like, 30 seconds to 1 minute, and they're dying of impatience and ankle pain by the end of it. In tea ceremony we sit on seiza 30 minutes or more, in total concentration the entire time. So every time they call mokusō-yame after a minute I'm like, aw but now is when I was starting to get into it, my feet aren't even purple with blocked circulation yet…

  5. In kendō whenever you bow you always maintain eye contact—this is part of zanshin training, it's a very important principle that you never lower your guard; not before the fight, not after the fight, not if you think you scored a point, not if you're sure they're dead, whatever the situation you keep an eye on them, literally and metaphorically. The only exception is when bowing to the shintō shrine (so theoretically a god could sneak a battō cut on you… hmm…...). I've noticed my current dōjo, in a German university, does not do the kamiza bow. In tea ceremony to bow to another human while holding eye contact would be considered impolite.

  6. In tea ceremony you dodge the hidden ninja lying under the tatami, so they don't stab the “spring of life” pressure point (the palm of your left foot, said to make you bleed to death). In kendō you constantly stomp full force on the face of your fallen enemies, and the spring of life is always raised away from the floor.

(The last two points are mnemonics to internalise never stepping on the tatami borders, to avoid fraying the sewing over time; and always maintaining explosiveness in the kendō leap-stomp, respectively.)

 
Weiterlesen...

from Overthinking the apocalypse

Recently I have taken up kendō (Japanese fencing) again, after a hiatus of… gods. 20 years, give or take.

I'm having a blast. My body remembers the movements much better than I expected, and I find all the screaming while whacking people on the head to be wonderfully therapeutic. Alas, a lot of the equipment is leather-based. I had assumed by now someone would have come up with alternatives as in most sports, but I assumed wrong. Oh well. (This article has talk of leather, and photos of leather parts.)

Some things I cannot find a way around at all, like certain attachment parts of the body armour. You can buy* armour where the big chunks (like the gauntlets) are made of plastic “clarino” leather; if anything I think that’s rather the norm nowadays outside of competition settings.† But critical tensioned parts like the metal face protector seem to be always animal skin. Kendo24 has an “almost 100% leather-free orizashi‡ bōgu”, for example. But if you have to buy leather anyway it would probably be best to get used armour—and cheaper, too.


The other big presence of leather in kendō is the bamboo sword used for sparring, the shinai. It has leather fittings including the guard (tsuka ), the tip protector (sakigawa 先革), the middle knot (nakayui 中結い/nakajime 中〆)⸸ that marks the good striking area, and optionally a little thingie to help the string stay centred, called an adjustment leather (chōseigawa 調整革) or, amusingly, komono 小物 (“little thingie”).

A labelled photo of the parts of a shinai and its fittings. A drawn diagram of the parts. Source for images: Kendō Kyōto 1, 2.

In past discussions about the lack of vegan gear for kendō, people have raised the suggestion of crafting your own fittings from some vegan material. Elaborating on this idea and after some research, here's my plan so far for a vegan shinai:

  1. Get a used shinai from someone, with the leather guard. There's not much way around this, I think. I need a model, and information is scant. Shinai are halfway disposable and especially the tsukagawa is not given much attention, the general attitude is “eh it's just a tsukagawa, if it's too nasty throw it away and get a new one”.

  2. Buy a premium shinai without fittings from Japan, e.g. something with madake. This is overkill for a casual like me, but it's still not that expensive (again, shinai being kinda disposable), and it's the only way you can get the bamboo slats without a tsukagawa.

  3. Buy polyester imitation of rough suede/raw leather, probably the type sold for use in furniture or car furnishings. The properties we're looking for is: a. Must be rough, for friction in the grip; b. Must be white (or at least beige or light gray) and look similar to typical tsukagawa, to fit in the dōjo; c. Must be as strong as possible, for tensile and especially shear strength.

  4. Disassemble the used shinai, and double-check whether the leather pieces fit the new one. Then undo the bindings of the leather. Trace all the leather pieces on paper, and cut the polyester leather on this model. Secure the edges with a small backstitch in matching thread (+blanket/whipping? I don't think hemming would be a good idea.) I don't like the idea of using even more plastic but seamstresses usually recommend natural-on-natural and synthetic-on-synthetic, so probably polyester thread of a matching colour is best here. Better yet, go all the way with kevlar thread for the best strength. (UHMWPE is even stronger against shear, but kevlar is better at dealing with friction and impact. I'm overthinking this, the polyester would be fine but hey, what's the point of DIY if you don't overthink things.)

  5. Re-bind the old leather pieces and reassemble the old shinai. Then while the details are still fresh in the mind, sew the plastic leather pieces. I'll also probably reinforce them (see “Open Questions” below). Bind and fit into the new shinai.

  6. Stress test both shinai before bringing them to the dōjo.

  7. Keep using the old shinai to its limit. Every time you pick it up, reflect on the poor animal who underwent a life of constant abuse and an ignominious death merely for human convenience, and how dismissively humankind trivialises the pointless, ongoing atrocity of animal objectification. Then remember that vegans are not immune to the wheel of karma, and every one of us owes our continued existence to the work and suffering and death and life of countless plants and animals and microbes and other beings, and how every piece of luxury we have costs the unsung sacrifice of the working class. Remember that you are not superior to non-vegans, and you probably have your own biases that make ongoing tragedies as invisible to you as the animal industry is to non-vegans. Bearing the full weight of this, treat your old shinai as a priceless treasure; oil and care for it and rotate the slats and sand splinters if they pop. Become an expert in shinai maintenance, until assembling and treating and reassembling feel as natural as waving it around. When the shinai finally gets too beaten up to keep using safely, your fancy one will be waiting, and maybe you'll have earned enough skill to be worthy of the stuff.


Open questions

  1. What exactly are the material parameters of the leather used in tsukagawa? Can we be reasonably sure we match shear strength, etc.? Is it possible to have a vegan shinai pass regulations?

  2. Stretch goal: Can we make a tsukagawa that's not just vegan but plastic-free? Most vegan leathers include at least some plastic, and almost nobody is making rough or suede textures. Amadou (mushroom leather from Romania) is a material that's fully sustainable and low tech, looks wicked cool, and seems plenty frictiony; but it would draw attention, and I think it's not very resistant? Could cork leather be used somehow, at least in the sakishin?

  3. Can we reduce plastic use in the rest of the shinai? Would it be safe to use a plant fibre for the tsuru? Maybe hemp or linen cord, twisted not braided, maybe a notch thicker than usual. Condition it with oil (ideally jojoba or tsubaki) for increased durability, inspect often, and replace at any signs of distress. I have no idea how to test if this is good enough.

  4. People normally don't even try to care for their tsukagawa. If I have to buy leather, even used, I want to give it maximum respect. How do you maintain suede? Is there a way to remove the kendō grease stains? Online sources all agree to keep bleach and water the hell away from it (though when I look it up in Japanese I see people simply spraying theirs with laundry cleaner and brushing with a toothbrush, but it's not like, professional kendō players). In other contexts, people who want to clean oil stains or bleach the tint of suede sneakers use powders: talcum, or bicarbonate, or powdered rosin (colophony). What about maintenance for increased durability, is there anything you can do? Oiling suede just makes it greasy, but wax is a possibility (mokurō? carnaúba?). It's unclear to me whether that would make a tsuka too slippery.

  5. Can I reinforce the tsukagawa for durability? I can't see a reason why not, other than “it's not traditional” or “it will look different”. I bet even the animal suede could be reinforced with sashiko (the stitching not the weaving), but what I'm thinking for the vegan model is: sandwich 3 layers of textile, the polyester suede, then thin linen from a bedsheet, then suede again. The idea is that inner and outer faces are abrasive and grip onto the hands/bamboo, and the inner lining acts as a soft buffer so the suedes don't constantly scratch one another. Linen is my pick because it's thin, soft, strong, and quick-drying. (I personally think kendō uniforms should all be thick linen jersey or sashiori rather than cotton). Then I wouldn't just sew the edges (you don't want any of the layers moving against one another) but bind the entire surface with a small sashiko cross pattern (jūjizashi). If you never handled a sashiko patch before, it's kind of magic how much tougher and more resistant it makes a textile, to interweave it with thread. I'm willing to bet that a material prepared like this would last longer than a normal tsukagawa, and it would look pretty and Japanese too. Maybe a bit too pretty, but if you match the thread colour to the polyester suede, I bet people wouldn't even notice the grid lines unless they paid close attention.

For now all of this is just ideas; I’ll simply accept my sadness and buy an used shinai from someone in my area, get familiar with disassembling it, reassembling it, caring for it. If I ever go ahead with the idea of a polyester tsukagawa, I'll post photos here, as well as the models, dimensions etc.


My current picks

For the leather: Novely Lathen. Mostly because it has a passable look and textured surface, while also providing technical specifications for rub fastness and abrasion (which means they care about it). Sadly they don't seem to make the white colour anymore, but the “silver gray” looks kinda like an used tsukagawa. Their Moers product has heavier grammature, but it seems to be softer to the touch, and the resistance numbers are slightly lower.

For the shinai bamboo: Onimaru kotōgata (local seller).

This is a kotō or “old sword” shape shinai, made with the resistant madake banboo. Kendō players who focus on competition usually prefer dobari, or “belly out” shape, which puts more weight near the handle, making for quick movements of the tip. A kotō-gata is at the opposite end of the spectrum; the weight is distributed along the length, making it comparatively heavier at the tip. The handling that results is more technical, and closer to how a sword feels. Dobari are easier to combo, to react quick with a snappy tip; kotō favours well-timed, single, decisive strikes.

Again, all of this is overkill for someone at my level, the details don’t matter so much for casuals. But there are some desirable traits outside of competition; the balanced shape is more durable, and the heavier tip forces you to swing nice wide arcs with good form, being therefore of pedagogical value. It's also good for people like me who are interested in koryū, HEMA etc.; more skill transfer.

I don't particularly like that it's a tsukafuto (thick handle), and ideally would prefer something like Sumire, a shinai that’s woman-sized and even more “kotō” than most kotō. But I'm limited in what I can access within the EU, and even if I paid import taxes from Japan I can't find Sumire sold bamboo-only anyway. And yeah, my grip strength can't compare to men’s, but I do lift weights and I'm tall with large hands for a woman, I think I can handle a size-39 thicc bottom. It's not like I'm aiming to be the ZNKR champion after (re)starting kendō at 42 years old and training once a week. The purpose of kendō is, quote, “to encourage the practitioner to discover and define their way in life through training in the techniques of Kendo”, endquote; this is me discovering & defining my way of life.

 
Weiterlesen...

from small medic mini-blog

you learn a sort of patter in paediatrics – simple to understand, non-threatening ways to explain the sometimes uncomfortable things you have to do. I came across some remarkably unfriendly things the other day.

  • is your [accompanying adult] normal? (why would you ask this.)
  • [while looking in a child's ear] we're just going to look for spiders!

????!

 
Read more...

from elilla & friends’ very occasional blog thing

Lately the bottoms I've had the privilege of bedding all have described my fingers with the word “magic”, so I figured I must be doing something right. Might as well write down what I've learned from a lifetime of chasing skirt. My experience, while like, considerable, is of course not universal; bodies work differently, there’s no fixed sex manual, et cetera usw. All of the following applies alike to cis women, trans women with neovag, enbies, and transmasc folk with hole, with little difference—neovag tends to need more care for girth and depth of penetration, and androgenic HRT tends to yield plump, sensitive clitorises; that's about it. Some people easily get super wet, others barely even moist, some people prefer this or that type of stimulation, some orgasm, some don't; but in my experience these traits have much more variation within the genders than between them.

An image of a handful of white lilies in black-white with subtle sepia tones, blurry in unusual ways and marked by dotted noise patterns  and white dots and various imperfections. The flowers are long and tube-shaped, opened to various degress. Daguerreotype: Arai Takashi, “Ōsaka-yuri 2,” 2008.

Content notes for this piece: Explicit discussion of sex; historical lesbian art, some of it graphic; BDSM mentions.

When I think of folk I've been with who were equipped with a vagina, almost all can be clearly classified into two general types: the clitoris-oriented, and the penetration-oriented. Those who primarily like clitoral stimulation usually also like penetration but are kinda meh about it, and won't, like, chase it on their own initiative. And vice-versa for penetration enjoyers.

A clitoris-oriented bottom likely will enjoy oral sex a lot, as well as clit toys (vibrators, suction devices, pain tools if they're a masochist). When doing penetration, it always pays off to find ways to simultaneously stimulate the clit. If you're doing PIV, for example, you can “ride them high”—lie on top of them to fuck face-to-face, pushing your body up so that your cock or strap-on is pressed from the inside towards their belly button, and move your body in such a way that your abs rub against their clit. You can also use rabbit-type cock sleeves, hold a vibrator between you etc. If doing fingerfucking, you can tongue the clit at the same time you penetrate them, or do a pinch grip with fingers going inside and thumb hitting the clit (keep thumb well lubed; if their vag gets wet, adding your saliva is enough).

Bottoms are often subby, and a clit-oriented bottom may see penetration as a thing they do for you, an offering of their body. Depending on their kinks, this may matter for them more than physically getting off from clit rubbing. If you get one of these, I advise you to seek the level of intimacy and trust where you can really let go of the need to make them feel pleasure, where you can black out from all sense and reason and just pound the hole in whichever way makes you get off the most; that ends up being a superb experience for them too.

A penetration-oriented bottom, by contrast, actively craves a hard fuck. They generally want it intense, vigorous, and long-lasting. But you can't just shove it in either, their lust needs to be switched on first. I mean I've been with girls who like, needed to be bred unceremoniously anywhere, in a corner of an empty lot or their home building's stairwell or at a dark corridor at the university; you pull down her panties wherever, and she's instantly ready and eager to take it. This is because they get off on those situations, as a kink. But in most cases, penetrative libido arrives slowly, and it's best to turn on the heat gradually, playing with their body without hurry, until they're coiling and twisting and begging for it. The longer you edge them the better it feels when you finally fuck them.

People who like to be pounded often divide into a few subtypes:

  • G-spot enjoyers: Curve your fingers up inside towards their belly, not too deep in. Feel for a spongy, ribbed texture. Press on their Venus mound from above to increase pressure against your fingertips. Experiment around the area and monitor their reactions. If they say something like, dunno, “oh god oh god fuckfuckfuckfuck”, that's a G-spot enjoyer. I've never found a toy that does this better than my fingers.
  • Cervix bottoms: Constantly yearning for a deep fuck. You can test this by getting two of your longest fingers as deeply inside as humanly possible, pound that a few times, monitor their reactions. If they get off on this, you can go hard and long and rough, but not necessarily fast, certainly not fast from the get-go. Let them feel each plap. This type benefits from dildos and strap-ons.

Be aware that many of these activities aren't for everyone. Most women I've been with find cervix pounding downright unpleasant, except the ones that crave it the way a drowning body craves oxygen. Some folk find G-spot stimulation a disagreeable peeing pressure, not desirable at all. There's no secret here; ask how it usually works for them, experiment with touch, observe, learn the language of their body.


Lesbian erotica from the eighties, showing a butch with a bleach buzz cut curving over a femme dyke who's lying on their lap. The butch is wearing combat boots and pants; the femme wears nothing but boots. The femme arches her back as the butch holds her, one hand under her lower back, another under her neck, and kisses her neck. Photo: Jessica Tanzer's “Bear and Aphra”, for the magazine “On Our Backs”, 1989.

For every type of bottom mentioned so far, once you find that one thing that hits the spot, they'll be wanting a lot of it. Like a lot a lot. Be prepared to do it until your hands hurt, until your arms ache with spasms and cramps, until your jaws are so tired you can't speak. Then keep going anyway. Take short breaks when you need it, snuggle them a bit, then continue. These long sessions of lesbian intimacy, weaving in and out of sex, with no clear boundary between fucking and cuddling, each aftercare snuggle doubling as foreplay for next round, lasting four, five, six hours nonstop are the best thing in the world in my opinion… Be ambidextrous, when one hand can't go on switch with the other. Or when one hand is tired, try holding its wrist with the other hand and keep pounding it as you would a toy (this also allows to increase the intensity, so instead of feeling the stimulus weakening when you tire, they'll gasp with the new wave of pleasure). When tonguing, try various different movements—circular, lateral, vertical; at varied spots; with and without suction; with hard suction—and once you find something that makes them spasm with pleasure, do a lot of that thing, for a very long time.

Keep every fingernail of both hands trimmed as short as possible. (“Oh no but she's straight, I'm just visiting my friend”—trim those nails first. “It's a company party, it's not like my coworkers would—” trim your nails. “He's not into it actually, we do shibari nonsexually”—trim those nails before the shibari. “Ew no it's a political protest not a hookup spot, it would be #problematic of me to flirt, these are just comrades”—trim. those. goddamn. fucking. nails before you put one fucking foot outside your house. Trust me on this one.)

If your bottom is both able to orgasm and needing to come, then your forearms will cramp like mad and your jaw will get unbearably painful right when they're about to climax. This is a law of physics. Keep going anyway. Ramp it up.

The key is to enjoy fucking them. If you actively get off doing their holes, you'll never get bored no matter how many thousand times you repeat the exact same movement. In other words: be a top +.★(UωU ).*o☆

You can increase the speed of stimulation gradually over time, but—don't rush to this. Too much speed easily gets unpleasant. Marathon not sprint, et cetera.

A further word on orgasms: Not everyone orgasms. Among people who do, not everyone wants to orgasm. Even if they do, they may prefer for it to be pushed off for as long as possible. Some people can masturbate themselves to orgasm, but never come when stimulated by others. And some would, in fact, prefer if you make them come hard before you're done for the night. You have to talk about this, and ask how it works for them. I advise always looking beyond orgasm-oriented sex, as it opens new, wide and spacious vistas. People with vaginas who can orgasm usually do it through clitoral stimulation; a few can orgasm from penetration but that's not very common at all. Magic wands often (not always!) can induce orgasm; some bottoms actively dislike this about wands, it's too much too strong then over too fast.

(Always get the cable-powered magic wands. In my experience girldick tends to take better to the Hitachi/Europe Magic Wand (greater head travel), while factory-installed clitoris tends to do better with the Doxy (greater speed of vibration). I don't have enough data on neovag to observe a preference trend. Fundraise an Europe MW for us, and I'll report what my girls say about the Europe MW vs. my trusty ol' Doxy-sempai.)


A classical Japanese woodblock print. It's an explicit scene of two naked women having sex, in between richly textured bedcovers. One wears a huge dildo strapped to a waist belt; the other is grabbing and pulling the dildo. The top is delicately holding a tin of lubricant. Their dialogue is traced in cursive hentaigana above their heads. Woodblock: “Fumi-no-kiyogaki”, by Chōkyōsai Eiri (1801). The top is saying: “Seeing as we’re going to do it like this, I’ll put lots of the cream on it. So really make yourself come. Without the cream this big one would not go in.”

The last subtype is size queens. These will not reach a truly transcendental experience with soft girlcock. Probably not with hard mancock either, for that matter. To top one of these we don't just want length; we want, crucially, girth. With fingers, you'll be working towards fisting; with straps, towards dilating onto thicker and thicker dildos, until they're scarily massive. Size queens function much like masochists, they're tough as nails and proud of the extremes they can get to, and enjoy the process of always pushing those boundaries further. Your role is to be the pusher, to find a pace that's neither boring nor unbearable .

I can't write a full guide to fisting here, but there's a ton of info online. The key is to study it well, then take it easy. Go slow, enjoy the process. If both of you end every session thinking you could have gone further that's great, it means you have a reason to meet up again. Get familiar with fisting lube (it's basically lube by the buckets; you'll need all of them buckets). Learn about safety. Imagine the worst happened and you do serious damage, assume there's heavy bleeding, panic etc.: what would you do next? Study and prepare for the worst possible accident before it happens, then do the work so it doesn't happen.

Almost everything you learn from fisting guides will also apply for dilating onto bigger dildos. Learn also about anal sex if you haven't; at big sizes a lot of it is similar, how to keep it pleasurable even when constantly pushing the limits. Keep adding lube and keep working with their psychology; at challenging levels of penetration, it all rides on their internal relaxation, their comfort and trust, their welcoming of you.

(As an example of what this can look like, a thing I've done a few times to cuddly bottoms during genital penetration, when they have trouble with my girth, goes like this: I will start with a finger, then two, maybe a lubed three, then just tease with the tip of my cock, and all the while I'm cajoling them in a sweet syrupy voice, “oh this feels so good, you feel so good, dang look at this juicy bod, you're making me so happy right now, you're great at this, you know?...” then as I push just the tiniest bit in, I started getting more suggestive like, “you're doing so good, you can take more, right? for me?, yes that's it, relax, I know you can do it, I won't hurt you don't worry, let me, you can stop at any time, just let me in, it will feel so good to be all the way in, yes relax and let me”... then when I feel like they're ready for it, I switch brusquely into a low dommy voice, clear imperative in command: “Let me”. At this their canal instantly relaxes and opens itself for my cock like a flower to the morning sun. This gets me off like, so much.)


An ancient painting, probably Persian, of two women having sex in a luxurious setting. The bottom is femme, and is wearing rich, sensual clothes while leaving her breasts and vulva fully exposed. She holds her legs up for penetration, reclining against some pillows. The top is dressed in a more masculine way, with shaved forehead, but also exposing her breasts with the same type of lingerie. She's pulling the string of a bow with both hands, lodging the bow against her feet. Instead of an arrow, the bow is loaded with a dildo, about to be shot point blank into the bottom's exposed vulva. The bottom seems pretty eager to try this out. Painting: Believed to be from the Puruṣāyita (“virile behaviour in women”) chapter of a Persian translation of the Indian Kokaśāstra (11th century). The Persian manuscript is lost at the Bibliothèque nationale de France since 1984. The butchy top with the bow-dildo in the painting is believed to be a female harem bodyguard, said in the Kāma Sūtra to practice puruṣāyita; the bow was their prescribed weapon. Puruṣāyita in the Sanskrit originals clearly refers to the use of dildos between women, but English (male) translators often render it as a woman heterosexually riding a man. Source: Penrose, “Postcolonial Amazons”.

Do keep in mind that this entire guide is just like, generalisations from experience that I use as rough roadmaps when getting to know a new partner. There's infinite individual variation. Maybe someone loves a deep fuck but hates penetrative toys of any kind, or thrives on a clitoral suction device at the same time as being fucked, and so on. I've been with masochists who hate being spanked with something inside them, and others who can only really enjoy penetration with that extra spice. You always need to stay open and curious, to talk, experiment, observe.

 
Read more...