Meaning Of Love ☑️

Jeong Jaehyun, Ruruhaokeai, Lee Juyeon

Pagi itu setelah sarapan selesai, Yuno menepati janji mengajak Ara berkeliling Heidelberg. Seperti kebanyakan turis, Yuno mengajak Ara terlebih dulu ke Heidelberg Altstadt. Kota tertua yang ada di Heidelberg.

Hari ini Ara mengenakan Midi Dress dengan motif bunga di padu dengan Balero Monokrom dan Sneakers putih yang Yuno belikan sebagai hadiah ulang tahun Ara ke 16 tahun, Rambut panjang gadis itu tergerai cantik dengan jepit rambut berbentuk paw kucing di sisi kanan dan kirinya.

Ara jarang sekali mengenakan Midi Dress, tapi hari itu ia mengenakannya. Di perjalanan menuju Heidelberg Alstadt, Yuno sesekali memotret gadisnya itu. Ara benar-benar indah hari itu, lebih indah dari pada sungai Neckar di musim semi.

Begitu sampai di Heidelberg Altstadt, Ara banyak memotret kota itu. Sesekali ia juga bertanya pada Yuno setiap ada hal yang menarik perhatiannya. Tadinya ia ingin membuat mini vlog, tapi ia takut tidak menikmati perjalananya. Jadi ia urungkan niat itu.

“Di sini ternyata banyak turis ya, Kak. Banyak orang Asia juga.” Ara melihat ke sekelilingnya yang hari itu cukup ramai, banyak turis yang berjalan-jalan atau antre makanan di kedai-kedai yang ada di sana.

“Apalagi kalo summer lebih ramai lagi, kalau natal juga lebih ramai lagi. Bahkan ada pasar natal loh.”

“Iya? Apa kalau natal aku ke sini lagi aja?”

Yuno mengangguk kecil, jika di tanya ingin egois. Ia ingin sekali menahan Ara untuk tetap disini bersamanya, ia ingin menikmati kota ini bersama dengan gadis yang itu setiap harinya.

“Ini gelato yang paling ramai, kamu mau cobain gak?” mereka berhenti di sebuah kedai gelato yang pagi itu sudah ramai antrean hingga keluar kedai nya.

“Enak banget kali ya, Kak?” tanya Ara, ia menoleh ke arah Yuno.

“Mungkin, aku belum pernah cobain. Tapi 2 kali ke sini, kedainya selalu ramai. Mau coba?”

Ara mengangguk, mereka akhirnya sepakat untuk mengantre di depan kedai itu. Walau antreannya cukup panjang, 15 belas menit kemudian mereka sudah mendapati 2 gelato dengan rasa pistacio dan Stracciatella, Yuno bertanya katanya dua rasa itu paling laris.

Sembari jalan memperhatikan sekitarnya Ara menikmati gelato di tangan kirinya, sementara tangan kanan Yuno genggam dengan erat. Hari itu Heidelberg Alstadt begitu ramai Yuno takut Ara tertinggal atau tertabrak orang lain yang tubuhnya lebih besar dari gadis itu.

“Itu Kastil bukan sih, Kak?” Ara menunjuk sebuah Kastil di ujung sana yang tampak usang namun tetap memikat karena tampak indah, Kastil itu berdiri kokoh di atas gunung.

“Kastil Heidelberg, mau ke sana, sayang? Itu Kastil tertua loh.”

“Jalan yah?”

“Kalau mau jalan bisa, tapi aku gak yakin kamu kuat. Karena lumayan jauh, naik Bergbahn aja ya?”

Bergbahn?” Ara mengerutkan keningnya bingung.

“Itu kereta buat naik ke atas sana.”

“MAU!!!” pekik Ara.

Saking senangnya, saat berjalan menuju stasiun Ara sempat bersenandung kecil. Saat kedua mata mereka bertemu, keduanya saling tersenyum. Rasanya sudah lama sekali Yuno tidak merasakan sensasi menyenangkan seperti ini.

“Keretanya lucu ya, Kak. Bentuknya miring-miring gitu,” ucap Ara, jari telunjuknya terulur di udara seolah-olah ia sedang menggambar mengikuti likuk pola kereta gunung yang bentuknya sangat unik itu.

“Waktu pertama kali lihat aku juga mikir gitu, bentuknya lucu. Tapi setelah aku tau fungsi dari bentuknya yang gak biasa itu aku jadi sadar, kalau kereta ini di desain supaya penumpangnya lebih nyaman waktu kereta nya nanjak. Gak ada tuh kita jadi maju-maju ke depan karena keretanya lagi nanjak, penumpangnya bakalan berdiri atau duduk tetap stabil di dalam,” jelas Yuno.

“Ahhhh,” Ara mengangguk-angguk.

Bentuk keretanya memang unik, semakin ke belakang akan semakin tinggi dengan bentuk menyerupai zig zag. Ara belum pernah melihat bentuk kereta yang seperti ini, ah. Lagi pula ini perjalanan keluar negeri pertamanya, jadi wajar saja kan kalau banyak hal yang tidak ia ketahui.

Begitu sampai di atas Kastil, Ara melepaskan gandengan tangan Yuno. Gadis itu berlari kecil untuk bisa berada di sisi Kastil demi bisa melihat pemandangan kota Heidelberg dari atas Kastil.

Dari atas sana Ara bisa melihat jalanan yang ramai, pemukiman warga, sungai Neckar, gereja dan juga bangunan-bangunan yang tampak rapih.

“Kak Yuno ini bagus banget tau, keren!! Aku rasanya kaya jadi ratu.”

Yuno terkekeh, gak tahan dengar celotehan Ara yang kadang mirip anak kecil itu. “Kastil nya emang pernah jadi tempat tinggal Raja jaman dulu. Umurnya juga udah tua banget walau pernah beberapa kali di lakuin renovasi.”

“Di dirikan pada tahun 1214 dengan gaya Gothic-Renaissance,” lanjut Ara yang membuat Yuno terpukau.

“Kok pinter pacar aku?”

“Di kereta tadi aku sempat baca dari Google. Habisnya semua petunjuk disini pakai bahasa Jerman.”

Yuno terkekeh, ia kemudian berdiri di samping Ara yang tengah menikmati pemandangan kota dari atas Kastil itu. Rambut panjangnya berterbangan, membuat Yuno berdecap kagum dalam hati karena 2 keindahan yang disuguhkan di depannya.

“Itu,” Ara menunjuk sebuah bangunan yang ada di tengah sana. “Gereja Heiliggeistkirche yang kita lewatin tadi waktu ke Marketplaz kan, Kak?”

“Um,” Yuno mengangguk, “terus yang di sana itu namannya Alte Brücke, jembatan tua yang ada di atas sungai Neckar. Sebelum ke kampus aku, mau ke sana dulu gak?”

“Tapi ramai banget, Kak.”

“Tapi di sana ada patung monyet.”

“Hah?” Ara menoleh, menatap wajah Yuno dengan kening berkerutnya. “Patung monyet?”

Yuno mengangguk, “ada kepercayaan penduduk sini yang bilang, kalau kita pegang dan ngusap tangan monyetnya. Maka kita akan di bawa kembali ke Heidelberg, tapi kalau kita ngusap kaca yang di bawa sama patung monyetnya, katanya kita bakalan di beri keberuntungan.”

“Serius, Kak?”

Yuno menggedikkan kedua bahunya, “gak tau yah benar atau enggak, tapi udah jadi kepercayaan penduduk disini.”

“Aku mau coba kalau gitu! Aku mau—” ucapan Ara tertahan, ia tersenyum jahil membuat Yuno menaikan satu alisnya karena penasaran apa yang akan Ara ucapkan selanjutnya.

“Mau apa?”

Dengan gerakan yang sangat cepat, Ara berjinjit dan menarik kerah baju Yuno. Ia layangkan satu kecupan di pipi cowok itu, kemudian berlari. Membuat Yuno tersenyum cerah dan mengejar gadis yang sudah mencuri ciumannya itu.

“Awas ya kamu, heh Ara siapa yang ngajarin kamu nyuri ciuman kaya gitu?” ucap Yuno setengah berteriak.

“Kak Yuno yang ngajarin aku!!”

Yuno setengah berlari mengejar Ara, gadis itu sudah tidak berlari, ia hanya berjalan agak cepat menghindari Yuno.

“Kamu mau apa tadi?” tanya Yuno.

“Mau megang kaca di patung monyet nya, terus megang tanganya juga biar bisa balik ke sini lagi. Biar bisa nemenin Kak Yuno lagi disini.”


Begitu sampai di kampus Yuno, Ara tidak ada hentinya terpukau pada bangunan besar itu. Ara sempat mencari tahu tentang sejarah dari kampus kekasihnya itu, ternyata Ruprecht Karls University Heidelberg menjadi kampus tertua di Jerman sekaligus kampus terbaik se Eropa.

Ara gak heran kalau Yuno di terima di kampus itu karena cowok itu memang sangat pintar, walau kadang Ara suka merasa Yuno kurang percaya diri dan di tuntut untuk tidak cepat puas dengan apa yang ia dapatkan.

“Bagus banget, Kak. Jadi nanti Kak Yuno bakalan belajar disini?”

Yuno mengangguk, “di sini juga ada fakultas psikiatri dan psikologi, kamu gak mau kuliah di sini aja sama aku?

Ara tersenyum, Ara memang enggak bodoh di sekolahnya ia juga bukan termasuk deretan murid dengan segudang prestasi. Ara hanya murid biasa-biasa saja dengan nilai yang selalu stabil, ia sendiri bahkan enggak yakin bisa masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Walau Yuno kadang suka marah jika Ara selalu memikirkan kemungkinan terburuk dan meremehkan dirinya. Tapi tetap saja Ara susah untuk menepis pikiran buruk itu, semakin dewasa ia hanya tidak ingin berekspektasi berlebihan pada hidupnya. Ara tidak ingin kecewa dan membuatnya sakit, itu saja. Ia hanya berusaha menjadi gadis yang realistis.

“Aku aja gak yakin bisa masuk PTN di Indo, Kak. Apalagi masuk kampus kamu,” cicitnya. Ia duduk di taman kampus itu sembari menikmati semilir angin musim semi dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar taman.

Kalau sudah begini, kadang Yuno jadi jengkel sendiri. Ia benci Ara meragukan dirinya sendiri, padahal selama ini Ara yang selalu meyakinkannya jika Yuno bisa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

“Kenapa? Kan aku bisa bantu kamu.” Yuno duduk di sebelah gadis itu, menatap Ara yang masih terpukau pada gedung di depan mereka.

“Aku kan juga harus berbagi sama Mas Yuda sama Reno juga.” Meski terbilang keluarga yang berkecukupan, Ara tahu seberapa Papa bekerja keras demi bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Kantor agency advertising yang di dirikan Papa pernah mengalami titik terendah dimana Papa harus mengurangi jumlah pegawainya, bahkan Papa juga harus menggadaikan surat rumah yang di tempati dulu demi menyelamatkan perusahaanya yang nyaris gulung tikar itu. Kehidupan Ara berubah drastis, bahkan Ara terpaksa harus pindah ke sekolah biasa di Jakarta karena Papa tidak sanggup membiayai Ara di sekolah lamanya.

Yuno paham yang Ara bicarakan, Ara juga sudah pernah bercerita tentang pasang surut ekonomi keluarganya itu padanya.

“Aku bantu supaya kamu bisa dapat PTN di kampus yang kamu mau ya?”

“Beneran?”

“Nanti malam kita belajar?”

Kedua bahu Ara itu merosot, niatnya kan ke Jerman hanya ingin berlibur dan berkencan dengan Yuno. Tapi cowok itu justru mengajaknya untuk belajar.

“Kak....”

“Apa sayang?”

“Masa belajar sih?”

“Kamu mau dapat PTN gak?”

Ara mengangguk, wajahnya itu cemberut dengan sebal. “Tapi, Kak...”

“Kalau bisa ngerjain soal yang aku kasih nanti ada hadiahnya.”

“Apa apa?” Ara mengedipkan kedua matanya dengan penasaran.

“Rahasia lah.”

“Cium ya?”

“Ara...”

“Kan kamu yang ngajarin aku ciuman.”

Pesawat yang di tumpangi Ara sudah sampai di Bandara Frankfurt, tidak jauh dari Heidelberg tempat tinggal Yuno berada. Menggunakan kereta hanya menempuh jarak 1 jam 30 menit saja, lebih cepat di banding Ara harus landing di Berlin.

Yuno menunggu Ara di waiting room gadis itu bilang dia masih berada di imigrasi bandara. Siang ini, Yuno gak ada hentinya tersenyum, ia benar-benar bahagia karena sebentar lagi bisa bertemu dengan gadis yang sangat ia rindukan itu.

Mereka enggak ada rencana kemana-kemana hari ini, Yuno tahu Ara pasti akan lelah karena penerbangan panjang pertamanya. Jadi Yuno sudah menyiapkan beberapa hal yang akan mereka lakukan siang ini hingga malam nanti.

Begitu ponselnya bergetar halus di saku, buru-buru Yuno periksa. Dan benar saja, Ara mengiriminya pesan, bertanya keberadaan Yuno di mana karena ia sudah selesai melewati imigrasi bandara. Yuno berdiri, dan tidak lama kemudian ekor matanya itu mendapati Ara di ujung sana. Menyeret koper berwarna pink dan tas punggung yang senada dengan koper miliknya.

Gadis itu juga melihatnya, dan tanpa memperdulikan koper besar miliknya. Ara berlari ke arah Yuno, matanya bersinar cerah seperti ia tengah menemukan harta karun yang selama ini ia cari. Maka dari itu, Yuno merentangkan tangannya. Bersiap menangkap tubuh mungil itu untuk ia bawa pada dekap nya.

“Kak Yuno!!!” pekik Ara, tubuh mungilnya di tangkap oleh Yuno dengan gemas. Kaki nya itu bahkan nyari tidak menapak pada lantai karena Yuno sedikit mengangkat tubuh kekasihnya itu.

“Kangen,” ucap Yuno.

Ara memeluknya erat, menghirup aroma tubuh Yuno dengan rakus. Ia benar-benar merindukan cowok itu, Yuno enggak banyak berubah. Kulitnya masih putih pucat, hanya saja rambut cowok itu agak sedikit panjang dari yang terakhir Ara lihat.

“Sayang, kok nangis?” tanya Yuno, ia baru sadar jika bahu kecil Ara bergetar.

“Kangen, aku udah lama gak meluk Kak Yuno, nyium bau kamu, makan masakan kamu, di ajarin kamu. Pokoknya kangen, aku mau memonopoli kamu hari ini sampai besok dan seterusnya!”

Yuno mengurai pelukan itu, menangkup wajah gadisnya dan mengusap pucuk kepala nya itu. Ada sedikit air mata di ujung mata Ara yang ia usap dengan jarinya sendiri.

“Aku juga mau memonooli kamu, sayang, Jauh banget yah?”

Ara mengangguk, “Banget.”

“Capek gak hm?”

“Enggak, kok.” gadis itu tersenyum, matanya masih lekat menatap kedua netra legam di depannya itu.

“Kita pulang? Masih kuat naik kereta kan? Atau mau aku gendong aja?” Yuno menaikan satu alisnya, menggoda Ara hingga kedua pipi gadis itu merona.

“Apa sih, masih kuat tau aku. Tapi Kak Yuno bawain kopernya yah?”

“Tanpa kamu suruh, aku pasti bawain, yuk?” Yuno menggenggam tangan Ara, kemudian menggandengnya untuk keluar dari bandara.

Di perjalanan menuju Heidelberg, Ara banyak bercerita tentang perjalanan panjangnya. Dia bilang, dia bangga bisa berpergian sendiri seperti ini. Katanya sudah merasa seperti orang dewasa, walau di perjalanan Papa dan Bunda nya enggak ada henti-hentinya bertanya Ara sudah sampai di mana.

“Di dekat stasiun terakhir nanti, ada toko roti. Mau beli roti dulu gak?” Tanya Yuno waktu mereka hampir sampai.

“Mau!!”

Yuno tersenyum, “kamu udah kabarin Bunda sama Papa?”

“Udah kok, mereka lega banget waktu tau aku udah sampai.”

“Nanti sampai di apart, aku telfon Bunda kamu juga ya.”

Ara mengerutkan keningnya bingung, “buat apa? Kan Bunda udah tau aku sama kamu.”

“Ya buat ngasih tau kalo aku bakalan jagain kamu terus selama di sini, orang tua kamu pasti khawatir, makanya aku mau meyakinkan mereka kalo kamu aman sama aku, sayang.”

Ucapan Yuno barusan, berhasil membuat Ara mengulum senyumnya. Ia membuang pandanganya ke arah lain demi menahan senyum konyolnya, meski sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih. Ara masih mudah sekali tersipu karena kata-kata atau tindakan kecil yang Yuno lakukan untuknya.

“Di sini Kak Yuno udah punya teman belum?” tanya Ara tiba-tiba.

Yuno hanya menggeleng, ia baru beberapa hari pindah ke Heidelberg. Yuno belum mengenal banyak orang di sini, ia hanya baru berkenalan dengan tetangga sebelah apartemen nya saja karena mereka berkuliah di kampus yang sama.

“Cuma baru punya 1 kenalan, dia kakak tingkat aku di kampus.”

“Cewek?” tebak Ara.

“Cowok, sayang.”

Ara mengangguk-angguk. “Tapi Jerman baik-baik aja kan, Kak? Lebih betah di Jakarta atau di sini?”

“Kalau di sini, aku bisa sedikit bebas karena gak selalu di awasi Papa. Tapi kalo di Jakarta ada kamu.”

“Jadi?”

“Aku pilih yang ada kamu nya.”

“Ih gombal!!” pekik Ara.

Apartemen Yuno sudah rapih sekarang ini, cowok itu ngebut semalaman untuk merapihkan apartemen nya. Di tempat tinggalnya yang sekarang ini memiliki 2 kamar tidur, kamar Yuno tentunya lebih besar dari pada kamar tamu.

Di ruang tamu yang sekaligus ruang TV, Yuno memajang pigura foto dirinya sekaligus kedua orang tua nya. Sedangkan di meja dekat TV dan rak buku, ia taruh fotonya berdua dengan Ara serta foto kelulusan SMA nya.

Yuno juga menaruh tanaman hias serta vinyl koleksi Yuno yang ia beli di toko musik beberapa bulan yang lalu, Yuno itu suka sekali mengoleksi vinyl. Bahkan ia juga membeli Gramofon untuk sesekali ia putar vinyl itu jika sedang bosan.

Selama di Jerman, Yuno merasakan bisa menjadi dirinya sendiri yang mencintai musik. Berbeda jika di Jakarta dan tinggal dengan orang tua nya, Papa akan membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan musik. Entah apa yang membuat Papa begitu membenci musik.

Sembari menyiapkan cemilan dan teh untuk Ara, sesekali Yuno melirik gadisnya itu yang sibuk berkeliling melihat apartemen Yuno yang baru.

“Kak Yuno beli vinyl juga di sini?” tanya Ara, sampailah gadis itu di rak vinyl koleksi Yuno itu.

“Iya, masih sedikit tapi. Kamu mau dengerin?”

“Boleh, aku pilih sendiri boleh?”

“Boleh sayang.”

Ara nampak begitu tertarik dengan koleksi vinyl milik Yuno, ia lihat satu persatu. Setelah selesai membuat cemilan untuk Ara, di taruh nya cemilan dan teh itu di meja ruang TV dan Yuno hampiri Ara yang masih nampak bingung di depan rak vinyl koleksinya.

“Baby, I'm for Real, I Like It, They long to be, Close to You, Close To You,” gumam Ara, membuat Yuno di sebelahnya tersenyum kecil. “Kak Yuno suka yang mana? Aku belum pernah dengar lagu-lagu ini sebelumnya.”

“Baby, I'm For Real,” jawab Yuno, ia juga mengambil vinyl nya kemudian memasangnya di Gramofon.

Begitu lagunya di putar, Ara memejamkan matanya. Menikmati alunan lagu itu sembari sesekali ia bergumam, ia seperti pernah mendengar lagu ini sebelumnya.

“Suka gak?” sebelumnya Yuno belum pernah melakukan ini, menyelipkan rambut panjang gadis nya ke belakang telinga, agar tidak menghalanginya melihat wajah cantik kesayangannya itu.

Dan perlakuan kecil Yuno itu berhasil membuat Ara membuka kedua matanya, degup jantungnya menjadi semakin menggila ketika kedua netra legam itu kini menatapnya lekat, seolah-olah jika Yuno berkedip sedetik saja Ara akan hilang dari pandanganya.

“Kak Yuno?”

“Hm?”

Ara mengulum bibirnya, sejujurnya ada hal yang sangat ingin Ara lakukan jika sudah bertemu dengan Yuno. Ah tidak, lebih tepatnya hal yang ingin Ara dululah yang memulainya. Jadi, biarkan kali ini ia mengalahkan akal sehatnya sendiri. Dengan mengubah posisinya menjadi menghadap Yuno.

Kedua anak manusia itu saling tersenyum, alunan musik yang masih berputar itu seakan mengantarkan mereka pada dunia mereka berdua. Dunia yang seolah-olah hanya mereka lah yang tinggal di sana.

Telat Ara menyadari jika tangan Yuno sudah berada di pinggangnya, memeluk pinggang ramping itu untuk semakin dekat dengannya. Mengabaikan degup jantungnya yang semakin menggila, Ara memberanikan diri untuk membawa tengkuk Yuno semakin dekat dengan wajahnya. Hingga saat ini bibir keduanya bertemu.

Jujur saja, Yuno sedikit terkejut. Ara terlalu lugu untuk memimpin kecupan-demi kecupan ini, namun Yuno tetap membiarkan gadis nya itu memimpin. Jadi, ia pejamkan matanya dan ia balas kecupan itu perlahan-lahan.

Ara sempat berhenti sebentar, keduanya tersenyum sampai akhirnya Yuno lah yang bergantian menciumi bibir mungil itu duluan. Melalui lumatan kecil itu, Yuno hanya ingin mengutarakan kerinduannya, kasih sayang dan cintanya pada gadisnya itu.

Ara yang masih terlalu gamang untuk menyeimbangi itu hanya meremas kemeja yang Yuno pakai, namun perlahan tangannya naik mengusap pundak Yuno dan mengigit bibir cowok itu dengan gemas.

Decapan demi decapan mendominasi ruangan itu, sebelum semuanya semakin jauh. Yuno sudahi kecupan itu, membiarkan gadisnya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Jujur saja, 2 tahun berkencan dengan Ara. Baru hari ini mereka berciuman selama itu dan Ara yang memulainya.

“Kak?”

“Hm?” Yuno mengangkat satu alisnya.

“Ak..ku mau ganti baju dulu.”

Yuno tersenyum, ia kemudian mengangguk kecil. Ia tahu Ara malu, terlihat dari bagaimana semburat kemerahan itu muncul di kedua pipinya. Begitu sampai di dalam kamarnya, Ara langsung membanting dirinya ke atas ranjang dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.

Dia gak ada hentinya meruntuki dirinya sendiri yang dengan beraninya mencium Yuno seperti tadi, bahkan sekelebatan bayangan tentang bagaimana ia mencium cowok itu terus berputar di kepalanya.

“Aaaaahhhh stupid..” pekiknya tertahan, Ara malu setengah mati. Bagaimana jika setelah ini Yuno jadi berpikir jika ia adalah gadis yang agresif.

Pagi ini sebelum Ann bangun, Yuno sudah sibuk di dapurnya untuk membuat sarapan mereka berdua. Semalam Ann bercerita sehabis sarapan Ann ingin mengajaknya keluar sebentar, berjalan-jalan di sekitar apartemen Yuno yang di kelilingi banyak kuil. Heidelberg memang terkenal dengan kuilnya.

Setelah itu, mungkin Yuno akan mengantar Ann pulang ke Berlin. Yuno juga masih harus membereskan beberapa barang di apartemen lamanya yang harus dia bawa ke apartemen barunya.

Sedang asik membuat Bake Mashed Potato Crumb untuk sarapan, tiba-tiba saja ponsel milik Yuno berdering. Membuatnya harus segera mengangkat panggilan itu karena berasal dari Mama nya, jadi Yuno nyalakan pengeras suara agar ia masih bisa berbicara dengan Mama dan tetap menyelesaikan masakannya.

“Halo, Mah?”

sayang, Kata Papa kamu sudah mulai pindah sejak kemarin?” tanya Mama di sebrang sana. to the point sekali, pikir Yuno.

Yuno memang sempat mengabari Papa nya dan bercerita kalau ia sudah mulai pindah sejak kemarin, waktu itu Papa sempat menyuruh Yuno untuk menyewa jasa truk saja demi bisa mengangkut barang-barang Yuno.

Tapi Yuno menolaknya, Yuno sudah tahu harga truk yang di sewa untuk pindahan harganya cukup mahal, meski terbilang berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yuno tidak ingin hidupnya bergantung pada kedua orang tuannya. Selama Yuno masih bisa melakukannya sendiri, ia tidak akan pernah meminta bantuan orang tuannya.

“Iya, Mah. Urusan di Berlin udah selesai semua, makanya Yuno mutusin buat pindah secepatnya.”

tapi nyaman apart nya, No?

Setelah mengeluarkan Mashed Potato nya dari oven, Yuno menata makanan itu dan minuman di atas meja pantry. Kemudian membenahi peralatan bekas memasaknya. Biarpun seorang laki-laki dan ia tinggal sendiri, Yuno itu orang yang sangat bersih dan rapih. Dia gak bisa melihat rumah yang di tinggalkannya berantakan dan kotor.

“Nyaman kok, Mah. Cukup besar juga. Lebih nyaman dari pada yang di Berlin.”

syukurlah kalau begitu. Yuno?

“Yah, Mah?”

minggu ini Ara menyusul kamu ya? Mama ada titipan makanan untuk kamu dan Ara, di makanan nanti yah.

Yuno mengerutkan keningnya, namun sedetik kemudian ia tersenyum. Selain Ara, masakan Mama juga termasuk yang Yuno rindukan.

“Ara ngomong ke Mama?” tanya Yuno, terakhir kali Ara bercerita sebelum Ujian Nasional, gadisnya itu sempat mengunjungi Mama dan kedua nya memutuskan untuk makan siang bersama. Yuno senang Mama dan Ara sangat dekat, bahkan kadang Yuno merasa Mama lebih sayang dengan Ara di banding dengan Yuno. Tapi tidak apa, Yuno justru merasa senang. Karena dua wanita yang ia sayangi juga saling menyayangi satu sama lain.

Ara tuh rajin cerita ke Mama, apalagi kalau lagi kangen kamu. Dia pasti nanya Mama di mana, terus tau-tau nyamperin Mama. Pacarmu tuh lagi hobi masak yah? Mama di bawain makanan buatan dia terus loh, No.

Ara memang sedang gemar memasak, gadis itu bilang jika ia ke Jerman nanti ia ingin memasak sesuatu untuk Yuno. Dan Yuno semakin tidak sabar menantikannya, ia ingin mencicipi masakan gadisnya itu.

Dari kamar tamu, Ann keluar. Gadis itu sudah rapih dengan baju dan coat yang tidak terlalu tebal itu. Meski sudah melewati musim dingin, Jerman tetap dingin di waktu musim semi. Suhu nya masih berkisar 8-18° dan kadang malah bisa tiba-tiba hujan. Makanya Yuno masih sulit beradaptasi dengan cuaca yang tiba-tiba berubah drastis ini.

Karena tahu Yuno sedang menelfon, Ann hanya berbicara dengan Yuno melalui gerakan tangannya saja. Seperti bertanya apakah makanan yang Yuno masak untuk sarapan mereka berdua dengan menunjuk piringnya dan Yuno hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Ara malah enggak cerita kalau tiba-tiba suka nyamperin Mama. Curang yah dia, awas aja kalau nanti sampai sini, tapi iya, Mah. Ara emang lagi suka banget masak, katanya kalau ke Jerman mau masakin sesuatu buat Yuno.”

Yuno?

“Ya, Mah?”

jemput Ara nanti di bandara yah, Mama percaya kalian berdua bisa menjaga diri. Jaga kepercayaan kedua orang tua nya Ara juga yang sudah mengizinkan Ara untuk mengunjungi kamu. Jangan buat mereka kecewa, ngerti kan maksud Mama?

Yuno tersenyum, Yuno sangat paham maksud Mama. “Paham, Mah.”

ya sudah, sarapan sana. Jaga kesehatan yah, nanti Mama kabari lagi.

Setelah sambungan telfon dari Mama terputus, Yuno duduk di kursi meja pantry. Berhadapan dengan Ann yang sedari tadi sudah sarapan, bahkan makanannya sudah habis separuhnya.

sorry ya, Ann. Cuma ada sisa daging sama kentang doang di kulkas gue. Belum sempet belanja bahan makanan lagi,” ucap Yuno memecahkan keheningan di antara mereka.

“Gapapa, No. Ini juga enak banget kok, masakan lo tuh gak pernah gagal.” Ann tersenyum, walau agak sedikit canggung.

Ann mendengar obrolan Yuno dengan orang tua nya, Ann tidak menyangka jika gadis bernama Ara itu juga sangat dekat dengan orang tua Yuno hubungan keduanya sudah sejauh itu ternyata. Terlebih, Mama nya Yuno sepertinya sangat menyayangi Ara. Ann jadi penasaran, seperti apa gadis bernama Ara itu.

“No?” panggil Ann, membuat Yuno yang tadinya sedang makan itu jadi menoleh ke arahnya.

“Hm?”

she want to stay here?” tanya Ann hati-hati, suaranya bahkan memelan.

Yuno yang sempat bingung itu mengerutkan keningnya, namun tidak lama kemudian ia mengangguk paham.

“Ara?”

“Um,” Ann mengangguk. “sorry gue gak sengaja dengar obrolan lo sama nyokap lo.”

“Santai aja, Ann.” Yuno tersenyum. “Cewek gue cuma liburan kok, habis selesai UN. Hampir setahun juga kita belum ketemu lagi, yah mungkin sekitar 10 harian dia disini.”

Ann meringis, Ann masih terlalu gamang pada perasaanya dengan Yuno. Bingung menyebutnya seperti apa, ia nyaman berada di dekat Yuno, kagum dengan apa yang cowok itu lakukan. Tapi tidakah terlalu cepat menyebutnya jika ia menyukai Yuno? Tapi melihat Yuno tersenyum hanya dengan seseorang menyebut nama Ara, dan bagaimana ia menceritakan tentang gadis itu.

Membuat hati Ann terasa di remas dari dalam. Ia bukan membenci Ara, ia hanya tidak nyaman saja. Namun di sisi lain, Ann tetap penasaran seperti apa gadis yang Yuno cintai itu.

“Dia baru lulus SMA?”

“Dia adik kelas gue, Ann. Nanti gue kenalin yah.”

Ann hanya mengangguk.


Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional, dan setelah ujian berakhir. Janu mengajak Echa, Ara, Gita, Kevin, dan Chaka untuk bermain bersama. Merayakan hari bebas mereka, belum bisa di bilang hari kelulusan. Karena pengumuman kelulusan masih agak lama.

Hari ini mereka berkumpul di rumah Janu, enggak di jalan atau bahkan di taman kota. Karena dari SMA kedua nya sudah di himbau untuk tidak melakukan iring-iringan kendaraan atau bahkan mencoret-coret seragam sekolah sebagai bentuk tamatnya masa putih abu-abu mereka.

Kedua orang tua Janu sudah menyiapkan banyak makanan dan juga cemilan untuk mereka, beruntung teras rumah Januar cukup luas dan nyaman, banyak semilir angin yang membuat siang hari itu nampak lebih sejuk meski di luar begitu terik.

Gita yang duduk di dekat Ara itu tersenyum, matanya enggak sengaja melihat Ara yang sedang membalas pesan singkat dari Yuno. Gadis di sebelahnya itu memberi tahu kalau ia sedang di rumah Janu bersama dengan yang lainnya.

“Lo flight ke Jerman kapan, Ra?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Chaka dan Kevin menoleh ke arah keduanya.

“Ara mau ke Jerman? Nyusul Bang Yuno?” tebak Chaka.

Ara yang di tanya begitu mengangguk, ia kemudian tersenyum. “Lusa gue berangkat, Git. Besok mau ke rumah Bunda Lastri dulu, Karena Bunda nitip makanan buat Kak Yuno.”

“Asik banget, gue jadi kepengen ikut. Kangen juga sama Kak Yuno.”

“Ikut yuk! Biar gue enggak sendiri.”

Gita mendecap, “gue udah ada acara, Ra. Tuh sama Kevin.”

“Ah,” Ara mengangguk-angguk. “by the way kalian udah dapat kosan di Bandung?”

“Udah, Ra. Tapi belum survey, mungkin bulan depan kali,” jawab Kevin.

“Kalian udah ada rencana kuliah dimana belum sih? Kok kayanya gue gak ada tujuan banget.” Chaka memang masih bingung mau ke kampus mana, selain itu dia juga masih gamang untuk memilih jurusan apa. Berbeda dengan Kevin, Gita dan Januar yang sudah mantap dengan pilihan mereka.

“Gue sih mau usaha di Jakarta dulu yah, gue juga udah bulat ambil teknik.” Echa sudah mantap akan mengambil fakultas teknik di kampus yang ada di Jakarta, ya itu jika ia keterima tapi jika tidak. Ia akan tetap mantap pada jurusan tehnik dan akan mengambil kampus yang sama dengan Janu. Echa sempat mencari tahu tentang fakultas teknik di Narawangsa, dan fakultas teknik di sana menjadi salah satu fakultas terbaik di sana.

“Gue udah mantap mau ambil jurusan psikologi, tapi di kampus yang di Malang. Tapi kalau gak keterima gue mungkin ambil kampus yang sama kaya Mas Arial.”

“Arial?” mendengar nama Arial di sebut, membuat Gita memekik.

Ara mengangguk. “Um, Mas Iyal, Git. Kenapa?”

Gita menarik nafasnya pelan, namun kemudian ia menggeleng. “Gapapa, emangnya Ari— Mas Arial di kampus mana?”

“Narawangsa, dia anak Fisip.”

“Fisip?!” pekikan Gita sekali lagi berhasil membuat yang lainnya menoleh ke arah gadis itu.

“Kenapa sih, Hon? Kok kaya kaget banget?” tanya Kevin yang penasaran.

Sudah terhitung hari ketiga Ujian Nasional di Indonesia berlangsung, sejak hari terakhir Yuno dan Ara bertukar kabar melalui panggilan video. Sejak hari itu Yuno menyuruh Ara untuk fokus pada ujiannya dulu, mereka membatasi bertukar kabar lagi setelah itu.

Hanya pesan singkat saja yang Ara balas ketika di Jakarta pagi hari sebelum gadis itu berangkat ke sekolahnya, Yuno paham dan memaklumi itu. Ia sama sekali enggak keberatan dengan intensitas komunikasi mereka yang semakin berkurang.

Hari ini, Yuno mulai memindahkan satu persatu barang miliknya ke apartemen nya di Heidelberg. Sekolah bahasanya sudah selesai, Yuno hanya tinggal menunggu masuk ke kampusnya sebagai mahasiswa kedokteran di tahun ajaran baru, Barang yang Yuno pindahkan ke apartemen barunya juga hanya baju dan barang kecil-kecil saja.

Sisa nya apartemen yang berada di Heidelberg sudah include dengan perabotan. Kemarin Yuno di bantu oleh Josep, tapi hari ini Josep juga sedang mencari jasa truk untuk ia pakai pindahan. Di antara Yuno, Josep dan Roseane. Hanya Ann yang berada di Berlin, ia akan kuliah di kampus yang ada di sana.

Sementara Josep di Hamburg dan Yuno di Heidelberg. Namun, ketiganya setuju jika ada waktu luang, mereka harus bertemu walau hanya untuk sekedar ngopi. Di stasiun menuju Heidelberg, Yuno sedikit melirik Ann yang hari itu membantunya, Ann membawa koper kecil berisi buku-buku dan satu paper bag berisi makanan yang barusan mereka beli.

“Lo gak keberatan?” tanya Yuno sedikit khawatir pada Ann, kadang Yuno heran. Ann itu kurus tapi gadis itu benar-benar kuat. Bahkan awalnya Ann memilih koper besar berisi sisa baju-baju Yuno, mana tega Yuno membiarkan Ann yang kurus dan seorang perempuan membawa koper besar itu.

“Ya ampun, No. Koper kecil gini doang mah gue kuat,” jawab nya enteng, seolah-olah itu bukan masalah buatnya.

Yuno hanya bisa tersenyum kemudian melihat ke arah arloji miliknya. “Keretanya sampai sini 10 menit lagi, by the way, thanks ya Ann udah bantuin gue pindah.”

Ann mengangguk, ia menoleh ke arah Yuno yang hari itu terlihat sedikit pucat baginya. “Muka lo pucat, No. Lo sakit?”

“Agak gak enak badan, kecapekan gue kayanya.”

Tangan kurus Ann kemudian terulur memegang kening Yuno, badan Yuno demam. Suhu nya sangat berbeda dengan suhu badan Ann saat ini, pantas saja Yuno agak sedikit lebih diam.

“Tau lo sakit mending kita pinjam mobilnya Rosalie buat pindahan elo, dari pada naik kereta kaya gini.”

“Naik mobil lebih lama 2 jam, Ann. Lagian apart gue gak jauh dari stasiun kok, udah lah gapapa.”

Walau Yuno bilang gapapa, tapi tetap saja Ann khawatir dengan cowok itu. Begitu kereta yang akan mereka tumpangi datang, buru-buru Ann masuk untuk menaruh koper milik Yuno dan sedikit berlari ke mini market untuk membeli beberapa obat. Seingat Ann, kotak obat milik Yuno masih berada di apartemen lamannya.

“Lo habis dari mana?” Yuno tadi sempat mencari Ann ke gerbong lain, takut-takut Ann nyasar. Gadis itu bilang ingin ke toilet sebentar, padahal Ann keluar dari kereta terburu-buru demi bisa membelikan Yuno obat.

“Mini market buat beli obat penurun demam, lo udah makan kan tadi? Minum dulu obatnya ya.” Ann menyuruh Yuno untuk duduk di kursinya, sementara ia membukakan air minum yang ia bawa di tas miliknya dan juga memberikan Yuno obat yang barusan ia beli.

“Lo tuh calon dokter, No. Sebelum nyembuhin pasien lo, lo harus bisa jaga kesehatan diri lo sendiri.”

Yuno hanya pasrah saja, ia meminum obat itu, kemudian bersandar pada kursi kereta. Sejak ia pindah ke Jerman, kedua orang tua nya jarang sekali mengabari Yuno. Papa dan Mama benar-benar sibuk di rumah sakit, apalagi Yuno tahu kalau akhirnya Papa berhasil menjabat sebagai direktur rumah sakit yang di dirikan oleh Eyang kakungnya.

Dulu, sewaktu Yuno pertama kali pindah ke Berlin dan sakit. Ara sangat mengkhawatirkannya, gadis itu bahkan gak ada hentinya untuk mengingatkan Yuno minum obat, makan dan istirahat. Namun saat ini Ara bahkan enggak tahu kalau Yuno sakit, Yuno juga gak cerita karena ia tidak ingin membuat gadis nya khawatir.

“Sekali lagi, thanks ya, Ann.”

“Sama-sama.”

Kereta yang keduanya tumpangi itu jalan, di perjalanan Yuno sempat tertidur karena efek mengantuk dari paracetamol yang Ann berikan untuknya, di sebelah Yuno. Alih-alih ikut tertidur juga, Ann justru mendengarkan lagu dari earphone nya sembari memperhatikan setiap lekuk wajah Yuno yang menurutnya sangat sempurna itu.

Hidungnya kecil dan mancung, alis yang tebal, bulu mata yang lentik, bibir yang menawan sempurna serta bulu-bulu halus di wajahnya. Kadang Ann berpikir Yuno terlalu sempurna untuk ukuran manusia pada umumnya, katakan ia berlebihan tapi itu adalah sebuah kejujuran tentang Yuno darinya.

Sedang asik menelisik wajah Yuno, tiba-tiba saja kedua mata itu terbuka. Ann yang tadinya tersenyum, kini mendadak membuang pandanganya ke arah lain dan sedikit canggung.

“Gue ketiduran.”

Ann dengar, namun ia memilih untuk tidak menggubris ucapan Yuno. Lagi pula ia bisa berpura-pura tidak mendengar karena masih ada earphone di telinganya, namun merasa pundaknya di sentuh oleh Yuno. Akhirnya Ann membuka earphone yang menyumpal telinganya itu.

“Kenapa?”

“Rosalie bilang dia gak bisa jemput lo.” Yuno menunjukan ponselnya yang berisi pesan singkat dari Rosalie, Rosalie itu teman mereka sekaligus tetangga Ann. Ann sudah meminta tolong pada Rosalie untuk menjemputnya, namun gadis itu kali ini bilang tidak bisa menjemputnya karena Ibu nya baru saja datang.

Ann menghela nafasnya berat. “Gue balik naik kereta lagi aja, No.”

“Udah gelap gini.”

“Gapapa, gue biasa kemana-kemana sendiri lagi.”

“Lo gak mau keliling Heidelberg dulu? Seenggaknya balik besok, kebetulan di apart gue ada 2 kamar. Lo bisa pakai kamar tamu kalau mau.”

Tidak ada jawaban dari Ann, gadis itu hanya menatap wajah Yuno lekat-lekat. Membuat Yuno yang berada di depannya sedikit bingung.

“Ann?” panggil Yuno menyadarkan Ann dari lamunannya.

“Gapapa gue langsung balik aja, No.”

“Besok aja, besok gue yang antar lo balik ke Berlin.”

Akhirnya Ann mengangguk, dalam hati bolehkan ia layangkan harapannya kembali pada Yuno meski ia tahu Yuno sudah memiliki seseorang di hatinya.


“Jadi lo udah pasti banget tuh di Bandung, Nu?” tanya Ara.

Janu, Ara dan Echa masih bersantai di taman sekolah. Mereka sudah pulang, tidak ada yang mereka tunggu lagi. Namun Echa mengajak keduanya untuk duduk sembari membicarakan tentang kampus yang akan mereka ambil. Echa gak ada rencana buat kuliah di luar kota, keinginannya adalah tetap berkuliah di Jakarta.

“Pastilah, bokap gue udah daftarin gue di sana.”

“Di Narawangsa tuh?” kening Echa berkerut.

Janu mengangguk kecil, “lagian yang, kenapa enggak bareng aku aja sih? Kan kita bisa kost bareng. Ada Gita sama Kevin juga.”

Echa, Janu dan Ara sudah tau kalau pada akhirnya Gita kembali mengekori Kevin. Keduanya juga sudah mencari kosan di Bandung yang dekat dengan kampus keduanya. Sementara Echa, dia masih berusaha untuk dapat perguruan tinggi negeri di Jakarta.

“Aku masih mau berusaha dapat PTN dulu, Nu. Kalo lo gimana, Ra?”

Ara yang di tanya gitu menghela nafasnya berat, “sama, Cha. Mau coba PTN dulu. Kalau enggak dapat yah gue ke Narawangsa, Papa juga nyuruh gue di sana. Ya seenggaknya Narawangsa lebih baik dari pada gue harus satu kampus sama Mas Yuda.”

“Gue pikir lo bakal nyusul Bang Yuno ke Jerman, Ra.” celetuk Janu asal-asalan.

“Duit Papa gue enggak sebanyak itu, Nu.”

“Tapi lo jadi, Ra. Liburan ke Jerman nyusul Kak Yuno?”

Ara mengangguk, “gue udah pesan tiketnya juga. Mungkin seminggu gue di sana, gila lo habis hectic sama UN gue gak healing bisa setress nanti sebelum nyiapin diri buat kuliah.”

“Healang healing, elu mah mau pacaran gitu pake bilang healing segala,” cerocos Janu.

“Eh diem yah lo kadal gurun!” sentak Ara kesal, kadang mulutnya Janu tuh kaya Ibu-Ibu julid.

“Papa lo ngizinin, Ra?”

“Um!” Ara mengangguk. “Kak Yuno yang minta izin, Kak Yuno berhasil yakinin Papa. Yaudah deh di kasih izin.”

“Jangan aneh-aneh ya lo berdua di sana,” Echa terkekeh, dia udah ngasih ultimatum buat Ara walau sebenarnya Echa yakin kalau Ara dan Yuno pasti menjaga diri dan tahu batasan pacaran mereka.

“Heh, Kak Yuno bukan orang kaya gitu yah, enak aja lo. Harusnya gue tuh yang bilang gitu ke lo berdua.”

Setelah selesai Ujian Nasional, Ara akan segera berangkat ke Jerman. Dia sudah sangat merindukan Yuno, bahkan Ara sudah membuat daftar kencan bersama Yuno.

“Mas Yuda!! Mas Yuda!” pekik Ara, gadis itu turun dari lantai dua tempat kamarnya berada, Ara sudah rapih dan tengah mencari Yuda untuk meminta di antarkan ke rumah Yuno hari ini.

Di meja makan, gadis itu hanya mencomot pastel yang tadi pagi Papa nya beli di pasar sewaktu mengantar Bunda belanja. Papa sedang minum kopi di meja makan sembari menonton siaran ulang bola semalam melalui ponselnya.

Karena Yuda tidak kunjung keluar dari kamarnya, akhirnya Ara berinsiatif untuk memakai sepatunya dulu. Biar setelah Yuda keluar dari kamarnya mereka bisa langsung jalan.

“Pelan-pelan, Kak. Makan dulu baru di pakai sepatunya,” ucap Papa yang mulai risih liat Ara keribetan sendiri.

“Duh, Pah. Udah telat ini, Kak Yuno sama Bunda Lastri udah siap.” Ara menghela nafasnya, kemudian menghabisi pastel isi telur dan bihun itu dalam sekali suapan.

“Mas Yuda kemana sih, Pah?” Tanya Ara pada akhirnya karna Yuda tidak kunjung keluar juga.

“Di kamarnya, sana kamu panggil aja.”

“Ck.”

Ara yang sudah tidak sabaran akhirnya berjalan ke kamar Yuda, dan benar saja cowok itu masih sibuk menyisir. Rambut Mas Yuda memang sudah gondrong, dia enggak mau cukur, katanya masih betah dengan rambut panjangnya.

Dan perlu Ara akui jika rambut gondrong Mas Yuda memang cocok untuk dirinya, walau terlihat semakin sangar tapi Mas Yuda justru bertambah maskulin dengan tatanan rambut yang selalu ia ikat itu.

“Mas Yuda!!! Ihhh lama, buruan nanti aku di tinggalin!” Pekik Ara.

“Sabarrrrrrr!!”

“Ngaca mulu ih kaya ikan cupang, buruan, aku tunggu di depan.”

Akhirnya Ara masuk ke dalam mobil lebih dulu, di mobil ia menghela nafasnya dengan berat. Hari ini adalah hari keberangkatan Yuno ke Jerman untuk studi nya, Yuno sudah terdaftar menjadi mahasiswa di sebuah universitas bergengsi di Berlin.

Sebenarnya berat bagi Ara harus menjalani hubungan dengan jarak jauh seperti ini, bukan hanya soal perbedaan waktu yang cukup jauh, tapi juga keberadaan Yuno yang selalu bersamanya, Membuat Ara akan merasakan kehilangan, namun apa daya, dia sendiri gak bisa melarang Yuno untuk meraih apa yang cowok itu impikan.

Sedang asik melamun sembari mengusap liontin dari kalung yang Yuno belikan, tidak lama kemudian Mas Yuda datang. Cowok itu langsung masuk ke dalam mobil sembari bersiul, namun saat melihat raut wajah Ara yang sedikit mendung, Yuda mengerutkan keningnya.

“Dih, nangis lu yah?” tanya Yuda, lengkap dengan nada paling menyebalkan di telinga Ara.

“Berisik ah, udah jalan aja buru.”

“Yeeealah, Dek. Baru di tinggal ke Jerman ama Yuno aja nangis, liburan juga dia bakal balik.”

Ara diam saja, Mas Yuda memang suka menganggap sepele. Pantas saja setiap kali menjalin hubungan dengan perempuan, hubungan itu tidak akan bertahan lama. Ara sih enggak heran, karena yang sudah-sudah mantan kekasih Mas Yuda selalu bercerita betapa Yuda cuek dan masih nyaman dengan dunia nya sendiri.

Seperti Yuda sering lupa membalas pesan singkat, tidak ada waktu untuk sekedar jalan berdua atau terkadang Yuda yang terlalu friendly dengan teman-teman perempuannya yang lain.

“Takut Yuno selingkuh yah?” tebak Yuda, cowok itu melirik Ara sesekali dan kemudian kembali fokus menyetir. Untungnya pagi itu jalanan tidak terlalu padat, jadi Ara bisa pastikan tidak akan terlambat untuk sampai ke rumah Yuno.

“Apaan sih, Kak Yuno tuh gak gitu.”

“Terus kenapa mewek?”

Ara menghela nafasnya pelan, ia memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela dan melihat jalanan di luar sana.

“Takut kangen aja.”

“Yaelah, Dek. Dangdut amat, sekarang kan jamannya udah canggih, udah bisa video call.”

“Tapi video call sama ketemu langsung tuh beda Mas Yuda.” Ara melipat tangannya di depan dada. “Gini nih, pantes aja pacar-pacar Mas Yuda minta putus, orang cowoknya aja cuek kaya begini.”

“Dih, enak aja. Mas tuh bukannya cuek, tapi mencoba memprioritaskan apa yang lebih penting dulu. Lagian masih pacar juga.” Yuda memang seperti itu, ia akan memprioritaskan apa yang menurutnya penting ketimbang sibuk berkencan dan mengabaikan urusan kampusnya.

Yuda itu aktif dalam organisasi di kampusnya, selain itu, Yuda juga masih suka bermain futsal, menemani Reno bermain basket atau sepedaan dan tentunya aktif dalam kegiatan menyuarakan aspirasi.

Bisa di bayangkan betapa sibuknya Yuda, kan. Dan dia kadang suka lupa kalau dia punya pacar yang menunggu kabar darinya, waktu di putusin pun Yuda gak pernah menyangkal kalau ia memang suka sibuk sendirian. Makanya kali ini Yuda enggak mau punya hubungan apa-apa sama perempuan, ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lagi karena sikap cueknya itu.

“Terserah Mas Yuda aja lah.” percuma juga berdebat dengan Yuda, isi kepala nya dan Yuda sangat berbeda.

Tidak lama kemudian mobil yang di kendarai Yuda sampai juga di depan rumah Yuno, sudah ada mobil Bunda Lastri terparkir di depannya tapi Ara enggak melihat ada mobil Papa nya Yuno di sana.

“Heh, nanti pulangnya Mas Yuda gak bisa jemput, kamu naik ojol aja yah.” biasanya Ara memang suka meminta di jemput Yuda, yah walau kadang Yuda sendiri agak sedikit ngaret menjemputnya.

“Aku pulang sama Bunda Lastri.”

Setelah mengatakan itu, Ara langsung menutup pintu mobil nya dan masuk ke dalam rumah Yuno. Di sana Yuno sudah siap dengan koper besarnya dan backpacker yang ia bawa, sebagian barang Yuno yang lain sudah di kirim duluan ke apartemen yang akan Yuno tempati di Berlin.

Dan tidak membutuhkan waktu lama, mereka pun segera menuju ke Bandara. Di perjalanan Bunda banyak bercerita bagaimana kondisi kampus Yuno di Berlin, apartemen dan juga sekolah bahasa yang akan Yuno jalankan dalam setahun ini sebelum nantinya ia akan resmi menjadi mahasiswa kedokteran.

Ara sesekali menanggapi, walau terkadang ia harus menahan mati-matian perasaan tidak nyamannya. Di dalam mobil, Ara duduk di belakang bersama Bunda Lastri, sementara Yuno duduk di sebelah Pak Mamat, supir keluarga Yuno.

“Oh iya, Bun. Kok Papa gak ikut?” Ara dari tadi enggak lihat Papa nya Yuno, setahunya Papa sudah berjanji untuk mengantar Yuno juga.

“Papa ada jadwal operasi, sayang. Jadi terpaksa deh gak bisa antar Yuno, pagi-pagi sekali sudah pergi.”

Ara mengangguk, saat ia hendak melihat ke arah jendela matanya justru bertemu dengan mata Yuno yang tengah melihatnya dari rear view mirror. Yuno tersenyum, dan itu juga membuat Ara ikut tersenyum.

Begitu sampai di Bandara, Bunda Lastri menyingkir sebentar untuk menerima telfon dari rumah sakit. Dan kesempatan itu di pakai Yuno dan Ara untuk berbicara berdua sebelum Yuno boarding.

“Semalam aku mikirin banyak hal, Setelah telponan sama kamu,” ucap Yuno yang membuat Ara bingung. Matanya memandangi pautan tangan mereka, kemudian menoleh ke melihat wajah cantik yang nantinya akan sangat ia rindukan itu.

“Mikirin apa?”

“Kalo aku harus secepat mungkin selesain studi kedokteran aku, biar bisa pulang.”

Ara terkekeh, ia pikir Yuno mikirin apa. “Harus! Tapi juga Kak Yuno harus jaga kesehatan di sana, jangan telat makan, jangan terlalu forsir diri.”

“Sama jangan lupa mikirin kamu gak?” Yuno tersenyum, dan itu membuat Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Apa sih, gombal.”

Melihat pipi kekasihnya yang semakin merona itu, Yuno hanya bisa terkekeh dan mengusap pucuk kepala Ara. Ia akan selalu merindukan suara gadis itu, rajukkanya dan pelukannya yang selalu membuat Yuno nyaman. Ah, jangan lupa cerita keseharian Ara dan teman-temannya itu.

Tidak lama kemudian tibalah waktu Yuno harus segera boarding Bunda Lastri sempat memeluk putra satu-satunya itu, dan memberikan nasihat-nasihat untuk Yuno. Sementara Ara berdiri di belakangnya, ia menahan segala gejolak kesedihan di sana, sungguh. Ara tidak ingin menangis.

Ia juga sudah berjanji pada Yuno bahwa saat akan mengantarnya ia tidak akan menangis, maka dari itu ia memilin ujung bajunya sendiri dan mati-matian mengigit bibir terdalamnya.

“Bunda duluan yah, Ra. Bunda tunggu di mobil,” ucap Bunda sembari menepuk bahu Ara, Bunda Lastri memberikan waktu bagi Yuno untuk mengucapkan salam perpisahan sebelum jarak memisahkan keduanya.

Saat Bunda sudah pergi barulah Yuno merentangkan tangannya, memberi isyarat pada Ara untuk segera memeluknya. Dan di saat itulah tangis Ara pecah, dalam pelukan cowok itu. Ia banyak-banyak menghirup aroma tubuh Yuno yang nantinya akan sangat ia rindukan.

“Kalo liburan aku pasti pulang, atau kalau kamu libur, Kamu aja yang ke Berlin gimana, hm?” Yuno berusaha untuk menghibur Ara, ia juga berat di tangisi seperti ini. Dulu, waktu Yuno mengatakan jika ia akan kuliah di Jerman. Mereka sempat bertengkar, Ara bilang dia enggak akan kuat untuk berhubungan jarak jauh dengan Yuno, Namun Yuno berhasil meyakinkannya.

Yuno sangat paham, terkadang Ara memang belum dewasa sepenuhnya. Dan Yuno menerima sifat kekanakan kekasihnya itu, menurutnya ada banyak keistimewaan Ara yang membuat Yuno tetap memilihnya alih-alih sifat kekanakannya.

“Tapi pasti lama kan?” ucap Ara di sela-sela isak nya.

“Kan bisa video call kalau kangen, yang berubah dari kita cuma banyak menunda buat ketemu. Kamu masih bisa cerita ke aku, aku masih bisa ngajarin kamu, aku masih bisa milihin kutek mana yang mau kamu pakai, masih bisa nyanyiin kamu.”

Karena tidak ingin semakin memberatkan Yuno, Ara mengurai pelukan mereka, menatap wajah tampan yang sebentar lagi akan pergi ke benua lain meninggalkannya. Yuno tersenyum, tidak ada bolongan indah di pipinya, namun senyum itu masih tetap menawan di mata Ara.

Kedua ibu jari cowok itu mengusap pipi Ara, kemudian terulur mengusap bahu kecilnya. Berharap isak gadis itu segera reda.

“Kak Yuno janji jangan lupa makan lagi?”

“Um,” Yuno mengangguk.

“Pakai jaket yang aku beliin kalau pergi pas winter.

“Siap.”

“Jangan genit-genit sama bule di sana.”

“Pacar aku secantik ini buat apa genit sama bule di sana?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, ia mengangguk pelan.

“Aku berangkat yah.”

Ara masih menunduk, ia tidak ingin menatap Yuno dan berakhir menangis lagi. Namun siapa sangka jika Yuno justru menangkup wajahnya dan melayangkan satu kecupan di bibir ranumnya, membuat kedua mata Ara membulat dan waktu terasa berhenti berputar sejenak.

Yuno sedikit melumat bibir mungil itu, memangutnya dengan sangat hati-hati meski gadisnya tidak membalas ciuman itu, Ara memang masih kaku. Ia hanya memejamkan matanya menikmati setiap kecupan itu, saat di rasa sudah cukup meluruhkan segala gumpalan ketidaknyamanan di hatinya, Yuno melepaskan pautan itu.

Dan kakinya melangkah pergi meninggalkan Ara, ia tidak ingin menoleh ke belakang lagi yang nantinya akan semakin membuat langkahnya semakin berat.

Setelah selesai mempelajari beberapa materi untuk ujian sekolah bahasanya, Yuno hendak akan tidur. Ini sudah jam 12 malam di Jerman dan sebelum ia tidur, Yuno sempatkan mengirimkan pesan singkat ke Ara hanya untuk mengucapkan selamat pagi.

Setelah itu ia menarik selimut miliknya lalu menonton beberapa video dulu sebelum akhirnya terlelap, sudah 4 bulan setelah Yuno di Jerman dan ia masih aktif menjadi siswa sekolah bahasa Jerman sampai ke tingkat B2 sebelum akhirnya nanti melanjutkan ke kampus kedokterannya.

Satu bulan pertama setelah pindah Yuno banyak sekali kaget dengan budaya di Jerman, makannya dan yang jelas iklim di sana. Terlebih, Yuno benar-benar sendiri. Tidak ada sanak saudara di Jerman maka dari itu Ara tidak ada hentinya mengingatkan Yuno untuk menjaga kesehatannya.

Jika di tanya rindu dengan Jakarta dan segala bentuk kebisingannya, maka Yuno akan menjawab, tentu saja ia rindu. Mata yang perlahan-lahan mulai berat itu kembali segar ketika sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Itu Ara, gadis itu memang selalu bangun subuh-subuh.

Ara akan sedikit membaca materi sebelum mandi dan bersiap untuk sekolah, gadis itu akhir-akhir ini sibuk. Sejak menginjak kelas 12, Ara sering pulang larut karena ada jam tambahan di sekolah dan beberapa bimbel yang harus ia ikuti demi bisa masuk perguruan tinggi.

“Halo, Sayang?” sapa Yuno, wajahnya tersenyum walau Ara tidak melihatnya.

Kak Yuno kok belum tidur? Di sana udah jam 12 malam kan?

“Baru mau tidur kok, habis ngerjain tugas. Kamu lagi apa?”

lagi baca-baca materi aja, habis itu mau mandi.

Dari sebrang sana, Yuno bisa mendengar suara kertas yang seperti di bulak balik. Ara benar-benar tengah membaca kembali materi yang di pelajari nya. Kemarin Ara bercerita bahwa gadis itu sudah memiliki tujuan kampus mana yang akan ia pilih, Ara juga bilang jika ia ingin mengambil jurusan psikologi.

Dan alasan itu semua karena Ara termotivasi oleh Yuno. Sewaktu hectic menjelang ujian nasional, Yuno sempat sering terkena panic attack dan Ara tahu akan hal itu. Yuno juga sempat stress berat hingga berimbas pada kesehatannya karena waktu itu nilainya sempat turun, berujung dengan kemarahan Papa yang kecewa dengan nilai Yuno.

Sejak itu, Ara jadi termotivasi menjadi seorang psikolog. Jika Yuno nanti akan menyembuhkan orang lain, maka Ara yang akan menyembuhkannya.

“Um, jangan lupa sarapan yah. Di antar siapa, sayang?”

aku di jemput Echa sama Janu, ihhh Kak Yuno tau gak sih? Mereka tuh ngeselin banget tau,” Ara merajuk, jika boleh Yuno tebak pasti wajah gadis itu tengah cemberut sekarang.

“Kenapa sayang?”

Kak Yuno tau kan kalo Janu sama Echa pacaran? Yah itu, mereka bucin terus di kelas. Aku jadi kaya nyamuk tau di antara mereka, nyebelin banget kan? Apalagi Janu si kutu kupret itu, dia sering banget ngeledekin aku kalo aku pacaran sama Bang Toyib. Apa banget coba!!

Yuno terkekeh, ia sudah tahu Janu dan Echa berakhir bersama. Karena waktu itu Janu sempat menjadi bahan ledekan di grup chat yang Jo buat.

“Mulut nya Janu emang gak ada adab nya, masa aku di samain sama Bang Toyib.”

kalo Kak Yuno pulang kasih paham dia yah.

“Kalo aku pulang nanti aku ikat di tiang listrik aja kali yah,” ucap Yuno yang kemudian membuat keduanya tertawa.

Kak?

“Ya, Sayang?”

i miss you.” suara Ara sedikit bergetar, meski sudah 4 bulan di tinggal Yuno, Ara belum terbiasa akan hal itu.

Terkadang ia harus menahan diri untuk bercerita dengan Yuno karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Berlin yang berbeda 6 jam. Belum lagi jika Yuno sedang sibuk dengan kegiatannya, begitu mereka ada sedikit waktu senggang Ara terkadang suka tidak mood untuk menceritakan kesehariannya.

Belum lagi Ara terkadang harus sedikit mengalah, seperti tidur sedikit larut demi bisa bertatap wajah meski dari layar laptop dengan Yuno. Atau bahkan sebaliknya, yah seperti ini.

“Sabar yah, aku janji kalau libur aku pasti pulang kok. Aku juga kangen kamu.” suara Yuno sedikit memelan, ia juga sangat merindukan kekasihnya.

Habis selesai ujian nasional, aku terbang ke Jerman yah? Aku nabung kok, nanti sisa nya aku minta tambahin Papa.

“Aku tambahin aja yah?”

jangan ih!!

“Kenapa emang?”

gak usah, Kak Yuno nanti jajanin aku aja di sana.

“Ya udah deh kalo gitu.”

Setelah berbicara dengan Ara melalui telefon, mata Yuno jadi tidak mengantuk lagi. Ia malah sibuk melihat isi galerinya, foto-foto nya dengan Ara. Kemudian membuat daftar tempat-tempat yang bisa ia kunjungi jika Ara ke Berlin nanti.

Meski baru 4 bulan di Jerman, Yuno sudah memiliki seorang teman dekat yang tahu sekali tempat wisata yang wajib di kunjungi jika ke Berlin. Maka dari itu Yuno sudah mengunjungi banyak tempat.


Ini sudah jam pelajaran ke 4 hari ini, sayangnya guru yang seharusnya hadir di kelas itu sedang berhalangan. Maka dari itu kelas 12 IPS 2 jadi agak ramai, ada yang asik bermain game, mengobrol, makan sampai yang pacaran pun ada.

Tapi yang Ara lakukan justru meringkuk di kursinya sembari menyandarkan kepalanya di meja. Perutnya terasa sakit karena hari pertama datang bulannya, Echa yang duduk di kursi Janu itu jadi menghampiri Ara yang terlihat tidak baik-baik saja.

Janu itu duduk di kursi belakang Echa dan Ara. Janu duduk sendiri, karena jumlah murid di kelas mereka hanya 27. Makanya Janu enggak punya teman sebangku, dan dia enggak masalah dengan itu.

“Ra, lo kenapa?” tanya Echa khawatir, ia menyibak rambut panjang temannya itu yang sedikit menutupi wajahnya.

“Cha, perut gue sakit banget.”

“Lo lagi dapet?

Ara hanya mengangguk, kepalanya juga sedikit pening karena keringat yang terus bercucuran di dahi nya.

“ke UKS aja yuk gue temenin, jam kosong gini.”

Ara hanya mengangguk, Echa kemudian membantu Ara berdiri dan memapah gadis itu untuk berjalan menuju UKS. Namun tidak lama kemudian Janu yang duduk tepat di belakang Ara itu kaget, pasalnya rok putih yang Ara kenakan berubah menjadi merah.

“Beb, rok nya Ara kotor!” pekik Janu yang membuat beberapa murid jadi menoleh ke arah Ara dan Echa.

Sontak itu juga membuat Echa langsung memeriksa rok yang Ara pakai, dan benar saja. Rok itu sudah kotor dengan darah yang agak banyak. untung saja Echa membawa jaket, jadi langsung ia ambil jaket miliknya dan ia ikat jaket itu di pinggang Ara agar menutupi roknya.

“Cha, tapi nanti jaket lo kotor gimana?” Ara jadi enggak enak, pasalnya itu adalah jaket favorite Echa.

“Udah lah gapapa, nanti bisa di cuci dari pada lo jalan di liatin orang kan gak lucu, Ra.”

Sesampainya di UKS, Ara berbaring di ranjang. Meringkuk sembari menghirup banyak-banyak aroma minyak angin yang di berikan oleh perawat UKS sembari menunggu Echa membelikan teh manis hangat untuknya.

Tiba-tiba saja ia jadi semakin merindukan Yuno, waktu Ara sakit perut saat sedang datang bulan seperti ini. Yuno yang mengantarnya pulang, Yuno juga yang memberikan jaketnya untuk menutupi rok Ara yang kotor.

Yuno bahkan enggak malu membeli beberapa kebutuhan Ara sewaktu datang bulan, seperti pembalut, jamu pereda nyeri, hot pack dan tablet tambah darah. Dan saat ini Yuno enggak ada di dekatnya.

Tanpa Ara sadari ia menangis, menutupi wajahnya dengan selimut. Isak nya tidak kencang, Ara menangis tanpa suara namun ia berhasil membuat nafasnya sedikit tersengal karena sesak menahan rasa sakit dan kerinduannya pada Yuno.

Tidak lama kemudian korden ruang UKS terbuka menampakan Echa yang membawa segelas teh hangat, dan wajah nya berubah menjadi panik karena melihat Ara yang tiba-tiba menangis sesenggukan.

Setelah menaruh teh hangat yang ia beli di nakas, Echa duduk di kursi samping ranjang Ara dan mengusap bahu temannya itu penuh khawatir. Waktu itu, Echa cuma berpikir jika keram perut yang Ara rasakan benar-benar sesakit itu.

“Ra, lo mau balik aja? Sakit banget yah?”

Awalnya Ara tidak menjawab, namun setelahnya gadis itu menyibak selimut yang menutupi wajahnya.

“Cha, gue kangen Kak Yuno...” ucapnya, dan tangis Ara semakin pecah.

“Ya ampun, Ra. Gue pikir kenapa—”

“Kenapa gimana!! Waktu gue keram perut tuh biasanya Kak Yuno yang bawa gue ke UKS, beliin jamu, beliin teh hangat sampai minjemin jaketnya!!” rajuk Ara benar-benar seperti anak kecil yang tengah menangis karena tidak di belikan mainan.

“Iya, tapi kan sekarang ada gue, Ra.”

“Gue maunya Kak Yuno!”

Setelah selesai pada kelas bahasanya, Yuno berniat untuk berjalan-jalan sebentar di sekitaran daerah sekolah bahasanya. Yuno sangat bersyukur ia bisa memiliki teman-teman yang baik. seperti saat ini, Yuno tengah duduk di taman bersama dengan Josep, Josep adalah siswa dari Thailand yang juga berkuliah di Jerman. Mereka satu kelas di kelas bahasa yang sama.

Sayangnya Josep tidak mengambil jurusan kedokteran seperti Yuno. Apartemen mereka pun hanya beda lantai saja, hari ini mereka sedang menunggu Rosseane atau yang kerap di sapa Ann. Ann ini berasal dari Indonesia juga, sama seperti Yuno.

Rencananya ketiga nya akan ke Mauerpark untuk duduk-duduk sembari menikmati hari menjelang weekend, setelah itu Yuno juga berencana untuk belanja karena stok makanannya sudah hampir habis.

Tanpa kedua laki-laki itu sadari, seorang perempuan mengendap-endap di belakang mereka. Perempuan dengan paras seperti blasteran Indo dan Jerman, itu Rosseane dengan rambut bloonde yang ia ikat asal.

“DOR!!!” pekiknya, yang berhasil membuat Yuno dan Josep terkesiap di kursi mereka.

Ann yang melihat reaksi kedua temannya itu yang terkejut akhirnya terkekeh, ia merangkul keduanya dengan gemas.

It's so funny,” ucap Ann sembari memegangi perutnya.

“Kalo jantung gue copot lo gue salahin yah?” Yuno menggeser duduknya, memberikan isyarat pada Ann untuk duduk di sebelahnya.

Watch out, I'll reply until you faint from shock,” balas Josep tidak terima, Ann hanya semakin tertawa apalagi saat melihat Josep mengusap-usap dada nya.

“Kita mau langsung jalan aja?” tanya Yuno.

“Iya sekarang aja gak sih?”

Setelah kedua cowok itu setuju, ketiganya langsung berjalan ke bus stop. Menunggu bus yang akan mengantarkan mereka ke Mauerpark. Di perjalanan mereka sempat bercerita tentang materi yang mereka pelajari hari ini, dan juga soal ujian minggu depan untuk kenaikan level bahasa mereka.

Sesekali Yuno memeriksa arloji miliknya, di Berlin hari ini sudah jam 4 sore. Itu artinya di Jakarta kini sudah jam 10 malam, Ara mungkin sudah tidur ketika Yuno pulang ke apartemen nya nanti. Jadi Yuno memutuskan untuk mengirimi Ara pesan dulu.

Mengatakan jika ia keluar sebentar dengan teman-temannya, dan Yuno akan menelfon Ara kembali jika cewek itu sudah pulang sekolah.

“Lo mau ke Asia mart, No?” tanya Ann yang duduk di kursi sebelah Yuno.

Yuno mengangguk, memperlihatkan daftar belanjaannya pada Ann. “Perut gue kalo gak makan-makanan Indo kaya ada yang kurang, lo mau belanja juga?”

“Kayanya sih, cuma mau beli bumbu aja. Sisa nya nanti gue bisa belanja di supermarket deket apart.”

“Lo udah bisa masak?” tanya Yuno, dia agak sedikit kaget karna terakhir kali Yuno dan Josep main ke apartemen Ann. Gadis itu membuatkan mie instan untuk Yuno dan Josep namun mie instan itu belum matang sempurna, makanya Yuno agak kaget waktu Ann bilang mau beli bumbu.

“Enggak, kebetulan sepupu gue lagi liburan. Jadi dia yang masak, terus ngirimin daftar bumbu apa aja yang harus gue beli, makanya bantuin yah.”

Yuno terkekeh, namun akhirnya ia mengangguk.

Begitu sampai di Manuerpark, ketiganya duduk di hamparan rerumputan, Josep sempat mentraktir Yuno dan Ann burger. dan Yuno mentraktir Josep dan Ann lemonade. Ann itu sudah biasa di Jerman, ia sering berlibur ke sini. Jadi Ann yang paling tahu jalanan-jalanan di Berlin.

Di antara Yuno dan Josep, Ann juga lah yang paling cepat naik level bahasa. Bahkan bulan depan Ann sudah bisa lulus dari sekolah bahasanya.

Sorry guys, I have to answer the phone from my girlfriend. I'll come back later” Josep memamerkan panggilan dari pacarnya itu pada Yuno dan Ann.

Ann hanya tertawa, kemudian mengangguk pelan. Dan tidak lama kemudian Josep agak sedikit menjauh dari mereka. Dan kini tinggal Yuno dan Ann yang masih menikmati gigitan terakhir burger milik mereka.

“Ann?” panggil Yuno.

“Hm?”

“Selain tempat-tempat yang udah kita kunjungin, ada lagi gak tempat yang menurut lo harus di datengin buat berdua?” Yuno mau menambahkan daftar tempat yang harus ia kunjungi bersama Ara selama gadis itu di Jerman nanti.

“Ada sih, kenapa emang?”

“Kemana tuh?”

“Heidelberg, Heidelberg Palace. Kampus kedokteran lo di sana juga kan?”

Yuno menjentikkan jarinya, ia sampai lupa kalau Heidelberg Palace bahkan di tandai sebagai simbol romantisme di Jerman. Kebetulan tempat itu juga dekat dengan kampus kedokterannya, Yuno hanya sekolah bahasa di Berlin selama 1 tahun. Dan kemudian ia akan pindah ke Heidelberg dan menetap di sana sampai lulus dari kampus kedokterannya.

“Gue sampe lupa, bener juga yah. Bahkan Heidelberg Palace juga di julikin sebagai simbol romantisme di Jerman. Kenapa gak kepikiran.” Yuno heran pada dirinya sendiri, bisa-bisa nya ia melupakan tempat itu. Ia sudah pernah ke sana, waktu Papa mengajak Yuno berkunjung jauh sebelum ia kelas dua belas.

“Lo mau ngajak siapa?” Ann menoleh ke arah Yuno setelah ia menghabiskan burger miliknya.

“Cewek gue, dia mau liburan di Jerman setelah kelulusan nanti.”

Ketika mendengar jawaban Yuno itu, Ann terdiam. Ia sedikit meringis, jujur saja Ann memang mengagumi Yuno dan tidak pernah berpikir jika Yuno sudah memiliki kekasih.

She is beautiful?” tanya Ann hati-hati.

Yuno mengangguk, cowok itu tersenyum dan matanya berbinar terang. Ann bahkan enggak pernah melihat pancaran kebahagiaan seperti itu sebelumnya dari wajah Yuno.

“Banget, dia baik, ceria dan paling mengerti gue, Ann. Ah, ngomongin dia gini jadi bikin gue tambah kangen. Bagi gue, dia itu kaya bunga mawar. Cantik, kadang kelihatan kasar dan menyeramkan karena ada duri di batanganya. Tapi itu justru cara dia melindungi diri,”

“Di mata gue dia kaya warna merah. Kelihatan elegan, berani dan jadi pusat perhatian. Meski dia suka warna pink,” Yuno terkekeh.

“Siapa namanya?”

“Arumi Naura Shalika, namanya bagus yah?”

Ann tidak menyahuti lagi, ia hanya mengangguk pelan dan membuang pandanganya ke arah lain. Dari pancaran matannya, dari bagaimana Yuno mendeskripsikan gadis itu. Semua menjelaskan betapa Yuno mencintai gadis bernama Arumi Naura Shalika itu.

Dalam hati Ann iri, ia juga ingin di cintai seperti itu oleh seorang laki-laki. Namun di sisi lain, gadis itu benar-benar beruntung bisa memiliki Yuno.


“Haiiii Kak Yuno!!” pekik Echa waktu Ara mengarahkan ponselnya ke Echa yang kebetulan lagi main di rumah Ara, ada Janu juga tapi cowok itu sedang ke kamar mandi.

hai, Cha. Gimana pacaran sama Janu nya?” ledek Yuno.

“Ahh Janu gak jelas, Kak. Suka cemburu buta enggak jelas, masih suka centil juga. Makan hati gue nih.”

Ara jadi terkekeh, Janu memang masih suka genit ke cewek lain. Terutama ke adik kelas, walau cowok itu bilang hanya bercanda saja tapi tetap saja itu membuat Echa cemburu.

getok aja kalo macem-macem mah. Di bilangin jangan mau sama Janu.

Tidak lama kemudian terdengar pekikan suara Echa dan Ara, ponsel yang tadinya wajah keduanya juga berubah dan kini di gantikan wajah Janu di layar ponsel milik Ara.

“Dih, songong Bang Toyib. Heh kapan balik lu, Bang? Cewek lu nih kemarin nangis-nangis gara-gara kangen.”

“Janu apaan sih ember banget mulut lo!!” pekik Ara, gadis itu juga melempar Janu dengan cushion yang ada di sofabed kamarnya.

“Tuh kan liat tuh, kelakuan cewek lu brutal banget,” Janu mengadu.

emang lo mah pantes buat di kasarin, eh mana Ara? Balikin HP nya gue mau ngomong sama cewek gue.

Tidak lama kemudian Janu memberikan ponsel itu ke Ara, dan Ara menjauh dulu dari teman-temannya itu. Ia yakin ada yang ingin Yuno bicarakan dengannya, dari tadi Yuno sibuk menyapa Echa dan Janu, mereka belum sempat berbicara berdua.

“Kak Yuno udah makan?” tanya Ara begitu ia sampai di balkon kamarnya.

udah kok, Sayang?

“Iya, Kak?”

yang di bilang Janu bener?

Ara tidak menjawab, ia hanya melihat ke arah lain. Ia memang sempat menangis kemarin sewaktu keram perut, Ara juga enggak cerita apapun tentang keram perutnya pada Yuno. Tidak ingin membuat cowok itu khawatir, apalagi kemarin Yuno sedang banyak bercerita tentang hari-harinya.

Ara?” panggil Yuno menintrupsi lamunan Ara akan harinya kemarin.

“Janu kok di percaya sih, Kak? Kaya gak tau aja dia kaya kompor bleduk,” sangkal Ara.

beneran? Kamu gak lagi bohong kan?

Ara hanya mengangguk, “aku kemarin keram perut, nangis nya karena itu kok. Tapi habis itu udah baikan, Echa yang beliin aku obat.”

Di sebrang sana Yuno menghela nafasnya pelan, Yuno tahu bagaimana Ara jika sedang datang bulan. Biasanya jika sedang merasakan keram perut, Yuno selalu membelikannya hot pack, jamu dan makanan-makanan yang Ara inginkan. Tapi karena jarak, kini ia tidak bisa melakukan itu untuk gadisnya.

sekarang masih sakit?

“Udah enggak kok, ini aku udah biasa aja malahan. Kak Yuno gak usah khawatir yah.”

aku tetap khawatir, maaf yah aku gak ada di sana waktu kamu butuh aku.” katakan Yuno egois, ia tidak ingin peran dirinya di gantikan oleh siapapun dan hanya bisa berharap Ara akan selalu baik-baik saja di sana.

“Kak Yuno, disini aku kan gak sendirian. Ada Bunda, Papa, Mas Yuda, Reno, Echa, Janu. Ah iya, Gita. Aku rencana nya mau main sama Gita minggu depan.”

kemana, sayang?

“Cuma ke Jakarta Aquarium. Mau liat biota laut. Sama teman-teman dia juga kok.”

have fun yah. Nanti pas aku pulang, kita ke sana berdua.

“Bener yah?”

Yuno mengangguk.

“Aku tagih!! Yaudah, Kak Yuno lanjut belajar buat test hari ini, semangat yah! Aku juga mau belajar buat Try Out.”

Setelah menutup panggilan video dari Kak Yuno, Ara kembali ke kamarnya. Gadis itu langsung menjambak rambut Janu hingga cowok itu mengeluh kesakitan.

“Anjirrr lu mak lampir, sakitt banget!! Rambut gue rontok tuh!” pekik Janu sembari memperlihatkan 2 helai rambutnya yang rontok karena Ara jambak.

“Lo nih, bikin Kak Yuno overthinking tau gak, kasian tau dia jadi ngerasa bersalah banget karena dia gak ada waktu gue butuh.”

“Tau lo, Nu. Lo tuh kebiasaan deh suka jadi kompor,” ucap Echa.

“Lah, kan emang bener kalo kemarin lo nangis karena kangen juga sama Bang Yuno. Bagus itu gue kasih tau biar dia peka, lagian nih yah, Ra. Lo tuh udah LDR sama Bang Yuno, komunikasinya kudu di kencengin. Lo gak takut apa kalo Bang Yuno di sana mmmphhh—”

Sebelum mulut Janu bicara semakin melantur lebih baik Echa membekapnya saja. Bukan hanya Ara yang kesal kalo Janu udah jadi kompor begini, tapi Echa pun juga.

“Gausah di dengerin, Ra. Anggep aja orang gila,” tukas Echa.

ada hari di mana Yuno pernah mengkhawatirkan banyak hal yang belum pernah terjadi, seperti saat ini. Saat ujian kenaikan level bahasanya sudah selesai, Yuno memutuskan untuk ke sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolah bahasanya. Ia sudah berjanji untuk menghubungi Gita setelah ujiannya selesai.

Hari ini memang Yuno pulang lebih cepat, begitu sampai di cafe, Yuno memesan sebuah minuman dan cake untuknya. Ia sengaja memilih kursi di pojok karna hanya tempat itu yang ia pikir nyaman untuk melakukan panggilan video. Tidak ada orang berlalu lalang, hanya ada 4 orang saja yang sedang fokus pada laptop di depannya dan membaca buku.

Sebelum memulai panggilan video, Yuno sempat mengirimi Gita pesan dulu. Memastikan Adik sepupunya itu sudah siap, dan tidak lama kemudian keduanya melakukan panggilan video. Ternyata Gita sedang berada di kamarnya.

“Lo gak sekolah?” tanya Yuno, tanpa basa basi apapun.

salam dulu kek minimal, ini main langsung nanya gak sekolah aja.” di sebrang sana Gita terlihat menghela nafasnya dengan kasar, namun pada akhirnya ia menjawab pertanyaan itu.

di Jakarta tuh udah jam 7, sekolah apaan jam 7 malam. Ngaco!!

Yuno sampai lupa jika sekarang sudah jam 2 siang di Berlin, pantas saja Gita sudah berada di rumahnya. Tapi setahu Yuno, gadis itu juga sibuk. Bukan hanya dengan sekolah. Dari dulu, Gita banyak mengikuti berbagai macam kegiatan. Seperti balet, private biola dan segala macam bentuk kegiatan yang banyak ia ikuti.

Tapi walau begitu, Yuno senang karna Gita melakukan itu semua atas kemauannya sendiri. Berbeda dengan Yuno, ia tidak pernah bisa melakukan apa yang ia inginkan. Bahkan untuk sekedar bermain musik, pernah dulu Yuno ketahuan ikut ekstrakulikuler musik di sekolahnya.

Dan saat Papa nya tahu, Yuno di tentang habis-habisan dan di paksa keluar dari sana. Alih-alih bermusik, Papa lebih setuju Yuno bermain basket atau lebih baik fokus pada nilai akademiknya, Berbeda dengan kedua orang tua nya Gita yang membiarkan anak mereka mendapatkan apa yang di mau.

“Maksud gue, gak ada bimbel atau private apa gitu. Biasanya kan lo lebih sibuk dari gue.”

gak ada, hari ini gue mau istirahat. Capek lagi jadi kelas dua belas tuh.” di sebrang sana Gita memperhatikan Yuno, seperti Kakak sepupunya itu bukan sedang berada di apartemen miliknya.

lo dimana, Kak? Di cafe?

Yuno mengangguk, setelah pelayan mengantarkan pesanan miliknya. Yuno menyeruput kopi itu sedikit dan kembali fokus berbicara dengan Gita.

“Baru kelar ujian gue. Gimana sekolah lo? Lancar kan? Jangan kebanyakan pacaran sama Kevin.”

Ah iya, Gita sudah putus dengan Jo, seingat Yuno keduanya mengakhiri hubungan mereka atas kesalahan Jo, Gita hanya cerita pada Yuno kalau intinya ia sudah kecewa dengan Jo, namun saat di tanya kenapa, Gita lebih memilih merahasiakannya.

Namun pada akhirnya Jo sendirilah yang jujur pada Yuno dan meminta maaf padanya, karena ia sudah menyakiti Adik sepupu yang Yuno jaga selama ini. Meski begitu, hubungan Jo dan Yuno masih berteman baik.

siapa yang pacaran melulu, gue sama Kevin tuh bisa bagi waktu. Eh, gimana ujian lo tadi, Kak?

“Lancar, doain aja gue cepat naik level.”

tapi lo betah gak di sana?

“Betah, walau kadang banyak kagetnya. Oh, iya. Git, weekend ini lo jadi jalan sama anak-anak?” ucap Yuno terus terang, memang ia ingin menanyakan hal ini pada Gita dan meminta tolong sesuatu pada adik sepupunya itu.

iya jadi, Ara cerita ke lo yah?

Yuno mengangguk, “akhir-akhir ini gue kepikiran dia terus.”

kepikiran apa? Takut Ara selingkuh?” tebak Gita.

“Bukan, kepikiran aja kalo ada yang gantiin gue pas Ara lagi butuh.”

itu artinya lo kepikiran Ara selingkuh dodol, kok lo bisa sih mikir gitu, Kak? Yang Ara pikirin aja cuma lo tau, kemarin gue sempat main sama dia sebentar karena gak sengaja ketemu waktu lagi beli make up. Sepanjang main sama gue, dia selalu ngomongin lo terus. Ini lagi, lo malah kepikiran gini.

“Git, gue cuma takut Ara terbiasa tanpa gue..” nada suara Yuno memelan, itu yang sangat ia takuti. Meski liburan nanti ia akan pulang, meski ia terus menjaga komunikasinya dengan Ara. Tapi tetap saja itu semua terasa berbeda dengan ia yang biasanya selalu berada di sisi Ara.

Gita yang mendengar ucapan itu jadi agak terdiam, Yuno memang baru pertama kali pacaran. Dan Gita tahu bagaimana Yuno sangat mencintai dan memperlakukan pacarnya itu dengan baik.

Kak, gue bukanya mau bikin lo tambah kepikiran. Tapi menurut gue, bukanya bagus kalo Ara justru terbiasa tanpa lo? Gini, bagus kalo Ara mandiri, bagus kalo dia gak bergantung sama lo, lo bisa bayangin gak kalo Ara gak mandiri dan bergantung ke elo? Lo juga yang bakalan repot

Gita tau ini terdengar sedikit menyakitkan untuk Yuno, mungkin. Tapi bukankah bagus jika Ara tidak terlalu bergantung pada Yuno? Toh pacaran kan bukan harus selalu berdua, bayangkan serepot apa Yuno jika Ara selalu bergantung padanya. Lama kelamaan hubungan yang seperti itu akan menjadi hubungan yang tidak sehat.

selama kalian masih komunikasi dengan baik, menurut gue gak ada yang harus di permasalahin dari itu. Sekarang, gimana caranya kalian bisa saling jaga kepercayaan satu sama lain. Kak, kuncinya jalin hubungan itu tuh kepercayaan. Lagian yah, pacaran ketemu mulu terus bucin-bucinan mulu tuh bakal jadi bosen.

Yuno sempat diam sebentar, mencerna kata-kata Gita yang agak sedikit membuat dadanya sesak, seperti ia baru saja di tampar oleh sebuah kenyataan. Namun, Yuno tetap mendengarkan kata-kata Adik sepupunya itu, ucapan Gita benar. Ia harusnya bangga kalau Ara bisa mandiri dan tidak bergantung padanya.


Siang itu Ara ke toko buku sendirian, hari ini dia gak sama Echa, Cindy atau pun Kinan. Hari ini Echa pulang bareng Janu, sementara Cindy dan Kinan harus menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyelesaikan masa jabatan kedua nya di OSIS.

Ara sebenarnya gak berniat buat ke toko buku, karena tujuan utamanya jalan-jalan ke mall sendirian cuma buat beli lip tint. Tapi siapa sangka kalau kakinya justru melangkah masuk ke toko buku, jadi sekalian saja dia membeli buku untuk keperluan Ujian Nasional dan beberapa novel.

Ara tersenyum ketika ia menemukan buku yang ia cari, buku soal-soal Ujian Nasional terbaru yang paling laris. Hanya sisa 1 di rak buku dan ia langsung mengambil buku itu, namun siapa sangka kalau ada tangan lain yang ikut mengambil buku itu juga.

Dan Ara langsung menoleh ke arah orang yang berada di sampingnya itu, seorang laki-laki tinggi dengan jaket denim dan celana jeans kini menatap dirinya.

“Oh, sorry, Mas.” Ara menunduk, biarlah ia mengalah. Toh nanti ia masih bisa mencari di toko buku lain.

“Ambil aja, lo tadi duluan yang liat kan,” ucap laki-laki tinggi itu.

“Gapapa, Mas. Buat Mas nya aja, nanti saya bisa cari di toko lain. Lagi enggak buru-buru juga kok.”

“Serius nih?”

Ara mengangguk, “iya gapapa, Mas.”

“Makasih, yah.”

Ara hanya membalas ucapan itu dengan tersenyum kikuk, begitu ia ingin berjalan ke arah kasir. Laki-laki tinggi tadi menahan pundak Ara, membuat gadis kurus itu sedikit mundur dan berbalik ke arahnya. Jujur saja, laki-laki tadi agak sedikit mengintimidasi Ara.

“Eh jangan manggil Mas juga, gue masih SMA kok. Gue kelas dua belas juga.”

“Kelas dua belas?”

Laki-laki itu mengangguk, Ara sedikit malu karena salah memanggil, ternyata laki-laki itu seumuran dengannya.

“Lo anak BM400 kan?”

“Kok tahu?” pekik Ara.

“Ya lo kan pake seragam.”

“Bener juga sih.” Ara mengangguk-angguk. “sorry yah, gue gak tau lo kelas dua belas juga, gue pikir beli itu buat adek lo atau siapa gitu.”

“Gapapa.”

“Kalau gitu, gue duluan.” Ara menunjuk ke arah kasir, dan cowok itu mengangguk. Membiarkan Ara pergi lebih dulu untuk membayar novel-novel yang ia beli.

Ara gak pernah menyangka bermain bersama teman-teman Gita akan seasik ini, hari ini mereka pergi ke Aquarium besar yang ada di Jakarta. Sebelum berangkat, mereka bertemu dulu di rumah Januar dan memutuskan untuk pergi dengan 2 mobil, milik Echa dan juga milik Kevin.

Mereka pergi berdelapan, ada Echa, Janu, Ara, Kevin, Gita, Chaka, Kinan dan Cindy. Di perjalanan mereka sempat memutar lagu-lagu, bertukar cerita betapa sibuknya menjadi siswa kelas dua belas dan membuat rencana-rencana untuk acara kelulusan.

“Habis UN mending muncak gak sih?” celetuk Janu tiba-tiba. Dia udah kepikiran banget buat nyewa villa atau sekalian saja hiking gak usah naik gunung yang jauh-jauh, seperti Papandayan atau Gunung Gede di daerah Jawa Barat kan bisa. Yah, walau Janu belum pernah punya pengalaman naik gunung sih.

Di mobil yang di bawa Janu itu ada Echa, Janu, Ara, Kinan. Sementara di mobil yang di kendarai Kevin itu ada Gita, Chaka, Kevin dan Cindy.

“Mau ngecamp gak? Ke cikole aja gak sih? Tidur di capsul camp gitu kayanya asik juga deh,” imbuh Kinan.

“Eh boleh tuh, kayanya asik juga. Siapa yang boking?” tanya Echa.

“Mending ngobrolinnya nanti aja deh pas kita makan siang, ajak juga tuh rombongan sebelah biar tambah rame,” kata Kinan, kalau Kinan memang sudah sedikit akrab dengan siswa dari SMA Anggada. Saking seringnya ia dan tim nya bertanding melawan SMA itu.

Kinan itu ikut dalam tim cheerleader dan sering kali tim dari SMA BM400 melawan SMA Anggada, walau begitu Kinan memiliki banyak teman juga dari SMA Anggada. Mereka hanya menjadi lawan ketika sedang di bertanding saja.

“Iya tuh bener, ngobrolinya nanti aja. Gue bayangin udah bakalan seru banget deh kayanya!!” Echa udah bayangin aja kalau menginap ramai-ramai, sebelumnya ia belum pernah pergi ke luar kota sampai menginap. Yah banter-banter cuma menginap di rumah Ara aja.

“Lo ikut kan, Ra?” tanya Kinan tiba-tiba, habis dari tadi Ara enggak menimpali apa-apa.

“Gue gak tau, tapi kemungkinan besar sih enggak.”

“Yeee, kenapa?” Janu yang sedang mengendarai mobil itu menoleh ke kursi belakang, mereka sudah sering bersama kalau Ara enggak ikut rasanya akan ada yang kurang.

“Ih, iya kenapa, Ra?”

“Gue mau ke Jerman, gue mau jenguk Kak Yuno. Udah janji juga mau liburan berdua sama dia.”

“Mau honey moon yah lo berdua?” ledek Echa yang langsung mendapat sentilan di keningnya dari Janu.

“Pikiran lo, yang.”

“Janu kampret!! Berantakan poni gue anjir.” meski enggak kencang tapi sentilan Janu di keningnya membuat poni Echa jadi sedikit berantakan.

“Gak lah, gila kali. Gue cuma mau liburan aja, kangen banget soalnya sama dia.”

“Ihhhh so sweet.” pekik Kinan. “Tapi Kak Yuno baik-baik aja kan di sana, Ra?”

Ara mengangguk, “baik kok, dia masih sekolah bahasa juga.”

“Gue kepengen deh punya pacar kaya Kak Yuno, udah pinter, ganteng, baik, anak orang kaya, ramah duh.” Kinan jadi berandai-andai jika suatu hari punya pacar kaya Yuno.

Kinan bukan naksir Kak Yuno kok, dia cuma kepengen punya pacar setipe kaya gitu. Walau banyak sekali cowok-cowok yang menggandrungi Kinan, tapi enggak mudah bagi mereka mendapatkan perhatian apalagi hati dari seorang Kinan. Kinan itu kalau di dekati malah menghindar, gak jarang Kinan malah berujung ilfeel sama cowok yang lagi mendekatinya.

“Makanya kalo di deketin cowok tuh jangan gampang ilfeel!” Echa yang kesal jadi melempar pop corn yang sedang ia makan ke wajah Kinan saking sebalnya.

“Heh, gimana gue gak ilfeel kalo yang deketin kaya Azriel si pentolan futsal yang kerjaannya deketin banyak cewek, terus ada lagi Anwar yang kerjaannya minta foto terus biar tau gue lagi ngapain, terus lagi Deka yang kalo ngechat typing nya jelek dan sok puitis banget. Lo juga pasti gak mau kan di deketin sama orang-orang kaya gitu.”

Kinan kadang juga heran sendiri kenapa cowok yang mendekatinya tidak pernah ada yang cocok dengan kriteria nya, Sejujurnya Kinan enggak ada kriteria khusus sih, dia cuma kepengen punya pacar yang baik, pintar dan gak genit.

Ara dan Echa yang mendengar itu jadi tertawa, Kinan dulu pernah punya pacar, sekelas dengannya dulu. Namun karena orang tua dari pacarnya dinas di luar kota maka pacarnya Kinan pun harus pindah ke luar kota. Seingat Ara dulu, sampai kelas sebelas pun mereka masih menjalin hubungan jarak jauh. Makanya Ara juga heran kenapa bisa sampai tandas saat itu.

“Eh, Nan. Tapi lo dulu putus sama Jevon gara-gara apa sih?” tanya Ara penasaran, pasalnya Kinan enggak pernah cerita apa-apa.

“Jevon selingkuh, Ra. Dia deket sama cewek lain di sekolah barunya. Yah gitu deh, LDR emang berat apalagi kalo sama-sama belum dewasa. Makanya lo jagain tuh Kak Yuno jangan sampe dia selingkuh juga kaya Jevon, apalagi Kak Yuno banyak banget yang naksir dari dulu,” cerocos Kinan yang tanpa ia sadari begitu mendengar ucapannya wajah Ara langsung berubah menjadi masam.

“Yah lo tuh gak bisa nyamain Jevon sama Kak Yuno tau, Nan. Kak Yuno orangnya baik, dia juga sayang banget sama Ara. ya kan, Ra?” Echa yang sadar akan perubahan wajah temannya itu jadi menyangkal kata-kata Kinan.

“Yah semoga aja yah, soalnya dulu Jevon juga kelihatan sayang banget sama gue tapi apa? Buktinya dia tetap ahhhh—” pekik Kinan yang tiba-tiba tangannya di tepuk oleh Echa, Kinan sepertinya tidak bisa menangkap sinyal darinya yang menyuruhnya untuk berhenti berbicara seperti itu di depan Ara.

“Um, semoga Kak Yuno gak kaya Jevon yah, Nan.” Ara mengangguk, ia langsung mengalihkan pandanganya ke arah jalanan yang pagi itu agak sedikit lenggang. Walau begitu, ucapan Kinan barusan berhasil membuat pikirannya melayang. Memikirkan nasib hubungannya dengan Kak Yuno.

Begitu sampai di Aquarium, mood Ara yang semula berantakan kini kembali membaik berkat melihat atraksi-atraksi hewan yang ada di sana, bukan hanya menyuguhkan biota laut. Di tempat itu ada berbagai atraksi hewan lain juga seperti Berang-Berang, Binturong dan Pinguin.

Ara sempat merekam atraksi itu untuk ia tunjukan pada Kak Yuno nanti, tidak ketinggalan dengan atraksi ikan Pari dan juga hewan laut lainnya. Ara juga sempat menyentuh Ular, Kecoa Madagaskar, Bintang Laut dan Siput Turbo.

“Geli gak, Ra?” tanya Gita waktu seorang staff menaruh kecoa madagaskar di tangan Ara.

Ara bergidik, rasanya agak sedikit tidak nyaman. Tidak berbeda jauh dengan menyentuh kecoa pada umumnya, hanya bedanya kecoa madagaskar ini tidak memiliki bau seperti kecoa yang sering di jumpai di rumah-rumah. Dan yang jelas ukuranya jauh lebih besar dari kebanyakan kecoa.

“Geli, Git. Tajem-tajem gitu, tapi lucu juga cobain deh biar gak penasaran.”

“Gue mau coba nyentuh badannya aja.” Gita enggak mau pegang, udah kebayang di kepala dia kaya gimana tekstur nya. Dari pada nanti berakhir Kecoa nya dia lempar karena saking gelinya, lebih baik ia menyentuh bagian atas Kecoa itu dengan tangannya saja. Gita berani memegang Ular, Bintang Laut, Berang-Berang dan Siput Turbo tapi enggak dengan Kecoa yang satu ini, apalagi yang ukurannya besar.

“Habis ini liat atraksi Lumba-Lumba yuk!” pekik Cindy.

“Gak, kita ke Zona Gurun dulu gue mau kasih makan Meerkat,” sangkal Chaka tak mau kalah.

“Meerkat apaan?” tanya Janu.

“Itu loh, kalo lo pernah nonton Lion King. Meerkat itu si Timon,” jelas Kevin. Kalau soal gini-ginian Kevin tuh banyak tau deh.

“Ohhh, itu. Gue juga mau dong, ayo kita ke Zona Gurun dulu kalo gitu!!”

“Ihhh mau liat Lumba-Lumba dulu!” Cindy enggak mau kalah, tujuan utama Cindy ke Aquarium kan memang mau melihat pertunjukan Lumba-Lumba.

“Eh sumpah, kaya bocah lu berdua. Mending kita liat Macaw aja dulu!” agar menghentikan perdebatan Chaka dan Cindy, akhirnya Gita memutuskan untuk mengajak mereka melihat Macaw dulu saja.

Di sana agak sedikit ramai, tapi walau begitu teman-temannya semua antusias saat melihat aksi Burung Beo besar yang memiliki lama hidup hingga 50 tahun. Bulu dan warna nya cantik, Ara bahkan begitu takjub melihatnya. Ini untuk pertama kalinya ia melihat Macaw, karena memang habitat Macaw ini tidak ada di Indonesia.

“Eh, Echa?” pekik seseorang begitu melihat Echa, begitu pula dengan Echa yang membulatkan kedua matanya.

“Julian!!” Echa yang melihat teman lamanya itu langsung menghampirinya dan memukul bahunya dengan excited.

“Ahh sakit, anjir! Main mukul aja,” ucap cowok bernama Julian itu.

“Lo sama siapa?”

“Sama Naufal, tapi dia lagi ke toilet. Lo sama siapa?” tanya Julian, soalnya dia liat Echa dateng ramai-ramai.

“Sama teman-teman gue, ada cowok gue juga tuh yang paling tinggi,” Echa menunjuk Janu yang lagi melongok melihat pertunjukan Macaw itu.

Namun bukannya melihat Janu, ekor mata Julian justru tertuju sama Ara yang berada di sebelah Janu, yang kebetulan kini sedang melihat ke arah Julian juga. Ara tersenyum, begitu juga sama Julian yang kini mendekat ke arahnya.

“Lo temennya Echa juga?” tanya Julian.

Ara mengangguk, “lo kenal Echa?”

“Dia temen SMP gue.”

Echa yang bingung hanya mengernyit, pasalnya Ara gak pernah cerita kalau dia kenal sama Julian.

“Kalian kenal?” tanya Echa ke Julian dan Ara.

“Enggak, Cha. Belum sempet kenalan, kemarin gue ketemu dia di toko buku,” waktu itu ia ingin mengajak Ara untuk berkenalan, namun sayangnya selesai membayar bukunya, Ara sudah tidak ada lagi di sekitar toko buku. Namun siapa sangka jika ia justru bertemu Ara di sini, jadi biarkan kali ini Julian memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis itu.

“Nama gue Julian, anak SMA M.H Thamrin,” Julian mengulurkan tangannya dengan senyum manis mirip seperti seekor anak kucing.

“Ara, lo serius anak M.H Thamrin?” setahunya sekolah itu adalah sekolah unggulan negeri terbaik di Jakarta, kakak sepupunya Ara yang bernama Arial juga alumni sekolah itu. Lagi pula enggak mudah masuk sekolah itu, hanya murid terbaik yang bisa bersekolah di sana.

“Iya, kenapa emang?”

“Kakak sepupu gue alumni sana.”

“Siapa namanya? Kali aja gue kenal.”

“Mas Arial, ah, nama lengkapnya Arial Hazahfran. Kenal?”

“Ahhhh,” Julian mengangguk-angguk, siapa sih yang enggak kenal Arial? Murid akselerasi dengan segudang prestasi yang ia sabat untuk membuat harum nama sekolah. “Tahu, cuma enggak kenal. Bang Arial yang akselerasi kan?”

Ara mengangguk, sejak saat itu Julian dan Naufal memutuskan untuk bergabung dengan rombongan Echa dan teman-temannya. Mereka juga makan siang bersama sebelum akhirnya berpisah karena hari sudah semakin sore.

Sejak hari dimana Julian dan Ara bertemu di toko buku kemudian bertemu kembali di Aquarium, Julian jadi menaruh rasa penasaran dan ketertarikan akan gadis bernama Ara itu. Sewaktu mereka makan bersama sehabis dari Aquarium, Julian dan Ara banyak mengobrol. Dan Julian sadari kalau ia dan Ara memiliki ketertarikan yang sama dengan film thriler.

Julian merasa nyambung banget ngobrol sama Ara, baginya Ara adalah gadis yang asik buat di ajak bicara, terlebih ia juga banyak merekomendasikan film-film yang bisa Julian tonton di kala waktu senggang.

Dan kini, cowok dengan tinggi 180cm itu tengah berbaring di ranjang kamarnya. Memandang langit-langit kamar sembari memikirkan hari dimana ia banyak berbicara dengan Ara, ada perasaan menyesal karena saat berpisah hari itu ia tidak sempat meminta kontaknya.

Tiba-tiba saja sekelebatan ide muncul di kepala Julian, ia rogoh saku celana seragam sekolahnya itu dan ia ambil ponsel miliknya, Julian mengetikkan sesuatu disana. Mencoba peruntungan dengan mencari sosial media milik Ara hanya bermodalkan memeriksa satu persatu pengikut di akun Twitter milik Echa.

Dan benar saja, Julian menemukan akun yang ia duga milik Ara. Dan sayangnya, akun itu di private. Akun milik Ara tidak terbuka untuk umum, dan Julian berakhir tidak bisa mencari tahu tentang gadis itu lebih dalam melalui akun sosial medianya.

“Apa gue follow aja kali yah?” gumamnya pada diri sendiri.

“Tapi kalo gak di accept gimana?”

Julian jadi sedikit meragu, mereka sudah saling mengetahui nama masing-masing, namun tetap saja bagi Julian ia masih seperti orang asing untuk Ara, hey, mereka baru 2 kali bertemu.

“Tapi kan gue udah kenalan yah? Gue juga kan temennya Echa, kelihatannya Ara juga bukan orang yang sombong apalagi sok ngartis kok.” Julian berusaha meyakinkan dirinya, sampai akhirnya pilihanya mantap untuk menekan opsi follow pada layar ponselnya.

Cowok itu tersenyum, kemudian bangun dari atas ranjangnya untuk membenahi tas dan berganti pakaian. Baru saja ia ingin keluar dari dalam kamarnya setelah berganti baju, tiba-tiba saja bunyi getar kecil dari ponsel yang ia taruh di atas lemari belajar kayu miliknya itu, mengintrupsi perhatian Julian.

Cowok itu mengambil ponselnya, dan betapa terkejutnya Julian ketika mendapatkan notifikasi jika Ara sudah menerima permintaan pertemananya di sosial media miliknya. Mata Julian berbinar, ia abaikan perut laparnya itu demi bisa mencari tahu tentang gadis yang akhir-akhir ini membuatnya penasaran.

Jadi Julian urungkan keluar kamar, ia memilih duduk di kursi belajarnya sembari menggulir layar ponselnya. Tidak ada yang aneh dari postingan yang Ara buat, hanya menuliskan lirik lagu yang sebagian Julian tahu, kemudian memposting ulang postingan yang di buat oleh artist favorite nya.

Sampai pada akhirnya Julian menemukan foto Ara dengan seorang laki-laki yang menurutnya tampak mesra itu, di postingan yang mendapatkan lebih dari 300 likes Ara menandai akun seseorang. Karena sudah kepalang penasaran, Julian mencoba mencari tahu siapa cowok bernama Aryuno itu.

Dan saat Julian melihat profil sosial medianya, sudah dapat Julian pastikan jika itu adalah kekasihnya Ara. Bahu tegap miliknya itu merosot, pupus sudah harapan Julian untuk mengenal Ara lebih dekat.

Ara dan cowok bernama Aryuno itu nampak mesra dan terlihat sebagai pasangan kekasih sekolah yang sangat terkenal. Julian hanya bisa meringis, dari pada terus mencari tahu lebih dalam dan berujung membuatnya sakit. Akhirnya Julian tutup aplikasi di ponselnya dan mencoba melupakan rasa penasaranya pada Ara.


kamu berani megang Kecoa?” tanya Yuno di sebrang sana.

Ara baru saja memperlihatkan video yang ia buat di Aquarium kemarin pada Yuno, supaya Yuno tahu apa saja yang Ara lakukan di sana. Ara juga ingin Yuno merasakan bahagia yang saat itu ia rasakan, terkadang Yuno juga suka buat video singkat tentang kesehariannya sebagai siswa sekolah bahasa dan ia bagikan ke Ara.

Kalau sudah begini, Ara jadi kepikiran buat bikin mini vlog. Tapi rasanya kepercayaan dirinya di kamera dan kemudian membagikkanya ke publik belum sebesar itu, belum lagi ia tidak memiliki waktu untuk mengedit video.

“Berani, karena Kecoa nya gak terbang. Seru deh, Kak. Aku juga liat Berang-Berang, terus Pingungin banyak deh pokoknya. Kalau Kak Yuno pulang kita Aquarium date yah.”

Yuno tersenyun kemudian mengangguk pelan, “boleh, sabar ya sayang. Nanti kalau kita ketemu kita puas-puasin deh berduaanya.

“Kak Yuno gimana disana?”

baik, lancar kok semuanya. Kemarin aku habis dari Heidelberg, ke kampus kedokteranku buat nyerahin berkas sama visit apart aku di sana.

“Oh ya? Bagus gak Kak kampusnya?”

bagus, nanti kalau kamu ke sini. Aku ajak ke kampus aku yah, oh iya sayang?

“Um?”

udah nentuin kamu mau ambil kampus mana aja?

Ara menarik nafasnya berat, wajah gadis itu agak sedikit murung. Kemarin malam, Ara sempat berdebat dengan Papa perihal kampus yang ingin Ara ambil. Ara kepikiran buat ambil kampus di luar Jakarta, seperti di Jogja, Malang atau Semarang. Ara ingin mencoba mandiri menjadi anak rantau, tapi Papa nampaknya tidak memberi izin untuk itu perihal Ara adalah anak perempuan. Dan dari kecil Ara pun enggak pernah jauh dari kedua orang tua nya.

Papa memang tidak pernah mengizinkan anak-anaknya untuk kuliah di luar kota, dengan alasan Papa dan Bunda akan sulit memantau anak-anaknya. Papa enggak mau anak-anaknya menjadi lebih bebas ketika harus hidup sendiri jauh dari kota asal dan juga orang tua.

Dulu Papa juga pernah berdebat seperti ini dengan Mas Yuda waktu Mas Yuda nekat ingin memilih kampus yang berada di Surabaya, akhirnya Papa tidak memberi izin dan Mas Yuda terpaksa memilih kampus swasta di Jakarta. Semua Papa turuti sekalipun Mas Yuda memilih kampus swasta dengan biaya kuliah yang cukup membuat tabungan Papa nyaris terkuras.

kenapa sayang? Kok lemes gitu?” tanya Yuno.

“Kemarin aku habsi debat sama Papa, soal kampus yang mau aku ambil.”

debat kenapa?

“Kak, Papa enggak setuju kalau aku ambil kampus di luar Jakarta. Padahal kan aku kepengen banget gitu hidup mandiri, jadi anak rantau, ngekost. Aku tuh bosen di Jakarta terus. Kan seru gitu kalo liat cerita-cerita mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua.”

Yuno hanya meringis, sebagai orang yang hidup di perantauan meski baru beberapa bulan saja. Menurut Yuno ini enggak gampang, apalagi jika sudah terbiasa hidup bersama orang tua. Jujur saja, Yuno sempat sakit karena merindukan rumah dan kamarnya di Jakarta. Belum lagi ia harus beradaptasi dengan budaya, cuaca yang jauh berbeda seperti di Jakarta, makanan dan juga orang di sekitarnya.

Hei, jadi mahasiswa perantauan enggak semenyenangkan yang di bayangkan orang-orang, walau perlu Yuno akui jika hidupnya selama merantau jauh lebih bebas. Enggak ada lagi tuh Yuno yang harus belajar sampai tengah malam karena Papa mengawasinya, selama di Berlin. Jika Yuno sudah lelah belajar, ia akan mencari hiburan ia tidak memforsir dirinya sendiri.

mungkin karena Papa terlalu khawatir sama kamu, sayang. Kamu kan anak perempuan satu-satunya. Emang kamu mau ambil kampus dimana, hm?

“Aku punya pilihan di Jogja, Kak. Terus di Malang atau di Semarang.”

kalau kamu masih kepengen di kampus-kampus itu, masih ada waktu buat bujuk Papa kok. Aku pikir kamu cuma perlu yakinin Papa aja, tapi sayang? Kamu yakin mau ngerantau? Hidup di perantauan gak gampang loh.

Ara mengangguk, “yakin, Kak. Aku tuh mikir selama ini aku manja banget, makanya aku mau nantang diri aku sendiri buat hidup lebih mandiri dengan jauh dari orang tua.”

Ara cuma mikir selama ini dia cukup manja, ia juga ingin berubah menjadi gadis yang lebih mandiri lagi. Ia ingin menjadi dewasa dan lebih bertanggung jawab dengan diri sendiri.

Selain itu, Ara juga ingin mengksplore tempat-tempat lain, mengenal banyak budaya dan memiliki banyak teman di daerah lain. Ia ingin menjadi dewasa dengan caranya sendiri, dan Ara yakin ia bisa menjaga dirinya sebaik mungkin.

bagus kalau gitu, berarti tugas kamu nambah. Selain belajar buat ngejar kampus impian kamu, kamu juga harus bisa yakinin Papa.

“Kak?”

ya, sayang?

“Doain yah.” Ara mengerucutkan bibirnya, nada bicaranya merajuk dan membuat Yuno di sebrang sana menjadi gemas melihatnya, jika Ara saat ini berada di dekatnya. Mungkin Yuno sudah menangkup wajah gadis itu dan mengecupnya tanpa henti.

aku selalu doain kamu, sayang. Yaudah, tadi kita belajarnya sampai mana? Jadi keasikan sendiri kan tuh gara-gara kamu ngasih liat video di Aquarium kemarin.

Setelah banyak bercerita tentang kesehariannya dan juga perjuangan Ara membujuk Papa, Yuno kembali mengajari Ara beberapa materi ujian nanti. Meski dalam jarak jauh, Yuno enggak pernah kehilangan cara untuk mengajari Ara, ia ingin gadis itu juga pintar sama seperti dirinya.