Almost ☑

Ruruhaokeai, Lee Juyeon, Lee Jaehyun, Choi Yoonji, Kim Jungwoo, Kevin Moon, Ji Changmin, Nakamoto Yuta and Kim Sihyeon

Suasana lebaran siang itu masih tampak ramai di kediaman orang tua Julian, ada keluarga dari Ibunya Julian dan juga dari pihak Bapaknya. Mereka semua berkumpul jadi satu di ruang tamu, berbincang banyak hal tentang kabar, tentang karir, tentang rencana-rencana masa depan dan enggak lepas dari acara arisan dua bulan lagi yang akan segera di adakan.

Keluarga Julian itu hubungannya erat banget, walau mendingan Bapaknya sudah tidak ada, Hubungan Ibu dan keluarga dari Suaminya itu masih terjalin baik. Mereka rutin bertukar kabar atau bahkan saling berkunjung.

“Lucu yah, umur berapa ini?” tanya Ibu pada sepupu Julian dari pihak Bapak yang baru saja datang.

Namanya Aleya, hanya beda satu tahun dengan Julian. Aleya sudah menikah lebih dulu dari Julian, kira-kira setahun yang lalu. Ara juga enggak ingat betul karena waktu itu dia sedang hectic dengan S2 nya.

“Bulan depan udah mau 10 bulan, Tante,” Ucap Aleya.

Anaknya perempuan, rambutnya tebal dengan mata bulat dan pipi tembam. Kalau Ara perhatikan wajahnya lebih dominan ke Ayahnya. Kalau untuk urusan kulit dan bibirnya itu memang lebih mirip dengan Aleya. Aleya itu kulitnya putih dan bibirnya kecil, kalau kata Julian, Aleya kecil itu mirip banget sama boneka. dulu mereka dekat tapi seiring berjalannya waktu dan mereka tambah dewasa hubungan itu jadi renggang, Ara sih mikirinya mungkin karena sudah jarang bertemu juga.

Ini ketiga kalinya Ara bertemu sama Aleya, waktu itu pertama kali ia bertemu dengan Aleya waktu Julian mengenalkannya ke keluarga besar, yang kedua saat Aleya menikah dan yang ketiga sekarang ini. Saat lebaran, keluarga dari pihak Ibunya Julian itu cuma Budhe Lasmi. Beliau enggak punya anak, rahim nya di angkat. Makanya Budhe Lasmi sudah menganggap Julian dan Andra seperti anaknya sendiri.

Kalau dari keluarga Bapaknya Julian itu ada dua orang sepupunya, ada Aleya dan Indra. Tapi hari ini hanya Aleya yang datang karena Indra tinggal di Lombok bersama keluarga dari pihak Istrinya. oh iyia, Bapaknya Julian itu anak kedua dari dua bersaudara bisa di bilang keluarganya Julian juga bukan keluarga besar. gak kaya keluarga Ara yang tiap lebaran tuh rame banget.

“Lucu, namanya siapa, Le?”

“Nama nya Aminah, Tante.” cicit Aleya menirukan suara bayi.

Ara hanya tersenyum, tiap kali melihat bayi dia cuma bisa berharap jika suatu hari nanti ia dan Julian juga bisa cepat memiliki momongan kelak. Bukan hanya Ibu nya Julian saja yang sudah berharap, tapi Papa juga sudah bertanya kapan Ara segera hamil.

“Ra, coba deh kamu gendong sih Aminah, kali aja nanti ketularan cepat hamil juga.” celetukan yang berasal dari bibir Budhe Lasmi itu membuat Ara menoleh ke arahnya, lamunannya akan ucapan Papa yang kerap kali bertanya tiap Ara dan Julian berkunjung itu pecah begitu saja.

“Ah.. Engg..gak, Budhe. Enggak berani gendong bayi.” Ara menolak bukan karena dia enggak mau, dia emang takut gendong bayi. Apalagi umurnya belum ada satu tahun. Ara takut bayinya menangis, atau bahkan terkilir karna dia salah posisi saat menggendong. Entahlah, Ara merasa dia enggak punya jiwa keibuan.

“Loh, yah makanya itu belajar dari sekarang, toh. nanti kalau hamil, terus melahirkan kan kamu udah enggak canggung lagi waktu gendong bayi.”

Ara menunduk, ia merasa terpojokkan dengan posisinya. Ia melirik Julian yang masih asik berbincang di teras bersama Pakdhe nya. Enggak mungkin dia manggil Julian hanya karena perkara gendong bayi aja kan? Pikir Ara. lagi pula gak ada salahnya juga dia gendong Aminah sebentar.

“Hhm..” Ara meringis, dia enggak tahu mau jawab apa.

“Mbak mau gendong Aminah? Gapapa kok, Mbak. Nanti Aleya ajarin.”

“Ah?” Ara melirik Ibu mertua nya itu yang berada di sebelahnya, Ibu hanya tersenyum dan mengangguk kecil mengiyakan. Kalau sudah begini mau enggak mau Ara hanya bisa manggut, enggak enak rasanya menolak. Lagi pula Budhe Lasmi ada benarnya juga, dia harus belajar tentang tata cara menggendong dan merawat bayi, kelak ia juga akan menjadi seorang Ibu dari anak-anaknya Julian.

“Gapapa nih?”

“Loh, gapapa, Mbak.” Aleya memberikan Aminah yang sedang asik memegangi biskuit bayi di tangannya itu ke gendongan Ara. “Biar Mbak sama Mas Ijul cepet di kasih momongan,” bisik Aleya di telinga Ara. Wanita itu juga tersenyum ramah.

Jauh di luar dugaan Ara, Aminah tampak tenang di dalam pangkuannya. Anak itu bahkan tersenyum ke arahnya, telat Ara menyadari jika hatinya menghangat begini kah rasanya kalau jadi Ibu?

Kalau di tanya kenapa Ara belum hamil juga di saat pernikahannya sudah berjalan selama enam bulan ini, tentu aja Ara enggak tahu. Dia dan Julian sama sekali enggak menunda untuk memiliki momongan, berbagai cara juga sudah Julian dan Ara lakukan.

Tapi memang sepertinya Tuhan belum memberikan kepercayaan sama Julian dan Ara. toh, Cobaan ini tidak membuat mereka putus asa, mereka menanggapi segala hal dengan berpikir positif. Seperti yang Julian pernah bilang, Tuhan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk berduaan, belajar banyak hal, mengunjungi banyak tempat dan menata karir serta financial mereka.

Kelak, di waktu yang tepat mereka akan segera memiliki anak dengan segala hal yang sudah siap, yup. Ara dan Julian meyakini hal itu. Sejauh ini Julian dan Ara masih bisa di bilang merintis karir mereka, Julian yang sibuk di kantor sebagai seorang Research & Development di sebuah perusahaan brand skincare dan make up, sedangkan Ara masih mengurus segala kesiapannya sebagai seorang psikolog klinis sembari terus membuat konten edukasi kesehatan mental di kanal Youtube nya.

“Tuh kan, Aminah aja anteng sama kamu. Udah cocok loh kamu, Ra. Gendong anak, kamu sama Julian tuh sudah menikah 6 bulan kan? Aleya saja begitu menikah langsung hamil, kamu sih sama Julian sama-sama sibuk.”

Celetukan dari Budhe Lasmi itu berhasil membuat hati Ara tersayat, Budhe Lasmi enggak tahu apa-apa tentang rumah tangganya dan Julian. Memang salah kalau ia dan Julian sibuk? Toh mereka sibuk pun ada hasilnya, mereka sedang menyiapkan masa depan untuk mereka dan juga anak mereka kelak.

“Yah wajar loh, Budhe. Mbak Ara sama Mas Ijul kan baru nikahnya 6 bulan bukan 6 tahun, kalau Aleya langsung hamil kan karna Aleya enggak kerja. Waktu nya lebih banyak di rumah, justru Mbak Ara keren lagi Budhe, jaman sekarang kan lagi ngetrend cewe kerja.” Aleya tahu Ara punya kanal Youtube dan tahu betul bagaimana Istri dari sepupunya itu merintis karir, Aleya menjadikan Ara sebagai role modelnya walau ia sendiri enggak setangguh Ara dalam merintis karir nya. Aleya ini tipe perempuan yang lebih senang di rumah dan nurut apa kata Suami.

“Yah ini, buktinya. Gak hamil-hamil kan, Karena apa? Karena dia kecapekan. Coba deh, Ra. Kamu fokus sama rumah tangga kamu dulu, Julian kan sudah sibuk, kamu yang harus nya ngalah. Kodrat istri kan di rumah ngurus Suami dan anak, kalau kamu keluyuran sibuk kerja mulu yang ngurus Julian siapa? Mau kamu sibuk terus, dan gak hamil-hamil?”

Ara menahan nafasnya, hatinya benar-benar sakit dengar ucapan dari Budhe Lasmi. Tapi buat melawan pun rasanya Ara enggak punya tenaga, di juga sungkan sama mertua nya takut di cap sebagai menantu yang enggak sopan dan gak memberikan contoh yang baik.

“Iya, Budhe.” jawab Ara sekena nya. perasaanya udah enggak karuan banget.

“Gapapa, Mbak. Saya malah senang Ara sama Julian fokus karir nya dulu, nanti kalau sudah waktunya juga mereka di kasih momongan kok. Semua kan ada waktunya yah, Ra.” Ibu mengusap bahu menantunya itu, Ibu tahu topik ini pasti membuat Ara enggak nyaman. Terlihat dari bagaimana Ara menanggapinya dan raut wajah wanita itu yang tidak seramah biasanya.

“Tapi kamu sudah pingin sekali nimang cucu kan? Gak ada salahnya loh, Ra. Ngalah sama Suami, surga kamu tuh ada di Suami kamu loh—”

“Aleya, maaf. Aku mau ke toilet dulu.” Ara buru-buru bangkit dari sofa tempatnya duduk dan memberikan Aminah ke gendongan Aleya lagi.

“Buk, Ara ke toilet dulu yah, kebelet.”

“Iya, Nak.” Ibu mengangguk dan membiarkan Ara pergi dari ruang tamu.

Setelah di rasa Ara sudah masuk ke dalam toilet, Ibu menggeleng kepalanya pelan. Ibu tahu mungkin ucapan Budhe Lasmi menyinggung hati menantunya, ucapan Budhe Lasmi benar. Ibu memang sudah mendambakan cucu dari Julian tapi Ibu juga menghargai keputusan Ara yang tetap memilih bekerja. Ibu bangga sama menantunya yang produktif itu.

Ibu juga mencoba untuk tetap bersabar sampai suatu hari Ibu mendapat kabar kalau kelak akan memiliki cucu. Lagi pula, pernikahan Julian sama Ara itu belum lama enam bulan belum mendapati kabar hamil itu masih hal yang wajar.

“Mbak, jangan begitu sama menantuku. Kasihan Ara,” Ibu menegur Mbak nya itu.

“Aku cuma menasihati Ara dengan maksud baik sama dia loh, Elizza. Lebih baik kamu suruh menantumu itu periksa kesehatan, aku enggak ingin musibah yang menimpaku, menimpa Julian juga.”

Ibu mengangguk, walau maksudnya baik tapi tetap saja Ibu enggak setuju dengan kata-kata Mbak nya itu. Menurutnya ucapannya terdengar kasar dan memojokkan Ara, Ibu saja yang mendengarnya tidak nyaman apalagi Ara yang memang ucapan itu di tujukkan untuknya.


Setelah dari kamar mandi, Ara enggak kembali lagi ke ruang tamu. Dia kembali ke kamar Julian dan menangis sejadi-jadinya di atas ranjang tua yang menjadi saksi perjalanan hidup Julian selama hampir seperempat abad ini. Ucapan dari bibir Budhe Lasmi itu terngiang di kepalanya.

Apa salahnya jika seorang Istri bekerja dan menata karir yang sama? Toh Julian enggak pernah keberatan dengan keputusannya. Apa ini semua salahnya jika enam bulan pernikahannya dengan Julian ia belum di karuniai anak?

“Sayang? Kok di kunci pintunya?”

Sedang merasakan sesak di dadanya yang menggebu, ia mendengar ketukan pintu di iringi suara yang berasal dari luar sana. Itu Suaminya, Ara memang mengunci pintu kamar Julian agar enggak ada yang masuk sembarangan. dia sebenarnya lagi enggak mau di ganggu.

Ara bangkit dari ranjang itu dan menghapus air matanya, matanya masih sembab. Ia masih ingin menangis namun Suaminya itu memanggilnya. Enggak enak kalau Julian teriak-teriak minta bukain pintu, ia gak ingin menyita perhatian keluarga Julian.

“Sayang kenapa? Kok nangis?” tanya Julian begitu ia masuk dan melihat mata Ara yang memerah. Enggak lupa dia tutup pintunya dulu dan menguncinya. “Hei?”

“Apasih!! Sana ah!” pekik Ara, dia menjauhkan tangan Julian yang ingin menghapus air matanya. Rasanya kaya kesal dan sedih, walau ini bukan salah Julian juga tapi rasanya Ara pengen melampiaskan kekesalannya itu, mungkin juga hari ini ia jauh lebih sensitif karena datang bulan pertama nya hari ini. Perutnya nyeri di tambah lagi dengan ucapan Budhe Lasmi yang memperkeruh suasana hatinya.

“Kok marah sih, kenapa hm?” Julian jongkok di depan Ara yang duduk di ranjangnya.

Menatap Istrinya itu yang menyembunyikan wajahnya di balik tangannya, Ara menangis lagi. Julian enggak mau banyak nanya dulu, jadi ia biarkan Ara menangis sampai lega. Julian akan menunggu sampai Ara merasa lebih baik dengan memijat-mijat kaki istrinya itu. Setelah di rasa sudah puas menangis, Ara menghapus jejak air mata di pipinya. Ia sudah siap menumpahkan segala kekesalannya dengan Budhe Lasmi barusan.

“Budhe kamu tuh kenapa sih! Nyebelin tau gak.” hardik Ara pada Julian, padahal itu kan bukan salahnya.

“Kenapa hm?”

“Dia.. Nyalah-nyalahin aku gak hamil karena sibuk keluyuran kerja. Emangnya itu salahku? Emang dia pikir aku gak mau apa cepat-cepat punya anak? Emangnya dia pikir belum hamil di umur pernikahan kita yang baru 6 bulan itu aneh? Dasar pemikirannya kolot!!”

Julian dengerin aja sambil manggut-manggut, dia paham Budhe Lasmi seperti apa karna bukan hanya Ara yang mendapatkan ucapan seperti itu. Julian pun juga sama, meski mengganggunya Julian enggak banyak berucap apa-apa, ia hanya mengiyakan saja ucapan itu. Julian enggak mau ambil pusing dengan capek-capek meladeni. “dia bilang kodrat istri itu di rumah ngurusin Suami, aku itu Istri kamu bukan pembantu kamu!!” Ara beneran tersinggung banget sama ucapan Budhe Lasmi barusan, menurutnya ia dan Julian bisa saling mengurus satu sama lain.

“Gak ada yang salah, sayang. Kan aku bilang Tuhan itu lagi ngasih banyak waktu buat kita pacaran. Lagian, aku justru senang kamu sibuk kerja dari pada di rumah terus kan? Kalau Istri aku sukses kan aku juga yang bangga.”

“Iya tapi Budhe kamu tuh nyalahin aku terus!!” rengek Ara, dia mukul bahu Julian dengan gemas. Kalau bisa mukul Budhe Lasmi pasti dia udah pukul kok, tapi Ara kan gak mau kurang ajar.

“Maafin Budhe aku yah, aku tau kamu sakit banget dengarnya. Tapi, jangan di peduliin yah? Aku tau mungkin maksud dia baik dan cuma caranya aja yang salah, yang tau gimana kamu itu kan aku. Aku enggak masalah kamu belum hamil, Ibu pun juga begitu. Kita jalanin dulu aja yang sekarang yah, waktu berduaan kita tuh bisa kita manfaatin sama banyak hal.”

Ara masih sesenggukan tapi dengar ucapan Julian itu nenangin hatinya banget, akhirnya dia beringsut memeluk Suaminya itu erat. Selalu deh kalau habis marah-marah sama Julian gini dia langsung ngerasa bersalah.

“Maafin aku yah, Mas.”

it's okay, sayang. Jangan nangis lagi yah, masih sakit gak perutnya?” Julian tau banget kalau tiap datang bulan tuh Ara pasti ada di fase mood swing kaya gini karena perutnya yang nyeri.

“Masih, makanya aku mau tiduran aja.”

“Aku bikinin air jahe yah? Mau aku ambilin cake sekalian?”

Ara menggeleng, “gausah, Air jahe aja.”

“Yaudah, tunggu sebentar aku buatin dulu yah.”

Ara mengangguk, dia tersenyum samar. Beruntung banget rasanya punya Suami kaya Julian yang selalu berusaha mengerti kondisinya. Termasuk nanggapi rajukkannya, Julian tuh sabar banget. Bukan cuma bisa jadi Suami buat Ara, Julian juga jadi sahabat dan partner terbaik yang dia punya.

“Makasih yah, Mas.

Julian senyum dan mengusap pucuk kepala Istrinya itu. “Sama-sama sayangku, tiduran gih. Nanti aku pijitin.”

Kalau kemarin hari pertama Ara dan Julian lebaran bareng keluarga Julian, di hari kedua ini mereka gantian lebaran di rumah Ara, berbeda jauh dari rumah Julian yang kemarin cuma ada Budhe Lasmi dan Pakdhe dari pihak mendiang Bapaknya Julian.

Di rumah Ara itu udah ramai banget, ada Reno, Mas Yuda dan Mbak Ola, ada Tante Riani, Arial dan Gita dan juga Mas Elang dan Mbak Kinasih. Mas Elang ini adalah sepupu Ara dari pihak Papa, sebenarnya sepupunya ada tiga tapi sebagian sudah ada yang pulang atau berkunjung ke pihak keluarga lain.

Begitu Julian sama Ara datang, Mas Elang langsung nyambut sama cengir nya yang sumringah banget, dia lagi duduk di teras sama Mas Yuda yang lagi jagain anak kembarnya itu liatin ikan di kolam.

“Weh, pengantin baru akhirnya sampe juga nih. di tungguin juga dari tadi,” pekik Mas Elang begitu Ara dan Julian turun dari mobil. Mas Elang sama Mas Yuda ini emang dari dulu deket banget, kelakuannya pun hampir sama. Yup, sama-sama bikin pusing orang tua mereka sama kelakuan ajaib nya.

Ara senyum, dia jalan masuk ke teras rumahnya kemudian bersalaman sama Mas Elang dan gak lupa sama Mas Yuda juga, “Iya nih, jalanan masih macet ternyata, terus juga tadi sempat mampir ke makam nya Mbah sama Bapaknya Ijul dulu.”

“Mana titipan Mas?” tanya Yuda begitu Ara selesai salaman sama dia.

“Gak, gak ada. Mas Yud kalo ngerokok diem-diem aku bilangin Mbak Olah loh,” ancam Ara, di jalan tadi Yuda memang mengirimi Ara pesan singkat. Laki-laki itu nitip rokok untuknya dan untuk Elang, tapi enggak Ara beliin, selain malas mampir-mampir dia juga udah di beri pesan sama Mbak Ola buat jangan mau di titipin rokok sama Mas Yuda.

“Ah parah banget sih.” Kedua bahu Yuda merosot, mulutnya udah asam banget. Buat keluar rumah beli rokok pun dia gak berani soalnya dari tadi Istrinya itu mantau dia dari kejauhan terus.

“Pantesan lama, sana masuk dulu. Ola bikin rendang enak banget deh,” kata Mas Elang yang di jawab anggukan oleh Ara.

“Mas, apa kabar?” tanya Julian, dia langsung ikut gabung duduk sama Mas Yuda dan Mas Elang di teras, gak lama ada Papa juga yang nyusul dari dalam rumah. Jadi lah tuh para Bapak-Bapak berkumpul di teras.

Ara langsung masuk ke dalam setelah salaman sama Papa nya dulu, Ara suka heran deh kenapa Julian tuh gampang banget ngobrol sama orang, dari dalam aja dia bisa dengar samar-samar Julian, Papa nya sama Mas Yuda dan Mas Elang ngobrolin tentang bola pasti bentar lagi topiknya udah beda lagi, kadang ngomongin politik, ngomongin KPR, sampe yang paling random mereka pernah cerita tentang Nabi.

“Bun,” Ara salaman sama Bunda nya itu yang lagi nimang anaknya Arial sama Gita, iya Arial sama Gita juga ada di rumah Ara karena Bunda nya Ara itu anak tertua, jadi Tante Riani ngajak Arial sama Gita berkunjung juga.

“Kok sendiri, Kak? Ijul kemana?” tanya Bunda.

“Lagi di luar ngobrol sama Papa, Mas Yud sama Mas El juga, nanti juga masuk kok, Bund.”

Ara duduk di dekat Bunda nya, sofa di ruang tamu itu di geser ke dekat gudang. kalau lebaran gini Bunda emang lebih suka duduk lesehan di bawah pakai karpet soalnya yang datang tuh pasti banyak banget. Dan pasti gak semuanya bisa duduk di sofa, sekalian ngasih spot buat foto keluarga juga jadi lebih lega.

“Haiii Eloise, lagi liatin apa sih kamu tuh.” anaknya Gita sama Arial juga kembar namanya Eloise sama Elios. sepasang gitu beda sama anaknya Mas Yuda dan Mbak Ola yang cewek dua-duanya.

Kalau anaknya Mas Elang sama Mbak Kinasih itu udah besar, namanya Audrey sudah masuk SD. Bocah itu sedang asik nonton kartun di kamarnya Mas Yuda yang kelihatan dari ruang tamu karena pintu nya di buka.

“Lagi liatin boneka, aunty aku habis mam jadi kekenyangan.” Bunda niruin suara anak kecil yang bikin Ara jadi terkekeh.

“Lucu banget sih, gemes!! Ikut aunty yuk nanti aunty beliin biskuit.”

Ara ngulurin tangannya ke Eloise dan bayi itu mengepak-epakan tangannya dengan excited Eloise itu udah kenal Ara, tiap badmood di rumahnya dia suka main ke rumah Arial dan Gita. Jadi bagi Eloise dan Elios, Ara itu bukan orang asing lagi.

Gak lama kemudian dari arah dapur datang Arial yang bawa sepiring mangkuk berisi ketupat dan juga opor ayam, di belakangnya ada Gita juga yang lagi gendong Elios, kayanya Elios habis buang air besar deh soalnya sama Gita tuh enggak di pakein celana.

“Adeknya Mas udah datang aja,” sambut Arial, laki-laki itu duduk di dekat Ara sembari menyantap opor ayam yang ada di tangannya.

“Baru datang, Mas. Mas Iyal sama Gita nginap?”

“Iya, Ra. besok Mas Yud sama Mbak Ola ngajakin ke Dufan. lo ikut kan?” samber Gita.

Lebaran hari ketiga tuh emang biasanya keluarga nya Ara bakalan jalan-jalan, kalau tahun kemarin itu mereka ke Bogor, ada Vila dari keluarga nya Mbak Ola yang udah jarang di pake dan mereka menginap di sana.

“Gak tau nih, gue sibuk banget, Git. besok masih ada kerjaan yang harus di kelarin.” selain sibuk sedang mengurus izin praktiknya sebagai seorang psikolog klinis, Ara juga punya kerjaan sampingan. dia jadi penerjemah bahasa di Korea Indonesia untuk sebuah novel.

“Lah, lebaran-lebaran masih kerja juga??” pekik Arial yang kaget. Kadang kalau liat Ara yang sekarang, Arial suka keinget sama Mama nya yang juga workaholic.

“Iya, Mas. ini tuh harus udah selesai minggu depan.”

“Yah, sayang banget kalo gak ikut, Ra. Ikut lah, baliknya bareng sama gue sama Mas Arial. Kita juga gak lama-lama di Jakarta.” Gita sama Arial ini juga tinggal di Bandung, setelah nikah keduanya memutuskan untuk tinggal di sana. Arial juga bekerja di Bandung.

“Nanti gue liat dulu yah, kalo ikut juga kayanya enggak bisa lama.”

“Gapapa, yang penting ikut!!” ucap Gita excited.

Siang itu mereka kumpul di ruang tengah keluarga Ara, di ruang tengah itu ada Bunda, Tante Riani, Mbak Ola, Gita dan Mbak Kinasih Istrinya Mas Elang sedangkan yang laki-laki itu kumpulnya di depan teras, yang sambil ngerokok walaupun yang ngerokok sih cuma Mas Elang doang. oiya, anak-anaknya Gita, Mbak Ola dan Mbak Kinasih itu udah pada tidur di kamar tamu.

“Tapi gulai buatan kamu tuh enak loh, Git. pantesan aja yah sekarang Arial semenjak nikah tuh jadi gemukan. pipi nya chubby banget beda pas masih bujangan, Istrinya pintar masak sih,” Kata Mbak Kinasih. Jelas Mbak Kinasih tau gimana Arial dulu, soalnya Arial kan memang tinggal bersama keluarganya Ara.

“Makasih, Mbak. nanti deh kapan-kapan kalau kumpul lagi aku bawain lagi sama sekalian aku bikin ayam hainan.”

“Wah, benar yah, Git??!” pekik Mbak Kinasih, Mbak Kinasih ini emang gak jago-jago banget masak, ya kalau sekedar tumis-tumis dia bisa kok. Makanya dia seneng banget kalau di kasih makanan dari Bunda.

“Selain gulainya Gita ada rendang buatan Mbak Ola juga yang enak, mirip masakan Bunda.” di sana yang lagi makan memang cuma Ara, dia belum makan lagi setelah sarapan bareng keluarganya Julian tadi pagi. niatnya sih emang mau makan di rumahnya aja, kangen masakan Bunda.

“Yah jelas, Dek. itu semua kan resepnya dari Bunda,” Mbak Ola terkekeh pelan.

“Kamu lebaran bikin apa Ra di rumah?” kali ini Tante Riani yang bertanya.

“Ara enggak bikin apa-apa, Tan. cuma beli kue kering aja, gak sempat bikin apa-apa.” Ara meringis dia emang gak sempat bikin apa-apa. H-1 lebaran saja Ara itu masih kerja dan ada beberapa video yang harus dia edit sendiri.

Kanal Youtube nya itu sudah punya jadwal upload video, makanya Ara pastikan semua pekerjaannya itu beres tidak ada yang tertinggal sebelum lebaran tiba.

“Sibuk yah? kamu masih aktif di Youtube kan, Ra?

Ara ngangguk, “Masih, Tan. makanya pas H-1 juga aku masih kerja masih harus edit video sama nyelesain terjemahan.”

“Tante dulu suka ikutin konten kamu loh, tapi sekarang udah jarang, abis kalau udah capek sama kerjaan langsung tidur.”

Ara ngangguk-ngangguk aja, Tante Riani itu gak pernah berubah dari dulu tetap jadi workaholic jarang banget Ara liat Tante nya yang satu itu diam istirahat di rumah, kalo pun di rumah pasti ada aja deh yang di kerjain pokoknya aktif banget.

“Ra, Tante senang kamu produktif banget. Tapi jangan lupa bagi waktu buat keluarga juga yah.” niat Tante Riani itu baik banget, dia cuma enggak mau waktu keponakan bersama keluarga nya itu berkurang hanya karena kerja. Tante Riani sudah merasakan sendiri, kehilangan moment-moment penting bersama dengan Arial dan Suaminya dulu.

Tapi mikirin ucapan Tante Riani dan kesibukannya itu rasanya kaya enggak beda jauh sama dirinya sendiri, Ara juga sibuk banget meski sering kali dia lebih banyak kerja di rumah.

Tapi tetap aja kan judul-judulnya dia kerja, gak jarang kadang dia suka masakin Julian makanan instan aja atau banter-banter beli makanan dari layanan pesan antar. Meskipun begitu Julian enggak pernah protes apa-apa kok, kadang kalau dia enggak capek justru Julian yang masak. tapi tiba-tiba aja Ara jadi kepikiran bagaimana jika suatu hari nanti Julian akan muak dengannya dan kesibukan yang ia jalani? pikir Ara.


Malam itu di kamarnya, Ara liatin Julian yang lagi tidur di ranjangnya, Julian kalau tidur tuh ngdengkur kecil persis kaya kucing dan kakinya yang panjang itu suka banget dia taruh di atas kaki Ara, awal-awal sih Ara ngerasa keberatan yah, bayangin aja berat badanya yang cuma 42kg itu harus di tindihin Julian yang badannya berisi banget. tapi lama kelamaan yah dia udah terbiasa juga.

Ara narik nafasnya pelan, dia usap pelan wajah Julian yang tenang itu sembari dia tersenyum, tapi siapa sangka jika gerakan halus itu justru membuat Julian terbangun dari tidurnya. mata sipitnya itu terbuka dan dia tersenyum ke arah Ara.

“Kok belum tidur?” tanyanya dengan suara berat khas bangun tidurnya itu.

“Gak bisa tidur, Mas.”

Julian bergerak memeluk Istrinya itu, membawanya ke dalam dekapannya sembari ia usap-usap punggung kecil itu. “Lagi ada yang di pikirin, Sayang?”

“Mas?”

“Hm?”

Ara mendongak, tangannya yang berada di atas dada Julian yang malam itu tidur hanya dengan kaus oblong tipis itu bisa merasakan bagaimana jantung Suaminya itu berdetak. Julian masih suka deg-deg an tiap kali mereka tidur satu ranjang ternyata.

“Aku boleh nanya sesuatu gak?”

“Tanya apa?”

“Menurut kamu aku over work gak sih?”

Julian menghela nafasnya pelan, matanya melirik ke arah lain kemudian kembali menatap Ara dan menggeleng. “Enggak, kenapa emangnya? Kamu merasa over work?

“Kepikiran aja, kok kayanya aku sampai enggak sempat ngelakuin banyak hal yang di lakuin Ibu rumah tangga pada umumnya pas lebaran.”

Julian mengangkat satu alisnya, “contohnya?”

“Ya.. Kaya masak, bikin kue kering. Masa kamu enggak ngerasa sih, Mas?” Ara tuh sempat mikir mungkin saja Julian keberatan dengan kesibukannya selama ini tapi enggak berani bicara, atau ini hanya asumsi nya saja? Pikir Ara.

“Kan kita juga cuma berdua, lagi pula kita kan lebaran juga di Jakarta. Siapa yang mau makan coba? Di bawa ke Jakarta juga Ibuku masak, Bunda juga masak. Ya kan?”

“Tapi Mas...” Ara diam, entah kenapa rasanya campur aduk banget. Dia kepikiran ucapan Tante Riani dan Budhe Lasmi soal kerjaan nya. Apa benar dia harus sedikit mengalah?

“Kalau menurut Mas, lebih baik aku kurangin kerjaan aku aja gak sih?”

“Kamu keberatan gak? Apa alasannya mau kurangin kerjaan kamu?”

“Aku sejujurnya enggak keberatan, cuma kepikiran aja kok kayanya omongan Budhe Lasmi dan Tante Riani benar. Waktu ku sama kamu tuh kaya kurang.”

“Itu artinya kamu dengarin kata orang, sayangku.” Julian menjawil hidung Ara dengan gemas.

“Ishh.. Mas gak gitu!!” rengek Ara, dia jadi nyubit dada Julian kecil.

“Yaudah-yaudah apa?”

“Aku mau program hamil, aku pikir kesibukan aku itu jadi salah satu faktor kenapa sampai sekarang aku belum hamil-hamil.”

Mendengar ucapan Ara, Julian jadi diam. Ternyata ucapan dari keluarga nya masih menganggu Istrinya itu, Julian cuma mau Ara lakuin apa yang dia sukai. Meski kadang Julian suka sedih kalau Ara suka agak sedikit cuek kalau sudah sibuk dengan pekerjaannya, tapi itu semua enggak jadi masalah karena ketika Ara bekerja. Wanita itu benar-benar menikmatinya.

“Kamu pikir-pikir lagi yah. Kalo menurut aku, kamu mau kurangin enggak masalah. Toh kamu jadi lagi fokus ngejar surat izin praktik kan, apapun yang jadi keputusan kamu. Aku pasti dukung.”

Setelah hampir dua minggu Julian menikmati waktu libur lebarannya, hari ini dia udah mulai masuk kerja lagi. Dia juga udah mulai sibuk berkordinasi sama divisi lain untuk melakukan riset product baru yang akan segera di luncurkan, Julian itu kerja di sebuah perusahaan brand skincare ternama.

Seperti yang sudah-sudah sering di bicarakan publik, baik brand dari skincare dan make up itu sedang berkembang pesat dan terus berlomba-lomba untuk berinovasi mengembangkan product baru, perkembangannya cukup pesat sampai-sampai kadang Julian sendiri cukup hectic melakukan riset mengenai pasar, pengembangan desain product, sampai ke soal anggaran yang di berikan oleh kantor nya.

Kaya sekarang ini, Julian lagi sibuk mendengarkan presentasi dari divisi produksi soal ingredients yang ada di product skincare mereka. Sembari mendengarkan presentasi itu, Julian sembari mencari tahu manfaat dari bahan-bahan yang akan di pakai.

“Apa ada yang mau di tanyakan, Pak?” tanya seorang laki-laki dari divisi produksi yang sedang mempresentasikan ingredients product yang akan mereka gunakan.

“Snail ya?” Julian mengangguk-angguk kecil dan menutup lembaran kertas yang sedang ia amati tadi.

“Seperti yang kita tahu, kalau brand kita ini kan terkenal dengan branding skincare halal nya. Apa selama mengekstraksi siput, ada unsur kekerasannya? Karena seperti yang kita tahu selain halal dan aman untuk di pakai manusia, kita juga enggak boleh menyakiti hewan.”

Laki-laki dari divisi produksi itu membenarkan kacamata yang ia pakai ke pangkal hidungnya, tatapannya agak ragu untuk menjelaskan tentang pertanyaan sederhana yang di lontarkan oleh atasannya barusan.

“Untuk proses ekstraksi lendirnya kita memang masih memakai metode lama, Pak.”

“Dengan memasukan siput ke bejana berisi air garam, memakai bahan kimia atau menggunakan sengatan listrik supaya siput mengeluarkan lendir?” tanya Julian lagi, sejauh ini dari hasil pengamatannya memang seperti itu.

“Opsi ketiga, Pak. Sejauh ini yang paling aman agar lendir tidak tercampur bahan-bahan lain dengan memakai sengatan listrik.”

Julian menghela nafasnya pelan, “lalu siput-siput yang sudah di ambil lendir nya itu berakhir mati yah? Ini sama aja product baru yang akan kita luncurkan menyakiti hewan.”

Di ujung meja sana ada seorang wanita yang mengangkat tangan, namanya Andini dia memang dari divisi produksi yang di khususkan untuk bekerja di lab.

“Sebenarnya ada cara lain, Pak. Dari sepengalaman saya siput bisa mengeluarkan lendir itu ketika siput merasa setress, ketika sedang berjalan dan yang ketiga ketika bahagia.”

Andini berdiri dan menyerahkan beberapa kertas yang sudah ia print dan memberikan itu ke Julian, itu adalah penelitian dari tempat kerjanya dulu yang mengembangkan sebuah alat produksi untuk membuat siput-siput bahagia selama proses ekstraksi. Mereka juga bisa melakukan ternak pada siput.

“Itu adalah alat yang di gunakan untuk melakukan proses ekstraksi pada siput dengan cara membuat siput bahagia, sehingga lendir nya bisa keluar dan setelahnya siput bisa di pindahkan ke tempatnya lagi setelah proses ekstraksi selesai, alat ini juga enggak akan menyakiti siput sampai membuatnya mati,” jelas Andini.

Di kursinya Julian membaca tentang alat yang di maksud Andini itu, tempatnya mirip sebuah panci besar yang berisi uap. Metode yang di gunakan oleh Korea Selatan untuk memproduksi lendir siput demi kepentingan kosmetik, Andini memang pernah bekerja di lab yang memproduksi skincare di Korea Selatan.

“Bagus, saya lebih setuju sama ini.” Julian menyerahkan kembali kertas itu ke Andini.

“Tapi biayah produksinya akan sangat mahal, Pak. Kita perlu impor barang itu dari luar karena di sini belum ada.” laki-laki yang tadi mempresentasikan itu menyela.

“Kita meeting sampai di sini dulu yah, nanti saya perlu konfirmasi dari Pak Handoko dulu soal ini. Nanti kalau sudah ada keputusan dari beliau, kita bisa bicarakan ini lagi.”

Selesai dengan meeting nya siang ini Julian langsung keluar dari ruangan meeting dan berjalan ke ruangannya, sebentar lagi sudah memasuki jam makan siang, Julian mungkin enggak akan makan siang di kantin atau keluar mencari restoran atau cafe. Dia akan pesan dari layanan pesan antar saja karena hari ini kerjaannya benar-benar menumpuk.

“Pak Julian.” panggil seseorang yang membuat Julian menghentikan jalannya, ia menoleh ke belakang dan mendapati Liana di sana.

“Hey, Li. Ada apa?” tanya Julian.

“Saya udah kirim desain untuk lip product yang Bapak minta kemarin ke surel, tolong nanti di periksa ya, Pak. Kalau ada yang kurang Bapak bisa panggil saya.”

“Oke, nanti saya periksa yah.”

Liana mengangguk, “kalau gitu saya kembali ke kursi saya dulu, Pak.”

Julian hanya tersenyum kecil kemudian kembali masuk ke ruangannya, begitu sampai di ruangan senyum nya merekah karena ternyata Ara menunggunya di sana. Istrinya itu datang membawa kotak makanan untuknya.

“Sayang, kok mau ke kantor aku gak bilang-bilang?” tanya Julian, dia mengecup kening Istrinya itu setelah Ara mencium tangannya.

“Sengaja, kan biar jadi kejutan buat kamu.”

Ara duduk di sofa dekat meja kerja Julian dan membuka kotak bekal berisi makanan yang dia masak tadi pagi, Ara menyempatkan membuatkan bekal makan Julian dan mengantarnya sendiri selagi masih hangat.

Setelah selesai menerjemahkan beberapa BAB untuk novel yang sedang ia garap terjemahannya, Ara buru-buru masak dan mengantar bekal untuk Julian. Sore nanti dia masih harus bertemu dengan brand baju yang mau bekerja sama dengannya, Ara itu masih aktif sebagai influencer di Instagram miliknya, kalau kanal Youtube nya memang di fokuskan untuk membahas edukasi seputar kesehatan mental dan pendidikan.

“Kamu masak apa?” tanya Julian, setelah memeriksa beberapa berkas di meja nya, dia nyamperin Ara dan duduk di sebelahnya.

“Masak sapo tahu, ayam serundeng sama tumis brokoli. Aku belum belanja bulanan ternyata.” Ara nyengir, saking sibuknya hanya tersisa bahan-bahan itu di kulkas dapurnya. “Abis dari kantor kamu aku mau ketemuan sama orang dari brand yang mau kerja sama aku, terus belanja bulanan deh.”

“Ini aja udah kelihatan enak lagi, makasih yah, sayang.”

“Sama-sama, Mas. Kamu sibuk banget yah?”

“Enggak, tapi lagi gak nyantai juga, kenapa emang?” sembari menjawab pertanyaan Ara, Julian mencicipi masakan Istrinya itu.

Ara itu pintar masak, masakannya enak-enak hanya saja dia memang jarang memasak karena saking sibuknya. Makanya kalau Ara masak kaya sekarang ini Julian tuh bahagia banget.

“Gapapa, nanya aja. Oh iya, nanti malam aku masak kok. Gausah beli lauk yah.”

“Oh ya? Masak apa?” Julian natap Ara dengan mulut yang terisi penuh oleh makanan, dan itu membuat Ara jadi terkekeh karena menurutnya lucu.

“Kamu mau ayam rica-rica daun kemangi atau ayam pop?”

“Ayam pop aja.” mulutnya masih penuh, tapi Julian udah ngebayangin ayam pop bikinan Ara yang dagingnya tuh lembut banget dan bumbu nya meresap terus di makan pakai sambal dan nasi hangat.

“Oke, nanti aku bikinin yah.” liatin Julian makan gini, Ara tuh bahagia banget rasanya. Walau agak ngerasa sedikit bersalah karena dia jarang banget masakin Julian. “Mas?”

“Hm?”

“Aku tadi mampir ke kantor tempat aku kerja jadi penerjemah. Aku bilang sama Mbak Indri kalau mau resign setelah project novel yang sekarang selesai aku garap.”

Keputusan Ara ingin mengurangi kesibukannya sudah bulat, dan yang akan dia korbankan adalah dengan menjadi penerjemah. Dia mau fokus untuk mendapatkan izin praktik sembari mengelola kanal Youtube nya saja, penghasilan dari sana juga sudah lumayan kok. Karena gaji Julian pun sebenarnya sudah cukup untuk hidup mereka berdua.

Dari gaji yang Julian tabung saja mereka sudah bisa membeli rumah, ya walau enggak besar banget. Hanya rumah dengan dua kamar dan halaman kecil di depan yang belum Ara apa-apakan itu, rencana nya Ara mau menanam bunga dan tanaman herbal. Mungkin nanti setelah memiliki waktu luang.

“Terus kata dia gimana? Dia setuju kamu resign?

Ara mengangguk kecil, “aku bilang memang kita mau program. Jadi yah dia setuju, tapi dia bilang ke aku. Kapanpun aku mau balik yah dia bakalan terima.”

Oiya, Ara itu mulai tertarik belajar bahasa Korea dan memperdalaminya setelah dia sama anak-anak kosan dulu liburan ke Korea, bahkan di sela-sela waktu menunggu daftar S2 nya tuh Ara sempat ikut kursus bahasa Korea dan punya sertifikat. Makanya dia bisa menjadi penerjemah juga.

“Nanti kita manfaatin waktu weekend kita yah.”

“Aku juga mau konsul ke dokter, gapapa kan, Mas?”

“Aku temenin yah.”

Ara hanya mengangguk kecil saja, semoga setelah ia mengorbankan satu pekerjaannya dan konsul ia akan segera mendapatkan kabar baik. ya, Ara harap akan secepatnya begitu.

Malam itu Liliana sengaja pulang agak sedikit telat dari jam pulang kantor biasanya, ini ia lakukan agar menghindari macet nya Bandung saat jam pulang kantor tiba. Setelah memastikan semua barangnya sudah masuk ke dalam tas, Liliana keluar dari ruang kerjanya yang masih menyatu dengan divisi lain.

Berjalan menyusuri lorong sambil sesekali menyapa beberapa karyawan lain yang masih mengambil jatah lembur mereka, begitu sampai di depan lobby. Ternyata hujan, ia lupa membawa payung karena hanya ada satu payung di rumahnya dan memang sengaja ia tinggal agar pengasuh anaknya itu bisa membawa Bella ke sekolahnya.

Liliana mendesah pelan, terpaksa kali ini ia harus merelakan tas jingjing yang ia bawa untuk menaruh kotak bekalnya sebagai penutup kepalanya agar tidak terkena hujan. Untungnya jarak kantor dengan halte bus tidak jauh, hanya berjalan sedikit saja sudah sampai.

Beruntungnya saat ia sampai, bus yang akan membawanya sampai ke rumah itu tiba. Jadi kan Liliana enggak perlu menunggu lagi kalau begini, di dalam bus Liliana sedikit menyeka lengan kemeja nya yang basah karena hujan. AC di dalam bus juga jadi semakin dingin karena tidak banyak penumpang yang naik.

Di perjalanan sembari melihat lampu-lampu kota dan rintik hujan yang masih turun, Liliana jadi teringat akan kejadian tadi siang. Saat ia tidak sengaja berpapasan dengan Istri seniornya itu, namanya Buk Ara. Beliau hanya bertanya apa Suaminya ada di ruangannya atau tidak.

Berkali-kali Liliana mencoba mengingatkan dirinya sendiri untuk sadar siapa Pak Julian itu, maksudnya bukan soal ketimpangan jabatan di kantor. Ia hanya harus sadar kalau Pak Julian hanya mirip dengan Suaminya dulu dan dia sudah menikah.

Jujur saja, baru satu tahun ini Liliana berhasil bekerja tapi ia sudah mulai menaruh rasa pada Julian sejak hari dimana Julian berkordinasi padanya soal desain produk, katakan Liliana memang mudah baper. Julian hanya mengingatkannya pada Suaminya yang sudah berpulang itu.

Dari caranya bicara, tersenyum, sampai ke paras wajahnya pun. Agak sedikit gila kalau Liliana sempat berharap jika ia bisa dekat dengan Julian, tapi kenyataan langsung menamparnya karena tidak lama setelah itu Liliana mendapat undangan jika Julian akan segera menikah. Dengan perempuan yang jauh lebih baik dari dirinya.

Begitu bus yang membawanya berhenti di halte dekat rumahnya, Liliana buru-buru turun. Untungnya hujan sudah redah jadi ia tidak perlu repot-repot berlari dan menjadikan tas jinjingnya sebagai penghalau kepalanya dari air hujan.

Begitu sampai di rumah, ada Bi Narsih pengasuh Bella yang berdiri di teras rumah. Memang seperti menunggu dirinya pulang. Tapi tumben sekali berdiri di teras seperti orang kebingunhan, pikir Liliana.

“Kok nunggu di depan, Bi? Bella kemana?” tanya Liliana.

“Anu, Buk.” wajah Bi Narsih sedikit panik bercampur khawatir. “Neng Bella badannya demam, udah Bibi kasih obat tadi sore. Tapi sekarang demam lagi, mau Bibi kasih lagi tapi obatnya habis.”

Mendengar itu, hati Liliana mencelos. Bella akan menjadi sangat rewel ketika sedang sakit. “Sekarang dimana Bella nya, Bi?”

“Udah tidur, Buk. Tadi Bibi kompres.”

Liliana mengangguk, ia buru-buru masuk ke kamar anaknya itu. Dan benar saja, Bella sedang meringkuk di ranjangnya lengkap dengan selimut tebal dan handuk kecil di atas keningnya.

“Bi, saya boleh minta tolong beliin obatnya Bella?”

“Bisa, Buk.”

Liliana mengeluarkan uang seratus ribu dari dompet miliknya dan memberikan itu ke pengasuhnya, dia gak bisa pergi meninggalkan Bella ke apotek. “Tolong yah, Bi. Maaf ngerepotin.”

“Gapapa, Buk. Bibi beliin dulu yah.”

Setelah Bi Narsih pergi, Liliana mengusap pipi anaknya itu. Menaruh handuk basah bekas kompres kening anaknya itu ke dalam wadah berisi air. Ia jadi merasa bersalah pada Bella karena sering meninggalkan bocah itu bersama pengasuhnya. Sebagai orang tua tunggal, Liliana harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan Bella.

Ia enggak bisa berharap pada keluarganya, ah, bahkan keluarganya sudah membuang dirinya. Berharap pada keluarga dari Suaminya itu juga tidak mungkin. Mereka menikah tanpa restu sama sekali, menikah karena kesalahan yang pernah ia dan Suaminya itu lakukan.

Liliana dan Suaminya adalah teman masa kuliah, mereka kemudian memutuskan untuk berpacaran sampai akhirnya melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan, sudah berulang kali Liliana dan Suaminya itu meminta restu dari keluarga mereka, tapi sayangnya keduanya enggak memberi restu. Selain karena sudah kecewa dengan kondisi Liliana yang sudah hamil.

Mereka juga berbeda keyakinan dan itu sangat di tentang oleh kedua keluarga mereka, biarpun begitu Suaminya tetap bertanggung jawab menikahi Liliana. Laki-laki itu mengalah dan pindah ke agamanya. Tapi tidak lama setelah Bella lahir, kejadian nahas menimpa Suaminya. Laki-laki itu mengalami kecelakaan saat pulang bekerja dan meninggal di tempat.

“Maafin Mama yah, Bella. Mama sering ninggal-ninggalin kamu,” ucap Liliana. Ia mengecup kening anaknya itu. Meski kerap kali di benci oleh tetangga sekitarnya karena Bella yang di anggap berisik dan menganggu. Tapi Liliana sangat menyayangi Bella, hanya Bella bagian dari diri Suaminya yang masih tersisa dan satu-satunya seseorang yang ia miliki.

Bella itu bukan seperti anak pada umumnya, dari usia 3 tahun Bella sudah di diagnosa mengalami ADHD( attention-deficit/hyperactivity disorder) oleh psikolog anak. Makanya biaya sekolah Bella pun enggak main-main.


“Jadi kondisi Istri saya gimana, Dok?” tanya Julian setelah dokter obgyn yang memeriksa Ara itu selesai melakukan pemeriksaan.

Hari ini Julian memang sengaja meminta izin untuk datang agak siang ke kantor karena harus menemani Ara ke dokter obgyn dulu, mereka udah sepakat mau memeriksakan kesehatan guna program hamil.

“Ada miom di rahim Istri Bapak. Mungkin ini juga menjadi salah satu faktor kalau Istri Bapak belum hamil juga, miom nya sebesar ini.” dokter Irene yang memeriksa Ara itu menunjukan hasil USG kondisi rahim Ara, Ara yang mendengar penjelasan itu di balik tirai hanya bisa mengigit bibir dalam nya.

“Pantas saja selama ini Ibu Ara sering mengeluhkan nyeri datang bulan yang berlebihan dan nyeri panggul.”

“Ta..pi masih bisa sembuh kan, Dok?” hati Julian sakit banget dengarnya, dia bukan kecewa karena hal ini yang menjadi penghambat mereka belum memiliki anak. Julian hanya sakit karena ia telat menyadari hal ini, itu artinya selama ini Ara banyak menahan rasa sakit karena hal ini kan.

“Masih bisa, Pak. Kita bisa angkat miom nya. Baru setelah itu nanti kita bisa lanjut ke program hamil nya.”

Julian mengangguk, setelah keluar dari ruang pemeriksaan. Di perjalanan menuju rumah pun Ara hanya diam saja, Julian sadar mood Istrinya itu sedang tidak baik. Ara pasti sedih mendengar hal ini.

“Sayang, mau beli ice cream dulu gak? Atau mau beli roti yang manis-manis gitu?” tanya Julian, ia melirik Ara yang sibuk menoleh ke arah jendela.

“Mau langsung pulang aja, Mas.”

“Enggak mau mampir beli apa gitu?”

Ara hanya menggeleng, ia tidak berani menatap Julian sedikit pun. Ara hanya merasa ia sudah mengecewakan Julian, ada banyak hal-hal yang menganggu pikirannya, ada banyak kata bagaimana di kepalanya seperti, bagaimana jika ia tidak bisa hamil? Bagaimana jika Julian sangat menginginkan anak dan mencari wanita lain yang bisa memberikannya anak? Bagaimana jika Julian habis kesabaran dan menceraikannya?

Karena Ara terlalu larut dalam lamunan panjangnya, ia sampai tidak sadar kalau mobil yang di kendarai Suaminya itu sudah sampai di rumah.

“Sayang?” panggil Julian.

Ara menghela nafasnya, dan menoleh ke arah Julian. Senyum Suaminya itu merekah, Ara tahu Julian sedang berusaha menenangkannya dan membesarkan hatinya, Ara enggak bodoh buat enggak tahu kalau ia bisa sembuh. Tapi itu semua kan prediksi dokter bagaimana jika saat sudah melakukan pengangkatan miom ia masih belum bisa hamil? Pikirnya.

“Aku tau dengar ini kamu pasti sedih banget, tapi kamu juga dengar kan kata Dokter Irene kalau kamu masih berpeluang tinggi buat sembuh dan hamil,” jelas Julian.

“Tapi kalau tetap gak bisa gimana, Mas?”

Julian menggeleng. “Gapapa, emang kenapa? Aku enggak masalah nunggu, atau kalau Tuhan memang enggak mau menitipkan anak sama kita. Aku sama sekali enggak keberatan. Ra, Aku nikahin kamu bukan semata-mata buat punya anak aja. Aku sayang kamu, aku cuma mau hidup sama kamu.”

Mendengar ucapan itu, hatinya jadi menghangat, Julian memang sesayang itu dengannya. Ara benar-benar menemukan laki-laki yang tepat, tapi bagaimana dengan keluarganya dan keluarga Julian apa mereka enggak keberatan?

“Kamu gak malu kalo kita gak punya anak?”

“Kenapa malu? Emangnya itu aib?” bagi Julian punya anak atau tidak saat ini enggak begitu penting, meski enggak bisa dia pungkiri jika ia juga menginginkannya. Tapi bagi Julian saat ini yang terpenting adalah kesehatan Istrinya.

“Maafin aku yah, Mas.” Ara beringsut memeluk Julian, ia menitihkan air matanya di sana. Entah lah, rasanya ia menjadi sangat sensitif mendengar hal ini.

“Jangan minta maaf yah, ini bukan salah kamu.” Julian mengusap punggung Ara, mengecup kepalanya berkali-kali.

Setelah mengantar Ara pulang, ia sempat mengirimi pesan pada Elara, Gita dan Teh Niken. Jika diantara mereka sedang ada waktu luang Julian hanya meminta tolong untuk menemani Ara sebentar untuk menghiburnya. Julian cuma gak mau Istrinya stress dan berdampak pada kesehatannya.

Minggu depan, Ara akan segera melakukan operasi pengangkatan miom di rahimnya. Dengan syarat kondisi tubuhnya harus benar-benar sehat.

Setelah Julian pamitan ke kantornya, Ara di rumah nyiapin beberapa sayuran dan daging ayam yang sudah ia marinasi dengan bumbu untuk ia masak makan malam nanti. Ara tuh selalu masak setiap mau makan, biar makannya selalu hangat dan fresh apalagi buat Julian yang pulangnya kadang suka malam.

Setelah selesai masukin semua bahan masakan siap masak di kulkas, dia sempat edit video untuk kanal Youtube nya dulu sebentar. dia sudah menyelesaikan project untuk terjemahan novel milik seorang penulis asal Korea Selatan, dia juga sudah mengajukan surat pengunduran diri dan sudah di setujui oleh atasannya.

Sekarang waktu Ara buat istirahat dan banyak ngobrol soal masa depan dia dan Julian tuh banyak banget, walau enggak bisa di pungkiri kalau kadang dia suka merasa bosan karena sekarang lebih banyak waktu luangnya. Sedang asik mengedit beberapa video, tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Ara sempat berpikir kalau itu bisa saja kurir yang mengantar paket untuknya, karena sampai sekarang Ara masih menerima beberapa endorse dari online shop dan beberapa brand yang bekerja sama dengannya.

“Iya sebentar,” teriak Ara. Dia meninggalkan MacBook miliknya untuk membukakan pintu.

“Loh Elara? Haiii Raja..”

Ara senyum waktu dia bukain pintu rumahnya dan mendapati Elara dengan Raja anaknya, Januar sama Elara itu udah punya anak. Laki-laki namanya Raja, anaknya benar-benar perpaduan antara Januar dan Elara. Tengil tapi juga tegas kaya Ibunya.

“Hallo, aunty Ara.” Elara melambaikan tangan Raja ke Ara, menyapa wanita itu. “Raja ngajakin main, Ra. Gue juga gabut di rumah soalnya Janu lagi kerja.”

Ara mengangguk. “Sini masuk, gue juga sendirian sih di rumah. Julian baru aja jalan.”

Elara gak bilang ke Ara kalau Julian yang sengaja mengiriminya pesan ke beberapa teman-temannya untuk menemani Ara di rumah, Julian juga udah cerita soal Ara yang sakit. Dan kebetulan yang sedang ada waktu luang adalah Elara, Gita sedang sibuk mengurus beberapa keperluan di Ruby Jane. Dia masih aktif jadi creatif director disana.

Sedangkan Niken, wanita itu masih ada jam praktik konseling nya sampai jam 3 sore nanti. Kemungkinan Niken akan menyusul, oiya Niken sama Chaka itu belum menikah. Rencananya mereka akan menikah akhir tahun depan.

“Tumben Ijul jalan siang?” Elara gandeng anaknya itu masuk. Kedua wanita itu duduk di sofa ruang tamu Ara.

“Iya tadi habis ada urusan sebentar, oiyaaa lo mau minum apa?”

“Sirup boleh, Ra. Tapi apa aja lah, gue juga baru minum sih tadi sempat mampir ke cafe beli bananan cake buat lo dulu, Cobain deh.” Elara naruh paper bag berisi banana cake yang sempat ia beli dulu di cafe langganannya.

“Lo pake repot-repot bawa cake segala ah, kaya mau ke rumah siapa aja.” Ara terkekeh tapi tetap dia terima kok cake nya, siapa yang rela nolak banana cake coba?

“Halah repot apaan sih.”

“Oiya, Raja mau minum apa? aunty punya smoothies mangga mau coba?”

“Mau-mauu!!” pekik Raja, anak ini umurnya baru 3 tahun biasanya kalau lagi kumpul tuh mainnya sama anaknya Gita si Elios atau anaknya Kevin. Tapi anaknya Kevin tuh masih kecil banget.

“Oke tunggu sebentar yah.”

Ara ninggalin Elara sama Raja di ruang tamunya, sementara dia nyiapin minum buat Elara dan Raja. gak lupa dia juga bawa cemilan kue kering waktu lebaran yang dia beli. Kue nya belum ada yang makan, kecuali nastar yah soalnya Julian itu suka banget sama nastar.

Saking suka nya kadang laki-laki itu sampai lupa makan nasi karena udah kenyang makan nastar sama teh manis. Gak lama kemudian Ara balik lagi ke ruang tamu dan naru minuman dan kue kering itu di meja, Raja udah asik sendiri sama smoothies dan mainan yang dia bawa.

Boca itu duduk di karpet bulu sambil sesekali nonton TV yang siang menjelang sore itu nyiarin kartun anak-anak. Gak sih, Ara sama Julian emang pakai TV kabel yang salurannya itu kebanyakan berita luar negeri terutama dari Korea Selatan dan saluran TV berisi kartun anak-anak. Ara tuh semenjak ke Korea, dia jadi ngikutin beberapa selebriti Korea sana deh. Sampe kadang drama nya pun dia tonton semua enggak peduli siapa yang main.

Sebenarnya Ara lumayan ngikutin idol kpop kok kaya NCT sama The Boyz oiya ada Korea band juga kaya Day6 sama The Rose yah pokoknya yang lagunya kedengeran enak pasti dia dengerin kok.

“Cobain, El. Nastar nya udah tinggal setengah. Ijul suka banget sama nastar.”

“Iya gampang nanti gue cobain masih kenyang banget, by the way lo lagi sibuk, Ra?” tanya Elara. Gak sengaja tadi dia liat MacBook Ara yang masih menyala di meja pantry dapur nya.

“Enggak sih, lagi ngedit video aja buat konten gue. Tapi gue senang sih lo datang, El.” Ara meringis, setidaknya kehadiran Elara dan Raja bisa sedikit mendistrak pikirannya dari vonis yang dokter Irene berikan untuknya.

“Sepi banget yah pasti? Makanya lo tuh beli lagi rumah di komplek gue sama Janu, Gita sama Bang Ril aja gak pernah kesepian semenjak pindah ke sana kayanya. Rame terus soalnya di recokin anak gue,” Elara terkekeh, dia masih pura-pura enggak tahu. Elara mau Ara yang cerita sendiri ada apa sebenarnya.

Sebenarnya alasan Ara pisah komplek dengan teman-temannya itu karena rumah yang mereka tempati sekarang ini lebih dekat dari kantor Julian, dan harganya lebih sedikit murah. Ara tuh bukan enggak sanggup buat beli rumah di komplek tempat tinggal Januar dan Gita, dia cuma mau mengalokasikan uang nya untuk keperluan masa depannya dengan Julian.

Belum lagi Ara tuh berniat buat buka praktik sendiri alih-alih bekerja di rumah sakit atau di klinik sebagai seorang psikolog klinis. Yang pastinya biayanya buat buka praktik itu enggak sedikit kan, lagi pula dia udah cinta banget sama rumahnya yang sekarang. walau kecil dan butuh perombakan kecil untuk sesuai dengan kemauannya dan Julian. Tapi dia bangga banget karna bisa beli rumah ini dari hasil ngonten nya dan tabungan Julian selama bekerja, Iya mereka beli rumahnya patungan.

“Bukan itu aja sih, El. Sebenarnya gue habis dapat kabar kurang baik.” Ara nunduk, dan itu bikin Elara ngerasa sedih karena pasti Ara sedang terpukul sekali. Yah wanita mana sih yang enggak sedih kalau dapat vonis seperti ini, meskipun peluang sembuhnya tinggi tapi tetap saja banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi di luar prediksi dokter.

“Ada apa, Ra?” tanya Elara.

Ara menghela nafasnya pelan. “Gue habis dari obgyn tadi siang, El.”

“Um, terus?”

“Gue sama Ijul tuh ada rencana mau program hamil, Ijul juga bersedia aja di cek kesehatannya. Dia gak ada masalah, tapi justru masalahnya di gue, El.” Ara nunduk, rasanya cerita pas lagi sakit-sakitnya gini justru bikin dia kepengen nangis banget. Tenggorokannya udah sakit dan rasanya matanya sudah memanas.

“Apa katanya, Ra?” tanya Elara hati-hati.

“Obgyn gue bilang, gue punya miom. Ini salah satu penghambat kenapa sampai sekarang gue belum hamil-hamil.”

Suara Ara udah bergetar, Elara tahu temannya itu nangis dan dia dengan sigap menggeser duduknya jadi lebih dekat dengan Ara dan mengusap-usap pundaknya. Raja yang lagi asik main di bawah juga jadi teralihkan, bocah laki-laki itu jadi liatin teman Ibu nya itu yang sedang menangis. Walau enggak lama kemudian dia kembali main lagi karena paham kode yang Elara berikan untuk tidak melihat ke arahnya.

“Ra, dari sependek pengetahuan gue. Miom itu masih bisa sembuh kok. Apalagi kalau masih kecil, kalau udah agak besar pun itu masih bisa di angkat. Lo masih punya peluang buat hamil.”

“Obgyn gue juga bilang gitu, El. Tapi gimana kalau setelah di angkat gue masih belum bisa hamil?” Ara nangis sesegukan, ah gatau lah rasanya mikirin ini bikin di gak mau ketemu siapa-siapa. Tapi juga rasanya Ara butuh seseorang buat dia ajak bicara.

“Pikiran negatif lo tuh harus di buang jauh-jauh deh kunci nya sembuh selain berobat yah selalu berpikiran positif. Ra, Banyak kok cewek-cewek di luar sana yang masih bisa hamil padahal pernah ngelakuin operasi pengangkatan miom. Percaya sama gue deh, sekarang tuh ada banyak metode juga. Lo masih bisa ikut program bayi tabung juga kan.”

Elara yakin kok ini bukan akhir dari segala nya, Ara masih bisa sembuh. Elara cuma mikir Ara paham hal itu tapi dia cuma butuh afirmasi positif dari orang lain aja kalau ia masih bisa punya anak sendiri dan sembuh.

“Gue takut banget Ijul ninggalin gue karena ini, El.”

“Enggak lah, gila kali. Gue emang gak kenal Ijul begitu lama tapi gue yakin dia enggak neko-neko kok, Ra. Dia tuh kecintaan banget sama lo. Kalau dia berani macem-macem gue sama Gita siap mukulin Ijul kok.”

Mendengar ucapan Elara barusan Ara jadi terkekeh pelan, pasalnya Elara sama Gita kalau ngomong walau terdengar enggak serius tuh tapi sebenarnya serius. Ara jadi ingat waktu Gita mukulin Julian perkara dulu masalah nya dengan Chaka, Julian sampai babak belur persis kaya di pukulin sama orang banyak. Yah untungnya Julian enggak patah tulang karena Gita sempat dorong dia dari tangga.

“Jangan ih, kasian laki gue.”

“Ya makanya lo harus yakin juga kalo lo bisa sembuh oke, terus gimana udah direncanain buat OP?”

Ara ngangguk, dia ngusap jejak-jejak air mata di pipinya. “Udah, rencana nya minggu depan, El.”

“Gue doain semoga semuanya lancar yah, Ra. Kalo lo butuh apa-apa lo bisa bilang sama gue, Gita ataupun Teh Niken. Jangan berdua-duaan doang sama Ijul kaya orang enggak punya keluarga sama temen.”

“Iya, El. thanks ya.”

“Jangan iya-iya aja ih, entar kaya waktu elu pindahan lagi gak ngomong-ngomong padahal gue sama Janu siap bantuin.” Elara memperingati, dia ingat banget Julian sama Ara pindah ke rumah barunya yang sekarang itu cuma berduaan. Padahal teman-teman yang lainnya sudah siap membantu.

Yang Elara kadang suka kesal tuh, Julian sama Ara cenderung rahasiain masalah berdua seolah-olah mereka enggak punya siapa-siapa. Padahal anak-anak kosan Abah yang lain itu tuh siap bantu mereka, mereka itu udah kaya keluarga. jadi Elara rasa Julian dan Ara enggak perlu sungkan kalau butuh bantuan, toh selama ini mereka sering merepotkan Julian dan Ara.

“Iya, ihh... Nanti pasti gue kabarin di grup kok kalau gue mau operasi.”

Sejak kemarin Liliana enggak masuk kerja, dia sudah izin sama atasannya dengan alasan anaknya sakit. Untungnya atasannya itu memberikan Liliana izin, walau kadang-kadang dia juga masih handle kerjaan dari rumah.

Siang ini Liliana sedang bermain bersama Bella di ruang tengah rumahnya, ia juga menyuapi anak itu walau kadang Bella benar-benar menguji kesabarannya. Bella bukan enggak bisa makan sendiri, dia bisa kok makan sendiri hanya saja bocah itu sering kali enggak fokus dan beralih mengerjakan hal lain.

Demam Bella juga sudah redah, anak itu sudah aktif bermain lagi tapi Liliana hanya ingin menghabiskan waktunya beberapa hari ini bersama Bella.

“Bella.. Bella, enggak boleh nyoret-nyoret dinding lagi. Kan Mama udah bilang nyoret-nyoretnya di papan.” Liliana memperingati Bella, sudah banyak sekali coretan anak itu di dinding rumahnya. Bella sudah sering kali Liliana ingatkan namun anak itu tetap melanggar dengan terus mencoret dinding.

“Gamau!!” pekik Bella, bocah itu berlari mengambil kerayon miliknya dan beralih mencoret-coret pintu.

“Bela—”

belum sempat Liliana melanjutkan kata-katanya, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia akhirnya memutuskan untuk melihat ponselnya dulu, takut-takut ada telepon penting dari kantor. Dan benar saja kan, panggilan itu berasal dari Julian senior di kantornya.

“Pak Julian?” gumam Liliana, dia langsung mengangkat panggilan itu. “Hallo, Pak?”

Hallo, Li. Lagi sibuk gak?

“Lumayan, Pak. Ada apa yah?” sembari menjepit ponselnya di antara telinga dan bahunya, Liliana menghampiri Bella dan menyuapi anak itu lagi. Kali ini ia membiarkan Bella mencoret-coret pintu, karena kalau dia larang Bella pasti akan mencari objek lain untuk ia coret. Toh noda di pintu rumahnya bisa di hapus nanti.

ini, Li. Saya tadi meeting sama Buk Cassandra, dia minta desain produk buat tint balm yang kemarin kamu buat itu ada beberapa bagian yang di revisi. Saya sih sudah kasih pemasukan kalau desain yang kamu kerjakan kemarin enggak ada yang kurang, overall bagus. Dan cocok banget sama branding remaja, tapi dia bilang ada beberapa bagian yang dia enggak suka,” jelas Julian di sebrang sana.

“Oh, gitu, Pak. Gapapa, Bapak kirim ke email saya aja biar nanti saya revisi lagi bagian-bagian yang mau di ubah sama Buk Cassandra.”

oke, nanti saya email ke kamu yah, Li. By the way, kamu kemana dua hari ini gak ke kantor?

Pertanyaan sederhana dan sewajarnya itu dari seniornya berhasil membuat Liliana tersenyum, namun dengan sigap ia menyadarkan dirinya bahwa hal ini wajar karena pasti Julian butuh banyak berdiskusi dengannya perihal desain-desain yang sedang ia kerjakan.

“Anak saya sakit, Pak. Besok saya udah masuk kok.”

oh, oke. Maaf yah saya gak tahu. Semoga cepat sembuh anaknya, Li. Kalau gitu terima kasih yah, bisa langsung di cek emailnya.

Setelah sambungan telfon itu terputus, Liliana tersenyum. Julian memang perhatian dan baik, dia sadar hal ini bukan hanya terjadi padannya tapi pada hampir semua karyawan kantor yang mengenal Julian juga beranggapan hal yang sama.

Setelah selesai menyuapi Bella dan memastikan bocah itu tidur siang setelah meminum obat, kini Liliana beralih membersihkan rumahnya yang berantakan karena Bella mengeluarkan semua mainannya.

Kadang Liliana berpikir, apa jika Suaminya masih ada ia tidak akan mengalami hal ini? Maksudnya merawat Bella sendirian, mengasuh dan juga bekerja. Kadang ada hari di mana Liliana kelepasan meninggikan suaranya di depan Bella karena tingkah anak itu yang menguji kesabarannya.

Tapi jika sudah sadar atas apa yang ia lakukan, Liliana buru-buru meminta maaf pada Bella dan memeluknya. Setelah selesai membersihkan rumah, kini saatnya Liliana memeriksa surel miliknya yang sudah ada pesan dari Julian mengenai desain produknya yang harus ia revisi.

Sembari sesekali melihat ke arah kamar Bella, ia mengubah beberapa bagian yang atasannya itu minta. dan siapa sangka ketika ia sedang fokus mengubah beberapa elemen desainnya ia justru mendapati pesan dari Julian, laki-laki itu bilang mereka akan ada meeting besok pagi untuk campaign yang akan di adakan perusahaan.

hal kecil itu justru kini mendistraksi pikiran Liliana, ia malah jadi iseng untuk melihat akun sosial media milik seniornya itu di kantor. oiya, Julian itu bisa di bilang lumayan aktif di sosial media nya, dia bukan influencer seperti Istrinya kok. hanya saja ketenaran Istrinya di dunia maya itu membuat Julian kecipratan juga.

akun sosial media nya memiliki jumlah pengikut yang lumayan banyak, Julian juga suka mengunggah moment-moment bersama Istrinya. seperti sedang makan malam, foto bersama saat mereka liburan, atau membuat video singkat Julian yang pernah membuat kejutan untuk Istrinya itu. hal itu juga yang membuat Liliana agaknya iri dengan Ara yang menjadi Istri Julian, wanita itu benar-benar di perlakukan dengan baik dengan Suaminya.

Enggak jarang komentar di sosial media milik Julian itu di banjiri dengan pujian seperti mengatakan kalau mereka adalah couple goals atau memuji sifat gentleman Julian.


Tok tok tok tok

Mata Julian melirik ke pintu ruangannya, ternyata itu Ferdy temannya. Laki-laki itu langsung masuk begitu Julian nyengir ke arahnya, oiya ruangan Julian tadinya itu berdua sama Ferdy tapi berhubung Ferdy lebih senior darinya Ferdy mendapat promosi lebih dulu dan kini menjabat sebagai R&D manager. Jadi sekarang Julian cuma sendirian aja tapi masih tetap ada dua meja di ruangannya kok. Mungkin perusahaan nantinya akan mencari karyawan baru untuk mengisi posisi itu.

“Belum balik lu, Jul?” tanya Ferdy, dia duduk di kursi nya dulu sembari memperhatikan Julian yang sedang sibuk di depan komputernya.

“Masih ada kerjaan, Fer. Duh gue jadi kagak sopan kalo manggil nama lo doang sekarang rasanya,” ledek Julian.

“Lebay banget anjir.”

Julian hanya terkekeh, “lo sendiri kenapa belum balik?”

“Males balik, mau tidur di kantor aja gue.” Ferdy pindah posisi, dia jadi menghampiri sofa yang letaknya di dekat pintu masuk dan menidurkan dirinya di sana tanpa melepas sepatunya.

“Lah kenapa?” Julian mengerutkan keningnya, sesekali ia melirik Ferdy yang sedang memijat keningnya sendiri. Kemudian beralih pada mesin print dan mengambil beberapa hasil print miliknya.

“Lagi ribut sama bini gue.”

“Ngeributin apaan sih?”

Julian sebenarnya udah enggak kaget sama cerita Ferdy yang sering banget ribut sama Istrinya. Mereka sudah menikah sekitar 3 tahun, Ferdy juga sudah memiliki 1 orang anak perempuan berumur 2 tahun. Ara pun mengenal Istri Ferdy dengan baik karena Istrinya adalah senior Ara di fakultasnya dulu. Namanya Teh Jessi. Iya, Jessi komdis yang dulu pernah negur Ara waktu ospek karena bawa lip tint sama BB cream.

“Biasa lah, namanya juga rumah tangga, Jul. Entar juga lo rasain deh. Lo sih sekarang pasti masih manis-manis aja sama bini lo, orang baru 7 bulan nikah. Lagi hot-hot nya juga kan.”

Mendengar itu Julian cuma geleng-geleng kepala aja, dia bukan gak pernah berantem sama Ara kok walau masih 7 bulan nikah. Berantem itu pasti, apalagi kalau Ara lagi keras kepala. Tapi menurut Julian semua hal kan bisa di selesaikan kalau komunikasinya baik.

“Kata siapa? Gue sama Ara suka ribut kok, cuma yah balik lagi kita mau komunikasi. Lo ajak lah bini lo ngobrol mau nya apa,” kata Julian menasihati.

“Susah, dia tuh terlalu overthinking sama gue. Pikirannya negatif mulu kalo udah soal gue.”

“Pasti ada sebab nya kan, Fer.”

“Iya, ada tapi kan gue udah enggak kaya apa yang dia pikirin.”

“Masih soal yang sama?” Julian sudah selesai dengan kerjaannya, dia nyamperin Ferdy dan ngasih kopi kaleng yang ada di kulkas kecil ruangannya. Julian emang suka nyetok kopi di kulkas ruang kerjanya, soalnya kalo lagi banyak kerjaan dia suka ngantuk.

“Iya, gue emang pernah salah. Jalan sama cewek padahal dua hari lagi kita akad. Tapi gue sama itu cewek cuma main-main aja, Jul. Gak serius, gila kali. Gue juga udah enggak begitu lagi. Tapi tiap kali gue lembur atau ada dinas keluar kota dia pasti langsung ngira nya gue selingkuh. Gitu aja terus sampe gue capek,” keluh Ferdy bersungut-sungut.

Julian menghela nafasnya pelan, kadang dia bingung kenapa dia sering banget di curhatin masalah rumah tangga temannya. Padahal Julian juga bukan orang yang cukup berpengalaman, bahkan ia dan Ara baru menikah dalam hitungan bulan.

“Kertas yang udah lecek emang gak akan bisa balik rapih kaya semula, Fer. Menurut gue lo banyak ngobrol sama Jessi deh. Kaya kalo lo lagi lembur tuh lo ngomong, kalau perlu lo foto biar dia percaya. Ini bukan berarti lo Suami yang takut Istri yah, cuma kan gak ada salahnya saling menjaga kepercayaan.”

“Lo sama Ara kaya gitu?”

Julian mengangguk. “Walau udah nikah gue sama Ara kaya pacaran tiap hari, masih suka ngirim-ngirim foto kalo lagi jauh. Masih suka ngobrol panjang pas kita sama-sama ada waktu kosong, dan nyempetin buat jalan-jalan keluar tiap weekend pokoknya jalan-jalan pas weekend itu kaya jadi wajib buat gue sama dia.”

“Ah itu sih karna Ara nya aja yang gak pernah negatif thinking kaya Jessi.”

Julian terkekeh, Ara emang gak pernah curiga sama Julian yang enggak-enggak tapi bukan berarti pikiran Istrinya itu selalu positif terus. Kaya sekarang ini, obrolan tiap malam menjelang tidur mereka selalu mengenai penyakit Ara dan kemungkinan dia hamil.

Julian sudah berkali-kali meyakinkan Ara kalau semua akan baik-baik saja, jika pun tidak Julian enggak masalah sama itu semua. Tapi jawaban Ara tetap sama, dia masih suka berandai-andai bagaimana kalau dia enggak bisa memberikan keturunan buat Julian. Pokoknya kemungkinan-kemungkinan jelek yang enggak tahu kejadian atau enggak deh.

“Kata siapa, Ara juga manusia, Fer. Dia sama kok suka negatif thinking juga. Yah bedanya kalau Jessi kan soal lo, karna lo udah pernah kecewain dia.”

Ferdy terlihat menghela nafasnya pelan, dia juga gak nyangka kalau tindakannya waktu itu akan berdampak pada keharmonisan rumah tangganya sampai sekarang. Jessi jadi hilang kepercayaan dan selalu berpikiran buruk tentangnya hanya karena satu kesalahan.

“Menurut gue, lo bisa ke konselor pernikahan deh. Atau kalau lo mau pakai cara lo sendiri, lo bisa ajak Jessi liburan kemana gitu terus ngobrolin banyak hal tentang hal yang ganggu pikiran dia. Disitu lo yakinin deh supaya dia percaya lagi sama lo.”

Ferdy enggak jawab ucapan Julian lagi, dia hanya memperhatikan embun yang berubah menjadi air di kaleng kopi yang Julian berikan padannya barusan. Ucapan Julian ada benarnya juga, mungkin dia mau mencoba dulu dengan caranya sendiri.

“Wangi banget!” Julian meluk Ara dari belakang waktu dia baru selesai mandi, Istrinya itu lagi masak di dapur.

“Keringin dulu rambutnya gih, habis itu sarapan tadi katanya laper.”

Ara masih fokus sama masakannya aja, dia juga gak minta Julian buat lepasin pelukannya. Soalnya lagi masak di peluk Julian dari belakang gini rasanya nyaman banget, walau emang Julian agak berat sih apalagi kalau udah numpuhin dagu nya di kepalanya.

“mau peluk dulu ah, gemes. Atau kamu aja yang keringin rambut aku gimana?” Julian miringin wajahnya dari samping terus nyium pipi kiri Ara.

“Manja banget ih, kayanya semalem enggak gini,” Ara terkekeh.

“Kan lagi kepengen di manja ih, pokoknya aku mau manja-manja sama kamu!” rengek Julian, dia lepasin pelukannya dan duduk di meja pantry sambil nyeruput apple tea yang ada di sana.

“Kan yang mau operasi dua hari lagi tuh aku kenapa kamu yang jadinya manja, harusnya aku tau yang manja-manja kaya gitu.”

“Oiya yah, bener juga. Eh tapi hari ini aja deh sayang, please after operasi aku akan melayani Istriku kaya ratu.” Julian ngebungkuk gitu sambil naruh tangan kananya di atas perut ala patih-patih gitu.

“Lebay ih, sini ambil hair dryer nya aku keringin rambut kamu.”

“Siap akan aku ambil permaisuri ku!” Julian langsung berdiri dan ngambil hair dryer yang ada di kamar mandi, sementara Ara cuma geleng-geleng kepala aja kalau Julian udah kumat manja nya kaya gini. Hilang deh tuh wibawa dia.

Gak lama kemudian Suaminya itu balik lagi dan naruh hair dryer itu di meja pantry dan duduk di atas kursi dengan cepat, persis anak kecil banget. Julian ini gak sadar apa yah badannya gede banget tapi kelakuannya suka melebihi anak kecil manja nya.

“Sayang?” panggil Julian waktu Ara lagi fokus ngeringin rambutnya.

“Hm?”

“Kalo kita punya anak nanti kamu mau di panggil apa? Kayanya kita belum pernah ngobrolin ini yah?”

Dulu waktu melihara kelinci yang di kasih nama Nanang sama Leon itu tuh Ara sama Julian pernah bikin nama panggilan buat diri mereka sendiri, dengan sebutan Ayah dan Bunda. Yah bahasain ke kelinci mereka kaya gitu walau itu kelinci juga enggak bisa ngomong.

Oiya, kelinci yang di pelihara sama Julian dan Ara itu udah gede kok. Masih hidup, ada di kosan Abah soalnya kosan itu berakhir di beli sama anak-anak kosan. Mereka beranggapan kosan itu kaya menyimpan banyak banget kenangan tentang mereka.

Kalau ngumpul pun pasti mereka ke sana, di sana juga ada penjaga yang ngerawat kosan mereka. Termasuk ngerawat kelinci Julian sama Ara, mereka gak ngajak Nanang sama Leon pindah ke rumah baru mereka karena Julian belum sempat beresin taman depan mereka. Rencana nya kalau sudah rapih nanti pasti Nanang sama Leon di bawa kok.

Maklum Ara sama Julian ini baru pindah setelah 3 bulan menikah. Makanya belum lama banget kan pindahnya, itu semua karna rumah yang mereka beli sempat di lakukan perbaikan di kamar utama dan juga dapur.

“Bunda, kalau kamu?” tanya Ara.

“Ayah aja kayanya, aku kepengen banget anak kita manggil aku Ayah.” Julian senyum-senyum sendiri, ngebayangin suatu hari dia di panggil seperti itu oleh anaknya.

“Tapi kamu tuh emang udah cocok deh sama image seorang Ayah.” menurut Ara gitu, Julian udah cocok banget sama panggilan Ayah dari pada panggilan yang lain. Apa yah, menurutnya Julian dan panggilan Ayah adalah wujud dari kata sederhana itu sendiri. Ah gimana yah jelasinnya, pokoknya gitu deh.

“Masa sih? Coba dong kamu sekarang jangan panggil aku Mas Ijul lagi panggil aku Ayah aja.”

“Ih gak mau ah!” dengar Julian minta dia manggil dengan sebutan Ayah bikin Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Ihhh sayang kenapa sih emang? Dulu aja kamu suka manggil aku Ayah di depan Nanang sama Leon.”

“Ya tapi itu kan beda, Mas. Ih kamu mah, mereka kan hewan gak mungkin juga mereka ikut manggil aku sama kamu dengan sebutan Ayah dan Bunda.”

Julian menjentikkan jarinya, “justru itu kita latihan, kalau nanti kita punya anak kan kamu harus bahasain anak kita manggil aku Ayah. Nanti kalau keterusan gimana? Kamu mau anak kita manggil aku Mas Ijul?”

“Ishhh tapi kan sekarang aku belum hamil?”

Mereka jadi berdebat kecil kan tuh perkara soal panggilan, Ara tuh sebenarnya mau aja manggil Julian kaya gitu tapi tuh dia malu.

“Yah makanya kita trial dulu. Yah sayang yah!!” yah Bunda?”

Ara terkekeh dan gelengin kepalanya, pipi nya jadi merah banget gara-gara dengar Julian manggil dia pakai sebutan Bunda kaya gitu. Jadi dari pada Julian sadar dia salah tingkah, lebih baik Ara ngambilin Suaminya itu nasi dan buru-buru nyuruh Julian buat sarapan.

“Ish, udah ah makan dulu ini.”

“Panggil dulu aku Ayah, Bun.”

“Gak mau!” rajuk Ara.

“Ish, sekali aja panggil dulu. Kalau gak aku gak mau makan!” Julian ngelipet kedua tangannya di depan dada sambil manyun-manyun, Ara tuh sebenarnya gemas pengen nyubit Julian kalau lagi ngambek-ngambek gini.

“Yaudah aku aja yang makan, aku mah laper.” Ara pura-pura cuek, dia ngambil cah kangkung dan ikan kembung yang udah dia goreng ke piringnya.

“Aaahhh Bunda sekali aja ihhh sekali please nanti aku pundung beneran loh.” Julian ini pantang menyerah banget, dia masih ngerengek-ngerengek aja. Kayanya Januar, Kevin, Chaka sama Arial bisa geli kalau tahu kelakuan asli Julian di depan Istrinya kaya gini, pikir Ara.

Ara berdecak, “ck. Iyaa, makan dulu Ayah sayang.”

“Aw, siap Bundaku, sayangku, Istriku, bidadari surgaku.” Julian nyium pipi Ara gemas sampai ada bunyinya gitu terus langsung duduk di kursinya, Ara cuma bisa geleng-geleng kepala aja.

“Ih lebay banget kamu mah.”

“Biarin!”

Weekend ini tuh di isi sama agenda Ara dan Julian yang sarapan bareng di rumah, nonton film bareng, beresin rumah bareng Pokoknya banyak hal yang mereka lakuin berdua deh.

weekend kali ini Julian emang enggak ngajak Ara jalan-jalan keluar karena Ara harus banyak istirahat menjelang operasinya. Mereka juga udah liat gimana prosedur operasinya dari Youtube yang bikin Ara seketika ngilu banget.

“Rahim aku bakalan berantakan banget yah. Ih ngeri ah, aku gak mau liat lagi.” Ara nutup tab punya Julian dan nyimpan benda persegi itu ke meja dekat TV.

“Emang gitu, Bun. Prosedurnya tapi kan nanti bakalan sehat lagi. Waktu kamu usus buntu juga gitu kan usus nya bakalan berantakan pas di operasi.”

“Ish kamu ah, ngeri banget ngomongnya.”

Julian nyengir aja, dia jadi gak enak karna ucapannya kaya malah bikin Ara tambah takut. “Nanti aku temenin, pokoknya pas bangun nanti yang kamu liat aku.”

“Emangnya siapa yang bakal aku liat selain kamu?”

“Ih, maksudnya tuh aku bakalan di samping kamu terus. Astaga istri gue kok jadi gak bisa di romantisin gini sih,” Julian ngeluh sendiri tapi bikin Ara jadi ketawa geli. Soalnya mukanya kelihatan frustasi banget.

“Tapi serius deh, Mas. Kalau kamu emang sibuk gapapa kamu ke rumah sakitnya pas balik ngantor aja. Lagian ada Mas Iyal sama Gita yang jagain aku.” Ara cuma enggak enak aja, soalnya dia tau kerjaan Julian lagi banyak banget. Belum lagi jatah cuti nya itu udah di ambil semua buat mereka honeymoon di Bali.

“Enggak ih, aku udah izin sama Buk Cassandra. Dia juga udah ngeiyain kok, dia kan fans kamu itu.”

“Masa sih?” Ara jadi terkekeh, gak nyangka aja gitu kalau atasan Julian malah ngefans sama dia.

“Iya, dia tuh rajin banget nontonin Youtube kamu. Apalagi video busking kita di Seoul waktu itu.”

“Ada-ada aja deh, gak nyangka aku.”

Julian tadi tuh lagi guntingin kuku kakinya sendiri. Terus selesai guntingin kukunya, dia gantian guntingin kaki kuku Ara. Dia naruh kaki Istrinya itu di atas paha nya dan guntingin kuku nya satu persatu. Di tempatnya Ara senyum, dia masih suka melting tiap kali Julian ngelakuin hal-hal manis kaya gini.

Walau suka manja kadang-kadang, Julian tuh punya sisi romantis nya sendiri. Kaya laki-laki itu pernah nyiapin dinner romantis buat mereka, ngajakin Ara honeymoon di Bali yang padahal honeymoon itu enggak ada dalam rencana mereka sama sekali tadinya.

Apalagi kalau udah masak, Julian bakalan effort banget buat nyari resep makanan. Julian tuh bukan laki-laki yang jago masak, makanannya lumayan kok buat seukuran laki-laki yang awam di dapur. Tapi dia tuh bakalan mengusahakan banget masakan yang ia buat untuk Istrinya itu enak.

“Kamu manis banget sih, Mas.” gumam Ara, dia ngusap kepala Julian dari samping.

melting yah?” Julian naikin satu alisnya. Tengilnya muncul deh, pikir Ara.

Ara cuma menjawab dengan anggukan kecil, “nanti kalau kamu udah sembuh, kita jalan-jalan yah? Kamu mau makan apa, mau ke mana, mau apa aja pasti aku turutin.”

“Makasih yah, Mas.”

“Semangat yah, kamu pasti sembuh,” ucap Julian.

Selesai melakukan meeting pagi hari ini, Julian dan karyawan-karyawan lainnya keluar dari ruang meeting. Di jalan menuju ruangannya Liliana mengangguk kecil pada Julian, ada beberapa hal yang mau dia sampaikan serta memberikan beberapa berkas yang di titipkan oleh divisi marketing padanya.

“Pak, Jul.” Liliana tersenyum, di tangannya ia membawa map berisi berkas-berkas.

“Kenapa, Li?” tanya Julian.

“Desaign yang kemarin Bu Cassandra minta udah saya kirim ke email yah, Pak. Sekalian sama ini titipan dari Pak Mike.” Liliana memberikan map itu pada Julian.

“Oiya, makasih yah, Li.”

“Sama-sama, Pak.”

Sebelum Liliana kembali ke mejanya Julian sempat kepikiran ingin menanyakan kabar kesehatan anaknya Liliana. Julian tuh emang gitu, bukan cuma ke Liliana saja bahkan waktu tau anaknya Ferdy sakit juga Julian nanya perkembangan kesehatannya. Dia tuh emang selalu perduli sama teman-temannya.

“Oiya, Li.” suara Julian itu menahan Liliana untuk tidak membungkuk pamit dan berbalik badan meninggalkan lorong itu.

“Ya, Pak?”

“Kondisi anak kamu gimana? Udah mendingan?”

Liliana mengangguk kecil, dia tersenyum karena merasa senang seseorang memperdulikan Bella. Selama ini Bella jarang di perhatikan oleh orang lain, jarang ada orang yang menyukai Bella bahkan teman-teman Liliana sekalipun.

Cap anak nakal, enggak bisa diam dan hiperaktif itu udah di sematkan di kening Bella. Orang-orang udah terlanjur malas melihat tingkah Bella yang enggak bisa diam, makanya kalau ada orang lain yang perhatian sama Bella tuh rasanya Liliana bersyukur sekali.

“Baik, Pak. Udah mendingan kok, kayanya dia emang kecapekan aja,” jelas Liliana.

“Syukur deh, salam buat dia ya. Nama nya siapa, Li?” seingat Julian, waktu acara gathering kantor ke daerah Bogor. Liliana tuh enggak ngajak Bella, dia sendiri enggak tahu alasannya apa karena waktu itu Liliana sangat pendiam karna dia masih termasuk karyawan yang baru banget gabung di perusahaan.

“Namanya Anabella Kusuma Putri, Pak.”

Julian senyum, namanya bagus menurut Julian. Walau agak sedikit mengingatkan dia sama film horor dan boneka milik Chaka yang sering banget pindah-pindah tempat di kosan. “Namanya bagus, umur berapa, Li? Kamu kayanya enggak pernah ajak dia ke acara kantor yah?”

Liliana mengangguk kecil, dia enggak nyangka akan melakukan obrolan yang lumayan panjang dengan senior nya itu. Biasanya Julian dan Liliana hanya berbicara soal pekerjaan saja, enggak ada tuh ngobrol-ngobrol hal personal seperti ini.

“Makasih, Pak. Umur nya 4 tahun, Pak. Saya emang ngajak Bella ke acara kantor, Pak.” Liliana meringis, agak merasa bersalah karena selama ini dia rasanya kaya menyembunyikan Bella. Padahal maksud Liliana enggak gitu, dia cuma enggak mau Bella di anggap anak yang aneh dan di benci banyak orang hanya karena sifat nya yang enggak bisa diam itu. Bella sudah cukup menanggung kebencian dari keluarganya dan juga keluarga Suaminya.

“Kenapa, Li? Ajak lah sesekali kalau enggak salah bulan depan itu kita ada acara makan siang bersama kan di hari ulang tahun nya Bu Cassandra. Ajak aja yah, Pak Ferdy juga ajak anaknya kok. Anaknya juga perempuan. Beda setahun sama Bella kok. Mereka pasti bisa cepat akrab.”

“Bella itu beda, Pak. Dari anak-anak kebanyakan,” ucap Liliana lirih. Dia gak mau jujur soal ini sama siapapun, tapi entah kenapa ia bisa lugas saat bercerita tentang Bella pada Julian.

“Maksudnya, Li?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

“Bella itu anak yang termasuk golongan ADHD, Pak. Attention Deficit Hyperactivity Disorder dia lebih aktif dari anak pada umumnya.” Liliana tersenyum.

“Ahh.” Julian mengangguk-angguk. Udah bukan hal yang aneh baginya dengan istilah itu, Julian pernah mendapatkan materi soal perilaku ini meski ia bukan berasal dari psikologi klinis. “Gapapa, Li. Ajak aja. Kebetulan Istri saya itu psikolog klinis. Mungkin Bella bisa terapi sama istri saya, biar Bella lebih terarah dan bisa fokus sama hal yang dia lakuin. maybe bisa lebih tenang juga.”

Bella itu memang sempat beberapa kali terapi dan mengikuti kelas kepribadian, tapi semuanya enggak berlangsung lama karena biaya yang Liliana keluarkan cukup besar. Kebutuhan hidup mereka yang lain bisa terancam, pada akhirnya Liliana hanya menyekolahkan Liliana di sekolahan khusus saja. Itu pun Liliana harus menekan pengeluaran lain agar enggak menganggu biaya sekolah Bella.

“Saya enggak enak, Pak. Lagi pula Bella sudah saya sekolahkan di sekolah khusus kok. Walau enggak ada perubahan yang banyak juga, tapi dia jauh lebih bisa mengendalikan diri.” Liliana cuma enggak enak aja, dia belum kenal dekat sama Istri seniornya itu dan lagi pula ia gak yakin akan sanggup membayar biaya terapinya.

“Yaudah, tapi kalau kamu butuh konsultasi kamu bisa bilang saya ya, Li. Istri saya pasti mau bantu kok.”

“Makasih banyak, Pak.”

Setelah obrolan itu berakhir, Liliana hanya bisa memandang punggung Julian dari jauh sampai menghilang masuk ke dalam ruangannya. Hatinya sedikit lega bercampur dengan buncahan kebahagiaan yang merasuki dada dan perutnya. Tapi dengan cepat ia tepis itu semua, Liliana harus sadar dia siapa. Itu milik orang lain dan dia enggak mau merusak kebahagiaan wanita lain.

“Sadar, Li. Sadar!!” Liliana mengingatkan dirinya sendiri.


“Berarti buat dapat surat izin praktik psikolog klinis lo harus dapat tempat praktik dulu, Ra?” ucap Gita, yang di balas anggukan sama Ara.

Siang ini Gita sama Teh Niken lagi main ke rumahnya Ara, ada si kembar juga kok tapi mereka lagi tidur siang di kamar tamu Ara, sementara Gita, Teh Niken sama Ara lagi santai di depan ruang TV sambil ngemil gelato sama tiramisu yang Teh Niken sama Gita bawa.

“Iya, Git. Lo ada kenalan gitu sama orang properti? Gue gak masalah sih kalo harus sharing gedung. Yang penting lokasinya strategis sama sirkulasi udaranya bagus, point utama biar surat izin praktik gue itu.” Ara agak frustasi banget waktu lagi ngurus dokumen dan baca persyaratan-persyaratan yang harus dia penuhi buat dapat surat izin praktiknya.

“Gue gak ada sih, tapi kayanya Mas Arial punya kenalan deh nanti gue tanya sama dia ya, tapi lo udah nanya sama Janu belum? Kenalan dia kan banyak. Apalagi dia lagi nyiapin juga kan buat punya firma arsitektur sendiri, kali aja gitu dia kenal agen properti?” Gita menaikan satu alisnya sembari menyuap satu sendok gelato rasa pistachio ke dalam mulutnya.

“Belum sih, nanti gue coba nanya deh.”

“Nanti aku bantu juga sekalian yah, Ra. Kalo aku nemu nanti aku kabarin kamu.” oiya Teh Niken ini memang praktik tapi dia kerja di klinik orang lain. Teh Niken ini juga lebih ke konselor pernikahan.

“Makasih yah, Teh.” Ara senyum, dia beruntung banget punya teman-teman yang perhatian sama dia.

“Tapi yah, Ra. Untung miom lo tuh ketahuannya sekarang i mean mungkin pas belum terlalu besar, jadi masih bisa di lakuin tindakan cepat,” celetuk Gita. Dia cuma mikir kalau miom nya Ara terlambat terdeteksi tuh kemungkinan besar bisa fatal juga. Bahkan kalau Ara hamil pun bisa mengalami pendarahan hebat dan anemia defisiensi besi.

“Iya, Git. Gue mikirnya juga gitu, pantes aja selama ini gue suka sakit banget kalau datang bulan.”

“Sakit nya melebihi kaya kita datang bulan, Ra?” tanya Teh Niken.

Ara mengangguk, “iya Teh, terus juga durasinya bisa lama banget sampai aku pernah sekali pingsan akibat anemia.”

Teh Niken bergedik ngeri, ngilu banget dengar cerita Ara. “Ya ampun, Ra.”

“Tapi orang tua lo sama mertua lo tau kan, Ra?” tanya Gita, dia tuh tau banget Ara sama Julian kalau punya masalah kalau masih bisa di selesaikan berdua pasti mereka enggan cerita sama orang tua mereka.

“Gue enggak cerita sama orang tua gue atau pun Ibu nya Ijul, Git. Bunda lagi sibuk banget ngurus buat lamarannya Reno sama Karin. Kalo Ibu nya Ijul juga gue gak kepengen beliau kepikiran, Ibu nya punya darah tinggi.”

Tuh kan apa dugaan Gita, wanita itu menghela nafasnya sebentar tapi setidaknya Ara mau bercerita sama anak-anak kosan. Itu jauh lebih baik dari pada Julian sama Ara menghadapi situasi ini berduaan kaya enggak punya siapa-siapa.

“Yaudah, yang penting ada kita. Oiya, gue sama Mas Ril baru bisa datang after lo operasi. Gapapa kan? Julian ngantor jam berapa?” Gita sama Arial baru bisa jengukin Ara setelah jam makan siang selesai, mungkin Arial akan mengambil waktu setengah hari bekerja demi bisa jengukin adiknya itu.

“Gapapa, Git. Datang pas weekend juga gapapa, Ijul udah dapat izin kok dari atasannya. Dia bisa jagain gue.” Ara cuma enggak enak aja kalau terlalu banyak repotin Kakak sepupu dan Istrinya itu, biar bagaimana pun Arial sama Gita itu sama-sama sibuk. Belum lagi mereka repot ngurus si kembar yang lagi aktif-aktif nya.

“Aku sama Chaka bisa kok, Git. Nanti aku datang sama Chaka sebelum kamu masuk kamar operasi ya, Ra. Chaka besok kosong, terus aku juga cuma ada janjian sama klien jam 4 sore,” jelas Teh Niken.

Ara mengangguk kecil, hari ini dia gelisah banget karna mau operasi dan untungnya Gita sama Teh Niken bisa menjadi pelipur kegelisahannya itu.

Ara bisa rasain ada bau obat bercampur dengan pewangi ruangan yang di setel setiap 5 menit sekali itu bercampur memenuhi rongga hidungnya, kepalanya masih pening dan tubuhnya lemas bukan main. Selain itu dia juga merasakan mual seperti ada sesuatu yang ia ingin muntahkan namun sulit.

Dengan kondisinya yang masih sangat lemah, ia membuka matanya perlahan-lahan. Yang ia lihat pertama kali adalah Julian yang sedang memejamkan mata sembari menggenggam tangannya, Ara sudah selesai di operasi dia juga sudah keluar dari ruang observasi dan sudah kembali ke ruang rawatnya.

Rasanya ia kedinginan tapi mau menarik selimut hingga menutupi dada nya pun sulit, ia masih sangat lemas. Sembari merasakan tubuhnya yang enggak karuan rasanya, Ara tersenyum. Julian benar-benar menepati janjinya untuk berada di sebelahnya saat ia selesai operasi. Dan Julian lah orang pertama yang Ara lihat saat anestesi nya itu berangsur-angsur menghilang.

“Mas?” panggil Ara lirih, suaranya terdengar seperti bisikan. Namun karena hening di ruang rawat itu, Julian jadi langsung membuka matanya.

“Sayang, udah bangun? Maaf yah aku ketiduran.” Julian mau menekan nurse bell samping ranjang Ara namun Istrinya itu menahannya. “Kenapa?”

“Haus..”

Julian tersenyum, “aku ambilin minum dulu yah, sebentar.”

Di ruang rawat itu ada dispenser, jadi Julian mengambil gelas dan menekan tombolnya untuk mengambilkan air buat Istrinya itu minum. Ara minum agak banyak, dari gelas panjang yang Julian berikan, setengahnya tandas. Benar-benar kering tenggorokannya.

“Ada yang sakit gak?” Julian mau mastiin kalau Istrinya itu baik-baik saja. Waktu di ruang operasi Ara sendirian, Julian enggak di perbolehkan masuk dan cuma menunggu di depan ruang operasinya saja.

“Pusing, mual sama lemas aja, Mas.”

“Efek anestesi nya udah hampir hilang ya? Aku panggilin perawat yah?”

Ara menggeleng, “gausah. Nanti aja.”

Walau badannya enggak karuan, Ara ngerasa dia masih bisa nahan kok. dia gak mau dikit-dikit pakai pain killer dia gak mau ketergantungan sama obat itu. lagi pula efek seperti ini saat operasi wajar, waktu operasi usus buntu juga gini kok. tapi tiba-tiba Ara tuh jadi kepikiran, itu artinya ada 2 luka sayatan di perutnya. tubuhnya jadi enggak semulus dulu lagi, kira-kira Julian bakalan ilfeel liat dia gak ya?

“Mas?”

“ya, sayang?”

“berarti sekarang di perut aku tuh bakalan ada 2 luka sayatan ya? bekas aku operasi usus buntu dan miom. kamu gapapa?”

Julian sempat mengerutkan keningnya bingung, kok bisa-bisa nya dia nanya kalau Julian gapapa. padahal harusnya Julian yang bertanya seperti itu, mendapatkan 2 luka sekaligus rasanya pasti sakit. dan apakah nantinya Ara bakalan percaya diri sama luka-luka itu? kalau Julian sendiri sih enggak masalah, kalau kata Gita, Julian itu udah bulol banget. Ara mau gak mandi-mandi pun kayanya sayangnya Julian gak bakalan luntur. ya paling dia ajak mandi bareng doang sih, Pikir Julian.

“kok kamu nanya nya gitu? emang aku kenapa?” tanya Julian bingung.

“ya, gapapa. aku takut kamu ilfeel aja badan aku banyak luka gini.”

“kamu nih, habis operasi mikirnya berat banget.” Julian geleng-geleng kepala, beneran heran sama isi kepala Istrinya itu.

“emang kenapa kalau ada bekas luka? luka sekarang ini tuh nunjukin perjuangan kamu tau gak? ada atau enggaknya luka ini tuh sayang aku ke kamu gak pernah berubah.”

dengerin Julian ngomong gitu rasanya bikin Ara jadi gak karuan banget, rasa nyeri di tubuhnya jadi hilang gara-gara dia salting.

“gombal yah kamu?”

“enak aja, omongan aku emang kedengeran kaya gombal tapi aku tuh serius. kamu kalo tau isi kepala aku, kalo udah mikirin kamu tuh beneran pasti mikirnya aku kecintaan banget, tapi beneran itu adanya.” Julian tuh beneran sayang banget sama Ara, walau Ara suka mikir Julian kaya laki-laki di luar sana yang banyak nuntut Istrinya supaya bisa sempurna. pada kenyataanya, Julian cuma mau Ara bahagia dan sehat. 2 hal itu saja sudah cukup selain terus menemani Julian selamanya.

“kamu ih.” Ara senyum-senyum sendiri.

“kamu tau gak? tiap liat kamu sakit tuh, rasanya aku sedih banget pengen banget ngambil rasa sakit kamu terus pindah ke aku aja, kaya lebih baik aku yang sakit dari pada Istri aku.”

“kamu juga jangan sakit ih!” rajuk Ara. ini kalau anak kosan dengar percakapan mereka pasti pada muntaber berjamaah deh.

gak lama kemudian pintu ruang rawat Ara terbuka, ada Gita sama Arial yang baru saja datang setelah menitipkan si kembar dulu di rumahnya Elara sama Janu. ya mereka gantian jengukin Ara karena bawa anak-anak ke ruang rawat tuh kan enggak boleh.

“duhilehhh baru juga sadar bini lu Juleha udah di gombalin aja, ini pasangan emang gak berubah ya dari dulu,” celetuk Gita, pas mau masuk tadi dia gak sengaja dengar percakapan pasutri itu samar-samar.

“mulut lu manis banget, Jul. dasar pasangan alay,” Arial terkekeh. walau ngatain tapi dalam hati tuh dia seneng banget Julian bisa jagain Ara dan sayang sama adeknya itu. Arial ngerasa Julian emang tepat banget buat Ara.

“kamu emang gak kaya gitu? sama aja, cuma caranya yang beda.”

Julian yang dengar itu cuma bisa cengar-cengir aja Gita kaya lagi belain dia secara gak langsung, tapi emang bener deh dari dulu Gita selalu belain Julian terus tiap kali Arial mulai jutek atau ngeledekin Julian.

“sayang jangan ngumbar nanti aku di cengin iJul gimana?” Arial agak panik walau dia tau Julian juga gak bakalan berani ngeledekin dia.

“lagian, kenapa sih manis-manis sama Istrinya aja kudu malu? kalian tuh gak akan di cap kaya banci cuma karena manis banget ngurus Istrinya tau, malah orang yang dengar dan liat tuh pasti ikut senang juga, iya kan, Ra?” oceh Gita panjang lebar.

Ara yang masih lemas cuma ngangguk aja, “benar.”

karena ada Gita dan Arial, Julian berdiri membiarkan kursi yang ia duduki di pakai Gita untuk duduk. “Duduk, Git.”

“gimana, Ra? udah mendingan?” tanya Gita khawatir.

“lumayan, Git. masih lemas aja sih gak tahannya.”

Gita ngusap-ngusap pergelangan tangan Ara yang kurus itu, Ara tuh emang kurus dari dulu. Dulu emang Ara suka diet walau suka di omelin Julian tapi gak tau kalau sekarang, harusnya kalau enggak diet-diet sih enggak sekurus ini. Yuda dan Reno aja berisi banget, genetiknya Ara tuh gak sekecil ini harusnya. Beda sama Gita.

“Gue bawain sup ayam kampung, jeruk sama ada yogurt juga nanti di makan ya.”

Ara mengangguk, “thanks ya, Git, Mas Iyal juga. Maaf aku ngerepotin terus.” Ara tuh agak gak enak banget rasanya harus ngerepotin Gita sama Arial terus.

“Apa sih, Dek. Sembuh dulu aja ngerepotin apaan orang gini doang.” Arial ngusap-ngusap pucuk kepala Adiknya itu.

“Si kembar di titipin siapa, Mas?” tanya Julian.

“Sama Elara, nanti malem mereka kesini kok. Kalau Niken sama Chaka kesini nanti habis selesai praktiknya Niken,” jelas Arial.


by the way, Li. Lo mau bareng sama anak-anak yang lain gak buat jenguk Istrinya Pak Julian?” tanya teman satu divisi nya Liliana itu

Liliana yang gak tau tentang kondisi Istri seniornya itu mengerutkan keningnya bingung, ia tahu Julian enggak masuk ke kantor cuma dia juga enggak nanya-nanya senior nya itu kemana. Bingung juga mau tanya siapa, dan lagi dia belum ada urusan kerjaan lagi dengan Julian yang membuatnya harus bertemu Julian.

“Emangnya Istrinya kenapa, Mon?”

“Istrinya Pak Julian abis operasi, kalau enggak salah operasi pengangkatan miom deh.”

Liliana mengangguk, dia baru tau hal ini. “Di rumah sakit mana?”

“Di rumah sakit Antam Medika, gue sama yang lain abis balik ngantor mau jenguk nih. Lo mau bareng gak?”

Liliana menggeleng, dia bukan enggak mau jenguk Istri senior nya itu di hanya sudah berjanji pada Bella akan pulang tepat waktu untuk makan malam dan menonton film bersama anaknya itu.

“Kalian duluan aja, Mon. Gue besok aja kayanya, udah janji sama anak gue mau balik cepat.”

Monik akhirnya mengangguk, “yaudah.”