Pertama—Lebaran Keluarga Julian
Suasana lebaran siang itu masih tampak ramai di kediaman orang tua Julian, ada keluarga dari Ibunya Julian dan juga dari pihak Bapaknya. Mereka semua berkumpul jadi satu di ruang tamu, berbincang banyak hal tentang kabar, tentang karir, tentang rencana-rencana masa depan dan enggak lepas dari acara arisan dua bulan lagi yang akan segera di adakan.
Keluarga Julian itu hubungannya erat banget, walau mendingan Bapaknya sudah tidak ada, Hubungan Ibu dan keluarga dari Suaminya itu masih terjalin baik. Mereka rutin bertukar kabar atau bahkan saling berkunjung.
“Lucu yah, umur berapa ini?” tanya Ibu pada sepupu Julian dari pihak Bapak yang baru saja datang.
Namanya Aleya, hanya beda satu tahun dengan Julian. Aleya sudah menikah lebih dulu dari Julian, kira-kira setahun yang lalu. Ara juga enggak ingat betul karena waktu itu dia sedang hectic dengan S2 nya.
“Bulan depan udah mau 10 bulan, Tante,” Ucap Aleya.
Anaknya perempuan, rambutnya tebal dengan mata bulat dan pipi tembam. Kalau Ara perhatikan wajahnya lebih dominan ke Ayahnya. Kalau untuk urusan kulit dan bibirnya itu memang lebih mirip dengan Aleya. Aleya itu kulitnya putih dan bibirnya kecil, kalau kata Julian, Aleya kecil itu mirip banget sama boneka. dulu mereka dekat tapi seiring berjalannya waktu dan mereka tambah dewasa hubungan itu jadi renggang, Ara sih mikirinya mungkin karena sudah jarang bertemu juga.
Ini ketiga kalinya Ara bertemu sama Aleya, waktu itu pertama kali ia bertemu dengan Aleya waktu Julian mengenalkannya ke keluarga besar, yang kedua saat Aleya menikah dan yang ketiga sekarang ini. Saat lebaran, keluarga dari pihak Ibunya Julian itu cuma Budhe Lasmi. Beliau enggak punya anak, rahim nya di angkat. Makanya Budhe Lasmi sudah menganggap Julian dan Andra seperti anaknya sendiri.
Kalau dari keluarga Bapaknya Julian itu ada dua orang sepupunya, ada Aleya dan Indra. Tapi hari ini hanya Aleya yang datang karena Indra tinggal di Lombok bersama keluarga dari pihak Istrinya. oh iyia, Bapaknya Julian itu anak kedua dari dua bersaudara bisa di bilang keluarganya Julian juga bukan keluarga besar. gak kaya keluarga Ara yang tiap lebaran tuh rame banget.
“Lucu, namanya siapa, Le?”
“Nama nya Aminah, Tante.” cicit Aleya menirukan suara bayi.
Ara hanya tersenyum, tiap kali melihat bayi dia cuma bisa berharap jika suatu hari nanti ia dan Julian juga bisa cepat memiliki momongan kelak. Bukan hanya Ibu nya Julian saja yang sudah berharap, tapi Papa juga sudah bertanya kapan Ara segera hamil.
“Ra, coba deh kamu gendong sih Aminah, kali aja nanti ketularan cepat hamil juga.” celetukan yang berasal dari bibir Budhe Lasmi itu membuat Ara menoleh ke arahnya, lamunannya akan ucapan Papa yang kerap kali bertanya tiap Ara dan Julian berkunjung itu pecah begitu saja.
“Ah.. Engg..gak, Budhe. Enggak berani gendong bayi.” Ara menolak bukan karena dia enggak mau, dia emang takut gendong bayi. Apalagi umurnya belum ada satu tahun. Ara takut bayinya menangis, atau bahkan terkilir karna dia salah posisi saat menggendong. Entahlah, Ara merasa dia enggak punya jiwa keibuan.
“Loh, yah makanya itu belajar dari sekarang, toh. nanti kalau hamil, terus melahirkan kan kamu udah enggak canggung lagi waktu gendong bayi.”
Ara menunduk, ia merasa terpojokkan dengan posisinya. Ia melirik Julian yang masih asik berbincang di teras bersama Pakdhe nya. Enggak mungkin dia manggil Julian hanya karena perkara gendong bayi aja kan? Pikir Ara. lagi pula gak ada salahnya juga dia gendong Aminah sebentar.
“Hhm..” Ara meringis, dia enggak tahu mau jawab apa.
“Mbak mau gendong Aminah? Gapapa kok, Mbak. Nanti Aleya ajarin.”
“Ah?” Ara melirik Ibu mertua nya itu yang berada di sebelahnya, Ibu hanya tersenyum dan mengangguk kecil mengiyakan. Kalau sudah begini mau enggak mau Ara hanya bisa manggut, enggak enak rasanya menolak. Lagi pula Budhe Lasmi ada benarnya juga, dia harus belajar tentang tata cara menggendong dan merawat bayi, kelak ia juga akan menjadi seorang Ibu dari anak-anaknya Julian.
“Gapapa nih?”
“Loh, gapapa, Mbak.” Aleya memberikan Aminah yang sedang asik memegangi biskuit bayi di tangannya itu ke gendongan Ara. “Biar Mbak sama Mas Ijul cepet di kasih momongan,” bisik Aleya di telinga Ara. Wanita itu juga tersenyum ramah.
Jauh di luar dugaan Ara, Aminah tampak tenang di dalam pangkuannya. Anak itu bahkan tersenyum ke arahnya, telat Ara menyadari jika hatinya menghangat begini kah rasanya kalau jadi Ibu?
Kalau di tanya kenapa Ara belum hamil juga di saat pernikahannya sudah berjalan selama enam bulan ini, tentu aja Ara enggak tahu. Dia dan Julian sama sekali enggak menunda untuk memiliki momongan, berbagai cara juga sudah Julian dan Ara lakukan.
Tapi memang sepertinya Tuhan belum memberikan kepercayaan sama Julian dan Ara. toh, Cobaan ini tidak membuat mereka putus asa, mereka menanggapi segala hal dengan berpikir positif. Seperti yang Julian pernah bilang, Tuhan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk berduaan, belajar banyak hal, mengunjungi banyak tempat dan menata karir serta financial mereka.
Kelak, di waktu yang tepat mereka akan segera memiliki anak dengan segala hal yang sudah siap, yup. Ara dan Julian meyakini hal itu. Sejauh ini Julian dan Ara masih bisa di bilang merintis karir mereka, Julian yang sibuk di kantor sebagai seorang Research & Development di sebuah perusahaan brand skincare dan make up, sedangkan Ara masih mengurus segala kesiapannya sebagai seorang psikolog klinis sembari terus membuat konten edukasi kesehatan mental di kanal Youtube nya.
“Tuh kan, Aminah aja anteng sama kamu. Udah cocok loh kamu, Ra. Gendong anak, kamu sama Julian tuh sudah menikah 6 bulan kan? Aleya saja begitu menikah langsung hamil, kamu sih sama Julian sama-sama sibuk.”
Celetukan dari Budhe Lasmi itu berhasil membuat hati Ara tersayat, Budhe Lasmi enggak tahu apa-apa tentang rumah tangganya dan Julian. Memang salah kalau ia dan Julian sibuk? Toh mereka sibuk pun ada hasilnya, mereka sedang menyiapkan masa depan untuk mereka dan juga anak mereka kelak.
“Yah wajar loh, Budhe. Mbak Ara sama Mas Ijul kan baru nikahnya 6 bulan bukan 6 tahun, kalau Aleya langsung hamil kan karna Aleya enggak kerja. Waktu nya lebih banyak di rumah, justru Mbak Ara keren lagi Budhe, jaman sekarang kan lagi ngetrend cewe kerja.” Aleya tahu Ara punya kanal Youtube dan tahu betul bagaimana Istri dari sepupunya itu merintis karir, Aleya menjadikan Ara sebagai role modelnya walau ia sendiri enggak setangguh Ara dalam merintis karir nya. Aleya ini tipe perempuan yang lebih senang di rumah dan nurut apa kata Suami.
“Yah ini, buktinya. Gak hamil-hamil kan, Karena apa? Karena dia kecapekan. Coba deh, Ra. Kamu fokus sama rumah tangga kamu dulu, Julian kan sudah sibuk, kamu yang harus nya ngalah. Kodrat istri kan di rumah ngurus Suami dan anak, kalau kamu keluyuran sibuk kerja mulu yang ngurus Julian siapa? Mau kamu sibuk terus, dan gak hamil-hamil?”
Ara menahan nafasnya, hatinya benar-benar sakit dengar ucapan dari Budhe Lasmi. Tapi buat melawan pun rasanya Ara enggak punya tenaga, di juga sungkan sama mertua nya takut di cap sebagai menantu yang enggak sopan dan gak memberikan contoh yang baik.
“Iya, Budhe.” jawab Ara sekena nya. perasaanya udah enggak karuan banget.
“Gapapa, Mbak. Saya malah senang Ara sama Julian fokus karir nya dulu, nanti kalau sudah waktunya juga mereka di kasih momongan kok. Semua kan ada waktunya yah, Ra.” Ibu mengusap bahu menantunya itu, Ibu tahu topik ini pasti membuat Ara enggak nyaman. Terlihat dari bagaimana Ara menanggapinya dan raut wajah wanita itu yang tidak seramah biasanya.
“Tapi kamu sudah pingin sekali nimang cucu kan? Gak ada salahnya loh, Ra. Ngalah sama Suami, surga kamu tuh ada di Suami kamu loh—”
“Aleya, maaf. Aku mau ke toilet dulu.” Ara buru-buru bangkit dari sofa tempatnya duduk dan memberikan Aminah ke gendongan Aleya lagi.
“Buk, Ara ke toilet dulu yah, kebelet.”
“Iya, Nak.” Ibu mengangguk dan membiarkan Ara pergi dari ruang tamu.
Setelah di rasa Ara sudah masuk ke dalam toilet, Ibu menggeleng kepalanya pelan. Ibu tahu mungkin ucapan Budhe Lasmi menyinggung hati menantunya, ucapan Budhe Lasmi benar. Ibu memang sudah mendambakan cucu dari Julian tapi Ibu juga menghargai keputusan Ara yang tetap memilih bekerja. Ibu bangga sama menantunya yang produktif itu.
Ibu juga mencoba untuk tetap bersabar sampai suatu hari Ibu mendapat kabar kalau kelak akan memiliki cucu. Lagi pula, pernikahan Julian sama Ara itu belum lama enam bulan belum mendapati kabar hamil itu masih hal yang wajar.
“Mbak, jangan begitu sama menantuku. Kasihan Ara,” Ibu menegur Mbak nya itu.
“Aku cuma menasihati Ara dengan maksud baik sama dia loh, Elizza. Lebih baik kamu suruh menantumu itu periksa kesehatan, aku enggak ingin musibah yang menimpaku, menimpa Julian juga.”
Ibu mengangguk, walau maksudnya baik tapi tetap saja Ibu enggak setuju dengan kata-kata Mbak nya itu. Menurutnya ucapannya terdengar kasar dan memojokkan Ara, Ibu saja yang mendengarnya tidak nyaman apalagi Ara yang memang ucapan itu di tujukkan untuknya.
Setelah dari kamar mandi, Ara enggak kembali lagi ke ruang tamu. Dia kembali ke kamar Julian dan menangis sejadi-jadinya di atas ranjang tua yang menjadi saksi perjalanan hidup Julian selama hampir seperempat abad ini. Ucapan dari bibir Budhe Lasmi itu terngiang di kepalanya.
Apa salahnya jika seorang Istri bekerja dan menata karir yang sama? Toh Julian enggak pernah keberatan dengan keputusannya. Apa ini semua salahnya jika enam bulan pernikahannya dengan Julian ia belum di karuniai anak?
“Sayang? Kok di kunci pintunya?”
Sedang merasakan sesak di dadanya yang menggebu, ia mendengar ketukan pintu di iringi suara yang berasal dari luar sana. Itu Suaminya, Ara memang mengunci pintu kamar Julian agar enggak ada yang masuk sembarangan. dia sebenarnya lagi enggak mau di ganggu.
Ara bangkit dari ranjang itu dan menghapus air matanya, matanya masih sembab. Ia masih ingin menangis namun Suaminya itu memanggilnya. Enggak enak kalau Julian teriak-teriak minta bukain pintu, ia gak ingin menyita perhatian keluarga Julian.
“Sayang kenapa? Kok nangis?” tanya Julian begitu ia masuk dan melihat mata Ara yang memerah. Enggak lupa dia tutup pintunya dulu dan menguncinya. “Hei?”
“Apasih!! Sana ah!” pekik Ara, dia menjauhkan tangan Julian yang ingin menghapus air matanya. Rasanya kaya kesal dan sedih, walau ini bukan salah Julian juga tapi rasanya Ara pengen melampiaskan kekesalannya itu, mungkin juga hari ini ia jauh lebih sensitif karena datang bulan pertama nya hari ini. Perutnya nyeri di tambah lagi dengan ucapan Budhe Lasmi yang memperkeruh suasana hatinya.
“Kok marah sih, kenapa hm?” Julian jongkok di depan Ara yang duduk di ranjangnya.
Menatap Istrinya itu yang menyembunyikan wajahnya di balik tangannya, Ara menangis lagi. Julian enggak mau banyak nanya dulu, jadi ia biarkan Ara menangis sampai lega. Julian akan menunggu sampai Ara merasa lebih baik dengan memijat-mijat kaki istrinya itu. Setelah di rasa sudah puas menangis, Ara menghapus jejak air mata di pipinya. Ia sudah siap menumpahkan segala kekesalannya dengan Budhe Lasmi barusan.
“Budhe kamu tuh kenapa sih! Nyebelin tau gak.” hardik Ara pada Julian, padahal itu kan bukan salahnya.
“Kenapa hm?”
“Dia.. Nyalah-nyalahin aku gak hamil karena sibuk keluyuran kerja. Emangnya itu salahku? Emang dia pikir aku gak mau apa cepat-cepat punya anak? Emangnya dia pikir belum hamil di umur pernikahan kita yang baru 6 bulan itu aneh? Dasar pemikirannya kolot!!”
Julian dengerin aja sambil manggut-manggut, dia paham Budhe Lasmi seperti apa karna bukan hanya Ara yang mendapatkan ucapan seperti itu. Julian pun juga sama, meski mengganggunya Julian enggak banyak berucap apa-apa, ia hanya mengiyakan saja ucapan itu. Julian enggak mau ambil pusing dengan capek-capek meladeni. “dia bilang kodrat istri itu di rumah ngurusin Suami, aku itu Istri kamu bukan pembantu kamu!!” Ara beneran tersinggung banget sama ucapan Budhe Lasmi barusan, menurutnya ia dan Julian bisa saling mengurus satu sama lain.
“Gak ada yang salah, sayang. Kan aku bilang Tuhan itu lagi ngasih banyak waktu buat kita pacaran. Lagian, aku justru senang kamu sibuk kerja dari pada di rumah terus kan? Kalau Istri aku sukses kan aku juga yang bangga.”
“Iya tapi Budhe kamu tuh nyalahin aku terus!!” rengek Ara, dia mukul bahu Julian dengan gemas. Kalau bisa mukul Budhe Lasmi pasti dia udah pukul kok, tapi Ara kan gak mau kurang ajar.
“Maafin Budhe aku yah, aku tau kamu sakit banget dengarnya. Tapi, jangan di peduliin yah? Aku tau mungkin maksud dia baik dan cuma caranya aja yang salah, yang tau gimana kamu itu kan aku. Aku enggak masalah kamu belum hamil, Ibu pun juga begitu. Kita jalanin dulu aja yang sekarang yah, waktu berduaan kita tuh bisa kita manfaatin sama banyak hal.”
Ara masih sesenggukan tapi dengar ucapan Julian itu nenangin hatinya banget, akhirnya dia beringsut memeluk Suaminya itu erat. Selalu deh kalau habis marah-marah sama Julian gini dia langsung ngerasa bersalah.
“Maafin aku yah, Mas.”
“it's okay, sayang. Jangan nangis lagi yah, masih sakit gak perutnya?” Julian tau banget kalau tiap datang bulan tuh Ara pasti ada di fase mood swing kaya gini karena perutnya yang nyeri.
“Masih, makanya aku mau tiduran aja.”
“Aku bikinin air jahe yah? Mau aku ambilin cake sekalian?”
Ara menggeleng, “gausah, Air jahe aja.”
“Yaudah, tunggu sebentar aku buatin dulu yah.”
Ara mengangguk, dia tersenyum samar. Beruntung banget rasanya punya Suami kaya Julian yang selalu berusaha mengerti kondisinya. Termasuk nanggapi rajukkannya, Julian tuh sabar banget. Bukan cuma bisa jadi Suami buat Ara, Julian juga jadi sahabat dan partner terbaik yang dia punya.
“Makasih yah, Mas.
Julian senyum dan mengusap pucuk kepala Istrinya itu. “Sama-sama sayangku, tiduran gih. Nanti aku pijitin.”